Anda di halaman 1dari 15

1.

1 Mekanisme Terjadinya Gas-Gas Rumah Kaca, Pemanasan Global dan Perubahan


Iklim.
Rumah kaca adalah suatu bangunan yang didesain sedemikian sehingga menyerupai
rumah yang dinding, alas, dan atapnya terbuat dari kaca. Dengan adanya rumah kaca
ini, diharapkan udara panas bisa terperangkap di dalamnya agar saat musim dingin tiba,
para petani bisa tetap bercocok tanam. Lalu, apa hubungan antara rumah kaca dan efek
rumah kaca? Pada prinsipnya, efek rumah kaca ini memiliki kesamaan dengan rumah
kaca, yaitu terperangkapnya radiasi sinar matahari di atmosfer bumi. Gas di atmosfer
bumi yang mampu menahan cahaya matahari disebut sebagai gas rumah kaca. Salah
satu contoh gas rumah kaca adalah CO2 (karbondioksida). Tanpa adanya efek rumah
kaca ini, suhu Bumi hanya -18oC, sehingga seluruh permukaan bumi akan tertutup oleh
es. 

Sebenarnya, efek rumah kaca adalah fenomena yang memberikan banyak manfaat bagi
kelangsungan hidup di bumi. Permasalahannya, jika konsentrasi gas rumah kaca di
udara semakin banyak, maka semakin banyak panas yang terperangkap di bumi. Hal itu
menyebabkan suhu bumi semakin meningkat setiap tahunnya. Jika dibiarkan terus
menerus, banyak populasi makhluk hidup yang akan musnah.

Atmosfer bumi terdiri dari empat lapisan. Adapun urutan lapisan paling bawah sampai
paling atas berturut-turut adalah troposfer, stratosfer, mesosfer, dan termosfer. Saat
matahari memancarkan radiasinya, berlaku keadaan berikut:
1. 35% dari radiasi tersebut tidak sampai di permukaan Bumi. Untuk radiasi gelombang
pendek, seperti alfa, beta, dan gamma, akan habis terserap di tiga lapisan teratas
(termosfer, mesosfer, dan stratosfer) dan sisanya dipantulkan kembali ke luar
angkasa.
2. 65% sisanya masuk ke lapisan troposfer dengan penjabaran sebagai berikut:
a. 14% diserap oleh uap air, debu, dan molekul gas.
b. 51% sampai ke permukaan Bumi dengan ketentuan sebagai berikut.
- 37% merupakan radiasi langsung.
- 14% merupakan radiasi difus yang sudah terhambur di lapisan troposfer oleh
molekul gas maupun partikel debu.
- Radiasi yang sampai ke Bumi ini, sebagian akan diserap dan sisanya
dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi sinar inframerah.
3. Sinar inframerah hasil pantulan tersebut nantinya akan diserap oleh gas rumah kaca,
seperti uap air, CO2, CH4, dan O3. Nah, sinar inframerah yang terperangkap di dalam
gas rumah kaca inilah yang menyebabkan naiknya suhu permukaan Bumi.
Fenomena ini disebut sebagai efek rumah kaca.
Gambar 1. Mekanisme terjadinya efek rumah kaca

4. Meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca diakibatkan berbagai aktivitas


manusia yang memicu pancaran gas tersebut ke atmosfir. Dengan adanya pancaran
gas ini, maka konsentrasinya di lapisan atmosfir bumi akan semakin tinggi. Kondisi ini
akan mengakibatkan sinar matahari yang dipantulkan oleh permukaan bumi akan
sulit lewat dan menjadi terperangkap di permukaan bumi. Pengaruh masing-masing
gas rumah kaca terhadap terjadinya efek rumah kaca bergantung pada besarnya
kadar gas rumah kaca di atmosfer, waktu tinggal di atmosfer dan kemampuan
penyerapan energi . Peningkatan kadar gas rumah kaca akan meningkatkan efek
rumah kaca yang dapat menyebabkan terjadinya pemanasan global. Adapun gas-gas
yang terdapat dalam rumah kaca antara lain adalah:
a. CO2 (Karbon Dioksida) CO2 adalah gas rumah kaca terpenting penyebab
pemanasan global yang sedang ditimbun di atmosfer karena kegiatan manusia.
b. H2O (Uap Air) Uap air merupakan penyumbang terbesar bagi efek rumah
kaca
c. CH4 (Metana) Metana dihasilkan ketika jenisjenis mikroorganisme tertentu
menguraikan bahan organik pada kondisi tanpa udara (anaerob) .
d. CFC (Chloro Flouro Carbon) Chlorofluorocarbon adalah sekelompok gas
buatan. CFC mempunyai sifat tidak mudah terbakar dan tidak beracun.
e. O3 (Ozon) Ozon terdapat secara alami di atmosfer (troposfer, stratosfer).

Pemanasan global akibat adanya meningkatnya gas-gas rumah kaca yang menyebabkan
efek rumah kaca yang berlebihan pada atmosfer bumi diyakini merupakan salah satu
penyebab terjadinya perubahan iklim global secara ekstrem ini. Meningkatnya kadar gas
rumah kaca pada atmosfer yang merupakan mesin pengendali alami iklim di Bumi dapat
mengganggu mekanismenya.

Meningkatnya suhu permukaan bumi akan mengakibatkan adanya perubahan iklim yang
sangat ekstrim di bumi. Hal ini dapat mengakibatkan terganggunya hutan dan ekosistem
lainnya sehingga mengurangi kemampuannya untuk menyerap karbondioksida di atmosfir.
Pemanasan global mengakibatkan mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub yang
dapat menyebabkan naiknya permukaan air laut. Efek rumah kaca juga akan mengakibatkan
meningkatnya suhu air laut sehingga air laut mengembang dan terjadi kenaikan permukaan
laut yang mengakibatkan negara yang berupa kepulauan akan mendapat pengaruh yang
sangat besar.

1.2 Perubahan Lingkungan yang Diakibatkan Perubahan Iklim


Dampak perubahan iklim yang terjadi adalah perubahan pola curah hujan, kenaikan
temperature, kenaikan muka air laut, dan kejadian iklim ekstrim. Dampak perubahan
iklim tersebut, lebih lanjut akan memberikan bahaya yang mengancam keberlanjutan
kehidupan manusia. Berbagai kajian ilmiah memperlihatkan bahwa pemanasan global
telah memicu perubahan iklim global yang dapaknya telah mulai dirasakan, seperti
kenaikan temperature permukaan bumi, kenaikan muka air laut, dan memicu
peningkatan frekuensi kejadian cuaca dan iklim ekstrim yang berdampak kepada
peningkatan kejadian berbagai bencana hidrometeorologis (banjir, kekeringan,
badai,dan sebagainya.

