Anda di halaman 1dari 47

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Penerapan Sanksi


II.1.1. Pengertian Penerapan Sanksi
Menurut J.S Badudu dan Sutan Mohammad Zain, penerapan adalah hal,
cara atau hasil27. Adapun menurut Lukman Ali, penerapan adalah
28
mempraktekkan, memasangkan . Pengertian penerapan adalah perbuatan
menerapkan.29Sedangkan menurut beberapa ahli berpendapat bahwa, penerapan
adalah suatu perbuatan mempraktekkan suatu teori, metode, dan hal lain untuk
mencapai tujuan tertentu dan untuk suatu kepentingan yang diinginkan oleh suatu
kelompok atau golongan yang telah terencana dan tersusun sebelumnya.30
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan
merupakan sebuah tindakan yang dilakukan baik secara individu maupun
kelompok dengan maksud untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Adapun
unsur-unsur penerapan meliputi:31
1. Adanya program yang dilaksanakan
2. Adanya kelompok target, yaitu masyarakat yang menjadi sasaran dan
diharapkan akan menerima manfaat dari program tersebut.
3. Adanya pelaksanaan, baik organisasi atau perorangan yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan, pelaksanaan maupun
pengawasan dari proses penerapan tersebut.

Seorang filosof Yunani, Aristoteles, mengatakan bahwa manusia adalah


zoon politicon, artinya manusia merupakan makhluk yang hidup bermasyarakat.

27
Badudu J.S dan Zain, Sutan Mohammad, Kamus Umum Bahasa, (Jakarta,Pustaka Sinar
Harapan. 1996), hlm. 1487
28
Lukman Ali, dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka., 1995), hlm
1044
29
Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta,
Modern English Perss, 2002), hlm. 1598
30
Made Wena. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer, (Jakarta, Bumi Aksara,
2009), hlm. 189
31
Solichin Abdul Wahab, Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara, (Jakarta, Rineka
Cipta. 1990), hlm. 45

15

UPN "VETERAN" JAKARTA


16

Sejak lahir hingga meninggal, manusia hidup ditengah-tengah masyarakat dan


melakukan hubungan dengan manusia yang lain. Hubungan antara seseorang
dengan orang-orang lain mungkin bersifat langsung ataupun tidak langsung.
Hubungan itu menyebabkan kehidupan bermasyarakat antara manusia saling
membutuhkan satu dengan yang lainnya. Kebutuhan dapat sama dengan satu yang
lainnya, atau bahkan dapat bertentangan/berlawanan32.
Pertentangan-pertentangan tersebut dapat menimbulkan perselisihan dan
kekacauan di dalam masyarakat, untuk mengatasinya diadakan ketentuan yang
mengatur yaitu tata tertib yang dapat mengembangkan kepentingan yang
bertentangan tersebut, sehingga timbul kedamaian (Rust en Orde). Ketentuan-
ketentuan tersebut merupakan petunjuk hidup yang merupakan hukum yang
berkembang bersama-sama masyarakat atau dengan lain perkataan hukum berarti
tertib sosial.33
Berbicara mengenai hukum, maka sebaiknya membahas tentang artinya
terlebih dahulu. Secara etimologis, hukum berasal dari bahasa Arab yaitu “Alkas”,
bahasa Jerman disebut sebagai “Recht”, bahasa Yunani yaitu “Ius”, sedangkan
dalam bahasa Prancis disebut “Droit”. Kesemuanya itu mempunyai arti yang
kurang lebih sama, yaitu hukum merupakan paksaan, mengatur dan memerintah.34
Menurut Utrecht sebagaimana yang dikutip oleh Soeroso dalam bukunya
yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum, mengatakan bahwa ilmu hukum
merupakan himpunan petunjuk hidup (perintah-perintah) dan larangan-larangan
yang mengatur tata tertib dalam sesuatu masyarakat dan seharusnyalah ditaati oleh
anggota masyarakat itu. Oleh karena itu, pelanggaran petunjuk tersebut dapat
menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah terhadap masyarakat itu.35
Menurut P. Borst hukum adalah keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau
perbuatan manusia di dalam masyarakat yang pelaksanaannya dapat dipaksakan
dan bertujuan agar menimbulkan tata kedamaian atau keadilan. Pelaksanaan

32
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, cet. ke-8, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006), hlm. 40
33
ibid, hlm. 41
34
Soerjono Soekanto, Teori Yang Murni Tentang Hukum, (Bandung, PT. Alumni, 1985),
hlm. 40
35
R. Soeroso, loc. cit.

UPN "VETERAN" JAKARTA


17

peraturan hukum itu dapat dipaksakan artinya bahwa hukum mempunyai sanksi,
berupa ancaman dengan hukuman terhadap si pelanggar atau merupakan ganti-
rugi bagi yang menderita.36
Dari kedua definisi tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hukum
berkaitan dengan sanksi. Hal ini dapat dipahami karena pada dasarnya hukum itu
memiliki sifat mengatur dan memaksa. Didalam sifat hukum yang mengatur,
terdapat larangan-larangan.Apabila suatu larangan tersebut dilanggar, maka dapat
menimbulkan sanksi. Sanksi hukum ini bersifat memaksa, hal ini berarti bahwa
tertib itu akan bereaksi terhadap peristiwa-peristiwa tertentu karena dianggap
merugikan masyarakat sebagai akibat dari adanya pelanggaran tersebut. Dengan
cara memaksa, maka suatu penderitaan dikenakan terhadap seseorang dengan
paksa walaupun yang bersangkutan tidak menghendakinya.
Menurut Black’s Law Dictionary, sanction (sanksi) adalah “a penalty or
coercive measure that results from failure to comply with a law, rule, or order (a
sanction for discovery abuse)” atau sebuah hukuman atau tindakan memaksa yang
dihasilkan dari kegagalan untuk mematuhi undang-undang.37 Sedangkan
pengertian sanksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan tanggungan
(tindakan atau hukuman) untuk memaksa orang menepati perjanjian atau menaati
ketentuan undang-undang (anggaran dasar, perkumpulan, dan sebagainya);
tindakan (mengenai perekonomian) sebagai hukuman kepada suatu
negara;Hukum, a imbalan negatif, berupa pembebanan atau penderitaan yang
ditentukan dalam hukum; b imbalan positif, yang berupa hadiah atau anugerah
yang ditentukan dalam hukum.38
Berbagai tipe ideal dapat dirumuskan atas dasar cara-cara perilaku
manusia dilaksanakan berdasarkan perintah atau larangan. Suatu tertib sosial
mungkin memerintahkan agar manusia melakukan perbuatan tertentu, tanpa
memberikan akibat tertentu apabila perintah itu ditaati atau dilanggar. Suatu tertib

36
R. Soeroso, op. cit., hlm. 27
37
Samsul Ramli dan Fahrurrazi, Bacaan Wajib Swakelola Pengadaan Barang/Jasa,
Visimedia (Jakarta, Pustaka, 2014), hlm. 191.
38
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
(Jakarta, Pustaka, 1995), hlm. 1265

UPN "VETERAN" JAKARTA


18

sosial dapat pula memerintahkan agar suatu perbuatan dilakukan sekaligus dengan
imbalan atau hukumannya. Imbalan dan hukuman merupakan sanksi-sanksi,
namun lazimnya hanya hukuman yang disebut sebagai sanksi.
Menurut Hans Kelsen, sanksi didefinisikan sebagai reaksi koersif
masyarakat atas tingkah laku manusia (fakta sosial) yang mengganggu
masyarakat. Setiap sistem norma dalam pandangan Hans Kelsen selalu bersandar
pada sanksi. Esensi dari hukum adalah organisasi dari kekuatan, dan hukum
bersandar pada sistem paksaan yang dirancang untuk menjaga tingkah laku sosial
tertentu. Dalam kondisi-kondisi tertentu digunakan kekuatan untuk menjaga
hukum dan ada sebuah organ dari komunitas yang melaksanakan hal tersebut.
Setiap norma dapat dikatakan “legal” apabila dilekati sanksi, walaupun norma itu
harus dilihat berhubungan dengan norma yang lainnya.39

II.1.2. Jenis-Jenis Sanksi


II.1.2.1. Sanksi Pidana
Sanksi pidana merupakan sanksi yang bersifat lebih tajam jika
dibandingkan dengan pemberlakuan sanksi pada hukum perdata maupun dalam
hukum administrasi. Pendekatan yang dibangun adalah sebagai salah satu upaya
untuk mencegah dan mengatasi kejahatan melalui hukum pidana dengan
pelanggaran dikenakan sanksinya berupa pidana.Menurut Roeslan Saleh,
sebagaimana yang dikutip oleh Samsul Ramli dan Fahrurrazi, mengemukakan
pendapat bahwa pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa
yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik (perbuatan yang
dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-
undang). Hukum pidana menentukan sanksi terhadap pelanggaran peraturan
larangan. Sanksi itu dalam prinsipnya terdiri atas penambahan penderitaan dengan
sengaja.40
Wujud atau sifat perbuatan pidana itu adalah melawan hukum dan/atau
perbuatan-perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan
39
Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, Pengantar Ke Filsafat Hukum,
(Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm. 84.
40
Samsul Ramli dan Fahrurrazi, op. cit., hlm. 192.

UPN "VETERAN" JAKARTA


19

dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat


yang dianggap baik dan adil. Namun, perbuatan seseorang dikatakan sebagai
tindak pidana apabila perbuatan tersebut telah tercantum dalam undang-undang.
Dengan kata lain, untuk mengetahui sifat perbuatan tersebut dilarang atau tidak,
harus dilihat dari rumusan undang-undang.41 Sumber hukum pidanadi Indonesia
merupakan kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) sebagai induk aturan
umum dan peraturan perundang-undangan khusus lainnya di luar KUHP. Sebagai
induk aturan umum, KUHP mengikat peraturan perundang-undangan khusus di
luar KUHP. Namun, dalam hal-hal tertentu peraturan perundang-undangan khusus
tersebut dapat mengatur sendiri atau berbeda dari induk aturan umum, seperti
misalnya Undang-Undang RI No. 39 Tahun 2004.Bentuk hukuman Pidana diatur
dalam Pasal 10 KUHP, yaitu :
1. Pidana Pokok, yang terbagi atas : Pidana Mati; Pidana Penjara; Pidana
Kurungan; Pidana denda dan Pidana Tutupan.
2. Pidana Tambahan, yang terbagi atas : Pencabutan hak-hak tertentu,
Perampasan barang-barang tertentu, Pengumuman putusan hakim.

