Anda di halaman 1dari 150

Di Pondok Pesantren Modern Di Provinsi Banten

PENYUSUNAN PROGRAM LITERASI DIGITAL


Bagi Ustadz/Ustadzah
PENDAMPINGAN

AHI PRESS
Dr, Yayu Heryatun, M.Pd Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital Bagi
Tri Ilma Septiana, M.Pd Ustadz/Ustadzah Di Pesantren Modern Di Provinsi Banten
Dr, Yayu Heryatun, M.Pd
Tri Ilma Septiana, M.Pd

Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital


Bagi Ustadz/Ustadzah
Di Pondok Pesantren Modern Di Provinsi Banten

AYATULLAH HUMAENI INSTITUTE


2021
Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah
Di Pondok Pesantren Modern Di Provinsi Banten

Penulis: Dr, Yayu Heryatun, M.Pd


Tri Ilma Septiana, M.Pd
Editor: Dr. Ayatullah Humaeni, MA.
Desain Cover: Nizar
Tata Letak: Romi & Kamal
Cetakan: Pertama, Novemeber 2021
Ukr. 14,8 x 21 Cm --- vi + 141 Hlm

ISBN 978-979-9152-37-76
Diterbitkan Oleh:
AHI PRESS
Jl. KH. Sohari, Link Cipare Jaya, Rt/Rw 03/21,
Kelurahan Cipare, Kecamatan Serang, Kota Serang
Email: ahinstitute123@gmail.com

© Hak Cipta dilindungi Undang - Undang


(All Right Reserved)
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Segala puji hanya milik Allah, Tuhan yang


menciptakan alam semesta beserta isinya. Atas segala
nikmat yang senantiasa diberikan oleh-Nya laporan akhir
ini dapat diselesaikan sesua dengan jadwal yang telah
ditentukan.
Sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada
baginda Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, para
sahabatnya, hin gga ummatnya yang masih berpegang
teguh pada sunah-sunahnya.
Tim pengabdi, sangat menyadari bahwa laporan ini
tidak bisa selesai dengan baik tanpa bantuan dari berbagai
pihak, maka kami dengan segala kerendahan hati ingin
mengungkapkan ucapan terima kasih setinggi-tingginya
kepada:
1. Prof. Dr. H. Wawan Wahyudin, M.Pd selaku Rektor
UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
2. Dr. Hunainah, MM selaku Ketua LP2M UIN Sultan
Maulana Hasanuddin Banten;
3. Dr. Ade Jaya Suryani, M.A, selaku Kepala Pusat
Pengabdian Kepada Masyarakat UIN Sultan Maulana
Hasanuddin Banten;
4. Seluruh Pimpinan Pondok Pesantren Modern binaan
beserta Dewan Ustadz/Ustadzah dan Pustakawan
yang telah meluangkan waktunya untuk mengikuti
program pendampingan ini. Semoga program
pendampingan tersebut bermanfaat dan dapat
membangun budaya literasi di Pondok Pesantren.
5. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu
persatu, terimakasih atas semua kebaikan dan
kontribusi yang telah diberikan sehingga kegiatan
pendampingan ini dapat terselenggara dengan baik.

Akhirnya, tim pengabdi berharap, laporan akhir


pengabdian kepada masyarakat ini dapat bermanfaat baik
secara teoritis maupun praktis untuk siapa saja yang
membacanya dan dapat memperkaya khazanah ilmu
pengetahuan. Selanjutnya, tim pengabdi sangat berharap
akan masukan maupun kritikan dari siapa saja demi
meningkatkan kualitas laporan akhir ini, Segala
kekurangan dan kekhilafan dari laporan ini berpulang
kepada tim pengabdi. Oleh karena itu, kami memohon
dibukakan pintu maaf.

