Anda di halaman 1dari 318

HUKUM PERUNDANG - UNDANGAN

Tim Penyusun :
Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja, S.H., M.Hum.
I Nengah Suantra, S.H., M.H.
Made Nurmawati, S.H., M.H.
Dr. Ni Luh Gede Astariyani, S.H., M.H.
Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, S.H., M.H.
Nyoman Mas Aryani, S.H., M.H.
Edward Thomas Lamury Hadjon, S.H., LL.M.

PROGAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS UDAYANA
2018
Judul: Hukum Perundang-undangan
ISBN: 978-602-5891-18-2
Penyusun:
Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja, S.H., M.Hum.
I Nengah Suantra, S.H., M.H.
Made Nurmawati, S.H., M.H.
Dr. Ni Luh Gede Astariyani, S.H., M.H.
Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, S.H., M.H.
Nyoman Mas Aryani, S.H., M.H.
Edward Thomas Lamury Hadjon, S.H., LL.M.
Editor: Fungky
Design Cover: Haqi
Cetakan Pertama, Oktober 2018

Diterbitkan Oleh:
Uwais Inspirasi Indonesia
Ds. Sidoarjo, Kec. Pulung, Kab. Ponorogo
Email: Penerbituwais@gmail.com
Telp: 0352-571 892
WA: 0895-2366-1093/0823-3033-5859

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta,
sebagaimana yang telah diatur dan diubah dari Undang-Undang nomor 19 Tahun 2002, bahwa:
Kutipan Pasal 113
(1) Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat
(1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h, untuk penggunaan secara komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak
melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat
(1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g, untuk penggunaan secra komesial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan
dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000.00 (empat miliar rupiah).

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,

Puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan


Yang Maha Esa, atas anugrah dan karunia-NYA telah dipublikasikan
dan diterbitkan Buku Hukum Perundang-undangan, sebagai Buku
Ajar untuk Mata Kuliah Hukum Perundang-undangan pada Fakultas
Hukum Universitas Udayana. Kami menyambut baik terbitnya Buku
Ajar ini, semoga buku ini bermanfaat tidak hanya bagi para
mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Udayana, namun juga
dipergunakan sebagai bahan referensi bagi para peneliti, maupun
praktisi yang menekuni perkembangan Hukum Perundang-undangan.

Dengan terbitnya Buku Ajar Hukum Perundang-undangan


ini, maka bertambah pula koleksi buku yang disusun oleh para dosen
dari Fakultas Hukum Universitas Udayana, perkembangan tersebut
tentu sangat menggembirakan dan kami menyambut dengan baik.
Buku ini memuat kajian-kajian secara komprehensif berkaitan dengan
Hukum Perundang-undangan dalam perspektif norma hukum dalam
peraturan perundang-undangan, sumber kewenangan perundang-
undangan, sejarah perundang-undangan, dasar-dasar pembentukan
peraturan perundang-undangan, jenis dan materi muatan peraturan
perundang-undangan, serta proses pembuatan peraturan perundang-
undangan.

Akhirnya, terimakasih kepada para penulis buku ajar ini, dan


juga terima kasih kepada Unit Penjaminan Mutu Fakultas Hukum
Universitas Udayana yang telah mengkoordinasikan penulisan buku
ajar dalam tahun anggaran 2017. Semoga Tuhan Yang Maha Esa
membalas segala jerih payah dalam usaha menyusun buku ajar ini.

iii

Kami mengucapkan selamat atas telah terbitnya Buku Ajar


Hukum Perundang-undangan ini semoga bermanfaat, baik secara
teoritis maupun praktis. Semoga para penulis terus berkarya dan
melahirkan ciptaan-ciptaan buku lainnya untuk menambah khasanah
ilmu pengetahuan hukum.

Denpasar, 15 Juli 2018

Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Prof. Dr. I Made Arya Utama,S.H.,M.Hum.

NIP. 19650221 199003 1 005

iv

PRAKATA

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang


Hyang Widi Wasa, atas berkat dan anugerah-Nya, pada akhirnya
Buku Ajar Hukum Perundang-undangan dapat diselesaikan. Buku ini
disusun sebagai bahan referensi dalam proses pembelajaran Hukum
Perundang-undangan di Fakultas Hukum Universitas Udayana. Buku
Ajar Hukum Perundang-undangan membahas perundang-undangan
dalam perspektif norma hukum dalam peraturan perundang-
undangan, sumber kewenangan perundang-undangan, sejarah
perundang-undangan, dasar-dasar pembentukan peraturan perundang-
undangan, jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan,
serta proses pembuatan peraturan perundang-undangan mendapat
ruang dalam buku sederhana ini.
Diharapkan keberadaan buku ini bermanfaat bagi
perkembangan khasanah hukum di bidang Hukum Perundang-
undangan, khususnya bagi mahasiswa yang menempuh Mata Kuliah
Hukum Perundang-undangan, para peneliti serta para pengajar
Hukum Perundang-undangan.
Buku ini masih sangat sederhana, tentunya diharapkan saran-
saran dalam rangka penyempurnaannya. Buku ini berhasil terbit
selain atas kerja keras Tim Penyusun, juga mendapat dukungan baik
moril maupun material dari Dekan Fakultas Hukum Universitas
Udayana serta Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Udayana tahun 2017, untuk itu disampaikan terima kasih.

Denpasar, 15 Juli 2018

Tim Penyusun

v

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Dari Ilmu Perundang-undangan ke
Hukum Perundang-undangan --------------------------- 19
Gambar 2. Pengertian Hukum Perundang-undangan ------------ 25
Gambar 3. Cakupan Perundang-Undangan ------------------------ 30
Gambar 4. Obyek Kajian Hukum Perundang-undangan -------- 35
Gambar 5. Pilihan Metode Kajian Hukum
Perundang-undangan ------------------------------------- 49
Gambar 6. Tata susunan norma hukum:
perbandingan tata susuan norma hukum
menurut Hans Nawiasky dan
UU No.12 Tahun 2011 ----------------------------------- 161

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Perbedaan Atribusi, Delegasi Dan Mandat
dalam Black฀ s Law Dictionary--------------------------- 97
Tabel 2. Perbedaan Mandat dan Delegasi menurut
R.J.H.M. Huisman --------------------------------------------- 110
Tabel 3. Perbedaan Mandat dan Delegasi menurut
Philipus M. Hadjon ------------------------------------------- 111
Tabel 4. Perbedaan Atribusi, Delegasi dan Mandat
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan ----------------------- 112
Tabel 5. Perbandingan Jenis Peraturan
Perundang-undangan menurut :TAP MPRS
XX/MPRS/1966, TAP MPR III/MPR/2000,
UU 10/2004 dan UU 12/2011------------------------------- 192
Tabel 6. Konsep batal demi hukum dan dapat
Dibatalkan ------------------------------------------------------- 196
Tabel 7. Konsep dibatalkan dan dapat dibatalkan ------------------ 197

vi

DAFTAR KOTAK
Kotak 1. Pengertian Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan dan Peraturan Perundang-undangan -------- 56
Kotak 2. Putusan MA: „Surat Edaran‟ Bukan Objek
Hak Uji Materiil Tapi dalam perkara lain, pernah
dinyatakan sebagai objek HUM karena isinya
bersifat regeling. -------------------------------------------- 58
Kotak 3. Asas Kesesuaian antara Jenis, Hirarki, dan
Materi Muatan ----------------------------------------------- 194
Kotak 4. Asas Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk
yang Tepat --------------------------------------------------- 195
Kotak 5. Materi Muatan yang Harus Diatur dengan
Undang-Undang --------------------------------------------- 222
Kotak 6. Materi Muatan Pengaturan Lebih Lanjut
Mengenai Ketentuan UUD 1945 ------------------------ 224

vii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………....... iii


PRAKATA ………….…………………………………............... v
DAFTAR GAMBAR ...……………………………………......... vi
DAFTAR TABEL ...……………………………………….......... vi
DAFTAR KOTAK ...………………………………………........ vii
DAFTAR ISI ………………………………………………......... viii
IDENTITAS MATA KULIAH ……………………………......... 1
DESKRIPSI SUBSTANSI PERKULIAHAN.………………....... 1
CAPAIAN PEMBELAJARAN ……………………………......... 1
MANFAAT MATA KULIAH …………………………….......... 2
PERSYARATAN MENGIKUTI MATA KULIAH .………........ 2
ORGANISASI MATERI ………………………………….......... 2
METODE, STRATEGI, DAN PELAKSANAAN PROSES
PEMBELAJARAN …………………………………………........ 4
TUGAS – TUGAS ………………..………………………......... 5
UJIAN-UJIAN DAN PENILAIAN .……………………............. 5
BAHAN BACAAN …………………………………….............. 7
JADWAL PERKULIAHAN ………………………………......... 9
PERTEMUAN I KULIAH KESATU : PEMAHAMAN DASAR
HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN .………........................ 12
1.1. Pendahuluan ………………………………........... 12
1.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian …....... 12
1.3. Nama Mata Kuliah: Dari Ilmu Perundang-
Undangan Ke Hukum Perundang-Undangan..…..... 13
1.4. Hukum Perundang-Undangan: Pengaturan dan
Disiplin Ilmu Hukum ……………......................... 19
1.5. Perundang-Undangan: Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan dan Peraturan Perundang-
Undangan ............................................................... 26
1.6. Obyek Kajian Hukum Perundang - undangan ........ 30
1.7. Metode kajian hukum perundang-undangan............ 35
viii

1.8. Penutup..................................................................... 49
1.9. Bahan Bacaan/Rujukan Pengayaan ……………… 51
PERTEMUAN II TUTORIAL I: PEMAHAMAN DASAR
HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN …………………......... 56
2.1. Pendahuluan ………………………………………. 56
2.2. Penyajian Materi ………………………………….. 56
2.3. Penutup ……..…………………………………….. 60
2.4. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan ….…………. 61
PERTEMUAN III KULIAH KEDUA: NORMA HUKUM
DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ......... 62
3.1. Pendahuluan …………………..………………… 62
3.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian .…… 62
3.3. Pengertian Norma Hukum ……………………….. 63
3.4. Asas Hukum, Norma Hukum dan Aturan Hukum.. 64
3.5. Jenis Norma Hukum …………………………….. 69
3.6. Sifat Norma Hukum …………………………….. 74
3.7. Struktur Norma Hukum Dalam Hukum ………… 75
3.8. Metode Perumusan Norma Hukum Dalam Aturan
Hukum ………………………………………….. 79
3.9. Penutup …………………….................................. 82
3.10. Bahan Bacaan/Rujukan Pengayaan ……............... 83
PERTEMUAN IV TUTORIAL II: NORMA HUKUM DALAM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ........................... 85
4.1. Pendahuluan ……………………………….......... 85
4.2. Penyajian Materi ………………………………… 85
4.3. Penutup …………………………......................... 86
4.4. Bahan Bacaan …………………………………… 87
PERTEMUAN V KULIAH KETIGA: SUMBER
KEWENANGAN PERUNDANG-UNDANGAN ……………. 89
5.1. Pendahuluan ………………………………........ 89
5.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian .… 89
5.3. Pengertian sumber kewenangan ………………. 89
5.4. Kewenangan Atribusi dan Delegasi …………… 94
ix

5.5.
Perbedaan sumber kewenangan Perundang -
undangan dengan sumber kewenangan
pemerintahan …................................................. 106
5.6. Penutup ……………………………………….. 118
5.7. Bahan Bacaan/Rujukan Pengayaan ………… 119
PERTEMUAN VI TUTORIAL III: SUMBER KEWENANGAN
PERUNDANG-UNDANGAN ……........................................ 122
6.1. Pendahuluan …………………………………… 122
6.2. Penyajian Materi ………………………………. 122
6.3. Penutup ………………………………………... 123
6.4. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan.......………. 123
PERTEMUAN VII KULIAH KEEMPAT: SEJARAH
PERUNDANG-UNDANGAN 124
7.1. Pendahuluan …………………………………… 124
7.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian …. 124
7.3. Periode Kolonial ………………………………. 125
7.4. Periode awal Berlakunya UUD 1945 …………. 125
7.5. Periode Berlakunya Konstitusi RIS ………….. 129
7.6. Periode Berlakunya UUDS 1950 ……………… 130
7.7. Era Demokrasi Terpimpin ……………………. 130
7.8. Era Demokrasi Pancasila …….......................... 131
7.9. Periode Reformasi ……………………………. 138
7.10. Penutup …………………………..................... 153
7.11. Bahan Bacaan/Rujukan Pengayaan ………….. 154
PERTEMUAN VIII UJIAN TENGAH SEMESTER …........ 156
PERTEMUAN IX TUTORIAL IV: SEJARAH PERUNDANG- 157
UNDANGAN …......................................................................
9.1. Pendahuluan ………........................................... 157
9.2. Penyajian Materi ………………………………. 157
9.3. Penutup ……………........................................... 157
9.4. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan …................ 158

x

PERTEMUAN X KULIAH KELIMA: DASAR DASAR


PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN ………………………………………………........ 159
10.1. Pendahuluan …………............................................ 159
10.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian …...... 159
10.3. Kedudukan Pancasila dalam Peraturan Perundang-
undangan …………………………........................ 159
10.4. Landasan Keberlakuan Peraturan Perundang-
undangan …………................................................ 161
10.5. Asas-asas pembentukan Peraturan Perundang-
undangan ………………………………………..... 164
10.6. Penutup ………………………………………........ 169
10.7. Bahan Bacaan/Rujukan Pengayaan ……………..... 171
PERTEMUAN XI TUTORIAL V: DASAR DASAR
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG- 172
UNDANGAN ………………………………………………........
11.1. Pendahuluan …………………………………….... 172
11.2. Penyajian Materi ………………………………..... 172
11.3. Penutup ……………………….............................. 174
11.4. Bahan Bacaan …………………………………...... 174
PERTEMUAN XII KULIAH KEENAM: JENIS, FUNGSI DAN
MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN ………………………………............................... 175
12.1. Pendahuluan ………………………….................. 175
12.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian ......... 176
12.3. Jenis Peraturan Perundang-undangan ………......... 177
12.4. Fungsi Peraturan Perundang-undangan................... 204
12.5. Materi muatan Peraturan Perundang- undangan...... 215
12.6. Penutup ……………………………………............ 237
12.7. Bahan Bacaan/Rujukan Pengayaan …………........ 239
PERTEMUAN XIII TUTORIAL VI: JENIS, FUNGSI DAN
MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG- 241
UNDANGAN ………………………………………………........

xi

13.1. Pendahuluan ……………………………………....... 241


13.2. Penyajian Materi ………………………………........ 241
13.3. Penutup …………………………………………....... 242
13.4. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan ……………...... 242
PERTEMUAN XIV KULIAH KETUJUH: PROSES
PEMBUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.... 243
14.1. Pendahuluan ……………………………………....... 244
14.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian …......... 244
14.3. Proses Pembuatan Undang-Undang ……………...... 244
14.4. Proses Pembuatan Perppu, PP dan Perpres ……....... 286
14.5. Proses Pembentukan Perda ……………………........ 289
14.6. Partisipasi Masyarakat dalam Pembuatan Peraturan
Perundang-undangan …………............................... 297
14.7. Penutup …………………………………………...... 299
14.8. Bahan Bacaan/Rujukan Pengayaan ……………....... 300
PERTEMUAN XV TUTORIAL VII: PROSES PEMBUATAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN............................. 302
15.1. Pendahuluan …………………………………........ 302
15.2. Penyajian Materi ………………………………...... 302
15.3. Penutup ………………………………………........ 303
15.4. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan ……….......... 304
PERTEMUAN XVI UJIAN AKHIR SEMESTER ….................. 305

xii

IDENTITAS MATA KULIAH

Nama Mata Kuliah : Hukum Perundang-Undangan


Kode Mata KuIiah : BII 4233
SKS : 2 SKS
Status Mata Kuliah : Wajib Fakultas
Tim Pengajar : Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja,S.H., M.Hum.
I Nengah Suantra, S.H., M.H.
Made Nurmawati,S.H., M.H.
Dr. Ni Luh Gede Astariyani,S.H., M.H.
Ni Made Ari Yuliartini Griadhi,S.H., M.H.
Nyoman Mas Aryani, S.H., M.H.
Edward Thomas Lamury Hadjon, S.H., LL.M.

DESKRIPSI SUBSTANSI PERKULIAHAN


Hukum Perundang-undangan merupakan mata kuliah yang
mengkaji aspek-aspek teoritis perundang-undangan, selain itu pula
substansi mata kuliah ini juga mengkaji aspek-aspek hukum dari
perundang-undangan berkaitan dengan pengertian, norma hukum
peraturan perundang-undangan (jenis, sifat, struktur norma hukum
dan metode dalam merumuskan norma hukum). Hal lainnya yang
dikaji adalah menyangkut sumber kewenangan perundang-undangan.
Dari mana sumber kewenangan itu berasal merupakan hal yang
penting bagi sah/tidaknya peraturan tersebut. Sebagai sebuah Negara
Hukum, setiap tindakan pemerintah ataupun rakyat harus berdasarkan
kepada peraturan, maka substansi perkuliahan ini juga mencakup
dasar-dasar pembentukan peraturan perundang-undangan,
jenis/materi, proses pembentukan serta pengawasan atau pengujian
peraturan perundang-undangan.

CAPAIAN PEMBELAJARAN
Melalui pemahaman terhadap mata kuliah Hukum

1

Perundang-undangan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami


teori, asas, kaidah hukum pembentukan peraturan
perundangundangan baik menyangkut perumusan norma hukum,
proses pembentukan maupun pengawasannya.

MANFAAT MATA KULIAH


Hukum Perundang-undangan merupakan mata kuliah yang
bersifat teoritis dan praktis, sebagai pendalaman dari mata kuliah lain
dalam kelompok mata kuliah keahlian hukum, terutama Hukum Tata
Negara, khususnya substansi Hukum Perundang-undangan. Karena
itu, Hukum Perundang-undangan selain memberikan manfaat teoritis
bagi mahasiswa, yakni mahasiswa dapat memahami seluk-beluk
istilah, pengertian dan asas-asas terkait dengan Hukum Perundang-
undangan; mahasiswa juga memperoleh manfaat praktis yaitu proses
pembentukan peraturan perundang-undangan dan pengujian.

PERSYARATAN MENGIKUTI MATA KULIAH


Mata kuliah Hukum Perundang-undangan merupakan mata
kuliah wajib institusional yang ditawarkan pada semester 3.
Berdasarkan pada Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor :
980/Un14.1.11/PP/2013 Tentang Buku Pedoman Pendidikan Fakultas
Hukum Universitas Udayana Tahun 2013 dan Keputusan Rektor
Universitas Udayana Nomor: 849/Un14.1.11/PP/2013 Tentang
Kurikulum Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2013, mata
kuliah Hukum Perundang-undangan dipersyarati dengan mata kuliah
Hukum Tata Negara.

ORGANISASI MATERI
Materi kuliah terdiri dari beberapa pokok bahasan dan sub
pokok bahasan, yang dapat digambarkan secara sistematis, sebagai
berikut:

2

I. Pendahuluan
a. Nama Mata Kuliah: Dari Ilmu Perundang-Undangan Ke
Hukum Perundang-Undangan.
b. Hukum Perundang-Undangan: Pengaturan dan Disiplin Ilmu
Hukum.
c. Perundang-Undangan: Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan dan Peraturan Perundang-Undangan.
d. Obyek Kajian Hukum Perundang-Undangan.
e. Metode Kajian Hukum Perundang-Undangan.

II. Norma Hukum Dalam Peraturan Perundang-Undangan


a. Pengertian norma hukum
b. Asas hukum,norma hukum dan aturan hukum
c. Jenis norma hukum
d. Sifat norma hukum
e. Struktur norma hukum dalam aturan hukum
f. Metode perumusan norma hukum dalam aturan hukum

III. Sumber Kewenangan Perundang-Undangan


a. Pengertian sumber kewenangan
b. Kewenangan Atribusi dan Delegasi
c. Perbedaan sumber kewenangan Perundang-undangan dengan
sumber kewenangan pemerintahan.

IV. Sejarah Perundang-undangan


a. Periode Kolonial
b. Periode Awal Berlakunya UUD 1945
c. Periode Berlakunya Konstitusi RIS
d. Periode Berlakunya UUDS 1950
e. Periode Demokrasi Terpimpin
f. Periode Demokrasi Pancasila
g. Periode Reformasi
3

V. Dasar-Dasar Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan


a. Kedudukan Pancasila dalam Peraturan Perundang-undangan
b. Landasan Keberlakuan Peraturan Perundang-undangan
c. Asas-asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan

VI. Jenis dan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan


a. Jenis Peraturan Perundang-undangan Pusat dan Daerah
b. Fungsi Peraturan Perundang-undangan
c. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan

VII. Proses Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan


a. Proses pembuatan Undang - Undang
b. Proses Pembuatan Perppu, PP dan Perpres
c. Proses Pembentukan Perda
d. Partisipasi Masyarakat dalam Pembuatan Peraturan
Perundang-undangan

METODE, STRATEGI, DAN PELAKSANAAN PROSES


PEMBELAJARAN

Metode perkuliahan yang digunakan yaitu metode Problem


Based Learning. Mahasiswa belajar (learning) menggunakan masalah
sebagai basis pembelajaran. Dosen bukan mengajar (teaching), tetapi
memfasilitasi mahasiswa belajar.
Pelaksanaan perkuliahan dikombinasikan dengan tutorial.
Perkuliahan dilakukan oleh dosen penanggung jawab mata kuliah
sebanyak 6 (enam) kali, untuk memberikan orientasi materi
perkuliahan per-pokok bahasan. Sedangkan tutorial dilaksanakan
sebanyak 6 (enam) kali. Untuk mengetahui hasil belajar peserta didik,
dilakukan dengan penilaian terhadap tugas-tugas, ujian tengah
semester (UTS), dan ujian akhir semester (UAS). Dengan demikan,
keseluruhan tatap muka pertemuan berjumlah 14 kali.
4

Perkuliahan Pokok-pokok Bahasan dan sub-sub pokok


bahasan dipaparkan dengan alat bantu papan tulis, power point slide,
dan penyiapan bahan bacaan tertentu yang dipandang sulit diakses
oleh mahasiswa. Mahasiswa sudah mempersiapkan diri (self study)
sebelum mengikuti perkuliahan dengan mencari bahan materi,
membaca, dan memahami pokok-pokok bahasan yang akan
dikuliahkan sesuai dengan arahan (guidance) dalam Buku Ajar.
Perkuliahan dilakukan dengan proses pembelajaran dua arah, yakni
pemaparan materi, tanya jawab, dan diskusi.Mahasiswa mengerjakan
tugas-tugas, baik discussion task, study task, maupun problem task
sebagai bagian dari self study. Tugas-tugas dikerjakan sesuai dengan
petunjuk yang terdapat pada setiap jenis tugas-tugas. Kemudian
presentasi dan berdiskusi di kelas tutorial.

TUGAS-TUGAS
Mahasiswa diwajibkan untuk membahas, mengerjakan dan
mempersiapkan tugas-tugas yang ditentukan di dalam Buku Ajar.
Tugas-tugas terdiri dari tugas mandiri yang dikerjakan di luar
perkuliahan, tugas yang harus dikumpulkan, dan tugas yang harus
dipresentasikan. Tugas-tugas dalam tutorial terdiri dari study task,
discussion task, dan problem task.

UJIAN-UJIAN DAN PENILAIAN


Ujian-ujian terdiri dari ujian tertulis dalam bentuk essay
dalam masa tengah semester dan akhir semester. Ujian tengah
semester (UTS) dapat diberikan pada saat tutorial atas materi
perkuliahan nomor 1 dan 2. UTS dapat diganti dengan menggunakan
nilai tutorial 1, 2, dan 3 dari perkuliahan 1 dan 2. Sedangkan ujian
akhir semester ( UAS ) dilakukan atas materi perkuliahan 3, 4 dan 5
dan tutorial 4, 5 dan 6 yang dilakukan pada pertemuan ke-14. Ujian
dapat dilakukan secara lisan jika memenuhi persyaratan pelaksanaan
ujian lisan yang ditentukan dalam Peraturan Akademik Fakultas
5

Hukum Universitas Udayana.


Penilaian meliputi aspek hard skills dan aspek soft skills.
Penilaian hard skill dilakukan melalui tugas-tugas (TT), UTS, dan
UAS. Penilaian soft skill meliputi penilaian atas kehadiran, keaktifan,
kemampuan presentasi, penguasaan materi, argumentasi, disiplin,
etika dan moral berdasarkan pada pengamatan dalam tatap muka
selama perkuliahan dan tutorial. Nilai soft skill ini merupakan nilai
tutorial yang dijadikan sebagai nilai tugas. Nilai Akhir Semester (NA)
diperhitungkan menggunakan rumus seperti pada Buku Pedoman
Pendidikan FH UNUD 2013, yaitu

(UTS + TT ) + 2 (UAS)
2
NA =
3
Sistem penilaian mempergunakan skala 5 (0-4) dengan
rincian dan kesetaraan sebagai berikut :

Skala Nilai Penguasaan Keterangan dengan skala nilai


Huruf Angk Kompetensi 0-10 0-100
a
A 4 Istimewa 8,0-10,0 80-100
B+ 3,5 Sangat Baik 7,1-7,9 71-79
B 3 Baik 6,5-7,0 65-70
C+ 2,5 Cukup Baik 6,0-6,4 60-64
C 2 Cukup 5,5-5,9 55-59
D+ 1,5 Kurang Cukup 5,0-5,4 50-54
D 1 Kurang 4,0-4,9 40-49
E 0 Sangat Kurang 0,0-3,9 0-39

6

BAHAN BACAAN
Peraturan Perundang-Undangan Terkait
Republik Indonesia,Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia, UUDNRI Tahun 1945.
_______,Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, UU No.12 Tahun 2011. (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indoesia Nomor
5234 ).
_______, Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, UU No.
23 tahun 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5587).
_______,Putusan Perkara Mahkamah Konstitusi No.065/PUU-ll/2004
Pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia.
_______,Peraturan Presiden No.68 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang- Undang, Rancangan
Perppu, Rancangan PP dan Rancangan Perpres.
_______,Peraturan Menteri Dalam Negeri No 1 Tahun 2014 teantang
Pembentukan Produk Hukum Daerah.

Literatur Terkait
Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel)
Pada Pemerintahan Daerah, UII Press, Yogyakarta, 2005.
Bayu Dwi Anggono, Perkembangan Pembentukan Undang-Undang
di Indonesia, Jakarta: Konpress, 2014.
Bagir Manan, dasar-dasarPeraturan Perundang-undangan
Indonesia, IndoHillCo, Jakarta, 1992.
Hamid S Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia DalamPenyelenggaraan Pemerintahan Negara,
Disertasi Doktor,Fakultas Pasca Sarjana UI, Jakarta, 1990,
Hukum Perundang-undangan, Bagaian HTN, 2009.
7

I Gede Panca Astawa dan Na‟a Suprin, Dinamika Hukum dan Ilmu
Perundang-undangan, Alumni, Bandung, 2008.
Jimly Assidiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta,
2006.
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu PerundangUndangan1: Jenis,
Fungsi danMateri Muatan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
2007.
________________________,Ilmu Perundang-undangan 2: Proses
dan Teknik Pembentukannya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
2007.
I.C.Van Der Viles, Buku Pegangan Perancangan Peraturan
Perundang-undangan Terjemahan, Dirjen Perundang-
Undangan Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2005.
Supardan Madeong dan Zudan Arif Fakrulloh, Legal Drafting
berporos Hukum Humanis Partisipatoris, Perca, Jakarta, 2005.
Hamzah Halimdan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis
Menyusun danMerancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian
Teoritis dan Praktis disertai manual) –Konsepsi Teoritis
Menuju Artikulasi Emperis, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2009.
Rosjidi Ranggawidjaya, Pengantar Ilmu Perundang-
Undangan,Mandar Maju, Bandung, 1998.
Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrecht) Yang dimiliki Hakim dalam
Sistem Hukum Indonesia, Taja Grafindo Persada, Jakarta,
2005.

8

JADWAL PERKULIAHAN

NO PERTEMUAN KEGIATAN TOPIK

1 Pertemuan I Perkuliahan I Pendahuluan


a. Nama Mata Kuliah: Dari Ilmu
Perundang-Undangan Ke
Hukum Perundang-Undangan.
b. Hukum Perundang-Undangan:
Pengaturan dan Disiplin Ilmu
Hukum.
c. Perundang-Undangan:
Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan dan
Peraturan Perundang-
Undangan.
d. Obyek Kajian Hukum
Perundang-Undangan.
e. Metode kajian hukum
perundang-undangan.
2 Pertemuan II Tutorial I Pemahaman Dasar Hukum
Perundang-Undangan
3 Pertemuan III Perkuliahan II Norma Hukum Dalam Peraturan
Perundang-Undangan
a. Pengertian Norma Hukum
b. Asas Hukum, Norma Hukum
dan Aturan Hukum
c. Jenis Norma Hukum
d. Sifat Norma Hukum
e. Struktur Norma Hukum Dalam
Aturan Hukum
f. Metode Perumusan Norma
Hukum Dalam Aturan Hukum.
4 Pertemuan IV Tutorial II Pemahaman Norma Hukum
5 Pertemuan V Perkuliahan III Sumber Kewenangan Perundang-
undangan
a. Sumber kewenangan.
b. Kewenangan atribusi dan
kewenangan delegasi.
c. Perbedaan sumber kewenangan

9

perundang-undangan dengan
sumber kewenangan
pemerintahan.
6 Pertemuan VI Tutorial III Sumber kewenangan Perundang-
undangan
7 Pertemuan VII Perkuliahan IV Sejarah Perundang-undangan
a. Periode Kolonial
b. Periode Awal Berlakunya UUD
1945
c. Periode Berlakunya Konstitusi
RIS
d. Periode Berlakunya UUDS
1950
e. Periode Berlakunya UUD 1945
Era Demokrasi Terpimpin
f. Periode Berlakunya UUD 1945
Era Demokrasi Pancasila
g. Periode Berlakunya UUD 1945
hasil perubahan.
8 Pertemuan VIII UTS Substansi Perkuliahan I- IV
9 Pertemuan IX Tutorial IV Sejarah Perundang-undangan
10 Pertemuan X Perkuliahan V Dasar-Dasar Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
a. Kedudukan Pancasila dalam
Peraturan Perundang-undangan
b. Landasan Keberlakuan
Peraturan Perundang-undangan
c. Asas-asas Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
11 Pertemuan XI Tutorial V Dasar-Dasar, Pembentukan
Peraturan Perundang-undanga
12 Pertemuan XII Perkuliahan VI Jenis, Fungsi dan Materi Muatan
Peraturan Perundang-Undangan
a. Jenis Peraturan Perundang-
undangan
b. Fungsi Peraturan Perundang-
undangan
c. Materi Muatan Peraturan
Perundang undangan
13 Pertemuan XIII Tutorial VI Jenis, Fungsi dan Materi Muatan
10

Peraturan Perundang-Undangan:
14 Pertemuan XIV Perkuliahan VII Proses Pembuatan Peraturan
Perundang-Undangan
a. Proses Pembuatan UU;
b. Proses Pembuatan Perppu, PP
Dan Perpres;
c. Proses Pembuatan Perda; Dan
d. Bentuk Dan Mekanisme
Partisipasi Masyarakat Dalam
Pembuatan Peraturan Perundang-
Undangan, Terutama Dalam
Pembuatan UU Dan Perda.
15 Pertemuan XV Tutorial VII Proses Pembuatan Peraturan
Perundangundangan
16 Pertemuan XVI UAS Substansi Perkuliahan V, VI, dan
VII

11

PERTEMUAN I :
KULIAH KESATU
PEMAHAMAN DASAR HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN

1.1. Pendahuluan
Mengawali pertemuan pembelajaran mata kuliah ini,
Mahasiswa diajak mempelajari perihal pemahaman dasar Hukum
Perundang-undangan, meliputi (1) nama mata kuliah: dari ilmu
perundang-undangan ke hukum perundang-undangan; (2) hukum
perundang-undangan: pengaturan dan disiplin ilmu hukum; (3)
perundang-undangan: pembentukan peraturan perundang-undangan
dan peraturan perundang-undangan; (4) obyek kajian hukum
perundang-undangan; dan (5) metode kajian hukum perundang-
undangan.
Penguasaan pemahaman dasar Hukum Perundang-undangan
ini menjadi landasan dalam memahami materi pembelajaran pada
pertemuan-pertemuan berikutnya.

1.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian


Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi pembelajaran
ini, Mahasiswa diharapkan memiliki pemahaman mengenai dasar-
dasar Hukum Perundang-undangan.
Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi pembelajaran
tersebut, Mahasiswa mampu:
a. menjelaskan perubahan nama mata kuliah dari ilmu perundang-
undangan ke hukum perundang-undangan;
b. menguraikan pengertian hukum perundang-undangan yang
meliputi aspek pengaturan dan aspek disiplin ilmu hukum;
c. menguraikan pengertianperundang-undangan yang meliputi
aspek pembentukan peraturan perundang-undangan dan aspek
peraturan perundang-undangan;
d. menjelaskan ruang lingkup obyek kajian hukum perundang-
undangan; dan
12

e. menjelaskan ragam metode kajian hukum perundang-undangan.

1.3. Nama Mata Kuliah: Dari Ilmu Perundang-undangan ke


Hukum Perundang-Undangan
Mata Kuliah ini sebelumnya berjudul Ilmu Perundang-
undangan. Ilmu perundang-undangan (science of legislation atau
wetgevingswetenschap) merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan
Perundang-undangan (Gesetzgebungswissenschaft), bagian lainnya
adalah Teori Perundang-undangan.
Pemahaman yang memadai mengenai Ilmu Perundang-
undangan dan Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan dapat
diperoleh dari berbagai tulisan A. Hamid S. Attamimi. Berikutnya
kutipan dari tulisan dimaksud, yang untuk memudahkan memahami
dirinci sebagai berikut:
1. Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan (terjemahan
Geselzgebungs-wissenschaft) merupakan ilmu baru,
dikembangkan terutama di negara-negara yang berbahasa
Jerman. Negeri Belanda dan negara-negara lain sekitarnya
menerima manfaatnya.
2. Sebagai ilmu baru, tentu saja orang masih mempersoalkan
penanganan disiplinernya, kesesuaian metodologinya,
kecermatan terminologinya, dan lain-lainnya. Orang juga masih
mempersoalkan apakah ia ilmu yang monodisipliner yuridis,
multidisipliner, ataukah interdispliner.
3. Di antara para pelopor Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan,
Burkhardt Krems (Grundfragen den Gesetzbungslehre, 1979)
dan Werner Maihofer (Gesetzgebungswissenschaft 1981) yang
paling jelas mengemukakan wawasannya tentang kedudukan
ilmu tersebut dan bagian- bagiannya.
4. Krems membagi Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan
(Geselzgebungswissenschaft) ke dalam Teori Perundang-
undangan (Geselzgebungstheorie) dan Ilmu Perundang-

13

undangan (Gesetzgebungslehre). Yang pertama berorientasi


kepada mencari kejelasan dan kejernihan pengertian-pengertian
(erklarungsorientiert) dan yang kedua berorientasi kepada
melakukan perbuatan (handlungsorientiert); yang pertama
bersifat kognitif dan yang kedua normatif.
5. Maihofer membagi Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan
(Gesetzgebungswissenschaft) ke dalam Penelitian Kenyataan
Hukum (Rechtstatsachenforschung) yang meneliti undang-
undang, pembentukan undang-undang, dan pembentuk
undang-undang dalam kenyataan sehari-hari, dan Ilmu
Perundang-undangan (Gesetzgebungslehre), yang merupakan
bagian politik hukum yang didasarkan pada pengalaman hukum
serta merupakan petunjuk dalam pembentukan hukum.
6. Menurut W.G. van der Velden (De ontwikkeling van de
wetgevingswetenschap, diss. 1988), hanya Krems dan Maihofer
yang membagi Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan ke dalam
bagian-bagian yang disebutnya empirische dan normatieve
wetgevingswetenschap. Keduanya mengembangkan tema dan
arah penelitian yang dapat dikatakan sama. Krems, membagi lagi
IImu Perundang-undangan (Gesetzgebungslehre) ke dalam
Proses Perundang-undangan (Gesetzgebungsverfahren), Metode
Perundang-undangan (Gesetzgebungsmethode), dan Teknik
Perundang-undangan (Gesetzgebungstechnik). Sedangkan
Maihofer membagi lagi Ilmu Perundang-undangan
(Gesetzgebungslehre) ke dalam Teknik Perundang-undangan
(Teehnik der Gesetszgebung), Metodik Perundang-undangan
(Methodik der Gesetzgebung), dengan tambahan Taktik
Perundang-undangan (Taktik der Gesetzgebung), dan Analitik
Perundang-undangan (Analitik der Gesetzgebung).1

1
A. Hamid S. Attamimi, 1990, “Ilmu Pegetahuan
Perundang-undangan (Gesetzgebungswissenchaft) dan Pengembangan
Pengajarannya di Fakultas Hukum”, Makaiah dalam Diskusi Mengenai
Kemungkinan Masuknya Ilmu Perundang-undangan Dalam Kurikulum
14

Paparan tersebut menunjukkan pemahaman bahwa Ilmu


Perundang-undang merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan
Perundang-undangan. Terdapat bagian-bagian yang empirs dan
normatif dalam Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan. Khususnya
Ilmu Perundang-undangan, ia merupakan bagian politik hukum yang
didasarkan pada pengalaman hukum serta merupakan petunjuk dalam
pembentukan hukum.
Sekaligus menegaskan bahwa Ilmu Perundang-undangan
sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan tidaklah
bersifat monodisipliner. Hal ini tampak dalam kutipan berikut:2
1. Krems mendefinisikan IImu Pengetahuan Perundang-undangan
dengan ilmu pengetahuan yang interdisipliner tentang
pembentukan hukum negara.
2. la menyatukan berbagai segi pengetahuan yang ada dan
menggunakannya bagi suatu jangkauan obyeknya yang khusus.
3. Dalam hubungannya dengan IImu Pengetahuan Hukum, IImu
Politik, dan Sosiologi, IImu Pengetahuan Perundang-undangan
dari satu sudut lebih sempit dan dari sudut lain lebih luas: lebih
sempit dilihat dari obyek penelitiannya (hanya pembentukan
peraturan negara) dan lebih luas di- lihat dari permasalahannya,
paradigmanya, dan metodanya.
4. Beberapa materi perkuliahan pada fakultas hukum yang akan
terkait dengan materi kuliah IImu Pengetahuan Perundang-
undangan ialah antara lain, di bidang teori hukum ialah Pengantar

Fakultas Hukum pada Pertemuan Dekan-dekan Fakultas Hukum Negeri


Se·Indonesia di Bawah Konsorsium Ilmu Hukum, Jakarta, 20-21 Oktober
1989, dimuat dalam Hukum dan Pembangunan, Februari 1990, ( selanjutnya
disingkat A. Hamid S. Attamimi I) hlm. 4-5. Cermati juga Maria Farida
Indrati Soeprapto, 2002, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan
Pembentukannya, cetakankelima,Yogyakarta:Kanisius,hlm. 2-3.
2
Ibid., hlm. 5.
15

IImu Hukum,3 di bidang teori kenegaraan ialah Ilmu Negara, di


bidang dogmatika hukum ialah Pengantar Tata Hukum Indonesia,
Asas-asas Hukum Tata Negara, Asas-asas Hukum Administrasi
Negara, Lembaga Kepresidenan, Lembaga Perwakilan Rakyat,
Hukum Tata Usaha dan Birokrasi Negara, dan Hukum
Administrasi Daerah, dan di bidang ilmu-ilmu penunjang lainnya
ialah Sosiologi Hukum (sebaiknya Sosiologi Perundang-
undangan)4, Politik Hukum (apabila sudah ada, sebaiknya Politik
Perundang-undangan),5 dan Filsafat Hukum.6
A. Hamid S. Attamimi mengemukakan juga metode

3
Untuk strata 2 Program Studi Ilmu Hukum terdapat mata kuliah
berjudul Teori Hukum, antara lain dapat dicermati JJ.H. Bruggink, 2011,
Refleksi Tentang Hukum: Pengertian-Pengertian Dasar dalam Teori Hukum,
terjemahan B. Arief Sidharta, Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti, hlm.
87-118, 119-140, 141-158 (Bab V Aturan Hukum dan Kaidah Hukum, Bab
VI Asas Hukum dan Sistem Hukum, Bab VII Keberlakuan Kaidah Hukum),
materi yang berkaitan dengan pembentukan isi peraturan perundang-
undangan.
4
Pengenalan awal sosiologi perundang-undangan antara lain dalam
Soerjono Soekanto, “Masalah-masalah Di Sekitar Perundang-undangan
(Suatu Tinjauan menurut Sosiologi Hukum), dalam Majalah FH UI, Nomor
(?) Tahun (?), hlm. 27-34, dan Jufrina Rizal, Sosiologi Perundang-undangan
dan Pemanfaatannya dalam Hukum dan Pembangunan Nomor 3 Tahun
XXXIII, Juli-September 2003, hlm. 413-427.
5
Dapat dipelajari antara lain Pataniari Siahaan, 2012, Politik Hukum
Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta:
Konstitusi Press, juga dalam H. Abdul Latif dan H. Hasbi Ali, Politik
Hukum, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, hlm. 164-192 (Bab 6 Politik
Perundang-undangan Indonesia).
6
Antara lain dapat dipahami dari Theo Huijbers, 1995, Filsafat
Hukum, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hlm. 139-147 (Bab 12 Keahlian
Sarjana Hukum, yang membahas kesenian hukum dan pembentukan
hukum). Juga di dalam Franz Magnis-Suseno, 2016, Etika Politik Hukum:
Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama, hlm. 82-104 (Bab IV Apa Itu Hukum, yang
membahas kekhasan norma hukum dan kepastian hukum serta keadilan),
144-154 (Bab VI Nilai-nilai Dasar dalam Hukum , yang mesti dilindungi
produk legislatif).
16

pengajaran Ilmu Perundang-undangan. Menurutnya, karena IImu


Perundang-undangan berorientasi kepada melakukan perbuatan,
dalam hal ini melakukan pembentukan peraturan
perundang-undangan, termasuk di dalamnya proses perancangan dan
penyusunannya berdasarkan teknik dan metode yang menunjang,
maka metoda pengajaran Ilmu Perundang-undangan selain
merupakan kegiatan tatap muka, diskusi , dan seminar, juga
merupakan latihan-Iatihan, baik bagian demi bagian maupun
keseluruhan berbagai jenis peraturanperundang-undangan.7
Pengajaran mata kuliah IImu Perundang-undangan dengan
bagian-bagiannya yakni proses, teknik, dan metoda perundang-
undangan, menurut A. Hamid S. Attamimi, bertujuan agar para
mahasiswa dapat mengetahui antara lain:
a. berbagai norma hukum, jenisnya, dan karakteristiknya serta tata
susunannya, yang penting bagi pemahaman hakekatperaturan
perundang-undangan; dapat mengetahui berbagai jenis peraturan
perundang-undangan dan fungsinya masing-masing;
b. bentuk luar (kenvorm) dari berbagai jenis peraturan perundang-
undangan;
c. tahap-tahap proses pembentukan suatu Undang- undang, Peraturan
Pemerintah, dan peraturan peru\ldang-undangan lainnya;
d. cara menyusun dan merancang suatu peraturan perundang-
undangan, apa bagian-bagian esensial peraturan perundang-
undangan, dan bagaimana sistematika pembagian batang
tubuhnya;
e. ragam bahasa dan ungkapan yang digunakan dalam peraturan
perundang-undangan.8

Perkembangan pengajaran mata kuliah Ilmu Perundang-


undangan, setidaknya di Fakultas Hukum Universitas Udayana
menekankan pada aspek hukum pembentukan peraturan perundang-

7
A. Hamid S. Attamimi I, op.cit., hlm. 6.
8
A. Hamid S. Attamimi I, op.cit., hlm. 7
17

undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10


Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(selanjutnya disebut UU No.10/2004), kemudian Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (selanjutnya disebut UU No.12/2011), dengan tidak
meninggalkan esensi dari Ilmu Perundang-undangan yakni perihal
pembentukan peraturan perundang-undangan yang mencakup
pembentukan isi dan bentuknya.
Di bidang hukum yang menyangkut pembentukan peraturan
perundang-undangan negara, menurut Burkhardt Krems, bermakna
pembentukan peraturan yang meliputi:
a. isi peraturan;
b. bentuk dan susunan peraturan;
c. metode pembentukan peraturan; dan
d. prosedur dan proses pembentukan peraturan.9

Ringkasnya, pembentukan peraturan perundang-undangan


pada dasarnya meliputi pembentukan isi dan bentuk. Aspek bentuk
menyangkut bentuk dan susunan, metode, prosedur dan proses
pembentukannya.
Berdasarkan kondisi tersebut, yakni penekanan pada aspek
hukum pembentukan peraturan perundang-undangan dan dengan
tetap memperhatikan aspek isi dan bentuk tersebut, maka kuliah Ilmu
Perundang-undangan diganti namanya menjadi Hukum Perundang-
undangan, dalam pengertian Hukum tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Uraian tersebut diringkas dalam gambar
berikut:

9
A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi
Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Bersifat Pengaturan dalam
Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV), Disertasi Doktor, Jakarta: Fakultas
Pascasarjana Universitas Indonesia, (selanjutnya disingkat A. Hamid S.
Atamimi II ), hlm. 300.
18

Gambar 1. Dari Ilmu Perundang-undangan ke Hukum


Perundang-undangan

1.4. Hukum Perundang-undangan: Pengaturan dan Disiplin


Ilmu Hukum
Istilah Hukum Perundang-undangan ditemukan dalam tulisan
A. Hamid S. Attamimi dan Maria Farida. A. Hamid S. Attamimi, di
dalam disertasi doktornya, pada bagian manfaat penelitian menulis:
“....diharapkan dapat memberikan manfaat.... pada ilmu pengetahuan
dan hukum di bidang perundang-undangan
(Gesetzgebungswissenschaft) dan Gesetzgebungsrecht).”10 Pada
bagian lain, ia menulis:
…dewasa ini dikehendaki perhatian yang khusus terhadap
pembentukan peraturan perundang-undangan negara. Maka di masa
mendatang, mengenai tempat perundang-undangan tersebut
sebaiknya dapat dikembangkan lebih jauh di atas suatu bidang saja,
yaitu ilmu interdisipliner tersendiri di bawah bimbingan ilmu hukum,
yaitu ilmu yang diusulkan dengan nama Ilmu Pengetahuan Bidang
Perundang-undangan,sebagai terjemahan Gesetzgebungswissenschaft,
wetgevingswetwnschap, Science of Legislation.11

10
Ibid., hlm. 43.
11
A. Hamid S. Attamimi II, op.cit., hlm. 298.
19

Jadi ada istilah Ilmu pengetahuan bidang perundang-


undangan (Gesetzgebungswissenschaft, wetgevingswetwnschap,
Science of Legislation) dan hukum di bidang perundang-undangan
(Gesetzgebungsrecht). Selain itu, ada juga istilah hukum tentang
peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari Hukum Tata
Pengaturan, sebagaimana dikemukakan A. Hamid S. Attamimi dalam
Pidato Purna Bakti Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.12
Penjelasan tentang pengertian Hukum Perundang-undangan
tidak ditemukan dalam disertasi tersebut. Selanjutnya perlu
menyimak penggunaan istilah Hukum Perundang-undangan di dalam
tulisan Maria Farida, dkk., yakni:13
Hukum perundang-undangan sebagai disiplin ilmu
pengetahuan hukum belum banyak dipelajari orang sebagai sebuah
ilmu sehingga belum banyak dipahami oleh masyarakat luas. Bidang
perundang-undangan tidak banyak diminati karena tidak berkorelasi
langsung dengan praktek hukum secara luas.
Laporan Kompendium tersebut juga tidak menyertakan
penjelasan tentang pengertian Hukum Perundang-undangan.
Pemahaman yang diperoleh bahwa Hukum Perundang-undangan
merupakan disiplin ilmu pengetahuan hukum. Namun, tidak juga
dijelaskan Hukum Perundang-undangan sebagai disiplin ilmu
pengetahuan hukum itu sama atau tidak dengan Ilmu Perundang-
undangan.
Buku ini mencermati penggunaan istilah Hukum Perundang-
undangan dalam dua pengertian. Pertama, istilah Hukum Perundang-

12
A. Hamid S. Attamimi, 1993, ”Hukum Tentang Peraturan
Perundang-undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan)”,
Pidato Purna Bakti Guru Besar Tetap, Depok: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, (selanjutnya disingkat A. Hamid S. Atamimi III).
13
Maria Farida, dkk, 2008, Laporan Kompendium Bidang Hukum
Perundang-Undangan, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, (selanjutnya disingkat
Maria Farida I), hlm. 8.
20

undangan digunakan dalam dalam pengertian pengaturan. Kedua,


istilah Hukum Perundang-undangan digunakan dalam pengertian
disiplin ilmu hukum, atau dalam ungkapan Maria Farida, dkk.,
Hukum Perundang-undangan sebagai disiplin ilmu pengetahuan
hukum.
Hukum Perundang-undangan sebagai pengaturan dapat
dicermati dalam dua pengertian, yakni Hukum Perundang-undangan
sebagai produk pengaturan dan Hukum Perundang-undangan sebagai
instrumen pengaturan.
Hukum Perundang-undangan dalam pengertian produk
pengaturan, tampak dalam pendapat Bagir Manan, yang juga
menggunakan istilah Hukum Perundang-undangan dan memberikan
pengertian. Hukum perundang-undangan merupakan salah bentuk
dari hukum dalam suatu negara. Ia menulis:14
Hukum dalam suatu negara dapat menjelma dalam berbagai
bentuk dan wujud, yaitu:
1. Hukum Perundang-undangan;
2. Hukum Yurisprudensi;
3. Hukum Adat;
4. Hukum Kebiasaan.

Penggolongan hukum di atas didasarkan kepada bentuk, cara


terbentuk, dan pembentukannya, ungkap Bagir Manan.15 Mengenai
hukum perundang-undangan, ia memberikan pengertian, ”Hukum
perundang-undangan adalah hukum tertulis yang dibentuk dengan
cara-cara tertentu, oleh pejabat yang berwenang dan dituangkan
dalam bentuk tertulis.”16 Disebut hukum perundang-undangan,
menurut Bagir Manan, karena dibuat atau dibentuk dan ditetapkan
oleh badan yang menjalankan fungsi perundang-undangan
14
Bagir Manan, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi
Suatu Negara, Bandung : Mandar Maju, (selanjutnya disingkat Bagir Manan
I), hlm. 17.
15
Ibid.
16
Ibid.
21

(legislasi).17
Tampaknya, hukum perundang-undangan dalam perspektif
Bagir Manan mewujud ke dalam apa yang disebut sebagai peraturan
perundang-undangan. Ia menulis:18
Hukum dalam suatu negara dapat menjelma dalam berbagai
wujud, antara lain dalam bentuk Hukum Tertulis berupa
peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan
adalah setiap putusan yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan
oleh Lembaga dan atau Pejabat Negara yang mempunyai
(menjalankan) fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang
berlaku.

Bagir Manan, dalam bukunya yang lain menulis, bahwa yang


dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah undang-
undang dalam arti materiil. Menurutnya, undang-undang dalam arti
materiil adalah setiap keputusan tertulis yang yang dikeluarkan oleh
pejabat yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat
atau mengikat secara umum.19
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka hukum perundang-
undangan adalah hukum tertulis yang berisi aturan tingkah laku yang
bersifat atau mengikat secara umum yang dibentuk dengan cara-cara
tertentu oleh pejabat yang berwenang menjalankan fungsi perundang-
undangan atau fungsi legislasi.
Ringkasnya, hukum perundang-undangan merupakan produk
pengaturan. Ada produk pengaturan lainnya, hukum yurisprudensi

17
Ibid.
18
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1987, Peraturan Perundang-
undangan dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Penerbit CV.
Armico, hlm. 3.
19
Bagir Manan, 1992, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia,
Jakarta: Ind-Hill.Co, (Selanjutnya disingkat Bagir Manan II), hlm. 3. Selain
itu terdapat undang-undang dalam arti formal, yakni keputusan tertulis
sebagai hasil kerjasama antara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif
yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum.
Lihat Bagir Manan, 1992, Dasar-dasar..., Ibid., hlm. 4.
22

yakni hukum yang terbentuk melalui putusan hakim atau pengadilan,


hukum adat yakni hukum tumbuh dan dipertahankan dalam
persekutuan masyarakat hukum adat, dan hukum kebiasaan yakni
hukum yang tumbuh dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan
kehidupan dalam masyarakat.20
Berikutnya Hukum Perundang-undangan dalam pengertian
instrumen pengaturan dapat dicermati sebagai hukum yang mengatur
sesuatu hal, seperti penggunaan istilah Hukum Tata Pengaturan yakni
hukum tentang peraturan perundang-undangan dan peraturan
kebijakan.21 Pola ini ditemukakan juga dalam penggunaan istilah,
seperti, Hukum Ekonomi, Hukum Administrasi Negara, Hukum Tata
Negara.22
Hukum Perundang-undangan, selain digunakan dalam
pengertian pengaturan (baik sebagai produk maupun instrumen
pengaturan), digunakan juga sebagai bidang kajian ilmu hukum, atau

20
Bagir Manan memahami hukum yurisprudensi, hukum adat, dan
hukum kebiasaan sebagai berikut:
1. Hukum Yurisprudensi adalah hukum yang terbentuk melalui
putusan hakim atau pengadilan. Yurisprudensi diakui sebagai
hukum dalam arti konkrit.
2. Hukum Adat adalah hukum asli bangsa Indonesia, tidak tertulis
yang tumbuh dan dipertahankan dalam persekutuan masyarakat
hukum adat. Hukum adat diakui sebagai salah satu bentuk hukum
yang berlaku. Karena mengikat bukan saja terhadap anggota
persekutuan masyarakat hukum adat, melainkan mengikat pula
badan peradilan atau administrasi negara yang bertugas
menerapkannya dalam situasi konkrit.
3. Hukum Kebiasaan adalah hukum tidak tertulis, yang ketaatanya
semata-mata bersifat sukarela atas dasar perasaan moral dan etika.
Bagir Manan I, loc.cit.
21
A. Hamid S. Attamimi III, loc.cit.
22
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum
Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI,
hlm. 29, mendefinisikan Hukum Tata Negara sebagai sekumpulan peraturan
hukum yang mengatur organisasi dari negara, hubungan antar alat
perlengkapan negara dalam garis vertikal dan horizontal, serta kedudukan
warga negara dan hak-hak asasinya.
23

dalam ungkapan Maria Farida, dkk., Hukum Perundang-undangan


sebagai disiplin ilmu pengetahuan hukum.23
Sebagai bidang kajian ilmu hukum, Hukum Perundang-
undangan adalah disiplin ilmu hukum yang mempelajari hukum
tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, yang meliputi
pembentukan isi dan bentuk peraturan perundang-undangan (yang
mencakup bentuk dan susunan, metode, prosedur dan proses
pembentukannya).24
Termasuk yang dipelajari dari aspek isi adalah pembentukan
norma hukum dalam peraturan peraturan perundang-undangan. Ini
seturut dengan pandangan A. Hamid S. Attamimi, yang merujuk pada
D.W.P. Ruiter, mengemukakan pembentukan peraturan perundang-
undangan pada hakekatnya ialah pembentukan norma-norma hukum
yang berlaku ke luar dan yang bersifat umum dalam arti yang luas.25
Selain itu yang dipelajari dari aspek isi adalah materi muatan dan
permusannya sebagai norma hukum ke dalam aturan hukum
(peraturan perundang-undangan).
Termasuk yang dipelajari dari aspek bentuk adalah juga
lembaga atau pejabat yang berwenang membentuk peraturan
perundang-undangan, khususnya sumber kewenangan perundang-
undangan.
Sebagian dari materi pembelajaran Hukum Perundang-
undangan tersebut yang menyangkut aspek teknik perundang-
undangan telah disediakan mata kuliah tersendiri yakni Perancangan
Peraturan Perundang-undangan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Hukum Perundang-
undangan sebagai bidang ilmu hukum dapat dimengerti sebagai
bidang ilmu hukum atau disiplin ilmu hukum yang melakukan kajian

23
Maria Farida I, loc.cit.
24
Beranjak dari pendapat Burkhardt Krems tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan, terkutip dalam A. Hamid S. Attamimi II,
1990, op.cit., hlm. 317.
25
A. Hamid S. Attamimi II, op.cit., hlm. 314.
24

tentang pembentukan peraturan peraturan perundang-undangan.


Lebih lanjut diuraikan dalam Obyek dan Metode Kajian. Ringkasnya,
uraian mengenai hukum perundang-undangan tersebut di atas
digunakan dalam dua pengertian yakni hukum perundang-undangan
dalam pengertian pengaturan dan hukum perundang-undangan dalam
pengertian disiplin ilmu hukum, tampak jelas dalam gambar berikut:
Gambar 2. Pengertian Hukum Perundang-undangan

Hukum Perundang -
undangan

Hukum Perundang – Hukum Perundang –


undangan dalam undangan dalam
pengertian pengertian Disiplin
Pengaturan Ilmu Hukum

Hukum Perundang – Hukum Perundang-


undangan dalam undangan dalam
pengertian Produk pengertian
Pengaturan Instrumen
Pengaturan

1.5. Perundang-undangan: Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan dan Peraturan Perundang-
Undangan
Istilah Perundang-undangan merupakan terminologi hukum
yang terkait dengan istilah dalam bahasa Belanda wetgeving. Menurut

25

A. Hamid S. Attamimi,26 yang mengutip dari Kamus Hukum


Fockema Andreae, wetgeving adalah (a) perbuatan membentuk
peraturan-peraturan negara tingkat pusat atau tingkat daerah menurut
tata cara yang ditentukan; dan (b) keseluruhan peraturan-peraturan
negara tingkat pusat dan tingkat daerah. Pengertian di dalam huruf
(b) inilah disebut Peraturan Perundang-undangan.
Dengan perkataan lain, wetgeving atau perundang-undangan
mempunyai dua pengertian, dari segi proses, perundang-undangan
adalah perbuatan membentuk peraturan-peraturan negara tingkat
pusat atau tingkat daerah, dan dari segi produk, perundang-undangan
adalah keseluruhan peraturan-peraturan negara tingkat pusat dan
tingkat daerah.
Pembentukan peraturan perundang-undangan, mengutip
kembali pandangan A. Hamid S. Attamimi, yang merujuk pada
D.W.P. Ruiter, pada hakekatnya ialah pembentukan norma-norma
hukum yang berlaku ke luar dan yang bersifat umum dalam arti yang
luas.27
Pengertian pembentukan peraturan perundang-undangan
menurut Kamus Hukum Fockema Andreae dikaitkan dengan
pandangan A. Hamid S. Attamimi tersebut, maka pembentukan
peraturan perundang-undangan adalah perbuatan membentuk
peraturan-peraturan negara tingkat pusat atau tingkat daerah menurut
tata cara yang ditentukan yang memuat norma-norma hukum yang
berlaku ke luar dan yang bersifat umum dalam arti yang luas.
Secara otentik, pembentukan peraturan perundang-undangan
adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup

26
A. Hamid S. Attamimi, 1979, “Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan”, dalam Hukum dan Pembangunan, Vol. 9 No. 3
Tahun 1979, hlm. 281-292. A. Hamid S. Attamimi, 1982, “Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan”, dalam BPHN, Himpunan Bahan Penataran
Latihan Tenaga Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan Tanggal 1
s/d 20 Juni 1981, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman, hlm. 59-78. (selanjutnya disingkat A. Hamid S. Attamimi IV).
27
A. Hamid S. Attamimi II, op.cit, hlm. 314.
26

tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau


penetapan, dan pengundangan (Pasal 1 angka 1 UU No. 12/2011).
Definisi ini menonjol unsur tahapan pembentukan, sedangkan aspek
pembentukan isinya tidak tampak dalam Pasal 1 angka 1 UU
12/2011. Namun, dikaitkan dengan pengertian peraturan perundang-
undangan dalam Pasal 1 angka 2 UU No.12/2011, diperoleh
pengertian pembentukan peraturan perundang-undangan, baik dari
aspek bentuk maupun aspek isinya.
Jadi, pembentukan peraturan perundang-undangan adalah
pembuatan peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang telah
ditetapkan, yakni tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
Telah dikemukakan pada uaian di atas, dari segi produk,
perundang-undangan adalah keseluruhan peraturan-peraturan negara
tingkat pusat dan tingkat daerah, dan inilah disebut Peraturan
Perundang-undangan, yang terkait dengan kata dasar undang-undang.
Ilmu Hukum membedakan antara undang-undang dalam arti
materiil (wet in materiele zin) dan undang-undang dalam arti formal
(wet in formele zin). Dalam arti formal, undang-undang adalah
keputusan tertulis yang ditetapkan oleh pemerintah bersama parlemen
sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam UUD.28 Dalam arti
materiil, undang-undang adalah setiap keputusan tertulis yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang yang berisi aturan tingkah
laku yang bersifat atau mengikat secara umum. Inilah yang dimaksud
dengan peraturan perundang-undangan.29
Peraturan perundang-undangan adalah setiap putusan tertulis
yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh Lembaga atau Pejabat
Negara yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai

28
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Jakarta:
Konstitusi Press, hlm. 34-35.
29
Bagir Manan II, loc.cit.
27

dengan tata cara yang berlaku.30


Jadi, peraturan perundang-undangan adalah setiap putusan
tertulis yang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau
mengikat secara umum yang dibentuk oleh lembaga atau pejabat
negara yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai
dengan tata cara yang berlaku.
Secara otentik peraturan perundang-undangan adalah
peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara
umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat
yang berwenang melalui prosedur yang telah ditetapkan (Pasal 1
angka 2 UU No.12/2011).
Mengenai keputusan tertulis atau putusan tertulis dan
peraturan tertulis, penting menyimak pengertian keputusan atau
putusan. Kata keputusan dalam peristilahan ketatnegaraan dan tata
pemerintahan Indonesia sama dengan kata besluit dalam
ketatanegaraan dan tata pemerintahan Belanda dan Hindia Belanda.
Menurut Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia,
kata besluit berarti keputusan, istilah umum untuk pernyataan
kehendak dari instansi pemerintah dan pembuat perundang-undangan.
Berdasarkan uraian ini, A. Hamid S. Attamimi mengemukakan istilah
keputusan dalam bidang ketatanegaraan dan tata pemerintahan
merupakan pernyataan kehendak yang masih bersifat netral, dapat
berisi peraturan (regeling) dan dapat pula berisi penetapan
(beschikking).31
Uraian tersebut menunjukkan, pengertian otentik peraturan
perundang-undangan tidak menggunakan istilah keputusan atau
putusan yang merupakan pernyataan kehendak yang masih bersifat
netral, akan tetapi langsung menggunakan istilah peraturan (regeling)
yang merupakan spesies dari genus bernama keputusan (besluit).
Mengenai muatan norma hukum yang mengikat secara
umum, secara teoritik berkesesuaian dengan pandangan D.W.P. Ruiter

30
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, loc.cit.
31
A.Hamid S. Attamimi II, op.cit, hlm. 225-226.
28

bahwa peraturan perundang-undangan mengandung tiga unsur: (a)


norma hukum (rechtsnormen); (b) berlaku ke luar (naar buiten
werken); dan (c) bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in
ruime zin).32
Berdasarkan pengertian peraturan perundang-undangan, baik
secara teoritik maupun otentik, maka unsur-unsur yang terkandung
dalam pengertian peraturan perundang-undangan adalah:
1. Bentuknya, yakni peraturan tertulis, untuk membedakan dengan
peraturan yang tidak tertulis.
2. Pembentuknya, ialah lembaga negara atau pejabat yang
berwenang di bidang perundang-undangan, baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah.
3. Isinya, ialah norma hukum mengikat secara umum.

