Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

Islam dan Radikalisme

Disusun Oleh :
Kelompok 3 (Tiga)
Ketua : Vivit Latipah
Anggota : Aghny Aulia
: Desti Ramadani
: Hari Sutianto
: Salman Paris

Dosen Pengampu :
Purwanto, S.Pd.I.,S.IP.,MM.,M.SI

STISIP SYAMSUL ULUM SUKABUMI


2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, dengan ini kami panjatkan puji dan syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang kami beri judul “Islam dan Radikalisme” dengan
tepat waktu.
Adapun makalah tentang “Islam dan Radikalisme” ini telah kami
usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan dari banyak pihak,
sehingga dapat memperlancar proses pembuatan makalah ini. Oleh sebab itu,
kami juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Bapak Purwanto, S.Pd.I.,S.IP.,MM.,M.SI selaku dosen mata kuliah Pendidikan
Agama dan tidak lupa kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
pembuatan makalah Pendidikan Agama Islam ini.
Dan dalam hal ini penyusun mengharapkan semoga dari makalah
Pendidikan Agama Islam tentang “Islam dan Radikalisme” ini dapat diambil
manfaatnya. Selain itu, penulis juga mengharapkan sempurnanya penyusunan
dalam makalah ini namun pada kenyataannya masih begitu banyak kekurangan
yang nantinya harus segera penulis perbaiki. Oleh sebab itu, kritik serta saran
yang membangun dari para pembaca sangat penulis butuhkan agar bisa dijadikan
sebagai bahan acuan dan evaluasi diri agar kedepannya bisa lebih baik lagi.

Sukabumi, 17 September 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

1.1 Latar Belakang...............................................................................................1

1.2 Tujuan Penulisan............................................................................................2

1.3 Rumusan Masalah..........................................................................................2

1.4 Manfaat..........................................................................................................2

BAB II.....................................................................................................................3

PEMBAHASAN.....................................................................................................3

2.1 Pengertian Radikalisme..................................................................................3

2.2 Sejarah Berkembangnya Islam dan Radikalisme di Indonesia......................4

2.3 Radikalisme Islam di Indonesia muncul ke permukaan di akhir Orde Baru..8

2.4 Perkembangan terkini Islam radikal di Indonesia..........................................9

2.5 Ciri-ciri Radikalisme....................................................................................10

2.6 Faktor Penyebab Radikalisme......................................................................11

1. Faktor Pemikiran.....................................................................................11

2. Faktor Ekonomi.......................................................................................12

3. Faktor Politik...........................................................................................12

4. Faktor Sosial............................................................................................13

5. Faktor Psikologis.....................................................................................13

6. Faktor Pendidikan....................................................................................13

2.7 Faktor Pendorong.........................................................................................16

2.8 Contoh Gerakan Radikalisme Yang Pernah Terjadi di Indonesia...............18

iii
2.9 Upaya Menanggulangi dan Mencegah Berkembangnya Radikalisme.........21

BAB III..................................................................................................................26

PENUTUP.............................................................................................................26

3.1 Kesimpulan..................................................................................................26

3.2 Saran.............................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................27

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Islam sejatinya adalah agama yang memberikan keamanan, kenyamanan,
ketenangan dan ketenteraman bagi semua makhluknya. Tidak ada satupun ajaran
didalamnya yang mengajarkan kepada umatnya untuk membenci dan melukai
makhluk lain, kalaupun ada itu adalah bagian kecil dari salah satu upaya
pemecahan masalah yang dilakukan umatnya dan bukan ajarannya. Kitab suci
Alquran dan Sunah Rasul diyakini oleh umat Islam sebagai sumber utama dalam
memecahkan semua persoalan yang ada. Keyakinan ini adakalanya bisa menjadi
obat penenang dan bia juga menjadi alasan untuk merugikan pihak lain, semua
itu tergantung dari umatnya dalam memahami teks kitab suci ataupun sunah
Nabi.
Islam dalam sejarahnya acapkali melahirkan peperangan dan pertumpahan
darah. di mulai dari peristiwa Qabil dan habil, perebutan kekuasaan pada masa
sahabat, tabi`in dan mungkin hingga sekarang (tragedi bom Bali, Semanggi, dan
Hotel Ritz Calton), label peperangan, pertumpahan darah, kekerasan, penyiksaan
dan pembunuhan seakan-akan masih terpatri kuat. Semua ini terjadi akibat dari
ulah oknum umat Islam yang seenaknya dan semena-mena dalam memahami
ajaran yamg ada. Akibatnya adalah stigma buruk yang dimunculkan masyarakat
lain terhadap Islam. Dari sekian banyak kasus yang menghasilkan stigma buruk
terhadap islam, hal ini tidak hanya disebabkan kesalah fahaman dalam
memahami ajaran agama.
Kondisi ini telah menyebabkan sebagian Muslim memberikan reaksi yang
kurang proporsional. Mereka bersikukuh dengan Islam, seraya memberikan
perlawanan yang sifatnya anarkis. Sikap sebagian Muslim seperti ini kemudian
diidentifikasi sebagai gerakan radikal. Kemunculan gerakan radikal ini kemudian
menimbulkan wacana radikalisme yang dipahami sebagai aliran Islam garis keras
di Indonesia.

1
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan kami menyusun makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Pendidikan Agama Islam dengan tema/judul Islam dan Radikalisme. Serta
untuk berbagi pengetahuan tentang betapa pentingnya mengetahui dan mencegah
berkembangnya radikalisme dalam Islam dan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.

1.3 Rumusan Masalah


Dalam makalah ini penulis akan berusaha untuk membahas hal terkait
radikalisme. Berikut materi yang dibahas oleh penulis melalui makalah ini :
1. Apa yang dimaksud dengan radikalisme?
2. Bagaimana radikalisme dalam persfektif sejarah?
3. Bagaimana perkembangan terkini Islam Radikal di Indonesia?
4. Apa faktor penyebab dan faktor pendorong muncul dan berkembangnya
gerakan radikalisme di Indonesia?
5. Apa saja ciri-ciri radikalisme?
6. Apa saja gerakan radikalisme yang pernah terjadi di Indonesia?
7. Apa saja upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi dan mencegah
berkembangnya radikalisme?

1.4 Manfaat
Melalui makalah ini kami mengharapkan para pembaca dan khususnya kami
sebagai penulis:
1. Dapat memahami arti radikalisme
2. Mengetahui sejarah radikalisme
3. Mengetahui perkembangan terkini Islam Radikal di Indonesia
4. Mengetahui faktor penyebab dan faktor pendorong muncul dan
berkembangnya gerakan radikalisme di Indonesia 5. Mengetahui apa ciri-ciri
radikalisme
6. Mengetahui gerakan radikal yang pernah terjadi di Indonesia
7. Upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi dan
mencegah berkembangnya radikalisme

