TINJAUAN PUSTAKA
27
Badudu J.S dan Zain, Sutan Mohammad, Kamus Umum Bahasa, (Jakarta,Pustaka Sinar
Harapan. 1996), hlm. 1487
28
Lukman Ali, dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka., 1995), hlm
1044
29
Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta,
Modern English Perss, 2002), hlm. 1598
30
Made Wena. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer, (Jakarta, Bumi Aksara,
2009), hlm. 189
31
Solichin Abdul Wahab, Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara, (Jakarta, Rineka
Cipta. 1990), hlm. 45
15
32
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, cet. ke-8, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006), hlm. 40
33
ibid, hlm. 41
34
Soerjono Soekanto, Teori Yang Murni Tentang Hukum, (Bandung, PT. Alumni, 1985),
hlm. 40
35
R. Soeroso, loc. cit.
peraturan hukum itu dapat dipaksakan artinya bahwa hukum mempunyai sanksi,
berupa ancaman dengan hukuman terhadap si pelanggar atau merupakan ganti-
rugi bagi yang menderita.36
Dari kedua definisi tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hukum
berkaitan dengan sanksi. Hal ini dapat dipahami karena pada dasarnya hukum itu
memiliki sifat mengatur dan memaksa. Didalam sifat hukum yang mengatur,
terdapat larangan-larangan.Apabila suatu larangan tersebut dilanggar, maka dapat
menimbulkan sanksi. Sanksi hukum ini bersifat memaksa, hal ini berarti bahwa
tertib itu akan bereaksi terhadap peristiwa-peristiwa tertentu karena dianggap
merugikan masyarakat sebagai akibat dari adanya pelanggaran tersebut. Dengan
cara memaksa, maka suatu penderitaan dikenakan terhadap seseorang dengan
paksa walaupun yang bersangkutan tidak menghendakinya.
Menurut Black’s Law Dictionary, sanction (sanksi) adalah “a penalty or
coercive measure that results from failure to comply with a law, rule, or order (a
sanction for discovery abuse)” atau sebuah hukuman atau tindakan memaksa yang
dihasilkan dari kegagalan untuk mematuhi undang-undang.37 Sedangkan
pengertian sanksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan tanggungan
(tindakan atau hukuman) untuk memaksa orang menepati perjanjian atau menaati
ketentuan undang-undang (anggaran dasar, perkumpulan, dan sebagainya);
tindakan (mengenai perekonomian) sebagai hukuman kepada suatu
negara;Hukum, a imbalan negatif, berupa pembebanan atau penderitaan yang
ditentukan dalam hukum; b imbalan positif, yang berupa hadiah atau anugerah
yang ditentukan dalam hukum.38
Berbagai tipe ideal dapat dirumuskan atas dasar cara-cara perilaku
manusia dilaksanakan berdasarkan perintah atau larangan. Suatu tertib sosial
mungkin memerintahkan agar manusia melakukan perbuatan tertentu, tanpa
memberikan akibat tertentu apabila perintah itu ditaati atau dilanggar. Suatu tertib
36
R. Soeroso, op. cit., hlm. 27
37
Samsul Ramli dan Fahrurrazi, Bacaan Wajib Swakelola Pengadaan Barang/Jasa,
Visimedia (Jakarta, Pustaka, 2014), hlm. 191.
38
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
(Jakarta, Pustaka, 1995), hlm. 1265
sosial dapat pula memerintahkan agar suatu perbuatan dilakukan sekaligus dengan
imbalan atau hukumannya. Imbalan dan hukuman merupakan sanksi-sanksi,
namun lazimnya hanya hukuman yang disebut sebagai sanksi.
Menurut Hans Kelsen, sanksi didefinisikan sebagai reaksi koersif
masyarakat atas tingkah laku manusia (fakta sosial) yang mengganggu
masyarakat. Setiap sistem norma dalam pandangan Hans Kelsen selalu bersandar
pada sanksi. Esensi dari hukum adalah organisasi dari kekuatan, dan hukum
bersandar pada sistem paksaan yang dirancang untuk menjaga tingkah laku sosial
tertentu. Dalam kondisi-kondisi tertentu digunakan kekuatan untuk menjaga
hukum dan ada sebuah organ dari komunitas yang melaksanakan hal tersebut.
