Tim Penyusun :
Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja, S.H., M.Hum.
I Nengah Suantra, S.H., M.H.
Made Nurmawati, S.H., M.H.
Dr. Ni Luh Gede Astariyani, S.H., M.H.
Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, S.H., M.H.
Nyoman Mas Aryani, S.H., M.H.
Edward Thomas Lamury Hadjon, S.H., LL.M.
Diterbitkan Oleh:
Uwais Inspirasi Indonesia
Ds. Sidoarjo, Kec. Pulung, Kab. Ponorogo
Email: Penerbituwais@gmail.com
Telp: 0352-571 892
WA: 0895-2366-1093/0823-3033-5859
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta,
sebagaimana yang telah diatur dan diubah dari Undang-Undang nomor 19 Tahun 2002, bahwa:
Kutipan Pasal 113
(1) Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat
(1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h, untuk penggunaan secara komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak
melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat
(1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g, untuk penggunaan secra komesial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan
dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000.00 (empat miliar rupiah).
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu,
iii
iv
PRAKATA
Tim Penyusun
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Dari Ilmu Perundang-undangan ke
Hukum Perundang-undangan --------------------------- 19
Gambar 2. Pengertian Hukum Perundang-undangan ------------ 25
Gambar 3. Cakupan Perundang-Undangan ------------------------ 30
Gambar 4. Obyek Kajian Hukum Perundang-undangan -------- 35
Gambar 5. Pilihan Metode Kajian Hukum
Perundang-undangan ------------------------------------- 49
Gambar 6. Tata susunan norma hukum:
perbandingan tata susuan norma hukum
menurut Hans Nawiasky dan
UU No.12 Tahun 2011 ----------------------------------- 161
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Perbedaan Atribusi, Delegasi Dan Mandat
dalam Black s Law Dictionary--------------------------- 97
Tabel 2. Perbedaan Mandat dan Delegasi menurut
R.J.H.M. Huisman --------------------------------------------- 110
Tabel 3. Perbedaan Mandat dan Delegasi menurut
Philipus M. Hadjon ------------------------------------------- 111
Tabel 4. Perbedaan Atribusi, Delegasi dan Mandat
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan ----------------------- 112
Tabel 5. Perbandingan Jenis Peraturan
Perundang-undangan menurut :TAP MPRS
XX/MPRS/1966, TAP MPR III/MPR/2000,
UU 10/2004 dan UU 12/2011------------------------------- 192
Tabel 6. Konsep batal demi hukum dan dapat
Dibatalkan ------------------------------------------------------- 196
Tabel 7. Konsep dibatalkan dan dapat dibatalkan ------------------ 197
vi
DAFTAR KOTAK
Kotak 1. Pengertian Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan dan Peraturan Perundang-undangan -------- 56
Kotak 2. Putusan MA: „Surat Edaran‟ Bukan Objek
Hak Uji Materiil Tapi dalam perkara lain, pernah
dinyatakan sebagai objek HUM karena isinya
bersifat regeling. -------------------------------------------- 58
Kotak 3. Asas Kesesuaian antara Jenis, Hirarki, dan
Materi Muatan ----------------------------------------------- 194
Kotak 4. Asas Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk
yang Tepat --------------------------------------------------- 195
Kotak 5. Materi Muatan yang Harus Diatur dengan
Undang-Undang --------------------------------------------- 222
Kotak 6. Materi Muatan Pengaturan Lebih Lanjut
Mengenai Ketentuan UUD 1945 ------------------------ 224
vii
DAFTAR ISI
1.8. Penutup..................................................................... 49
1.9. Bahan Bacaan/Rujukan Pengayaan ……………… 51
PERTEMUAN II TUTORIAL I: PEMAHAMAN DASAR
HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN …………………......... 56
2.1. Pendahuluan ………………………………………. 56
2.2. Penyajian Materi ………………………………….. 56
2.3. Penutup ……..…………………………………….. 60
2.4. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan ….…………. 61
PERTEMUAN III KULIAH KEDUA: NORMA HUKUM
DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ......... 62
3.1. Pendahuluan …………………..………………… 62
3.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian .…… 62
3.3. Pengertian Norma Hukum ……………………….. 63
3.4. Asas Hukum, Norma Hukum dan Aturan Hukum.. 64
3.5. Jenis Norma Hukum …………………………….. 69
3.6. Sifat Norma Hukum …………………………….. 74
3.7. Struktur Norma Hukum Dalam Hukum ………… 75
3.8. Metode Perumusan Norma Hukum Dalam Aturan
Hukum ………………………………………….. 79
3.9. Penutup …………………….................................. 82
3.10. Bahan Bacaan/Rujukan Pengayaan ……............... 83
PERTEMUAN IV TUTORIAL II: NORMA HUKUM DALAM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ........................... 85
4.1. Pendahuluan ……………………………….......... 85
4.2. Penyajian Materi ………………………………… 85
4.3. Penutup …………………………......................... 86
4.4. Bahan Bacaan …………………………………… 87
PERTEMUAN V KULIAH KETIGA: SUMBER
KEWENANGAN PERUNDANG-UNDANGAN ……………. 89
5.1. Pendahuluan ………………………………........ 89
5.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian .… 89
5.3. Pengertian sumber kewenangan ………………. 89
5.4. Kewenangan Atribusi dan Delegasi …………… 94
ix
5.5.
Perbedaan sumber kewenangan Perundang -
undangan dengan sumber kewenangan
pemerintahan …................................................. 106
5.6. Penutup ……………………………………….. 118
5.7. Bahan Bacaan/Rujukan Pengayaan ………… 119
PERTEMUAN VI TUTORIAL III: SUMBER KEWENANGAN
PERUNDANG-UNDANGAN ……........................................ 122
6.1. Pendahuluan …………………………………… 122
6.2. Penyajian Materi ………………………………. 122
6.3. Penutup ………………………………………... 123
6.4. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan.......………. 123
PERTEMUAN VII KULIAH KEEMPAT: SEJARAH
PERUNDANG-UNDANGAN 124
7.1. Pendahuluan …………………………………… 124
7.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian …. 124
7.3. Periode Kolonial ………………………………. 125
7.4. Periode awal Berlakunya UUD 1945 …………. 125
7.5. Periode Berlakunya Konstitusi RIS ………….. 129
7.6. Periode Berlakunya UUDS 1950 ……………… 130
7.7. Era Demokrasi Terpimpin ……………………. 130
7.8. Era Demokrasi Pancasila …….......................... 131
7.9. Periode Reformasi ……………………………. 138
7.10. Penutup …………………………..................... 153
7.11. Bahan Bacaan/Rujukan Pengayaan ………….. 154
PERTEMUAN VIII UJIAN TENGAH SEMESTER …........ 156
PERTEMUAN IX TUTORIAL IV: SEJARAH PERUNDANG- 157
UNDANGAN …......................................................................
9.1. Pendahuluan ………........................................... 157
9.2. Penyajian Materi ………………………………. 157
9.3. Penutup ……………........................................... 157
9.4. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan …................ 158
x
xi
xii
CAPAIAN PEMBELAJARAN
Melalui pemahaman terhadap mata kuliah Hukum
1
ORGANISASI MATERI
Materi kuliah terdiri dari beberapa pokok bahasan dan sub
pokok bahasan, yang dapat digambarkan secara sistematis, sebagai
berikut:
2
I. Pendahuluan
a. Nama Mata Kuliah: Dari Ilmu Perundang-Undangan Ke
Hukum Perundang-Undangan.
b. Hukum Perundang-Undangan: Pengaturan dan Disiplin Ilmu
Hukum.
c. Perundang-Undangan: Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan dan Peraturan Perundang-Undangan.
d. Obyek Kajian Hukum Perundang-Undangan.
e. Metode Kajian Hukum Perundang-Undangan.
TUGAS-TUGAS
Mahasiswa diwajibkan untuk membahas, mengerjakan dan
mempersiapkan tugas-tugas yang ditentukan di dalam Buku Ajar.
Tugas-tugas terdiri dari tugas mandiri yang dikerjakan di luar
perkuliahan, tugas yang harus dikumpulkan, dan tugas yang harus
dipresentasikan. Tugas-tugas dalam tutorial terdiri dari study task,
discussion task, dan problem task.
(UTS + TT ) + 2 (UAS)
2
NA =
3
Sistem penilaian mempergunakan skala 5 (0-4) dengan
rincian dan kesetaraan sebagai berikut :
6
BAHAN BACAAN
Peraturan Perundang-Undangan Terkait
Republik Indonesia,Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia, UUDNRI Tahun 1945.
_______,Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, UU No.12 Tahun 2011. (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indoesia Nomor
5234 ).
_______, Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, UU No.
23 tahun 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5587).
_______,Putusan Perkara Mahkamah Konstitusi No.065/PUU-ll/2004
Pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia.
_______,Peraturan Presiden No.68 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang- Undang, Rancangan
Perppu, Rancangan PP dan Rancangan Perpres.
_______,Peraturan Menteri Dalam Negeri No 1 Tahun 2014 teantang
Pembentukan Produk Hukum Daerah.
Literatur Terkait
Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel)
Pada Pemerintahan Daerah, UII Press, Yogyakarta, 2005.
Bayu Dwi Anggono, Perkembangan Pembentukan Undang-Undang
di Indonesia, Jakarta: Konpress, 2014.
Bagir Manan, dasar-dasarPeraturan Perundang-undangan
Indonesia, IndoHillCo, Jakarta, 1992.
Hamid S Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia DalamPenyelenggaraan Pemerintahan Negara,
Disertasi Doktor,Fakultas Pasca Sarjana UI, Jakarta, 1990,
Hukum Perundang-undangan, Bagaian HTN, 2009.
7
I Gede Panca Astawa dan Na‟a Suprin, Dinamika Hukum dan Ilmu
Perundang-undangan, Alumni, Bandung, 2008.
Jimly Assidiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta,
2006.
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu PerundangUndangan1: Jenis,
Fungsi danMateri Muatan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
2007.
________________________,Ilmu Perundang-undangan 2: Proses
dan Teknik Pembentukannya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
2007.
I.C.Van Der Viles, Buku Pegangan Perancangan Peraturan
Perundang-undangan Terjemahan, Dirjen Perundang-
Undangan Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2005.
Supardan Madeong dan Zudan Arif Fakrulloh, Legal Drafting
berporos Hukum Humanis Partisipatoris, Perca, Jakarta, 2005.
Hamzah Halimdan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis
Menyusun danMerancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian
Teoritis dan Praktis disertai manual) –Konsepsi Teoritis
Menuju Artikulasi Emperis, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2009.
Rosjidi Ranggawidjaya, Pengantar Ilmu Perundang-
Undangan,Mandar Maju, Bandung, 1998.
Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrecht) Yang dimiliki Hakim dalam
Sistem Hukum Indonesia, Taja Grafindo Persada, Jakarta,
2005.
8
JADWAL PERKULIAHAN
9
perundang-undangan dengan
sumber kewenangan
pemerintahan.
6 Pertemuan VI Tutorial III Sumber kewenangan Perundang-
undangan
7 Pertemuan VII Perkuliahan IV Sejarah Perundang-undangan
a. Periode Kolonial
b. Periode Awal Berlakunya UUD
1945
c. Periode Berlakunya Konstitusi
RIS
d. Periode Berlakunya UUDS
1950
e. Periode Berlakunya UUD 1945
Era Demokrasi Terpimpin
f. Periode Berlakunya UUD 1945
Era Demokrasi Pancasila
g. Periode Berlakunya UUD 1945
hasil perubahan.
8 Pertemuan VIII UTS Substansi Perkuliahan I- IV
9 Pertemuan IX Tutorial IV Sejarah Perundang-undangan
10 Pertemuan X Perkuliahan V Dasar-Dasar Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
a. Kedudukan Pancasila dalam
Peraturan Perundang-undangan
b. Landasan Keberlakuan
Peraturan Perundang-undangan
c. Asas-asas Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
11 Pertemuan XI Tutorial V Dasar-Dasar, Pembentukan
Peraturan Perundang-undanga
12 Pertemuan XII Perkuliahan VI Jenis, Fungsi dan Materi Muatan
Peraturan Perundang-Undangan
a. Jenis Peraturan Perundang-
undangan
b. Fungsi Peraturan Perundang-
undangan
c. Materi Muatan Peraturan
Perundang undangan
13 Pertemuan XIII Tutorial VI Jenis, Fungsi dan Materi Muatan
10
Peraturan Perundang-Undangan:
14 Pertemuan XIV Perkuliahan VII Proses Pembuatan Peraturan
Perundang-Undangan
a. Proses Pembuatan UU;
b. Proses Pembuatan Perppu, PP
Dan Perpres;
c. Proses Pembuatan Perda; Dan
d. Bentuk Dan Mekanisme
Partisipasi Masyarakat Dalam
Pembuatan Peraturan Perundang-
Undangan, Terutama Dalam
Pembuatan UU Dan Perda.
15 Pertemuan XV Tutorial VII Proses Pembuatan Peraturan
Perundangundangan
16 Pertemuan XVI UAS Substansi Perkuliahan V, VI, dan
VII
11
PERTEMUAN I :
KULIAH KESATU
PEMAHAMAN DASAR HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN
1.1. Pendahuluan
Mengawali pertemuan pembelajaran mata kuliah ini,
Mahasiswa diajak mempelajari perihal pemahaman dasar Hukum
Perundang-undangan, meliputi (1) nama mata kuliah: dari ilmu
perundang-undangan ke hukum perundang-undangan; (2) hukum
perundang-undangan: pengaturan dan disiplin ilmu hukum; (3)
perundang-undangan: pembentukan peraturan perundang-undangan
dan peraturan perundang-undangan; (4) obyek kajian hukum
perundang-undangan; dan (5) metode kajian hukum perundang-
undangan.
Penguasaan pemahaman dasar Hukum Perundang-undangan
ini menjadi landasan dalam memahami materi pembelajaran pada
pertemuan-pertemuan berikutnya.
13
1
A. Hamid S. Attamimi, 1990, “Ilmu Pegetahuan
Perundang-undangan (Gesetzgebungswissenchaft) dan Pengembangan
Pengajarannya di Fakultas Hukum”, Makaiah dalam Diskusi Mengenai
Kemungkinan Masuknya Ilmu Perundang-undangan Dalam Kurikulum
14
3
Untuk strata 2 Program Studi Ilmu Hukum terdapat mata kuliah
berjudul Teori Hukum, antara lain dapat dicermati JJ.H. Bruggink, 2011,
Refleksi Tentang Hukum: Pengertian-Pengertian Dasar dalam Teori Hukum,
terjemahan B. Arief Sidharta, Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti, hlm.
