AKUNTABILITAS KINERJA
INSTANSI PEMERINTAH 2011
Daftar Isi
Kata Pengantar
i
ii
Ringkasan Eksekutif iv
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah 2011 v
BAB I Pendahuluan 1
A. Latar Belakang 2
B. Tugas, Fungsi, dan Struktur Organisasi 3
C. Mandat dan Peran Strategis Kementerian Keuangan 5
D. Sistematika Laporan 6
BAB II Rencana Strategis dan Penetapan/Perjanjian kinerja 9
A. Rencana Strategis 10
B. Road Map Kementerian Keuangan 2010-2014 17
C. Penetapan/Perjanjian Kinerja 17
D. Pengukuran Kinerja 20
BAB III Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan 23
A. Capaian Indikator Kinerja Utama (IKU) 24
B. Evaluasi dan Analisis Kinerja 25
1 Sasaran Strategis 1: pendapatan negara yang optimal (KK-1). 25
2 Sasaran Strategis 2: pelaksanaan belanja negara yang optimal (KK-2). 37
3 Sasaran Strategis 3: Pembiayaan dalam jumlah yang cukup efisien dan aman bagi kesinambungan fiskal 40
(KK-3).
4 Sasaran Strategis 4: Utilisasi Kekayaan Negara yang optimal (KK-4). 55
5 Sasaran Strategis 5: Hubungan keuangan pusat - daerah yang optimal (KK-5). 57
6 Sasaran Strategis 6: Pengelolaan keuangan negara yang akuntabel (KK-6). 68
7 Sasaran Strategis 7: Industri pasar modal dan jasa keuangan non bank yang stabil, tahan uji dan likuid 71
8 Sasaran Strategis 8 adalah Tingkat Kepuasan pengguna layanan yang tinggi (KK-8). 76
9 Sasaran Strategis 9: Kajian dan rumusan kebijakan yang berkualitas (KK-9). 79
10 Sasaran Strategis 10: Pengelolaan keuangan dan kekayaan negara yang efektif dan efisien (KK-10) 82
12 Sasaran Strategis 12: Pengawasan dan penegakan hukum yang efektif (KK-12). 103
13 Sasaran Strategis 13: Pembentukan SDM yang berkompetensi tinggi (KK-13). 115
14 Sasaran Strategis 14: Penataan organisasi yang andal (KK-14) 118
15 Sasaran Strategis 15: Perwujudan TIK yang terintegrasi (KK-15). 121
16 Sasaran Strategis 16: Pengelolaan anggaran yang optimal (KK-16). 121
C. Kinerja Lainnya 123
D. Akuntabilitas Keuangan. 138
BAB IV Penutup 141
NILAI-
NILAI integritas
KEMENTERIAN
Berpikir, berkata, berperilaku dan bertindak dengan baik dan benar
serta memegang teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral.
KEUANGAN
profesionalisme
Bekerja tuntas dan akurat atas dasar kompetensi terbaik dengan penuh tanggung jawab dan
sinergi
komitmen yang tinggi.
Membangun dan memastikan hubungan kerjasama internal yang produktif serta kemitraan
yang harmonis dengan para pemangku kepentingan, untuk menghasilkan karya
pelayanan
yang bermanfaat dan berkualitas.
kesempurnaan
Senantiasa melakukan upaya perbaikan di segala bidang untuk menjadi dan
memberikan yang terbaik.
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Kementerian Keuangan ini merupakan
perwujudan pertanggungjawaban atas kinerja pencapaian visi dan misi Kementerian Keuangan
pada Tahun Anggaran 2011. LAKIP Kementerian Keuangan Tahun 2011 merupakan LAKIP tahun
kedua pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014.
Penyusunan LAKIP Kementerian Keuangan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006
tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 1999
tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, dan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Percepatan Pemberantasan Korupsi, serta Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2010-2014
sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.01/2010.
LAKIP mempunyai beberapa fungsi, antara lain merupakan alat penilai kinerja secara kuantitatif, sebagai wujud
akuntabilitas pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian Keuangan menuju terwujudnya good governance, dan
sebagai wujud transparansi serta pertanggungjawaban kepada masyarakat di satu sisi, dan di sisi lain, LAKIP
merupakan alat kendali dan alat pemacu peningkatan kinerja setiap unit organisasi di lingkungan Kementerian
Keuangan.
Selanjutnya sejalan dengan pelaksanaan reformasi birokrasi, Kementerian Keuangan telah menerapkan metode
Balanced Scorecard (BSC) sebagai alat manajemen kinerja. Performance Kementerian Keuangan diukur atas dasar
penilaian indikator kinerja utama (IKU) yang merupakan indikator keberhasilan pencapaian sasaran-sasaran
strategis (SS) sebagaimana telah ditetapkan pada Peta Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2011 sebagai
kontrak kinerja Kementerian Keuangan Tahun 2011.
Kementerian Keuangan sebagai unsur pelaksana pemerintah sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Presiden
Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas,
dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 67
Tahun 2010, mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di
bidang keuangan dan kekayaan negara. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Kementerian Keuangan menetapkan
visi: “Menjadi Pengelola Keuangan dan Kekayaan Negara yang Dipercaya dan Akuntabel untuk Mewujudkan
Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan.”
Selanjutnya dalam rangka mencapai visi di atas, Kementerian Keuangan menetapkan 4 (empat) misi, yaitu (1) misi
fiskal, (2) misi kekayaan negara, (3) misi pasar modal dan lembaga keuangan, dan (4) misi penguatan kelembagaan.
Pelaksanaan dari keempat misi tersebut berpedoman pada RPJMN Tahun 2010- 2014, Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011, dan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun Anggaran 2011 yang
didalamnya memuat Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2011.
Misi tersebut selanjutnya dirinci dalam Rencana Strategi (Renstra) Kementerian Keuangan Tahun 2010-2014
yang digunakan sebagai landasan penyusunan Rencana Kinerja Tahunan (RKT). RKT berfungsi sebagai rencana
kerja operasional secara kuantitatif, yang pada intinya merupakan implementasi pelaksanaan tugas yang sangat
strategis dalam bidang pengelolaan keuangan dan kekayaan negara, mulai dari penyusunan Rencana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), melaksanakan APBN dengan menghimpun penerimaan dan menyalurkan
dana APBN, dan akhirnya mempertanggungjawabkan melalui Perhitungan Anggaran Negara (PAN).
Dalam situasi dan kondisi perekonomian yang sangat fluktuatif, serta tuntutan masyarakat yang sangat dinamis,
tugas pengelolaan keuangan dan kekayaan negara dirasakan semakin berat dan penuh tantangan. Walaupun
demikian, dengan dimotivasi oleh visi dan misi yang telah ditetapkan, secara umum aparatur Kementerian
Keuangan telah berhasil mengatasinya, sehingga tugas yang diemban dapat diselesaikan sesuai dengan harapan.
Meskipun demikian, terdapat beberapa hal yang masih harus ditingkatkan yang dalam LAKIP Tahun 2011 ini
kami nyatakan sebagai tidak tercapainya target-target tertentu yang dapat dikatakan sebagai “masih dalam batas
kewajaran”.
Penyusunan LAKIP Tahun 2011 ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang jelas dan transparan serta
sekaligus sebagai pertanggungjawaban atas pencapaian visi dan misi yang diamanatkan kepada Kementerian
Keuangan.
MENTERI KEUANGAN
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Kementerian Keuangan Tahun 2011,
merupakan wujud dari pertanggungjawaban atas kinerja yang dilaksanakan, juga sebagai alat kendali
dan alat penilai kinerja secara kuantitatif dan perwujudan akuntabilitas pelaksanaan tugas dan fungsi
Kementerian menuju terwujudnya good governance yang didasarkan pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku, kebijakan yang transparan dan dapat dipertanggung jawabkan. LAKIP juga
merupakan alat untuk memacu peningkatan kinerja dan pelayanan kepada stakeholders pada setiap
unit di lingkungan Kementerian Keuangan.
LAKIP Kementerian Keuangan merupakan wujud dari pertanggungjawaban atas kinerja pencapaian visi dan misi
yang dijabarkan dalam tujuan/sasaran strategis. Tujuan/sasaran strategis dalam LAKIP tersebut mengacu pada
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2011.
Visi Kementerian Keuangan adalah Menjadi Pengelola Keuangan dan Kekayaan Negara yang Dipercaya dan
Akuntabel untuk Mewujudkan Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan. Dalam mencapai
visi tersebut Kementerian Keuangan sebagai lembaga/institusi yang mempunyai tugas menghimpun dan
mengalokasikan keuangan negara serta mengelola kekayaan negara dilakukan secara transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan, yang berlandaskan asas profesionalitas, proporsionalitas, dan keterbukaan.
Untuk mewujudkan visi tersebut, Kementerian Keuangan mempunyai empat misi yaitu (1) Misi Fiskal yaitu
mengembangkan kebijakan fiskal yang sehat, berkelanjutan, hati-hati dan bertanggungjawab (2) Misi Keka¬yaan
Negara yaitu mewujudkan pengelolaan kekayaan negara yang optimal sesuai dengan asas fungsional, kepastian
hukum, transparan, efisien, dan bertanggung jawab; (3) Misi Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yaitu mewujudkan
industri pasar modal dan lembaga keuangan non bank sebagai penggerak dan penguat perekonomian nasional
yang tangguh dan berdaya saing global; dan (4) Misi Penguatan Kelembagaan yang meliputi (i) membangun
dan mengembangkan organisasi berlandaskan administrasi publik sesuai dengan tuntutan masyarakat; (ii)
membangun dan mengembangkan SDM yang amanah, profesional, berintegritas tinggi dan bertanggung jawab;
(iii) membangun dan mengembangkan teknologi informasi keuangan yang modern dan terintegrasi serta sarana
dan prasarana strategis lainnya.
Dalam mencapai misi dan visi, Kementerian Keuangan menetapkan 6 tujuan strategis yang akan dicapai dalam
Tahun 2010-2014 yaitu: (i) meningkatkan dan mengamankan pendapatan negara dengan mempertimbangkan
perkembangan ekonomi dan keadilan masyarakat; (ii) meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan belanja
negara untuk mendukung penyelenggaraan tugas K/L dan pelaksanaan desentralisasi fiskal; (iii) mewujudkan
kapasitas pembiayaan yang mampu memberikan daya dukung bagi kesinambungan fiskal; (iv) pengelolaan
perbendaharaan negara yang profesional dan akuntabel serta mengedepankan kepuasan stakeholders
LAPORAN
AKUNTABILITAS KINERJA
INSTANSI PEMERINTAH 2011
KEMENTERIAN KEUANGAN
Gedung Djuanda I
Jl. Dr. Wahidin Raya No. 1
Jakarta Pusat 10710
atas kinerja perbendaharaan negara; (v) mewujudkan pengelolaan kekayaan negara yang optimal serta
menjadikan nilai kekayaan negara sebagai acuan dalam berbagai keperluan; dan (vi) membangun otoritas pasar
modal dan lembaga keuangan yang amanah dan profesional, yang mampu mewujudkan industri pasar modal dan
lembaga keuangan non bank sebagai penggerak perekonomian nasional yang tangguh dan berdaya saing global.
Untuk menunjang pencapaian tujuan strategis tersebut disusunlah sasaran strategis Kementerian Keuangan yang
pada hakekatnya merupakan pilar-pilar reformasi birokrasi Kementerian Keuangan yang menyangkut penataan
organisasi, penyempurnaan proses bisnis, peningkatan disiplin dan manajemen SDM. Sasaran strategis tersebut
diemplementasikan dalam enam belas sasaran strategis, 7 sasaran diantaranya merupakan bagian dari stakeholder
perspective, yaitu 1) Pendapatan negara yang optimal; (2) Pelaksanaan belanja negara yang optimal; (3) Pembiayaan
dalam jumlah yang cukup efisien dan aman bagi kesinambungan fiskal; (4) Utilisasi kekayaan negara yang optimal;
(5) Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang optimal; (6) Pengelolaan
keuangan negara yang akuntabel; (7) Industri pasar modal dan jasa keuangan non bank yang stabil, tahan uji, dan
likuid. Penilaian terhadap keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan pencapaian sasaran yang ditetapkan, diukur
dengan Indikator Kinerja Utama (IKU).
Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, bangsa Indonesia telah melakukan perubahan mendasar pada tata
kelola pemerintahan. Reformasi birokrasi yang dilandasi oleh prinsip-prinsip good and clean governance untuk
melahirkan aparatur pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel, terus bergulir reformasi gelombang
pertama, utamanya dalam lima tahun terakhir telah memajukan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Indonesia pada ranah ekonomi telah tampil sebagai salah satu kekuatan ekonomi, bahkan ikut serta memberikan
alternatif solusi bagi berbagai krisis dunia. Di tengah-tengah situasi dan kondisi ekonomi global yang mulai
membaik sejalan dengan proses pemulihan ekonomi yang semakin menguat, masih terdapat kekhawatiran akan
terjadinya krisis keuangan di Eropa. Semua negara masih mencemaskan krisis utang dan keuangan di Yunani.
Sejalan dengan perkembangan positif ekonomi global. Kinerja perekonomian domestik juga menunjukkan
perbaikan yang signifikan, perekonomian nasional mampu tumbuh 6,5%, nilai tukar rata-rata sebesar Rp8.988/
US$ dan IHSG mencapai 3.752,24. Dengan kondisi tersebut, nilai capaian sasaran strategis utama Kementerian
Keuangan sudah sesuai dengan yang direncanakan.
Di samping sasaran strategis tersebut di atas, terdapat sasaran strategis lainnya yang merupakan bagian dari
internal process perspective dan learning and growth perspective. Untuk sasaran strategis dalam internal process
perspective terdiri atas (1) Kajian dan rumusan kebijakan yang berkualitas, (2) Pengelolaan keuangan dan kekayaan
negara yang efektif dan efisien, (3) Peningkatan edukasi masyarakat dan pelaku ekonomi, dan (4) Pengawasan
dan penegakan hukum yang efektif. Sedangkan untuk learning and growth perspective terdapat sasaran strategis
sebagai berikut: (1) Pembentukan SDM yang berkompetensi tinggi, (2) Penataan organisasi yang handal, dan (3)
Perwujudan Teknologi Informasi Keuangan (TIK) yang terintegrasi, dan (4) Pengelolaan anggaran yang optimal.
Nilai capaian sasaran strategis Pendapatan negara yang optimal sebesar 102,55% bersumber dari Penerimaan
Pajak sebesar 97,25%, Penerimaan Bea dan Cukai sebesar 113,99%, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
sebesar 112,09%. Tingginya nilai capaian penerimaan Bea dan Cukai didukung oleh menguatnya nilai tukar Rupiah
sehingga mendorong kegiatan ekonomi dalam negeri, kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau, dan meningkatnya
harga Crude Premium Oil (CPO) di pasar global. Di sisi lain, belum tercapainya nilai sasaran optimalisasi penerimaan
perpajakan antara lain dipengaruhi oleh belum optimalnya capaian PPN dan PPNBM dimana masih terdapat WP
sektor retail yang belum memenuhi kewajiban penyetoran PPN. Namun demikian, dari sisi pertumbuhan, kinerja
PPN dan PPNBM mengalami pertumbuhan sebesar 20,45% dan relatif cukup baik.
- Sasaran Strategis Pelaksanaan belanja negara yang optimal dengan nilai capaian sebesar 108,76%
diidentifikasikan pada IKU Persentase penyerapan belanja negara dalam DIPA K/L dengan nilai capaian sebesar
97,51% dan Persentase ketepatan pola penarikan dana DIPA K/L dengan nilai capaian sebesar 120%. Untuk
mengoptimalkan target penyerapan belanja negara dalam DIPA K/L dan memperbaiki pola penarikan dana
DIPA K/L, Kementerian Keuangan melakukan upaya (1) optimalisasi pelayanan dalam proses penelaahan dan
penyelesaian DIPA/Revisi DIPA secara tepat waktu, (2) optimalisasi sosialisasi segala ketentuan dan prosedur
pelaksanaan anggaran kepada Kementerian Negara/Lembaga atau satker, (3) optimalisasi penyerapan
anggaran, (4) menerbitkan ketentuan-ketentuan terkait percepatan penyerapan anggaran, (5) Melakukan
penyusunan proyeksi penyerapan anggaran berdasarkan rencana pencairan dana pada Halaman III DIPA
(Disbursement), (6) Pemantauan dan penyesuaian rencana pencairan dana, (7) Evaluasi pola penarikan dana
DIPA K/L secara berkala (triwulanan).
- Sasaran Strategis Utilisasi Kekayaan Negara yang optimal, diidentifikasikan dengan IKU Nilai kekayaan negara
yang diutilisasi. Nilai capaian IKU tersebut mencapai sebesar Rp102,45 Triliun atau sebesar 100,06% lebih
tinggi dari target yang ditetapkan sebesar Rp102,39 Triliun. Tujuan dari pelaksanaan utilisasi kekayaan negara
adalah mengoptimalkan pengelolaan kekayaan negara dalam rangka pengelolaan APBN yang efisien, efektif
dan optimal melalui (1) penghematan anggaran untuk belanja modal dan anggaran untuk pemeliharaan
aset melalui pemanfaatan aset, (2) peningkatan PNBP melalui optimalisasi aset negara, dan (3) peningkatan
pembiayaan dalam negeri melalui instrumen Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dengan aset negara sebagai
underlying asset.
- Sasaran Strategis Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang optimal
dengan nilai capaian 111,41% diidentifikasikan pada dua (2) IKU, yaitu (1) Persentase ketepatan jumlah
penyaluran dana transfer ke daerah dengan nilai capaian 100,18%, dan (2) Persentase Perda PDRD yang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dengan nilai capaian 120%. Pada tahun 2011, Perda PDRD yang sudah
dievaluasi sebanyak 1.531 Perda. Dari evaluasi yang dilakukan, Perda yang sesuai peraturan perundangan, yaitu
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, sebanyak 1.501 atau 98,04% sedangkan Perda PDRD yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan sebesar 1,96% atau sebanyak 30 Perda.
- Sasaran Strategis pengelolaan keuangan negara yang akuntabel dengan nilai capaian 99,62% diidentifikasikan
pada dua (2) IKU yaitu (1) Indeks jumlah LK K/L dan LK BUN yang andal dengan opini audit yang baik dengan
persentase capaian sebesar 100,75%, dan (2) Indeks opini BPK atas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999 dengan
persentase capaian sebesar 98,15%. Untuk target Indeks opini BPK atas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999 yang
tidak tercapai disebabkan oleh opini BPK atas Laporan Keuangan Belanja Subsidi (BA 999.07) adalah WDP,
sedangkan target yang ditetapkan adalah WTP-DPP. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan pemerintah dengan
persetujuan DPR dalam Undang-Undang APBN/APBN-P Tahun Anggaran 2010 berupa pengakuan belanja
subsidi PPN DTP sejumlah Rp11,28 Triliun yang tidak diakui oleh BPK. Dengan demikian, tidak tercapainya
indikator kinerja tersebut bukan karena kualitas Laporan Keuangan.
- Sasaran Strategis Industri pasar modal dan jasa keuangan non bank yang stabil, tahan uji dan likuid,
diidentifikasikan pada lima (5) Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai berikut: (1) Perusahaan efek yang
memenuhi persyaratan minimum Modal Kerja Bersih Disesuaikan (MKBD) dengan nilai capaian 110,88%,
(2) Persentase nilai transaksi perusahaan efek yang tidak memenuhi persyaratan minimum MKBD yang
berpotensi mengganggu perdagangan saham di Bursa dengan nilai capaian 120%, (3) Perusahaan asuransi
dan reasuransi yang memenuhi persyaratan minimum RBC (Risk Based Capital) dengan nilai capaian 103,15%,
(4) Tingkat Penetrasi Asuransi dengan nilai capaian 100% (5) Perusahaan Pembiayaan yang Memenuhi Rasio
- Sasaran Strategis Tingkat Kepuasan pengguna layanan yang tinggi, diidentifikasikan dengan IKU Indeks
Kepuasan Pengguna Layanan dengan nilai capaian 98,72%. Kepuasan stakeholders merupakan salah satu
indikator dari kinerja pelayanan dan pencapaian program peningkatan kinerja Kementerian Keuangan. Secara
umum, skor kepuasan stakeholders terhadap kinerja layanan pada tahun 2011 adalah sebesar 3,86, tidak jauh
berbeda dengan tahun 2010 (3,87) dan sedikit lebih rendah dari sasaran yang ditetapkan yaitu 3,92. Namun
demikian, capaian tersebut masih menunjukkan tingkat kepuasan stakeholders yang cukup tinggi.
Adapun capaian sasaran strategis lainnya yang merupakan bagian dari internal process perspective adalah sebagai
berikut: (1) Kajian dan rumusan kebijakan yang berkualitas dengan nilai capaian sebesar 117,08%, (2) Pengelolaan
keuangan dan kekayaan negara yang efektif dan efisien dengan nilai capaian sebesar 106,50%, (3) Peningkatan
edukasi masyarakat dan pelaku ekonomi dengan nilai capaian sebesar 107,84%, dan (4) Pengawasan dan
penegakan hukum yang efektif dengan nilai capaian sebesar 116,10%.
- Sasaran Strategis Kajian dan rumusan kebijakan yang berkualitas mempunyai IKU sebagai berikut: Deviasi
proyeksi indikator ekonomi makro, (2) Deviasi proyeksi APBN, (3) Tingkat akurasi exercise I-account, dan (4)
Penyelesaian LKPP dan Rancangan UU PPAPBN secara tepat waktu. Nilai capaian seluruh IKU tersebut sudah
sesuai dengan sasaran yang ditetapkan. Masing-masing indikator kinerja tersebut nilai capaiannya berturut-
turut sebesar 120%, sebesar 120%, sebesar 106%, dan sebesar 120%.
- Sasaran Strategis Pengelolaan keuangan dan kekayaan negara yang efektif dan efisien, dengan nilai capaian
106,5%, diidentifikasikan pada lima (5) IKU sebagai berikut: (1) Rata-rata persentase realisasi janji layanan
unggulan, (2) Persentase tingkat akurasi perencanaan kas, (3) Rasio beban bunga terhadap rata-rata outstanding
utang, (4) Akurasi Penetapan yield/imbalan SBN dan biaya pinjaman terhadap benchmark, dan (5) Persentase
pemenuhan target pembiayaan melalui utang yang bersumber dari dalam negeri. Pada umunya nilai capaian
IKU pada sasaran strategis ini sudah sesuai dengan sasaran yang ditetapkan.
- Sasaran Strategis Peningkatan edukasi masyarakat dan pelaku ekonomi diidentifikasikan pada IKU yaitu Tingkat
efektivitas edukasi dan komunikasi, dengan nilai capaian sebesar 107,84%. IKU ini ditetapkan dalam rangka
untuk mengetahui tingkat pemahaman stakeholders akan fungsi Kementerian Keuangan sebagai pengelola
keuangan dan kekayaan negara.
Untuk learning and growth perspective, tiga (3) sasaran strategis yang telah ditetapkan memperoleh nilai capaian
sebagai berikut: (1) Pembentukan SDM yang berkompetensi tinggi, dengan nilai capaian sebesar 113,34% (2)
Penataan organisasi yang andal, nilai capaiannya sebesar 109,17% (3) Perwujudan TIK yang terintegrasi, dengan
nilai capaian sebesar 100% dan (4) Pengelolaan anggaran yang optimal dengan nilai capaian sebesar 98,08%.
- Sasaran Strategis Pembentukan SDM yang berkompetensi tinggi diidentifikasikan pada tiga (3) Indikator Kinerja
Utama (IKU) sebagai berikut: (1) Persentase pejabat yang telah memenuhi standar kompetensi jabatannya, (2)
Rasio jam pelatihan pegawai dibandingkan jam kerja, dan (3) Persentase diklat yang berkontribusi terhadap
peningkatan kompetensi. Nilai capaian IKU masing-masing sebesar 102,08%, sebesar 120%, dan sebesar 120%.
- Sasaran Strategis Penataan organisasi yang andal diidentifikasikan pada Indikator Kinerja Utama (IKU)
Persentase Penyelesaian penataan/modernisasi organisasi, dan Persentase UPR yang menerapkan manajemen
risiko, dengan nilai capaian IKU masing-masing sebesar 100%, dan sebesar 120%.
- Sasaran Strategis Perwujudan TIK yang terintegrasi diidentifikasikan pada Indikator Kinerja Utama (IKU) yaitu
Persentase integrasi TIK Kementerian Keuangan dengan nilai capaian sebesar 100%.
- Sasaran Strategis Pengelolaan anggaran yang optimal diidentifikasikan pada Indikator Kinerja Utama (IKU) yaitu
Persentase Penyerapan DIPA Kementerian Keuangan (non belanja pegawai). Penyerapan DIPA Kementerian
Keuangan (non-belanja pegawai) yang semula ditergetkan terserap sebesar 80% pada Tahun Anggaran 2011
telah terserap 78,80%. Penyerapan yang belum memenuhi target ini antara lain disebabkan oleh (i) efisiensi
pengadaan barang dan jasa (belanja barang/modal) karena pelelangan dilaksanakan melalui pengadaan
secara elektronik, dimana sasaran sudah tercapai dengan harga di bawah pagu, (ii) terjadinya gagal lelang pada
pengadaan barang dan jasa, dan (iii) proses penghapusan BMN memakan waktu yang lama dan menyebabkan
pembangunan fisik yang telah ditetapkan di tahun 2011 tidak dapat dilaksanakan proses pengerjaannya.
Secara umum pencapaian sasaran strategis yang telah ditetapkan dalam tahun 2011 telah sesuai dengan
yang ditargetkan, bahkan diantara sasaran strategis tersebut memperoleh nilai capaian lebih dari 100 persen.
Namun demikian, masih terdapat beberapa IKU yang masih belum mencapai target yang ditentukan. Untuk itu,
Kementerian Keuangan akan senantiasa berupaya dan bekerja lebih keras lagi, serta menyempurnakan kebijakan
yang ada untuk lebih mengoptimalkan pencapaian sasaran strategis, sehingga diharapkan di masa yang akan
datang capaian semua sasaran strategis dapat lebih optimal.
Di dalam setiap aspek kehidupan, apalagi kehidupan bernegara yang salah satu tujuannya adalah meningkatkan
kesejahteraan rakyat, diperlukan berbagai sumber daya. Salah satu sumber daya yang menjadi darah setiap
organisasi adalah keuangan.
Namun disadari bahwa sumber daya keuangan ini, sebagaimana sumber daya yang lain yang bersifat ekonomis,
ketersediannya sangat terbatas. Oleh karena itu, sumber daya yang terbatas ini perlu dikelola dengan sebaik-
baiknya agar perolehan maupun penggunaannya dapat dilakukan dengan cara yang baik dan dapat dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Kementerian Keuangan berdasarkan Perpres Nomor 24 Tahun 2010
Tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta tugas dan fungsi Eselon I Kementerian Negara
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2010, mempunyai tugas yang
sangat strategis, yaitu melaksanakan tugas pengelolaan keuangan dan kekayaan negara. Dalam melaksanakan tugas
pengelolaan keuangan dan kekayaan negara tersebut, Kementerian Keuangan dituntut untuk melaksanakannya
dengan prudent, transparan, akuntabel, efektif, dan efisien.
Untuk mencapai visi tersebut, Kementerian Keuangan menetapkan misi, rencana strategis, tujuan, sasaran, program
serta rencana kerja yang terukur dan dilaksanakan setiap tahun. Selanjutnya, sesuai dengan amanat Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, Instruksi Presiden
Nomor 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, pelaksanaan rencana kerja tersebut harus
dipertanggungjawabkan setiap tahun dalam bentuk Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP).
LAKIP Tahun 2011 ini disusun sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban Kementerian Keuangan dalam
melaksanakan tugas dan fungsi selama Tahun 2011, dalam rangka melaksanakan misi dan mencapai visi tersebut.
Di samping itu, LAKIP ini juga dimaksudkan sebagai wujud akuntabilitas pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian
Keuangan menuju terwujudnya good governance, wujud transparansi dan akuntabilitas kepada masyarakat, dan
sekaligus sebagai alat kendali dan pemacu peningkatan kinerja setiap unit organisasi di lingkungan Kementerian
Keuangan, serta sebagai salah satu alat untuk mendapatkan masukan bagi stakeholders demi perbaikan kinerja
Kementerian Keuangan.
Dalam melaksanakan peran strategis seperti diuraikan di atas, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan, Kementerian Keuangan mempunyai
tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang keuangan dan
kekayaan negara. Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian Keuangan mempunyai fungsi: (a) perumusan,
penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang keuangan dan kekayaan negara; (b) pengelolaan Barang Milik/
Kekayaan Negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Keuangan; (c) pengawasan atas pelaksanaan tugas
di lingkungan Kementerian Keuangan; (d) pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan
Kementerian Keuangan di daerah; (e) pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional; dan (f ) pelaksanaan
kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah.
Dalam menjalankan tugas dan fungsi Kementerian Keuangan, Menteri Keuangan dibantu oleh unit–unit sebagai
berikut:
1. Wakil Menteri Keuangan;
2. Sekretariat Jenderal;
3. Direktorat Jenderal Anggaran;
4. Direktorat Jenderal Pajak;
5. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
6. Direktorat Jenderal Perbendaharaan;
7. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara;
8. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan;
9. Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang;
10. Inspektorat Jenderal;
11. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan;
12. Badan Kebijakan Fiskal;
13. Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan;
14. Staf Ahli Bidang Penerimaan Negara;
15. Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara;
16. Staf Ahli Bidang Makro Ekonomi dan Keuangan Internasional;
17. Staf Ahli Bidang Kebijakan dan Regulasi Jasa Keuangan dan Pasar Modal;
18. Staf Ahli Bidang Organisasi, Birokrasi, dan Teknologi Informasi;
19. Pusat Analisis dan Harmonisasi Kebijakan;
20. Pusat Sistem Informasi dan Teknologi Keuangan;
21. Pusat Investasi Pemerintah;
22. Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai;
23. Sekretariat Pengadilan Pajak;
24. Sekretariat Komisi Pengawas Perpajakan;
25. Pusat Layanan Pengadaan Secara Elektronik; dan
26. Pusat Kepatuhan Internal Kepabeanan dan Cukai.
Kementerian Keuangan mempunyai peran yang strategis yaitu pengelola keuangan dan kekayaan negara.
Sebagaimana diamatkan dalam UU nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Presiden sebagai pemegang
kekuasaan pengelolaan keuangan negara memberi kuasa kepada Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dan
wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga
selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai
pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO), sementara
setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang
tertentu pemerintahan.
Dengan demikian Menteri Keuangan adalah CFO sekaligus sebagai COO. Prinsip ini harus dilaksanakan secara
konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme
checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas
pemerintahan.
Presiden
Menteri Teknis
Menteri Keuangan
(termasuk Menteri Keuangan)
Dalam rangka melaksanakan kekuasaan sebagai pengelola fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas sebagai
berikut:
1. menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro;
2. menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN;
3. mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran;
4. melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan;
5. melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang;
6. melaksanakan fungsi bendahara umum negara;
7. menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban APBN;
8. melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan Undang-Undang.
D. Sistematika Laporan
Sistematika penyajian LAKIP Kementerian Keuangan Tahun 2011 adalah sebagai berikut:
1. Ikhtisar Eksekutif.
Bagian ini menguraikan secara singkat tentang tujuan dan sasaran yang akan dicapai beserta hasil capaian,
kendala-kendala yang dihadapi dalam mencapai tujuan dan sasaran, langkah-langkah yang diambil, serta
langkah antisipatifnya.
2. Bab I. Pendahuluan.
Bagian ini menguraikan tentang tugas, fungsi dan struktur organisasi, mandat dan peran srategis Kementerian
Keuangan, serta sistematika laporan.
3. Bab II.
Bagian ini menguraikan tentang rencana strategis dan penetapan/perjanjian kinerja Kementerian Keuangan
Tahun 2011.
4. Bab III.
Bagian ini menguraikan tentang pengukuran, sasaran dan akuntabilitas pencapaian sasaran strategis
Kementerian Keuangan tahun 2011.
5. Bab IV.
Bagian ini menguraikan tentang keberhasilan dan kegagalan pencapaian sasaran yang telah ditetapkan,
permasalahan dan kendala, serta strategi pemecahannya untuk tahun mendatang.
Penyusunan LAKIP Kementerian Keuangan Tahun 2011 dengan sistematika tersebut menggunakan alur pikir yang
dapat digambarkan sebagaimana tampak pada Gambar 1.2 pada halaman berikut ini.
Gambar 1.2 Alur Pikir Penyusunan LAKIP Kementerian Keuangan Tahun 2011
LANDASAN
_____________________________
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
Paket Undang-Undang Bidang Keuangan
Negara (UU No.17 Tahun 2003, UU No.1 Tahun
2004, UU No.15 Tahun 2004)
RPJM Nasional 2010-2014
APBN Tahun Anggaran 2011
VISI
MISI
TUJUAN
SASARAN
KEBIJAKAN
Perencanaan strategis (Renstra) merupakan serangkaian rencana tindakan dan kegiatan yang bersifat mendasar
dan dibuat secara integral, efisien dan koordinatif serta disusun mengikuti alur pikir sebagaimana tampak pada
Gambar 1.2, dalam hal ini Kementerian Keuangan bertugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan
sebagian urusan pemerintahan di bidang keuangan dan kekayaan negara. Dalam kurun waktu 2010-1014 dengan
berorientasi kepada hasil yang ingin dicapai selama 5 (lima) tahun dan memperhitungkan potensi, peluang, serta
kendala yang ada maupun tantangan yang mungkin terjadi, Kementerian Keuangan dituntut berpandangan jauh
ke depan, serta berupaya meningkatkan kualitas agar lebih profesional dan mampu mencapai tingkat kesetaraan
di pasar global. Berkaitan dengan itu, setiap aparatur Kementerian Keuangan didorong untuk lebih meningkatkan
integritas dan kredibilitasnya sehingga dipercaya dan dibanggakan masyarakat serta bekerja secara profesional
dan efisien untuk mendukung tercapainya masyarakat adil dan makmur.
Pengertian pengelola keuangan dan kekayaan negara dalam visi tersebut bermakna bahwa Kementerian
Keuangan adalah lembaga/institusi yang mempunyai tugas menghimpun dan mengalokasikan keuangan negara
dan sekaligus mengelola kekayaan negara. Dipercaya berarti Kementerian Keuangan adalah institusi yang kredibel
karena pengelolaan keuangan dan kekayaan negara dilakukan secara transparan, yaitu semua penerimaan
negara, belanja negara dan pembiayaan defisit anggaran dilakukan melalui mekanisme APBN. Akuntabel artinya
pengelolaan keuangan dan kekayaan negara yang mengacu pada praktik terbaik internasional yang berlandaskan
asas profesionalitas, proporsionalitas, dan keterbukaan.
Untuk mencapai visi tersebut Kementerian Keuangan menetapkan misi, rencana strategis, tujuan, dan sasaran
serta rencana kerja yang terukur dan dilaksanakan setiap tahun. Selanjutnya, sesuai dengan amanat Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, Instruksi Presiden
Nomor 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, pelaksanaan rencana kerja tersebut harus
dipertanggungjawabkan setiap tahun dalam bentuk Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP).
LAKIP ini disusun sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban Kementerian Keuangan dalam melaksanakan
tugas dan fungsi selama Tahun 2011, dalam rangka melaksanakan misi dan mencapai visi tersebut. Di samping itu,
LAKIP ini juga dimaksudkan sebagai wujud akuntabilitas pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian Keuangan
menuju terwujudnya good governance, wujud transparansi dan akuntabilitas kepada masyarakat, dan sekaligus
sebagai alat kendali dan pemacu peningkatan kinerja setiap unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan,
serta sebagai salah satu alat untuk mendapatkan masukan bagi stakeholders demi perbaikan kinerja Kementerian
Keuangan.
Dalam rangka pencapaian visi, Kementerian Keuangan menetapkan 4 (empat) misi sebagai berikut:
1. Misi Fiskal, yaitu mengembangkan kebijakan fiskal yang sehat, berkelanjutan, hati-hati (prudent), dan
bertanggung jawab.