Wassalamualaikum wr wb

Serang, November 2021

Tim Pengabdi

ii
ABSTRAK

Literasi merupakan salah satu kecakapan yang harus


dikuasai oleh manusia modern supaya terus dapat berkompetisi
di Abad 21. Namun budaya literasi belum sepenuhnya terbangun
di setiap institusi pendidikan. Dari ketiga pondok pesantren
modern binaan, belum ada satupun yang telah menyelenggarakan
Gerakan Literasi Sekolah dan memanfaatkan media literasi
digital dalam proses pembelajaran di pondok pesantren.
Berpijak dari permasalahan tersebut, maka tim pengabdi
memberikan kegiatan pendampingan penyusunan program
literasi digital sebanyak delapan kali pertemuan kepada 21 orang
ustadz/ustadzah dan pustakawan.
Kegiatan pendampingan ini memberikan dampak yang
positif terhadap pondok pesantren. Hal ini tercermin dari: (1)
pengintegrasian media literasi digital ke dalam proses
pembelajaran secara berkesinambungan; (2) pembangunan
budaya literasi di pesantren yaitu kebiasan membaca dan tradisi
menulis di kalangan santri; (3) penciptaan lingkungan pesantren
yang literat.

Kata Kunci: literasi digital, pondok pesantren,


ustadz/ustadzah, santri.

iii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar – i
Abstrak – iii
Daftar Isi – iv

BAB I: PENDAHULUAN – 1
A. Latar Belakang Masalah – 1
B. Rumusan Masalah – 6
C. Tujuan Pengabdian – 6
D. Signifikansi Pengabdian – 6
E. Kerangka Konseptual – 7
1. Pesantren – 7
2. Literasi Digital – 8

BAB II: KAJIAN TEORITIS – 12


A. Tinjauan Literatur – 12
B. Literasi Digital – 15
1. Pengertian Literasi Digital – 15
2. Jenis-Jenis Literasi Digital – 18
3. Komponen Literasi Digital – 20
4. Tahapan GLS dan Jenis Kegiatan Literasi – 22
5. Literasi Baru dan Penerapannya di Pesantren –
29
6. Pembentukan Tim Penggerak Literasi
Pesantren – 33
7. Indikator Ketercapaian – 36

iv
C. Pondok Pesantren – 45
1. Definisi Pondok Pesantren – 45
2. Peran dan Fungsi Pesantren – 49
3. Tipologi Pesantren – 54
4. Sistem Pendidikan di Pesantren – 58
5. Budaya Literasi di Pesantren – 65

BAB III: METODE PENELITIAN – 71


A. Metode dan Teknik Penelitian – 71
B. Rencana Pengabdian – 73
C. Target Pengabdian – 75

BAB IV: PELAKSANAAN PENGABDIAN DAN


DISKUSI KEILMUAN – 77
A. Gambaran Umum Pesantren Binaan – 77
1. Pesantren Modern Kulni – 78
2. Pondok Pesantren Modern Nur El-Qolam – 81
3. Pondok Pesantren Modern Fathi Qalbi – 83
B. Deskripsi Kegiatan Pendampingan – 85
1. Pertemuan Pertama – 85
2. Pertemuan Kedua – 87
3. Pertemuan Ketiga – 90
4. Pertemuan Keempat – 92
5. Pertemuan Kelima – 94
6. Pertemuan Keenam – 100
7. Pertemuan Ketujuh – 101
8. Pertemuan Kedelapan – 104

v
C. Evaluasi Kegiatan Pendampingan – 106
D. Refleksi Teoritis Kegiatan Pendampingan – 110

BAB V: PENUTUP – 121


A. Kesimpulan – 121
B. Saran-Saran – 121

DAFTAR PUSTAKA – 124


LAMPIRAN – 132
RENCANA TINDAK LANJUT – 140

vi
Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Literasi merupakan salah satu kecakapan dasar Abad
21 yang harus dimiliki oleh manusia modern selain
kompetensi dan karakter (World Economic Forum, 2016).
Awalnya, kegiatan literasi sangat identik dengan aktivitas
membaca dan menulis. Namun, dalam Deklarasi Praha
(2003) dinyatakan bahwa literasi juga meliputi bagaimana
seseorang berkomunikasi dalam masyarakat. Selain itu,
literasi juga didefiniskan sebagai praktik dan hubungan
sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan
budaya (UNESCO, 2003).
Di Indonesia, pemberatasan buta aksara sudah
dimulai sejak zaman Orde Baru pada tahun 1973 dengan
dicanangkannya proyek SD Inpres (Instruksi Presiden).
Proyek SD Inpres ini dinilai berhasil karena dapat
memperluas akses pendidikan ke seluruh pelosok negeri,
mendorong angka partispasi sekolah serta menekan angka
buta aksara. Kesuksesan tersebut tercermin dari
penurunan persentase buta aksara dari 39.1% pada tahun
1971 menjadi 28.8% di tahun 1980, kemudian menyusut
15.9% di tahun 1990 (Statistik 70 Tahun Indonesia
Merdeka, 2015). Di era Reformasi, berdasarkan data yang
dirilis oleh BPS tahun 2018 jumlah penduduk yang buta