Dimaksud dengan ”yang berwenang di bidang perundang-


undangan” adalah baik berwenang secara atribusi maupun berwenang
secara delegasi. Teori perundang-undangan membedakan sumber
kewenangan perundang-undangan atas atribusi kewenangan
perundang-undangan dan delegasi kewenangan perundangundangan.
Adapun norma hukum yang mengikat secara umum
berkenaan dengan norma hukum yang terkandung di dalamnya, yakni
norma hukum bersifat umum dalam arti luas dan berlaku ke luar.
Norma hukum yang bersifat umum, dari segi subyeknya adalah
norma hukum yang dialamatkan (ditujukan) kepada setiap orang atau
orang-orang bukan tertentu, dan dari segi obyeknya adalah norma
hukum mengenai peristiwa yang terjadi berulang atau peristiwa yang
bukan tertentu.
Uraian tentang sumber kewenangan dan norma hukum
peraturan perundang-undangan lebih lanjut dikemukakan dalam bab
tersendiri. Sebelum lanjut pada tematik lainnya, perlu diringkas
uraian tersebut di atas, dari sisi aktivitas, perundang-undangan

32
A.Hamid S. Attamimi II, op.cit, hlm. 314.

29

bermakna aktivitas atau kegiatan membentuk peraturan negara atau


pembentukan peraturan perundang-undangan, dan dari sisi produk
atau hasil kegiatan membentuk peraturan negara, yang disebut
peraturan perundang-undangan. Secara ringkas diungkapkan dalam
gambar berikut:
Gambar 3. Cakupan Perundang-Undangan

Perundang-undangan

Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan

Peraturan Perundang-undangan

1.6. Obyek Kajian Hukum Perundang-Undangan


Sebelum membicarakan obyek kajian hukum perundang-
undangan perlu memahami terlebih dulu tentang proses hukum, yang
dengan demikian dapat menempatkan hukum perundang-undangan
dalam proses hukum itu. Hal ini akan berpengaruh pada obyek kajian
dan juga metode kajian.
Proses hukum, menurut Satjipto Rahardjo, adalah perjalanan
yang ditempuh hukum untuk menjalankan fungsinya, yaitu mengatur
mengatur masyarakat atau kehidupan bersama. Jadi, bukan tentang
jalannya suatu proses peradilan. Proses hukum diawali dengan
pembuatan hukm, yang pada dasarnya adalah pembuatan peraturan
perundang-undangan. Berikutnya penegakan hukum, baik yang
dijalankan oleh eksekutif secara aktif, maupun oleh pengadilan secara
pasif, 33
Dengan perkataan lain, proses hukum meliputi pembuatan

33
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Adtya Bakti,
hlm. 175-183.
30

hukum (oleh lembaga atau pejabat yang berwenang di bidang


perundang-undangan), pelaksanaan hukum (oleh eksekutif dan
birokrasi pada eksekutif), dan penerapan hukum atau peradilan (oleh
pengadilan). Hukum perundang-undangan terletak pada pembuatan
hukum.
Dari segi pembelajaran hukum, ada tiga fase yang dipelajari
oleh pembelajar hukum, yakni (1) pembuatan hukum; (2) aturan
hukum (hasil pembuatan hukum), dan pelaksanaan hukum (baik oleh
eksekutif beserta birokrasinya, maupun oleh pengadilan). Obyek
kajian Hukum Perundang-undangan adalah pada fase pembuatan
hukum. Sekalipun demikian tidak dapat diabaikan dua fase lainnya.
Aturan hukum, juga penting dipelajari, yang aturan hukum tentang
pembuatan hukum. Pelaksanaan hukum juga perlu dipelajari, dalam
hubungannya pembuatan hukum untuk menanggulangi pelaksanaan
hukum yang tidak efektif.
Berdasarkan atas uraian tersebut di atas, Hukum Perundang-
undangan sebagai bidang ilmu hukum pada dasarnya melakukan
kajian mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan,
terlingkup di dalamnya peraturan perundang-undangan tentang
pembentukan peraturan peraturan perundang-undangan.
Obyek tersebut dikaji dari aspek hukum pembentukan
peraturan perundang-undangan. Aspek hukum itu tidak saja
menyangkut asas dan kaidah hukum pembentukan peraturan
perundang-undangan, tapi meliputi pula lembaga dan proses untuk
mewujudkan asas dan kaidah hukum pembentukan peraturan
perundang-undangan menjadi kenyataan.
Karakter obyek kajian Hukum Perundang-undangan tersebut
sejalan dengan perkembangan pengertian hukum, yang tidak
membatasi pada perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi juga pada aspek lainnya,
seperti lembaga atau struktur hukum dan proses atau budaya hukum.
Dalam konteks pembelajaran ilmu hukum, yang dipelajari bukan saja
mempelajari perangkat kaidah dan asas-asas hukum, tapi mempelajari
31

juga lembaga atau struktur hukum dan proses atau budaya hukum.
Pengertian hukum yang memadai, menurut Mochtar
Kusumaatmaja, seharusnya tidak hanya memandang hukum itu
sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup
lembaga (institutions) dan proses (processes) yang diperlukan untuk
mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.34
Pengertian hukum tersebut memuat tiga unsur. Pertama,
perangkat kaidah dan asas-asas. Pengertian hukum sebagai suatu
perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia
dalam masyarakat, merupakan pengertian tradisional dari hukum.
Kaidah hukum merupakan patokan berperilaku yang mempunyai
akibat hukum. Asas-asas hukum merupakan pemikiran yang
melandasi kaidah hukum.
Kedua, lembaga (institutions). Istilah ”lembaga” atau
lembaga hukum (legal institution) mempunyai dua makna, yakni: (1)
Himpunan nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola perilaku mengenai
kebutuhan-kebutuhan pokok manusia.35 Termasuk dalam pengertian
ini adalah lembaga perkawinan, lembaga pengangkatan anak.
Lembaga perkawinan dapat dimaknai sebagai himpunan nilai-nilai,
kaidah-kaidah dan pola perilaku mengenai perkawinan; dan (2)
lembaga dalam pengertian struktur, mengacu pada Lawrence M.
Friedman, yang merupakan salah satu dasar atau elemen nyata dari
sistem hukum. Struktur sebuah sistem adalah kerangka badannya
yang menjaga agar proses berjalan dalam batas-batasnya.36
Makna ”lembaga” dalam pengertian hukum dari Mochtar
Kusumaatmaja diinterpretasi sebagai lembaga dalam pengertian

34
Mochtar Kusumaatmaja, 1986, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan
Hukum Nasional, Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dean Kriminologi
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, hlm. 15.
35
Muslan Abdurrahman, 2009, Sosiologi dan Metode Penelitian
Hukum, Malang : UMM Press, hlm. 8.
36
Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System: A Social Science
Perspective, New York : Russel Sage Foundation, hlm. 14.
32

struktur hukum, seperti lembaga penegak hukum; kepolisian,


kejaksaan, dan pengadilan. Interpretasi ini didasarkan pada rangkaian
anak kalimat berikutnya, ”dan proses (processes) yang diperlukan
untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan”. Jadi, yang
diperlukan dalam proses mewujudkan hukum itu dalam kenyataan
adalah lembaga penegak hukum. Bukan lembaga dalam pengertian
himpunan nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola perilaku, karena ini
terwadahi dalam unsur yang pertama yakni suatu perangkat kaidah
dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat.
Ketiga, proses (processes). Menunjuk pada tahapan
melakukan suatu perbuatan. Proses hukum menunjuk pada tahapan
perbuatan mewujudkan hukum dalam kenyataan, yakni proses
mewujudkan asas dan kaidah hukum oleh lembaga penegak hukum di
dalam kehidupan nyata.
Dari sudut pengertian hukum mutakhir tersebut, maka
Hukum Perundang-undangan mempelajari:
a. Perangkat kaidah dan asas-asas mengenai pembentukan
peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan.
b. Lembaga yang mempunyai dan menjalankan kewenangan
berdasarkan hukum untuk membentuk peraturan perundang-
undangan, seperti DPR, Presiden, dan DPD dalam pembentukan
undang-undang.
c. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan, seperti
tahapan perencanaan, permusan, pembahasan,
pengesahan/penetapan, dan pengundangan.

Lebih rinci obyek kajian hukum perundang-undangan


tersebut diamati dari ruang lingkup pengertian pembentukan
peraturan perundang-undangan, yakni:
1. Kegiatan pembentukan isi peraturan perundang-undangan,
meliputi materi muatan dan penormaan atau perumusan materi

33

muatan menjadi norma hukum yang dituangkan dalam aturan


hukum berwujud pasal, jika diperlukan dalam wujud ayat-ayat.
2. Kegiatan yang menyangkut pemenuhan bentuk peraturan
perundang-undangan, termasuk di dalamnya metoda pembentukan
peraturan perundang-undangan, dan proses serta prosedur
pembentukan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, diperlukan pula pengetahuan tentang teori hukum


atau ajaran hukum tentang pembentukan peraturan perundang-
undangan, dan pengetahuan tentang praktik atau pengalaman
pembentukan peraturan perundang-undangan. Jadi, perspektif yang
diperlukan dalam pembelajaran Hukum Perundang-undangan adalah
hukum, teori, dan pengalaman.

Gambar 4. Obyek Kajian Hukum Perundang-undangan

34

1.7. Metode Kajian Hukum Perundang-Undangan


Seturut dengan obyek kajian hukum perundang-undangan
tersebut diperlukan metode kajian Hukum Perundang-undangan.
Kerangka analisis kajiannya adalah berdasarkan hukum, teori atau
ajaran hukum, praktik atau pengalaman pembentukan peraturan
perundang-undangan, menyangkut pembentukan isi dan pemenuhan
bentuk peraturan perundang-undangan.
Hukum Perundang-undangan merupakan disiplin ilmu
hukum, sehingga metode yang digunakan dalam ilmu hukum dapat
digunakan dalam penelitian hukum perundang-undangan.
Dewasa ini dikenal dua macam metode penelitian hukum,
yakni metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Kemudian
berkembang variasi dari keduanya, satu diantaranya adalah metode
sosio-legal (sociolegal). Ada juga menggunakan metode penelitian
normatif berorientasi empirik hukum.
Penjelasan bersifat umum mengenai kedua metode tersebut
terdapat dalam Lampiran I UU No.12/2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Lampiran I itu tentang Teknik
Penyusunan Naskah Akademik. Menyangkut metode penelitian,
Lampiran I menentukan:
1. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang
menelaah (terutama) data sekunder yang berupa Peraturan
Perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak,
atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil
pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat
dilengkapi dengan wawancara, diskusi (focus group discussion),
dan rapat dengar pendapat.
2. Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang
diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap
Peraturan Perundang-undangan (normatif) yang dilanjutkan
dengan observasi yang mendalam serta penyebarluasan kuesioner
untuk mendapatkan data faktor nonhukum yang terkait dan yang

35

berpengaruh terhadap Peraturan Perundang-undangan yang


diteliti.
Buku Pedoman FHUNUD mengemukakan, metode yuridis-
normatif adalah studi terhadap problem norma, yang bersaranakan
pendekatan, antara lain, pendekatan peraturan perundang-
undangan/pendekatan formal (the statute law approach), pendekatan
kasus (the case approach), pendekatan analitis dan konseptual
(analitical and conseptual approach), pendekatan filosofis,
pendekatan perbandingan (lihat Buku Pedoman FHUNUD). Adapun
metode yuridis-empiris, studi terhadap problem pelaksanaan norma
(lihat juga Buku Pedoman FHUNUD). Misalnya, problem
pelaksanaan norma hukum pembentukan peraturan perundang-
undangan.
Pembentuk UU, melalui Lampiran I UU No.12/2011,
menyamakan metode yuridis empiris dengan metode sosiolegal. Ada
sudut pandang lain, yang tidak menyamakan metode yuridis empiris
dengan metode sosiolegal. Sebelum pengenalan metode sosio-legal,
perlu diberikan komentar, bahwa kedua metode penelitian itu
―metode yuridis normatif dan yuridis empirik―metode penelitian
terhadap fase kedua dan ketiga dari proses hukum , yakni fase aturan
hukum yang merupakan hasil pembuatan hukum dan fase
pelaksanaan aturan hukum. Oleh karena itu penggunaan kedua
metode dalam pembelajaran dan penelitian Hukum Perundang-
undangan haruslah dilakukan dengan cermat, sehingga tidak
menisbikan hakekat Hukum Perundang-undangan sebagai disiplin
ilmu hukum tentang pembentukan peraturan perundang-undangan,
yang berada pada fase pembuatan hukum.
Berdasarkan kondisi yang demikin, penting
mempertimbangkan metode selain kedua metode itu, misalnya
metode sosio-legal. Menurut Lampiran I UU No.12/2011,
sebagaimana telah dikutip di atas, metode sosio-legal merupakan
sebutan lain dari metode yuridis empirik. Pendapat lain menyatakan
metode sosio-legal adalah hibrida metode yuridis normatif dan
36

metode yuridis empirik.


Banakar dan Travers menegaskan sosiolegal sebagai
“interdisciplinary studies of law”. Dengan demikian, jelas kiranya
bahwa ini adalah studi hukum dengan pendekatan interdisipliner,
bukan studi ilmu sosial tentang hukum.37 Kata “sosio” dalam
sosiolegal merepresentasi keterkaitan antar konteks di mana hukum
berada. Peneliti sosiolegal menggunakan teori sosial untuk tujuan
analisis, tidak sedang bertujuan memberi perhatian pada sosiologi
atau ilmu sosial lain, melainkan hukum dan studi hukum.38
Studi sosiolegal memiliki karakteristik. Pertama, studi
sosiolegal melakukan studi tekstual, pasal-pasal dalam peraturan
perundang-undangan dan kebijakan dapat dianalisis secara kritikal
dan dijelaskan makna dan implikasinya terhadap subjek hukum
(termasuk kelompok terpinggirkan). Juga studi tentang putusan
hakim, mengkaji kasus-kasus persidangan berdasarkan teks putusan
hakim maupun data lapangan. Kedua, studi sosiolegal
mengembangkan berbagai metode “baru” hasil perkawinan antara
metode hukum dengan ilmu sosial, sepertistudi kasus untuk meneliti
budaya hukum, studi yang berfokus pada penggunaan teks dan
analisis diskursus untuk mengkaji bekerjanya ombudsman, dan

37
Safitri dan Tristam Moeliono, 2010, “Bernegara hukum dan
berbagi kuasa dalam urusan agrarian di Indonesia: Sebuah Pengantar”,
dalam Safitri dan Tristam Moeliono, (eds.), Hukum Agraria dan Masyarakat
Di Indonesia: Studi tentang Tanah, Kekayaan Alam, Dan Ruang Di Masa
Kolonial Dan Desentralisasi, Jakarta: HuMa; Van Vollenhoven Institute,
KITLV-Jakarta, hlm. 31.
38
Sulistyowati Irianto, 2012, “Memperkenalkan kajian sosio-legal
dan implikasi metodelogisnya”, dalam Adriaan W. Bedner, dkk (eds.),
Kajian Sosio-Legal, Denpasar: Penerbit Pustaka Larasan, (selanjutnya
disingkat Susistyowati Irianto I), hlm. 3. Lihat juga Sulistyowati Irianto,
2009, “Memperkenalkan kajian sosio-legal dan implikasi metodelogisnya”,
dalam Sulistyowati Irianto & Shidarta, (Eds), Metode Penelitian Hukum:
Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, (selanjutya
disingkat Sulistyowati Irianto II), hlm. 175.
37

etnografi sosiolegal.39
Metode penelitian sosiolegal merupakan kombinasi antara
metode penelitian hukum doktriner dan metode penelitian hukum
empirik (yang meminjam metode ilmu sosial), maka yang perlu
dilakukan peneliti adalah studi dokumen, yang disertai dengan studi
lapangan. Studi dokumen melakukan identifikasi dan analisis
terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait tema
riset. Studi lapangan melakukan identifikasi bagaimana hukum
bekerja dan berimplikasi terhadap hubungan-hubungan di antara
subjek dengan banyak pihak, dan mendapatkan data empirik tentang
pengalaman subjek berkenaan dengan tematik riset.40
Jadi, dalam penelitian sosio-legal terdapat unsur penelitian
hukum doktriner, atau disebut juga penelitian hukum normatif.41 Oleh
karena, diperlukan penguasaan metode penelitian hukum normatif,
terutama tentang makna normatif.
Normatif adalah sebuah konsep filsafat tentang nilai. Ia
menunjuk kepada keutamaan nilai (summum bonum) tertentu. Konsep
normatif menunjuk pada hakikat hukum sebagai kaidah atau norma,
bukan sekedar aturan formal. Suatu aturan disebut normatif, jika
dalam dirinya terdapat summum bonum yang secara akal sehat
diterima sebagai sesuatu yang patut.42 Kaidah atau norma adalah

39
Sulistyowati Irianto I, op.cit, hlm. 5-6. Lihat juga Sulistyowati
Irianto II, op.cit., hlm. 177-178.
40
Sulistyawati Irianto, 2009, “Praktik Penelitian Hukum: Perspektif
Sosiolegal”, dalam Sulistyowati Irianto & Shidarta, (eds), Metode Penelitian
Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
(selanjutnya disingkat Sulistyawati Irianto III),hlm. 308-309.
41
Soetandyo Wignjosoebroto, 2013, Hukum: Konsep dan Metode,
Malang: Setara Press, hlm. 75-88. Lihat juga Soetandyo Wignjosoebroto,
2002, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta:
HuMa, hlm. 147-160.
42
Benard L. Tanya; Yoan N. Simanjuntak; Markus Y. Hage, 2006,
Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
Surabaya: CV. Kita, hlm. 187-188.
38

makna spiritual, sebagai basis spiritual dari aturan.43 Ia adalah nilai


yang tertuang dalam aturan.44
Seturut dengan itu, Bruggink menyatakan bahwa pandangan
normatif memandang hukum dan moral tidak dipisahkan, yang
berbeda dengan pandangan positivistik memandang adanya
pemisahan antara hukum dan moral. Jika orang hendak mengolah
(mempelajari) hukum secara ilmiah, maka hukum itu pertama-tama
harus dipisahkan dari moral. Kita sudah melihat, ungkap Bruggink,
bahwa Hans Kelsen dalam Reine Rechtslehre-nya telah memilih
pendekatan yang demikian itu. 45
Menurut Kelsen, orang harus mendekati hukum pada struktur
formalnya, bahwa suatu kaidah hukum atau norma hukum baru
memiliki keberlakuan manakala tiap kaidah hukum harus diderivasi
dari sistem hukum, tanpa memperhatikan isi kaidah hukum itu.
Keberlakuan ini disebut keberlakunan normatif atau formal kaidah
hukum. Tampaknya, disebut keberlakuan normatif dalam pengertian
bertumpu pada kaidah hukum (rechtsnorm), tetapi pada tempat
kaidah hukum itu di dalam sistem hukum, maka keberlakuan ini
disebut juga keberlakuan formal. 46 Artinya, hukum dilepaskan dari
moral, dan karena itu memang tepat disebut pendekatan formal
mengelola (mempelajari) hukum daripada pendekatan normatif.
Posisi keterpisahan atau ketidakterpisahan antara hukum dan
moral dijelaskan oleh Stanley L. Paulson, yang membuat skema
untuk menggambarkan posisi Kelsen di antara tesis-tesis yang
bertumpu pada isu hubungan antara hukum dan moral serta isu
hubungan antara hukum dan fakta:

43
Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, hlm. 122.
44
Sudikno Mertokusumo, 1996, Penemuan Hukum: Sebuah
Pengantar, Yogyakarta: Penerbit Liberty, hlm. 11.
45
JJ.H. Bruggink, 2011, Refleksi Tentang Hukum: Pengertian-
Pengertian Dasar dalam Teori Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm.
186-189.
46
Ibid., hlm. 150-151.
39

Hukum
Tesis normativitas Tesis reduktif
dan fakta
(keterpisahan (ketakterpisahan
Hukum
hukum dan fakta) hukum dan fakta)
dan moralitas

Tesis moralitas
Teori Hukum Alam
(ketakterpisahan
hukum dan
moralitas)

Tesis separabilitas Teori Murni Teori Hukum


(keterpisahan hukum Hukum-Kelsen Empiris-Positivis
dan moralitas)

Skema tersebut menggambarkan tesis-tesis yang dianut oleh


masing-masing teori hukum, yakni:
1. Teori Hukum Alam menggabungkan tesis moralitas dan tesis
normativitas. Artinya, memandang adanya ketidakterpisahan
hukum dan moralitas serta keterpisahan hukum dan fakta.
2. Teori Hukum Empiris-Positivis menggabungkan tesis separabilitas
dan tesis reduktif. Artinya, memandang adanya keterpisahan
hukum dan moralitas serta ketidakterpisahan hukum dan fakta
3. Teori Murni Hukum-Kelsen menggabungkan tesis separabilitas
dan tesis normativitas. Artinya, memandang adanya keterpisahan
hukum dan moralitas serta keterpisahan hukum dan fakta.47

Tesis moralitas tentang ketakterpisahan hukum dan moralitas


tersebut sejalan dengan pandangan normatif yang dianut Bruggink,
47
Hans Kelsen, 2008, Pengantar Teori Hukum, terjemahan,
Bandung: Penerbit Nusa Media, hlm. 10-11. Hans Kelsen, 1992,
Introduction to the Problems of Legal Theori, A Translation of the First
Edition of the Reine Rechtslehre or Pure Theory of Law, Translated by:
Bonnie Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson, with an Introduction by
Stanley L. Paulson, Oxford: Clarendon Press, hlm. xxv-xxvi. Lihat juga
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa‟at, 2012, Teori Hans Kelsen Tentang
Hukum, Jakarta: Konstitusi Press, hlm. 9-10.
40

yang memandang hukum dan moral tidak terpisahkan.48 Sejalan juga


dengan paham yang dianut oleh Mohammad Koesnoe mengenai Ilmu
Hukum Positif sebagai Ilmu yang berorientasi kepada nilai, yang
ingin memahami dan berakhir pada kesimpulan yang berisi
pengetahuan tentang arti sesungguhnya suatu ketentuan hukum positif
yang sesuai dengan kemauan tata hukum, bahkan berusaha untuk
sesuai dengan citahukum (rechtsidee) tata hukum yang bersangkutan.
49

Metode Yuridis-Normatif semestinya dipahami dalam


pengertian yang tidak membatasi pada aspek struktur formal aturan
hukum, tapi meliputi hakikat hukum sebagai kaidah atau norma, yang
mengandung nilai sesuai citahukum dari tata hukum Indonesia.
Penggunaan metode penelitian hukum normatif memerlukan
sejumlah perangkat, seperti penguasaan perumusan masalah,
penalaran, dan interpretasi:
1. Penguasaan perumusan masalah, dapat disimak contoh isu
hukum berikut: a. apakah bentuk penormaan yang dituangkan
dalam suatu ketentuan hukum positif telah sesuai atau
merefleksikan prinsip-prinsip hukum yang bermaksud
menciptakan keadilan; b. apakah ada prinsip hukum baru sebagai
refleksi dari nilai-nilai hukum yang ada?; c. apakah gagasan
mengenai pengaturan tentang suatu perbuatan tertentu dilandasi
oleh prinsip hukum, teori hukum, atau filsafat hukum?; 50 d.
Ideologi apakah yang ada di balik pembentukan peraturan
perundang-undangan atau dalam pasal-pasal/ayat-ayatnya?; dan
e. Politik hukum apakah terdapat dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan atau dalam pasal-pasal/ayat-ayatnya?51

48
JJ.H. Bruggink, op.cit., hlm. 189.
49
Mohammad Koesnoe, 2010, Dasar dan Metode Ilmu Hukum
Positif, Surabaya: Airlangga University Press, hlm. 67.
50
Johnny Ibrahim, 2006, Teori & Metodologi Penelitian Hukum
Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, hlm. 48.
51
Gede Marhaendra Wija Atmaja,2017, “Metodelogi Penelitian
Hukum dalam Penyusunan Naskah Akademik”, makalah dipersiapkan untuk
41

2. Kegiatan ilmiah hukum meliputi menginvetarisasi,


menginterpretasi, mengsistematisasi, mengevaluasi. aturan-
aturan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Dari empat
jenis kegiatan itu, yang menjadi intinya adalah
menginterpretasi dan mengsistematisasi aturan-aturan hukum.
Menginterpretasi adalah upaya menemukan makna dari aturan
hukum itu, artinya mendistilasi atau menarik keluar dan
menampilkannya ke permukaan kaidah hukum atau makna
hukum yang tercantum atau tersembunyi di dalam aturan hukum
yang bersangkutan. Mensistematissi hukum berarti menampilkan
ke permukaan serta menumbuhkembangkan sistem hukum yang
(sudah) ada di dalam kesadaran hukum masyarakat atau
membangun sebuah sistem hukum berdasarkan apa yang sudah
ada. Mensistematisasi juga berarti bahwa setiap hasil interpretasi
terhadap aturan-aturan hukum ditempatkan (diintegrasikan) ke
dalam sistem hukum yang sudah ada.52
3. Metode yang digunakan menginterpretasi aturan hukum untuk
menemukan kaidah hukum, dalam studi ilmu hukum sudah lama
dikembangkan berbagai metode interpretasi yang mencakup
metode gramatikal, historikal, sistematikal, teleological, dan
sosiologikal. Kemudian interpretasi secara hermeneutical, bahwa
semua metode perlu dilibatkan secara proporsional dalam kaitan

Kegiatan Pembinaan Perancang Peraturan Perundang-Undangan Di Daerah


Tahun Anggaran 2017 diselenggarakan Kantor Wilayah Kementerian Hukum
dan HAM Bali, Denpasar, hlm. 14.
52
Bernard Arief Sidharta, 2009, “Penelitian Hukum Normatif:
Analisis Penelitian Filosofikal dan Dogmatikal”, dalam Sulistyowati Irianto
& Shidarta, (Eds), Metode Penelitian ..., hlm. 145-146. B. Arief Sidharta,
2017, Ilmu Hukum Indonesia: Upaya pengembangan Ilmu Hukum Sistematik
yang responsif terhadap perubahan masyarakat, Bandung: Unpar Press,
hlm. 135-136. Buku ini menyediakan satu sub-bab untuk penelitian hukum
normatif, yakni Bab VIII Ciri Khas Keilmuan Ilmu Hukum, E. Penelitian
Hukum Normatif, pada hlm. 129-143.
42

antara metode yang satu dengan metode yang lainnya setiap kali
menginterpretasi.53
4. Dalam kepustakaan hukum juga dikenal prinsip contextualism
dalam menginterpretasi, yakni: (1) Asas Noscitur A Sociis. Suatu
hal diketahui dari himpunannya, artinya suatu kata harus
diartikan dalam rangkaiannya; (2) Asas Ejusdem Generis. Sesuai
genusnya, artinya satu kata dibatasi maknanya secara khusus
dalam kelompoknya; dan (3) Asas Exlusio Alterius. Satu konsep
digunakan untuk satu hal, belum tentu berlaku untuk hal lain.54
5. Penelitian Hukum Normatif memerlukan penalaran hukum. Tiga
acuan dasar berpenalaran hukum. Pertama, Positivitas. Demi
terjaminnya kepastian hukum dan prediktabilitas, maka proses
penalaran hukum harus selalu berdasarkan dan dalam kerangka
tata hukum yang berlaku. Kedua, Koherensi. Agar dapat dipatuhi
dan diterapkan sedemikian sehingga tujuan pembentukannya
dapat terwujud, maka dalam tata hukum tidak boleh ada
inkonsistensi dan kontradiksi internal. Terdapat sejumlah asas
hukum mencegah dan menanggulangi problem tersebut, seperti:
asas lex superior, lex posterior, lex specialis.55Ketiga, Keadilan.
Hukum dimaksudkan unjtuk mewujudkan pengaturan hubungan

53
Ibid., hlm. 136.
54
Phlipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi
Hukum, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm. 26, yang merujuk
pada McLeod. Lihat juga Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 005/PUU-
IV/2006 dalam perkara permohonanPengujian Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Pengujian
Undang undangRepublik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakimanterhadap Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia
Tahun 1945, hlm. 160-162.
55
Tentang asas preferensi hukum lihat Bagir Manan, 2004, Hukum
Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik), Yogyakarta: FH UII Press, hlm. 56-
61. Lihat juga Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta:
Kencana, hlm. 99-101.
43

antar-manusia yang tepat, artinya yang dapat diterima atau


akseptabel oleh para pihak dan juga oleh masyarakat.56
6. Sejumlah asas logika diperlukan dalam penalaran hukum.
Pertama, Asas eksklusi. Asas yang dengannya Ilmu Hukum
mengandaikan sejumlah sumber legislatif tertentu bagi sistem
hukum, dan dengan itu mengindentifikasi sistem hukum tersebut.
Kedua, asas sub-sumsi. Asas yang dengannya Ilmu Hukum
menetapkan hubungan hierarki di antara aturan-aturan hukum
berdasarkan sumber legislatif yang lebih tinggi dan yang lebih
rendah. Ketiga, asas derogasi. Asas yang digunakan untuk
menolak sebuah aturan hukum, atau bagian dari sebuah aturan,
karena berkonflik dengan aturan lain yang berasal dari sumber
legislatif yang lebih tinggi. Keempat, asas non-kontradiksi. Asas
yang digunakan untuk menolak pemaparan sistem hukum yang
di dalamnya dapat diafirmasi eksistensi sebuah kewajiban dan
pada saat yang sama juga non-eksistensi sebuah kewajiban yang
mengkover situasi-situasi yang sama pada kejadian ang sama
(perbuatan yang diwajibkan oleh sebuah aturan hukum justru
dilarang oleh aturan hukum lain dalam waktu yang bersamaan).57
7. Penelitian hukum normatif mengenal sejumlah pendekatan,
yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach),
pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan
analisis (analytical approach), pendekatan perbandingan
(comparative approach), pendekatan historis (historical
approach), pendekatan filsafat (philosophical approach), dan

56
Bernard Arief Sidharta, 2009, “Penelitian Hukum ...”, dalam
Sulistyowati Irianto & Shidarta, (Eds), Metode Penelitian ..., Ibid, hlm. 144-
145, merujuk pada Visser‟t Hooft. B. Arief Sidharta, 2017, Ilmu Hukum ... ,
Ibid., hlm. 133-135, merujuk pada Visser‟t Hooft.
57
Bernard Arief Sidharta, 2009, “Penelitian Hukum ...”, dalam
Sulistyowati Irianto & Shidarta, (Eds), Metode Penelitian ..., Ibid, hlm. 147-
148, merujuk pada JW Harris. B. Arief Sidharta, 2017, Ilmu Hukum ... ,
Ibid., hlm. 140-141, merujuk pada JW Harris.
44

pendekatan kasus (case approach).58 Penjelasan ringkasnya


sebagai berikut:
(1) Pendekatan perundang-undangan memerlukan pemahaman
antara lain mengenai jenis hierarki peraturan perundang-
undangan (baik hierarki struktural maupun fungsional), ratio
legis suatu aturan hukum, asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, dan asas preferensi.
(2) Pendekatan konseptual bertumpu memerlukan pemahaman
konsep yuridik, meliputi: konsep yuridik relevan, yang
merupakan komponen aturan hukum (khususnya konsep yang
digunakan untuk memaparkan situasi fakta dalam kaitannya
dengan ketentuan undang-undang, misalnya konsep benda dan
konsep mengambil) dan konsep yuridik asli yakni konsep
konstruktif dan sistematikal yang digunakan untuk memahami
sebuah aturan hukum atau sistem aturan hukum, misalnya
konsep hak, kewajiban, peristiwa hukum, perbuatan hukum, dan
hubungan hukum.59
(3) Pendekatan perbandingan, yakni membandingkan suatu kaidah
hukum, pranata hukum, atau lembaga hukum dari suatu sistem
hukum dengan sistem hukum lainnya.
(4) Pendekatan historis, diperlukan pemahaman mengenai (1)
sejarah perkembangan kaidah hukum, pranata hukum atau
lembaga hukum; dan (2) sejarah pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan, antara lain melalui pembacaan risalah
pembahasan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan.
(5) Pendekatan filsafat, antara lain mencari landasan filosofis suatu
kaidah hukum, aliran filsafat yang melandasi lahirnya suatu

58
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian ..., op.cit., hlm. 93.
59
Tentang konsep yuridisk lihat Bernard Arief Sidharta, 2009,
“Penelitian Hukum ...”, dalam Sulistyowati Irianto & Shidarta, (Eds),
Metode Penelitian ..., Ibid., hlm. 148, merujuk pada Radbruch. B. Arief
Sidharta, 2017, Ilmu Hukum ... , Ibid., hlm. 141-142, merujuk pada
Radbruch.
45

kaidah hukum, atau nilai yang terkandung dalam suatu kaidah


hukum.
(6) Pendekatan kasus, penggunaan pendekatan ini memerlukan
pemahaman tentang kasus baik dalam arti kasus yang bersifat
sengketa yang penyelesaiannya tertuang dalam putusan
pengadilan maupun kasus yang bersifat non-sengketa, seperti
kasus pembentukan pembentukan peraturan daerah.

Kembali pada metode sosio-legal, yang salah satu anasirnya


adalah metode penelitian hukum normatif, dan anasir lainnya adalah
pemanfaatan pendekatan ilmu-ilmu sosial untuk menyelesaikan atau
membahas persoalan hukum. Setelah dikemukakan beberapa prinsip
metode penelitian hukum normatif, berikutnya dikemukakan
kemungkinan pemanfaatan pendekatan ilmu-ilmu sosial.
Kurikulum fakultas hukum telah menyediakan pendekatan
tersebut, antara lain tersedia dalam mata kuliah Hukum dan
Kebijakan Publik. Proses kebijakan publik pada dasarnya meliputi
formulasi kebijakan publik, implementasi kebijakan publik, dan
evaluasi kebijakan publik.
Berkaitan dengan Hukum Perundang-undangan, yang pada
hekekatnya adalah disiplin ilmu hukum tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan, maka formulasi kebijakan publik atau
perumusan kebijakan publik dapat digunakan sebagai pendekatan
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Tahapan
perumusan kebijakan publik meliputi: (1) perumusan masalah; (2)
agenda kebijakan; (3) pemilihan alternatif kebijakan untuk
memecahkan masalah; dan (4) penetapan kebijakan publik.60

Metode dalam Hukum Tata Negara


Metode yang dikenal dalam studi Hukum Tata negara dapat

60
Budi Winarno, 2011, Kebijakan Publik: Teori, Proses, dan Studi
Kasus, Yogyakarta: CAPS, hlm. 122-126. Lihat pula M. Irfan Islamy, 2012,
Kebijakan Publik, Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka, hlm. 5.1-5.32.
46

pula dipinjam dalam pembelajaran dan penelitian Hukum Perundang-


undangan. Dalam kepustakaan Hukum Tata Negara yang klasik telah
diperkenalkan metode kajian Hukum Tata Negara, yang meliputi:
1. Metode Juridis Dogmatis/juridis formal, menyandarkan
penyelidikan pada dogmatis, semata-mata pada undang-
undang. 61
2. Metode Historis Juridis, melengkapi penyelidikan dengan
konteks historis.62
3. Metode historis sistematis, melengkapi metode historis yuridis
dengan analisis secara sistematis.63
4. Metode Juridis Fungsional, melengkapi dengan konteks
sosiologikal, dengan memahami aspek-aspek sosiologis dan
politis.64

Soepomo telah mengingat bahwa mempelajari hukum tata


negara tidak cukup dari bunyi pasal-pasalnya saja. Memahami makna
sebuah pasal tidaklah cukup hanya dengan mempelajari teksnya saja,
tetapi juga konteks yang melatari lahirnya teks bahkan dengan
pemikiran-pemikran yang berkembang pada saat teks itu dibaca,
dikemukakan pada tahun 1945, tepat tanggal 15 Juli, dalam Sidang
Kedua BPUPKI tanggal 1945 dengan acara “Pembahasan Rancangan
Undang-undang Dasar.65 Pandangan Soepomo itu kemudian tertuang

61
Djoko Sutono, 1982, Hukum Tata Negara, dihimpun oleh Harun Al
Rasid, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 21. Abu Daud Busroh dan H.
Abubakar Busro, 1983, Asas-asas Hukum Tata Negara, Jakarta: Ghalia
Indonesia, hlm. 35-36.
62
Djoko Sutono, 1982, Hukum ..., hlm. 22. Abu Daud Busroh dan
H. Abubakar Busro, 1983, Asas-asas ..., hlm. 34-35.
63
Dalam I Gede Yusa, et.al., 2016, Hukum Tata Negara: Pasca
Perubahan UUD NRI 1945, Malang : Setara Press, hlm. 15-16.
64
Djoko Sutono, 1982, Hukum ..., hlm. 23-24.
65
Terkutip dalam Saafroedin Bahar, et.al., (eds.), Risalah Sidang
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-
22 Agustus 1945, Edisi III. Cet.2, Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995, hlm.
47

dalam Penjelasan Umum UUD 1945 (sebelum perubahan) tepatnya


pada angka I. Undang-Undang Dasar, sebagian dari hukum dasar.
Uraian yang agak panjang-lebar tentang metode kajian
Hukum Perundang-undangan penting dilakukan seturut dengan
karakter bawaan dari lahirnya Ilmu Perundang-undangan, yang
menjadi basis Hukum Perundang-undangan, yakni sebagai disiplin
ilmu hukum yang interdisipliner. Maknanya, Hukum Perundang-
undangan sebagai disiplin ilmu hukum merupakan medan pertemuan
beragam pendekatan. Perlu mengingat sejenak komentar A. Hamid S.
Attamimi, bahwa Krems mendefinisikan Ilmu Pengetahuan
Perundang-undangan sebagai ilmu pengetahuan yang interdisipliner
tentang pembentukan hukum negara. Ia menyatukan berbagai segi
pengetahuan yang ada dan menggunakannya bagi suatu jangkauan
obyeknya yang khusus.66 Satu bagian dari Ilmu Pengetahuan
Perundang-undangan adalah Ilmu Perundang-undangan, sehingga
memiliki pula karakter interdisipliner.
Berdasarkan seluruh uraian mengenai metode kajian Hukum
Perundang-undangan, tersedia pilihan metode yang dapat diringkas
dalam gambar berikut:

Gambar 5. Pilihan Metode Kajian Hukum Perundang-undangan

264.
66
A. Hamid S. Attamimi, 1990, “Ilmu Pengetahuan ...”, Ibid., hlm. 5.
48

1.8. Penutup
Resume
Awalnya mata kuliah ini bernama Ilmu Perundang-undangan,
merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan,
berorientasi kepada melakukan perbuatan membentuk peraturan
negara atau membentuk peraturan perundang-undangan.Ilmu
Perundang-undangan sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan
Perundang-undangan tidaklah bersifat monodisipliner, melainkan
interdisipliner.
Kemudian berganti nama menjadi Hukum Perundang-
undangan dengan alasan pembelajaran materi kuliah Ilmu Perundang-
undangan dilakukan dalam kerangka hukum, menyangkut asas dan
kaidah hukum pembentukan peraturan perundang-undangan, lembaga
dan proses untuk mewujudkan asas dan kaidah hukum pembentukan
peraturan perundang-undangan menjadi kenyataan.
Jadi, Hukum Perundang-undangan mempelajari: (1)
Perangkat kaidah dan asas-asas mengenai pembentukan peraturan
perundang-undangan, seperti Undang-Undang tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan; (2) Lembaga yang mempunyai dan
menjalankan kewenangan berdasarkan hukum untuk membentuk
peraturan perundang-undangan, seperti DPR, Presiden, dan DPD
dalam pembentukan undang-undang; dan (3) Proses pembentukan
peraturan perundang-undangan, seperti tahapan perencanaan,
permusan, pembahasan, pengesahan/penetapan, dan pengundangan.
Lebih rinci obyek kajian hukum perundang-undangan
tersebut diamati dari ruang lingkup pengertian pembentukan
peraturan perundang-undangan, yakni: (1) Kegiatan pembentukan isi
peraturan perundang-undangan, meliputi materi muatan dan
penormaan atau perumusan materi muatan menjadi norma hukum
yang dituangkan dalam aturan hukum berwujud pasal, jika diperlukan
dalam wujud ayat-ayat; (2) Kegiatan yang menyangkut pemenuhan
bentuk peraturan perundang-undangan, termasuk antara lain proses
serta prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan.
49

Hukum Perundang-undangan yang berawal dari Ilmu


Perundang-undangan, karakter bawaannya adalah disiplin ilmu yang
intersipliner, oleh karena itu disiplin ilmu hukum ini terbuka bagi
berbagai pendekatan, tidak saja pendekatan ilmu hukum (metode
penelitian yuridis normatif), tapi juga pendekatan ilmu sosial (metode
penelitian sosio-legal) sebagai metode dalam mendekati obyek
hukum perundang-undangan.

Latihan
Sebagai akhir dari bagian Penutup, disediakan soal latihan
bagi mahasiswa agar dikerjakan untuk mengetahui capaian
pembelajaran. Mahasiswa wajib mengerjakan tugas-tugas latihan,
sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Ilmu Perundang-undangan?
2. Apa yang dimaksud dengan Hukum Perundang-undangan
sebagai disiplin ilmu hukum?
3. Apa makna Hukum Perundang-undangan sebagai disiplin ilmu
hukum yang bersifat interdisipliner?
4. Apa yang menjadi obyek Hukum Perundang-undangan sebagai
disiplin ilmu hukum?
5. Dimanakah posisi Hukum Perundang-undangan dalam fase
proses hukum yang meliputi pembuatan hukum, hukum sebagai
produk pembuatan hukum, dan pelaksanaan hukum?

1.9. Bahan Bacaan/Rujukan Pengayaan

Abdurrahman, Muslan, 2009, Sosiologi dan Metode Penelitian


Hukum, Malang: UMM Press.
Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa‟at, 2012, Teori Hans Kelsen
Tentang Hukum, Jakarta: Konstitusi Press.
Asshiddiqie, Jimly, 2006, Perihal Undang-Undang, Jakarta:
Konstitusi Press.

50

Attamimi, A. Hamid S., 1993, Hukum Tentang Peraturan Perundang-


undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan),
Pidato Purna Bakti Guru Besar Tetap, Depok: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
―――, 1990, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan
(Gesetzgebungswissenchaft) dan Pengembangan
Pengajarannya Di Fakultas Hukum, Makalah dalam Diskusi
Mengenai Kemungkinan Masuknya Ilmu Perundang-undangan
Dalam Kurikulum Fakultas Hukum pada Pertemuan Dekan-
dekan Fakultas Hukum Negeri Se·Indonesia Di Bawah
Konsorsium Ilmu Hukum, Jakarta, 20-21 Oktober 1989, dimuat
dalam Hukum dan Pembangunan, Februari 1990, hlm. 4-5.
―――, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia
dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi
Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Bersifat
Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV),
Disertasi Doktor, Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas
Indonesia.
―――, 1982, Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan,
dalam BPHN, Himpunan Bahan Penataran Latihan Tenaga
Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan Tanggal 1
s/d 20 Juni 1981, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman.
―――, 1979, Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan,
dalam Hukum dan Pembangunan, Vol 9 No 3 Tahun 1979,
hlm. 281-292.
Atmaja, Gede Marhaendra Wija 2017, Metodelogi Penelitian Hukum
dalam Penyusunan Naskah Akademik, makalah dipersiapkan
untuk Kegiatan Pembinaan Perancang Peraturan Perundang-
Undangan Di Daerah Tahun Anggaran 2017 diselenggarakan

51

Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali,


Denpasar.
Bahar, Saafroedin, et.al., (Eds.), 1995, Risalah Sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
28 Mei 1945-22 Agustus 1945, Edisi III. Cet.2, Jakarta:
Sekretariat Negara RI.
Bruggink, JJ.H., 2011, Refleksi Tentang Hukum: Pengertian-
Pengertian Dasar dalam Teori Hukum, terjemahan B. Arief
Sidharta, Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti.
Busroh, Abu Daud dan H. Abubakar Busro, 1983, Asas-asas Hukum
Tata Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Farida, Maria, dkk, 2008, Laporan Kompendium Bidang Hukum
Perundang-Undangan, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
Friedman, Lawrence M., 1975, The Legal System: A Social Science
Perspective, New York: Russel Sage Foundation.
Hadjon, Phlipus M. dan Tatiek Sri Jatmiati, 2005, Argumentasi
Hukum, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Huijbers, Theo, 1995, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Irianto, Sulistyowati, 2012, Memperkenalkan kajian sosio-legal dan
implikasi metodelogisnya, dalam Adriaan W. Bedner, dkk
(Eds.), Kajian Sosio-Legal, Denpasar: Penerbit Pustaka
Larasan.
―――, 2009, Memperkenalkan kajian sosio-legal dan implikasi
metodelogisnya, dalam Sulistyowati Irianto & Shidarta, (Eds),
Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.

52

―――, 2009, Praktik Penelitian Hukum: Perspektif Sosiolegal,


dalam Sulistyowati Irianto & Shidarta, (Eds), Metode
Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Ibrahim, Johnny, 2006, Teori & Metodologi Penelitian Hukum
Normatif, Malang: Bayumedia Publishing.
Islamy, M. Irfan, 2012, Kebijakan Publik, Jakarta: Penerbit
Universitas Terbuka.
Koesnoe, Mohammad, 2010, Dasar dan Metode Ilmu Hukum Positif,
Surabaya: Airlangga University Press.
Kusnardi, Moh., dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum
Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata
Negara FH UI.
Kusumaatmadja, Mochtar, 1986, Hukum, Masyarakat dan
Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Lembaga Penelitian
Hukum dean Kriminologi Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran.
Kelsen, Hans, 2008, Pengantar Teori Hukum, terjemahan, Bandung:
Penerbit Nusa Media.
―――, 1992, Introduction to the Problems of Legal Theori, A
Translation of the First Edition of the Reine Rechtslehre or
Pure Theory of Law, Translated by: Bonnie Litschewski
Paulson and Stanley L. Paulson, with an Introduction by
Stanley L. Paulson, Oxford: Clarendon Press.
Latif, H. Abdul dan H. Hasbi Ali, 2014, Politik Hukum, Jakarta:
Penerbit Sinar Grafika.
Magnis-Suseno, Franz, 2016, Etika Politik Hukum: Prinsip-prinsip
Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama

53

Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 dalam


perkara permohonanPengujian Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentangKomisi Yudisial dan
Pengujian Undang undangRepublik Indonesia Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakimanterhadap Undang-Undang
Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945.
Manan, Bagir, 2004, Hukum Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik),
Yogyakarta: FH UII Press.Manan, Bagir, 1992, Dasar-dasar
Perundang-undangan Indonesia, Jakarta: Ind-Hill.co.
―――, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu
Negara, Bandung: Mandar Maju.
Manan, Bagir dan Kuntana Magnar, 1987, Peraturan Perundang-
undangan dalamPembinaan Hukum Nasional, Bandung:
Penherbit CV Armico.
Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana.
Mertokusumo, Sudikono, 1996, Penemuan Hukum: Sebuah
Pengantar, Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Rahardjo, Satjipto, 2006, Membedah Hukum Progresif, Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
―――, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Adtya Bakti.
Rizal, Jufrina, 2003, Sosiologi Perundang-undangan dan
Pemanfaatannya, dalam Hukum dan Pembangunan Nomor 3
Tahun XXXIII, Juli-September 2003, hlm. 413-427.
Safitri dan Tristam Moeliono, 2010, Bernegara hukum dan berbagi
kuasa dalam urusan agrarian di Indonesia: Sebuah pengantar,
dalam Safitri dan Tristam Moeliono, (Eds.), Hukum Agraria
dan Masyarakat Di Indonesia: Studi tentang tanah, kekayaan
alam, dan ruang di masa colonial dan desentralisasi, Jakarta:
HuMa; Van Vollenhoven Institute, kitlv-Jakarta.

54

Siahaan, Pataniari, 2012, Politik Hukum Pembentukan Undang-


Undang Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta: Konstitusi
Press.
Sidharta, B. Arief, 2017, Ilmu Hukum Indonesia: Upaya
pengembangan Ilmu Hukum Sistematik yang responsif
terhadap perubahan masyarakat, Bandung: Unpar Press.
―――, 2009, Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian
Filosofikal dan Dogmatikal, dalam Sulistyowati Irianto &
Shidarta, (Eds), Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan
Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia..
Soeprapto, Maria Farida Indrati, 2002, Ilmu Perundang-undangan:
Dasar-dasar dan Pembentukannya,
cetakankelima,Yogyakarta:Kanisius.
Soekanto, Soerjono, Tahun (?), “Masalah-masalah Di Sekitar
Perundang-undangan (Suatu Tinjauan menurut Sosiologi
Hukum), dalam Majalah FH UI, Nomor (?), hlm. 27-34.
Sutono, Djoko, 1982, Hukum Tata Negara, dihimpun oleh Harun Al
Rasid, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tanya, Bernard L.; Yoan N. Simanjuntak; Markus Y. Hage, 2006,
Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, Surabaya: CV Kita.
Wignjosoebroto, Soetandyo, 2013, Hukum: Kosep dan Metode,
Malang: Setara Press.
―――, 2002, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya, Jakarta: HuMa.
Winarno, Budi, 2011, Kebijakan Publik: Teori, Proses, dan Studi
Kasus, Yogyakarta: Caps.
Yusa, I Gede, et.al., 2016, Hukum Tata Negara: Pasca Perubahan
UUD NRI 1945, Malang: Setara Press.
55

PERTEMUAN II :
TUTORIAL I
PEMAHAMAN DASAR HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN

2.1. Pendahuluan
Mahasiswa dalam Pertemuan II dan Tutorial Kesatu ini
mendiskusikan materi-materi berkenaan dengan Pemahaman Dasar
Hukum Perundang-undangan, meliputi: (1) nama mata kuliah: dari
ilmu perundang-undangan ke hukum perundang-undangan; (2)
hukum perundang-undangan: pengaturan dan disiplin ilmu hukum;
(3) perundang-undangan: pembentukan peraturan perundang-
undangan dan peraturan perundang-undangan; (4) obyek kajian
hukum perundang-undangan; dan (5) metode kajian hukum
perundang-undangan.
Materi-materi Tutorial Kesatu merupakan pendalaman atas
materi-materi Kuliah Kesatu, yang berfungsi sebagai landasan-
pijakan untuk memahami materi-materi pembelajaran pada
pertemuan-pertemuan berikutnya, baik kuliah maupun tutorial.
Karena itu, dalam tutorial ini Mahasiswa mendiskusikan dengan
sungguh-sungguh mengenai isu yang terdapat dalam penyajian materi
Study Task dan Problem Task.

2.2. Penyajian Materi: Study Task dan Problem Task


2.2.1. Study Task
Materi study task mengenai pengertian pembentukan
peraturan perundang-undangan dan peraturan perundang-undangan
disajikan dalam kotak berikut:
Kotak 1.
PENGERTIAN PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011


56

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). Undang-
Undang ini disahkan dan diundakan di Jakarta pada tanggal 12
Agustus 2011, serta mulai berlaku pada tanggal diundangkan
(Pasal 104 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011).
Pembentuk Undang-Undang mendefinisikan Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan
Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011).
Berikutnya pembentuk Undang-Undang mendefinisikan
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang
memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk
atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang
melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-
undangan.
Definisi tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan terlihat menampilkan tahapan pembentukan (aspek
pemenuhan bentuk) saja, apakah memang demikian, dan
bagaimana dengan aspek pembentukan isinya? Demikian juga
dengan definisi tentang Peraturan Perundang-undangan
mengemuka persoalan, antara lain, apa yang dimaksud dengan
“norma hukum yang mengikat secara umum”, apa yang dimaksud
dengan “yang berwenang” dalam anak kalimat “dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang”,
serta apa arti “perundang-undangan” dalam peristilahan
“Pembentukan Peraturan Perundang-undangan” dan “Peraturan
Perundang-undangan”?
Hal tersebut menunjukkan, untuk mendapatkan pemahaman
yang lebih memadai tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan dan Peraturan Perundang-undangan, tidak cukup secara
57

otentik saja sebagaimana ditentukan dalam Ketentuan Umum


Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, tapi perlu pula
mendapatkan pemahaman secara teoritik perihal Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Perundang-
undangan.

Tugas Mahasiswa adalah melakukan studi atas isu


sebagaimana dikemukakan dalam kotak di atas. Perlu dikemukakan
kata kunci sebagai arahan studi, yakni: perundang-undangan, hukum
perundang-undangan.

2.2.2. Problem Task


Materi problem task berkenaan dengan pengertian peraturan
perundang-undangan disajikan dalam kotak berikut:
Kotak 2.
Putusan MA: „Surat Edaran‟ Bukan Objek Hak Uji Materiil
Tapi dalam perkara lain, pernah dinyatakan sebagai objek HUM
karena isinya bersifat regeling.
(hukumonline.com, Senin, 17 April 2017)

Majelis hakim agung beranggotakan H Yulius, Yosran dan


Irfan Fachruddin menyatakan Surat Edaran (SE) bukanlah objek
hak uji materiil (HUM). Karena itu, majelis menolak permohonan
yang diajukan seorang warga Nganjuk Jawa Timur terhadap Surat
Edaran Bupati Nganjuk No. 140/153/411.010/2015 tentang
Penghentian Sementara Pengisian Perangkat Desa.
Sebelum masuk ke substansi permohonan majelis terlebih
dahulu menjawab pertanyaan apakah objek permohonan
merupakan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-
Undang. Sebab, kewenangan Mahkamah Agung hanya menguji
peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang
terhadap Undang-Undang. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 31
ayat (1) UU Mahkamah Agung juncto Pasal 1 ayat (1) Peraturan
58

Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.


Berdasarkan kriteria bentuk luar (kenvorm) atau rumusan
perintah pengundangan dan penempatan peraturan perundang-
undangan sesuai Pasal 81 UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, SE yang menjadi
objek HUM tidak memenuhi kriteria „peraturan perundang-
undangan‟. (Baca juga: Surat Edaran, „Kerikil‟ dalam Perundang-
Undangan).
Sebagaimana tertuang dalam putusan No. 48P/HUM/2016
yang salinannya sudah dipublikasikan Mahkamah Agung, majelis
menilai SE objek HUM hanya masuk kriteria keputusan
administrasi negara yang bersifat umum dengan bentuk atau
karakteristik yang addressat-nya tidak ditujukan kepada semua
orang, melainkan hanya ditujukan kepada camat se-Kabupaten
Nganjuk. “Sehingga tidak tepat dikategorikan
sebagai regeling dalam arti peraturan perundang-undangan”. (Baca
juga: Keberlakuan SE Kapolri Hate Speech dan Dampak
Hukumnya).
Oleh karena objek HUM (Surat Edaran Bupati Nganjuk)
bukan merupakan peraturan perundang-undangan maka, menurut
majelis, Mahkamah Agung tidak berwenang untuk mengujinya.
Konsekuensinya, „permohonan keberatan hak uji materiil dari
Pemohon tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima‟. Putusan
ini diambil dan dibacakan ada 24 Januari 2017.
Berdasarkan penelusuran Hukumonline, sebenarnya tak
selamanya pengujian terhadap SE ditolak Mahkamah Agung.
Pelaku kekuasaan kehakiman ini, lewat putusan No.
23P/HUM/2009, membatalkan SE Dirjen Minerba dan Panas Bumi
No. 03.E/31/DJB/2009 tentang Perizinan Pertambangan Mineral
dan Batubara Sebelum Terbitnya Perppu No. 4 Tahun 2009.
Menurut majelis yang mengadili dan memutus perkara ini,
walaupun SE tidak termasuk dalam peraturan perundang-
undangan, tetapi berdasarkan Penjelasan Pasal 7 UU No. 10 Tahun
59

2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, SE


dapat dikategorikan sebagai bentuk peraturan perundang-undangan
yang sah, sehingga tunduk pada tata urutan peraturan perundang-
undangan.
Pertimbangan yang hampir sama bisa dibaca dalam putusan
MA No. 3P/HUM/2010. Di sini, ada surat biasa yang menurut
majelis hakim berisi peraturan (regeling), sehingga layak menjadi
objek permohonan hak uji materiil sesuai Peraturan Mahkamah
Agung (Perma) mengenai Hak Uji Materiil.

Sumber:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58f4255c
93fc1/putusan-ma--surat-edaran-bukan-objek-hak-
uji-materiil<diunduh 26-08-2017>

Tugas Mahasiswa adalah melakukan studi atas isu


sebagaimana dikemukakan dalam kotak di atas, yakni pendapat
Mahkamah Agung tentang pengertian peraturan perundang-
undangan.
Perlu dikemukakan kata kunci sebagai arahan studi, yakni:
norma hukum yang mengikat secara umum, dibentuk atau ditetapkan
oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang.

2.3. Penutup
Sajian problem task tersebut menyajikan problem mengenai
karakter hukum surat edaran, tepatnya surat edaran itu merupakan
peraturan perundang-undangan atau bukan peraturan perundang-
undangan. Dengan perkataan lain, apakah yang dimaksud dengan
peraturan perundang-undangan menurut perspektif Mahkamah Agung
(dalam kasus-kasus yang disebutkan itu) sehingga berpendapat Surat
Edaran (SE) sebagai peraturan perundang-undangan atau bukan
peraturan perundang-undangan?
60

Pada akhir tutorial, Mahasiswa wajib membuat laporan


kegiatan tutorial, yang memaparkan secara rinci pemimpin diskusi
(discussion leader), pencatat (note taker), yang aktif berpendapat atau
berkomentar, dan hasil diskusi, serta alokasi waktu tutorial. Laporan
tutorial wajib dikumpulkan pada saat berakhirnya seluruh kegiatan
tutorial.

2.4. Bahan Bacaan/Rujukan Pengayaan


Hukumonline, Putusan MA: „Surat Edaran‟ Bukan Objek Hak Uji
Materiil Tapi dalam perkara lain, pernah dinyatakan sebagai
objek HUM karena isinya bersifat regeling.
(hukumonline.com, Senin, 17 April 2017)
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58f4255c93fc1/put
usan-ma--surat-edaran-bukan-objek-hak-uji-materiil (diunduh
26-08-2017)
Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

61

PERTEMUAN III :
PERKULIAHAN KEDUA
NORMA HUKUM DALAM PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN

3.1. Pendahuluan
Mengawali pertemuan pembelajaran mata kuliah ini,
mahasiswa diajak mempelajari mengenai pengertian norma hukum,
asas hukum, norma hukum dan aturan hukum, jenis norma hukum,
sifat norma hukum, struktur norma hukum ke dalam aturan hukum,
dan metode perumusan norma ke dalam aturan hukum. Setelah
mempelajari dan mendiskusikan materi ini mahasiswa diharapkan
memahami pengertian norma hukum, asas hukum, norma hukum dan
aturan hukum, jenis norma hukum, sifat norma hukum, struktur
norma hukum ke dalam aturan hukum, dan metode perumusan norma
ke dalam aturan hukum. Materi perkuliahan pada pertemuan ketiga
ini sangat penting sebagai landasan untuk memahami kajian
pembelajaran pada pertemuan-pertemuan selanjutnya.

3.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian


Capaian pembelajaran yang ingin diwujudkan dengan
perkuliahan norma hukum dalam peraturan perundang-undangan
adalah mahasiswa memahami pengertian norma hukum, asas hukum,
norma hukum dan aturan hukum, jenis norma hukum, sifat norma
hukum, struktur norma hukum ke dalam aturan hukum, dan metode
perumusan norma ke dalam aturan hukum.
Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini,
mahasiswa mampu:
a. Menjelaskan pengertian norma hukum, asas norma, norma
hukum dan aturan hukum;
b. Menguraikan jenis-jenis norma hukum dan sifat norma;

62

c. Memahami dan mengaplikasikan struktur norma hukum ke


dalam aturan hukum dan metode perumusan norma hukum ke
dalam aturan hukum.

3.3. Pengertian Norma Hukum


Istilah norma yang berasal dari bahasa Latin nomos yang
berarti nilai, dalam bahasa Arab disebut qo’idah, kaidah atau kaedah,
dan dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan pedoman, patokan
atau aturan. Norma diartikan sebagai suatu ukuran atau patokan bagi
seseorang dalam bertindak atau bertingkah laku dalam masyarakat,
jadi inti suatu norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi.67
Norma atau kaidah (kaedah) merupakan pelembagaan nilai-nilai baik
dan buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi kebolehan, anjuran
atau perintah. Baik anjuran maupun perintah dapat berisi kaidah yang
bersifat positif atau negatif sehingga mencakup norma anjuran untuk
mengerjakan atau anjuran untuk tidak mengerjakan sesuatu, dan
norma perintah untuk melakukan atau perintah tidak melakukan
sesuatu.68
Suatu norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi,
dimana dalamnya mengandung apa yang harus dilakukan, das
sollen/ought to be/ought to do. Apa yang harus dilakukan dapat
berupa perintah maupun larangan.69 Menurut Amiroeddin Sjarif,
norma atau kaidah adalah suatu patokan atau standar yang didasarkan
kepada ukuran nilai-nilai tertentu. Norma Hukum adalah suatu
patokan yang didasarkan kepada ukuran nilai-nilai baik atau buruk
yang berorientasi kepada asas keadilan dan bersifat:

67
Maria Farida Indrati Soeprapto,2007, Ilmu Perundang-Undangan,
Yogyakarta : Kanisius, hlm.18.
68
Jimly Asshiddiqie, 2014, Perihal Undang-Undang, Jakarta :
RajaGrafindo Persada, hlm. 1.
69
Rachmat Trijono, 2013, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan
Perundang-undangan, Jakarta : Papas Sinar Sinanti, hlm.32.
63

a. Suruhan (impare), yaitu apa yang harus dilakukan orang;


b. Larangan (prohibire), yaitu apa yang tidak boleh dilakukan
orang70

Sebagaimana telah disampaikan, selain norma digunakan


juga istilah kaidah. Istilah ini antara lain digunakan oleh Sudikno
Mertokusumo yang berkata: “Kaidah hukum lazimnya diartikan
sebagai peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia itu
seyogyanya berprilaku, bersikap di dalam masyarakat agar
kepentingannya dan kepentingan orang lain terlindungi. Kaidah pada
hakikatnya merupakan perumusan suatu pandangan obyektif
mengenai penilaian atau sikap yang seyogyanya dilakukan atau tidak
dilakukan, yang dilarang atau dianjurkan untuk dijalankan.71

3.4. Asas Hukum, Norma Hukum dan Aturan Hukum


Asas hukum merupakan tiang utama bagi pembentukan
peraturan perundang-undangan, dimana “asas” adalah suatu hal yang
dianggap oleh masyarakat sebagai basic truth, sebab melalui asas
hukum pertimbangan etis dan sosial masyarakat masuk ke dalam
hukum, dan menjadi sumber menghidupi nilai-nilai etis, moral dan
sosial masyarakatnya.72 Asas-asas hukum (rechtsbeginselen) adalah
dasar-dasar yang menjadi sumber pandangan hidup, kesadaran, cita-
cita hukum dari masyarakat. Telah diungkapkan oleh Paul Scholten
yang mengatakan bahwa sebuah asas hukum (rechtsbeginsel)
bukanlah sebuah aturan hukum (rechtsregel).73 Untuk dapat dikatakan
sebagai aturan hukum, sebuah asas hukum adalah terlalu umum

70
Budiman N.P.D. Sinaga, 2005, Ilmu Pengetahuan Perundang-
Undangan, Yogyakarta : UII Press, hlm. 8.
71
Ibid., hlm. 9.
72
Soimin, 2010, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Negara Di Indonesia, Yogyakarta : UII Press, hlm. 29,dikutip dari Tim Lab.
Fakultas Hukum UMM, Praktek Ilmu Perundang-undangan, UMM Press,
Malang, 2006, hlm. 13.
73
Ibid.,hlm. 30.
64

sehingga ia atau bukan apa-apa atau berbicara terlalu banyak.