Kenaikan suhu bumi tidak hanya berdampak pada naiknya temperatur bumi tetapi juga
mengubah system iklim yang mempengaruhi berbagai aspek pada perubahan alam dan
kehidupan manusia seperti :
1. Menurunnya kualitas dan berkurangnya kuantitas air
Tingginya curah hujan akan mengakibatkan menurunnya kualitas sumber air,
sementara kenaikan suhu juga mengakibatkan kadar klorin pada air bersih.
Pemanasan global akan meningkatkan jumlah air pada atmosfer kemudian
meningkatkan curah hujan. Meski kenaikan curah hujan dapat meningkatkan jumlah
air bersih namun curah hujan yang terlalu tinggi mengakibatkan tingginya
kemungkinan air untuk langsung kembali ke laut tanpa tersimpan dalam sumber air
bersih untuk digunakan manusia.
2. Perubahan habitat
Pemanasan suhu bumi, kenaikan batas air, terjadinya banjir dan badai karena
perubahan iklim akan membawa perubahan besar pada habitat sebagai rumah alami
bagi berbagai spesies binatang, tanaman dan berbagai organisme lain. Perubahan
habitat akan menyebabkan punahnya berbagai spesies baik binatang maupun
tanaman seperti pohon-pohon besar di hutan yang menjadi penyerap utama
karbondioksida. Hal ini terjadi karena mereka tidak sempat beradaptasi terhadap
suhu dan perubahan alam yang terjadi terlalu cepat. Punahnya berbagai spesies ini
akan berdampak lebih besar pada ekosistem dan antai makanan.
3. Menurunnya kualitas dan kuantitas hutan
Kebakaran hutan merupakan salah satu dampak perubahan iklim, sebagai paru-patu
bumi hutan merupakan produsen oksigen. Selain itu, hutan juga membantu
menyerap gas rumah kaca yang menjadi penyebab terjadinya pemanasan global.
Pohon-pohon yang mati karena mongering dengan sendirinya akibat meningkatnya
suhu dalam perubahan iklim akan melepaskan karbondioksida sehingga kadarnya
akan meningkat drastic.
4. Lahan pertanian menjadi berkurang
Suhu yang terlalu panas, berkurangnya ketersediaan air dan bencana alam yang
disebabkan perubahan iklim dapat merusak lahan pertanian sehingga dapat
menghambat produktivitas pertanian. Perubahan iklim menyebabkan perubahan
masa tanam dan panen ataupun menyebabkan munculnya hama dan wabah
penyakit pada tanaman yang sebelumnya tidak ada.
5. Tenggelamnya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Peningkatan permukaan air laut menyebabkan bergesernya batas daratan di daerah
pesisir yang kemudian menenggelamkan Sebagian daerah pesisir ataupun
pemukiman di daerah pesisir. Kenaikan suhu bumi menyebabkan mencairnya es
pada dataran kutub-kutub bumi, kemudian menyebabkan peningkatan permukaan
air laut yang menenggelamkan pulau-pulau kecil.

1.3 Mekanisme Perubahan Iklim hingga Berdampak kepada Masalah Gangguan


Kesehatan dan Penyakit.
Kondisi iklim sangat berpengaruh terhadap penyakit yang ditularkan melalui air dan
penyakit yang ditransmisikan melalui serangga, siput, dan hewan berdarah dingin
lainnya. Perubahan iklim memungkinan untuk memperpanjang musim penularan
dari penyakit-penyakit yang ditularkan melalui vektor dan mengubah jangkauan
geografisnya (World Health Organization 2011).

Iklim dapat memengaruhi ekosistem, habitat binatang penular penyakit, bahkan tumbuh
kembangnya koloni kuman secara alamiah. Dengan demikian, secara langsung
maupun tidak langsung dapat mempengaruhi timbulnya suatu penyakit. Timbulnya
demam berdarah, malaria sering dikaitkan dengan kelembapan dan curah hujan. Oleh
karena itu, kewaspadaan dini ditingkatkan menjelang musim hujan. Disamping itu
adanya peningkatan suhu global mengakibatkan perubahan pola transmisi beberapa
parasite dan penyakit baik yang ditularkan langsung maupun ditularkan oleh serangga.
Sebagai contoh penyebaran nyamuk penular demam dengue, malaria dan yellow Fever
akan lebih ke utara dalam peta bumi seiring dengan meningkatnya suhu di daerah utara.
Iklim dan perubahan cuaca juga berpengaruh keberhasilan sitem reproduksi
(perkembangbiakan) vector-vektor penyebar penyakit dan terjadi perubahan pada masa
inkubasi virus di dalam tubuh nyamuk. Contoh: suhu lingkungan yang lebih hangat akan
menyebabkan lebih cepatnya pengaktifan virus dengue di dalam tubuh nyamuk.

Dengan kata lain, iklim dan kejadian penyakit memiliki hubungan yang amat erat,
terutama terjadinya berbagai penyakit menular, iklim dapat dijadikan predictor kejadian
berbagai penyakit menular yang seyogianya dapat dijadikan petunjuk untuk melakukan
manajemen kesehatan, khususnya manajemen penyakit berbasis wilayah.

Hubungan antara iklim dengan kejadian penyakit bisa terjadi secara langsung maupun
tidak langsung. Efek langsung pemanasan gobal pada kesehatan manusia misalnya
adalah stress akibat kepanasan (heat stress) yang banyak menimpa bayi, orang lanjut
usia, dan buruh-buruh yang melakukan pekerjaan berat secara fisik. Selain itu kenaikan
temperature lingkungan juga memperparah dampak polusi udara terutama terhadap
individu dan penyakit-penyakit kronik seperti jantung (akan meningkatkan resiko
kematian), asma, dan penyakit saluran pernasfasan lainnya.

