yang sedang berlangsung atau kejadian yang akan datang. Bahaya (hazard) terdiri dari
senyawa biologi, kimia atau fisik yang berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan.
Sedangkan risiko (risk) merupakan fungsi peluang terjadinya gangguan kesehatan dan
keparahan (severity) gangguan kesehatan oleh karena suatu bahaya.
Risiko lingkungan merupakan risiko terhadap kesehatan manusia yang disebabkan
oleh karena faktor lingkungan, baik lingkungan fisik, hayati maupun sosial-ekonomi-budaya.
Salah satu bahaya yang berpotensi menimbulkan dampak bagi kesehatan manusia dan
lingkungan yakni bahaya kimia yang berupa keberadaan polutan di udara.
1
kebolehjadian kerusakan kesehatan seseorang yang disebabkan oleh pemajanan atau
serangkaian pemajanan bahaya lingkungan (WHO 2004).
3
Gambar 1. Ruang Lingkup Langkah-langkah risk analysis
Analisis risiko sebagai proses untuk menghitung atau memprakirakan risiko pada
suatu organisme sasaran, sistem atau (sub) populasi, termasuk identifikasi ketidakpastian yang
menyertainya, setelah perpajan oleh agent tertentu, dengan memperhatikan karakteristik yang
melekat pada agent yang menjadi perhatian dan karakteristik sistem sasaran yang spesifik.
Risiko itu sendiri didefiniskan sebagai probabilitas efek merugikan pada suatu organisme,
sistem atau (sub) populasi yang disebabkan oleh pemajanan suatu agent dalam keadaan
tertentu. Definisi lain menyebutkan risiko kesehatan manusia sebagai kerusakan kesehatan
seseorang yang disebabkan oleh pemajanan atau serangkaian pemajanan bahaya lingkungan.
Penilaian pajanan merupakan bagian penting dalam penilaian risiko. Pemajanan
adalah proses yang menyebabkan organisme kontak dengan bahaya lingkungan berupa risk
agent, sebagai jembatan yang menghubungkan ’bahaya’ dengan ’risiko’. Pemajanan bisa
terjadi karena risk agent terhirup dalam udara, tertelan bersama air dan makanan, terserap
lewat kulit atau kontak langsung dengan tubuh bagi bahaya fisik seperti radiasi, panas,
kebisingan atau getaran. Data untuk penilaian pajanan dapat diperoleh dari pengukuran
langsung (monitoring atau uji petik), model matematis, atau perkiraan ilmiah lainnya. Analisis
pemajanan digunakan untuk menentukan dosis risk agent yang diterima individu sebagai
asupan atau intake.
Studi klinis kontrol statistik pada manusia menyediakan evidence terbaik yang
menghubungan stressor (yang paling sering bahan kimia) terhadap efek yang terjadi.
Namun studi seperti itu sudah lama tidak dilaksanakan sejak ada aturan etika tentang uji
coba manusia dan hazard lingkungan. Beberapa studi epidemiologi meliputi evaluasi
statistik terhadap populasi manusia dilakukan untuk memeriksa apakah ada hubungan
antara pajanan terhadap stressor dan efek kesehatan pada manusia. Keuntungan studi ini
adalah melakukan uji pada manusia meskipun hasilnya dianggap lemah karena tidak
memiliki informasi pajanan yang akurat dan sulit menilai efek dari berbagai stressor. Saat
data studi terhadap manusia tidak tersedia, maka data diambil dari studi terhadap hewan
(tikus, kelinci, monyet, anjing, dsb) untuk memperkirakan potensi hazard terhadap
manusia. Studi pada hewan dapat dilakukan desain, kontrol dan modifikasi namun belum
diketahui secara pasti sejauh mana keakuratannya untuk data terhadap manusia.
Berbagai studi dan analisis digunakan untuk mendukung analisis identifikasi
hazard.
a. Toksokinetik menentukan bagaimana tubuh mengabsorbsi, mendistribusi,
memetabolisme dan mengeliminasi bahan kimiawi tertentu.
b. Toksodinamik fokus pada efek dari bahan kimiawi terhadap tubuh manusia.
Langkah 2 : Analisis Dosis Respon
Memeriksa nilai numerik antara pajanan dan efeknya. Tujuan dari tahap 2 adalah
untuk menentukan hubungan antara dosis dan efek toksik. Hubungan dosis-respon
menggambarkan bagaimana tingkat keparahan dan kemiripan efek kesehatan (respon)
berhubungan dengan jumlah dan kondisi pajanan kepada agen (dosis tertentu). Prinsip yang
sama juga dilakukan pada beberapa studi dimana pajanan berhubungan dengan konsentrasi
agen (misalnya, konsentrasi bahan gas pada studi pajanan inhalasi) disebut sebagai hubungan
“konsentrtasi-respon”. Istilah hubungan “pajanan-respon” dapat digunakan untuk
menggambarkan baik dosis-respon atau konsentrasi-respon atau kondisi pajanan lainnya.