Setiap norma dapat dikatakan “legal” apabila dilekati sanksi, walaupun norma itu
harus dilihat berhubungan dengan norma yang lainnya.39
41
Samsul Ramli dan Fahrurrazi, loc. cit.
42
Samsul Ramli dan Fahrurrazi, op. cit., hlm. 193.
Perbedaan antara sanksi administrasi dan sanksi pidana dapat dilihat dari
tujuan pengenaan sanksi itu sendiri. Sanksi administrasi ditujukan kepada
perbuatan pelanggarannya, sedangkan sanksi pidana ditujukan kepada si
pelanggar dengan memberi hukuman berupa nestapa. Sanksi administrasi
dimaksudkan agar perbuatan pelanggaran itu dihentikan. Sifat sanksi adalah
reparatoir artinya memulihkan pada keadaan semula. Di samping itu perbedaan
antara sanksi pidana dan sanksi administrasi ialah tindakan penegakan hukumnya.
Sanksi adminitrasi diterapkan oleh pejabat tata usaha negara tanpa harus melalui
prosedur peradilan, sedangkan sanksi pidana hanya dapat dijatuhkan oleh hakim
pidana melalui proses pengadilan.44
43
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta, PT. RajaGrafindo, 2006), hlm. 315.
44
Philipus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, cet. ke-X,
(Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2008), hlm. 247.
45
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung, PT. Citra Aditya
Bakti, 2003), hlm. 13.
49
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm.33
50
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung, Refika
Aditama, 2003), hlm. 59
51
Lamintang P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar. Baru.
1984), hlm. 184
52
Djoko Prakoso, Djoko Prakoso, Hukum Penitensir Di Indonesia, (Bandung, Armico,
1988), hlm. 104
53
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta, Sinar Grafika, 2005),
hlm. 10
54
Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta:
Djambatan, 2002), hlm. 3-5
2. Unsur Subjektif, yaitu unsur yang terdapat dalam diri si pelaku (dader)
yang berupa:
a. Hal yang dapat dipertanggungjawabkannya seseorang terhadap
perbuatan yang telah dilakukan (kemampuan bertanggungjawab).
b. Kesalahan (schuld) seseorang dapat dikatakan mampu
bertanggungjawab apabila dalam diri orang itu memenuhi tiga syarat,
yaitu:
1). Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia
dapat mengerti akan nilai perbuatannya dan karena juga
mengerti akan nilai perbuatannya itu.
55
Rusli Effendy Asas-Asas Hukum Pidana, (Ujung Pandang, Lembaga Penerbitan.
Universitas Muslim Indonesia, 1989), hlm. 80
59
Andi Hamzah, Korupsi dalam Pengelolaan Proyek Pembangunan, Edisi 1, (Jakarta,
Akademik Pressindo, 1985), hlm. 143
60
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia: An English. Indonesian
Dictionary. (Jakarta: PT Gramedia, 2005), hlm. 149
61
Kramer ST A.I.N, Kamus Kantong Inggris Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru. Van
Hoeve , 1997), hlm. 62
62
Darwin Prinnst. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2002), hlm. 1
63
e Jur.Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 4-5
Kemudian arti kata korupsi yang telah diterima dalam pembendarahan kata
bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia: ”Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang,
penerimaan uang spgok dan sebagainya”64.
Dengan pengertian secara harfiah itu dapat ditarik suatu kesimpulan,
bahwa sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah sangat luas artinya. Seperti
yang disimpulkan dalam Encyclopedia Americana, korupsi itu suatu hal yang
buruk dengan berbagai macam ragam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat
dan bangsa. Dengan demikian, pendekatan yang dapat dilakukan terhadap
masalah korupsi bermacam ragam pula, dan artinya sesuai pula dari segi mana
kita mendekati masalah itu. Pendekatan sosiologis misalnya, seperti halnya yang
dilakukan oleh Syed Hussein Alatas dalam bukunya The Sociologi of corruption,
akan lain artinya kalau kita menggunakan pendekatan normatif, begitu pula
dengan politik ataupun ekonomi. Misalnya Alatas memasukkan nepotisme dalam
kelompok korupsi dalam klasifikasinya (memasang keluarga atau teman pada
posisi pemerintahan tanpa memenuhi persyaratan untuk itu), yang tentulah hal
seperti itu sukar dicari normanya dalam hukum pidana65.