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Radikalisme


Radikalisme adalah suatu pandangan, paham dan gerakan yang menolak
secara menyeluruh terhadap tatanan, tertib sosial dan paham politik yang ada
dengan cara perubahan atau perombakan secara besar-besaran melalui jalan
kekerasan.
Istilah radikalisme berasal dari bahasa Latin, yaitu radix yang artinya akar,
sumber atau asal mula. Istilah radikal memiliki arti ekstrem, menyeluruh fanatik,
revolusioner, fundamental. Sedangkan radikalisme adalah doktrin atau praktek
yang mengenut paham radikal (Widiana, 2012).
1) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2007), radikalisme
adalah Paham atau aliran yang radikal dalam politik;
2) Paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial
dengan cara kekerasan atau drastis;
3) Sikap ekstrem dalam aliran politik. Dalam Kamus Politik, yang dimaksud
radikal adalah orang yang ingin membawa ide-ide politiknya sampai ke
akar-akarnya.
Radikalisme merupakan gejala umum yang bisa terjadi dalam suatu
masyarakat dengan motif beragam, baik sosial, politik, budaya maupun agama,
yang ditandai oleh tindakan-tindakan keras, ekstrim, dan anarkis sebagai wujud
penolakan terhadap gejala yang dihadapi.
Radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang
yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis
dengan menggunakan cara-cara penekanan dan ketegangan yang pada akhirnya
mengakibatkan kekerasan.
Berikut definisi dan pengertian radikalisme dari beberapa sumber buku:
a. Menurut Kartodirdjo (1985), radikalisme adalah gerakan sosial yang
menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlangsung dan
ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan

3
bermusuhan dengan kaum yang memiliki hak-hak istimewa dan yang
berkuasa.
b. Menurut Rubaidi (2007), radikalisme merupakan gerakan-gerakan
keagamaan yang berusaha merombak secara total tatanan sosial dan politik
yang ada dengan jalan menggunakan kekerasan.
c. Menurut Hasani dan Naipospos (2010), radikalisme adalah pandangan yang
ingin melakukan perubahan yang mendasar sesuai dengan interpretasinya
terhadap realitas sosial atau ideologi yang dianutnya.
d. Menurut Partanto dan Al Barry (1994), radikalisme adalah paham politik
kenegaraan yang menghendaki perubahan dan perombakan besar sebagai
jalan untuk mencapai taraf kemajuan.
e. Menurut Dawinsha, defenisi radikalisme menyamakannya dengan teroris.
Tapi ia sendiri memakai radikalisme dengan membedakan antara keduanya.
Radikalisme adalah kebijakan dan terorisme bagian dari kebijakan radikal
tersebut. Defenisi Dawinsha lebih nyata bahwa radikalisme itu mengandung
sikap jiwa yang membawa kepada tindakan yang bertujuan melemahkan dan
mengubah tatanan kemapanan dan menggantinya dengan gagasan baru.
Makna yang terakhir, radikalisme adalah sebagai pemahaman negatif dan
bahkan bisa menjadi berbahaya sebagai ekstrim kiri atau kanan.
f. Menurut Nazaruddin Umar, mengatakan radikalisme sebenarnya tak ada
dalam sejarah Islam. Sebab selama ini Islam tak menggunakan radikalisme
untuk berinteraksi dengan dunia lain. ‘’Dalam sejarahnya, Nabi selalu
mengajarkan umatnya untuk bersikap lemah lembut,’’ tegasnya.
g. Menurut KH. Tarmizi Taher, radikalisme bermakna positif mengandung
pengertian tajdid (perbaikan), atau dengan kata lain suatu spirit perubahan
menuju perbaikan. Radikalisme bermakna negatif mengandung pengertian
ifrath (keterlaluan) dan ghuluu (melampaui batas), jadi radikal dikaitkan
dengan keekstriman, golongan sayap kiri, militant serta “anti barat”.

2.2 Sejarah Berkembangnya Islam dan Radikalisme di Indonesia


Perkembangan islam di Indonesia pasca disebarkan oleh para wali
kedepannya mengalami kemunduran dalam hal hidup berdampingan dengan

4
penuh kebersamaan di tengah-tengah perbedaan. Setidaknya hal ini dapat dilihat
dari awal masuknya Islam di Indonesia (Nusantara). Dalam lembaran sejarah
Islam di Indonesia, proses penyebaran agama tersebut terbilang cukup lancar
serta tidak menimbulkan konfrontasi dengan para pemeluk agama sebelumnya.
Pertama kali masuk melalui Pantai Aceh, Islam dibawa oleh perantau dari
berbagai penjuru, seperti Arab Saudi dan sebagian dari mereka juga ada yang
berasal dari Gujarat (India). Salah satu faktor yang menyebabkan proses
Islamisasi secara damai itu karna kepiawaian para muballigh-Nya dalam memilih
media dakwah, seperti pendekatan sosial budaya, tata niaga (ekonomi), serta
politik. Dalam penggunaan media budaya, sebagian muballigh memanfaatkan
wayang sebagai salah satu media dakwah. Dengan keterampilan yang cukup
piawai, Sunan Kalijaga misalnya, mampu menarik simpati rakyat Jawa yang
selama ini sudah sanagat akrab dengan budaya yang banyak dipengaruhi oleh
tradisi Hindu Budha tersebut. Bahkan beberapa diantara hasil kreasinya tersebut
mampu menjadi salah satu tema dari tema-tema pewayangan yang ada, termasuk
gubahan lagu-lagu yang berkembang di benak penganut agama Hindu.
Selain menggunakan media tradisi dan budaya, para pembawa panji Islam
itu juga memanfaatkan aspek ekonomi (tata niaga) untuk mengembangkan nilai-
nilai serta ajaran Islam. Dari berbagi literatur terungkap bahwa aspek tersebut
menempati posisi cukup strategis dalam upaya untuk melakukan Islamisasi di
bumi Nusantara. Hal itu bisa dipahami karena sebagian besar para pedagang kala
itu telah memeluk agama Islam, seperti pedagang dari Arab Saudi, maupun dari
daerah lain, seperti Gujarat, termasuk juga Cina. Salah satu faktor yang
mendorong minat masyarakat Nusantara untuk mengikuti agama para pedagang
tersebut, karena tata cara dagang serta perilaku sehari-harinya dianggap cukup
menarik dan lebih mengenai dalam sanubari masyarakat setempat.
Setelah Islam makin kokoh menancapkan pengaruhnya di Indonesia, Islam
pun mulai meningkatkan perannya. Dari yang semula memerankan diri sebagai
basis pengembangan sistem kemasyarakatan, lambat laun mulai meningkatkan
perannya ke areal politik melalui upaya untuk mendirikan kerajaan Islam. Antara
lain, kerajaan Pasai, kerajaan Demak, Mataram, dan Pajang. Namun, semua itu
mengalami keruntuhan karena adanya berbagai faktor, baik yang disebabkan oleh