2. Misi Kekayaan Negara, yaitu mewujudkan pengelolaan kekayaan negara yang optimal sesuai dengan asas
fungsional, kepastian hukum, transparan, efisien, dan bertanggungjawab.
3. Misi Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, yaitu mewujudkan industri pasar modal dan lembaga keuangan
non bank sebagai penggerak dan penguat perekonomian nasional yang tangguh dan berdaya saing global.
4. Misi Penguatan Kelembagaan, yang meliputi tiga hal sebagai berikut:
a. Membangun dan mengembangkan organisasi berlandaskan administrasi publik sesuai dengan tuntutan
masyarakat.
b. Membangun dan mengembangkan SDM yang amanah, profesional, berintegritas tinggi, dan
bertanggungjawab.
c. Membangun dan mengembangkan teknologi informasi keuangan yang modern dan terintegrasi serta
sarana dan prasarana strategis lainnya.
Dalam rangka implementasi atau penjabaran dari misi, ditetapkan tujuan yang merupakan sesuatu yang akan
dicapai atau dihasilkan pada kurun waktu tertentu, yaitu satu sampai dengan lima tahun ke depan dalam tahun
2010-2014, serta menggambarkan arah strategik organisasi, perbaikan-perbaikan yang ingin diciptakan sesuai
dengan tugas dan fungsi, serta meletakkan kerangka prioritas untuk memfokuskan program dan kegiatan yang
akan dilaksanakan. Tujuan Kementerian Keuangan untuk periode 2010-2014 dikelompokkan ke dalam 6 tema
pokok sebagai berikut:
1. Tujuan dalam tema pendapatan negara adalah meningkatkan dan mengamankan pendapatan negara dengan
mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan keadilan masyarakat.
2. Tujuan dalam tema belanja negara adalah meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan belanja negara
untuk mendukung penyelenggaraan tugas K/L dan pelaksanaan desentralisasi fiskal.
3. Tujuan dalam tema pembiayaan APBN adalah mewujudkan kapasitas pembiayaan yang mampu memberikan
daya dukung bagi kesinambungan fiskal.
4. Tujuan dalam tema perbendaharaan negara adalah pengelolaan perbendaharaan negara yang profesional
dan akuntabel serta mengedepankan kepuasan stakeholders atas kinerja perbendaharaan negara.
5. Tujuan dalam tema kekayaan negara adalah mewujudkan pengelolaan kekayaan negara yang optimal serta
menjadikan nilai kekayaan negara sebagai acuan dalam berbagai keperluan.
6. Tujuan dalam tema pasar modal dan lembaga keuangan non bank adalah membangun otoritas pasar modal
dan lembaga keuangan yang amanah dan profesional, yang mampu mewujudkan industri pasar modal dan
lembaga keuangan non bank sebagai penggerak perekonomian nasional yang tangguh dan berdaya saing
global.
d. Terciptanya tata kelola yang tertib sesuai peraturan perundang-undangan, transparan, kredibel, akuntabel,
dan profesional dalam pelaksanaan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah. Sasaran strategis ini mencakup tiga hal sebagai berikut:
i. Tata kelola yang tertib, yaitu pengelolaan transfer ke daerah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
ii. Transparan, artinya pelaksanaan kebijakan transfer ke daerah dapat diakses oleh seluruh stakeholder.
iii. Akuntabel, artinya pelaksanaan kebijakan transfer ke daerah dapat dipertanggungjawabkan.
3. Sasaran strategis dalam Tema Pembiayaan APBN adalah sebagai berikut:
a. Terpenuhinya pembiayaan APBN melalui utang secara tepat waktu, cukup, dan efisien.
Target pembiayaan APBN dapat dipenuhi melalui utang yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri,
dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) dan Pinjaman, dengan mempertimbangkan biaya dan risiko
untuk mendukung kesinambungan fiskal.
b. Terciptanya kepercayaan para pemangku kepentingan (investor, kreditor, dan pelaku pasar lainnya)
terhadap pengelolaan utang yang transparan, akuntabel, dan kredibel.
Sasaran strategis ini mencakup tersedianya informasi yang terkait pengelolaan utang kepada publik secara
transparan dan akurat, dan terjaganya kredibilitas pengelolaan utang dengan melakukan pembayaran
kewajiban secara tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat sasaran.
c. Terciptanya struktur portofolio utang yang optimal.
Sasaran strategis ini mencakup optimalisasi struktur SBN yang jatuh tempo dengan memperhatikan jenis,
tingkat bunga, tenor, serta kondisi pasar keuangan.
d. Terciptanya pasar SBN yang dalam, aktif, dan likuid.
Sasaran strategis ini mencakup pengembangan pasar SBN dengan menyediakan alternatif instrumen SBN
yang variatif serta meningkatkan sebaran investor.
4. Sasaran strategis dalam Tema Perbendaharaan Negara:
a. Efisiensi dan akurasi pelaksanaan belanja negara.
Sasaran strategis ini berupa penyaluran belanja negara untuk mendukung pencapaian sasaran yang
ditetapkan secara akurat dan tepat waktu, yang berarti pelaksanaan penyaluran belanja dilakukan sesuai
dengan norma waktu yang ditetapkan.
b. Optimalisasi pengelolaan kas.
Sasaran strategis ini berupa optimalisasi pengelolaan kas negara meliputi dalam hal perencanaan kas,
pengendalian kas dan pemanfaatan idle cash, yang dilaksanakan untuk menjamin ketersediaan kas dalam
jumlah yang cukup.
Optimalisasi pengelolaan kas negara dilakukan dalam rangka mewujudkan efisiensi pengelolaan kas
dengan mengedepankan prinsip “meminimumkan biaya” dan “memaksimalkan manfaat” bila terjadi
kekurangan kas (cash mismatch) atau kelebihan kas (idle cash).
Sasaran strategis untuk menunjang pencapaian tujuan strategis 6 (enam) tema pokok sebagaimana disebutkan
sebelumnya dikelompokkan ke dalam perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan, yang mencakup hal-hal
sebagai berikut:
1. Terwujudnya SDM yang berintegritas dan berkompetensi tinggi.
Sasaran strategis ini mencakup sistem rekrutmen yang kredibel dan pengembangan SDM yang tertata dan
berkelanjutan, yang dengan itu diharapkan dapat menghasilkan SDM yang memiliki integritas dan kompetensi
tinggi dalam mengelola Keuangan Negara.
Untuk mencapai visinya, Kementerian Keuangan menetapkan misi, rencana strategis, tujuan, sasaran, program serta
rencana kerja yang terukur dan dilaksanakan setiap tahun. Program adalah kumpulan kegiatan nyata, sistematis
dan terpadu yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan untuk mendapatkan suatu hasil. Program-program
yang telah ditetapkan dalam Tahun 2011 adalah sebagai berikut:
1. Program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya.
2. Program pengawasan dan peningkatan akuntabilitas aparatur Kementerian Keuangan.
3. Program pengelolaan anggaran negara.
4. Program peningkatan dan pengamanan penerimaan pajak.
5. Program pengawasan, pelayanan, dan penerimaan di bidang kepabeanan dan cukai.
6. Program peningkatan pengelolaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
7. Program pengelolaan dan pembiayaan utang.
8. Program pengelolaan perbendaharaan negara.
9. Program pengelolaan kekayaan negara, penyelesaian pengurusan piutang negara, dan pelayanan lelang.
10. Program pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan non bank.
11. Program pendidikan dan pelatihan aparatur Kementerian Keuangan.
12. Program perumusan kebijakan fiskal.
Road Map Kementerian Keuangan Tahun 2010-2014 merupakan penjabaran lebih lanjut dari Rencana Strategis
(Renstra) Kementerian Keuangan Tahun 2010-2014, sebagaimana telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 40/KMK.01/2010 tanggal 29 Januari 2010 merupakan dokumen yang menjadi acuan dalam
penyusunan Road Map. Road Map dan Renstra merupakan dokumen perencanaan yang digunakan Kementerian
Keuangan untuk periode 2010-2014. Antara Road Map dan Renstra terdapat perbedaan, dimana Road Map lebih
menjelaskan secara detail mengenai pelaksanaan program/kegiatan sampai level sub kegiatan (yang merupakan
pelaksanaan tugas dan fungsi untuk unit setingkat Eselon III) yang dilengkapi dengan informasi mengenai
milestone tahunan mulai dari tahun 2010 sampai dengan 2014, dan merupakan ukuran untuk melihat tingkat
keberhasilan kinerja suatu unit selama kurun waktu 5 (lima) tahun. Penjabaran sasaran strategis dalam Renstra
ke dalam dokumen perencanaan tahunan, Road Map, dapat ditabulasikan dalam bentuk matriks sebagaimana
tampak pada lampiran 1.
C. Penetapan/Perjanjian Kinerja
Penetapan/perjanjian kinerja merupakan pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi, dan sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Nomor 29 Tahun 2010. Sementara itu dokumen Penetapan Kinerja/perjanjian kinerja
merupakan suatu dokumen pernyataan kinerja/kesepakatan kinerja/perjanjian kinerja antara atasan dan bawahan
untuk mewujudkan target kinerja tertentu berdasarkan pada sumber daya yang dimiliki oleh instansi.
Untuk menjamin tercapainya sasaran dan target secara optimal dan tepat waktu, visi dan misi Kementerian Keuangan
harus menjadi acuan sekaligus landasan penyusunan strategi. Dari visi dan misi tersebut kemudian dirumuskan
sasaran strategis Kementerian Keuangan (KK). Sasaran Strategis (SS/KK) Kementerian Keuangan tahun 2011 telah
ditetapkan dan dikelompokkan sebagaimana tertuang dalam Peta Strategi Kementerian Keuangan. Peta Strategi
Kementerian Keuangan 2011 memuat 16 Sasaran Strategis. Sasaran-sasaran strategis tersebut adalah sebagai
berikut: (1) Pendapatan negara yang optimal; (2) Pelaksanaan belanja negara yang optimal; (3) Pembiayaan dalam
jumlah yang cukup efisien dan aman bagi kesinambungan fiskal; (4) Utilisasi kekayaan negara yang optimal; (5)
Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang optimal; (6) Pengelolaan keuangan
negara yang akuntabel; (7) Industri pasar modal dan jasa keuangan non bank yang stabil, tahan uji, dan likuid;
(8) Tingkat Kepuasan pengguna layanan yang tinggi; (9) Kajian dan rumusan kebijakan yang berkualitas;
(10) Pengelolaan keuangan dan kekayaan negara yang efektif dan efisien; (11) Peningkatan edukasi masyarakat dan
pelaku ekonomi; (12) Pengawasan dan penegakan hukum yang efektif; (13) Pembentukan SDM yang berkompetensi
tinggi; (14) Penataan organisasi yang andal; (15) Perwujudan TIK yang terintegrasi; dan (16) Pengelolaan anggaran
yang optimal.
Visi
Menjadi Pengelola Keuangan dan Kekayaan Negara yang Dipercaya dan Akuntabel
KK-3
KK-7
Pembiayaan KK-5
KK-2 KK-4 KK-6 Indusri pasar modal
KK1 dalam jumlah Hubungan
Pelaksanaan Pengelolaan dan jasa keuangan
Pendapatan negara belanja negara yang yang cukup, aman, keuangan pusat
negara yang keuangan negara non bank yang
dan efisien bagi - daerah yang
yang akuntabel stabil, tahan uji dan
kesinambungan
likuid
fiskal
KK-8
Tingkat kepuasan pengguna
KK-13
KK-16
Pembentukan KK-14 KK-15
Pengelolaan
SDM yang Penataan organisasi Perwujudan TIK
anggaran yang
berkompetensi yang andal yang terintegrasi
Peta strategi Kementerian Keuangan di atas menerapkan 4 perspektif, yaitu: stakeholders perspective, customers
perspective, internal process perspective dan learning and growth perspective. Dari Peta Strategi Kementerian
Keuangan Tahun 2011 tersebut diketahui bahwa jumlah sasaran strategis yang dikembangkan oleh Kementerian
Keuangan mencapai 16 (enam belas) sasaran strategis (SS/KK) dan Indikator Kinerja Utama (IKU) yang diidentifikasi
sebanyak 36 IKU. Selanjutnya keterkaitan antara sasaran strategis dan IKU dapat disajikan dalam tabel berikut.
D. Pengukuran Kinerja
Dalam rangka mengukur capaian indikator kinerja Kementerian Keuangan Tahun 2011, Kementerian Keuangan
berpedoman kepada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 454/KMK.01/2011 tentang Pengelolaan Kinerja di
Lingkungan Kementerian Keuangan. Pengukuran capaian Indikator Kinerja Utama (IKU) ditetapkan berdasarkan
ketentuan sebagai berikut:
1. Angka maksimum indeks capaian setiap IKU ditetapkan sebesar 120%;
2. Indeks capaian IKU dikonversikan menjadi maximize semua agar sebanding dengan yang lainnya;
3. Status capaian IKU yang ditunjukkan dengan warna merah/kuning/hijau, ditentukan oleh Indeks Capaian IKU;
4. IKU yang ditetapkan diupayakan realisasi pencapaiannya memungkinkan melebihi target;
5. Untuk IKU yang capaiannya tidak memungkinkan melebihi target, maka capaiannya ditetapkan sebagai berikut:
a. Apabila realisasi pecapaiannya sama dengan target, maka indeks capaian IKU tersebut dikonversi menjadi 120%;
b. Apabila realisasi pencapaiannya tidak memenuhi target, maka indeks capaian IKU tersebut tidak dilakukan
konversi
Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung persentase pencapaian target indikator kinerja terdiri dari tiga
(3) jenis, yaitu:
1. Perhitungan untuk Indikator Kinerja Utama (IKU) yang memiliki polarisasi Maximize
IKU yang memiliki polarisasi maximize , merupakan indikator kinerja yang menunjukkan ekspektasi arah
pencapaian indikator kinerja lebih tinggi dari nilai target yang ditetapkan.
2. Perhitungan untuk Indikator Kinerja Utama (IKU) yang memiliki polarisasi Minimize
IKU yang memiliki polarisasi minimize , merupakan indikator kinerja yang menunjukkan ekspektasi arah
pencapaian indikator kinerja lebih kecil dari nilai target yang ditetapkan.
3. Perhitungan untuk Indikator Kinerja Utama (IKU) yang memiliki polarisasi Stabilize
100 120
90 100
67,5 75
45 50
22,5 25
0 0
IKU yang memiliki polarisasi stabilize, merupakan indikator kinerja yang menunjukkan ekspektasi arah pencapaian
indikator kinerja diharapkan berada dalam suatu rentang target tertentu.
Apabila hasil perhitungan nilai capaian IKU melampaui target, akan menghasilkan nilai maksimal 120%. Karena IKU
stabilize mengharapkan capaian dalam rentang tertentu di sekitar target, maka capaian yang dianggap paling baik
adalah capaian yang tepat sesuai dengan target.
Pada tahun 2011, Kementerian Keuangan menetapkan 16 (enam belas) Sasaran Strategis (SS) dimana 7 (tujuh)
diantaranya merupakan sasaran dalam stakeholder perspective yang menjadi fokus penyajian dalam LAKIP
Kementerian Keuangan Tahun 2011. Setiap SS memuat IKU, yang pencapaian dari ketujuh sasaran dalam stakeholder
perspective tersebut dapat ditabulasikan menjadi sebagai berikut:
Pelaksanaan evaluasi dan analisis kinerja dilakukan melalui pengukuran kinerja dengan menggunakan formulir
pengukuran kinerja sesuai Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
nomor 29 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Penetapan Kinerja dan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah. Pengukuran kinerja digunakan sebagai dasar untuk menilai keberhasilan atau kegagalan
pelaksanaan kegiatan program sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan
misi Kementerian Keuangan. Pengukuran kinerja dimaksud merupakan hasil dari suatu penilaian yang didasarkan
pada IKU yang telah diidentifikasi agar sasaran-sasaran strategis dan tujuan strategis sebagaimana telah ditetapkan
dalam Peta Strategi Kementerian Keuangan yang menjadi kontrak kinerja pada Tahun 2011 dapat tercapai.
Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 1 (satu) IKU, yaitu IKU
pendapatan negara yang optimal. IKU ini dijabarkan ke dalam 3 (tiga) sub IKU yang masing-masing pencapaiannya
ditabulasikan sebagai berikut:
Dilihat dari sumbernya, pendapatan negara dapat diperoleh dari dua sumber, yaitu penerimaan dalam negeri
dan hibah. Dari kedua sumber tersebut, pendapatan negara yang dikelola oleh Kementerian Keuangan adalah
penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak. Unit yang bertugas mengelola penerimaan di bidang
perpajakan adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Sedangkan unit
yang mengelola Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Uraian sub IKU
pendapatan negara yang dilaksanakan oleh masing-masing unit tampak berikut ini.
Realisasi %
No. Jenis Pajak APBN-P 2011 Perencanaan
2011 2010 Growth (%) 2011
(1) (2) (3) (4) (5) (8)=(5):(3)
Penerimaan DJP Tanpa Migas 698.439,82 669.535,54 560.989,84 19,35 95,86
E. PPh Migas 65.230,67 73.095,58 58.872,74 24,16 112,06
Penerimaan DJP Termasuk Migas 763.670,01 742.631,13 619.862,58 19,81 97,25
Realisasi penerimaan pajak termasuk PPh Migas periode Januari s.d. Desember 2011 sebesar Rp742,63 Triliun
atau sebesar 97,25%. Jika dibandingkan dengan realiasi penerimaan periode yang sama tahun 2010 sebesar
Rp627,46 Triliun, maka terdapat pertumbuhan sebesar 18,35%. Rincian penerimaan pajak sepanjang tahun
2011 per periode bulan tampak pada tabel 3.2.
Tabel 3.2
Realisasi Penerimaan Pajak Tahun 2011 per Periode Bulan
Penerimaan Neto
Bulan PPh PPN dan Total Non Total
PBB PL
Non Migas Migas PPNBM Migas Penerimaan
(7)=(2)+(4)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (8)=(3)+(7)
+(5)+(6)
Januari 25.145,63 4.310,73 14.709,59 120,47 258,70 40.234,29 44.545,02
Februari 22.058,53 0,33 18.934,85 134,37 281,33 41.409,07 41.409,40
Maret 25.823,40 8.465,23 19.029,76 265,90 331,09 45.450,16 53.915,38
April 53.628,28 5.760,29 21.849,67 460,88 318,53 76.257,36 82.017,65
Mei 23.119,90 10.329,49 17.725,13 560,57 352,29 41.836,89 52.116,38
Juni 23.656,88 5.465,55 20.250,61 684,32 322,31 44.914,11 50.379,66
Juli 31.322,75 0,97 21.131,90 1,065,99 383,13 53.903,76 53.904,73
Agustus 27.519,61 6.576,57 23.682,13 12.553,33 363,44 64.118,51 70,695,08
September 28.985,55 10.067,20 23.367,72 1.617,18 292,77 54.263,23 64.330,43
Oktober 25.539,14 3.465,42 23.091,66 1.021,84 316,49 49.969,12 52.434,54
November 29.633,55 10.492,45 22.450,23 5.220,39 338,54 57.642,71 68.135,16
Desember 41.473,25 8.161,35 51.510,80 6.184,59 367,71 99.536,34 107.697,70
Realisasi Tahun
357.986,46 73.095,58 277.733,04 29.889,71 3.926,34 669.535,54 742.631,13
2011
APBN 2011 33.746,35 65.230,67 298.441,39 29.057,78 4.193,82 698.439,34 763.670,01
% Realisasi 2011
thd Rencana 97,61 112,06 93,06 102,86 93,62 95,56 97,25
2011
Realisasi s.d 31
297.859,84 58.872,74 230.581,04 28.580,61 4.968,34 560.989,84 619.862,58
Desember 2010
APBN-P 2010 306.836,64 55.382,38 262.962,99 25.319,15 3.841,93 598.960,71 654.343,09
% Realisasi 2010
thd Rencana 97,07 106,30 87,69 112,88 103,29 93,66 94,73
APBN-P 2010
Pe r t u m b u h a n
20,19% 24,16% 20,45% 4,58% -1,06% 19,35% 19,81%
2010 - 2011
Sumber: Laporan Realisasi Pajak Tahun Anggaran 2011 - DJPb
Catatan: Di dalam pen. PBB 2011 termasuk pen. Neto BPHTB sebesar (Rp730,15juta)
Rencana penerimaan perpajakan tahun 2012 adalah sebesar Rp1.032,57 Triliun atau memberikan kontribusi
sebesar 78,74% dari rencana penerimaan negara tahun 2012 sebesar Rp1.311,38 Triliun. Untuk mengamankan
rencana penerimaan perpajakan Tahun 2012 tersebut, maka telah disusun langkah-langkah strategis sebagai
berikut:
1) Penyempurnaan sistem administrasi pajak Sektor Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang dilakukan
melalui beberapa hal sebagai berikut.
a) Reviu ulang kebijakan pemberian Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP).
b) Penelitian ulang efektivitas Pengusaha Kena Pajak (PKP) dimana PKP yang sudah tidak efektif lagi
akan dicabut NPPKP-nya.
c) Penyempurnaan sistem Teknologi Informasi yang berkaitan dengan konfirmasi Pajak Keluaran –
Pajak Masukan (PK-PM).
2) Pengawasan secara lebih intensif pada sektor usaha tertentu yang memberikan kontribusi signifikan
terhadap penerimaan perpajakan.
3) Pembinaan dan pemberian fasilitas perpajakan untuk sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
4) Peningkatan Penegakan Hukum di Bidang Perpajakan dan Penyempurnaan Sistem Piutang Pajak Secara
On-line.
5) Pelaksanaan program Sensus Pajak Nasional yang lebih terencana, terarah, dan terukur.
6) Peningkatan kualitas SDM khususnya Account Representative, Pemeriksa Pajak, dan Juru Sita.
7) Penyempurnaan sistem pengendalian internal melalui peningkatan fungsi kepatuhan internal,
implementasi nilai-nilai Kementerian Keuangan dan Peningkatan Efektifitas Whistle Blowing System.
Selain dari langkah strategis tersebut, penggalian potensi pajak juga dilakukan dengan cara ekstensifikasi
dan intensifikasi. Ekstensifikasi merupakan penggalian potensi pajak dengan menambah jumlah Wajib Pajak,
sedangkan intensifikasi adalah penggalian potensi pajak dengan mengoptimalkan penerimaan pajak dari
Wajib Pajak yang terdaftar. Mapping, profiling, dan benchmarking merupakan kegiatan intesifikasi penggalian
potensi penerimaan pajak yang telah dituangkan dalam Nota Keuangan APBN 2011, yang menyebutkan:
Mapping adalah kegiatan pemetaan yang menggambarkan potensi perpajakan dan keunggulan fiskal yang
terdapat di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak (KPP)/Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak.
Pembuatan mapping bertujuan untuk memperoleh informasi berupa gambaran umum potensi perpajakan
dan keunggulan fiskal masing-masing wilayah kerja KPP/Kanwil.
Profiling merupakan kegiatan penyusunan profil Wajib Pajak yang berisi rangkaian data dan informasi
fiskal Wajib Pajak, yang antara lain memuat identitas, kegiatan usaha, serta riwayat perpajakan Wajib Pajak
secara berkesinambungan. Profiling menjadi dasar bagi pihak KPP untuk melakukan analisis sehingga dapat
memperkirakan besarnya potensi pajak dari masing-masing Wajib Pajak. Selain itu, profiling juga berfungsi
untuk perbaikan sistem administrasi perpajakan dalam melakukan pengawasan kepatuhan formal maupun
material Wajib Pajak serta sebagai alat pengawasan kinerja KPP.
Adapun benchmarking adalah proses pembuatan acuan (benchmark) dengan membandingkan performa
rasio-rasio keuangan suatu Wajib Pajak dengan performa keuangan Wajib Pajak-Wajib Pajak lainnya. Performa
keuangan tersebut terkait antara lain dengan tingkat omset, laba perusahaan, berbagai input dalam
kegiatan usaha, serta biaya-biaya untuk melihat kewajaran performa keuangan tersebut dengan rasio-rasio
yang dilaporkan oleh Wajib Pajak-Wajib Pajak lain yang dianggap setara/sekelompok. Proses ini juga dapat
digunakan untuk menilai risiko kewajaran laporan kinerja perusahaan serta pemenuhan kewajiban perpajakan
Wajib Pajak. Pada tahun 2009, Kementerian Keuangan telah mulai menggunakan metode total benchmarking.
Sampai dengan akhir 2010 dihasilkan benchmark untuk 115 Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) dan sejak awal
2011 mulai dilaksanakan penyempurnaan metodologi pembuatan benchmark, yaitu benchmark behavior
model. Saat ini pengembangan benchmark behavior model telah menghasilkan benchmark yang sedang diuji
coba kegunaannya oleh KPP.
Metode mapping, profiling, dan benchmarking sebenarnya telah dilaksanakan sejak tahun 2007, seiring dengan
reformasi di bidang perpajakan yang meliputi pengawasan dan penggalian potensi penerimaan pajak yang
dilakukan dengan cara yang terstruktur, terukur, sistematis, standar, dan dapat dipertanggungjawabkan. Saat
ini program tersebut terus diperbaiki dan diperdalam, antara lain dengan penggunaan aplikasi teknologi
informasi seperti Approweb (Aplikasi Profile Wajib Pajak berbasis Web) dan program feeding (pertukaran data).
Kegiatan mapping, profiling dan benchmarking merupakan kegiatan yang dilakukan secara simultan dan
merupakan suatu rangkaian dalam alur penggalian potensi pajak.
Tabel 3.3.
Realisasi Penerimaan Bea dan Cukai Per 31 Desember 2011
(Juta Rupiah)
Nominal %
1 2 3 4 5(4/3) 6(4-3) 7(6/3)
1. BEA MASUK 21.500.792,21 25.238.844,47 117,39% 3.738.052,27 17,39%
Bea masuk Rill 21.000.792,21 25.191.492,93 119,95% 4.190.700,72 19,95%
Bea masuk DTP 500.000,00 47.351,54 9,47% (452.648,46) -90,53%
2. CUKAI 68.075.339,10 77.009.461,32 113,12% 8.934.122,22 13,12%
3. BEA KELUAR 25.439.075,95 28.855.579,54 113,43% 3.416.503,62 13,43%
Total 115.015.207,23 131.103.885,33 113,99% 16.088.678,11 13,99%
Keterangan:
1. Data Bea Masuk dan Cukai termasuk pendapatan DA dan sudah dikurangi restitusi
2. Sumber data :Direktorat Pengelolaan Kas Negara- Ditjen Perbendaharaan
Total realisasi penerimaan Bea Masuk, Cukai dan Bea keluar (termasuk Bea Masuk Ditanggung Pemerintah-BM
DTP) sampai dengan 31 Desember 2011 adalah sebesar Rp131.103,89Miliar (lihat tabel 3.3.), yang terdiri atas:
1) Bea Masuk.
Penerimaan Bea Masuk terdiri dari Bea Masuk Riil dan BM-DTP. Realisasi penerimaan Bea Masuk
sampai dengan 31 Desember 2011 sebesar Rp25.238,84 Miliar (117,39% dari target), yaitu Bea
Masuk Riil Rp25.191,49 Miliar (119,95% dari target) dan BM-DTP Rp47,3 Miliar (9,47% dari target).
2) Cukai.
Realisasi penerimaan Cukai sampai dengan 31 Desember 2011 sebesar Rp77.009,46 Miliar atau
(113,12% dari target APBN-P), yang terdiri atas Cukai Hasil Tembakau, Cukai Mengandung Etil
Alkohol, dan Cukai Etil Alkohol.
3) Bea Keluar.
Realisasi penerimaan Bea Keluar sampai dengan 31 Desember 2011 sebesar Rp28.855,58 Miliar
atau (113,43% dari target APBN-P).
Jika tidak memasukkan unsur BM-DTP, jumlah penerimaan Bea dan Cukai sampai dengan akhir Desember
2011 sebesar Rp131.056,53 Miliar atau sebesar 114,44% dibandingkan target APBN-P 2011 (Non BM DTP).
Realisasi penerimaan Bea dan Cukai pada tahun 2011 mengalami peningkatan dibandingkan dengan realisasi
penerimaan Bea dan Cukai tahun 2010, terdiri dari kenaikan jenis penerimaan Bea Masuk sebesar Rp5.431,06
Miliar (naik 27,48%), Cukai sebesar Rp10.844,17 Miliar (naik 16,39%), dan Bea Keluar sebesar Rp19.957,80 Miliar
(naik 224,30%). Perbandingan realisasi penerimaan Bea Masuk, Cukai, dan Bea Keluar tahun 2010 dan 2011
adalah sebagaimana tampak pada tabel 3.4.
Tabel 3.4
Perbandingan Capaian Penerimaan DJBC Non BM-DTP Tahun 2010 dan 2011
(Miliar rupiah)
Secara keseluruhan penerimaan Bea dan Cukai pada tahun 2011 mengalami peningkatan 38,2% dibandingkan
periode yang sama tahun 2010. Penerimaan Bea Keluar merupakan sektor yang meningkat sangat signifikan
yaitu sebesar 224,30%.
Di samping melaksanakan pemungutan terhadap pungutan negara di bidang Kepabeanan dan Cukai,
Kementerian Keuangan juga melaksanakan pemungutan di bidang perpajakan lainnya yaitu pemungutan
terhadap Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) yang meliputi PPN Impor, PPNBM Impor dan PPh pasal 22 Impor
serta pemungutan terhadap PPN Hasil Tembakau. Selama tahun 2011 berhasil dicapai penerimaan dari PDRI dan
PPN Hasil Tembakau sebesar Rp153.542,47 Miliar atau naik 25,26% dibandingkan tahun 2010 (lihat tabel 3.5.).
Tabel 3.5
Realisasi Penerimaan PDRI dan PPN HT Tahun 2010 dan 2011
(Miliar rupiah)
Growth
Jenis Penerimaan 2010 2011
Nominal %
PPN Impor 82.706,29 107.016,02 24.309,73 29,39
PPh BM Impor 4.791,58 5.374,48 583,90 12,19
PPh psl 22 Impor 24.598,53 28.295,19 4.696,66 19,90
Sub total PDRI 111.095,40 140.685,69 29.590.29 26,64
PPN Cukai HT 11.485,30 12.856,78 1.371,48 11,94
Total Pajak 122.580,70 153.542,47 30.961,77 25,26
Baik kenaikan bea cukai maupun penerimaan yang terkait impor disebabkan oleh beberapa faktor sebagai
berikut:
1) Bea Masuk.
Tercapainya target penerimaan bea masuk per 31 Desember 2011 antara lain disebabkan oleh beberapa
faktor sebagai berikut:
a) Nilai tukar Rupiah yang mengalami penguatan, mendorong tingkat importasi sehingga
meningkatkan dutiable import.
Sejak bulan September 2010 harga Referensi CPO meningkat seiring naiknya harga minyak
mentah dunia. Memasuki awal tahun 2011, tarif Bea Keluar CPO bulan Januari menjadi 20%, bulan
Februari dan Maret kembali meningkat menjadi 25% karena harga referensi yang sudah berada di
atas US$ 1.250/ton, sedangkan untuk tarif Bea Keluar Kakao masih 10%.
Penerimaan Bea Keluar Bulan Agustus 2011 kembali meningkat dibanding bulan sebelumnya
karena volume ekspor CPO yang tinggi dan tarif Bea Keluar Bulan Agustus menjadi 15%.
b) Internal effort.
Dengan meningkatnya harga minyak dunia, harga CPO dan turunannya yang menjadi
komoditi substitusi minyak menjadi naik. Tingginya harga CPO dipasaran internasional
mendorong tingginya tingkat eksportasi sehingga menghasilkan Bea Keluar yang cukup
tinggi untuk mencegah penyelundupan ke luar negeri, Kementerian Keuangan meningkatkan
pengawasan yang lebih efektif terhadap lalu lintas komoditi CPO dan turunannya.
Berkaitan hal tersebut telah dikeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Bea dan Cukai
Nomor SE-2/BC/2011 tanggal 21 Maret 2011 tentang optimalisasi pengawasan pengangkutan
ekspor dan/atau antar pulau, kelapa sawit, CPO, dan Produk turunannya.
Meskipun terjadi peningkatan penerimaan bea masuk dan cukai serta penerimaan dari aktivitas ekspor dan
impor, Kementerian Keuangan masih menghadapi beberapa kendala dan risiko fiskal dalam pencapaian
target penerimaan tahun 2011. Uraian tentang kendala dan risiko fiskal tersebut tampak berikut ini.
1) Sektor Bea Masuk, yaitu antara lain:
a) Konsekuensi Kerjasama Perdagangan Internasional melalui skema FTA (IJ-EPA, China, Korea, India,
AANZ).
b) Fasilitas Pembebasan dan Keringanan Bea Masuk.
c) Tarif umum Bea Masuk/Most Favourable Nations (MFN) cenderung menurunkan tarif efektif rata-
rata Bea Masuk.
d) Kebijakan non tarif yang berorientasi pada pengendalian barang impor dan penggunaan produksi
dalam negeri.
2) Sektor Cukai, yaitu antara lain:
a) Konsisten dengan Road Map Hasil Tembakau.
b) Larangan merokok di tempat umum.
3) Sektor Bea Keluar, yaitu antara lain:
a) Bea Keluar bukan merupakan instrumen penerimaan negara, karena tujuan penerapan Bea Keluar
adalah untuk mengantisipasi lonjakan harga yang tinggi, ketersediaan bahan baku dalam negeri,
kelestarian SDA, dan menjaga kestabilan harga komoditas dalam negeri (Pasal 2A UU Kepabeanan).
b) Harga internasional CPO cenderung fluktuatif, yang berpengaruh pada penerimaan Bea Keluar.
Total realisasi PNBP pada tahun 2011 berdasarkan MPN adalah sebesar Rp321,28 Triliun atau 112,09% dari
target PNBP dalam APBN-P sebesar Rp286,57 Triliun. Realisasi tersebut antara lain berasal dari:
1) Penerimaan Sumber Daya Alam sebesar Rp214,11 Triliun;
2) Penerimaan PNBP dari Bagian Pemerintah atas Laba BUMN yang sebesar Rp28,18 Triliun;
3) PNBP Lainnya sebesar Rp68,59 Triliun;
4) Pendapatan BLU sebesar Rp10,39 Triliun.
Visualisasi realisasi PNBP secara nasional dari 4 (empat) komponen tersebut tampak pada gambar 3.1.
Gambar 3.1
Realisasi PNBP Nasional
㌀─
㈀─
匀䐀䄀
䰀愀戀愀 䈀唀䴀一
倀一䈀倀 䰀愀椀渀渀礀愀
㤀─
䈀䰀唀
㘀㜀─
Capaian tahun 2011 mengalami peningkatan dari capaian tahun 2010 sebesar Rp51,91 Triliun atau 108,98%
dari target APBN-P 2010 yaitu sebesar Rp247,18 Triliun. Terlampauinya target PNBP yang ditetapkan dalam
APBN-P terutama disebabkan oleh realisasi harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price - ICP) yang
rata-ratanya mencapai U$D 109,94 per barrel. Hal ini berarti realisasi ICP tersebut jauh di atas asumsi ekonomi
makro dalam APBN yang ditetapkan sebesar U$D 95 per barrel.
Perkembangan realisasi PNBP dari tahun 2010 ke 2011 tersebut tampak pada tabel 3.6.