II.1.2.2. Sanksi Perdata


Hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara
sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian,
kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha, dan tindakan-tindakan yang
bersifat perdata lainnya. Bentuk sanksi hukum perdata dapat berupa kewajiban
untuk memenuhi prestasi (kewajiban) dan atau hilangnya suatu keadaan hukum,
diikuti dengan terciptanya suatu keadaan hukum baru. Bentuk putusan yang
dijatuhkan hakim dapat berupa :
1. Putusan Constitutif yakni putusan yang menghilangkan suatu keadaan
hukum dan menciptakan hukum baru,contohnya adalah putusan
perceraian suatu ikatan perkawinan;

41
Samsul Ramli dan Fahrurrazi, loc. cit.

UPN "VETERAN" JAKARTA


20

2. Putusan Condemnatoir yakni putusan yang bersifat menghukum pihak


yang dikalahkan untuk memenuhi kewajibannya, contohnya adalah
putusan hukum untuk wajib membayar kerugian pihak tertentu;
3. Putusan Declaratoir yakni putusan yang amarnya menciptakan suatu
keadaan yang sah menurut hukum, menerangkan dan menegaskan
suatu keadaan hukum semata-mata, contohnya adalah putusan
sengketa tanah atas penggugat atas kepemilikan yang sah.42

II.1.2.3. Sanksi Administratif


Pada hakikatnya, hukum administrasi negara memungkinkan pelaku
administrasi negara untuk menjalankan fungsinya dan melindungi warga terhadap
sikap administrasi negara, serta melindungi administrasi negara itu sendiri. Peran
pemerintah yang dilakukan oleh perlengkapan negara atau administrasi negara
harus diberi landasan hukum yang mengatur dan melandasi administrasi negara
dalam melaksanakan fungsinya. Hukum yang memberikan landasan tersebut
dinamakan hukum administrasi negara.
Sanksi dalam Hukum Administrasi yaitu “alat kekekuasaan yang bersifat
hukum publik yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi atas
ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat dalam norma Hukum
Administrasi Negara.” Berdasarkan definisi ini tampak ada empat unsur sanksi
dalam hukum administrasi Negara, yaitu alat kekuasaan (machtmiddelen), bersifat
hukum publik (publiekrechtlijke), digunakan oleh pemerintah (overheid), sebagai
reaksi atas ketidakpatuhan (reactive op niet-naleving).12 Jenis Sanksi
Administrasi dapat dilihat dari segi sasarannya yaitu:
a. Sanksi reparatoir, artinya sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas
pelanggaran norma, yang ditujukan untuk mengembalikan pada
kondisi semula sebelum terjadinya pelanggaran, misalnya
bestuursdwang, dwangsom;

42
Samsul Ramli dan Fahrurrazi, op. cit., hlm. 193.

UPN "VETERAN" JAKARTA


21

b. Sanksi punitif, artinya sanksi yang ditujukan untuk memberikan


hukuman pada seseorang, misalnya adalah berupa denda
administratif;
c. Sanksi regresif, adalah sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas
ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang terdapat pada ketetapan yang
diterbitkan.43

Perbedaan antara sanksi administrasi dan sanksi pidana dapat dilihat dari
tujuan pengenaan sanksi itu sendiri. Sanksi administrasi ditujukan kepada
perbuatan pelanggarannya, sedangkan sanksi pidana ditujukan kepada si
pelanggar dengan memberi hukuman berupa nestapa. Sanksi administrasi
dimaksudkan agar perbuatan pelanggaran itu dihentikan. Sifat sanksi adalah
reparatoir artinya memulihkan pada keadaan semula. Di samping itu perbedaan
antara sanksi pidana dan sanksi administrasi ialah tindakan penegakan hukumnya.
Sanksi adminitrasi diterapkan oleh pejabat tata usaha negara tanpa harus melalui
prosedur peradilan, sedangkan sanksi pidana hanya dapat dijatuhkan oleh hakim
pidana melalui proses pengadilan.44

II.1.2.4. Sanksi Pidana Administratif


Bidang hukum administratif dikatakan sangat luas karena hukum
administratif menurut Black Law Dictionary sebagaimana dikutip oleh Barda
Nawawi Arief dalam bukunya Kapita Selekta Hukum Pidana mengemukakan
bahwa, hukum administrasi merupakan seperangkat hukum yang diciptakan oleh
lembaga administrasi dalam bentuk undang-undang, peraturan-peraturan, perintah,
dan keputusan-keputusan untuk melaksanakan kekuasaan dan tugas-tugas
pengaturan/mengatur dari lembaga yang bersangkutan.45

43
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta, PT. RajaGrafindo, 2006), hlm. 315.
44
Philipus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, cet. ke-X,
(Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2008), hlm. 247.
45
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung, PT. Citra Aditya
Bakti, 2003), hlm. 13.

UPN "VETERAN" JAKARTA


22

Bertolak dari pengertian diatas, maka hukum pidana administrasi dapat


dikatakan sebagai “hukum pidana di bidang pelanggaran-pelanggaran hukum
administrasi”. Oleh karena itu, Black Law Dictionary menyatakan bahwa
“kejahatan/tindak pidana administrasi” (“administrative crime”) dinyatakan
sebagai “An offence consisting of violation of an administrative rule or regulation
and carrying with it a criminal sanction”.46
Hukum administrasi pada dasarnya merupakan hukum yang mengatur atau
hukum pengaturan (regulatory rules), yaitu hukum yang dibuat dalam
melaksanakan kekuasaaan mengatur/pengaturan (regulatory powers), maka
hukum pidana administrasi sering disebut pula hukum pidana (mengenai)
pengaturan atau hukum pidana dari aturan-aturan (Ordnungstrafrecht atau
Ordeningstrafrecht). Selain itu, karena istilah hukum administrasi juga ada yang
menyebutnya sebagai hukum pidana pemerintahan, sehingga dikenal pula istilah
Verwaltungsstrafrecht (verwaltung berarti administrasi atau pemerintahan) dan
Bestuursstrafrecht (bestuur berarti pemerintahan).47
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa hukum pidana
administrasi pada hakikatnya merupakan perwujudan dari kebijakan
menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan atau
melaksanakan hukum administrasi. Jadi, sanksi hukum pidana administrasi
merupakan bentuk fungsionalisasi / operasionalisasi / instrumentalisasi hukum
pidana di bidang hukum administrasi. Mengingat luasnya hukum administrasi
seperti yang dikemukakan di atas, maka dapat diperkirakan demikian banyak pula
hukum pidana digunakan di dalam berbagai aturan administrasi.48

II.2. Tindak Pidana Korupsi


II.2.1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana sama pengertiannya dengan peristiwa pidana atau delik.
Menurut rumusan para ahli hukum dari terjemahan straafbaarfeit yaitu suatu
perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan undang-undang atau hukum,
46
Ibid. hlm. 14
47
Ibid
48
Ibid

UPN "VETERAN" JAKARTA


23

perbuatan mana dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang dapat


dipertanggungjawabkan. Sehubungan dengan hal tersebut A. Zainal Abidin
Farid49, menyatakan bahwa : "Delik sebagai suatu perbuatan atau pengabaian
yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja atau kelalaian oleh
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan". Lebih lanjut menurut50 bahwa:
Yang dimaksud dengan tindak pidana atau dalam bahasa Belanda strafbaarfeit
atau dalam bahasa Asing disebut delict berarti suatu perbuatan yang pelakunya
dapat dikenai hukuman pidana, dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek
tindak pidana.
Berdasarkan uraian di atas, kita dapat mengemukakan bahwa delik itu
adalah perbuatan yang dilarang atau suatu perbuatan yang diancam dengan
hukuman kepada barang siapa yang melakukannya, mulai dari ancaman yang
serendah-rendahnya sampai kepada yang setinggi-tingginya sesuai dengan
pelanggaran yang dilakukan. Sifat ancaman delik seperti tersebut, maka yang
menjadi subyek dari delik adalah manusia, di samping yang disebutkan sebagai
badan hukum yang dapat bertindak seperti kedudukan manusia (orang). Ini mudah
terlihat pada perumusan-perumusan dari tindak pidana dalam KUHP, yang
menampakkan daya berpikir sebagai syarat bagi subjek tindak pidana itu, juga terl
ihat pada wujud hukuman/pidana yang termuat dalam pasal-pasal KUHP, yaitu
hukuman penjara, kurungan dan denda.
Adanya perkumpulan dari orang-orang, yang sebagai badan hukum turut
serta dalam pergaulan hidup kemasyarakatan, timbulgejala-gejala dari
perkumpulan itu, yang apabila dilakukan oleh oknum, jelas masuk perumusan
pelbagai delik Perbuatan dikategorikan sebagai tindak pidana bila memenuhi
unsur-unsur51, sebagai berikut:
1. Harus ada perbuatan manusia;

49
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm.33
50
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung, Refika
Aditama, 2003), hlm. 59
51
Lamintang P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar. Baru.
1984), hlm. 184

UPN "VETERAN" JAKARTA


24

2. Perbuatan manusia tersebut harus sesuai dengan perumusan pasal dari


undang-undang yang bersangkutan;
3. Perbuatan itu melawan hukum (tidak ada alasan pemaaf);
4. Dapat dipertanggungjawabkan
Sedangkan menurut Moeljatno menyatakan bahwa52
1. Kelakuan dan akibat
2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.
3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
4. Unsur melawan hukum yang objektif
5. Unsur melawan hukum yang subjektif

Selanjutnya menurut Satochid Kartanegara53 mengemukakan bahwa:


Unsur tindak pidana terdiri atas unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif
adalah unsur yang terdapat di luar diri manusia, yaitu berupa: 1. suatu tindakan; 2.
suatu akibat dan; 3. keadaan (omstandigheid) Kesemuanya itu dilarang dan
diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Unsur subjektif adalah unsur-
unsur dari perbutan yang dapat berupa: 1. Kemampuan
(toerekeningsvatbaarheid); 2. Kesalahan (schuld). Sedangkan54 menguraikan
bahwa unsur-unsur tindak pidana terdiri atas dua macam yaitu:
1. Unsur Objektif, yaitu unsur yang terdapat di luar pelaku (dader) yang dapat
berupa :
a. Perbuatan, baik dalam arti berbuat maupun dalam arti tidak berbuat.
Contoh unsur objektif yang berupa "perbuatan" yaitu perbuatan-
perbuatan yang dilarang dan diancam oleh undang-undang.
Perbuatan-perbuatan tersebut dapat disebut antara lain perbuatan-
perbuatan yang dirumuskan di dalam Pasal 242, Pasal 263 dan Pasal
362 KUHPidana. Di dalam ketentuan Pasal 362 KUHPidana

52
Djoko Prakoso, Djoko Prakoso, Hukum Penitensir Di Indonesia, (Bandung, Armico,
1988), hlm. 104
53
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta, Sinar Grafika, 2005),
hlm. 10
54
Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta:
Djambatan, 2002), hlm. 3-5

UPN "VETERAN" JAKARTA


25

misalnya, unsur objektif yang berupa "perbuatan" dan sekaligus


merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam oleh undang-undang
adalah perbuatan mengambil.
b. Akibat, yang menjadi syarat mutlak dalam delik materiil. Contoh
unsur objektif yang berupa suatu "akibat" adalah akibat-akibat yang
dilarang dan diancam oleh undang-undang dan merupakan syarat
mutlak dalam delik antara lain akibat-akibat sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Pasal 351 dan Pasal 338 KUHPidana. Dalam
ketentuan Pasal 338 KUHPidana misalnya, unsur objektif yang
berupa "akibat" yang dilarang dan diancam dengan undang-undang
adalah akibat yang berupa matinya orang.
c. Keadaan atau masalah-masalah tertentu yang dilarang dan diancam
oleh undang-undang. Contoh unsur objektif yang berupa suatu
"keadaan" yang dilarang dan diancam oleh undang-undang adalah
keadaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 160, Pasal 281
dan Pasal 282 KUHPidana. Dalam ketentuan Pasal 282 KUHPidana
misalnya, unsur objektif yang berupa "keadaan" adalah di tempat
umum.

2. Unsur Subjektif, yaitu unsur yang terdapat dalam diri si pelaku (dader)
yang berupa:
a. Hal yang dapat dipertanggungjawabkannya seseorang terhadap
perbuatan yang telah dilakukan (kemampuan bertanggungjawab).
b. Kesalahan (schuld) seseorang dapat dikatakan mampu
bertanggungjawab apabila dalam diri orang itu memenuhi tiga syarat,
yaitu:
1). Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia
dapat mengerti akan nilai perbuatannya dan karena juga
mengerti akan nilai perbuatannya itu.