87-118, 119-140, 141-158 (Bab V Aturan Hukum dan Kaidah Hukum, Bab
VI Asas Hukum dan Sistem Hukum, Bab VII Keberlakuan Kaidah Hukum),
materi yang berkaitan dengan pembentukan isi peraturan perundang-
undangan.
4
Pengenalan awal sosiologi perundang-undangan antara lain dalam
Soerjono Soekanto, “Masalah-masalah Di Sekitar Perundang-undangan
(Suatu Tinjauan menurut Sosiologi Hukum), dalam Majalah FH UI, Nomor
(?) Tahun (?), hlm. 27-34, dan Jufrina Rizal, Sosiologi Perundang-undangan
dan Pemanfaatannya dalam Hukum dan Pembangunan Nomor 3 Tahun
XXXIII, Juli-September 2003, hlm. 413-427.
5
Dapat dipelajari antara lain Pataniari Siahaan, 2012, Politik Hukum
Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta:
Konstitusi Press, juga dalam H. Abdul Latif dan H. Hasbi Ali, Politik
Hukum, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, hlm. 164-192 (Bab 6 Politik
Perundang-undangan Indonesia).
6
Antara lain dapat dipahami dari Theo Huijbers, 1995, Filsafat
Hukum, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hlm. 139-147 (Bab 12 Keahlian
Sarjana Hukum, yang membahas kesenian hukum dan pembentukan
hukum). Juga di dalam Franz Magnis-Suseno, 2016, Etika Politik Hukum:
Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama, hlm. 82-104 (Bab IV Apa Itu Hukum, yang
membahas kekhasan norma hukum dan kepastian hukum serta keadilan),
144-154 (Bab VI Nilai-nilai Dasar dalam Hukum , yang mesti dilindungi
produk legislatif).
16
7
A. Hamid S. Attamimi I, op.cit., hlm. 6.
8
A. Hamid S. Attamimi I, op.cit., hlm. 7
17
9
A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi
Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Bersifat Pengaturan dalam
Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV), Disertasi Doktor, Jakarta: Fakultas
Pascasarjana Universitas Indonesia, (selanjutnya disingkat A. Hamid S.
Atamimi II ), hlm. 300.
18
10
Ibid., hlm. 43.
11
A. Hamid S. Attamimi II, op.cit., hlm. 298.
19
12
A. Hamid S. Attamimi, 1993, ”Hukum Tentang Peraturan
Perundang-undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan)”,
Pidato Purna Bakti Guru Besar Tetap, Depok: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, (selanjutnya disingkat A. Hamid S. Atamimi III).
13
Maria Farida, dkk, 2008, Laporan Kompendium Bidang Hukum
Perundang-Undangan, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, (selanjutnya disingkat
Maria Farida I), hlm. 8.
20
(legislasi).17
Tampaknya, hukum perundang-undangan dalam perspektif
Bagir Manan mewujud ke dalam apa yang disebut sebagai peraturan
perundang-undangan. Ia menulis:18
Hukum dalam suatu negara dapat menjelma dalam berbagai
wujud, antara lain dalam bentuk Hukum Tertulis berupa
peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan
adalah setiap putusan yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan
oleh Lembaga dan atau Pejabat Negara yang mempunyai
(menjalankan) fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang
berlaku.
17
Ibid.
18
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1987, Peraturan Perundang-
undangan dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Penerbit CV.
Armico, hlm. 3.
19
Bagir Manan, 1992, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia,
Jakarta: Ind-Hill.Co, (Selanjutnya disingkat Bagir Manan II), hlm. 3. Selain
itu terdapat undang-undang dalam arti formal, yakni keputusan tertulis
sebagai hasil kerjasama antara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif
yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum.
Lihat Bagir Manan, 1992, Dasar-dasar..., Ibid., hlm. 4.
22
20
Bagir Manan memahami hukum yurisprudensi, hukum adat, dan
hukum kebiasaan sebagai berikut:
1. Hukum Yurisprudensi adalah hukum yang terbentuk melalui
putusan hakim atau pengadilan. Yurisprudensi diakui sebagai
hukum dalam arti konkrit.
2. Hukum Adat adalah hukum asli bangsa Indonesia, tidak tertulis
yang tumbuh dan dipertahankan dalam persekutuan masyarakat
hukum adat. Hukum adat diakui sebagai salah satu bentuk hukum
yang berlaku. Karena mengikat bukan saja terhadap anggota
persekutuan masyarakat hukum adat, melainkan mengikat pula
badan peradilan atau administrasi negara yang bertugas
menerapkannya dalam situasi konkrit.
3. Hukum Kebiasaan adalah hukum tidak tertulis, yang ketaatanya
semata-mata bersifat sukarela atas dasar perasaan moral dan etika.
Bagir Manan I, loc.cit.
21
A. Hamid S. Attamimi III, loc.cit.
22
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum
Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI,
hlm. 29, mendefinisikan Hukum Tata Negara sebagai sekumpulan peraturan
hukum yang mengatur organisasi dari negara, hubungan antar alat
perlengkapan negara dalam garis vertikal dan horizontal, serta kedudukan
warga negara dan hak-hak asasinya.
23
23
Maria Farida I, loc.cit.
24
Beranjak dari pendapat Burkhardt Krems tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan, terkutip dalam A. Hamid S. Attamimi II,
1990, op.cit., hlm. 317.
25
A. Hamid S. Attamimi II, op.cit., hlm. 314.
24
Hukum Perundang -
undangan
25
26
A. Hamid S. Attamimi, 1979, “Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan”, dalam Hukum dan Pembangunan, Vol. 9 No. 3
Tahun 1979, hlm. 281-292. A. Hamid S. Attamimi, 1982, “Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan”, dalam BPHN, Himpunan Bahan Penataran
Latihan Tenaga Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan Tanggal 1
s/d 20 Juni 1981, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman, hlm. 59-78. (selanjutnya disingkat A. Hamid S. Attamimi IV).
27
A. Hamid S. Attamimi II, op.cit, hlm. 314.
26
28
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Jakarta:
Konstitusi Press, hlm. 34-35.
29
Bagir Manan II, loc.cit.
27
30
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, loc.cit.
31
A.Hamid S. Attamimi II, op.cit, hlm. 225-226.
28
32
A.Hamid S. Attamimi II, op.cit, hlm. 314.
29
Perundang-undangan
Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
Peraturan Perundang-undangan
33
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Adtya Bakti,
hlm. 175-183.
30
juga lembaga atau struktur hukum dan proses atau budaya hukum.
Pengertian hukum yang memadai, menurut Mochtar
Kusumaatmaja, seharusnya tidak hanya memandang hukum itu
sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup
lembaga (institutions) dan proses (processes) yang diperlukan untuk
mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.34
Pengertian hukum tersebut memuat tiga unsur. Pertama,
perangkat kaidah dan asas-asas. Pengertian hukum sebagai suatu
perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia
dalam masyarakat, merupakan pengertian tradisional dari hukum.
Kaidah hukum merupakan patokan berperilaku yang mempunyai
akibat hukum. Asas-asas hukum merupakan pemikiran yang
melandasi kaidah hukum.
Kedua, lembaga (institutions). Istilah ”lembaga” atau
lembaga hukum (legal institution) mempunyai dua makna, yakni: (1)
Himpunan nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola perilaku mengenai
kebutuhan-kebutuhan pokok manusia.35 Termasuk dalam pengertian
ini adalah lembaga perkawinan, lembaga pengangkatan anak.
Lembaga perkawinan dapat dimaknai sebagai himpunan nilai-nilai,
kaidah-kaidah dan pola perilaku mengenai perkawinan; dan (2)
lembaga dalam pengertian struktur, mengacu pada Lawrence M.
Friedman, yang merupakan salah satu dasar atau elemen nyata dari
sistem hukum. Struktur sebuah sistem adalah kerangka badannya
yang menjaga agar proses berjalan dalam batas-batasnya.36
Makna ”lembaga” dalam pengertian hukum dari Mochtar
Kusumaatmaja diinterpretasi sebagai lembaga dalam pengertian
34
Mochtar Kusumaatmaja, 1986, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan
Hukum Nasional, Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dean Kriminologi
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, hlm. 15.
35
Muslan Abdurrahman, 2009, Sosiologi dan Metode Penelitian
Hukum, Malang : UMM Press, hlm. 8.
36
Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System: A Social Science
Perspective, New York : Russel Sage Foundation, hlm. 14.
32
33
34
35
37
Safitri dan Tristam Moeliono, 2010, “Bernegara hukum dan
berbagi kuasa dalam urusan agrarian di Indonesia: Sebuah Pengantar”,
dalam Safitri dan Tristam Moeliono, (eds.), Hukum Agraria dan Masyarakat
Di Indonesia: Studi tentang Tanah, Kekayaan Alam, Dan Ruang Di Masa
Kolonial Dan Desentralisasi, Jakarta: HuMa; Van Vollenhoven Institute,
KITLV-Jakarta, hlm. 31.
38
Sulistyowati Irianto, 2012, “Memperkenalkan kajian sosio-legal
dan implikasi metodelogisnya”, dalam Adriaan W. Bedner, dkk (eds.),
Kajian Sosio-Legal, Denpasar: Penerbit Pustaka Larasan, (selanjutnya
disingkat Susistyowati Irianto I), hlm. 3. Lihat juga Sulistyowati Irianto,
2009, “Memperkenalkan kajian sosio-legal dan implikasi metodelogisnya”,
dalam Sulistyowati Irianto & Shidarta, (Eds), Metode Penelitian Hukum:
Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, (selanjutya
disingkat Sulistyowati Irianto II), hlm. 175.
37
etnografi sosiolegal.39
Metode penelitian sosiolegal merupakan kombinasi antara
metode penelitian hukum doktriner dan metode penelitian hukum
empirik (yang meminjam metode ilmu sosial), maka yang perlu
dilakukan peneliti adalah studi dokumen, yang disertai dengan studi
lapangan. Studi dokumen melakukan identifikasi dan analisis
terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait tema
riset. Studi lapangan melakukan identifikasi bagaimana hukum
bekerja dan berimplikasi terhadap hubungan-hubungan di antara
subjek dengan banyak pihak, dan mendapatkan data empirik tentang
pengalaman subjek berkenaan dengan tematik riset.40
Jadi, dalam penelitian sosio-legal terdapat unsur penelitian
hukum doktriner, atau disebut juga penelitian hukum normatif.41 Oleh
karena, diperlukan penguasaan metode penelitian hukum normatif,
terutama tentang makna normatif.
Normatif adalah sebuah konsep filsafat tentang nilai. Ia
menunjuk kepada keutamaan nilai (summum bonum) tertentu. Konsep
normatif menunjuk pada hakikat hukum sebagai kaidah atau norma,
bukan sekedar aturan formal. Suatu aturan disebut normatif, jika
dalam dirinya terdapat summum bonum yang secara akal sehat
diterima sebagai sesuatu yang patut.42 Kaidah atau norma adalah
39
Sulistyowati Irianto I, op.cit, hlm. 5-6. Lihat juga Sulistyowati
Irianto II, op.cit., hlm. 177-178.
40
Sulistyawati Irianto, 2009, “Praktik Penelitian Hukum: Perspektif
Sosiolegal”, dalam Sulistyowati Irianto & Shidarta, (eds), Metode Penelitian
Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
(selanjutnya disingkat Sulistyawati Irianto III),hlm. 308-309.
41
Soetandyo Wignjosoebroto, 2013, Hukum: Konsep dan Metode,
Malang: Setara Press, hlm. 75-88. Lihat juga Soetandyo Wignjosoebroto,
2002, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta:
HuMa, hlm. 147-160.
42
Benard L. Tanya; Yoan N. Simanjuntak; Markus Y. Hage, 2006,
Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
Surabaya: CV. Kita, hlm. 187-188.
38
43
Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, hlm. 122.
44
Sudikno Mertokusumo, 1996, Penemuan Hukum: Sebuah
Pengantar, Yogyakarta: Penerbit Liberty, hlm. 11.
45
JJ.H. Bruggink, 2011, Refleksi Tentang Hukum: Pengertian-
Pengertian Dasar dalam Teori Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm.
186-189.
46
Ibid., hlm. 150-151.
39
Hukum
Tesis normativitas Tesis reduktif
dan fakta
(keterpisahan (ketakterpisahan
Hukum
hukum dan fakta) hukum dan fakta)
dan moralitas
Tesis moralitas
Teori Hukum Alam
(ketakterpisahan
hukum dan
moralitas)
48
JJ.H. Bruggink, op.cit., hlm. 189.
49
Mohammad Koesnoe, 2010, Dasar dan Metode Ilmu Hukum
Positif, Surabaya: Airlangga University Press, hlm. 67.
50
Johnny Ibrahim, 2006, Teori & Metodologi Penelitian Hukum
Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, hlm. 48.
51
Gede Marhaendra Wija Atmaja,2017, “Metodelogi Penelitian
Hukum dalam Penyusunan Naskah Akademik”, makalah dipersiapkan untuk
41
antara metode yang satu dengan metode yang lainnya setiap kali
menginterpretasi.53
4. Dalam kepustakaan hukum juga dikenal prinsip contextualism
dalam menginterpretasi, yakni: (1) Asas Noscitur A Sociis. Suatu
hal diketahui dari himpunannya, artinya suatu kata harus
diartikan dalam rangkaiannya; (2) Asas Ejusdem Generis. Sesuai
genusnya, artinya satu kata dibatasi maknanya secara khusus
dalam kelompoknya; dan (3) Asas Exlusio Alterius. Satu konsep
digunakan untuk satu hal, belum tentu berlaku untuk hal lain.54
5. Penelitian Hukum Normatif memerlukan penalaran hukum. Tiga
acuan dasar berpenalaran hukum. Pertama, Positivitas. Demi
terjaminnya kepastian hukum dan prediktabilitas, maka proses
penalaran hukum harus selalu berdasarkan dan dalam kerangka
tata hukum yang berlaku. Kedua, Koherensi. Agar dapat dipatuhi
dan diterapkan sedemikian sehingga tujuan pembentukannya
dapat terwujud, maka dalam tata hukum tidak boleh ada
inkonsistensi dan kontradiksi internal. Terdapat sejumlah asas
hukum mencegah dan menanggulangi problem tersebut, seperti:
asas lex superior, lex posterior, lex specialis.55Ketiga, Keadilan.
Hukum dimaksudkan unjtuk mewujudkan pengaturan hubungan
53
Ibid., hlm. 136.
54
Phlipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi
Hukum, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm. 26, yang merujuk
pada McLeod. Lihat juga Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 005/PUU-
IV/2006 dalam perkara permohonanPengujian Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Pengujian
Undang undangRepublik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakimanterhadap Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia
Tahun 1945, hlm. 160-162.