Biasanya seiring dengan meningkatnya dosis maka respon yang terukur juga akan
meningkat. Pada dosis rendah mungkin saja tidak akan ada respon. Pada beberapa tingkatan
dosis, respon mulai akan muncul pada sebagian kecil populasi studi atau pada tingkatan
probabilitas yang rendah. Baik dosis maupun tingkatan, yang dapat meningkatkan respon
dapat bervariasi pada berbagai polutan, individu, rute pajanan, dan sebagainya.
Bentuk hubungan dosis-respon tergantung pada agen, jenis respon (tumor, munculnya
banyak penyakit, kematian, dsb) dan subjek penelitian (manusia, hewan). Misalnya, mungkin
saja ada satu hubungan terhadap suatu respon seperti ‘menurunnya berat badan’ dan
hubungan yang berbeda pada respon lainnya seperti ‘kematian’. Karena tidak memungkinkan
untuk melakukan studi semua kemungkinan hubungan pada semua kemungkinan respon, riset
7
toksisitas biasanya fokus pada sedikit efek samping yang ditimbulkan.
Analisis dosis- respon dilakukan mencari nilai RfD, dan/atau RfC, dan/atau SF dari
agen risiko yang menjadi fokus ARKL, serta memahami efek apa saja yang mungkin
ditimbulkan oleh agen risiko tersebut pada tubuh manusia. Analisis dosis-respon ini tidak
harus dengan melakukan penelitian percobaan sendiri namun cukup dengan merujuk pada
literatur yang tersedia.
Langkah analisis dosis respon ini dimaksudkan untuk: 1) Mengetahui jalur pajanan
(pathways) dari suatu agen risiko masuk ke dalam tubuh manusia; 2) Memahami perubahan
gejala atau efek kesehatan yang terjadi akibat peningkatan konsentrasi atau dosis agen risiko
yang masuk ke dalam tubuh; 3) Mengetahui dosis referensi (RfD) atau konsentrasi referensi
(RfC) atau slope factor (SF) dari agen risiko tersebut.
Uraian tentang dosis referensi (RfD), konsentrasi referensi (RfC), dan slope factor
(SF) adalah sebagai berikut:
a. Dosis referensi dan konsentrasi yang selanjutnya disebut RfD dan RfC adalah nilai
yang dijadikan referensi untuk nilai yang aman pada efek non karsinogenik suatu
agen risiko, sedangkan SF (slope factor) adalah referensi untuk nilai yang aman
pada efek karsinogenik
b. Nilai RfD, RfC, dan SF merupakan hasil penelitian (experimental study) dari
berbagai sumber baik yang dilakukan langsung pada obyek manusia maupun
merupakan ekstrapolasi dari hewan percobaan ke manusia
c. Untuk mengetahui RfC, RfD, dan SF suatu agen risiko dapat dilihat pada
Integrated Risk Information System (IRIS)
d. Jika tidak ada RfD, RfC, dan SF maka nilai dapat diturunkan dari dosis
eksperimental yang lain seperti NOAEL (No Observed Adverse Effect Level),
LOAEL (Lowest Observed Adverse Effect Level), MRL (Minimum Risk Level), baku
mutu udara ambien pada NAAQS (National Ambient Air Quality Standard) dengan
catatan dosis eksperimental tersebut mencantumkan faktor antropometri yang jelas
(Wb, tE, fE, dan Dt).
e. Satuan dosis referensi (RfD) dinyatakan sebagai milligram (mg) zat per kilogram
(Kg) berat badan per hari, disingkat mg/kg/hari. Dalam literatur terkadang ditulis
mg/kgxhari, mg/kg●hari, dan mg/kg-hari. Satuan konsentrasi referensi (RfC)
dinyatakan sebagai milligram (mg) zat per meter kubik (M3) udara, disingkat
mg/M3. Konsentrasi referensi ini dinormalisasikan menjadi satuan mg/kg/hari
dengan ara memasukkan laju inhalasi dan berat badan yang bersangkutan.Pada tabel
berikut disajikan contoh RfD, RfC dan SF.
9
Pada agen atau lokasi tertentu, terdapat rentang pajanan yang sebenarnya dialami oleh
setiap individu. Beberapa individu dapat memiliki derajat kontak yang tinggi pada
periode waktu yang lama (misalnya, pekerja pabrik terpapar terhadap agen di tempat
kerjanya). Individu lainnya dapat memiliki derajat kontak yang lebih rendah pada
periode waktu yang lebih singkat (misalnya, individu yang sesekali berkunjung ke
pabrik).Kebijakan EPA terhadap Analisis Pajanan mensyaratkan pertimbangan rentang
level pajanan.
10
Langkah 4 : Karakterisasi Risiko
Langkah ARKL yang terakhir adalah karakterisasi risikoyang dilakukan untuk
menetapkan tingkat risiko atau dengan kata lain menentukan apakah agen risiko pada
konsentrasi tertentu yang dianalisis pada ARKL berisiko menimbulkan gangguan kesehatan
pada masyarakat (dengan karakteristik seperti berat badan, laju inhalasi/konsumsi, waktu,
frekuensi, durasi pajanan yang tertentu) atau tidak. Karakteristik risiko dilakukan dengan
membandingkan / membagi intake dengan dosis /konsentrasi agen risiko tersebut. Variabel
yang digunakan untuk menghitung tingkat risiko adalah intake(yang didapatkan dari
analisis pemajanan) dan dosis referensi (RfD) / konsentrasi referensi (RfC) yang didapat
dari literatur yang ada.