Tabel 3.6
Perkembangan Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penerimaan Migas
Tahun Anggaran 2011
(Miliar rupiah)
% Realisasi % Realisasi
Realisasi Buku Merah Buku Buku
MAP Keterangan APBN 2011 APBN-P 2011 APBN 2012
LKPP 2010 2)
Merah thd Merah thd
APBN APBN-P
I. Penerimaan Negara Bukan Pajak
268.941,86 250.906,99 286.567,32 321.804,29 127,97 122,04 277.991,38
(PNBP)
Penerimaan Sumber Daya Alam
421 A 168.825,44 163.119,23 191.976,02 214.026,24 131,21 111,49 177.263,35
(SDA)
1 SDA Migas 152.733,24 149.339,80 173.167,27 193.426,21 129,52 111,49 159.471,89
4211 a. Minyak Bumi 111.814,92 107.540,68 123.051,03 141.239,12 131,34 114,78 113.681,49
4212 b. Gas Alam 40.918,31 41.799,12 50.116,24 52.187,09 124,85 104,13 45.790,40
2 SDA Non Migas 16.092,20 13.779,43 18.808,75 20.600,03 149,50 109,52 17.791,46
4213 a. Pertambangan Umum 12.646,75 10.365,17 15.394,50 16.651,47 160,65 108,17 14.453,95
421211 - Iuran Tetap 160,83 168,48 273,16 287,33 170,55 105,19 158,90
421312 - Royalti 12.485,92 10.196,70 15.121,34 16.364,14 160,48 108,22 14.295,05
4214 b. Kehutanan 3.009,67 2.908,14 2.908,14 3.202,02 110,11 110,11 2.954,45
421411 - Dana Reboisasi 1.764,96 1.279,18 1.279,18 1.795,35 140,35 140,35 1.409,73
Provisi Sumber Daya
421421 - 797,33 1.359,05 1.359,05 855,04 62,91 62,91 1.304,89
Hutan (PSDH)
Pencapaian target PNBP pada tahun 2011 tersebut sekaligus memecahkan rekor pencapaian PNBP yang
sebelumnya dicetak pada tahun 2008 yakni Rp320,60 Triliun dengan ICP sebesar USD101,31 per barrel.
Perkembangan realisasi PNBP dan ICP dalam lima tahun terakhir tersaji dalam grafik 3.1 berikut.
Grafik 3.1
Perkembangan Realisasi PNBP dan ICP Tahun 2007 - 2011
㔀 㤀⸀㤀㐀
⸀㌀
㘀㤀⸀㘀㤀 㜀㠀⸀ 㜀
㔀㠀⸀㔀㔀
㔀
㈀ 㜀 ㈀ 㠀 ㈀ 㤀 ㈀ ㈀
刀倀 吀爀椀氀椀礀甀渀 唀匀䐀⼀戀愀爀爀攀氀
Di samping oleh variabel ekonomi makro, tercapainya target PNBP juga disebabkan oleh upaya ekstensifikasi
dan intensifikasi yang dilakukan. Ekstensifikasi PNBP dilakukan dengan mempercepat penyelesaian Rancangan
Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Tarif PNBP. Hal ini ditempuh dalam rangka menginventarisasi
berbagai jenis PNBP baru yang potensial untuk dipungut oleh Kementerian/Lembaga. Adapun intensifikasi
dilakukan antara lain dengan melakukan penagihan secara intensif atas piutang PNBP, terutama yang berasal
dari piutang migas. Strategi Pengelolaan PNBP dilakukan dengan melakukan revisi atas Undang-undang
Nomor 20 tahun 1997 tentang PNBP, melakukan evaluasi ijin penggunaan PNBP secara menyeluruh, dan
pembangunan aplikasi on-line billing system dalam rangka menatausahakan penyetoran PNBP.
Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 2 (dua) Indikator Kinerja
Utama (IKU) sebagai berikut:
Tabel 3.7
Realisasi penyerapan belanja negara dalam DIPA Kementerian/Lembaga Tahun 2011
(Triliun)
No Periode Pagu (Rp) Realisasi %
1. Triwulan I 433,24 47,29 10,93
2. Triwulan II 434,90 60,28 13,81
3. Triwulan III 438,72 100,25 22,85
4. Triwulan IV 472,13 414,35 87,76
Target tersebut tidak tercapai dikarenakan beberapa hal, antara lain terdapatnya pemblokiran dana
belanja modal dan belanja barang dalam DIPA Kementerian/Lembaga serta terlambatnya pengajuan
proses penyelesaian blokir dalam DIPA yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga.
Hal lain yang mengakibatkan tidak tercapainya target adalah lambatnya penyelesaian APBN-P sehingga
Kementerian/Lembaga tidak mempunyai waktu yang cukup untuk melaksanakan kegiatan yang dananya
tersedia dalam APBN-P. Selain itu beberapa Kementerian/Lembaga tidak dapat memenuhi persyaratan
yang diperlukan dalam memperoleh persetujuan Menteri Keuangan dan dokumen clearance (persetujuan
prinsip) dari Kementerian Pekerjaan Umum sebagai persyaratan pelaksanaan kontrak tahun jamak
(multiyears) dan nilainya di atas Rp10 Miliar. Lambatnya pertanggungjawaban satuan kerja terhadap
Uang Persediaan dan Tambahan Uang Persediaan pada seluruh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Perbendaharaan juga merupakan faktor yang menyebabkan realisasi penyerapan belanja negara dalam
DIPA tidak mencapai target yang ditetapkan.
2) Kurangnya koordinasi antara bagian perencanaan dengan bagian pelaksanaan anggaran pada
K/L.
3) Terlambatnya penunjukkan pengelola keuangan (KPA, PPK, Bendahara Pengeluaran) pada K/L.
4) Pengelola keuangan pada K/L kurang memahami sepenuhnya proses pengelolaan keuangan
(pencairan APBN).
Dalam rangka melakukan perbaikan atas penyerapan belanja negara dalam DIPA K/L, pada tahun 2012
direncanakan akan dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Percepatan penyelesaian peraturan mengenai ketentuan revisi DIPA,
2) Percepatan penerbitan peraturan tentang pembayaran dan pencairan dana,
3) Monitoring dan evaluasi penyerapan anggaran,
4) Perumusan langkah-langkah percepatan penyerapan anggaran.
Di sisi pelaksanaan anggaran belanja, Kementerian Keuangan telah menyelesaikan pembayaran subsidi
energi sesuai dengan kebutuhan. Berbeda dengan jenis belanja lain yang realisasinya tidak boleh melebih
pagu, anggaran untuk pembayaran subsidi energi lebih fleksibel. Artinya, sesuai dengan Undang-Undang
APBN-P 2011, belanja subsidi BBM, LPG tabung 3 kg, dan subsidi listrik tersebut dapat disesuaikan
dengan kebutuhan realisasi pada tahun anggaran berjalan untuk mengantisipasi deviasi realisasi asumsi
ekonomi makro dan perubahan parameter subsidi, berdasarkan kemampuan keuangan negara. Selama
tahun 2011, nilai subsidi energi yang berhasil dikucurkan adalah Rp255,61 Triliun. Angka tersebut berasal
dari pembayaran subsidi BBM dan LPG tabung 3 kg sebesar Rp165,16 Triliun (127,32% dari pagu APBN-P)
dan subsidi listrik Rp90,45 Triliun (137,95% dari pagu APBN-P).
Pada triwulan IV tahun 2011, realisasi capaian ketepatan pola penarikan dana DIPA K/L sebesar 96,17%
berdasarkan persentase realisasi triwulan IV tahun anggaran 2011 sebesar 85,51% dibanding dengan
realisasi triwulan IV periode tahun 2009-2010 sebesar 88,91% sehingga pada tahun 2011 realisasi capaian
IKU ini adalah 89,58% yang merupakan rata-rata realisasi triwulan II dan triwulan IV. Persentase ketepatan
pola penarikan dana DIPA K/L selain merupakan IKU baru di tahun 2011, IKU ini juga menggambarkan
tingkat kedisiplinan K/L dalam melakukan penarikan dana yang merupakan salah satu faktor strategis
dalam kaitannya dengan fungsi APBN sebagai penggerak pembangunan nasional, sehingga walaupun
sudah melampaui target, akan tetapi masih perlu dilakukan peningkatan.
3. Sasaran Strategis 3: Pembiayaan dalam jumlah yang cukup efisien dan aman bagi
kesinambungan fiskal (KK-3).
Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasi 3 (tiga) Indikator Kinerja
Utama (IKU) sebagai berikut:
KK 3. Pembiayaan dalam jumlah yang cukup efisien dan aman bagi kesinambungan fiskal
Indikator Kinerja Target Realisasi %
1. Persentase pemenuhan target pembiayaan melalui utang
100,00% 99,17% 118,34
yang cukup, efisien, dan aman
2. Persentase pencapaian target effective cost 100,00% 83,50% 116,50
3. Persentase pemenuhan struktur portofolio utang sesuai
100,00% 96,80% 113,60
dengan strategi
Sumber pembiayaan dari utang meliputi penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yaitu Surat Utang
Negara (SUN), Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), dan pengadaan Pinjaman Luar Negeri (Pinjaman
Program, Pinjaman Proyek), serta Pinjaman Dalam Negeri.
Debt refinancing terutama dilakukan melalui penerbitan utang baru dengan terms and conditions (biaya
dan tingkat risiko) yang lebih baik. Penerbitan SUN dan SBSN serta pengadaan pinjaman dilakukan di
pasar keuangan domestik maupun internasional dari investor individu dan institusi, kreditor multilateral,
kreditor bilateral, dan kreditor komersial. Penerbitan SUN dan SBSN harus didukung terutama oleh upaya
pengembangan pasar domestik SBN yang dalam (deep), likuid, dan aktif melalui diversifikasi instrumen
SBN, dan penggunaan metode penerbitan/penjualan SBN yang transparan dan efektif (private placement,
book building, dan lelang), serta pembangunan infrastruktur pasar sekunder (primary dealership,
pengembangan benchmark yield curve, dan mekanisme pembentukan harga yang efisien). Sedangkan
pengadaan pinjaman harus didukung oleh penerapan readiness criteria yang ketat dan aktivitas
monitoring dan evaluasi pinjaman proyek yang efektif.
Pembiayaan APBN melalui utang harus didukung dengan pengelolaan berbagai risiko (risiko mata uang,
risiko suku bunga, dan risiko refinancing) dengan upaya mitigasi risiko. Hal tersebut bisa dilakukan dengan
misalnya, debt securities buyback, loan prepayment, debt-switch/reprofiling, debt swap, restrukturisasi
pinjaman, dan hedging.
Persentase pemenuhan target pembiayaan melalui utang yang cukup, efisien, dan aman yang menjadi
IKU unit pengelola utang dihitung dari realisasi penerbitan SBN dan pengadaan pinjaman program.
Pemenuhan pembiayaan dari pinjaman yang digunakan sebagai komponen IKU hanya yang berasal dari
pinjaman program dan tidak termasuk pinjaman proyek karena sifat pinjaman program yang relatif sama
dengan SBN dalam hal pola penarikannya. Pinjaman proyek tidak dimasukkan ke dalam komponen IKU
karena penyerapan pinjaman proyek sangat dipengaruhi Kementerian/Lembaga sebagai Executing Agency.
Dalam memenuhi target pembiayaan melalui utang, realisasi penerbitan SBN/pengadaan pinjaman
program dilakukan dengan menggunakan konsep gross agar lebih mencerminkan upaya/kinerja
Pemerintah dalam memenuhi total kebutuhan pembiayaan APBN yang berasal dari utang.
Terdapat perubahan target pembiayaan melalui utang dari semula Rp220,46 Triliun (dalam strategi
pembiayaan tahunan melalui utang tahun 2011) menjadi Rp219,96 Triliun. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor sebagai berikut:
1) Perubahan strategi pembiayaan tahunan melalui utang pada bulan November 2011 yang
disebabkan terdapat perubahan pada APBN-P berupa penambahan target utang sebesar Rp9,92
Triliun (bruto).
2) Pengurangan target utang sebesar Rp10,42 Triliun dengan rincian sebagai berikut:
a) sesuai arahan Presiden untuk tidak meneruskan/membatalkan pinjaman program Climate
Change Program Loan sebesar Rp3,87 Triliun equivalen USD400 juta;
b) Penerbitan SBN sebesar Rp6,55 Triliun pada bulan Desember 2011 tidak dilaksanakan
(penghentian penerbitan SBN), karena proyeksi saldo kas Pemerintah s.d. akhir tahun 2011
dan awal Januari 2012 masih cukup besar untuk membiayai belanja Pemerintah.
Persentase pemenuhan target pembiayaan melalui utang yang cukup, efisien, dan aman ditargetkan
sebesar 100% (Rp219,96 Triliun) dengan realisasi sebesar 99,17% (Rp218,13 Triliun), yang terdiri dari:
1) Pinjaman Program.
Dalam rangka memenuhi pembiayaan APBN, pada tahun 2011 dilakukan perjanjian Pinjaman
Program dengan pemberi pinjaman multilateral dan bilateral yaitu World Bank, Asian Development
Bank dan JICA. Selama tahun 2011 telah ditandatangani tiga perjanjian Pinjaman Program (LGFGR,
PNPM Rural IV, dan DPL 8) dengan target penarikan (APBN-P 2011) sebesar USD2.141,9 juta (lihat
tabel 3.8). Realisasi penarikan Pinjaman Program tahun 2011 adalah sebesar USD1.511,16 juta
(sekitar Rp13.532,47 Miliar) atau 88,28% dari target sebesar USD1.741,9 (setelah disesuaikan dengan
adanya pembatalan pinjaman program CCPL sesuai dengan instruksi Presiden). Target Pinjaman
Program yang tidak direalisasikan adalah sebesar USD230,74 juta antara lain disebabkan karena
Withdrawal Application (WA) atas pinjaman dengan refinancing modality (PNPM dan BOSKITA)
yang masih diproses Lender dan belum di-reimburse sampai dengan akhir tahun 2011. Selain itu
terdapat sejumlah pinjaman program dengan refinancing modality yang belum diajukan WA-nya
oleh Executing Agency (PNPM Urban dan Rural).
Tabel 3.8
Sumber, Target, dan Realisasi Pinjaman Program Tahun 2011
(dalam USD)
2011
No. Lender Nama Program Realisasi s.d. 30
APBN-P (USD) %
Des. 2011
1 WB 1. Development Policy Loan (DPL) 8 200,000,000 400,000,000 200
2. Local Government Decentralization
14,200,000 15,105,732 106.38
Project (LGDP) - DAK Reimbursement
3. BOS-KITA Refinancing 2 328,700,000 215,208,529 65.47
4. PNPM Refinancing 499,000,000 380,613,015 76.28
5. Climate Change 2 200,000,000 0 0
Sub Total WB 1,241,900,000 1,010,927,276
2 ADB 1. Development Policy Support Program
200,000,000 200,000,000 100
(DPSP) 6
2. Low Carbon and Resilient Development
100,000,000 0 0
Program (LCRDP)
3. Local Government Finance Reform dan
200,000,000 200,000,000 100
Governance Reform (LGFGR) 2
Sub Total ADB 500,000,000 400,000,000
3 JICA 1. Infrastructure Reform Sector Development
100,000,000 100,229,661 100.23
Program 3
2. Climate Change Program Loan III 200,000,000 0 0
Sub Total JICA 300,000,000 100,229,661
4 France Climate Change Program Loan 3 100,000,000 0 0
Sub Total France 100,000,000 0
TOTAL 2,141,900,000 1,511,156,938 70.55
TOTAL setelah disesuaikan dengan Cancellation 1,741,900,000 1,511,156,938 88.28
Tabel 3.9
Target dan Realisasi SBN Tahun 2011
(dalam jutaan rupiah)
% realisasi
Target APBN Realisasi
(Target APBN)
SBN jatuh tempo 2011 81.025.976 81.025.976 100,00
SBN Netto (APBN) 126.653.900 119.864.829 94,64
Rencana Buyback 3.499.986 3.449.986 100,00
Kebutuhan Penerbitan 2011 211.179.862 204.598.910 96,88
Pencapaian indikator Persentase pemenuhan target pembiayaan melalui SUN yang cukup, efisien
dan aman didukung dengan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
(1) Penerbitan SUN dalam mata uang rupiah.
Tahun 2011, target penerbitan SUN dalam mata uang rupiah adalah sebesar Rp148,05 Triliun
(belum memperhitungkan rencana penerbitan Surat Perbendaharaan Negara-SPN 3 bulan)
sedangkan realisasinya sampai dengan 31 Desember 2011 adalah sebesar Rp149,85 Triliun
dengan jumlah penawaran yang masuk sebesar Rp405,7 Triliun. Jumlah penerbitan tersebut
terdiri dari:
(a) Penerbitan Obligasi Negara (ON) dalam denominasi Rupiah (tidak termasuk ORI)
sebesar Rp393,4 Triliun. Penerbitan Obligasi Negara secara reguler dilakukan dengan
cara lelang di pasar perdana. Pada setiap penerbitan, jumlah penawaran yang masuk
lebih besar dibandingkan dengan penawaran yang dimenangkan dengan bid to
cover ratio berkisar dari 1,02 kali sampai 56,63 kali. Hal ini mencerminkan permintaan
pasar atas SUN yang cukup baik meskipun fluktuatif, dan dalam setiap penerbitan
SUN, Pemerintah selalu memperhatikan cost and risk of borrowing (tidak serta merta
memenangkan seluruh bid yang masuk). Pada lelang SUN di pasar perdana tanggal
9 Agustus 2011, Pemerintah tidak memenangkan semua penawaran yang masuk,
dikarenakan beban yang harus ditanggung Pemerintah terlalu tinggi.
Selama tahun 2011, Pemerintah menerbitkan Obligasi Negara (ON) dengan jenis
Fixed Rate yang mempunyai struktur jatuh tempo berjangka pendek, menengah dan
panjang, yaitu antara tahun 2016 dan 2041. Penerbitan ON dalam denominasi Rupiah
mempertimbangkan berbagai aspek, antara lain: (i) struktur jatuh tempo utang yang
sudah ada, (ii) pengembangan pasar sekunder SUN, (iii) usulan seri SUN yang akan
menjadi seri benchmark pada tahun 2012, dan (iv) analisis cost and risk.
(b) Penerbitan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) selama tahun 2011 adalah sebesar
Rp40 Triliun. Selama tahun 2011, Pemerintah melakukan lelang penerbitan SPN
bersamaan dengan penerbitan ON secara reguler sebanyak 22 kali dari target sebanyak
23 frekuensi dengan menerbitkan seri-seri baru sekaligus juga reopening atas seri SPN
tersebut. Pada tahun 2011 ini Pemerintah untuk pertama kalinya melakukan lelang
penerbitan SPN tenor 3 bulan.
(c) Penjualan Obligasi Negara Ritel (ORI) tahun 2011 yaitu seri ORI008 sebesar Rp11
Triliun. Penjualan ORI dalam tahun 2011 ditargetkan sebanyak 1 frekuensi dengan
target awal nominal penerbitan sebesar Rp7 Triliun.
Penjualan ORI merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah untuk
memperluas basis investor SUN, karena penjualan ORI ditujukan untuk investor
individu/perorangan dan berstatus sebagai Warga Negara Indonesia. ORI008
diterbitkan pada tanggal 26 Oktober 2011 dengan nilai nominal Rp11 Triliun dan
kupon sebesar 7,3% per tahun yang dibayar secara bulanan. ORI008 memiliki tenor
selama 3 tahun dengan jatuh tempo pada tanggal 15 Oktober 2014. Penerbitan ORI
ini dilaksanakan dengan cara bookbuilding melalui Agen Penjual.
Dalam rangka mendukung program pelestarian lingkungan hidup, pada penerbitan
ORI008 mengangkat tema ”ORI008 Investasi Hijau Untuk Negeri”, dimana beberapa
Agen Penjual akan mendonasikan sebagian keuntungan penjualan ORI008 untuk
mendukung program pelestarian lingkungan hidup.
Penerbitan SUN dalam denominasi US Dollar melalui program GMTN terlaksana pada bulan April 2011
dan setelmen pada bulan Mei 2011, dengan nominal penerbitan sebesar USD 2,5 Miliar. Sebagaimana
penerbitan sebelumnya, penerbitan pada tahun 2011 ini juga mendapatkan sambutan yang baik di pasar
internasional. Total volume pemesanan yang masuk mencapai USD6,9 Miliar, dimana ± USD3,3 Miliar
dari wilayah Amerika Serikat, ± USD1,5 Miliar dari wilayah Eropa dan ± USD2 Miliar dari wilayah Asia.
Hasil penerbitan Global Bonds ini menunjukkan kepercayaan yang tinggi dari para investor internasional
terhadap manajemen fiskal dan prospek ekonomi Indonesia jangka panjang.
Pada penerbitan SUN dalam denominasi US Dollar tahun 2011, Pemerintah terlebih dahulu melakukan
upsizing GMTN Program dari yang semula USD4 Miliar menjadi USD9 Miliar. Upsizing dilakukan
mengingat terhadap jumlah program awal sebesar USD4 Miliar, Pemerintah telah menerbitkan SUN
valas dengan program GMTN sebesar USD3 Miliar pada tahun 2009, sehingga tersisa USD1 Miliar.
Untuk mengakomodasi penerbitan SUN valas tahun 2010 dan tahun-tahun selanjutnya, perlu dilakukan
upsizing GMTN Program, dalam hal ini upsizing dilakukan hingga keseluruhan program menjadi sebesar
USD9 Miliar (naik USD5 Miliar).
Pada tahun 2011, Pemerintah membatalkan penerbitan SUN dalam denominasi Yen atau lebih dikenal
dengan nama Samurai Bonds/Shibosai. Hal ini dikarenakan kurang kondusifnya Jepang setelah bencana
gempa bumi dan tsunami.
b) Penerbitan SBSN.
Target penerbitan SBSN sesuai dengan strategi utang tahunan tahun 2011 sebesar Rp33,071
Triliun, sedangkan realisasi penerbitan SBSN sampai dengan akhir tahun 2011 sebesar Rp33,306
Triliun atau mencapai 100,71%. Kelebihan realisasi penerbitan SBSN sebesar Rp235 Miliar
disebabkan oleh perbedaan kurs pada saat penerbitan SBSN dalam valuta asing. Adapun rincian
realisasi penerbitan SBSN tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Penerbitan SBSN dalam mata uang rupiah sebesar Rp24,271 Triliun yang terdiri atas:
(a) Penerbitan SBSN melalui metode lelang di pasar perdana dalam negeri.
Realisasi penerbitan SBSN seri IFR dengan metode lelang di pasar perdana dalam
negeri yang dilakukan secara reguler selama tahun 2011 sebesar Rp4,61 Triliun
dengan frekuensi pelaksanaan lelang sebanyak 8 kali. Jumlah penawaran pembelian
yang disampaikan oleh investor melalui lelang SBSN tahun 2011 cukup besar, yaitu
mencapai Rp33,706 Triliun dengan rata-rata mencapai 480,31% di atas target indikatif
setiap penerbitan. Jumlah penawaran yang masuk lebih besar dibandingkan dengan
penawaran yang dimenangkan dengan bid to cover ratio berkisar antara 1,25 kali sampai
15,82 kali, di samping terdapat 4 (empat) seri yang tidak diambil oleh Pemerintah. Hal
ini mencerminkan permintaan pasar atas SBSN yang cukup baik meskipun fluktuatif,
dan dalam setiap penerbitan SBSN, Pemerintah selalu memperhatikan cost and risk of
borrowing, sehingga tidak selalu memenangkan seluruh bid yang masuk.
Sebagian besar penawaran pembelian disampaikan oleh Bank dan Dana Pensiun,
masing-masing mencapai 58,62% dan 15,88%. Sementara itu, penawaran pembelian
oleh investor syariah masih relatif terbatas, yaitu hanya mencapai 2,88%.
Meskipun belum merefleksikan harga wajar, penawaran yield yang disampaikan
oleh investor semakin rasional, cenderung menurun mendekati owner estimate yang
ditetapkan Pemerintah, yaitu dari rata-rata 49,91 basis points di atas yield SUN seri
benchmark pada tahun 2010, menjadi rata-rata 45,71 basis points di atas yield SUN seri
benchmark pada tahun 2011.
(b) Penerbitan SBSN melalui metode Private Placement.
Penerbitan SBSN melalui metode Private Placement selama tahun 2011 dilakukan
dengan seri Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI) yang merupakan bentuk kerjasama
antara Kementerian Keuangan Republik Indonesia dengan Kementerian Agama
Republik Indonesia. Realisasi penerbitan SBSN seri SDHI selama tahun 2011 sebesar
Rp11 Triliun dengan frekuensi penerbitan sebanyak 3 kali.
Penerbitan SBSN seri SDHI tersebut menggunakan akad Ijarah Al-Khadamat, dengan
tingkat imbal hasil tetap yang mempunyai struktur jatuh tempo berjangka pendek
dan jangka menengah. Penerbitan SDHI dimaksud merupakan tindak lanjut dari nota
kesepahaman yang dilakukan pada tahun 2009 antara Menteri Keuangan dengan
Menteri Agama mengenai sinergi kebijakan pengelolaan SBSN oleh Kementerian
Keuangan dan pengelolaan dana haji dan dana abadi umat oleh Kementerian Agama.
Sampai dengan saat ini, total penerbitan SDHI mencapai Rp26,469 Triliun. Namun
sudah terbit 3 (tiga) seri SDHI yang jatuh tempo pada tahun 2010 dengan nilai nominal
mencapai Rp2,686 Triliun. Dengan demikian total outstanding SDHI per akhir tahun
2011 mencapai Rp23,783 Triliun (lihat grafik 3.2).
Grafik 3.2
Perkembangan Penerbitan SDHI Tahun 2009 - 2011
㈀
㈀ ㈀㜀㠀㌀
㈀ 㤀 ㈀㘀㠀㘀
䨀甀洀氀愀栀 一漀洀椀渀愀氀
(c) Penerbitan SBSN/Sukuk Negara Ritel melalui metode bookbuilding di pasar perdana
dalam negeri.
Sukuk Negara Ritel ini adalah salah satu jenis Sukuk Negara yang didesain khusus untuk
investor individu Warga Negara Indonesia di pasar perdana. Sampai dengan tahun
2011, Pemerintah telah melakukan penerbitan Sukuk Negara Ritel sebanyak tiga kali,
yaitu Sukuk Negara Ritel seri SR-001 dan SR-002 yang diterbitkan masing-masing pada
tahun 2009 dan 2010, serta SR-003 pada tahun 2011. Realisasi penjualan Sukuk Negara
Ritel seri SR003 di pasar perdana dalam negeri melalui metode bookbuilding pada
tahun 2011 sebesar Rp7,341 Triliun.
Adapun manfaat dari penerbitan Sukuk Ritel ini, selain untuk pemenuhan kebutuhan
pembiayaan APBN, juga antara lain sebagai berikut:
(i) Diversifikasi sumber pembiayaan APBN.
(ii) Memperluas basis investor Surat Berharga Negara di pasar domestik.
(iii) Memberikan alternatif instrumen ritel yang berbasis syariah bagi investor.
(iv) Mendukung pengembangan pasar keuangan syariah.
(v) Memberikan kesempatan kepada investor kecil untuk berinvestasi dalam
instrumen pasar modal yang amanah dan menguntungkan.
(vi) Memperkuat pasar modal Indonesia dengan mendorong transformasi dari
savings-oriented society menjadi investment-oriented society.
Dari pengalaman penerbitan dan penjualan Sukuk Negara Ritel tersebut, terlihat bahwa
Sukuk Negara Ritel sangat diminati oleh masyarakat khususnya investor individu yang
tercermin dari:
(i) Permintaan tambahan kuota penjualan hampir dari seluruh Agen Penjual
pada setiap kali penerbitan Sukuk Negara Ritel, sehingga terdapat pemesanan
pembelian dari beberapa Agen Penjual yang tidak disetujui oleh Pemerintah
karena jumlah pemesanan telah melampaui kuota penjualan.
(ii) Total pemesanan pembelian pada setiap kali penerbitan Sukuk Negara Ritel
jauh lebih tinggi dibandingkan indikasi awal dari seluruh Agen Penjual, masing-
masing mencapai SR-001 = 213,9%, SR-002 = 184,69% dan SR-003 = 103,84%.
(iii) Besarnya jumlah investor yang menyampaikan pemesanan pembelian Sukuk
Ritel masing-masing 14.295 investor pada penerbitan SR-001 meningkat menjadi
17.231 investor pada penerbitan SR-002, serta 15.487 investor pada SR-003.
Tabel 3.10
Perbandingan Distribusi Investor Sukuk Ritel Berdasarkan Wilayah
Volume Pembelian (%) Jumlah Investor (%)
No Deskripsi
SR-001 SR-002 sR-003 SR-001 SR-002 SR-003
1 DKI 53,41 52,32 55,4 41,53 41,58 41,17
2 Indonesia Barat Selain DKI 42,84 44,19 40,33 51,65 52,41 52,32
Tabel 3.11
Perbandingan Distribusi Investor Sukuk Ritel Berdasarkan Profesi
Volume Pembelian (%) Jumlah Investor (%)
No Deskripsi
SR-001 SR-002 SR-003 SR-001 SR-002 SR-003
1 PNS 24,61 11,81 12,77 11,33 22,06 22,94
2 Pegawai Swasta 21,54 34,07 31,05 39,02 23,79 23,74
3 Ibu Rumah Tangga 17,01 15,46 15,24 10,91 19,89 18,38
4 Wiraswasta 13,88 23,69 22,91 16,93 19,00 19,09
5 TNI/Polri 0,42 0,22 0,33 0,28 0,46 0,41
6 Lainnya 22,54 14,76 17,70 21,53 14,8 15,44
Total 100 100 100 100 100 100
(d) Penerbitan Surat Perbendaharaan Negara – Syariah (SPN-S) melalui metode lelang.
Pada tahun 2011 dilakukan penerbitan instrumen SBSN baru berupa Surat
Perbendaharaan Negara – Syariah (SPN-S) tenor 6 (enam) bulan yang dilaksanakan
dengan metode lelang. Instrumen SBSN baru tersebut selain berfungsi sebagai
instrumen dalam rangka pengelolaan cash mismatch, juga dapat digunakan untuk
mendukung pelaksanaan operasi moneter oleh Bank Indonesia (market-based monetary
policy).
Meskipun IKU ini berhasil dicapai, ada beberapa tantangan dalam pemenuhan pembiayaan melalui
utang yaitu sebagai berikut:
1) Pembiayaan melalui utang khususnya SBN perlu memperhatikan keseimbangan antara
realisasi penyerapan/belanja pada APBN dan kondisi saldo kas pemerintah dengan keteraturan
penerbitan SBN di pasar keuangan.
2) Proyeksi realisasi defisit APBN tidak dapat diketahui secara akurat lebih awal sehingga berdampak
pada operasi penerbitan dan buyback SBN.
3) Potensi daya serap pasar SBN domestik relatif masih terbatas, yang disebabkan antara lain
tingginya tingkat imbal hasil/return yang diharapkan oleh institusi keuangan domestik, termasuk
masih rendahnya partisipasi investor terhadap instrumen yang berbasis syariah.
4) Risiko nilai tukar cukup tinggi mengingat penerbitan SBN valas masih diperlukan akibat pasar
SBN domestik yang masih terbatas, serta untuk menghindari crowding out effect.
5) Tingginya kepemilikan asing pada portofolio SBN mengakibatkan terjadinya peningkatan
volatilitas pasar SBN domestik sehingga menghambat upaya Pemerintah untuk menyediakan
pembiayaan APBN melalui penerbitan SBN dengan tingkat biaya yang wajar.
6) Terbatasnya dana yang tersedia untuk melakukan upaya stabilisasi pasar SBN saat terjadi krisis.
7) Terbatasnya sumber pembiayaan dalam bentuk pinjaman lunak seiring dengan membaiknya
kondisi perekonomian Indonesia yang ditunjukkan oleh meningkatnya GDP per Kapita.
Langkah-langkah yang diambil dalam rangka menghadapi tantangan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Meningkatkan koordinasi antara Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan.
2) Meningkatkan akurasi proyeksi kas pemerintah oleh tim Cash Planning Information Network (CPIN).
3) Bekerjasama dengan lembaga terkait (antara lain SRO, Bank Indonesia, Kementerian Keuangan)
dalam mengupayakan pengembangan pasar SBN domestik antara lain melalui deregulasi aturan
terkait investasi oleh lembaga keuangan domestik, memperluas basis investor SBN domestik, dan
mengembangkan instrumen SBN.
4) Mengembangkan strategi pengelolaan risiko nilai tukar melalui instrumen derivatif (hedging) dan
penerapan konsep asset liability management antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia
(natural hedging).
5) Meningkatkan koordinasi dengan lembaga keuangan baik domestik maupun internasional dalam
rangka mendapatkan sumber pembiayaan utang alternatif.
6) Mempersiapkan infrastruktur dalam rangka menjaga stabilitas pasar SBN dari potensi sudden
reversal, melalui penyiapan bond stabilization fund dan mengefektifkan pelaksanaan transaksi
langsung SBN dalam kerangka CMP (Crisis Management Protocol).
7) Mengoptimalkan penggunaan pinjaman secara efektif yang didukung pemanfaatan pemberi
pinjaman sesuai dengan expertise dan spesialisasinya. Dengan fokus kegiatan yang sesuai dengan
spesialisasinya, pemberi pinjaman menurunkan kebutuhan untuk tambahan biaya pendampingan
dan supervisi kegiatan yang pada akhirnya akan ditransmisikan ke biaya pinjaman. Selain itu,
pemberi pinjaman juga dapat dipastikan telah memiliki pengalaman untuk mengerjakan sebuah
kegiatan tertentu sehingga kemampuan menganalisa pada saat perencanaan lebih terjamin
kualitasnya dan kemungkinan gagal dalam pelaksanaan relatif kecil. Dua hal ini akan mengurangi
beban biaya baik bagi pemberi pinjaman (overhead cost) maupun bagi Pemerintah (cost of capital).
8) Mengingat pasar SBSN domestik baru mulai terbentuk dan masih dalam tahap pengembangan,
maka secara konsisten akan terus melakukan berbagai aktivitas meliputi, Penyempurnaan
mekanisme penerbitan SBSN, Penguatan infrastruktur dalam rangka peningkatan kinerja pasar
sekunder SBSN dan transparansi harga SBSN.
9) Menjamin ketersediaan Underlying Asset sesuai dengan jumlah kebutuhan penerbitan, dengan
terus melakukan kajian diversifikasi Aset SBSN dan mengembangkan instrumen SBSN baru
menggunakan underlying selain Barang Milik Negara seperti proyek-proyek pada APBN.
Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang lebih rendah dari target (minimize), dimana capaian
yang makin rendah dari target adalah capaian yang diharapkan.
Pada tahun 2011, pencapaian target effective cost ditargetkan sebesar 100% dengan realisasi sebesar
83,50%. Adapun rincian pencapaian effective cost berdasarkan mata uang sampai dengan kuartal lV
tahun 2011 tampak pada tabel 3.12 sebagai berikut:
Tabel 3.12
Rincian Pencapaian Effective Cost Berdasarkan Mata Uang Tahun 2011
Jenis mata uang Target Realisasi %
Rupiah (IDR) 9,27 7,48 80,68
Dolar Amerika (USD) 6,13 4,82 79,18
Yen Jepang (JPY) 3,21 2,91 90,65
Keberhasilan penurunan biaya utang (target effective cost) disebabkan oleh beberapa faktor sebagai
berikut:
1) Pemilihan instrumen pembiayaan melalui SBN yang tepat dengan adanya kombinasi penerbitan
SPN yang memiliki biaya yang rendah serta kombinasi pengelolaan risiko yang optimal melalui
penerbitan SBN jangka panjang.
2) Strategi komunikasi yang efektif dengan pelaku pasar saat lelang SBN dan kreditor dalam
melakukan negosiasi sehingga mendapatkan biaya pinjaman yang lebih rendah.
3) Kondisi fundamental Ekonomi Indonesia yang baik, yang ditunjukkan dengan tingkat pertumbuhan
ekonomi yang diperkirakan mencapai 6,5%, tingkat inflasi yang berada pada tingkat 3,79% (yang
kedua terendah dalam dekade terakhir), serta penurunan BI rate sebesar 75 basis points menjadi
6% dalam 3 bulan terakhir di tahun 2011. Kondisi tersebut mendorong turunnya tingkat bunga
dan menambah kepercayaan dari investor domestik dan asing.