UPN "VETERAN" JAKARTA


26

2. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia


dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia
lakukan.
3. Orang itu harus sadar perbuatan mana yang dilarang dan
perbuatan mana yang tidak dilarang oleh undang-undang.

Sebagaimana diketahui, bahwa kesalahan (schuld) dalam hukum pidana


dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu:
1. Dolus atau opzet atau kesengajaan
Menurut Memorie van Toelicting (selanjutnya di singkat MvT)55,
dolus atau sengaja berarti menghendaki mengetahui (willensen wettens)
yang berarti si pembuat harus menghendaki apa yang dilakukannya dan
harus mengetahui apa yang dilakukannya. Tingkatan sengaja dibedakan
atas tiga tingkatan yaitu:
a. Sengaja sebagai niat: dalam arti ini akibat delik adalah motif
utama untuk suatu perbuatan, yang seandainya tujuan itu tidak
ada maka perbuatan tidak akan dilakukan.
b. Sengaja kesadaran akan kepastian: dalam hal ini ada kesadaran
bahwa dengan melakukan perbuatan itu pasti akan terjadi akibat
tertentu dari perbuatan itu.
c. Sengaja insyaf akan kemungkinan: dalam hal ini dengan
melakukan perbuatan itu telah diinsyafi kemungkinan yang
dapat terjadi dengan dilakukannya perbuatan itu.
2. Culpa atau kealpaan atau ketidaksengajaan
Menurut Memorie van Toelicting atas risalah penjelasan undang-
undang culpa itu terletak antara sengaja dan kebetulan. Culpa itu baru ada
kalau orang dalam hal kurang hati-hati, alpa dan kurang teliti atau kurang
mengambil tindakan pencegahan. Yurisprudensi menginterpretasikan

55
Rusli Effendy Asas-Asas Hukum Pidana, (Ujung Pandang, Lembaga Penerbitan.
Universitas Muslim Indonesia, 1989), hlm. 80

UPN "VETERAN" JAKARTA


27

culpa sebagai kurang mengambil tindakan pencegahan atau kurang hati-


hati. Lebih lanjut56 menerangkan bahwa kealpaan (culpa) dibedakan atas :
1. Kealpaan dengan kesadaran (bewuste schuld). Dalam hal ini, si
pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu
akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah toh timbul juga
akibat tersebut.
2. Kealpaan tanpa kesadaran (onbewuste schuld). Dalam hal ini, si
pelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu
akibat yang dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang,
sedang ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu akibat.

Mengenai MvT tersebut, Satochid Kartanegara57 mengemukakan


bahwa: Yang dimaksud dengan opzet willens en weten (dikehendaki dan
diketahui) adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan
sengaja harus menghendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsafi
atau mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu. Sedangkan menurut
D. Simons58 mengemukakan bahwa kealpaan adalah: Umumnya kealpaan
itu terdiri atas dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan suatu
perbuatan, di samping dapat menduga akibat perbuatan itu. Namun,
meskipun suatu perbuatan dilakukan dengan hati-hati, masih mungkin juga
terjadi kealpaan jika yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari
perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-
undang. Kealpaan terdapat apabila seseorang tetap melakukan perbuatan itu
meskipun ia telah mengetahui atau menduga akibatnya. Dapat diduganya
akibat itu lebih dahulu oleh si pelaku adalah suatu syarat mutlak. Suatu
akibat yang tidak dapat diduga lebih dahulu tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya sebagai kealpaan. Tentu dalam hal
mempertimbangkan ada atau tidaknya "dapat diduga lebih dahulu " itu,
harus diperhatikan pribadi si pelaku. Kealpaan tentang keadaan-keadaan
56
Rusli Effendy, op.cit, hlm. 26
57
Leden Marpaung, op.cit, hlm. 13
58
Leden Marpaung, op.cit, hlm. 25

UPN "VETERAN" JAKARTA


28

yang menjadikan perbuatan itu suatu perbuatan yang diancam dengan


hukuman, terdapat kalau si pelaku dapat mengetahui bahwa keadaan-
keadaan itu tidak ada.

II.2.2. Pengertian Korupsi


Korupsi berasal dari kata Latin “Corruptio”atau “Corruptus” yang
kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis “ Corruption”, dalam bahasa
Belanda “Korruptie” dan selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan
“Korupsi”59. Korupsi secara harfiah berarti jahat atau busuk60, sedangkan A.I.N
Kramer ST menerjemahkannya sebagai busuk, rusak atau dapat disuapi61. Oleh
karena itu, tindak pidana korupsi berarti suatu delik akibat perbuatan buruk,
busuk, jahat, rusak atau suap62. Meskipun kata coruptio itu luas sekali artinya,
namun sering coruptio dipersamakan artinya dengan penyuapan seperti dalam
ensiklopedia Grote Winkler Prins63.
Istilah Korupsi pertama kali hadir dalam khasanah hukum Indonesia dalam
Peraturan Penguasa Perang Nomor Prt/Perpu/013/1958 tentang Peraturan
Pemberantasan Korupsi. Kemudian, dimasukkan juga dalam Undang-Undang
Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak
Pidana Korupsi. Undang-Undang ini kemudian dicabut dan digantikan oleh
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yang kemudian sejak tanggal 16 Agustus 1999 digantikan oleh Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan akan mulai berlaku efektif 2 (dua) tahun
kemudian (16 Agustus 2001) dan kemudian diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tanggal 21 November 2001.

59
Andi Hamzah, Korupsi dalam Pengelolaan Proyek Pembangunan, Edisi 1, (Jakarta,
Akademik Pressindo, 1985), hlm. 143
60
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia: An English. Indonesian
Dictionary. (Jakarta: PT Gramedia, 2005), hlm. 149
61
Kramer ST A.I.N, Kamus Kantong Inggris Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru. Van
Hoeve , 1997), hlm. 62
62
Darwin Prinnst. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2002), hlm. 1
63
e Jur.Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 4-5

UPN "VETERAN" JAKARTA


29

Kemudian arti kata korupsi yang telah diterima dalam pembendarahan kata
bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia: ”Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang,
penerimaan uang spgok dan sebagainya”64.
Dengan pengertian secara harfiah itu dapat ditarik suatu kesimpulan,
bahwa sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah sangat luas artinya. Seperti
yang disimpulkan dalam Encyclopedia Americana, korupsi itu suatu hal yang
buruk dengan berbagai macam ragam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat
dan bangsa. Dengan demikian, pendekatan yang dapat dilakukan terhadap
masalah korupsi bermacam ragam pula, dan artinya sesuai pula dari segi mana
kita mendekati masalah itu. Pendekatan sosiologis misalnya, seperti halnya yang
dilakukan oleh Syed Hussein Alatas dalam bukunya The Sociologi of corruption,
akan lain artinya kalau kita menggunakan pendekatan normatif, begitu pula
dengan politik ataupun ekonomi. Misalnya Alatas memasukkan nepotisme dalam
kelompok korupsi dalam klasifikasinya (memasang keluarga atau teman pada
posisi pemerintahan tanpa memenuhi persyaratan untuk itu), yang tentulah hal
seperti itu sukar dicari normanya dalam hukum pidana65.
J.S. Nye dalam artikelnya corruption and political Development; a cost
benefit analysis mendeskripsikan pelaku korupsi sebagai berikut: Pelaku korupsi
adalah perilaku yang menyimpang dari tugas yang normal dalam pemerintahan
karena pertimbangan pribadi (keluarga, sahabat pribadi dekat), kebutuhan uang
atau pencapaian status; atau melanggar peraturan dengan melakukan tindakan
yang memanfaatkan pengaruh pribadi. Tindakan ini termasuk perilaku penyuapan
(penggunaan hadiah untuk penyimpangan keputusan seseorang dalam posisi
mengemban amanah); nepotisme (menggunakan perlindungan oleh seseorang
yang punya hubungan darah atau keturunan dari pada berdasarkan kinerja); dan

64
Andi Hamzah, Korupsi Dalam Proyek Pembangunan, (Jakarta, Akademika Presindo;
1984), hlm. 10
65
Andi Hamzah, op.cit, hlm. 10

UPN "VETERAN" JAKARTA


30

penyalahgunaan (penggunaan secara tidak sah sumber daya milik untuk manfaat
pribadi66.
Menurut Syeh Hussain Alatas67 makna korupsi dari sisi pandang sosioligis
adalah sebagai berikut: Terjadinya korupsi apabila seseorang pegawai negeri
menerima pemberian yang disodorkan oleh seseorang dengan maksud
mempengaruhi agar memberikan perhatian istimewa kepada kepentingan-
kepentingan si pemberi. Selanjutnya Alatas68 menambahkan bahwa: Yang
termasuk pula sebagai korupsi adalah pengangkatan sanak saudara, teman-teman
atau kelompok-kelompok politik pada jabatan-jabatan dalam kedinasan aparatur
pemerintahan tanpa memandang keahlian mereka, maupun konsekuensinya pada
kesejahteraan masyarakat yang dinamakan nepotisme, sehingga dapat diketahui
adanya empat jenis perbuatan yang tercakup dalam istilah korupsi, yakni
penyuapan, pemeresan, nepotisme dan penggelapan Pengertian korupsi dari sisi
pandang politik dapat dikemukakan oleh Theodore M. Smith dalam tulisannya
Corruption Tradition and Change Indonesia69, mengatakan sebagai berikut:
Secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai
masalah politik daripada masalah ekonomi ia menyentuh keabsahan
(legitimasi) pemerintah dimata generasi muda, kaum elite terdidik dan
pegawai pada umumnya...,

Seorang pejabat pemerintahan dikatakan “korup” apabila ia menerima


uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang ia bisa
lakukan dalam tugas jabatannya padahal ia selama menjalankan tugasnya
seharusnya tidak boleh berbuat demikian. Atau dapat berarti menjalankan
kebijaksanaannya secara sah untuk alasan yang tidak benar dan dapat merugikan
kepentingan umum yang menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan
Di samping itu terdapat pula pengertian tentang korupsi yang tidak
bertolak dari ukuran jabatan dalam pemerintahan atau pelayanan umum,

66
Hamid Basyaib, Penyebaran Korupsi Luar Biasa, dalam Jurnal Resonansi, Edisi
Khusus Akhir Tahun 2003, hlm. 23
67
Syed Husein Alatas, Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan Dengan Data (Jakarta,
Kontemporer, LP3ES, 1983), hlm. 11
68
Ibid, hlm. 11
69
Mubyarto, Ilmu ekonomi, Ilmu Sosial, dan Keadilan. (Jakarta, Yayasan
Argoekonomika, 1980), hlm. 60

UPN "VETERAN" JAKARTA


31

melainkan dari sudut kepentingan umum (public interest).Carl J Fredrich dalam


artikelnya political pathologi melukiskan korupsi sebagai berikut70: Pola korupsi
dapat disebut terjadi apabila seseorang pemegang kekuasaan yang ditugaskan
untuk mengerjakan sesuatu: yaitu seorang petugas (fungsionaris) dan penguasa
kantor telah diberi hadiah uang atau yang lain secara melanggar hukum guna
mengambil tindakan yang menguntungkan pemberi hadiah dan dengan demikian
merugikan kepentingan umum.
Intisari dari pengertian yang dikemukakan oleh Carl Friedrich adalah
tindakan terrsebut merusak kepentingan masyarakat luas, hanya karena pemberian
secara tidak sah yang hanya menguntungkan seseorang secara pribadi saja.