Efek dari perubahan iklim dapat dibedakan antara perubahan langsung dan tidak
langsung. Ketika beberapa efek dapat dengan mudah dilihat seperti meningkatnya
kematian karena meningkatnya frekuensi dan keparahan dari gelombang panas
sementara yang lainnya sangat tergantung, seperti pola distribusi dari populasi
nyamuk atau produksi makanan di suatu wilayah lebih sulit untuk diprediksi (Dobler
& Jendritzky 2001). Akibat tidak langsung bisa terjadi karena perubahan pola
penyakit yang dampaknya baru bisa dilihat dalam beberapa waktu (Ebi et al. dikutip
Zaluchu 2009). Efek lain yang sangat bervariasi dan tidak jelas bagi kesehatan
dapat datang dari explusion atau migrasi penduduk.

Di antara sebagian besar dari pembawa yang penting dari pathogen adalah insekta
(nyamuk, kutu, lalat, dan lain-lain), arachnida (kutu) dan rodents (tikus dan tikus).
Spesies hewan tersebut dikarakteristikkan dengan fakta bahwa mereka dapat
beradaptasi lebih cepat pada perubahan kondisi lingkungan daripada grup
organisme lainnya. Insekta sangat bergantung pada kondisi lingkungan untuk
perkembangannya. Mereka memerlukan air untuk meletakkan telur dan
perkembangan larva, aktivitasnya tergantung pada suhu, serangga bersayap sering
terdistribusi lebih jauh oleh pergerakan udara (di dalam dan antar benua) (Dobler &
Jendritzky 2001).
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa perubahan iklim dapat mempengaruhi
insiden dari penyakit yang ditularkan vektor melalui efeknya pada empat
karakteristik dasar dari host dan populasi vektor yang berhubungan dengan
penularan pathogen ke manusia. Empat hal tersebut adalah distribusi geografis,
kepadatan populasi, prevalensi infeksi oleh pathogen , dan beban pathogen pada
host dan vektor (Mills et al. 2010). Perubahan suhu dan kelembaban sebagai pola
yang berhubungan dengan perubahan iklim akan berdampak lebih jauh pada
kesehatan dengan berubahnya ekologi dari bermacam penyakit yang ditularkan
melalui vektor seperti malaria, dengue, chikungunya, Japanese encephalitis, Kala
Azar, dan filariasis (Bhattacharya et al. ; Dhiman et al. dikutip di Bush et al 2011).

Gambar 2. Efek perubahan iklim secara langsung dan tidak langsung

1.4 Dampak Langsung dan Tidak Langsung Kesehatan Akibat Perubahan Iklim.
Dalam laporan Bank Dunia (2010) yang berjudul "Natural Hazards, Unnatural Disasters"
disebutkan bahwa bencana alam akibat iklim ini terjadi di hampir semua belahan dunia,
bahkan cukup mengejutkan di Asia hampir 80% kejadian bencana alam dipengaruhi
oleh iklim. Pemanasan global yang menjadi isu internasional ternyata membawa
konsekuensi yang sangat serius antara lain munculnya kejadian hujan ekstrim,
variabilitas curah hujan (dan perubahan iklim yang sedang berlangsung saat ini. Akibat
perubahan iklim inilah timbul berbagai gejala seperti ketidakpastian musim hujan dan
kemarau, meningkatnya frekuensi hujan dan inten-sitasnya, meningkatnya frekuensi dan
meluasnya kejadian bencana alam terutama yang berkaitan dengan aspek
hidrometeorologis
1. Dampak langsung kesehatan akibat perubahan iklim
Walaupun efek perubahan iklim dan konsekuensi pemanasan global tidak dimengerti
secara pasti, beberapa efek langsung terhadap pajanan peningkatan temperatur
dapat diukur, seperti peningkatan kejadian penyakit yang berhubungan dengan
kenaikan temperatur, peningkatan angka kematian karena gelombang udara panas
seperti yang terjadi di Perancis tahun 2003. Kondisi iklim yang tidak stabil dapat juga
menyebabkan peningkatan kejadian bencana alam, seperti badai, angin siklon puting
beliung, kekeringan, dan kebakaran hutan, yang berdampak terhadap kesehatan fisik
dan mental masyarakat yang terserang.
Dampak perubahan iklim terhadap kesehatan masyarakat kejadiannya sangat
bervariasi dan berbeda di setiap daerah. Namun secara umum berbagai gangguan
atau penyakit yang dapat muncul adalah sebagai berikut.
a. Infeksi saluran pernafasan dan alergi saluran pernafasan. Alergi pada saluran
pernafasan dan penyakit infeksi saluran pernafasan kemungkinan akan
meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah dan waktu paparan penduduk
terhadap debu (dari kekeringan), polusi udara, racun aerosol dari laut dan
peningkatan jumlah serbuk sari dari tanaman akibat perubahan pola
pertumbuhan.
b. Kanker Potensi bahaya lainnya yang bersifat langsung dari perubahan iklim
adalah peningkatan jumlah kejadian kanker, hal ini berhubungan dengan
peningkatan paparan bahan kimia beracun penyebab kanker yang berasal dari
penguapan berbagai bahan kima tersebut. Dalam kasus peningkatan curah hujan
atau banjir, kemungkinan terjadi peningkatan bahan kimia dalam proses mencuci
dan kontamisai air oleh logam berat. Efek langsung lainnya kejadian kanker
disebabkan karena penipisan stratosfer ozon yang akan mengakibatkan pe-
ningkatan durasi dan intensitas radiasi ultraviolet (UV), dan hal ini meningkatkan
risiko kanker kulit dan katarak.
c. Penyakit Kardiovaskular dan Stroke. Perubahan iklim dapat memperburuk
penyakit jantung yang sudah ada, hal ini disebabkan meningkatnya tekanan
panas, meningkatnya beban tubuh akibat peningkatan partikulat udara dan
perubahan distribusi vektor penyakit menular yang berhubungan dengan penyakit
kardiovaskuler. Berbagai penelitian telah membuktikan adanya hubungan antara
paparan gelombang panas, cuaca yang ekstrim dan perubahan kualitas udara
dengan peningkatan penyakit kardiovaskuler. Paparan suhu panas sering
memperberat penyakit stroke sedangkan paparan suhu dingin dapat
menyebabkan disritmia. Penurunan kualitas udara akibat perubahan konsentrasi
ozon dapat memperberat beban kerja jantung dan mengganggu perkukaran gas
dalam proses pernafasan, sedang-kan peningkatan jumlah partikulat diudara
sering dihubungkan dengan gangguan koagulasi, thrombosis dan infark
miokardium.
d. Pemanasan Global pada kesehatan manusia misalnya stres akibat kepanasan
yang banyak menimpa bayi, orang lanjut usia, dan buruh-buruh yang melakukan
pekerjaan berat secara fisik. Selain itu kenaikan temperatur lingkunganjuga akan
memperparah dampak polusi udara terutama di daerah perkotaan dan
meningkatkan kelembaban udara yang berpengaruh terhadap individu dengan
penyakit-penyakit kronik seperti seperti penyakit jantung (akan meningkatkan
resiko kematian) asma dan penyakit saluran pernafasan lainnya. Suhu tinggi yang
disertai kelembaban rendah me-nyebabkan mudahnya terjadi keku-rangan air
dalam tubuh (dehidrasi). Dehidrasi dapat menimbulkan berbagai gangguan fungsi
temporer sampai permanen, tergantung lamanya dehi-drasi terjadi, dampak
paling buruk dari paparan panas adalah kematian karena suhu terlalu panas (heat
stroke).