Menilai bagaimana data yang ada mendukung kesimpulan tentang sifat dan
penyebaran risiko dari pajanan terhadap stressor lingkungan. Tujuan dari Tahap 4 adalah
untuk merangkum dan mengintegrasikan informasi dari tahap-tahap analisis risiko
sebelumnya untuk merumuskan kesimpulan menyeluruh mengenai risiko.
Karakterisasi risiko menyampaikan keputusan assesor mengenai sifat dan
kemunculan atau ketidakmunculan risiko, bersama dengan informasi tentang bagaimana
risiko dikaji, dimana asumsi dan ketidakpastian masih muncul, dan dimana pilihan
kebijakan akan diperlukan untuk disusun. Karakterisasi risiko berlaku baik pada asesmen
risiko kesehatan manusia maupun asesmen risiko ekologis.
Pada praktiknya masing-masing komponen asesmen risiko (misalnya, asesmen
hazard, Analisis dosis-respon, Analisis Pajanan) memiliki karakteristik risiko sendiri-
sendiri yang mengarah pada penemuan kunci, asumsi, pembatasan dan ketidakpastian.
Kumpulan dari karakterisasi risiko ini menyediakan informasi basis bagi analisis
karakterisasi risiko.
Pada akhirnya, karakterisasi risiko secara keseluruhan terdiri dari karakterisasi
risiko individu ditambahkan dengan analisis yang telah diintegrasi. Karakterisasi risiko
yang baik akan mengungkapkan cakupan asesmen, menjabarkan hasil secara jelas,
mengartikulasi asumsi mayor dan ketidakpastian, mengidentifikasi alternatif interpretasi
yang beralasan, dan memisahkan kesimpulan ilmiah dari keputusan kebijakan.
Karakterisasi risiko pada efek non karsinogenik
1. Perhitungan tingkat risiko non karsinogenik
Tingkat risiko untuk efek non karsinogenik dinyatakan dalam notasi Risk Quotien
(RQ). Untuk melakukan karakterisasi risiko untuk efek non karsinogenik dilakukan
perhitungan dengan membandingkan / membagi intake dengan RfC atau RfD. Rumus
untuk menentukan RQ adalah sebagai berikut:
I/1RfC
Keterangan:
Di gunakan untuk menghitung RQ pada pemajanan jalur inhalasi (terhirup)
I (intake) :Intake yang telah dihitung dengan rumus
1RfC (reference concentration) :Nilai referensi agen risiko pada pemajanan
inhalasi
I/1RfD
Keterangan:
Di gunakan untuk menghitung RQ pada pemajanan jalur ingesti (tertelan)
I (intake) :Intake yang telah dihitung dengan rumus
RfD (reference dose) :Nilai referensi agen risiko pada pemajanan ingesti.
11
2. Interpretasi tingkat risiko non karsinogenik
Tingkat risiko yang di peroleh pada ARKL merupakan konsumsi pakar ataupun
praktisi, sehingga perlu disederhanakan atau dipilihkan bahasa yang lebih sederhana
agar dapat diterima oleh khalayak atau publik. Tingkat risiko dinyatakan dalam angka
atau bilangan desimal tanpa satuan. Tingkat risiko dikatakan AMAN bilamana intake
≤ RfD at au RfC nya atau dinyatakan dengan RQ ≤ 1.
Tingkat risiko dikatakan TIDAK AMAN bilamana intake > RfD at au RfC nya atau
dinyatakan dengan RQ > 1. Narasi yang digunakan dalam penyederhanaan interpretasi
risiko agar dapat diterima oleh khalayak atau publik harus memuat sebagai berikut:
a. Pernyataan risiko = aman atau tidak aman.
b. Alur pajanan (dasar perhitungan)= inhalasi at au ingesti.
c. Konsentrasi agen risiko (dasar perhitungan) misalnya 0,00008 μg/m3, 0,02 mg/l,
dll.
d. Populasi yang berisiko= misalnya pekerja tambang, masyarakat di sekitar jalan
tol, dll
e. Kelompok umur populasi (dasar perhitungan)= dewasa atau anak – anak.
f. Berat badan populasi (dasar perhitungan) = mis. 15 kg, 55 kg, 65 kg, 70 kg, dll.
g. Frekuensi pajanan (dasar perhitungan)= mis. 350 hari/tahun, 250 hari/tahun, dll.
h. Durasi pajanan (dasar perhitungan)= misanya si A yang terpajan selama 10 tahun,
30 tahun, dll.
Contoh : Tingkat risiko ECR untuk pajanan benzene (inhalasi) sebesar 0,3 μg/m3 pada
pekerja depo penampungan BBM di Jakarta dengan berat badan rata - rata 60 kg dan
telah terpajan 250 hari/tahun selama 10 tahun diketahui sebesar 4, 56E-4.