II.2.3. Unsur-Unsur Tindak Pidana


Korupsi Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2 ayat (1) unsur-unsur korupsinya
adalah: 1. Setiap orang; 2. Secara melawan hukum; 3. Perbuatan memperkaya diri
sendiri, orang lain atau suatu korporasi; 4. Dapat merugikan keuangan Negara
atau perekonomian negara.
Pasal 3 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, unsur-unsur korupsinya adalah: 1. Setiap orang; 2. Dengan
tujuan; 3. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 4.
Menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan; 5. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Berikut adalah beberapa pendapat pakar hukum tentang unsur-unsur tindak
pidana:
1. Andi Hamzah
Delik korupsi Pasal 1 ayat (1) sub a UUPTPK urutannya sebagai
berikut. a. Melawan hukum. b. Memperkaya diri sendiri atau orang lain

70
Rahardjo, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. (Jakarta,
Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1998), hlm. 6

UPN "VETERAN" JAKARTA


32

atau suatu badan. c. Yang secara langsung atau tidak langsung merugikan
keuangan negara dan perekonomian negara, atau diketahui atau patut
disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara.
Untuk menyusun dakwaan tidak perlu dimulai dengan melawan
hukum. Dalam hukum pidana sering delik itu dibagi dua yaitu perbuatan
dan pertanggungjawaban. Pada perumusan delik diatas perbuatan adalah
“memperkaya diri sendiri dan seterusnya” dan akibatnya adalah “kerugian
negara dan seterusnya”, disusul dengan “melawan hukum” yang dapat
diartikan dalam delik ini sebagai “tanpa hak untuk menikmati hasil
korupsi” tersebut selaras dengan putusan HR tanggal 30 Januari 1911,
yang mengartikan “melawan hukum” itu “tidak mempunyai hak untuk
menikmati keuntungan” itu dalam delik penipuan (Pasal 378 KUHP).
Kata-kata tidak mempunyai hak untuk menikmati hasil korupsi
sama dengan pengertian sehari-hari, artinya pada umumnya telah mengerti
maksud kata-kata itu. Para pakar berpendapat alas an peniadaan pidana
(strafuitslui tingsgrond) tidak perlu disinggung dalam dakwaan tidak
adanya alas an pemaaf itu. Dalam hukum pidana dikenal sebagai alasan
pemaaf.
Delik korupsi tercantum dalam pasal 1 ayat (1) sub b UUPTPK
yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
a. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau badan;
b. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan;
c. Yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara.71

2. Sudarto
Menjelaskan unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagai berikut.

71
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi edisi ke 2. (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 18

UPN "VETERAN" JAKARTA


33

a. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu


badan. “Perbuatan memperkaya” artinya berbuat apa saja, misalnya
mengambil memindahbukukan, menandatangani kontrak dan
sebagainya, sehingga si pembuat bertambah kaya.
b. Perbuatan itu bersifat melawan hukum. “Melawan hukum” disini
diartikan secara formil dam materiil. Unsur ini perlu dibuktikan
karena tercantum secara tegas dalam rumusan delik.
c. Perbuatan itu secara langsung dan tidak langsung merugikan
keuangan negara dan/ atau perekonomian negara, atau perbuatan itu
diketahui atau patut disangka oleh si pembuat bahwa merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara72.

II.3. Pengadaan Barang/Jasa


II.3.1. Pengertian Pengadaan Barang/Jasa
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah: “Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang
selanjutnya disebut dengan Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk
memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat
Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan
sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa.
Pengertian Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh
Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi
lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai
diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa. Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah merupakan seluruh proses belanja barang dan/atau jasa
yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga/ Pemerintah Daerah/Institusi yang
pembiayaannya melalui APBN/APBD, baik sebagian atau keseluruhan.
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah meliputi pengadaan barang, pekerjaan
konstruksi, jasa konsultansi dan jasa lainnya. Menurut Perpres No. 70 Tahun
2012, Cara untuk penyediaan barang/jasa salah satunya adalah dengan melakukan

72
Ibid, hlm. 18

UPN "VETERAN" JAKARTA


34

suatu pelelangan atau tender. Tender atau pelelangan merupakan serangkaian


kegiatan untuk menyediakan barang/jasa dengan cara menciptakan persaingan
yang sehat antara Penyedia Barang/Jasa yang setara dan memenuhi syarat
berdasarkan metode dan tata cara tertentu yang telah ditetapkan dan diikuti oleh
pihak-pihak yang terkait secara taat asas sehingga terpilih penyedia terbaik73.
Berlakunya Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 Peraturan Presiden No.
70 Tahun 2012 merupakan perubahan kedua atas Peraturan Presiden No. 54
Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa. Revisi pertama telah dilakukan
tanggal 30 Juni 2011 yang dituangkan dalam bentuk Perpres No. 35 Tahun 2011.
Alasan revisi pertama, yaitu dianggap perlunya konsultan hukum untuk
mendampingi instansi pemerintah dalam menghadapi tuntutan dari pihak ketiga.
Isi revisi pertama adalah memasukkan jasa konsultansi di bidang hukum (meliputi
konsultan hukum/advokat atau arbiter) dalam kriteria jenis pekerjaan/jasa yang
boleh dilakukan dengan cara penunjukkan langsung. Revisi kedua dalam Perpres
No. 70 Tahun 2012 pada tanggal 31 Juli 2012 mengandung maksud melakukan
perubahan yang menyeluruh terhadap sistem pengadaan barang/jasa yaitu dengan
membuat sistem pengadaan yang lebih sederhana dan mudah dilakukan.
Kemudahan-kemudahan terdapat dalam Perpres No. 70 Tahun 2012 antara lain:
1. Penyederhanaan cara pemilihan penyedia melalui lelang/seleksi.
Contohnya, paket pekerjaan dengan nilai di atas Rp. 200.000.000,- sampai
Rp. 5.000.000.000,- yang sebelumnya harus lelang umum sekarang boleh
dilaksanakan dengan lelang sederhana untuk pengadaan barang dan
dengan cara pemilihan langsung untuk pengadaan jasa konstruksi.
2. Percepatan waktu proses pemilihan penyedia barang/jasa. Contohnya,
waktu penayangan pengumuman yang sebelumnya 7 hari kerja, sekarang
untuk lelang/seleksi sederhana dipercepat menjadi 4 hari kerja, masa
sanggah yang sebelumnya 5 hari kerja, sekarang untuk lelang/seleksi
sederhana sekarang dikurangi menjadi 3 hari kerja.

73
Ervianto Wulfram, Manajemen Proyek Konstruksi, (Yogyakarta, Andi, 2002), hlm. 85

UPN "VETERAN" JAKARTA


35

3. Penyederhanaan dokumen pembayaran. Contohnya, Pengadaan


Barang/Jasa dengan nilai sampai dengan Rp. 10.000.000,- yang
sebelumnya harus menggunakan kuitansi, sekarang cukup dengan
menggunakan bukti pembelian. Pengadaan Barang/Jasa dengan nilai Rp.
10.000.000,- sampai dengan 50.000.000,- yang sebelumnya harus
menggunakan SPK, sekarang cukup menggunakan kuitansi. Pengadaan
Barang/Jasa dengan nilai di atas Rp. 50.000.000,- sampai dengan Rp.
200.000.000,- yang sebelumnya menggunakan surat perjanjian, sekarang
cukup dengan menggunakan SPK (Surat Perintah Kerja).
4. Pengadaan Barang/Jasa dengan cara Pengadaan Langsung.
Contohnya untuk Pengadaan Barang/Jasa dengan nilai sampai dengan Rp.
10.000.000,- dengan cara pengadaan langsung yang sebelumnya harus
menggunakan HPS (Harga Perkiraan Sendiri), sekarang tidak perlu
menggunakan HPS.

Perpres No. 70 Tahun 2012 menimbang berbagai hal yaitu:


penyempurnaan peraturan mengenai pengadaan barang dan jasa ini dilakukan
untuk mempercepat pelaksanaan Belanja Negara, dimana untuk mempercepat
pelaksanaan Belanja Negara ini perlu percepatan pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah. Mempercepat pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah perlu penyempurnaan pengaturan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Jenis Pengadaaan Barang/Jasa dalam Peraturan Presiden ini adalah:
1. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud,
bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai,
dipergunakan atau dimanfaatkan oleh Pengguna Barang.
2. Pekerjaan Konstruksi adalah seluruh pekerjaan yang berhubungan dengan
pelaksanaan konstruksi bangunan atau pembuatan wujud fisik lainnya.
3. Jasa Konsultasi adalah jasa layanan profesional yang membutuhkan
keahlian tertentu diberbagai bidang keilmuan yang mengutamakan adanya
olah pikir (brainware).

UPN "VETERAN" JAKARTA


36

4. Jasa Lainnya adalah jasa yang membutuhkan kemampuan tertentu yang


mengutamakan keterampilan (skillware) dalam suatu sistem tata kelola
yang telah dikenal luas di dunia usaha untuk menyelesaikan sesuatu
pekerjaan atau segala pekerjaan dan/atau penyedia jasa selain jasa
konsultasi, pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi dan Pengadaan Barang.

Menurut Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010, prinsip-prinsip yang


terkandung dalam proses pengadaan barang dan jasa yaitu:
1. Efisien
Efisien, berarti Pengadaan Barang/Jasa harus diusahakan dengan
menggunakan dana dan daya yang minimum untuk mencapai kualitas dan
sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau menggunakan dana yang telah
ditetapkan untuk mencapai hasil dan sasaran dengan kualitas yang
maksimum. Efisien pengadaan diukur terhadap seberapa besar upaya yang
dilakukan untuk memperoleh barang/jasa dengan spesifikasi yang sudah
ditetapkan.
2. Efektif
Pengadaan Barang/Jasa harus sesuai dengan kebutuhan dan sasaran yang
telah ditetapkan serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya.
Efektifitas pengadaan diukur seberapa jauh barang/jasa yang telah
diperoleh dari proses pengadaan dapat mencapai spesifikasi yang sudah
ditetapkan.
3. Transparan
Bagaimana proses Pengadaan Barang/Jasa dapat diketahui secara luas.
Maksudnya adalah segala bentuk informasi terkait dengan proses
Pengadaan Barang/Jasa dapat diperoleh dan mudah diakses oleh
masyarakat umum.
4. Terbuka
Berarti Pengadaan Barang/Jasa dapat diikuti oleh semua Penyedia
Barang/Jasa yang memenuhi persyaratan/kriteria tertentu berdasarkan
ketentuan dan prosedur yang jelas. Pengadaan Barang/Jasa diikuti oleh

UPN "VETERAN" JAKARTA


37

semua Penyedia Barang/Jasa selama memenuhi kriteria dan persyaratan


yang telah ditetapkan.
5. Bersaing
Pengadaan Barang/Jasa harus dilakukan melalui persaingan yang sehat
diantara sebanyak mungkin Penyedia Barang/Jasa yang setara dan
memenuhi persyaratan, sehingga dapat diperoleh Barang/Jasa yang
ditawarkan secara kompetitif dan tidak ada intervensi yang mengganggu
terciptanya mekanisme pasar dalam Pengadaan Barang/Jasa. Setiap
Penyedia Barang/Jasa mampu menunjukan persaingan yang sehat untuk
mendapatkan tender yang bersedia dengan meningkatkan kualitas dan
masing- masing barang yang akan disediakan oleh mereka.
6. Adil/tidak diskriminatif
Memberi perlakuan yang sama terhadap semua calon Penyedia
Barang/Jasa dan tidak mengarah pada pemberian keuntungan pada pihak
tertentu.
7. Akuntabel
Harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang terkait dengan Pengadaan
Barang/Jasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan.