55
Tentang asas preferensi hukum lihat Bagir Manan, 2004, Hukum
Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik), Yogyakarta: FH UII Press, hlm. 56-
61. Lihat juga Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta:
Kencana, hlm. 99-101.
43
56
Bernard Arief Sidharta, 2009, “Penelitian Hukum ...”, dalam
Sulistyowati Irianto & Shidarta, (Eds), Metode Penelitian ..., Ibid, hlm. 144-
145, merujuk pada Visser‟t Hooft. B. Arief Sidharta, 2017, Ilmu Hukum ... ,
Ibid., hlm. 133-135, merujuk pada Visser‟t Hooft.
57
Bernard Arief Sidharta, 2009, “Penelitian Hukum ...”, dalam
Sulistyowati Irianto & Shidarta, (Eds), Metode Penelitian ..., Ibid, hlm. 147-
148, merujuk pada JW Harris. B. Arief Sidharta, 2017, Ilmu Hukum ... ,
Ibid., hlm. 140-141, merujuk pada JW Harris.
44
58
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian ..., op.cit., hlm. 93.
59
Tentang konsep yuridisk lihat Bernard Arief Sidharta, 2009,
“Penelitian Hukum ...”, dalam Sulistyowati Irianto & Shidarta, (Eds),
Metode Penelitian ..., Ibid., hlm. 148, merujuk pada Radbruch. B. Arief
Sidharta, 2017, Ilmu Hukum ... , Ibid., hlm. 141-142, merujuk pada
Radbruch.
45
60
Budi Winarno, 2011, Kebijakan Publik: Teori, Proses, dan Studi
Kasus, Yogyakarta: CAPS, hlm. 122-126. Lihat pula M. Irfan Islamy, 2012,
Kebijakan Publik, Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka, hlm. 5.1-5.32.
46
61
Djoko Sutono, 1982, Hukum Tata Negara, dihimpun oleh Harun Al
Rasid, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 21. Abu Daud Busroh dan H.
Abubakar Busro, 1983, Asas-asas Hukum Tata Negara, Jakarta: Ghalia
Indonesia, hlm. 35-36.
62
Djoko Sutono, 1982, Hukum ..., hlm. 22. Abu Daud Busroh dan
H. Abubakar Busro, 1983, Asas-asas ..., hlm. 34-35.
63
Dalam I Gede Yusa, et.al., 2016, Hukum Tata Negara: Pasca
Perubahan UUD NRI 1945, Malang : Setara Press, hlm. 15-16.
64
Djoko Sutono, 1982, Hukum ..., hlm. 23-24.
65
Terkutip dalam Saafroedin Bahar, et.al., (eds.), Risalah Sidang
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-
22 Agustus 1945, Edisi III. Cet.2, Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995, hlm.
47
264.
66
A. Hamid S. Attamimi, 1990, “Ilmu Pengetahuan ...”, Ibid., hlm. 5.
48
1.8. Penutup
Resume
Awalnya mata kuliah ini bernama Ilmu Perundang-undangan,
merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan,
berorientasi kepada melakukan perbuatan membentuk peraturan
negara atau membentuk peraturan perundang-undangan.Ilmu
Perundang-undangan sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan
Perundang-undangan tidaklah bersifat monodisipliner, melainkan
interdisipliner.
Kemudian berganti nama menjadi Hukum Perundang-
undangan dengan alasan pembelajaran materi kuliah Ilmu Perundang-
undangan dilakukan dalam kerangka hukum, menyangkut asas dan
kaidah hukum pembentukan peraturan perundang-undangan, lembaga
dan proses untuk mewujudkan asas dan kaidah hukum pembentukan
peraturan perundang-undangan menjadi kenyataan.
Jadi, Hukum Perundang-undangan mempelajari: (1)
Perangkat kaidah dan asas-asas mengenai pembentukan peraturan
perundang-undangan, seperti Undang-Undang tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan; (2) Lembaga yang mempunyai dan
menjalankan kewenangan berdasarkan hukum untuk membentuk
peraturan perundang-undangan, seperti DPR, Presiden, dan DPD
dalam pembentukan undang-undang; dan (3) Proses pembentukan
peraturan perundang-undangan, seperti tahapan perencanaan,
permusan, pembahasan, pengesahan/penetapan, dan pengundangan.
Lebih rinci obyek kajian hukum perundang-undangan
tersebut diamati dari ruang lingkup pengertian pembentukan
peraturan perundang-undangan, yakni: (1) Kegiatan pembentukan isi
peraturan perundang-undangan, meliputi materi muatan dan
penormaan atau perumusan materi muatan menjadi norma hukum
yang dituangkan dalam aturan hukum berwujud pasal, jika diperlukan
dalam wujud ayat-ayat; (2) Kegiatan yang menyangkut pemenuhan
bentuk peraturan perundang-undangan, termasuk antara lain proses
serta prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan.
49
Latihan
Sebagai akhir dari bagian Penutup, disediakan soal latihan
bagi mahasiswa agar dikerjakan untuk mengetahui capaian
pembelajaran. Mahasiswa wajib mengerjakan tugas-tugas latihan,
sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Ilmu Perundang-undangan?
2. Apa yang dimaksud dengan Hukum Perundang-undangan
sebagai disiplin ilmu hukum?
3. Apa makna Hukum Perundang-undangan sebagai disiplin ilmu
hukum yang bersifat interdisipliner?
4. Apa yang menjadi obyek Hukum Perundang-undangan sebagai
disiplin ilmu hukum?
5. Dimanakah posisi Hukum Perundang-undangan dalam fase
proses hukum yang meliputi pembuatan hukum, hukum sebagai
produk pembuatan hukum, dan pelaksanaan hukum?
50
51
52
53
54
PERTEMUAN II :
TUTORIAL I
PEMAHAMAN DASAR HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN
2.1. Pendahuluan
Mahasiswa dalam Pertemuan II dan Tutorial Kesatu ini
mendiskusikan materi-materi berkenaan dengan Pemahaman Dasar
Hukum Perundang-undangan, meliputi: (1) nama mata kuliah: dari
ilmu perundang-undangan ke hukum perundang-undangan; (2)
hukum perundang-undangan: pengaturan dan disiplin ilmu hukum;
(3) perundang-undangan: pembentukan peraturan perundang-
undangan dan peraturan perundang-undangan; (4) obyek kajian
hukum perundang-undangan; dan (5) metode kajian hukum
perundang-undangan.
Materi-materi Tutorial Kesatu merupakan pendalaman atas
materi-materi Kuliah Kesatu, yang berfungsi sebagai landasan-
pijakan untuk memahami materi-materi pembelajaran pada
pertemuan-pertemuan berikutnya, baik kuliah maupun tutorial.
Karena itu, dalam tutorial ini Mahasiswa mendiskusikan dengan
sungguh-sungguh mengenai isu yang terdapat dalam penyajian materi
Study Task dan Problem Task.
Sumber:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58f4255c
93fc1/putusan-ma--surat-edaran-bukan-objek-hak-
uji-materiil<diunduh 26-08-2017>
2.3. Penutup
Sajian problem task tersebut menyajikan problem mengenai
karakter hukum surat edaran, tepatnya surat edaran itu merupakan
peraturan perundang-undangan atau bukan peraturan perundang-
undangan. Dengan perkataan lain, apakah yang dimaksud dengan
peraturan perundang-undangan menurut perspektif Mahkamah Agung
(dalam kasus-kasus yang disebutkan itu) sehingga berpendapat Surat
Edaran (SE) sebagai peraturan perundang-undangan atau bukan
peraturan perundang-undangan?
60
61
PERTEMUAN III :
PERKULIAHAN KEDUA
NORMA HUKUM DALAM PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN
3.1. Pendahuluan
Mengawali pertemuan pembelajaran mata kuliah ini,
mahasiswa diajak mempelajari mengenai pengertian norma hukum,
asas hukum, norma hukum dan aturan hukum, jenis norma hukum,
sifat norma hukum, struktur norma hukum ke dalam aturan hukum,
dan metode perumusan norma ke dalam aturan hukum. Setelah
mempelajari dan mendiskusikan materi ini mahasiswa diharapkan
memahami pengertian norma hukum, asas hukum, norma hukum dan
aturan hukum, jenis norma hukum, sifat norma hukum, struktur
norma hukum ke dalam aturan hukum, dan metode perumusan norma
ke dalam aturan hukum. Materi perkuliahan pada pertemuan ketiga
ini sangat penting sebagai landasan untuk memahami kajian
pembelajaran pada pertemuan-pertemuan selanjutnya.
62
67
Maria Farida Indrati Soeprapto,2007, Ilmu Perundang-Undangan,
Yogyakarta : Kanisius, hlm.18.
68
Jimly Asshiddiqie, 2014, Perihal Undang-Undang, Jakarta :
RajaGrafindo Persada, hlm. 1.
69
Rachmat Trijono, 2013, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan
Perundang-undangan, Jakarta : Papas Sinar Sinanti, hlm.32.
63
70
Budiman N.P.D. Sinaga, 2005, Ilmu Pengetahuan Perundang-
Undangan, Yogyakarta : UII Press, hlm. 8.
71
Ibid., hlm. 9.
72
Soimin, 2010, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Negara Di Indonesia, Yogyakarta : UII Press, hlm. 29,dikutip dari Tim Lab.
Fakultas Hukum UMM, Praktek Ilmu Perundang-undangan, UMM Press,
Malang, 2006, hlm. 13.
73
Ibid.,hlm. 30.
64
74
Ibid.
75
Budiman N.P.D. Sinaga, op.cit., hlm. 14.
76
Ibid.,hlm. 15.
65
77
Ibid.,hlm. 16-17.
78
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya
Bakti, hlm.45.
66
79
Soimin, op.cit., hlm.,30.
80
Ibid.
81
A Hamid S Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi
Analisis mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan Dalam
Kurun Waktu PELITA I- PELITA IV), Disertasi Doktor UI, Jakarta, hlm.304.
67
82
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na‟a, 2012, Dinamika Hukum
Dan Ilmu Perundang-Undangan Di Indonesia, Bandung : Alumni, hlm. 23.
83
Rachmat Trijono, op.cit., hlm. 51.
68
84
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na‟a, op.cit., hlm. 25.
69
Penjelasan:
1. Dari segi alamat yang dituju (addressat)
Norma hukum apabila dilihat dari segi alamat yang dituju (
addressat ), atau untuk siapa norma hukum itu ditujukan atau
diperuntukkan, maka norma hukum dapat dibedakan antara norma
hukum umum dan norma hukum individual.
Norma Hukum Umum adalah norma hukum yang ditujukan
untuk banyak orang (addressat nya umum) dan tidak tertentu. Umum
disini dapat berarti bahwa suatu peraturan itu ditujukan untuk semua
orang, semua warga negara, untuk semua wilayah. Norma hukum
umum ini sering dirumuskan dengan kata-kata: “ Barang siapa..”,
atau “ Setiap orang...”, ataupun “ Setiap Warga Negara...” dan
sebagainya.
Norma Hukum Individual adalah norma hukum yang
ditujukan atau dialamatkan pada seseorang, beberapa orang, atau
banyak orang yang telah tertentu sehingga norma hukum yang
individual ini biasanya dirumuskan dengan kalimat sebagai berikut:
“Nasarudin yang bertempat tinggal di Jalan Flamboyan no. 1
Jakarta....” dll.
85
Maria Farida Indrati Soeprapto, op.cit.,hlm. 26-35.
73
86
Ibid.,hlm. 20-22.
74
bukan dari diri kita sendiri tetapi dari negara sehingga kita harus
memenuhi kewajiban tersebut, senang atau tidak senang.
2. Suatu norma hukum itu dapat dilekati dengan sanksi pidana
ataupun sanksi pemaksa secara fisik. Contohnya bila seseorang
melanggar norma hukum, misalnya menghilangkan nyawa orang
lain maka ia akan dituntut dan dipidana.
3. Dalam norma hukum sanksi pidana atau sanksi pemaksa itu
dilaksanakan oleh aparat negara.87
87
Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, op.cit., hlm. 25.
88
Ibid.
75
89
Maria Farida Indrati Soeprapto, op.cit., hlm. 133.
76
77
90
Ibid., hlm. 27-35.
91
A Hamid S Attamimi, op.cit., hlm. 314.
78
79
92
Bruggink, J.J.H, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Terjemahan,
Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm.100-101.
80
93
Ibid., hlm. 112-116.
94
Karel E.M. Bongenaar, 1992,” Aturan adalah Norma: Beberapa
Aspek Mengenai Sifat Normatif dari Peraturan Perundang-undangan”,
dalam Yuridika, Nomor 1 dan 2 Tahun VII, Januari-April, Surabaya :
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, hlm. 561-624.
81
3.9. Penutup
Resume
Paparan materi di atas menunjukkan bahwa, terdapat
beberapa peristilahan yang digunakan untuk mata kuliah ini antara
lain Norma, Kaidah, Pedoman, Patokan dan Aturan dimana
keseluruhan istilah tersebut dapat diartikan sebagai segala ukuran
yang digunakan seseorang dalam bertingkah laku ataupun bertindak
di dalam masyarakat. Di Indonesia dikenal beberapa jenis norma
yaitu: Norma Agama, Norma Kesopanan, Norma Kesusilaan dan
Norma Hukum.
95
A Hamid S Attamimi, op.cit., hlm. 314.
82
Latihan
Sebagai akhir dari bagian penutup maka, disediakan soal
latihan bagi mahasiswa agar dikerjakan, untuk mengetahui capaian
pembelajaran. Mahasiswa wajib mengerjakan tugas-tugas latihan
sebagai berikut:
a. Apakah yang dimaksud dengan Norma, Norma Hukum dan
Aturan Hukum?
b. Apakah Norma Hukum sama dengan norma-norma lainnya?
c. Bagaimanakah kaitan antara struktur norma dan struktur
lembaga?
d. Rumuskanlah contoh masing-masing jenis norma hukum yang
ada!
84
PERTEMUAN IV :
TUTORIAL II
NORMA HUKUM DALAM PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN
4.1. Pendahuluan
4.3. Penutup
87
88
PERTEMUAN V :
PERKULIAHAN KETIGA
SUMBER KEWENANGAN PERUNDANG-UNDANGAN
5.1. Pendahuluan
Mengawali pertemuan pembelajaran mata kuliah ini,
mahasiswa diajak mempelajari mengenai sumber kewenangan
peraturan perundang-undangan, ruang lingkup sumber kewenangan
peraturan perundang-undangan yang meliputi pengertian sumber
kewenangan, kewenangan atribusi, kewenangan delegasi dan
perbedaan sumber kewenangan perundang-undangan dengan sumber
kewenangan pemerintahan. Setelah mempelajari dan mendiskusikan
materi ini, mahasiswa diharapkan memahami pengertian sumber
kewenangan, mampu membedakan kewenangan atribusi, dan
kewenangan delegasi serta dapat memahami perbedaan sumber
kewenangan perundang-undangan dengan sumber kewenangan
pemerintahan
negara.96 Tanpa wewenang badan atau pejabat tata usaha negara tidak
dapat melaksanakan aktivitas atau kegiatan pemerintahan atau
administrasi negara, oleh karena itu pada bagian ini akan menjelaskan
tentang pengertian wewenang, dan sumber wewenang.