Kebijakan karakterisasi risiko EPA konsisten dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Transparancy (Transparansi)
Karakterisasi harus membuka metode analisis risiko secara penuh dan eksplisit,
asumsi yang standar, logis, rasional, ekstrapolasi, ketidakpastian dan kekuatan
menyeluruh dari masing-masing tahap analisis;
b. Clarity (Kejelasan)
Produk dari karakterisasi risiko harus siap dipahami oleh pembaca didalam
maupun diluar proses analisis risiko. Dokumentasinya harus ringkas, bebas
jargon, dan terdiri dari tabel, grafik dan persamaan yang dapat dimengerti;
c. Consistency (Konsistensi)
Analisis risiko harus dihubungkan dan ditampilkan secara konsisten dengan
kebijakan EPA dan konsisten dengan karakterisasi risiko lainnya yang
cakupannya sama dengan program lainnya didalam EPA;
d. Reasonableness (Kelayakan)
Analisis risiko harus berdasarkan oada keputusan yang logis dengan metode
dan asumsi yang konsisten terhadap ilmu pengetahuan saat ini dan disampaikan
secara lengkap dan seimbang serta informatif.
Empat prinsip ini disingkat dengan TCCR. Untuk mencapai TCCR pada tahap
karakterisasi risiko ini, prinsip TCCR juga perlu diterapkan pada tahap-tahap
sebelumnya yang pada akhirnya mengarah pada karakterisasi risiko.
C. Pengelolaan risiko
Setelah melakukan keempat langkah ARKL di atas maka telah dapat diketahui apakah
suatu agen risiko aman/dapat diterima atau tidak. Pengelolaan risiko bukan termasuk langkah
ARKL melainkan tindak lanjut yang harus dilakukan bilamana hasil karakterisasi risiko
menunjukkan tingkat risiko yang tidak aman atau pun unacceptable. Dalam melakukan
pengelolaan risiko perlu dibedakan antara strategi pengelolaan risiko dengan cara pengelolaan
risiko. Strategi pengelolaan risiko meliputi penentuan batas aman yaitu:
12
1. Konsentrasi agen risiko (C), dan /atau
2. Jumlah konsumsi (R), dan/atau
3. Waktu pajanan (tE), dan/atau
4. Frekuensi pajanan (fE), dan/atau
5. Durasi pajanan (Dt)
Setelah batas aman ditentukan, selanjutnya perlu dilakukan penapisan alternatif
terhadap batas aman yang mana yang akan dijadikan sebagai target atau sasaran pencapaian
dalam pengelolaan risiko. Batas aman yang dipilih adalah batas aman yang lebih rasional dan
realistis untuk dicapai.
D. Komunikasi risiko
Komunikasi risiko dilakukan untuk menyampaikan informasi risiko pada masyarakat
(populasi yang berisiko), pemerintah, dan pihak yang berkepentingan lainnya. Komunikasi
risiko dapat dilakukan dengan teknik atau metode ceramah ataupun diskusi interaktif, dengan
menggunakan media komunikasi yang ada seperti media massa, televisi, radio, ataupun
penyajian dalam format pemetaan menggunakan geographical information system (GIS)
kepentingan lainnya. Komunikasi risiko merupakan tindak lanjut dari pelaksanaan ARKL dan
merupakan tanggung jawab dari pemrakarsa atau pihak yang menyebabkan terjadinya risiko.
Bahasa yang digunakan haruslah bahasa umum dan mudah dipahami, serta memuat seluruh
informasi yang dibutuhkan tanpa ada.
2.4 Produk Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan yang menargetkan kesehatan
masyarakat
Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) merupakan suatu pendekatan untuk
menghitung atau memprakirakan risiko pada kesehatan manusia, termasuk identifikasi
terhadap adanya faktor ketidakpastian, penelusuran pada pajanan tertentu, memperhitungkan
karakteristik yang melekat pada agen yang menjadi perhatian dan karakteristik dari sasaran
yang spesifik (WHO, 2004). Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia ARKL
merupakan pendekatan ADK. Landasan hukum ARKL untuk ADKL antara lain yaitu
PerMenLH No 08/2006 tentang Pedoman Penyusunan Amdal, dan KepMenKes No
876/Menkes/SK/ VIII/2001 tentang Pedoman Teknis ADKL.
ARKL yang digunakan sebagai pendekatan ADKL merupakan alat untuk mengenal,
memahami, dan meramalkan kondisi dan karakteristik lingkungan yang berpotensi
menimbulkan risiko kesehatan sebagai dasar untuk menyusun atau mengembangkan
pengelolaan dan pemantauan risiko kesehatan lingkungan. ARKL dapat memungkinkan para
penentu kebijakan dalam menentukan langkah yang diambil dalam meminimalkan bahkan
menghilangkan risiko kesehatan yang dapat terjadi. ARKL merupakan model matematis yang
telah digunakan di sebagian Negara maju untuk menentukan besaran risiko akibat pencemaran
lingkungan yang memberikan paparan kepada manusia.