4) Likuiditas Pasar SBN yang meningkat di Pasar Perdana (lelang) maupun Pasar Sekunder mendorong
turunnya yield penerbitan SBN. Meningkatnya likuiditas disebabkan semakin tingginya appetite
investor asing masuk ke pasar SBN Domestik dan pertumbuhan investor domestik yang semakin
tinggi. Tingginya capital inflow mendorong turunnya yield SBN domestik dan kepemilikan asing
pun meningkat dari Rp196,76T (30,53%) di awal Desember 2011 menjadi Rp222,86T (30,8%) pada
akhir Desember 2011.
Meskipun IKU ini berhasil dicapai, ada dua tantangan yang dihadapi dalam mencapai target effective cost
tersebut, yaitu:
1) Kondisi pasar keuangan yang fluktuatif yang berpotensi dapat meningkatkan yield SBN, sehingga
biaya utang yang ditanggung pemerintah bisa meningkat.
2) Tingginya biaya utang melalui pinjaman komersial yang disebabkan adanya tambahan biaya-
biaya terkait penarikan utang.
Upaya yang dilakukan dalam menghadapi tantangan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Memperhatikan kondisi pasar keuangan untuk menentukan waktu penerbitan SBN yang optimal
sehingga dapat menurunkan yield penerbitan SBN.
2) Meningkatkan usaha negosiasi terms and conditions pinjaman untuk menekan/mengurangi biaya-
biaya terkait penarikan pinjaman komersial.
Dengan demikian, target pencapaian indikator persentase pencapaian target effective cost pada tahun
2011 dapat tercapai dengan baik.
Pada tahun 2011, persentase pemenuhan struktur portofolio utang sesuai dengan strategi pada tahun
2011 direncanakan sebesar 100%, dengan realisasi sebesar 96,80%. Realisasi tersebut disebabkan karena
pengelolaan portofolio utang telah mengikuti strategi pengelolaan utang, dengan perincian seperti
terlihat pada tabel 3.13.
Tabel 3.13
Realisasi Pangsa Portofolio Utang Tahun 2011
Realisasi pangsa portofolio Target Realisasi %
Utang valas 45,90 45,43 117,96
Utang VR 18,62 17,23 105,06
STD 7,20 6,97 113,62
Struktur portofolio utang relatif mendekati target strategi, dimana pencapaian struktur tersebut dilakukan
melalui penerbitan/pengadaan utang baru serta transaksi pasar sekunder seperti buyback & debt switch.
Secara keseluruhan risiko utang yang dicapai lebih rendah dari yang ditargetkan tanpa meningkatkan
biaya utang secara signifikan. Keberhasilan indikator ini didukung dengan kegiatan:
1) Restrukturisasi utang melalui pembelian kembali sebelum jatuh tempo (buyback); dan
2) Pengurangan utang melalui skema debt switching.
Tantangan yang dihadapi dalam rangka pencapaian target indikator persentase pemenuhan struktur
portofolio utang sesuai dengan strategi antara lain:
1) Penerbitan SPN meskipun menguntungkan sehingga membuat target sasaran strategis dapat
tercapai, tetapi karena besarnya jumlah utang yang jatuh tempo dalam jangka pendek yang
disebabkan penerbitan SPN 3 bulan untuk acuan bunga obligasi variable rate, hal ini ternyata
menyebabkan risiko refinancing.
2) Melemahnya rupiah terhadap USD pada akhir tahun yang disebabkan krisis keuangan di Eropa.
Dengan demikian, target pencapaian persentase pemenuhan struktur portofolio utang hampir sesuai
dengan strategi pada tahun 2011 yaitu 96,80%. Jika pola penarikan dana Kementerian/Lembaga sudah
lebih baik, diharapkan tantangan yang dihadapi sebagaimana disebutkan sebelumnya tidak menjadi
sulit untuk di atasi.
Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 1 (satu) Indikator Kinerja
Utama (IKU), yaitu:
Utilisasi kekayaan negara adalah optimalisasi pendayagunaan kekayaan negara melalui pemanfaatan,
penetapan status penggunaan, tukar-menukar dan penyertaan modal pemerintah. Nilai kekayaan negara
yang diutilisasi diperoleh dari nilai aset yang ditetapkan utilisasinya melalui:
a. pemanfaatan kekayaan negara melalui sewa, kerja sama pemanfaatan, bangun serah guna, bangun
guna serah, dan pinjam pakai;
Utilisasi kekayaan negara merupakan bagian dari siklus pengelolaan BMN yang meliputi perencanaan,
penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pemeliharaan, penilaian, penghapusan,
pemindahtanganan, penatausahaan dan pengawasan/pengendalian. Pada dasarnya semua barang yang
telah dibeli atau diperoleh secara sah wajib untuk ditetapkan status penggunaannya dan digunakan untuk
menyelenggarakan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga. Setelah ditetapkan statusnya, BMN tersebut
dapat digunakan, dimanfaatkan, dipindahtangankan atau dihapuskan sesuai prosedur yang telah ditetapkan.
Tujuan dari pelaksanaan utilisasi kekayaan negara adalah untuk mengetahui optimalisasi pengelolaan
kekayaan negara dalam rangka pengelolaan APBN yang efisien, efektif dan optimal melalui:
a. penghematan anggaran untuk belanja modal dan anggaran untuk pemeliharaan aset melalui
pemanfaatan aset.
b. peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) melalui optimalisasi aset negara.
c. peningkatan pembiayaan dalam negeri melalui instrumen Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
dengan aset negara sebagai underlying assets.
Kekayaan negara yang dapat diutilisasi meliputi BMN, aset eks kelolaan PT. PPA, aset eks BPPN, aset eks KKKS
dan aset eks Pertamina. Salah satu persyaratan agar suatu aset dapat diutilisasi adalah aset tersebut berstatus
free and clear, dalam arti memiliki dokumen kepemilikan, tidak dalam sengketa, dan tidak dikuasai pihak lain.
Dengan demikian proses utilisasi kekayaan negara perlu didukung dengan kesadaran K/L untuk mengelola
kekayaan negara sesuai ketentuan dengan prinsip 3 T (tertib hukum, tertib administasi dan tertib fisik).
Meskipun demikian, dalam proses penyelesaian permohonan utilisasi kekayaan negara tersebut ditemukan
masih adanya BMN yang belum berstatus free and clear, hal tersebut secara otomatis menghambat proses
penetapan utilisasi kekayaan negara. Untuk itu diperlukan kerjasama dari pihak-pihak terkait seperti Badan
Pertanahan Nasional (BPN), Pengadilan, dan Kementerian/Lembaga lainnya untuk menyelesaikan aset-aset
yang bermasalah tersebut.
Dari hasil pelaksanaan penertiban BMN, upaya jemput bola untuk menggali potensi utilisasi kekayaan negara
dan penyelesaian permohonan pengelolaan kekayaan negara, diperoleh nilai kekayaan negara yang diutilisasi
tahun 2011 sebesar Rp102,45 Triliun atau sebesar 100,05% dari target tahun 2011 sebesar Rp102,39 Triliun,
yang menunjukkan trend yang meningkat dari tahun-tahun sebelumnya (lihat grafik 3.3). Target dapat
tercapai karena:
a. Dari hasil pelaksanaan penggalian potensi utilisasi dan penyelesaian permohonan utlisasi kekayaan
negara, terdapat penetapan utilisasi kekayaan negara dengan nilai yang cukup signifikan.
b. Adanya dukungan pencapaian utilisasi kekayaan negara dari hasil pelaksanaan penertiban BMN dan
upaya tindak lanjut hasil penertiban BMN yang telah dilakukan oleh K/L dengan berpedoman pada
KMK nomor 271/KMK.06/2011.
Grafik 3.3
Utilisasi Kekayaan Negara
㈀⸀㐀㔀
㈀
㈀⸀㌀㤀
㔀㈀⸀㘀㠀
㈀
㌀⸀㌀㐀
⸀㈀
㈀ 㤀
㈀ 㐀 㘀 㠀 ㈀
Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 2 (dua) Indikator Kinerja
Utama (IKU) sebagai berikut:
Pelaksanaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah selama tahun anggaran 2011 dilakukan berdasarkan
PMK No. 126/PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah.
Secara singkat mekanisme penyaluran dana diuraikan dalam tabel 3.14.
Tabel 3.14
Mekanisme Pola Penyaluran Anggaran Transfer ke Daerah
No Uraian Transfer Pola Penyaluran
1. a. Dana Bagi Hasil Pajak
1) DBH PBB
a) DBH PBB Bagian Pusat (10%) Tahap I : 25%; Tahap II : 50%; Tahap III : selisih alokasi
definitif dengan yang telah disalurkan
b) DBH PBB Bagian Daerah (81%) Setiap minggu yaitu sebesar 81% (64,8 % untuk Kabupaten/
Kota; 16,2% untuk Provinsi) dari realisasi penerimaan
secara mingguan
c) DBH Biaya Pemungutan PBB Bagian Setiap minggu, yaitu sebesar 9 % dari realisasi penerimaan
Daerah (9%) secara mingguan
2) DBH PPh
a) DBH PPh Pasal 21 Triwulan I : 20%; Triwulan II : 20%; Triwulan III : 20%; Triwulan
IV : selisih definitif dengan yang telah disalurkan
b) DBH PPh Pasal 25/29 Triwulan I : 20%; Triwulan II : 20%; Triwulan III : 20%; Triwulan
IV : selisih definitif dengan yang telah disalurkan
b. DBH Cukai Hasil Tembakau Triwulan I : 15%; Triwulan II : 15%; Triwulan III dan Triwulan
IV : selisih alokasi definitif dengan yang telah disalurkan
2. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam
a. Minyak dan Gas Bumi Migas dan Pabum Triwulan I : 20%; Triwulan II :
20%Perikanan dan Kehutanan Tw I : 15 %; Tw II : 15 %
b. Pertambangan Umum
Pertambangan Umum Tw I : 20% ; Tw II : 15%
c. Kehutanan Triwulan III &IV : selisih masing-masing dengan realisasi
d. Perikanan penyaluran triwulan-triwulan sebelumnya.
e. Panas Bumi
f. Alokasi kurang bayar DBH SDA Diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan
Pertambangan MIGAS TA 2008 yang berlaku
3. Dana Alokasi Umum Tiap bulan sebesar 1/12 dari alokasi
4. Dana Alokasi Khusus
Perkembangan alokasi Dana Transfer ke Daerah selama lima tahun terakhir telah mencapai sasaran
sesuai Renstra tahun 2010-2014 dan mengalami kemajuan yang signifikan (lihat tabel 3.15). Perumusan
kebijakan, perhitungan, penetapan alokasi, dan penyaluran telah dilaksanakan dengan baik. Norma
dan standarisasi kebijakan telah diselaraskan dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, Peraturan
Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005, Undang-undang APBN Tahun 2011 dan Undang-undang APBN-P Tahun
2011, serta Kesepakatan Panitia Anggaran DPR-RI dengan Pemerintah sebagai bagian tak terpisahkan
dari Undang-undang APBN. Perhitungan dan pengalokasian diberlakukan secara keseluruhan daerah
berdasarkan perhitungan tertentu. DBH dengan persentase tertentu, DAU dengan formula, DAK dengan
kriteria, Dana Otsus dan Penyesuiaan berdasarkan undang-undang terkait. Di sisi lain, perkembangan
jumlah daerah penerima Dana Transfer ke Daerah dari tahun 2006 sebanyak 467 menjadi 524 pada tahun
2011, atau meningkat 58 daerah selama 6 tahun, sebagaimana pada tabel 3.15.
Sebagaimana tampak pada tabel 3.14, penyaluran dana ke daerah meliputi 5 (lima) komponen. Uraian
tentang kelima komponen tersebut tampak berikut ini.
1) Dana Bagi Hasil.
DBH telah mencapai sasaran sesuai dengan Renstra tahun 2010-2014 dan dalam pelaksanaannya
mengacu pada kebijakan yang ditetapkan dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 yang mengatur
bagian Pemerintah Pusat dan bagian Pemerintah Daerah dengan persentase tertentu dari
realisasi penyetoran ke kas negara dari Penerimaan Negara Pajak (PNP) dan Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP). Jenis DBH dalam undang-undang tersebut sebanyak 8 (delapan) jenis yang
dalam tahun 2005 s/d 2008 telah dilaksanakan 7 jenis sedangkan satu jenis DBH, yaitu Panas
Bumi dilaksanakan mulai tahun 2009. Untuk pertama kalinya DBH Panas Bumi pada tahun 2009
dibagikan kepada daerah di wilayah Provinsi Jawa Barat, yaitu DBH dari PNBP tahun 2006 s/d 2009.
Adapun perkembangan alokasi DBH SDA dan Pajak selama kurun waktu 2006-2011 sebagaimana
tabel 3.16.
Tabel 3.16
Perkembangan Alokasi DBH per Komponen Tahun 2006 s/d 2011
(Triliun rupiah)
No Komponen 2006 2007 2008 2009 2010 2011
A Pajak
1 PBB 18,73 21,79 22,37 22,8 27,12 27,59
2 BPHTB 3,08 4,29 7,35 7,65 7,69 -
3 PPh 6,07 7,94 9,98 10,09 10,93 13,16
4 Cukai HT 0,2 0,96 1,2 1,35
Sub jumlah (A) 27,88 34,02 39,9 41,5 46,94 42,10
% kenaikan 19,30% 22,02% 17,28% 4,01% 13.11% -
B Sumber Daya Alam
1 Pertambangan Umum 2,39 2,85 4,24 6,98 7,79 15,14
2 Kehutanan 1,16 1,52 1,71 1,51 1,75 1,75
3 Minyak & Gas 27,13 24,46 23,44 17,6 35,196 37,306
4 Perikanan 0,33 0,20 0,16 0,12 0,12 0,12
5 Panas Bumi - - - 0,26 0,305 0,351
Sub jumlah (B) 31,01 29,03 29,55 26,82 45,165 54,673
% kenaikan 167,56% -6,39% 1,79% - 68,4% 21,05%
C Total (A+B) 58,89 63,05 69,45 68,32 92.1 96,77
% Kenaikan 68,45% 7,06% 10,15% - 34,81% 4,98%
Catatan :
Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 35 UU No 33 Tahun 2004, DBH SDA Migas dibagikan
kepada daerah dengan porsi 15,5% dari PNBP Minyak Bumi dan 30,5% dari PNBP Gas Bumi.
Porsi tambahan 0,5% tersebut sebagai specific grant yang harus dimanfaatkan untuk menambah
anggaran pendidikan dasar di daerah dengan pembagian untuk provinsi/daerah penghasil/daerah
lainnya masing-masing sebesar 0,1%, 0,2% dan 0,2%. Perkembangan alokasi DBH Pajak dan DBH
SDA tampak pada tabel 3.13.
Mengingat ketentuan mengenai perhitungan DBH dan penetapan alokasinya kepada daerah telah
diatur secara jelas dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005,
maka kebijakan pengalokasian dari tahun ke tahun adalah menyempurnakan proses perhitungan,
penetapan alokasi dan ketepatan waktu penyaluran melalui peningkatan koordinasi dengan
institusi pengelola PNBP seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Kementerian ESDM, Kementerian Dalam Negeri, dan unit-unit eselon I di lingkungan Kementerian
Keuangan (DJA, DJP, dan DJPB) dalam rangka menyediaan data yang lebih akurat. Koordinasi
tersebut dilakukan melalui:
a) Konsultasi regional untuk semua komponen DBH-SDA yang dihadiri pengelola DBH-SDA
Kementerian/Lembaga dengan daerah penghasil dengan tujuan antara lain agar daerah
turut berperan dalam optimalisasi penyetoran PNBP dan menghimpun data setoran supaya
daerah dapat berperan aktif dalam acara rekonsiliasi PPNBP/DBH, agar setoran PNBP per
daerah dapat dibagikan secara optimal.
b) Rekonsiliasi data PNBP dan perhitungan DBH yang dilakukan bersama institusi pengelola
PNBP/DBH SDA dengan daerah penghasil dalam rangka transparansi dan akuntabilitas
penyaluran DBH SDA.
c) Rapat kerja antara unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mengelola
penerimaan pajak dan cukai hasil tembakau dengan daerah penghasil.
Sementara itu pola penyaluran DBH SDA berdasarkan pola penggabungan antara penetapan
persentase dengan realisasi penyetoran PNBP dilakukan melalui rekonsiliasi.
Realisasi DBH Pajak yang terdiri DBH PPh, DBH PBB, dan DBH BPHTB mencapai Rp42.758.153.326.139,-
atau 103,65% dari pagu alokasi Rp41.250.847.859.373,- sedangkan Realisasi DBH CHT pada tahun 2011
mencapai Rp1.415.973.003.052,- atau 99,47% dari alokasi DBH CHT sebesar Rp1.408.448.764.184,-.
Rincian atas realisasi DBH Pajak tersebut adalah sebagaimana tampak pada tabel 3.17.
Realisasi untuk semua jenis DBH SDA baik DBH SDA Migas, Pertambangan Umum, Kehutanan,
Perikanan, maupun Panas Bumi mencapai 100% atau sama dengan pagu alokasi sebesar
Rp53.974.986.297.954,-, rincian selengkapnya tampak pada tabel 3.18.
Tabel 3.18
Penyaluran DBH SDA Tahun 2011
Jenis dana Pagu Realisasi %
DBH Migas 37.306.330.494.277 37.306.330.494.277 100,00 %
DBH Pertambangan Umum 14.498.126.522.475 14.498.126.522.475 100,00 %
DBH Kehutanan 1.512.465.063.891 1.512.465.063.891 100,00 %
DBH Perikanan 138.077.102.117 138.077.102.117 100,00 %
DBH Panas Bumi 519.987.115.194 519.987.115.194 100,00 %
Total 53.974.986.297.954 53.974.986.297.954 100,00 %
Tabel 3.19
Perpres Alokasi DAU dan Permenkeu Dana Penyeimbang Yang Diterbitkan
Tahun Anggaran 2006 – 2011
Alokasi Peraturan Menteri Keuangan
Perpres (Miliar Rp) Jumlah Daerah
Tahun (Miliar Rp)
145.664,20 300.65 33 Provinsi
2006
Perpres 74 Tahun 2005 PMK No. 123 Tahun 2005 434 Kab/Kota
164.787,40 842,91 33 Provinsi
2007
Perpres 104 Tahun 2006 PMK No. 129 Tahun 2006 434 Kab/Kota
179.507,14 242,84 33 Provinsi
2008
Perpres 110 Tahun 2007 PMK No. 172 Tahun 2007 451 Kab/Kota
186.414,1 - 33 Provinsi
2009
Perpres 74 Tahun 2008 - 477 Kab/Kota
192.490,34 187,35 33 Provinsi
2010
Perpres 53 Tahun 2009 PMK No. 225 Tahun 2009 477 Kab/Kota
225.532,83 0,89 33 Provinsi
2011
Perpres Nomor 6 Tahun 2011 PMK No.73 Tahun 2011 491 Kab/Kota
273.814,4 - 33 Provinsi
2012
Perpres Nomor 96 Tahun 2011 491 Kab/Kota
Tahun anggaran 2011 Total alokasi DAU adalah sebesar Rp225.533.712.048.000, yang
terdiri dari DAU (murni) sebesar Rp225.532.824.825.000,- dan koreksi posistif DAU sebesar
Rp887.223.000,-. Dari alokasi pagu tersebut telah diterbitkan sebanyak SPM dengan nilai sebesar
Rp225.533.712.048.000,- atau 100%, dan DAU Murni juga telah disalurkan seluruhnya atau 100%
dan koreksi positif DAU juga telah disalurkan sebesar 100% (lihat tabel 3.20).
Tabel 3.20
Penyaluran DAU Tahun 2011
Jenis dana Pagu Realisasi %
DAU Propinsi (murni) 2,255,328,248,250 2,255,328,248,250 100,00%
DAU Kabupaten/Kota (murni) 223,277,496,576,750 223,277,496,576,750 100,00%
Koreksi positif DAU 887,223,000 887,223,000 100,00%
Total 225,533,712,048,000 225,533,712,048,000 100.00%
Tabel 3.21
Perkembangan Jumlah bidang-bidang DAK 2008 s.d 2012
2008 2009 2010 2011 2012
APBN LKPP APBN APBN-P LKPP APBN APBN-P LKPP APBN APBN-P RAPBN APBN
A. Dana Alokasi Khusus
21.202,1 20.787,3 24.819,6 24.819,6 24.707,4 21.133,3 21.133,3 20.956,3 25.232,8 25.232,8 26.115,90 26.115,90
(DAK)
1 Pendidikan 7.015,4 - 9.334,9 9.334,9 - 9.334,9 9.334,9 10.041,3 10.041,3 10.041,30 10.041,30
2 Kesehatan 3.817,40 - 4.017,40 4.017,40 - 2.829,80 2.829,80 3.000,80 3.000,80 3.005,90 3.005,90
3 Jalan 4.044,70 - 4.500,90 4.500,90 - 2.810,20 2.810,20 3.900,00 3.900,00 4.012,80 4.012,80
4 Irigasi 1.497,20 - 1.549,00 1.549,00 - 968,40 968,40 1.311,80 1.311,80 1.348,50 1.348,50
Air Minum dan Sanitasi 1.142,30 - 1.142,30 1.142,30 - - *) - - - -
5 Air Minum - - - - - 357,20 357,20 419,60 419,60 502,50 502,50
6 Sanitasi - - - - - 357,20 357,20 419,60 419,60 463,70 463,70
7 Prasarana Pemerintahan 362,00 - 562,00 562,00 - 386,30 386,30 400,00 400,00 444,50 444,50
8 Kelautan dan Perikanan 1.100,40 - 1.100,40 1.100,40 - 1.207,80 1.207,80 1.500,00 1.500,00 1.547,10 1.547,10
9 Pertanian 1.492,20 - 1.492,20 1.492,20 - 1.543,60 1.543,60 1.806,10 1.806,10 1.879,60 1.879,60
10 Lingkungan Hidup 351,60 - 351,60 351,60 - 351,60 351,60 400,00 400,00 479,70 479,70
11 Kehutanan 100,00 - 100,00 100,00 - 250,00 250,00 400,00 400,00 489,80 489,80
12 Keluarga Berencana 279,00 - 329,00 329,00 - 329,00 329,00 368,10 368,10 392,30 392,30
13 Sarana dan Prasarana
- - 190,00 190,00 - 300,00 300,00 315,50 315,50 345,10 345,10
Pedesaan
14 Perdagangan - - 150,00 150,00 - 107,30 107,30 300,00 300,00 356,90 356,90
15 Listrik Pedesaan - 150,00 150,00 190,60 190,60
16 Perumahan dan
- 150,00 150,00 191,20 191,20
Permukiman
17 Keselamatan
- 100,00 100,00 131,60 131,60
Transportasi Darat
18 Tranportasi Pedesaan - 100,00 100,00 171,40 171,40
19 Sarana dan Prasarana
- 150,00 150,00 121,40 121,40
Kawasan Perbatasan
B. Koreksi Alokasi Kabupaten
- - 50 - 0,00 0,00 0,00
Indramayu
Total 21.202,2 20.787,3 24.819,7 24.819,7 24.707,4 21.133,3 21.138,3 20.956,3 25.232,80 25.232,80 26.115,90 26.115,90
Sejak tahun 2006 pola perhitungan DAK per daerah dilakukan dengan menggunakan Kriteria
Umum, Kriteria Khusus, dan Kriteria Teknis yang dari tahun ke tahun diupayakan untuk
disempurnakan dalam rangka memperbaiki aspek keadilan pengalokasian sesuai dengan kondisi
daerah. Kriteria Umum mencerminkan kondisi keuangan daerah, kriteria khusus menggambarkan
kondisi kekhususan wilayah yang diasumsikan menjadi beban daerah dalam pengelolaan wilayah,
dan kriteria teknis menunjukkan kondisi sarana prasarana dasar di daerah.
Dari tahun 2006 s.d 2008 perhitungan DAK per daerah lebih banyak ditentukan oleh Kriteria Umum
dan Kriteria Khusus. Kriteria Teknis lebih banyak digunakan untuk mengukur alokasi bagi daerah-
daerah yang dinyatakan layak mendapatkan DAK berdasarkan Kriteria Umum dan Kriteria Khusus.
Perkembangan pola perhitungan terjadi pada DAK Tahun 2011, dengan menggunakan secara
bersama-sama ketiga kriteria tersebut, baik dalam menentukan kelayakan daerah penerima DAK,
maupun besaran alokasinya. Pola ini memungkinkan daerah yang tidak layak dari kriteria umum
dan kriteria khusus mendapatkan DAK sepanjang indeks teknisnya cukup tinggi untuk dapat
menjadi layak mendapatkan DAK pada bidang tertentu.
Selanjutnya pencapaian yang cukup penting dari pengelolaan DAK adalah sebagai berikut
a) Menggunakan kebijakan penyaluran DAK Tahap I untuk mendorong percepatan
penyelesaian Perda tentang APBD. Strategi tersebut dituangkan dalam ketentuan bahwa
bagi daerah yang belum menyampaikan Perda APBD kepada Kementerian Keuangan
maka DAK Tahap I sebesar 30% belum dapat disalurkan.
b) Menggunakan kebijakan laporan penyerapan DAK untuk mendorong percepatan
penyerapan dan pelaksanaan kegiatan fisik DAK. Bagi daerah yang cepat menyerap DAK
Tahap I dengan menyampaikan laporan penyerapan hingga 90% maka Tahap II sebesar
45% akan disalurkan, demikian seterusnya sampai tahap akhir pernyaluran, yaitu sebesar
25% pada Tahap III.
c) Menggunakan kebijakan laporan pelaksanaan DAK dalam satu tahun (tahunan) untuk
mendorong kelengkapan sistem informasi keuangan daerah (SIKD) di Kementerian
Keuangan dari mulai alokasi, penyaluran, sampai realisasi penyerapan DAK per bidang.
Alokasi DAK untuk tahun anggaran 2011 adalah sebesar Rp25.232.800.900.000,- yang terdiri atas
DAK Murni sebesar Rp25.232.800.000.000,- dan Koreksi positif DAK sebesar Rp900.000,-.
Total alokasi DAK ini jika dibandingkan dengan alokasi tahun 2010 sebesar Rp21.138.385.200.000,-
berarti mengalami kenaikan sebesar Rp 4.094.415.700.000,- atau naik sebesar 19,40% persen dari
tahun anggaran sebelumnya. Penyaluran DAK dilakukan dalam 3 (tiga) tahap yaitu masing-masing
sebesar 30%, 45% dan 25%. Dari alokasi pagu tersebut telah diterbitkan SPM dengan nilai sebesar
Rp24.803.509.925.000,- atau 98,30% (lihat tabel 3.22).
Tabel 3.22
Penyaluran DAK Tahun 2011
Tahap Pagu Realisasi (RP) % Jml daerah
DAK I (30%) 7.569.840.270.000 7.569.840.270.000 100,00% 520
DAK II (45%) 11.354.760.405.000 11.354.760.405.000 100,00% 520
DAK III (25%) 6.308.200.000.000 5.878.909.925.000 93,19% 486
Total 25.232.800.900.000 24.803.509.925.000 98,30%
Dalam rangka percepatan penyerapan alokasi DAK oleh daerah-daerah penerima DAK, dilakukan
upaya inisiatif strategis antara lain dengan menerbitkan Perubahan atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 160/PMK.07/2011 tentang Pelaksanaan Penyaluran Dana Alokasi Khusus
Bidang Pendidikan Tahun 2011. PMK ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian kepada
daerah bahwa dana DAK Pendidikan yang telah dialokasikan akan tersalur lebih cepat dengan
mempertimbangkan kinerja laporan realisasi penyerapan DAK dari bidang-bidang lainnya.
Tabel 3.23
Penyaluran Dana Otsus dan Penyesuaian
Jenis Dana Pagu Realisasi %
Dana Otonomi Khusus u/ PAPUA 3.157.459.547.550 3.157.459.547.550 100,00%
Dana Otonomi Khusus u/ PAPUA BARAT 1.353.196.948.950 1.353.196.948.950 100,00%
Dana Otonomi Khusus u/ NAD 4.510.656.496.500 4.510.656.496.500 100,00%
Dana Otonomi Khusus T. Infras u/ Papua 800.000.000.000 800.000.000.000 100,00%
Transfer Dana Tamb. Infras. Papua Barat 600.000.000.000 600.000.000.000 100,00%
Tunjangan Profesi Guru 18.537.689.880.200 18.537.689.880.200 100,00%
Bantuan Operasional Sekolah 16.329.888.218.250 16.329.888.218.250 100,00%
Tambahan Penghasilan Guru PNSD 3.696.177.700.000 3.681.410.389.000 99,60%
Dana Insentif Daerah 1.387.800.000.000 1.387.800.000.000 100,00%
Dana Penyesuaian Insentif Daerah 7.700.800.000.000 7.535.043.988.000 97,85%
Kurang Bayar Sarpras Infra.Papua Barat 78.907.877.152 78.907.877.152 100,00%
Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur
6.313.000.000.000 6.158.606.372.500 97,55%
Daerah (DPPID)
Total 64.465.576.668.602 64.130.329.118.822 99,48%
Berdasarkan tabel 3.23 serta uraian tersebut tampak bahwa realisasi pencapaian sasaran
berdasarkan IKU sebesar 100,18% terhadap pagu alokasi dalam Peraturan Presiden untuk alokasi
DAU dan Peraturan Menteri Keuangan untuk DBH, DAK, Dana Otsus, dan Dana Penyesuaian.
Realisasi Transfer ke Daerah dapat dilihat pada tabel 3.24. Tabel 3.24 menjelaskan mengenai
capaian masing-masing jenis anggaran untuk seluruh transfer daerah.
Tabel 3.24
Realisasi Transfer ke Daerah s.d. 31 Desember 2011
Realisasi Penyaluran s.d. % thd
No Jenis Anggaran Alokasi Perpres/PMK
31 Desember 2011 Alokasi
1 Dana Bagi Hasil (DBH) 95.225.834.157.327 96.733.139.624.093 101,58%
a. DBH Pajak 41.250.847.859.373 42.758.153.326.139 103,65%
b. DBH Cukai Hasil Tembakau 1.415.973.003.052 1.408.448.764.184 99,47%
c. DBH SDA 53.974.986.297.954 53.974.986.297.954 100,00%
2 Dana Alokasi Umum (DAU) 225,533,712,048,000 225,533,712,048,000 100,00%
3 Dana Alokasi Khusus (DAK) 25.232.800.900.000 25.232.800.900.000 100,00%
4 Dana Otonomi Khusus 10.421.312.993.000 10.421.312.993.000 100,00%
5 Dana Penyesuaian 54.044.263.675.602 53.709.016.125.822 99,38%
Total 345.727.873.133.763 344.655.564.618.315 100,18%
Tabel 3.25
Jumlah Perda yang dievaluasi tahun 2009–2011
Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011
Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi
1.600 1.984 545 545 1000 1.531
Pada tahun 2011 penetapan target IKU Persentase evaluasi Perda sesuai peraturan perundangan sebesar
70% dengan dasar bahwa sebelum diterapkannya UU No. 28 Tahun 2009 (masih menggunakan Undang-
undang No. 34 Tahun 2000) terdapat 33% Perda yang direkomendasikan oleh Menteri Keuangan untuk
dibatalkan/direvisi kepada Menteri Dalam Negeri sehingga target IKU persentase perda PDRD sesuai
dengan UU No. 28 Tahun 2009 pada tahun 2011 ditetapkan sebesar 70%. Dengan memperhatikan
perkembangan setiap triwulan, Perda PDRD yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau
sesuai hasil evaluasi Raperda PDRD mengalami kecenderungan meningkat. Jumlah Perda PDRD yang
sudah dievaluasi pada tahun 2011 sebanyak 1.531 Perda. Dari evaluasi yang dilakukan, Perda yang sesuai
peraturan perundangan sebanyak 1.501 atau 98,04% sedangkan Perda PDRD yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan sebesar 1,96% atau sebanyak 30 Perda.
Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 2 (dua) Indikator Kinerja
Utama (IKU), yaitu:
Sesuai UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, LK KL disampaikan oleh Menteri/
Pimpinan Lembaga kepada Menteri Keuangan paling lambat 2 (dua) bulan setelah berakhirnya
tahun anggaran yang bersangkutan (akhir bulan Februari). Setelah itu tahap berikutnya adalah
pengkonsolidasian seluruh data dari LK KL dan LK BUN menjadi LKPP yang terdiri dari Laporan Realisasi
Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan.
Pada semester I tahun 2011, IKU ini telah terealisasi melebihi target yang ditentukan yaitu jumlah
Kementerian/Lembaga yang mendapatkan opini WTP sebanyak 53, WDP sebanyak 28, disclaimer
sebanyak 2 Kementerian/Lembaga dan Index=83,75 yang menunjukkan peningkatan. Indeks tersebut
diperhitungkan dari nilai Index WTP sebesar 100 dan WDP sebesar 50. Rincian opini BPK atas Laporan
Keuangan Kementerian Lembaga dapat ditabulasikan menjadi sebagaimana tampak pada tabel 3.26.
Tabel 3.26
Hasil Opini BPK terhadap LK K/L dan LK BUN 2011
No Opini KL BUN Jumlah Index
1. WTP 50 3 53
83,75
2. WDP 24 4 28
3. Disclaimer 2 - 2
Jumlah KL dan BUN 76 7 83
Meskipun capaian target tersebut melebihi 100%, masih terdapat 3 (tiga) Kementerian/Lembaga yang
opini BPK menurun dari WTP ke WDP, dan 1 (satu) Kementerian/Lembaga yang menurun dari WDP ke
disclaimer.
Dalam rangka perbaikan di tahun 2012, langkah-langkah yang akan diambil adalah peningkatan kualitas
penyusunan LKPP terutama pada 4 (empat) Kementerian/Lembaga yang mengalami penurunan opini
BPK tersebut, dan melakukan koordinasi serta konsolidasi pengelolaan pertanggungjawaban dan
pelaporan keuangan.
Tabel 3.27
Daftar Opini BPK atas LK Kementerian/Lembaga
Opini LK 2010 Opini LK
Kode Nama Laporan Keuangan Opini LK 2008
target realisasi 2009
Kementerian Keuangan WDP WDP WDP WDP
BA 15
BUN WDP WDP N/A N/A
Pembiayaan Biaya Pinjaman dan
BA 999.01 WTP WTP WTP WTP
Bunga serta Cicilan Pokok Utang
BA 999.02 Penerimaan Hibah WDP WDP WDP TMP
BA 999.03 Penanaman Modal Negara WTP WTP-DPP WTP WTP
BA 999.04 Penerusan Pinjaman WDP WDP TMP TMP
WDP untuk Dana
Perimbangan dan
BA 999.05 Transfer Dana Daerah WTP-DPP WTP-DPP WTP-DPP
WTP untuk Otonomi
Khusus
TMP untuk Belanja
Belanja Subsidi dan Belanja Lain- Lain-Lain;
BA 999.06* N/A N/A WDP
Lain WTP-DPP untuk
Belanja Subsidi
BA 999.07 Belanja Subsidi WTP-DPP WDP N/A N/A
BA 999.08 Belanja Lain-Lain WDP WDP N/A N/A
Sesuai dengan pembobotan yang dilakukan untuk LK TA 2010 (50% untuk BA 15 dan 50%
untuk LK BUN dan BA 999), maka didapatkan indeks dengan skor 3,19.
* Untuk LK BA 999.06 pada TA 2010 dipecah menjadi BA 999.07 dan BA.999.08
Realisasi IKU indeks opini BPK di atas tidak mencapai target disebabkan opini BPK atas Laporan Keuangan
Belanja Subsidi (BA 999.07) adalah WDP, sedangkan targetnya adalah WTP-DPP. Target tidak tercapai
disebabkan adanya kebijakan pemerintah dengan persetujuan DPR dalam Undang-Undang APBN/
APBNP Tahun Anggaran 2010 berupa pengakuan belanja subsidi PPN DTP sejumlah Rp11,28 Triliun yang
tidak diakui oleh BPK, bukan karena kualitas Laporan Keuangan.