Penerapan asas hukum secara langsung melalui jalan
subsumsi atau pengelompokkan sebagai aturan tidaklah mungkin,
karena untuk itu terlebih dulu perlu dibentuk isi yang lebih konkret.
Dengan perkataan lain, asas hukum bukanlah hukum, namun hukum
tidak akan dapat dimengerti tanpa asas-asas tersebut. Scholten
mengemukakan lebih lanjut, adalah menjadi tugas ilmu pengetahuan
hukum untuk menelusuri dan mencari asas hukum itu dalam hukum
positif.74 Thomas Aquino (1225-1274) dalam konsepsi mengenai
hukum alam membagi asas-asas hukum itu menjadi dua jenis, sebagai
berikut:75
a. Prinsipia prima atau asas-asas umum, yaitu asas-asas yang
langsung dimiliki manusia sejak kelahiran
b. Prinsipia secundaria, yaitu asas-asas yang dijabarkan dari asas-
asas yang dijabarkan dari asas-asas umum yang tidak berlaku
mutlak dan dapat berubah karena pengaruh ruang dan waktu.
Tentang asas hukum, dapat dikemukakan beberapa pendapat
sebagaimana disampaikan Sudikno Mertokusumo. Bellefroid
berpendapat bahwa asas hukum umum adalah norma dasar yang
dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak
dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum
umum ini merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu
masyarakat. Sedangkan van Eikema Hommes berkata bahwa asas
hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang
kongkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau
petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum
praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Dengan kata
lain asas hukum ialah dasar-dasar atau petujuk arah dalam
pembentukan hukum positif.76

74
Ibid.
75
Budiman N.P.D. Sinaga, op.cit., hlm. 14.
76
Ibid.,hlm. 15.
65

Lain lagi pendapat van der Velder yang mengatakan bahwa


asas hukum adalah tipe putusan tertentu yang dapat digunakan
sebagai tolak ukur untuk menilai situasi atau digunakan sebagai
pedoman berperilaku. Asas hukum didasarkan atas suatu nilai atau
lebih yang menentukan situasi bernilai yang harus direalisasikan.
Menurut Scholten, asas hukum adalah kecenderungan-kecenderungan
yang diisyarakatkan oleh pandangan kesusilaan pada hukum,
merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasan sebagai
pembawaan yang umum tetapi tidak boleh tidak harus ada. Dari
beberapa pendapat itu, Sudikno Mertokusumo berkesimpulan bahwa
asas hukum bukan merupakan hukum kongkrit melainkan merupakan
pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar belakang
setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-
undangan dan putusan positif dan dapat dikemukakan dengan
mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan kongkrit
tersebut.77
Asas hukum tersebut merupakan jantungnya peraturan
hukum. Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi
lahirnya suatu peraturan hukum. Asas hukum ini lazimnya disebut
sebagai dasar/alasan bagi lahirnya suatu peraturan hukum atau
merupakan ratio legis dari peraturan hukum, sebagai dasar pemikiran
yang mendaasari suatu peraturan hukum. Asas hukum mengandung
nilai-nilai dan tuntutan etis, dan karena mengandung tuntutan etis,
maka asas hukum merupakan jembatan antara peraturan-peraturan
hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakat.78
Berkaitan dengan norma hukum, dikatakan norma hukum
berbeda dengan asas hukum karena sifatnmya yang mengatur.
Sebagaimana diketahui, norma adalah aturan, pola, atau standar yang
perlu diikuti. Hans Kelsen dalam Bukunya berjudul “Allgemeine
Theorie der Normen” menyebutkan fungsi norma hukum ialah

77
Ibid.,hlm. 16-17.
78
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya
Bakti, hlm.45.
66

memerintah (gebieten), melarang (verbieten), menguasakan


(ermachtigen), membolehkan (erlauben) dan menyimpang dari
ketentuan (derogieren). 79Maka sehubungan dengan sifat dan
fungsinya yang berbeda tersebut, asas hukum dan norma hukum
memberikan pengaruh yang berlainan terhadap perundang-undangan.
Dalam suatu sistem norma hukum dalam pembentukan norma suatu
undang-undang misalnya harus sejalan dan searah dengan norma
aturan dasar, dan begitu juga norma aturan dasar harus sejalan dan
searah dengan norma fundamental.80
Dengan demikian, pembentukan norma hukum yang berada
dalam suatu sistem norma hukum yang utuh, maka fungsi asas hukum
menjadi terdesak ke belakang oleh norma hukum meskipun tidak
hilang sama sekali. Lain halnya pada pembentukan norma hukum
yang berada dalam lingkup kebijakan (policy) yang tidak terikat. Di
sana asas hukum menjadi penting dalam memberikan bimbingan dan
pedoman pada pembentukan norma hukum.Secara umum, norma atau
kaidah dapat dibedakan antara norma etika dan norma hukum.
81
Norma etika meliputi norma susila, norma agama dan norma
kesusilaan, yang lahir dari dalam diri manusia sendiri, yaitu berupa
hasrat untuk hidup pantas, untuk hidup sepatutnya. Walaupun
demikian, tidak jarang norma etika merupakan norma yang dating
dari luar diri manusia, misalnya dari Tuhan Yang Maha Esa, yaitu
norma agama. Kadang-kadang norma itu lahir karena adanya
hubungan manusia dengan manusia, karena hidup manusia
mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi hidup pribadi dan dimensi
hidup antar pribadi. Kedua dimensi inilah yang melahirkan hukum

79
Soimin, op.cit., hlm.,30.
80
Ibid.
81
A Hamid S Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi
Analisis mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan Dalam
Kurun Waktu PELITA I- PELITA IV), Disertasi Doktor UI, Jakarta, hlm.304.
67

sebagai sarana membangun dan memperkokoh peradaban.82


Berdasarkan hal tersebut diatas maka keseluruhan norma
digolongkan menjadi antara lain norma agama, norma kesusilaan,
norma kesopanan, norma hukum baik tertulis maupun tidak tertulis.
Norma Agama merupakan aturan hidup manusia yang berisi perintah
dan larangan yang berasal dari Tuhan. Pelanggaran terhadap norma
agama akan mendapat hukuman dari Tuhan berupa siksa yang akan
diterima di akhirat. Norma kesusilaan merupakan aturan yang
didasarkan pada hati nurani atau ahlak manusia yang merupakan
nilai-nilai moral yang mengikat manusia. Norma kesopanan
merupakan aturan yang berpangkal pada tingkah laku di masyarakat.
Hakikat norma kesopanan adalah kepantasan, kepatutan, atau
kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Norma kesopanan sering
disebut sopan santun, tata krama atau adat istiadat. Norma kesopanan
bersifat khusus dan regional dan hanya berlaku bagi segolongan
masyarakat tertentu saja. Apa yang dianggap sopan bagi segolongan
masyarakat tertentu saja. Apa yang dianggap sopan bagi segolongan
masyarakat tertentu mungkin menjadi berbeda bagi masyarakat lain.
Norma hukum merupakan aturan yang dibuat oleh pejabat atau
lembaga negara baik tertulis maupun tidak tertulis.83
Berbeda dengan norma-norma yang lainnya, norma hukum
(legal norm, rechtnormen) mengatur secara nyata internal kehidupan
pribadi (internal life) dalam berperadaban dan humanis dan juga
mengatur hubungan antar pribadi dalam proses sosial, baik secara
langsung maupun secara tidak langsung. Sebab norma hukum
ditujukan untuk kebahagiaan pribadi sekaligus kedamaian hidup
bersama baik melalui keamanan dan ketertiban maupun dalam
memperbaharui perilaku. Agar lebih jelas apa itu pengertian norma
hukum, dapat dipetik pendapat Sudikno Mertokusumo, yang

82
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na‟a, 2012, Dinamika Hukum
Dan Ilmu Perundang-Undangan Di Indonesia, Bandung : Alumni, hlm. 23.
83
Rachmat Trijono, op.cit., hlm. 51.
68

menyatakan:84 “kaidah hukum lazimnya diartikan sebagai peraturan


hidup yang menentukan bagaimana manusia itu seyogyanya
berprilaku, bersikap di dalam masyarakat agar kepentingannya dan
kepentingan orang lain terlindungi”.
Menurut Hans Kelsen, hukum merupakan sistem norma yang
dinamik karena hukum itu selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga-
lembaga atau otoritas-otoritas yang berwenaang membentuknya
sehingga dalam hal ini tidak dilihat daari segi isi norma tetapi dari
segi berlakunya atau pembentukannya. Hukum adalah sah apabila
dibuat oleh Lembaga atau otoritas yang berwenang membentuknya
dan berdasarkan norma yang tertinggi sehingga norma yang lebih
rendah dapat dibentuk oleh norma yang lebih tinggi dan hukum itu
berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis membentuk suatu hierarki.
Aturan hukum merupakan konkritisasi dari suatu norma
hukum. Menurut J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto,
aturan hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa,
yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan
masyarakat, dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, dan
pelanggaran terhadapnya mengakibatkan diambilnya tindakan yaitu
hukuman tertentu.

3.5. Jenis Norma Hukum


Jenis-jenis norma hukum bisa dibedakan atas beberapa sudut
pandang, yaitu:
NO SUDUT PANDANG JENIS
1 Addressat 1. Umum Umum Abstrak
2. Individual Umum Kongkret
Individual Abstrak
Individual Kongkret
2 Hal yang diatur 1. Abstrak
2. Kongkret
3 Daya Berlaku 1. Einmahlig
2. Dauerhaftig

84
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na‟a, op.cit., hlm. 25.
69

4 Bentuk isi 1. Tunggal


2. Berpasangan
5 Sifat 1. Regeling
2. Beschikking
6 Sistem 1. Nomostatic
2. Nomodynamics

Penjelasan:
1. Dari segi alamat yang dituju (addressat)
Norma hukum apabila dilihat dari segi alamat yang dituju (
addressat ), atau untuk siapa norma hukum itu ditujukan atau
diperuntukkan, maka norma hukum dapat dibedakan antara norma
hukum umum dan norma hukum individual.
Norma Hukum Umum adalah norma hukum yang ditujukan
untuk banyak orang (addressat nya umum) dan tidak tertentu. Umum
disini dapat berarti bahwa suatu peraturan itu ditujukan untuk semua
orang, semua warga negara, untuk semua wilayah. Norma hukum
umum ini sering dirumuskan dengan kata-kata: “ Barang siapa..”,
atau “ Setiap orang...”, ataupun “ Setiap Warga Negara...” dan
sebagainya.
Norma Hukum Individual adalah norma hukum yang
ditujukan atau dialamatkan pada seseorang, beberapa orang, atau
banyak orang yang telah tertentu sehingga norma hukum yang
individual ini biasanya dirumuskan dengan kalimat sebagai berikut:
“Nasarudin yang bertempat tinggal di Jalan Flamboyan no. 1
Jakarta....” dll.

2. Dari segi hal yang diatur


Norma hukum apabila dilihat dari hal yang diatur atau
perbuatannya/tingkah lakunya, norma hukum dapat dibedakan antara
norma hukum yang abstrak dan norma hukum konkret.
Norma hukum abstrak adalah suatu norma hukum yang
melihat pada perbuatan seseorang yang tidak ada batasannya dalam
arti tidak konkret. Norma hukum abstrak ini merumuskan suatu
70

perbuatan itu secara abstrak, misalnya disebutkan dengan kata


mencuri, membunuh, menebang pohon, dan sebagainya.
Norma Hukum Konkret adalah suatu norma hukum yang
melihat perbuatan seseorang itu secara lebih nyata (Konkret). Norma
hukum konkret ini biasanya dirumuskan sebagai berikut:
“....membunuh si unyil dengan sebuah parang...‟.
Dari sifat-sifat norma hukum yang umum-individual dan
norma hukum yang abstrak-konkret, dapat diperoleh 4 kombinasi dari
paduan norma-norma tersebut, yaitu:
 Norma hukum umum-abstrak: suatu norma hukum yang
ditujukan umum dan perbuatannya masih bersifat abstrak.
Contohnya: Setiap orang dilarang membunuh sesamanya; setiap
warga negara dilarang mencuri.
 Norma hukum umum-konkret : suatu norma hukum yang
ditujukanumum dan perbuatannya sudah tertentu (konkret).
Contohnya: Setiap orang dilarang membunuh si budi dengan
sebuah parang; Setiap orang dilarang menebang pohon dipinggir
jalan nangka.
 Norma hukum individual-abstrak; suatu norma hukum yang
ditujukan untuk seseorang atau nama-namanya sudah tertentu
dan perbuatanya bersifat abstrak. Contohnya: Si Badu yang
bertempat tinggal di jalan nangka dilarang mencuri, dll.
 Norma hukum individual-konkret : suatu norma hukum yang
ditujukan untuk seseorang atau orang-orang tertentu dan
perbuatannya bersifat konkret.
Contohnya: si agus yang bertempat tinggal dijalan nangka no.9 diberi
izin membangun rumah dijalan nangka juga.

3. Dari segi kekuatan berlakunya norma


Norma hukum apabila dilihat dari segi daya berlakunya
sebuah norma hukum dapat dibedakan antara norma hukum yang
berlaku sekali-selesai (einmahlig ) dan norma hukum yang berlaku
terus menerus ( dauerhaftig ).
71

Norma hukum yang bersifat einmahlig adalah norma hukum


yang berlaku hanya satu kali saja dan setelah itu selesai jadi sifatnya
hanya menetapkan saja sehingga dengan adanya penetapan ini norma
hukum tersebut selesai, contohnya: penetapan bagi seseorang untuk
membangun rumah.
Norma Hukum yang berlaku terus menerus (dauerhaftig)
adalah norma hukum yang berlakunya tidak dibatasi oleh waktu, jadi
dapat berlaku kapan saja secara terus menerus, sampai peraturan
tersebut dicabut atau diganti dengan peraturan yang baru. Contohnya
adalah ketentuan yang terdapat didalam peraturan perundang-
undangan. Norma hukum yang termasuk kedalam suatu peraturan
perundang-undangan adalah suatu norma hukum yang bersifat umum-
abstrak dan berlaku terus menerus sedangkan norma hukum yang
bersifat individual-konkret dan sekali selesai merupakan suatu
keputusan yang bersifat penetapan (besschikking).

4. Dari segi isi


Norma hukum apabila dilihat dari segi isi dapat berwujud
suatu norma tunggal dan dapat juga norma hukum berpasangan yang
terdiri dari norma primer dan norma sekunder.
Norma hukum tunggal adalah suatu norma hukum yang
berdiri sendiri dan tidak diikuti oleh suatu norma hukum lainnya, jadi
isinya hanya merupakan suatu suruhan tentang bagaimana kita harus
bertindak atau bertingkah laku. Contohnya: “ Hendaknya kita
berperikemanusiaan”.
Norma hukum yang berpasangan terdiri dari norma hukum
primer dan norma hukum sekunder. Norma hukum Primer adalah
suatu norma hukum yang berisi aturan/patokan bagaimana cara kita
harus berperilaku di dalam masyarakat. Norma hukum primer ini
biasanya disebut das sollen atau disebut dengan istilah hendaknya,
dan biasanya dirumuskan dengan kalimat : „Hendaknya engkau tidak
mencuri‟. Norma hukum sekunder adalah norma hukum yang berisi
tata cara penanggulangannya apabila suatu norma hukum primer itu
72

tidak dipenuhi. Norma hukum ini mengandung sanksi-sanksi bagi


seseorang yang tidak memenuhi ketentuan dalam normaa hukum
primer. Norma hukum ini merupakan das sollen juga, biasanya
dirumuskan dengan kalimat: „...apabila engkau mencuri dihukum‟.
Di dalam suatu peraturan, perumusan norma hukum primer
dan norma hukum sekunder biasanya dirumuskan dalam suatu
ketentuan secara berhimpitan sehingga sulit untuk membedakan mana
norma hukum primer dan norma hukum sekunder. Biasanya norma
berhimpitan ini dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan
dengan kalimat sebagi berikut: “ Barangsiapa mencuri dihukum”85

5. Dari Segi Sifatnya


Norma hukum dilihat segi sifatnya dapat dibedakan antara
regeling dan beschiking. Regeling adalah norma hukum yang bersifat
umum, abstrak dan berlaku terus menerus, sedangkan beschikking
adalah norma hukum yang bersifat individual, kongkrit dan sekali
selesai.

6. Dari segi sistemnya


Norma hukum dilihat dari segi sistemnya dapat dibedakan
menjadi sistem norma hukum yang statik (nomostatics) dan sistem
norma yang dinamik (nomodynamics).
Sistem norma yang statik (nomostatics) adalah sistem yang
melihat pada “isi” norma. Menurut sistem norma yang statik, suatu
norma umum dapat ditarik menjadi norma-norma khusus, atau
norma-norma khusus itu dapat ditarik dari suatu norma yang umum.
Penarikan norma-norma khusus dari suatu norma umum tersebut
diartikan bahwa, dari norma umum itu di rinci menjadi norma-norma
yang khusus dari segi “isi”nya. Contoh dari sistem norma yang statik
(nomostatics) adalah sebagai berikut: Dari suatu norma umum yang
menyatakan “Hendaknya engkau menghormati orang tua” dapat di

85
Maria Farida Indrati Soeprapto, op.cit.,hlm. 26-35.
73

tarik/di rinci menjadi norma-norma khusus seperti kewajiban


membantu orang tua kalau ia dalah kesusahan, atau kewajiban
merawatnya kalau orang tua itu sedang sakit dan sebagainya.
Sistem norma yang dinamik (nomodynamics) adalah sistem
yang melihat pada berlakunya suatu norma atau dari cara
“pembentukannya” atau “penghapusannya”. Menurut Hans Kelsen,
norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan
hierarki, norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada
norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber
dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya
sampai akhirnya “regressus”ini berhenti pada suatu norma yang
tertinggi yang di sebut dengan norma dasar (grundnorm) yang tidak
dapat ditelusuri lagi siapa pembentuknya atau darimana asalnya.
Norma dasar atau sering disebut dengan “grundnorm”,
“basic norm” atau “fundamental norm” ini merupakan norma yang
tertinggi yang berlakunya tidak bersumber dan tidak berdasar pada
norma yang lebih tinggi lagi, tetapi berlakunya secara “presupposed”,
yaitu ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat. Dikatakan bahwa
norma dasar ini berlakunya bersumber dan tidak berdasar pada norma
yang lebih tinggi lagi, Karena apabila norma dasar itu berlakunya
masih bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lain
maka norma tersebut bukan merupakan norma yang tertinggi.86

3.6. Sifat Norma Hukum


Norma Hukum tersebut mempunyai beberapa sifat yg
membedakannya dengan norma lainnya yang ada di masyarakat,
antara lain:
1. Suatu norma hukum itu bersifat heteronom, dalam arti bahwa
norma hukum itu datangnya dari luar diri kita sendiri. Contoh
dalam hal pembayaran pajak, dimana kewajiban itu daatangnya

86
Ibid.,hlm. 20-22.
74

bukan dari diri kita sendiri tetapi dari negara sehingga kita harus
memenuhi kewajiban tersebut, senang atau tidak senang.
2. Suatu norma hukum itu dapat dilekati dengan sanksi pidana
ataupun sanksi pemaksa secara fisik. Contohnya bila seseorang
melanggar norma hukum, misalnya menghilangkan nyawa orang
lain maka ia akan dituntut dan dipidana.
3. Dalam norma hukum sanksi pidana atau sanksi pemaksa itu
dilaksanakan oleh aparat negara.87

Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, sifat


kaedah hukum, antara lain:
a. Imperatif, yaitu berupa perintah yang secara apriori harus ditaati,
baik berupa suruhan maupun larangan;
b. Fakultatif, yaitu tidak secara apriori mengikat atau wajib
dipatuhi.88

3.7. Struktur Norma Hukum Dalam Aturan Hukum


Dalam membahas mengenai struktur norma maka perlu
memahami teori dari Benyamin Akzin, dimana dikemukakan bahwa
pembentuakn norma-norma hukum publik tersebut berbeda dengan
pembentukan norma-norma hukum privat karena bila dilihat pada
struktur norma maka hukum publik berada diatas hukum privat.
Norma hukum publik pembentukannya harus dilakukan secara lebih
berhati-hati sebab norma hukum publik ini harus dapat memenuhi
kehendak serta keinginan masyarakat. Berbeda halnya dengan norma-
norma hukum Privat yang biasanya selalu sesuai dengan
kehendak/keinginan masyarakat dengan perjanjian-perjanjian yang
bersifat perdata.
Hans Kelsen mengemukakan teori jenjang norma hukum
(stufentheorie) , bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan
berlapis-lapis dalam suatu hierarkhi (tata susunan) dalam arti suatu

87
Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, op.cit., hlm. 25.
88
Ibid.
75

norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada


norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku dan
bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi demikian seterusnya
sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan
bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar ( groundnorm). 89
Hans Nawiasky salah satu murid daari Hans Kelsen
mengembangkan teori gurunya tentang teori jenjang norma dalam
kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky dalam bukunya
Allgemeine Rechtslehre mengemukakan bahwa sesuai dengan Teori
Hans Kelsen suatu norma hukum dari negara manapun selalu
berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, dimana norma yang dibawah
berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi.
Norma yang lebih tinggi berlaku, berdasar, dan bersumber pada
norma yang lebih tinggi lagi sampai pada suatu norma tertinggi yang
disebut norma dasar. Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain
norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari
suatu negara itu juga berkelompok-kelompok.
Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum
dalam suatu negara itu menjadi 4 kelompok besar yang terdiri atas:
Kelompok I Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)

Kelompok II Staatsgrundgesetz (aturan dasar/pokok negara)

Kelompok III Formell Gesetz ( Undang-Undang formal )

Kelompok IV Verordnung & Autonome Satzung ( aturan pelaksana &


aturan otonom )

1. Staatsfundamentalnorm ( Norma Fundamental Negara )


Merupakan norma tertinggi dalam suatu negara yang tidak
dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi pre-
supposed atau ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam
suatu negara dan merupakan suatu norma yang menjadi tempat

89
Maria Farida Indrati Soeprapto, op.cit., hlm. 133.
76

bergantungnya norma-norma hukum di bawahnya. Norma yang


merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-
Undang Dasar suatu negara, termasuk norma pengubahnya.

2. Staatsgrundgesetz ( aturan dasar/pokok negara)


Merupakan aturan-aturan yang masih bersifat pokok dan
merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar
sehingga masih merupakan norma tunggal dan belum disertai
norma sekunder. Merupakan landasan bagi pembentukan UU.
Biasanya diatur hal-hal mengenai pembagian kekuasaan negara
dipuncak pemerintahan, dan selain itu diatur juga hubungan
antara lembaga-lembaga tinggi/tertinggi negara serta diatur
hubungan antara negara dan warga negara. Di Negara Indonesia,
aturan dasar/pokok negara ini tertuang dalam Batang Tubuh
UUD RI Tahun 1945 dan Ketetapan MPR, serta Hukum Dasar
tidak tertulis yang sering disebut Konvensi Ketatanegaraan.

3. Formell Gesetz ( Undang-Undang formal )


Norma-norma dalam suatu undang-undang sudah merupakan
norma hukum yang lebih konkrit dan terinci serta sudah dapat
langsung berlaku di dalam masyarakat. Norma hukum disini
tidak hanya berupa norma yang bersifat tunggal tapi sudah dapat
dilekati oleh norma sekunder disamping norma primernya
sehingga dapat mencantumkan norma-norma yang bersifat
sanksi.

4. Verordnung & Autonome Satzung ( Aturan pelaksana & aturan


otonom )
Merupakan peraturan-peraturan yang terletak di bawah undang-
undang yang berfungsi menyelenggarakan ketentuan-ketentuan
dalam Undang-Undang, dimana peraturan pelaksana bersumber

77

dari kewenangan delegasi sedangkan peraturan otonom


bersumber dari kewenangan atribusi.90

Menurut D.W.P Ruiter dalam kepustakaan di eropa


kontinental yang dimaksud peraturan perundang-undangan
mengandung 3 (tiga) unsur :91
1. Norma hukum ( rechtsnorm)
2. Berlaku ke luar (rechtnorm)
3. Bersifat Umum Dalam Arti Luas ( Algemeenheid In Ruime Zin )

Ketiga norma tersebut diuraikan sebagai berikut :


Ad 1. Norma hukum
Sifat norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dapat
berupa :
a. Perintah ( gebod)
b. Larangan (verbod)
c. Pengizinan ( toestemming)
d. Pembebasan ( vrijstelling)

Ad.2 : Norma berlaku ke luar


Ruiter berpendapat bahwa didalam peraturan perundang-undangan
tradisi yang hendak membatasi berlakunya norma hanya bagi mereka
yang tidak termasuk dalam organisasi pemerintahan. Norma hanya
ditujukan kepada rakyat, baik dalam hubungan antar sesama maupun
antara rakyat dan pemerintah. Norma yang mengatur hubungan antar
bagian-bagian organisasi pemerintahan dianggap bukan norma yang
sebenarnya dan hanya dianggap norma organisasi. Oleh karena itu
norma hukum dalam peraturan perundang-undangan selalu disebut
”berlaku ke luar”.

90
Ibid., hlm. 27-35.
91
A Hamid S Attamimi, op.cit., hlm. 314.
78

Ad. 3 : Norma bersifat umum dalam arti luas


Dalam hal ini terdapat perbedaan antara norma yang umum
(algemeen) dan yang individual (individueel), hal ini dilihat dari
addressat (alamat) yang dituju, yaitu ditujukan kepada ”setiap orang”
atau kepada ”orang tertentu”, serta antara norma yang abstrak
(abstract) dan yang konkret (concreet) jika dilihat dari hal yang
diaturnya, apakah mengatur peristiwa-peristiwa yang idak tertentu
atau mengatur peristiwa-peristiwa yang tertentu.

Menurut Ruiter sebuah norma (termasuk norma hukum) mengandung


unsur-unsur berikut :
1. Cara keharusan berperilaku (modus van behoren) disebut
operator norma.
2. Seorang atau kelompok orang adresat (normaadressaat) disebut
subyek norma.
3. Perilaku yang dirumuskan (normgedrag) disebut objek norma.
4. Syarat-syaratnya (normcondities), disebut kondisi norma.
Contoh :
Setiap orang wajib membayar pajak pada akhir tahun.
Penjelasan :
Setiap orang : subyek norma
Wajib : operator norma
Membayar pajak : obyek norma
Pada akhir tahun : kondisi norma

3.8. Metode Perumusan Norma Hukum Dalam Aturan


Hukum
Menurut Pasal 1 angka 1 UU NO.12/2011Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan
“Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah pembuatan
Peraturan Perundang-Undangan yang mencakup tahapan
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan,
dan pengundangan”. Hal ini berarti, setelah dilaluinya proses tersebut

79

maka produk dalam bentuk peraturan perundang-undangan sudah


memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Pada dasarnya, Peraturan
perundang-undangan berisi norma hukum atau kaidah hukum dan
disisi lain pembuatan peraturan tersebut hakikatnya merupakan
perumusan norma hukum ke dalam aturan hukum.
Norma hukum dibedakan atas norma hukum primer atau
norma perilaku, yang lazimnya disebut norma hukum, dan norma
hukum sekunder atau meta norma. Penggolongan Norma hukum
perilaku yang paling umum adalah sebagai berikut:92
a. Perintah, adalah kewajiban umum untuk melakukan sesuatu;
b. Larangan, adalah kewajian umum untuk tidak melakukan sesuatu;
c. Dispensasi, adalah pembolehan khusus untuk tidak melakukan
sesuatu yang secara umum diperintahkan;
d. Izin, adalah pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang
secara umum dilarang.

Norma hukum itulah yang lazimnya terdapat dalam peraturan


perundang-undangan. Disamping kaidah perilaku terdapat
sekelompok norma yang menentukan sesuatu berkenaan dengan
norma perilaku itu sendiri. Inilah yang disebut meta norma, yang
umum terdapat dalam peraturan perundang-undangan antara lain:
a. Norma kewenangan, yang menetapkan oleh siapa dan dengan
melalui prosedur yang mana norma perilaku ditetapkan, dan
bagaimana suatu norma perilaku harus diterapkan jika dalam
suatu kejadian tertentu terdapat ketidakjelaskan.
b. Norma definisi atau penentuan pengertian.
c. Norma sanksi yakni apa yang harus dikenakan jika norma
perintah atau larangan dilanggar.
d. Norma peralihan, yang mempertemukan aturan hukum yang
baru dengan peristiwa hukum atau perbuatan hukum yang terjadi
sebelum ditetapkannya aturan hukum yang baru.

92
Bruggink, J.J.H, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Terjemahan,
Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm.100-101.
80

Berkenaan dengan aturan hukum yang terdiri atas norma


hukum primer dan norma sekunder dapat muncul berbagai variasi.
Pertama, norma primer dan norma seknder dapat dirumuskan secara
terpisah. Kedua, norma primer dan norma sekunder dapat dirumuskan
secara dipertautkan.
Perumusan norma perilaku menggunakan bentuk kata
kerja, yang cukup sering ditemukan adalah:
a. Norma perintah, dinyatakan dengan bantuan kata
“mengharuskan”, “harus”, “berkewajiban”,”wajib”.
b. Norma larangan, dinyatakan dengan bantuan kata “tidak boleh”
atau “dilarang”
c. Norma izin, dinyatakan dengan bantuan kata “boleh”,
“mempunyai hak untuk”, “dapat”, atau “berwenang”.
d. Norma dispensasi, dinyatakan dengan bantuan kata”tidak
berkewajiban untuk” atau “tidak terikat untuk”.

Selain itu, informasi tentang apa yang menurut hukum boleh


atau tidak boleh dilakukan, sering digunakan kalimat-kalimat dalam
modus indikatif, yang sesungguhnya memiliki ati normatif.93
Dengan demikian suatu aturan hukum berisi norma hukum.
Sebagaimana juga dikemukakan Bongenaar, bahwa tiap-tiap aturan,
siapa pun juga yang membuatnya, seharusnya merupakan atau
memuat norma, memerintah sesuatu. Selanjutnya dikemukakan,
bahwa suatu aturan tidak pernah merupakan pernyataan mengenai
fakta-fakta saja.94
Kaitan perumusan norma hukum dengan pembuatan
peraturan perundang-undangan yakni pembuatan peraturan
perundang-undangan merupakan perumusan norma hukum ke dalam

93
Ibid., hlm. 112-116.
94
Karel E.M. Bongenaar, 1992,” Aturan adalah Norma: Beberapa
Aspek Mengenai Sifat Normatif dari Peraturan Perundang-undangan”,
dalam Yuridika, Nomor 1 dan 2 Tahun VII, Januari-April, Surabaya :
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, hlm. 561-624.
81

aturan hukum, sebagaimana dikemukakan oleh A. Hamid S.


Attamimi, bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan pada
hakekatnya pembentukan noma-norma hukum yang berlaku ke luar
dan yang bersifat umum dalam arti luas95. Oleh karena itu, agar
peraturan perundang-undangan mempunyai keberlakuan yuridis,
tentunya prinsip lainnya tidak dapat diabaikan, seperti prinsip hierarki
norma hukum, asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik, asas yang terkandung dalam materi muatan peraturan
perundang-undangan. Dalam Pasal 64 UU NO.12/2011disebutkan
bahwa:
(1) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan
dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan
Perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundang-
undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Undang-Undang ini.
(3) Ketentuan mengenai perubahan terhadap teknik penyusunan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.

3.9. Penutup
Resume
Paparan materi di atas menunjukkan bahwa, terdapat
beberapa peristilahan yang digunakan untuk mata kuliah ini antara
lain Norma, Kaidah, Pedoman, Patokan dan Aturan dimana
keseluruhan istilah tersebut dapat diartikan sebagai segala ukuran
yang digunakan seseorang dalam bertingkah laku ataupun bertindak
di dalam masyarakat. Di Indonesia dikenal beberapa jenis norma
yaitu: Norma Agama, Norma Kesopanan, Norma Kesusilaan dan
Norma Hukum.

95
A Hamid S Attamimi, op.cit., hlm. 314.
82

Selain itu, didiskripsikan juga mengenai Asas hukum tersebut


merupakan jantungnya peraturan hukum. Asas hukum merupakan
landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum.

Latihan
Sebagai akhir dari bagian penutup maka, disediakan soal
latihan bagi mahasiswa agar dikerjakan, untuk mengetahui capaian
pembelajaran. Mahasiswa wajib mengerjakan tugas-tugas latihan
sebagai berikut:
a. Apakah yang dimaksud dengan Norma, Norma Hukum dan
Aturan Hukum?
b. Apakah Norma Hukum sama dengan norma-norma lainnya?
c. Bagaimanakah kaitan antara struktur norma dan struktur
lembaga?
d. Rumuskanlah contoh masing-masing jenis norma hukum yang
ada!

3.10. Bahan Bacaan/Rujukan Pengayaan :


A Hamid S Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara
(Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang
Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu PELITA I- PELITA
IV), Disertasi Doktor UI, Jakarta.
Assidiqie, Jimly,2014, Perihal Undang-Undang, Jakarta : Konstitusi
Press.
Astawa, I Gede Panca dan Na'a Suprin, 2008Dinamika Hukum dan
llmu Perundang-undangan, Bandung : Alumni.
Bongenaar, Karel E.M., 1992,” Aturan adalah Norma: Beberapa
Aspk Mengenai Sifat Normatif dari Peraturan Perundang-
undangan”, dalam Yuridika, Nomor 1 dan 2 Tahun VII,
Januari-April, Surabaya : Fakultas Hukum Universitas
Airlangga.
Bruggink, J.J.H, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Terjemahan,
83

Bandung : Citra Aditya Bakti.


Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti.
Sinaga,Budiman N.P.D., 2005, Ilmu Pengetahuan Perundang-
Undangan, Yogyakarta : UII Press.
Soeprapto, Maria Farida Indrati, 2007, llmu Perundang-Undangan 1:
Jenis, Fungsl dan MateriMuatan, Yogyakarta : Penerbit
Kanisius.
Soimin, 2010, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Negara Di Indonesia, Yogyakarta : UII Press,.
Trijono, Rachmat, 2013, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-
undangan, Jakarta: Papas Sinar Sinanti.
Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan Yang Baik- GagasanPembentukan Undang-Undang
Berkelanjutan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

84

PERTEMUAN IV :
TUTORIAL II
NORMA HUKUM DALAM PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN

4.1. Pendahuluan

Dalam pertemuan keempat ini, mahasiswa berdiskusi


mengenai pengertian norma hukum, asas hukum, norma hukum dan
aturan hukum, jenis norma hukum, sifat norma hukum, struktur
norma hukum ke dalam aturan hukum, dan metode perumusan norma
ke dalam aturan hukum. Setelah melakukan tutorial ini, mahasiswa
diharapkan memahami pengertian norma hukum, asas hukum, norma
hukum dan aturan hukum, jenis norma hukum, sifat norma hukum,
struktur norma hukum ke dalam aturan hukum, dan metode
perumusan norma ke dalam aturan hukum. Materi tutorial kedua ini
sangat penting sebagai landasan untuk memahami bahan kajian
pembelanjaran pada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Karena itu
dalam tutorial ini mahasiswa harus mendiskusikan materi-materi
tersebut diatas yang terdapat dalam penyajian materi Study Task.

4.2. Penyajian Materi: Study Task dan Problem Task

4.2.1. Study Task

Berkaitan dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen


mengemukakan teori mengenai jenjang norma hukum yang dikenal
dengan Stufentheorie dimana dikemukakan bahwa norma hukum
tersebut berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki
(tata susunan). Lain halnya menurut Adolf Merkl yang
mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua
wajah (das Doppelte Rechtsantlitz). Perkembangan selanjutnya
dilakukan oleh Hans Nawiasky berpendapat bahwa selain norma itu
berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara
85

juga berkelompok-kelompok. Kelompok tersebut selalu ada


walaupun istilahnya berbeda-beda. Demikian pula berkaitan dengan
istilah yang digunakan untuk menyebut norma hukum yang tertinggi
yakni Staatsfundamentalnorm, Staatsgrundnorm, Grundnorm, Norma
Pertama, Pokok Kaidah Fundamentil Negara dan Norma
Fundamental Negara, Melihat uraian tersebut tentunya bisa terlihat
adanya perbedaan dan persamaan antara teori-teori tersebut dan dapat
dilihat cerminan dari hierarki norma hukum tersebut dengan sistem
norma hukum yang berlaku di Indonesia.

4.2.2. Problem Task

Anda adalah seorang anggota DPR yang akan menyusun


Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kewarganegaraan, yakni
RUU yang mengatur tentang siapa itu Warga Negara Indonesia,
bagaimana cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia dan cara
kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Dari keseluruhan jenis norma
hukum yang ada tidak semua dapat dipakai untuk merumuskan norma
kedalam aturan hukum yang berupa pasal-pasal dalam RUU
Kewarganegaraan tersebut. Tugas saudara sebagai anggota DPR
dalam menyusun RUU tersebut wajib merumuskan norma mengenai
siapa WNI, cara memperoleh dan cara kehilangan Kewarganegaraan
Indonesia.

4.3. Penutup

Dalam penyajian materi: Study Task tersebut di atas


dideskripsikan adanya berbagai teori berkaitan dengan teori tentang
jenjang norma dan berbagai istilah yang digunakan. Selain itu
dipaparkan pengelompokkan jenis norma hukum yang ada serta
mampu mencari perbedaan dan persamaan antara teori-teori tersebut
dan dapat dilihat cerminan dari hierarki norma hukum tersebut
dengan sistem norma hukum yang berlaku di Indonesia. Sedangkan
dalam Problem Task mahasiswa harus berusaha merumuskan jenis
86

norma ke dalam aturan hukum.


Pada akhir tutorial, mahasiswa wajib menyetor laporan
kegiatan tutorial, yang mendeskripsikan secara rinci seluruh kegiatan
dalam tutorial tersebut, yaitu siapa pemimpin diskusi (discussion
leader) dan pencatat (note taker), siapa yang aktif, dan alokasi waktu
selama tutorial. Laporan tutorial wajib dikumpulkan pada saat
berakhirnya waktu seluruh kegiatan tutorial.

4.4. Bahan Bacaan/Rujukan Pengayaan

A Hamid S Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik


Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara
(Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang
Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu PELITA I- PELITA
IV), Disertasi Doktor UI, Jakarta.
Assidiqie, Jimly, 2014, Perihal Undang-Undang, Jakarta :
Konstitusi Press.
Bongenaar, Karel E.M., 1992,” Aturan adalah Norma: Beberapa
Aspk Mengenai Sifat Normatif dari Peraturan Perundang-
undangan”, dalam Yuridika, Nomor 1 dan 2 Tahun VII,
Januari-April, Surabaya : Fakultas Hukum Universitas
Airlangga.
J.J.H, Bruggink, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Terjemahan,
Bandung : Citra Aditya Bakti.
Panca Astawa, 2008, I Gede dan Na'a Suprin, Dinamika Hukum dan
llmu Perundang-undangan, Bandung : Alumni.
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya
Bakti.
Sinaga,Budiman N.P.D., 2005, Ilmu Pengetahuan Perundang-
Undangan, Yogyakarta : UII Press.
Soeprapto, Maria Farida Indrati, 2007, llmu Perundang-Undangan 1:
Jenis, Fungsl dan MateriMuatan, Yogyakarta : Penerbit
Kanisius.

87

Soimin, 2010, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan


Negara Di Indonesia, Yogyakarta : UII Press,.
Trijono, Rachmat, 2013, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-
undangan, Jakarta : Papas Sinar Sinanti.
Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan Yang Baik- GagasanPembentukan Undang-Undang
Berkelanjutan, Jakarta : Raja Grafindo Persada.

88

PERTEMUAN V :
PERKULIAHAN KETIGA
SUMBER KEWENANGAN PERUNDANG-UNDANGAN

5.1. Pendahuluan
Mengawali pertemuan pembelajaran mata kuliah ini,
mahasiswa diajak mempelajari mengenai sumber kewenangan
peraturan perundang-undangan, ruang lingkup sumber kewenangan
peraturan perundang-undangan yang meliputi pengertian sumber
kewenangan, kewenangan atribusi, kewenangan delegasi dan
perbedaan sumber kewenangan perundang-undangan dengan sumber
kewenangan pemerintahan. Setelah mempelajari dan mendiskusikan
materi ini, mahasiswa diharapkan memahami pengertian sumber
kewenangan, mampu membedakan kewenangan atribusi, dan
kewenangan delegasi serta dapat memahami perbedaan sumber
kewenangan perundang-undangan dengan sumber kewenangan
pemerintahan

5.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian


Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini,
mahasiswa memahami pengertian sumber kewenangan, kewenangan
atribusi, kewenangan delegasi dan perbedaan sumber kewenangan
perundang-undangan dengan sumber kewenangan pemerintahan.
Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini,
mahasiswa mampu: menjelaskan:
a. Sumber kewenangan.
b. Kewenangan atribusi dan kewenangan delegasi.
c. Perbedaan sumber kewenangan perundang-undangan dengan
sumber kewenangan pemerintahan.

5.3. Pengertian Sumber Kewenangan


Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan suatu
konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi
89

negara.96 Tanpa wewenang badan atau pejabat tata usaha negara tidak
dapat melaksanakan aktivitas atau kegiatan pemerintahan atau
administrasi negara, oleh karena itu pada bagian ini akan menjelaskan
tentang pengertian wewenang, dan sumber wewenang.
Dalam memberikan penjelasan mengenai pengertian
wewenang ini menggunakan pendapat-pendapat dari beberapa
pendapat sarjana yang memberikan pendapat tentang pengertian
wewenang. Uraian selengkapnya adalah sebagai berikut ; Pertama,
Indroharto memberikan pengertian wewenang dalam arti yuridis
dengan mengatakan bahwa wewenang adalah kemampuan yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan
akibat-akibat hukum. Biasanya pengertian wewenang diartikan dalam
arti luas yang lebih bersifat umum yaitu wewenang untuk berbuat
sesuatu.97 Lebih lanjut Indroharto melihat wewenang itu sebagai
kemampuan atau kecakapan atau kesanggupan, dimana kecakapan
atau kesanggupan itu hanya ada atau diberikan oleh peraturan
perundang-undangan. Kemampuan atau kecakapan yang diberikan
oleh peraturan perundang-undangan tersebut menimbulkan akibat
hukum. Kedua, akibat hukum diartikan oleh Abdul Kadir Muhammad
sebagai akibat yang ditimbulkan oleh hukum berupa hak dan
kewajiban.98 Contoh : adanya berbagai produk hukum yang dibuat
oleh badan atau pejabat tata usaha negara dari yang bersifat mengatur
sampai dengan yang bersifat kongkrit. Ketiga P.Nicolai
mendefinisikan wewenang dilihat dari substansi asas legalitas dengan
mengatkan bahwa bevoegdheid is Het Vermogen tot het verrichten

96
Philipus M.Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (
bestuuurbevoegheid ) Pro Justitia, Tahun XVI Nomor 1 Januari 1998, hlm.
90.
97
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara Buku I (Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha
Negara), Sinar Harapan Jakarta, hlm. 68.
98
Abdul Kadir Muhammad, 2001, Hukum Perdata Indonesia, Citra
Aditya Bhakti, Bandung, hlm. 51.
90

van bepaalde rechtshandelingen.99 (Kemampuan untuk melakukan


tinadakan-tindakan hukum tertentu ). Disini P.Nicolai memandang
atau menilai wewenang itu sebagai suatu kemampuan yang diberikan
oleh hukum. Keempat, H.D. Stout, mengatakan bahwa Bevoegdheid
is een begrip wit het bestuurlijke organisatierecht, wat kan worden
omschreven als het geheel van regels dat betrekkingen heft op de
verkrijging en uitofening van bestuursrechtelijke bevoegdheden door
publiek rectelijke rechtssubjecten in het bestuurs rechtelijke
rechtsverker.100 (terjemahan bebas : wewenang adalah pengertian
yang berasal dari hukum organisasai pemerintahan, yang dapat
dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan
perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang pemerintahan oleh
subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik ). Kelima,
Jadi Stout melihat wewenang itu sebagai tindakan yang dilakukan
dalam hukum organisasi pemerintahan. Keenam, Juanda memberikan
definisi wewenang dipandang dari segi hubungan kewenangan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah dengan
mengatakan bahwa wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan
sesuatu tindakan hukum publik.101 Misalnya wewenang menerbitkan
izin dari badan atau pejabat tata usaha negara,disini juanda melihat
wewenang sebagai kekuasaan. Ketujuh, Prajudi Atmosudirdjo
memberikan pengertian wewenang dilihat dari segi kompetensi suatu
badan administrasi, dengan mengatakan bahwa wewenang adalah
kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan hukum public.102 Jadi
wewenang hanya meliputi atau hanya mengenai sesuatu onderdil
tertentu saja.
Berdasarkan pengertian-pengertian sebagaimana

99
P.Nicolai, 1994, Bestuursrechat, Amsterdam, hlm. 4.
100
HD. Stout, 1994, De Betekenissen Van der Wet, WEJ. Tjeenk
Willink, Zwolle, hlm. 102.
101
Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah ,Alumni, Bandung,
hlm. 265.
102
Prajudi Atmosudirdjo, 1988, Hukum Administrasi Negara, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hlm. 76.
91

dikemukakan di atas, Indroharto, P.Nikolai dan H.D.Stout


memandang wewenang sebagai kemampuan sedangkan Juanda dan
Prajudi Atmosudirdjo memandang wewenang sebagai kekuasaan.
Wewenang dalam penerapannya sering disamakan dengan
kewenangan terdapat perbedaaan yang nyata. Perbedaan tersebut
nampak dalam pendapat dibawah ini :
1. Menurut F.A.M. Stroink dan J.E.Steenbeek, mengatakan bahwa
Het begrip bevoegdheid is dan ook een kernbegrip in het staats-
en administratief recht.103 (Terjemahan bebas : kewenangan
sebagai konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum
administrasi negara).
2. P.Nicolai memberikan definisi kewenangan adalah :
Het Vermogen tot het verrichten van bepaalde
rechtshandelingen ( handeingen die op rechtsgevolgen onstaan
of teniet gaan ) Een recht houdt in de ( rechtens gegeven )
vrijheid om een bepaalde feitelijke handelingen te verrichten van
een handeling door een ander. Een plict impliceert een
veerplictig om een bepaalde handeling te verrichten of na
laten.104
(Terjemahan bebas : kewenangan adalah kemampuan untuk
melakukan tindakan hukum tertentu yaitu tindakan-tindakan
yang dimaksud untuk menimbulkan akibat hukum dan mencakup
mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum tertentu. Hak
berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan
tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan
tindakan tertentu, sedangkan kewajiban menuntut keharusan
untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu )
3. Prajudi Atmosudirdjo memberikan definisi kewenangan sebagai
kekuasaan formal, yaitu kekuasaan terhadap segolongan orang-
orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang

103
Ridwan, HR., 2006, Hukum Administrasi Negara, Jakarta : Raja
Grafindo Persada, h. 71-72.
104
P.Nicolai, loc.cit.
92

pemerintahan tertentu. Kekuasaan ( authority gezag ) dan di


dalam kewenangan terdapat beberapa wewenang, sedangkan
wewenang(competence, bevoegdheid ) hanya meliputi salah satu
dari kewenangan tersebut.105 Jadi kewenangan lebih luas dari
wewenang dalam kewenangan ada kekuasaan dalam
kewenangan lahirlah wewenang.

Berdasarkan pengertian kewenangan sebagaimana


dikemukakan diatas, dapatlah dikatakan kewenangan meliputi hak
dan kewajiban, sedangkan wewenang hanya meliputi hak saja, atau
dengan kata lain kewenangan lebih luas daripada wewenang.
Mengenai perbedaan wewenang dengan kekuasaan ini, dipertegas
oleh Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama
dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak
untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus
berarti hak dan kewajiban.106 Pendapat senada dikemukakan
P.Nikolai, bahwa kewenangan adalah :Kemampuan untuk melakukan
tindakan hukum tertentu (yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan
untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul
dan lenyapnya akibat hukum). Hak berisi kebebasan untuk melakukan
atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain
untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat
keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan
tertentu.107
Prajudi Atmosudirjo memberikan penjelasan tentang
perbedaan antara wewenang dengan kekusaaan tersebut, dengan
mengatakan bahwa kekusaaan sama dengan kewenangan, yang
meliputi beberapa kewenangan di bidang pemerintahan misalnya
kekuasaan legislative dan kekuasaan eksekutif, sedangkan wewenang
105
Prajudi Atmosudirdjo, loc.cit.
106
Bagir Manan, 2000, Wewenang Provins, Kabupaten dan Kota
dalam rangka otonomi Daerah, Makalah pada Seminar Nasional, Fakultas
Hukum Unpad Bandung, 13 Mei 2000, h. 1-2.
107
Ridwan HR, op.cit., 101-102.
93

hanya meliputi salah satu urusan pemerintah atau meliputi wewenang


eksekutif saja.108 Firmansyah Arifin menyatakan wewenang
merupakan wujud nyata dari kekuasaan, sementara itu kekuasaan
adalah kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain
sedemikian rupa, sehingga tingkah laku terakhir menjadi sesuai
dengan dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.109
Dari beberapa pendapat diatas terdapat beberapa perbedaan
antara lain Bagir Manan dan Firmansyah Arifin menyatakan bahwa
kekuasaan hanya meliputi hak saja, sedangkan Prajudi Atmosudirjo
dan P.Nikolai menyatakan bahwa kekuasaan meliputi hak dan
kewajiban. Selain itu Bagir Manan mengatakan bahwa wewenang
meliputi hak dan kewajiban (lebih luas) dari pada kekuasaan yang
hanya meliputi hak saja, sedangkan oleh Prajudi Atmosudirjo
dikatakan bahwa wewenang lebih sempit daripada kekuasaan.

5.4. Kewenangan Atribusi dan Kewenangan Delegasi


Sumber kewenangan dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan pembentukan peraturan perundang-undangan
dibedakan sebagaimana dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi,
Bagir Manan dan I.C. van der Vlies terdiri atas kewenangan atribusi
dan kewenangan delegasi.
Cara memperoleh kewenang dalampembentukan peraturan
perundang-undangan menurut A Hamid S Attamimi dibedakan atas
kewenangan atribusi dan kewenangan delegasi. Pemahaman terkait
dengan kewenangan tersebut antara lain :
1. Kewenangan atribusi adalah pencitaan kewenangan (baru) oleh
konstitusi/grondwet atau oleh pembentuk wet yang diberikan
kepada suatu organ negara, baik yang sudahada ataupun yang
dibentuk baru untuk itu.

108
Prajudi Atmosudirjo, op.cit.
109
Firmansyah Arifin, 2005, Lembaga Negara Dan Sengketa
Kewenangan Lembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional
dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, h. 16.
94

2. Kewenangan delegasi adalah penyerahan kewenangan untuk


membentuk peraturan perundang-undangan dari delegans (
pemegang kewenangan asal yang memberi delegasi) kepada
delegataris ( yang menerima delegasi ) atas tanggung jawab
sendiri.110

Atribusi dan delegasi kewenangan menurut Bagir Manan


dibedakan atas :
1. Atribusi terdapat apabila UUD atau UU (dalam arti formal)
memberikan kepada suatu badan dengan kekuasaan sendiri dan
tanggung jawab sendiri (mandiri) wewenang membuat /
membentuk peraturan perundang-undangan.
2. Delegasi terdapat apabila suatu badan yang mempunyai
wewenang atributif (wewenang secara mandiri membuat
peraturan perundang-undangan) menyerahkan kepada badan
lainnya wewenang untukmembentuk peraturan perundang-
undangan atas tanggung jawab sendiri.111

Pemahaman akan pengertian atribusi dan delegasi menurut


I.C. van der Vlies adalah sebagai berikut :
1. Atribusi adalah penciptaaan kewenangan dan pemberiannya
kepada suatu organ.
2. Delegasi dipahami orang sebagai pelimpahan suatu kewenangan
sehingga pihak yang mendapatkan kewenangan (delegataris)
akan melaksanakannya dengan tanggung jawab sendiri.112

110
A Hamid S Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden RI
Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi Doktor
Universitas Indonesia, h. 347.
111
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah
Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung : Alumni, h. 209-210.
112
I.C. Van der Vlies, 2005, Buku Pegangan Perancang Peraturan
Perundang-undangan (Handboek Wetgeving), Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
RI, h. 78-79.
95

Menurut kamus istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-


Indonesia, kata atribusi (Belanda = attributie) mengandung arti :
Pembagian kekuasaan; dalam kata attributtie van rechtsmacht :
pembagian kekuasaan kepada berbagai instansi (absolute competentie
/ kompetensi mutlak ), sebagai lawan dari distributie van rechtsmacht
.Juga membagikan suatu perkara kepada kekuasaan yudikatif atau
kekuasaan eksekutif. Conflicten van attributie, konflik pembagian
kekuasaan.113

Sedangkan kata delegasi ( Belanda = delegatie ) mengandung


arti :
Penyerahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi kepada yang
lebih rendah : penyerahan lebih tinggi kepada yang rendah :
penyerahan yang demikian dianggap tidak dapat dibenarkan selain
dengan atau berdasarkan kekuatan hukum, misalnya Dewan
Perwakilan Daerah Kota Praja memerintahkan kepada Majelis
Walikota dan pembantu Walikota untuk mengadakan peraturan-
peraturan tertentu.114

Berikutnya Mandat ( Belanda = Mandat) mengandung arti:


Mandat pada umumnya : Opdravht, perintah; - imperatief mandaat.
Di dalam pergaulan hukum, baik pemberian kuasa (lastgeving)
maupun kuasa penuh (volmach ).115

Dalam kaitannya dengan pembentukan peraturan perundang-


undangan pengertian atribusi wewenang pembentukan peraturan
memuat unsur-unsur :
1. Penciptaan wewenang ( baru ) untuk membuat peraturan
perundang-undangan ;

113
MR.NE.Algra, Mr.H.R.W.Gokkel Saleh Adiwinata, Boerhanoedin
St.Batoeh, 1983, Kamus Istilah Hukum Fockema Andrea Belanda, Bandung
: Bina Cipta, h. 36.
114
Ibid, h. 91, 286.
115
Ibid.
96

2. Wewenang tersebut diberikan oleh pembentuk Undang-undang


Dasar atau pembentuk Undang-Undang kepada suatu lembaga ;
3. Lembaga yang menerima wewenang bertanggungjawab atas
pelaksanaan wewenang tersebut.

Tabel 1.
Perbedaan Atribusi, Delegasi Dan Mandat dalam Black฀ s Law
Dictionary
Atribusi Delegasi Mandat
attribution rights Constitutional law. The An order
constitute one aspect of principle (based on the from an
the moral rights separation-of-power appellate
recognized primarily in concept) limiting court
civil law countries.116 congress฀ s ability to directing a
transfer its legislative power lower court
(terjemahan bebas : to another governmental to take a
Pengaturan tentang branch, eps. the executive specified
atribusi adalah branch. delegtion is action.118
pemberian kewenangan permitted only if congress
oleh konstitusi dalam prescribes an intelligible (terjemahan
dalam bentuk principle to guide an bebas :
kewenangan asli executive agency in making pemberian
dalamnegara yang policy117 perintah dari
menganut sistem hukum atasan
civil law) ( terjemahan bebas : Konsep kepada
inti dalam delegasi adalah bawahan
pelimpahan kekuasaan dari untuk
legisltaif kepada eksekutif melakukan
membentuk peraturan suatu
perundang-undangan tindakan

Bryan A. Garner, 2009, Black฀ s Law Dictionary ( Ninth Edition) ,


116

Thomson Reuters Registered In US Patent And Trademark Office, Printed in


the United States of America, h.1 48.
117
Ibid, h. 491.
118
Ibid, h. 1047.
97

misalnya : eksekutif hanya tertentu)


berhak untuk melaksanakan
kewenangan delegasi
apabila legislatif
melimpahkan kewenangan
delegasi agar eksekutif dapat
melaksanakan kewenangan
delegasi)

Dari pengertian atribusi, delegasi dan mandat menurut A.


Hamid S. Attamimi, Bagir Manan, I.C. Van Der Vlies dalam Kamus
Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia dan Black฀ s
Law Dictionarydapat ditarik kesimpulan bahwa pada atribusi
diciptakan suatu wewenang, pada delegasi diserahkan suatu
wewenang sedangkan pada mandat tidak ada penciptaan ataupun
penyerahan wewenang.
Dalam kaitannya dengan pembentukan peraturan perundang-
undangan pengertian atribusi terkait dengan pembentukan peraturan
perundang-undangan memuat unsur-unsur:
1. Penciptaan wewenang (baru) untuk membuat peraturan
perundang-undangan;
2. Wewenang tersebut diberikan oleh pembentuk Undang-undang
Dasar atau pembentuk undang-undang kepada suatu lembaga ;
3. Lembaga yang menerima wewenang bertanggung jawab atas
pelaksanaan wewenang tersebut.

Sedangkan pengertian delegasi pembentukan peraturan


perundang-undangan memuat unsur-unsur berikut ini:
1. Penyerahan wewenang untuk membuat peraturan perundang-
undangan ;
2. Wewenang itu diserahkan oleh pemegang wewenang atributif
(delegans) kepada lembaga lainnya ( delegataris) ;
3. Lembaga yang menerima wewenang (delegataris) bertanggung
jawaban atas pelaksanaan wewenang tersebut.
98

Antara atribusi dan delegasi terdapat persamaaan dan


perbedaan. Persamaannya adalah lembaga yang menerima wewenang
bertanggungjawaban atas pelaksanaan wewenang itu. Perbedaannya
sebagai berikut :
1. Pada delegasi selalu didahului oleh adanya atribusi, sedangkan
dalam atribusi tidak ada yang mendahului ;
2. Pada atribusi terjadi pembentukan wewenang sedangkan pada
delegasi terjadi penyerahan wewenang.

Kekuasaan untuk membuat aturan dalam kehidupan


bernegara dikonstruksikan berasal dari rakyat yang berdaulat yang
dilembagakan dalam organisasi negara di lembaga legislatif sebagai
lembaga perwakilan rakyat misalnya kekuasaan membentuk undang-
undang merupakan kekuasaan negara yang dipegang oleh badan
legislatif.119 Sedangkan cabang kekuasaan pemerintahan negara
sebagai organ pelaksana atau eksekutif hanya menjalankan peraturan-
peraturan yang ditetapkan oleh cabang legislative. Sementara itu
cabang kekuasaan kehakiman atau yudikatif bertindak sebagai pihak
yang menegakkan peraturan-peraturan itu melalui proses peradilan.
Norma-norma hukum yang bersifat dasar biasanya
dituangkan dalam undang-undang dasar atau hukum yang tertinggi di
bawah undang-undang dasar ada undang-undang sebagai bentuk
peraturan yang ditetapkan oleh legislatif. Namun karena materi yang
diatur dalam undang-undang itu hanya terbatas pada soal-soal umum,
diperlukan pula bentuk-bentuk peraturan yang lebih rendah sebagai
peraturan pelaksana undang-undang yang bersangkutan. Lagi pula
sebagai produk lembaga politik seringkali undang-undang hanya
dapat menampung materi-materi kebijakan yang bersifat umum.

119
Made Subawa, 2003, Implikasi Yuridis Pengalihan Kekuasaan
Membentuk Undang-Undang terhadap Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia Pasca perubahan UUD 1945, Disertasi Program Pasca Sarjana
Universitas Airlangga, Surabaya, h. 1.
99

Forum legislatif bukanlah forum teknis melainkan forum politik,


A.V.Dicey menyetujui adanya pendelegasian kewenangan ;
The cumbersomeness and prolixity of English statute is due in no
small measure to futile endeavoursof Parliament to work out the
details of large legislative changes… the substance no less than the
form of law would,it is probable, be a good deal improved if the
executive government of England could, ike that of France , by
means of decrees, ordinances, or proclamations having yhe force of
law, work out the detailed application of the general principles
embodied in the acts of the legislature [(1898),1959,pp52-53].120

(terjemahan bebasnya : Kesulitan dalam penggunaan dan bertele-


telenya Undang-undang di Inggris adalah dikarenakan tidak adanya
ukuran untuk melakukan usaha yang sia-sia dari parlemen untuk
menyelesaikan pekerjaan perubahan legislative yang besar secara
terperinci… persoalan bentuk hukum yang diinginkan, dimana hal
tersebut memungkinkan, akan merupakan peningkatan persetujuan
yang baik apabila pemerintah eksekutif di Inggris bisa seperti di
Prancis, yang diartikan sebagai dekrit, peraturan, atau proklamasi
yang memiliki tekanan akan hukum, menyelesaikan rincian
penerapan dari prinsip secara umum yang diwujudkan dalam undang-
undang dari badan pembuat undang-undang . [(1898),1959,pp52-53].)