Beberapa contoh produk dari analisis risiko kesehatan lingkungan yang menargetkan
kesehatan masyarakat secara luas, yaitu :
1. Pajanan SO2, H2S, NO2 dan TSP Akibat Transportasi Kendaraan Bermotor
Kadar pencemaran udara ditentukan oleh adanya zat-zat seperti karbon monoksida,
debu/partikel, sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NO2), hidrokarbon dan
hidrogen sulfida (H2S) serta partikel (PM2,5, PM10, TSP). Zat-zat tersebut dapat
mengakibatkan dampak yang merugikan bagi kesehatan manusia seperti sakit kepala,
sesak nafas, iritasi mata, batuk, iritasi saluran pernafasan, rusaknya paruparu,
bronkhitis, dan menimbulkan kerentanan terhadap virus influensa. Selain manusia zat-
zat tersebut juga dapat menimbulkan kerusakan pada tanaman, misalnya zat NO2
dapat menimbulkan bintik-bintik pada daun sampai mengakibatkan rusaknya tulang-
tulang daun. Pencemaran udara juga akan menimbulkan kerusakan pada bangunan,
13
misalnya asam sulfat yang terbentuk sebagai hasil reaksi antara SO3 dengan uap air
yang dapat menyebabkan terjadinya hujan asam.
Udara dimana di dalamnya terkandung sejumlah oksigen, merupakan komponen
esensial bagi kehidupan, baik manusia maupun makhluk hidup lainnya. Udara
merupakan campuran dari gas, yang terdiri dari sekitar 78% Nitrogen; 20% Oksigen;
0,93% Argon; 0,03% Karbon Dioksida (CO2) dan sisanya terdiri dari Neon (Ne),
Helium (He), Metana (CH4) dan Hidrogen (H2). Udara dikatakan "normal" dan dapat
mendukung kehidupan manusia apabila komposisinya seperti tersebut di atas.
Sedangkan apabila terjadi penambahan gas-gas lain yang menimbulkan gangguan
serta perubahan komposisi tersebut, maka dikatakan udara sudah tercemar/terpolusi.
Pencemaran udara disamping berdampak langsung bagi kesehatan manusia, juga
berdampak tidak langsung bagi kesehatan. Efek SO2 terhadap vegetasi dikenal dapat
menimbulkan pemucatan pada bagian antara tulang atau tepi daun. Emisi oleh Fluor
(F), Sulfur Dioksida (SO2), dan Ozon (O3) mengakibatkan gangguan proses asimilasi
pada tumbuhan. Pada tanaman sayuran yang terkena pencemar Pb yang pada akhirnya
memiliki potensi bahaya kesehatan masyarakat apabila tanaman sayuran tersebut di
konsumsi oleh manusia.
Pencemaran udara terjadi akibat berkembangnya jumlah kendaraan dan pembangunan
kota yang tidak ramah lingkungan. Pertambahan jumlah kendaraan yang tidak
sebanding dengan pembangunan jalan. Hal tersebut didukung pula dengan tidak
adanya peraturan pembatasan penggunaan kendaraan. Selain itu, pembangunan
gedung-gedung tidak sepenuhnya memperhatikan dampak kelancaran lalu lintas
sehingga bermunculan titik - titik rawan kemacetan.
Studi analisis risiko kesehatan lingkungan terhadap pencemaran akibat kendaraan
bermotor ini bertujuan :
a. Memperkirakan tingkat risiko kesehatan warga yang tinggal di pinggir jalan
utama.
b. Mengidentifikasi lokasi studi yang dilakukan aman untuk dihuni masyarakat atau
tidak.
c. Merumuskan pengelolaan dan pengendalian risiko kesehatan jika lokasi studi
tidak aman untuk dihuni masyarakat.
Pengendalian resiko terkait pencemaran ini dapat dilakukan dengan :
a. Menggalakkan program langit biru,
b. Menggalakkan penanaman tumbuhan,
c. Melarang penduduk untuk bertempat tinggal di sepanjang jalan utama, dan
penduduk bisa pindah ke tempat yang lebih aman dari paparan risk agent karena
manajemen risiko yang dilakukan terkait pengurangan konsentrasi dan waktu
pajanan sudah tidak realistik, atau dapat juga dengan
d. Menggunakan masker, namun hanya bersifat sementara.
2. Debu (Total Suspended Particulate)
Debu (Total Suspended Particulate) merupakan salah satu jenis pencemar udara yang
sering ditemukan. Pajanan debu pada waktu lama dapat menimbulkan gangguan
kesehatan. Selain itu, adanya debu di tempat kerja dapat menimbulkan efek
ketidaknyamanan dalam bekerja dan apabila terhirup dalam waktu yang lama juga
dapat memberikan pengaruh negatif terhadap kesehatan tenaga kerja.