Dalam memberikan penjelasan mengenai pengertian
wewenang ini menggunakan pendapat-pendapat dari beberapa
pendapat sarjana yang memberikan pendapat tentang pengertian
wewenang. Uraian selengkapnya adalah sebagai berikut ; Pertama,
Indroharto memberikan pengertian wewenang dalam arti yuridis
dengan mengatakan bahwa wewenang adalah kemampuan yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan
akibat-akibat hukum. Biasanya pengertian wewenang diartikan dalam
arti luas yang lebih bersifat umum yaitu wewenang untuk berbuat
sesuatu.97 Lebih lanjut Indroharto melihat wewenang itu sebagai
kemampuan atau kecakapan atau kesanggupan, dimana kecakapan
atau kesanggupan itu hanya ada atau diberikan oleh peraturan
perundang-undangan. Kemampuan atau kecakapan yang diberikan
oleh peraturan perundang-undangan tersebut menimbulkan akibat
hukum. Kedua, akibat hukum diartikan oleh Abdul Kadir Muhammad
sebagai akibat yang ditimbulkan oleh hukum berupa hak dan
kewajiban.98 Contoh : adanya berbagai produk hukum yang dibuat
oleh badan atau pejabat tata usaha negara dari yang bersifat mengatur
sampai dengan yang bersifat kongkrit. Ketiga P.Nicolai
mendefinisikan wewenang dilihat dari substansi asas legalitas dengan
mengatkan bahwa bevoegdheid is Het Vermogen tot het verrichten
96
Philipus M.Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (
bestuuurbevoegheid ) Pro Justitia, Tahun XVI Nomor 1 Januari 1998, hlm.
90.
97
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara Buku I (Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha
Negara), Sinar Harapan Jakarta, hlm. 68.
98
Abdul Kadir Muhammad, 2001, Hukum Perdata Indonesia, Citra
Aditya Bhakti, Bandung, hlm. 51.
90
99
P.Nicolai, 1994, Bestuursrechat, Amsterdam, hlm. 4.
100
HD. Stout, 1994, De Betekenissen Van der Wet, WEJ. Tjeenk
Willink, Zwolle, hlm. 102.
101
Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah ,Alumni, Bandung,
hlm. 265.
102
Prajudi Atmosudirdjo, 1988, Hukum Administrasi Negara, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hlm. 76.
91
103
Ridwan, HR., 2006, Hukum Administrasi Negara, Jakarta : Raja
Grafindo Persada, h. 71-72.
104
P.Nicolai, loc.cit.
92
108
Prajudi Atmosudirjo, op.cit.
109
Firmansyah Arifin, 2005, Lembaga Negara Dan Sengketa
Kewenangan Lembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional
dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, h. 16.
94
110
A Hamid S Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden RI
Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi Doktor
Universitas Indonesia, h. 347.
111
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah
Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung : Alumni, h. 209-210.
112
I.C. Van der Vlies, 2005, Buku Pegangan Perancang Peraturan
Perundang-undangan (Handboek Wetgeving), Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
RI, h. 78-79.
95
113
MR.NE.Algra, Mr.H.R.W.Gokkel Saleh Adiwinata, Boerhanoedin
St.Batoeh, 1983, Kamus Istilah Hukum Fockema Andrea Belanda, Bandung
: Bina Cipta, h. 36.
114
Ibid, h. 91, 286.
115
Ibid.
96
Tabel 1.
Perbedaan Atribusi, Delegasi Dan Mandat dalam Black s Law
Dictionary
Atribusi Delegasi Mandat
attribution rights Constitutional law. The An order
constitute one aspect of principle (based on the from an
the moral rights separation-of-power appellate
recognized primarily in concept) limiting court
civil law countries.116 congress s ability to directing a
transfer its legislative power lower court
(terjemahan bebas : to another governmental to take a
Pengaturan tentang branch, eps. the executive specified
atribusi adalah branch. delegtion is action.118
pemberian kewenangan permitted only if congress
oleh konstitusi dalam prescribes an intelligible (terjemahan
dalam bentuk principle to guide an bebas :
kewenangan asli executive agency in making pemberian
dalamnegara yang policy117 perintah dari
menganut sistem hukum atasan
civil law) ( terjemahan bebas : Konsep kepada
inti dalam delegasi adalah bawahan
pelimpahan kekuasaan dari untuk
legisltaif kepada eksekutif melakukan
membentuk peraturan suatu
perundang-undangan tindakan
119
Made Subawa, 2003, Implikasi Yuridis Pengalihan Kekuasaan
Membentuk Undang-Undang terhadap Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia Pasca perubahan UUD 1945, Disertasi Program Pasca Sarjana
Universitas Airlangga, Surabaya, h. 1.
99
120
Hilaire Barnett, op.cit, hlm. 485.
121
Jimly Asshiddiqie II, op.cit, hlm. 215.
100
sebagai berikut :
1. delegasi harus difinitif, artinya delegans tidak dapat lagi
menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan itu;
2. delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada
ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan;
3. delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan
hirarkhi kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;
4. kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans
berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan
wewenang tersebut;
5. peraturan kebijakan (beleidsregel) artinya delegans
memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan
wewenang tersebut.122
122
I Gusti Ngurah Wairocana, 2008, Implementasi Good Governance
Dalam Legislasi Daerah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar tetap
Dalam Bidang Hukum Administrasi Fakultas Hukum Universitas Udayana,
hlm. 26.
123
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi
Press Jakarta, hlm. 147.
101
124
H.W.R.Wade, 1982, Administrative Law, Fifth Edition ELBS
English Language Book Society oxford University Press, hlm. 733.
102
125
Hilaire Barnett, 2003, Constitusional & Administrative Law,
Fourth Edition Cavendish Publishing, hlm. 484-485.
103
126
P.P.Craig, 1994, Administrative Law, London Sweet and Maxwell,
hlm. 246.
127
Ibid, hlm. 247
128
Ibid
104
129
A.Hamid.S.Attamimi, op.cit., hlm. 348-351.
105
130
H.D.Van Wijk & Wilhem Konijnenbelt, 1994, Hoofd Strukken
Van Administratife Recht, Uitgeverij Lemma BV-Utrecht, hlm. 129.
106
131
Philipus M.Hadjon I, op.cit, hlm. 91.
132
A.Hamid.S.Attamimi, Peranan...op.cit., hlm.90-96.
133
Indroharto, loc.cit.
107
134
Philipus M.Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (
bestuuurbevoegheid ) Pro Justitia, Tahun XVI Nomor 1 Januari 1998, op.cit,
hlm. 91.
135
Philipus M.Hadjon, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Negara,
Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta, hlm. 130-131.
136
Bagir Manan, Wewenang Provinsi..., op.cit., hlm. 206-214,
A.Hamid.S. Attamimi, 1993, Hukum Tentang Peraturan Perundang-
undangan dan Peraturan Kebijakan, Pidato Purna Bakti Guru Besar Tetap
Universitas Indonesia hlm. 347-352, I.C. van der Vlies, op.cit, hlm. 78-79.
108
137
A. Hamid S. Attamimi , Peranan…op.cit., h. 347.
138
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah
Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni Bandung, h.209-210.
139
I.C. van Der Vlies, op.cit., hlm. 78-79.
109
Tabel 2.
Perbedaan Mandat dan Delegasi menurut R.J.H.M. Huisman
Delegasi Mandat
140
R.J.H.M Huisman, 1998, Algemean Bestuursrecht, Een Ineideng,
Kobra Amsterdam, hlm. 7.
110
141
Philipus M Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi
Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, makalah yang disampaikan
pada orasi Guru Besar Ilmu Hukum FH Unair, Surabaya, tanggal 10 Oktober
1994, hlm. 8.
111
Tabel 4.
Perbedaan Atribusi, Delegasi dan Mandat dalam Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan
Atribusi Delegasi Mandat
Atribusi adalah Delegasi adalah pelimpahan Mandat adalah
pemberian Kewenangan dari Badan pelimpahan
Kewenangan dan/atau Pejabat Pemerintahan Kewenangan
kepada Badan yang lebih tinggi kepada Badan dari Badan
dan/atau Pejabat dan/atau Pejabat Pemerintahan dan/atau Pejabat
Pemerintahan oleh yang lebih rendah dengan Pemerintahan
Undang-Undang tanggung jawab dan tanggung yang lebih
Dasar Negara gugat beralih sepenuhnya tinggi kepada
Republik Indonesia kepada penerima delegasi. Badan dan/atau
Tahun 1945 atau (Dalam Pasal 1 angka 23) Pejabat
Undang-Undang. Pemerintahan
112
142
Kementrian Pendayaan Aparatur Negara, 2013, Naskah Akademik
Undang-Undang Administrasi Pemerintah, 2013, Jakarta, hlm. 30.
114
143
Indroharto, 1996, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara Buku I ( Beberapa Pengertian Dasar Hukum
Tata Usaha Negara), Jakarta: Sinar Harapan, h. 68. Perlu juga dipahami
pendapat Suwoto Mulyosudarmo, terkait dengan pembagian beban tanggung
jawab bentuknya ditentukan oleh cara-cara kekuasaan itu diperoleh
(bevoegdheidverkrijging) dibedakan menjadi dua macam yaitu kekuasaan
yang bersifat atributif dan kekuasaan yang bersifat derivatif. Atributif adalah
pembentukan kekuasaan dari kekuasaan yang belum ada menjadi ada.
derivatif (afgeleid) kekuasaan yang diderivasi kepada pihak lain. Dalam
kaitannya dengan siapa yang dianggap sah membentuk kekuasaan dan siapa
yang sah melimpahkan kekuasaan serta bagaimana bentung
pertanggungjawaban dapat dilaksanakan. Bentuk dari derivative ini adalah
delegatsi dan mandat. Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan
Kajian teoritis dan Yuridis terhadap pidato Nawaksara, Jakarta : Gramedia,
hlm. 39-41
115
3. Pasal 14 ayat :
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Mandat
apabila: a. ditugaskan oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan di atasnya; dan b. merupakan pelaksanaan
tugas rutin.
(2) Pejabat yang melaksanakan tugas rutin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. pelaksana
harian yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif
yang berhalangan sementara; dan b. pelaksana tugas yang
melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang
berhalangan tetap.
(3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat memberikan
Mandat kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain
yang menjadi bawahannya, kecuali ditentukan lain dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan.
117
5.6. Penutup
Resume.
Dalam suatu negara hukum yang demokratis sangat
diperlukan suatu kebijakan yang dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan yang mampu memberikan keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum kepada masyarakat. Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan
Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan
Agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan
perundang-undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai
pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan
dengan cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat
semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-
undangan. Pentingnya pengaturan tersebut harus dibarengi juga
pemahaman akan pembentukan peraturan perundang-undangan yang
dimulai dari dasar kewenangan pembentukan peraturan perundang-
undangan.
Latihan.
Sebagai akhir dari bagian penutup maka disediakan soal bagi
mahasiswa agar dikerjakan untuk mengetahui capaian pembelajaran.
Mahasiswa wajib mengerjakan tugas-tugas latihan sebagai berikut:
a. Jelaskan apa yang dimaksud dengan "wewenang" dan
"kewenangan". Dengan cara bagaimana kewenangan
tersebut dapat diperoleh?
b. Apa bedanya sumber kewenangan perundang-undangan
dan sumber kewenangan pemerintahan. Bagiamanakah
118
120
121
PERTEMUAN VI :
TUTORIAL III
SUMBER KEWENANGAN PERUNDANG-UNDANGAN
6.1. Pendahuluan
Dalam pertemuan keenam ini, mahasiswa berdiskusi
mengenai sumber kewenangan perundang-undangan. Setelah
melakukan tutorial ini, mahasiswa diharapkan memahami sumber
kewenangan, kewenangan atribusi, kewenangan delegasi dan
perbedaan sumber kewenangan perundang-undangan dengan sumber
kewenangan pemerintahan. Materi tutorial ketiga ini sangat penting
sebagai landasan untuk memahami bahan kajian pembelajaran pada
pertemuan-pertemuan selanjutnya. Karena itu, dalam tutorial ini
mahasiswa harus mendiskusikan mengenai makna berbagai
peristilahan dan ruang lingkup pembentukan peraturan perundang-
undangan yang terdapat dalam penyajian materi.
6.3. Penutup
Dalam penyajian materi: Study Task tersebut di atas
dideskripsikan sumber kewenangan, kewenangan atribusi,
kewenangan delegasi dan perbedaan sumber kewenangan perundang-
undangan dengan sumber kewenangan pemerintahan. Namun makna
dari beberapa istilah tersebut tidak dinyatakan, karena harus
diketemukan oleh mahasiswa di dalam kegiatan tutorial. Selain itu,
dinarasikan juga adanya aspek-aspek yang terdapat dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan. Terhadap hal itu,
mahasiswa berdiskusi untuk menguraikan aspek-aspek tersebut.
Pada akhir tutorial, mahasiswa wajib menyetor laporan
kegiatan tutorial, yang mendeskripsikan secara rinci seluruh kegiatan
dalam tutorial tersebut, yaitu: siapa pemimpin diskusi (discussion
leader) dan pencatat (note taker), siapa yang aktif, dan alokasi waktu
selama tutorial. Laporan tutorial wajib dikumpulkan pada saat
berakhirnya waktu seluruh kegiatan tutorial.
123
PERTEMUAN VII :
KULIAH KEEMPAT
SEJARAH PERUNDANG-UNDANGAN
7.1. Pendahuluan
Mengawali pertemuan pembelajaran mata kuliah ini,
mahasiswa diajak mempelajari mengenai Sejarah Perundang-
undangan yang meliputi Periode Kolonial, Periode Awal Berlakunya
UUD 1945, Periode Berlakunya Konstitusi RIS, Periode Berlakunya
UUDS 1950, Periode Berlakunya UUD 1945 Era Demokrasi
Terpimpin, Periode Berlakunya UUD 1945 Era Demokrasi Pancasila,
Periode Berlakunya UUD 1945 hasil perubahan. Setelah mempelajari
dan mendiskusikan materi ini, mahasiswa diharapkan memahami
Sejarah Perundang-undangan di Indonesia. Materi perkuliahan pada
pertemuan kesatu ini sangat penting sebagai landasan untuk
memahami bahan kajian pembelajaran pada pertemuan-pertemuan
selanjutnya.