2. Dampak tidak langsung kesehatan akibat perubahan iklim


Pola iklim yang terganggu juga menyebabkan efek tidak langsung terhadap
kesehatan manusia. Efek terhadap pola hujan yang meningkatkan bencana banjir
dapat menyebabkan peningkatan kejadian penyakit perut karena efeknya pada
sumber air dan penyediaan air bersih, penyakit malaria, demam berdarah dengue,
chikungunya dan penyakit lainnya yang ditularkan melalui rodent seperti
leptospirosis. Efek tidak secara langsung ini menjadi sangat serius pada daerah di
dunia dengan penduduk miskin. Berbagai gangguan atau penyakit yang dapat
muncul antara lain adalah:
a. Diare, lebih banyak menyerang di musim kemarau. Di tengah kondisi cuaca
panas, sumber-sumber air akan menguap serta mengalir lebih lambat yang
menyebabkan konsentrasi kuman di air emningkat dan berpotensi menyebabkan
diare.
b. Malaria, dengan cuaca yang memanas maka mendorong perekmbangbiakan
nyamuk dan meningkatkan risiko penularan malaria.
c. Demam berdarah, penularannya akan semakin ganas saat cuaca panas. Virus
Dengue dapat mereplikasi DNA-nya di tubuh nyamuk lebih cepat pada saat cuaca
panas.Tubuh nyamuk Aedes aegepty di musim panas dapat mengandung virus
DB lebih tinggi dan meningkatkan risiko penularan.
d. Musim hujan mengakibatkan nelayan tidak melaut, maka anggota keluarga
nelayan seringkali menemukan binatang beracun terdampar di panta dan
dikonsumsi anak-anak yang tidak tahu akan bahaya binatang tersebut.
e. Stunting, adalagh suatu kondisi dimana seorang bayi atau anak mengalami
hambatan pertumbuhan yang menjadikannya lebih pendek dari rata0rata anak
normal. Penderita stunting umumnya mengalami kekurangan nutrisi penting
seperti lemak, karbohidrat dan protein.

1.5 Penyakit-Penyakit yang sangat Sensitive terhadap Perubahan Iklim di Indonesia.


Beberapa penyakit-penyakit yang sangat sensitif terhadap perubahan iklim adalah
sebagai berikut:
1. Vectorborne Diseases
Vector borne diseases memiliki kontribusi tertinggi dalam menyebabkan beban
penyakit pada masa global saat ini karena sangat peka dengan kondisi iklim. Kondisi
ini akan secara langsung mempengaruhi kehidupan nyamuk dan secara tidak
langsung juga terhadap kasus terjadinya vector borne diseases. Perubahan iklim
yang dapat mempengaruhi distribusi dan habitat nyamuk tersebut adalah temperatur
dan curah hujan. Perubahan iklim berpengaruh terhadap siklus hidup nyamuk dan
intensitas hisapan nyamuk. Hal ini karena nyamuk termasuk dalam ectothermic, yaitu
suhu tubuh tergantung dengan suhu lingkungan (temperatur ambien). Tahapan siklus
hidup yang rentan terhadap perubahan iklim adalah larva ke dewasa. Peningkatan
suhu akan mempercepat proses perkembangan larva nyamuk menjadi dewasa.
Perubahan iklim juga akan mempercepat nyamuk betina dewasa untuk mencerna
darah yang dihisap, sehingga intensitas penghisapan akan semakin tinggi.

Tabel 1. Pengaruh Variabel Iklim (Suhu, Kelembaban, dan Curah Hujan)


terhadap Vektor Penyakit

Pengaruh suhu terhadap • Rata rata suhu optimum untuk


perkembangan vektor (nyamuk) perkembangbiakan vektor berkisar antara 25-
27 °C, dan memerlukan rata-rata selama 12
hari.
• Pada suhu di atas suhu optimum (32-35 °C)
(Focks et al 1995 Koopman et.al 1991) siklus
hidup untuk Aedes menjadi lebih pendek (rata
– rata 7 hari), potensi frekuensi feedingnya
lebih sering, ukuran tubuh nyamuk menjadi
lebih kecil dari ukuran normal sehingga
pergerakan nyamuk menjadi lebih agresif.
Perubahan tersebut menimbulkan risiko
penularan menjadi 3 kali lipat lebih tinggi.
• Pada suhu ekstrem yaitu 10°C atau lebih dari
40°C perkembangan nyamuk akan terhenti
(mati).
• Toleransi terhadap suhu tergantung spesies
nyamuk.
Pengaruh suhu terhadap kuman • Berpengaruh pada pertumbuhan parasit/ kuman
dalam tubuh vector.
Suhu kritis terendah siklus sporogoni pada : -
Plasmodium vivax adalah 16°C
- Plasmodium falcifarum adalah 19°C
• Virus Dengue 17°C
Pengaruh kelembaban dan curah • Mempengaruhi umur nyamuk/vector.
hujan • Kelembaban < 60 % umur nyamuk pendek
(potensi sebagai vektor makin menurun).
• Curah hujan yang sedang tetapi waktu panjang
akan menambah breeding places sehingga
berisiko terhadap meningkatnya populasi vektor.
• Curah hujan tinggi dan terus menerus yang
mengakibatkan banjir akan menyebabkan
breeding places hanyut yang mengakibatkan
populasi nyamuk berkurang.
• Curah hujan yang tinggi yang mengakibatkan
banjir akan berpotensi terhadap frekuansi
keterpaparan terhadap kencing tikus yang
terinfeksi oleh bakteri.
Beberapa penyakit yang sensitive terhadap perubahan iklim yang ditularkan melalui
vector (Vectorborne Diseases) adalah:
a. Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam berdarah merupakan penyakit yang ditularkan oleh vektor nyamuk.
Perkembangan vektor penyakit dapat dipengaruhi terjadinya perubahan iklim
melalui berbagai cara 1) unsur cuaca mempengaruhi metabolisme, pertumbuhan,
perkembangan dan populasi nyamuk tersebut; 2) curah hujan dengan penyinaran
yang relatif panjang turut mempengaruhi habitat perindukan nyamuk.
b. Malaria
Malaria disebabkan parasit plasmodium yang disebarkan nyamuk anopheles.
Siklus hidup nyamuk dimana sebagian siklus hidupnya berada di bawah
permukaan air dan sebagian siklus hidupnya di darat, ternyata sangat sensitif
terhadap suhu.
c. Leptospirosis
Alur faktor risiko perubahan lingkungan terutama naiknya curah hujan yang
menyebabkan banjir, sehingga keterpaparan dengan bakteri Leptospira menjadi
lebih besar. Pada situasi banjir keterpaparan dengan air yang tercemar oleh air
kencing tikus yang terinfeksi bakteri Leptospira menjadi meningkat.
d. Limfatik Filariasis
Nyamuk yang berperan sebagai vektor Limfatik Filariasis adalah Aedes sp, Culex
sp, Anopheles sp, dan Mansonia sp. Perubahan iklim yang terjadi saat ini dapat
membuat kasus Limfatik Filariasis cukup tinggi karena nyamuk sebagai perantara
berasal dari 4 genus yang berbeda yaitu Aedes, Anopheles, Culex, dan Mansonia.