Beberapa upaya preventif yang dapat dilakukan adalah:
a. pengendalian sumber seperti perawatan pada alat penyaring debu,
b. mengurangi jumlah pajanan yaitu dengan memakai alat pelindung diri (APD)
berupa respirator (masker anti debu),
14
c. Monitoring alat pengendalian emisi secara rutin agar sistem penyaringan yang
dilakukan dapat berjalan dengan baik
d. Mengontrol emisi partikulat pada standar yang telah ditetapkan.
e. Melakukan pengendalian secara administratif dengan cara mengurangi waktu dan
frekuensi pajanan debu seperti rotasi karyawan ke unit kerja lain
f. Melakukan sosialisasi mengenai bahaya dan dampak pajanan debu (Total
Suspended Particulate) kepada pekerja dan meningkatkan kesadaran karyawan
akan pentingnya memakai APD (Alat Pelindung Diri) yang sesuai dengan jenis
pekerjaannya
3. Analisis Risiko Asupan Oral Pajanan Mangan dalam Air
Mangan yang secara alami dapat ditemukan di air, tanah, dan udara adalah zat nutrisi
esensial bagi manusia dan hewan. Asupan yang tidak mencukupi atau yang berlebihan
dapat membuat gangguan kesehatan. Pajanan kronik mangan pada dosis yang tinggi
dapat mengakibatkan gangguan pada sistem saraf. Suatu studi epidemiologi yang
dilakukan di Yunani menunjukkan bahwa konsumsi air minum yang secara alami
mengandung konsentrasi mangan yang cukup tinggi seumur hidup, berisiko
menimbulkan gejala-gejala neurologi dan peningkatan retensi mangan. Hal tersebut
ditandai oleh konsentrasi mangan yang tinggi dalam rambut penduduk berusia di atas
50 tahun.
Suatu komunitas kecil di Jepang yang terdiri dari 25 orang mengkonsumsi air minum
dari sumur yang tercemar mangan konsentrasi tinggi dari sumber pencemaran sel-sel
baterai kering yang dikubur tidak jauh dari sumur penduduk. Setelah mengkonsumsi
air yang terkontaminasi tersebut selama sekitar 3 bulan mereka mengalami kelainan
neurologis dengan gejala-gejala yang meliputi letargi, peningkatan tonus otot, tremor,
gangguan mental, dan bahkan kematian.
Dinas Kesehatan Kota Tangerang, melakukan pengambilan sampel terhadap seluruh
sumur penduduk di sekitar TPA Rawakucing. Dari hasil pemeriksaan parameter kimia,
seluruh sumur menunjukkan konsentrasi mangan berada di atas kadar maksimum yang
diperbolehkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
416/MENKES/ SK/IX/90 tentang Persyaratan Kualitas Air Bersih yaitu 0,5 mg/L.
Konsentrasi mangan terendah adalah 1,61 mg/L dan konsentrasi tertinggi 13,95 mg/L.
Masyarakat di kawasan TPA Rawakucing kecamatan Neglasari kota Tangerang
Propinsi Banten sangat rentan terhadap terjadinya gangguan kesehatan akibat
tingginya konsentrasi mangan pada air sumur mereka yang jauh melebihi kadar
maksimum yang diperbolehkan.
Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini melakukan analisis risiko dampak
mangan dalam air sumur terhadap kesehatan masyarakat di kawasan TPA
Rawakucing. Penelitian dengan disain crossectional ini dilakukan terhadap masyarakat
di wilayah sekitar TPA Rawakucing yang meliputi masyarakat yang bermukim di
dalam kawasan (114 orang), dan di luar kawasan TPA (177 orang). Hasil penelitian
menunjukkan rata-rata konsentrasi mangan dalam air sumur di wilayah sekitar TPA
Rawakucing (4.3 mg/l; SD=2.8873 mg/l). Berbeda secara bermakna dengan di luar
TPA Rawakucing (0.300 mg/l; SD=0.1888 mg/l). (nilai p<0.5). Rata-rata besaran
risiko (RQ) gangguan kesehatan akibat mengkonsumsi air yang mengandung mangan
pada masyarakat yang tinggal di TPA Rawakucing (0.2347) dan yang tinggal di luar
TPA Rawakucing (0.2955). Hal ini disebabkan terdapat dua buah variabel yang
homogen yaitu variabel durasi pajanan dan berat badan. Masyarakat yang tinggal di
TPA berisiko gangguan kesehatan 8,12 kali lebih besar daripada yang tinggal di luar
TPA (p<0.05) dengan OR=8.109 (95% CI = 2.668-24.650).
15
Dari hasil analisa resiko tersebut, diharapkan agar Pemerintah Kota (Pemkot)
Tangerang mempertimbangkan perubahan sistem pengelolaan TPA di Rawakucing,
salah satu alternatifnya adalah :
a. Menggunakan sistem sanitary landfill. Dengan sistem ini, cairan lindi tidak akan
mencemari air permukaan dan air tanah di kawasan atau sekitar TPA, karena
cairan lindi akan tertampung di kolam pengolah lindi.
b. Membuat pengolahan air komunal yang dapat menghasilkan air yang layak dan
aman untuk dikonsumsi warga masyarakat di sekitar Rawakucing.
c. Dinkes Kota Tangerang diharapkan mampu melakukan upaya
manajemen/pengelolaan risiko bagi anggota masyarakat dengan RQ>1. Dengan
melakukan manajemen risiko diharapkan anggota masyarakat yang memiliki
risiko akan terkena gangguan kesehatan di kemudian hari akibat mengkonsumsi
air yang mengandung mangan dapat terhindar.