5
konflik internal diantara para anggota keluarga kerajaan, maupun faktor eksternal
seperti serbuan dari para koloni seperti Potrugis dan Belanda. Namun demikian,
posisi Islam tetap tak terpengaruh oleh berbagai dinamika sejarah tersebut,
melainkan tetap kukuh dan semakin menyatu dengan kehidupan masyarakat.
Singkat kata, Islam di Indonesia hampir selalu memperlihatkan wajahnya yang
ramah dan santun. Gejolak dan dinamika yang sifatnyay radikal nyaris tidak
tampak.
Namun seiring perjalanan waktu, dalam konteks ke Indonesiaan dakwah dan
perkembangan Islam mengalami kemunduran dan penuh dengan penodaan.
Gejala kekerasan melalui gerakan radikalisme mulai bermunculan. Terlebih
setelah kehadiran orang-orang Arab muda dari Hadramaut Yaman ke Indonesia
yang membawa ideologi baru ke tanah air mengubah konstelasi umat Islam di
Indonesia. Ideologi baru yang lebih keras dan tidak mengenal toleransi itu
banyak dipengaruhi oleh mahzab pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab dan
Wahabi yang saat ini menjadi ideologi resmi pemerintah Arab Saudi. Padahal
sebelumnya hampir semua para pendatang Arab yang datang ke Asia Tenggara
adalah penganut mazhab Syafi’i yang penuh dengan teloransi. Kelak, ideologi ini
melahirkan tokoh semisal Ustadz Abu Bakar Baasyir, Ja’far Umar Talib dan
Habib Rizieq Shihab yang dituduh sebagai penganut Islam garis keras.
Kemudian dalam catatan sejarah radikalisme Islam semakin menggeliat pada
pasca kemerdekaan hingga pasca reformasi, Sejak Kartosuwirjo memimpin
operasi 1950-an di bawah bendera Darul Islam (DI). Sebuah gerakan politik
dengan mengatasnamakan agama, justifikasi agama dan sebagainya. Dalam
sejarahnya gerakan ini akhirnya dapat digagalkan, akan tetapi kemudian gerakan
ini muncul kembali pada masa pemerintahan Soeharto, hanya saja bedanya,
gerakan radikalisme di era Soeharto sebagian muncul atas rekayasa oleh militer
atau melalui intelijen melalui Ali Moertopo dengan Opsusnya, ada pula Bakin
yang merekayasa bekas anggota DI/TII, sebagian direkrut kemudian disuruh
melakukan berbagai aksi seperti Komando Jihad, dalam rangka mendiskreditkan
Islam. Setelah itu sejak jatuhnya Soeharto, ada era demokratisasi dan masa-masa
kebebasan, sehingga secara tidak langsung memfasilitasi beberapa kelompok
radikal ini untuk muncul lebih visible, lebih militan dan lebih vokal, ditambah

6
lagi dengan liputan media, khususnya media elektronik, sehingga pada akhirnya
gerakan ini lebih visible.
Setelah DI, muncul Komando Jihad (Komji) pada 1976 kemudian
meledakkan tempat ibadah. Pada 1977, Front Pembebasan Muslim Indonesia
melakukan hal sama. Dan tindakan teror oleh Pola Perjuangan Revolusioner
Islam, 1978. Tidak lama kemudian, setelah pasca reformasi muncul lagi gerakan
yang beraroma radikal yang dipimpin oleh Azhari dan Nurdin M. Top dan
gerakan-gerakan radikal lainnya yang bertebar di beberapa wilayah Indonesia,
seperti Poso, Ambon dll. Semangat yang dimunculkan pun juga tidak luput dari
persoalan politik. Persoalan politik memang sering kali menimbulkan gejala-
gejala tindakan yang radikal.
Dalam konteks Internasional, realitas politik standar ganda Amerika Serikat
(AS) dan sekutunya merupakan pemicu berkembangnya Radikalisme Islam.
Perkembangan ini semakin menguat setelah terjadinya tragedi WTC pada 11
September 2001. mengenai tragedi ini AS dan sekutunya disamping telah
menuduh orang-orang Islam sebagai pelakunya juga telah mnyamakan berbagai
gerakan Islam militan dengan gerakan teroris. Selain itu, AS dan aliansinya
bukan hanya menghukum tertuduh pemboman WTC tanpa bukti, yakni jaringan
Al Qaeda serta rezim Taliban Afganistan yang menjadi pelindungnya, tetapi juga
melakukan operasi penumpasan terorisme yang melebar ke banyak geraka Islam
lain di beberapa Negara, termasuk Indonesia.
Realitas politik domestik maupun Internasional yang demikian itu dirasa
telah menyudutkan Islam, di mana hal ini telah mendorong kalangan Islam
Fundamentalis untuk bereaksi keras dengan menampilkan diri sebagai gerakan
radikal, yang diantaranya menampilkan simbol-simbol anti-AS dan sekutunya.
Kondisi ini telah menyebabkan sebagian Muslim memberikan reaksi yang
kurang proporsional. Mereka bersikukuh dengan nilai Islam, seraya memberikan
“perlawanan” yang sifatnya anarkis. Sikap sebagian Muslim seperti ini kemudian
diidentifikasi sebagai gerakan radikal. Kemunculan gerakan Radikal ini
kemudian menimbulkan wacana radikalisme yang dipahami sebagai aliran Islam
garis keras di Indonesia.

7
2.3 Radikalisme Islam di Indonesia muncul ke permukaan di akhir Orde
Baru
Ketika Suharto digulingkan tahun 1998 dan periode Reformasi dimulai,
momen itu tidak lagi memberikan pembatasan politis untuk pendirian organisasi-
organisasi Muslim yang diilhami secara radikal. Banyak aktivis Muslim
dibebaskan dari penjara. Para anggota kelompok radikal yang melarikan diri dari
Indonesia akhirnya kembali ke dalam negeri.
Alasan lain yang menjelaskan munculnya aksi teror sejak jatuhnya Suharto
adalah partai-partai politik Islam yang ingin mengubah Indonesia menjadi negara
Islam mengalami kekalahan besar selama pemilu 1999, hanya menerima jumlah
suara yang relatif kecil. Mirip dengan Orde Baru, periode Reformasi tampaknya
tidak menandakan lahirnya lahan subur bagi politik Islam, sehingga memaksa
kaum radikal untuk menggunakan taktik ekstrem untuk mencoba membuat
perbedaan.
Beberapa organisasi radikal kontemporer yang telah menjadi sorotan sejak
masa Reformasi adalah Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam,
Jamaah Islamiyah, dan Laskar Jihad yang sudah bubar. Masing-masing
organisasi memiliki tujuan penerapan hukum Syariah Islam, anti-Barat, dan
anggotanya tidak segan menggunakan kekerasan. Kesamaan lain dari berbagai
organisasi radikal tersebut adalah latar belakang Arab para pendirinya.
Jamaah Islamiyah berada di balik beberapa serangan paling ganas dalam
setidaknya 15 tahun terakhir dan dianggap bertanggung jawab memperkenalkan
fenomena baru teror di Indonesia: serangan bom. Tanggal 25 Desember 2000,
bom meledak di 11 gereja di seluruh Indonesia, menewaskan 19 orang.
Serangan bom paling terkenal adalah Bom Bali tahun 2002. Dua bom
meledak hampir bersamaan di sebuah klub malam dan menewaskan 202 orang
yang sebagian besar merupakan wisatawan asing. Tahun 2005, pengeboman lain
terjadi di Bali, menewaskan dua puluh orang. Tahun 2003, Hotel JW Marriott di
Jakarta dibom dan menewaskan 12 orang. Tahun 2009, serangan bom lainnya di
Hotel JW Marriott bersama dengan sebuah bom di Hotel Ritz Carlton di Jakarta
menewaskan total sembilan korban. Daftar ini menjadikan Jamaah Islamiyah
sebagai salah satu kelompok teroris paling kejam di dunia.