II.3.2. Metode Pemilihan Penyedia Barang/Jasa


Menurut Perpres No. 70 Tahun 2012, pasal 35 pemilihan penyedia
barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya dapat dilakukan dengan cara:
1. Pemilihan Penyedia Barang/Jasa Lainnya dilakukan dengan: a. Pelelangan
Umum, b. Pelelangan Terbatas (untuk pemilihan penyedia barang saja), c.
Pelelangan Sederhana, d. Penunjukan Langsung, e. Pengadaan Langsung;
f. Kontes (untuk pemilihan Penyedia Barang), g. Sayembara (untuk
pemilihan Penyedia Jasa Lainnya) Kontes/Sayembara dilakukan khusus
untuk pemilihan Penyedia Barang/Jasa Lainnya yang merupakan hasil
Industri Kreatif, inovatif, dan budaya dalam negeri.

UPN "VETERAN" JAKARTA


38

2. Pemilihan Penyediaan Pekerjaan Konstruksi dilakukan dengan: a.


Pelalangan Umum b. Pelelangan Terbatas c. Pemilihan Langsung d.
Penunjukan Langsung e. Pengadaan Langsung

Pengertian dan metode pemilihan Penyedia Barang/Jasa diatas adalah


sebagai berikut:
1. Pelelangan Umum, yaitu metode pemilihan penyedia barang/jasa
konstruksi/jasa lainnya untuk semua pekerjaan yang dapat di ikuti oleh
semua Penyedia Barang/Pekerjaan Kostruksi/Jasa Lainnya yang
memenuhi syarat.
2. Pelelangan Sederhana, yaitu metode pemilihan Penyediaan Barang/Jasa
Lainnya untuk pekerjaan paling tinggi Rp. 5.000.000.000 (lima miliar
rupiah).
3. Pelelangan Terbatas, yaitu metode pemilihan Pekerja konstruksi untuk
Pekerjaan Konstruksi dengan jumlah penyedia mampu melaksanakan
diyakini terbatas dan untuk pekerjaan yang kompleks. Pekerjaan yang
kompleks adalah pekerjaan yang memerlukan teknologi tinggi,
mempunyai risiko tinggi, menggunakan peralatan yang di desain khusus
dan/atau pekerjaan yang bernilai diatas Rp. 100.000.000.000,- (seratus
miliar rupiah).
4. Pemilihan Langsung, adalah metode pemilihan penyedia pekerjaan
konstruksi untuk pekerjaan yang paling tinggi Rp. 5.000.000.000 (lima
miliar rupiah).
5. Penunjukkan Langsung, adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa
dengan cara menunjuk langsung 1 (satu) penyedia barang/jasa, paket
pengadaan barang/pekerjaan konstruksi jasa lainnya yang bernilai paling
tinggi Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
6. Pengadaan Langsung, yaitu Pengadaan Barang/Jasa langsung kepada
Penyedia Barang/Jasa tanpa melalui Pelelengan/Seleksi/Penunjukan
Langsung dan dapat dilakukan terhadap Pengadaan Barang/Pekerjaan

UPN "VETERAN" JAKARTA


39

Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi yaitu Rp. 200.000.000


(dua ratus juta rupiah).
7. Kontes/Sayembara, sayembara adalah metode pemilihan Penyedia Jasa
yang memperlombakan gagasan orisinial, kreatifitas dan inovasi tertentu
yang harga/biayanya tidak dapat ditetapkan berdasarkan harga satuan.

Kontes adalah metode pemilihan Penyedia Barang yang memperlombakan


barang/benda tertentu yang tidak mempunyai harga pasar dan harga /biaya tidak
dapat ditetapkan berdasarkan harga satuan. Jasa Konsultansi dilakukan melalui
cara Seleksi Umum, Seleksi Sederhana, Penunjukan Langsung, Pengadaan
Langsung, Sayembara. Pengertian dari metode pemilihan Penyedia Jasa
Konsultansi diatas adalah sebagai berikut:
1. Seleksi Umum, merupakan metode pemilihan penyediaan jasa
konsultansi untuk pekerjaan yang dapat diikuti oleh semua Penyedia
Jasa Konsultansi yang memenuhi persyaratan.
2. Seleksi Sederhana, adalah metode pemilihan penyedia jasa
konsultansi untuk jasa konsultansi yang bernilai paling tinggi Rp.
200.000.000,-(dua ratus juta rupiah).
3. Penunjukan Langsung, untuk paket pengadaan Jasa Konsultansi yang
bernilai paling tinggi Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah).
4. Pengadaan Langsung, dilakukan terhadap Pengadaan Jasa Konsultansi
yang memiliki karakteristik merupakan kebutuhan operasional
K/L/D/I dan atau bernilai paling tinggi Rp. 50.000.000,-
5. Sayembara, dilakukan terhadap Pengadaan Jasa Konsultansi yang
memiliki karakteristik merupakan proses dan hasil gagasan,
kreatifitas, inovasi dan metode pelaksanaan tertentu, tidak dapat
ditetapkan berdasarkan Harga Satuan.

Persyaratan administratif bagi Penyedia Jasa Konsultansi yang akan


mengikuti Sayembara ditetapkan uleh ULP/Pejabat Pengadaan yang dapat lebih
mudah daripada Persyaratan Penyedia Barang/Jasa secara umum. Persyaratan dan
metode evaluasi teknis ditetapkan oleh ULP/Pejabat Pengadaan setelah

UPN "VETERAN" JAKARTA


40

mendapatkan masukkan dari tim yang ahli di bidangnya, sedangkan pelaksanaan


evaluasi dilakukan oleh tim yang ahli di bidangnya.
Keadaan tertentu yang tercantum dalam pasal 38 ayat 4 Perpres No. 70
Tahun 2012 yaitu:
1. Penanganan darurat yang tidak direncanakan sebelumnya dan waktu
penyelesaian pekerjaan harus segera/tidak dapat ditunda untuk pertahanan
Negara, keamanan dan ketertiban masyarakat, keselamatan/perlindungan
masyarakat yang pelaksanaan pekerjaannya tidak dapat ditunda/harus
dilakukan segera, termasuk akibat bencana alam.
2. Pekerjaan penyelenggaraan penyiapan konferensi yang mendadak untuk
menindaklanjuti komitmen internasional dan dihadiri oleh Presiden/Wakil
Presiden.
3. Kegiatan yang menyangkut pertahanan Negara yang ditetapkan oleh
Menteri Pertahanan serta kegiatan yang menyangkut keamanan dan
ketertiban masyarakat yang ditetapkan oleh kepala kepolisian Negara
Republik Indonesia.
4. Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa lainnya yang spesifik dan hanya dapat
dilaksanakan oleh 1 (satu) Penyedia Barang/Jasa Lainnya karena 1 (satu)
pabrikan, 1 (satu) pemegang hak paten, atau pihak yang telah
mendapatkan izin dari pemegang hak paten atau pihak yang menjadi
pemenang pelelangan untuk mendapatkan izin dari pemerintah.

Pada Perpres No. 70 Tahun 2012 ditambahkan mengenai keadaan tertentu


ditambahkan satu kriteria lagi yaitu untuk kegiatan yang bersifat rahasia, untuk
kepentingan intelejen dan/atau perlindungan saksi sesuai dengan tugas yang
ditetapkan dalam peraturan perundang- undangan.
Kriteria barang khusus/pekerjaan konstruksi khusus/jasa lainnya yang
bersifat khusus yang memungkinkan dilakukan penunjukan langsung meliputi:
1. Barang/Jasa lainnya berdasarkan tarif resmi yang ditetapkan pemerintah.
2. Pekerjaan konstruksi bangunan yang merupakan satu kesatuan sistem
konstruksi dan satu kesatuan tanggung jawab atas risiko kegagalan

UPN "VETERAN" JAKARTA


41

bangunan yang secara keseluruhan tidak dapat


direncanakan/diperhitungkan sebelumnya (unforeseen condition).
3. Barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya bersifat kompleks yang hanya
dapat dilaksanakan dengan penggunaan teknologi khusus dan hanya ada 1
(satu) penyedia yang mampu.
4. Pekerjaan pengadaan dan distribusi bahan obat obat dan alat kesehatan
habis pakai dalam rangka menjamin ketersediaan obat untuk pelaksanaan
peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat yang jenis dan harganya
telah ditetapkan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang
kesehatan.
5. Pengadaan kendaraan bermotor dengan harga khusus untuk pemerintah
yang telah dipublikasikan secara luas kepada masyarakat.
6. Sewa penginapan/hotel/ruang rapat yang tarifnya terbuka dan dapat
diakses oleh masyarakat.
7. Lanjutan sewa gedung/kantor dan lanjutan sewa ruang terbuka atau
tertutup lainnya dengan ketentuan dan tata cara pembayaran serta
penyesuaian harga yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pada Perpres No. 70 Tahun 2012 ketentuan mengenai barang


khusus/pekerjaan konstruksi khusus/jasa lainnya yang bersifat khusus yang
memungkinkan dilakukan penunjukan langsung ditambahkan satu kriteria lagi
yaitu pekerjaan pengadaan Prasarana, Sarana dan Utilitas Umum (PSU) di
lingkungan perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang
dilaksanakan oleh pengembang/developer yang bersangkutan.

II.3.3. Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Sistem Pengadaan Barang/Jasa


Berdasarkan Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Barang dan Jasa dalam proses Pengadaan Barang/Jasa terdapat banyak pihak yang
terlibat di dalamnya terdiri dari proses perencanaan, persiapan hingga pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa, antara lain:

UPN "VETERAN" JAKARTA


42

1. Kementrian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi, yang


selanjutnya disebut K/L/D/I adalah instansi-institusi yang menggunakan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
2. Pengguna Barang/Jasa adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan
barang dan/atau jasa milik Negara/Daerah di masing- masing K/L/D/I.
3. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya
disebut LKPP adalah lembaga Pemerintah yang bertugas mengembangkan
dan merumuskan kebijakan Pengadaan Barang/Jasa sebagai mana
dimaksud adalah Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Presiden No. 106 Tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
4. Pengguna Anggaran yang selanjutnya desebut PA adalah Pejabat
pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementrian/Lembaga/
Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Pejabat yang disamakan pada Institusi
Pengguna APBN/APBD.
5. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut KPA adalah pejabat
yang ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk menggunakan APBD.
6. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut PPK adalah pejabat
yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.
7. Unit Layanan Pengadaan yang selanjutnya disebut ULP adalah unit
organisasi Kementrian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi yang
berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa yang bersifat permanen,
dapat berdiri sendri atau melekat pada unit yang sudah ada.
8. Pejabat Pengadaan adalah personil yang ditunjuk untuk melaksanakan
Pengadaan Langsung.
9. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan adalah panitia/pejabat yang
ditetapkan oleh PA/KPA yang bertugas memeriksa dan menerima hasil
pekerjaan.
10. Aparat Pengawas Interen Pemerintah atau pengawas interen pada institusi
lain yang selanjutnya disebut APIP adalah aparat yang melakukan

UPN "VETERAN" JAKARTA


43

pengawasan melalui audit, review, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan


pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi

II.4. Kerugian Keuangan Negara


II.4.1. Pengertian Kerugian Keuangan Negara
Menurut Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang
Badan Pemeriksa Keuangan (“Undang-Undang BPK”): “Kerugian Negara/Daerah
adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti
jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.”
Dari rumusan menurut Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006
tentang Badan Pemeriksaan Keuangan tersebut dapat diperoleh unsur penting
yang terkandung di dalamnya yaitu:
1. Kekurangan: uang, surat berharga, dan barang;
2. Yang nyata dan pasti jumlahnya;
3. Sebagai akibat perbuatan hukum baik sengaja maupun lalai

Suatu kerugian negara dapat terjadi karena bencana alam, krisis moneter,
kebakaran, kebijakan pemerintah karena adanya discretionary dari jabatan tertentu
atau lalai. Pasal 1 Angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (“Undang-Undang Perbendaharaan Negara”): pengeritan
kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang,
yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik
sengaja maupun lalai. Selanjutnya Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“Undang-
Undang 31/1999”):
“Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan
negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan
hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.”

Dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Perbendaharaan


Negara dikatakan bahwa kerugian negara dapat terjadi karena pelanggaran hukum
atau kelalaian pejabat negara atau pegawainegeri bukan bendahara dalam rangka

UPN "VETERAN" JAKARTA


44

pelaksanaan kewenangan administratif atau oleh bendahara dalam rangka


pelaksanaan kewenangan kebendaharaan. Penyelesaian kerugian negara perlu
segera dilakukan untuk mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau
berkurang serta meningkatkan disiplin dan tanggung jawab para pegawai
negeri/pejabat negara pada umumnya, dan para pengelola keuangan pada
khususnya.
Berdasarkan Undang-Undang BPK dan Keppres No. 103 Tahun 2001
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata
Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen yang menilai/menetapkan ada
tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (“BPK”)
dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (“BPKP”). Adapun
perhitungan kerugian negara sendiri bersifat kasuistis, atau dilihat kasus per kasus.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel tersebut.
Kerugian negara sering diartikan sama dengan kerugian keuangan negara.
Padahal wilayah pengaturan kerugian negara dengan kerugian keuangan negara
berbeda. Sesuai dengan yang tertera pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 yang dimaksud dengan keuangan negara adalah: “Semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa
uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.” Dari pasal tersebut Makawimbang
merumuskan kerugian keuangan negara menjadi rumusan sebagai berikut:74
1. Hilang atau berkurangnya hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, akibat perbuatan sengaja melawan hukum dalam bentuk:
a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan
uang, dan melakukan pinjaman;
b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas laayanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pajak ketiga;
c. Penerimaan negara dan pengeluaran negara;
d. Penerimaan daerah dan pengeluaran daerah
74
Hernold Ferry Makawimbang, Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana
Korupsi Suatu Pendekatan Hukum Progresif, (Yogyakarta, Thafa Media, Yogyakarta, 2014), hlm
12

UPN "VETERAN" JAKARTA


45

e. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh


pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak
lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;
2. Hilang atau berkurangnya sesuatu baik berupa uang maupun berupa
barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan
hak dan kewajiban akibat perbuatan sengaja melawan hukum dalam
bentuk:
a. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
b. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas
yang diberikan pemerintah.

Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999


tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“Undang-Undang 31/1999”):
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

Kata dapat sebelum frasa merugikan keuangan negara atau perekonomian


negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu
adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan
pidana yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Oleh karena itu,
unsur kerugian negara harus dibuktikan dan dapat dihitung, meskipun
sebagaiperkiraan atau meskipun belum terjadi. Dengan demikian, maka
pembuktian atas kerugian tersebut harus ditentukan oleh seorang ahli di
bidangnya.

II.4.2. Tahap-Tahap Perhitungan Kerugian Negara


Proses terkait dengan kerugian keuangan negara terbagi ke dalam 4 tahap
yaitu:

UPN "VETERAN" JAKARTA


46

1. Menentukan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara.


Pada tahap ini, penyelidik, penyidik, dan kemudian penuntut umum
merumuskan perbuatan melawan hukumnya berdasarkan fakta hukumnya.
Hasil akhir dari tahap ini adalah menentukan apakah ada kerugian
keuangan negara.
2. Menghitung kerugian keuangan negara
Pada tahap ini, pihak yang bertanggung jawab menghitung kerugian
keuangan negara adalah akuntan/auditor/akuntan forensik. Di Undang-
Undang, pihak yang menghitung kerugian keuangan negara disebut
sebagai Ahli, seperti yang diatur dalam: KUHAP pasal 1 angka 28:Ahli
adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan. Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan pasal 11 huruf c : Ahli adalah BPK (bukan pribadi,
anggota, karyawan, auditor)
3. Menetapkan kerugian keuangan negara
Dalam tindak pidana korupsi, tahap ketiga merupakan putusan majelis
hakim, baik di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah
Agung.
4. Menetapkan besarnya pembayaran uang pengganti
Pembayaran uang pengganti merupakan salah pidana tambahan dalam
Undang-Undang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam
pasal 18 ayat 1 poin ketiga “pembayaran uang pengganti yang jumlahnya
sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi metode perhitungan kerugian negara tidak dapat ditetapkan
secara baku untuk dijadikan pedoman/acuan dalam menghitung kerugian
negara.

Hal ini dikarenakan modus operandi, kasus-kasus penyimpangan dan


bentuk kerugian negara dapat bermacam-macam. Dalam pelaksanaan
pemeriksaan, pemeriksa dapat memilih metode yang dianggap paling tepat.

UPN "VETERAN" JAKARTA


47

Tuanakotta75 membagi konsep atau metode penghitungan kerugian keuangan


negara menjadi enam konsep atau metode, yaitu:
1. Kerugian Total (Total Loss)
Metode ini menghitung kerugian keuangan negara dengan cara
seluruh jumlah yang dibayarkan dinyatakan sebagai kerugian keuangan
negara. Metode penghitungan kerugian negara kerugian total juga
diterapkan dalam penerimaan negara yang tidak disetorkan, baik sebagian
maupun seluruhnya. Bagian yang tidak disetorkan merupakan kerugian
total.
2. Kerugian Total dengan Penyesuaian
Metode kerugian total dengan penyesuaian seperti dalam metode
Kerugian Total, hanya saja dengan penyesuaian ke atas. Penyesuaian
diperlukan apabila barang yang dibeli harus dimusnahkan dan
pemusnahannya memakan biaya. Kerugian keuangan negara tidak hanya
berupa pengeluaran untuk pengadaan barang tersebut, tetapi juga biaya
yang diperlukan maupun dikeluarkan untuk memusnahkan barang
tersebut.
3. KerugianBersih (Net Loss)
Dalam metode kerugian bersih, metode nya sama dengan metode
kerugian total. Hanya saja dengan penyesuaian ke bawah. Kerugian bersih
adalah kerugian total dikurangi dengan nilai bersih barang yang dianggap
masih ada nilainya. Nilai bersih merupakan selisih yang bisa diperoleh
dikurangi salvaging cost.
4. Harga wajar
Pada metode penghitungan kerugian keuangan negara ini, harga
wajar menjadi pembanding untuk harga realisasi. Kerugian keuangan
negara dimana transaksinya tidak wajar berupa selisih antara harga wajar
dengan harga realisasi. Metode penghitungan kerugian keuangan negara
harga wajar digunakan dalam kasus pengadaan barang maupun transaksi

75
Theodorus. M. Tuanakotta, Menghitung KerugianKeuangan Negara dalam Tindak
Pidana Korupsi. (Jakarta, Salemba Empat: 2009), hlm.: 144

UPN "VETERAN" JAKARTA


48

pelepasan dan pemanfaatan barang. Dalam menghitung harga wajar


sederhana, akan tetapi penerapannya tidak selalu mudah. Hal ini
dikarenakan sulitnya menentukan harga wajar. Hukum Amerika Serikat
menggunakan arm’s length transaction untuk menentukan harga wajar.
Arm‟s length transaction merupakan kesepakatan atau kontrak antara dua
pihak seolah-olah mereka tidak saling mengenal. Apabila kriteria arm‟s
length transaction tidak terpenuhi maka harga yang terjadi bukan
merupakan harga wajar. Terminologi apple to apple comparison biasanya
digunakan untuk menguji kewajaran harga dalam pengadaan barang,
khususnya barang bergerak. Yang dimaksud dengan metode perbandingan
apple to apple comparison adalah membandingkan dua obyek yang bukan
hanya jenisnya harus sama tetapi unsur-unsur yang membentuk obyek
tersebut juga harus sama.
Adapun unsur-unsur yang harus diperhatikan pada saat melakukan
perbandingan harga barang antara lain adalah sebagai berikut: a.
spesifikasi suatu barang; b. biaya pengangkutan; c. asuransi; d. pajak; e.
biaya pemasangan; f. biaya pengujian barang; g. keuntungan rekanan.
Selain penghitungan berdasarkan pendekatan apple to apple comparison,
ada dua jenis harga pembanding lain, yaitu
a. Harga Pokok
Penghitungan berdasarkan harga pokok sering dikritik. Hal
ini dikarenakan harga pokok tidak sama dengan harga jual. Harga
pokok seharusnya disesuaikan ke atas atau ke bawah untuk dapat
mencerminka harga jual.
b. Harga Perkiraan Sendiri
Dalam pengadaan barang, lembaga yang melaksanakan
proses tender memiliki kewajiban dan diharuskan untuk menyusun
Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Harga perkiraan sendiri dihitung
dengan pengetahuan dan keahlian mengenai barang ataupun jasa
yang ditenderkan dan harus berdasarkan data yang dapat
dipertanggungjawabkan. Akan tetapi, penggunaan harga perkiraan

UPN "VETERAN" JAKARTA


49

sendiri juga memiliki kelemahan. Karena transaksi yang terjadi


bukanlah arm’s length transaction, sehingga harga perkiraan
sendiri sudah dimainkan.
Dalam menentukan harga wajar, penggunaan harga
pembanding yang dihitung atau ditaksir oleh seorang ahli juga
sering dipertanyakan. Yang dimaksud dengan ahli dalam hal ini
adalah penilai (appraiser). Seorang penilai sangatlah tepat untuk
menilai gedung, pabrik, mobil, atau alat berat. Penilai bisa orang
yang berspesialisasi atau berpengalaman dalam aset tertentu. Nilai
yang diajukan oleh beberapa penilai biasanya lebih dapat diterima
oleh pengadilan disbanding dengan yang diajukan oleh hanya
seorang penilai.
5. Biaya Kesempatan (Opportunity Cost)
Dalam metode biaya kesempatan, apabila ada kesempatan atau
peluang untuk memperoleh yang terbaik, akan tetapi justru peluang ini
yang dikorbankan, maka pengorbanan ini merupakan kerugian, dalam arti
opportunity cost.
6. Bunga (Interest)
Bunga merupakan unsur kerugian negara yang penting, terutama
pada transaksi-transaksi keuangan yang seperti dalam penempatan aset.
Para pelaku transaksi ini umumnya paham dengan konsep nilai waktu dari
uang. Bunga perlu dimasukkan dalam penghitungan kerugian keuangan
negara. Dalam sengketa perdata, kerugian bunga dihitung berdasarkan
jangka waktu (periode) dan tingkat bunga yang berlaku. Menghitung
kerugian keuangan negara dapat menggunakan berbagai macam metode.
Dalam melakukan penghitungan kerugian keuangan negara, dapat juga
digunakan dua metode atau lebih sekaligus, tergantung pada kompleksitas
pekerjaan dan jenis kontraknya. Dalam pelaksanaannya penerapan atas
metode penghitungan kerugian keuangan negara sering kali tidak
konsisten, meskipun secara umum penyimpangannya tidak jauh berbeda.
Tidak tertlihat adanya suatu pola penghitungan yang bisa digunakan

UPN "VETERAN" JAKARTA


50

sebagai pedoman atau acuan dalam menghitung kerugian keuangan


negara.
Sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 Badan
Pemeriksaan Keuangan (BPK) merupakan satu lembaga negara yang
bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara BPK sebagai lembaga negara memiliki tugas untuk
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang
dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara
lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan
Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang
mengelola keuangan negara. Hal ini sesuai dengan Pasal 6 Undang-
Undang No.15 Tahun 2006. Dalam melakukan pemeriksaan, pemeriksaan
yang dilakukan oleh BPK mencakup:
1. Pemeriksaan Keuangan (Financial Audit)
Pemeriksaan Keuangan (Financial Audit) yaitu pemeriksaan atas
laporan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang
bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai apakah laporan
keuangan telah disajikan secara wajar.
2. Pemeriksaan Kinerja (Performance Audit)
Merupakan pemeriksaan secara obyektif dan sistemik terhadap
berbagai macam bukti untuk dapat melakukan penilaian secara
independen atas kinerja entitas/program kegiatan yang diperiksa.
3. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu
Merupakan pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus di luar
pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja.