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 1


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

aksara hanya berkisar 1,93% dari total populasi penduduk


Indonesia (http://kemdikbud.go.id).
Namun, keberhasilan pemerintah dalam
mengentaskan buta aksara serta meluaskan akses
pendidikan sayangnya belum diikuti dengan keberhasilan
dalam menumbuhkan budaya literasi di tengah
masyarakat. Hal ini mengakibatkan tingkat literasi
masyarakat Indonesia masih tergolong rendah.
Berdasarkan survei Progaramme for International Student
Assessment (PISA) selama kurun waktu 2012 – 2015, skor
PISA untuk membaca hanya naik 1 poin dari 396 menjadi
397 (jauh di bawah rata-rata negara lainnya 487) dan
menempatkan Indonesia pada urutan 64 dari 72 negara.
Hasil ini mengindikasikan bahwa kemampuan memahami
dan keterampilan menggunakan bahan-bahan bacaan,
khususnya teks dokumen pada pelajar Indonesia usia 9 –
14 tahun berada di peringkat sepuluh terbawah (Panduan
Gerakan Literasi Nasional, 2017).
Sesungguhnya, sejak 2016 dalam rangka
meningkatkan minat dan kemampuan literasi masyarakat
Indonesia, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan telah meluncurkan program Gerakan
Literasi Nasional. Gerakan ini meliputi Gerakan Literasi
Sekolah (GLS), Gerakan Literasi Keluarga (GLK), dan
Gerakan Literasi Masyarakat (GLM). Salah satu upaya
untuk menyokong kesuksesan GLS adalah dengan

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 2


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan


Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2015
tentang Penumbuhan Budi Pekerti, dimana salah satu
tujuannya adalah untuk memperkuat budaya literasi siswa
dengan menerapkan kegiatan 15 menit membaca buku
non-pelajaran sebelum waktu belajar dimulai. Pembiasaan
tersebut diharapkan dapat menumbuhkan minat baca serta
meningkatkan keterampilan membaca agar pengetahuan
dapat dikuasai secara lebih baik (Pedoman Gerakan
Literasi Sekolah di Sekolah Menengah Atas, 2016)
Dalam pelaksanaannya, GLN ataupun GLS yang
sudah berjalan masih menghadapi tantangan dan
hambatan yang cukup besar. Tantangan dan hambatan
tersebut antara lain: Pertama, kondisi sarana dan prasarana
untuk mendukung program GLS seperti perpustakaan,
pustakawan, dan tim pengerak literasi masih belum
memadai. Jumlah ketersedian perpustakaan di tingkat
SD/MI yang terdata hanya 57% (tersedia berjumlah
100.000 sedangkan kebutuhan 174.179), perpustakaan di
tingkat SMP/MTs jumlah ketersedian hanya 21% (tersedia
berjumlah 12.000 sedangkan kebutuhan 56.620),
perpustakaan di tingkat SMA/SMK/MA jumlah
ketersedian hanya 19% (tersedia berjumlah 6.599
sedangkan kebutuhan 35.581). Sedangkan, untuk di
Pondok Pesantren jumlah ketersedian perpustakaan masih

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 3


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

sangat minim yaitu 12% (tersedia 2.588 sedangkan


kebutuhan 21.251) (LAKIP Perpusnas, 2016).
Kedua, sekolah/madrasah/pondok pesantren yang
telah menjalankan program GLS terancam tidak dapat
melanjutkan program tersebut apabila tidak ditopang
dengan jumlah dan variasi buku yang tersedia di
perpustakaan atau sudut baca.
Ketiga, rendahnya perilaku membaca dibandingkan
dengan mengakses media lainnya. Hal ini tercermin dari
Survei UNESCO tahun 2012 yang menunjukkan bahwa
indeks membaca masyarakat Indonesia hanya 0.001. Ini
artinya dari 1.000 penduduk Indonesia hanya 1 orang yang
memiliki minta membaca buku (Republika.co.id, 2016).
Keempat, masih minimnya jumlah toko buku dan
rendahnya minat masyarakat Indonesia untuk menjadikan
buku sebagai prioritas belanja keluarga maupun pribadi.
Data dari studi yang dilakukan oleh Komite Buku Nasional
(2016) mengungkapkan bahwa keberadaan toko buku di
Indonesia masih sangat sedikit. Contohnya Gramedia baru
memiliki gerai sekitar 113 toko, sementara jaringan toko
buku lainnya jauh lebih sedikit jumlahnya dan pada
umumnya juga terletak hanya di kota-kota besar sehingga
akses masyrakat di pelosok untuk membeli buku-buku baru
belum dapat terpenuhi. Selain itu, kemampuan membeli
buku masyarakat juga sangat rendah, hal ini terlihat dari
rata-rata masyarakat yang mengalokasikan dana Rp. 0 s/d