4. Pestisida
Petani dalam mengolah lahan membutuhkan pestisida untuk memberantas hama dan
gulma. Namun di sisi lain pestisida dapat membahayakan kesehatan diri petani,
konsumen, organisme non target serta lingkungan. Pajanan pestisida dapat masuk ke
dalam tubuh petani melalui kulit, pernapasan dan pencernaan. Petani dapat terpajan
pestisida pada waktu membawa, menyimpan, memindahkan konsentrat, mencampur,
menyemprot serta membersihkan alat semprot yang telah digunakan.
Semakin besar peluang pajanan pestisida dapat meningkatkan tingginya kejadian
keracunan kronis pada petani. Analisis risiko dapat memberikan gambaran pajanan
pestisida dalam tubuh petani, melalui tahapan identifikasi bahaya, dosis response,
penentuan pajanan serta penetapan karakteristik risiko. Petani harus menggunakan
pestisida dengan benar dan bijak dengan membaca label kemasan, penyemprotan pada
waktu yang tetap dan penggunaan alat pelindung diri untuk menjaga keselamatan di
tempat kerja.
5. Pencemar Makanan
Risiko terkait makanan dapat terjadi karena berbagai faktor, dan dalam banyak kasus,
saling ketergantungan faktor-faktor ini perlu dipertimbangkan saat menilai risiko.
Beberapa faktor risiko yang terkait dengan makanan adalah:
a. residu bahan kimia pertanian dan hewan
b. agen biologis, termasuk mikroorganisme, virus, dan parasit
c. bahan tambahan makanan untuk memasak dan proses terkait artefak, alat bantu
pemrosesan dan bahan pengemas
d. mikotoksin, racun tumbuhan dan laut
e. novel makanan dan bahan
f. radionuklida
g. kontaminan lingkungan lainnya.
Beberapa di antaranya mungkin terjadi sebagai akibat dari penanaman atau
pemrosesan makanan secara komersial, beberapa di antaranya mungkin karena
pencemaran lokal pada titik penanaman, pemanenan, atau peternakan. Di mana
makanan ditanam sendiri (misalnya di kebun sayur di halaman belakang), kontaminasi
mungkin terkait dengan serapan dari tanah yang terkontaminasi secara lokal. Jika
kontaminasi terjadi sebagai akibat dari beberapa aktivitas komersial yang dapat
dikontrol oleh peraturan (misalnya menentukan aditif makanan yang diperbolehkan
atau migrasi dari bahan pengemasan yang menetapkan praktik pertanian yang baik
untuk memastikan sisa makanan tidak melebihi residu pestisida maksimum yang
diatur - MRL), aspek-aspek ini peraturan makanan termasuk dalam yurisdiksi
Australian Pesticides and Veterinary Medicines Authority (APVMA) dan / atau Food
16
Standards Australia New Zealand (FSANZ). MRL dapat diakses di Food Standards
Code. Di mana kontaminasi terjadi sebagai akibat kontaminasi lingkungan dari sumber
alam (misalnya racun laut atau tumbuhan, mikotoksin), peran pengatur makanan
adalah untuk menentukan tingkat maksimum (MLs) yang melindungi kesehatan
manusia. ML yang dipublikasikan dapat ditemukan di Food Standards Code. Sumber
informasi utama adalah rangkaian publikasi Survei Keranjang Pasar Australia yang
diterbitkan dua kali setahun oleh FSANZ. Ini memberikan informasi tentang zat
tertentu dalam berbagai makanan di seluruh Australia.
6. Pencemaran Air
Ada berbagai jenis air, penggunaan air dan kemungkinan rute penularan bahaya yang
ditularkan melalui air ke manusia. Dalam melakukan asesmen risiko kesehatan perlu
ditentukan karakteristik dan potensi penggunaan badan air. Sumber air meliputi air
tawar, muara, laut dan air limbah. Penggunaan air dapat mencakup penyediaan air
minum untuk minum dan mandi, rekreasi, budidaya perairan, dan irigasi tanaman.
Paparan manusia terhadap kontaminan yang ditularkan melalui air dapat mencakup:
a. paparan langsung melalui konsumsi, kontak kulit, penghirupan aerosol atau
semprotan.
b. paparan tidak langsung melalui makanan yang terkontaminasi oleh air irigasi atau
air yang digunakan untuk budidaya dan makanan laut yang terkontaminasi oleh
pembuangan air limbah.
Risiko kesehatan yang terkait dengan kontaminasi makanan melalui rute yang
ditularkan melalui air berada dalam lingkup penanganan penilaian risiko makanan.
Berikut ini adalah ringkasan dokumen yang memberikan peraturan dan panduan yang
lebih spesifik terkait dengan pencemaran air.