124
125
126
128
130
135
4. Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah adalah memuat aturan-aturan
umum untuk melaksanakan Undang-undang.
5. Keputusan Presiden.
Keputusan Presiden berisi keputusan yang bersifat
khusus (einmalig) adalah untuk melaksanakan
ketentuan Undang-Undang Dasar yang bersangkutan,
Ketetapan MPR dalam bidang eksekutif atau peraturan
Pemerintah.
6. Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya.
Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti:
Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lainnya,
harus dengan tegas berdasar dan bersumber pada
peraturan perundangan yang lebih tinggi.
141
143
20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 22A Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UU 10/2004 memberikan pengertian Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan adalah proses pembuatan Peraturan Perundang-
undangan yang pada dasamya dimulai dari perencanaan, persiapan,
teknikpenyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan,
pengundangan, dan penyebarluasan (Pasal 1 angka 1). UU 10/2004
selain mengatur tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, juga mengatur mengenai prinsip-prinsip pembentukan
peraturan perundang-undangan, serta jenis, hierarki, dan materi
muatan peraturan perundang-undangan, yakni:
1. Bab I memuat prinsip Pancasila merupakan sumber dari
segala sumber hukum (Pasal 2) dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan
hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan (Pasal
3).
2. BAB II memuat Asas Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan Yang Baik (Pasal 5 dan Pasal 6).
3. BAB II memuat Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
undangan (Pasal 7).
4. Bab III memuat Materi Muatan (Pasal 8).
Mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan diatur
mulai dari Bab IV dan bab-bab berikutnya, yakni:
1. Bab IV Perencanaan Penyusunan Undang-Undan.
2. Bab V Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
1. Bagian Kesatu Persiapan Pembentukan Undang-
Undang
2. Bagian Kedua Persiapan Pembentukan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, dan Peraturan Presiden.
3. Bagian Ketiga Persiapan Pembentukan Peraturan
Daerah.
147
148
151
152
7.10. Penutup
Resume.
Sejarah perkembangan pengaturan pembentukan peraturan
perundang-undangan menunjukkan sejumlah perbedaan, yakni:
1. Pengertian pembentukan peraturan perundang-undangan
berbeda antara yang dirumuskan dalam UU 10/2004 dan
UU 12/2011, diantaranya dalam UU 10/2004 memasukkan
penyebarluasan sebagai bagian dari pembentukan peraturan
perundang-undangan, sedangkan dalam UU
NO.12/2011tidak memasukkan sebagai bagian dari
pembentukan peraturan perundang-undangan, sekalipun
tetap mengaturnya.
2. Tidak setiap peraturan mengenai peraturan perundang-
undangan mengatur tenang pembentukan peraturan
perundang-undangan, atau jika mengaturnya tidak
selengkap UU 10/2004 dan UU 12/2011.
3. Dari berbagai peraturan dalam periode-periode tersebut
menunjukan perbedaan dalam menentukan jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan.
Latihan.
Sebagai akhir dari bagian Penutup maka, disediakan soal
latihan bagi mahasiswa agar dikerjakan untuk mengetahui capaian
pembelajaran. Mahasiswa wajib mengerjakan tugas-tugas latihan,
sebagai berikut:
Bagimanakah Sejarah Perundang-undangan pada :
a. Periode Kolonial
153
155
PERTEMUAN VIII
UJIAN TENGAH SEMESTER
156
PERTEMUAN IX :
TUTORIAL IV
SEJARAH PERUNDANG-UNDANGAN
9.1. Pendahuluan
Dalam pertemuan kesembilan ini, mahasiswa berdiskusi
mengenai Sejarah perundang-undangan. Setelah melakukan tutorial
ini, mahasiswa diharapkan memahami sejarah Perundang-undangan
di Indonesia. Materi tutorial kesatu ini sangat penting sebagai
landasan untuk memahami bahan kajian pembelajaran pada
pertemuan-pertemuan selanjutnya. Karena itu, dalam tutorial ini
mahasiswa harus mendiskusikan mengenai sejarah perundang-
undangan yang terdapat dalam penyajian materi: Study Task.
9.3. Penutup
Dalam penyajian materi: Study Task tersebut di atas
dideskripsikan mengenai sejarah perundang-undangan.Terhadap hal
itu, mahasiswa berdiskusi untuk menguraikan sejarah perundang-
undangan tersebut.
Pada akhir tutorial, mahasiswa wajib menyetor laporan
kegiatan tutorial, yang mendeskripsikan secara rinci seluruh kegiatan
dalam tutorial tersebut, yaitu: siapa pemimpin diskusi (discussion
157
leader) dan pencatat (note taker), siapa yang aktif, dan alokasi waktu
selama tutorial. Laporan tutorial wajib dikumpulkan pada saat
berakhirnya waktu seluruh kegiatan tutorial.
158
PERTEMUAN X :
PERKULIAHAN KELIMA
DASAR-DASAR PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG UNDANGAN
10.1. Pendahuluan
Dalam Bab ini pembelajaran utama adalah mengenai dasar-
dasar pembentukan peraturan perundang-undangan, mahasiswa diajak
mempelajari mengenai landasan keberlakuan peraturan perundang-
undangan dan asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan. Materi ini berhubungan dengan pembentukan norma-
norma dalam peraturan perundang-undangan. Setelah mempelajari
dan mendiskusikan materi ini mahasiswa diharapkan memahami apa
saja dasar-dasar pembentukan peraturan perundang-undangan. Materi
ini sangat penting sebagai landasan utama dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan.
144
Philipus M. Hadjon, Perlindugan Hukum Bagi Rakyat di
Indonesia, Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dalam Lingkungan
Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Surabaya:
Peradaban: Edisi Khusus, 2007, hlm.58.
160
145
Ibid, hlm. 59.
161
hal ini antara lain M.Solly Lubis sebagaimana dikutip oleh Gde
Panjta Astawa, landasan pembuatan peraturan perundang-undangan,
yakni:
1. Landasan filosofis, yaitu dasar filsafat atau idée yang
menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan
kebijaksanaan (pemerintah) ke dalam suatu rencana atau
draft peraturan negara. Misalnya Pancasila menjadi dasar
filsafat perundang-undangan. Pada prinsipnya tidak dibuat
suatu peraturan yang bertentangan dengan dasar filsafat ini.
2. Landasan yuridis, ialah ketentuan hukum yang menjadi
dasar hukum (rechstground) bagi pembuatan suatu
peraturan. Misalnya UUD 1945 menjadi landasan yuridis
bagi pembuatan Undang-Undang organic selanjutnya UU
tersebut menjadi landasan yuridis bagi pembuatan
Peraturan Pemerintah, ataupun Perda.
3. Landasan Politis, ialah garis kebijakan politik yang
menjadi dasar selanjutnya bagi kebijakan-kebijakan dan
pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan negara.146
1. Landasan Filosofis
Merupakan dasar filsafat atau pandangan hidup yang
146
Gede Pantja Astawa, Dinamika Hukum & Ilmu Perundang-
undangan di Indonesia, Bandung: P.T. Alumni, 2008, hlm. 78.
147
Anotasi Pedoman 19 Lampiran II UU 12/2011, Pokok pikiran
pada konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan
yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang
penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan
yuridis.
162
2. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan landasan yang terdiri
atas fakta-fakta yang merupakan tuntutan kebutuhan
masyarakat yang mendorong perlunya peraturan dibentuk.
Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris
mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat
dan negara.
3. Landasan Yuridis
Landasan Yuridis merupakan ketentuan hukum yang
menjadi sumber/ dasar hukum untuk membuat atau
148
Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis
Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian Teoritis dan
Praktis Disertai Manual) Konsep Teoritis Menuju Artikulasi Empiris,
Jakarta : Kencana, 2010, hlm.12.
163
150
Ibid, hlm. 340.
165
151
A. Hamid S Attamimi seperti dikutip Bayu Dwi Anggono, 2014,
Perkembangan Pembentukan Undang-Undang di Indonesia, Jakarta:
Konpress, hlm. 26.
152
Maria Farida Indrati S., 1998, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-
Dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta : Kanisius, hlm.197.
166
168
10.6. Penutup
Resume.
Paparan di atas menunjukkan bahwa, terdapat tiga landasan
utama berlakunya suatu peraturan perundang-undangan, yaitu
landasan filosfis, sosiologis dan yuridis. Landasan filosofis pada
intinya setiap peraturan perundang-undangan yang dibentuk haruslah
memuat nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah hidup Bangsa
Indonesia yaitu nilai-nilai filsafat Pancasila. Sedangkan landasan
sosiologis adalah fakta-fakta yang ada pada masyarakat, yang
mengarahkan mengapa masyarakat membutuhkan suatu peraturan
untuk dibentuk. Kemudian yang terakhir adalah landasan yuridis,
yaitu ketentuan hukum yang menjadi sumber/ dasar hukum untuk
membuat atau merancang suatu peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya menurut beberapa ahli yaitu I.C van der Vlies
dan A Hamid S. Attamimi, mengemukakan bahwa terdapat asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut yang harus
dipenuhi dalam setiap pembentukan suatu peraturan perundanga-
undangan.
I.C van der Vlies memaparkan secara berurutan dimulai dari
asas formal, yaitu:
1. asas tujuan yang jelas;
2. asas organ/lembaga yang tepat;
3. asas perlunya pengaturan;
4. asas dapat dilaksanakan;
5. asas consensus.
Sedangkan asas-asas material meliputi:
1. asas terminologi dan sistematika yang benar
2. asas perlakuan yang sama dalam hukum
3. asas kepastian hukum
169
Latihan.
Sebagai akhir dari bagian Penutup maka, disediakan soal
latihan bagi mahasiswa agar dikerjakan untuk mengetahui capaian
pembelajaran. Mahasiswa wajib mengerjakan tugas-tugas latihan,
sebagai berikut:
a. Apa tujuan mempelajari dasar dasar pembentukan
peraturan perundang-undangan?
b. Apa fungsi dari landasan keberlakuan peraturan
perundang-undangan?
c. Asas-asas formal apa saja yang harus dipenuhi dalam
pembentukan peraturan perundangn-undangan?
d. Apa yang dimaksud dengan asas kepastian hukum yang
disebutkan oleh I.C van der Vlies sebagai salah satu asas
material dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan, apa fungsinya?
e. Apakah asas formal dan asas material mutlak harus
terpenuhi semua unsur-unsurnya dalam proses
penyusunan/pembentukan peraturan perundang-
undangan?
170
171
PERTEMUAN XI :
TUTORIAL V
DASAR DASAR PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG UNDANGAN
11.1 Pendahuluan
Dalam pertemuan kesebelas ini, mahasiswa berdiskusi
mengenai materi (study task) Dasar-Dasar Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Setelah melakukan tutorial ini, mahasiswa
diharapkan memahami Dasar-Dasar Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Materi tutorial kelima ini sangat penting
sebagai landasan untuk memahami bahan kajian pembelajaran pada
pertemuan-pertemuan selanjutnya.
172
173
Sumber: https://jpp.go.id/42-polkam/308089-tiga-landasan-utama-
penerbitan-perppu-ormas
11.3. Penutup
Dalam penyajian materi: Problem Task tersebut di atas
dideskripsikan mengenai Dasar-Dasar Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Terhadap hal itu, mahasiswa berdiskusi untuk
menguraikan Dasar-Dasar Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan tersebut. Pada akhir tutorial, mahasiswa wajib menyetor
laporan kegiatan tutorial, yang mendeskripsikan secara rinci seluruh
kegiatan dalam tutorial tersebut, yaitu: siapa yang aktif berdiskusi dan
menjawab pertanyaan yang tersaji dalam problem task tersebut.
Laporan tutorial wajib dikumpulkan pada saat berakhirnya waktu
seluruh kegiatan tutorial.
174
PERTEMUAN XII :
PERKULIAHAN KEENAM
JENIS, FUNGSI DAN MATERI MUATAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
12.1. Pendahuluan
Mengawali pertemuan ke-6 pembelajaran mata kuliah ini,
mahasiswa diajak mempelajari mengenai jenis, fungsi dan materi
muatan dari peraturan perundang-undangan baik ditingkat pusat
maupun daerah.Untuk mendapatkan peraturan perundang-undangan
yang baik melalui pembentukan peraturan perundang-undangan yang
dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar,
maka diperlukan pula ketentuan yang pasti, baku, dan standar tentang
jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan. Menurut A.
Hamid S. Attamimi pembentukan peraturan peraturan perundang-
undangan adalah pembentukan norma hukum yang berlaku keluar
dan mengikat secara umum yang dituangkan dalam jenis-jenis
peraturan perundang-undangan sesuai hierarkinya.153 Untuk dapat
menuangkan norma hukum tersebut dalam berbagai jenis peraturan
perundang-undangan, penting memperhatikan materi muatannya.
Pentingnya pemahaman dan ketentuan tentang jenis, hierarki, dan
materi muatan peraturan perundang-undangan ditunjukkan pula
dengan adanya salah satu asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik, yakni asas “kesesuaian antara jenis, hierarki,
dan materi muatan”.154 Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian
antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah bahwa dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar
153
A.Hamid S.Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Dalam penyelenggaraaan Pemerintahan Negara, Suatu
studi analisis mengenai Keputusan Presiden yang berfungsi Pengaturan
dalam kurun waktu Pelita I-Pelita IV, untuk memperoleh gelar Doktor
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia,
Jakarta.
154
Pasal 5 huruf c UU 12/2011.
175
176
undangan, karena:
Pertama: setiap pembentukkan peraturan perundang-undangan harus
mempunyai landasan atau dasar yuridis yang jelas, dan apabila tidak
terdapat landasan tersebut maka batal demi hukum atau dapat
dibatalkan.
Kedua: hanya peraturan perundang-undangan yang sederajat atau
yang lebih tinggi daripada peraturan perundang-undangan yang akan
dibentuk dapat dijadikan landasan atau dasar yuridis.
Ketiga: pembentukkan peraturan perundang-undangan berlaku
prinsip bahwa peraturan perundang-undangan yang sederajat atau
yang lebih tinggi dapat menghapuskan peraturan perundang-
undangan sederajat atau yang lebih rendah. Prinsip ini mengandung:
1) Pencabutan peraturan perundang-undangan yang ada
hanya mungkin dilakukan oleh peraturan perundang-
undangan sederajat atau yang lebih tinggi.