Dalam kaitannya dengan adanya pendelegasian kewenangan


mengatur dimana sumber kewenangan pokoknya ada ditangan
legislator maka pemberian kewenangan untuk mengatur lebih lanjut
itu kepada lembaga eksekutif atau lembaga pelaksana haruslah
dinyatakan dengan tegas dalam undang-undang yang akan
dilaksanakan hal inilah biasanya dinamakan legislative delegation of
rule making power.121 Berdasarkan prinsip pendelegasian ini norma
hukum yang bersifat pelaksanaan dianggap tidak sah apabila dibentuk
tanpa di dasarkan atas delegasi kewenangan dari peraturan
perundang-undangan. Suatu delegasi harus memenuhi syarat-syarat

120
Hilaire Barnett, op.cit, hlm. 485.
121
Jimly Asshiddiqie II, op.cit, hlm. 215.
100

sebagai berikut :
1. delegasi harus difinitif, artinya delegans tidak dapat lagi
menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan itu;
2. delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada
ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan;
3. delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan
hirarkhi kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;
4. kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans
berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan
wewenang tersebut;
5. peraturan kebijakan (beleidsregel) artinya delegans
memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan
wewenang tersebut.122

Dalam kaitannya dengan kewenangan delegasi Jimly


Asshiddiqie proses pemberian kewenangan oleh pembentuk undang-
undang kepada pelaksana undang-undang untuk mengatur hal-hal
tertentu lebih lanjut dalam bentuk peraturan pelaksana yang lebih
rendah inilah yang disebut proses pendelegasian wewenang legislasi
(legislative delegation of rule making).123 H.W.R.Wade dalam
bukunya Administrative Law, pembentuk undang-undang berwenang
mendelegasikan pengaturan lebih lanjut secara terperinci dengan
menyediakan pedoman yang merupakan dasar pengaturan yang
permanen, ”Parliament is obliged to delegate very extensive law-
making power over matters of detail and to content itself with

122
I Gusti Ngurah Wairocana, 2008, Implementasi Good Governance
Dalam Legislasi Daerah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar tetap
Dalam Bidang Hukum Administrasi Fakultas Hukum Universitas Udayana,
hlm. 26.
123
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi
Press Jakarta, hlm. 147.
101

providing a framework of more or less permanent statutes”.124


Hilaire Barnett dalam bukunya Constitutional And
Administrative Law, produk hukum delegasi peraturan perundang-
undangan (delegated legislation) di Inggris dibentuk oleh :
a.) Ministers, in the form of rules and regulations which
supplement the provisions of an act of Parliement ;
(Menteri-menteri, dalam bentuk peraturan menteri
sebagaimana tambahan ketentuannya berasal dari undang-
undang parlemen);
b.) Local authorities, in the form by laws to regulate their
locality according to particular localized needs ;
(Pejabat lokal, dalam bentuk peraturan tingkat daerah untuk
mengatur kebutuhan masyarakat local);
c.) Public bodies, in the form of rules and regulations. Such
bodies include the British airways authority (section 9 of the
airport authorities act 1975); British Railways Board
(section 67 of the transport act 1962 ); and the Nature
Conservancy Council (section 37 of the Wildlife and
Countryside Act1981 ) ;
(Badan-badan umum, dalam bentuk peraturan badan hukum
publik.Badan semacam ini termasuk kewenangan
(berdasarkan section 9 dari Undang-Undang Kewenangan
Airport 1975 ) Dewan Pengurus Sistem Perkereta –apian
Inggris (berdasarkan section 67 Undang-Undang Transport
1962 ) ;danPerhimpunan Konservasi Alam( berdasarkan
section 37 dari Undang-Undang Margasatwa dan Daerah
Pedalaman 1981 );
d.) Judges, in the form of rules of court made under the authority
of section 75 of the Supreme Court Act 1981 ;
(Hakim-hakim dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung
yang dibuat di bawah kewenangan dari bagiam 75 tentang

124
H.W.R.Wade, 1982, Administrative Law, Fifth Edition ELBS
English Language Book Society oxford University Press, hlm. 733.
102

Undang-Undang pengadilan tinggi);


e.) Government departments, in the from of codes of practice,
circulars and guidance. These do not contain legal rules, but
have a substantive effect on the manner in which the legal
rules operate ;
(Departemen-departemen Pemerintahan, dalam bentuk
peraturan-peraturan dalam praktek, perpputaran atau sirkulasi
dan panduannya dalam hal ini, tidak terkandung peraturan
legal, tetapi memiliki efek substantif pada sikap / perbuatan
di dalam pelaksanaan peraturan legal);
f.) House of Common, in the form resolutions of the house. The
provisional collection of texas act 1968 makes possible the
lawfull imposition and collection of taxation between the
budget speech and the enactment of the finance bill in
july/August. Whereas normal resolutions of the hause do not
have the force of law, Resolutions enabling the impositions
and collections of taxation-being authorised by statute have
legal effect. 125
(Badan perwakilan Rakyat dalam bentuk keputusan-
keputusan / resolusi dari badan perwakilan rakyat .Undang-
Undang Sementara Pemungutan Pajak 1968 membuat
kemungkinan pembebanan yang sah menurut hukum dan
pemungutan pajak diantara Rancangan Undang-Undang
Keuangan di bulan Juli / Agustus. Dimana Peraturan Badan
perwakilan tidak memiliki tekanan hukum, peraturan-
pertauran memungkinkan pembebanan yang sah menurut
hukum dan pemungutan pajak disetujui oleh undang-undang
memiliki efek legal).

Menurut P.P.Craig dalam bukunya yang berjudul


Administrative Law, regulasi merupakan salah satu bentuk dari

125
Hilaire Barnett, 2003, Constitusional & Administrative Law,
Fourth Edition Cavendish Publishing, hlm. 484-485.
103

delegasi peraturan perundang-undangan di samping apa yang disebut


“There is a bewildering variety of terminology through which to
express delegated legislation Orders in Council, rules, regulations,
bylaws dan direction”.126 P.P.Craig menyatakan regulasi dan
peraturan dipergunakan dalam situasi yang sangat beragam untuk
menunjukkan kekuasaan subordinasi pembentukan hukum,
”Regulations and rules are ued in a wide variety of situations to
denote subordinate law-making power”127. Pada prinsipnya P.P.Craig
menyatakan pembentukan regulasi biasanya kekuasaan berada di
tangan menteri, tetapi untuk regulasi dan peraturan atau perintah
dapat juga dikeluarkan oleh perwakilan pemerintah dan badan yang
berwenang di daerah “The Power will be normally be conferred upon
a minister of the crown, but regulations, rules or orders may also be
passed by agencies and local authorities”.128
Dalam kaitannya dengan delegasi A.Hamid S.Attamimi
mengemukakan syarat-syarat pendelegasian, dengan contoh delegasi
pengaturan dari Undang-Undang kepada Peraturan Pemerintah, yang
diringkas sebagai berikut :
1. Asas delegasi yang tidak dibenarkan dan delegasi yang
diharapkan. Hal-hal dalam garis besar atau dalam pokok-
pokok dan mengenai perwujudan dasar dari asas negara
berdasar atas hukum, tidak dibenarkan didelegasikan atau
pengaturannya harus dilakukan oleh undang-undang
sendiri ;
2. Asas delegates non potest delegari ( delegate potestas
non potest delegari) berarti penerima delegasi tidak
berwenang mendelegasikan lagi tanpa mendapat
persetujuan pemberi delegasi;
3. Asas “Menjalankan” Undang-Undang .Delegasi suatu

126
P.P.Craig, 1994, Administrative Law, London Sweet and Maxwell,
hlm. 246.
127
Ibid, hlm. 247
128
Ibid
104

undang-undang kepada peraturan pemerintah adalah


terbatas, yaitu hanya untuk maksud “menjalankan
undang-undang sebagaimana mestinya” tersebut saja ;
4. Pendelegasian dari undang-undang yang menyerahkan
sepenuhnya kepada Peraturan Pemerintah untuk
mengatur tanpa pembentukan norma dalam Undang-
Undang sendiri disebut “delegasi blanko”, adalah tidak
dapat dibenarkan.129

Misalnya peraturan pelaksana dibentuk tidak atas perintah


Undang-undang atau Peraturan Daerah, maka Peraturan pelaksana
tersebut tidak dapat dibentuk. Demikian pula dengan bentuk-bentuk
peraturan yang lain, jika tidak didasarkan atas perintah peraturan
yang lebih tinggi maka peraturan itu dapat dianggap tidak memiliki
dasar yang meligitasikan pembentukannya. Dengan demikian
kewenangan lembaga pelaksana untuk membentuk peraturan
pelaksana undang-undang sebagai ketentuan mengenai pendelegasian
kewenangan mengatur dari pembentuk undang-undang kepada
lembaga pelaksana undang-undang atau kepada pemerintah.
Pendelegasian kewenangan untuk mengatur harus menyebut
dengan tegas mengenai ruang lingkup materi yang hendak diatur dan
jenis peraturan perundang-undangan tempat penuangan materi yang
didelegasikan pengaturannya lebih lanjut. Kewenangan untuk
menetapkan peraturan yang mengikat umum jika oleh undang-undang
dan Perda sebagai primary legislation memang diperintahkan atau
diberi kewenangan untuk itu. Jika materi yang didelegasikan sebagian
sudah diatur pokok-pokoknya dalam peraturan perundang-undangan
yang mendelegasaikan, materi tersebut harus diatur hanya dalam
peraturan perundang-undangan yang mendelegasikan dan tidak boleh
di delegasikan lebih lanjut ke peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah. Dapat disimpulkan syarat dalam pendelegasian

129
A.Hamid.S.Attamimi, op.cit., hlm. 348-351.
105

kewenangan mengatur adalah :


1. Adanya perintah yang tegas mengenai subyek lembaga
pelaksana yang diberi delegasi kewenangan dan bentuk
pengaturan pelaksana untuk menuangkan materi
pengaturan yang didelegasikan ;
2. Adanya perintah yang tegas mengenai bentuk peraturan
pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang
didelegasikan ;
3. Adanya perintah yang tegas mengenai pendelegasian
kewenangan dari undang-undang atau lembaga
pembentuk undang-undang kepada lembaga penerima
delegasi kewenangan, tanpa penyebutan bentuk peraturan
yang mendapat delegasi.

5.5. Perbedaan Sumber Kewenangan Perundang-undangan


dengan Sumber Kewenangan Pemerintahan.
Menurut H.D.Van Wijk dan Willem Konijnenbelt terdapat
tiga model sumber kewenangan yaitu :
1) Attributie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een wet
gever aan een bestuurorgaan ; (atribusi adalah pemberian
wewenang pemerintah dari suatu organ pemerintah oleh
pembuat undang-undang kepada organ pemerintah );
2) Delegatie : overdracht van bevoegdheid van het ene
bestuurorgaan een ander; (delegasi adalah pelimpahan
wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada
organ pemerintahan yang lain;
3) Mandaat zijn bevoegdheid namens hem uittoefenen door een
ander.130 (Terjemahan bebas : mandat terjadi ketika organ
pemerintahan mengijinkan kewenangannya dijalankan oleh organ
lain atas namanya).

130
H.D.Van Wijk & Wilhem Konijnenbelt, 1994, Hoofd Strukken
Van Administratife Recht, Uitgeverij Lemma BV-Utrecht, hlm. 129.
106

Dalam kaitannya dengan sumber kewenangan Philipus M.


Hadjon membagi cara memperoleh wewenang atas dua cara utama
yaitu a) atribusi ; b) delegasi dan mandat.131 Dalam bidang eksekutif
selain dikenal atribusi dan delegasi juga dikenal mandat yang
ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang.
Namun dikaitkan dengan gugatan ke pengadilan tata usaha negara,
mandat tidak ditempatkan secara tersendiri karena penerima mandat
tidak bisa menjadi tergugat di pengadilan tata usaha negara.132
Indroharto menjelaskan, bahwa pada mandat tidak terjadi
pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang satu kepada yang lainya.
Yang terjadi pada mandat adalah wewenang pemerintahan
dilaksanakan oleh mandataris (penerima mandat) atas nama dan
tanggung jawab mandans (pemberi mandat). Dicontohkan oleh
Indroharto hubungan intern antara Menteri dengan Dierjen, dimana
menteri menugaskan kepada Dirjen (mandataris) untuk atas nama
Menteri melakukan suatu tindakan hukum dan mengambil serta
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha tertentu.” Juridis keluar tetap
menterilah yang berwenang karena sebagai Pejabat Tata Usaha
Negara yang bertanggungjawab.133
Dengan demikian mandat yang dikenal di bidang
pemerintahan dan tidak di bidang perundang-undangan, dapat
dirumuskan sebagai penugasan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara kepada bawahannya untuk melaksanakan wewenang
pemerintahan dengan tanggungjawab dan tanggung gugat tetap pada
yang menugaskan. Terkait dengan sumber kewenangan dalam
pandangan Philipus M Hadjon dari segi cara memperoleh kewenang
atas dua cara utama yaitu a) atribusi ; b) delegasi dan kadang-kadang

131
Philipus M.Hadjon I, op.cit, hlm. 91.
132
A.Hamid.S.Attamimi, Peranan...op.cit., hlm.90-96.
133
Indroharto, loc.cit.
107

mandat dapat dipahami bahwa :134


Sumber kewenangan menurut Philipus M. Hadjon adalah
sebagai berikut :
1. Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan (
Pasal 1 angka 6 UU Nomor 5 Tahun 1986 menyebutnya :
wewenang yang ada pada badan atau pejabat tata usaha negara
yang dilawankan dengan wewenang yang dilimpahkan)
2. Delegasi adalah pemindahan/pengalihan suatu kewenangan yang
ada.
3. Mandat tidak ada sama sekali pengakuan kewenangan atau
pengalihtangan kewenangan.135

Sumber kewenangan dalam pembentukan peraturan


perundang-undangan pembentukan peraturan perundang-undangan
dibedakan sebagaimana dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi,
Bagir Manan dan I.C. van Der Vlies terdiri atas kewenangan atribusi
dan kewenangan delegasi.136 Cara memperoleh kewenang menurut
A. Hamid S. Attamimi dibedakan atas kewenangan atribusi dan
kewenangan delegasi. Pemahaman terkait dengan kewenangan
tersebut antara lain :
1. Kewenangan atribusi adalah pencitaan kewenangan (baru) oleh
konstitusi/gronwet atau oleh pembentuk wet yang diberikan
kepada suatu organ negara, baik yang sudahada ataupun yang
dibentuk baru untuk itu.

134
Philipus M.Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (
bestuuurbevoegheid ) Pro Justitia, Tahun XVI Nomor 1 Januari 1998, op.cit,
hlm. 91.
135
Philipus M.Hadjon, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Negara,
Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta, hlm. 130-131.
136
Bagir Manan, Wewenang Provinsi..., op.cit., hlm. 206-214,
A.Hamid.S. Attamimi, 1993, Hukum Tentang Peraturan Perundang-
undangan dan Peraturan Kebijakan, Pidato Purna Bakti Guru Besar Tetap
Universitas Indonesia hlm. 347-352, I.C. van der Vlies, op.cit, hlm. 78-79.
108

2. Kewenangan delegasi adalah penyerahan kewenangan untuk


membentuk peraturan perundang-undangan dari delegans (
pemegang kewenangan asal yang memberi delegasi) kepada
delegataris ( yang menerima delegasi ) atas tanggung jawab
sendiri.137

Atribusi dan delegasi kewenangan menurut Bagir Manan


dibedakan atas :
1. Atribusi terdapat apabila UUD atau UU ( dalam arti formal )
memberikan kepada suatu badan dengan kekuasaan sendiri dan
tanggung jawab sendiri (mandiri) wewenang membuat /
membentuk peraturan perundang-undangan.
2. Delegasi terdapat apabila suatu badan yang mempunyai
wewenang atributif ( wewenang secara mandiri membuat
peraturan perundang-undangan) menyerahkan kepada badan
lainnya wewenang untukmembentuk peraturan perundang-
undangan atas tanggung jawab sendiri.138

Pemahaman akan pengertian atribusi dan delegasi menurut


I.C. van der Vlies sebagai berikut : Atribusi adalah penciptaaan
kewenangan dan pemberiannya kepada suatu organ, sedangkan
delegasi dipahami orang sebagai pelimpahan suatu kewenangan
sehingga pihak yang mendapatkan kewenangan (delegataris) akan
melaksanakannya dengan tanggung jawab sendiri.139
Dalam bidang eksekutif selain dikenal atribusi dan delegasi
juga dikenal mandat yang ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk
memperoleh wewenang. Perbedaan delegasi dan mandat dijelaskan
secara berturut-turut oleh R.J.H.M. Huisman dan Philipus M. Hadjon
sebagai berikut :

137
A. Hamid S. Attamimi , Peranan…op.cit., h. 347.
138
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah
Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni Bandung, h.209-210.
139
I.C. van Der Vlies, op.cit., hlm. 78-79.
109

Tabel 2.
Perbedaan Mandat dan Delegasi menurut R.J.H.M. Huisman
Delegasi Mandat

1. overdracht van bevoegdheid 1. opdracht tot uitoveoning ( perintah


( pelimpahan wewenang ). untuk melaksanakan ).
2.bevoegheid kan door het 2. bevoegheid kan door mandaat gever
oorspronkelijk bevoegde nog incidenteel uitgoefend worden
organ niet incidenteel (kewenangan dapat sewaktu-waktu
uitgoefend worden. dilaksanakan oleh mandans).
(kewenangan tidak dapat
dijalankan secara incidental
oleh organ yang memiliki
wewenang asli).
3.overgang van verant 3. behooud van verantwoordelijkheid
woordelijkheid (terjadi (tidak terjadi peralihan
peralihan tanggungjawab). tanggungjawab).
4.wettelijke basis vereist ( 4.geen wettelijke basis vereist (tidak
harus berdasarkan undang- harus berdasarkan undang-
undang). undang).140

Berdasarkan atas tabel diatas dapat dilihat perbedaan delegasi


dan mandat bahwa delegasi, merupakan pelimpahan wewenang
(overdracht van bevoegdheid); kewenangan tidak dapat dijalankan
secara insidental oleh organ yang memiliki wewenang asli
(bevoegdheid kan door hetoorsprokenlijk bevoegde orgaan niet
incidenteel uitgoefend worden); terjadi peralihan tanggung jawab
(overgang van verantwoordelijkheid); harus berdasarkan UU
(wetelijk basis vereist); harus tertulis (moet schriftelijk). Sedangkan
Mandat menurut Huisman, merupakan perintah untuk melaksanakan
(opdracht tot uitvoering) kewenangan dapat sewaktu-waktu
dilaksanakan oleh mandans (bevoeghdheid kan door mandaatgever

140
R.J.H.M Huisman, 1998, Algemean Bestuursrecht, Een Ineideng,
Kobra Amsterdam, hlm. 7.
110

nog incidenteel uitgeofend worden) tidak terjadi peralihan tanggung


jawab (behooud van verantwoordelijkheid) tidak harus berdasarkan
UU (geen wetelijke basis vereist) dapat tertulis dan dapat pula secara
lisan.
Tabel 3.
Perbedaan Mandat dan Delegasi menurut Philipus M. Hadjon141
Hal Delegasi Mandat
1. prosedur 1. dari satu organ 1. dalam hubungan rutin
pelimpahan. pemerintahan kepada atasan bawahan ; hal
organ lain : dengan biasa, kecuali
peraturan perundang- dilarang secara tegas.
undangan.

2.tanggung jawab 2. tanggungjawab dan 2.tetap pada pemberi


dan tanggung tanggung gugat mandat.
gugat. beralih kepada
delegataris.
3.kemungkinan si 3. tidak dapat 3.setiap saat saat dapat
pemberi menggunakan menggunakan sendiri
menggunakan wewenang itu lagi, wewenang yang
wewenang itu kecuali setelah ada dilimpahkan itu.
lagi. pencabutan dengan
berpegang pada asas
“ contrarius actus”.

141
Philipus M Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi
Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, makalah yang disampaikan
pada orasi Guru Besar Ilmu Hukum FH Unair, Surabaya, tanggal 10 Oktober
1994, hlm. 8.
111

Berdasarkan atas tabel diatas dapat dilihat perbedaan delegasi


dan mandat sebagai berikut : 1) Dari prosedur ; dalam delegasi
terjadi dari satu organ pemerintahan kepada organ lain : dengan
peraturan perundang-undangan, sedangkan mandat terjadi dalam
hubungan rutin atasan bawahan ; hal biasa, kecuali dilarang secara
tegas. 2) Dari tanggung jawab dan tanggung gugat ; dalam delegasi
tanggungjawab dan tanggung gugat beralih kepada delegataris
sedangkan dalam mandat tetap pada pemberi mandat. 3) Dari
kemungkinan si pemberi menggunakan wewenang itu lagi; dalam
delegasi tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi, kecuali setelah
ada pencabutan dengan berpegang pada asas “ contrarius actus”
sedangkan dalam mandat setiap saat dapat menggunakan sendiri
wewenang yang dilimpahkan itu.
Pengaturan secara otentik terkait dengan atribusi, delegasi
dan mandat diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut UUAP)
Masing-masing memiliki perbedaan karakter antara lain:

Tabel 4.
Perbedaan Atribusi, Delegasi dan Mandat dalam Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan
Atribusi Delegasi Mandat
Atribusi adalah Delegasi adalah pelimpahan Mandat adalah
pemberian Kewenangan dari Badan pelimpahan
Kewenangan dan/atau Pejabat Pemerintahan Kewenangan
kepada Badan yang lebih tinggi kepada Badan dari Badan
dan/atau Pejabat dan/atau Pejabat Pemerintahan dan/atau Pejabat
Pemerintahan oleh yang lebih rendah dengan Pemerintahan
Undang-Undang tanggung jawab dan tanggung yang lebih
Dasar Negara gugat beralih sepenuhnya tinggi kepada
Republik Indonesia kepada penerima delegasi. Badan dan/atau
Tahun 1945 atau (Dalam Pasal 1 angka 23) Pejabat
Undang-Undang. Pemerintahan

112

(Dalam Pasal 1 yang lebih


angka 22) rendah dengan
tanggung jawab
dan tanggung
gugat tetap
berada pada
pemberi
mandat. (Dalam
Pasal 1 angka
24)

Berdasarkan tabel di atas terdapat perbedaan atribusi,


delegasi dan mandat. Atribusi merupakan pemberian kewenangan
kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang.
Delegasi adalah pelimpahan kewenangan dari badan dan/atau pejabat
pemerintahan yang lebih tinggi kepada badan dan/atau pejabat
pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan
tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi.
Mandat adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan
tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat.
Dalam Naskah akademik Undang-Undang Administrasi
Pemerintah menunjukkan adanya dasar kewenangan pejabat dengan
menekankan pada adanya implikasi yuridis yaitu terkait dengan
tanggung jawab, tanggung gugat dan kompetensi wewenang
pemerintahan dapat dibedakan kedudukannya menjadi:
a. Original legislator, yaitu MPR sebagai penyusun konstitusi,
Pemerintah bersama-sama DPR dalam penyusunan UU dan
Pemerintah Daerah bersama DPRD dalam menyusun Peraturan
Daerah.
b. Delegated legislator, yaitu misalnya Presiden yang berdasar
ketentuan suatu UU memiliki wewenang mengeluarkan
113

Peraluran Pemeruntah sebagai jabaran UU yang di dalamnya


terdapat penciptaan kewenangan bagi instansi administrasi
negara yang ada dibawahnya, berbeda dalam atribusi, delegasi
sebagai suatu sumber kewenangan, merupakan pelimpahan
wewenang dari suatu instarisi atau pejabat administrasi negara
yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara
atributif kepada instansi atau pejabat administrasi negara yang
lain.
c. Selain kedua bentuk diatas, ada satu bentuk lagi yang juga
dikenal dalam administrasi negara yang terkait dengan
pendistribusian wewenang yaitu mandat. Dalam mandat, suatu
wewenang pemerintahan dilaksanakan oleh seorang mandataris
atas nama dan tanggungjawab dari si pemberi mandat.142

Bertolak dari perbedaan delegasi dan mandat sebagaimana


dipaparkan tersebut oleh Philipus M. Hadjon, R.J.H.M. Huisman
dan ketentuan dalam UUAP dapat dikemukakan perbandingan
sebagai berikut : pendapat Philipus M Hadjon melihat perbedaan
delegasi dan mandat dari prosedur pelimpahan, tanggung jawab dan
tanggung gugat dan kemungkinan pemberi menggunakan wewenang
itu lagi, sedangkan R.J.H.M. Huisman melihat dari sudut pandang
teoritis terkait dengan pelimpahan dan peralihan tanggung jawab.
UUAP membedakan atribusi, delegasi dan mandat dengan
melihat pada sumber kewenangan, tanggung jawab dan tanggung
gugat. Pemaknaan atas pendapat tersebut diatas nampak adanya
perbedaan karakter dalam sumber kewenangan dalam pembentukan
peraturan perundang-undandan dan sumber kewenangan pemerintah.
Sumber kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan terdiri atas atribusi dan delegasi sedangkan pada wewenang
pemerintahan terdiri atas atribusi, delegasi dan mandat. Wewenang
pemerintahan lebih menekankan pada aspek tanggung gugat dan

142
Kementrian Pendayaan Aparatur Negara, 2013, Naskah Akademik
Undang-Undang Administrasi Pemerintah, 2013, Jakarta, hlm. 30.
114

tanggung jawab sebagai implikasi dari pelaksanaan kewenangan.


Seturut dengan itu Indroharto juga memberikan pemahaman bahwa
pemberian atribusi dan delegasi yang menyangkut wewenang
pembuatan peraturan berlaku ketentuan yang berbeda dengan
wewenang pemerintahan.143
Berdasarkan UUAP, pengertian Atribusi, Delegasi, dan
Mandat diatur dalam Pasal 1 angka 22 sampai dengan angka 24.
Atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang; (23). Delegasi adalah
pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih
sepenuhnya kepada penerima delegasi; (24). Mandat adalah
pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada
pada pemberi mandat. Yang selanjutnya diatur Lebih jelas diatur
diatur :
1. Dalam Pasal 12 ayat :

143
Indroharto, 1996, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara Buku I ( Beberapa Pengertian Dasar Hukum
Tata Usaha Negara), Jakarta: Sinar Harapan, h. 68. Perlu juga dipahami
pendapat Suwoto Mulyosudarmo, terkait dengan pembagian beban tanggung
jawab bentuknya ditentukan oleh cara-cara kekuasaan itu diperoleh
(bevoegdheidverkrijging) dibedakan menjadi dua macam yaitu kekuasaan
yang bersifat atributif dan kekuasaan yang bersifat derivatif. Atributif adalah
pembentukan kekuasaan dari kekuasaan yang belum ada menjadi ada.
derivatif (afgeleid) kekuasaan yang diderivasi kepada pihak lain. Dalam
kaitannya dengan siapa yang dianggap sah membentuk kekuasaan dan siapa
yang sah melimpahkan kekuasaan serta bagaimana bentung
pertanggungjawaban dapat dilaksanakan. Bentuk dari derivative ini adalah
delegatsi dan mandat. Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan
Kajian teoritis dan Yuridis terhadap pidato Nawaksara, Jakarta : Gramedia,
hlm. 39-41
115

(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh


Wewenang melalui Atribusi apabila: a.diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan/atau undang-undang; b.merupakan Wewenang
baru atau sebelumnya tidak ada; dan c.Atribusi diberikan
kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh
Wewenang melalui Atribusi, tanggung jawab Kewenangan
berada pada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
bersangkutan ;
(3) Kewenangan Atribusi tidak dapat didelegasikan, kecuali
diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang.

2. Dalam Pasal 13 ayat:


(1) Pendelegasian Kewenangan ditetapkan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh
Wewenang melalui Delegasi apabila: a. diberikan oleh
Badan/Pejabat Pemerintahan kepada Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan lainnya; b. ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan/atau
Peraturan Daerah; dan c. merupakan Wewenang
pelimpahan atau sebelumnya telah ada.
(3) Kewenangan yang didelegasikan kepada Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan tidak dapat didelegasikan lebih lanjut,
kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-
undangan.
(4) Dalam hal ketentuan peraturan perundang-undangan
menentukan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh
Wewenang melalui Delegasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat mensubdelegasikan Tindakan kepada Badan
116

dan/atau Pejabat Pemerintahan lain dengan ketentuan: a.


dituangkan dalam bentuk peraturan sebelum Wewenang
dilaksanakan; b. dilakukan dalam lingkungan pemerintahan
itu sendiri; dan c. paling banyak diberikan kepada Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan 1 (satu) tingkat di bawahnya.
(5) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan
Delegasi dapat menggunakan sendiri Wewenang yang telah
diberikan melalui Delegasi, kecuali ditentukan lain dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Dalam hal pelaksanaan Wewenang berdasarkan Delegasi
menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan
pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
memberikan pendelegasian Kewenangan dapat menarik
kembali Wewenang yang telah didelegasikan.
(7) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh
Wewenang melalui Delegasi, tanggung jawab Kewenangan
berada pada penerima Delegasi.

3. Pasal 14 ayat :
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Mandat
apabila: a. ditugaskan oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan di atasnya; dan b. merupakan pelaksanaan
tugas rutin.
(2) Pejabat yang melaksanakan tugas rutin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. pelaksana
harian yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif
yang berhalangan sementara; dan b. pelaksana tugas yang
melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang
berhalangan tetap.
(3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat memberikan
Mandat kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain
yang menjadi bawahannya, kecuali ditentukan lain dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan.
117

(4) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menerima


Mandat harus menyebutkan atas nama Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan yang memberikan Mandat.

5.6. Penutup
Resume.
Dalam suatu negara hukum yang demokratis sangat
diperlukan suatu kebijakan yang dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan yang mampu memberikan keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum kepada masyarakat. Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan
Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan
Agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan
perundang-undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai
pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan
dengan cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat
semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-
undangan. Pentingnya pengaturan tersebut harus dibarengi juga
pemahaman akan pembentukan peraturan perundang-undangan yang
dimulai dari dasar kewenangan pembentukan peraturan perundang-
undangan.

Latihan.
Sebagai akhir dari bagian penutup maka disediakan soal bagi
mahasiswa agar dikerjakan untuk mengetahui capaian pembelajaran.
Mahasiswa wajib mengerjakan tugas-tugas latihan sebagai berikut:
a. Jelaskan apa yang dimaksud dengan "wewenang" dan
"kewenangan". Dengan cara bagaimana kewenangan
tersebut dapat diperoleh?
b. Apa bedanya sumber kewenangan perundang-undangan
dan sumber kewenangan pemerintahan. Bagiamanakah
118

cara memahami suatu peraturan perundang-undangan


dibentuk berdasarkan kewenangan atribusi dan
kewenangan delegasi?

5.7. Bahan Bacaan/Rujukan Pengayaan


Abdul Kadir Muhamad, 2001, Hukum Perdata Indonesia, Citra
Aditya Bahakti, Bandung.
A Hamid S Attamimi , 1990, Peranan Keputusan Presiden RI Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi Doktor
Universitas Indonesia.
__________________, 1993, Hukum Tentang Peraturan Perundang-
undangan dan Peraturan Kebijakan, PidatoPurna Bakti Guru
Besar Tetap Universitas Indonesia
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum
Tata Negara Indonesia, Alumni Bandung.
Bagir Manan, 2000, Wewenang Provins, Kabupaten dan Kota dalam
rangka otonomi Daerah, Makalah pada seminar nasional,
Fakultas Hukum Unpad Bandung.
Bryan A. Garner, 2009, Black฀ s Law Dictionary ( Ninth Edition) ,
Thomson Reuters Registered In Us Patent And Trademark
Office, Printed in the United States of America
Firmansyah Arifin, 2005, lembaga Negara Dan Sengketa
Kewenangan Lembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum
Nasional dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
HD.Stout, 1994, De Betekenissen Van der Wet, WEJ.Tjeenk Willink,
Zwolle, h 102.
H.W.R.Wade, 1982, Adminittratif Law, Fifth Edition ELBS English
Language Book Society oxford University Press,
Hilaire Barnett, 2003, Constitusional & Administrative Law, Fourth
Edition Cavendish Publishing.
H.D.Van Wijk & Wilhem Konijnenbelt, 1994, Hoofd Strukken Van
Administratife Recht, Uitgeverij Lemma BV-Utrecht.
119

Indroharto, Indroharto, 1996, Usaha Memahami Undang-Undang


Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I ( Beberapa
Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara), Sinar Harapan
Jakarta.
I.C. Van Der Vlies, 2005, Buku Pegangan Perancang Peraturan
Perundang-undangan (Handboek Wetgeving), Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia RI.
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara Buku I (Beberapa Pengertian Dasar
Hukum Tata Usaha Negara ), Sinar Harapan Jakarta.
I Gusti Ngurah Wairocana, 2008, Implementasi Good Governance
Dalam Legislasi Daerah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar tetap Dalam Bidang Hukum Administrasi Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press
Jakarta.
Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah ,Alumni, Bandung.
Kementrian Pendayaan Aparatur Negara, 2013, Naskah Akademik
Undang-Undang Administrasi Pemerintah.
Made Subawa, 2003, Implikasi Yuridis Pengalihan Kekuasaan
Membentuk Undang-Undang terhadap Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia Pasca perubahan UUD 1945, Disertasi
Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
MR.NE.Algra, Mr.H.R.W.Gokkel Saleh Adiwinata, Boerhanoedin
St.Batoeh, 1983, Kamus Istilah Hukum Fockema Andrea
Belanda, Bina Cipta, Bandung.
Philipus M Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi
Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, makalah yang
disampaikan pada orasi Guru Besar Ilmu Hukum FH Unair,
Surabaya

120

Philipus M.Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (


bestuuurbevoegheid ) Pro Justitia, Tahun XVI Nomor 1 Januari
1998.
P.Nicolai, 1994, Bestuursrechat, Amsterdam.
Prajudi Atmosudirdjo, 1988, Hukum Administrasi Negara, Galia
Indonesia, Jakarta.
P.P.Craig, 1994, Administrative Law, London Sweet and Maxwell.
Philipus M.Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (
bestuuurbevoegheid ) Pro Justitia, Tahun XVI Nomor 1 Januari
1998.
Philipus M Hadjon, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Negara,
Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta.
Ridwan, HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo
Persada.
R.J.H.M Huisman, 1998, Algemean Bestuursrecht, Een Ineideng,
Kobra Amsterdam.
Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan Kajian teoritis
dan Yuridis terhadap pidato Nawaksara, Gramedia, Jakarta.

121

PERTEMUAN VI :
TUTORIAL III
SUMBER KEWENANGAN PERUNDANG-UNDANGAN

6.1. Pendahuluan
Dalam pertemuan keenam ini, mahasiswa berdiskusi
mengenai sumber kewenangan perundang-undangan. Setelah
melakukan tutorial ini, mahasiswa diharapkan memahami sumber
kewenangan, kewenangan atribusi, kewenangan delegasi dan
perbedaan sumber kewenangan perundang-undangan dengan sumber
kewenangan pemerintahan. Materi tutorial ketiga ini sangat penting
sebagai landasan untuk memahami bahan kajian pembelajaran pada
pertemuan-pertemuan selanjutnya. Karena itu, dalam tutorial ini
mahasiswa harus mendiskusikan mengenai makna berbagai
peristilahan dan ruang lingkup pembentukan peraturan perundang-
undangan yang terdapat dalam penyajian materi.

6.2. Penyajian Materi: Study Task


Dalam suatu negara hukum yang demokratis sangat
diperlukan suatu kebijakan yang dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan yang mampu memberikan keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum kepada masyarakat. Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan
Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan
Agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan
perundang-undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai
pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan
dengan cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat
semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-
undangan. Pentingnya pengaturan tersebut harus dibarengi juga
pemahaman akan pembentukan peraturan perundang-undangan yang
122

dimulai dari dasar kewenangan pembentukan peraturan perundang-


undangan. Jelaskan apa yang dimaksud dengan "wewenang" dan
"kewenangan". Dengan cara bagaimana kewenangan tersebut dapat
diperoleh? Apa bedanya sumber kewenangan perundang-undangan
dan sumber kewenangan pemerintahan. Bagiamanakah cara
memahami suatu peraturan perundang-undangan dibentuk
berdasarkan kewenangan atribusi dan kewenangan delegasi?

6.3. Penutup
Dalam penyajian materi: Study Task tersebut di atas
dideskripsikan sumber kewenangan, kewenangan atribusi,
kewenangan delegasi dan perbedaan sumber kewenangan perundang-
undangan dengan sumber kewenangan pemerintahan. Namun makna
dari beberapa istilah tersebut tidak dinyatakan, karena harus
diketemukan oleh mahasiswa di dalam kegiatan tutorial. Selain itu,
dinarasikan juga adanya aspek-aspek yang terdapat dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan. Terhadap hal itu,
mahasiswa berdiskusi untuk menguraikan aspek-aspek tersebut.
Pada akhir tutorial, mahasiswa wajib menyetor laporan
kegiatan tutorial, yang mendeskripsikan secara rinci seluruh kegiatan
dalam tutorial tersebut, yaitu: siapa pemimpin diskusi (discussion
leader) dan pencatat (note taker), siapa yang aktif, dan alokasi waktu
selama tutorial. Laporan tutorial wajib dikumpulkan pada saat
berakhirnya waktu seluruh kegiatan tutorial.

6.4. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan


Lihat Bahan Bacaan pada Pertemuan V perkuliahan III

123

PERTEMUAN VII :
KULIAH KEEMPAT
SEJARAH PERUNDANG-UNDANGAN

7.1. Pendahuluan
Mengawali pertemuan pembelajaran mata kuliah ini,
mahasiswa diajak mempelajari mengenai Sejarah Perundang-
undangan yang meliputi Periode Kolonial, Periode Awal Berlakunya
UUD 1945, Periode Berlakunya Konstitusi RIS, Periode Berlakunya
UUDS 1950, Periode Berlakunya UUD 1945 Era Demokrasi
Terpimpin, Periode Berlakunya UUD 1945 Era Demokrasi Pancasila,
Periode Berlakunya UUD 1945 hasil perubahan. Setelah mempelajari
dan mendiskusikan materi ini, mahasiswa diharapkan memahami
Sejarah Perundang-undangan di Indonesia. Materi perkuliahan pada
pertemuan kesatu ini sangat penting sebagai landasan untuk
memahami bahan kajian pembelajaran pada pertemuan-pertemuan
selanjutnya.

7.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian


Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini,
mahasiswa memahami Sejarah Perundang-undangan dari Periode
Kolonial sampai Periode berlakunya UUDNRI 1945 setelah
perubahan.
Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini,
mahasiswa mampu:
a. Menjelaskan Sejarah Perundang-undangan Periode Kolonial
b. Menjelaskan Sejarah Perundang-undangan Periode Awal
Berlakunya UUD 1945
c. Menjelaskan Sejarah Perundang-undangan Periode
Berlakunya Konstitusi RIS
d. Menjelaskan Sejarah Perundang-undangan Periode
Berlakunya UUDS 1950

124

e. Menjelaskan Sejarah Perundang-undangan Periode


Berlakunya UUD 1945 Era Demokrasi Terpimpin
f. Menjelaskan Sejarah Perundang-undangan Periode
Berlakunya UUD 1945 Era Demokrasi Pancasila
g. Menjelaskan Sejarah Perundang-undangan Periode
Berlakunya UUD 1945 hasil perubahan.

7.3. Periode Kolonial


Pada masa kolonial Belanda ada berbagai bentuk peraturan
perundangan yang berlaku di Wilayah Hindia Belanda baik yang
dibentuk di Negeri Belanda sendiri maupun yang dibentuk oleh
Pemerintah Hindia Belanda yaitu :
1. Wet (sama dengan undang-undang)
2. Algemene Maatregel van Bestuur ( Peraturan Pemerintah)
3. Ordonansi (dibuat oleh Pemeerintah Hindia Belanda dan
Dewan Perwakilan Rakyat Hindia Belanda)
4. Verordening (dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda sendiri)

7.4. Periode Awal Berlakunya UUD 1945


UUD 1945 tidak memuat ketentuan tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Pada tanggal 10 Oktober 1945,
dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1945 tentang
Pengumuman dan Mulai Berlakunya Undang-Undang dan Peraturan
Pemerintah (selanjutnya disebut PP 1/1945). PP 1/1945 memuat
ketentuan sebagai berikut:
1. Segala Undang-Undang dan Peraturan Presiden diumumkan
oleh Presiden dan ditandatangani oleh Sekretaris Negara
(Pasal 1).
2. Untuk sementara waktu pengumuman dilakukan dengan
menempelkan Undang-Undang atau Peraturan Presiden itu di
papan pengumuman di muka Gedung Komite Nasional Pusat
(Pasal 2).

125

3. Djikalau perlu, supaja penduduk selekas mungkin


mengetahuinja maka pengumuman itu disiarkan dengan
perantara surat kabar, radio atau penjiaran lainnja (Pasal 3).
4. Undang-Undang dan Peraturan Presiden mulai berlaku pada
hari diumumkan, ketjuali djika dalam Undang Undang atau
Peraturan Presiden itu ditetapkan lain (Pasal 4).
Catatan: kutipan tersebut masih menggunakan ejaan lama.

Berdasarkan ketentuan tersebut dan judul PP 1/1945, maka


PP 1/1945 mengatur pengumuman dan mulai berlakunya Undang-
Undang dan Peraturan Pemerintah, tidak mengatur soal pembentukan
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah.
Pada saat yang sama, 10 Oktober 1945, dikeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945 Tentang Badan-Badan
dan Peraturan Pemerintah Dulu ([selanjutnya disebut PP 2/1945). PP
2/1945 memuat ketentuan:
1. Segala Badan-Badan Negara dan Peraturan-Peraturan jang
ada sampai berdirinja Negara Republik Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan jang baru
menurut Undang-Undang Dasar masih berlaku asal sadja
tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tersebut
(Pasal 1).
2. Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945
(Pasal 2).
(Catatan: kutipan tersebut masih menggunakan ejaan lama.)

Pada 16 Oktober 1945, dikeluarkan Maklumat Wakil


Presiden No. X (tertanggal 16 Oktober 1945). Maklumat ini
memutuskan:
1. Bahwa KNP, sebelum terbentuk MPR dan DPR diserahi
kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar
daripada Haluan Negara, serta

126

2. Menyetujui bahwa pekerjaan KNP sehari-hari berhubung


dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh BP yang dipilih
diantara mereka dan yang bertanggung jawab kepada KNP.

Selain ada bentuk Maklumat Wakil Presiden, dalam praktiknya


terdapat pula Maklumat Pemerintah, seperti Maklumat Pemerintah
tanggal 14 Nopember, yang berisi penggeseran sistem pemerintahan dari
dari presidensiil ke parlementer.
Penjelasan Maklumat Wakil Presiden No. X (tertanggal 20
Oktober 1945) memuat penjelasan bahwa menurut putusan ini maka BP
berkewajiban dan berhak:
a. Turut menetapkan garis-garis besar daripada Haluan
Negara. Ini berarti, bahwa BP, bekerjasama dengan
Presiden, menetapkan garis-garis besar daripada Haluan
Negara.
b. Menetapkan bersama-sama dengan Presiden, Undang-
Undang yang boleh mengenai segala macam urusan
Pemerintahan.
Berdasarkan paparan tersebut, selain UUD, maka ada
peraturan perundang-undangan lainnya, yakni Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Maklumat Pemerintah, dan
Maklumat Presiden. Saat itu, untuk “garis-garis besar daripada haluan
Negara” belum jelas bentuk hukumnya. Barulah setelah Dekrit
Presiden mendapatkan bentuk hukum berupa Ketetapan MPRS, dan
kemudian Ketetapan MPR. Paparan tersebut juga menjunjukkan
belum adanya peraturan yang mengatur pembentukan peraturan
perundang-undangan.
Pada saat terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat
(RIS), maka Negara Republik Indonesia merupakan negara bagian
dari Negara RIS. Pada saat itu, tepatnya pada tanggal 2 Pebruari 1950
di Yogyakarta oleh Presiden Republik Indonesia (Pemangku Jabatan
Sementara) Assaat dengan persetujuan Badan Pekerja Komite
Nasional Pusat menetapkan Undang-Undang Republik Indonesia
127

Nomor 1 Tahun 1950 tentang Jenis dan Bentuk Peraturan Yang


Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat (selanjutnya disebut UU 1/1950).
UU 1/1950 mencabut Peraturan Pemerintah No. 1 tertanggal 10
Oktober 1945 (PP 1/1945).
UU 1/1950 di dalamnya mengatur tentang:
1. Bab I Jenis. Bab ini memuat ketentuan:
(1) Djenis Peraturan-Peraturan Pemerintah Pusat ialah:
a. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang.
b. Peraturan Pemerintah.
c. Peraturan Menteri (Pasal 1).
(2) Tingkat kekuatan peraturan-peraturan Pemerintah
Pusat ialah menurut urutannya pada pasal 1 (Pasal 2).
2. Bab II Pembentukan Undang-Undang. Bab ini memuat:
(1) Memajukan RUU (Pasal 3 dan Pasal 6).
(2) Memperbincangkan RUU (Pasal 4).
(3) Putusan pesetujuan tentang RUU (Pasal 5 dan Pasal
7).
(4) Pengundangan (Pasal 8)
3. Persetujuan DPR (setuju atau tidak setuju) atas Peraturan
Pemerintah Pengganti UU (Pasal 9).
4. Bab III Pengundangan dan Pengumuman Peraturan-
Peraturan Pemerintah Pusat. Bab ini memuat formulir
pengumuman UU (Pasal 11), formulir pengundangan PP
(Pasal 12), dan formulir pengundangan Peraturan Menteri
(Pasal 13).
5. Bab IV Berlakunya Peraturan-Peraturan Pemerintah Pusat.
Bab ini memuat ketentuan:
(1) Semua Peraturan-Peratuan Pemerintah Pusat mulai
berlaku untuk seluruh daerah Negara Republik
Indonesia, kecuali jika dalam Peraturan-Peraturan itu
ditetapkan lain.

128

(2) Semua Peraturan-Peratuan Pemerintah Pusat mulai


berlaku pada hari diundangkannya, kecuali jika dalam
Peraturan-Peraturan itu ditetapkan hari lain (Pasal
14).

Paparan di atas menunjukkan UU 1/1950 telah mengatur


tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, mulai dari
pengajuan rancangan, pembahasan, persetujuan (pengesahan), dan
pengundangan, termasuk mulai berlakunya. Juga mengatur tentang
jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, sekalipun sebatas
peraturan-peraturan tingkat pusat.

7.5. Periode Berlakunya Konstitusi RIS (27 Agustus 1949-17


Agustus 1950)
Pasal 143 Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi
RIS) memuat ketentuan sebagai berikut:
(1) UU federal mengadakan aturan-aturan tentang
mengeluarkan, mengumumkan, dan mulai berlakunya UU
federal dan peraturan-peraturan pemerintah.
(2) Pengumuman, terjadi menurut bentuk UU, adalah syarat
tunggal untuk kekuatan mengikat.

Menindaklanjuti ketentuan tersebut, pada 17 Januari 1950


dikeluarkan Undang-Undang Darurat RIS Nomor 2 Tahun 1950
tentang Penerbitan Lembaran Negara RIS dan Berita Negara RIS
tentang Mengeluarkan, Mengumumkan dan Mulai Berlakunya UU
Federal dan Peraturan Pemerintah (selanjutnya disebut UU Drt. RIS
2/1950). Pasal 3 UU Drt. RIS 2/1950 memuat ketentuan:
1. Dalam selembar Lembaran Negara tersendiri dimuat
sebagai pengumuman tiap-tiap undang-undang federal dan
tiap-tiap peraturan Pemerintah.
2. Dalam Berita Negara dimuat peraturan mengenai hal-hal
yang dengan undang-undang federal atau dengan
129

peraturan Pemerintah diserahkan kepada alat perlengkapan


Republik Indonesia Serikat lain, dan juga surat-surat lain
yang harus ataupun dianggap perlu atau berguna disiarkan
dalam Berita Negara.

Paparan tersebut juga menjunjukkan belum adanya peraturan


yang mengatur pembentukan peraturan perundang-undangan.

7.6. Periode Berlakunya UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5 Juli


1959)
Pasal 100 Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950
(UUDS 1950) memuat ketentuan:
1. UU mengadakan aturan-aturan tentang membentuk,
mengundangkan, dan mulai berlakunya UU dan peraturan-
peraturan pemerintah.
2. Pengundangan, terjadi dalam bentukmenurut UU, adalah
syarat tunggal untuk kekuatan mengikat.
Ketentuan ayat (1) Pasal 100 UUDS 1950, selama berlakunya
UUD tsb., belum dapat dilaksanakan, yaitu membentuk UU tentang
membentuk, mengundangkan, dan mulai berlakunya UU dan
peraturan-peraturan pemerintah.Berdasarkan aturan peralihan Pasal
142 UUDS 1950, UU Federal Nomor 2 Tahun 1950 masih tetap
berlaku. Namun, ini hanya soal mengundangkan dan mulai
berlakunya saja.

7.7. Periode Berlakunya UUD 1945 Era Demokrasi Terpimpin


(5 Juli 1959- 1966)
Kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Dalam UUD 1945 tidak ada ketentuan tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan, khususnya undang-undang.
Surat Presiden kepada Ketua DPR Nomor 2262/HK/1959,
tertanggal 20 Agustus 1959, dikeluarkan jenis-jenis peraturan selain

130

yang telah disebutkan dalam UUD 1945, yakni:


1. Penetapan Presiden.
2. Peraturan Presiden.
a. Peraturan Presiden berdasarkan Pasal 4 ayat (1)
UUD 1945; dan
b. Peraturan Presiden untuk melaksanakan Penetapan
Presiden.
3. Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan Peraturan
Presiden.
4. Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri.

Menurut Pasal 5 ayat (2) UUD 1945, Presiden menetapkan


peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya. Artinya: (1) Peraturan Pemerintah merupakan
jenis peraturan yang disebutkan dalam UUD 1945; dan (2) Peraturan
Pemerintah itu untuk menjalankan undang-undang sebagaimana
mestinya. Dengan demikian, ada ketidaksesuaian antara Peraturan
Pemerintah yang ada dalam UUD 1945 dengan Peraturan Pemerintah
yang ada dalam Surat Presiden kepada Ketua DPR Nomor
2262/HK/1959.
Paparan tersebut juga menunjukkan belum adanya peraturan
yang mengatur pembentukan peraturan perundang-undangan.

7.8. Periode Berlakunya UUD 1945 Era Demokrasi Pancasila


(1966-1998)
Peralihan kekuasaan kepresidenan berdasarkan Supersemar.
Dalam UUD 1945 tidak ada ketentuan tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan, khususnya undang-undang.
Peraturan di bawah UUD 1945 yang mengatur soal peraturan
perundang-undangan adalah:
1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
Republik Indonesia No.XX/MPRS/1966 tentang
Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum
131

Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan


Republik Indonesia (selanjutnya disebut Tap MPRS
XX/1966).
2. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
1970 tentang Tata-Tjara Mempersiapkan Rantjangan
Undang-Undang dan Rantjangan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia (selanjutnya disebut Inpres 15/1970).

Pertama, Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966 ditetapkan


dengan dasar pertimbangan dan dasar hukum sebagai berikut:
Menimbang: a. Bahwa tuntutan suara hati nurani Rakyat
mengenai pelaksanaan Undang-Undang
Dasar 1945 secara murni dan konsekuen
adalah tuntutan Rakyat, pemegang
kedaulatan dalam negara
b. Bahwa untuk terwujudnya kepastian
dan keserasian hukum, serta kesatuan tafsiran
dan pengertian mengenai Pancasila dan
pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945
perlu adanya perincian dan penegasan
mengenai sumber tertib hukum dan tata
urutan peraturan perundangan Republik
Indonesia.
c. Bahwa Memorandum DPR-GR tertanggal 9
Juni 1966, yang telah diterima secara bulat
oleh DPR-GR, memuat perincian dan
penegasan termaksud sebagai hasil
peninjauan kembali dan penyempurnaan dan
Memorandum MPRS tanggal 12 Mei 1961
No. 1168/U/MPRS/61 mengenai "Penentuan
Tata Urutan Perundang-undangan Republik
Indonesia".
Mengingat: 1. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat (2);
132

2. Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966 tanggal


21 Juni 1966;
3. Keputusan MPRS No 1/MPRS/1966 pasal 1
dan pasal 27.
Mendengar: Permusyawaratan dalam rapat-rapat MPRS dari
tanggal 20 Juni 1966 sampai dengan 5 Juli
1966.

Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966, yang ditetapkan di Jakarta


pada tanggal 5 Juli 1966, memutuskan sebagai berikut:
1. Menerima baik isi Memorandum DPR-GR tertanggal 9 Juni
1966, khusus mengenai Sumber Tertib Hukum Republik
Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik
Indonesia (Pasal 1).
2. Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan Republik Indonesia tersebut pada pasal 1 berlaku
bagi pelaksanaan Undang- Undang-Dasar 1945 secara murni
dan konsekuen (Pasal 2).
3. Isi Memorandum DPR-GR tertanggal 9 Juni 1966
sebagaimana dimaksud pada pasal 1 dilampirkan pada
Ketetapan ini (Pasal 3).

Mengenai “Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia” dalam


Lampiran disebutkan:
1. Pancasila: Sumber dari segala sumber hukum.
2. Sumber dari tertib hukum sesuatu Negara atau yang biasa
disebut sebagai"sumber dari segala sumber hukum" adalah
pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-
cita moral yang meliputi suasana kejiwaan dan watak dari
Rakyat Negara yang bersangkutan.
3. Sumber dari tertib hukum Republik Indonesia adalah
pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-
cita mengenai kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa,
133

peri-kemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian nasional dan


mondial, cita-cita politik mengenai sifat bentuk dan tujuan
Negara, cita-cita moral mengenai kehidupan kemasyarakatan
dan keagamaan sebagai pengejawantahan daripada Budi
Nurani Manusia.
4. Pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-
cita moral luhur yang meliputi suasana kejiwaan serta watak
dari bangsa Indonesia itu pada 18 Agustus 1945 telah
dimurnikan dan dipadatkan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan atas nama Rakyat Indonesia, menjadi Dasar
Negara Republik Indonesia, yakni Pancasila:
KetuhananYang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
dan Keadilan Sosial.

Mengenai “Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik


Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945” dalam Lampiran
disebutkan bahwa:
1. Bentuk-bentuk Peraturan Perundangan Republik Indonesia
menurut Undang-Undang Dasar 1945 ialah sebagai berikut:
- Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945,
- Ketetapan MPR,
- Undang-undang,
- PeraturanPemerintah Pengganti Undang-undang,
- Peraturan Pemerintah,
- Keputusan Presiden,
- Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya seperti:
- Peraturan Menteri,
- Instruksi Menteri,
- Dan lain-lainnya.
2. Sesuai dengan sistim konstitusi seperti yang dijelaskan
dalam Penjelasana utentik Undang-Undang Dasar 1945,
134

bentuk peraturan-perundangan yang tertinggi, yang menjadi


dasar dan sumber bagi semua peraturan-perundangan
bawahan dalam Negara.
3. Sesuai pula dengan prinsip Negara hukum, maka setiap
peraturan perundangan harusber dasar dan bersumber dengan
tegas pada peraturan perundangan yang berlaku, yang lebih
tinggi tingkatnya.

Selanjutnya dalam Lampiran Tap MPRS No. XX/MPRS/1966


dijelaskan masing-masing bentuk peraturan perundang-undangan,
yakni:
1. Undang-Undang Dasar.
Ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam pasal-pasal
Undang- Undang Dasar adalah ketentuan-ketentuan yang
tertinggi tingkatnya yang pelaksanaannya dilakukan dengan
Ketetapan MPR, Undang- undang atau KeputusanPresiden.
2. Ketetapan MPR
a) Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam
bidang legislatif dilaksanakan dengan Undang-undang.
b) Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam
bidang eksekutif dilaksanakan dengan Keputusan Presiden.
3. Undang-undang.
a). Undang-undang adalah untuk melaksanakan Undang-
Undang Dasar atau Ketetapan MPR.
b). Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden
berhak menetapkan peraturan-peraturan sebagai
pengganti Undang- undang.
(1) Peraturan Pemerintah itu harus mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam
persidangan yang berikut.
(2) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan
Pemerintah itu harus dicabut.

135

4. Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah adalah memuat aturan-aturan
umum untuk melaksanakan Undang-undang.
5. Keputusan Presiden.
Keputusan Presiden berisi keputusan yang bersifat
khusus (einmalig) adalah untuk melaksanakan
ketentuan Undang-Undang Dasar yang bersangkutan,
Ketetapan MPR dalam bidang eksekutif atau peraturan
Pemerintah.
6. Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya.
Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti:
Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lainnya,
harus dengan tegas berdasar dan bersumber pada
peraturan perundangan yang lebih tinggi.

Kedua, Inpres 15/1970, ditetapkan di Djakarta pada tanggal 29


Agustus 1970, berdasarkan pertimbangan (Menimbang), bahwa untuk
mentjiptakan tertib hukum dan peningkatan koordinasi, integrasi dan
sinkronisasi penjelenggaraan tugas Pemerintahan, dianggap perlu
meniadakan tata-tjara mempersiapkan Rantjangan Undang-
undangdan Rantjangan Peraturan Pemerintah. Adapun dasar hukum
(Mengingat) ditetapkan Inpres 15/1970 adalah: 1. Pasal 4 ajat (1) dan
pasal 17 Undang-undang Dasar 1945; dan 2. Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 183 tahun 1968.
Inpres 15/1970 menginstruksikan kepada : 1. Semua Menteri,
2. Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen.Untuk
memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut dibawah ini sebagai
pedoman dalam pelaksanaan tugas mempersiapkan Rantjangan
Undang-undang dan Rantjangan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia. Adapun ketentuan-ketentuan yang dimaksud adalah:
1. Masing-masing Departemen dan Lembaga dapat
mengambil prakarsa untuk mempersiapkan Rantjangan
Undang-undang danRantjangan Peraturan Pemerintah,
136

sepandjang jang menjangkut bidang tugasnja (Pasal 1 ayat


(1)).
2. Prakarsa tersebut dengan pendjelasan pokok-pokok materi
sertaurgensinja supaja terlebih dulu dilaporkan kepada
Presiden sebelumdilaksanakan persiapan-persiapan
penjusunannja (Pasal 1 ayat (2)).
3. Dengan persetudjuan Presiden, Menteri jang
bersangkutanmelakukan langkah-langkah seperlunja untuk
menjusun Rantjangan Undang-undang/Rantjangan
Peraturan Pemerintah jang penjusunannja dapat
diselenggarakan dengan mengadakan suatu Panitya (Pasal
2 ayat (1)).
4. Panitya tersebut ajat (1) Pasal ini dapat berbentuk suatu
Panitya Interdepartemen atau suatu Panitya intern di
lingkungan Departemen/Lembaga jang bersangkutan,
sesuai dengan petundjuk Presiden (Pasal 2 ayat (2)).
5. Rantjangan Undang-undang dan Rantjangan Peraturan
Pemerintahsebagai hatsil Panitya tersebut pada Pasal 2
Instruksi Presiden ini,sebelum diadjukan kepada Presiden,
harus disampaikan/diedarkanterlebih dahulu kepada :
1.Para Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah jang erat
hubungannja dengan materi jang diatur dalam Rantjangan
jangbersangkutan, untuk mendapat tanggapan dan
pertimbangan. 2.Menteri Kehakiman untuk memperoleh
tanggapan seperlunjadari segi hukum. 3.Sekretaris Kabinet
untuk persiapan penjelesaian Rantjangan tersebut
selandjutnja (Pasal 3 ayat (1)).
6. Tanggapan dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
ajat (1) Pasal ini dalam waktu jang sesingkat-singkatnja
harus disampaikan oleh para Menteri dan Pimpinan
Lembaga Pemerintah kepada Departemen/Lembaga jang
menjiapkan Rantjangan Undang-undang dan Rantjangan
Peratupan Pemerintah jang bersangkutan (Pasal 3 ayat (2)).
137

7. Untuk mengolah tanggapan dan pertimbangan jang


diadjukan oleh masing-masing Departemen dan Lembaga
Pemerintah tersebut ajat (2) Pasal 3 Instruksi Presiden ini,
Departemen/Lembaga Pemerintah jang menjiapkan
Rantjangan Undang-undang dan Rantjangan Peraturan
Pemerintah tersebut dapat mengadakan pertemuan-
pertemuan konsultasi, dan koordinasi dengan Departemen
dan Lembaga Pemerintah jangbersangkutan (Pasal 4).
8. Hatsil terachir sebagai kebulatan pendapat atas materi
sesuatu Rantjangan Undang-undang dan Rantjangan
Peraturan Pemerintah, disampaikan kepada Presiden
disertai pendjelasan-pendjelasan oleh Menteri/Pimpinan
Lembaga jang bersangkutan, tentang pokok-pokok materi
dari Rantjangan serta proses penggarapannja (Pasal 5).
9. Bentuk suatu Rantjangan Undang-undang dan Rantjangan
Peraturan Pemerintah adalah sebagai tertjantum dalam
Lampiran I dan II Instruksi Presiden ini (Pasal 6).
10. Instruksi Presiden ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkannja (29 Agustus 1970) (Pasal 7).
Catatan: kutipan ketentuan-ketentuan tersebut masih
mengunakan ejaan lama.

Inpres 15/1970 hanya mengatur sebagian kecil soal


pembentukan peraturan perundang-undangan, yakni menyangkut
“mempersiapkan Rantjangan Undang-undang dan Rantjangan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia”, atau penyusunan
Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah.
Jadi, tidak mencakup perencanaan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangannya.

7.9. Periode Berlakunya UUD 1945 Hasil Perubahan (Era


Reformasi)
Pasal 22 A UUD 1945 UUD 1945 menentukan “Ketentuan
138

lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur


dengan undang-undang.”Ini merupakan hasil perubahan kedua pada
tahun 2000. Undang-undang yang dimaksud kemudian ditetapkan
pada tahun 2004, yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perndang-undangan
(selanjutnya disebut UU 10/2004).
Sebelum UU 10/2004, terdapat beberapa peraturan mengenai
peraturan perundang-undangan, sesuai dengan tahun penetapannya
adalah sebagai berikut:
1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 188
Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan
Rancangan Undang-Undang (selanjutnya disebut Keppres
188/1998), ditetapkan pada tanggal 29 Oktober 1998.
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun
1999 Tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang
undangan dan Bentuk Rancangan Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan
Keputusan Presiden (selanjutnya disebut Keppres 144/
1999), ditetapkan pada tanggal 19 Mei 1999.
3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum
dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan
(selanjutnya disebut Tap MPR III/2000), ditetapkan pada
tanggal 18 Agustus 2000.