Pemeriksaan keuangan dilaksanakan oleh BPK berdasarkan pada Standar


Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). BPK harus mengacu kepada SPKN
dalam pemeriksaan keuangan. Standar Pemeriksaan Keuangan Negara dibuat agar
BPK dapat melaksanakan tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
Keuangan Negara secara efektif. Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN)

UPN "VETERAN" JAKARTA


51

memuat persyaratan professional pemeriksa, mutu pelaksanaan pemeriksaan dan


persyaratan laporan pemeriksaan yang professional bagi para pemeriksa dan
organisasi pemeriksa dalam melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan
tanggung jawab Keuangan Negara.
Tahap yang dilalukan BPK dalam melaksanakan pemeriksaan yaitu : 1.
Perencanaan pemeriksaan 2. Penyelenggaraan pemeriksaan 3. Pelaksanaan 4.
Pelaporan hasil pemeriksaan 5. Penyampaian laporan hasil pemeriksaan.
Pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan BPK sangatlah penting untuk
dilakukan untuk dapat mendeteksi kemungkinan kecurangan (fraud) yang
mungkin dapat terjadi. Kecurangan yag dapat terjadi tersebut dapat menimbulkan
kerugian keuangan negara. Oleh karena itu sebagai lembaga negara BPK juga
berwenang serta bertugas untuk menetapkan kerugian negara. Hal ini sesuai
dengan Pasal 10 Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa:
1. BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang
diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai
yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan
lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan
keuangan negara.
2. Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang
berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
Adapun berdasarkan pasal tersebut maka dapat diperoleh bahwa manfaat
dari penghitungan kerugian keuangan negara adalah agar negara dapat mengetahui
jumlah pasti seberapa banyak negara dirugikan. Setelah mengetahui jumlah pasti
nya maka negara dapat meminta pelaku untuk membayar ganti rugi kepada negara
sejumlah kerugian yang diakibatkan oleh pelaku. Selain dapat memperoleh
jumlahpasti kerugian negara, penetapan jumlah kerugian negara juga dapat
mencegah serta memberantas kasus kasus kecurangan yang dapat terjadi pada
negara. Karena dengan pelaku harus mengganti rugi kepada negara sejumlah
kerugian yang telah ditetapkan oleh BPK maka pelaku kecurangan kedapannya
akan berpikir dua kali untuk melakukan kecurangan dan merugikan negara.

UPN "VETERAN" JAKARTA


52

II.4.3. Pengaturan Mengenai Dapat Merugikan Keuangan Negara


Lubis dan Scott dalam pandangannya tentang korupsi disebutkan bahwa
dalam arti hukum, korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan kepentingan
diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh para pejabat pemerintah yang
langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku tersebut, sedangkan
menurut norma-norma pemerintah dapat dianggap korupsi apabila hukum
dilanggar atau tidak dalam tindakan tersebut adalah tercela76. Kerugian keuangan
negara dalam tindak pidana korupsi dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal
3 Undang-Undang Tipikor, dengan rumusan “Setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara...”.
Adapun unsur-unsur tindak pidana korupsi tentang kerugian keuangan
negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (1), yaitu Perbuatan
memperkaya maksudnya berbuat apapun dengan maksud kekayaan menjadi
bertambah, seperti mengambil, memindah bukukan, mendepositokan dengan
mengambil bunga dan lain-lain77, perbuatannya dilakukan “secara melawan
hukum”, melawan hukum disini diartikan baik secara formil maupun materiil,
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Kata dapat ini
menunjukkan bahwa delik dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tipikor,
merupakan delik formil artinya delik sudah dianggap selesai apabila telah
terpenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan tanpa adanya akibat.
Ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor merumuskan, “Setiap orang
yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara.....”, dengan unsur-unsur tindak pidana korupsi yang
dapat merugikan negara keuangan negara atau perekonomian negara. Dengan
adanya kata “dapat” sebelum kata-kata merugikan keuangan negara atau

76
I.G.M. Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi “Perspektif
Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010), hlm.16.
77
Marwan Effendy, Kejaksaan R.I. Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum,
(Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005), hlm. 81

UPN "VETERAN" JAKARTA


53

perekonomian negara, menunjukkan bahwa kerugian keuangan negara atau


perekonomian negara bukanlah merupakan hal yang essentialia artinya kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara tidak merupakan unsur yang mutlak,
sehingga tidak perlu dibuktikan secara objektif.
Unsur melawan hukum tidak hanya melawan hukum peraturan
perundang-undangan melainkan juga apabila perbuatan tersebut tidak sesuai
dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat,
maka perbuatan itu dapat dipidana78. Dakwaan penuntut umum terhadap tindak
pidana korupsi tentang kerugian keuangan negara yang dilakukan terdakwa agar
dapat terbukti maka penuntut umum harus membuktikan dakwaannya dengan
minimal dua alat bukti. Sebaliknya terdakwa atau penasihat hukumnya akan
berusaha untuk menyatakan dan membuktikan bahwa terdakwa tidak terbukti
bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum79.
Kebijakan Jaksa Penuntut Umum dengan tidak menggunakan pasal-pasal
tentang kerugian negara yang diatur oleh peraturan perundang-undangan dibidang
hukum administrasi negara, disebabkan bahwa sanksi pidana mengenai kerugian
negara hanya dapat dilaksanakan secara mutlak dari dalil-dalil Pasal 2 dan Pasal 3
Undang-Undang Tipikor. Penuntut Umum dalam pelaksanaan pembuktian
perkara korupsi, membuktikan unsur subyek dan perbuatan dengan menggunakan
Pasal 2 dan
Pasal 3 Undang-Undang Tipikor, unsur “dapat” merugikan keuangan
negara walaupun sebagai suatu akibat dari perbutan yang dilarang, merupakan
delik formil dan delik materiil sebagai filosofis pemberantasan tindak pidana
korupsi dalam Undang-Undang Tipikor, yang harus diyakinkan oleh Jaksa
Penuntut Umum untuk membentuk keyakinan hakim agar tidak menjatuhkan
putusan bebas.

78
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang No.31
Tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001, (Bandung, Alfabeta, 2008), hlm.
298
79
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik dan
Masalahnya, Cet.II, (Bandung, PT. Alumni, Bandung, 2011), hlm.213

UPN "VETERAN" JAKARTA


54

II.4. Keuangan Publik


Keuangan publik (public finance) memiliki keterkaitan dengan aspek
publik secara umum dan aspek publik secara khusus yang memiliki keterkaitan
dengan negara. Di beberapa negara pemaknaan keuangan publik secara sempit
sebagai keuangan negara atau lebih sempit sebagai anggaran negara.80
Menurut Soepomo kata publik tidaklah memiliki keterkaitan hanya
dengan negar, tetapi pada segala pertanggungjawaban yang bersifat publik. Akan
tetapi, publik mempunyai karakteristik negara menguasai benda tersebut sebagai
suatu sifat mengatur, dan bukan memiliki. Dengan demikian, apabila dikaitkan
dengan keuangan publik berarti keuangan yang dikuasai negara, tetapi dimiliki
tidak harus negara, tetapi dapat badan hukum perdata atau publik.81
David N. Hymann menyebutkan istilah keuangan publik (public finance)
sebagai, “the field economics that studies government activities and alternative
means of financing government expenditures”. Ini berarti keuanagan publik
mempunyai relevansi dengan anggaran negara dibandingkan sebagai keuangan
publik secara menyeluruh. Keuangan publik hakikatnya bertujuan untuk
menganalisis peranan keuangan negara (pemerintah) melalui anggran negara dan
menggunakan alokasi dana dan manfaat yang digunakan pemerintah untuk
mencapai tujuan negaranya.82
Keuangan publik hakikatnya menunjuk pada dua hal yaitu sektor
keuangan yang digunakan untuk kepentingan pemangku kepentingan
(stakeholder) dalam lingkungan kuasanya. Atau keuangan yang ditunjukkan pada
fungsi penyelenggaraan pemerintahan umum dan pelayanan umum dan pelayanan
pyblik. Bagi negara berkembang, keberadaan keuangan publik sama halnya

80
Donald P. Moynihan Citizen Participation in Budgeting: Prospects for Developing
Countries, Andwar Shah (ed.), from Participatory Budgeting (Washington D.C: The World Bank,
2007), hlm. 55. Dalam Dian Puji N. Simatupang. Paradoks Rasionalitas Perluasan Ruang
Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintahlm.
(Jakarta: badan Penerbit FHUI, 2011). hlm. 210.
81
E. Utrecht dan Saleh Djindang, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, cet.
9, (Jakarta: PT Ichtiar Baru, 1990), hlm. 197
82
David N. Hyman. Public Finance: A Contemporary Application of Theory to Policy
(Mason: South-Western, 2008), hlm. 29. Dalam Dian Puji N. Simatupang. Paradoks Rasionalitas
Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja Keuangan
Pemerintahlm. (Jakarta: badan Penerbit FHUI, 2011). hlm. 213.