2) Peraturan perundang-undangan yang sederajat
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
sederajat lainnya, maka berlaku peraturan perundang-
undangan yang dianggap terbaru dan yang lama telah
dikesampingkan (lex posterior derogat priori).
3) Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah, maka berlaku peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
4) Peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang-
bidang umum yang diatur oleh peraturan yang sederajat,
maka berlaku peraturan perundang-undangan yang
mengatur bidang khusus tersebut (lex specialis derogat
lex generalis).
Keempat: pengetahuan mengenai seluk beluk peraturan perundang-
undangan untuk menciptakan suatu sistem peraturan peraundang-
undangan yang tertib sebagai salah satu unsur perundang-undangan
yang baik.
178
158
E. Utrecht. 1965. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II.
Universitas, Bandung,dikutip dari https://e-
kampushukum.co.id/2016/05/tata-hukum-di-indonesia-pada-masa-voc.html
179
159
Ibid.
160
http://www.bphn.go.id/data/documents/ae_peraturan_perundang_u
ndangan_peninggalan_kolonial_belanda.pdf
180
161
Ibid.
162
Rahmat Trijono, 2013, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan
Perundang-undangan, Jakarta : Papas Sinar Sinanti, hlm. 54.
181
Masa Kemerdekaan.
163
Ibid., hlm. 58.
182
183
164
Pasal 139 KRIS
165
Pasal 141 KRIS
166
Pasal 127a KRIS
167
Pasal 127b KRIS
168
Pasal 190 KRIS
184
5. PeraturanPemerintah (PP);
6. KeputusanPresiden (Keppres); dan
7. Peraturan Daerah (Perda).
bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan
perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala
desa atau nama lainnya.
169
Penjelasan Umum UU 12/2011.
190
192
KOTAK 3.
ASAS KESESUAIAN ANTARA JENIS, HIERARKI, DAN MATERI
MUATAN
PASAL 5 PENJELASAN ANOTASI
PASAL 5
Dalam membentuk Huruf c A. Hamid S.
Peraturan Perundang- Yang dimaksud dengan Attamimi170
undangan harus “asas kesesuaian antara mengetengahkan
dilakukan jenis, hierarki, dan Asas-asas
berdasarkan materi muatan” adalah Pembentukan
pada asas bahwa dalam Peraturan Perundang-
Pembentukan Pembentukan unangan Yang Patut,
peraturan Perundang- Peraturan Perundang- yang dibagi ke dalam
undangan yang baik, undangan harus benar- Asas-asas formal dan
yang meliputi: benar memperhatikan Asas-asas material.
…...................... materi muatan yang Asas yang keempat
tepat sesuai dengan dari Asas-asas formal
170
A Hamid S Attamimi, Peranan Keputusan....., op.cit., hlm. 345-
346.
193
A
Asas “materi muatan yang tepat” itu oleh A. Hamid S.
Attamimi diturunkan dari asas “organ/lembaga yang tepat”, yang oleh
karena itu ia sebut juga sebagai asas “organ/lembaga dan materi
muatan yang tepat” .171 Saat memberikan komentar tentang asas
“organ/lembaga yang tepat” dari van der Vlies, A. Hamid S.
Attamimi mengemukakan:172
“Berbeda dengan di Negeri Belanda di Republik Indonesia
mengenai organ/lembaga yang tepat itu perlu dikaitkan dengan
materi muatan dari jenis-jenis peraturan perundang-undangan.
Menurut hemat penulis, materi muatan peraturan perundang-
undangan itulah yang menyatu dengan kewenangan masing-
masing organ/lembaga yang membentuk jenis peraturan
perundang-undangan bersangkutan. Atau dapat juga
sebaliknya, kewenangan masing-masing organ/lembaga
tersebut menentukan materi muatan peraturan perundang-
undangan yang dibentuknya”.
171
Ibid.
172
Ibid.
194
KOTAK 4.
ASAS KELEMBAGAAN ATAU PEJABAT PEMBENTUK YANG TEPAT
PASAL 5 PENJELASAN PASAL 5
Dalam membentuk Peraturan Huruf b
Perundang-undangan harus Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan
dilakukan berdasarkan pada asas atau pejabat pembentuk yang tepat” adalah
Pembentukan Peraturan bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-
Perundang-undangan yang baik, undangan harus dibuat oleh lembaga
yang meliputi: negara atau pejabat Pembentuk Peraturan
…...................... Perundang-undangan yang berwenang.
b. kelembagaan atau pejabat Peraturan Perundang-undangan tersebut
pembentuk yang tepat; dapat dibatalkan atau batal demi hukum
…........... apabila dibuat oleh lembaga negara atau
pejabat yang tidak berwenang.
173
Utrecht, E, 1986, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Edisi
Fotografi.
195
Tabel 7.
Konsep dibatalkan dan dapat dibatalkan
KONSEP ISI KONSEP
Dibatalkan Keputusan pembatalan dilakukan oleh: a. Pejabat
Pemerintahan yang menetapkan Keputusan; b.
Atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan; atau
c. atas Putusan Pengadilan.
Akibat hukum Keputusan dan/atau Tindakan
dibatalkan: a. tidak mengikat sejak Keputusan
dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan; dan segala
akibat hukum yang ditimbulkan dianggap tidak
pernah ada.
197
a. Undang-Undang Dasar
Salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang
mempunyai kedudukan yang tertinggi dalam hierarchi peraturan
perundang-undangan adalah UUD Tahun 1945. Hal tersebut telah
diatur dengan tegas dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011. Dengan
kedudukan yang tertinggi itu berarti bahwa peraturan yang berada
dibawahnya harus berdasar atau bersumber pada UUD Tahun 1945.
Dalam Pasal 3 ayat (1) UU NO.12/2011menyebutkan :Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan
hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. Yang dimaksud
dengan “hukum dasar” adalah norma dasar bagi Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang merupakan sumber hukum bagi
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.174
Menurut A.Hamid S Attamimi, UUD Tahun 1945 tidak tepat
disebut sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan
dengan mengatakan bahwa: UUD Tahun 1945 dan Ketetapan MPR
tidak tepat masuk dalam jenis peraturan perundang-undangan karena
termasuk dalam aturan dasar. Sedangkan yang termasuk peraturan
perundang-undangan adalah undang-undang/perppu, Pertauran
Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan
Lembaga Pemerintah Non Departemen, Keputusan Direktur Jendral
Departemen, keputusan kepala badan negara diluar jajaran
pemerintah yang dibentuk dengan Undang-Undang, Peraturan Daerah
Tingkat I, Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Keputusan
Gubernur Kepala Daerah , Keputusan Bupati/Wali Kotamadya
Kepala Daerah Tingkat II.175
Eksistensi UUD Tahun 1945 sendiri diakui dalam Pasal 3
ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa; MPR
berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
174
Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU 12/2011.
175
A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden .....op.cit.,
hlm. 58.
198
b. Ketetapan MPR
Ketetapan MPR adalah Putusan Majelis Permusyawaratan
Rakyat sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam
sidang-sidang MPR.176 Sedangkan yang dimaksud dengan “Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat” dalam UU NO.12/2011adalah
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003
tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002,
tanggal 7 Agustus 2003.177
(wet materiele zin) dan UU dalam arti formal (wet formele zin). UU
dalam arti formil adalah apabila pemerintah bersama dengan
parlemen mengambil keputusan – maksudnya untuk membuat UU-
sesuai dengan prosedur . Sedangkan UU dalam arti materiil adalah
jika suatu lembaga yang mempunyai kewenangan membentuk
peraturan perundang-undangan mengeluarkan suatu keputusan yang
isinya mengikat masyarakat secara umum. Dengan kata lain UU
dalam arti Materiil melihat UU dari segi isi, materi dan dan
substansinya, sedangkan UU dalam arti formil dilihat dari segi bentuk
dan pembentukannya. Pembedaan tersebut hanya dilihat dari segi
penekanannya yaitu sudut penglihatan, yaitu undang-undang yang
dilihat dari segi materinya dan undang-undang yang dilhihat dari segi
bentuknya.180
Sedangkan arti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perppu) dalam angka 4 pasal 1 UU NO.12/2011 disebutkan
bahwa: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam
hal ihwal kegentingan yang memaksa. Perppu ditetapkan tanpa
terlebih dahulu meminta persetujuan bersama Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan hanya dapat dilakukan dalam hal ikhwal
kegentingan memaksa. Perppu harus mendapatkan persetujuan DPR
pada sidang berikutnya untuk dapat berubah menjadi UU. Bila tidak
maka Perppu tersebut harus dicabut.
180
Ibid., hlm. 34-35.
200
Dengan demikian maka tidak akan ada PP jika tidak ada UU yang
menjadi induknya.
Menurut A Hamid S Attamimi, karakteristik dari PP
adalah:181
1. PP tidak dapat lebih dulu dibentuk tanpa ada UU yang
menjadi induknya;
2. PP tidak dapat mencantumkan sanksi pidana apabila UU
yangbersangkutan tidak mencantumkan sanksi pidana;
3. Ketentuan PP tidak dapat menambah atau mengurangi
ketentuan UU yang bersngkutan;
4. PP dapat dibentuk meski ketentuan UU yang bersangkutan
tidak memintanya secara tegas;
5. Ketentuan-ketentuan PP berisi peraturan atau gabungan
peraturan dan penetapan. PP tidak berisi penetapan semata-
mata.
181
Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-Undangan
–Dasar-dasar Pemebentukannya, Yogyakarta : Kanisius, hlm. 99.
201
182
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na‟a, op.cit., hlm. 68.
202
183
http://kbbi.co.id/arti-kata/fungsi
203
184
Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, op.cit, hlm.
60-65.
185
Ismail Hasani & A. Gani Abdullah, 2006, Pengantar Ilmu
Perundang-Undangan, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah, hlm. 33.
204
186
Bagir Manan, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara
Indonesia, Bandung :Alumni,hlm. 47.
187
Ibid., hlm. 17-20.
205
188
Bagir Manan, Sleten, 1993, Perundang-undangan Indonesia,
Makalah, Jakarta, hlm. 6.
189
Bagir Manan, 1994, Pemahaman Mengenai Sistem Hukum
Nasional, Makalah, Jakarta, hlm. 6.
190
Pluralisme hukum menurut Erman Rajagukguk dalam Kongres
Internasional ke-15 Mengenai Pluralisme Hukum yang diselenggarakan di
Fakultas Hukum Universitas Indonesia Depok, Kamis (29 Juni Tahun 2006)
diartikan sebagai sebagai situasi dimana terdapat dua atau lebih sistem
hukum yang berada dalam suatu kehidupan sosial. Pluralisme hukum harus
diakui sebagai sebuah realitas masyarakat.
191
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15089/pluralisme-
hukum-harus-diakui
207
192
Ibid.
208
2. Fungsi Eksternal.
Fungsi eksternal adalah keterkaitan peraturan perundang-
undangan dengan tempat berlakunya. Fungsi eksternal ini dapat
disebut sebagai fungsi sosial hukum, yang meliputi fungsi perubahan,
fungsi stabilisasi, fungsi kemudahan. Dengan demikian, fungsi ini
dapat juga berlaku pada hukum-hukum kebiasaan, hukum adat, atau
hukum yurisprudensi. Bagi Indonesia, fungsi sosial ini akan lebih
diperankan oleh peraturan perundang-undangan, karena berbagai
pertimbangan yang sudah disebutkan di muka. Fungsi sosial ini dapat
dibedakan:193
1. Fungsi perubahan, yaitu fungsi hukum sebagai sarana
pembaharuan (law as a tool of social engineering). Peraturan
perundang-undangan diciptakan atau dibentuk untuk
mendorong perubahan masyarakat di bidang ekonomi, sosial,
maupun budaya. Masyarakat “patrilineal” atau “matrilineal”
dapat didorong menuju masyarakat “parental” melalui
peraturan perundang-undangan perkawinan.
2. Fungsi stabilisasi, Peraturan perundang-undangan dapat pula
berfungsi sebagai stabilisasi. Peraturan perundang-undangan
di bidang pidana, di bidang ketertiban dan keamanan adalah
193
Bagir Manan, Beberapa masalah..............., op.cit., hlm. 21-22.
209
212
194
https://saepudinonline.wordpress.com/2013/05/01/fungsi-perda-
dalam-peraturan-perundang-undangan/
213
196
Pasal 6 UU 12/2011.
215
197
Lihat Penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011
198
K.C.Wheare, 1975, Modern Constitution, Oxford University Press,
hlm. 32.
217
tentang :199
1. Susunan (structure) pemerintahan, yakni legislatif, eksekutif
dan yudikatif;
2. Hubungan timbal balik (mutual relation) antara alat-alat
perlengkapan negara;
3. Hubungan antara alat-alat perlengkapan negara dengan
masyarakat (community), agar hak –hak masyarakat dan
warga negara tidak dilanggar;
4. The quarantes of citizen.
Sedangkan menurut Struycken, Materi UUD berisi:200
1. Hasil perjuangan politik bangsa diwaktu yang lampau;
2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan;
3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan,
baik untuk waktu sekarang maupun yang akan datang;
4. Suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan
ketatanegaraan hendak dipimpin.
199
Ibid.
200
I Gede Pantja Astawa dan Suprin Na‟a, op.cit., hlm. 95.
201
Dalam H.R.Soemantri Martosoewignyo, 2006, Prosedur dan
Sistem Perubahan Konstitusi ( Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD
1945), Bandung, Alumni, hlm. 2.
218
N‟imatul Huda, mulai dari Jaminan Hak Asasi Manusia dan hak
warga negaranya, susunan dasar ketatanegaraan negara yang
bersangkutan, dan susunan dasar pembagian dan pembatasan tugas
ketatanegaraa telah mengalami perubahan mendasar.202
Terkait materi UUD Tahun 1945 apa yang merupakan materi
mutan UUD Tahun 1945 tidak diatur dalam UU 12/2011. Hal ini
dapat dipahami karena kedudukan dari UU NO.12/2011adalah lebih
rendah dibandingkan dengan UUD, sehingga UU NO.12/2011tidak
mengatur materi muatan UUD. Materi UUD Tahun 1945, dapat
dilihat dalam Batang Tubuh UUD Tahun 1945 yaitu: Pembukaan dan
Pasal-Pasal (Pasal II Aturan Tambahan). Pembukaan terdiri atas 4
Alinea, yang di dalam Alinea keempat terdapat rumusan dari
Pancasila, dan Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar 1945 terdiri dari 20
Bab (Bab I sampai dengan Bab XVI) dan 72 Pasal (Pasal 1 sampai
dengan pasal 37), ditambah dengan 3 Pasal Aturan Peralihan dan 2
pasal Aturan Tambahan. Bab IV tentang DPA dihapus, dalam
amandemen keempat penjelasan tidak lagi merupakan kesatuan UUD
1945. Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 merupakan satu
kebulatan yang utuh, dengan kata lain merupakan bagian-bagian yang
satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Secara garis besar materi
yang termuat dalam Batang Tubuh UUD Tahun 1945 adalah sebagai
berikut:
1. Bentuk dan Kedaulatan
2. MPR (Pasal 2-3)
3. Kekuasaan Pemerintahan Negara (Pasal 4- Pasal 16)
4. Kementrian Negara (Pasal 17)
5. Pemerintahan Daerah (Pasal 18)
6. DPR (Pasal 19 – 22B)
7. DPD (Pasal 22C)
8. Pemilihan Umum (Pasal 22 E)
9. Hal Keuangan (Pasal 23 – 23 D)
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan N‟imatul Huda, 2003, Teori dan
202
221
KOTAK 5.