UU 10/2004 kemudian diganti dengan Undang-Undang


Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011),
yang diundangkan pada 12 Agustus 2011. Pasal 102 UU
NO.12/2011menentukan pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
139

Republik Indonesia Nomor 4389), dicabut dan dinyatakan tidak


berlaku.
Pertama, Keppres 188/1998 ditetapkan pada tanggal 29
Oktober 1998. Dasar pertimbangan ditetapkannya Keppres 188/1998
adalah bahwa untuk lebih meningkatkan koordinasi dalam
penyelenggaraan tugas pemerintahan pada umumnya dan peningkatan
hasil guna dalam penyimpan Rancangan Undang-undang pada
khususnya, dipandang perlu menyempurnakan kembali tata cara
mempersiapkan Rancangan Undang-undang dan Racangan Peraturan
Pemerintah sebagaimana diarahkan dalam Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1970. Dasar hukum ditetapkannya Keppres 188/1998 adalah
Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945.
Keppres 188/1998 memuat ketentuan mengenai pembentukan
peraturan perundang-undangan, yakni:
1. Prakarsa Penyusunan Rancangan Undang-Undang (Bab I;
Pasal 1-Pasal 8).
2. Panitia Antar Departemen dan Lembaga (Bab II Pasal 9-
Pasal 12).
3. Konsultasi Rancangan Undang-Undang (Bab III; Pasal
13-Pasal 18).
4. Penyampaian Rancangan Undang-Undang Kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (Bab IV Pasal 19-Pasal 20).
5. Tata Cara Pembahasan Rancangan Undang-Undang Yang
Disusun dan Disampaikan Oleh Dewan Perwakilan Rakyat
(Bab V; Pasal 21-Pasal 25).
6. Pengesahan, Pengundangan dan Penyebarluasan Undang-
Undang (Bab VI; Pasal 26).

Kedua, Keppres 144/ 1999 ditetapkan pada tanggal 19 Mei


1999. Dasar pertimbangan ditetapkannya Keppres 144/ 1999 adalah
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 29 Keppres 188/1998,
sedangkan dasar hukum penetapannya adalah Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945.
140

Keppres 144/ 1999 memuat ketentuan mengenai pembentukan


peraturan perundang-undangan, yakni:
1. Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Keputusan
Presiden ini (Pasal 1).
2. Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, berlaku untuk
penyusunan peraturan perundang-undangan tingkat pusat
dan tingkat daerah (Pasal 2).
3. Bentuk Rancangan Undang-Undang adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II Keputusan Presiden ini (ayat
(1) Pasal 3).
4. Bentuk Rancangan Undang-Undang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) meliputi:a. Rancangan Undang-
undang;b. Rancangan Undang-undang Penetapan;c.
Rancangan Undang-undang Pengesahan;d. Rancangan
Undang-undang Perubahan; dan Rancangan Undang-
undang Pencabutan (ayat (2) Pasal 3).
5. Bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang dan Peraturan Pemerintah adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Keputusan
Presiden ini (Pasal 4).
6. Bentuk Rancangan Keputusan Presiden adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Keputusan
Presiden ini (Pasal 5).
7. Bentuk rancangan peraturan perundang-undangan dibawah
Keputusan Presiden, mutatis mutandis dengan bentuk
Rancangan Keputusan Presiden Tersebut (Pasal 6).
8. Bentuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan
Presiden dan peraturan dibawahnya, sama dengan bentuk
rancangan untuk masing-masing jenis peraturan

141

perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam


lampiran Keputusan Presiden ini (Pasal 7).

Ketiga, Tap MPR III/ 2000. Ada beberapa dasar


pertimbangan penetapannya, yakni:
a. bahwa dari pengalaman perjalanan sejarah bangsa dan
dalam menghadapi masa depan yang penuh tantangan,
maka bangsa Indonesia telah sampai kepada kesimpulan
bahwa dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara,
supremasi hukumharuslah dilaksanakan dengan sungguh-
sungguh;
b. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan atas hukum perlu mempertegas sumber hukum
yang merupakan pedoman bagi penyusunan Peraturan
Perundang-undangan Republik Indonesia;
c. bahwa untuk dapat mewujudkan supremasi hukum
perluadanya aturan hukum yang merupakan peraturan
perundang-undangan yang mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai dengan
tata urutannya;
d. bahwa dalam rangka memantapkan perwujudan otonomi
daerah perlu menempatkan peraturan daerah dalam tata
urutan peraturan perundang-undangan;
e. bahwa Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata
Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia
berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966
menimbulkan kerancuan pengertian, sehingga tidak dapat
lagi dijadikan landasan penyusunan peraturan perundang-
undangan;

Adapun dasar hukum penetapannya antara lain adalah: 1. Pasal


1 ayat (2), Pasal 2, dan Pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945;dan 2.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
142

Nomor V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-Produk yang berupa


Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
Republik Indonesia.
Tap MPR III/ 2000 memuat ketentuan mengenai peraturan
perundang-undangan, yakni:
1. Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk
penyusunan peraturan perundang-undangan (ayat (1) Pasal
1 ).
2. Sumber hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan tidak
tertulis (ayat (2) Pasal 1).
3. Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila
sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang MahaEsa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia,
dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat
Indonesia, dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945
(ayat (3) Pasal 1).
4. Tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan
pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya.
Tata urutan peraturan perundang-undangan Republik
Indonesia adalah:
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia;
3. Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perppu);
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden;
7. Peraturan Daerah (Pasal 2 ).

143

5. Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar


tertulis Negara Republik Indonesia, memuat dasar dan garis
besar hukum dalam penyelenggaraan negara (ayat (1) Pasal
3).
6. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia merupakan putusan Majelis Permusyawaratan
Rakyat sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang
ditetapkan dalam sidang-sidang Majelis Permusyawaratan
Rakyat (ayat (2) Pasal 3).
7. Undang-undang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat
bersama Presiden untuk melaksanakan Undang-Undang
Dasar 1945 serta Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia (ayat (3) Pasal 3).
8. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang dibuat oleh
Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,
dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peraturan pemerintah
pengganti undang-undang harus diajukan ke Dewan
Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. b.
Dewan Perwakilan Rakyat dapat menerima atau menolak
peraturan pemerintah pengganti undang-undang dengan
tidak mengadakan perubahan. c. Jika ditolak Dewan
Perwakilan Rakyat, peraturan pemerintah pengganti
undang-undang tersebut harus dicabut (ayat (4) Pasal 3 ).
9. Peraturan pemerintah dibuat oleh Pemerintah untuk
melaksanakan perintah undang-undang (ayat (5)Pasal 3).
10. Keputusan presiden yang bersifat mengatur dibuat oleh
Presiden untuk menjalankan fungsi dan tugasnya berupa
pengaturan pelaksanaan administrasi negara dan
administrasi pemerintahan (ayat (6) Pasal 3).
11. Peraturan daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan
aturan hukum diatasnya dan menampung kondisi khusus
dari daerah yang bersangkutan. a. Peraturan daerah propinsi
dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah propinsi
144

bersama dengan gubernur. b. Peraturan daerah


kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat
daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota. c.
Peraturan desa atau yang setingkat, dibuat oleh badan
perwakilan desa atau yang setingkat, sedangkan tata cara
pembuatan peraturan desa atau yang setingkat diatur oleh
peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan (ayat
(7) Pasal 3).
12. Sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan
ini, maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi
(ayat (1) Pasal 4).
13. Peraturan atau keputusan Mahkamah Agung, Badan
Pemeriksa Keuangan, menteri, Bank Indonesia, badan,
lembaga, atau komisi yang setingkat yangdibentuk oleh
Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
yang termuat dalam tata urutan peraturan perundang-
undangan ini (ayat (2) Pasal 4 ).
14. Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (ayat (1) Pasal
5).
15. Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang. Pengujian
dimaksud bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa
melalui proses peradilan kasasi. Keputusan Mahkamah
Agung mengenai pengujian sebagaimana dimaksud bersifat
mengikat (ayat (2) - ayat (4) Pasal 5).
16. Tata cara pembuatan undang-undang, peraturan
pemerintah, peraturan daerah dan pengujian peraturan
perundang-undangan oleh Mahkamah Agung serta
pengaturan ruang lingkup keputusan presiden diatur lebih
lanjut dengan undang-undang (Pasal 6).
145

17. Dengan ditetapkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan


Rakyat tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan ini, maka Ketetapan MPRS Nomor
XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai
Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan
Peraturan Perundangan Republik Indonesia dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor IX/MPR/1978 tentang Perlunya Penyempurnaan
yang Termaktub dalam Pasal 3 ayat (1) Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
V/MPR/1973 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi
(Pasal 7).

Keempat, UU 10/2004. Ada beberapa dasar pertimbangan


ditetapkannya undang-undang ini, yakni:
a. bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan
merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan
hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila
didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan
standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang
membuat peraturan perundang-undangan;
b. bahwa untuk lebih meningkatkan koordinasi dan
kelancaran proses pembentukan peraturan perundang-
undangan, maka negara Republik Indonesia sebagai negara
yang berdasar atas hukum perlu memiliki peraturan
mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan;
c. bahwa selama ini ketentuanyang berkaitan dengan
pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat
dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang sudah
tidak sesuai lagi dengan hukum ketatanegaraan Republik
Indonesia;

Adapun dasar hukum ditetapkannya UU 10/2004 adalah Pasal


146

20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 22A Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UU 10/2004 memberikan pengertian Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan adalah proses pembuatan Peraturan Perundang-
undangan yang pada dasamya dimulai dari perencanaan, persiapan,
teknikpenyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan,
pengundangan, dan penyebarluasan (Pasal 1 angka 1). UU 10/2004
selain mengatur tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, juga mengatur mengenai prinsip-prinsip pembentukan
peraturan perundang-undangan, serta jenis, hierarki, dan materi
muatan peraturan perundang-undangan, yakni:
1. Bab I memuat prinsip Pancasila merupakan sumber dari
segala sumber hukum (Pasal 2) dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan
hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan (Pasal
3).
2. BAB II memuat Asas Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan Yang Baik (Pasal 5 dan Pasal 6).
3. BAB II memuat Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
undangan (Pasal 7).
4. Bab III memuat Materi Muatan (Pasal 8).
Mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan diatur
mulai dari Bab IV dan bab-bab berikutnya, yakni:
1. Bab IV Perencanaan Penyusunan Undang-Undan.
2. Bab V Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
1. Bagian Kesatu Persiapan Pembentukan Undang-
Undang
2. Bagian Kedua Persiapan Pembentukan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, dan Peraturan Presiden.
3. Bagian Ketiga Persiapan Pembentukan Peraturan
Daerah.

147

3. Bab VI Pembahasan Dan Pengesahan Rancangan Undang-


Undang.
1. Bagian Kesatu Pembahasan Rancangan Undang-
undang di Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Bagian Kedua Pengesahan.
4. Bab VII Pembahasan dan Pengesahan Rancangan
Peraturan Daerah.
1. Bagian Kesatu Pembahasan Rancangan Peraturan
Daerah di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
2. Bagian KeduaPenetapan.
5. Bab VIII Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-
Undangan.
6. Bab IX Pengundangan Dan Penyebarluasan.
1. Bagian KesatuPengundangan.
2. Bagian KeduaPenyebarluasan
7. Bab X Partisipasi Masyarakat.

Pada saat UU 10/2004 mulai berlaku sejumlah undang-undang


dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, yakni:
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Jenis dan
Bentuk Peraturan yang Dikeluarkanoleh Pemerintah Pusat;
b. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-Undang Darurat
tentang Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia
Serikat dan Berita Negara Republik Indonesia Serikat dan
tentang Mengeluarkan, Mengumumkan,dan Mulai
Berlakunya Undang-Undang Federal dan Peraturan
Pemerintah sebagai Undang-Undang Federal (Lembaran
Negara Tahun 1950 Nomor 1), sepanjang yang telah diatur
dalam Undang-Undang ini; dan
c. Peraturan Perundang-undangan lain yang ketentuannya
telah diatur dalam Undang-Undang ini.

148

Pada masa berlakunya UU 10/2004 terdapat sejumlah


Peraturan Presiden, Peraturan Menteri berkenaan dengan
pembentukan peraturan perundang-undangan, yakni:
1. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61
Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyusunan Dan
Pengelolaan Program Legislasi Nasional.
2. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun
2005 TentangTata Cara Mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan
Pemerintah, Dan Rancangan Peraturan Presiden.
3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2007 TentangPengesahan, Pengundangan, Dan
Penyebarluasan Peraturan Perundang-Undangan.
4. Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor M.Hh 01.Pp.01.01 Tahun
2008 Tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademi
Rancangan Peraturan Perundang-Undangan.
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun
2006Tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah.
6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006
Tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.
7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun
2006Tentang Lembaran Daerah dan Berita Daerah.
8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006
Tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme
Penyusunan Peraturan Desa.

Kelima, UU 12/2011. Ada beberapa dasar pertimbangan


undang-undang ini yakni:
a. bahwa untuk mewujudkan Indonesia sebagai Negara
hukum, negara berkewajiban melaksanakan
pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara
149

terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem


hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan
kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas
peraturan perundang-undangan yang baik, perlu dibuat
peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-
undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode
yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua
lembaga yang berwenang membentuk peraturan
perundang-undangan;
c. bahwa dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung
perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
sehingga perlu diganti.

Adapun dasar hukum pembentukan UU NO.12/2011adalah


Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
UU NO.12/2011memberikan pengertian Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan
Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan. Selain mengatur pembentukan peraturan perundang-
undangan, juga mengatur:
1. Prinsip bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber
hukum negara (Bab I, Pasal 2) dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan
hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan (Bab
I, Pasal 3).
150

2. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Bab


II).
3. Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan Peraturan Perundang-
Undangan (Bab III).

Adapun pembentukan peraturan perundang-undangan


mendapat pengaturan yang lebih rinci dalam Bab IV dan bab-bab
berikutnya, yakni:
1. Perencanaan Peraturan Perundang-Undangan, meliputi 6
bagian: Perencanaan Undang-Undang; Perencanaan
Peraturan Pemerintah; Perencanaan Peraturan
Presiden;Perencanaan Peraturan Daerah Provinsi;
Perencanaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota; dan
Perencanaan Peraturan Perundang-undangan Lainnya(Bab
IV).
2. Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, meliputi 6
bagian: Penyusunan Undang-Undang;Penyusunan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Penyusunan Peraturan Pemerintah; Penyusunan Peraturan
Presiden; Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi; dan
Penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Bab V).
3. Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan (Bab
VI).
4. Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Undang-Undang,
meliputi 2 bagian:Pembahasan Rancangan Undang-
Undang danPengesahan Rancangan Undang-Undang (Bab
VII).
5. Pembahasan dan Penetapan Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, meliputi 4
bagian:Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi;Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota;Penetapan Rancangan Peraturan Daerah

151

Provinsi; danPenetapan Rancangan Peraturan Daerah


Kabupaten/Kota (Bab VIII).
6. Pengundangan (Bab IX).
7. Penyebarluasan (dalam UU 10/2004 dimasukkan sebagai
salah satu tahapan pembentukan peraturan perundang-
undangan, namun dalam UU NO.12/2011tidaklah
demikian), meliputi 3 bagian:Penyebarluasan Prolegnas,
Rancangan Undang-Undang,dan Undang-
Undang;Penyebarluasan Prolegda, Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi atauPeraturan Daerah Kabupaten/Kota,
dan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota; dan Naskah yang Disebarluaskan (Bab
X)
8. BAB XI PARTISIPASI MASYARAKAT.

Selain itu dalam UU NO.12/2011diatur juga mengenai


perancang, peneliti, dan tenaga ahli dalam setiap tahapan
pembentukan peraturan perundang-undangan (Bab XII Ketentuan
Lain-Lain), yakni:
1. Setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan mengikutsertakan Perancang Peraturan
Perundang-undangan (Pasal 98).
2. Selain Perancang Peraturan Perundang-undangan, tahapan
pembentukan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi,
dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota mengikutsertakan
peneliti dan tenaga ahli (Pasal 99).
Pada masa ini, Menteri Dalam Negeri menetapkan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah (PMDN 1/2014). PMDN 1/2014 juga
mencabut dan menyatakan tidak berlaku:
1. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2001
tentang Pengawasan Represif Kebijakan Daerah yang

152

mengatur mengenai Peraturan dan Keputusan Dewan


Perwakilan Rakyat Daerah; dan
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Pasal 115
PMDN 1/2014).

7.10. Penutup
Resume.
Sejarah perkembangan pengaturan pembentukan peraturan
perundang-undangan menunjukkan sejumlah perbedaan, yakni:
1. Pengertian pembentukan peraturan perundang-undangan
berbeda antara yang dirumuskan dalam UU 10/2004 dan
UU 12/2011, diantaranya dalam UU 10/2004 memasukkan
penyebarluasan sebagai bagian dari pembentukan peraturan
perundang-undangan, sedangkan dalam UU
NO.12/2011tidak memasukkan sebagai bagian dari
pembentukan peraturan perundang-undangan, sekalipun
tetap mengaturnya.
2. Tidak setiap peraturan mengenai peraturan perundang-
undangan mengatur tenang pembentukan peraturan
perundang-undangan, atau jika mengaturnya tidak
selengkap UU 10/2004 dan UU 12/2011.
3. Dari berbagai peraturan dalam periode-periode tersebut
menunjukan perbedaan dalam menentukan jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan.

Latihan.
Sebagai akhir dari bagian Penutup maka, disediakan soal
latihan bagi mahasiswa agar dikerjakan untuk mengetahui capaian
pembelajaran. Mahasiswa wajib mengerjakan tugas-tugas latihan,
sebagai berikut:
Bagimanakah Sejarah Perundang-undangan pada :
a. Periode Kolonial
153

b. Periode Awal Berlakunya UUD 1945


c. Periode Berlakunya Konstitusi RIS
d. Periode Berlakunya UUD 1945 Era Demokrasi
Terpimpin
e. Periode Berlakunya UUD 1945 Era Demokrasi Pancasila
f. Periode Berlakunya UUD 1945 hasil perubahan.

7.11. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan


Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1945 tentang Pengumuman
dan Mulai Berlakunya Undang-Undang dan Peraturan
Pemerintah
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945 Tentang Badan-Badan
dan Peraturan Pemerintah Dulu.
Maklumat Wakil Presiden No. X (tertanggal 16 Oktober 1945).
Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1950 tentang
Jenis dan Bentuk Peraturan Yang Dikeluarkan oleh
Pemerintah Pusat
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS)
Undang-Undang Darurat RIS Nomor 2 Tahun 1950 tentang
Penerbitan. Lembaran Negara RIS dan Berita Negara RIS
tentang Mengeluarkan, Mengumumkan dan Mulai
Berlakunya UU Federal dan Peraturan Pemerintah .
Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950)
Surat Presiden kepada Ketua DPR Nomor 2262/HK/1959, tertanggal
20 Agustus 1959.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik
Indonesia No.XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR
Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata
Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia.
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1970 tentang
Tata-Tjara Mempersiapkan Rantjangan Undang-Undang dan
Rantjangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia.
154

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang


Pembentukan Peraturan Perndang-undangan.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 188 Tahun 1998
tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-
Undang, ditetapkan pada tanggal 29 Oktober 1998.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999
Tentang Tehnik Penyusunan Peraturan Perundang undangan
dan Bentuk Rancangan Undang-Undang, Rancangan
Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Keputusan Presiden,
ditetapkan pada tanggal 19 Mei 1999.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-Undangan, ditetapkan pada
tanggal 18 Agustus 2000.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang
diundangkan pada 12 Agustus 2011
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah (PMDN 1/2014).

155

PERTEMUAN VIII
UJIAN TENGAH SEMESTER

156

PERTEMUAN IX :
TUTORIAL IV
SEJARAH PERUNDANG-UNDANGAN

9.1. Pendahuluan
Dalam pertemuan kesembilan ini, mahasiswa berdiskusi
mengenai Sejarah perundang-undangan. Setelah melakukan tutorial
ini, mahasiswa diharapkan memahami sejarah Perundang-undangan
di Indonesia. Materi tutorial kesatu ini sangat penting sebagai
landasan untuk memahami bahan kajian pembelajaran pada
pertemuan-pertemuan selanjutnya. Karena itu, dalam tutorial ini
mahasiswa harus mendiskusikan mengenai sejarah perundang-
undangan yang terdapat dalam penyajian materi: Study Task.

9.2. Penyajian Materi: Study Task


Sejarah Perundang-undangan di Indonesia mengalami
perkembangan dari Periode Kolonial sampai Periode berlakunya
UUD 1945 hasil perubahan. Tidak setiap peraturan mengenai
peraturan perundang-undangan mengatur tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan, atau jika mengaturnya tidak
selengkap UU 10/2004 dan UU 12/2011. Dari sejarah perundang-
undangan tersebut menunjukan perbedaan dalam menentukan jenis
dan hierarki peraturan perundang-undangan. Inventarisir Jenis dan
hierarkhi peraturan perundang-undangan menurut periodenya.

9.3. Penutup
Dalam penyajian materi: Study Task tersebut di atas
dideskripsikan mengenai sejarah perundang-undangan.Terhadap hal
itu, mahasiswa berdiskusi untuk menguraikan sejarah perundang-
undangan tersebut.
Pada akhir tutorial, mahasiswa wajib menyetor laporan
kegiatan tutorial, yang mendeskripsikan secara rinci seluruh kegiatan
dalam tutorial tersebut, yaitu: siapa pemimpin diskusi (discussion
157

leader) dan pencatat (note taker), siapa yang aktif, dan alokasi waktu
selama tutorial. Laporan tutorial wajib dikumpulkan pada saat
berakhirnya waktu seluruh kegiatan tutorial.

9.4. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan


Lihat Bahan Bacaan pada Pertemuan VIII Perkuliahan IV

158

PERTEMUAN X :
PERKULIAHAN KELIMA
DASAR-DASAR PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG UNDANGAN

10.1. Pendahuluan
Dalam Bab ini pembelajaran utama adalah mengenai dasar-
dasar pembentukan peraturan perundang-undangan, mahasiswa diajak
mempelajari mengenai landasan keberlakuan peraturan perundang-
undangan dan asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan. Materi ini berhubungan dengan pembentukan norma-
norma dalam peraturan perundang-undangan. Setelah mempelajari
dan mendiskusikan materi ini mahasiswa diharapkan memahami apa
saja dasar-dasar pembentukan peraturan perundang-undangan. Materi
ini sangat penting sebagai landasan utama dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan.

10.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian


Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini
mahasiswa diharapkan memahami apa saja dasar-dasar pembentukan
peraturan perundang-undangan.
Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini,
mahasiswa mampu menjelaskan:
a. Landasan keberlakuan Peraturan Perundang-undangan;
b. Menguraikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan;
c. Memahami dan mengaplikasikan asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan.

10.3. Kedudukan Pancasila dalam Peraturan Perundang-


undangan
Dalam Pasal 2 UU NO.12/2011 ditentukan bahwa Pancasila
adalah sumber dari segala sumber hukum negara. Dalam pengertian
159

semua sumber hukum yang ada di Negara Indonesia harus bersumber


atau dijiwai oleh Pancasila atau dengan kata lain Pancasila
merupakan sumber hukum Materiil yang menentukan isi dari
Peraturan Perundang-undangan yang ada di Indonesia.
Keterkaitan antar dasar negara dan konsitusi tampak pada
gagasan dasar, cita-cita, dan tujuan negara yang tertuang dalam
mukadimah atau Pembukaan Undang-Undang Dasar suatu negara.
Pembukaan memuat asas kerohanian negara, asas politik negara, asas
tujuan negara, serta menjadi dasar hukum daripada undang-undang.
Pancasila dengan batang tubuh merupakan wujud yuridis
konstitusional tentang sesuatu yang telah dirumuskan dalam
pembukaan. Terdapat rumusan Pancasila yang telah dirumuskan
dalam pembukaan UUDNRI Tahun 1945. Rumusan Pancasila dalam
Pembukaan UUDNRI tahun 1945 tersebut sangat jelas kedudukannya
sebagai sumber hukum tata negara.
Dengan demikian, Pancasila sebagai dasar negara merupakan
sumber hukum dasar bagi penyusunan perundangan negara. UUD
1945 adalah peraturan perundangan teringgi negara Indonesia yang
bersumberkan pada Pancasila.
Menurut Philipus M. Hadjon, Pancasila sebagai sumber
hukum adalah:144
1. Sumber Hukum secara langsung UUD 1945;
2. Sumber Hukum secara tidak langsung Peraturan
PerUUan Indonesia (artinya melalui tahapan hirarki
tata susunan norma hukum.
Pancasila merupakan “Grundnorm” ketika menggunakan
teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky tentang lapisan norma hukum.
Untuk jelasnya dijabarkan dalam gambar berikut:

144
Philipus M. Hadjon, Perlindugan Hukum Bagi Rakyat di
Indonesia, Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dalam Lingkungan
Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Surabaya:
Peradaban: Edisi Khusus, 2007, hlm.58.
160

Gambar 6. Tata susunan norma hukum : perbandingan


tata susuan norma hukum menurut Hans
Nawiasky dan UU No.12 Tahun 2011

Dalam tata susunan yang seperti itu, Pancasila dijabarkan


pertama kali di dalam UUD 1945 dan selanjutnya dijabarkan ke
dalam peraturan perundang-undangan yag menurut hirarki peraturan
perundang-undangan kita, dimulai dengan Undang-Undang disusul
dengan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Peraturan
Pelaksanaan Bawahan lainnya. Dengan demikian jika dibalik, isi dari
peraturan perundang-undangan dan Undang-Undang Dasar tidak
boleh bertentangan dengan Pancasila yang merupakan
”Grundnorm”.145

10.4. Landasan Keberlakuan Peraturan Perundang-Undangan


Suatu Peraturan dikatakan baik dan berlaku secara umum
apabila telah mengindahkan landasan-landasan bagi keberadaan dan
kekuatannya. Peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk di
negara Republik Indonesia harus berlandaskan kepada landasan
filosofis, sosiologis dan landasan yuridis.
Pandangan ahli yang memberikan argumentasinya terhadap

145
Ibid, hlm. 59.
161

hal ini antara lain M.Solly Lubis sebagaimana dikutip oleh Gde
Panjta Astawa, landasan pembuatan peraturan perundang-undangan,
yakni:
1. Landasan filosofis, yaitu dasar filsafat atau idée yang
menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan
kebijaksanaan (pemerintah) ke dalam suatu rencana atau
draft peraturan negara. Misalnya Pancasila menjadi dasar
filsafat perundang-undangan. Pada prinsipnya tidak dibuat
suatu peraturan yang bertentangan dengan dasar filsafat ini.
2. Landasan yuridis, ialah ketentuan hukum yang menjadi
dasar hukum (rechstground) bagi pembuatan suatu
peraturan. Misalnya UUD 1945 menjadi landasan yuridis
bagi pembuatan Undang-Undang organic selanjutnya UU
tersebut menjadi landasan yuridis bagi pembuatan
Peraturan Pemerintah, ataupun Perda.
3. Landasan Politis, ialah garis kebijakan politik yang
menjadi dasar selanjutnya bagi kebijakan-kebijakan dan
pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan negara.146

Landasan keberlakuan peraturan perundang-undangan


tersurat pula di dalam Lampiran II UU 12/2011, ditentukan bahwa
dalam setiap suatu rancangan peraturan perundang-undangan harus
termuat landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis.147

1. Landasan Filosofis
Merupakan dasar filsafat atau pandangan hidup yang

146
Gede Pantja Astawa, Dinamika Hukum & Ilmu Perundang-
undangan di Indonesia, Bandung: P.T. Alumni, 2008, hlm. 78.
147
Anotasi Pedoman 19 Lampiran II UU 12/2011, Pokok pikiran
pada konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan
yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang
penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan
yuridis.
162

menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan ide kedalam


suatu rancangan/draft peraturan perundang-undangan. Bagi
bangsa Indonesia dasar filosofis itu adalah Pancasila.148 Suatu
peraturan perundang-undangan yang dibentuk haruslah
mengandung nilai-nilai yang bersumber pada pandangan
filosofis Pancasila:
a. Nilai-nilai religius Bangsa Indonesia yang terangkum
dalam sila pertama Pancasila;
b. Nilai-nilai hak-hak asasi manusia dan penghormatan
terhadap harkat dan martabat kemanusiaan terangkum
dalam sila kedua Pancasila;
c. Nilai-nilai kepentingan bangsa secara utuh terangkum
dalam sila ketiga Pancasila;
d. Nilai-nilai demokrasi dan kedaulatan rakyat terangkum
dalam sila keempat Pancasila;
e. Nilai-nilai keadilan baik individu maupun social
terangkum dalam sila kelima Pancasila.

2. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan landasan yang terdiri
atas fakta-fakta yang merupakan tuntutan kebutuhan
masyarakat yang mendorong perlunya peraturan dibentuk.
Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris
mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat
dan negara.

3. Landasan Yuridis
Landasan Yuridis merupakan ketentuan hukum yang
menjadi sumber/ dasar hukum untuk membuat atau

148
Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis
Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian Teoritis dan
Praktis Disertai Manual) Konsep Teoritis Menuju Artikulasi Empiris,
Jakarta : Kencana, 2010, hlm.12.
163

merancang suatu peraturan perundang-undangan. Landasan


yuridis dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Landasan Yuridis Formal, yaitu landasan yang
memberikan kewenangan bagi instansi/pejabat tertentu
untuk membuat peraturan tertentu.
b. Landasan Yuridis Materiil, yaitu landasan yang
memberikan dasar hukum untuk mengatur hal-hal
tertentu.

10.5. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan


Disamping landasan peraturan perundang-undangan, patut
dipahami pula asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan. Ada beberapa ahli yang mengemukakan mengenai asas
yang berhubungan dengan pembentukan peraturan perundang-
undangan, antara lain I.C. van der Vlies dan Hamid S.Attamimi.
Dalam bukunya berjudul Het wetsbergip en beginselen van
berhoorlijke regelgeving, I.C. van der Vlies membagi asas-asas dalam
pembentukan peraturan-peraturan yang patut (beginselen van
behoorlijke regelgeving) ke dalam asas-asas yang formal dan yang
material. Asas-asas formal meliputi:149
1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van dudlijke doesteling),
yaitu mencakup tiga hal, yakni mengenai ketepatan letak
peraturan perundang-undangan dalam kerangka kebijakan
umum pemerintahan, tujuan khusus yang akan dibentuk, dan
tujuan dari bagian-bagian yang akan dibentuk tersebut;
2. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste
organ), hal ini untuk menegaskan kejelasan organ yang
menetapkan peraturan perundang-undangan tersebut;
149
I.C. van der Vlies sebagaimana dikutip dari Hamid S.Attamimi,
Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden
yang Berfungsi Pengaturan dalam kurun Waktu Pelita I- Pelita IV ,
Disertasi, (Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990), hlm.
336.
164

3. Asas perlunya pengaturan (het noodzakeliijkheids beginsel)


merupakan prinsip yang menjelaskan berbagai alternatif
maupu relevansi dibentuknya peraturan untuk menyelesaikan
problema pemerintahan;
4. Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid),
yaitu perturan yang dibuat seharusnya dapat ditegakkan
secara efektif;
5. Asas konsensus (het beginsel van consensus), yaitu
kesepakatan rakyat untuk melaksanakan kewajiban dan
menanggung akibat yang ditimbulkan oleh suatu peraturan
secara konsekuen. Hal itu mengingat pembentukan peraturan
perundang-undangan sebagai langkah awal untuk mencapai
tujuan-tujuan yang „disepakati bersama‟ oleh pemerintah dan
rakyat.

Asas- asas yang material meliputi:150


1. Asas terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel
van duidelijke terminologie en duidelijke systematiek) artinya
setiap peraturan hendaknya dapat dipahami oleh rakyat;
2. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het
rechtsgelijkheidsbeginsel) hal ini untuk mencegah praktik
ketidakadilan dalam meperoleh pelayanan hukum;
3. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel), artinya
peraturan yang dibuat mengandung aspek konsistensi
walaupun diimplementasikan dalam waktu dan ruang yang
berbeda;
4. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual
(het beginsel van de individuele rechtsbedeling), asas ini
bermaksud memberikan penyelesaian yang khusus bagi hal-
hal atau keadaan-keadaan tertentu yang menyangkut
kepentingan individual.

150
Ibid, hlm. 340.
165

Menurut A. Hamid S. Attamimi, dalam pembentukan


peraturan-undangan Indonesia, sebagaimana di negara lain, terdapat
dua asas hukum yang perlu diperhatikan, yaitu asas hukum umum
yang khusus memberikan pedoman dan bimbingan bagi
“pembentukan” isi peraturan, dan asas hukum lainnya yang
memberikan pedoman dan bimbingan bagi penuangan peraturan ke
dalam bentuk dan susunannya, bagi metoda pembentukannya, dan
bagi proses serta prosedur pembentukannya. Asas hukum yang
terakhir ini dapat disebut asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang patut.151
Asas-asas tersebut secara berurutan dapat disusun sebagai
berikut:152
a. Cita Hukum Indonesia yang tidak lain adalah Pancasila
(Sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai Cita (Idee),
yang berlaku sebagai “bintang pemandu”);
b. Asas Negara Berdasar Hukum yang menempatkan
Undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas
berada dalam keutamaan hukum (der Primat des Rechts),
dan asas Pemerintahan Berdasar Sistem Konstitusi yang
menempatkan Undang-undang sebagai dasar dan batas
penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan;
c. Asas-asas lainnya.
Mengikuti pembagian mengenai adanya asas yang formal dan
material, maka A. Hamid S Attamimi cenderung untuk membagi
asas-asas tersebut ke dalam:
a. Asas-asas formal, dengan perincian:
(1) asas tujuan yang jelas;

151
A. Hamid S Attamimi seperti dikutip Bayu Dwi Anggono, 2014,
Perkembangan Pembentukan Undang-Undang di Indonesia, Jakarta:
Konpress, hlm. 26.
152
Maria Farida Indrati S., 1998, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-
Dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta : Kanisius, hlm.197.
166

(2) asas perlunya pengaturan;


(3) asas organ/lembaga yang tepat;
(4) asas materi muatan yang tepat;
(5) asas dapatnya dilaksanakan; dan
(6) asas dapatnya dikenali.
b. Asas-asas material, dengan perincian:
(1) asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan Norma
Fundamental Negara;
(2) asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara;
(3) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara Berdasar
Atas Hukum;
(4) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Pemerintahan
Berdasar Sistem Konstitusi.

Apabila kita melihat ke dalam Pasal 5 UU 12/2011,


disebutkan bahwa Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
baik haruslah didasarkan pada asas-asas pembentukan perundang-
undangan yang baik, yaitu:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.

Dalam penjelasan Pasal 5 UU 12/2011, disebutkan bahwa:


a. Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah
bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang
hendak dicapai.
b. Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat
pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis
167

Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh


lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan
Perundang-undangan yang berwenang.
c. Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis,
hierarki, dan materi muatan” adalah bahwa dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus
benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat
sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
undangan.
d. Yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah
setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-
undangan tersebut di dalam masyarakat baik secara
filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
e. Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan
kehasilgunaan” adalah bahwa setiap Peraturan
Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
f. Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah
bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan
Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau
isttilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat
transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruuh
lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-

168

luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan.

10.6. Penutup
Resume.
Paparan di atas menunjukkan bahwa, terdapat tiga landasan
utama berlakunya suatu peraturan perundang-undangan, yaitu
landasan filosfis, sosiologis dan yuridis. Landasan filosofis pada
intinya setiap peraturan perundang-undangan yang dibentuk haruslah
memuat nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah hidup Bangsa
Indonesia yaitu nilai-nilai filsafat Pancasila. Sedangkan landasan
sosiologis adalah fakta-fakta yang ada pada masyarakat, yang
mengarahkan mengapa masyarakat membutuhkan suatu peraturan
untuk dibentuk. Kemudian yang terakhir adalah landasan yuridis,
yaitu ketentuan hukum yang menjadi sumber/ dasar hukum untuk
membuat atau merancang suatu peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya menurut beberapa ahli yaitu I.C van der Vlies
dan A Hamid S. Attamimi, mengemukakan bahwa terdapat asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut yang harus
dipenuhi dalam setiap pembentukan suatu peraturan perundanga-
undangan.
I.C van der Vlies memaparkan secara berurutan dimulai dari
asas formal, yaitu:
1. asas tujuan yang jelas;
2. asas organ/lembaga yang tepat;
3. asas perlunya pengaturan;
4. asas dapat dilaksanakan;
5. asas consensus.
Sedangkan asas-asas material meliputi:
1. asas terminologi dan sistematika yang benar
2. asas perlakuan yang sama dalam hukum
3. asas kepastian hukum

169

4. asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan


individual

A. Hamid S. Attamimi membagi Asas-asas pembentukan


peraturan perundang-undangan yang patut tersebut secara berurutan
dapat disusun sebagai berikut:
a. Cita Hukum Indonesia;
b. Asas Negara Berdasar Hukum dan asas Pemerintahan
Berdasar Sistem Konstitusi
c. Asas-asas lainnya (yang meliputi asas formal dan
asas material).

Latihan.
Sebagai akhir dari bagian Penutup maka, disediakan soal
latihan bagi mahasiswa agar dikerjakan untuk mengetahui capaian
pembelajaran. Mahasiswa wajib mengerjakan tugas-tugas latihan,
sebagai berikut:
a. Apa tujuan mempelajari dasar dasar pembentukan
peraturan perundang-undangan?
b. Apa fungsi dari landasan keberlakuan peraturan
perundang-undangan?
c. Asas-asas formal apa saja yang harus dipenuhi dalam
pembentukan peraturan perundangn-undangan?
d. Apa yang dimaksud dengan asas kepastian hukum yang
disebutkan oleh I.C van der Vlies sebagai salah satu asas
material dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan, apa fungsinya?
e. Apakah asas formal dan asas material mutlak harus
terpenuhi semua unsur-unsurnya dalam proses
penyusunan/pembentukan peraturan perundang-
undangan?

170

10.7. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan


Attamimi, A. Hamid S. Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara:
Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang
Berfungsi Pengaturan dalam kurun Waktu Pelita I- Pelita IV ,
Disertasi, (Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas
Indonesia, 1990.
Anggono, Bayu Dwi, 2014, Perkembangan Pembentukan Undang-
Undang di Indonesia, Jakarta: Konpress.
Hadjon, Philipus M., Perlindugan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia,
Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dalam Lingkungan
Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi,
Surabaya: Peradaban: Edisi Khusus, 2007.
Halim, Hamsah dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis
Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian
Teoritis dan Praktis Disertai Manual) Konsep Teoritis Menuju
Artikulasi Empiris, Jakarta:Kencana , 2010.
Lampiran II Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
berjudul “TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN
PERUNDANG UNDANGAN”
Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-
Dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius, 1998.

171

PERTEMUAN XI :
TUTORIAL V
DASAR DASAR PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG UNDANGAN

11.1 Pendahuluan
Dalam pertemuan kesebelas ini, mahasiswa berdiskusi
mengenai materi (study task) Dasar-Dasar Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Setelah melakukan tutorial ini, mahasiswa
diharapkan memahami Dasar-Dasar Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Materi tutorial kelima ini sangat penting
sebagai landasan untuk memahami bahan kajian pembelajaran pada
pertemuan-pertemuan selanjutnya.

11.2. Penyajian Materi : Study Task


JPP, JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Koordinator
Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) telah
mengumumkan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas
Undang-Undang (UU) Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan.

Perppu Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) tersebut diumumkan


langsung oleh Menko Polhukam Wiranto didampingi Menteri
Komunikasi dan Informatika Rudiantara di Kantor Kemenko
Polhukam, Rabu (12/7/2017) kemarin.

Lalu apa saja landasan diterbitkannya Perppu Ormas tersebut?


Berdasarkan data yang diterima JPP, setidaknya disebutkan ada tiga
landasan penerbitan Perppu Ormas oleh Pemerintah, yakni landasan
filosofis, yuridis, dan sosiologis.

172

Pertama adalah landasan filosofis. Dijelaskan bahwa hak dan


kebebasan berserikat dan berkumpul dan mengeluarkan pendapat
merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) setiap warga
negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, and bernegara
yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang
berdasarkan Pancasila.

Eksistensi keberadaan Ormas sebagai wadah berserikat dan


berkumpul adalah perwujudan kesadaran dan tanggungjawab kolektif
warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan, di mana
Ormas merupakan potensi masyarakat secara kolektif yang harus
dikelola, sehingga tetap menjadi energi positif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

Untuk itu, negara berkewajiban mengakui keberadaannya,


memberikan perlindungan dalam aktifitasnya, dan menjamin
keberlangsungan hidup Ormas.

Pada sisi lain, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap


warga negara baik secara individu maupun kolektif, berkewajiban
untuk menghormati hak dan kebebasan orang lain. Dalam konteks itu,
negara berkewajiban dan harus mampu mengelola dan mengatur
keseimbangan, keharmonisan, dan keselarasan antara hak dan
kebebasan individu dengan hak dan kebebasan kolektif warga negara.

Pengaturan tersebut dimaksudkan semata-mata untuk menjamin


pengakuan serta penghargaan atas hak dan kebebasan orang lain,
serta pemenuhan keadilan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-
nilai sosial budaya, agama, keamanan, ketenteraman, dan ketertiban
umum untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

173

Sumber: https://jpp.go.id/42-polkam/308089-tiga-landasan-utama-
penerbitan-perppu-ormas

Tugas Mahasiswa adalah melakukan studi atas isu


sebagaimana dikemukakan dalam permasalahan di atas. Perlu
dikemukakan kata kunci sebagai arahan studi, yakni: landasan
filosofis, yuridis dan sosiologis.

11.3. Penutup
Dalam penyajian materi: Problem Task tersebut di atas
dideskripsikan mengenai Dasar-Dasar Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Terhadap hal itu, mahasiswa berdiskusi untuk
menguraikan Dasar-Dasar Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan tersebut. Pada akhir tutorial, mahasiswa wajib menyetor
laporan kegiatan tutorial, yang mendeskripsikan secara rinci seluruh
kegiatan dalam tutorial tersebut, yaitu: siapa yang aktif berdiskusi dan
menjawab pertanyaan yang tersaji dalam problem task tersebut.
Laporan tutorial wajib dikumpulkan pada saat berakhirnya waktu
seluruh kegiatan tutorial.

11.4. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan


Lihat Bahan Bacaan pada Pertemuan X Kuliah Kelima

174

PERTEMUAN XII :
PERKULIAHAN KEENAM
JENIS, FUNGSI DAN MATERI MUATAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

12.1. Pendahuluan
Mengawali pertemuan ke-6 pembelajaran mata kuliah ini,
mahasiswa diajak mempelajari mengenai jenis, fungsi dan materi
muatan dari peraturan perundang-undangan baik ditingkat pusat
maupun daerah.Untuk mendapatkan peraturan perundang-undangan
yang baik melalui pembentukan peraturan perundang-undangan yang
dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar,
maka diperlukan pula ketentuan yang pasti, baku, dan standar tentang
jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan. Menurut A.
Hamid S. Attamimi pembentukan peraturan peraturan perundang-
undangan adalah pembentukan norma hukum yang berlaku keluar
dan mengikat secara umum yang dituangkan dalam jenis-jenis
peraturan perundang-undangan sesuai hierarkinya.153 Untuk dapat
menuangkan norma hukum tersebut dalam berbagai jenis peraturan
perundang-undangan, penting memperhatikan materi muatannya.
Pentingnya pemahaman dan ketentuan tentang jenis, hierarki, dan
materi muatan peraturan perundang-undangan ditunjukkan pula
dengan adanya salah satu asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik, yakni asas “kesesuaian antara jenis, hierarki,
dan materi muatan”.154 Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian
antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah bahwa dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar

153
A.Hamid S.Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Dalam penyelenggaraaan Pemerintahan Negara, Suatu
studi analisis mengenai Keputusan Presiden yang berfungsi Pengaturan
dalam kurun waktu Pelita I-Pelita IV, untuk memperoleh gelar Doktor
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia,
Jakarta.
154
Pasal 5 huruf c UU 12/2011.
175

memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan


hierarki Peraturan Perundang-undangan. Hal lainnya yang perlu
untuk dipahami pula oleh mahasiswa adalah terkait fungsi dari
peraturan perundang-undangan. Secara umum, peraturan perundang-
undangan fungsinya adalah mengatur sesuatu materi tertentu untuk
memecahkan suatu masalah yang ada dalam masyarakat. Selain
fungsi umum tersebut, setiap peraturan perundang-undangan juga
memiliki fungsi khusus sesuai dengan jenis peraturan perundang-
undangan tersebut.
Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini,
mahasiswa diharapkan memahami jenis, fungsi dan materi muatan
peraturan perundang-undangan yang ada, seperti Undang-Undang
Dasar (UUD), Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP
MPR), Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan
Presiden (Perpres), Peratudan Daerah (Perda) Propinsi dan Peraturan
Daerah (perda) Kabupaten. Materi perkuliahan pada pertemuan ini
sangat penting sebagai landasan untuk memahami bahan kajian
pembelajaran pada pertemuan-pertemuan selanjutnya.

12.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian


Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini,
mahasiswa memahami jenis, fungsi dan materi muatan peraturan
perundang-undangan.
Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini,
mahasiswa mampu:
a. Memahami jenis peraturan perundang-undangan di tingkat
pusat.
b. Memahami jenis peraturan perundang-undangan di Daerah.
c. Memahami fungsi dari peraturan perundang-undangan
d. Mamahami materi muatan peraturan perundang-undangan di
tingkat pusat.

176

e. Memahami materi muatan peraturan perundang-undangan di


tdaerah

12.3. Jenis Peraturan Perundang-undangan


Dalam berbagai literatur yang ada, terdapat berbagai
penyebutan berkaitan dengan “jenis” peraturan perundang-undangan,
dimana ada yang memakai nomenklatur “jenis” ada juga yang
memakai nomenklatur “bentuk”. Arti jenis dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia Online berarti: (1) yang mempunyai ciri (sifat,
keturunan, dan sebagainya) yang khusus; macam: (2)
mutu.155 Sedangkan arti kata bentuk berarti: 1 lengkung;
lentur; 2 bangun; gambaran; 3 rupa; wujud; 4 sistem; susunan
(pemerintahan, perserikatan, dan sebagainya):; 5 wujud yang
ditampilkan (tampak): ; 6 acuan atau susunan kalimat; 7 kata
penggolong bagi benda yang berkeluk (cincin, gelang, dan
sebagainya).156
Dari pengertian tersebut maka jelas bahwa terdapat
perbedaan antara pengertian “jenis” dan “bentuk”. Bentuk lebih
menekankan kepada wujud lahiriah, sedangkan jenis lebih kepada
macam atau ragam dari sesuatu yang mempunya sifat-sifat yang
sama. Terkait dengan berbagai macam peraturan perundang-
undangan seperti UUD, TAP MPR, UU dan sebagainya, maka lebih
tepat memakai nomenklatur “jenis” Peraturan Perundang-undangan.
Sedangkan pengunaan nomenklatur ”bentuk” lahiriah (konverm),
maka menunjuk pada: Judul, Pembukaan, konsideran, batang tubuh,
penutup dan penjelasan.157
Bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan sangat
penting dalam perancangan atau penyusunan peraturan perundang-
155
http://kbbi.kata.web.id/jenis/
156
http://kbbi.web.id/bentuk
157
Dalam Lampiran II UU 12/2011 pada Bab IV menggunakan istilah
Bentuk Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang berisi kerangka
peraturan perundang-undangan memuat:Judul, Pembukaan, Batang Tubuh ,
Penutup, Penjelasan (jika diperlukan) dan Lampiran (jika diperlukan).
177

undangan, karena:
Pertama: setiap pembentukkan peraturan perundang-undangan harus
mempunyai landasan atau dasar yuridis yang jelas, dan apabila tidak
terdapat landasan tersebut maka batal demi hukum atau dapat
dibatalkan.
Kedua: hanya peraturan perundang-undangan yang sederajat atau
yang lebih tinggi daripada peraturan perundang-undangan yang akan
dibentuk dapat dijadikan landasan atau dasar yuridis.
Ketiga: pembentukkan peraturan perundang-undangan berlaku
prinsip bahwa peraturan perundang-undangan yang sederajat atau
yang lebih tinggi dapat menghapuskan peraturan perundang-
undangan sederajat atau yang lebih rendah. Prinsip ini mengandung:
1) Pencabutan peraturan perundang-undangan yang ada
hanya mungkin dilakukan oleh peraturan perundang-
undangan sederajat atau yang lebih tinggi.
2) Peraturan perundang-undangan yang sederajat
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
sederajat lainnya, maka berlaku peraturan perundang-
undangan yang dianggap terbaru dan yang lama telah
dikesampingkan (lex posterior derogat priori).
3) Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah, maka berlaku peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
4) Peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang-
bidang umum yang diatur oleh peraturan yang sederajat,
maka berlaku peraturan perundang-undangan yang
mengatur bidang khusus tersebut (lex specialis derogat
lex generalis).
Keempat: pengetahuan mengenai seluk beluk peraturan perundang-
undangan untuk menciptakan suatu sistem peraturan peraundang-
undangan yang tertib sebagai salah satu unsur perundang-undangan
yang baik.
178

Dalam perkembangan ketatanegaraan di Indonesia dikenal


ada berbagai jenis peraturan perundang-undangan. Secara eksplisit
dalam UUD Tahun 1945 hanya menyebutkan jenis peraturan
perundang-undangan yaitu: UU, Perppu, dan PP, sedangkan peraturan
lainnya tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan
praktek ketatanegaraan Indonesia. Berikut jenis peraturan perundang-
undangan di Indonesia berdasarkan sejarahnya:

Masa Hindia Belanda.


Belanda datang ke Indonesia pada Tahun 1596, dimana
hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum tidak tertulis
(Hukum Adat). Namun dengan masuknya Belanda ke Indonesia dan
mendirikan perserikatan dagang yang dikenal dengan nama
VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) maka terjadi perubahan
terkait hukum yang ada. Masuknya VOC akibat diberikannya
hak octrooi kepada VOC oleh Staten Generaal, yaitu badan federatif
tertinggi negara-negara Belanda, hal ini berdampak pada terjadinya
dualisme hukum yakni adanya Hukum Adat dan Hukum yang dibuat
oleh pemerintah Belanda. Hukum Belanda adalah hukum yang
diberlakukan bagi orang eropa, khususnya Belanda di pusat-pusat
dagang VOC, yang pada awalnya berlaku bagi kapal-kapal VOC.
Hukum tersebut terutama berupa hukum disiplin (tucht recht). Namun
pada akhirnya hukum Belanda juga diberlakukan kepada pribumi
dalam beberapa hal. Menurut Utrecht, hukum Belanda yang berlaku
di daerah kekuasaan VOC terdiri dari :158
1. Hukum Statuta (yang termuat dalam statuten van Batavia)
2. Hukum Belanda yang kuno
3. Asas-asas hukum Romawi

Pada masa ini peraturan yang tertinggi adalah perintah dari

158
E. Utrecht. 1965. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II.
Universitas, Bandung,dikutip dari https://e-
kampushukum.co.id/2016/05/tata-hukum-di-indonesia-pada-masa-voc.html
179

Raja Belanda, kemudian yang ada dibawahnya adalah “Heeren


Zewentie” yaitu peraturan yang dibuat di plakat-plakat buatan VOC
untuk mengatasi keadaan-keadaan yang perlu penanganan secara
khusus. Pada masa Gubernur Jenderal Van Diemen (1636-1646)
meminta bantuan Joan Maetsyucker, seorang pensiunan dari Hof Van
Justitie (setingkat MA) untuk mengumpulkan dan
menyusun plakaat yang telah diterbitkan. Pada Tahun 1642, “Heeren
Zewentie” berhasil dihimpun (dikodifikasi), kemudian diumumkan
dengan nama Statuten Van Batavia (Statuta Betawi). Statuta tersebut
berlaku sebagai hukum positif dan memiliki kekuatan berlaku yang
sama sebagaimana peraturan lain yang telah ada. Mengenai
pemberlakuannya, Statuta Betawi ditujukan kepada orang pribumi
maupun orang pendatang. Kemudian pada Tahun 1766 dihasilkan
kumpulan plakaat ke-2 diberi nama Statuta Bara.159
Selanjutnya pada masa penjajahan Belanda berdasarkan
Pasal 36 Netherland Gronwet 1814, menentukan bahwa “Raja yang
berdaulat punya kekuasaan tertinggi atas daerah-daerah jajahan dan
harta milik negara di daerah-daerah lain....”. Dalam melaksanakan
kekuasaannya raja membuat peraturan bersifat umum yang biasa
disebut dengan“Algemene Verordering” (peraturan pusat) atau
“Koninklijk Besluit” (besluit raja=keputusan/penetapan) yang berlaku
dibidang eksekutif untuk daerah jajahan dan “Aglemene Maatregel
van Bestuur”(AmvB) yang berlaku untuk pemerintah Belanda.
Peraturan ini dibuat oleh raja (kroon) bersama dengan parlemen
Belanda (staten general). 160
Setelah adanya kodifikasi pada tanggal 1 Oktober 1838,
Komisi Undang-undang untuk Hindia Belanda membuat peraturan
yaitu : Algemene Bapalingen van Wetgeving (AB) (stb.1847.No.23)
atau ketentuan umum tentang perundang-undangan. Selain peraturan
tersebut dihasilkan pula beberapa kodifikasi yaitu :

159
Ibid.
160
http://www.bphn.go.id/data/documents/ae_peraturan_perundang_u
ndangan_peninggalan_kolonial_belanda.pdf
180

a. Reglement of de Rechterlijke Organisatie (RO) atau peraturan


organisasi pengadilan;
b. Burgerlijke Wetboek (BW) Kitab Undang-undang Hukum
Sipil;
c. Wetboek van Kophandel (WvK) KUHD
d. Reglement op de Burgerlijke Rechtvordering (RV) peraturan
tentang Acara Perdata.
e. Inlandsch Reglement (IR) yaitu reglement bumi putera
(peraturan tentang acara perdata yang berlaku untuk Bumi
Putera), belakangan peraturan ini berubah menjadi HIR
(Herzeine Inlandsch Reglement). 161
Selanjutnya antara Tahun 1855-1926 terjadi perubahan
Grondwet di negeri Belanda, dari monarki konstitusional menjadi
monarki konstusional parlemen. Dari perubahan tersebut membuat
kekuasaan raja atas daerah jajahan menadi sedikit terkurangi. Bentuk
undang-undang (wet) pada waktu ini dinamakan Regerings Reglement
(RR) diundangkan mulai tanggal 1 Januari 1854 stb.1854 No.2) yang
mengatur tentang kebijakan pemerintah di Hindia Belanda. Kemudian
pada tahun 1918 dibentuk sebuah “Volksraad” (wakil rakyat) untuk
ikut serta dalam pembuatan undang-undang. Pada Tahun 1922 terjadi
perubahan grondwet di negeri Belanda. Grondwet tersebut kemudian
diberi nama “Indische Staatregeling” (stb.1925, Nomor 415) yang
memberi kekuasaan kepada daerah jajahannya untuk membuat
peraturan sendiri. Dengan demikian Jenis Peraturan pada masa
Hindia Belanda yang dibentuk antara lain:162
1. Reglement op het beleid der Regering van Nederlands Indies
yang disingkat dengan Regering Reglement (RR), dan
kemudian berubah menjadi Wet op the Staatsinrichting van
Netherlands Indie (IS) dianggap sebagai Undang-Undang
Dasar]

161
Ibid.
162
Rahmat Trijono, 2013, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan
Perundang-undangan, Jakarta : Papas Sinar Sinanti, hlm. 54.
181

2. Ordonantie Gouvernour Genneral adalah peraturan setingkat


UU yang terdiri dari 2 jenis yaitu:
a. Ordonansi yang dibuat oleh Gubernur Jendral dengan
persetujuan Voolksraad, yang mengatur mengenai pokok-
pokok persoalan menyangkut Nederland Indie; dan
b. Ordonansi yang ditentukan dalam Grondwet atau Wet
yaitu:
1) Regeringsverordening (R.V) setingkat Peraturan
Pemerintah, adalah peraturan untuk melaksanakan
wetten, AMVB dan ordonansi dan dapat
mencantumkan ketentuan pidana;
2) Gouvernements Besluit (Keputusan Pemerintah)
merupakan peraturan untuk mengatur hal-hal yang
bersifat administratif, dan tidak dapat mencantumkan
ketentuan pidana.
3. AMVB dan Wetten, yang dibuat oleh Raja ( Kroon) bersama
dengan parlemen Belanda (Staten General).

Masa Pendudukan Jepang.


Jepang tidak lama berkuasa di Indonesia, dan pada masa
berkuasanya Jepang jenis peraturan perundang-undangan yang ada
adalah:163
1. Osamu seirei, merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh
Seikosikikan (pemerintah sipil);
2. Osamu Kanrei, merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh
Kepala Staf (Gunseikan ).
Peaturan tersebut diudangkan dalam Lembaran Negara yang disebut
Kanpo.

Masa Kemerdekaan.

163
Ibid., hlm. 58.
182

Masa ini terbagi dalam beberapa periode yakni masa setelah


kemerdekaan tanggal 17 Agustus Tahun 1945 yaitu berlakunya UUD
Tahun 1945, masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat
(KRIS), Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS), dan Masa
Reformasi (UUD Tahun 1945 Pasca amandemen) .

Masa berlakunya UUD Tahun 1945.


Pada masa awal kemerdekaan dan berlakunya UUD Tahun
1945, jenis peraturan perundang-undangan yang ada masih belum
tersusun karena situasi dan kondisi masa itu, misalnya adalah kadang-
kadang berbentuk nota-nota dinas, maklumat, surat-surat edaran dan
lain sebagainya diperlakukan sebagai peraturan yang seakan mengikat
secara hukum. Bahkan, Wakil Presiden mengeluarkan Maklumat
yang isinya membatasi tugas dan fungsi Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP) yang saat itu berperan sebagai lembaga legislatif, tetapi
maklumat itu dibuat tanpa nomor, sehingga dikenal kemudian sebagai
Maklumat No.x tertanggal 16 Oktober 1945. Dalam UUD Tahun
1945 jenis peraturan yang ada adalah: Undang-Undang yang diatur
dalam Pasal 5 ayat (1), Peraturan Pemerintah (Pasal 5 ayat 2) dan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perppu) yang
diatur dalam Pasal 22 ayat (1). Namun dalam prakteknya dikeluarkan
juga beberapa peraturan perundang-undangan lainnya yaitu:
Penetapan Presiden (Penpres), Peraturan Presiden (Perpres),
Penetapan Pemerintah, Maklumat Presiden dan Maklumat Wakil
Predsiden.

Masa berlakunya KRIS Tahun 1949.


Dalam Konstitusi RIS yang berlaku mulai tanggal 27
Desember 1949, bentuk-bentuk peraturan yang tegas disebut adalah
Undang-Undang Federal, Undang-Undang Darurat, dan Peraturan
Pemerintah. UU Federal adalah merupakan UU yang dibuat oleh

183

pemerintah federal. Undang-Undang Darurat;164 adalah UU yang


dikeluarkan untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan federal
yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan
segera. Peraturan ini mempunyai kekuasaan dan kuasa UU Federal.
Peraturan Pemerintah165, adalah peraturan untuk menjalankan
ketentuan UU yang ditetapkan oleh Pemerintah.Peraturan ini dapat
memuat ancaman hukuman atas pelanggaran aturan-aturannya.
Berdasarkan Pasal 127 KRIS terdapat 3 macam Undang-Undang
Federal yaitu:
1. UU yang dibentuk pemerintah bersama dengan DPR dan
Senat yang mengatur tentang daerah bagian dan bagiannya,
hubungan antara RIS dengan daerah bagiannya;166
2. Undang-undang yang dibentuk Pemerintah bersama-sama
dengan DPR; 167 dan
3. Undang –Undang yang dibentuk Pemerintah bersama-sama
dengan DPR dan Senat, khusus mengenai Perubahan
KRIS.168
Pada saat berlakunya KRIS, dikeluarkan UU No.1 Tahun
1950 tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Negara Bagian Republik Indonesia
Yogyakarta yang merupakan negara bagian dari RIS. UU ini
dikeluarkan oleh Negara RI di Jogyakarta (negara bagian), sedangkan
untuk RIS (pemerintah federal) berlaku UU Drt 2-1950. Jenis
peraturan berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang tersebut adalah:
a. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang,
b. Peraturan Pemerintah,
c. Peraturan Menteri.

164
Pasal 139 KRIS
165
Pasal 141 KRIS
166
Pasal 127a KRIS
167
Pasal 127b KRIS
168
Pasal 190 KRIS
184

Masa berlakunya UUDS Tahun 1950.


Dengan berlakunya UUDS tanggal 17 Agustus Tahun 1950,
jenis peraturan perundang-undangan yang ada adalah:
a. Undang-Undang (Pasal 89);
b. Undang-Undang Darurat (Pasal 196 )
c. Peraturan Pemerintah (Pasal 98 )
Selain peraturan tersebut diatas, terdapat peraturan lainnya yakni:
a. Peraturan Menteri
b. Keputusan Menteri; dan
c. Peraturan Tingkat Daerah

Masa berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959


Setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli Tahun 1959, maka
Bangsa Indonesia kembali kepada UUD Tahun 1945. Karena itu jenis
peraturan perundang-undangan adalah apa yang tertuang didalam
UUD Tahun 1945, dan apa yang tertuang dalam Surat Presiden
kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR)
No. 2262/HK/59 tanggal 20 Agustus 1959 yang selanjutnya
dijelaskan lebih lanjut dengan Surat Presiden No. 3639/HK/59
tanggal 26 November 1959. Dengan demikian “bentuk-bentuk”
peraturan-peraturan Negara setelah UUD adalah:
1. Undang-Undang;
2. Peraturan Pemerintah;
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

Penyebutan jenis-jenis tersebut dalam Undang-Undang


Dasar bersifat enunsiatif, dalam arti tidak menutup kemungkinan
untuk mengatur bentuk-bentuk lain yang lebih rinci sesuai dengan
kebutuhan. Karena itu berdasarkan Surat Presiden No.2262/HK/1959
tertanggal 20 Agustus 1959 yang ditujukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong, dinyatakan bahwa di samping
bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan tersebut di atas,
dikeluarkan bentuk-bentuk peraturan yang lain, yaitu:
185

1. Penetapan Presiden untuk melaksanakan Dekrit


Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tanggal 5 Juli
1959 tentang Kembali Kepada UUD Tahun 1945.
2. Peraturan Presiden, yaitu peraturan yang dikeluarkan untuk
melaksanakan penetapan Presiden, ataupun peraturan yang
dikeluarkan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD Tahun1945.
3. Peraturan Pemerintah, yaitu untuk melaksanakan Peraturan
Presiden, sehingga berbeda pengertiannya dengan Peraturan
Pemerintah yang dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (2) UUD
Tahun 1945.
4. Keputusan Presiden yang dimaksudkan untuk melakukan
atau meresmikan pengangkatan-pengangkatan.
5. Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri yang dibuat oleh
kementerian-kementerian negara atau Departemen-
Departemen pemerintahan, masing-masing untuk mengatur
sesuatu hal dan untuk melakukan atau meresmikan
pengangkatan-pengangkatan.

Dalam susunan tersebut di atas, jelas terdapat kekacauan


antara satu bentuk dengan bentuk peraturan yang lain. Bahkan, dalam
praktek, bentuk yang paling banyak dikeluarkan adalah Penetapan
Presiden dan Peraturan Presiden. banyak materi yang seharusnya
diatur dalam UU, justru diatur dengan Penetapan Presiden ataupun
Peraturan Presiden.

Masa Orde Baru.