Jika dilihat dari opini BPK atas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999 sejak tahun 2008, tampak bahwa secara
umum telah terjadi peningkatan opini BPK yang cukup signifikan atas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999
tersebut. Untuk Tahun Anggaran 2010, keseluruhan LK BA 15, LK BUN, dan LK 999 telah dilakukan audit
oleh BPK dengan opini minimal Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Kegiatan monitoring, reviu, kajian,
dan pendampingan audit BPK atas LK BA 15, LK BUN, dan LK 999 oleh Itjen selaku Aparat Pengawas Intern
Pemerintah (APIP) di lingkungan Kementerian Keuangan, ikut mendorong peningkatan kualitas Laporan
Keuangan sebagaimana tergambar dalam peningkatan opini BPK-RI tersebut.
Untuk Laporan Keuangan Kementerian Keuangan (BA 15), reviu dilakukan mulai Tahun Anggaran 2008
yang dilaksanakan secara paralel dengan pelaksanaan anggaran dan penyusunan Laporan Keuangan
Kementerian/Lembaga. Peningkatan kualitas LK BA 15 antara lain dikarenakan perubahan pendekatan
reviu dari hanya menunggu LK Kementerian di akhir tahun menjadi pengawalan atau pendampingan
proses LK dari tahap penyusunan sampai dengan pemeriksaan oleh BPK RI.
Kegiatan monitoring, reviu, kajian, pembahasan, dan pendampingan audit BPK atas LK BA 15, LK BUN,
dan LK BA 999 ini masih akan terus dilanjutkan dalam rangka perbaikan dan peningkatan kualitas laporan
keuangan sebagai salah satu instrumen perwujudan public trust dalam pengelolaan Keuangan Negara
yang akuntabel. Adapun, rencana untuk meningkatkan kualitas LK BA 15 telah dibahas dalam rapat teknis
dan telah dituangkan dalam matriks rencana kegiatan pemantauan tindak lanjut temuan BPK RI atas LK
BA 15. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mencapai opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK
atas LK BA 15 dalam rangka memenuhi kontrak kinerja Menteri Keuangan kepada Presiden RI.
7. Sasaran Strategis 7: Industri pasar modal dan jasa keuangan non bank yang stabil,
tahan uji dan likuid (KK-7).
Industri pasar modal dan jasa keuangan nonbank yang stabil, tahan uji, dan likuid adalah industri pasar modal
dan jasa keuangan nonbank yang mampu menjaga kestabilan pertumbuhan industrinya terhadap fluktuasi
perkembangan ekonomi serta mampu menghasilkan keuntungan/manfaat tertentu dengan biaya minimal.
Untuk mewujudkan kebijakan dimaksud, strategi yang ditetapkan adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan kualitas pelaku industri.
b. Meningkatkan basis investor domestik.
c. Meningkatkan kemampuan industri dalam mengelola risiko.
d. Mendorong peningkatan kualitas tata kelola perusahaan yang baik.
e. Meningkatkan kapasitas pengawasan terhadap pelaku industri.
Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 5 (lima) Indikator Kinerja
Utama (IKU), yaitu:
KK 7. Industri pasar modal dan jasa keuangan non bank yang stabil, tahan uji dan likuid
Indikator Kinerja Target Realisasi %
1. Perusahaan efek yang memenuhi persyaratan minimum Modal Kerja Bersih 90,00% 99,79% 110,88
Disesuaikan (MKBD)
2. Persentase nilai transaksi perusahaan efek yang tidak memenuhi 10,00% 0,03% 120,00
persyaratan minimum MKBD yang berpotensi mengganggu perdagangan
saham di Bursa
3. Perusahaan asuransi dan reasuransi yang memenuhi persyaratan minimum 93,00% 95,93% 103,15
RBC (Risk Based Capital)
4. Tingkat Penetrasi Asuransi 1,80% 1,80% 100,00
5. Perusahaan Pembiayaan yang Memenuhi Rasio Permodalan 95,00% 96,52% 101,60
Selain itu, nilai MKBD tersebut juga dilaporkan setiap hari kerja. Di samping itu, untuk menghitung
capaian indikatir sasaran tersebut di atas, nilai MKBD juga diukur dalam periode triwulanan sebagaimana
tampak pada tabel 3.28.
Tabel 3.28
Jumlah Perusahaan Efek yang Memenuhi MKBD Tahun 2011
Kuartal I Kuartal II Kuartal III Kuartal IV
Jumlah Perusahaan Efek 115 115 117 117
Perusahaan Efek Yang Memenuhi MKBD 115 115 117 116
Realisasi 100% 100% 100% 99,15%
Rata-rata Capaian 99,79%
Pada tahun 2011, Kementerian Keuangan telah menetapkan target untuk jumlah perusahaan efek
yang memenuhi MKBD adalah sebesar 90%. Berdasarkan capaian kinerja untuk indikator sasaran
dari triwulan 1 s.d triwulan 4 pada tabel di atas, target 90% tersebut telah terpenuhi walaupun pada
triwulan 4, dari 117 Perusahaan Efek Anggota Bursa terdapat 1 (satu) perusahaan yang tidak memenuhi
ketentuan kecukupan MKBD. Meskipun demikian, penurunan capaian pada akhir triwulan 4 tersebut
tidak mempengaruhi penurunan capaian secara signifikan, dan pada akhir tahun 2011 indikator ini
memperoleh nilai capaian sebesar 111%.
Pencapaian IKU ini menggambarkan hasil kerja keras Kementerian Keuangan dalam mensosialisasikan
investasi di pasar modal dan edukasi kepada calon investor yang mencakup ketentuan mengenai
pemenuhan MKBD oleh Perusahaan Efek.
b. Persentase nilai transaksi perusahaan efek yang tidak memenuhi persyaratan minimum MKBD yang
berpotensi mengganggu perdagangan saham di Bursa (KK-7.2).
Sepanjang triwulan I sampai dengan triwulan III tahun 2011, tidak terdapat nilai transaksi Perusahaan
Efek yang tidak memenuhi persyaratan minimum MKBD yang berpotensi mengganggu perdagangan
saham di Bursa. Namun demikian, pada triwulan IV terdapat transaksi perusahaan efek yang tidak
memenuhi MKBD dan berpotensi mengganggu perdagangan Bursa dengan nilai sebesar Rp4,7 Miliar
atau sebesar 0,13% dari total nilai transaksi Bursa yang mencapai Rp3.614 Miliar. Hal ini karena terdapat
1 (satu) perusahaan efek anggota bursa yang tidak memenuhi MKBD.
Namun demikian, nilai capaian indikator ini pada akhir triwulan 4 tahun 2011 yaitu sebesar 0,03%.
Dengan mempertimbangkan target nilai transaksi perusahaan efek yang tidak memenuhi persyaratan
minimum MKBD yang berpotensi mengganggu perdagangan saham di Bursa sebesar 10%, maka dapat
disimpulkan bahwa untuk tahun 2011 pencapaiannya telah melampaui target, dengan nilai pencapaian
sebesar 120%.
Pencapaian IKU ini juga menggambarkan hasil kerja keras Kementerian Keuangan dalam
mensosialisasikan investasi di pasar modal dan edukasi kepada calon investor yang mencakup ketentuan
mengenai pemenuhan MKBD oleh perusahaan efek.
c. Perusahaan asuransi dan reasuransi yang memenuhi persyaratan minimum RBC (Risk Based Capital)
(KK-7.3).
Berdasarkan ketentuan Pasal 43 ayat (2) huruf c KMK No.424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, persyaratan minimum RBC (Risk Based Capital)
perusahaan asuransi dan reasuransi ditetapkan sebesar 120% dari batas tingkat solvabilitas minimum
yaitu sebesar jumlah dana yang dibutuhkan untuk menutup risiko kerugian yang mungkin timbul
sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban. Jumlah perusahaan asuransi
dan perusahaan reasuransi yang memenuhi persyaratan minimum RBC selama tahun 2011 tampak pada
tabel 3.29.
Tabel 3.29
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
yang Memenuhi Persyaratan Minimum RBC Tahun 2011
Kuartal I Kuartal II Kuartal III Kuartal IV
Jumlah Perusahaan Perasuransian 137 136 134 134
Perusahaan yang memenuhi persyaratan minimum 130 132 127 128
RBC
Rasio 94,89% 97,06% 94,78% 95,52%
Rata-rata sampai dengan triwulan IV 2011 95,93%
Pada tahun 2011, Kementerian Keuangan telah menetapkan target untuk jumlah perusahaan
perasuransian yang memenuhi persyaratan minimum RBC di tahun 2011 adalah sebesar 93%, sehingga
dapat disimpulkan bahwa untuk tahun 2011 pencapaiannya telah melampaui target, dengan nilai
pencapaian sebesar 103%.
Tabel 3.30
Tingkat Penetrasi Asuransi Per Kuartal
IV-2010 I-2011 II-2011 III-2011 IV-2011
Premi Bruto
26,96 32,62 30,29 31,12 31,64
(dalam Triliun rupiah)
GDP
1.654,50 1.549,23 1.732,30 1.811,10 1.923,60
(dalam Triliun rupiah)
Rasio
1,63 % 2,11% 1,75% 1,72% 1,64%
(Premi Bruto/GDP)
Rata-rata sampai dengan
1,80%
triwulan IV 2011
Target tingkat penetrasi asuransi di tahun 2011 adalah sebesar 1,8%. Dengan mempertimbangkan
pencapaian pada akhir triwulan 4 tersebut maka dapat disimpulkan bahwa untuk tahun 2011
pencapaiannya telah melampaui target, dengan nilai pencapaian sebesar 101%.
Adapun penyempurnaan yang dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/
PMK.010/2010 adalah:
a) Menambah frekuensi pemeriksaan terhadap perusahaan asuransi dari sekurang-kurangnya
sekali dalam lima tahun menjadi sekali dalam setahun. Terhadap pemeriksaan terhadap
perusahaan penunjang usaha perasuransian ditambah dari sekurang-kurangnya sekali dalam
lima tahun menjadi sekurang-kurangnya sekali dalam tiga tahun.
b) Menambah jenis pemeriksaan, yaitu pemeriksaan di Kementerian Keuangan untuk
melengkapi jenis pemeriksaan yang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya, yaitu hanya
pemeriksaan di kantor perusahaan.
c) Menyempurnakan tujuan pemeriksaan menjadi:
i. Memperoleh keyakinan mengenai kondisi perusahaan perasuransian yang sebenarnya.
ii. Meneliti kesesuaian kondisi perusahaan perasuransian dengan peraturan perundang-
undangan serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha perasuransian
yang sehat.
iii. Memastikan bahwa perusahaan perasuransian telah menerapkan manajemen risiko
dengan baik yang meliputi risiko tata kelola dan kepengurusan, risiko strategi dan
perencanaan, risiko kepatuhan, risiko operasional, risiko asuransi, risiko likuiditas, risiko
pasar dan investasi, serta risiko modal.
iv. Memastikan bahwa perusahaan perasuransian telah melakukan upaya untuk dapat
memenuhi kewajiban kepada tertanggung atau pemegang polis.
Tabel 3.31
Perusahaan Pembiayaan
yang Memenuhi Rasio Permodalan
I-2011 II-2011 III-2011 IV-2011
Jumlah Perusahaan Pembiayaan 192 194 195 195
Perusahaan yang memenuhi rasio permodalan 186 187 186 190
Rasio 96,88% 96,39% 95,38% 97,44%
Rata-rata sampai dengan triwulan IV 2011 96,52%
Pencapaian IKU ini tidak terlepas dari ketegasan dalam menetapkan sanksi kepada perusahaan
pembiayaan yang belum memenuhi ketentuan permodalan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Adapun indikator yang
digunakan dalam menilai kepatuhan perusahaan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 adalah sebagai berikut:
1) Perusahaan pembiayaan wajib memiliki piutang pembiayaan sekurang-kurangnya sebesar 40%
dari total Aktiva.
2) Bagi pemegang saham yang berbentuk badan hukum, jumlah penyertaan modal pada perusahaan
pembiayaan ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 50% dari modal sendiri.
3) Jumlah pinjaman bagi setiap perusahaan pembiayaan dibandingkan jumlah modal sendiri
(networth) dan pinjaman subordinasi dikurangi penyertaan (gearing ratio) ditetapkan setinggi-
tingginya sebesar 10 kali.
4) Pinjaman subordinasi yang dapat diperhitungkan dalam perhitungan gearing ratio sebanyak-
banyaknya sebesar 50 % (lima puluh per seratus) dari modal disetor.
Pemeriksaan secara langsung dilakukan terhadap Perusahaan Pembiayaan yang melanggar ketentuan
rasio permodalan. Sebagai tindak lanjut atas pemeriksaan yang telah dilakukan selama tahun 2011,
telah diberikan sanksi berupa Surat Peringatan Pertama sampai dengan Ketiga, Pembekuan Kegiatan
Usaha, dan/atau Pencabutan Izin Usaha.
8. Sasaran Strategis 8 adalah Tingkat Kepuasan pengguna layanan yang tinggi (KK-8).
Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 1 (satu) Indikator Kinerja
Utama (IKU), yaitu:
Kepuasan stakeholder merupakan salah satu indikator dari kinerja pelayanan dan pencapaian program
peningkatan kinerja Kementerian Keuangan. Kepuasan masyarakat terhadap layanan yang diberikan
merupakan suatu keadaan dimana keinginan, harapan, dan keperluan pengguna jasa dapat dipenuhi dengan
baik. Suatu pelayanan dinilai memuaskan apabila dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pengguna jasa.
Dengan diketahuinya tingkat kepuasan stakeholder, maka hal tersebut dapat dijadikan umpan balik (feedback)
bagi unit-unit layanan dalam lingkup Kementerian Keuangan dalam rangka perbaikan pelayanan secara terus-
menerus ke arah yang lebih baik (continuous improvement) jika hal tersebut masih di bawah target, atau untuk
tetap menjaga kualitas pelayanan jika hal tersebut telah memenuhi target, atau bahkan untuk meningkatkan
target di masa-masa yang akan datang.
Meskipun IKU untuk sasaran strategis ini hanya satu, karena Kementerian Keuangan memiliki 12 (dua belas)
unit eselon I maka pada dasarnya IKU ini merupakan rata-rata dari capaian 12 (dua belas) unit eselon I di
lingkungan Kementerian Keuangan, dan Indeks Kepuasan Pengguna Layanan diukur melalui survei opini
stakeholder terhadap layanan unggulan pada dua belas (12) unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan
tersebut yang dilakukan oleh peneliti independen. Pada tahun 2007 hingga 2009 dilakukan oleh Universitas
Indonesia, sedangkan pada tahun 2010 dan 2011 dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB).
Populasi dalam survei opini ini adalah seluruh Kementerian/Lembaga, perusahaan (BUMN maupun Swasta),
individu (WNI maupun non WNI) yang pernah menerima pelayanan dari 12 (dua belas) unit layanan Eselon
I Kementerian Keuangan yang dianalisis dalam satu tahun terakhir (2010/2011). Sebaran responden dalam
survei ini adalah meliputi enam kota di Indonesia yang disesuaikan dengan wilayah layanan Eselon I masing-
masing yaitu Jakarta, Surabaya, Medan, Batam, Balikpapan, dan Makassar.
Perencanaan survei opini stakeholders telah dilakukan sejak Agustus 2011 dan pelaksanaan surveynya
dilakukan sejak tanggal 1 hingga 30 November 2011. Berdasarkan hasil survei diperoleh nilai indeks kepuasan
pengguna layanan Kementerian Keuangan tahun 2011 adalah sebesar 3,86 dengan rincian nilai indeks untuk
masing-masing unit Eselon I tampak pada tabel 3.32 sebagai berikut:
Tabel 3.32
Nilai Indeks Kepuasan Pengguna Layanan Kementerian Keuangan Tahun 2011
No. Satuan Kerja Nilai
1. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) 3.79
2. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) 3.65
3. Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) 3.81
4. Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) 4.02
5. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) 3.94
6. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) 3.80
7. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) 4.00
8. Sekretariat Jenderal (SETJEN) 3.79
9. Inspektorat Jenderal (ITJEN) 4.10
10. Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) 4.02
11. Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) 3.78
12. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) 3.60
Rata-rata 3.86
Secara umum skor kepuasan stakeholder Kementerian Keuangan terhadap kinerja layanan pada tahun 2011
ini tidak jauh berbeda dengan kondisi tahun 2010, yaitu sebesar 3,87. Capaian ini meskipun lebih rendah
dari target yang ditetapkan, namun masih menunjukkan tingkat kepuasan stakeholder yang cukup tinggi
yaitu masih di atas 3,5 dari skala 1-5 atau berarti pengguna merasa puas dengan layanan yang diberikan
oleh Kementerian Keuangan (3 < x ≤ 4 berarti puas). Bila dilihat antar unit eselon I, ada sebagian unit eselon
I yang mengalami peningkatan dan ada yang mengalami penurunan. Skor kepuasan stakeholder terhadap
kinerja layanan antar unit Eselon I pada tahun 2011 berkisar antara 3,6 di BKF dan 4,10 di Itjen. Peningkatan
skor kepuasan antara lain terjadi di DJA, Bapepam-LK, dan DJPK. Namun demikian, penurunan skor kepuasan
stakeholder ini tidak serta merta menunjukkan penurunan kinerja layanan. Penurunan skor kepuasan dapat
terjadi karena tuntutan peningkatan layanan dan harapan masyarakat terhadap kinerja yang terus meningkat,
sementara perbaikan kinerja yang dilakukan dinilai belum mampu memenuhi tuntutan masyarakat. Hal ini
akan dijadikan sebagai umpan balik untuk perbaikan kinerja di tahun-tahun mendatang.
Variasi skor kepuasan stakeholder terhadap layanan pada unit kerja eselon I di lingkungan Kementerian
Keuangan, di samping dipengaruhi oleh kinerja layanan masing-masing unit eselon I, juga sangat dipengaruhi
oleh karakteristik layanan unggulan yang diberikan, termasuk di dalamnya proses bisnisnya dan karakteristik
stakeholder yang dilayaninya. Dengan demikian, nilai skor kepuasan terhadap kinerja layanan antar unit kerja
eselon I sebenarnya tidak bisa diperbandingkan begitu saja satu dengan lainnya karena masing-masing unit
memiliki karakteristik yang berbeda.
Berdasarkan hasil survei tahun 2010 dan 2011, diperkirakan nilai skor kinerja tidak akan beranjak jauh melebihi
nilai 4,00. Hal ini disebabkan karena tuntutan layanan masyarakat yang terus meningkat, sehingga meskipun
sebagian besar responden menyatakan ada perbaikan kinerja layanan, penilaian terhadap kinerja tidak
meningkat. Faktor psikologis responden juga turut berpengaruh, yaitu agak berat untuk memberikan nilai
maksimum (5) dari suatu kinerja. Tidak banyak responden yang memberikan skor maksimum untuk suatu
kinerja layanan, meskipun dalam survei tersebut responden banyak yang menyatakan sangat puas.
Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 4 (empat) Indikator
Kinerja Utama (IKU), yaitu:
Penyusunan proyeksi asumsi dasar makro pada tahun 2011 mempertimbangkan berbagai faktor baik
eksternal maupun internal, antara lain (i) seberapa dalam dan lama krisis perekonomian global akan
berlangsung; (ii) efektivitas kerja sama global dalam mengatasi krisis dunia; dan (iii) efektivitas langkah-
langkah kebijakan yang ditempuh Pemerintah untuk mengatasi dan memulihkan perekonomian
nasional, dan (iv) perkembangan harga minyak dunia. Sementara itu perhitungan asumsi makro
dilakukan dengan menggunakan ModeI Auto Regressive Integrated Moving Average (ARIMA).
Capaian deviasi proyeksi indikator ekonomi makro pada tahun 2011 adalah sebesar 3,48% (dari target
sebesar 8,75%). Capaian ini sedikit mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2010 yaitu sebesar
2,13% (dari target sebesar target 11%) meskipun masih di atas target yang telah ditetapkan. Capaian atas
sub indikator kinerja utama pada kuartal IV 2011 adalah sebagaimana tampak pada Tabel 3.33.
Tabel 3.33
Capaian Sub Indikator Kinerja Utama Kuartal IV Tahun 2011
No Proyeksi Target Realisasi Deviasi Keterangan
1. Proyeksi Pertumbuhan 6.6% 6.5% 1.5% Perhitungan [(6.6-6.5)/6.6]
Ekonomi Pertumbuhan ekonomi sesuai
dengan harapan seiring dengan
membaiknya kondisi makro ekonomi
Indonesia
2. Proyeksi Inflasi 4.00% 3.79% 5.25% Perhitungan :[(4.00 – 3.79)/4.00]
Stabilnya harga beras mendorong
penurunan laju inflasi tahunan
sehingga realisasi inflasi lebih rendah
dibandingkan proyeksi
3. Proyeksi nilai tukar 9011 8988 0.26% Perhitungan : [9011 - 8988)/9011]
Arus modal masuk (capital inflow)
yang lebih besar daripada perkiraan
dan pemulihan ekonomi AS yang
tidak pasti menyebabkan realisasi
nilai tukar lebih rendah dari proyeksi
4. Proyeksi suku bunga 5% 4.8% 4% Perhitungan :( 5-4.8)/5
SPN
Deviasi proyeksi indikator ekonomi makro 2.76% Perhitungan: [(1.5% + 5.25% +
0.26% + 4%)/4]
Tabel 3.34
Ketepatan Proyeksi APBN
No Proyeksi Target Realisasi Deviasi Keterangan
1. Proyeksi Defisit 8.934,3 7.975,4 10,7% Perhitungan: (7.975,4 - 8.934,3) / 8.934,3
APBN Realisasi defisit lebih rendah dari proyeksi
(Miliar rupiah) karena:
1. Realisasi belanja negara lebih rendah dari
yang diproyeksikan
2. Realisasi penerimaan lebih tinggi dari yang
diproyeksikan, terutama disebabkan oleh
kinerja penerimaan pajakyang lebih baik dari
tahun sebelumnya pada kuartal III ini.
2. Proyeksi Penerimaan 216.832,8 223.583,2 3,1% Perhitungan: (223.583,2 - 216.832,8)/ 216.832,8
Perpajakan Realisai penerimaan perpajakan lebih tinggi
(juta rupiah) dari proyeksinya disebabkan oleh peningkatan
kinerja dari penerimaan pajak perdagangan
internasional, PPh Non Migas, dan PPN Impor
3. Proyeksi Belanja K/L 100.187,1 99.883,5 0,3% Perhitungan: (99.883,5 - 100.187,1) / 8.934,3
(Miliar rupiah) Proyeksi belanja K/L didasarkan pola realisasi
beberapa tahun sebelumnya dengan
mempertimbangkan perubahan mekanisme
penganggaran dan upaya optimalisasi
penyerapan anggaran dari K/L
Deviasi proyeksi APBN 4,7%
Pencapaian IKU tingkat exercise I-Account tahun 2011 sebesar 99,93% lebih baik daripada pencapaian
tahun 2010 yang sebesar 99,7 %.
Pada semester I tahun 2011, LKPP semester I tahun 2011 telah diselesaikan dan ditandatangani oleh
Menteri Keuangan pada tanggal 25 Agustus 2011 sesuai dengan Pernyataan Tanggung Jawab LKPP
semester I Tahun 2011 tertanggal 25 Agustus 2011.
Penyampaian RUU tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN TA 2010 oleh Presiden kepada
DPR telah dilakukan pada tanggal 23 Juni 2011 sesuai surat Presiden Republik Indonesia nomor R-30/
Pres/06/2011 tanggal 23 Juni 2011.
Pada tahun 2012, dalam rangka penyusunan LKPP dan Rancangan Undang-undang Pelaksanaan
Pertanggungjawaban APBN secara tepat waktu, beberapa kegiatan telah direncanakan untuk
dilaksanakan, yaitu:
1) Konsolidasi laporan Keuangan Kementerian/Lembaga dan Bendahara Umum Negara (BUN)
termasuk laporan keuangan Transaksi Khusus.
2) Melakukan pengumpulan atas Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga dan Bendahara Umum
Negara.
3) Penyusunan LKPP dan LK BUN Semester I Tahun Anggaran 2012.
4) Pembahasan RUU PP APBN bersama DPR.
5) Penyelesaian RUU PP APBN.
10. Sasaran Strategis 10: Pengelolaan keuangan dan kekayaan negara yang efektif dan
efisien (KK-10)
Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 5 (lima) Indikator Kinerja
Utama (IKU) sebagai berikut:
KK 10. Pengelolaan keuangan dan kekayaan negara yang efektif dan efisien
Indikator Kinerja Target Realisasi %
1. Rata-rata persentase realisasi janji layanan unggulan 100,00% 97,40% 97,40
2. Persentase tingkat akurasi perencanaan kas 85,00% 86,55% 101,82
3. Rasio beban bunga terhadap rata-rata outstanding utang 6,60% 5,30% 119,70
4. Akurasi Penetapan yield/imbalan SBN dan biaya pinjaman 100,00% 95,56% 111,12
terhadap benchmark
5. Persentase pemenuhan target pembiayaan melalui utang yang 100,00% 101,08% 101,08
bersumber dari dalam negeri
Tabel 3.35
Layanan Unggulan Direktorat Jenderal Anggaran
No. Layanan Unggulan Target Capaian %
1. Realisasi persentase Bulan Agustus Ditetapkan melalui Peraturan Menteri 100
penyelesaian SBK tepat Keuangan Nomor 120/PMK.02/2011
waktu tanggal 1 Agustus 2011 (Tepat waktu)
2. Realisasi persentase Bulan November Tepat waktu 100% bulan November 100
penyelesaian SP RKA-KL 2011
tepat waktu
3. Realisasi persentase N/A Ditetapkan RPP Jenis dan Tarif PNBP 100
penyelesaian RPP tentang pada 3 K/L, yaitu pada Setneg, BMKG,
Jenis dan tarif atas Jenis dan BKN
PNBP atau Revisi yang
berlaku pada K/L
4. Realisasi persentase 71 K/L tepat waktu Dari total 71 KL, 20 KL terlambat 71.83
ketepatan waktu menyampaikan (Juni)
penyusunan target dan
pagu PNBP
5. Realisasi persentase 5 hari kerja Dari total 1228 revisi terdapat 60 revisi 95.11
penyelesaian Revisi RKA-KL yang melebihi 5 hari kerja
tepat waktu
Dari 5 (lima) layanan unggulan DJA, 2 (dua) layanan belum dapat diselesaikan tepat waktu yaitu
ketepatan waktu penyusunan target dan pagu PNBP serta penyelesaian revisi RKA-KL tepat waktu.
Hal ini disebabkan oleh:
a) Berita Acara Pembahasan dari Kementerian/Lembaga terlambat disampaikan, yaitu yang
seharusnya pada bulan Mei disampaikan bulan Juni.
b) Revisi yang melebihi 5 (lima) hari kerja disebabkan oleh proses administrasi, yaitu
penyampaian data dukung dari Kementerian/Lembaga yang belum disertai surat
pengantar sehingga harus diminta kembali.
Action plan yang akan dilakukan pada tahun 2012 atas capaian tahun 2011 adalah sebagai berikut:
a) Melakukan evaluasi dan monitoring terhadap 16 layanan unggulan, termasuk menyusun
rapor kinerja layanan unggulan secara nasional.
b) Melakukan evaluasi dan monitoring terhadap layanan perpajakan lainnya yang mencakup
pengamatan langsung (site visit) untuk memperoleh informasi tentang hambatan yang
dihadapi dalam pemberian layanan prima.
c) Melakukan pemantauan atas pengisian laporan melalui aplikasi pengukuran kinerja
atas layanan unggulan, termasuk pemberian teguran bagi unit yang terlambat/tidak
memasukkan laporan.
d) Menyusun panduan pengisian aplikasi pengukuran kinerja layanan unggulan untuk
menyeragamkan pemahaman tentang sumber data pengukuran kinerja.
Tabel 3.36
Data Realisasi Janji Layanan Unggulan DJBC Tahun 2011
S.d. Bulan Desember
No Janji layanan unggulan PIC Jumlah Memenuhi Target
Dokumen Dokumen %
1 Pelayanan Permohonan Penyediaan 203 203 100,00%
Pita Cukai MMEA Asal Impor (P3C Dit. Cukai
MMEA) [11 (sebelas) hari kerja]
2 Pelayanan Penyelesaian Barang Impor 109593 109589 99,996%
untuk Dipakai Jalur MITA Prioritas
[20 (dua puluh) menit]
KPU Priok
3 Pelayanan Penyelesaian Barang Impor 242116 242099 99,993%
untuk Dipakai Jalur Hijau [30 (tiga
puluh) menit]
4 Pelayanan Permohonan Penyediaan 1342 1341 99,925%
Pita Cukai Hasil Tembakau (P3C)
Pengajuan Awal Secara Elektronik
[1 (satu) jam]
5 Pelayanan Permohonan Penyediaan 849 849 100,00%
Pita Cukai Hasil Tembakau (P3C) KPPBC Kudus
Pengajuan Tambahan Secara
Elektronik [1 (satu) jam]
6 Pelayanan Pemesanan Pita Cukai Hasil 7217 7188 99,598%
Tembakau (CK-1) Secara Elektronik [20
(dua puluh) menit]
Total 361.320 361.269 99,92%
Sampai dengan bulan Desember 2011, capaian untuk janji layanan unggulan secara keseluruhan adalah
sebesar 99,92% dari target yang ditetapkan sebesar 100%. Dari data capaian tersebut, jumlah dokumen
yang tidak mencapai target waktu janji layanan adalah 51 dari total 361.320 dokumen (0,01%).
Faktor penyebab tidak tercapainya beberapa dokumen sesuai janji layanan antara lain adalah sebagai
berikut:
a) Faktor yang di luar kontrol DJBC, yaitu diperlukannya waktu untuk menunggu konfirmasi dari
pihak bank pada saat verifikasi dokumen di mana hal tersebut di luar jangkauan sistem Bea dan
Cukai.
b) Pemeliharaan server yang dilakukan secara rutin yang mengharuskan server untuk dimatikan.
c) Adanya perbaikan/pergantian hardware sistem yang rutin maupun dalam hal force majeure.
Langkah-langkah yang sudah dilakukan untuk mengoptimalkan capaian kinerja layanan unggulan yaitu:
a) Berkoordinasi dengan Direktorat Informasi Kepabeanan dan Cukai khususnya untuk masalah yang
terkait dengan terjadinya kesalahan pada sistem pelayanan.
b) Melakukan pembinaan secara personal kepada para pegawai untuk mencegah terhambatnya
pelayanan terhadap dokumen.
Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan oleh Direktorat Jenderal
Perbendaharaan kepada stakeholder, untuk tahun 2012 akan dilakukan langkah-langkah sebagai
berikut:
a) Melibatkan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk melakukan
pembinaan dan pemantauan kepada KPPN terhadap ketepatan waktu penerbitan SP2D.
b) Menjamin kebenaran dan kelengkapan dokumen atau persyaratan lainnya dalam
pengajuan SPM.
c) Melakukan sosialisasi aplikasi revisi DIPA kepada satuan kerja.
d) Mengefektifkan pelaksanaan rekonsiliasi melalui media elektronik (e-mail) seperti yang
telah diterapkan oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
SOP atas janji layanan unggulan tersebut belum dapat tercapai sebesar target karena terdapat
berbagai kendala dalam pelaksanaan layanan. Kendala tersebut diantaranya karena terdapat
aktivitas yang bukan merupakan otoritas internal DJKN c.q KPKNL misalnya di bidang lelang,
yaitu aktivitas penetapan nilai limit dan pengumuman lelang. Hal ini membuat DJKN tidak bisa
menetapkan patokan waktu penyelesaian. Untuk mengatasi kendala tersebut, telah dilakukan
evaluasi dan pembahasan bersama. Salah satu solusinya adalah dengan melakukan perubahan
SOP layanan unggulan, yaitu SOP layanan unggulan bidang lelang dipecah menjadi 7 (tujuh) SOP
sebagai berikut (SOP Link):
a) SOP Penetapan Jadwal Lelang.
b) SOP Pelaksanaan Lelang.
c) SOP Pelayanan Kuitansi Pembayaran Harga Lelang.
d) SOP Pelayanan Dokumen Kepemilikan Barang.
e) SOP Pelayanan Kutipan Risalah Lelang.
f) SOP Pelayanan Salinan Risalah Lelang.
g) SOP Pengembalian Uang Jaminan Lelang.
Pengalokasian DAU, DAK, dan DBH telah memenuhi norma waktu yang telah ditentukan dalam
SOP yaitu setelah diterimanya data dari instansi teknis terkait dan mengikuti proses siklus
pembahasan APBN dengan DPR-RI (lihat uraiannya pada Tabel 3.37). Hasilnya ditindaklanjuti
dengan penerbitan UU APBN, Perpres, dan PMK/KMK. Sementara ada 2 (dua) SOP quick win terkait
penyaluran transfer ke daerah telah menyelesaikan proses penerbitan dokumen transfer mulai
dari DIPA, SKTRD, sampai dengan SPM, sesuai dengan norma waktu dalam SOP, yaitu maksimal 4
hari setelah dokumen diterima lengkap di DJPK.
Janji layanan unggulan Evaluasi Raperda PDRD adalah paling lama 15 (lima belas) hari kerja
terhitung sejak diterimanya surat koordinasi dari Gubernur atas evaluasi Raperda Kabupaten/
Kota atau Menteri Dalam Negeri atas evaluasi Raperda provinsi. Apabila melewati jangka waktu 15
(lima belas) hari tersebut, maka dianggap tidak memenuhi kriteria janji layanan unggulan. Sampai
dengan tanggal 12 Desember 2011 telah tercapai sebesar 81% evaluasi Raperda PDRD yang tepat
waktu atau di bawah target yang mengharuskan 100% tepat waktu. Hal ini dikarenakan telah terjadi
perubahan pola perhitungan dari rata-rata evaluasi Raperda menjadi pelayanan evaluasi untuk
setiap Raperda yaitu 15 hari. Jumlah Raperda yang telah direkomendasikan sebanyak 2.578 Raperda,
yang tepat waktu sebanyak 2.090 Raperda dan yang tidak tepat waktu sebanyak 488 Raperda.
Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan evaluasi Raperda selama tahun berjalan adalah sebagai
berikut:
a) Daerah sering menyampaikan Raperda secara bersamaan dalam jumlah yang cukup
banyak dari satu atau beberapa Kabupaten/Kota. Banyaknya volume Raperda yang perlu
dievaluasi dalam jangka waktu yang sama yaitu 15 (lima belas) hari akhirnya menyebabkan
keterlambatan.
b) Daerah seringkali menyampaikan Raperda tanpa dilengkapi lampiran-lampiran pendukung
sehingga tidak bisa dilakukan proses evaluasi.
Tabel 3.38
Hasil Pengukuran Rata-rata Persentase Realisasi Janji
Layanan Unggulan Tahun 2011
SOP
Standar
No SOP Frek tepat % Ket
waktu
waktu
1 Pengadaan Pinjaman 78 hari kerja 1 1 100% Pengadaaan PDN
Dalam Negeri dipengaruhi oleh pihak
lain, sehingga masa
tunggu tidak dihitung
2 Pelayanan Lelang 10 hari kerja 21 21 100%
Surat Utang Negara
di Pasar Perdana
dan Penyelesaian
Transaksinya
3 Lelang Surat Berharga 10 hari kerja 7 7 100%
Syariah Negara di Pasar
Perdana
Rata-rata 100%
Tantangan yang dihadapi dalam rangka pencapaian target indikator rata-rata persentase realisasi
janji layanan unggulan antara lain:
Upaya yang dilakukan menghadapi tantangan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
a) Menentukan mekanisme yang lebih efektif dalam menilai realisasi janji layanan unggulan
Pengadaan Pinjaman Dalam Negeri, yaitu dengan mengikuti proses penyelesaian tiap
output kegiatan di dalamnya.
b) Meningkatkan koordinasi dengan pihak-pihak terkait dan komunikasi secara efektif dengan
pimpinan terkait dengan antisipasi terhadap penundaan/pembatalan jadwal lelang SBN,
baik karena adanya perubahan strategi/kebijakan maupun kondisi pasar.
c) Meningkatkan koordinasi dengan pihak-pihak terkait dalam rangka penyiapan ketersediaan
underlying asset penerbitan SBSN sesuai dengan target jumlah nominal penerbitan SBSN
yang membutuhkan underlying asset secara lebih awal.
d) Melakukan penyiapan dan uji coba sistem pendukung/infrastruktur transaksi secara
berkala, terutama menjelang pelaksanaan lelang SBN.