J.S. Nye dalam artikelnya corruption and political Development; a cost
benefit analysis mendeskripsikan pelaku korupsi sebagai berikut: Pelaku korupsi
adalah perilaku yang menyimpang dari tugas yang normal dalam pemerintahan
karena pertimbangan pribadi (keluarga, sahabat pribadi dekat), kebutuhan uang
atau pencapaian status; atau melanggar peraturan dengan melakukan tindakan
yang memanfaatkan pengaruh pribadi. Tindakan ini termasuk perilaku penyuapan
(penggunaan hadiah untuk penyimpangan keputusan seseorang dalam posisi
mengemban amanah); nepotisme (menggunakan perlindungan oleh seseorang
yang punya hubungan darah atau keturunan dari pada berdasarkan kinerja); dan
64
Andi Hamzah, Korupsi Dalam Proyek Pembangunan, (Jakarta, Akademika Presindo;
1984), hlm. 10
65
Andi Hamzah, op.cit, hlm. 10
penyalahgunaan (penggunaan secara tidak sah sumber daya milik untuk manfaat
pribadi66.
Menurut Syeh Hussain Alatas67 makna korupsi dari sisi pandang sosioligis
adalah sebagai berikut: Terjadinya korupsi apabila seseorang pegawai negeri
menerima pemberian yang disodorkan oleh seseorang dengan maksud
mempengaruhi agar memberikan perhatian istimewa kepada kepentingan-
kepentingan si pemberi. Selanjutnya Alatas68 menambahkan bahwa: Yang
termasuk pula sebagai korupsi adalah pengangkatan sanak saudara, teman-teman
atau kelompok-kelompok politik pada jabatan-jabatan dalam kedinasan aparatur
pemerintahan tanpa memandang keahlian mereka, maupun konsekuensinya pada
kesejahteraan masyarakat yang dinamakan nepotisme, sehingga dapat diketahui
adanya empat jenis perbuatan yang tercakup dalam istilah korupsi, yakni
penyuapan, pemeresan, nepotisme dan penggelapan Pengertian korupsi dari sisi
pandang politik dapat dikemukakan oleh Theodore M. Smith dalam tulisannya
Corruption Tradition and Change Indonesia69, mengatakan sebagai berikut:
Secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai
masalah politik daripada masalah ekonomi ia menyentuh keabsahan
(legitimasi) pemerintah dimata generasi muda, kaum elite terdidik dan
pegawai pada umumnya...,
66
Hamid Basyaib, Penyebaran Korupsi Luar Biasa, dalam Jurnal Resonansi, Edisi
Khusus Akhir Tahun 2003, hlm. 23
67
Syed Husein Alatas, Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan Dengan Data (Jakarta,
Kontemporer, LP3ES, 1983), hlm. 11
68
Ibid, hlm. 11
69
Mubyarto, Ilmu ekonomi, Ilmu Sosial, dan Keadilan. (Jakarta, Yayasan
Argoekonomika, 1980), hlm. 60
70
Rahardjo, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. (Jakarta,
Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1998), hlm. 6
atau suatu badan. c. Yang secara langsung atau tidak langsung merugikan
keuangan negara dan perekonomian negara, atau diketahui atau patut
disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara.
Untuk menyusun dakwaan tidak perlu dimulai dengan melawan
hukum. Dalam hukum pidana sering delik itu dibagi dua yaitu perbuatan
dan pertanggungjawaban. Pada perumusan delik diatas perbuatan adalah
“memperkaya diri sendiri dan seterusnya” dan akibatnya adalah “kerugian
negara dan seterusnya”, disusul dengan “melawan hukum” yang dapat
diartikan dalam delik ini sebagai “tanpa hak untuk menikmati hasil
korupsi” tersebut selaras dengan putusan HR tanggal 30 Januari 1911,
yang mengartikan “melawan hukum” itu “tidak mempunyai hak untuk
menikmati keuntungan” itu dalam delik penipuan (Pasal 378 KUHP).
Kata-kata tidak mempunyai hak untuk menikmati hasil korupsi
sama dengan pengertian sehari-hari, artinya pada umumnya telah mengerti
maksud kata-kata itu. Para pakar berpendapat alas an peniadaan pidana
(strafuitslui tingsgrond) tidak perlu disinggung dalam dakwaan tidak
adanya alas an pemaaf itu. Dalam hukum pidana dikenal sebagai alasan
pemaaf.