Setelah runtuhnya Pemerintahan Orde Lama, pada Tahun
1966, MPRS mengeluarkan TAP MPRS No. XIX/MPRS/1966
tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara di Luar
Produk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang tidak
sesuai dengan UUD Tahun 1945 dan Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966, yaitu tentang Memorandum DPRGR mengenai
Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan
186

Perundangan Republik Indonesia. TAP MPRS tersebut dimaksudkan


untuk menata dan mendudukkan secara konstitusional jenis dan
bentuk peraturan perundang-undangan yang banyak “menyimpang”
dari UUD Tahun 1945.
Dalam Lampiran II Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966,
ditentukan bentuk peraturan dengan tata urutan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar.
2. Ketetapan MPR.
3. Undang-Undang/Perppu.
4. Peraturan Pemerintah.
5. Keputusan Presiden.
6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti Peraturan
Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lain.

Jenis peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam


TAP MPRS tersebut banyak mengandung kelemahan , salah satu
contoh adalah tidak diaturnya secara tegas jenis peraturan tingkat
daerah khususnya Peraturan Daerah (Perda), sehingga terkesan
kurang dihormatinya Perda dan Keputusan Kepala Daerah yang
bersifat pengaturan (regeling) sebagai bagian dari sistem peraturan
perundang-undangan nasional.

Masa Reformasi – sekarang.


Setelah runtuhnya Pemerintahan Orde Baru, MPR
menetapkan TAP MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum
dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai pengganti
TAP MPRS No. XX/MPRS/1966. Jenis dan tata urutan (susunan)
peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 2 TAP MPR
No.III/MPR/2000 adalah:
1. UUD 1945;
2. Ketetapan (TAP) MPR;
3. Undang-Undang (UU);
4. PeraturanPemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu);
187

5. PeraturanPemerintah (PP);
6. KeputusanPresiden (Keppres); dan
7. Peraturan Daerah (Perda).

Selanjutnya dalam Pasal 3 ditentukan bahwa:


(1) Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis
Negara Republik Indonesia, memuat dasar dan garis besar
hukum dalam penyelenggaraan negara.
(2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia merupakan putusan Majelis Permusyawaratan
Rakyat sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang
ditetapkan dalam sidang-sidang Majelis Permusyawaratan
Rakyat.
(3) Undang-undang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat
bersama Presiden untuk melaksanakan Undang-Undang
Dasar 1945 serta Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia.
(4) Peraturan pemerintah pengganti undang-undang dibuat oleh
Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang harus
diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan
yang berikut;
b. Dewan Perwakilan Rakyat dapat menerima atau menolak
peraturan pemerintah pengganti undang-undang dengan
tidak mengadakan perubahan;
c. Jika ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, peraturan
pemerintah pengganti undang-undang tersebut harus
dicabut.
(5) Peraturan pemerintah dibuat oleh Pemerintah untuk
melaksanakan perintah undang-undang.
(6) Keputusan presiden yang bersifat mengatur dibuat oleh
Presiden untuk menjalankan fungsi dan tugasnya berupa
188

pengaturan pelaksanaan administrasi negara dan administrasi


pemerintahan.
(7) Peraturan daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan
aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi khusus dari
daerah yang bersangkutan:
a. Peraturan daerah propinsi dibuat oleh dewan perwakilan
rakyat daerah propinsi bersama dengan gubernur;
b. Peraturan daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan
perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama
bupati/walikota;
c. Peraturan desa atau yang setingkat, dibuat oleh badan
perwakilan desa atau yang setingkat, sedangkan tata cara
pembuatan peraturan desa atau yang setingkat diatur oleh
peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.

TAP MPR No. III/2000 tidak berlaku lama, selanjutnya pada


Tahun 2004 dikeluarkanlah UU 10/2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, dimana dalam Pasal 7 ditentukan :
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai
berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
meliputi:
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan
rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan
perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama
189

bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan
perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala
desa atau nama lainnya.

Berdasarkan hirarki pada Pasal 7 tersebut, maka dalam UU


10/2004 dikenal dan diakui secara formal satu jenis peraturan baru
yakni Peraturan Desa (Perdes) yang kedudukannya berada dibawah
Perda Kabupaten. Jenis peraturan perundang-undangan selain yang
ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) tersebut, dikenal juga jenis lainnya
yang mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan Pasal 7 ayat ( 4)
yang menyebutkan bahwa: Jenis Peraturan Perundang-undangan
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya
dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam
Penjelasan Pasal 7 ayat (4) tersebut disebutkan bahwa jenis Peraturan
Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain,
peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau
komisi yang setingkat yang dibentak oleh undang-undang atau
pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
UU 10/2004 kemudian dirubah kembali dengan UU
NO.12/2011tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan .
Perubahan terhadap UU 10/2004 dilakukan karena Undang-Undang
ini banyak mengandung kelemahan-kelemahan yaitu antara lain:169
a. materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
banyak yang menimbulkan kerancuan atau multitafsir

169
Penjelasan Umum UU 12/2011.
190

sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum;


b. teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten;
c. terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan
perkembangan atau kebutuhan hukum dalam
Pembentukan Peraturan Perundangundangan; dan
d. penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap
bab sesuai dengan sistematika.
Dalam Pasal 7 ayat (1) UU NO.12/2011menyebutkan jenis
dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dari uraian tersebut maka sama halnya dengan UU 10/2004,
dalam UU ini juga diakui jenis peraturan perundang-undangan
lainnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) yang
menentukan bahwa: Jenis Peraturan Perundang-undangan selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan
yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial,
Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat
yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah
Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Peraturan ini
mempunyai kekuatan mengikat sepanjang diperintahkan oleh
peraturan yang lebih tinggi.
191

Ketentuan tersebut mengindikasikan terdapat 2 jenis


peraturan perundang-undangan yakni peraturan perundang-undangan
didalam hierarchi dan diluar hierarchi yang diatur dalam Pasal 7 dan
Pasal 8 UU 12/2011. Jenis peraturan perundang-undangan
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU NO.12/2011dapat
disebut sebagai Jenis Peraturan Perundang-undangan Di Dalam
Hierarki, untuk membedakan dengan jenis peraturan perundang-
undangan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011, yang dapat
disebut Jenis Peraturan Perundang-undangan di Luar Hierarki.
Berikut tabel jenis Peraturan Perundang-undangan menurut
TAP MPRS XX/MPRS/1966, TAP MPR III/MPR/2000, UU 10/2004
dan UU 12/2011.
Tabel 5.
Perbandingan Jenis Peraturan Perundang-undangan menurut:
TAP MPRS XX/MPRS/1966, TAP MPR III/MPR/2000, UU
10/2004 dan UU 12/2011.
No. TAP MPRS TAP MPR UU UU 12/2011
XX/MPRS/1966 III/MPR/20 10/2004
00
1 UUD 1945 UUD 1945 UUD 1945 UUD 1945
2 Ketetapan MPR Ketetapan UU/Perppu Ketetapan MPR
MPR
3 UU/Perppu UU PP UU/Perppu
4 PP Perppu Perpres PP
5 Keppres PP Perda Perpres
Propinsi
6 Peraturan Keppres Perda Perda Propinsi
pelaksanaan lainnya Kabupaten
seperti Peraturan
Menteri, Instruksi
Menteri, dan lain-
lain.
7 - Perda Perdes Perda Kabupaten
Sumber : Penulis

192

Kekuatan hukum mengikat peraturan perundang-undangan


tersebut diatas adalah sesuai dengan hierarkinya (Pasal 7 ayat 2 UU
12/2011). Yang dimaksud dengan “hierarki” menurut Penjelasan pasal
tersebut adalah: penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-
undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-
undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dengan demikian dari pemaparan tersebut diatas adanya


kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan”, adalah sebagai
salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik (Pasal 5 huruf c UU 12/2011), menunjukkan pentingnya
pemahaman dan ketentuan tentang jenis, hierarki, dan materi muatan
peraturan perundang-undangan. Asas ini dapat dicermati dalam Kotak
berikut.

KOTAK 3.
ASAS KESESUAIAN ANTARA JENIS, HIERARKI, DAN MATERI
MUATAN
PASAL 5  PENJELASAN  ANOTASI
PASAL 5
Dalam membentuk Huruf c A. Hamid S.
Peraturan Perundang- Yang dimaksud dengan Attamimi170
undangan harus “asas kesesuaian antara mengetengahkan
dilakukan jenis, hierarki, dan Asas-asas
berdasarkan materi muatan” adalah Pembentukan
pada asas bahwa dalam Peraturan Perundang-
Pembentukan Pembentukan unangan Yang Patut,
peraturan Perundang- Peraturan Perundang- yang dibagi ke dalam
undangan yang baik, undangan harus benar- Asas-asas formal dan
yang meliputi: benar memperhatikan Asas-asas material.
…...................... materi muatan yang Asas yang keempat
tepat sesuai dengan dari Asas-asas formal

170
A Hamid S Attamimi, Peranan Keputusan....., op.cit., hlm. 345-
346.
193

c. kesesuaian antara jenis dan hierarki itu adalah “asas


A jenis, hierarki, Peraturan Perundang- materi muatan yang
dan materi undangan. tepat”.
muatan;
…...........

A
Asas “materi muatan yang tepat” itu oleh A. Hamid S.
Attamimi diturunkan dari asas “organ/lembaga yang tepat”, yang oleh
karena itu ia sebut juga sebagai asas “organ/lembaga dan materi
muatan yang tepat” .171 Saat memberikan komentar tentang asas
“organ/lembaga yang tepat” dari van der Vlies, A. Hamid S.
Attamimi mengemukakan:172
“Berbeda dengan di Negeri Belanda di Republik Indonesia
mengenai organ/lembaga yang tepat itu perlu dikaitkan dengan
materi muatan dari jenis-jenis peraturan perundang-undangan.
Menurut hemat penulis, materi muatan peraturan perundang-
undangan itulah yang menyatu dengan kewenangan masing-
masing organ/lembaga yang membentuk jenis peraturan
perundang-undangan bersangkutan. Atau dapat juga
sebaliknya, kewenangan masing-masing organ/lembaga
tersebut menentukan materi muatan peraturan perundang-
undangan yang dibentuknya”.

UU NO.12/2011mengatur asas organ/lembaga yang tepat


dalam Pasal 5 huruf b, yakni asas “kelembagaan atau pejabat
pembentuk yang tepat”. Asas tersebut berikut artinya dapat disimak
dalam Kotak berikut:

171
Ibid.
172
Ibid.
194

KOTAK 4.
ASAS KELEMBAGAAN ATAU PEJABAT PEMBENTUK YANG TEPAT
PASAL 5  PENJELASAN PASAL 5
Dalam membentuk Peraturan Huruf b
Perundang-undangan harus Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan
dilakukan berdasarkan pada asas atau pejabat pembentuk yang tepat” adalah
Pembentukan Peraturan bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-
Perundang-undangan yang baik, undangan harus dibuat oleh lembaga
yang meliputi: negara atau pejabat Pembentuk Peraturan
…...................... Perundang-undangan yang berwenang.
b. kelembagaan atau pejabat Peraturan Perundang-undangan tersebut
pembentuk yang tepat; dapat dibatalkan atau batal demi hukum
…........... apabila dibuat oleh lembaga negara atau
pejabat yang tidak berwenang.

Pemahaman yang dapat diperoleh dari uraian tersebut diatas


adalah bahwa apabila Peraturan Perundang-undangan yang dibuat
oleh lembaga negara atau pejabat berisi materi muatan yang tidak
tepat, maka itu masuk kategori Peraturan Perundang-undangan yang
dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang, dan
oleh karena itu dapat dibatalkan atau batal demi hukum.
Apa arti “dapat dibatalkan”?; Apa arti “batal demi hukum”?
Dalam hukum administrasi, suatu keputusan tidak sah akan berakibat
batal keputusan tersebut. Dibedakan tigas jenis pembatalan suatu
ketetapan tidak sah, yakni batal karena hukum, batal, dan dapat
dibatalkan.173 Rinciannya dalam tabel berikut:
Tabel 6.
Konsep batal demi hukum dan dapat dibatalkan
KONSEP ISI KONSEP
Batal demi Hukum  Keputusan yang batal demi hukum adalah suatu
(nietigheid van ketetapan yang isinya menetapkan adanya akibat
rechtswegw) suatu perbuatan itu untuk sebagian atau seluruhnya

173
Utrecht, E, 1986, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Edisi
Fotografi.

195

bagi hukum dianggap tidak ada, tanpa diperlukan


keputusan pengadilan atau Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang berwenang menyatakan
batalnya ketetapan tersebut.
 Jadi ketetapan batal sejak dikeluarkan, bagi hukum
dianggap tidak ada tanpa diperlukan suatu
keputusan hakim atau suatu keputusan badan
pemerintah lain yang berkompeten untuk
menyatakan batalnya sebagian atau seluruhnya.
Batal (nietigheid) Ketetapan batal merupakan suatu tindakan atau
perbuatan hukum yang dilakukan yang berakibat suatu
perbuatan dianggap tidak pernah ada.
Dapat Dibatalkan  Keputusan dapat dibatalkan yaitu suatu keputusan
(nietigheidbaar) dapat dinyatakan batal setelah adanya pembatalan
oleh hakim atau instansi yang berwenang
membatalkan, dan pembatalan tidak berlaku surut.
 Jadi bagi hukum perbuatan dan akibat-akibat
hukum yang ditimbulkan dianggap sah sampai
dikeluarkan keputusan pembatalan (ex-nunc)
kecuali undang-undang menentukan lain.

UUAP mengenal dua jenis pembatalan keputusan, yaitu


dibatalkan dan dapat dibatalkan. Rinciannya dalam tabel berikut:

Tabel 7.
Konsep dibatalkan dan dapat dibatalkan
KONSEP ISI KONSEP
Dibatalkan  Keputusan pembatalan dilakukan oleh: a. Pejabat
Pemerintahan yang menetapkan Keputusan; b.
Atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan; atau
c. atas Putusan Pengadilan.
 Akibat hukum Keputusan dan/atau Tindakan
dibatalkan: a. tidak mengikat sejak Keputusan
dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan; dan segala
akibat hukum yang ditimbulkan dianggap tidak
pernah ada.

Dapat Dibatalkan  Keputusan pembatalan dilakukan oleh: a. Pejabat


Pemerintahan yang menetapkan Keputusan; b.
196

Atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan; atau c.


atas Putusan Pengadilan.
 Akibat hukum Keputusan dan/atau Tindakan dapat
dibatalkan: a. tidak mengikat sejak saat dibatalkan
atau tetap sah sampai adanya pembatalan; dan
berakhir setelah ada pembatalan.

Terkait dengan pernyataan “Peraturan Perundang-undangan


tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh
lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang” bermakna:
Pertama, Peraturan Perundang-undangan dapat dibatalkan
adalah Peraturan Perundang-undangan dinyatakan batal setelah
adanya keputusan pembatalan oleh hakim atau instansi yang
berwenang membatalkan, dan pembatalan tidak berlaku surut. Jadi
bagi hukum perbuatan dan akibat-akibat hukum yang ditimbulkan
oleh Peraturan Perundang-undangan dianggap sah sampai
dikeluarkan keputusan pembatalan (ex-nunc).
Kedua, Peraturan Perundang-undangan yang batal demi hukum
adalah Peraturan Perundang-undangan yang akibat hukumnya baik
sebagian maupun seluruhnya bagi hukum dianggap tidak ada, tanpa
diperlukan keputusan pembatalan oleh hakim atau instansi yang
berwenang membatalkan. Jadi Peraturan Perundang-undangan batal
sejak dikeluarkan, bagi hukum dianggap tidak ada tanpa diperlukan
suatu keputusan hakim atau instansi yang berkompeten untuk
menyatakan batalnya sebagian atau seluruhnya.
Persoalannya, siapa yang pada akhirnya menentukan
Peraturan Perundang-undangan batal demi hukum, akan menjadi
problem hukum tersendiri. Oleh karena itu dapat dipahami dalam
UUAP tidak dikenal keputusan batal demi hukum.
Untuk mendapat kejelasan tentang jenis-jenis peraturan
perundang-undangan pada uraian selanjutnya dijelaskan jenis-jenis
peraturan perundang-undangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal
7 ayat (1) UU 12/2011:

197

a. Undang-Undang Dasar
Salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang
mempunyai kedudukan yang tertinggi dalam hierarchi peraturan
perundang-undangan adalah UUD Tahun 1945. Hal tersebut telah
diatur dengan tegas dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011. Dengan
kedudukan yang tertinggi itu berarti bahwa peraturan yang berada
dibawahnya harus berdasar atau bersumber pada UUD Tahun 1945.
Dalam Pasal 3 ayat (1) UU NO.12/2011menyebutkan :Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan
hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. Yang dimaksud
dengan “hukum dasar” adalah norma dasar bagi Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang merupakan sumber hukum bagi
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.174
Menurut A.Hamid S Attamimi, UUD Tahun 1945 tidak tepat
disebut sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan
dengan mengatakan bahwa: UUD Tahun 1945 dan Ketetapan MPR
tidak tepat masuk dalam jenis peraturan perundang-undangan karena
termasuk dalam aturan dasar. Sedangkan yang termasuk peraturan
perundang-undangan adalah undang-undang/perppu, Pertauran
Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan
Lembaga Pemerintah Non Departemen, Keputusan Direktur Jendral
Departemen, keputusan kepala badan negara diluar jajaran
pemerintah yang dibentuk dengan Undang-Undang, Peraturan Daerah
Tingkat I, Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Keputusan
Gubernur Kepala Daerah , Keputusan Bupati/Wali Kotamadya
Kepala Daerah Tingkat II.175
Eksistensi UUD Tahun 1945 sendiri diakui dalam Pasal 3
ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa; MPR
berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.

174
Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU 12/2011.
175
A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden .....op.cit.,
hlm. 58.
198

b. Ketetapan MPR
Ketetapan MPR adalah Putusan Majelis Permusyawaratan
Rakyat sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam
sidang-sidang MPR.176 Sedangkan yang dimaksud dengan “Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat” dalam UU NO.12/2011adalah
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003
tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002,
tanggal 7 Agustus 2003.177

c. Undang-Undang (UU) / Perppu


Jenis peraturan perundang-undangan yang ketiga menurut
UU NO.12/2011adalah Undang-Undang (UU). Landasan Hukum UU
diatur dalam Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UUD Negara RI
Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa : yang memegang kekuasaan
untuk membentuk Undang-Undang adalah DPR. Selanjutnya dalam
Pasal 1 angka 3 UU NO.12/2011menyebutkan: Undang-Undang
adalah Peraturan Perundangundangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
Dengan demikian maka dalam pembentukan UU lembaga
legislatif memepunyai peranan yang sangat menentukan keabsahan
dan kekuatan mengikat UU itu untuk umum. 178 Menurut para ahli
hukum antara lain P.J.P.Tak179 dalam bukunya Rechtsvorming in
Netherland pengertian UU dibagi menjadi: UU dalam arti materiil
176
Lihat Pasal 3 ayat (2) Ketetapan MPR No.III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
177
Pasal 7 ayat (1) huruf b UU 12/2011.
178
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal ........., op cit, hlm. 32-33.
179
HAS. Natabaya, 2008, Sistem Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Jakarta : Konstitusi Press, hlm.11.
199

(wet materiele zin) dan UU dalam arti formal (wet formele zin). UU
dalam arti formil adalah apabila pemerintah bersama dengan
parlemen mengambil keputusan – maksudnya untuk membuat UU-
sesuai dengan prosedur . Sedangkan UU dalam arti materiil adalah
jika suatu lembaga yang mempunyai kewenangan membentuk
peraturan perundang-undangan mengeluarkan suatu keputusan yang
isinya mengikat masyarakat secara umum. Dengan kata lain UU
dalam arti Materiil melihat UU dari segi isi, materi dan dan
substansinya, sedangkan UU dalam arti formil dilihat dari segi bentuk
dan pembentukannya. Pembedaan tersebut hanya dilihat dari segi
penekanannya yaitu sudut penglihatan, yaitu undang-undang yang
dilihat dari segi materinya dan undang-undang yang dilhihat dari segi
bentuknya.180
Sedangkan arti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perppu) dalam angka 4 pasal 1 UU NO.12/2011 disebutkan
bahwa: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam
hal ihwal kegentingan yang memaksa. Perppu ditetapkan tanpa
terlebih dahulu meminta persetujuan bersama Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan hanya dapat dilakukan dalam hal ikhwal
kegentingan memaksa. Perppu harus mendapatkan persetujuan DPR
pada sidang berikutnya untuk dapat berubah menjadi UU. Bila tidak
maka Perppu tersebut harus dicabut.

d. Peraturan Pemerintah (PP)


Dasar hukum PP adalah Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945
yang menyebutkan : Presiden menetapkan peraturan pemerintah
untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Yang
dimaksud dengan Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-
undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-
Undang sebagaimana mestinya (Pasal 1 angka 5) UU 12/2011.

180
Ibid., hlm. 34-35.
200

Dengan demikian maka tidak akan ada PP jika tidak ada UU yang
menjadi induknya.
Menurut A Hamid S Attamimi, karakteristik dari PP
adalah:181
1. PP tidak dapat lebih dulu dibentuk tanpa ada UU yang
menjadi induknya;
2. PP tidak dapat mencantumkan sanksi pidana apabila UU
yangbersangkutan tidak mencantumkan sanksi pidana;
3. Ketentuan PP tidak dapat menambah atau mengurangi
ketentuan UU yang bersngkutan;
4. PP dapat dibentuk meski ketentuan UU yang bersangkutan
tidak memintanya secara tegas;
5. Ketentuan-ketentuan PP berisi peraturan atau gabungan
peraturan dan penetapan. PP tidak berisi penetapan semata-
mata.

e. Peraturan Presiden (Perpres).


Peraturan Presiden adalah salah satu jenis peraturan
perundang-undang yang baru ditentukan dengan tegas dalam UU
10/2004. Sebelum keluarnya UU 10/2004 dalam hirarki PPU dikenal
istilah Keputusan Presiden (Keppres) yang mempunyai sifat
mengatur. Setelah keluarnya UU 10/2004, istilah keputusan kemudian
diganti dengan istilah “Peraturan”, hal ini dimaksudkan untuk lebih
memperjelas bentuk peraturan apakah berupa “regelings”
(pengaturan) ataukah “beschiking” (penetapan). Kedua bentuk
tersebut mempunyai sifat yang berbeda yaitu; jika berbentuk
pengaturan maka bersifat deuerhaftig yakni berlaku terus menerus,
dan jika bentuknya adalah “keputusan” maka sifatnya adalah
einmalig yaitu sekali selesai.
Dasar hukum Perpres terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) UUD
Tahun 1945 yang menentukan bahwa: Presiden Republik Indonesia

181
Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-Undangan
–Dasar-dasar Pemebentukannya, Yogyakarta : Kanisius, hlm. 99.
201

memegang kekuasaan pemerintahan menurut UndangUndang Dasar.


Dalam rangka melaksanakan kekuasaan pemerintahan tersebutlah,
presiden dapat mengeluarkan Perpres. Yang dimaksud dengan
Perpres adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan
pemerintahan (Pasal 1 angka 6, UU 12/2011).
Rumusan tersebut jelas menegaskan bahwa kewenangan
untuk membentuk Perpres adalah ditangan Presiden, dan
pembentukan Perpres dilakukan dalam rangka pelaksanaan
pemerintahan oleh presiden.
Dari segi wewenang Perpres dapat dibedakan:
1. Perpres sebagai pelaksanaan kewenangan dari presiden baik
presiden sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan.
Disini Presiden mempunyai kewenangan secara mandiri untuk
membuat Perpres yang tidak tetap batas lingkupnya. Kewenangan
disini merupakan kewenangan atributif yang diberikan
berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD Tahun 1945. Perpres mandiri
ini adalah konsekwensi dari kedudukan presiden sebagai
penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, dimana kekuasaan
dan tanggung jawab ada ditangan Presiden (cocentration of power
and responsibility upon the President).
2. Perpres dapat juga dibentuk karena delegasi (delegated
legislation), sebagai peraturan delegasi untuk melaksanakan
perintah UUD, UU maupun PP.182

f. Peraturan Daerah Provinsi


Dalam UUDNRI Tahun 1945 Pasal 18 ayat (6) ditentukan
bahwa: pemerintahan daerah berhak untuk menetapkan Peraturan
Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi
dan tugas pembantuan. Perda terbagi menjadi Perda Propinsi dan

182
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na‟a, op.cit., hlm. 68.
202

Perda Kabupaten. Yang dimaksud dengan Perda Propinsi adalah


Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama
Gubernur (Pasal 1 angka 7 UU 12/2011). Termasuk dalam Peraturan
Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Provinsi Aceh dan
Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) serta Peraturan Daerah Provinsi
(Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
(Penjelasan Pasal 7 ayat (1) Huruf f) UU 12/2011.

g. Peraturan Daerah Kabupaten,


Adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan
persetujuan bersama Bupati/Walikota (Pasal 1 angka 8). Termasuk
dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Qanun yang berlaku
di Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh (Penjelasan Pasal 7 ayat (1)
Huruf g).
Sedangkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.80
Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, dalam
Pasal 1 angka 4 menyebutkan bahwa Peraturan Daerah Provinsi atau
nama lainnya dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota atau nama
lainnya, yang selanjutnya disebut perda adalah peraturan perundang-
undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama
kepala daerah.

12.4. Fungsi Peraturan Perundang-undangan


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arti Fungsi : 1.jabatan
(pekerjaan) yg dilakukan: 2.faal (kerja suatu bagian
tubuh): 3.Mat besaran yg berhubungan, jika besaran yg satu berubah,
besaran yg lain juga berubah; 4. kegunaan suatu hal; 5. Ling peran
sebuah unsur bahasa dalam satuan sintaksis yang lebih luas (seperti
nomina berfungsi sbg subjek).183 Terkait peraturan perundang-

183
http://kbbi.co.id/arti-kata/fungsi
203

undangan maka fungsi peraturan perundang-undangan dapat diartikan


sebagai kegunaan peraturan perundang-undangan secara umum dan
secara khusus sesuai dengan jenisnya. Atau dapat dikatakan bahwa
peraturan perundang-undangan adalah sebagai instrumen kebijakan
(beleids instrument), yang dikeluarkan oleh pejabat atau lembaga
yang berwenang yang memiliki kegunaan atau fungsi-fungsi tertentu.
Ada perbedaan antara fungsi hukum dan fungsi peraturan
perundang-undangan. Fungsi hukum dimaksudkan sebagai fungsi dari
setiap sumber hukum, sedangkan fungsi peraturan perundang-
undangan adalah fungsi dari salah satu sumber hukum, yaitu
peraturan perundang-undangan itu sendiri.184
Robert Baldwin dan Martin Cave, sebagaimana di kutip oleh
Ismail Hasani dan Prof. Dr. A. Gani Abdullah, SH, mengemukakan
bahwa peraturan perundang undangan memiliki fungsi :185
a. Mencegah monopoli atau ketimpangan kepemilikan sumber
daya;
b. Mengurangi dampak negatif dari suatu aktivitas dan
komunitas atau lingkunganya;
c. Membuka informasi bagi publik dan mendorong keseteraan
antar kelompok (mendorong perubahan institusi, atau
affirmative action kepada kelompok marginal);
d. Mencegah kelangkaan sumber daya publik dari eksploitasi
jangka pendek;
e. Menjamin pemerataan kesempatan dan sumber daya serta
keadilan sosial, perluasan akses dan redtribusi sumber
daya,;dan
f. Memeperlancar koordinasi dan perencanaan dalam sector
ekonomi.

184
Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, op.cit, hlm.
60-65.
185
Ismail Hasani & A. Gani Abdullah, 2006, Pengantar Ilmu
Perundang-Undangan, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah, hlm. 33.
204

Sedangkan fungsi peraturan perundang-undangan menurut


Bagir Manan dapat dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu fungsi
internal dan fungsi eksternal.186
Adapun fungsi internal dan fungsi eksternal tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1. Fungsi Internal.
Fungsi internal adalah fungsi peraturan perundang-
undangan sebagai sub sistem hukum (hukum perundang-
undangan) terhadap sistem kaidah hukum. Secara internal,
peraturan perundang-undangan menjalankan fungsi penciptaan
hukum, fungsi pembaharuan hukum, fungsi integrasi pluralisme
hukum, dan fungsi kepastian hukum:187

a. Penciptaan hukum (rechtschepping)


Adapun yang dimaksud dengan penciptaan hukum adalah
penciptaan yang melahirkan sistem kaidah hukum yang berlaku
umum dilakukan atau terjadi melalui beberapa cara yaitu melalui
putusan hakim (yurisprudensi). Kebiasaan yang tumbuh sebagai
praktek dalam kehidupan masyarakat atau negara, dan peraturan
perundang-undangan sebagai keputusan tertulis pejabat atau
lingkungan jabatan yang berwenang yang berlaku secara umum.
Secara tidak langsung, hukum dapat pula terbentuk melalui ajaran-
ajaran hukum (doktrin) yang diterima dan digunakan dalam
pembentukan hukum.
Salah satu cara utama penciptaan hukum di Indonesia
adalah melalui pembentukan peraturan perundang-undangan. Atau
dengan kata lain bahwa peraturan perundang-undangan
merupakan sendi utama sistem hukum nasional. Pemakaian
peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama sistem hukum
nasional karena:

186
Bagir Manan, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara
Indonesia, Bandung :Alumni,hlm. 47.
187
Ibid., hlm. 17-20.
205

1. Sistem hukum Indonesia – sebagai akibat sistem hukum


Hindia Belandia – lebih menampakkan sistem hukum
kontinental yang mengutamakan bentuk sistem hukum
tertulis (geschrevenrecht, written law).
2. Politik pembangunan hukum nasional mengutamakan
penggunaan peraturan perundang-undangan sebagai
Instrumen utama. Bandingkan dengan hukum
yurisprudensi dan hukum kebiasaan. Hal ini antara lain
karena pembangunan hukum nasional yang
menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai
instrument dapat disusun secara berencana (dapat
direncanakan).

b. Fungsi Pembaharuan Hukum


Artinya bahwa peraturan perundang-undangan
merupakan instrumen dalam pembaharuan hukum (law reform)
dibandingkan dengan penggunaan hukum kebiasaan atau hukum
yurisprudensi. Telah dikemukakan, pembentukan peraturan
perundang-undangan dapat direncanakan melalui program
legislasi baik nasional maupun daerah , sehingga pembaharuan
hukum dapat pula direncakan. Pembaharuan tidak hanya
dilakukan terhadap hukum yang sudah ada tetapi dapat juga pula
dipergunakan sebagai sarana memperbaharui yurisprudensi,
Hukum kebiasaan atau hukum adat.
Fungsi pembaharuan terhadap peraturan perundang-
undangan antara lain dalam rangka mengganti peraturan
perundang-undangan dari masa pemerintahan Hindia Belanda.
Termasuk pula adalah memperbaharui peraturan perundang-
undangan yang dibuat setelah kemerdekaan yang sudah tidak
sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
Terhadap hukum kebiasaan atau hukum adat, peraturan
perundang-undangan berfungsi mengganti hukum kebiasaan atau
hukum adat yang tidak sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang
206

ada. Pemanfaatan peraturan perundang-undangan sebagai


instrumen pembaharuan hukum kebiasaan atau hukum adat sangat
bermanfaat, karena dalam hal-hal tertentu kedua hukum yang
disebut belakangan tersebut sangat rigid terhadap perubahan.188

c. Fungsi Integrasi Pluralisme Sistem Hukum


Pada saat ini, di Indonesia masih berlaku berbagai sistem
hukum, yaitu: sistem hukum Eropa kontinental (Barat), sistem
hukum adat, sistem hukum agama (khususnya lslam) dan sistem
hukum nasional”.189 Hal ini menunjukkan adanya pluralisme
hukum di Indonesia.190 Menurut Erman Rajagukguk bahwa
kendala terberat adanya pluralisme hukum adalah dalam
mewujudkan kepastian hukum. Hukum di Indonesia menurut guru
besar tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor politik. Bahkan
pemberantasan korupsi sampai saat ini pun oleh Erman diakui
sangat sulit karena dalam penegakannya banyak
191
mempertimbangkan faktor politik.
Penataan kembali berbagai sistem hukum tersebut
tidaklah dimaksudkan meniadakan berbagai sistem hukum,
terutama sistem hukum yang hidup sebagai satu kenyataan yang
dianut dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat.
Pembangunan sistem hukum nasional adalah dalam
rangka mengintegrasikan berbagai sistem hukum tersebut

188
Bagir Manan, Sleten, 1993, Perundang-undangan Indonesia,
Makalah, Jakarta, hlm. 6.
189
Bagir Manan, 1994, Pemahaman Mengenai Sistem Hukum
Nasional, Makalah, Jakarta, hlm. 6.
190
Pluralisme hukum menurut Erman Rajagukguk dalam Kongres
Internasional ke-15 Mengenai Pluralisme Hukum yang diselenggarakan di
Fakultas Hukum Universitas Indonesia Depok, Kamis (29 Juni Tahun 2006)
diartikan sebagai sebagai situasi dimana terdapat dua atau lebih sistem
hukum yang berada dalam suatu kehidupan sosial. Pluralisme hukum harus
diakui sebagai sebuah realitas masyarakat.
191
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15089/pluralisme-
hukum-harus-diakui
207

sehingga tersusun dalam satu tatanan yang harmonis satu sama


lain. Mengenai pluralisme kaidah hukum sepenuhnya bergantung
pada kebutuhan hukum masyarakat. Kaidah hukum dapat berbeda
antara berbagai kelompok masyarakat, tergantung pada keadaan
dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.
Dengan demikian fungsi peraturan perundang-undangan
adalah mengintegrasikan berbagai (pluralisme) peraturan yang
ada. Pemahaman akan pluralisme hukum menurut The
Commission on Folk Law and Legal Pluralism, Prof. Anne
Griffith mengatakan perlu diberikan pemahaman tersebut kepada
pengambil kebijakan, ahli hukum, antropolog, sosiolog dan
ilmuwan sosial lainnya.192

d. Fungsi kepastian hukum


Kepastian hukum (rechtszekerheid, legal certainty)
merupakan asas penting dalam tindakan hukum (rechtshandeling)
dan penegakan hukum (hendhaving, uitvoering). Adanya
peraturan perundang-undangan dapat memberikan kepastian
hukum yang lebih tinggi daripada hukum kebiasan, hukum adat,
atau hukum yurisprudensi. Namun, perlu diketahui, kepastian
hukum peraturan perundang-undangan tidak semata-mata
diletakkan pada bentuknya yang tertulis (geschreven, written)
yakni selain harus memenuhi syarat-syarat formal, juga harus
memenuhi syarat-syarat lain, yaitu: Jelas dalam perumusannya
(unambiguous), Konsisten dalam perumusannya baik secara intern
maupun ekstern. Konsisten secara intern mengandung makna
bahwa dalam peraturan perundang-undangan yang sama harus
terpelihara hubungan sietematik antara kaidah-kaidahnya,
kebakuan susunan dan bahasa. Konsisten secara eketern, adalah
adanya hubungan “harmonisasi” antara berbagai peraturan
perundang-undangan.

192
Ibid.
208

Selain itu adalah memperhatikan penggunaan bahasa


yang tepat dan mudah dimengerti. Bahasa peraturan perundang-
undangan haruslah bahasa yang umum dipergunakan masyarakat.
Tetapi ini tidak berarti bahasa hukum tidak penting. Bahasa
hukum baik dalam arti struktur, peristilahan, atau cara penulisan
tertentu harus dipergunakan secara ajeg karena merupakan bagian
dan upaya menjamin kepastian hukum Melupakan syarat-syarat
di atas, peraturan perundang-undangan mungkin menjadi lebih
tidak pasti dibandingkan dengan hukum kebiasaan, hukum adat,
atau hukum yurisprudensi.

2. Fungsi Eksternal.
Fungsi eksternal adalah keterkaitan peraturan perundang-
undangan dengan tempat berlakunya. Fungsi eksternal ini dapat
disebut sebagai fungsi sosial hukum, yang meliputi fungsi perubahan,
fungsi stabilisasi, fungsi kemudahan. Dengan demikian, fungsi ini
dapat juga berlaku pada hukum-hukum kebiasaan, hukum adat, atau
hukum yurisprudensi. Bagi Indonesia, fungsi sosial ini akan lebih
diperankan oleh peraturan perundang-undangan, karena berbagai
pertimbangan yang sudah disebutkan di muka. Fungsi sosial ini dapat
dibedakan:193
1. Fungsi perubahan, yaitu fungsi hukum sebagai sarana
pembaharuan (law as a tool of social engineering). Peraturan
perundang-undangan diciptakan atau dibentuk untuk
mendorong perubahan masyarakat di bidang ekonomi, sosial,
maupun budaya. Masyarakat “patrilineal” atau “matrilineal”
dapat didorong menuju masyarakat “parental” melalui
peraturan perundang-undangan perkawinan.
2. Fungsi stabilisasi, Peraturan perundang-undangan dapat pula
berfungsi sebagai stabilisasi. Peraturan perundang-undangan
di bidang pidana, di bidang ketertiban dan keamanan adalah

193
Bagir Manan, Beberapa masalah..............., op.cit., hlm. 21-22.
209

kaidah-kaidah yang terutama bertujuan menjami stabilitas


masyarakat. Kaidah stabilitas dapat pula mencakup kegiatan
ekonomi, seperti pengaturan kerja, pengaturan tata cara
perniagaan dan lain-lain. Demikian pula di lapangan
pengawasan terhadap budaya luar, dapat pula berfungsi
menstabilkan sistem soeial budaya yang telah ada.
3. Fungsi kemudahan, Peraturan perundang-undangan dapat
pula dipergunakan sebagai sarana mengatur berbagai
kemudahan (fasilitas). Peraturan perundang-undangan yang
berisi ketentuan insentif seperti keringanan pajak, penundaan
pengenaan pajak, penyederhanaan tata cara perizinan,
struktur permodalan dalam penanaman modal merupakan
kaidah-kaidah kemudahan. Namun perlu diperhatikan, tidak
selamanya, peraturan kemudahan akan serta merta
membuahkan tujuan pemberian kemudahan. Dalam
penanaman modal misalnya, selain kemudahan-kemudahan
seperti disebutkan di atas diperlukan juga persyaratan lain
seperti stabilitas politik, sarana dan prasarana ekonomi,
ketenagakerjaan, dan lain sebagainya.

Selain fungsi-fungsi tersebut, terkait dengan adanya beberapa


jenis peraturan perundang-undangan, maka masing-masing peraturan
perundang-undangan tersebut memiliki fungsi-fungsi tertentu. Secara
khusus fungsi peraturan perundang-undangan dirinci sebagai berikut:

1. Fungsi UUD Tahun 1945.


Pasal 3 ayat (1) UU NO.12/2011menyebutkan bahwa:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.
Dengan demikian sebagai hukum dasar, UUD 1945 berisi norma-
norma dan aturan-aturan yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh
semua komponen masyarakat. UUD merupakan hukum dasar, yaitu
hukum dasar yang tertulis. Sebagai hukum dasar, UUD 1945 juga
210

merupakan sumber hukum tertulis dan memiliki kedudukan yang


tertinggi dalam hierarchi peraturan perundang-undangan sebagaimana
yang ditetukan dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011. Artinya bahwa
setiap produk hukum dibawahnya seperti Tap MPR, Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Perda ataupun setiap
tindakan atau kebijakan pemerintah haruslah berlandaskan dan
bersumber pada peraturan yang lebih tinggi yakni UUD Tahun 1945.
Dalam kedudukan yang demikian itu, maka UUD Tahun
1945 mempunyai fungsi sebagai alat kontrol, dalam pengertian UUD
Tahun 1945 mengontrol apakah peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah sesuai atau tidak dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. UUD 1945 juga berperan sebagai pengatur
bagaimana kekuasaan negara disusun, dibagi, dan dilaksanakan.
Selain itu UUD 1945 juga berfungsi sebagai penentu dan pelindung
hak dan kewajiban negara, aparat negara, dan warga negara.

2. Fungsi Ketetapan MPR


Fungsi Ketetapan MPR adalah sebagai landasan hukum bagi
produk hukum yang ada di bawahnya, selama ketetapan MPR itu
masih dinyatakan berlaku, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2
dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap
Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7
Agustus 2003.

3. Fungsi Undang-Undang dan Perppu


Ada beberapa Fungsi Undang-Undang yaitu:
1. Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang
Dasar 1945 yang tegas-tegas menyebutnya;
2. Pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya
dalam Batang Tubuh UUD 1945;
211

3. Pengaturan lebih lanjut dalam ketetapan MPR yang tegas-


tegas menyebutnya;

Fungsi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang


(PERPPU) pada dasarnya sama dengan fungsi dari undang-undang.
Perbedaan keduanya terletak pada Pembuatnya, undang-undang
dibuat oleh Presiden bersama-sama dengan DPR dalam keadaan
normal sedangkan PERPPU dibuat oleh Presiden. Perbedaan lainnya
adalah Undang-undang dibuat dalam suasana (keadaan) normal,
sedangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dibuat
dalam keadaan kegentingan yang memaksa.
Fungsi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
adalah:
1. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam
Undang-Undang Dasar 1945 yang tegas-tegas menyebutnya;
2. Pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya
dalam Batang Tubuh UUD 1945;
3. Pengaturan lebih lanjut dalam ketetapan MPR yang tegas-
tegas menyebutnya.

4. Fungsi Peraturan Pemerintah


Landasan formal konstitusional Peraturan Pemerintah adalah
Pasal 5 ayat (2) UUD 1945. Fungsi PP adalah :
1. pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang yang
tegas-tegas menyebutnya;
2. menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut, ketentuan lain
dalam undang-undang yang mengatur meskipun tidak tegas-
tegas menyebutnya.

5. Fungsi Peraturan Presiden


Secara umum Fungsi Peraturan Presiden (regeling) adalah,
sebagai berikut :

212

1. menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka


penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. (sesuai Pasal 4
ayat 1 UUD 1945);
2. menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya;
3. menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain
dalam Peraturan Pemerintah meskipun tidak tegas-tegas
menyebutkannya.

6. Fungsi Peraturan Daerah

Perda terbagi menjadi Perda Provinsi dan Perda Kabupaten.


Fungsi Peraturan Daerah adalah untuk menyelenggarakan otonomi
daerah dan tugas pembantuan dan menjabarkan lebih lanjut ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sebagaimana diatur
dalam Pasal 236 ayat (1) UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah
(sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan).
Dalam fungsi ini, Peraturan Daerah tunduk pada ketentuan
hierarki Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian Peraturan
Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi. Sebagai penampung kekhususan dan
keragaman daerah serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah,
namun dalam pengaturannya tetap dalam koridor Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai alat
pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan daerah. Sedangkan
menurut Kepala pusat penyuluhan hukum Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Peraturan Daerah mempunyai berbagai fungsi yaitu:194
a) sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi

194
https://saepudinonline.wordpress.com/2013/05/01/fungsi-perda-
dalam-peraturan-perundang-undangan/
213

daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.
b) merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi. Dalam fungsi ini, Peraturan Daerah
tunduk pada ketentuan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
Dengan demikian Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan
dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
c) sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah serta
penyalur aspirasi masyarakat di daerah, namun dalam
pengaturannya tetap dalam koridor Negara kesatuan Republik
indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945.
d) sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan
daerah.

12.5. Materi Muatan


Istilah “materi muatan peraturan perundangan” diperkenalkan
oleh A. Hamid S. Attamimi, yang disampaikan secara lisan dalam
Lokakarya mengenai Pengembangan Ilmu Hukum, di Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, tanggal 22 Pebruari 1979. Naskahnya
diselesaikan sesudahnya, dimuat dalam Majalah Hukum dan
Pembangunan, Nomor 3 Tahun 1979.195 A.Hamid S Attamimi secara
tidak langsung mengartikan materi muatan peraturan perundang-
undangan sebagai materi yang harus dimuat dalam masing-masing
jenis peraturan perundang-undangan.
Sedangkan dalam Pasal 1 angka 13 UU
NO.12/2011disebutkan bahwa : Materi Muatan Peraturan Perundang-

A. Hamid S. Attamimi, 1982, “Materi Muatan Peraturan


195

Perundang-undangan”, BPHN, Himpunan Bahan Penataran Latihan Tenaga


Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan Tanggal 1 s/d 20 Juni
1981, Diterbitkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman, Jakarta, ,hlm. 282-292.
214

undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-


undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan. Dengan demikian apa yang merupakan materi
suatu peraturan perundang-undangan adalah berbeda-beda tergantung
jenis, fungsi dan materinya. Dalam menyusun materi muatan
peraturan perundang-undangan ada beberapa asas yang harus
dipenuhi yaitu:196
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Dalam Penjelasan UU 12/2011, disebutkan arti dari asas-asas
tersebut adalah :
a. “Asas pengayoman” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundanganharus berfungsi memberikan pelindungan
untuk menciptakan ketentraman masyarakat.
b. “Asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan
dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat
setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
c. “Asas kebangsaan” adalah bahwasetiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa
Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

196
Pasal 6 UU 12/2011.
215

d. “Asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan


Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah
untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
e. “Asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan
kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan
bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
f. “Asas bhinneka tunggal ika” adalah bahwa Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman
penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta
budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,dan bernegara.
g. “Asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara.
h. “Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan”
adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan
berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras,
golongan, gender, atau status sosial.
i. “Asas ketertiban dan kepastianhukum” adalah bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
j. “Asas keseimbangan, keserasian,dan keselarasan” adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara
kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan
negara.

Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat


(1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain
216

sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang


bersangkutan. Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan
bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”,
antara lain:197
a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada
hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana,
dan asas praduga tak bersalah;
b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian,
antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan
itikad baik.
Materi muatan dari jenis-jenis peraturan perundang-undangan
dapat dijabarkan sebagai berikut:

12.5.1. Materi Muatan Undang-Undang Dasar


Undang-Undang Dasar (selanjutnya disebut UUD) adalah
merupakan hukum dasar negara. Atau the basic of the national legal
order/ Sebagai the basic of the national legal order maka UUD atau
konstitusi akan menjadi sumber bagi pembentukan peraturan
perundang-undangan yang ada dibawahnya. Perbedaan antara UUD
dengan peraturan perundang-undangan yang ada dibawahnya , salah
satunya adalah dari segi materi muatan. Menurut K.C.Wheare198
UUD adalah suatu dokumen hukum, sehingga akan merupakan :
a. Pernyataan pilihan (a short of manifesto);
b. Pengakuan dan keyakinan ( a consession of faith);
c. Pernyataan mengenai cita-cita bangsa/negara (a
statement of ideals);
d. Piagam negara ( a charter of the land).
Karena itu menurut K.C.Wheare bahwa UUD sebagai suatu
aturan hukum mengatur/ berisi aturan-aturan negara yang mengatur

197
Lihat Penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011
198
K.C.Wheare, 1975, Modern Constitution, Oxford University Press,
hlm. 32.
217

tentang :199
1. Susunan (structure) pemerintahan, yakni legislatif, eksekutif
dan yudikatif;
2. Hubungan timbal balik (mutual relation) antara alat-alat
perlengkapan negara;
3. Hubungan antara alat-alat perlengkapan negara dengan
masyarakat (community), agar hak –hak masyarakat dan
warga negara tidak dilanggar;
4. The quarantes of citizen.
Sedangkan menurut Struycken, Materi UUD berisi:200
1. Hasil perjuangan politik bangsa diwaktu yang lampau;
2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan;
3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan,
baik untuk waktu sekarang maupun yang akan datang;
4. Suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan
ketatanegaraan hendak dipimpin.

Menurut Sri Sumantri Martosoewignyo , Materi muatan


konstitusi setidaknya berisi tiga hal pokok yaitu: 201
1. Adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia dan Warga
Negara;
2. Ditetapkannya susunan ketatanegraan suatu negara yang
bersifat fundamental; dan
3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan
yang bersifat fundamental.

Sedangkan materi muatan konstitusi menurut Mr. J.G


Steenbeekseperti yang dikutip oleh Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan

199
Ibid.
200
I Gede Pantja Astawa dan Suprin Na‟a, op.cit., hlm. 95.
201
Dalam H.R.Soemantri Martosoewignyo, 2006, Prosedur dan
Sistem Perubahan Konstitusi ( Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD
1945), Bandung, Alumni, hlm. 2.
218

N‟imatul Huda, mulai dari Jaminan Hak Asasi Manusia dan hak
warga negaranya, susunan dasar ketatanegaraan negara yang
bersangkutan, dan susunan dasar pembagian dan pembatasan tugas
ketatanegaraa telah mengalami perubahan mendasar.202
Terkait materi UUD Tahun 1945 apa yang merupakan materi
mutan UUD Tahun 1945 tidak diatur dalam UU 12/2011. Hal ini
dapat dipahami karena kedudukan dari UU NO.12/2011adalah lebih
rendah dibandingkan dengan UUD, sehingga UU NO.12/2011tidak
mengatur materi muatan UUD. Materi UUD Tahun 1945, dapat
dilihat dalam Batang Tubuh UUD Tahun 1945 yaitu: Pembukaan dan
Pasal-Pasal (Pasal II Aturan Tambahan). Pembukaan terdiri atas 4
Alinea, yang di dalam Alinea keempat terdapat rumusan dari
Pancasila, dan Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar 1945 terdiri dari 20
Bab (Bab I sampai dengan Bab XVI) dan 72 Pasal (Pasal 1 sampai
dengan pasal 37), ditambah dengan 3 Pasal Aturan Peralihan dan 2
pasal Aturan Tambahan. Bab IV tentang DPA dihapus, dalam
amandemen keempat penjelasan tidak lagi merupakan kesatuan UUD
1945. Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 merupakan satu
kebulatan yang utuh, dengan kata lain merupakan bagian-bagian yang
satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Secara garis besar materi
yang termuat dalam Batang Tubuh UUD Tahun 1945 adalah sebagai
berikut:
1. Bentuk dan Kedaulatan
2. MPR (Pasal 2-3)
3. Kekuasaan Pemerintahan Negara (Pasal 4- Pasal 16)
4. Kementrian Negara (Pasal 17)
5. Pemerintahan Daerah (Pasal 18)
6. DPR (Pasal 19 – 22B)
7. DPD (Pasal 22C)
8. Pemilihan Umum (Pasal 22 E)
9. Hal Keuangan (Pasal 23 – 23 D)

Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan N‟imatul Huda, 2003, Teori dan
202

Hukum Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 16.


219

10. BPK (Pasal 23E


11. Kekuasaan Kehakiman (Pasal 24 – 25)
12. Wilayah Negara (Pasal 25A)
13. Warga Negara dan Penduduk (Pasal 26 – 28)
14. HAM (Pasal 28A -28J)
15. Agama (Pasal 29)
16. Pertahanan dan Keamanan Negara (Pasal 30)
17. Pendidikan dan Kebudayaan ( Pasal 31-32)
18. Perekonomian dan Kesejahtraan Sosial (Pasal 33- 34)
19. Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu
Kebangsaan (Pasal 35 -36);
20. Perubahan UUD.
Selain hal tersebut UUD Tahun 1945 juga memuat 3 pasal
tentang Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan.

12.5.2. Materi Muatan Ketetapan MPR


Dalam UU NO.12/2011tidak termuat materi muatan
Ketetapan MPR. Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b, hanya
menyebutkan bahwa: “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat”
adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003
tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002,
tanggal 7 Agustus 2003. Dengan demikian yang menjadi materi
Ketetapan MPR yang masih diakui adalah materi ketetapan MPRS
dan Ketetapan MPR yang masih berlaku, sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003. Berikut ini
Ketetapan-Ketetapan MPR yang masih tetap berlaku dan tidak
dapat dicabut atau diganti dengan undang-undang adalah:
220

1. Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran


Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai
Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara
Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan
Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau
Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme,
Leninisme; dan
2. Tap MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik
Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi;
Berdasarkan Uraian di atas, makna Ketetapan MPR adalah
ketetapan yang dikeluarkan MPR sebagai konsekuensi dari tugas,
kedudukan dan kewenangan MPR sesuai UUD 1945. Adapun
Kedudukan Ketetapan MPR dalam sistem hukum nasional adalah
sebagai salah satu sumber hukum nasional.

12.5.3. Materi Muatan Undang-Undang


Dalam Pasal 10 UU NO.12/2011menyebutkan:
(1) Materi muatan yang harus diatur dengan UndangUndang berisi:
a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-
Undang;
c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
(2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau
Presiden.

Ketentuan tersebut diatas dapat dijabarkan dalam bentuk tabel


berikut:

221

KOTAK 5.
MATERI MUATAN YANG HARUS DIATUR DENGAN UNDANG-UNDANG
PASAL 10  PENJELASAN  ANOTASI
PASAL 10
(1) Materi muatan yang
harus diatur dengan
Undang-Undang berisi:
a. pengaturan lebih -
lanjut mengenai -
ketentuan Undang-
Undang Dasar
Negara Republik
Indonesia Tahun -
1945;
b. perintah suatu Pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang huruf b tidak
untuk diatur dengan Ayat (1) sesuai dengan
Undang-Undang; ......... asas lex posteriori
c. pengesahan Huruf c derogat lex
perjanjian Yang dimaksud priori. Di sisi lain
internasional dengan “perjanjian ketentuan itu
tertentu; internasional menunjukkan
tertentu” adalah pendelegasian
perjanjian kewenangan
internasional yang mengatur dari
menimbulkan akibat undang-undang
yang luas dan kepada undang-
mendasar bagi undang lainnya.
kehidupan rakyat
yang terkait dengan
beban keuangan
negara dan/atau
a. tindak lanjut atas perjanjian tersebut
putusan Mahkamah mengharuskan -
Konstitusi; perubahan atau
dan/atau pembentukan
Undang-Undang
dengan persetujuan
DPR.
Huruf d Yang

222

dimaksud dengan
”tindak lanjut atas
putusan Mahkamah
Konstitusi” terkait
dengan putusan
Mahkamah Konstitusi
mengenai pengujian
Undang-Undang
e. pemenuhan terhadap Undang-
kebutuhan hukum Undang Dasar -
dalam masyarakat. Negara Republik
Indonesia Tahun
1945.
Materi muatan yang
dibuat, terkait dengan
ayat, pasal, dan/atau
bagian Undang-
Undang yang secara
tegas dinyatakan
dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi
bertentangan dengan
Undang-Undang
Dasar Negara
Republik Indonesia
Tahun 1945.
-
(2) Tindak lanjut atas Ayat (2) -
putusan Mahkamah Tindak lanjut atas
Konstitusi sebagaimana putusan Mahkamah
dimaksud pada ayat (1) Konstitusi
huruf d dilakukan oleh dimaksudkan untuk
DPR atau Presiden. mencegah terjadinya
kekosongan hukum.

Salah satu materi muatan Undang-Undang adalah “perintah


suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang”. Hal ini
tidak sesuai dengan asas preferensi, bahwa undang-undang yang

223

berlaku belakangan menyampingkan undang-undang yang berlaku


terdahulu (lex posteriori derogat lex priori), dan bukannya undang-
undang terdahulu menentukan materi muatan undang-undang yang
kemudian dibentuk.
Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang
berisi pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat dalam
sejumlah pasal UUD 1945 dengan penanda “dengan undang-undang”
atau “dalam ndang-undang”. Secara lebih terperinci materi muatan
yang harus diatur dengan UU dapat dilihat dalam tabel berikut:

KOTAK 6.
No MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG
PENGATURAN LEBIH LANJUT MENGENAI KETENTUAN UUD
1945
1 Pasal 2 (1)UUD 1945:  ANOTASI
Majelis Permusyawaratan Rakyat Rumusan diatur dengan
terdiri atas anggota Dewan undang-undang bermakna hal
Perwakilan Rakyat dan anggota yang diatur dalam ketentuan itu
Dewan Perwakilan Daerah yang harus dirumuskan dalam sebuah
dipilih melalui pemilihan umum undang-undang yang khusus
dan diatur lebih lanjut dengan diterbitkan untuk kepentingan itu
undang-undang. (Majelis Permusyawaratan
2 Rakyat 2013).
Pasal 6 (2) UUD 1945:
Syarat-syarat untuk menjadi lihat anotasi 1
Presiden dan Wakil Presiden
diatur lebih lanjut dengan
3 undang-undang.
Rumusan diatur dalam undang-
Pasal 6A (5) UUD 1945: undang bermakna hal yang
Tata cara pelaksanaan pemilihan diatur dalam ketentuan itu dapat
Presiden dan Wakil Presiden menjadi materi suatu atau
lebih lanjut diatur dalam beberapa undang-undang yang
undang-undang. tidak khusus diterbitkan untuk
4 kepentingan itu (Majelis
Permusyawaratan Rakyat 2013).
224

Pasal (3) UUD 1945:


Ketentuan lebih lanjut tentang lihat anotasi 1
5 perjanjian internasional diatur
dengan undang-undang.

Pasal 12 UUD 1945: lihat anotasi 1


Presiden menyatakan keadaan
bahaya. Syarat-syarat dan
akibatnya keadaan bahaya
6 ditetapkan dengan undang-
undang. lihat anotasi 1

Pasal 15 UUD 1945:


7 Presiden memberi gelar, tanda
jasa, dan lain-lain tanda
kehormatan yang diatur dengan
undang-undang. lihat anotasi 2

Pasal 16UUD 1945:


Presiden membentuk suatu dewan
pertimbangan yang bertugas
8 memberikan nasihat dan
pertimbangan kepada Presiden, lihat anotasi 2
yang selanjutnya diatur dalam
undang-undang.

9 Pasal (4) UUD 1945: lihat anotasi 1


Pembentukan, pengubahan, dan
pembubaran kementerian negara
diatur dalam undang-undang.

Pasal 18 (1) UUD 1945:


Negara Kesatuan Republik lihat anotasi 2
Indonesia dibagi atas daerah-
daerah provinsi dan daerah
10 provinsi itu dibagi atas kabupaten
dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu lihat anotasi 1
mempunyai pemerintahan daerah,
yang diatur dengan undang-

225

11 undang.

Pasal 18 (7) UUD 1945:


Susunan dan tata cara
penyelenggaraan pemerintahan lihat anotasi 1
daerah diatur dalam undang-
undang.

Pasal 18A (1) UUD 1945:


12 Hubungan wewenang antara
pemerintah pusat dan lihat anotasi 2
pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten, dan kota, atau antara
provinsi dan kabupaten dan kota,
diatur dengan undang-undang
dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman lihat anotasi 1
daerah.

13 Pasal 18B (1) UUD 1945:


Negara mengakui dan lihat anotasi 2
menghormati satuan -satuan
pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat
istimewa yang diatur
dengan undang-undang. lihat anotasi 1
14
Pasal 18B (2) UUD 1945:
Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan lihat anotasi 2
15 masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan lihat anotasi 1
Republik Indonesia, yang diatur
16 dalam undang-undang.

Pasal 19 (2) UUD 1945: lihat anotasi 2


Susunan Dewan Perwakilan

226

Rakyat diatur dengan undang-


17 undang.
lihat anotasi 1
Pasal 20A (4) UUD 1945:
Ketentuan lebih lanjut tentang
hak Dewan Perwakilan Rakyat
dan hak anggota Dewan lihat anotasi 1
Perwakilan Rakyat diatur dalam
undang-undang.
18
Pasal 22A UUD 1945: lihat anotasi 1
Ketentuan lebih lanjut tentang
19 tata cara pembentukan undang-
undang diatur dengan undang-
undang. lihat anotasi 1

Pasal 22B UUD 1945:


Anggota Dewan Perwakilan lihat anotasi 1
Rakyat dapat diberhentikan dari
20 jabatannya, yang syarat-syarat
dan tata caranya diatur dalam
undang-undang.
lihat anotasi 1
21 Pasal 22C (4) UUD 1945:
Susunan dan kedudukan Dewan
Perwakilan Daerah diatur dengan
undang-undang. lihat anotasi 1

22 Pasal 22D (4) UUD 1945:


Anggota Dewan Perwakilan
Daerah dapat diberhentikan dari lihat anotasi 2
jabatannya, yang syarat-syarat
23 dan tata caranya diatur dalam
undang-undang.
24 lihat anotasi 1
Pasal 22E (6) UUD 1945:
Ketentuan lebih lanjut
tentang pemilihan umum
diatur dengan undang -
25 undang. lihat anotasi 1

227

Pasal 23A UUD 1945:


Pajak dan pungutan lain yang
bersifat memaksa untuk keperluan
26 negara diatur dengan undang-
undang. lihat anotasi 1

Pasal 23B UUD 1945:


27 Macam dan harga mata uang
ditetapkan dengan undang-
undang. lihat anotasi 1

28 Pasal 23C UUD 1945:


Hal-hal lain mengenai keuangan
negara diatur dengan undang- lihat anotasi 1
undang.

29 Pasal 23D UUD 1945:


Negara memiliki suatu bank
sentral yang susunan, kedudukan, lihat anotasi 1
kewenangan, tanggung jawab,
30 dan independensinya diatur
dengan undang-undang.

Pasal 23E (3) UUD 1945: lihat anotasi 1


Hasil pemeriksaan tersebut
ditindaklanjuti oleh lembaga
31 perwakilan dan/atau badan sesuai
dengan undang-undang. lihat anotasi 1

Pasal 23G (2) UUD 1945:


Ketentuan lebih lanjut mengenai
32 Badan Pemeriksa Keuangan
diatur dengan undang-undang. lihat anotasi 1

Pasal 24 (3) UUD 1945:


Badan-badan lain yang fungsinya
33 berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-
undang.

228

Pasal 24A (5) UUD 1945:


34 Susunan, kedudukan,
keanggotaan, dan hukum acara lihat anotasi 1
Mahkamah Agung serta badan
peradilan di bawahnya diatur
dengan undang-undang.

Pasal 24B (4) UUD 1945:


35 Susunan, kedudukan, dan
keanggotaan Komisi Yudisial
diatur dengan undang-undang.

Pasal 24C (6) UUD 1945: lihat anotasi 2


Pengangkatan dan pemberhentian
36 hakim konstitusi, hukum acara
serta ketentuan lainnya tentang
Mahkamah Konstitusi diatur
dengan undang- undang.

Pasal 25 UUD 1945:


Syarat-syarat untuk menjadi dan lihat anotasi 2
untuk diperhentikan sebagai
hakim ditetapkan dengan
undang-undang. lihat anotasi 2

37 Pasal 25A UUD 1945:


Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah sebuah negara lihat anotasi 1
kepulauan yang berciri Nusantara
dengan wilayah yang batas-batas
dan hak-haknya ditetapkan
dengan undang-undang.

Pasal 26 (1) UUD 1945:


Yang menjadi warga negara ialah
orang-orang bangsa Indonesia asli
38 dan orang-orang bangsa lain yang
disahkan dengan undang-
undang sebagai warga negara.

229

Pasal 26 (3) UUD 1945:


Hal-hal mengenai warga negara
dan penduduk diatur dengan
39 undang- undang.

Pasal 28 UUD 1945:


40 Kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan
41 sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang.

Pasal 28J (2) UUD 1945:


Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-
undang dengan maksud semata-
mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat
demokratis.