Dengan demikian, target pencapaian indikator rata-rata persentase realisasi janji layanan
unggulan pada tahun 2011 dapat tercapai dengan baik.
Tabel 3.39
Realisasi Janji Layanan Unggulan Tahun 2011
Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
Target
Uraian P e r -
S esuai Permo- S esuai Permo- S esuai Permo- S esuai
SOP m o - % % % %
Target honan Target honan Target honan Target
honan
1. Pelayanan Perizinan:
a. Wakil Perantara Pedagang 21 Hari 215 215 100 175 175 100 152 152 100 220 220 100
Efek (WPPE) Ker-ja
b. Wakil Penjamin Emisi Efek 1 Hari 21 21 100 11 11 12 12 100 10 10 100
(WPEE) Ker-ja
2. Pelayanan perizinan Wakil Agen 21 Hari 873 870 99,7 847 827 98 1237 1237 100 1157 1149 99,3
Penjual Efek Reksa Dana (WAPERD)
3. Pelayanan Pendaftaran Reksa 35 Hari 31 31 100 36 36 100 31 31 100 41 41 100
Dana Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif atau Perseroan
4. Pelayanan Pengesahan 7 Hari 3 3 100 N/A N/A N/A 1 1 100 N/A N/A N/A
Pembentuk-an Dana Pensiun Ker-ja
5. Pelayanan Permohonan 21 Hari 20 20 100 10 10 100 6 6 100 13 13 100
Pendaftaran Akuntan Sebagai Ker-ja
Profesi Penunjang Pasar Modal
6. Pelayanan Pemberian Izin Usaha 21 Hari 3 3 100 3 3 100 2 2 100 N/A N/A N/A
Perusahaan Pembiayaan. Kerja
7. Pelayanan Pemberian Izin 21 Hari 147 147 100 109 109 100 257 257 100 84 84 100
Pembukaan Kantor Cabang Kerja
Perusahaan Pembiayaan.
8. Layanan Biro Perasuransian 35 Hari N/A N/A N/A 1 1 100 N/A N/A N/A N/A N/A N/A
yang memenuhi target SOP
(Perusahaan asuransi & kantor
cabang)
9. Pelayanan Pengajuan Pernyataan 35 Hari 9 9 100 18 18 100 5 5 100 15 15 100
Pendaftaran Emiten/Perusahaan
Publik Sektor Jasa
10. Pelayanan Pengajuan Pernyataan 35 Hari N/A N/A N/A 1 1 100 N/A N/A N/A 5 5 100
Pendaftaran Emiten/Perusahaan
Publik Sektor Riil
Pada triwulan I dan II tahun 2011, dari 10 janji layanan unggulan terdapat 1 (satu) janji layanan
unggulan yang tidak tercapai akibat adanya kesalahan dalam pengelolaan administrasi perizinan
WAPERD.
Tabel 3.40
Akurasi Pengeluaran Kas dari Pengeluaran Belanja Negara dan Pengeluaran Pembiayaan Negara
(Miliar rupiah)
Bulan Perkiraan Realisasi Deviasi Akurasi
Oktober 130.878,19 127.959,22 2,23% 97,77%
November 141.900,52 115.215,48 18,81% 81,19%
Desember 310.708,46 301.190,76 3,06% 96,94%
Rata-rata tingkat akurasi 8,03% 91,97%
Tabel 3.41
Akurasi Penerimaan Kas dari Penerimaan Pendapatan Negara dan
Penerimaan Pembiayaan Negara
(Miliar rupiah)
Bulan Perkiraan Realisasi Deviasi Akurasi
Oktober 121.888,03 99.748,91 18,16% 81,84%
November 137.213,26 149.688,51 9,09% 90,91%
Desember 238.845,81 228.725,91 4,24% 95,76%
Rata-rata tingkat akurasi 10,50% 89,50%
Dalam rangka meningkatkan capaian atas IKU berupa persentase tingkat akurasi perencanaan kas, pada
tahun 2012 akan dilakukan langkah-langkah berupa:
1) Pengembangan sistem dan strategi peningkatan akurasi perencanaan kas.
2) Penyiapan regulasi dan proses bisnis perencanaan kas yang selaras dengan SPAN.
Pada tahun 2011, rasio beban bunga terhadap rata-rata outstanding utang ditargetkan sebesar 6,11%
sesuai dengan perubahan target dalam APBN-P dengan realisasi sebesar 5,30%. Sampai dengan akhir
tahun, realisasi bunga utang sebesar Rp92,08 Triliun, sedangkan rata-rata outstanding utang akhir tahun
2011 adalah sebesar Rp1.738,76 Triliun (lihat Tabel 3.42).
Tabel 3.42
Target dan realisasi pembayaran bunga dan rata-rata outstanding
(Triliun rupiah)
Uraian Target Realisasi
Pembayaran bunga Rp105,87 Rp92,08
Rata-rata outstanding Rp1.733,55 Rp1.738,76
Rasio 6,11% 5,30%
Realisasi rasio beban bunga yang lebih rendah dari target tersebut terutama disebabkan oeh beberapa
faktor sebagai berikut:
1) Pengelolaan portofolio utang yang optimal sehingga menurunkan tingkat risiko dan biaya utang.
2) Nilai tukar rupiah rata-rata lebih kuat terhadap kurs APBN.
3) Pembatalan lelang SBN pada bulan Desember 2011 karena terpenuhinya kebutuhan kas.
4) Kondisi pasar keuangan yang lebih baik dari asumsi sehingga menurunkan tingkat bunga
penerbitan dan tingkat bunga utang dengan bunga mengambang.
Pada periode 2008–2011, perkembangan realisasi rasio beban bunga terhadap rata-rata outstanding utang
menunjukkan indikator yang semakin baik, dalam artian cenderung menurun. Perkembangan rasio beban
bunga terhadap rata-rata outstanding utang selama periode 2006–2011 tampak pada Tabel 3.43.
Tabel 3.43
Outstanding Utang, 2006-2011
(Triliun rupiah)
2006 2007 2008 2009 2010 2011
No Uraian Realisasi
LKPP
Sementara
1 Pembayaran bunga utang 79,1 79,6 87,5 92,7 88,4 92,0
2 Rata-rata oustanding utang 1.307,7 1.345,8 1.513,1 1.613,4 1.633,8 1.739,1
Rasio (1/2) 4,99% 6,05% 5,91% 5,78% 5,41% 5,30%
Beberapa tantangan dalam penurunan rasio beban bunga terhadap rata-rata outstanding utang, antara
lain adalah sebagai berikut:
a) Kondisi pasar keuangan yang dinamis, sehingga mempengaruhi antara lain hal-hal sebagai
berikut:
- Fluktuasi yield SBN yang berdampak pada pembayaran bunga SBN baru yang diterbitkan.
- Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terutama mata uang yen dan
US dollar yang sangat volatile. Pergerakan nilai tukar berdampak signifikan, baik pada
pembayaran bunga utang valas maupun outstanding utang valas.
b) Realisasi penarikan pinjaman proyek tidak ditentukan oleh Kementerian Keuangan, tetapi
ditentukan oleh pelaksana kegiatan yaitu Kementerian/Lembaga. Besaran realisasi penarikan
pinjaman proyek berdampak pada pembayaran bunga dan posisi outstanding pinjaman.
Langkah-langkah yang diambil dalam rangka menghadapi tantangan tersebut antara lain adalah
sebagai berikut:
1) Mengakomodasi perkiraan fluktuasi dan pergerakan nilai tukar dan yield/tingkat bunga dalam
perhitungan pembayaran bunga utang.
2) Meningkatkan koordinasi dengan pihak terkait dalam penerapan readiness criteria dan
penyusunan proyeksi penarikan pinjaman proyek.
Dengan demikian target pencapaian indikator rasio beban bunga terhadap rata-rata outstanding utang
pada tahun 2011 dapat tercapai dengan baik.
d. Akurasi penetapan yield/imbalan SBN dan biaya pinjaman terhadap benchmark (KK-10.4).
Indikator ini untuk mengukur tingkat ketepatan penentuan benchmark yang menjadi acuan dalam
operasional penerbitan utang, sehingga dapat diperoleh suatu benchmark yang wajar, yang pada
akhirnya akan meningkatkan efisiensi pengelolaan utang. Untuk tahun 2011, akurasi penetapan yield/
imbalan SBN dan biaya pinjaman terhadap benchmark ditargetkan sebesar 100%, dengan realisasi
sebesar 95,56%. Capaian tersebut diperoleh dari rata-rata capaian akurasi antara benchmark yang
ditetapkan dengan yield SBN dan biaya pinjaman, dengan rincian sebagai berikut:
1) Perhitungan nilai rata-rata selisih antara benchmark yield SUN terhadap yield SUN (awarded)
dilakukan atas 21 frekuensi transaksi lelang penerbitan SUN (89 seri) dan diperoleh hasil sebesar
4,38 basis points dari target 23 basis points.
2) Perhitungan nilai rata-rata selisih antara benchmark yield SBSN terhadap yield SBSN (awarded)
dilakukan atas 7 frekuensi transaksi lelang penerbitan SBSN (15 seri), dan diperoleh hasil sebesar
13,66 basis points dari target 24 basis points.
3) Perhitungan nilai rata-rata selisih antara benchmark biaya pinjaman terhadap biaya pinjaman
efektif dilakukan atas 7 pinjaman komersial diperoleh hasil, dan diperoleh hasil sebesar 35,2 basis
points dari target 50 basis points.
2) Minat investor yang tinggi dalam pelaksanaan lelang SBN mendorong kompetisi dan kualitas
harga/yield yang semakin baik (tail yang rendah).
3) Khusus pinjaman yang berasal dari Vnesconombank Rusia untuk pengadaan alutsista amunisi
Shukoi, biaya pinjaman melebihi benchmark karena Vnesconombank Rusia ini adalah satu-
satunya bank yang bersedia membiayai alutsista amunisi Shukoi. Pinjaman ini dinegosiasikan
pada bulan Januari tahun 2010 dimana benchmark pinjaman pada saat itu belum ditetapkan.
Akan tetapi DJPU telah berusaha untuk melakukan negosiasi dari semula effective cost yang
ditawarkan oleh Vnesconombank Rusia sebesar 13,71% menjadi sebesar 8,14%.
Hambatan dan/atau tantangan yang dihadapi dalam rangka pencapaian target indikator akurasi
penetapan yield/imbalan SBN dan biaya pinjaman terhadap benchmark yang antara lain minat dan
penawaran investor yang masuk untuk membeli SBN dengan tenor pendek melalui lelang sangat besar
sehingga penetapan yield-nya sulit diprediksi.
Upaya yang dilakukan untuk menghadapi hambatan dan/atau tantangan tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Melakukan pemantauan dan analisis terhadap hasil lelang SBN dengan tenor pendek dalam
rangka konsistensi penentuan yield/harga.
2) Mengembangkan metode pricing SBN dalam rangka standarisasi metode pricing dan melakukan
capacity building.
Dengan demikian, target pencapaian indikator akurasi penetapan yield/imbalan SBN dan biaya pinjaman
terhadap benchmark pada tahun 2011 dapat tercapai dengan baik.
e. Persentase pemenuhan target pembiayaan melalui utang yang bersumber dari dalam negeri (KK-10.5).
Persentase pemenuhan target pembiayaan melalui utang yang bersumber dari dalam negeri adalah rasio
realisasi penerbitan SBN dengan denominasi rupiah di pasar dalam negeri terhadap target pembiayaan
melalui utang yang bersumber dari dalam negeri. Indikator ini bertujuan untuk meningkatkan proporsi
pembiayaan APBN melalui utang yang bersumber dari dalam negeri dalam rangka meningkatkan
kemandirian dalam pembiayaan APBN dan mengurangi ketergantungan pada sumber pembiayaan luar
negeri.
Terdapat perubahan target pembiayaan melalui utang yang bersumber dari dalam negeri berupa
penambahan target SBN bruto sebesar Rp5,77 Triliun dari semula Rp168,55 Triliun menjadi Rp174,33
Triliun karena adanya dua hal sebagai berikut:
1) Perubahan strategi pembiayaan tahunan melalui utang bulan November 2011 sebagai akibat
perubahan pada APBN-P dengan adanya penambahan target SBN dari dalam negeri Rp12,32
Triliun.
Pada tahun 2011, persentase pemenuhan target pembiayaan melalui utang yang bersumber dari dalam
negeri ditargetkan sebesar Rp174,33 Triliun dan realisasinya sebesar Rp174,12Triliun (99,88%), sehingga
terdapat kekurangan pembiayaan sebesar Rp0,21 Triliun dengan rincian sebagai berikut:
1) Kekurangan realisasi penerbitan SUN sebesar Rp0,34 Triliun.
2) Kelebihan realisasi penerbitan SBSN sebesar Rp0,13 Triliun, dengan rincian:
a) Kelebihan penerbitan SBSN ritel Rp0,34 Triliun untuk menampung minat beli investor
terhadap sukuk ritel dalam rangka memperluas basis investor ritel, serta membangun
kemandirian pembiayaan dalam negeri.
b) Kekurangan realisasi penerbitan SBSN dengan cara lelang sebesar Rp0,21 Triliun.
Hambatan dan/atau tantangan yang dihadapi dalam rangka pencapaian target indikator persentase
pemenuhan target pembiayaan melalui utang yang bersumber dari dalam negeri antara lain adalah
sebagai berikut:
1) Potensi pasar SBSN domestik relatif masih terbatas, yang disebabkan masih terbatasnya
perkembangan industri pasar keuangan domestik, khususnya keuangan syariah.
2) Target penerbitan SBSN yang besar dan tidak diimbangi dengan pertumbuhan pasar domestik,
khususnya pasar keuangan syariah, dapat mendorong naiknya imbal hasil yang diminta investor.
3) Meningkatnya volatilitas pasar SBSN domestik sebagai akibat tingginya kepemilikan asing pada
portofolio SBSN, dapat menghambat upaya Pemerintah untuk menyediakan pembiayaan APBN
melalui penerbitan SBSN dengan tingkat biaya yang wajar.
Upaya yang dilakukan untuk menghadapi hambatan dan/atau tantangan tersebut antara lain adalah
sebagai berikut:
1) Penyempurnaan mekanisme penerbitan SBSN, khususnya dengan mengimplementasikan Green
Shoe Option dalam lelang SBSN.
2) Penguatan infrastruktur pasar dalam rangka peningkatan kinerja pasar sekunder SBSN dan
mendukung transparansi harga serta mekanisme price discovery.
3) Melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia dalam rangka harmonisasi terhadap berbagai
ketentuan yang dapat membatasi aktivitas kepemilikan dan perdagangan SBSN oleh perbankan
syariah.
4) Menjamin ketersediaan underlying assets sesuai dengan jumlah kebutuhan penerbitan, dengan
terus melakukan kajian diversifikasi aset SBSN dan mengembangkan instrumen SBSN baru
menggunakan underlying selain Barang Milik Negara seperti proyek-proyek pada APBN.
Dengan cara-cara yang demikian maka target pencapaian indikator Persentase pemenuhan target
pembiayaan melalui utang yang bersumber dari dalam negeri pada tahun 2011 relatif dapat tercapai
dengan baik karena mendekati 100%, yaitu 99,88%.
11. Sasaran Strategis 11: Peningkatan edukasi masyarakat dan pelaku ekonomi (KK-11)
Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 1 (satu) Indikator Kinerja
Utama (IKU) sebagai berikut:
Dalam upaya memperkuat implementasi kebijakan di bidang keuangan dan kekayaan negara, maka perlu
ada upaya peningkatan pemahaman stakeholders akan fungsi Kementerian Keuangan sebagai pengelola
keuangan dan kekayaan negara. Bentuk peningkatan pemahaman stakeholders dapat dilakukan melalui
komunikasi dan edukasi yang dilakukan secara kontinyu dan komprehensif. Efektivitas edukasi dan
komunikasi merupakan bentuk pengukuran tingkat keberhasilan peserta pelatihan/sosialisasi/workshop dari
pihak eksternal Kementerian Keuangan dalam hal pemahaman substansi/materi.
Sebagaimana dengan Sasaran Strategis 8, IKU ini merupakan gabungan dari 9 (sembilan) unit Eselon I di
lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki tugas memberikan pelatihan/ sosialisasi/workshop kepada
pihak eksternal. Uraian mengenai capaian masing-masing dari 9 (sembilan) unit eselon I di lingkungan
Kementerian Keuangan yang terkait dengan IKU ini tampak berikut ini.
a. Direktorat Jenderal Anggaran (DJA).
Penilaian efektivitas edukasi dan komunikasi di lingkungan DJA terdiri atas 4 (empat) variabel sebagai
berikut:
1) Tingkat pemahaman peserta (bobot=70%).
2) Kualitas materi (bobot=15%).
3) Kualitas narasumber (bobot=10%).
4) Kualitas sarana dan prasarana (bobot=5%).
Penilaian efektivitas edukasi dan komunikasi didasarkan pada sebaran kuesioner terhadap peserta
sosialisasi. Objek penilaian dalam kuesioner meliputi 6 (enam) objek yaitu:
1) Materi yang disampaikan lengkap dan komprehensif.
2) Materi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan.
3) Penyaji menguasai materi yang disampaikan.
4) Penyaji dapat menyampaikan materi dengan baik.
5) Tempat, sarana, dan prasarana memadai.
6) Secara umum sosialisasi ini sudah efektif.
Tabel 3.44
Penilaian Efektivitas Edukasi dan Komunikasi
Jenis Sosialisasi Responden Target Realisasi %
Sosialisasi PMK No 49/PMK.02/2011 tentang Tata 245 80,00 73,65 92,06
Cara Revisi Anggaran 2011
Sosialisasi PMK No 93/PMK.02/2011 tentang 223 80,00 78.75 98,44
Petunjuk Penyusunan RKA-KL (gel 1)
Sosialisasi PMK No 93/PMK.02/2011 tentang 169 80,00 82.50 103,13
Petunjuk Penyusunan RKA-KL (gel 2)
Nilai Rata-rata 78,3 97,88
Action plan yang perlu dilakukan atas capaian tahun 2011 adalah dengan melaksanakan penyuluhan
kepada instansi pemerintah, swasta, pelaku usaha, asosiasi pelajar dan mahasiswa, baik langsung
maupun melalui radio dan televisi.
Survei tersebut dilakukan untuk mengukur Indeks Efektivitas Edukasi dan Komunikasi dalam skala 1-100,
dengan keterangan sebagai berikut :
• 0 ≤ x ≤ 20 = tidak efektif
• 20 < x ≤ 40 = kurang efektif
• 40 < x ≤ 60 = cukup efektif
• 60 < x ≤ 80 = efektif
• 80 < x ≤ 100 = sangat efektif
Hasil edukasi dan komunikasi selama tahun 2011 dapat ditabulasikan menjadi sebagaimana tampak pada
Tabel 3.45.
Tabel 3.45
Jumlah Kegiatan dan Efektivitas Edukasi dan Komunikasi DJBC Tahun 2011
Rata2 Indeks Efektivitas
No Periode Pelaporan Jumlah Kegiatan Edukasi dan Komunikasi
(skala 1-100)
1 Januari 7 76,74
2 Februari 9 76,79
3 Maret 4 77.98
4 April 3 81,82
5 Mei 1 87,41
6 Juni 12 80,78
7 Juli 2 84,25
8 Agustus 1 81,39
9 September - -
10 Oktober 9 81,57
11 November 7 80,71
12 Desember 1 79,98
Total s.d. Desember 56 80,86
Indeks Efektivitas Edukasi dan Komunikasi pada tahun 2011 sebesar 80,86 telah melebihi target yang
ditetapkan sebesar 70. Namun jika dibandingkan dengan capaian pada tahun 2010 sebesar 82,85 (dari
target sebesar 60) mengalami penurunan. Walaupun demikian, persepsi kumulatif (rata-rata) stakeholder
terhadap efektivitas edukasi dan komunikasi yang dilaksanakan oleh DJBC untuk sosialisasi pada tahun
2011 menunjukkan bahwa secara umum sosialisasi yang dilaksanakan sangat efektif karena capaiannya
di atas 80.
Realisasi IKU pada triwulan IV rata-rata sebesar 82,51 melebihi target sebesar 80. Secara keseluruhan pada
tahun 2011, realisasi IKU berupa tingkat efektivitas edukasi dan komunikasi adalah sebesar 100,81%%.
Pencapaian yang melebihi target tersebut antara lain disebabkan karena adanya upaya yang optimal
dari Direktorat terkait untuk menyelenggarakan workshop/kegiatan sejenis lainnya sesuai dengan
materi yang dibutuhkan stakeholders untuk meningkatkan kinerja mereka. Materi yang disampaikan
juga merupakan current issue. Selain itu, dalam upaya memberikan kegiatan edukasi dan komunikasi
yang efektif dan optimal, Direktorat yang terkait juga menghadirkan para narasumber yang kompeten
di bidang masing-masing sehingga dapat memberikan materi pada workshop/kegiatan yang diadakan.
Tabel 3.46
Efektivitas Edukasi dan Komunikasi dalam
Sosialisasi Surat Utang Negara Tahun 2011
No. Tanggal Lokasi Peserta Hasil
(1) 9 Maret Universitas Syahkuala, Aceh 120 orang 79,90% (efektif )
(2) 8 April Universitas Mulawarman, Samarinda 200 orang 77,65% (efektif )
(3) 15 April Universitas Tanjung Pura, Pontianak 275 orang 75,28% (efektif )
(4) 29 April Universitas Bengkulu, Bengkulu 115 orang 78,04% (efektif )
(5) 6 Mei Universitas Lampung, Lampung 213 orang 70,40% (efektif )
(6) 1 Juli Universitas Semarang, Semarang 217 orang 77,17% (efektif )
(7) 25 November UII- Yogyakarta 252 orang 74,20% (efektif )
(8) 3 Desember Universitas Indonesia,Depok 600 orang 75,40% (efektif )
Tabel 3.47
Efektivitas edukasi dan komunikasi dalam
Sosialisasi Surat Utang Negara Tahun 2011
No. Tanggal Lokasi Peserta Hasil
(1) 24 Maret Bengkulu 105 orang 79,15% (efektif )
(2) 29 Maret Samarinda 77 orang 76,20% (efektif )
(3) 7 April Malang 74 orang 77,46% (efektif )
(4) 29 April Institut Pertanian Bogor, Bogor 154 orang 75,52% (efektif )
(5) 3 Mei Palu 74 orang 76,37% (efektif )
(6) 12 Mei Ternate 60 orang 75,54% (efektif )
(7) 19 Mei Bukittinggi 58 orang 75,98% (efektif )
(8) 23 Juni Universitas Trunojoyo, Bangkalan 167 orang 75,98% (efektif )
(9) 1 Juli Pematang Siantar 74 orang 75,77% (efektif )
(10) 7 Juli Banten 76 orang 74,49% (efektif )
(11) 17 November Aceh 150 orang 74,18% (efektif )
(12) 29 November Palembang 199 orang 75,10% (efektif )
(13) 6 Desember Makassar 157 orang 75,28% (efektif )
Hambatan dan/atau tantangan yang dihadapi dalam rangka pencapaian target efektivitas edukasi dan
komunikasi antara lain adalah sebagai berikut:
1) Penyebarluasan informasi terkait pengelolaan utang kepada masyarakat luas belum optimal
dalam menjangkau investor di luar ibukota propinsi terutama di wilayah timur Indonesia.
2) Belum optimalnya penggunaan sarana informasi baik melalui media cetak maupun elektronik
untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pengelolaan utang.
3) Kondisi dan perkembangan pasar keuangan baik secara regional dan internasional yang dinamis
menuntut keahlian dalam merespon informasi dan dinamika pasar tersebut.
Dengan demikian, target pencapaian indikator tingkat efektivitas edukasi dan komunikasi, pada tahun
2011 dapat tercapai dengan baik.
Target efektivitas edukasi dan komunikasi yang ditetapkan pada tahun 2011 adalah sebesar 70%, dan
sampai dengan triwulan IV tingkat efektivitas edukasi dan komunikasi yang dilaksanakan mencapai
83,59%.
12. Sasaran Strategis 12: Pengawasan dan penegakan hukum yang efektif (KK-12).
Dalam pencapaian sasaran strategis ini Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 2 (dua) Indikator Kinerja
Utama (IKU) sebagai berikut:
Action plan yang akan dilakukan pada tahun 2012 adalah dengan lebih mengoptimalkan
kinerja Kanwil DJP dan KPP Pratama dalam pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak
Orang Pribadi khususnya atas kegiatan ekstensifikasi WP Orang Pribadi Non Karyawan
berdasarkan PER-116/PJ./2007 serta, mendorong penambahan jumlah Wajib Pajak dari
koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah.
Tabel 3.48
Kinerja Pemeriksaan Pajak Tahun 2011
Persentase
No Kinerja Target Realisasi Target IKU
Realisasi
1 Penyelesaian LHP 39.644 31.789 78,68% 75%
2 Penerimaan Rp9 Triliun Rp11,078 123,08% 90%
Triliun
3 Persentase jumlah Refund 1% dari Rp29,016 3,91% 1%
Discrepancy dan penerimaan penerimaan Triliun
pajakdari pemeriksaan terhadap pajak nasional Rp742,631
realisasi penerimaan pajak Triliun
Sumber: Laporan Akhir Tahun Direktorat Jenderal Pajak
Action plan yang akan dilakukan pada tahun 2012 antara lain adalah sebagai berikut:
(1) Penyempurnaan peraturan di bidang pemeriksaan.
Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2011 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007 tentang Tata Cara
Pemeriksaan Pajak diharapkan dapat lebih meningkatkan kualitas pemeriksaan yang
selanjutnya dapat menurunkan tingkat sengketa antara Pemeriksa dengan Wajib Pajak serta
dapat lebih memberikan keadilan kepada Wajib Pajak.
Beberapa pokok perubahan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan 82 Tahun
2011 tersebut meliputi:
(a) Adanya hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan dan menghadiri pembahasan
dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan dalam hal terdapat perbedaan pendapat
antara Pemeriksa dengan Wajib Pajak.
(b) Adanya kewajiban bagi Pemeriksa untuk memberitahukan kepada Wajib Pajak
apabila: (1) dilakukan perpanjangan jangka waktu pemeriksaan dan (2) pemeriksaan
ditingkatkan menjadi Pemeriksaan Bukti Permulaan.
(c) Memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk melakukan perpanjangan jangka waktu
penyampaian tanggapan atas hasil pemeriksaan.
(d) Memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk tetap mengahadiri pembahasan akhir
hasil pemeriksaan meskipun tidak menyampaikan tanggapan secara tertulis.
(e) Menegaskan bahwa dalam hal jangka waktu pemeriksaan/perpanjangan terlampaui,
maka pemeriksaan harus diselesaikan.
(f ) Penyempurnaan kebijakan juga dilakukan terhadap peraturan di bidang pemeriksaan
terkait Transfer Pricing dan Transaksi Grup. Adapun peraturan yang direncanakan akan
dibuat adalah peraturan mengenai: (1) Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Transfer
Pricing dan (2) Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Simultan.
(2) Peningkatan mutu pemeriksaan.
Peningkatan mutu pemeriksaan dilakukan dengan pelaksanaan beberapa program, yaitu:
(a) Peningkatan kapasitas Pemeriksa melalui berbagai diklat penjenjangan, diklat
keahlian, dan berbagai In-House Training.
(b) Pelaksanaan Reviu terhadap konsep Laporan Hasil Pemeriksaan.
(c) Pelaksanaan Peer Review.
(d) Pengendalian Mutu Pemeriksaan Transfer Pricing dan Mutual Agreement Procedure
(MAP) .
(e) Monitoring Pemeriksaan Transfer Pricing dan Transaksi Grup.
(3) Peningkatan efektivitas pemeriksaan.
Peningkatan efektivitas pemeriksaan dilakukan dengan pelaksanaan beberapa program, yaitu:
(a) Keharusan penyusunan Audit Plan.
(b) Penyusunan proses bisnis per sektor.
(c) Penyusunan modul pemeriksaan.
(d) Kerjasama dengan IAPI dengan memberikan fasilitas di bidang pemeriksaan terhadap
Wajib Pajak yang diaudit oleh Kantor Akuntan Publik dengan opini Wajar Tanpa
Pengecualian. Hal ini dilakukan dalam rangka mengurangi beban pemeriksaan rutin
yang tinggi.
(e) Kerjasama dengan beberapa instansi terkait termasuk dengan instansi penegak
hukum.
Tabel 3.49
Kinerja Pencairan Piutang Tahun 2011
KU Formula Target Target (%) Realisasi Realisasi (%)
Jumlah Pencairan Rp7,355 Rp9,084
Persentase Piutang Pajak Triliun Triliun
Pencairan Piutang 20 24,7
Pajak Jumlah Piutang Pajak Rp36,777 Rp36,777
Awal Tahun Triliun Triliun
Action plan yang akan dilakukan pada tahun 2012 atas capaian tahun 2011 adalah sebagai berikut:
(1) Tertib administrasi/berkas piutang pajak, yang mencakup hal-hal sebagai berikut:
(a) Penyediaan ruangan khusus untuk penyimpanan berkas piutang.
(b) Pembuatan rumah berkas penagihan per Wajib Pajak.
(c) Scanning berkas fisik kohir dan produk hukum lainnya.
(2) Penyusunan laporan piutang pajak yang akurat.
(3) Prioritas tindakan penagihan adalah terhadap piutang dengan kriteria sebagai berikut:
(a) Termasuk dalam 200 penunggak pajak terbesar baik yang ada di setiap Kanwil/KPP
maupun secara nasional.
(b) Nilainya melebihi Rp10 Miliar.
(c) Piutang pada seluruh KPP di wilayah Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, Kanwil DJP
Jakarta Khusus dan seluruh KPP Madya.
(4) Strategi kegiatan penagihan yang dilakukan antara lain adalah sebagai berikut:
(a) Analisis bedah piutang terhadap 100 penunggak pajak terbesar, yang meliputi
pembuatan profil Wajib Pajak/Penanggung Pajak tersebut Iengkap dengan upaya
hukum yang telah dan tengah dilakukan serta daftar harta kekayaan yang masih
dimiliki yang dilengkapi dengan pohon kepemilikan dalam hal perusahaan yang
bersangkutan dimiliki oleh grup perusahaan.
(b) Pemblokiran dan penyitaan atas harta kekayaan Wajib Pajak/Penanggung Pajak
yang tersimpan pada bank.
(c) Pencegahan bepergian ke luar negeri yang dilakukan secara selektif dengan
memperhatikan prinsip kehati-hatian.
(d) Penyanderaan yang dilakukan secara selektif dengan memperhatikan prinsip
kehati-hatian.
(4) Pengawasan dan pemantauan ketetapan mulai tahun pajak 2008 dan seterusnya oleh KPP
dan Kanwil.
(5) Membangun aplikasi yang mengintegrasikan data piutang pajak dengan data:
(a) MPN;
(b) keberatan/banding;
(c) daluwarsa piutang pajak; dan
(d) pemindahbukuan.
Action plan yang akan dilakukan pada tahun 2012 adalah sebagai berikut:
(1) Peningkatan kerjasama dengan instansi Kejaksaan.
(2) Pemberdayaan kegiatan penyidikan di unit vertikal.
Tabel 3.50
Perbandingan Kinerja Penyidikan DJBC Tahun 2009 s.d. 2011
Tahun ∑ SPDP P-21 & P-19 % Target
2009 222 162 72.97% 40%
2010 184 138 75% 50%
2011 121 96 79,34% 50%
Pada tahun 2011, penyidikan tindak pidana di bidang kepabeanan dan cukai yang dinyatakan
lengkap oleh Kejaksaan ditargetkan sebesar 50%. Sampai dengan bulan Desember 2011 realisasinya
melebihi target yang ditetapkan yaitu sebesar 79,34%.
Walaupun pada tahun 2011 capaian IKU ini dapat melampaui target yang ditetapkan, akan tetapi
dalam pelaksanaan penyidikan terdapat beberapa kendala yang dihadapi yang sangat berpotensi
menghambat kinerja proses penyidikan pada tahun-tahun mendatang yaitu:
(1) Kurangnya tenaga PPNS DJBC yang terampil, yang antara lain disebabkan karena adanya
perubahan persyaratan administrasi untuk mengikuit pendidikan PPNS yang dikeluarkan
oleh Kementerian Hukum dan HAM, yang mempersyaratkan calon peserta diklat PPNS
dengan pangkat minimal III/a dan telah memiliki ijazah S1.
(2) Jumlah penyidik yang relatif sedikit, khususnya untuk kualifikasi Pelaksana. Selain itu, banyak
juga Penyidik yang telah menduduki jabatan Struktural serta telah tersebar ke seluruh
Indonesia serta penyebaran tenaga PPNS yang tidak merata dan proporsional dengan beban
penyidikan pada masing-masing kantor DJBC.
(3) Belum adanya kesepahaman dengan instansi penegak hukum lain di beberapa daerah
berkaitan dengan pelaksanaan penegakan hukum Kepabeanan dan Cukai
Untuk tahun 2011, capaian IKU dihitung dengan membandingkan antara jumlah piutang yang
diselesaikan dengan jumlah piutang outstanding (piutang yang belum dilunasi sampai dengan
tanggal Laporan Keuangan) dengan umur kurang atau sama dengan 3 tahun.
Piutang yang belum dilunasi sampai dengan tanggal Laporan Keuangan dengan umur lebih dari 3
tahun akan dikeluarkan dari akun piutang dan dimasukan sebagai akun penyisihan piutang tidak
tertagih dengan kategori piutang macet dengan nilai piutang yang disisihkan sebesar 100% dari
total piutang setelah dikurangi dengan nilai agunan atau nilai barang sitaan.
Pada tahun 2011 telah diselesaikan piutang sebanyak Rp79.380,66 Miliar dari jumlah piutang yang
berumur kurang dari 3 tahun sebanyak Rp99.944,87 Miliar sehingga capaian tahun 2011 sebesar
79,42%, melebihi target yang ditetapkan sebesar 60% (lihat Tabel 3.51).
Tabel 3.51
Data Realisasi Penyelesaian Piutang DJBC Tahun 2011
%
No S.d. Bulan Σ Piutang < 3 Tahun Σ Penyelesaian Piutang Target
Capaian
1 Januari 17.985.398.714.804 5.001.017.043.030 10% 27,81%
2 Februari 23.335.967.451.968 13.099.623.131.568 15% 56,13%
3 Maret 30.035.543.967.124 16.475.185.302.550 17% 54,85%
4 April 35.019.621.892.574 21.151.072.509.623 20% 60,40%
5 Mei 41.894.701.850.866 27.879.594.833.623 24% 66,55%
6 Juni 48.888.021.091.969 33.411.645.623.825 28% 68,34%
7 Juli 56.881.653.717.562 40.921.050.824.735 33% 71,94%
8 Agustus 63.366.438.821.361 48.294.909.704.946 38% 76,22%
9 September 73.419.632.393.041 58.604.759.513.983 44% 79,82%
10 Oktober 80.567.958.991.797 64.911.709.329.438 48% 80,57%
11 November 87.860.935.666.104 70.903.231.059.279 53% 80,70%
12 Desember 99.944.876.935.694 79.380.661.587.021 60% 79,42%
Perbandingan capaian IKU dari tahun 2009 sampai dengan 2011 adalah sebagaimana tampak pada
Tabel 3.52
Tabel 3.52
Perbandingan Realisasi Penyelesaian Piutang DJBC Tahun 2009 – 2011
%
Tahun Σ Tagihan yang diterbitkan Σ Tagihan yang diselesaikan Target
Capaian
2009 4.035.511.252.611,59 2.534.476.223.806,16 62,80% 50%
2010 4.519.763.584.690,28 2.656.096.185.537,49 50,70% 55%
2011* 99.944.876.935.694,00 79.380.661.587.021,00 79,42% 60%
* Ket : Jumlah piutang dan penyelesaian tahun 2011 meliputi piutang cukai
2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2005 tentang Sistem Informasi
Keuangan Daerah, terdapat beberapa perubahan sebagai berikut:
a) Apabila Pemerintah Daerah belum menyampaikan APDB-nya hingga batas waktu yang telah
ditetapkan, maka diberikan peringatan tertulis oleh Menteri Keuangan.
b) Peringatan tertulis tersebut diterbitkan paling lama 15 (lima belas) hari setelah batas waktu.
c) Dalam hal Pemerintah Daerah dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterbitkannya
peringatan tertulis masih belum menyampaikan APBD-nya, Menteri Keuangan menetapkan
sanksi berupa penundaan DAU.