UPN "VETERAN" JAKARTA


55

dengan administrasi publik merupakan keharusan sebagaimana dikemukakan


Irving Swerdlow yang mengemukakan, “the importance of adequate publik
administrastion for economic growth was quickly recognized and emphasized.”83
Berdasarkan pendapat Swerdlow dan Zoller sebenarnya dapat ditarik
suatu garis penghubung keuangan publik memiliki relevansi erat dengan
administrasi publik dan hukum publik. Relevansi terletak pada dua hal, yaitu 1)
keuangan publik dijalankan oleh administrasi publik, sehingga keuangan publik
dapat dimaknai sebagai himpunan peraturan-pertauran tertantu yang menjadi
sebab negara melakukan kegiatan pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan publik 2) hukum keuangan publik termasuk kedalam ranah hukum
publik karena mengatur perhubungan hukum (rechtbetrekking) yang melahirkan
kekuasaan/weenang (bevoegheid).84
Dalam perkembangan hukum dewasa ini, keuangan publik tidak hanya
dimaksudkan pada fungsi negara untuk melaksanakan dan menyelenggrakan
kehendak-kehendak serta keputusan pemerintah secara nyata dan
menyelenggarakan undang-undang yang ditetapkan pemerintah dalam sektor
keuangan, tetapi juga meluas pada kegiatan yang teratur dan terus menerus
melayani kebutuhan dan kepentingan umum yang menciptakan dan memperoleh
pendapatan. Pengertian keuangan terakhir inilah yang menyebabkan keuangan
publik dimaknai sebagai suatu bangunan arsitektur yang terdiri dari keuangan
negara, keuangan daerah, keuangan badan hukum, dan keuangan subjek hukum
pribadi, yang masing-masing karakter hukum (rechtkarakter) dan status hukum
(rechtsstatues) yang berbeda yaitu semakin bersifat publik, akan semakin luas
wewenang (autority, gezag) negara, sedangkan semakin privat akan semakin
mengecil wewenang negara.85

83
Irving Swedlow, The Public Administration of Economic Development (New York:
Praeger Publisher, 1975), hlm. 235. Dalam Dian Puji N. Simatupang. Paradoks Rasionalitas
Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja Keuangan
Pemerintahlm. (Jakarta: badan Penerbit FHUI, 2011). hlm. 214.
84
Utrecht, Op.cit, hlm. 7
85
Dian Puji N. Simatupang. Paradoks Rasionalitas Perluasan Ruang Lingkup Keuangan
Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintahlm. (Jakarta: badan Penerbit
FHUI, 2011). hlm. 215.

UPN "VETERAN" JAKARTA


56

II.6. Keuangan Negara dan Kerugian Negara dalam Lingkup Korupsi


Perumusan mengenai keuangan negara dalam penjelasan Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan keuangan
negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun,
yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian
kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:86
a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban
pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun di daerah;
b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban
Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan,
badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau
perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan
perjanjian dengan Negara.”

“Kekayaan negara yang dipisahkan” dalam Badan Usaha Milik Negara


(BUMN) secara fisik adalah berbentuk saham yang dipegang oleh negara, bukan
harta kekayaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu. Seseorang baru dapat
dikenakan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang bila seseorang dengan
sengaja menggelapkan surat berharga dengan jalan menjual saham tersebut secara
melawan hukum yang disimpannya karena jabatannya atau membiarkan saham
tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam
melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).87
Pasal 2 menyatakan Keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 angka 1, meliputi, antara lain kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola
sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta
hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan
pada perusahaan negara/perusahaan daerah. Saya berpendapat bahwa kekayaan
86
Erman Rajagukguk, Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Negara, (Jakarta,
hlm.3.
87
Ibid., hlm. 4

UPN "VETERAN" JAKARTA


57

yang dipisahkan tersebut dalam BUMN dalam lahirnya adalah berbentuk saham
yang dimiliki oleh negara, bukan harta kekayaan BUMN tersebut.
Kerancuan mulai terjadi dalam penjelasan dalam Undang-undang ini
tentang pengertian dan ruang lingkup keuangan negara yang menyatakan
:“Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari
sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan
Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan
pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa
uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud
dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas
yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah
daerah, Perusahaan Negara/Daerah, san badan lain yang ada kaitannya dengan
keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkain
kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas
mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan
pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh
kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan
dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan negara. Bidang pengelolaan Keuangan Negara
yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal,
sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara
yang dipisahkan.”
Pasal 56 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
menyatakan bahwa dalam waktu lima bulan setelah tahun buku perseroan ditutup,
Direksi menyusun laporan tahunan untuk diajukan kepada RUPS, yang memuat
sekurang-kurangnya, antara lain perhitungan tahunan yang terdiri dari neraca
akhir tahun buku yang baru lampau dan perhitungan laba/rugi dari buku tahunan
yang bersangkutan serta penjelasan atas dokumen tersebut. Dengan demikian
kerugian yang diderita dalam satu transaksi tidak berarti kerugian perseroan

UPN "VETERAN" JAKARTA


58

terbatas tersebut, karena ada transaksi-transaksi lain yang menguntungkan.


Andaikata ada kerugian juga belum tentu secara otomatis menjadi kerugian
perseroan terbatas, karena mungkin ada laba yang belum dibagi pada tahun yang
lampau atau ditutup dari dana cadangan perusahaan. Dengan demikian tidak
benar kerugian dari satu transaksi menjadi kerugian atau otomatis menjadi
kerugian negara. Namun beberapa sidang pengadilan tindak pidana korupsi telah
menuntut terdakwa karena terjadinya kerugian dari satu atau dua transaksi.88
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi No. 31 Tahun
1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, yang berbunyi:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tidak Pidana Korupsi itu bertentangan


dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 (Perubahan Keempat) yang berbunyi :
“Negara Indonesia adalah negara hukum”. Berdasarkan alasan-alasan sebagai
berikut :
a. Para penyusun Rancangan Undang-Undang atau perancang undang-
undang memiliki kewajiban mematuhi prinsip Rule of Law. Sebagai
bagian dari kewajiban itu, mereka harus memastikan agar kerangka
rancangan mereka ada kejelasan, ketelitian, dan konsistensi. Tanpa
kejelasan dan ketelitian, undang-undang tidak dapat diprediksi.
Prinsip Negara Hukum menuntut agar sebanyak mungkin orang
mengetahui tentang apa yang diperintahkan kepada mereka
berdasarkan undang-undang, hal-hal apa yang diberikan kepada
mereka berdasarkan undang-undang, dan perilaku apa yang mereka
harapkan dari pejabat. Adanya kejelasan dan ketelitian dalam

88
Ibid., hlm. 5.

UPN "VETERAN" JAKARTA


59

RUndang-Undang itu sendiri menempatkan tugas penyusun


RUndang-Undang sebagai dasar dari pemerintahan yang bersih dan
pembangunan.
b. Kewajiban penyusun RUndang-Undang yang jelas dan teliti berasal
juga dari tuntutan pemerintahan demokrasi yang berupaya
mengadakan reformasi; untuk menggunakan hukum yang mengubah
perilaku-perilaku bermasalah dan dalam pengambilan keputusan
secara tidak sepihak. Kedua hal tersebut menuntut agar menggunakan
hukum dalam mendorong perilaku-perilaku yang menjadi sasaran
dari peraturan perundang-undangan – baik warga masyarakat maupun
para pejabat. Dalam pembangunan tugas utama hukum yaitu
mengatur perilaku-perilaku, baik perilaku peran utama maupun dari
para pejabat dalam lembaga-lembaga pelaksanaan (Penegak Hukum).
c. Demokrasi menuntut kejelasan dan ketelitian dari para perancang
undangundang. Pada prinsipnya, melalui peraturan perundang-
undangan yang dibuat oleh badan pembuat undang-undang yang
dipilih secara demokratis, Rakyat menentukan perilaku penguasa.
Prinsip Negara Hukum akan runtuh apabila para pejabat yang
menjadi sasarannya para hakim dan penegak hukum lainnya tidak
mematuhi hukum. Tanpa itu demokrasi berada dalam posisi yang
sangat lemah. Para perancang undang-undang wajib memastikan agar
RUndang-Undang mereka mendorong perilaku-perilaku pejabat yang
diinginkan, karena sesuai dengan prinsip Negara Hukum (Rule of
Law), yaitu pemerintahan harus berdasarkan hukum, sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 : “Negara Indonesia
adalah negara hukum”.
d. Untuk memastikan bahwa prediksi dapat dibuat, guna mendorong
adanya perilaku yang sesuai dengan pemerintahan yang bersih, dan
memastikan bahwa khususnya para pejabat pemerintah mematuhi
ketentuan-ketentuan dalam undang-undang, serta para pihak yang
dituju undang-undang memiliki akses yang mudah terhadap isi dari

UPN "VETERAN" JAKARTA


60

undang-undang yang bersangkutan. Sebagai syarat pertama dari


kemudahan untuk memperoleh akses, kerangka undang-undang
pengungkapan dari strukturnya secara keseluruhan, perincian tentang
siapa melakukan apa, serta kejelasan, ketelitian dan konsistensi
kalimat-kalimat dalam undang-undang sehingga memberikan
kepastian bagi para pihak yang dituju tentang kewajiban-kewajiban
mereka menurut hukum. Untuk memastikan bahwa prediksi dapat
dibuat, dan memastikan agar undang-undang sesungguhnya
mendorong perilaku-perilaku yang diinginkan baik untuk mencapai
pembangunan maupun pengambilan keputusan tidak secara sepihak,
dan untuk melindungi pengendalian demokratis terhadap pemerintah,
maka para penyusun RUndang-Undang harus mampu menghasilkan
undang-undang yang terperinci, teliti, jelas dan dapat diakses.
e. Pasal 2 ayat (1) yang memuat kalimat : “... yang dapat merugikan
keuangan Negara ...”, menggunakan kata-kata yang samar-samar.
Bagaimana hukum harus ditetapkan atau hukuman dijatuhkan
berdasarkan suatu peristiwa yang belum terjadi, belum tentu terjadi
atau mungkin tidak terjadi. Kata-kata “... yang dapat merugikan
keuangan Negara ...”, pada prakteknya kata-kata ini dapat berarti apa
saja sesuai dengan pilihan pembacanya. Bagaimana besar akibatnya
bagi tersangka yang dijatuhi hukuman berdasarkan kata-kata di atas,
tetapi ternyata kemudian kerugian Negara itu tidak terjadi. Ketika
sebuah kasus dibawa ke pengadilan, hal tersebut secara implisit
memberikan wewenang kepada hakim untuk merumuskan peraturan-
peraturan terperinci yang diperlukan. Ketidakpastian kata-kata
demikian tentu saja tidak diinginkan. Membuat RUndang-Undang
yang samar-samar adalah tidak baik, sebuah istilah yang samar-samar
memberikan kewenangan kepada setiap pejabat yang melaksanakan
undang-undang tersebut, secara tanpa batas. Hal ini dapat
menimbulkan apa yang disebut “Judicial Dictatorship” yang tentu
saja bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 : “Negara

UPN "VETERAN" JAKARTA


61

Indonesia adalah Negara hukum”.

Mahkamah Konstitusi memutuskan dalam yudicial review Pasal 2 ayat (1)


Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, bahwa penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi. Isi penjelasan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 adalah :
“Yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini
mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam
arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut
dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
normanorma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut
dapat dipidana”

Setidaknya ada tiga syarat, agar hukum dapat berperanan mendorong


jalannya perekonomian bangsa, yaitu hukum harus dapat menciptakan
“predictability”, “stability” dan “fairness”. Pertama, undang-undang dan
pelaksanaannya harus bisa menciptakan “predictability” atau kepastian. Beberapa
undang-undang dan peraturan pelaksanaannya ditafsirkan menurut siapa yang
membacanya telah mendatangkan ketidakpastian bahkan kekhawatiran bagi
pelaku ekonomi. Kedua, undang-undang sebagai salah satu sumber hukum harus
bisa menciptakan “stability” (stabilitas), yaitu dapat mengakomodir
kepentingankepentingan yang saling bersaing di masyarakat, antara lain, yaitu
kepentingan untuk memberantas korupsi dan kepentingan untuk mendapat
kepastian hukum. Ketiga, undang-undang sebagai salah satu sumber hukum harus
bisa menciptakan “fairness” (keadilan). Beberapa undang-undang dan peraturan
pelaksanaannya serta penerapannya tidak mendatangkan keadilan.

UPN "VETERAN" JAKARTA

Anda mungkin juga menyukai