3
B. pandangan tentang Manusia..................................................................8
C. Implikasinya dalam Konseling.............................................................11
BAB III PENUTUP................................................................................................12
A. Kesimpulan...........................................................................................12
B. Saran......................................................................................................12
KEPUSTAKAAN............................................................................................13
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
PEMBAHASAN
TEORI PSIKOLOGI EGO OLEH ERICKSON
A. Riwayat singkat
Erik H. Erikson adalah salah satu tokoh psikoanalisa yang lahir di Frankurt,
Jerman, 15 Juni 1902. Ayah kandung Erikson adalah seorang pria kebangsaan Denmark
yang meninggalkan Erikson pada usia tiga tahun sehingga ibu Erikson yang bernama
Karla Abrhamsen menikah lagi dengan Theodore Homberger yang menjadi ayah tiri
Erikson dan nama Hamberger kini menjadi bagian dari nama Erikson. Setelah lulus
SMA, Erikson menjadi seniman namun tidak mengambil kuliah seni dan memelih
berkeliling Eropa untuk menikmati dan belajar seni.
Erikson menjadi guru pada sekolah yang dikelolah Dorothy Burlingham, teman
Anna Freud yang direkomendasikan oleh Peter Blos pada usia 25 tahun. Tahun 1927 –
1933, Erikson belajar sebagai Child Analyst di Vienna Psycholoanalytic Institute
bersama Anna Freud dan menikahi Joan Serson pada tahun 1930 serta memiliki tiga
orang anak. Selama tahun tersebut, Erikson mendapat sertifikan dari Motessori Education
dan Vienna Psychoanalityc Society. Tahun 1933 ketika Nazi berkuasa, Erikson Pindah ke
Copenhagen, lalu pindah ke Denmark dan ke Boston, Amerika.
Teori dari Erikson tentang perkembangan manusia dikenal dengan istilah perkembangan
psikososial. Teori psikososial Erikson ini merupakan salah satu teori terbaik mengenai
kepribadian yang ada dalam psikologi. Seperti Sigmund Freud, Erikson juga
mempercayai bahwa kepribadian seseorang akan berkembang melalui beberapa tingkatan
tertentu. Salah satu elemen yang penting dari tingkatan psikososial Erikson adalah
perkembangan mengenai persamaan ego, suatu perasaan sadar yang kita kembangkan
melalui proses interaksi sosial. Perkembangan ego akan selalu berubah berdasarkan
pengalaman dan informasi baru yang didapatkan seseorang sebagai hasil dari interaksinya
dengan orang lain. Struktur kepribadian (Alwisol, 2009:85-88) menyatakan bahwa
struktur kepribadian manusia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu::Faktualitas – Yaitu
kumpuan fakta dan data yang dapat diverifikasi dengan metode kerja yang digunakan,
sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan.
Erikson juga mempercayai bahwa kemampuan untuk memotivasi sikap dan perbuatan
seseorang dapat memicu suatu perkembangan menjadi positif, hal inilah yang kemudian
mendasari penyebutan teorinya sebagai Teori Perkembangan Psikososial.
Dasar dari teori Erikson adalah sebuah konsep yang mempunyai tingkatan. Ada delapan
tingkatan yang menjadi bagian dari teori psikososial Erikson, yang akan dilalui oleh
manusia. Setiap manusia dapat naik ke tingkat berikutnya walaupun tidak sepenuhnya
tuntas mengalami perkembangan pada tingkat sebelumnya. Setiap tingkatan dalam teori
Erikson berhubungan dengan semua bidang kehidupan yang artinya jika setiap tingkatan
itu tertangani dengan baik oleh manusia, maka individu tersebut akan merasa pandai.
Sebaliknya jika tingkatan – tingkatan tersebut tidak tertangani dengan baik, akan muncul
perasaan tidak selaras pada orang tersebut.
Erikson percaya bahwa dalam setiap tingkat, seseorang akan mengalami konflik
atau krisis yang akan menjadi titik balik dalam setiap perkembangannya. Menurut
pendapatnya, konflik – konflik ini berpusat pada perkembangan kualitas psikologi atau
kegagalan dalam pengembangan kualitas tersebut. Selama masa ini, potensi pertumbuhan
pribadi meningkat sejalan dengan potensi kegagalannya pula.