2. Waterborne Disease
Suhu yang lebih panas berpengaruh pada produksi makanan dan ketersediaan air.
Perubahan iklim mengakibatkan kekeringan serta banjir pada kondisi cuaca yang
panas dimana terjadi pencairan es di kutub utara sehingga mempengaruhi kualitas,
kuantitas, dan aksesibilitas air minum/air bersih. Virus dan bakteri berkembang pesat
dengan adanya global warming sehingga menyebabkan kejadian penyakit diare
meningkat.

3. Air Borne Disease


Perubahan iklim diperkirakan dapat berkontribusi terhadap masalah kualitas udara
(IPCC, 2007). Gangguan pernafasan mungkin memburuk oleh pemanasan yang
diakibatkan peningkatan pada frekuensi smog event (ozon tingkat -dasar) dan polusi
udara partikulat. Ground level ozon dapat merusak jaringan paru, dan sangat
berbahaya bagi penderita asma dan penyakit paru kronis. Sinar matahari dan suhu
tinggi, dikombinasikan dengan polutan lain seperti oksida nitrogen dan senyawa
organik yang mudah menguap, dapat menyebabkan ozon tingkat dasar meningkat.
Perubahan iklim dapat meningkatkan konsentrasi ozon tingkat dasar tetapi besarnya
pengaruh tidak pasti. Untuk polutan lain, dampak perubahan iklim dan / atau cuaca
kurang baik dipelajari dan hasil yang bervariasi menurut wilayah (IPCC, 2007).

4. Penyakit Tidak Menular


Menurunnya kualitas lingkungan akibat perubahan iklim menyebabkan tingginya
tingkat polusi lingkungan, mengakibatkan berbagai Penyakit Tidak Menular sebagai
berikut:
a. Kanker Kulit
Peningkatan jumlah kejadian kanker berhubungan dengan peningkatan paparan
bahan kimia beracun penyebab kanker yang berasal dari penguapan berbagai
bahan kimia tersebut.
b. Penyakit Kardiovaskular
Perubahan iklim dapat memperburuk penyakit jantung yang sudah ada, hal ini
disebabkan meningkatnya tekanan panas, meningkatnya beban tubuh akibat
peningkatan partikulat udara dan perubahan distribusi vektor penyakit menular
yang berhubungan dengan penyakit kardiovaskuler.
c. Heat stroke
Perubahan iklim dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas penyakit yang
disebabkan paparan panas. Faktor host seperti usia dan penyakit lain yang
diderita seperti penyakit jantung dan diabetes mellitus dapat memperberat dampak
dari tekanan panas.

5. Foodborne Disease and nutrition


Perubahan iklim dapat mempengaruhi ketersediaan bahan pangan pokok,
kekurangan gizi, dan kontamisasi makanan oleh zat-zat berbahaya (seperti
kontaminan kimia, mikroba pathogen, biotoksin dan pestisida). Perubahan iklim dapat
mempercepat kerusakan bahan makanan dan memperberat serangan hama
tanaman (seperti kutu daun dan belalang). Sistem distribusi dan daya beli
masyarakat sangat menentukan ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga.
Ketidakcukupan kualitas, kuantitas dan aksesibilitas dapat membuka peluang
munculnya masalah gizi.

Konsekuensi penting dari perubahan iklim yang akan mempengaruhi tumbuh


kembang anak adalah: gizi buruk khususnya selama periode prenatal dan anak usia
dini sebagai akibat dari penurunan pasokan makanan, dan peningkatan paparan
kontaminan beracun dan biotoksin akibat dari peristiwa cuaca ekstrim dan
peningkatan pestisida yang digunakan untuk produksi pangan.

6. Faktor Risiko Perubahan Iklim terhadap Gangguan Kesehatan Jiwa


Sebagian besar orang yang terpapar perubahan iklim termasuk bencana dapat
beradaptasi dengan baik, namun sebagian yang lain akan mengalami stres,
perubahan perilaku dan dapat timbul gangguan kejiwaan. Gangguan jiwa terbanyak
yang ditemukan saat bencana adalah gangguan depresi, cemas, gangguan stres
akut serta gangguan stres pasca trauma.