8
2.4 Perkembangan terkini Islam radikal di Indonesia
Menurut polisi Indonesia, 55 tersangka teror telah tewas dan 583 anggota
kelompok teror telah ditangkap selama tahun 2000-2010. Pemerintah
menekankan pentingnya memerangi sel-sel teroris di dalam negeri dan bekerja
sama erat dengan Amerika Serikat dan Kepolisian Federal Australia untuk
menumbangkan teroris.
Tahun 2003, didirikan pasukan khusus anti-terorisme yang disebut Densus
88, yang merupakan bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Densus 88 didanai oleh pemerintah Amerika dan dilatih oleh CIA, FBI, dan
Dinas Rahasia
AS. Unit ini telah cukup berhasil dalam melemahkan jaringan Jamaah Islamiyah
di Indonesia.
Berbagai sel teroris saat ini di Indonesia tampaknya beroperasi secara
independen dari kelompok sempalan satu sama lain. Ini menunjukkan perubahan
dari gerakan serupa di masa lalu. Muslim radikal saat ini lebih suka beroperasi di
jaringan yang lebih kecil daripada yang lebih besar dalam skala nasional, karena
akan jauh lebih sulit bagi pihak berwenang untuk melacak jaringan yang lebih
kecil.
Perbedaan lain dengan gerakan di masa lalu adalah bahwa semua sel teroris
baru ini tampaknya telah mengubah taktik mengenai target serangan mereka.
Sebelumnya, target terutama terdiri dari orang Barat dan simbol dunia Barat,
seperti kedutaan besar, klub malam, atau hotel tertentu yang sering dikunjungi
atau dimiliki oleh orang Barat. Namun, sejak tahun 2010, semakin banyak
serangan diarahkan ke simbol negara di Indonesia, terutama petugas kepolisian
Indonesia, mungkin sebagai reaksi atas banyaknya penangkapan yang dilakukan
oleh Densus 88.
Organisasi ekstremis lainnya yang terhitung baru di Indonesia adalah
Jamaah Anshorut Tauhid (JAT). JAT didirikan oleh Abu Bakar Baasyir (salah
satu pendiri Jamaah Islamiyah) tahun 2008 dan telah ditambahkan ke daftar
organisasi teror Amerika Serikat tahun 2012 karena beberapa serangan
terkoordinasi terhadap warga sipil, polisi dan personel militer Indonesia.

9
Bulan September 2011, seorang pelaku bom bunuh diri dari JAT
meledakkan bom di gereja di Jawa Tengah, melukai beberapa orang. Polisi juga
telah menemukan plot bunuh diri tambahan di berbagai wilayah Indonesia yang
didalangi oleh JAT.

2.5 Ciri-ciri Radikalisme


Menurut Masduqi (2012), seseorang atau kelompok yang terpapar paham
radikalisme ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Mengklaim kebenaran tunggal dan menyesatkan kelompok lain yang tak
sependapat. Klaim kebenaran selalu muncul dari kalangan yang seakan-akan
mereka adalah Nabi yang tak pernah melakukan kesalahan ma’sum padahal
mereka hanya manusia biasa. Oleh sebab itu, jika ada kelompok yang
merasa benar sendiri maka secara langsung mereka telah bertindak congkak
merebut otoritas Allah.
2. Radikalisme mempersulit agama Islam yang sejatinya samhah (ringan)
dengan menganggap ibadah sunnah seakan-akan wajib dan makruh seakan-
akan haram. Radikalisme dicirikan dengan perilaku beragama yang lebih
memprioritaskan persoalan-persoalan sekunder dan mengesampingkan yang
primer.
3. Berlebihan dalam beragama yang tidak pada tempatnya. Dalam berdakwah
mereka mengesampingkan metode gradual yang digunakan oleh Nabi,
sehingga dakwah mereka justru membuat umat Islam yang masih awam
merasa ketakutan dan keberatan.
4. Kasar dalam berinteraksi, keras dalam berbicara dan emosional dalam
berdakwah. Ciri-ciri dakwah seperti ini sangat bertolak belakang dengan
kesantunan dan kelembutan dakwah Nabi.
5. Kelompok radikal mudah berburuk sangka kepada orang lain di luar
golongannya. Mereka senantiasa memandang orang lain hanya dari aspek
negatifnya dan mengabaikan aspek positifnya. Berburuk sangka adalah
bentuk sikap merendahkan orang lain. Kelompok radikal sering tampak
merasa suci dan menganggap kelompok lain sebagai ahli bid’ah dan sesat.

10
6. Mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda pendapat. Kelompok ini
mengkafirkan orang lain yang berbuat maksiat, mengkafirkan pemerintah
yang menganut demokrasi, mengkafirkan rakyat yang rela terhadap
penerapan demokrasi, mengkafirkan umat Islam di Indonesia yang
menjunjung tradisi lokal, dan mengkafirkan semua orang yang berbeda
pandangan dengan mereka sebab mereka yakin bahwa pendapat mereka
adalah pendapat Allah.

Sedangkan menurut Rubaidi (2007), ciri-ciri gerakan radikalisme dalam


agama ditandai dengan hal-hal sebagai berikut:
1) Menjadikan Islam sebagai ideologi final dalam mengatur kehidupan
individual dan juga politik ketatanegaraan.
2) Nilai-nilai Islam yang dianut mengadopsi sumbernya di Timur Tengah
secara apa adanya tanpa mempertimbangkan perkembangan sosial dan
politik ketika Al-Quran dan hadits hadir di muka bumi ini, dengan realitas
lokal kekinian.
3) Karena perhatian lebih terfokus pada teks Al-Quran dan hadits, maka
purifikasi ini sangat berhati-hati untuk menerima segala budaya non asal
Islam (budaya Timur Tengah) termasuk berhati-hati menerima tradisi lokal
karena khawatir mencampuri Islam dengan bid'ah.
4) Menolak ideologi Non-Timur Tengah termasuk ideologi Barat, seperti
demokrasi, sekularisme dan liberalisasi. Sekali lagi, segala peraturan yang
ditetapkan harus merujuk pada Al-Quran dan hadits.
5) Gerakan kelompok ini sering berseberangan dengan masyarakat luas
termasuk pemerintah. Oleh karena itu, terkadang terjadi gesekan ideologis
bahkan fisik dengan kelompok lain, termasuk pemerintah.
2.6 Faktor Penyebab Radikalisme
Berikut ini adalah faktor-faktor penyebab radikalisme yakni sebagai berikut:
1. Faktor Pemikiran
Pada masa sekarang muncul dua pemikiran yang menjadi trend, yang
pertama yaitu mereka menentang terhadap keadaan alam yang tidak dapat
ditolerir lagi, seakan alam ini tidak mendapat keberkahan lagi dari Allah SWT,

11
deangan kata lain penuh dengan penyimpangan. Sehingga satu-satunya jalan
adalah dengan mengembalikannya kepada agama. Namun untuk mengembalikan
kepada agama itu ditempuh dengan jalan yang keras dan kaku. Padahal nabi
Muhammad SAW selalu memperingatkan kita agar tidak terjebak pada tindakan
ekstremisme (at-tatharuf al-diniy), berlebihan (ghuluw), berpaham sempit
(dhayyiq), kaku (tanathu’/rigid), dan keras (tasyaddud). Pemikiran yang kedua
yaitu bahwa agama adalah penyebab kemunduran umat Islam, sehingga jika
mereka ingin unggul maka mereka harus meninggalkan agama yang mereka
miliki saat ini. Pemikiran ini merupakan hasil dari pemikiran sekularisme, yaitu
dimana paham atau pandangan filsafat yang berpendirian bahwa moralitas tidak
perlu didasarkan atas pada ajaran agama. Kedua pemikiran tersebut sangat
berlawanan, dimana yang pertama mengajak kembali kepada agama dengan jalan
yang kaku dan keras, dan yang satunya lagi menentang agama. Hal itu juga
bertentangan dengan misi diciptakannya manusia oleh Allah SWT di semesta ini
sebagai mahluk yang seharusnya mendatangkan kemakmuran dunia.
2. Faktor Ekonomi
Kemiskinan, pengangguran dan problematika ekonomi yang lain dapat
merubah sifat seseorang yang baik menjadi orang yang kejam. Karena dalam
keadaan terdesak atau himpitan ekonomi, apapun bisa mereka lakukan, bisa saja
mereka juga melakukan teror. Mereka juga berasumsi bahwasannya perputaran
ekonomi hanya dirasakan oleh yang kaya saja, hal itu menyebabkan semakin
curamnya jurang kemiskinan bagi orang tak punya. Sehingga mereka tidak
segan-segan melakukan hal-hal yang diluar dugaan kita. Sebagaimana hadist nabi
“kefakiran dapat menyeret kita kepada kekafiran”.
3. Faktor Politik
Memiliki pemimpin yang adil, memihak kepada rakyat, dan tidak hanya
sekedar menjanjikan kemakmuran kepada rakyatnya adalah impian semua warga
masyarakat. Namun jika pemimpin itu menggunakan politik yang hanya
berpihak pada pemilik modal, kekuatan-kekuatan asing, bahkan politik
pembodohan rakyat, maka akan timbul kelompok-kelompok masyarakat yang
akan menamakan dirinya sebagai penegak keadilan, baik kelompok dari sosial,
agama maupun politik, yang mana kelompok-kelompok tersebut dapat saling