Pasal 30 (5) UUD 1945:


Susunan dan kedudukan Tentara
Nasional Indonesia, Kepolisian
Negara Republik Indonesia,
hubungan kewenangan Tentara
Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik
Indonesia di dalam menjalankan
tugasnya, syarat-syarat
keikutsertaan warga negara dalam
usaha pertahanan dan keamanan

230

negara, serta hal-hal yang terkait


dengan pertahanan dan keamanan
diatur dengan undang-undang.

Pasal 31 (3) UUD 1945


Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur
dengan undang-undang.

Pasal 33 (5) UUD 1945:


Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan pasal ini diatur
dalam undang-undang.

Pasal 34 (4) UUD 1945:


Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan pasal ini diatur
dalam undang-undang.

Pasal 36C UUD 1945:


Ketentuan lebih lanjut mengenai
Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara, serta Lagu Kebangsaan
diatur dengan undang-undang.
Sumber: Penulis

12.5.4. Materi Muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-


Undang (Perppu)
Dalam KRIS dan UUDS Tahun 1950 Perppu disebut dengan
istilah UU Darurat.203 Istilah UU Darurat ini menggambarkan

203
Lihat Pasal 139 KRIS, dan Pasal 96 UUDS.
231

pengertiannya sebagai emergency law (emergency legislation).204


Perppu sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan diatur
dalam Pasal 22 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa: (1) dalam hal
ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
Peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-undang; (2)
Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut, dan (3) jika tidak
mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut.
Selanjutnya
Dengan demikian dari rumusan pasal tersebut ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan dari segi kedudukan dan keberadaan
Perppu:205
1. bahwa dilihat dari segi jenis/bentuknya Perppu adalah
Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945, Namun dalam
keadaan yang memaksa peraturan pemerintah itu, dari
segi materinya dapat memuata ketentuan-ketentuan yang
sama dengan UU;
2. Dalam UUD Tahun 1945 tidak ada istilah resmi terkait
Perppu, sehinggadapat ditafsirkan bahwa istilah perppu
dapat diganti dengan UU Darurat misalnya;
3. Perppu hanya dapat ditetapkan Presiden apabila ada
kegentingan yang memaksa, yang tidak boleh dicampur
adukkan dengan pengertian keadaan bahaya. Dalam
pengertian “kegentingan yang memaksa” terkandung
sifat darurat atau emergency yang memberi dasar
kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Perppu.
Emergency itu sendiri timbul dari penilaian subyektif
204
Jimly Assidiqie, 2002, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah
Perubahan keempat, Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara,Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, hlm.29
205
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na‟a, op.cit., hlm. 63, lihat juga
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Jakarta : Konstitusi
Press, hlm. 80-87.
232

Presiden belaka mengenai tuntutan keadaan mendesak


untuk bertindak cepat dan tepat mengatasi keadaan
tersebut (noodverordeningsrecht).
4. Pada dasarnya Perppu sederajat dengan atau memiliki
kekuatan yang sama dengan UU, DPR harus aktif
mengawasi baik dalam penetapan maupun pengawasan
Perppu;
5. Perppu bersifat sementara.
Hal lainnya juga yang membedakan Perppu dan UU menurut
Bagir Manan adalah mengenai sifat pengaturan kedua produk hukum
tersebut. Jika UU adalah merupakan produk tindakan pengaturan
kenegaraan , sedangkan Perppu merupakan tindakan produk
pengaturan yang bersifat pemerintahan.206 Namun pendapat tersebut
menurut Jimly Assidiqie tidaklah tepat karena banyak juga UU yang
dibentuk berkaitan dengan kepentingan pemerintahan dan karena itu
dapat dikatakan sebagai tindakan pemerintahan. Misalnya,
pembentukan UU tentang pemekaran suatu kabupaten atau provinsi
tertentu jelas berkaitan dengan pemerintahan.207
Selanjutnya dalam Pasal 11 UU NO.12/2011menyebutkan
bahwa Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang. Dengan
demikian apa yang menjadi materi muatan Perppu adalah sama
dengan materi muatan UU sebagaimana telah disebutkan diatas.

12.5.5. Materi Muatan Peraturan Pemerintah


Dalam Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945 menyebutkan :
Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan
undang-undang sebagaimana mestinya. Ketentuan tersebut
menegaskan bahwa PP hanya dapat ditetapkan oleh Presiden jika ada
UU induknya. Kewenangan Presiden untuk menetapkan PP adalah

206
Ibid., hlm. 83.
207
Ibid.
233

merupakan salah satu wujud dari fungsi Presiden sebagai kepala


pemerintahan, yakni kepala kekuasaan eksekutif dalam negara,
sehingga dalam rangka menjalankan UU , Presiden mempunyai
kekuasaan untuk menetapkan PP ( pouvoir reglementair).
Hal yang sama juga diatur dalam Pasal 12 UU 12/ 2011 yang
menentukan bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi
untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Dengan
demikian maka PP berisi pengaturan lebih lanjut dari UU. J.A.H
Logemann mengatakan: Dit is een zeer ruime bevoegheid, maar het
moet uitvoering blijven, geen aan vulling ( ini adalah suatu
kewenangan yang sangat luas, tetapi ia (PP) harus tetap sebagai
pelaksana belaka, tidak ada penambahan).208
Terkait materi yang memuat sanksi pidana, atau pemaksa,
bila UU tidak mencantumkannya maka dalam PP tidak boleh
mencantumkan sanksi pidana maupun sanksi pemaksa.

12.5.6. Materi Muatan Peraturan Presiden


Pasal 13 UU NO.12/2011menyebutkan bahwa materi muatan
Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-
Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau
materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahan.

12.5.7. Materi Muatan Peraturan Daerah Propinsi dan Peraturan


Daerah Kabupaten
Dalam Pasal 14 UU NO.12/2011 disebutkan bahwa Materi
muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi
khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi.

208
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na‟a, op.cit., hlm. 66.
234

Sedangkan dalam Pasal 236 ayat (1) UU No.23 Tahun 2014


tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa: Untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah
membentuk Perda. Selanjutnya dalam Pasal 236 ayat (3) ditentukan
bahwa: Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi
muatan:
a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas
Pembantuan; dan
b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
Dalam ayat (4) : Selain materi muatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) Perda dapat memuat materi muatan lokal
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Namun khusus untuk materi yang terkait dengan ketentuan
pidana, Pasal 15 UU 12 /2011 menentukan:
(1) Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat
dalam:
a. Undang-Undang;
b. Peraturan Daerah Provinsi; atau
c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dan huruf c berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6
(enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah).
(3)Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur
dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya.

Selain rumusan dalam UU NO.12/2011penjabaran lebih


lanjut tentang materi muatan Perda Propinsi dan Perda Kabupaten
diatur lebih lanjut dalam Permendagri Nomor 80 Tahun 2015. Dalam
Pasal 4 ayat (2) Permendagri No.80 Tahun 2015 menentukan bahwa
materi muatan Perda adalah:
a. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan;
235

dan
b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.

Dalam Pasal 4 ayat (3) ditentukan bahwa selain materi


muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Perda dapat memuat
materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Selanjutnya dalam Pasal 5 ditentukan bahwa Perda
provinsi memuat materi muatan untuk mengatur:
a. kewenangan provinsi;
b. kewenangan yang lokasinya lintas daerah kabupaten/kota
dalam satu provinsi;
c. kewenangan yang penggunanya lintas daerah kabupaten/kota
dalam satu provinsi;
d. kewenangan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas
daerah kabupaten/kota dalam satu provinsi; dan/atau
e. kewenangan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien
apabila dilakukan oleh daerah provinsi.
Perda kabupaten/kota memuat materi muatan untuk mengatur:
a. kewenangan kabupaten/kota;
b. kewenangan yang lokasinya dalam daerah kabupaten/kota;
c. kewenangan yang penggunanya dalam daerah
kabupaten/kota;
d. kewenangan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya
dalam daerah kabupaten/kota; dan/atau
e. kewenangan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien
apabila dilakukan oleh daerah kabupaten/kota.
Selain materi tersebut, dalam Pasal 5 Permendagri Nomor 80
Tahun 2015 disebutkan bahwa ada materi lain yang dapat dimuat
dalam Perda yaitu:
(1) Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya
paksaan penegakan/pelaksanaan Perda seluruhnya atau sebagian

236

kepada pelanggar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-


undangan.
(2) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6
(enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah).
(3) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Perda dapat memuat ancaman sanksi yang bersifat
mengembalikan pada keadaan semula dan sanksi administratif.
(5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penghentian tetap kegiatan;
e. pencabutan sementara izin;
f. pencabutan tetap izin;
g. denda administratif; dan/atau
h. sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

12.6. Penutup
Resume.
Dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan Indonesia,
mulai jaman penjajahan Belanda hingga pasca reformasi terdapat
berbagai jenis peraturan perundang-undangan yang ada. Dalam UU
NO.12/2011tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangn
disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) jenis dan hierarci peraturan
perundang-undangan terdiri dari: UUD Tahun 1945, Ketetapan MPR,
UU/Perppu, PP, Perpres , Perda Propinsi dan Perda Kabupaten. Selain
peraturan perundang-undangan yang terdapat didalam hierarchi juga
terdapat peraturan perundang-undangan diluar hierachi sebagaimana
yang disebut dalam Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011.
237

Fungsi dari peraturan perundang-undangan secara umum


terbagi menjadi 2 yakni fungsi internal dan fungsi eksternal. Fungsi
internal adalah: fungsi penciptaan hukum, fungsi pembahuaruan
hukum, fungsi integrasi pluralisme sistem hukum dan fungsi
kepastian hukum. Sedangkan fungsi eksternal meliputi: fungsi untuk
melakukan perubahan, fungsi stabilitas dan fungsi kemudahan. Selain
fungsi tersebut masing-masing peraturan perundang-undangan juga
mempunya fungsi khusus sesuai dengan jenis peraturan perundang-
undangan tersebut.
Materi peraturan perundang-undangan berbeda-beda sesuai
dengan jenis peraturan perundang-undangan. Apa yang
merupakan materi muatan UU/Perppu, PP, Perpres, Perda Propinsi
dan Perda Kabupaten telah diatur dalam UU 12/2011.

Latihan
1. Dalam UU NO.12/2011dikenal jenis peraturan perundang-
undangan di dalam hierarki dan diluar hierarki. Bagaimana
kekuatan mengikat peraturan perundang-undangan diluar hierarki
tsb?
2. Jelaskan dan berikan contoh apa fungsi internal dari peraturan
perundang-undangan?
3. Jelaskan apa yang menjadi materi muatan Perda Provinsi?

12.7. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan


Asshiddiqie, Jimly,2002, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah
Perubahan keempat, Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata
Negara,Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
----------- , Perihal Undang-Undang, Jakarta, Konstitusi Press,2006
Attamimi, A.Hamid S,Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Dalam penyelenggaraaan Pemerintahan Negara,
Suatu studi analisis mengenai Keputusan Presiden yang
berfungsi Pengaturan dalam kurun waktu Pelita I-Pelita
238

IV,untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Hukum pada


Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990,
hlm.289. dalam I Gde Pantja Astawa, dan Suprin
Na‟a,Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-undangan di
Indonesia, 2008, Alumni,Bandung,
Attamimi, A. Hamid S. 1982, “Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan”, BPHN, Himpunan Bahan Penataran Latihan
Tenaga Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan
Tanggal 1 s/d 20 Juni 1981, Diterbitkan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman,
Jakarta,
Utrecht, E, 1986, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Edisi
Fotografi.
HAS Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia,
Jakarta, Konstitusi Press, 2008.
Indrati Soeprapto, Maria Farida , Ilmu Perundang-Undangan –Dasar-
dasar emebntukannya, Kanisius, Jogyakarta, 1998/
Manan, Bagir, Sleten, Perundang-undangan Indonesia, Makalah,
Jakarta, 1993.
Manan, Bagir , Pemahaman Mengenai Sistem Hukum Nasional,
Makalah, Jakarta, 1994,
Martosoewignyo, H.R.Soemantri , Prosedur dan Sistem Perubahan
Konstitusi ( Sebelum dan Sesudah Perubahn UUD 1945),
Bandung, Alumni, 2006.
Rajagukguk, Erman, dalam Kongres Internasional ke-15 Mengenai
Pluralisme Hukum yang diselenggarakan di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia Depok, Kamis (29 Juni Tahun 2006)
diartikan sebagai sebagai situasi dimana terdapat dua atau
lebih sistem hukum yang berada dalam suatu kehidupan
sosial. Pluralisme hukum harus diakui sebagai sebuah realitas
masyarakat.
Utrecht. E. 1965. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II.
Universitas, Bandung,dikutip dari https://e-
239

kampushukum.co.id/2016/05/tata-hukum-di-indonesia-pada-
masa-voc.html
Trijono, Rahmat, 2013. Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-
undangan, Papas Sinar Sinanti, Jakarta,
Wheare, K.C. 1975, Modern Constitution, Oxford University Press,
Oxford.

Internet
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15089/pluralisme-
hukum-harus-di
http://kbbi.kata.web.id/jenis/
http://kbbi.web.id/bentuk
http://www.bphn.go.id/data/documents/ae_peraturan_perundang_und
angan_peninggalan_kolonial_belanda.pdf

240

PERTEMUAN XIII :
TUTORIAL VI
JENIS, FUNGSI DAN MATERI MUATAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

13.1. Pendahuluan.
Dalam pertemuan kedua ini, mahasiswa berdiskusi mengenai
Peraturan Desa (Perdes). Setelah melakukan tutorial ini, mahasiswa
diharapkan memahami salah satu jenis peraturan perundang-
undangan yakni perdes, terkait kedudukan,fungsi dan materi
muatannya. Materi tutorial ini sangat penting sebagai landasan untuk
memahami bahan kajian pembelajaran pada pertemuan-pertemuan
selanjutnya. Karena itu, dalam tutorial ini mahasiswa harus
mendiskusikan mengenai Perdes yang terdapat dalam penyajian
materi Problem Task.

13.2. Penyajian Materi: Problem Task.

Peraturan Desa
Sebelum berlakunya UU NO.12/2011tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yakni dalam UU 10/2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dikenal satu jenis
peraturan perundang-undangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal
7 ayat (1) yakni Peraturan Desa (Perdes). Berdasarkan Pasal 1 angka
8 Peraturan Desa /peraturan yang setingkat adalah Peraturan
Perundangundangan yang dibuat oleh badan perwakilan desa atau
nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. Dari
segi hierarchinya kedudukan Perdes adalah berada dibawah Perda
Kabupaten. Namun setelah UU 10/2004 diganti dengan UU
NO.12/2011Peraturan Desa tidak lagi ada dalam hierarchi peraturan
perundang-undangan Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Pasal
7 ayat (1) UU 12/2011. Namun dalam Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa muncul kembali pengaturan Perdes.

241

Pertanyaan:
1. Bagaimana kedudukan Perdes dalam sistem hukum
perundang-undangan Indonesia setelah berlakunya UU
12/2011?
2. Apa Fungsi dari Perdes?
3. Apa yang menjadi materi muatan Perdes?

13.3. Penutup
Dalam penyajian materi: Problem Task tersebut di atas
dideskripsikan adanya jenis-jenis peraturan perundang-undangan
yang diatur dalam UU NO.12/2011, dimana Perdes tidak disebut
dengan jelas dan tegas didalam hierarchi peraturan perundang-
undangan.
Pada akhir tutorial, mahasiswa wajib menyetor laporan
kegiatan tutorial, yang mendeskripsikan secara rinci seluruh kegiatan
dalam tutorial tersebut, yaitu: siapa pemimpin diskusi (discussion
leader) dan pencatat (note taker), siapa yang aktif, dan alokasi waktu
selama tutorial. Laporan tutorial wajib dikumpulkan pada saat
berakhirnya waktu seluruh kegiatan tutorial.

13.4. Bahan bacaan/ Rujukan Pengayaan


Lihat bahan bacaan pada perkuliahan diatas.

242

PERTEMUAN XIV :
PERKULIAHAN KETUJUH
PROSES PEMBUATAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN

14.1. Pendahuluan
Pembuatan peraturan perundang-undangan merupakan
kegiatan membentuk peraturan perundang-undangan yang melalui
tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan. Peraturan perundang-undangan
memiliki cakupan sangat luas karena banyak jenisnya. Sesuai dengan
ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011, jenis
peraturan perundang-undangan terdiri dari: UUD 1945; Tap MPR
(Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat); UU/Perppu (Peraturan
Pemerintah Pengganti UU); PP (Peraturan Pemerintah); Perpres
(Peraturan Presiden); Perda Provinsi (Peraturan Daerah Provinsi); dan
Perda Kabupaten/Kota. Selain itu, juga termasuk jenis peraturan
perundang-unangan yaitu peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR
(Dewan Perwakilan Rakyat), DPD (Dewan Perwakilan Daerah), MA
(Mahkamah Agung), MK (Mahkamah Konstitusi), BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan), KY (Komisi Yudisial), BI (Bank Indonesia),
Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk
dengan UU atau Pemerintah atas perintah UU, DPRD Provinsi
(Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi), Gubernur, DPRD
Kabupaten/Kota (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota), Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Tetapi, hal itu sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Karena itu, proses pembuatan peraturan perundang-undangan
meliputi proses pembuatan seluruh jenis peraturan perundang-
undangan tersebut. Namun dalam buku ajar ini dideskripsikan proses
pembuatan UU, PP, Perpres, dan pembuatan Perda serta partisipasi
243

masyarakat dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Setelah


berakhirnya perkuliahan, mahasiswa diharapkan mampu memahami
mengenai proses pembuatan UU, PP, Perpres, dan Perda serta
mekanisme partisipasi masyarakat dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan tersebut. Materi perkuliahan ini sangat penting
bagi bahan kajian pembelajaran pada pertemuan-pertemuan
selanjutnya yaitu pengawasan dan pengujian peraturan perundang-
undangan karena proses pembuatan merupakan bagian dari lungkup
pengawasan.

14.2. Capaian pembelajaran & Indikator Capaian


Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini,
mahasiswa mmemahami proses pembuatan UU, PP, Perpres, dan
proses pembuatan Perda serta mekanisme penyampaian partisipasi
masyarakat dalam pembuatan peraturan perundang-undangan
tersebut.
Capaian pembelajaran tersebut akan dievaluasi menggunakan
indikator capaian, yaitu mahasiswa mampu:
a. menjelaskan proses pembuatan UU dan menuangkan proses
tersebut ke dalam bentuk bagan alir;
b. menjelaskan proses pembuatan PP dan Perpres dan membuat
ilustrasi dalam bentuk bagan proses pembuatan PP, dan
Perpres;
c. menjelaskan proses pembuatan Perda dan menuangkan
proses tersebut ke dalam bentuk bagan alir; dan
d. menguraikan bentuk dan mekanisme partisipasi masyarakat
dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, terutama
dalam pembuatan UU dan Perda.

14.3. Proses Pembuatan Undang-Undang


Pasal 1 angka 1 UU NO.12/2011menentukan bahwa proses
pembuatan peraturan perundang-undangan terdiri dari 5 (lima)

244

tahapan, yaitu: perencanaan; penyusunan; pembahasan; pengesahan


atau penetapan; dan pengundangan. Dalam pembuatan UU (Undang-
Undang), sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 21, dan
Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 (Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945), prakarsa pembuatan tersebut dapat
datangnya dari pihak Presiden, anggota DPR atau dari DPD. Pasal 5
ayat (1) dengan tegas menentukan bahwa Presiden berhak
mengajukan RUU (Rancangan UU) kepada DPR. Pasal 21
menentukan bahwa anggota DPR berhak mengajukan usul RUU.
Pasal 22D ayat (1) menentukan bahwa DPD dapat mengajukan
kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat
dan daerah.

14.3.1. Tahap Perencanaan dan Penyusunan RUU.


Perencanaan penyusunan UU ditentukan dalam Pasal 16
sampai dengan Pasal 23 UU No. 12 Tahun 2011, dan Pasal 3 sampai
dengan Pasal 26 Perpres Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan. Perencanaan RUU meliputi
kegiatan:
a. penyusunan NA (Naskah Akademik);
b. penyusunan Prolegnas (Program Legislasi Nasional) jangka
menengah;
c. penyusunan Prolegnas prioritas tahunan;
d. perencanaan penyusunan RUU kumulatif terbuka; dan
e. perencanaan penyusunan RUU di luar Prolegnas.

14.3.2. Penyusunan Prolegnas.


Langkah awal dalam hal akan membentuk UU yaitu
penyusunan Prolegnas, bukan penyusunan NA. Penyusunan NA baru
245

dilakukan jika RUU yang akan disusun tercantum di dalam


Prolegnas. Di dalam Prolegnas itulah dilakukan perencanaan
penyusunan UU. Di situ terdapat daftar RUU yang akan disusun dan
ditetapkan skala prioritas program pembentukan UU dalam rangka
mewujudkan sistem hukum nasional. Prolegnas terdiri dari Prolegnas
yang ditetapkan untuk jangka menengah dan Prolegnas untuk
prioritas tahunan.
Pasal 20 ayat (1) UU 12/ 2011 menentukan bahwa
penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah.
Selain itu, penyusunan Prolegnas juga dilakukan oleh DPD. Hal itu
sesuai dengan Putusan MK No. 92/PPU-X/2012 Perkara Pengujian
UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU
MD3) dan UU 12/2011.209 Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR
dikoordinasikan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan
mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD,
dan/atau masyarakat.210 Ketentuan mengenai tata cara penyusunan
Prolegnas diatur di dalam Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2016
tentang Tata Cara Penusunan Program Legislasi Nasional
DPD berwewenang menyusun Prolegnas mengenai
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan, dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah bersama DPR dan pemerintah.
Penyusunan Prolegnas dikoordinasikan oleh Panitia Perancang
Undang-Undang, selanjutnya diusulkan kepada DPR dan Pemerintah.
Tata cara dan mekanisme penyususnan Prolegnas oleh DPD terdapat

209
Putusan MK No. 92/PPU-X/2012 menetapkan bahwa Pasal 20 ayat
(1) UU No. 12 Tahun 2011 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945
sepanjang tidak dimaknai “penyusunan Program Legislasi Nasional
dilakukan oleh DPR, DPD, dan pemerintah.”
210
Pasal 22 huruf d dan Pasal 65 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014
tentang Tata Tertib.
246

dalam Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia


Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.
Penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah
dikoordinasikan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan dan ditetapkan
dalam rapat paripurna DPR. Hasil penyusunan Prolegnas disepakati
menjadi Prolegnas jangka menengah dan Prolegnas prioritas tahunan
setelah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. Ketentuan penyusunan
Prolegnas di lingkungan pemerintah diatur dalam Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Prolegnas adalah instrumen perencanaan program
pembentukan UU yang disusun secara terencana, terpadu, dan
sistematis. Dalam penyusunan Prolegnas, penyusunan daftar RUU
yang akan disusun berdasarkan pada211:
a. perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. perintah Undang-Undang lainnya;
d. sistem perencanaan pembangunan nasional;
e. rencana pembangunan jangka panjang nasional;
f. rencana pembangunan jangka menengah;
g. rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR;dan
h. aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.

Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat 1 huruf b diterangkan bahwa


yang dimaksud dengan “Ketetapan MPR” adalah Ketetapan MPRS
dan Ketetapan MPR yang masih berlaku sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR-RI Nomor: I/MPR/2003

211
Pasal 18 UU No. 12 Tahun 2011, Pasal 11 ayat (2) Perpres No. 87
Tahun 2014, Pasal 109 ayat (8) Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014, dan Pasal
112 ayat (5) Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014.
247

tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan


Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002,
tanggal 7 Agustus 2003.
Prolegnas memuat program pembentukan UU berupa daftar
RUU yang akan disusun, yang meliputi: judul RUU; materi yang
diatur; dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan
lainnya. Materi yang diatur dan keterkaitannya dengan peraturan
perundang-undangan lainnya merupakan keterangan mengenai
konsepsi RUU yang terdiri dari: latar belakang dan tujuan
penyusunan; sasaran yang ingin diwujudkan; dan jangkauan dan arah
pengaturan. Materi yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan
dituangkan dalam NA.212
Prolegnas ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan
berdasarkan skala prioritas pembentukan RUU. Penyusunan dan
penetapan Prolegnas jangka menengah (jangka waktu 5 tahun)
dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR. Prolegnas untuk jangka
menengah dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan
penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan. Penyusunan
dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan sebagai pelaksanaan
Prolegnas jangka menengah dilakukan setiap tahun sebelum
penetapan RUU tentang APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara)213.
Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri
atas: a. pengesahan perjanjian internasional tertentu; b. akibat putusan
MK; c. APBN; d. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota; dan e.
penetapan/pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

212
Pasal 19 UU No. 12 Tahun 2011, Pasal 12 ayat (2) Perpres No. 87
Tahun 2014.
213
Pasal 20 UU No. 12 Tahun 2011, Pasal 12 ayat (2) Perpres No. 87
Tahun 2014.
248

Undang214. Dalam Penjelasan Pasal 23 Ayat (1) huruf a ditegaskan


bahwa yang dimaksud dengan “perjanjian internasional tertentu”
adalah perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas
dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara dan/atau perjanjian tersebut mengharuskan
perubahan atau pembentukan Undang-Undang dengan persetujuan
DPR. Dalam keadaan tertentu, DPR, Presiden atau DPD dapat
mengajukan RUU di luar Prolegnas mencakup:
a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau
bencana alam; dan
b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi
nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh
Badan Legislasi DPR, Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia dan Panitia Perancang UU.

RUU yang diajukan di luar Prolegnas tersebut disertai


konsepsi pengaturan RUU yang meliputi:
a. urgensi dan tujuan penyusunan;
b. sasaran yang ingin diwujudkan;
c. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan
d. jangkauan dan arah pengaturan.

Penyusunan Prolegnas antara DPR, Pemerintah, dan DPD


dikoordinasikan oleh DPR melalui Badan Legislasi. Hasil
penyusunan Prolegnas yang disepakati menjadi Prolegnas,
selanjutnya dilaporkan oleh Badan Legislasi dalam rapat paripurna
DPR untuk ditetapkan dengan Keputusan DPR. Prolegnas yang sudah
ditetapkan tersebut disampaikan untuk disebarluaskan oleh: a. Badan
Legislasi DPR kepada anggota, Fraksi, komisi, dan masyarakat; b.
Pimpinan DPR kepada pimpinan DPD; dan c. Menteri Hukum dan

214
Pasal 23 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, Pasal 22 ayat (2) Perpres
No. 87 Tahun 2014, Pasal 111 ayat (3) Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014,
dan Pasal 117 ayat (1) Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014.
249

Hak Asasi Manusia kepada instansi Pemerintah dan masyarakat.


Penyebarluasan Prolegnas kepada masyarakat dilakukan melalui
media cetak, media elektronik, dan/atau media lainnya.
Mekanisme penyusunan Prolegnas diilustraikan dengan
diagram alir di bawah ini.

PEMERINTAH DPR DPD


Usulan Kementerian Usulan Fraksi, Usulan Anggota
dan/atau Komisi, Anggota, dan/atau
Lembaga Non- dan/atau Masyarakat.
Kementerian. Masyarakat. Dikoordinasikan oleh
Dikoordinasikan oleh Dikoordinasikan oleh Panitia Perancang
Menkum dan HAM Badan Legislasi UU

DIKOORDINASIKAN OLEH DPR MELALUI BADAN


LEGISLASI

RAPAT PARIPURNA
DPR

PROLEGNAS(Ditetapkan dengan
Keputusan DPR)

PENYEBARLUASAN
PROLEGNAS

250

14.3.3. Penyusunan Naskah Akademik


Penyusunan NA (Naskah Akademik)215 dilakukan oleh
Pemrakarsa ialah dari pihak pemerintah, anggota DPR, atau dari DPD
dengan mengikuti ketentuan yang sudah baku sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I UU No. 12 Tahun 2011 yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari UU ini. Penyusunan NA di lingkungan
pemerintah dinyatakan di dalam Pasal 3 ayat (1) Perpres No. 87
Tahun 2014 bahwa penyusunan NA merupakan salah satu kegiatan
dalam perencanaan penyusunan RUU. Penyusunan NA RUU
dilakukan oleh pemrakarsa berkoordinasi dengan Menteri. Menteri
melakukan penyelarasan NA yang diterima dari pemrakarsa.
Penyelarasan dilakukan terhadap sistematika dan materi muatan
dalam rapat penyelarasan dengan mengikutsertakanpemangku
kepentingan. Menteri menyampaikan NA yang sudah selesai
diselaraskan tersebut kepada pemrakarsa disertai dengan penjelasan
hasil penyelarasan. NA beserta dengan surat keterangan peyelarasan
dari menteri harus dilampirkan pada daftar RUU dalam Prolegnas
jangka menengah untuk dimasukkan ke dalam Prolegnas prioritas
tahunan. Demikian pula dalam hal pemrakarsa mengusulkan kepada
menteri untuk menyusun RUU yang termasuk dalam kumulatif
terbuka. Kewajiban tersebut tidak berlaku terhadap penyusunan RUU
mengenai RAPBN dan penetapan atau pencabutan Perppu.
Penyusunan NA di lingkungan DPR-RI selain mengikuti
ketentuan teknis di dalam Lampiran I UU 12/2011, ada pula
ketentuan di dalam Peraturan DPR-RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata
Tertib. Dalam Pasal 109 ayat (9) ditentukan bahwa penyusunan dan

215
Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian
hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah
tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai
solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. (Pasal 1
angka 11 UU No. 12 Tahun 2011)
251

penetapan Prolegnas prioritas tahunan memperhatikan pelaksanaan


prolegnas tahun sebelumnya, tersusunnya naskah RUU, dan/atau
tersusunnya NA. NA juga merupakan konsepsi pengaturan RUU yang
diajukan di luar Prolegnas.216
Selanjutnya, dalam Pasal 115 ditentukan bahwa anggota,
komisi, atau gabungan komisi dalam mempersiapkan RUU terlebih
dahulu menyusun NA mengenai materi yang akan diatur dalam RUU
tersebut. Penyusunan RUU tentang APBN, penetapan Perppu menjadi
UU, pengesahan perjanjian interasional atau RUU perubahan yang
terbatas mengubah beberapa materi dapat disertai dengan NA.
Artinya bahwa dalam penyusunan RUU tersebut tidak wajib disertai
dengan NA. NA suatu RUU dilengkapi dengan lampiran draf awal
RUU dimaksud.
Penyusunan NA di lingkungan DPD-RI ditegaskan di dalam
Peraturan DPD-RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib bahwa
penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan dilakukan
dengan memperhatikan pelaksanaan prolegnas tahun sebelumnya,
tersusunnya NA dan/atau tersusunya naskah RUU.217 Kemudian Pasal
121 menegaskan pula bahwa Komite atau Panitia Perancang UU
dalam mempersiapkan RUU terlebih dahulu menyusun NA mengenai
materi RUU tersebut. Dalam menyusun draf NA dilakukan rangkaian
kegiatan akademis seperti mempelajari fenomena sendiri melalui
studi pendahuluan, pendalaman, studi empirik, atau studi referensi
pada Negara lain.
Proses atau mekanisme dalam penyusunan NA di lingkungan
Pemerintah, DPR dan DPD bersifat baku karena harus mengikuti dan
sesuai dengan landasan hukumnya, yaitu Perpres No. 87 tahun 2014
untuk lingkungan Pemerintah, Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014, dan
Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 masing-masing untuk penyusunan

216
Pasal 111 ayat (1) dan (2) Peraturan DPR-RI No. 1 Tahun 2014
tentang Tata Tertib.
217
Pasal 112 ayat (6) Peraturan DPD-RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata
Tertib.
252

NA di lingkungan DPR-RI dan DPD-RI. Selain itu, juga harus sesuai


dengan ketentuan UU No. 12 Tahun 2011. Dengan demikian tidak
ada standar proses penyusunan NA yang bersifat umum, yang dapat
diikuti oleh setiap pihak yang akan menyusun NA.
Dalam kaitan itu B. Hestu Cipto Handoyo mengemukakan
ada 2 (dua) cara dalam proses penyusunan NA yang biasanya diikuti,
yaitu: pertama, mendahulukan penjaringan aspirasi; kedua,
mendahulukan menyusun NA218. Dalam hal proses penyusunan NA
mengikuti cara yang pertama, maka lebih dahulu dilakukan
penjaringan aspirasi melalui seminar, lokakarya, focus group decision
(FGD) maupun expert meeting forum. Setelah itu dilakukan diskusi
internal Tim penyusun NA untuk memformulasikan masukan yang
diperoleh dalam penjaringan aspirasi guna disusun menjadi draf awal
NA. Langkah berikutnya yaitu melakukan diskusi publik yang diikuti
oleh para stakeholders untuk mendapatkan masukan terhadap draf
awal NA dan rancangan peraturan perundang-undangan yang akan
disusun. Diskusi publik itu ditindaklanjuti dengan diskusi internal
Tim penyusun NA untuk memformulasikan masukan yang diperoleh
dalam diskusi publik. Jika pertemuan-pertemuan untuk
penyempurnaan draf awal NA sudah dipandang cukup, maka
dilakukan finalisasi NA. Kemudian, NA final ini diajukan kepada
pihak pemrakarsa: Pemerintah, DPR, atau DPD untuk mendapatkan
tanggapan. Tanggapan tersebut diakomodasikan untuk
penyempurnaan NA final, terutama penyesuaian dengan sistematika
yang ditentukan dalam Lampiran I UU No. 12 Tahun 2011. Tahap
paling akhir yaitu uji sahih NA dan rancangan peraturan perundang-
undangan melalui forum penjaringan aspirasi tersebut di atas.
Proses penyusunan NA menggunakan model kedua
merupakan kebalikan dari cara pertama. Dalam hal ini draf awal NA
yang disusun lebih dahulu, selanjutnya baru dilakukan penjaringan
218
B. Hestu Cipto Handoyo; 2008, Prinsip-prinsip Legal Drafting dan
Desain Naskah Akademik, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, hlm. 201-
205.
253

aspirasi atas draf awal NA tersebut. Untuk itu, Tim Penyusun lebih
dahulu melakukan inventarisasi permasalahan dan mengumpulkan
bahan-bahan yang diperlukan untuk menyusun draft awal NA.
Setelah draf awal NA tersusun, maka Tim melakukan berbagai
pertemuan untuk menyempurnakan, sebagaimana langkah-langkah
pada proses penyusunan NA cara yang pertama.
Sementara itu, Sirajudin, Fatkhurohman, dan Zulkarnain
menintrodusir suatu model penyusunan NA yang berbasis pada
agenda ROCCIPI219, yaitu proses penyusunan NA melalui metode
partisipatif. Proses penyusunan NA partisipatif tersebut
dideskripsikan dengan diagram alir, sebagai berikut220.

TAHAP PERSIAPAN:
Pembentukan Tim Penyusun NA, TAHAP PPELAKSANAAN
Pengumpulan data dan informasi, PENYUSUNAN NA:
Penyusunan agenda, dan pembagian Penyusunan sistematika draf NA,
tugas serta persiapan-persiapan teknis penyusunan draf awal NA

EVALUASI DRAF NA: DISKUSI PUBLIK:


Mengininventarisasi masukan- Menginformasikan draf NA,
masukan, mengakomodir masukan- menghimpun masukan-masukan dari
masukan yang bermanfaat ke dalam berbagai pihak
draf NA

MENGAJUKAN NA KEPADA
PEMRAKARSA:
FINALISASI/PENETAPAN Menyampaikan NA kepada Pemerintah, DPR
DRAF NA atau DPD sebagai bahan masukan atau
pertimbangan dalam pembahasan rancangan
peraturan perundang-undangan.

219
ROCCIPI merupakan identifikasi 7 (tujuh) faktor yang acap kali
menimbulkan masalah atas keberlakuan peraturan perundang-undangan.
Ketujuh factor tersebut diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: faktor subyektif
yang terdiri dari Interest dan Ideology; dan faktor obyektif meliputi Rule,
Opportunity, Capacity, Communication, dan Process. Lihat Sirajuddin dkk;
2015, Legislative Drafting Pelembagaan Metode Partisipatif dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Setara Press, Malang, hlm.
188.
220
Diadaptasi dari Sirajuddin dkk, Ibid. hlm. 190.
254

14.3.4. Penyusunan RUU yang berasal dari Presiden.


Pasal 47 UU No. 12 Tahun 2011 menentukan bahwa RUU
yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan
LPNK (lembaga pemerintah nonkementerian) sesuai dengan lingkup
tugas dan tanggung jawabnya. Artinya bahwa walaupun hak untuk
mengajukan RUU menjadi domain Presiden, namun tidaklah Presiden
yang menyiapkan, melainkan Menteri yang terkait. Misalnya Presiden
merencanakan akan menyusun RUU mengenai pendidikan tinggi,
maka ditugaskan kepada Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi untuk menyiapkan RUU tersebut. Hal itu sesuai dengan
ketentuan Pasal 17 bahwa menteri-menteri membantu Presiden dalam
bidang urusan tertentu pemerintahan. Selain Menteri, pimpinan
LPNK juga dapat menyiapkan RUU. Misalnya Badan Keamanan
Laut Republik Indonesia (Bakamla), salah satu dari LPNK yang ada
saat ini221 dapat sebagai pemrakarsa untuk menyusun RUU di
bidangnya.
Dalam menyusun RUU, menteri atau pimpinan LPNK
membentuk panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian.
RUU tersebut dilakukan pengharmonisan, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia.
RUU dari Presiden diajukan kepada pimpinan DPR dengan
surat Presiden yang berisi penunjukan menteri yang ditugasi
mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan bersama DPR.
Pembahasan mulai dilakukan dalam jangka waktu paling lama 60
(enam puluh) hari terhitung sejak surat presiden diterima. Untuk
keperluan pembahasan tersebut, menteri atau pimpinan LPNK
pemrakarsa memperbanyak naskah RUU dalam jumlah yang
diperlukan. Apabila dalam satu masa sidang, DPR dan Presiden

221
Saat ini terdapat tidak kurang dari 31 LPNK. Lihat:
https://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Pemerintah_Nonkementerian ,
http://www.markijar.com/2016/06/lembaga-pemerintahan-kementrian-dan-
non.html.
255

menyampaikan RUU mengenai materi yang sama, maka yang dibahas


yaitu RUU yang disampaikan oleh DPR. RUU yang diajukan oleh
Presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan. 222
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan RUU diatur
dengan Peraturan Presiden223.
Dalam Perpres No. 87 Tahun 2014 terdapat ketentuan
mengenai penyusunan RUU daftar kumulatif terbuka dan penyusunan
RUU di luar Prolegnas. RUU yang termuat di dalam daftar kumulatif
terbuka terdiri atas:
a. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
b. akibat putusan Mahkamah Konstitusi;
c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
d. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah Provinsi
dan/atau Kabupaten/Kota; dan
e. penetapan/pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang.
Namun, tidak setiap RUU yang disebutkan di dalam daftar
kumulatif terbuka tersebut serta merta dapat disusun oleh pemrakarsa.
Sebab di antaranya terdapat RUU yang penysunannya memerlukan
izin dari Presiden terlebih dahulu, yaitu RUU mengenai pengesahan
perjanjian internasional tertentu; dan pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota. Artinya
bahwa jika pemrakarsa hendak menyusun salah satu dari kedua jenis
RUU tersebut, maka harus mengajukan permohonan izin kepada
Presiden terlebih dahulu. Permohonan izin tersebut disertai dengan
penjelasan mengenai konsepsi pengaturan RUU, yang meliputi:
urgensi dan tujuan penyusunan; sasaran yang ingin diwujudkan;

222
Pasal 50 UU No. 12 Tahun 2011.
223
Pasal 47 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011.
256

pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan jangkauan
serta arah pengaturan224.
Pasal 45 sampai dengan Pasal 54 Perpres No. 87 Tahun 2014
menentukan tata cara mempersiapkan RUU dari pihak Presiden.
Penyusunan RUU diawali dengan pembentukan Panitia
antarkementerian dan/atau antarnonkementerian oleh Pemrakarsa
sebelum RUU ditetapkan dalam daftar Prolegnas prioritas tahunan.
Keanggotaan Panitia terdiri dari kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia); kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian
dan/atau lembaga lain yang terkait dengan substansi yang diatur
dalam RUU; dan perancang peraturan perundang-undangan yang
berasal dari instansi Pemrakarsa. Selain itu, dalam kepanitiaan juga
dapat mengikutsertakan ahli hukum, praktisi, atau akademisi yang
menguasai permasalahan yang berkaitan dengan materi RUU. Panitia
dipimpin seorang ketua yang ditunjuk oleh Pemrakarsa. Kepala biro
hukum atau kepala satuan kerja yang menyelenggarakan fungsi di
bidang peraturan perundang-undangan pada lembaga Pemrakarsa,
secara fungsional bertindak sebagai sekretaris panitia. Sekretaris
panitia bertugas dan bertanggung jawab melakukan penyiapan naskah
RUU, NA, dan materi pendukung lainnya sebagai bahan pembahasan
panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian.
Kegiatan penyusunan RUU meliputi penyiapan, pengolahan,
dan perumusan. Hal itu dilakukan oleh biro hukum atau satuan kerja
yang menyelenggarakan fungsi di bidang peraturan perundang-
undangan pada instansi Pemrakarsa. Hasil penyusunan RUU tersebut,
disampaikan kepada panitia untuk dilakukan pembahasan. Anggota
panitia memberi masukan terhadap RUU sesuai dengan lingkup tugas
masing-masing. Anggota panitia wajib menyampaikan laporan
kepada dan/atau meminta arahan dari menteri/pimpinan lembaga
pemerintah nonkementerian, atau pimpinan lembaga terkait masing-

224
Pasal 22 Perpres No. 87 Tahun 2014.
257

masing mengenai perkembangan penyusunan RUU dan/atau


permasalahan yang dihadapi. Ketua panitia melaporkan
perkembangan penyusunan RUU dan/atau permasalahan yang
dihadapi kepada Pemrakarsa untuk memperoleh keputusan atau
arahan. Selanjutnya menyampaikan kepada Pemrakarsa hasil
perumusan akhir RUU yang sudah mendapatkan paraf persetujuan
seluruh anggota Panitia dan disertai dengan penjelasan atau
keterangan secukupnya.
Tahapan berikutnya yaitu Menteri melakukan
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU. Hal
itu dimaksudkan untuk menyelaraskan RUU dengan: Pancasila, UUD
NRI Tahun 1945, dan UU lain serta penyelarasan teknik penyusunan
peraturan perundang-undangan; dan menghasilkan kesepakatan
terhadap substansi yang diatur dalam RUU.
Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan dilakukan
dalam suatu rapat oleh Menteri dengan melibatkan wakil dari
Pemrakarsa, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian,
dan/atau lembaga lain terkait serta dapat mengikutsertakan peneliti
dan tenaga ahli termasuk dari lingkungan perguruan tinggi untuk
dimintakan pendapat yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan
dalam mengambil keputusan.
RUU yang telah disepakati tersebut disampaikan kepada
menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian dan/atau
pimpinan lembaga terkait untuk mendapatkan paraf persetujuan pada
setiap lembar naskah RUU. Kemudian, Menteri menyampaikan
kepada Pemrakarsa hasil pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi RUU yang telah mendapatkan paraf persetujuan
tersebut untuk disampaikan kepada Presiden. Dalam hal Presiden
berpendapat bahwa RUU masih mengandung permasalahan, maka
ditugaskan kepada Pemrakarsa dan Menteri untuk mengoordinasikan
kembali penyempurnaan RUU tersebut. RUU yang telah
disempurnakan itu disampaikan oleh Pemrakarsa kepada Presiden
dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
258

tanggal diterimanya penugasan dengan tembusan kepada Menteri.


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pemrakarsa menyampaikan usul penyusunan RUU yang
termasuk dalam daftar kumulatif kumulatif terbuka kepada Menteri.
Usulan tersebut harus melampirkan kesiapan teknis yang meliputi:
NA; surat keterangan penyelarasan NA dari Menteri; RUU; surat
keterangan telah selesainya pelaksanaan rapat panitia antar
kementerian dan/atau antar non-kementerian dari Pemrakarsa; dan
surat keterangan telah selesainya pengharmonisasian, pembulatan,
dan pemantapan konsepsi Ruu dari Menteri. Namun khusus untuk
penyusunan RUU mentgenai APBN dan penetapan/pencabutan
Perppu tidak perlu melampirkan NA dan surat keterangan
penyelarasan NA dari Menteri.
Penyusunan RUU di luar Prolegnas dilakukan oleh Presiden
untuk untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, dan
bencana alam; dan/atau keadaan tertentu lainnya yang memastikan
adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama
oleh Baleg dan Menteri. Pemrakarsa yang akan menyusun RUU di
luar Prolegnas terlebih dahulu harus mengajukan permohonan izin
prakarsa kepada Presiden. Permohonan izin tersebut disertai
penjelasan mengenai konsepsi pengaturan RUU, yang meliputi:
urgensi dan tujuan penyusunan; sasaran yang ingin diwujudkan;
pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan jangkauan
serta arah pengaturan.
Pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas apabila
sudah mendapatkan izin dari Presiden. RUU dimaksud disampaikan
kepada Menteri dengan melampirkan dokumen kesiapan teknis yang
meliputi:
a. izin prakarsa dari Presiden;
b. Naskah Akademik;

259

c. surat keterangan penyelarasan Naskah Akademik dari


Menteri;
d. Rancangan Undang-Undang;
e. surat keterangan telah selesai pelaksanaan rapat panitia
antarkementerian atau antarnonkementerian dari Pemrakarsa;
dan
f. surat keterangan telah selesai pengharmonisasian, pembulatan
dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang dari
Menteri.
Selanjutnya, Menteri mengajukan usul RUU di luar
Prolegnas tersebut kepada Pimpinan DPR melalui Baleg untuk
dimuat dalam Prolegnas prioritas tahunan. Ketentuan mengenai tata
cara mempersiapkan RUU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
sampai dengan Pasal 54 seperti telah dideskripsikan di atas berlaku
secara mutatis mutandis terhadap penyusunan RUU Kumulatif
Terbuka dan RUU di Luar Prolegnas di Lingkungan Pemerintah.225
Proses penyusunan RUU dari Presiden yang dideskripsikan di
atas, diilustrasikan dengan diagram alir sebagai berikut226.
Perguruan Tinggi/pihak ketiga
lainnya

KEGIATAN TEKNIS
PROLEGNAS Pembentukan
Menyusun NA PERANCANGAN di
PANITIA
departemen/LPNK
antarkementerian

PENGAJUAN RUU
kepada HARMONISASI:
PERMEMINTAAN
menteri/pimpinan LPNK Pejabat teknis yg menguasai
PENDAPAT/
pemrakarsa untuk permasalahan substansi, ahli
harmonisasi konsepsi hukum dari kementerian/ PERTIMBANGAN:
dan teknik penyusunan LPNK pemrakarsa, Menkumham,
kementerian terkait
Menteri, LPNK, dan
stakeholders

TIDAK ADA
PERMASALAHAN
Diajukan ke DPR untuk
ADA PERMASALAHAN:
dibahas bersama (paling
- Harmonisasi kembali
lambat 60 hari sejak surat
- Diajukan kepada
Presiden diterima
Presiden untuk
diputuskan dan RUU diajukan kepada
reformulasi RUU PRESIDEN

225
Pasal 56 Perpres No. 87 Tahun 2014.
226
Diadaptasi dari Sirajuddin dkk, Op. Cit., hlm. 150.
260

14.3.5. Penyusunan RUU yang berasal dari Anggota DPR.


RUU dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi,
gabungan komisi, atau Badan Legislasi DPR, atau DPD227. RUU
dapat diajukan oleh 1 (satu) orang anggota atau lebih dan didukung
oleh anggota lain dengan membubuhkan tanda tangan. RUU yang
diajukan oleh komisi atau gabungan komisi ditetapkan terlebih
dahulu dalam rapat komisi atau rapat gabungan komisi. RUU disusun
berdasarkan Prolegnas prioritas tahunan. Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara mempersiapkan RUU diatur dalam Peraturan DPR
No. 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang, dan Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata
Tertib.
Anggota DPR, komisi, atau gabungan komisi atau Badan
Legislasi dalam menyusun RUU lebih dahulu menyusun NA
mengenai materi yang akan diatur dalam RUU. Tetapi, RUU
mengenai APBN, penetapan Perppu menjadi UU, pengesahan
perjanjian internasional, atau RUU yang hanya mengubah beberapa
materi UU tidak diharuskan menyusun NA lebih dahulu, melainkan
dapat disertai NA228.
Penyusunan RUU di DPR yang dilakukan oleh anggota dapat
diajukan oleh 1 (satu) orang anggota tetapi didukung oleh anggota
lain dengan membubuhkan tanda tangan. Anggota dapat meminta
bantuan sistem legislasi dan masukan dari masyarakat dengan cara
menyebarluaskan RUU melalu media elektronik yang tersedia di
DPR untuk menyempurnakan konsepsi RUU. RUU yang telah
disusun disampaikan kepada Badan Legislasi DPR untuk dilakukan
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU229.

227
Pasal 8 Peraturan DPR No. 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang.
228
Pasal 115 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.
229
Pasal 112 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib,
Pasal 9 dan 10 Peraturan DPR No. 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undfang.
261

Penyusunan RUU di DPR yang diajukan oleh komisi,


gabungan komisi atau Badan Legislasi ditetapkan lebih dahulu dalam
rapat komisi, rapat gabungan komisi, atau rapat Badan Legislasi.
RUU tersebut disusun berdasarkan Prolegnas prioritas tahunan.
Kegiatan yang dilakukan dalam penyusunan RUU yaitu: perumusan
konsep RUU berdasarkan NA, pembahasan konsep RUU dan NA,
dan penyebarluasan. Penyusunan dilakukan paling lama 1 (satu) masa
sidang sejak tanggal berlakunya Prolegnas prioritas tahunan230.
Komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi dapat
membentuk panitia kerja untuk menyusun RUU. Keanggotaan panitia
kerja didasarkan pada perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi
dan berjumlah paling banyak setengah dari julah anggota alat
kelengkapan DPR yang bersangkutan serta ditetapkan oleh alat
kelengkapan DPR yang membentuknya.
Panitia kerja dapat membentuk Tim Perumus untuk
merumuskan lebih lanjut RUU, dan melaporkan hasil kerja kepada
panitia kerja. Panitia kerja melaporkan hasil kerja di dalam rapat
komisi, rapat gabungan komisi, atau rapat Badan Legislasi, yang akan
mengambil keputusan setelah lebih dahulu melakukan pembacaan
RUU dan penyampaian pendapat fraksi. RUU yang sudah
mendapatkan persetujuan dalam rapat tersebut disampaikan kepada
Badan Legislasi untuk dilakukan pengharmonisasian, pembulatan,
dan pemantapan konsepsi RUU. Apabila sudah mendapatkan
persetujuan dalam rapat Badan Legislasi, maka RUU tersebut
disampaikan kepada pimpinan DPR untuk diajukan dalam rapat
paripurna231. Dalam penyusunan RUU, anggota, komisi, atau
gabungan komisi, dapat meminta masukan dari masyarakat sebagai
bahan bagi panitia kerja untuk menyempurnakan konsepsi RUU.

230
Pasal 12 Peraturan DPR No. 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang.
231
Pasal 116 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib,
Pasal 18 dan 19 Peraturan DPR No. 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang.
262

Keputusan dalam rapat paripurna atas pembahasan RUU


dapat berupa: persetujuan tanpa perubahan, persetujuan dengan
perubahan, atau penolakan. Jika disetujui tanpa perubahan maka,
selanjutnya pimpinan DPR menyampaikan RUU tersebut kepada
Presiden dan pimpinan DPD (jika RUU termasuk dalam lingkup
kewenangan DPD). Sedangkan jika disetujui dengan perubahan maka
pimpinan DPR menugaskan kepada komisi, gabungan komisi, atau
Badan Legislasi untuk menyempurnakan kembali RUU. Setelah
penyempurnaan selesai maka RUU disampaikan kepada pimpinan
DPR, dan selanjutnya akan diajukan kepada Presiden dan DPD.
Anggota, komisi, gabungan komisi atau Badan Legislasi
dalam menyusun RUU dibantu oleh Badan Keahlian DPR dan dapat
meminta masukan dari masyarakat sebagai bahan bagi panita kerja
untuk menyempurnakan konsepsi RUU232. Selain itu juga dapat
meminta sistem pendukung legislasi dan pihak lain yang
berkompeten seperti: perguruan tinggi, lembaga pengkajian/
penelitian, dan/atau pakar tertentu233. Untuk meminta masukan dari
masyarakat, maka dilakukan: penyebarluasan RUU melalui media
cetak dan/atau elektronik; rapat dengar pendapat umum; kunjungan
kerja ke daerah; atau kunjungan kerja ke luar negeri.
Badan Legislasi melakukan pengharmonisasian, pembulatan,
dan pemantapan konsepsi RUU meliputi substansi, aspek teknis, dan
asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan paling lama
20 (dua puluh) hari masa sidang sejak RUU diterima oleh Badan
Legislasi. Dalam hal RUU disampaikan pada akhir masa sidang
kurang dari 20 (dua puluh) hari masa sidang, maka sisa hari
dilanjutkan pada masa sidang berikutnya. Sedangkan apabila RUU
disampaikan pada masa reses, maka 20 (dua puluh) hari dihitung
sejak pembukaan masa sidang berikutnya. Badan Legislasi dapat

232
Pasal 116 dan 117 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata
Tertib.
233
Pasal 11 Peraturan DPR No. 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang.
263

membentuk panitia kerja untuk melakukan pengharmonisasian,


pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU. Jika Badan Legislasi
menemukan permasalahan berkaitan dengan teknis, substansi, asas-
asasa pembentukan peraturan perundang-undangan, maka Badan
Legislasi membahas permasalahan tersebut dengan mengundang
pengusul234. Proses penyusunan RUU di DPR secara ringkas
diragakan dengan diagram alir sebagai berikut.
RUU USUL ANGGOTA
Satu orang + dukungan MASUKAN
anggota lain dengan MASYARAKAT
tanda tangan Penyebarluasan
RUU, Rapat
Dengar Pendapat,
PANITIA KERJA Kunker ke
daerah/luar
PROLEGNAS PANITIA
NASKAH negeri
PERUMUS RUU

RUU USUL KOMISI,


GABUNGAN KOMISI, Penyampaian RUU
kepada PERTIMBANGAN
BALEG, DPD
PRESIDEN, DPD DPD atas RUU

PIMPINAN BALEG
DPR
Pengharmonisasian,
RUU pembulatan,
PENYEMPURN
AAN RUU pemantapan konsepsi
SETUJU dengan RAPAT RUU: substansi, asas-
perubahan RUU PARIPURNA asas, aspek teknis.
Paling lama 20 hari.
Pembahasan
draf RUU
SETUJU tanpa
perubahan RUU

14.3.6. Penyusunan RUU Prakarsa DPD.


Proses penyusunan RUU oleh DPD ditentukan dalam
Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib. Penyusunan
RUU merupakan tindaklanjut dari perencanaan penyusunan RUU
yang sudah ditetapkan di dalam Prolegnas. Untuk itu, Komite/Panitia

234
Pasal 118, 119, dan 120 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang
Tata Tertib.
264

Perancang UU melakukan langkah-langkah persiapan penyusunan


masing-masing RUU sesuai lingkup tugas dan kewenangan DPD.
Usulan penyusunan RUU dapat diajukan oleh 1 (satu) orang anggota
atau lebih dengan membubuhkan tanda tangan dukungan. Pengajuan
usulan dilakukan secara tertulis kepada pimpinan Panitia Perancang
UU untuk ditetapkan menjadi RUU. Usul RUU tersebut ditetapkan
terlebih dahulu dalam rapat Panitia Perancang UU235.
Panitia Perancang UU dalam menyusun RUU dapat
membentuk tim kerja, yang keanggotaannya ditetapkan oleh Panitia
Perancang UU. Selain itu, juga berhak atas dukungan tim ahli, pakar,
narasumber, peneliti, perancang UU dan sekretariat Panitia Perancang
UU. Konsepsi dan materi RUU harus selaras dengan falsafah negara
Pancasila, dan UUD NRI 1945 (Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945) Karena itu lebih dahulu disusun NA
mengenai materi yang akan diatur dalam RUU. NA yang dimaksud
disusun sesuai dengan ketentuan dalam Lampiran I UU No. 12 Tahun
2011. Dalam penyusunan NA dilakukan rangkaian kegiatan akademis
baik dalam mempelajari fenomena sendiri melalui studi pendahuluan,
pendalaman, studi empirik, atau melalui studi referensi pada negara
lain. Di samping itu, dalam penyusunan RUU dapat pula dilakukan
uji sahih publik dan ulasan pakar melalui meminta masukan dari
masyarakat sebagai bahan bagi tim kerja untuk menyempurnakan
konsepsi RUU236.
Langkah selanjutnya yaitu membahas RUU yang sudah
disempurnakan dan mengesahkan dalam Sidang Pleno Panitia
Perancang UU sebagai usul RUU dari Panitia Perancang UU. Usul
RUU yang sudah disahkan tersebut beserta NA disampaikan secara
tertulis kepada pimpinan Panitia Perancang UU. Kemudian, Panitia
Perancang UU melakukan kegiatan harmonisasi, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi terhadap usul RUU yang berasal dari Komite,

235
Pasal 118 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.
236
Pasal 119, 120, 121, dan 122 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014
tentang Tata Tertib.
265

diarahkan untuk mewujudkan keselarasan konsep usul RUU dengan


Pancasila, UUD Tahun 1945, tujuan nasional, dan memuat kesesuaian
unsur filosofis, yuridis, sosiologis, serta politis237. Kegiatan
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan dilakukan paling
cepat 3 (tiga) hari dan paling lama 10 (sepuluh) hari masa sidang
sejak Sidang Gabungan antara Panitia Perancangan UU dan Komite
dilaksanakan. Dalam hal RUU disampaikan pada akhir masa sidang
kurang dari 10 (sepuluh) hari, sisa hari dilanjutkan pada masa sidang
berikutnya238.
Dalam rangkaian harmonisasi, pembulatan dan pemantapan
konsepsi usul RUU tersebut, Panitia Perancang Undang-Undang
mengadakan sidang gabungan dengan Komite yang mengusulkan
RUU untuk memperoleh penjelasan. Apabila Panitia Perancang UU
menemukan permasalahan yang berkaitan dengan substansi, maka
dilakukan pembahasan kembali bersama dengan Komite yang
bersangkutan atas permasalahan yang diketemukan. Sedangkan
apabila hasilnya menunjukkan urgensi perumusan kembali maka,
perumusan dilakukan oleh Tim Kerja gabungan antara Panitia
Perancang UU dan Komite yang bersangkutan, yang waktu
penyelesaiannya dikonsultasikan dengan Panitia Musyawarah. Tim
kerja gabungan yang keanggotaannya disepakati oleh Panitia

237
Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan maksudnya yaitu
penyelarasan konsepsi RUU dengan dasar falsafah negara Pancasila, tujuan
negara-tujuan nasional beserta aspirasi yang melingkupinya, UUD NRI
Tahun 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang yang sudah ada beserta
peraturan pelaksanaannya, serta kebijak lain yang terkait dengan bidang
yang akan diatur dalam RTUU. Lihat: Agus Hariadi; “Menata Ulang
Penyusunan Program Legislasi Nasional dalam Rangka Pembentukan
Undang-Undang yang Berkualitas (Reorganizing national Legislation
Program Forming in Order to Reach the Quality of Legislation), Jurnal
Legislasi Indonesia – Indonesia Journal of Legislation, Vol. 8 No. 4 –
Desember 2011, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi manusia, Jakarta, hlm. 545-546.
238
Pasal 123, dan 124 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 tentang Tata
Tertib.
266

Perancang UU dan Komite yang bersangkutan menyampaikan hasil


perumusan kepada Panitia Perancang Undang-Undang239.
Fase berikutnya yaitu penetapan RUU inisiatif DPD. Untuk
itu, Panitia Perancang UU menyampaikan dokumen usul RUU yang
telah diharmonisasikan kepada Panitia Musyawarah untuk
diagendakan dalam Sidang paripurna. Dalam sidang tersebut, Panitia
Perancang UU menyampaikan penjelasan atas usul RUU beserta
daftar nama Anggota Tim Kerja dari Komite dan Panitia Perancang
UU untuk diputuskan. Karena itu, Pemrakarsa menyampaikan
penjelasan lebih dahulu sebelum Sidang Paripurna mengambil
keputusan. Penetapan keputusan dapat berupa: diterima tanpa
perubahan; diterima dengan perubahan; atau ditolak. Dalam hal usul
rancangan undang-undang diterima dengan perubahan maka, DPD
menugaskan Panitia Perancang UU untuk membahas dan
menyempurnakan kembali usul RUU tersebut. Keputusan sidang
paripurna tanpa perubahan maupun adanya perubahan yang sudah
diperbaiki, disampaikan kepada Pimpinan DPD.240
Tahap selanjutnya yaitu pimpinan DPD mengajukan RUU
tersebut kepada pimpinan DPR dan Presiden. Pengajukan dilakukan
secara tertulis dengan disertai Tim Kerja yang mewakili DPD. Tim
Kerja didampingi oleh sekretariat dan dapat didampingi pula oleh staf
ahli, pakar, narasumber, peneliti, dan perancang UU. Pimpinan DPR
menyampaikan usul RUU tersebut kepada Badan Legislasi DPR
untuk dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi RUU. Untuk itu, Badan Legislasi DPR dapat mengundang
pimpinan Panitia Perancang UU dari DPD untuk membahas usul
RUU. Hasil pengharmonisasian tersebut dilaporkan secara tertulis
kepada pimpinan DPR, untuk selanjutnya diumumkan dalam rapat
paripurna.
Proses penyusunan RUU yang dideskripsikan di atas
merupakan proses penyusunan RUU yang terdapat di dalam

239
Pasal 125 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.
240
Pasal 126 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.
267

Prolegnas. Berdasarkan ketentuan Pasal 128 Peraturan DPD No. 1


Tahun 2014, DPD dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas. Tetapi,
hal itu dapat dilakukan hanya dengan maksud untuk mengatasi
keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; atau keadaan
lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atau suatu RUU
yang dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi DPR dan Menteri
Hukum dan Hak Asasi manusia. Jadi pengajuan RUU di luar
Prolegnas bersifat sangat limitatif, hanya diperkenankan RUU yang
berkaitan dengan hal-hal yang sesuai dengan ketentuan tersebut.
Usulan RUU di luar Prolegnas dapat diajukan oleh
masyarakat, Anggota DPD, komite, Panitia Perancang UU, atau
gabungan Alat Kelengkapan kepada Panitia Musyawarah. Usulan
disampaikan secara tertulis kepada pimpinan Panitia Musyawarah
dengan dilengkapi lampiran berupa: a. latar belakang dan tujuan
penyusunan; b. sasaran yang ingin diwujudkan; c. jangkauan dan arah
pengaturan; d. kesesuaian dengan tugas dan wewenang DPD; dan e.
daftar nama dan tanda tangan pengusul.
Selanjutnya, Panitia Musyawarah menentukan Alat
Kelengkapan/gabungan Alat Kelengkapan yang berkompeten untuk
menindaklanjuti usul penyusunan RUU tersebut. Alat
Kelengkapan/gabungan Alat Kelengkapan yang telah ditetapkan
melakukan telaah apakah usul RUU memenuhi persyaratan tersebut
di atas. Dalam hal usul RUU memenuhi persyaratan maka, pimpinan
Alat Kelengkapan/gabungan Alat Kelengkapan menyampaikan usul
tersebut kepada Panitia Musyawarah, yang akan menyampaikan
dalam Sidang paripurna berikutnya untuk diambil keputusan, setelah
Pemrakarsa menyampaikan penjelasan. Keputusan Sidang paripurna
dapat berupa: diterima; atau ditolak. Dalam hal Sidang paripurna
menolak usul rancangan undang-undang di luar Prolegnas, usul
tersebut tidak dapat diajukan kembali. Sebaliknya jika usul tersebut
diterima maka, Panitia Musyawarah menunjuk komite/Panitia
Perancang UU untuk mempersiapkan dan memproses RUU, seperti

268

halnya proses usul RUU yang terdapat dalam Prolegnas tersebut di


atas.
Proses penyusunan RUU prakarsa DPD yang termuat di
dalam Prolegnas dinyatakan dengan diagram alir di bawah ini.