C. Dinamika kepribadian
Feist dan Feist (2008, 215-217) menyatakan bahwa perwujudan dinamika kepribadian
adalah hasil interaksi antara kebutuhan biologis yang mendasar dan pengungkapannya
melalui tindakan-tindakan sosial. Hal ini berarti bahwa perkembangan kehidupan
individu dari bayi hingga dewasa umumnya dipengaruhi oleh hasil interaksi sosial
dengan individu lainnya sehingga membuat individu menjadi matang baik secara fisik
maupun secara psikologis. Erikson (Alwisol, 2009:87) menyatakan bahwa ego adalah
sumber kesadaran diri indvidu. Ego mengembangkan perasaan yang berkelanjutan diri
antara masa lalu dengan masa yang akan datang selama proses penyesuaian diri dengan
realita.
Dalam tahap ini, anak akan belajar bahwa dirinya memiliki kontrol atas tubuhnya.
Orang tua seharusnya menuntun anaknya, mengajarkannya untuk mengontrol keinginan
atau impuls-impulsnya, namun tidak dengan perlakuan yang kasar. Mereka melatih
kehendak, tepatnya otonomi. Harapan idealnya, anak bisa belajar menyesuaikan diri
dengan aturan-aturan sosial tanpa banyak kehilangan pemahaman awal mereka mengenai
otonomi, inilah resolusi yang diharapkan. Alwisol (2009:93) melanjutkan bahwa apabila
anak tidak berhasil melewati fase ini, maka anak tidak akan memiliki inisiatif yang
dibutuhkan pada tahap berikutnya dan akan mengalami hambatan terus-menerus pada
tahap selanjutnya.
Pada tahap ini, terjadi perubahan pada fisik dan jiwa di masa biologis seperti
orang dewasa sehingga tampak adanya kontraindikasi bahwa di lain pihak anak dianggap
dewasa tetapi di sisi lain dianggap belum dewasa. Tahap ini merupakan masa stansarisasi
diri yaitu anak mencari identitas dalam bidang seksual, umur dan kegiatan. Peran orang
tua sebagai sumber perlindungan dan nilai utama mulai menurun. Adapun peran
kelompok atau teman sebaya tinggi. Apabila anak tidak sukses pada fase ini, maka akan
membuat anak mengalami krisis identitas, begitupun sebaliknya.
Tahap VI: Intimacy versus Isolation (masa dewasa muda, 20-30 tahun)
Dalam tahap ini, orang dewasa muda mempelajari cara berinteraksi dengan orang
lain secara lebih mendalam. Ketidakmampuan untuk membentuk ikatan sosial yang kuat
akan menciptakan rasa kesepian. Bila individu berhasil mengatasi krisis ini, maka
keterampilan ego yang diperoleh adalah cinta.
Tahap VII: Generativity versus Stagnation (masa dewasa menengah, 30-65 tahun)
Pada tahap ini, individu memberikan sesuatu kepada dunia sebagai balasan dari
apa yang telah dunia berikan untuk dirinya, juga melakukan sesuatu yang dapat
memastikan kelangsungan generasi penerus di masa depan. Ketidakmampuan untuk
memiliki pandangan generatif akan menciptakan perasaan bahwa hidup ini tidak berharga
dan membosankan. Bila individu berhasil mengatasi krisis pada masa ini maka
ketrampilan ego yang dimiliki adalah perhatian, sedangkan bila individu tidak sukses
melewatinya maka akan merasa bahwa hidupnya tidak berarti.
Tahap VIII: Ego Integrity versus Despair (masa dewasa akhir, 65 tahun ke atas)
Pada tahap usia lanjut ini, mereka juga dapat mengingat kembali masa lalu dan
melihat makna, ketentraman dan integritas. Refleksi ke masa lalu itu terasa
menyenangkan dan pencarian saat ini adalah untuk mengintegrasikan tujuan hidup yang
telah dikejar selama bertahun-tahun. Apabila individu sukses melewati faase ini maka
akan timbul perasaan puas akan diri, sedangkan apabila mengalami kegagalan dalam
melewati tahapan ini akan menyebabkan munculnya rasa putus asa.
PENUTUP
A. SIMPULAN
B. SARAN
Setiap pengalaman di masa lalu, dijadikan pembelajaran untuk menjadi lebih baik di
masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Danim,S& Khairil H.(2014). Psikologi Pendidikan (Dalam Perspektif Baru). Bandung: Alfabeta
Makmun, A.Sy. (2005).Psikologi Pendidikan (Perangkat Sistem Pengajaran
Modul).Bandung:Rosda
Ratnawulan,T& Hamdani.(2008) Psikologi Umum.Bandung: Publikasi FKIP Uninus