12
menghancurkan satu sama lain. Seperti halnya golongan khawarij yang lahir
pada masa kholifah Ali bin Abi Tholib yang disebabkan oleh ketidakstabilan
politik pada masa itu, sehingga munculah golongan syi’a dan khawarij yang
merasa paling benar sendiri dan saling menstatmen kafir.
4. Faktor Sosial
Faktor sosial ini masih ada hubungannya dengan faktor ekonomi. Ekonomi
masyarakat yang amat rendah membuat mereka berfikir sempit, dan akhirnya
mereka mencari perlindungan kepada ulama yang radikal, kerena mereka
berasumsi akan mendapat perubahan perekonomian yang lebih baik. Dimulai
dari situ masyarakat sudah bercerai berai, banyak golongan-golongan Islam yang
radikal. Sehingga citra Islam yang seharusnya sebagai agama penyejuk dan
lembut itu hilang. Disinilah tugas kita untuk mengembalikan Islam yang
seharusnya sebagai “rohmatallil alamin” agar saudara muslim kita yang tadinya
sedikit bergeser tidak semakin bergeser dan kembali kepada akidah-akidah dan
syari’ah Islam yang sebenarnya.
5. Faktor Psikologis
Pengalaman seseorang yang mengalami kepahitan dalam hidupnya, seperti
kegagalan dalam karier, permasalahan keluarga, tekanan batin, kebencian dan
dendam. Hal-hal tersebut dapat mendorong seseorang untuk berbuat
penyimpangan dan anarkis. Kita yang seharusnya senantiasa mengingatkan
kepada mereka dari penyimpangan. Dr. Abdurrahman al-Mathrudi pernah
menulis, bahwa sebagian besar orang yang bergabung kepada kelompok garis
keras adalah mereka yang secara pribadi mengalami kegagalan dalam hidup dan
pendidikannya. saudara muslim kita yang seperti itulah yang menjadi target
sasaran orang radikal untuk diajak bergabung dengan mereka. Karena dalam
keadaan seperti itu mereka sangat rentan dan mudah terpengaruh.
6. Faktor Pendidikan
Pendidikan bukanlah faktor yang langsung menyebabkan
radikalisme.
Radikalisme dapat terjadi dikarenakan melalui pendidikan yang
salah. Terutama adalah pendidikan agama yang sangat sensitif, kerena
pendidikan agama “amal ma’ruf nahi munkar”, namun dengan pendidikan yang

13
salah akan berubah menjadi “amal munkar”. Dan tidak sedikit orang-orang yang
terlibat dalam aksi terorisme justru dari kalangan yang berlatar pendidikan
umum, seperti dokter, insinyur, ahli teknik, ahli sains, namun hanya mempelajari
agama sedikit dari luar sekolah, yang kebenaran pemahamananya belum tentu
dapat dipertanggungjawabkan. Atau dididik oleh kelompok Islam yang keras dan
memiliki pemahaman agama yang serabutan.

Menurut Azyumardi (2012), terdapat beberapa faktor yang menjadi


penyebab atau sumber masalah tumbuhnya paham radikalisme pada seseorang
adalah sebagai berikut:
1. Pemahaman keagamaan yang literal, sepotong-sepotong terhadap ayat-
ayat Al-Quran. Pemahaman seperti itu hampir tidak umumnya moderat,
dan karena itu menjadi arus utama (mainstream) umat.
2. Bacaan yang salah terhadap sejarah umat Islam yang dikombinasikan
dengan idealisasi berlebihan terhadap umat Islam pada masa tertentu.
3. Deprivasi politik, sosial dan ekonomi yang masih bertahan dalam
masyarakat. Kelompok-kelompok ini dengan dogma eskatologis tertentu
bahkan memandang dunia sudah menjelang akhir zaman dan kiamat,
sehingga sekarang sudah waktunya bertaubat melalui pemimpin dan
kelompok mereka.
4. Masih berlanjutnya konflik sosial bernuansa intra dan antar agama dalam
masa reformasi.
5. Melalui internet, selain menggunakan media kertas, kelompok radikal
juga memanfaatkan dunia maya untuk menyebarkan buku-buku dan
informasi tentang jihad.
Selain itu, menurut Hikam (2016), terdapat beberapa aspek yang
mempengaruhi masuknya paham radikalisme di Indonesia, yaitu: a. Faktor
Geografi
Letak geografi Republik Indonesia berada di posisi silang antara dua benua
merupakan wilayah yang sangat strategis secara geostrategic tetapi sekaligus
rentang terhadap ancaman terorisme internasional. Dengan kondisi wilayah

14
yang terbuka dan merupakan negara kepulauan, perlindungan keamanan
yang konprenshif sangat diperlukan.
b. Faktor Demografi
Penduduk Indonesia adalah mayoritas beragama Islam dan mengikuti
berbagai aliran pemikiran (schools of thought) serta memiliki budaya yang
majemuk. Oleh karena itu hal ini berpotensi untuk dieksploitasi dan
dimanipulasi oleh kelompok radikal.
c. Faktor Sumber Kekayaan Alam
Sumber daya kekayaan Indonesia yang melimpah, tapi belum dimanfaatkan
demi kesejahteraan rakyat juga berpotensi dipergunakan oleh kelompok
radikal untuk mengkampanyekan ideologi. Hal ini dilakukan mereka melalui
isu-isu sensitif seperti kemiskinan, ketidakadilan, kesenjangan ekonomi dan
ketidakmerataan kesejahteraan antar penduduk dan wilayah.
d. Faktor Ideologi
Kondisi politik pasca reformasi yang masih belum reformasi dan seimbang
telah memberikan peluang bagi proses pergeseran dan bahkan degradasi
pemahaman ideologi. Munculnya berbagai ideologi alternatif dalam wacana
kiprah politik nasional serta ketidaksiapan pemerintah menjadi salah satu
penyebab masuknya pemahaman radikal. Belum lagi, pemerintah yang
belum mampu menggalakkan kembali sosialisasi nilai-nilai dasar dan
ideologi nasional Pancasila dalam masyarakat, ditambah lagi karut marut
dalam bidang politik adalah beberapa faktor penyebab utamanya.
e. Faktor Politik
Problem dalam kehidupan politik yang masih mengganjal adalah belum
terwujudnya check and balances sebagaimana yang dikehendaki oleh
konstitusi, terutama dalam rangka sistem pemerintahan Presidensil. Hal ini
berakibat serius bagi pemerintah yang selalu mendapat intervensi partai
politik di Parlemen sehingga upaya pemulihan kehidupan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat terganggu. Ketidakseimbangan antara harapan
rakyat pemilih dengan kinerja pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) menciptakan ketidakpercayaan publik yang tinggi. Hal ini membuka