14.3.7. Pembahasan RUU


Pembahasan RUU dilakukan di DPR oleh DPR bersama
dengan Presiden dan DPD. Namun sebelum pembahasan tersebut
terlebih dahulu dilakukan persiapan pembahasan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di masing-masing pihak pemrakarsa.

14.3.8. Persiapan Pembahasan di DPR


Dalam Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 ditentukan bahwa
komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, panitia khusus, atau
Badan Anggaran membahas RUU berdasarkan penugasan Badan
Musyawarah. Penugasan tersebut berdasarkan pertimbangan
269

pengusul RUU; penugasan penyempurnaan RUU; keterkaitan materi


muatan RUU dengan ruang lingkup tugas komisi; dan jumlah RUU
yang ditangani oleh komisi atau Badan Legislasi (Pasal 132). Komisi
atau gabungan komisi sebagai pengusul RUU diprioritaskan untuk
ditugaskan membahas RUU. Komisi, gabungan komisi, Badan
Legislasi, atau panitia khusus yang mendapat tugas penyempurnaan
RUU langsung bertugas membahas RUU.
Komisi ditugaskan untuk membahas suatu RUU jika materi
muatan RUU termasuk dalam ruang lingkup 1 (satu) komisi.
Sedangkan Gabuangan komisi, Badan Legislasi atau panitia khusus
ditugaskan membahas suatu RUU yang materi muatannya termasuk
dalam ruang lingkup 2 (dua) komisi. Hal itu dengan ketentuan bahwa:
a. jumlah rancangan undang-undang yang ditangani komisi telah
melebihi jumlah maksimal; b. komisi sedang menangani rancangan
undang-undang yang mengandung materi muatan yang kompleks dan
memerlukan waktu pembahasan yang lama; atau c. sebagian besar
anggota komisi menjadi anggota pada beberapa panitia khusus.
Dalam hal penugasan pembahasan RUU diserahkan kepada
komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi yang bukan pengusul
maka dalam melakukan pembahasan wajib mengundang pengusul
untuk memberikan penjelasan atau keterangan atas RUU. Keterangan
tersebut disampaikan sebelum pembahasan dengan Pemerintah, atau
pada setiap rapat apabila dipandang perlu. Pengusul diwakili oleh
pimpinan alat kelengkapan pengusul atau anggota pengusul paling
banyak 4 (empat) orang (Pasal 134 dan 135).
Komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi diberikan
tugas oleh Badan Musyawarah untuk membahas RUU paling banyak
2 (dua) RUU pada waktu yang bersamaan, kecuali pembahasan RUU
mengenai: a. pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah; b. pembentukan pengadilan tinggi; c. ratifikasi perjanjian
internasional; d. RUU paket; dan e. RUU tentang penetapan Perppu
menjadi UU. Penugasan baru akan diberikan setelah 1 (satu) RUU
selesai dibahas pada Pembicaraan Tingkat I. Setiap Anggota
270

mendapatkan penugasan paling banyak 3 (tiga) RUU pada waktu


yang bersamaan, kecuali untuk pembahasan RUU mengenai:
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah;
pembentukan pengadilan tinggi; ratifikasi perjanjian internasional;
dan ruu paket (Pasal 136 dan 137 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014).

14.3.9. Persiapan Pembahasan RUU di Pihak Presiden


Persiapan pembahasan RUU di pihak Presiden diatur dalam
Pasal 87 sampai dengan Pasal 92 Perpres No. 87 Tahun 2014.
Persiapan pembahasan tersebut meliputi persiapan pembahan RUU
dari Presiden dan RUU prakarsa DPR. Persiapan pembahasan RUU
prakarsa Presiden dimulai dengan pengajuan RUU hasil
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
disampaikan oleh Pemrakarsa kepada Presiden disertai dengan
penjelasan mengenai: latar belakang dan tujuan penyusunan; sasaran
yang ingin diwujudkan; dan jangkauan dan arah pengaturan, yang
menggambarkan keseluruhan substansi RUU. Presiden
menyampaikan RUU kepada Pimpinan DPR dengan Surat Presiden
yang paling sedikit memuat penunjukan menteri yang ditugasi untuk
mewakili Presiden dalam pembahasan RUU di DPR. Untuk itu,
pemrakarsa memperbanyak RUU tersebut sesuai jumlah yang
diperlukan.
Dalam pembahasan RUU di DPR, menteri yang ditugasi
wajib melaporkan perkembangan dan/atau permasalahan yang
dihadapi kepada Presiden untuk memperoleh arahan dan keputusan.
Jika dalam pembahasan terdapat masalah yang bersifat prinsipil dan
arah pembahasannya akan mengubah isi serta arah RUU, menteri
wajib melaporkan kepada Presiden disertai dengan saran
pemecahannya untuk memperoleh keputusan.
Persiapan pembahasan RUU prakarsa DPR di lingkungan
Presiden diawali dengan Presiden menugaskan menteri untuk
mewakili dalam pembahasan RUU di DPR. Menteri yang
membidangi urusan pemerintahan di bidang kesekretariatan negara
271

dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal
RUU diterima melakukan koordinasi dengan Menteri dan menteri
terkait. Surat Presiden mengenai penugasan menteri disampaikan
kepada Pimpinan DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam
puluh) hari terhitung sejak tanggal surat Pimpinan DPR diterima.
Menteri yang mewakili Presiden dalam melakukan
pembahasan menyiapkan: pandangan dan pendapat Presiden; dan
daftar inventarisasi masalah. Dalam hal terdapat perbedaan pendapat
dalam menyiapkan pandangan dan pendapat Presiden dan/atau daftar
inventarisasi masalah, menteri yang ditugasi melaporkan kepada
Presiden untuk memperoleh arahan dan keputusan. Setelah itu,
menteri menyampaikan pandangan dan pendapat Presiden serta daftar
inventarisasi masalah kepada pimpinan DPR dalam jangka waktu
paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal Rancangan
Undang-Undang diterima Presiden.

14.3.10. Persiapan Pembahasan RUU di DPD.


Persiapan pembahasan RUU di DPD meliputi pembahasan
RUU prakarsa DPD, dan RUU prakarsa DPR atau Presiden.
Pembahasan RUU prakarsa DPD dilakukan oleh Panitia Musyawrah
DPD bersama Alat Kelengkapan DPR dan Menteri yang akan
mewakili Presiden dalam pembicaraan tingkat I. Panitia Musyawarah
menugaskan Tim Kerja untuk: a. menyusun pengantar musyawarah
dalam pembahasan RUU; b. menyusun justifikasi dan argumentasi
RUU dalam menanggapi DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) dan
pertanyaan dari DPR dan Presiden; c. mengikuti pembahasan di DPR
secara terus menerus dengan paling kurang 5 (lima) orang yang dapat
saling bergantian; dan d. menyusun pendapat mini dalam
pembicaraan tingkat I. e. ikut menandatangani persetujuan RUU di
akhir pembicaraan tingkat I, termasuk jika terjadi pengambilan
keputusan dengan suara terbanyak. Dalam pengantar musyawarah,
DPD memberikan penjelasan, DPR dan Presiden menyampaikan
pandangan. Pada kesempatan ini, DPR dan Presiden mengajukan
272

DIM. Tim Kerja dapat menyesuaikan sikap dengan dinamika


perkembangan politik khususnya dalam hal terjadi ketidaksesuaian
antara konsep yang diusulkan oleh DPD dengan pendapat Pemerintah
dan/atau DPR dan melaporkannya kepada Pimpinan DPD melalui
pimpinan Komite/Panitia Perancang UU. Penyampaian pendapat mini
dilakukan pada akhir pembicaraan tingkat I oleh DPD, DPR, dan
Presiden. Penandatanganan persetujuan RUU dilakukan pada akhir
pembicaraan tingkat I oleh DPD, DPR, dan Presiden.241
Pembahasan RUU di DPD dilakukan dalam: a. rapat kerja; b.
rapat Badan kerja; c. tim perumus; dan/atau d. rapat tim sinkronisasi.
Selain itu, dapat pula dilakukan mekanisme lain sepanjang disepakati
oleh pimpinan Rapat dan Peserta Rapat. Rapat kerja terlebih dahulu
menyepakati jadwal pembicaraan tingkat I pembahasan RUU serta
waktu penyusunan dan penyerahan DIM. Tata cara pembahasan RUU
di DPR mengikuti ketentuan Peraturan Tata Tertib DPR. Hasil
pembahasan dapat berupa mendapatkan persetujuan, persetujuan
dengan perubahan, mengalami perubahan yang bertentangan dengan
usulan DPD, atau tidak mendapatkan persetujuan. Terhadap hasil
bahasan tersebut, maka DPD menindaklanjuti sebagai berikut:
1. Dalam hal RUU mendapat persetujuan DPR, Tim DPD
melakukan pembahasan sampai selesai.
2. Dalam hal mendapatkan persetujuan dengan perubahan, Tim
DPD mengadakan koordinasi untuk pembahasan agenda
perubahan dan penyempurnaan dengan DPR.
3. Dalam hal materi suatu RUU mengalami perubahan yang
bertentangan dengan yang diusulkan DPD dalam pembahasan
tingkat satu dalam sidang DPR, tim DPD yang ditunjuk
melaporkan perubahan tersebut kepada Komite atau Panitia
Perancang UU. Selanjutnya, Komite dan/atau Panitia
Perancang UU melaporkan perubahan tersebut kepada sidang
paripurna disertai saran penyempurnaannya untuk ditetapkan.

241
Pasal 129 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.
273

4. Dalam hal RUU dari DPD tidak mendapat persetujuan


bersama antara DPR dan Presiden, Tim Kerja DPD segera
menyampaikan kepada Panitia Musyawarah untuk
mengagendakan Sidang paripurna guna melaporkannya. 242
Sehubungan dengan hasil bahasan nomor 4 (empat) di atas,
Sidang paripurna menugasi Komite terkait/Panitia Perancang UU
untuk melakukan pendalaman masalah tersebut. Komite/Panitia
Perancang UU melaporkan pelaksanaan tugasnya dalam Sidang
paripurna untuk diambil keputusan. Keputusan sidang paripurna
dapat berupa penolakan dengan alasan, atau penolakan tidak
beralasan. Dalam hal sidang paripurna berpendapat penolakan
tersebut beralasan, pembahasan RUU tidak dilanjutkan. Tetapi, dalam
hal sidang paripurna berpendapat penolakan tersebut tidak beralasan
maka, akan ditindaklanjuti melalui: a. pendalam masalah; b.
melakukan judicial review dan/atau sengketa antar lembaga Negara
kepada Mahkamah Konstitusi. RUU yang mendapat penolakan
dipublikasi oleh Sekretariat Jenderal. Dalam hal RUU tidak mendapat
persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, RUU tersebut tidak
boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.243
Pembahasan RUU yang berasal dari DPR atau Presiden.
Pasal 133 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 menentukan bahwa
pimpinan DPD menyampaikan kepada Panitia Perancang UU untuk
menyusun pandangan. Dalam hal materi RUU terkait dengan Alat
Kelengkapan lainnya, Panitia Perancang UU dan/atau Alat
Kelengkapan terkait lainnya menyampaikan kepada Panitia
Musyawarah untuk ditetapkan membahas bersam dan menyampaikan
draf pandangan DPD kepada Panitia Musyawarah untuk diagendakan
dan diputuskan dalam sidang paripurna disertai daftar nama Anggota
Tim Kerja yang akan mewakili DPD dalam pembahasan bersama

242
Pasal 130 dan 131 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 tentang Tata
Tertib.
243
Pasal 132 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.
274

DPR dan Pemerintah. Dalam hal RUU dari DPR atau Presiden
berdasarkan Prolegnas lima tahunan dan di luar Prolegnas diterima
oleh Pimpinan, segera menyampaikan dalam Sidang paripurna
berikutnya untuk menugaskan Alat Kelengkapan yang akan
membahas rancangan undang-undang dimaksud. Apabila Sidang
paripurna tidak dapat dilaksanakan dalam waktu 3 (tiga) hari sejak
diterimanya rancangan undang-undang dari DPR atau Presiden,
Panitia Musyawarah dapat memutuskan Alat Kelengkapan yang
membahas RUU. RUU tersebut disampaikan kepada Anggota DPD
oleh Sekretariat Jenderal untuk segera memberikan masukan kepada
Alat Kelengkapan yang ditunjuk. Pimpinan DPD menyampaikan
pandangan terhadap RUU disertai daftar nama Tim Kerja kepada
DPR dan Presiden. Alat Kelengkapan yang ditugaskan, menyusun
DIM berdasarkan pandangan dari pimpinan DPD. Tim Kerja
menghadiri rapat-rapat pembahasan dengan DPR dan Pemerintah.
Alat Kelengkapan yang ditugaskan, didampingi oleh sekretariat dan
dapat didampingi oleh staf ahli, pakar, narasumber, peneliti, dan
perancang UU.
Tim Kerja melakukan pembahasan rancangan undang-undang
bersama DPR dan Pemerintah dalam pembicaraan tingkat I atas
undangan DPR. Kegiatan dalam Pembicaraan tingkat I yaitu: a.
pengantar musyawarah oleh DPR atau Pemerintah yang mengajukan
rancangan undang-undang; b. pembahasan daftar inventarisasi
masalah sandingan yang berasal dari DPD dan Presiden atau DPR;
dan c. penyampaian pendapat mini sebagai sikap akhir. Kegiatan-
kegiatan tersebut dilakukan dalam rapat kerja; rapat badan kerja; tim
perumus; dan/atau rapat tim sinkronisasi. Dalam kegiatan-kegiatan
tersebut dapat dilakukan mekanisme lain sepanjang disepakati oleh
pimpinan rapat dan peserta rapat. Rapat kerja terlebih dahulu
menyepakati jadwal pembicaraan tingkat I pembahasan RUU serta
waktu penyusunan dan penyerahan DIM.
Jika RUU berasal dari DPR maka Pimpinan Badan Legislasi
DPR memberikan penjelasan atau keterangan atas RUU serta
275

tanggapan terhadap DIM dan pertanyaan yang diajukan menteri


dan/atau DPD. Sedangkan jika RUU prakarsa Presiden maka, menteri
yang mewakili Presiden memberikan penjelasan atau keterangan atas
RUU serta tanggapan terhadap DIM dan pertanyaan yang diajukan
Badan Legislasi DPR dan Panitia Perancang UU dari DPD. Dalam
pelaksanaan pembahasan, Tim Kerja dapat menyesuaikan sikap
dengan dinamika perkembangan politik khususnya dalam hal terjadi
ketidaksesuaian antara konsep yang diusulkan oleh DPD dengan
pendapat Pemerintah dan/atau DPR dan melaporkannya kepada
Pimpinan DPD melalui pimpinan Komite/Panitia Perancang UU.
Hasil pembahasan akhir RUU dilaporkan oleh Alat Kelengkapan
kepada sidang paripurna berikutnya.244

14.3.10. Pelaksanaan Pembahasan RUU.


Pelaksanaan pembahasan RUU di DPR ditentukan dalam
Pasal 65 sampai dengan Pasal 71 UU No. 12 Tahun 2011.
Pembahasan RUU dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau
menteri yang ditugasi. Pembahasan mengenai hal-hal tertentu yang
terkait dengan daerah, yaitu: otonomi daerah; hubungan pusat dan
daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah;
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan
perimbangan keuangan pusat dan daerah, DPD diikutsertakan hanya
pada tahap pembicaraan tingkat I. Namun dengan dikeluarkannya
keputusan MK No. 92/PPU-X/2012 maka keikutsertaan DPD dalam
pembahasan tidak lagi sebatas pembahasan tingkat I tapi diberikan
sampai pembahasan tingkat II. DPD diwakili oleh alat kelengkapan
atau gabungan alat kelengkapan DPD yang ditentukan oleh Panitia
Musyawarah DPD245.

244
Pasal 136 - 138 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 tentang Tata
Tertib.
245
Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 29 ayat (1) Peraturan DPD No. 1 Tahun
2014 tentang Tata Tertib.
276

Pembahasan dilakukan melalui 2 tingkat pembicaraan yaitu:


a. Pembicaraan tingkat I yang berlangsung dalam rapat komisi,
rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan
Anggaran, atau rapat Panitia Khusus; dan
b. pembicaraan tingkat II yakni dalam rapat paripurna.

14.3.11. Pembicaraan Tingkat I.


Pada pembicaraan tingkat I dilakukan kegiatan yaitu:
pengantar musyawarah; pembahasan daftar inventarisasi masalah;
dan penyampaian pendapat mini. Kegiatan yang dilakukan pada
pengantar musyawarah tergantung pada dari pihak mana datangnya
usulan RUU. Apabila usulan RUU datang dari pihak DPR maka,
DPR memberikan penjelasan atas RUU yang diajukan, sedangkan
Presiden menyampaikan pandangan terhadap penjelasan DPR
tersebut. Jika RUU berkaitan dengan kewenangan DPD berasal dari
DPR maka, DPR memberikan penjelasan sedangkan Presiden dan
DPD menyampaikan pandangan terhadap penjelasan DPR.
Sebaliknya, jika RUU merupakan prakarsa Presiden maka, Presiden
memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan atas
penjelasan tersebut. Sementara itu, apabila RUU berkaitan dengan
kewenangan DPD berasal dari Presiden maka Presiden memberikan
penjelasan sedangkan fraksi dan DPD menyampaikan pandangan atas
penjelasan Presiden.
Daftar inventarisasi masalah diajukan oleh pihak yang akan
memberikan tanggapan terhadap pemrakarsa RUU. Apabila RUU
berasal dari DPR maka, Presiden yang mengajukan daftar inventaris
masalah. Sebaliknya, DPR mengajukan daftar inventaris masalah
terhadap RUU yang berasal dari Presiden, dengan
mempertimbangkan usul dari DPD sepanjang terkait dengan
kewenangan DPD.
Penyampaian pendapat mini maksudnya adalah penyampaian
pendapat pada akhir pembicaraan tingkat I oleh: fraksi; DPD, jika
Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan kewenangan DPD; dan
277

Presiden. Dalam hal DPD tidak menyampaikan pandangan pada


pengantar musyawarah dan/atau tidak menyampaikan pendapat mini,
pembicaraan tingkat I tetap dilaksanakan. Dalam pembicaraan tingkat
I dapat diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain jika
materi RUU berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain
tersebut.
Pembicaraan Tingkat I dilakukan dalam: a. rapat kerja; b.
rapat panitia kerja; c. rapat tim perumus/tim kecil; dan/atau d. rapat
tim sinkronisasi. Atau dilakukan mekanisme lain sepanjang
disepakati oleh pimpinan dan anggota rapat. Rapat kerja dilakukan
antara komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, panitia khusus,
atau Badan Anggaran bersama dengan menteri yang mewakili
Presiden. Dalam rapat kerja tersebut terlebih dahulu disepakati jadwal
rapat Pembicaraan Tingkat I serta waktu penyusunan dan penyerahan
daftar inventarisasi masalah. Dalam rapat tersebut pemrakarsa
memberikan penjelasan atau keterangan atas RUU serta tanggapan
terhadap daftar inventarisasi masalah dan pertanyaan yang diajukan
oleh pembahas.246
Pembahasan RUU dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) kali
masa sidang dan dapat diperpanjang berdasarkan keputusan rapat
paripurna dengan pertimbangan pertimbangan materi muatan RUU
yang bersifat kompleks dengan jumlah pasal yang banyak serta beban
tugas dari komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia
khusus. Selain itu, juga karena pembahasan materi RUU yang belum
selesai dibahas oleh periode DPR sebelumnya. Perpanjangan
pembahasan dapat dilanjutkan oleh DPR periode berikutnya setelah
dilakukan evaluasi dan ditetapkan dalam Prolegnas serta diajukan
kembali247.
Dalam Pembicaraan Tingkat I, komisi, gabungan komisi,
Badan Legislasi, panitia khusus, atau Badan Anggaran dapat meminta

246
Pasal 140, 141 dan 142 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang
Tata Tertib.
247
Pasal 143 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.
278

menteri yang mewakili Presiden membahas RUU untuk


menghadirkan menteri lainnya atau pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian dalam rapat kerja atau mengundang masyarakat
dalam rapat dengar pendapat umum untuk mendapatkan masukan
terhadap RUU yang sedang dibahas. Selain itu juga dapat
mengadakan kunjungan kerja ke daerah dalam rangka mendapatkan
masukan dari pemerintah daerah dan/atau masyarakat di daerah, dan
mengadakan kunjungan kerja ke luar negeri dengan dukungan
anggaran DPR dan persetujuan pimpinan DPR. Usulan rencana
kunjungan kerja tersebut sekurang-kurangnya memuat: urgensi;
kemanfaatan; dan keterkaitan negara tujuan dengan materi rancangan
undang-undang.248
Panitia kerja dibentuk oleh komisi, gabungan komisi, Badan
Legislasi, panitia khusus, atau Badan Anggaran yang beranggotakan
paling banyak separuh dari jumlah anggota alat kelengkapan DPR
yang membentuknya. Panitia Kerja ditugaskan untuk membahas
substansi RUU atau materi lain yang diputuskan dalam rapat kerja
berdasarkan daftar inventarisasi masalah. Rapat Panitia Kerja
dipimpin oleh salah seorang pimpinan komisi, pimpinan gabungan
komisi, pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan panitia khusus.
Rapat diselenggarakan dengan menteri yang diwakili oleh pejabat
eselon I yang membidangi materi RUU yang sedang dibahas dan alat
kelengkapan DPD jika RUU berkaitan dengan kewenangan DPD.
Panitia kerja dapat membentuk tim perumus, tim kecil,
dan/atau tim sinkronisasi yang beranggotakan paling banyak 2/3 (dua
per tiga) dari jumlah anggota panitia kerja. Panitia kerja bertanggung
jawab dan melaporkan hasil kerjanya pada rapat kerja komisi, rapat
gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat panitia khusus, atau
rapat Badan Anggaran (Pasal 146).
Tim perumus bertugas merumuskan materi RUU sesuai
dengan keputusan rapat kerja dan rapat panitia kerja serta

248
Pasal 145 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.
279

bertanggung jawab dan melaporkan hasil kerjanya pada rapat panitia


kerja. Rapat tim perumus dipimpin oleh salah seorang pimpinan
panitia kerja. Sedangkan Tim kecil bertugas merumuskan materi
RUU konsideran menimbang dan penjelasan umum atau sesuai
dengan keputusan rapat kerja dan rapat panitia kerja dengan menteri
yang diwakili oleh pejabat eselon I yang membidangi materi RUU
yang sedang dibahas dan alat kelengkapan DPD jika rancangan
undang-undang berkaitan dengan kewenangan DPD. Rapat tim kecil
dipimpin oleh salah seorang pimpinan panitia kerja, serta
bertanggung jawab dan melaporkan hasil kerjanya pada rapat panitia
kerja. Sementara itu, Tim Sinkronisasi bertugas menyelaraskan
rumusan RUU dengan memperhatikan keputusan rapat kerja, rapat
panitia kerja, dan hasil rumusan tim perumus. Tim sinkronisasi
menyelenggarakan rapat yang dipimpin oleh salah seorang pimpinan
panitia kerja. RUU hasil tim sinkronisasi dilaporkan dalam rapat
panitia kerja untuk selanjutnya diambil keputusan.249

14.3.12. Pengambilan Keputusan dalam Pembicaraan Tingkat I


Pengambilan keputusan dalam rapat kerja atas RUU
dilakukan berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat.
Pengambilan keputusan tersebut dapat dilaksanakan apabila rapat
dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang terdiri atas
lebih dari separuh unsur Fraksi. Apabila tidak dicapai kesepakatan
atas suatu atau beberapa rumusan RUU, permasalahan dilaporkan
dalam rapat kerja untuk selanjutnya diambil keputusan. Apabila
dalam rapat kerja juga tidak tercapai kesepakatan maka, pengambilan
keputusan dilakukan dalam rapat paripurna DPR setelah terlebih
dahulu dilakukan pengambilan keputusan berdasarkan
musyawarah.250

249
Pasal 148 dan 149 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata
Tertib.
250
Pasal 150 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.
280

Pengambilan keputusan pada akhir Pembicaraan Tingkat I


dilakukan dengan acara:
a. pengantar pimpinan komisi, gabungan komisi, Badan
Legislasi, panitia khusus, atau Badan Anggaran;
b. laporan panita kerja;
c. pembacaan naskah rancangan undang-undang;
d. pendapat akhir mini sebagai sikap akhir Fraksi, Presiden, dan
DPD jika rancangan undang-undang berkaitan dengan
kewenangan DPD;
e. penandatanganan naskah rancangan undang-undang; dan
f. pengambilan keputusan untuk melanjutkan pada Pembicaraan
Tingkat II.

14.3.13. Pembicaraan Tingkat II.


Hasil Pembicaraan Tingkat I dilanjutkan pada Pembicaraan
Tingkat II, dengan kegiatan:
a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini
fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I;
b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi
dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat
paripurna; dan
c. penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh
menteri yang ditugasi.

Persetujuan dalam sidang paripurna diusahakan dicapai


melalui musyawarah untuk mufakat. Dalam hal persetujuan tidak
dapat dicapai melalui musyawarah maka, pengambilan keputusan
dilakukan berdasarkan suara terbanyak. RUU yang tidak mendapat
persetujuan bersama antara DPR dan Presiden tidak boleh diajukan
lagi dalam persidangan DPR masa itu. Sebaliknya, RUU yang telah
disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, yang diwakili oleh menteri,
disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan
menjadi UU. Penyampaian RUU tersebut dilakukan dalam jangka
281

waktu paling lambat 7 (tujuh) Hari terhitung sejak tanggal


persetujuan bersama.251 Suatu RUU dapat ditarik kembali sebelum
dibahas bersama oleh DPR dan Presiden. Tetapi RUU yang sedang
dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama
DPR dan Presiden.
Proses pembahasan RUU yang dideskripsikan di atas
diilustrasikan dengan diagram alir di bawah ini.

14.3.14. Pengesahan atau Penetapan dan Pengundangan.


Tahap pengesahan RUU yang telah disetujui bersama oleh
DPR dan Presiden dimulai dengan Pimpinan DPR menyampaikan
RUU tersebut kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU dalam
jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal
persetujuan bersama.
Presiden mengesahkan RUU dengan membubuhkan tanda
251
Pasal 69 UU No. 12 Tahun 2011 dan Pasal 152 Peraturan DPR No.
1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.
282

tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.
Naskah UU yang telah disahkan oleh Presiden sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibubuhi nomor dan tahun oleh Menteri
Sekretaris Negara. Selanjutnya, Menteri Sekretaris Negara
menyampaikan Naskah UU tersebut kepada Menteri Hukum dan Hak
Asasi manusia untuk diundangkan.252
Namun dapat terjadi bahwa RUU yang sudah mendapatkan
persetujuan bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden. Dalam hal
terjadi demikian maka, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah
menjadi UU dan wajib diundangkan. Untuk itu, kalimat
pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah
berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kalimat pengesahan tersebut
harus dibubuhkan pada halaman terakhir UU sebelum pengundangan
naskah UU ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Menteri
Sekretaris Negara membubuhkan kalimat pengesahan tersebut.
Selanjutnya dibubuhi nomor dan tahun, kemudian disampaikan
kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Menusia untuk
diundangkan.253
Pengundangan dimaksudkan agar setiap orang mengetahui
adanya UU tersebut, yang dilakukan dengan menempatkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia; dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia. Naskah UU dimuat di dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia, sedangkan Penjelasan UU dimuat di
dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia.254 Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia menandatangani pengundangan UU
252
Pasal 73 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dan Pasal 112 Perpres No. 87 Tahun 2014.
253
Pasal 73 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dan Pasal 113 Perpres No. 87 Tahun 2014.
254
Pasal 84 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dan Pasal 148 Perpres No. 87 Tahun 2014.
283

dengan membubuhkan tanda tangan pada naskah UU tersebut.


Selanjutnya menyampaikan Naskah UU tersebut kepada Menteri
Sekretaris Negara untuk disimpan dan Pemrakarsa.255 Penerbitan
Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia dalam bentuk lembaran lepas dilakukan
dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak
tanggal Peraturan Perundang-undangan diundangkan.256
Penyebarluasan adalah kegiatan menyampaikan informasi
kepada masyarakat mengenai Prolegnas, RUU yang sedang disusun,
dibahas, dan yang telah diundangkan agar masyarakat dapat
memberikan masukan atau tanggapan terhadap UU tersebut atau
memahami UU yang telah diundangkan. Dengan demikian
penyebarluasan meliputi kegiatan menginformasikan kepada
masyarakat mengenai Prolegnas, RUU yang sedang disusun, dibahas,
dan yang telah diundangkan. Jadi dalam penyebarluasan itu tidak
hanya menyebarluaskan UU agar dapat dipahami oleh seluruh rakyat
melainkan juga Prolegnas, dan RUU yang sedang dibahas.
Penyebarluasan dilakukan, misalnya, melalui media elektronik
dan/atau media cetak.257
Pasal 89 UU No. 12 Tahun 2011 menentukan mengenai
penyebarluasan Prolegnas dan RUU sebagai berikut:
1. Penyebarluasan Prolegnas dilakukan bersama oleh DPR dan
Pemerintah yang dikoordinasikan oleh Badan Legislasi DPR.
2. Penyebarluasan RUU prakarsa DPR dilaksanakan oleh Badan
Legislasi.
3. Penyebarluasan RUU prakarsa Presiden dilaksanakan oleh
instansi pemrakarsa.
Sedangkan mengenai penyebarluasan UU yang telah diundangkan
ditentukan dalam Pasal 90, bahwa penyebarluasan dilakukan secara

255
Pasal 151 dan 152 Perpres No. 87 Tahun 2014.
256
Pasal 154 dan 152 Perpres No. 87 Tahun 2014.
257
Penjelasan Pasal 88 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
284

bersama-sama oleh DPR dan Pemerintah. Penyebarluasan dapat pula


dilakukan oleh DPD sepanjang berkaitan dengan yang termasuk
dalam lingkup kewenangan DPD.

14.4. Proses Pembuatan Perppu, PP dan Perpres


14.4.1. Proses Pembuatan Perppu
Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945 memberikan kekuasaan
konstitusional kepada Presiden untuk menetapkan Perppu (Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang). Namun hal itu baru dapat
dilakukan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Hal ikhwal
yang memaksa maksudnya keadaan atau kondisi waktu yang sangat
mendesak, sangat singkat sehingga tidak memungkinkan jika
membentuk UU.
Pasal 52 UU No. 12 Tahun 2011 menentukan bahwa Perppu
harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut. Pengajuan
dilakukan dalam bentuk pengajuan RUU tentang penetapan Perppu
menjadi UU. DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak
memberikan persetujuan terhadap Perppu. Apabila DPR memberikan
persetujuan maka, Perppu tersebut ditetapkan menjadi UU.
Sebaliknya jika DPR tidak memberikan persetujuan maka, Perppu
tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku. Untuk itu,
DPR atau Presiden mengajukan RUU tentang Pencabutan Perppu.
Dalam mempersiapkan penyusunan rancangan Perppu,
Presiden menugaskan kepada menteri yang tugas dan tanggung
jawabnya sesuai dengan materi yang akan diatur dalam Perppu
tersebut sebagai Pemrakarsa. Untuk itu, menteri pemrakarsa
berkoordinasi dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan
menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian dan/atau
pimpinan lembaga terkait.258
Selanjutnya, rancangan Perppu yang telah selesai disusun
disampaikan oleh menteri pemrakarsa kepada Presiden untuk
258
Pasal 58 Perpres No. 87 Tahun 2014.
285

ditetapkan. Pemrakarsa menyusun RUU tentang Penetapan Perppu


menjadi UU setelah Perppu ditetapkan oleh Presiden. Selain itu,
Pemrakarsa juga menyusun RUU tentang Pencabutan Perppu. RUU
tentang Pencabutan Perppu memuat materi yang mengatur segala
akibat hukum dari pencabutan Perppu. Dalam menyusun RUU
tentang Pencabutan Perppu dan RUU tentang Penetapan Perppu,
Pemrakarsa membentuk panitia antarkementerian dan/atau
antarnonkementerian.259
Hasil penyusunan RUU tentang Penetapan Perppu menjadi
UU dan RUU tentang Pencabutan Perppu disampaikan kepada
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk dilakukan
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi.
Kemudian, hasil pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi tersebut disampaikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia kepada Pemrakarsa untuk disampaikan kepada Presiden.260

14.4.2. Proses pembuatan PP


Proses pembuatan PP (Peraturan Pemerintah) ditentukan
dalam UU No.12/2011 dan Perpres No. 87 Tahun 2014. Pasal 24 dan
25 UU No.12/2011 menentukan bahwa perencanaan penyusunan PP
dilakukan dalam suatu program penyusunan PP yang memuat daftar
judul dan pokok materi muatan Rancangan PP untuk menjalankan
UU sebagaimana mestinya. Perencanaan penyusunan PP ditetapkan
untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
Perencanaan penyusunan PP dikoordinasikan oleh Menteri
(Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia), dan ditetapkan dengan
Keputusan Presiden. Rancangan PP berasal dari kementerian dan/atau
lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan bidang tugasnya.
Dalam keadaan tertentu, kementerian atau lembaga pemerintah
nonkementerian dapat mengajukan Rancangan PP di luar

259
Pasal 59 dan 60 Perpres No. 87 Tahun 2014.
260
Pasal 61 Perpres No. 87 Tahun 2014.
286

perencanaan penyusunan PP. Rancangan PP yang disusun dalam


keadaan tertentu dibuat berdasarkan kebutuhan UU atau putusan
Mahkamah Agung.261
Selanjutnya Pasal 54 UU No. 12 Tahun 2011 menentukan
bahwa dalam penyusunan Rancangan PP, pemrakarsa membentuk
panitia antar kementerian dan/atau lembaga pemerintah non-
kementerian. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi Rancangan PP dikoordinasikan oleh Menteri. Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia antarkementerian
dan/atau antarnonkementerian, pengharmonisasian, penyusunan, dan
penyampaian Rancangan PP diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 62 dan 63 Perpres No. 87 Tahun 2014 menentukan
bahwa Rancangan PP disiapkan oleh menteri/pimpinan lembaga
pemerintah nonkementerian dan/atau pimpinan lembaga lain terkait
sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dalam penyusunan Rancangan
PP, Pemrakarsa membentuk panitia antar kementerian dan/atau antar
non-kementerian. Selanjutnya mengenai tata cara penyusunan PP
mengikuti ketentuan tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-
Undang, tetapi dalam penyusunan Rancangan PP tidak disertai NA.

14.4.3. Proses Pembuatan Perpres


Penyusunan Perpres (Peraturan Presiden) diatur dalam Pasal 55
UU No.12/ 2011, ditentukan bahwa dalam penyusunan Rancangan
Perpres, pemrakarsa membentuk panitia antar kementerian dan/atau
antar non kementerian. Pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi Rancangan Perpres dikoordinasikan oleh
Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia.
Selanjutnya ketentuan tata cara mempersiapkan Rancangan
Perpres terdapat dalam Perpres No. 87 Tahun 2014. Pasal 64
menentukan bahwa pemrakarsa menyusun Rancangan Perpres yang
berisi materi: a. yang diperintahkan oleh Undang-Undang; b. untuk

261
Pasal 26, 27, dan 28 UU No. 12 Tahun 2011.
287

melaksanakan Peraturan Pemerintah; atau c. untuk melaksanakan


penyelenggaraan kekuasaan Pemerintahan. Ketentuan mengenai tata
cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang berlaku secara
mutatis mutandis terhadap tata cara penyusunan Rancangan Perpres,
kecuali ketentuan mengenai NA.
Dalam hal penyusunan Rancangan Perpres bersifat mendesak
yang ditentukan oleh Presiden untuk kebutuhan penyelenggaraan
pemerintahan, Pemrakarsa secara serta merta dapat langsung
melakukan pembahasan Rancangan Perpres dengan melibatkan
Menteri, menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian
dan/atau lembaga lain yangterkait. Hasil pembahasan Rancangan
Perpres tersebut disampaikan oleh Pemrakarsa kepada Presiden untuk
ditetapkan.262

14.5. Proses Pembentukan Peraturan Daerah


UU No. 12/2011 menentukan bahwa Ranperda (Rancangan
Peraturan Daerah) dapat berasal dari DPRD (Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah) atau Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota).
Ranperda tersebut disertai dengan penjelasan atau keterangan
dan/atau NA. Artinya bahwa suatu Ranperda, tergantung pada materi
muatan, dapat disertai dengan penjelasan atau keterangan, dapat pula
disertai dengan NA, atau sekaligus disertai dengan penjelasan atau
keterangan dan NA. Ranperda mengenai APBD (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah); pencabutan Perda (Peraturan
Daerah); atau perubahan Perda yang hanya terbatas mengubah
beberapa materi, disertai dengan keterangan yang memuat pokok
pikiran dan materi muatan yang diatur. Ranperda-ranperda tersebut
tidak perlu disertai dengan NA, tetapi cukup disertai penjelasan atau
keterangan. Penyusunan NA Ranperda dilakukan sesuai dengan
teknik penyusunan NA yang tercantum dalam Lampiran I yang

262
Pasal 66 Perpres No. 87 Tahun 2014.
288

merupakan bagian tidak terpisahkan dari UU No. 12/2011.263


Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
Ranperda yang berasal dari DPRD dikoordinasikan oleh Badan
Legislasi DPRD. Sedangkan pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi Ranperda yang berasal dari Kepala Daerah
dikoordinasikan oleh biro/bagian hukum dan hak asasi manusia dan
dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

14.5.1. Perencanaan Rancangan Peraturan Daerah


Pasal 33 Perpres No. 87 Tahun 2014 menentukan bahwa
perencanaan Ranperda meliputi kegiatan: penyusunan Prolegda;
perencanaan penyusunan Ranperda kumulatif terbuka; dan
perencanaan penyusunan Ranperda di luar Prolegda. Hal itu
ditegaskan kembali di dalam Pasal 10 Peraturan Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2015 Tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah (Permendagri No. 80 Tahun
2015), bahwa perencanaan Ranperda meliputi kegiatan: penyusunan
Propemperda (Program Pembentukan Perda); perencanaan
penyusunan Ranperda kumulatif terbuka; dan perencanaan
penyusunan Ranperda di luar Propemperda. Promperda merupakan
nomenklatur baru yang digunakan secara normatif di dalam
Permendagri No. 80 Tahun 2015 yang dimaknai sebagai Prolegda.
Deskripsi mengenai tata cara penyusunan Ranperda selanjutnya
mengikuti ketentuan dalam Permendagri No. 80 Tahun 2015.

14.5.2. Tata Cara Penyusunan Propemperda


Penyusunan Propemperda di lingkungan Pemda (Pemerintah
Daerah) diawali dengan Kepala Daerah menugaskan pimpinan
perangkat daerah dalam penyusunan Propemperda di lingkungan
pemerintah daerah. Penyusunan Propemperda tersebut

263
Pasal 56 dan 57 UU No. 12 Tahun 2011.
289

dikoordinasikan oleh perangkat daerah yang membidangi hukum


(Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi/Bagian Hukum Sekretariat
Daerah Kabupaten/Kota), dan dapat mengikutsertakan instansi
vertikal terkait. Instansi vertikal yang dimaksud terdiri atas: instansi
vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum; dan/atau instansi vertikal terkait
sesuai dengan: kewenangan; materi muatan; atau Kebutuhan. Hasil
penyusunan Propemperda diajukan oleh perangkat daerah yang
membidangi hukum kepada Kepala Daerah melalui sekretaris
daerah.264 Selanjutnya, sesuai dengan ketentuan Pasal 13, Kepala
Daerah menyampaikan hasil penyusunan Propemperda kepada
Bapemperda (Badan Pembentukan Perda), alat kelengkapan DPRD,
melalui Pimpinan DPRD.
Penyusunan Propemperda di lingkungan DPRD
dikoordinasikan oleh Bapemperda. Ketentuan mengenai penyusunan
Propemperda di lingkungan DPRD diatur dalam Peraturan DPRD.
Penyusunan Propemperda untuk pemerintahan daerah secara
terintegrasi dilaksanakan oleh DPRD dan Kepala Daerah.
Penyusunan Propemperda tersebut memuat daftar Ranperda yang
didasarkan atas: perintah peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi; rencana pembangunan daerah; penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan; dan aspirasi masyarakat daerah.
Penyusunan Propemperda memuat daftar urutan yang ditetapkan
untuk jangka waktu 1 (satu) tahun berdasarkan skala prioritas
pembentukan Ranperda.265
Penyusunan dan penetapan Propemperda dilakukan setiap
tahun sebelum penetapan rancangan perda tentang APBD. Penetapan
skala prioritas pembentukan Ranperda dilakukan oleh Bapemperda
dan perangkat daerah yang membidangi hukum berdasarkan kriteria:
perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; rencana
pembangunan daerah; penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas

264
Pasal 11 dan 12 Permendagri No. 80 Tahun 2015.
265
Pasal 15 Permendagri No. 80 Tahun 2015.
290

pembantuan; dan aspirasi masyarakat daerah.


Hasil penyusunan Propemperda antara DPRD dan pemerintah
daerah disepakati menjadi Propemperda dan ditetapkan dalam rapat
paripurna DPRD dengan keputusan DPRD. Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara penyusunan Propemperda diatur dengan perda.
Dalam Propemperda dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang
terdiri atas: akibat putusan Mahkamah Agung; dan APBD. Dalam
keadaan tertentu, DPRD atau Kepala Daerah dapat mengajukan
rancangan perda di luar Propemperda karena alasan:
a. mengatasi keadaan luar biasa, keadaaan konflik, atau bencana
alam; menindaklanjuti kerja sama dengan pihak lain;
b. mengatasi keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya
urgensi atas suatu rancangan perda yang dapat disetujui bersama
oleh Bapemperda dan unit yang menangani bidang hukum pada
pemerintah daerah;
c. akibat pembatalan oleh Menteri Dalam Negeri untuk perda
provinsi dan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
untuk perda kabupaten/kota; dan
d. perintah dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi setelah Propemperda ditetapkan.
Selain daftar kumulatif terbuka tersebut, khusus di
pemerintahan daerah kabupaten/kota, Propemperda kabupaten/kota
dapat memuat daftar kumulatif terbuka mengenai: penataan
kecamatan; dan penataan desa.266

14.5.3. Penyusunan Penjelasan atau Keterangan dan/atau Naskah


Akademik
Ketentuan mengenai penyusunan penjelasan atau keterangan
dan/atau NA terdapat dalam Pasal 22 – 24 Permendagri No. 80 Tahun
2015. Penyusunan Perda atau nama lainnya267 dilakukan berdasarkan

266
Pasal 16 dan 18 Permendagri No. 80 Tahun 2015.
267
Penjelasan Pasal 7 ayat (1) Huruf f menegaskan bahwa nama lain
291

Propemperda. Penyusunan rancangan perda dapat berasal dari DPRD


atau kepala Daerah. Pemrakarsa mempersiapkan Ranperda disertai
dengan penjelasan atau keterangan dan/atau NA. Penyusunan
penjelasan atau keterangan dan/atau NA untuk Ranperda yang berasal
dari pimpinan perangkat daerah mengikutsertakan perangkat daerah
yang membidangi hukum. Sedangkan untuk penyusunan penjelasan
atau keterangan dan/atau NA untuk Ranperda yang berasal dari
anggota DPRD, komisi, gabungan komisi, atau Bapemperda,
dikoordinasikan oleh Bapemperda.268
Pemrakarsa dalam melakukan penyusunan NA dapat
mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan pihak
ketiga yang mempunyai keahlian sesuai materi yang akan diatur
dalam Ranperda. Penjelasan atau keterangan tersebut paling sedikit
memuat pokok pikiran dan materi muatan yang akan diatur.
Penjelasan atau keterangan dan/atau NA sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan Ranperda.
Perangkat daerah yang membidangi hukum melakukan
penyelarasan NA Ranperda yang diterima dari perangkat daerah.
Penyelarasan dilakukan terhadap sistematika dan materi muatan NA
Ranperda, yang diselenggarakan dalam rapat penyelarasan dengan
mengikutsertakan pemangku kepentingan. Perangkat daerah yang
membidangi hukum melalui sekretaris daerah menyampaikan
kembali NA Ranperda yang telah dilakukan penyelarasan kepada
perangkat daerah disertai dengan penjelasan hasil penyelarasan.

14.5.4. Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Prakarsa


Pemerintah Daerah

digunakan untuk Peraturan Daerah Provinsi yaitu Qanun yang berlaku di


Provinsi Aceh, Peraturan Daerah Khusus (Perdasus), dan Peraturan Daerah
Provinsi (Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
268
Pasal 20 - 22 Permendagri No. 80 Tahun 2015.
292

Kegiatan penyusunan Ranperda dimulai dengan Kepala


Daerah memerintahkan kepada perangkat daerah pemrakarsa untuk
menyusun Ranperda sesuai dengan Propemperda. Untuk itu, Kepala
Daerah membentuk tim penyusun Ranperda yang ditetapkan dengan
keputusan Kepala Daerah. Keanggotaan tim penyusun terdiri atas:
Kepala Daerah, sekretaris daerah, perangkat daerah pemrakarsa,
perangkat daerah yang membidangi hukum, perangkat daerah terkait,
dan perancang peraturan perundang-undangan. Dalam hal itu, kepala
daerah dapat mengikutsertakan instansi vertical yang terkait dan/atau
akademisi. Selain itu, tim penyusun dapat mengundang peneliti
dan/atau tenaga aahli dari lingkungan perguruan tinggi atau
organisasi kemasyarakatan sesuai dengan kebutuhan. Tim penyusun
tersebut dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk oleh perangkat
daerah pemrakarsa. Dalam hal ketua tim yang ditunjuk adalah pejabat
lain daripada pimpinan perangkat daerah pemrakarsa maka, pimpinan
perangkat daerah pemrakarsa tetap bertanggung jawab terhadap
materi muatan Ranperda yang disusun.269
Selanjutnya, tim penyusun melaporkan kepada sekretaris
daerah mengenai perkembangan dan/atau permasalahan yang
dihadapi dalam penyusunan Ranperda untuk mendapatkan arahan
atau keputusan. Ranperda yang telah disusun diberikan paraf
koordinasi oleh ketua tim penyusun dan perangkat daerah
pemrakarsa. Setelah itu, ketua tim penyusun menyampaikan hasil
Ranperda kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah untuk
dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi. Dalam kaitan itu, sekretaris daerah menugaskan kepada
perangkat daerah yang membidangi hukum untuk mengkoordinasikan
pengharmonisan, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Ranperda.
Untuk keperluan itu, pimpina perangkat daerah yang membidangi
hukum dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia.270

269
Pasal 25 dan 26 Permendagri No. 80 Tahun 2015.
270
Pasal 27, 28, 29, dan 30 Permendagri No. 80 Tahun 2015.
293

Tahap selanjutnya yaitu sekretaris daerah menyampaikan


hasil pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
kepada pemrakarsa dan pimpinan perangkat daerah terkait untuk
mendapatkan paraf persetujuan pada setiap halaman Ranperda.
Sekretaris daerah menyampaikan Ranperda yang telah dibubuhi paraf
persetujuan kepada kepala daerah. Setiap Ranperda yang merupakan
konsep akhir yang akan disampaikankepada DPRD harus dipaparkan
ketua tim kepada kepala daerah.271

14.5.5. Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Prakarsa


DPRD
Penyusunan Ranperda yang berasal dari DPRD dapat
diajukan oleh anggota DPRD, komisi, gabungan komisi, atau
Bapemperda berdasarkan Propemperda. Ranperda tersebut
disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPRD disertai
penjelasan atau keterangan dan/atau NA. Penjelasan atau keterangan
memuat: pokok pikiran dan materi muatan yang diatur; daftar nama;
dan tanda tangan pengusul. Sedangkan NA yang telah melalui
pengkajian dan penyelarasan, memuat: latar belakang dan tujuan
penyusunan; sasaran yang ingin diwujudkan; pokok pikiran, ruang
lingkup, atau objek yang akan diatur; dan jangkauan dan arah
pengaturan. Penyampaian Ranperda diberikan nomor pokok oleh
sekretariat DPRD. Namun dalam hal Ranperda mengatur mengenai:
APBD provinsi; pencabutan perdaprovinsi; atau perubahan perda
yang hanya terbatas mengubah beberapa materi penyampaian
Ranperda tersebut disertai dengan penjelasan atau keterangan yang
memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur.272
Tahap selanjutnya yaitu pimpinan DPRD menyampaikan
Ranperda kepada Bapemperda untuk dilakukan pengkajian.
Pengkajian dilakukan dalam rangka pengharmonisasian, pembulatan,

271
Pasal 31 Permendagri No. 80 Tahun 2015.
272
Pasal 33-36 Permendagri No. 80 Tahun 2015.
294

dan pemantapan konsepsi rancangan perdaprovinsi.Bapemperda


menyampaikan hasil pengkajian Ranperda kepada pimpinan DPRD.
Pimpinan DPRD menyampaikan hasil pengkajian Bapemperda dalam
rapat paripurna DPRD. Pimpinan DPRD menyampaikan Ranperda
kepada anggota DPRD dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari
sebelum rapat paripurna DPRD. Kegiatamn dalam rapat paripurna
DPRD yaitu:
a. pengusul memberikan penjelasan;
b. fraksi dan anggota DPRD provinsi lainnya memberikan
pandangan; dan
c. pengusul memberikan jawaban atas pandangan fraksi dan
anggota DPRD provinsi lainnya.
Rapat paripurna DPRD memutuskan usul Ranperda, berupa:
persetujuan; persetujuan dengan pengubahan; atau penolakan. Dalam
hal persetujuan dengan pengubahan pimpinan DPRD menugaskan
komisi, gabungan komisi, Bapemperda, atau panitia khusus untuk
menyempurnakan Ranperda tersebut. Penyempurnaan Ranperda
disampaikan kembali kepada pimpinan DPRD.273
Akhirnya, Ranperda yang telah disiapkan oleh DPRD
disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada kepala daerah untuk
dilakukan pembahasan. Apabila dalam satu masa sidang, DPRD dan
kepala daerah menyampaikan Ranperda mengenai materi yang sama,
yang dibahas yaitu Ranperda yang disampaikan oleh DPRD dan
Ranperda yang disampaikan oleh kepala daerah digunakan sebagai
bahan untuk dipersandingkan.

14.6. Partisipasi Masyarakat dalam Pembuatan Peraturan


Perundang-undangan.
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau
tertulis yang dapat dilakukan melalui: a. rapat dengar pendapat
273
Pasal 37, 38 Permendagri No. 80 Tahun 2015.
295

umum; b. kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan/atau d. seminar,


lokakarya, dan/atau diskusi. Masyarakat yang dimaksudkan ialah
orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai
kepentingan atas substansi RUU. Pengertian kelompok orang
meliputi antara lain: kelompok/organisasi masyarakat, kelompok
profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat. Untuk
memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan
dan/atau tertulis, setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan
harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.274
Pasal 188 Perpres No. 87 Tahun 2014 menentukan bahwa
partisipasi masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan dilaksanakan dalam rangka melaksanakan konsultasi
publik. Tata cara pelaksanaan konsultasi publik tersebut diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 215 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata
Tertib menentukan ruang lingkup partisipasi masyarakat meliputi
pemberian masukan secara lisan dan/atau tertulis kepada DPR dalam
proses:
a. penyusunan dan penetapan Prolegnas;
b. penyiapan dan pembahasan rancangan undang-undang;
c. pembahasan RUU tentang APBN;
d. pengawasan pelaksanaan undang-undang; dan
e. pengawasan pelaksanaan kebijakan pemerintah.

Pada prinsipnya masukan secara tertulis dapat dilakukan


terhadap setiap proses pembentukan peraturan perundang-undangan
dan disampaikan kepada Anggota dan/atau pimpinan alat
kelengkapan DPR. Namun masukan masyarakat yang diberikan
dalam proses pembahasan RUU tentang APBN disampaikan kepada
pimpinan komisi.

274
Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011.
296

Masyarakat dalam memberikan masukan terhadap proses


pembentukan peraturan perundang-undangan disampaikan dengan
menyebutkan identitas yang jelas ditujukan kepada pimpinan DPR,
pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan panitia
khusus, pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan Badan Anggaran
yang menyiapkan dan menangani pembahasan RUU serta melakukan
pengawasan pelaksanaan UU atau melaksanakan kebijakan
pemerintah. Dalam hal masukan disampaikan kepada pimpinan DPR,
masukan diteruskan kepada pimpinan komisi, pimpinan gabungan
komisi, pimpinan panitia khusus, pimpinan Badan Legislasi, atau
pimpinan Badan Anggaran yang menyiapkan RUU275.
Dalam hal masukan disampaikan secara lisan, pimpinan
komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan panitia khusus,
pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan Badan Anggaran
menyampaikan undangan kepada orang yang diundang, menentukan
waktu pertemuan dan jumlah orang yang diundang dalam pertemuan.
Pertemuan tersebut dapat dilakukan dalam bentuk rapat dengar
pendapat umum, pertemuan dengan pimpinan komisi, pimpinan
gabungan komisi, pimpinan panitia khusus, pimpinan Badan
Legislasi, atau pimpinan Badan Anggaran, atau pertemuan dengan
pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan panitia
khusus, pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan Badan Anggaran
didampingi oleh beberapa Anggota yang terlibat dalam penyiapan
RUU. Hasil pertemuan tersebut dijadikan bahan masukan terhadap
RUU yang sedang dipersiapkan. Pimpinan alat kelengkapan yang
menerima masukan menyampaikan informasi mengenai tindak lanjut
atas masukan kepada masyarakat melalui surat atau media
elektronik.276

275
Ayat (3) dan (4) Pasal 216 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang
Tata Tertib.
276
Pasal 217 dan 218 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata
Tertib.
297

Namun demikian, peraturan menteri yang diharapkan sebagai


ketentuan tata cara pelaksanaan konsultasi public belum terbentuk
sehingga tidak ada pedoman formal untuk melakukan konsultasi
publik. Hal itu berimplikasi pada muncul fleksibilitas dan
heteroginitas dalam pelaksanaan konsultasi public sehingga timbul
tendensi untuk memilih proses konsultasi dalam forum yang lebih
kecil daripada sebagian besar stakeholders dan masyarakat umum
yang berkeinginan mengikuti konsultasi public tersebut.277

14.7. Penutup
Resume.
Proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang
dideskripsikan di atas terdiri dari kegiatan dalam perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, peraturan
pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan daerah. Selain itu,
tidak kalah penting pula adanya partisipasi masyarakat dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan. Aktivitas ini suatu
keniscayaan dalam Negara demokrasi. Proses pembuatan peraturan
perundang-undangan pada hakikatnya merujuk pada proses
pembuatan Undang-undang, kecuali dalam pembuatan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, dan
peraturan presiden dalam perencanaan tidak disertai dengan NA.
Bahkan dalam perencanaan penyusunan RUU pun tidak setiap RUU
disertai dengan NA.
Proses penyusunan UU dan Perda dimulai dengan
penyusunan program legislasi nasional untuk penyusunan RUU, atau
penyusunan program pembentukan perda untuk penyusunan
peraturan daerah. Kemudian disusun penjelasan atau keterangan

277
OECD, OECD Reviews of Regulatory Reform Indonesia, dalam Bayu
Dwi Anggono, 2014, Perkembangan Pembentukan Undang-Undang di
Indonesia, KONpres, Jakarta, hln. 285.
298

dan/atau NA untuk RUU atau Ranperda. RUU atau Ranperda dibahas


di DPR atau DPRD dalam dua tingkat pembicaraan, yaitu
pembicaraan tingkat I dan pembicaraan tingkat II. Fase terakhir
dalam pembuatan UU atau Perda yaitu pengesahan atau penetapan,
pengundangan dan penyebarluasan. Partisipasi masyarakat, demikian
pula dengan penyebarluasan, dilakukan pada setiap tahapan dari
rangkaian kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan.

Latihan.
1. Uraikan kegiatan yang dilakukan pada fase perencanaan,
penyusunan, dan pembahasan dalam pembentukan UU, Perppu,
PP, Perpres, dan Perda.
2. Buatlah diagram alir proses pembuatan Perppu, PP, dan Perpres.
3. Jelaskan relevansi partisipasi masyarakat dalam pembuatan
peraturan perundang-undangan, terutama dalam pembuatan UU
dan Perda.

14.8. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan


Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No. l2 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Perpres No. 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2014 tentang Tata Tertib.
Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2014 tentang Tata Tertib.
Peraturan Menteri Dalam Negari No 80 Tahun 2015 tentang
Pembenutkan Produk Hukum Daerah.
Buku
Bayu Dwi Anggono, 2014, Perkembangan Pembentukan Undang-
Undang di Indonesia, KONpres, Jakarta.
299

B. Hestu Cipto Handoyo; 2008, Prinsip-prinsip Legal Drafting dan


Desain Naskah Akademik, Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, Yogyakarta.
Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis
Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian
Teoritis dan Praktis Disertai Manual): Konsepsi Teoritis
Menuju Artikulasi Emperis, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2009.
I Gede Panca Astawa dan Na'a Suprin, 2008, Dinamika Hukum dan
llmu Perundang-undangan, Alumni Bandung.
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press,
Jakarta.
Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007,llmu Perundang-Undangan 2:
Proses dan Teknik Penyusunan, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta
Sirajuddin dkk; 2015, Legislative Drafting Pelembagaan Metode
Partisipatif dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, Setara Press, Malang, hlm. 188-190.

300

PERTEMUAN XV:
TUTORIAL VII
PROSES PEMBUATAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN

15.1. Pendahuluan
Pembuatan peraturan perundang-undangan merupakan
kegiatan membentuk peraturan perundang-undangan yang melalui
tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan. Peraturan perundang-undangan
memiliki cakupan sangat luas karena banyak jenisnya. Karena itu,
proses pembuatan peraturan perundang-undangan meliputi proses
pembuatan seluruh jenis peraturan perundang-undangan tersebut.
Dalam bab ini mahasiswa diberi tugas untuk mendeskripsikan proses
pembuatan UU, PP, Perpres, dan pembuatan Perda serta partisipasi
masyarakat dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Setelah
berakhirnya perkuliahan, mahasiswa diharapkan mampu memahami
mengenai proses pembuatan UU, PP, Perpres, dan Perda serta
mekanisme partisipasi masyarakat dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan tersebut.

15.2. Penyajian Materi

Tugas I: Role Play.


Banyak masalah -masalah sosial yang terjadi di Indonesia,
yang belum dapat ditangani dengan baik antara lain masalah terhadap
anak-anak. Dalam berbagai media sering diberitakan anak menjadi
obyek eksploitasi dari orang tuanya sendiri. Anak-anak dimanfaatkan
untuk kepentingan ekonomi (menjadi pengemis, pekerja, bahkan
pernikahan dini demi ekonomi keluarga). Anak juga sering menjadi
obyek perdagangan seks baik oleh orang tua kandungnya maupun
orang lain, dan juga sering kita dengar berbagai kasus kekerasan
301

terhadap anak. Pemerintah bermaksud untuk mengatasi permasalahan


yang dialami oleh anak-anak dengan membuat peraturan perundang-
undangan. Peraturan perundang-undangan yang ada dirasakan belum
mampu memberikan perlindungan terhadap anak-anak tersebut.
Tugas: mahasiswa membentuk kelompok menjadi 3 (tiga), masing-
masing kelompok memainkan peran sebagai pemerintah,
anggota DPR dan masyarakat. Masing-masing kelompok
akan berperan sebagai pihak-pihak yang akan terlibat
dalam penyusunan RUU tersebut di atas. Kelompok
pemerintah akan berperan mengusulkan RUU tersebut dan
membahas RUU tsb di Pemerintah maupun DPR.
Kelompok DPR akan berperan sebagai anggota DPR yang
akan membahas RUU dari pemerintah baik ketika RUU
masuk ke DPR ataupun ketika pembahasan di DPR.
Kelompok masyarakat berperan sebagai orang-orang yang
berpartisipasi dalam proses penyusunan RUU tersebut.

Tugas II: membuat diagram alir proses penyusunan Ranperda di


provinsi
Mahasiswa membuat diagram alir proses penyusunan
program pembentukan peraturan daerah (Propemperda), penyusunan
Ranperda di lingkungan pemerintah daerah, penyusunan Ranperda di
lingkungan DPRD, pembahasan Ranperda di DPRD.
Petunjuk: Mahasiswa membentuk kelompok menjadi 4 (empat)
kelompok. Setiap kelompok menyusun satu diagram alir yang akan
ditentukan berdasarkan undian. Daftar nama mahasiswa dan NIM
dalam kelompok disusun berurut dari nomor kecil.

15.3. Penutup
Dalam penyajian materi: Tugas Role Play tersebut di atas
mahasiswa berdiskusi untuk menguraikan penyusunan RUU dan
Ranperda. Pada akhir tutorial, mahasiswa wajib menyetor laporan
kegiatan tutorial, yang mendeskripsikan secara rinci seluruh kegiatan
302

dalam tutorial tersebut, yaitu: siapa yang memainkan peran pada


masing-masing peran yang sudah ditentukan dengan memperhatikan
alokasi waktu selama tutorial. Laporan tutorial wajib dikumpulkan
pada saat berakhirnya waktu seluruh kegiatan tutorial.

15.4. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan


Lihat Bahan Bacaan pada pertemuan XIV di atas

303

PERTEMUAN XVI
UJIAN AKHIR SEMESTER

304

Anda mungkin juga menyukai