Selama kurun waktu 2007 hingga 2010, Pemerintah Daerah semakin baik dalam menyampaikan
Perda APBD mereka kepada Pemerintah. Tahun 2007 hanya 5 (lima) daerah saja yang dikenakan sanksi
penundaan DAU, tahun 2008 menurun menjadi hanya 3 (tiga) daerah yang dikenakan sanksi, tahun 2009
juga sebanyak 3 (tiga) daerah, dan tahun 2010 menurun lagi menjadi hanya 2 (dua) daerah saja. Akan
tetapi dengan berlakunya PP Nomor 65 Tahun 2010 maka pada tahun 2011 pengenaan sanksi dilakukan
lebih cepat daripada tahun sebelumnya, dan sebanyak 19 daerah dikenakan sanksi penundaan DAU.
Apabila pada tahun-tahun mendatang jumlah yang dikenakan sanksi ini sama banyak atau masih banyak,
mungkin dapat disimpulkan bahwa batas waktu 31 Januari untuk menyampaikan APBD sebagaimana
yang disyaratkan dalam PP Nomor 65 Tahun 2010 tersebut cukup memberatkan bagi sebagian Pemerintah
Daerah.
Target yang ditetapkan bahwa Daerah yang tidak dikenakan sanksi penundaan penyaluran DAU untuk
IKU adalah 90%, dengan capaian IKU sebesar 96,37%. Artinya, terdapat 505 Daerah yang tidak terkena
sanksi dan hanya 19 (sembilan belas) Daerah saja yang belum menyampaikan APBD-nya sehingga
dikenakan sanksi penundaan penyaluran DAU sebesar 25% dari jumlah yang ditransfer setiap bulan.
Adapun penundaan tersebut dilakukan sampai dengan disampaikannya APBD kepada Kementerian
Keuangan.
Pada Tahun Anggaran 2011 jumlah persentase kepatuhan penyampaian LBP Semester I TA
2011 adalah sebesar 100%, yaitu 83 K/L seluruhnya telah menyampaikan LBP tepat waktu.
Pada Tahun Anggaran 2011 terdapat 3 (tiga) Lembaga yang baru terbentuk dan memiliki
bagian anggaran tersendiri. Ketiga lembaga ini diperlakukan khusus karena baru terbentuk
dan baru mengetahui kewajiban menyampaikan LBP kepada Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara setelah batas waktu penyampaian laporan.
Dalam rangka mencapai IKU persentase kepatuhan pelaporan BMN oleh K/L, DJKN telah
melakukan beberpa upaya, antara lain dengan mengingatkan K/L baik secara tertulis
melalui surat resmi maupun melalui komunikasi informal.
Lingkup objek penertiban meliputi seluruh aset tetap/BMN yang perolehannya berasal dari APBN
dan perolehan lainnya yang sah, serta kekayaan negara lain-lain. Inventarisasi dan penilaian BMN
telah dilakukan mulai dari tahun 2007 hingga 2011. Selanjutnya hasil inventarisasi dan penilaian
BMN tersebut dijadikan sebagai dasar koreksi atas nilai BMN yang telah disajikan pada Neraca
Awal Pemerintah per 31 Desember 2004.
Satuan Kerja yang telah selesai dilakukan inventarisasi dan penilaian BMN harus melakukan
koreksi nilai hasil inventarisasi dan penilaian BMN dimaksud ke dalam neraca melalui aplikasi
SIMAK BMN. Jumlah satker yang telah selesai dilakukan inventarisasi dan penilaian BMN per 31
Desember 2010 sebanyak 22.724 satker, dan jumlah ini ditetapkan sebagai target jumlah satker
yang harus melakukan koreksi neraca sampai dengan tahun 2011.
Sampai dengan 31 Desember 2011, jumlah satker yang telah melakukan koreksi hasil inventarisasi
dan penilaian ke dalam neraca sebanyak 22.781 satker dari 22.781 satker (Capaian IKU Persentase
Satker yang telah melakukan koreksi neraca sebesar 100%) yang telah selesai dilakukan
inventarisasi dan penilaian BMN dengan nilai hasil inventarisasi dan penilaian BMN yang telah
dilakukan koreksi ke dalam neraca Kementerian/Lembaga sebesar Rp422.001.243.861.344,00.
Dalam rangka mencapai target IKU Persentase Satker yang telah melakukan koreksi neraca, DJKN
secara berkesinambungan melakukan upaya sebagai berikut:
(1) Melakukan pembinaan serta pendampingan secara terus-menerus kepada Kementerian/
Lembaga agar melakukan koreksi hasil inventarisasi dan penilaian BMN ke dalam neraca
melalui aplikasi SIMAK BMN.
(2) Melakukan rekonsiliasi/pemutakhiran data BMN secara rutin per semester untuk
memastikan bahwa hasil inventarisasi dan penilaian BMN tersebut telah dikoreksi di neraca
Satker dan telah dilaporkan dalam Laporan Barang Pengguna maupun dalam Laporan
Keuangan Kementerian/Lembaga.
Dari data tersebut dapat diperoleh realisasi capaian atas IKU Persentase monitoring dan evaluasi
rekomendasi BPK atas LKPP yang telah ditindaklanjuti sampai dengan triwulan IV tahun 2011 yaitu
sebesar 100% yang berasal dari realisasi semester I sebesar 33,33%, triwulan III sebesar 33,335 dan
triwulan IV sebesar 33,34%.
Untuk mempertahankan realisasi capaian atas IKU ini, pada tahun 2012 DJPb akan melakukan langkah-
langkah berupa:
a) Melakukan pembahasan hasil pemeriksaan BPK atas LKPP terkait BUN dan K/L.
b) Melakukan kegiatan berupa penyusunan tanggapan pemerintah terhadap LHP atas LKPP 2011.
c) Monitoring dan evaluasi progress pelaksanaan kegiatan atas temuan dan rekomendasi BPK
terhadap LKPP 2011.
Program dan kegiatan dalam rangka pelaksanaan kebijakan pengawasan intern Kementerian Keuangan
ditetapkan setiap tahun dalam bentuk Tema Pengawasan Unggulan (TPU), yaitu berupa kegiatan
tertentu pada unit eselon I, yang berdasarkan hasil identifikasi dan penilaian bersama Itjen dan auditee
memerlukan perhatian dan harus segera diperbaiki dan/atau ditingkatkan kinerjanya. Output akhir dari
setiap penugasan TPU lebih diutamakan berupa sejumlah policy recommendation yang dapat mengatasi
permasalahan utama di Unit Eselon I. Dalam rangka menjalankan peran Strategic Business Partner bagi
Eselon I, sejak tahun 2009 Itjen melakukan pengawasan tematik yang bersifat konsultatif dalam bentuk
TPU. Output akhir dari setiap penugasan pengawasan bukan lagi sekedar jumlah temuan. Dengan
pengawasan tersebut diharapkan memberikan sejumlah policy recommendation.
Dari berbagai kegiatan TPU terhadap unit-unit Eselon I selama tahun 2011, Itjen telah menghasilkan 41
(empat puluh satu) policy recommendation, meningkat dari tahun lalu sebesar 39 (tiga puluh sembilan)
yang juga melebihi target sebesar 32 (lihat Tabel 3.53). Policy recommendation ini dapat berupa usulan
draf revisi PMK, usulan draf revisi KMK, Rancangan PMK, Rancangan KMK, usulan draft SOP, usulan Surat
Edaran, usulan Kebijakan, serta usulan perbaikan lainnya.
Tabel 3.53
Capaian Kinerja Jumlah Policy Recommendation Hasil Pengawasan
Tahun 2011
Tahun 2010
Realisasi Target
Jumlah Policy Recommendation yang 39 policy 41 policy 32 policy
dihasilkan recommendation recommendation recommendation
Sejak 2009 tampak jelas terjadi peningkatan jumlah policy recommendation hasil pengawasan. Hal ini
menunjukkan upaya Itjen untuk dapat lebih memberikan nilai tambah (value added) bagi kinerja Kementerian
Keuangan sebagai bentuk peran Strategic Business Partner Itjen bagi Eselon I dalam rangka sama-sama
mewujudkan pengendalian intern yang kuat di lingkungan Kementerian Keuangan. Pengawasan yang
dilakukan oleh Itjen lebih mengutamakan pengawasan yang memberikan solusi alternatif/usulan kebijakan
untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing unit eselon I terkait dengan pelaksanaan
tugas dan fungsi.
13. Sasaran Strategis 13: Pembentukan SDM yang berkompetensi tinggi (KK-13).
Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 3 (tiga) Indikator Kinerja
Utama (IKU) sebagai berikut:
Upaya-upaya yang telah dilakukan dalam pencapaian target, antara lain adalah sebagai berikut:
1) melakukan pendataan terhadap pejabat yang masih memiliki JPM di bawah 72%;
2) menyampaikan data pejabat (JPM < 72%) kepada Unit Eselon I untuk diberikan program
pengembangan kapasitas dan prioritas mengikuti re-assessment center;
3) melakukan seleksi kriteria peserta Assessment Center dan re-assessment center terhadap pejabat/
pegawai dengan ketentuan: belum pernah mengikuti Assessment Center untuk profiling
kompetensi di jabatannya saat ini, menduduki jabatan setingkat lebih tinggi atau mendapatkan
penugasan yang lebih tinggi selama minimal 6 bulan, serta memiliki nilai JPM di bawah ketentuan
standar minimal (72%) pada SKJ jabatannya saat ini;
4) melakukan penjadualan Assessment Center dan Assessor yang ketat sehingga kebutuhan
Assessment Center Pusat dan Unit Eselon I terpenu
Target rasio jam pelatihan terhadap jam kerja yang harus dipenuhi adalah sebesar 2% dengan realisasi
2,7%. Capaian sebesar 139,04% ini antara lain disebabkan oleh penyelenggaraan diklat-diklat yang
dihasilkan dari efisiensi penyelenggaraan diklat-diklat yang telah dilakukan pada triwulan-triwulan
sebelumnya. Selama tahun 2011, BPPK telah menyelenggarakan diklat sebanyak 2.515.154 jamlat x
peserta (lihat Tabel 3.54).
Tabel 3.54
Jumlah Jam Pelatihan Masing-masing Unit Pengelola Diklat Tahun 2011
No Unit Jamlat Rasio
1 Pusdiklat PSDM 669.420 0,7401%
2 Pusdiklat AP 113.844 0,1259%
3 Pusdiklat Pajak 451.732 0,4994%
4 Pusdiklat BC 262.028 0,2897%
5 Pusdiklat KNPK 116.765 0,1291%
6 Pusdiklat KU 212.045 0,2344%
7 BDK Medan 71.506 0,0791%
8 BDK Pekanbaru 79.506 0,0879%
9 BDK Palembang 74.471 0,0823%
10 BDK Cimahi 69.580 0,0769%
11 BDK Yogyakarta 65.085 0,0720%
12 BDK Malang 90.368 0,1000%
13 BDK Denpasar 26.596 0,0294%
14 BDK Pontianak 32.198 0,0356%
15 BDK Balikpapan 67.533 0,0747%
16 BDK Makassar 71.966 0,0796%
17 BDK Manado 40.511 0,0448%
Total 2.515.154 2,7808%
Faktor pendukung tercapainya target IKU ini antara lain adalah sebagai berikut:
1) Pelaksanaan kalender diklat yang sesuai dengan rencana dan kebutuhan unit pengguna diklat.
2) Adanya optimalisasi anggaran dengan penambahan program diklat yang baru.
3) Program diklat yang tidak dapat dilaksanakan di atasi dengan penggantian peserta atau
penggantian progam diklat.
4) BPPK secara rutin melakukan evaluasi terhadap unit-unit yang tidak mencapai target, yang
kemudian ditindaklanjuti dengan perbaikan yang signifikan.
5) Melakukan proses remapping sebaran potential trainees dan distribusi program diklat di wilayah
kerja Balai Diklat Keuangan (BDK).
6) Melakukan koordinasi yang intensif dengan unit-unit di Kementerian Keuangan c.q. unit
pengelola SDM, terkait rekonfirmasi keikutsertaan peserta.
Hasil evaluasi pascadiklat terhadap 32 program diklat yang dijadikan sampel, menunjukkan bahwa 31 program
diklat diantaranya berkontribusi terhadap peningkatan kompetensi alumni diklat.
IKU persentase diklat yang berkontribusi terhadap peningkatan kompetensi tersebut menggambarkan arah
kebijakan terselenggaranya program diklat yang sesuai kebutuhan. Untuk tahun 2011, target IKU persentase
diklat yang berkontribusi terhadap peningkatan kompetensi sebesar 80% telah dapat dicapai karena realisasinya
mencapai 96,88%. Faktor pendukung tercapainya target IKU tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1) Program diklat yang disusun telah sesuai dengan kebutuhan stakeholders.
2) Peserta diklat yang mengikuti diklat telah tepat sasaran.
3) Bahan dan materi ajar yang disusun dapat digunakan di lingkungan Kementerian Keuangan tempat
peserta diklat berasal.
4) Metode diklat yang diterapkan telah sesuai dengan program diklat.
5) Evaluasi pascadiklat telah menggunakan metode yang tepat.
6) Peningkatan teaching skills dan knowledge update pengajar yang intensif.
7) Pengembangan suasana belajar yang kondusif.
Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 2 (dua) Indikator Kinerja
Utama (IKU) sebagai berikut:
Selain program penataan/modernisasi organisasi Kementerian Keuangan yang telah ditargetkan dalam
kontrak kinerja awal tahun 2011, dalam perkembangannya sebagai pelaksanaan amanat Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011, terdapat tugas tambahan
yang harus segera diselesaikan yaitu pembentukan Satuan Kerja (satker) Badan Layanan Umum (BLU)
pengelola dana pengembangan pendidikan nasional (DPPN) dengan nomenklatur Lembaga Pengelola
Dana Pendidikan (LPDP).
Apabila pembentukan LPDP tersebut ditambahkan dalam target 2011, maka tingkat capaian IKU ini
akan menjadi 111,11%. Akan tetapi karena tidak ditargetkan sejak awal, capaian ini tetap dilaporkan
100%, yaitu atas target sebanyak 9 PMK.
Persentase Unit Pemilik Risiko (UPR) yang telah melaksanakan manajemen risiko adalah perbandingan
antara unit Eselon II yang telah melaksanakan manajemen risiko dibandingkan dengan jumlah seluruh
UPR. UPR yang telah melaksanakan manajemen risiko adalah UPR yang telah menyelesaikan seluruh
tahapan manajemen risiko secara lengkap berupa 7 (tujuh) tahapan sesuai dengan PMK 191 Tahun 2008
tentang Penerapan Manajemen Risiko di Lingkungan Departemen Keuangan, yaitu penetapan konteks,
identifikasi risiko, analisis risiko, evaluasi risiko, rencana penanganan risiko, monitoring, dan pelaporan.
IKU persentase UPR yang menerapkan manajemen risiko dari target 60,00% terealisasi sebesar 90,56%,
sehingga persentase capaiannya adalah 120,00%.
IKU ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan aplikasi sebagai sarana pelaporan pencapaian kinerja,
dimana yang diperhitungkan adalah IKU yang terdapat pada level Depkeu-Wide dan Depkeu-One.
Batasan ketepatan waktu adalah setiap tanggal 21 bulan April, Juli, Oktober, dan Januari.
Penyelesaian action plan Unit Kontrol Internal (UKI) selama tahun 2011 oleh Itjen telah selesai 100%
dari tahapan yang direncanakan. Tahapan selanjutnya untuk jangka panjang, akan dilaksanakan sampai
dengan tahun 2015, dengan sasaran berupa terbentuknya struktur unit kontrol intern yang permanen
pada tiap unit eselon I dan terlaksananya penerapan sistem pengendalian intern secara luas dan
memadai di lingkungan Kementerian Keuangan.
Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 1 (satu) Indikator Kinerja
Utama (IKU) sebagai berikut:
Kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka pencapaian IKU yang terkait dengan Integrasi TIK Kementerian
Keuangan adalah sebagai berikut:
1) Proses Pengadaan Pembangunan DC-DRC (tercapai 2,5%).
2) Pembangunan DC-DRC (Tercapai 10%).
3) Proses Pengadaan Perangkat Keras dan Jaringan Lunak, serta TIK Tahap I dapat terealisasi 2,5%.
4) Deployment perangkat keras dan lunak, serta Jaringan Tahap I dapat terealisasi 10%.
5) Proses Pengadaan Konsultan Pembangunan Integrasi TIK Tahap I dapat terealisasi 5%.
6) Pelaksanaan Konsultansi Pembangunan Integrasi TIK Tahap I dapat terealisasi 10%.
Dalam pencapaian sasaran strategis ini Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 1 (satu) Indikator Kinerja
Utama (IKU) sebagai berikut:
Dengan selesainya proses rekonsiliasi antara Sistem Akuntansi Instansi (SAI) dan Sistem Akuntansi Umum
(SAU), maka berdasarkan data tanggal 22 Pebruari 2011, penyerapan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
(DIPA) Kementerian Keuangan Tahun 2011 untuk belanja modal dan belanja barang adalah sebesar 78,80%
dari target sebesar 80%. Apabila digabungkan dengan belanja pegawai, maka capaian kinerja penyerapan
DIPA Kementerian Keuangan menjadi sebesar 85,75%. Perbandingan realisasi penyerapan DIPA per jenis
belanja tahun 2010 dan 2011 tersaji pada tabel 3.55 berikut ini.
Tabel 3.55 memperlihatkan realisasi Kementerian Keuangan menurut jenis belanja secara bruto, tanpa
memperhitungkan pengembalian belanja. Apabila dikurangi pengembalian belanja sebesar Rp25.651.975.603,
realisasi belanja netto adalah sebesar Rp14.849.729.665.089 atau 85,61% dari pagu. Dari jumlah tersebut,
apabila ditambah dengan belanja pembayaran imbalan bunga sebesar Rp1.247.399.871.387, maka total
realisasi belanja Kementerian Keuangan TA 2011 adalah sebesar Rp16.097.129.536.476 atau mencapai 92,80%
dari anggarannya.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat Layanan Pengadaan Secara Elektronik Kementerian Keuangan,
dari pagu anggaran pengadaan barang/jasa (Belanja Barang dan Belanja Modal) sebesar Rp2,353 Miliar
dapat dilakukan penghematan sebesar Rp375,7 Miliar atau 15,96% sebagaimana tampak pada tabel 3.56.
Penghematan tersebut cukup signifikan dalam mempengaruhi capaian kinerja IKU ini, karena penghematan
yang dilakukan ternyata sebesar 4,01% dari total Belanja Barang dan Belanja Modal di Kementerian Keuangan
yaitu sebesar Rp9,373,205 Miliar.
Tabel 3.56
Laporan Hasil Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik (e-Procurement) Kementerian Keuangan s.d 31 Desember 2011
Total Pagu Pengadaan
Nilai Hasil Lelang (Rp) Pengehematan
No Unit Paket Selesai (Rp)
Jumlah Jumlah Rp %
1 BKF 16 18.626.481.250 14.732.680.978 3.893.800.272 20,90
2 BPPK 89 105.556.950.840 85.965.740.585 19.091.210.355 18,56
3 Bapepam LK 20 42.855.984.047 32.764.676.739 10.091.307.308 23,55
4 DJA 18 23.245.917.397 19.520.236.903 3.725.680.494 16,03
5 DJBC 82 965.521.181.707 854.644.818.313 110.876.363.394 11,48
6 DJKN 80 64.283.098.710 52.926.256.122 11.356.842.588 17,67
7 DJP 177 485.089.762.683 373.414.612.419 111.675.150.264 23,02
8 DJPBt 75 202.549.697.000 182.033.691.524 20.516.005.465 10,13
9 DJPK 29 41.036.108.283 16.665.910.795 3.329.747.421 16,65
10 DJPU 6 41.036.108.283 37.875.017.923 3.160.090.360 7,70
11 Itjen 15 9.282.000.000 7.975.699.793 1.306.300 14,07
12 Setjen 104 375.730.211.665 299.489.155.417 76.241.056.248 20,29
Jumlah 711 2.353.773.051.798 1.978.009.497.411 375.763.554.387 15,96
Capaian IKU Persentase penyerapan DIPA Kementerian Keuangan (non Belanja Pegawai) sebesar 78,80%
tersebut belum mencapai target yang telah ditetapkan, yaitu sebesar 80%. Beberapa kendala yang
menyebabkan masih rendahnya capaian Indikator Kinerja Utama Presentase Penyerapan DIPA antara lain
adalah sebagai berikut:
a. Pengelola keuangan pada Satuan kerja (Satker) belum mempunyai sertifikat Pengadaan Barang dan
Jasa sehingga kesulitan dalam proses Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ).
b. Proses penghapusan BMN yang belum diselesaikan sehingga menyebabkan pembangunan fisik yang
telah ditetapkan di tahun 2011 tidak dapat dilaksanakan proses pengerjaannya.
c. Perencanaan kas yang kurang baik dari masing-masing Satker sehingga penyerapan anggaran sebagian
besar direncanakan dan dilaksanakan pada akhir tahun 2011.
d. RKAKL/DIPA yang tidak sesuai dengan kondisi riil pelaksanaan kegiatan pada tahun 2011 sehingga
diperlukan revisi RKAKL/DIPA yang membutuhkan waktu sehingga menghambat penyerapan
anggaran.
e. Terjadinya gagal lelang pada Pengadaan Barang dan Jasa karena hambatan dari pihak ekstern
pemerintah, baik dari LSM maupun kontraktor yang tidak tertarik dengan paket pelelangan karena
nilainya tidak menguntungkan, atau dari sanggahan peserta lelang yang dapat menyebabkan proses
lelang menjadi berlarut-larut ataupun gagal.
f. Efisiensi pengadaan barang dan jasa (belanja barang/modal) karena pelelangan dilaksanakan melalui
Pengadaan Secara Elektronik, dimana sasaran sudah tercapai dengan harga di bawah pagu.
Hal-hal yang telah dilakukan untuk pencapaian IKU Indeks Persentase Penyerapan DIPA, antara lain adalah
sebagai berikut:
a. Melakukan percepatan diklat Pengadaan Barang dan Jasa termasuk penempatan pegawai yang
bersertifikat dan mengurangi intervensi terhadap pejabat pengadaan.
b. Menyempurnakan dan mengevaluasi perencanaan penyerapan anggaran.
c. Optimalisasi penggunaan anggaran melalui mekanisme revisi dari sisa dana kegiatan-kegiatan yang
telah tercapai outputnya.
d. Mempercepat proses buka blokir dengan melengkapi data pendukung yang dibutuhkan.
C. Kinerja Lainnya
Selain dari 16 (enam belas) Sasaran Strategis (SS) yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan dengan capaian
sebagaimana diuraikan pada butir A dan B di atas, Kementerian Keuangan juga telah melakukan beberapa hal
berikut ini yang merupakan kegiatan-kegiatan yang bersifat adhoc dan terkait dengan tugas fungsi Kementerian
Keuangan. Kinerja lain tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pelaksanaan Rencana Aksi Sesuai Instruksi dan Arahan Presiden.
2) Bidang penelitian dan investigasi kasus, yang antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut:
a) Menyerahkan dokumen salinan Putusan Pengadilan Pajak atas 151 Wajib Pajak yang proses
banding pajaknya pernah ditangani oleh Gayus, kepada POLRI untuk penyelidikan.
b) Menyerahkan laporan hasil audit investigasi Inspektorat Jenderal kepada KPK, POLRI, dan
Kejaksaan Agung.
c) Membentuk Tim Gabungan yang terdiri dari Inspektorat Jenderal dan BPKP dengan
Keputusan Menteri Keuangan;
3) Bidang perbaikan kinerja, yang antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut:
a) Membangun governance di lingkungan DJP, antara lain meliputi pembangunan sistem
nilai organisasi, memperkuat Unit Kontrol Internal DJP, dan membangun sistem eksaminasi
internal dan quality assurance pemeriksaan pajak.
b) Melakukan perbaikan di lingkungan Pengadilan Pajak, yang antara lain meliputi inisiatif
perubahan UU Pengadilan Pajak, pembuatan Nota Kesepahaman dengan MA dan Komisi
Yudisial terkait pembinaan dan pengawasan hakim pajak, dan perbaikan sistem adminstrasi
perkara.
c) Membentuk Tim Audit Kinerja dengan Keputusan Menteri Keuangan yang melaksanakan
audit kinerja atas pemeriksaan pajak, penagihan pajak, dan banding untuk memperbaiki
proses bisnis dan governance di bidang pemeriksaan pajak, penagihan pajak, dan banding.
2. Penyelesaian Undang-undang.
Pada tahun 2011 telah diselesaikan pembahasan 7 (tujuh) RUU, dengan catatan dalam pembahasan RUU
tersebut Menteri Keuangan berkedudukan selaku Koordinator Pemerintah. Ketujuh RUU dimaksud telah
ditetapkan oleh Presiden menjadi undang-undang, yaitu:
a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Akuntan Publik pada tanggal 3 Mei 2011.
b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang pada tanggal 28 Juni 2011.
c. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 10 Tahun
2010 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011 pada tanggal 10
Agustus 2011.
d. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Pertanggungjawaban Atas Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010 pada tanggal 19 September 2011.
e. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal 22 November
2011.
f. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2012 pada tanggal 24 November 2011.
g. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial pada tanggal 25
November 2011.
3. Pencapaian debottlenecking regulasi yang menjadi tanggung jawab Kementerian Keuangan dalam
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
4. Persiapan untuk defisit APBN sebesar 0 (nol) atau sesedikit mungkin pada tahun 2014.
Terkait Arahan Presiden untuk defisit APBN sebesar 0 (nol) atau sesedikit mungkin pada tahun 2014,
Kementerian Keuangan telah melaksanakan penyusunan dan strategi rencana kerja Anggaran Berimbang
(balanced budget) untuk mendorong tidak adanya defisit anggaran APBN pada tahun 2014.
Sensus Perpajakan Nasional pada dasarnya merupakan kegiatan pengumpulan data mengenai kewajiban
perpajakan dalam rangka memperluas basis pajak dengan mendatangi subjek pajak secara langsung di
lokasi tempat usaha dan/atau tempat tinggal mereka. Kegiatan sensus ini juga diikuti dengan kegiatan
penyuluhan dan himbauan kepada Wajib Pajak untuk membayar dan melaporkan pajaknya sesuai keadaan
yang sebenarnya.
Hasil yang diharapkan dari kegiatan Sensus Perpajakan Nasional ini adalah (1) tersedianya data yang akurat
atas potensi pajak dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak; (2) meningkatnya pelayanan yang
berkeadilan bagi masyarakat dalam pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan; serta (3) meningkatnya peran
serta masyarakat dalam mendukung kelangsungan pembangunan sehingga bangga menjadi warga negara.
Hasil piloting QA yang mencakup 8 (delapan) area perubahan reformasi birokrasi (tingkat mikro), 24
(dua puluh empat) sasaran, dengan menggunakan 42 (empat puluh dua) indikator dan 76 (tujuh puluh
enam) parameter menunjukkan capaian aktual dengan nilai 91,21 dari skor maksimal 100 atau dengan
kategori “sangat baik”. Skor tersebut berasal dari pencapaian aktual pengujian 8 (delapan) area perubahan
sebagaimana tampak pada Tabel 3.57.
Tabel 3.57
Hasil QA Pelaksanaan Reformasi Birokrasi DJBC Tahun 2011
No Area Perubahan/Program Bobot Skor Nilai Akhir
1 Pola Pikir dan Budaya Kerja 10 94,86 9,49
2 Penataan Peraturan Perundang-undangan 10 88,75 8,88
3 Penataan dan Penguatan Organisasi 10 90,00 9,00
4 Penataan Tata Laksana 10 90,50 9,05
5 Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur 20 96,88 19,38
6 Penguatan Pengawasan 10 87,98 8,80
7 Penguatan Akuntabilitas Kinerja 10 86,25 8,63
8 Peningkatan Kualitas Layanan Publik 20 90,00 18,00
Total 100 91,21
Tabel di atas menunjukkan pelaksanaan 8 (delapan) area perubahan pada Kementerian Keuangan berada
pada kategori sangat baik dan baik, meskipun masih terdapat area of improvement sebesar 8,79% yang
menjadi rencana perbaikan di Kementerian Keuangan untuk tahun 2012.
Penyerahan DIPA tahun anggaran 2012 dilakukan langsung oleh Presiden RI di Istana Negara secara simbolis
kepada enam Kementerian/Lembaga dengan nilai penyerapan terbesar di tahun 2011, yaitu Kementerian
PU, Kementerian Perhubungan, Kejaksaan Agung, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Riset dan
Teknologi. Selain itu Presiden juga menyerahkan DIPA kepada para Gubernur se-Indonesia.
Tabel 3.58
Perkembangan Pembiayaan melalui Utang 2007-2012
2007 2008 2009 2010 2011 2012
Surat Berharga Nagara (neto) 57,2 85,9 99,5 91,1 126,7 134,6
Penerbitan, bruto 100 126,2 148,5 167,6 211,2
Domestik 86,4 86,9 101,7 142,6
Valas 13,6 39,3 46,8 25
Pembayaran Pokok dan Pembelian (42,8) (40,3) (49,1) (76,5) (84,5)
Kembalian
Pembiayaan Pinjaman (neto) (23,9) (18,4) (15,5) (4,2) (1,3) (1,0)
Pinjaman PLN, bruto 34,1 45,0 52,5 46,1 44,5 45,4
Pinjaman Program 19,6 30,1 28,9 29,0 19,2 15,3
Pinjaman Proyek 14,5 20,1 29,7 25,8 37,0 39,0
Penerusan PLN - 5,2 6,2 8,7 11,7 8,9
Pembayaran Cicilan Pokok PLN (57,9) (63,4) (68,0) (50,6) (47,2) (47,3)
Penarikan Pinjaman Dalam Negeri, neto - - - 0,4 1,5 0,9
Total Pembiayaan Utang 33,3 67,5 83,9 86,9 125,3 133,6
Catatan:
APBN 2007-2010 PAN/LKPP - Audited
*) APBN-P 2011
**) APBN 2012
Pembiayaan utang pemerintah juga dilakukan dengan mengoptimalkan potensi pendanaan utang
dari sumber domestik melalui penerbitan SBN Rupiah maupun penarikan pinjaman dalam negeri. Porsi
Pinjaman Luar Negeri terus diupayakan untuk diturunkan dengan kebijakan net negative flow Pinjaman Luar
Negeri. Dengan upaya ini diharapkan ketergantungan terhadap pembiayaan dari Pinjaman Luar Negeri
dapat semakin ditekan. Selain itu pengembangan instrumen utang terus dilakukan untuk meningkatkan
fleksibillitas sumber pembiayaan sehingga utang dapat diperoleh dengan biaya dan risiko yang rendah.
Hasilnya antara lain adalah dengan semakin menurunnya Debt to GDP ratio yaitu tingkat utang pemerintah
terhadap output perekonomian nasional (Pendapatan Domestik Bruto) sebagaimana terlihat dalam grafik
3.4 Dari grafik tersebut tampak bahwa Debt to GDP ratio terus menurun dari 35,1% pada tahun 2007 menjadi
sekitar 25% terhadap GDP pada tahun 2011.
㐀 Ⰰ㌀㈀㈀
Ⰰ㠀㠀
㈀ Ⰰ 㘀㐀
㤀㜀㤀
㤀 㘀
㠀 ㌀
㠀 㜀㌀
㔀㠀㘀 㘀 㘀㈀ 㘀㘀 㘀㔀
㘀
㐀
㈀
㈀ 㜀 ㈀ 㠀 ㈀ 㤀 ㈀ ㈀ ㈀ ㈀
Catatan:
Angka Realisasi PAN/LKPP - Audited RHS = Right Hand Side (sisi sumbu X sebelah kanan),
*) Angka sangat sangat sementara, LHS = Left Hand Side (sisi sumbu X sebelah kiri)
menggunakan asumsi APBN-P 2011
**) APBN 2012
Grafik 3.5 berikut ini juga menunjukkan bahwa rasio utang terhadap PDB Indonesia termasuk yang paling
rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Indonesia termasuk negara yang berhasil
mengurangi rasio utang terhadap PDB secara signifikan.
Grafik 3.5
Rasio Utang terhadap PDB di berbagai Negara 2011
dan Perubahannya 2007-2011
㘀㤀⸀㐀
㘀㈀⸀㤀
唀渀椀琀攀搀 匀琀愀琀攀猀 㔀㌀⸀㔀
㌀㜀⸀㔀
㘀 ⸀㠀
㜀㤀⸀㔀 㠀⸀㘀
㜀㘀⸀ 唀渀椀琀攀搀 匀琀愀琀攀猀 ㈀⸀
唀渀椀琀攀搀 䬀椀渀最搀漀洀 㘀㠀⸀㈀ ⴀ㜀⸀㌀
㔀⸀㠀 ⴀ㈀㌀⸀㌀
㐀㌀⸀㘀 ㌀㔀⸀㤀
㐀㈀⸀㐀 唀渀椀琀攀搀 䬀椀渀最搀漀洀 ㌀㈀⸀㔀
㐀㌀⸀ ㈀㐀⸀㘀
吀甀爀欀攀礀 㐀㘀⸀㌀ 㠀⸀㈀
㐀 ⸀
㌀㠀⸀㤀 ㌀⸀㔀
㈀ 㠀⸀㈀ 吀甀爀欀攀礀 㐀⸀
㤀㤀⸀㜀 㜀⸀㐀
䨀愀瀀愀渀 㤀㈀⸀㤀 ⸀
㜀㈀⸀ ㌀㠀⸀㈀
㜀 ⸀
䨀愀瀀愀渀 ㈀㤀⸀㜀
㈀ ⸀ ㈀㈀⸀㤀
㤀⸀ ㈀⸀
䤀琀愀氀礀 㔀⸀㠀
㔀⸀㠀 㘀⸀
㐀⸀ 㔀⸀
䤀琀愀氀礀 ⸀㠀
㈀㐀⸀㔀
㈀㔀⸀㜀 ⸀㠀
䤀渀搀漀渀攀猀椀愀 ㈀㜀⸀㐀
㈀㤀⸀㌀ ⴀ㤀⸀㔀
㌀㐀⸀ ⴀ㠀⸀㌀
䤀渀搀漀渀攀猀椀愀
ⴀ㘀⸀㘀
㔀⸀㘀 ⴀ㐀⸀㜀
㔀 ⸀㘀
䤀渀搀椀愀 㔀㜀⸀㌀ ⴀ㘀⸀㘀
㔀㘀⸀㐀 ⴀ㜀⸀㘀
㔀㠀⸀㈀ 䤀渀搀椀愀
ⴀ ⸀㤀
㠀⸀㔀 ⴀ⸀㠀
㠀㌀⸀㐀 㘀⸀㘀
䜀攀爀洀愀渀礀 㜀㌀⸀㈀
㘀㘀⸀ 䜀攀爀洀愀渀礀 㠀⸀㔀
㘀㐀⸀㤀 㠀⸀㌀
㔀㐀⸀㐀 ⸀
㔀㐀⸀㜀 㤀⸀㌀
䈀爀愀稀椀氀 㔀㤀⸀㔀 㤀⸀㘀
㌀㠀⸀㠀 䈀爀愀稀椀氀 㐀⸀㐀
㐀㔀⸀ ⴀ㘀⸀㌀
㐀㈀⸀㤀 ⴀ㌀⸀㈀
㐀㔀⸀
䄀爀最攀渀琀椀渀愀 㐀㠀⸀㘀 ⴀ⸀
䄀爀最攀渀琀椀渀愀
㐀㠀⸀㘀 ⴀ㜀⸀㔀
㔀㘀⸀ ⴀ㜀⸀㔀
Sumber: DJPU
*data sesuai APBN-P 2011
Selain itu, posisi pinjaman luar negeri Pemerintah dalam mata uang asli (original currency) terutama dalam
JPY dan EUR sejak tahun 2008 mengalami penurunan, sedangkan dalam USD relatif terkendali. Sebagai
contoh sejak tahun 2008 – 2010 posisi outstanding pinjaman luar negeri berdenominasi JPY masing-masing
sebesar JPY2.820Miliar, JPY2,678.8Miliar, dan JPY2,594.8Miliar. Pada akhir Desember 2011, jumlah ini
menurun kembali menjadi JPY2,525.6Miliar.