15
peluang bagi upaya Destabilisasi politik melalui berbagai cara dan saluran
termasuk media massa dan kelompok penekan (Preasure Grups).
f. Faktor Ekonomi
Kemiskinan, pengangguran kesenjangan antara kaya-miskin dan kesenjangan
antara kota dan desa, serta antar daerah. Pengaruh ekonomi global yang
belum kunjung pulih dan stabil, bagaimanapun juga, membuat ekonomi
Indonesia yang tergantung dengan fluktuasi ekonomi pasar global masih
belum bisa berkompetisi dengan pesaing-pesaingnya baik di tingkat regional
maupun internasional.
g. Faktor Sosial Budaya
Bangsa Indonesia yang majemuk kemudian kehilangan jati dirinya sehingga
mudah terbawa oleh pengaruh budaya cosmopolitan dan popular culture
yang ditawarkan oleh media (TV, Radio, Jejaring Sosial dan sebagainya).
Kondisi anomie dan alienasi budaya dengan mudah menjangkit kaum muda
Indonesia sehingga mereka sangat rentang terhadap pengaruh negatif seperti
hedonisme dan kekerasan.
h. Faktor Pertahanan dan Keamanan
Kelompok teroris di Indonesia masih terus melakukan kegiatan propaganda
ideologi dan tindak kekerasan. Hal ini dapat dilihat pada aksi di beberapa
daerah di Indonesia. Ketidaksiapan aparat keamanan dalam berkoordinasi
dengan para penegak hukum masih cukup mengkhawatirkan dalam hal
penanggulangan terorisme di waktu-waktu yang akan datang.

2.7 Faktor Pendorong


Gerakan radikalisme sesungguhnya bukan sebuah gerakan yang muncul
begitu saja tetapi memiliki latar belakang yang sekaligus menjadi faktor
pendorong munculnya gerakan radikalisme. Diantara faktor-faktor itu adalah :
Pertama, faktor-faktor sosial-politik. Gejala kekerasan “agama” lebih tepat
dilihat sebagai gejala sosial-politik daripada gejala keagamaan. Gerakan yang
secara salah kaprah oleh Barat disebut sebagai radikalisme Islam itu lebih tepat
dilihat akar permasalahannya dari sudut konteks sosial-politik dalam kerangka
historisitas manusia yang ada di masyarakat. Sebagaimana diungkapkan

16
Azyumardi Azra bahwa memburuknya posisi negara-negara Muslim dalam
konflik utara-selatan menjadi penopang utama munculnya radikalisme. Secara
historis kita dapat melihat bahwa konflik-konflik yang ditimbulkan oleh
kalangan radikal dengan seperangkat alat kekerasannya dalam menentang dan
membenturkan diri dengan kelompok lain ternyata lebih berakar pada masalah
sosial-politik. Dalam hal ini kaum radikalisme memandang fakta historis bahwa
umat Islam tidak diuntungkan oleh peradaban global sehingga menimbulkan
perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi.
Kedua, faktor emosi keagamaan. Harus diakui bahwa salah satu penyebab
gerakan radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya
adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu.
Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi keagamaannya, dan
bukan agama (wahyu suci yang absolut) walaupun gerakan radikalisme selalu
mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih membela agama, jihad dan
mati syahid. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah
agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif. Jadi sifatnya nisbi
dan subjektif.
Dengan membawa bahasa dan simbol serta slogan-slogan agama kaum
radikalis mencoba menyentuh emosi keagamaan dan menggalang kekuatan untuk
mencapai tujuan “mulia” dari politiknya. Tentu saja hal yang demikian ini tidak
selamanya dapat disebut memanipulasi agama karena sebagian perilaku mereka
berakar pada interpretasi agama dalam melihat fenomena historis. Karena
dilihatnya terjadi banyak Islam dan wacana penyimpangan dan ketimpangan
sosial yang merugikan komunitas Muslim maka terjadilah gerakan radikalisme
yang ditopang oleh sentimen dan emosi keagamaan.
Ketiga, faktor kultural. Ini juga memiliki andil yang cukup besar yang
melatarbelakangi munculnya radikalisme. Hal ini wajar karena memang secara
kultural, sebagaimana diungkapkan Musa Asy’ari bahwa di dalam masyarakat
selalu ditemukan usaha untuk melepaskan diri dari jeratan jaring-jaring
kebudayaan tertentu yang dianggap tidak sesuai. Sedangkan yang dimaksud
faktor kultural di sini adalah sebagai anti tesa terhadap budaya sekularisme.
Budaya Barat yang merupakan sumber sekularisme dianggap sebagai musuh

17
yang harus dihilangkan dari bumi. Sedangkan fakta sejarah memperlihatkan
adanya dominasi Barat dari berbagai aspeknya atas negeri-negeri dan budaya
Muslim. Peradaban barat sekarang ini merupakan ekspresi dominan dan
universal umat manusia. Barat telah dengan sengaja melakukan proses
marjinalisasi seluruh sendi-sendi kehidupan Muslim sehingga umat Islam
menjadi terbelakang dan tertindas. Barat, dengan sekularismenya, sudah
dianggap sebagai bangsa yang mengotori budaya-budaya bangsa Timur dan
Islam, juga dianggap bahaya terbesar dari keberlangsungan moralitas Islam.
Keempat, faktor ideologis anti westernisme. Westernisme merupakan suatu
pemikiran yang membahayakan Muslim dalam mengaplikasikan syari’at Islam.
Sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan syari’at Islam.
Walaupun motivasi dan gerakan anti Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan
keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme
justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memposisikan diri sebagai
pesaing dalam budaya dan peradaban.
Kelima, faktor kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintah di
negara-negara Islam untuk bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya
frustasi dan kemarahan sebagian umat Islam disebabkan dominasi ideologi,
militer maupun ekonomi dari negera-negara besar. Dalam hal ini elit-elit
pemerintah di negeri-negeri Muslim belum atau kurang dapat mencari akar yang
menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan (radikalisme) sehingga tidak
dapat mengatasi problematika sosial yang dihadapi umat. Di samping itu, faktor
media massa (pers) Barat yang selalu memojokkan umat Islam juga menjadi
faktor munculnya reaksi dengan kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam.
Propaganda-propaganda lewat pers memang memiliki kekuatan dahsyat dan
sangat sulit untuk ditangkis sehingga sebagian “ekstrim” yaitu perilaku radikal
sebagai reaksi atas apa yang ditimpakan kepada komunitas Muslim.

2.8 Contoh Gerakan Radikalisme Yang Pernah Terjadi di Indonesia


Berikut contoh gerakan radikalisme, antara lain:
1. Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat.
a. Pendiri Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo

18
b. Tujuan menegakkan syariat islam secara formal dan mendirikan Negara
Islam Indonesia (NII).
c. Pemicunya adalah ketika pemerintah Indonesia menyetujui perjanjian
Renville. Konsekuensi yang timbul dari perjanjian Renville yaitu
pemerintah RI dan pasukan Divisi Siliwangi harus meninggalkan
wilayah Jawa Barat. Namun Kartosuwiryo bersama kelompok Hizbullah,
Sabilillah dan Masyumi lebih memilih untuk bertahan di Jawa Barat.
Mereka berupaya melakuan perlawanan terhadap pemerintah Belanda.
Perjuangan ini yang menjadi cikal bakal lahirnya Tentara Islam
Indonesia (TII).
d. Ketika Perjanjian Renville berakhir pada bulan Januari 1948, pasukan
Divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat. Namun keberadaan pasukan ini
dikecam oleh Kartosuwiryo dan rekannya. Akibatnya timbul konflik
antara pasukan Siliwangi dengan kubu Kartosuwiryo.

2. Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Sulawesi Selatan


a. Tokoh utama Abdul Kahar Muzakar
b. Menerima tawaran Kartosuwiryo untuk menjabat Panglima Divisi IV TII
wilayah Sulawesi yang kemudian diberi nama Divisi Hasanuddin
c. Tercatat telah melakukan aksi penyerangan terhadap TNI, perusakan,
penculikan terhadap dokter dan para pendeta Kristen.
d. Pada 2 Februari 1965 , Kahar Muzakar tewas tertembak dalam Operasi
Tumpas dan Operasi Kilat yang dilancarkan oleh TNI.

3. Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Aceh


a. Daud Beureueh menjadi tokoh utama.
b. Berhasil menguasai hampir sebagian besar wilayah Aceh, hanya kota-
kota besar seperti Banda Aceh (Kutaraja), Sigli, Langsa di utara dan
Meulaboh di daerah selatan yang tetap dalam penguasaan RI.
c. Dilatarbelakangi oleh perasaan kecewa Daud Beureueh terhadap
pemerintahan Soekarno. Kekecewaan itu bermula ketika Soekarno tidak

19
menepati janjinya untuk menerapkan syariat islam di wilayah Aceh
setelah perang kemerdekaan usai.
d. Pemberontakan di Aceh dapat selesai setelah pada tanggal 26 Mei 1959
Aceh diberikan status Daerah Istimewa dan otonomi luas terutama
dibidang agama, adat dan pendidikan.
e. Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah untuk mengganti
Undang-Undang No.18 Tahun 1965. Kebijakan inilah yang membuat
rakyat Aceh kembali kecewa.
4. Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
a. Teuku Muhammad Di Tiro atau Hasan Tiro bersama pengikutnya
mendeklarasikan kemerdekaan GAM.
b. Pembentukan GAM bertujuan untuk memisahkan diri dari RI dan
membentuk pemerintahan sendiri dan memperbaiki seluruh aspek
kehidupan baik sosial, politik dan ekonomi.
c. Konfik yang tidak selesai menjadi alasn dibentuknya Daerah Operasi
Militer (DOM). Berakhir Agustus 1998.
d. Selama berlangsung proses perdamaian antara GAM dengan pemerintah
RI, berbagai aksi serangan teror terus dilancarkan oleh GAM yang
sasarannya tidak hanya meliputi wilayah Aceh dan sekitarnya tetapi juga
sampai Jakarta.
e. Perundingan keempat pada tanggal 26-31 Mei 2005 pada akhirnya
membuahkan kesepakatan damai. Naskah perjanjian perdamaian di beri
judul “Memorandum of Understanding between The Government of
Indonesia and Free Aceh Movement”.

5. Al-Jama’ah Al-Islamiyah
a. Kematian para tokoh DI/TII menimbulkan perpecahan di antara anggota
yang disebabkan perselisihan antara jama’ah Fillah yang dipimpin Djaja
Sujadi dan jama’ah Sabilillah yang dipimpin Adah Djaelani Tirtapradja.
Keduanya sama-sama Anggota Komandan Tertinggi (AKT) TII yang
langsung di lantik Kartosuwiryo.

20
b. Akibat dari perselisihan dan perebutan kekuasaan tersebut akhirnya
Djaja Sujadi dibunuh oleh Adah Djaelani Tirtapradja.
c. Tertangkapnya Adah Djaelani Tirtapradja tahun 1980 memicu
perpecahan di tubuh jama’ah Sabilillah dan DI/TII kembali terurai dalam
kelompok-kelompok kecil yang saling bersaing dan tidak saling
mengakui keberadaan kelompok lain.
d. Salah satu kelompok yang cukup kuat dan berpengaruh di Jawa Tengah
adalah Kelompok Abdullah Sungkar yang dikelola besama Abu Bakar
Ba’asyir.
e. Abdullah Sungkar mendirikan pondok pesantren di Desa Ngruki
Kabupaten Sukoharjo dan diberi nama Al-Mukmin. Berbagai kegiatan
dan ajaran agama dijalankan untuk memperluas ajaran dan pengaruh NII.
f. Karena muatan dakwah yang dibawakan keduanya bertentangan dengan
pemerintah RI maka pada tahun 1983 keduanya ditangkap dan dipidana
penjara atas perbuatan subversif dengan vonis sembilan tahun. Pada
tanggal 11 Februari 1985 keduanya melarikan diri ke Malaysia saat
perkara mereka masih dalam proses kasasi. Di Malaysia mereka
mendirikan madrasah yang bernama Lukmanul Hakim yang dijadikan
tempat melakukan persiapan dan memberangkatkan para pemuda dari
Indonesia, Malaysia dan Singapura untuk melakukan latihan perang dan
jihad di Afghanistan. Para pemuda tersebut dilatih di Military Academy
Mujahidin Afghanistan di Sadaa,
Pakistan.
g. Pada tahun 1993, Abdullah Sungkar menyatakan diri keluar dari NII dan
mendeklarasikan pendirian Al-Jama’ah Al Islamiyah (JI).

2.9 Upaya Menanggulangi dan Mencegah Berkembangnya Radikalisme


Program yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menanggulangi
paham radikalisme dilakukan melalui cara yang dikenal dengan deredikalisasi.
Deradikalisasi adalah suatu upaya mereduksi kegiatan-kegiatan radikal dan
menetralisir paham radikal bagi mereka yang terlibat teroris dan simpatisannya
serta anggota masyarakat yang telah terekspose paham-paham radikal teroris.

21
Deradikalisasi mempunyai makna yang luas, mencakup hal-hal yang bersifat
keyakinan, penanganan hukum, hingga pemasyarakatan sebagai upaya
mengubah yang radikal menjadi tidak radikal. Oleh karena itu deradikalisasi
dapat dipahami sebagai upaya menetralisasi paham radikal bagi mereka yang
terlibat aksi terorisme dan para simpatisasinya, hingga meninggalkan aksi
kekerasan.
Deradikalisasi dilakukan melalui proses meyakinkan kelompok radikal untuk
meninggalkan penggunaan kekerasan. Program ini juga bisa berkenaan dengan
proses menciptakan lingkungan yang mencegah tumbuhnya gerakan-gerakan
radikal dengan cara menanggapi root cause (akar-akar penyebab) yang
mendorong tumbuhnya gerakan-gerakan ini.
Menurut Azyumardi (2012), deredikalisasi dilakukan dengan enam
pendekatan, yaitu rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi, pembinaan wawasan
kebangsaan, pembinaan keagamaan moderat, dan kewirausahaan. Adapun
penjelasan pendekatan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Rehabilitasi. Program rehabilitasi dilakukan dengan dua cara, yaitu; (1)
Pembinaan kemandirian untuk melatih dan membina para mantan napi
mempersiapkan keterampilan dan keahlian, serta (2) Pembinaan
kepribadian untuk melakukan pendekatan dengan berdialog kepada para
napi teroris agar mindset mereka bisa diluruskan serta memiliki
pemahaman yang komprehensif serta dapat menerima pihak yang
berbeda dengan mereka. Proses rehabilitasi dilakukan bekerjasama
dengan berbagai pihak seperti polisi, lembaga Pemasyarakatan,
Kementerian Agama, Kemenkokersa, ormas, dan lain sebagainya.
Diharapkan program ini akan memberikan bekal bagi mereka dalam
menjalani kehidupan setelah keluar dari lembaga kemasyarakatan.
2. Reedukasi adalah penangkalan dengan mengajarkan pencerahan kepada
masyarakat tentang paham radikal, sehingga tidak terjadi pembiaran
berkembangnya paham tersebut. Sedangkan bagi narapidana terorisme,
redukasi dilakukan dengan memberikan pencerahan terkait dengan
doktrin-doktrin menyimpang yang mengajarkan kekerasan sehingga