1.6 Mekanisme Mitigasi dan Adaptasi dalam Pengendalian Dampak Perubahan Iklim.
Agenda mitigasi diarahkan untuk mereduksi emisi gas rumah kaca pada sektor-sektor
ekonomi prioritas, yaitu sector energi, kehutanan, pertanian-perikanan, dan infrastruktur
yang didasarkan pada penetapan sasaran-sasaran reduksi persektornya. Sedangkan
agenda adaptasi diarahkan untuk mengembangkan pola pembangunan yang tahan
terhadap dampak perubahan iklim dan gangguan anomali cuaca yang terjadi saat ini,
dan antisipasi dampaknya ke depan. Tujuan jangka panjangnya adalah terintegrasinya
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan nasional
dengan mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan ekologi. Selain itu, harus berjalan
bersamaan dengan usaha pemberantasan kemiskinan dan kegiatan pembangunan
ekonomi karena masyarakat miskin merupakan golongan yang paling rentan terhadap
dampak perubahan iklim (Kementerian Lingkungan Hidup, Sri Nurhayati, 2016).

Gambar 11. Keseimbangan Mitigasi

Komitmen dan kepemimpinan politik Presiden dalam mengatasi perubahan iklim adalah
syarat mutlak dalam menunjukkan langkah mitigasi yang ambisius. Hal ini dapat
ditunjukkan oleh adanya sinkronisasi dan harmonisasi kegiatan antar
kementerian/lembaga; juga sinkronisasi perencanaan pembangunan dengan
penganggarannya. Sebagai contoh, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
dapat duduk bersama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk
menentukan apa saja kegiatan mitigasi yang dapat dilakukan secara teknis dan nyata
sehingga Kementerian Keuangan dan Bappenas dapat memasukkan kegiatan-kegiatan
tersebut dalam perencanaan pembangunan serta memastikan adanya anggaran negara
yang disiapkan untuk berbagai kegiatan tersebut. Instrumen ekonomi seperti
implementasi polluter pays principle dalam bentuk pengenaan pajak karbon diindikasi
sebagai suatu instrumen ekonomi yang dapat diterapkan untuk mendukung kegiatan aksi
mitigasi yang ambisius. Transparansi data dan akses informasi pun merupakan prasyarat
mutlak dalam melakukan kegiatan mitigasi yang ambisius.
Adaptasi adalah pendekatan strategi respond yang penting dalam upaya meminimalkan
bahaya akibat perubahan iklim. Adaptasi memiliki beberapa kelebihan dibandingkan
mitigasi (pencegahan). Namun, adaptasi tidak dapat menggantikan peran mitigasi dalam
agenda kebijakan Tindakan dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Adaptasi
berperan dalam mengurangi dampak yang segera muncul akibat perubahan iklim yang
tidak dapat dilakukan oleh mitigasi. Namun, tanpa komitmen mitigasi yang kuat, biaya
adaptasi akan meningkat dan kapasitas baik individu maupun pemerintah akan
berkurang.

Kajian ini mempertimbangkan dua jenis adaptasi, yaitu: adaptasi dengan sendirinya
(autonomus adaptation) dan adaptasi yang digerakkan oleh kebijakan (policy) dengan
bobot yang lebih besar pada adaptasi yaitu penguatan kapasitas adaptasi dan
implementasi aksi adaptasi. Tingkat pertama meliputi penyediaan informasi tentang
terentanan dan resiko akibat perubahan iklim. Sedangkan implementasi meliputi langkah
aksi pengurangan kerentanan atau resiko terhadap perubahan iklim, misalnya berkaitan
dengan sektor air, pembuatan sumur resapan, atau penampungan hujan.
Ada banyak hal yang dapat dilakukan masyarakat dalam ikut partisipasi melakukan
mitigasi dan adaptif perubahan iklim. Contoh dalam bidang pertanian dan produksi
pangan dengan mengembangkan varietas tanaman yang lebih toleran terhadap panas,
kekeringan, banjir, hujan lebat dan memberikan lebih banyak peneduh, atap, aliran udara
di lumbung pangan untuk melindungi hasil panen ketika musim panas dimana suhu
menjadi lebih tinggi. Contoh mitigasi perubahan iklim di pantai. Melestarikan lahan
basah, ruang terbuka untuk melindungi masyarakat pesisir dari banjir, erosi, badai,
kenaikan permukaan air laut. Meningkatkan perencanaan evakuasi bagi daerah dataran
rendah ketika terjadi gelombang badai, banjir. Contoh adapatasi perubahan iklim pada
tingkat ekosistem. melindungi, memperluas habitat satwa liar untuk memungkinkan
spesies bermigrasi karena perubahan iklim serta mengurangi polusi, kerusakan habitat,
penggundulan hutan, alih fungsi hutan, ancaman lainnya yang membuat ekosistem lebih
rentan terhadap perubahan iklim. Menjaga hutan tetap lestari berarti sama dengan
merawat berbagai manfaat hutan bagi manusia.

1.7 Peran Aktif dalam Aksi Mitigasi dan Aksi Adaptasi Dampak Kesehatan Akibat
Perubahan Iklim di Indonesia.

Perubahan iklim mempengaruhi berbagai sektor, termasuk diantaranya adalah sektor


pertanian, sektor infrastruktur, sektor kesehatan, sektor kehutanan dan lingkungan hidup
dan sektor lainnya akan terdampak baik secara langsung ataupun tidak langsung. Oleh
karena itu, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harus dilakukan oleh berbagai sektor
dan menjadi tanggung jawab bersama baik pemerintah pusat, pemerintah daerah dan
masyarakat. Dan tidak hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan saja, tetapi juga kementerian-kementerian lain yang terkait.

Dalam rangka mengantisipasi dampak negatif perubahan iklim, Pemerintah Indonesia


telah melakukan berbagai upaya adaptasi perubahan iklim, termasuk penyusunan
dokumen kebijakan nasional untuk mengatasi dampak perubahan iklim, seperti
Indonesia Adaptation Strategy (Bappenas, 2011), Rencana Aksi Nasional Adaptasi
Perubahan Iklim Indonesia (DNPI, 2011), Indonesia Climate Change Sectoral Road Map
(Bappenas, 2010), Rencana Aksi Nasional Menghadapi Perubahan Iklim (Kementerian
Lingkungan Hidup, 2007) dan rencana adaptasi sektoral oleh Kementerian/Lembaga.
Dokumen Strategi Pengarusutamaan Adaptasi dalam Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas, 2012) juga telah disusun.

Namun demikian, masih banyak kegiatan adaptasi sektor-sektor yang dapat, perlu, dan
harus disinergikan pelaksanaannya dengan sektor lain, serta diintegrasikan ke dalam
perencanaan dan penganggaran pembangunan (RPJMN dan RKP) agar sasaran
adaptasi dapat dicapai dan ketahanan terhadap dampak perubahan iklim dapat
ditingkatkan. Untuk itu, dalam mewujudkan harmonisasi dan operasionalisasi berbagai
dokumen kebijakan tersebut, maka diperlukan satu rencana aksi nasional adaptasi
perubahan iklim (RAN-API), yang bersifat lintas bidang untuk jangka pendek,
menengah, dan juga memberikan arahan adaptasi untuk jangka panjang.