Pedoman air minum Australia Diterbitkan oleh NHMRC, pedoman air minum
Australia (ADWG) dimaksudkan untuk memberikan kerangka kerja untuk pengelolaan
pasokan air minum yang baik yang, jika diterapkan, akan menjamin keamanan di
tempat penggunaan. ADWG dikembangkan setelah mempertimbangkan bukti ilmiah
terbaik yang tersedia. Mereka dirancang untuk memberikan referensi otoritatif tentang
apa yang mendefinisikan air yang aman dan berkualitas baik, bagaimana hal itu dapat
dicapai dan bagaimana hal itu dapat dijamin. Mereka memperhatikan keselamatan dari
sudut pandang kesehatan dan kualitas estetika. ADWG bukanlah standar wajib.
Namun, mereka memberikan dasar untuk menentukan kualitas air yang akan disuplai
ke konsumen di semua bagian Australia. Penentuan ini perlu mempertimbangkan
beragam faktor regional atau lokal, dan mempertimbangkan masalah ekonomi, politik
dan budaya, termasuk harapan pelanggan, dan kemauan serta kemampuan untuk
membayar. ADWG dimaksudkan untuk digunakan oleh masyarakat Australia dan
semua lembaga dengan tanggung jawab yang terkait dengan penyediaan air minum,
termasuk pengelola daerah tangkapan air dan sumber daya air, pemasok air minum,
regulator air dan otoritas kesehatan (NHMRC & NRMMC 2004).
2.5 Keterkaitan antara Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan dengan lingkungan dan
kesehatan global
Undang – undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan mengamanatkan bahwa
pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi –
tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara
sosial dan ekonomis. Selanjutnya juga disebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan
lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan. Hal tersebut juga dikuatkan dengan
17
undang – undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup yang menyebutkan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan
menjamin keselamatan, kesehatan dan kehidupan manusia. Di Indonesia, dalam peraturan
perundangan ARKL menjadi bagian analisis dampak kesehatan lingkungan (ADKL).
Terdapat kaitan yang erat antara analisis risiko kesehatan lingkungan dengan
lingkungan dan kesehatan global. Seperti kita ketahui, interaksi agen lingkungan (kimia, fisik,
biologi) dan aktifitas manusia saling mempengaruhi terhadap kesehatan. Saat ini tiga macam
bentuk ancaman bahaya lingkungan yaitu zat-zat kimia toksik, energi berbahaya (radiasi dan
gelombang elektromagnetik) dan organisme patogen. Pertanyaan-pertanyaan yang selalu
muncul antara lain: Berapa besar risiko kesehatan akibat pajanan bahaya-bahaya lingkungan
tersebut? Apakah risiko dapat dikendalikan tanpa menghentikan kegiatan sumber-sumber
risikonya? Apakah perangkat hukum dan teknologi yang tersedia dapat melindungi kesehatan
orang-orang yang terpajan dari efek-efek yang merugikan kesehatan? Analisis risiko
kesehatan lingkungan merupakan salah satu metoda kajian efek lingkungan terhadap
kesehatan. Kajian ini biasanya dilakukan untuk menjawab pertanyaan pertanyaan khalayak
ramai yang (bisa) menimbulkan kepanikan meluas, mencegah provokasi yang dapat memicu
ketegangan sosial, atau dalam situasi kecelakaan dan bencana. Metoda sangat cocok dipakai
untuk kajian dampak lingkungan terhadap kesehatan masyarakat. Analisis risiko merupakan
suatu alat pengelolaan risiko, yaitu proses penilaian bersama para ilmuwan dan birokrat untuk
memprakirakan peningkatan risiko kesehatan pada manusia yang terpajan oleh zat-zat toksik.
Tujuannya adalah untuk menyediakan kerangka ilmiah guna membantu para pengambil
keputusan dan orang-orang yang berkepentingan (legislator dan regulator, industri dan
warganegara yang peduli lainnya) dalam memecahkan masalah-masalah lingkungan dan
kesehatan.
ARKL (Risk assessment) menawarkan kerangka sistematik dan ilmiah untuk
mendefinisikan, memberi prioritas dan mitigasi risiko dalam ranah pengambilan keputusan
kesehatan masyarakat dan lingkungan. Risk assessment memberikan estimasi risiko, bukan
menjawab pertanyaan bagaimana aman itu adalah aman, tetapi memberikan jawaban tentang
risiko yang dapat diterima atau ditoleransi dan bentuk pengelolaan risiko yang diperlukan. Di
dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 876 tahun 2001 tentang Pedoman Teknis Analisis
Dampak Kesehatan Lingkungan (ADKL), ARKL didefinisikan sebagai suatu pendekatan
untuk mencermati potensi besarnya risiko yang dimulai dengan mendeskripsikan masalah
lingkungan yang telah dikenal dan melibatkan penetapan risiko pada kesehatan manusia yang
berkaitan dengan masalah lingkungan yang bersangkutan. Pada aplikasinya, ARKL dapat
digunakan untuk memprediksi besarnya risiko dengan titik tolak dari kegiatan sudah
pembangunan yang sudah berjalan, risiko saat ini dan memprakirakan besarnya risiko di masa
yang akan datang
18
19