22
mereka sadar bahwa melakukan kekerasan seperti bom bunuh diri
bukanlah jihad melainkan identik dengan aksi terorisme.
3. Resosialisasi adalah program yang dilakukan dengan cara membimbing
mantan narapidana dan narapidana teroris dalam bersosialisasi, berbaur
dan menyatu dengan masyarakat. Deradikalisasi juga dilakukan melalui
jalur pendidikan dengan melibatkan perguruan tinggi, melalui
serangkaian kegiatan seperti publik lecture, workshop, dan lainnya.
Mahasiswa diajak untuk berpikir kritis dan memperkuat nasionalisme
sehingga tidak mudah menerima doktrin yang destruktif.
4. Pembinaan wawasan kebangsaan adalah memoderasi paham kekerasan
dengan memberikan pemahaman nasionalisme kenegaraan, dan
kebangsaan
Indonesia.
5. Pembinaan keagamaan adalah rangkaian kegiatan bimbingan
keagamaan kepada mereka agar memiliki pemahaman keagamaan yang
inklusif, damai,
dan toleran. Pembinaan keagamaan mengacu pada moderasi ideologi,
yaitu dengan melakukan perubahan orientasi ideologi radikal dan
kekerasan kepada orientasi ideologi yang inklusif, damai, dan toleran.
6. Pendekatan kewirausahaan dengan memberikan pelatihan dan modal
usaha agar dapat mandiri dan tidak mengembangkan paham kekerasan.
Kewirausahaan memiliki peran yang besar dalam pelaksanaan
deradikalisasi. Dunia usaha mampu menciptakan lapangan kerja,
mengurangi pengangguran, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan
meningkatkan produktivitas. Selain itu, dunia usaha juga memiliki
peranan penting untuk menjadikan masyarakat lebih kreatif dan mandiri.
Selain itu, 4 strategi yang harus dilakukan untuk memberantas radikalisme
yaitu:
1. Meningkatkan Pemahaman Keagamaan
Radikalisme disebabkan oleh minimnya pemahaman agama. Belajar agama
secara dangkal dapat memicu mereka melakukan kekerasan, bahkan atas nama
agama. Tindakan terorisme belakangan ini dilakukan dengan cara bunuh diri,

23
misalnya bom bunuh diri, sebab Islam justru melarang tindakan bunuh diri,
sehingga tindakan terorisme dalam bentuk apapun sangat bertentangan dengan
ajaran Islam. Tindakan terorisme mengatasnamakan Islam sering mengaitkan
perbuatannya dengan jihad, padahal mereka sebenarnya tidak tahu makna jihad
sesungguhnya. Untuk itu, kita harus belajar agama pada yang ahlinya yang tahu
betul apa arti jihad sesungguhnya.

2. Membentuk Komunitas-Komunitas Damai di Lingkungan Sekitar


Pemuda bisa menjadi pionir dalam pembentukan komunitas cinta damai di
lingkungannya. Komunitas-komunitas tersebut itulah yang melakukan sosialisasi
ke masyarakat maupun ke sekolah-sekolah akan bahaya paham radikalisme.
Selain itu komunitas-komunitas ini juga ikut aktif dalam pengawasan sehingga
jika dalam lingkungannya terdapat hal-hal yang mencurigakan terkait penyebaran
virus radikalisme segera melaporkannya ke pihak yang memiliki wewenang
seperti tokoh masyaarkat dan tokoh agama.
3. Menyebarkan Virus Damai di Dunia Maya
Hasil penelitian terbaru mencatat pengguna internet di Indonesia yang
berasal dari kalangan anak-anak dan remaja diprediksi mencapai 30 juta. Mereka
ini menggunakan internet hanya untuk mencari informasi, untuk terhubung
dengan teman (lama dan baru) dan untuk hiburan. Hal inilah yang menjadi celah
bagi para penyebar paham radikalisme untuk menyebarkan pahamnya di dunia
maya. Oleh karena itu, dibutuhkan aksi dari pemuda sebagai pengguna internet
terbanyak di Indonesia untuk menangkal informasi-informasi yang menyesatkan
dengan mengunggah konten damai di social media seperti tulisan, komik, dan
meme. Sehingga konten-konten damai yang bertebaran di dunia maya dapat
mengalahkan konten-konten radikal yang disebarkan oleh kelompok-kelompok
radikal.

4. Menjaga Persatuan dan Kesatuan


Generasi muda adalah generasi penerus Bangsa yang mempunyai
kemampuan, kepintaran, keberanian dan mempunyai tekad yang kuat untuk
melindungi Bangsa Indonesia yang mereka cintai. Generasi muda adalah warga

24
Negara yang menjadi unsur penting dalam suatu Negara. Menunjukan sikap bela
Negara para generasi muda saat ini dapat dilakukan dengan menampilkan
perilaku-perilaku positif yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 dengan
menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan Bangsa yang bertujuan untuk
melawan segala macam paham kebencian yang ingin merusak keutuhan NKRI.

25
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Atas semua materi yang sudah dijelaskan diatas maka dengan ini penulis
telah menyimpulkan bahwasanya radikalisme adalah tindakan disertai dengan
kekerasan yang tidak patut ditujukan pada Agama Islam, karena sejatinya Islam
adalah agama yang damai. Dalam Alquran dan Hadist sendiri memerintahkan
umatnya untuk saling menghormati dan menyayangi serta bersikap lemah lembut
kepada orang lain meskipun penganut Agama yang berbeda. Dan pemerintah pun
menekankan pentingnya memerangi aksi-aksi yang dapat merusak keutuhan
NKRI.
Gerakan radikalisme ini dapat di cegah dengan berbagai cara seperti
deradikalisasi, meningkatkan pemahaman keagamaan, membentuk komunitas-
komunitas damai di lingkungan sekitar, menyebarkan virus damai di dunia maya,
menjaga persatuan dan kesatuan dan masih banyak hal yang bisa dilakukan untuk
upaya mencegah berkembangkangnya paham radikal yang ada di
Indonesia.

3.2 Saran
Dalam hal ini penulis mengharapkan sempurnanya penyusunan dalam
makalah ini namun pada kenyataannya masih begitu banyak kekurangan yang
nantinya harus segera penulis perbaiki. Hal ini disebabkan masih sangat
minimnya pengetahuan yang penulis miliki. Oleh sebab itu, kritik serta saran
yang membangun dari para pembaca sangat penulis butuhkan agar bisa dijadikan
sebagai bahan acuan dan evaluasi diri agar kedepannya bisa lebih baik lagi.

26
DAFTAR PUSTAKA

https://www.kajianpustaka.com/2019/12/pengertian-ciri-penyebab-dan-
pencegahan-r adikalisme.html
https://yusufeff84.wordpress.com/2010/04/21/radikalisme-islam-di-indonesia/
https://www.matamatapolitik.com/in-depth-riwayat-islam-radikal-di-indonesia/
https://wahid-hambali.blogspot.com/2013/04/radikalisme-makalah.html
https://pakdosen.pengajar.co.id/radikalisme-adalah/

27

Anda mungkin juga menyukai