Tabel 3.59
Perkembangan Credit Rating Indonesia (2006-2011)
Tahun Rating
S&P Fitch Moody’s CRC R&I JCRA
2011 BB+ BBB- Ba1 4 BB+ BBB-
2010 BB BB+ Ba2 4 BB+ BBB-
2009 BB- BB Ba2 5 BB+ BB+
2008 BB- BB Ba3 5 BB+ BB-
2007 BB- BB- Ba3 5 BB+ BB-
2006 BB- BB- B1 5 BB- BB-
Sumber: diolah dari Buku Perkembangan Utang Negara: Edisi Januari 2012
Tabel 3.60
Penurunan biaya utang (2009-2011)
Tenor 30 Desember 2011 Desember 2010 Desember 2009 Desember 2008
1Y 4,35 5,36 6,72 10,36
2Y 4,92 5,82 7,61 11,22
3Y 5,22 6,27 8,23 11,45
4Y 5,24 6,34 8,75 11,67
5Y 5,35 6,78 8,80 11,70
6Y 5,45 6,96 9,06 11,77
7Y 5,83 7,16 9,24 11,82
10Y 5,96 7,57 10,04 11,86
15Y 6,56 8,78 10,64 11,92
20Y 7,02 9,24 10,72 11,91
30Y 7,26 9,68 10,97 12,17
Grafik 3.6
Penurunan biaya utang (2009-2011)
㐀
㈀
㠀
㘀
㐀
㈀
夀 ㈀夀 ㌀夀 㐀夀 㔀夀 㘀夀 㜀夀 夀 㔀夀 ㈀ 夀 ㌀ 夀
㌀ 䐀攀猀攀洀戀攀爀 ㈀ 䐀攀猀攀洀戀攀爀 ㈀
䐀攀猀攀洀戀攀爀 ㈀ 㤀 䐀攀猀攀洀戀攀爀 ㈀ 㠀
Dalam upaya untuk menjamin ketersediaan dana jaminan Pemerintah, perhitungan dan usulan alokasi
dana dalam APBN dilakukan dengan mempertimbangkan potensi default dari pihak yang dijamin
Pemerintah. Namun demikian, mengingat kebutuhan dana yang semakin besar untuk tahun-tahun
mendatang seiring dengan meningkatnya kewajiban pembayaran kepada kreditur, akan dilakukan
pengelolaan dana kewajiban kontinjensi dalam suatu rekening khusus yang dikelola dan diakumulasikan
dari tahun ke tahun. Saat ini, substansi RPMK tentang tata cara pengelolaan dana cadangan penjaminan
telah sampai pada tahap finalisasi.
Alokasi anggaran penjaminan Pemerintah untuk PT PLN (Persero) terkait proyek 10.000 MW tahap I dalam
APBN tahun anggaran 2011 adalah sebesar Rp889 Miliar (Delapan ratus delapan puluh sembilan Miliar
rupiah). Angka ini diperoleh dengan menggunakan rumus yang mencakup ha-hal seperti Exposure,
probability default, recovery rate untuk memperkirakan expected loss. Sementara itu alokasi anggaran
penjaminan Pemerintah yang mungkin timbul di tahun 2011 untuk program percepatan penyediaan
air minum adalah sebesar Rp4,75 Miliar. Namun, untuk meningkatkan kepercayaan perbankan atas
penjaminan Pemerintah untuk PDAM, maka alokasi anggaran penjaminan Pemerintah dalam APBN tahun
anggaran 2011 ditetapkan menjadi sebesar Rp10 Miliar (sepuluh Miliar rupiah). Sampai dengan Desember
2011, alokasi anggaran penjaminan Pemerintah dalam APBN tidak dicairkan, yang berarti tidak terjadi
gagal bayar dari pihak yang dijamin (PT PLN (Persero) dan PDAM).
Dalam rangka mitigasi risiko atas pelaksanaan penjaminan, telah dilakukan monitoring atas proyek-
proyek yang mendapatkan jaminan Pemerintah untuk mengukur dan mengetahui secara dini potensi
default. Monitoring dimaksud sekaligus dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
timbulnya default sekaligus mampu memberikan mitigasi risikonya.
Pada tahun 2011 telah dilaksanakan pengadaan IT ALM. Pelaksanaan pengadaan IT ALM dibagi menjadi
2 (dua) tahap, tahap I telah dilaksanakan pada tahun 2011 yang telah dimulai pada bulan Juni dengan
melakukan kegiatan perancangan sistem, pengadaan hardware dan software serta uji coba pada bulan
Desember 2011. Untuk Tahap II akan dilaksanakan pada tahun 2012 dengan membuat integrasi otomatis
serta validasi data dengan berbagai sistem yang diimplementasikan di Kementerian Keuangan, misalnya
data yang berasal dari proyek SPAN.
Dalam rangka pelaksanaan Asset Liability Management (ALM), pada tahun 2011 Kementerian Keuangan
telah melaksanakan pembahasan secara intensif dengan Bank Indonesia dan DPR terkait Revisi SKB tahun
2003 tentang penyelesaian BLBI serta restrukturisasi dan konversi Surat Utang Pemerintah. Kegiatan ini
masih perlu dilanjutkan pada tahun 2012 dengan tujuan mempertimbangkan beban pada APBN tahun
anggaran selanjutnya serta dampaknya bagi neraca BI.
Penyusunan GMRA Indonesian Annexes ini menampung praktik yang diselenggarakan di dunia internasional
dan menyesuaikan dengan kondisi mekanisme transaksi instrumen keuangan di dalam negeri.
Workshop tentang GMRA di tahun 2011 yang mengundang market participant telah dilaksanakan dua kali,
yaitu pada bulan November 2011 dan Desember 2011 dengan topik khusus terkait legal drafting GMRA
Indonesian Annexes yang pada intinya membahas pasal-pasal GMRA yang telah disesuaikan dengan
international best practice. Tahap selanjutnya setelah ini adalah tahap sosialisasi bagi para pelaku pasar dan
tahap implementasi yang di harapkan dapat diselesaikan pada pertengahan tahun 2012.
Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor
jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan
sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan
konsumen dan masyarakat.Melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
dibentuklah suatu lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang disebut Otoritas Jasa Keuangan. Undang-
Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan pada dasarnya memuat ketentuan tentang organisasi dan tata
kelola (governance) dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa
keuangan.
Sedangkan ketentuan mengenai jenis-jenis produk jasa keuangan, cakupan dan batas-batas kegiatan
lembaga jasa keuangan, kualifikasi dan kriteria lembaga jasa keuangan, tingkat kesehatan dan pengaturan
prudensial serta ketentuan tentang jasa penunjang sektor jasa keuangan dan lain sebagainya yang
menyangkut transaksi jasa keuangan diatur dalam undang-undang sektoral tersendiri, yaitu Undang-
Undang tentang Perbankan, Pasar Modal, Usaha Perasuransian, Dana Pensiun, dan peraturan perundang-
undangan lain yang terkait dengan sektor jasa keuangan lainnya.
Secara kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa Otoritas
Jasa Keuangan tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun, tidak menutup kemungkinan
adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya Otoritas Jasa Keuangan merupakan
otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain,
dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, lembaga ini melibatkan keterwakilan unsur-
unsur dari kedua otoritas tersebut secara Ex-officio. Keberadaan Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka
koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan.
Keberadaan Ex-officio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam
rangka persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi
dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Untuk mewujudkan koordinasi, kerja
sama, dan harmonisasi kebijakan yang baik, Otoritas Jasa Keuangan harus merupakan bagian dari sistem
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang berinteraksi secara baik dengan lembaga-lembaga negara
dan pemerintahan lainnya dalam mencapai tujuan dan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang tercantum
dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Independensi Otoritas Jasa Keuangan tercermin dalam kepemimpinan Otoritas Jasa Keuangan. Secara
orang perseorangan, pimpinan Otoritas Jasa Keuangan memiliki kepastian masa jabatan dan tidak dapat
diberhentikan, kecuali memenuhi alasan yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini.
D. Akuntabilitas Keuangan.
Realisasi Belanja Kementerian Keuangan pada TA 2011 adalah sebesar Rp16.097.129.536.476,00 (termasuk
didalamnya realisasi belanja imbalan bunga yang tidak tersedia pagu anggarannya dalam DIPA sebesar
Rp1.247.399.871.387,00) atau 92,80 persen dari pagu belanja dalam DIPA sebesar Rp17.346.776.059.000,00.
Berbeda dengan IKU Persentase Penyerapan DIPA Kementerian Keuangan, realisasi belanja ini memuat juga belanja
pegawai. Secara umum, realisasi anggaran per program Kementerian Keuangan adalah sebagaimana tampak pada
Tabel 3.60.
Tabel 3.61
Realisasi Anggaran Kementerian Keuangan Tahun 2011
Dana yang diserap
Kode Program Anggaran (Rp) %
(Rp)
1. Program Dukungan dan Manajemen dan Pelaksanaan 6.910.441.708.000 5.944.612.293.873 86,02
Tugas Teknis Lainnya Kementerian Keuangan
2. Program Pengawasan dan Peningkatan Akuntabilitas 102.690.573.000 93.378.485.326 90,93
Aparatur Kementerian Keuangan
3. Program Pendidikan dan Pelatihan Apataratur 440.143.341.000 395.611.883.212 89,88
Kementerian Keuangan
4. Program Pengaturan Pembinaan dan Pengawasan 199.236.145.000 140.965.147.578 70,75
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank
5. Program Pengelolaan Anggaran Negara 123.126.257.000 114.440.377.131 92,95
6. Program Peningkatan Pengelolaan Perimbangan 139.950.000.000 114.841.707.160 82,06
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
7. Program Pengelolaan Perbendaharaan Negara 1.484.566.434.000 1.384.608.667.754 93,27
8. Program Pengelolaan Kekayaan Negara Pengurusan 653.051.390.000 543.435.806.872 83,21
Piutang Negara dan Pelayanan Lelang
9. Program Perumusan Kebijakan Fiskal 185.396.997.000 137.324.066.313 74,07
10. Program Pengamanan dan Pengamanan Penerimaan 4.921.494.700.000 5.395.460.524.887 109,63
Pajak
11. Program Pengawasan Pelayanan dan Penerimaan di 2.074.536.058.000 1.725.455.209.752 83,17
Bidang Kepabean dan Cukai
12. Program Pengelolaan dan Pembiayaan Utang 112.142.456.000 106.995.366.618 95,41
Total 17.346.776.059.000 6.097.129.536.476 92,80
Penyebab tidak tercapainya target penyerapan anggaran antara lain adalah sebagai berikut:
1. Keterlambatan penunjukkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), yang baru dilaksanakan pada bulan Mei
2011, sehingga beberapa kegiatan tidak dapat dilaksanakan tepat waktu.
2. Terjadinya gagal lelang pengadaan barang dan jasa pada beberapa satuan kerja.
3. Kurangnya peminat peserta lelang, peserta tidak memenuhi syarat administrasi, atau peserta tidak lulus
evaluasi dokumen.
4. Adanya efisiensi dalam pelaksanaan lelang yang lebih rendah dari Harga Perkiraan Sendiri (HPS).
5. Adanya pagu anggaran belanja barang dan modal yang diblokir untuk Rupiah Murni Pendamping (RMP)
dan Perjalanan Dinas Sensus Pajak Nasional.
6. Pembangunan gedung Kantor Pusat yang dianggarkan sebesar Rp70 Miliar pada tahun 2011 masih belum
terealisasi sepenuhnya
Sebagai pengelola keuangan dan kekayaan negara, Kementerian Keuangan telah mampu menjalankan tugasnya
dengan baik. Dalam tahun 2011 kondisi perekonomian dunia mulai membaik, namun masih terdapat risiko yang
menghadang seperti belum pulihnya sektor keuangan beberapa negara di kawasan Eropa, serta meningkatnya
harga minyak dan komoditi pangan di pasar global. Kondisi ini akan mempengaruhi perekonomian domestik, yang
pada gilirannya akan mempengaruhi pencapaian kinerja yang telah ditetapkan. Meskipun demikian perekonomian
nasional mampu tumbuh 6,5 persen, nilai tukar rupiah rata-rata sebesar Rp8.988/US$, dan IHSG mencapai 3.752,24.
Secara umum pencapaian sasaran strategis yang telah ditetapkan dalam tahun 2011 telah sesuai dengan yang
ditargetkan, bahkan diantara sasaran strategis tersebut memperoleh nilai capaian lebih dari 100 persen. Namun,
masih terdapat beberapa IKU yang masih belum mencapai target yang ditentukan. Tantangan yang menghambat
pencapaian sasaran yang telah ditetapkan antara lain belum pulihnya krisis global.
Langkah-langkah ke depan yang harus dilakukan oleh Kementerian Keuangan dalam upaya memperbaiki kinerja
dan menghadapi tantangan ke depan, antara lain:
1. Peningkatan realisasi Pendapatan Negara, dengan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi Wajib
Pajak, peningkatan pelayanan dan pengawasan di bidang kepabeanan seperti intensifikasi pemeriksaan
dokumen dan fisik barang, pemberantasan penyelundupan, temuan hasil audit serta penyempurnaan
sistem administrasi pengelolaan PNBP.
2. Peningkatan koordinasi dengan institusi pengelola PNBP dan mengoptimalkan tingkat penyerapan DIPA
dengan melakukan optimalisasi pelayanan dalam proses pengesahan dan penyelesaian DIPA/revisi DIPA
secara tepat waktu, sosialisasi ketentuan dan prosedur pelaksanaan yang baik, monitoring penyerapan
anggaran serta penerbitan kebijakan dan peraturan yang mendukung penyerapan anggaran.
3. Mengupayakan pengembangan pasar SBN domestik, memperluas basis investor SBN domestik, dan
mengembangkan instrumen SBN, mengembangkan strategi pengelolaan risiko nilai tukar melalui
instrumen derivatif (hedging) dan penerapan konsep asset liability management.
4. Melakukan penertiban Barang Milik Negara melalui kegiatan inventariasi dan penilaian BMN, penyelesaian
permohonan penilaian atas kekayaan negara yang akan diutilisasi, peningkatan kesadaran Pengguna
Barang agar melaksanakan pengelolaan BMN sesuai dengan ketentuan dengan melakukan bimbingan dan
sosialisasi peraturan terkait dengan pengelolaan BMN.
5. Penyempurnaan kebijakan pengalokasian DBH dalam proses perhitungan, penetapan alokasi dan ketepatan
waktu penyaluran, menerapkan prinsip keadilan dalam proses pengalokasian DAU, serta mengembangkan
pola perhitungan yang tepat dalam menentukan kelayakan daerah penerima DAK maupun besaran
alokasinya dalam rangka penyaluran dana transfer ke daerah.
6. Meningkatkan transparansi pengelolaan keuangan negara melalui peningkatan kualitas penyusunan LKPP
dengan melakukan koordinasi dan konsolidasi laporan keuangan Kementerian/Lembaga dan Bendahara
Umum Negara, dan melaksanakan koordinasi dengan DPR dalam rangka penyelesaiaan RUU PP APBN
secara tepat waktu.
7. Peningkatan kualitas laporan keuangan, yaitu LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999, sebagai perwujudan
pengelolaan Keuangan Negara yang akuntabel melalui upaya yang berkesinambungan dalam mengawal
dan mendampingi proses penyusunan laporan keuangan sampai dengan pemeriksaan laporan keuangan.
8. Melakukan pembenahan organisasi, sistem dan prosedur serta sumber daya manusia di bidang industri
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank, peningkatan pengawasan terhadap pelaku industri Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan, melakukan optimalisasi pemenuhan standar internasional dalam produk
regulasi baik untuk industri Pasar Modal maupun untuk Lembaga Keuangan non bank.
Akhirnya dengan disusunnya LAKIP ini, diharapkan dapat memberikan informasi secara transparan kepada seluruh
pihak yang terkait mengenai tugas fungsi Kementerian Keuangan, sehingga dapat memberikan umpan balik guna
peningkatan kinerja pada periode berikutnya. Secara internal LAKIP tersebut harus dijadikan motivator untuk
lebih meningkatkan kinerja organisasi dengan jalan selalu menyesuaikan indikator-indikator kinerja yang telah
ada dengan perkembangan tuntutan stakeholders, sehingga Kementerian Keuangan dapat semakin dirasakan
keberadaannya oleh masyarakat dengan pelayanan yang profesional.
MENTERI KEUANGAN
ii
RENSTRA
TARGET PROGRAM/ TARGET
No PROGRAM/ KEGIATAN INDIKATOR INDIKATOR
2010 2014 KEGIATAN 2010 2014
1 2 3 4 5 6 7 8 9
I PROGRAM PROGRAM
Pengelolaan Anggaran 1 Terwujudnya pengelolaan 100% 100% Pengelolaan 1 Terwujudnya pengelolaan 100% 100%
Negara anggaran negara yang Anggaran Negara anggaran negara yang
tepat waktu, transparan dan tepat waktu, transparan dan
akuntabel akuntabel
2 Terlaksananya dukungan 100% 100%
manajamen dalam
pelaksanaan tugas DJA
3 Tersusunnya draft NK, 100% 100%
RAPBN dan RUU APBN/
iv
RENSTRA
TARGET PROGRAM/ TARGET
No PROGRAM/ KEGIATAN INDIKATOR INDIKATOR
2010 2014 KEGIATAN 2010 2014
1 2 3 4 5 6 7 8 9
3 Penyusunan dan 1 Laporan Keuangan Belanja 100% 100% Penyusunan dan 1 Tingkat ketepatan waktu 100% 100%
penyampaian laporan Subsidi dan Lain-lain (BSBL) penyampaian penyampaian pelaporan/
keuangan Belanja yang lengkap dan tepat laporan keuangan pertanggungjawaban
Subsidi dan Belanja waktu Belanja Subsidi laporan keuangan BA BUN
Lain-lain (BSBL) dan Belanja Lain- BSBL Belanja Lain-lain
lain (BSBL) (BSBL) yang lengkap dan
tepat waktu
2 Tingkat ketepatan waktu 100% 100%t
penyampaian pelaporan/
pertanggungjawaban
vi
RENSTRA
TARGET PROGRAM/ TARGET
No PROGRAM/ KEGIATAN INDIKATOR INDIKATOR
2010 2014 KEGIATAN 2010 2014
1 2 3 4 5 6 7 8 9
13 Persentase Wajib Pajak 5% 5%
yang menggunakan Pasal
44 B UU No. 28/2007
tentang KUP
14 Persentase hasil penyidikan 30% 30%
yangdiserahkan ke
Kejaksaan
15 Persentase penyelesaian 100% 100%
penyempurnaan organisasi
16 Persentase penyelesaian 100% 100%
viii
RENSTRA
TARGET PROGRAM/ TARGET
No PROGRAM/ KEGIATAN INDIKATOR INDIKATOR
2010 2014 KEGIATAN 2010 2014
1 2 3 4 5 6 7 8 9
2 Perumusan kebijakan 1 Persentase penyelesaian 100% 100% Perumusan 1 Indeks kepuasan
di bidang PPh dan usulan pembuatan/ Revisi kebijakan di Stakeholder Peraturan
perjanjian kerjasama peraturan perundangan bidang PPh Perpajakan
internasional terhadap peraturan dan perjanjian 2 Indeks kepuasan
perundangan yang harus kerjasama Stakeholder atas Pelayanan
dibuat / direvisi internasional Bantuan Hukum
3 Persentase penyelesaian 100% 100%
pembuatan dan
penyempurnaan PP dan
PMK di bidang Peraturan
x
RENSTRA
TARGET PROGRAM/ TARGET
No PROGRAM/ KEGIATAN INDIKATOR INDIKATOR
2010 2014 KEGIATAN 2010 2014
1 2 3 4 5 6 7 8 9
2 Rasio realisasi dari janji 80% 85% 2 Rasio realisasi dari janji 80% 85%
pelayanan quick win ke pelayanan quick win ke
pihak eksternal pihak eksternal
3 Persentase jumlah kasus 40% 50% 3 Indeks kepuasan pelayanan 62% 67%
tindak pidana di bidang bea dan cukai
kepabeanan dan cukai yang 4 Persentase berita negatif 25% 15%
diserahkan ke Kejaksaan yang diberitakan oleh
media nasional yang
terpercaya
5 Persentase cukai yang 98% 99%
xii
RENSTRA
TARGET PROGRAM/ TARGET
No PROGRAM/ KEGIATAN INDIKATOR INDIKATOR
2010 2014 KEGIATAN 2010 2014
1 2 3 4 5 6 7 8 9
15 Jumlah peserta sosialisasi / 10.000 org 10.000 org
penyuluhan DJBC
16 Efektifitas edukasi dan 60 60
komunikasi
17 Realisasi audit 90% 95%
dibandingkan dengan
rencana
18 Persentase Penyelesaian 55% 60%
tagihan
xiv
RENSTRA
TARGET PROGRAM/ TARGET
No PROGRAM/ KEGIATAN INDIKATOR INDIKATOR
2010 2014 KEGIATAN 2010 2014
1 2 3 4 5 6 7 8 9
31 Persentase penerapan 100% 100%
aplikasi sistem
komputer pelayanan
(SKP) kepabeanan yang
terintegrasi dengan portal
INSW
32 Persentase Penyerapan 100% 100%
DIPA
33 Persentase belanja 2,05% 2,05%
dibanding dengan
xvi
RENSTRA
TARGET PROGRAM/ TARGET
No PROGRAM/ KEGIATAN INDIKATOR INDIKATOR
2010 2014 KEGIATAN 2010 2014
1 2 3 4 5 6 7 8 9
7 PMK tentang Kawasan 100%
Pelayanan Pabean Terpadu
(KPPT) dalam rangka
pengembangan Sistem
Logistik
6 PMK untuk pengembangan Oktober 2014 8 Persentase penyelesaian 75% 100%
sistem elektronik terkait rancangan peraturan di
dengan perijinan investasi bidang fasilitas kepabeanan
di bidang kepabeanan dan 9 Persentase realisasi janji 85% 90%
perpajakan layanan publik terkait
RENSTRA
xviii
TARGET PROGRAM/ TARGET
No PROGRAM/ KEGIATAN INDIKATOR INDIKATOR
2010 2014 KEGIATAN 2010 2014
1 2 3 4 5 6 7 8 9
4 Persentase penyelesaian Desember 2010 4 Mandatory NSW impor 100%
aplikasi sistem kepabeanan dan ekspor di 5 pelabuhan
yang terintegrasi dengan utama
portal NSW 5 PMK untuk pengembangan 40%
sistem elektronik terkait
dengan perijinan investasi
di bidang kepabeanan dan
perpajakan Oktober 2011
5 PMK-PMK ttg Pemberian 40% 6 PMK untuk memadukan 40%
Fasilitas Fiskal sesuai Kawasan Pelayanan Pabean
xix
IV PROGRAM PROGRAM
MATRIKS PERBANDINGAN RENCANA STRATEGIS DAN
ROADMAP KEMENTERIAN KEUANGAN
UNTUK MENDUKUNG KEGIATAN PRIORITAS NASIONAL
xx
RENSTRA
TARGET PROGRAM/ TARGET
No PROGRAM/ KEGIATAN INDIKATOR INDIKATOR
2010 2014 KEGIATAN 2010 2014
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Peningkatan 1 Rasio realisasi dari janji 100% 100% Peningkatan 1. Rasio realisasi dari janji 100% 100%
pengelolaan pelayanan pengalokasian pengelolaan pelayanan pengalokasian
Perimbangan keuangan dana transfer ke daerah ke Perimbangan dana transfer ke daerah ke
antara pihak eksternal keuangan antara pihak eksternal
Pemerintah pusat dan 2 Realisasi janji pelayanan 15 hari 12 hari Pemerintah pusat 2. Realisasi janji pelayanan 15 hari 12 hari
pemerintahan evaluasi Perda/Raperda dan pemerintahan evaluasi Perda/Raperda
Daerah PDRD ke pihak eksternal Daerah PDRD ke pihak eksternal
3 Persentase ketepatan 100% 100% 3. Persentase ketepatan 100% 100%
jumlah penyaluran dana jumlah penyaluran dana
transfer ke daerah transfer ke daerah
xxii
RENSTRA
TARGET PROGRAM/ TARGET
No PROGRAM/ KEGIATAN INDIKATOR INDIKATOR
2010 2014 KEGIATAN 2010 2014
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 Perumusan kebijakan, 1 Persentase ketepatan 100% 100% Perumusan 1 Persentase ketepatan 100% 100%
bimbingan teknis, dan jumlah penyaluran jumlah kebijakan, jumlah penyaluran jumlah
pengelolaan transfer ke dana transfer ke daerah bimbingan teknis, dana transfer ke daerah
daerah 2 Ketepatan waktu 4 hari 3 hari dan pengelolaan 2 Ketepatan waktu 4 hari 4 hari
penyelesaian dokumen transfer ke daerah penyelesaian dokumen
pelaksanaan penyaluran pelaksanaan penyaluran
dana transfer ke daerah dana transfer ke daerah
3 Persentase jumlah 100% 100%
kebijakan dana Transfer ke
Daerah sesuai rencana
RENSTRA
xxiv
TARGET PROGRAM/ TARGET
No PROGRAM/ KEGIATAN INDIKATOR INDIKATOR
2010 2014 KEGIATAN 2010 2014
1 2 3 4 5 6 7 8 9
2 Jumlah konsep kebijakan 100% 100%
Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah sesuai dengan
rencana
3 Realisasi janji pelayanan 15 hari 12 hari 3 Persentase tingkat 100% 100%
evaluasi Perda/Raperda penyelesaian evaluasi Perda
PDRD ke pihak eksternal tentang PDRD terhadap
dalam bentuk rekomendasi rencana evaluasi
Menteri Keuangan 4 Realisasi janji pelayanan 30 hari 30 hari
evaluasi Perda PDRD ke
xxvi
Kementerian/Lembaga : Kementerian Keuangan
Tahun Anggaran : 2011
1. KK.1 Pendapatan negara KK-1.1 Jumlah pendapatan Rp1.165.252,53M Rp1.194.940,08M 102,55% Dukungan 6.910.441.708 5.944.612.294 86,02%
yang optimal negara Manajemen dan
Pelaksanaan Tugas
Teknis Lainnya
Kementerian
Keuangan
KK-2.2 Persentase ketepatan 50,00% 89,58% 120% Pengelolaan 123.126.257 114.440.377 92,95%
pola penarikan dana Anggaran Negara
DIPA K/L
ANGGARAN (dalam ribuan rupiah)
NO. SASARAN STRATEGIS INDIKATOR KINERJA TARGET REALISASI % PROGRAM
PAGU REALISASI %
3. KK-3 Pembiayaan dalam KK- 3.1 Persentase 100,00% 99,17% 118,34% Peningkatan dan 4.921.494.700 5.395.460.525 109,63 %
jumlah yang cukup, pemenuhan target Pengamanan
efisien, dan aman pembiayaan melalui Penerimaan Pajak
bagi kesinambungan utang yang cukup,
fiskal efisien, dan aman
4. KK-4 Utilisasi kekayaan KK-4.1 Nilai kekayaan negara Rp102,39 T Rp102,45T 100,06% Pengelolaan dan 112.142.456 106.995.367 95,41 %
negara yang optimal yang diutilisasi Pembiayaan Utang
xxviii
ANGGARAN (dalam ribuan rupiah)
NO. SASARAN STRATEGIS INDIKATOR KINERJA TARGET REALISASI % PROGRAM
PAGU REALISASI %
5. KK-5 Hubungan KK-5.1 Persentase ketepatan 100,00% 100,18% 100,18% Pengelolaan 1.484.566.434 1.384.608.668 93,27%
keuangan antara jumlah penyaluran Perbendahara-an
pemerintah pusat dana transfer ke Negara
dan pemerintahan daerah
daerah yang optimal
KK-5.2 Persentase Perda 70,00% 95,92% 120% Pengelolaan 653.051.390 543.435.807 83,21%
PDRD yang sesuai Kekayaan Negara,
dengan peraturan Penyelesaian
perundang-undangan Pengurusan
Piutang Negara dan
Pelayanan Lelang
KK-6.2 Indeks opini BPK atas 3,25 3,19 98,15% Pendidikan dan 440.143.341 395.611.883 89,88%
LK BA 15, LK BUN, Pelatihan Aparatur
dan LK BA 999 Kementerian
Keuangan
ANGGARAN (dalam ribuan rupiah)
NO. SASARAN STRATEGIS INDIKATOR KINERJA TARGET REALISASI % PROGRAM
PAGU REALISASI %
7. KK-7 Industri pasar modal KK-7.1 Perusahaan efek 90,00% 99,79% 110,88% Perumusan 185.396.997 137.324.066 74,07%
dan jasa keuangan yang memenuhi Kebijakan Fiskal
non bank yang persyaratan
stabil, tahan uji dan minimum MKBD
likuid
KK-7.2 Persentase 10,00% 0,03% 120%
nilai transaksi
perusahaan efek
yang tidak memenuhi
persyaratan
minimum MKBD
yang berpotensi
mengganggu
perdagangan saham
di Bursa
xxx
ANGGARAN (dalam ribuan rupiah)
NO. SASARAN STRATEGIS INDIKATOR KINERJA TARGET REALISASI % PROGRAM
PAGU REALISASI %
9. KK-9 Kajian dan rumusan KK-9.1 Deviasi proyeksi 8,75% 3,48% 120%
kebijakan yang indikator ekonomi
berkualitas makro
12. KK-12 Pengawasan dan KK-12.1 Rata-rata persentase 65,10% 73,43% 112,80%
penegakan hukum kepatuhan dan
yang efektif penegakan hukum
13. KK- 13 Pembentukan SDM KK-13.1 Persentase pejabat 80,00% 81,66% 102,08%
yang berkompetensi yang telah memenuhi
tinggi standar kompetensi
jabatannya
xxxii
ANGGARAN (dalam ribuan rupiah)
NO. SASARAN STRATEGIS INDIKATOR KINERJA TARGET REALISASI % PROGRAM
PAGU REALISASI %
15. KK-15 Perwujudan TIK yang KK-15.1 Persentase integrasi 40,00% 40,00% 100,00%
terintegrasi TIK Kementerian
Keuangan
www.depkeu.go.id
PK dan RKT Tahun 2012
Penetapan Kinerja (PK) dan Rencana Kinerja Tahunan (RKT)
Kementerian Keuangan
PENETAPAN KINERJA RENCANA KINERJA
TAHUNAN
PK Tahun 2012
Penetapan Kinerja (PK) Kementerian Keuangan
1
Halaman sengaja di kosongkan
2
PENETAPAN KINERJA RENCANA KINERJA
TAHUNAN
3
A. Peta Strategi
4
PENETAPAN KINERJA RENCANA KINERJA
TAHUNAN
B. Target Capaian
10 KK-6.1 Indeks jumlah LK K/L dan LK BUN yang andal 53 WTP WTP=80
dengan opini audit yang baik 28 WDP WDP=4
Indeks= Index=
83,75 97,62
5
Realisasi Target Perspektif
No. Uraian IKU
2011 2012 dan Bobot
6
PENETAPAN KINERJA RENCANA KINERJA
TAHUNAN
7
PAGU ANGGARAN
TAHUN 2012
PROGRAM PAGU
015.05.13 Pengawasan, Pelayanan, dan Penerimaan di Bidang Kepabeanan dan Cukai 2.108.339.202
TOTAL 17.779.977.967
8
RKT Tahun 2012
Rencana Kinerja Tahunan (RKT) Kementerian Keuangan
9
Halaman sengaja di kosongkan
RENCANA KINERJA TAHUNAN
KK-1 Pendapatan negara yang optimal KK-1.1 Jumlah Pendapatan Negara Rp. 1.310,56T
KK-2 Perencanaan dan Pelaksanaan Belanja Negara yang KK-2.1 Persentase Dana Blokir (tanda bintang) 3%
TAHUNAN
Optimal
KK-3 Pembiayaan dalam Jumlah yang Cukup, Aman, dan KK-3.1 Persentase Pemenuhan Target Pembiayaan melalui Utang yang Cukup 100%
Efisien Bagi Kesinambungan Fiskal
KK-3.2 Persentase Pencapaian Target Effective Cost 100%
KK-4 Utilisasi Kekayaan Negara yang Optimal KK-4.1 Nilai Kekayaan Negara yang Diutilisasi 102,56 T
KK-5 Perimbangan Keuangan yang Adil dan Transparan KK-5.1 Indeks Pemerataan Keuangan antar Daerah 0,8
KK-5.3 Persentase Perda PDRD yang Sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan 90%
KK-6 Pengelolaan Keuangan Negara yang Akuntabel KK-6.1 Indeks jumlah LK K/L dan LK BUN yang Andal dengan Opini Audit yang Baik 80 WTP
4 WDP
Index= 97,62
KK-6.2 Rata-rata Indeks Opini BPK RI atas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999 4 (WTP)
11
Halaman sengaja di kosongkan
Sasaran Strategis Indikator Kinerja Target
KK-7 Industri Pasar Modal dan Jasa Keuangan non Bank yang KK-7.1 Rata-rata Tingkat Kesehatan Perusahaan Efek, Asuransi, dan Pembiayaan 87,67%
Stabil, Tahan Uji dan Likuid
KK-7.2 Persentase Nilai Transaksi Perusahaan Efek yang Tidak Memenuhi Persyaratan 15%
PENETAPAN KINERJA
KK-8 Tingkat Kepuasan Pengguna Layanan yang Tinggi KK-8.1 Indeks Kepuasan Pengguna Layanan 3,92
KK-9 Kajian dan Rumusan Kebijakan yang Berkualitas KK-9.1 Deviasi Proyeksi Indikator Ekonomi Makro 5%
KK-10 Pelaksanaan Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan KK-10.1 Rata-rata Persentase Realisasi Janji Layanan Unggulan 100%
Negara yang Efisien dan Efektif
KK-10.2 Persentase Tingkat Akurasi Perencanaan Kas 90%
(tepat waktu)
KK-10.5 Persentase Penyelesaian BMN Kemenkeu yang Bermasalah dengan Kategori 50%
Rusak Berat
KK-11 Peningkatan Edukasi Masyarakat dan Pelaku Ekonomi KK-11.1 Tingkat Efektivitas Edukasi dan Komunikasi 75,56
(efektif )
12
Halaman sengaja di kosongkan
Sasaran Strategis Indikator Kinerja Target
KK-12 Pengawasan dan Penegakan Hukum yang Efektif KK-12.1 Rata-rata Persentase Kepatuhan dan Penegakan Hukum 60,79%
(tepat waktu)
KK-13 Pembentukan SDM yang Berkompetensi Tinggi KK-13.1 Persentase Pejabat yang Telah Memenuhi Standar Kompetensi Jabatannya 82,50%
KK-14 Penataan Organisasi yang Adaptif KK-14.1 Persentase Mitigasi Risiko yang Selesai Dijalankan 70%
RENCANA KINERJA
KK-15 Perwujudan TIK yang terintegrasi KK-15.1 Persentase Integrasi TIK Kemenkeu 60%
KK-16 Pelaksanaan Anggaran yang Optimal KK-16.1 Persentase penyerapan DIPA Kementerian Keuangan 95%
13
KEMENTERIAN KEUANGAN
Gedung Djuanda I
Jl. Dr. Wahidin Raya No. 1
Jakarta Pusat 10710
www.depkeu.go.id