MATERI MUATAN YANG HARUS DIATUR DENGAN UNDANG-UNDANG
PASAL 10 PENJELASAN ANOTASI
PASAL 10
(1) Materi muatan yang
harus diatur dengan
Undang-Undang berisi:
a. pengaturan lebih -
lanjut mengenai -
ketentuan Undang-
Undang Dasar
Negara Republik
Indonesia Tahun -
1945;
b. perintah suatu Pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang huruf b tidak
untuk diatur dengan Ayat (1) sesuai dengan
Undang-Undang; ......... asas lex posteriori
c. pengesahan Huruf c derogat lex
perjanjian Yang dimaksud priori. Di sisi lain
internasional dengan “perjanjian ketentuan itu
tertentu; internasional menunjukkan
tertentu” adalah pendelegasian
perjanjian kewenangan
internasional yang mengatur dari
menimbulkan akibat undang-undang
yang luas dan kepada undang-
mendasar bagi undang lainnya.
kehidupan rakyat
yang terkait dengan
beban keuangan
negara dan/atau
a. tindak lanjut atas perjanjian tersebut
putusan Mahkamah mengharuskan -
Konstitusi; perubahan atau
dan/atau pembentukan
Undang-Undang
dengan persetujuan
DPR.
Huruf d Yang
222
dimaksud dengan
”tindak lanjut atas
putusan Mahkamah
Konstitusi” terkait
dengan putusan
Mahkamah Konstitusi
mengenai pengujian
Undang-Undang
e. pemenuhan terhadap Undang-
kebutuhan hukum Undang Dasar -
dalam masyarakat. Negara Republik
Indonesia Tahun
1945.
Materi muatan yang
dibuat, terkait dengan
ayat, pasal, dan/atau
bagian Undang-
Undang yang secara
tegas dinyatakan
dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi
bertentangan dengan
Undang-Undang
Dasar Negara
Republik Indonesia
Tahun 1945.
-
(2) Tindak lanjut atas Ayat (2) -
putusan Mahkamah Tindak lanjut atas
Konstitusi sebagaimana putusan Mahkamah
dimaksud pada ayat (1) Konstitusi
huruf d dilakukan oleh dimaksudkan untuk
DPR atau Presiden. mencegah terjadinya
kekosongan hukum.
223
KOTAK 6.
No MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG
PENGATURAN LEBIH LANJUT MENGENAI KETENTUAN UUD
1945
1 Pasal 2 (1)UUD 1945: ANOTASI
Majelis Permusyawaratan Rakyat Rumusan diatur dengan
terdiri atas anggota Dewan undang-undang bermakna hal
Perwakilan Rakyat dan anggota yang diatur dalam ketentuan itu
Dewan Perwakilan Daerah yang harus dirumuskan dalam sebuah
dipilih melalui pemilihan umum undang-undang yang khusus
dan diatur lebih lanjut dengan diterbitkan untuk kepentingan itu
undang-undang. (Majelis Permusyawaratan
2 Rakyat 2013).
Pasal 6 (2) UUD 1945:
Syarat-syarat untuk menjadi lihat anotasi 1
Presiden dan Wakil Presiden
diatur lebih lanjut dengan
3 undang-undang.
Rumusan diatur dalam undang-
Pasal 6A (5) UUD 1945: undang bermakna hal yang
Tata cara pelaksanaan pemilihan diatur dalam ketentuan itu dapat
Presiden dan Wakil Presiden menjadi materi suatu atau
lebih lanjut diatur dalam beberapa undang-undang yang
undang-undang. tidak khusus diterbitkan untuk
4 kepentingan itu (Majelis
Permusyawaratan Rakyat 2013).
224
225
11 undang.
226
227
228
229
230
203
Lihat Pasal 139 KRIS, dan Pasal 96 UUDS.
231
206
Ibid., hlm. 83.
207
Ibid.
233
208
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na‟a, op.cit., hlm. 66.
234
dan
b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
236
12.6. Penutup
Resume.
Dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan Indonesia,
mulai jaman penjajahan Belanda hingga pasca reformasi terdapat
berbagai jenis peraturan perundang-undangan yang ada. Dalam UU
NO.12/2011tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangn
disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) jenis dan hierarci peraturan
perundang-undangan terdiri dari: UUD Tahun 1945, Ketetapan MPR,
UU/Perppu, PP, Perpres , Perda Propinsi dan Perda Kabupaten. Selain
peraturan perundang-undangan yang terdapat didalam hierarchi juga
terdapat peraturan perundang-undangan diluar hierachi sebagaimana
yang disebut dalam Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011.
237
Latihan
1. Dalam UU NO.12/2011dikenal jenis peraturan perundang-
undangan di dalam hierarki dan diluar hierarki. Bagaimana
kekuatan mengikat peraturan perundang-undangan diluar hierarki
tsb?
2. Jelaskan dan berikan contoh apa fungsi internal dari peraturan
perundang-undangan?
3. Jelaskan apa yang menjadi materi muatan Perda Provinsi?
kampushukum.co.id/2016/05/tata-hukum-di-indonesia-pada-
masa-voc.html
Trijono, Rahmat, 2013. Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-
undangan, Papas Sinar Sinanti, Jakarta,
Wheare, K.C. 1975, Modern Constitution, Oxford University Press,
Oxford.
Internet
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15089/pluralisme-
hukum-harus-di
http://kbbi.kata.web.id/jenis/
http://kbbi.web.id/bentuk
http://www.bphn.go.id/data/documents/ae_peraturan_perundang_und
angan_peninggalan_kolonial_belanda.pdf
240
PERTEMUAN XIII :
TUTORIAL VI
JENIS, FUNGSI DAN MATERI MUATAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
13.1. Pendahuluan.
Dalam pertemuan kedua ini, mahasiswa berdiskusi mengenai
Peraturan Desa (Perdes). Setelah melakukan tutorial ini, mahasiswa
diharapkan memahami salah satu jenis peraturan perundang-
undangan yakni perdes, terkait kedudukan,fungsi dan materi
muatannya. Materi tutorial ini sangat penting sebagai landasan untuk
memahami bahan kajian pembelajaran pada pertemuan-pertemuan
selanjutnya. Karena itu, dalam tutorial ini mahasiswa harus
mendiskusikan mengenai Perdes yang terdapat dalam penyajian
materi Problem Task.
Peraturan Desa
Sebelum berlakunya UU NO.12/2011tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yakni dalam UU 10/2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dikenal satu jenis
peraturan perundang-undangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal
7 ayat (1) yakni Peraturan Desa (Perdes). Berdasarkan Pasal 1 angka
8 Peraturan Desa /peraturan yang setingkat adalah Peraturan
Perundangundangan yang dibuat oleh badan perwakilan desa atau
nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. Dari
segi hierarchinya kedudukan Perdes adalah berada dibawah Perda
Kabupaten. Namun setelah UU 10/2004 diganti dengan UU
NO.12/2011Peraturan Desa tidak lagi ada dalam hierarchi peraturan
perundang-undangan Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Pasal
7 ayat (1) UU 12/2011. Namun dalam Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa muncul kembali pengaturan Perdes.
241
Pertanyaan:
1. Bagaimana kedudukan Perdes dalam sistem hukum
perundang-undangan Indonesia setelah berlakunya UU
12/2011?
2. Apa Fungsi dari Perdes?
3. Apa yang menjadi materi muatan Perdes?
13.3. Penutup
Dalam penyajian materi: Problem Task tersebut di atas
dideskripsikan adanya jenis-jenis peraturan perundang-undangan
yang diatur dalam UU NO.12/2011, dimana Perdes tidak disebut
dengan jelas dan tegas didalam hierarchi peraturan perundang-
undangan.
Pada akhir tutorial, mahasiswa wajib menyetor laporan
kegiatan tutorial, yang mendeskripsikan secara rinci seluruh kegiatan
dalam tutorial tersebut, yaitu: siapa pemimpin diskusi (discussion
leader) dan pencatat (note taker), siapa yang aktif, dan alokasi waktu
selama tutorial. Laporan tutorial wajib dikumpulkan pada saat
berakhirnya waktu seluruh kegiatan tutorial.
242
PERTEMUAN XIV :
PERKULIAHAN KETUJUH
PROSES PEMBUATAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN
14.1. Pendahuluan
Pembuatan peraturan perundang-undangan merupakan
kegiatan membentuk peraturan perundang-undangan yang melalui
tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan. Peraturan perundang-undangan
memiliki cakupan sangat luas karena banyak jenisnya. Sesuai dengan
ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011, jenis
peraturan perundang-undangan terdiri dari: UUD 1945; Tap MPR
(Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat); UU/Perppu (Peraturan
Pemerintah Pengganti UU); PP (Peraturan Pemerintah); Perpres
(Peraturan Presiden); Perda Provinsi (Peraturan Daerah Provinsi); dan
Perda Kabupaten/Kota. Selain itu, juga termasuk jenis peraturan
perundang-unangan yaitu peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR
(Dewan Perwakilan Rakyat), DPD (Dewan Perwakilan Daerah), MA
(Mahkamah Agung), MK (Mahkamah Konstitusi), BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan), KY (Komisi Yudisial), BI (Bank Indonesia),
Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk
dengan UU atau Pemerintah atas perintah UU, DPRD Provinsi
(Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi), Gubernur, DPRD
Kabupaten/Kota (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota), Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Tetapi, hal itu sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Karena itu, proses pembuatan peraturan perundang-undangan
meliputi proses pembuatan seluruh jenis peraturan perundang-
undangan tersebut. Namun dalam buku ajar ini dideskripsikan proses
pembuatan UU, PP, Perpres, dan pembuatan Perda serta partisipasi
243
244
209
Putusan MK No. 92/PPU-X/2012 menetapkan bahwa Pasal 20 ayat
(1) UU No. 12 Tahun 2011 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945
sepanjang tidak dimaknai “penyusunan Program Legislasi Nasional
dilakukan oleh DPR, DPD, dan pemerintah.”
210
Pasal 22 huruf d dan Pasal 65 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014
tentang Tata Tertib.
246
211
Pasal 18 UU No. 12 Tahun 2011, Pasal 11 ayat (2) Perpres No. 87
Tahun 2014, Pasal 109 ayat (8) Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014, dan Pasal
112 ayat (5) Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014.
247
212
Pasal 19 UU No. 12 Tahun 2011, Pasal 12 ayat (2) Perpres No. 87
Tahun 2014.
213
Pasal 20 UU No. 12 Tahun 2011, Pasal 12 ayat (2) Perpres No. 87
Tahun 2014.
248
214
Pasal 23 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, Pasal 22 ayat (2) Perpres
No. 87 Tahun 2014, Pasal 111 ayat (3) Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014,
dan Pasal 117 ayat (1) Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014.
249
RAPAT PARIPURNA
DPR
PROLEGNAS(Ditetapkan dengan
Keputusan DPR)
PENYEBARLUASAN
PROLEGNAS
250
215
Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian
hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah
tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai
solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. (Pasal 1
angka 11 UU No. 12 Tahun 2011)
251
216
Pasal 111 ayat (1) dan (2) Peraturan DPR-RI No. 1 Tahun 2014
tentang Tata Tertib.
217
Pasal 112 ayat (6) Peraturan DPD-RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata
Tertib.
252
aspirasi atas draf awal NA tersebut. Untuk itu, Tim Penyusun lebih
dahulu melakukan inventarisasi permasalahan dan mengumpulkan
bahan-bahan yang diperlukan untuk menyusun draft awal NA.
Setelah draf awal NA tersusun, maka Tim melakukan berbagai
pertemuan untuk menyempurnakan, sebagaimana langkah-langkah
pada proses penyusunan NA cara yang pertama.
Sementara itu, Sirajudin, Fatkhurohman, dan Zulkarnain
menintrodusir suatu model penyusunan NA yang berbasis pada
agenda ROCCIPI219, yaitu proses penyusunan NA melalui metode
partisipatif. Proses penyusunan NA partisipatif tersebut
dideskripsikan dengan diagram alir, sebagai berikut220.
TAHAP PERSIAPAN:
Pembentukan Tim Penyusun NA, TAHAP PPELAKSANAAN
Pengumpulan data dan informasi, PENYUSUNAN NA:
Penyusunan agenda, dan pembagian Penyusunan sistematika draf NA,
tugas serta persiapan-persiapan teknis penyusunan draf awal NA
MENGAJUKAN NA KEPADA
PEMRAKARSA:
FINALISASI/PENETAPAN Menyampaikan NA kepada Pemerintah, DPR
DRAF NA atau DPD sebagai bahan masukan atau
pertimbangan dalam pembahasan rancangan
peraturan perundang-undangan.
219
ROCCIPI merupakan identifikasi 7 (tujuh) faktor yang acap kali
menimbulkan masalah atas keberlakuan peraturan perundang-undangan.
Ketujuh factor tersebut diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: faktor subyektif
yang terdiri dari Interest dan Ideology; dan faktor obyektif meliputi Rule,
Opportunity, Capacity, Communication, dan Process. Lihat Sirajuddin dkk;
2015, Legislative Drafting Pelembagaan Metode Partisipatif dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Setara Press, Malang, hlm.
188.
220
Diadaptasi dari Sirajuddin dkk, Ibid. hlm. 190.
254
221
Saat ini terdapat tidak kurang dari 31 LPNK. Lihat:
https://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Pemerintah_Nonkementerian ,
http://www.markijar.com/2016/06/lembaga-pemerintahan-kementrian-dan-
non.html.
255
222
Pasal 50 UU No. 12 Tahun 2011.
223
Pasal 47 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011.
256
pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan jangkauan
serta arah pengaturan224.
Pasal 45 sampai dengan Pasal 54 Perpres No. 87 Tahun 2014
menentukan tata cara mempersiapkan RUU dari pihak Presiden.