Sinergi, koordinasi, dan komunikasi semua pihak menjadi penting dalam mewujudkan
upaya adaptasi yang baik dan terintegrasi antar sektor dan antar wilayah. Dengan
adanya RAN API, proses sinergi, komunikasi dan koordinasi diharapkan dapat berjalan
dengan baik karena adanya arahan dalam proses pengarusutamaan dan penyusunan
rencana pembangunan jangka pendek, menengah dan panjang. Pemerintah daerah
perlu menindaklanjuti arahan nasional dalam adaptasi perubahan iklim dengan
menyusun strategi adaptasi perubahan iklim daerah. Strategi tersebut disusun
berdasarkan rekomendasi hasil kajian kerentanan/ risiko dan adaptasi perubahan iklim
di daerah dan mengintegrasikannya kedalam penyusunan rencana pembangunan di
daerah. Dengan adanya strategi adaptasi perubahan iklim di tiap provinsi dan
kabupaten/ kota, maka diharapkan dampak perubahan iklim dapat diminimalisasi, serta
mempunyai arahan dan strategi daerah untuk meningkatkan ketahanan dan
menurunkan tingkat kerentanan wilayah, meningkatkan tatanan kehidupan dan
kesejahteraan melalui program pembangunan yang tanggap terhadap dampak
perubahan iklim.
Pengembangan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi publik yang baik dapat
mendukung implementasi pembangunan yang adaptif karena dapat meningkatkan
partisipasi aktif dari seluruh komponen masyarakat melalui berbagai inisiatif lokal yang
telah berkembang di lingkungan sosial kemasyarakatan. Proses adaptasi yang baik
adalah suatu proses penyesuaian yang dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi
setempat dan menggali potensi dan inisiatif lokal. Program Kampung Iklim (ProKlim) dan
berbagai upaya peningkatan inisiatif lokal lain merupakan contoh-contoh yang dapat
dikembangkan lebih lanjut untuk mendukung pengurangan dampak perubahan iklim dan
meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

Rencana pelaksanaan dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang dilakukan
pemerintah antara lain :
1. Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca
a. Tingkat Pusat
1) Koordinasi pelaksanaan di Pusat (RAN GRK)
2) Pengembangan pola insentif untuk pelaku penurunan emisi.
3) Pengembangan sistem pengukuran (MRV) dan monitoring capaian (inventory)
nasional (PERPRES 71/2011).
4) Pengembangan kapasitas SDM.

b. Tingkat daerah
1) RAD GRK (Rencana Aksi Daerah dalam upaya pengurangan emisi Gas Rumah
Kaca)
2) Pengembangan kegiatan publik, pelaku usaha dan masyarakat dlm penurunan
emisi GRK di daerah.
3) Penerapan sistem monitoring dan MRV.
4) Peningkatan kapasitas SDM.

2. Kebijakan Dalam Bidang Energi dan Tranportasi


Kebijakan :
a. Penghematan penggunaan energi final baik melalui penggunaan teknologi yang
lebih efisien maupun pengurangan konsumsi energi.
b. Penggunaan bahan bakar yang lebih bersih (fuel switching).
c. Peningkatan penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT).
d. Pemanfaatan teknologi bersih baik untuk pembangkit listrik, dan sarana
transportasi.
e. Pengembangan transportasi massal nasional yang rendah emisi, berkelanjutan
dan ramah lingkungan.

Strategi :
a. (Avoid) - pengurangan kebutuhan akan perjalanan terutama daerah perkotaan (trip
demand management) melalui penata-gunaan lahan mengurangi perjalanan dan
jarak perjalanan yang tidak perlu;
b. (Shift) - pergeseran pola penggunaan kendaran pribadi (sarana transportasi
dengaN konsumsi energi yang tinggi) ke pola transportasi rendah karbon seperti,
sarana transportasi tidak bermotor, transportasi publik, transportasi air, dan
sebagainya; dan
c. (Improve) - peningkatan efisiensi energi dan pengurangan pengeluaran karbon
pada kendaraan bermotor pada sarana transportasi.

3. Kebijakan dalam bidang industry dan pengelolaan limbah


a. Industri
1) Meningkatkan pertumbuhan industry dengan mengoptimalkan pemakaian
energy;
2) Melaksanakan audit energy khususnya pada industri yang boros energy;
3) Pemberian insentif pada program efisiensi energy.

b. Pengelolan limbah Industri


Memiliki kebijakan yaitu Meningkatkan pengelolaan sampah dan air limbah
domestic. Strategi yang dilakukan adalah :
1) Peningkatan kapasitas kelembagaan dan peraturan di daerah (Perda)
2) Peningkatan pengelolaan air limbah di perkotaan
3) Pengurangan timbulan sampah melalui 3R (reduce, reuse, recycle)
4) Perbaikan proses pengelolaan sampah di TPA
5) Peningkatan/pembangunan/rehabilitasi TPA
6) Pemanfaatan limbah/ sampah menjadi produksi energi yang ramah lingkungan

4. Rancangan Strategi Adaptasi Program Kesehatan


a. Strategi :
1) Peningkatan kewaspadaan dini terhadap bencana di masyarakat;
2) Memperkuat kajian kerentanan bencana dan penilaian resiko akibat adanya
perubahan iklim;
3) Mengembangkan kerangka kebijakan;
4) Meningkatkan kerjasama sektor dan juga partisipasi masyarakat.
b. Program :
1) Manajemen Data, Informasi dan Pengetahuan
Contoh : Kajian dan analisis kerentanan perubahan iklim terhadap kesehatan
masyarakat dan kajian dan analisis hubungan perubahan iklim terhadap
perkembangan penyakit bawaan.
2) Perencanaan dan Kebijakan, Peraturan dan Pengembangan Institusi
Contoh : Membuat UU yang mendukung percepatan peningkatan sanitasi
lingkungan dan membuat UU yang mendukung usaha adaptasi kesehatan
terhadap perubahan iklim.
3) Perencanaan dan Implementasi, Monitoring dan Evaluasi Program
Contoh : Pengembangan teknologi adaptasi dan penguatan sistem pelayanan
kesehatan masyarakat