Delik korupsi tercantum dalam pasal 1 ayat (1) sub b UUPTPK
yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
a. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau badan;
b. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan;
c. Yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara.71
2. Sudarto
Menjelaskan unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagai berikut.
71
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi edisi ke 2. (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 18
72
Ibid, hlm. 18
73
Ervianto Wulfram, Manajemen Proyek Konstruksi, (Yogyakarta, Andi, 2002), hlm. 85
Suatu kerugian negara dapat terjadi karena bencana alam, krisis moneter,
kebakaran, kebijakan pemerintah karena adanya discretionary dari jabatan tertentu
atau lalai. Pasal 1 Angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (“Undang-Undang Perbendaharaan Negara”): pengeritan
kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang,
yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik
sengaja maupun lalai. Selanjutnya Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“Undang-
Undang 31/1999”):
“Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan
negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan
hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.”
75
Theodorus. M. Tuanakotta, Menghitung KerugianKeuangan Negara dalam Tindak
Pidana Korupsi. (Jakarta, Salemba Empat: 2009), hlm.: 144
76
I.G.M. Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi “Perspektif
Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010), hlm.16.
77
Marwan Effendy, Kejaksaan R.I. Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum,
(Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005), hlm. 81
78
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang No.31
Tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001, (Bandung, Alfabeta, 2008), hlm.
298
79
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik dan
Masalahnya, Cet.II, (Bandung, PT. Alumni, Bandung, 2011), hlm.213
80
Donald P. Moynihan Citizen Participation in Budgeting: Prospects for Developing
Countries, Andwar Shah (ed.), from Participatory Budgeting (Washington D.C: The World Bank,
2007), hlm. 55. Dalam Dian Puji N. Simatupang. Paradoks Rasionalitas Perluasan Ruang
Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintahlm.
(Jakarta: badan Penerbit FHUI, 2011). hlm. 210.
81
E. Utrecht dan Saleh Djindang, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, cet.
9, (Jakarta: PT Ichtiar Baru, 1990), hlm. 197
82
David N. Hyman. Public Finance: A Contemporary Application of Theory to Policy
(Mason: South-Western, 2008), hlm. 29. Dalam Dian Puji N. Simatupang. Paradoks Rasionalitas
Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja Keuangan
Pemerintahlm. (Jakarta: badan Penerbit FHUI, 2011). hlm. 213.
83
Irving Swedlow, The Public Administration of Economic Development (New York:
Praeger Publisher, 1975), hlm. 235. Dalam Dian Puji N. Simatupang. Paradoks Rasionalitas
Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja Keuangan
Pemerintahlm. (Jakarta: badan Penerbit FHUI, 2011). hlm. 214.
84
Utrecht, Op.cit, hlm. 7
85
Dian Puji N. Simatupang. Paradoks Rasionalitas Perluasan Ruang Lingkup Keuangan
Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintahlm. (Jakarta: badan Penerbit
FHUI, 2011). hlm. 215.
yang dipisahkan tersebut dalam BUMN dalam lahirnya adalah berbentuk saham
yang dimiliki oleh negara, bukan harta kekayaan BUMN tersebut.
Kerancuan mulai terjadi dalam penjelasan dalam Undang-undang ini
tentang pengertian dan ruang lingkup keuangan negara yang menyatakan
:“Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari
sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan
Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan
pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa
uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud
dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas
yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah
daerah, Perusahaan Negara/Daerah, san badan lain yang ada kaitannya dengan
keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkain
kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas
mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan
pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh
kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan
dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan negara. Bidang pengelolaan Keuangan Negara
yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal,
sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara
yang dipisahkan.”
Pasal 56 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
menyatakan bahwa dalam waktu lima bulan setelah tahun buku perseroan ditutup,
Direksi menyusun laporan tahunan untuk diajukan kepada RUPS, yang memuat
sekurang-kurangnya, antara lain perhitungan tahunan yang terdiri dari neraca
akhir tahun buku yang baru lampau dan perhitungan laba/rugi dari buku tahunan
yang bersangkutan serta penjelasan atas dokumen tersebut. Dengan demikian
kerugian yang diderita dalam satu transaksi tidak berarti kerugian perseroan
88
Ibid., hlm. 5.