Penyusunan RUU diawali dengan pembentukan Panitia
antarkementerian dan/atau antarnonkementerian oleh Pemrakarsa
sebelum RUU ditetapkan dalam daftar Prolegnas prioritas tahunan.
Keanggotaan Panitia terdiri dari kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia); kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian
dan/atau lembaga lain yang terkait dengan substansi yang diatur
dalam RUU; dan perancang peraturan perundang-undangan yang
berasal dari instansi Pemrakarsa. Selain itu, dalam kepanitiaan juga
dapat mengikutsertakan ahli hukum, praktisi, atau akademisi yang
menguasai permasalahan yang berkaitan dengan materi RUU. Panitia
dipimpin seorang ketua yang ditunjuk oleh Pemrakarsa. Kepala biro
hukum atau kepala satuan kerja yang menyelenggarakan fungsi di
bidang peraturan perundang-undangan pada lembaga Pemrakarsa,
secara fungsional bertindak sebagai sekretaris panitia. Sekretaris
panitia bertugas dan bertanggung jawab melakukan penyiapan naskah
RUU, NA, dan materi pendukung lainnya sebagai bahan pembahasan
panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian.
Kegiatan penyusunan RUU meliputi penyiapan, pengolahan,
dan perumusan. Hal itu dilakukan oleh biro hukum atau satuan kerja
yang menyelenggarakan fungsi di bidang peraturan perundang-
undangan pada instansi Pemrakarsa. Hasil penyusunan RUU tersebut,
disampaikan kepada panitia untuk dilakukan pembahasan. Anggota
panitia memberi masukan terhadap RUU sesuai dengan lingkup tugas
masing-masing. Anggota panitia wajib menyampaikan laporan
kepada dan/atau meminta arahan dari menteri/pimpinan lembaga
pemerintah nonkementerian, atau pimpinan lembaga terkait masing-
224
Pasal 22 Perpres No. 87 Tahun 2014.
257
259
KEGIATAN TEKNIS
PROLEGNAS Pembentukan
Menyusun NA PERANCANGAN di
PANITIA
departemen/LPNK
antarkementerian
PENGAJUAN RUU
kepada HARMONISASI:
PERMEMINTAAN
menteri/pimpinan LPNK Pejabat teknis yg menguasai
PENDAPAT/
pemrakarsa untuk permasalahan substansi, ahli
harmonisasi konsepsi hukum dari kementerian/ PERTIMBANGAN:
dan teknik penyusunan LPNK pemrakarsa, Menkumham,
kementerian terkait
Menteri, LPNK, dan
stakeholders
TIDAK ADA
PERMASALAHAN
Diajukan ke DPR untuk
ADA PERMASALAHAN:
dibahas bersama (paling
- Harmonisasi kembali
lambat 60 hari sejak surat
- Diajukan kepada
Presiden diterima
Presiden untuk
diputuskan dan RUU diajukan kepada
reformulasi RUU PRESIDEN
225
Pasal 56 Perpres No. 87 Tahun 2014.
226
Diadaptasi dari Sirajuddin dkk, Op. Cit., hlm. 150.
260
227
Pasal 8 Peraturan DPR No. 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang.
228
Pasal 115 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.
229
Pasal 112 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib,
Pasal 9 dan 10 Peraturan DPR No. 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undfang.
261
230
Pasal 12 Peraturan DPR No. 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang.
231
Pasal 116 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib,
Pasal 18 dan 19 Peraturan DPR No. 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang.
262
232
Pasal 116 dan 117 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata
Tertib.
233
Pasal 11 Peraturan DPR No. 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang.
263
PIMPINAN BALEG
DPR
Pengharmonisasian,
RUU pembulatan,
PENYEMPURN
AAN RUU pemantapan konsepsi
SETUJU dengan RAPAT RUU: substansi, asas-
perubahan RUU PARIPURNA asas, aspek teknis.
Paling lama 20 hari.
Pembahasan
draf RUU
SETUJU tanpa
perubahan RUU
234
Pasal 118, 119, dan 120 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang
Tata Tertib.
264
235
Pasal 118 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.
236
Pasal 119, 120, 121, dan 122 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014
tentang Tata Tertib.
265
237
Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan maksudnya yaitu
penyelarasan konsepsi RUU dengan dasar falsafah negara Pancasila, tujuan
negara-tujuan nasional beserta aspirasi yang melingkupinya, UUD NRI
Tahun 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang yang sudah ada beserta
peraturan pelaksanaannya, serta kebijak lain yang terkait dengan bidang
yang akan diatur dalam RTUU. Lihat: Agus Hariadi; “Menata Ulang
Penyusunan Program Legislasi Nasional dalam Rangka Pembentukan
Undang-Undang yang Berkualitas (Reorganizing national Legislation
Program Forming in Order to Reach the Quality of Legislation), Jurnal
Legislasi Indonesia – Indonesia Journal of Legislation, Vol. 8 No. 4 –
Desember 2011, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi manusia, Jakarta, hlm. 545-546.
238
Pasal 123, dan 124 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 tentang Tata
Tertib.
266
239
Pasal 125 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.
240
Pasal 126 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.
267
268
dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal
RUU diterima melakukan koordinasi dengan Menteri dan menteri
terkait. Surat Presiden mengenai penugasan menteri disampaikan
kepada Pimpinan DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam
puluh) hari terhitung sejak tanggal surat Pimpinan DPR diterima.
Menteri yang mewakili Presiden dalam melakukan
pembahasan menyiapkan: pandangan dan pendapat Presiden; dan
daftar inventarisasi masalah. Dalam hal terdapat perbedaan pendapat
dalam menyiapkan pandangan dan pendapat Presiden dan/atau daftar
inventarisasi masalah, menteri yang ditugasi melaporkan kepada
Presiden untuk memperoleh arahan dan keputusan. Setelah itu,
menteri menyampaikan pandangan dan pendapat Presiden serta daftar
inventarisasi masalah kepada pimpinan DPR dalam jangka waktu
paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal Rancangan
Undang-Undang diterima Presiden.
241
Pasal 129 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.
273
242
Pasal 130 dan 131 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 tentang Tata
Tertib.
243
Pasal 132 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.
274
DPR dan Pemerintah. Dalam hal RUU dari DPR atau Presiden
berdasarkan Prolegnas lima tahunan dan di luar Prolegnas diterima
oleh Pimpinan, segera menyampaikan dalam Sidang paripurna
berikutnya untuk menugaskan Alat Kelengkapan yang akan
membahas rancangan undang-undang dimaksud. Apabila Sidang
paripurna tidak dapat dilaksanakan dalam waktu 3 (tiga) hari sejak
diterimanya rancangan undang-undang dari DPR atau Presiden,
Panitia Musyawarah dapat memutuskan Alat Kelengkapan yang
membahas RUU. RUU tersebut disampaikan kepada Anggota DPD
oleh Sekretariat Jenderal untuk segera memberikan masukan kepada
Alat Kelengkapan yang ditunjuk. Pimpinan DPD menyampaikan
pandangan terhadap RUU disertai daftar nama Tim Kerja kepada
DPR dan Presiden. Alat Kelengkapan yang ditugaskan, menyusun
DIM berdasarkan pandangan dari pimpinan DPD. Tim Kerja
menghadiri rapat-rapat pembahasan dengan DPR dan Pemerintah.
Alat Kelengkapan yang ditugaskan, didampingi oleh sekretariat dan
dapat didampingi oleh staf ahli, pakar, narasumber, peneliti, dan
perancang UU.
Tim Kerja melakukan pembahasan rancangan undang-undang
bersama DPR dan Pemerintah dalam pembicaraan tingkat I atas
undangan DPR. Kegiatan dalam Pembicaraan tingkat I yaitu: a.
pengantar musyawarah oleh DPR atau Pemerintah yang mengajukan
rancangan undang-undang; b. pembahasan daftar inventarisasi
masalah sandingan yang berasal dari DPD dan Presiden atau DPR;
dan c. penyampaian pendapat mini sebagai sikap akhir. Kegiatan-
kegiatan tersebut dilakukan dalam rapat kerja; rapat badan kerja; tim
perumus; dan/atau rapat tim sinkronisasi. Dalam kegiatan-kegiatan
tersebut dapat dilakukan mekanisme lain sepanjang disepakati oleh
pimpinan rapat dan peserta rapat. Rapat kerja terlebih dahulu
menyepakati jadwal pembicaraan tingkat I pembahasan RUU serta
waktu penyusunan dan penyerahan DIM.
Jika RUU berasal dari DPR maka Pimpinan Badan Legislasi
DPR memberikan penjelasan atau keterangan atas RUU serta
275
244
Pasal 136 - 138 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 tentang Tata
Tertib.
245
Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 29 ayat (1) Peraturan DPD No. 1 Tahun
2014 tentang Tata Tertib.
276
246
Pasal 140, 141 dan 142 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang
Tata Tertib.
247
Pasal 143 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.
278
248
Pasal 145 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.
279
249
Pasal 148 dan 149 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata
Tertib.
250
Pasal 150 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.
280
tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.
Naskah UU yang telah disahkan oleh Presiden sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibubuhi nomor dan tahun oleh Menteri
Sekretaris Negara. Selanjutnya, Menteri Sekretaris Negara
menyampaikan Naskah UU tersebut kepada Menteri Hukum dan Hak
Asasi manusia untuk diundangkan.252
Namun dapat terjadi bahwa RUU yang sudah mendapatkan
persetujuan bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden. Dalam hal
terjadi demikian maka, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah
menjadi UU dan wajib diundangkan. Untuk itu, kalimat
pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah
berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kalimat pengesahan tersebut
harus dibubuhkan pada halaman terakhir UU sebelum pengundangan
naskah UU ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Menteri
Sekretaris Negara membubuhkan kalimat pengesahan tersebut.
Selanjutnya dibubuhi nomor dan tahun, kemudian disampaikan
kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Menusia untuk
diundangkan.253
Pengundangan dimaksudkan agar setiap orang mengetahui
adanya UU tersebut, yang dilakukan dengan menempatkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia; dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia. Naskah UU dimuat di dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia, sedangkan Penjelasan UU dimuat di
dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia.254 Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia menandatangani pengundangan UU
252
Pasal 73 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dan Pasal 112 Perpres No. 87 Tahun 2014.
253
Pasal 73 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dan Pasal 113 Perpres No. 87 Tahun 2014.
254
Pasal 84 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dan Pasal 148 Perpres No. 87 Tahun 2014.
283
255
Pasal 151 dan 152 Perpres No. 87 Tahun 2014.
256
Pasal 154 dan 152 Perpres No. 87 Tahun 2014.
257
Penjelasan Pasal 88 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
284
259
Pasal 59 dan 60 Perpres No. 87 Tahun 2014.
260
Pasal 61 Perpres No. 87 Tahun 2014.
286
261
Pasal 26, 27, dan 28 UU No. 12 Tahun 2011.
287
262
Pasal 66 Perpres No. 87 Tahun 2014.
288
263
Pasal 56 dan 57 UU No. 12 Tahun 2011.
289
264
Pasal 11 dan 12 Permendagri No. 80 Tahun 2015.
265
Pasal 15 Permendagri No. 80 Tahun 2015.
290
266
Pasal 16 dan 18 Permendagri No. 80 Tahun 2015.
267
Penjelasan Pasal 7 ayat (1) Huruf f menegaskan bahwa nama lain
291
269
Pasal 25 dan 26 Permendagri No. 80 Tahun 2015.
270
Pasal 27, 28, 29, dan 30 Permendagri No. 80 Tahun 2015.
293
271
Pasal 31 Permendagri No. 80 Tahun 2015.
272
Pasal 33-36 Permendagri No. 80 Tahun 2015.
294
274
Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011.
296
275
Ayat (3) dan (4) Pasal 216 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang
Tata Tertib.
276
Pasal 217 dan 218 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata
Tertib.
297
14.7. Penutup
Resume.
Proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang
dideskripsikan di atas terdiri dari kegiatan dalam perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, peraturan
pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan daerah. Selain itu,
tidak kalah penting pula adanya partisipasi masyarakat dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan. Aktivitas ini suatu
keniscayaan dalam Negara demokrasi. Proses pembuatan peraturan
perundang-undangan pada hakikatnya merujuk pada proses
pembuatan Undang-undang, kecuali dalam pembuatan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, dan
peraturan presiden dalam perencanaan tidak disertai dengan NA.
Bahkan dalam perencanaan penyusunan RUU pun tidak setiap RUU
disertai dengan NA.
Proses penyusunan UU dan Perda dimulai dengan
penyusunan program legislasi nasional untuk penyusunan RUU, atau
penyusunan program pembentukan perda untuk penyusunan
peraturan daerah. Kemudian disusun penjelasan atau keterangan
277
OECD, OECD Reviews of Regulatory Reform Indonesia, dalam Bayu
Dwi Anggono, 2014, Perkembangan Pembentukan Undang-Undang di
Indonesia, KONpres, Jakarta, hln. 285.
298
Latihan.
1. Uraikan kegiatan yang dilakukan pada fase perencanaan,
penyusunan, dan pembahasan dalam pembentukan UU, Perppu,
PP, Perpres, dan Perda.
2. Buatlah diagram alir proses pembuatan Perppu, PP, dan Perpres.
3. Jelaskan relevansi partisipasi masyarakat dalam pembuatan
peraturan perundang-undangan, terutama dalam pembuatan UU
dan Perda.
300
PERTEMUAN XV:
TUTORIAL VII
PROSES PEMBUATAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN
15.1. Pendahuluan
Pembuatan peraturan perundang-undangan merupakan
kegiatan membentuk peraturan perundang-undangan yang melalui
tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan. Peraturan perundang-undangan
memiliki cakupan sangat luas karena banyak jenisnya. Karena itu,
proses pembuatan peraturan perundang-undangan meliputi proses
pembuatan seluruh jenis peraturan perundang-undangan tersebut.
Dalam bab ini mahasiswa diberi tugas untuk mendeskripsikan proses
pembuatan UU, PP, Perpres, dan pembuatan Perda serta partisipasi
masyarakat dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Setelah
berakhirnya perkuliahan, mahasiswa diharapkan mampu memahami
mengenai proses pembuatan UU, PP, Perpres, dan Perda serta
mekanisme partisipasi masyarakat dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan tersebut.
15.3. Penutup
Dalam penyajian materi: Tugas Role Play tersebut di atas
mahasiswa berdiskusi untuk menguraikan penyusunan RUU dan
Ranperda. Pada akhir tutorial, mahasiswa wajib menyetor laporan
kegiatan tutorial, yang mendeskripsikan secara rinci seluruh kegiatan
302
303
PERTEMUAN XVI
UJIAN AKHIR SEMESTER
304