1.8 Keterlibatan yang dapat Dilakukan dalam Berkontribusi Mengendalikan Dampak


Kesehatan Akibat Perubahan Iklim.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengendalikan dampak Kesehatan akibat
perubahan iklim yaitu:
1. Penyusunan Kebijakan dan Komitmen Rencana Program
Kementerian Kesehatan RI telah menyiapkan kebijakan dan rencana program untuk
mengendalikan dampak perubahan iklim yaitu:
a. Melalui strategi adaptasi perubahan iklim kesehatan (strategi APIK) yaitu
seperti:
1) Menyiapkan peraturan perundang-undangan
2) Sosialisasi dan Advokasi
3) Pemetaan populasi dan daerah rentan
4) Meningkatkan sistem tanggap perubahan iklim
5) Meningkatkan kemitraan
6) Meningkatkan pemberdayaan masyarakat
7) Meningkatkan pengendalian dan pencegahan penyakit
8) Meningkatkan surveilans dan sistem informasi
9) meningkatkan kapasitas sumber daya manusia
10) Meningkatkan keterjangkauan pelayanan kesehatan
b. Melakukan identifikasi faktor risiko kesehatan akibat perubahan iklim
dilakukan terhadap penyakit tular vektor, penyakit tular air dan makanan, penyakit
tular udara, penyakit tidak menular, kejadian bencana, gangguan kesehatan jiwa,
masalah gizi,
Secara teknis upaya pengendalian dan pengamanan dampak perubahan iklim sudah
lebih dahulu dilakukan melalui program-program pemberdayaan masyarakat,
mendorong daerah untuk dapat menilai risiko kerentanan dari perubahan iklim
terhadap penyakit, Upaya pengendalian penyakit dikaitkan dengan perubahan iklim
seperti malaria, DBD, diare, melakukan kajian-kajian terhadap dampak perubahan
iklim terhadap kesehatan.

2. Efisiensi Penggunaan Energi


Energi bersifat abstrak dan sukar dibuktikan, tetapi dapat dirasakan adanya. Menurut
hukum kekekalan energi, energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan,
dapat dikonversikan atau berubah dari bentuk energi yang satu ke bentuk energi
yang lain, misalnya pada kompor di dapur, energi yang tersimpan dalam minyak
tanah diubah menjadi api. Berikut ini adalah beberapa cara sederhana dalam
menghemat penggunaan energi:
a. Menghemat penggunaan listrik, secara tidak langsung kita telah mengurangi kadar
CO2 pada lapisan atmosfer karena sebagian besar gas CO2 ini dihasilkan dari
pembangkit listrik yang berbahan bakar fosil: minyak bumi, batu bara, gas alam.
b. Mematikan ac bila tidak diperlukan, Gas CFC ini biasanya dihasilkan oleh
peralatan pendingin udara. Dan perlu diketahui bahwa saat ini CFC
menyumbangkan 20% proses terjadinya efek rumah kaca. Maka dari itu,
penggunaan CFC harus dihentikan. menghapus penggunaan CFC secara
menyeluruh.
c. Menghemat pemakaian air
d. Menggunakan alat transportasi alternatif untuk mengurangi emisi karbon.
Kendaraan bahan bakar fosil, seperti mobil atau motor merupakan penyumbang
CO2 terbesar di perkotaan. Apalagi jika menggunakan kendaraan pribadi. Dengan
banyaknya pemakaian kendaraan pribadi maka akan menyebabkan borosnya
penggunaan bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi karbon dioksida. Tetapi
jika kita mengurangi penggunaan kendaraan, maka sedikitnya kita sudah
mengurangi emisi karbon dioksida yang dikeluarkan oleh kendaraan tersebut.

3. Inovasi Sumber Energi Alternatif


Sumber energi alternatif yang ramah lingkungan penting untuk dibuat agar
pengunaan bahan bakar fosil dan emisi gas kabondioksida akan menurun. Beberapa
sumber energi alternatif yang telah ditemukan hingga saat ini adalah sebagai berikut:
a. Biodiesel, didapat dari minyak nabati baik CPO, CPKO/CNO ataupun minyak
goreng baru/ bekas ini, didapat dengan proses transesterifikasi, yaitu
mereaksikannya dengan alkohol (methanol atau ethanol) dengan katalis basa
kuat.
b. Minyak Jarak pengganti solar, didapat dari tanaman jarak (Jatropha Curcas L)
sangat potensial dikembangkan untuk mendapatkan biodiesel.
c. Bioetanol atau etanol(C2H5OH) yang diperoleh dari bahan organik merupakan
salah satu biofuel yang hadir sebagai bahan bakar alternatif yang lebih ramah
lingkungan dan sifatnya yang terbarukan.

4. Menanam pohon atau reboisasi


Menanam pohon atau reboisasi merupakan langkah untuk menyeimbangkan kadar
gas CO2 di lapisan atmosfer. Karena pohon akan menyerap gas CO2 untuk
melakukan proses fotosintesis dan akan melepaskan oksigen ke udara. Dan hal ini
akan membuat udara pada lapisan atmosfer lebih sejuk dan pemanasan global
sedikit teratasi.

5. Tidak menebang pohon di hutan sembarangan


Pohon merupakan tumbuhan yang menyerap gas CO2. Jadi, jika kita
menebangnya, apalagi menebang dalam jumlah yang sangat banyak, akan
menimbulkan bahaya, jika hutan di bumi terus dieksploitasi secara berlebihan, dan
dampak pemanasan global pun akan semakin buruk karena tidak ada yang
menyerap gas CO2. Dengan mengurangi dampak penebangan hutan secara liar
juga kita turut membantu kelestarian hutan yang saat ini banyak mengalami dampak
akibat kerusakan hutan.

6. Melakukan Reuse, Reduce dan Recycle


a. Reuse, merupakan cara pemanfaatan sampah atau memanfaatkan kembali
barang yang sudah tidak terpakai atau penggunaan barang-barang yang tidak
sekali pakai, jadi barang tersebut masih dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk
pemakaian kedua dan seterusnya.
b. Reduce, yaitu melakukan penghematan dan mengurangi sampah.
c. Recycle, yaitu mendaur ulang barang-barang yang sudah tidak dapat digunakan
menjadi barang yang memberikan manfaat.

Anda mungkin juga menyukai