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 4


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Rp. 200 ribu. Ini artinya koleksi buku masyarakat


tergolong kecil yaitu antara 0 sd 20 buku (Tim Riset
Perpustakaan Nasional, 2015).
Kelima, di beberapa sekolah/madrasah/pesantren
belum terbentuknya tim penggerak literasi. Hal tersebut
mengakibatkan belum terciptanya iklim literasi dan
lingkungan sekolah/madrasah/pesantren yang literat (kaya
akan teks) serta terkoneksinya kegiatan literasi dengan
proses pembelajaran di sekolah/madrasah/pesantren
secara berkesinambungan.
Uraian tersebut menunjukkan permasalahan yang
melatari persoalan literasi masyarakat Indonesia. Upaya
untuk meningkatkan budaya literasi khususnya di
pesantren tidak dapat dilakukan tanpa memahami peta
pesoalan literasi dan melakukan tindakan nyata melalui
program pendampingan pada ustadz/ustadzah dan
pustakawan dalam menyusun program atau kegiatan
literasi yang dapat diintegrasikan dalam proses
pembelajaran di pesantren secara berkesinambungan.
Selain itu, pemanfaatan literasi digital juga harus sudah
dilakukan sesegera mungkin dalam rangka mensiasati
minimnya ketersedian buku bacaan dan mengikuti arus
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang
sangat cepat belakangan ini.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 5


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti
merumuskan pertanyaan pendampingan yaitu: Bagaimana
pola pendampingan penyusunan literasi digital yang dapat
diintegrasi dalam proses pembelajaran di pesantren secara
berkesinambungan?

C. Tujuan Pengabdian
Pendampingan ini memiliki tujuan utama, yakni
mendesain pola pendampingan penyusunan literasi digital
yang dapat diintegrasi dalam proses pembelajaran di
pesantren secara berkesinambungan.

D. Signifikansi Pengabdian
Signifikansi utama dari kegiatan pendampingan ini
adalah memfasilitasi ustadz/ustadzah dan pustakawan yang
ada di pondok pesantren modern di lingkungan Provinsi
Banten dalam menyusun program literasi digital yang
dapat diintegrasikan secara berkesinambungan dalam
proses pembelajaran serta membangun budaya literasi dan
menciptakan suasana pesantren yang literat (kaya akan
teks).
Program pendampingan ini juga selaras dengan
pemberlakuan Permedikbud Nomor 23 Tahun 2015
tentang Penumbuhan Budi Pekerti, Permendiknas Nomor
24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 6


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Sekolah Dasar dan Menengah, Permendiknas Nomor 25


Tahun 2007 tentang Standar Tenaga Perpustakaan
Sekolah/Madrasah, Undang-Undang No.20 Tahun 2003,
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, dan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang
Pesantren.
Oleh karena itu, dengan diberlakukannya peraturan-
peraturan tersebut, menuntut ustadz/ustadzah dan
pustakawan untuk dapat menyelenggarakan pendidikan
yang berkualitas, salah satunya dengan cara
mengintegrasikan kegiatan literasi dalam proses
pembelajaran secara berkesinambungan, serta membangun
budaya literasi di pondok pesantren.

E. Kerangka Konseptual
Dalam rangka memperoleh kesepahaman konsep,
maka dalam sub-bab ini akan disajikan terminologi yang
terkait dengan topik pembahasan.
1. Pesantren
Dari beberapa literatur terdahulu (C.C.Berg: 1974;
Geertz: 1983; Johns:1975), secara etimologi kata pesantren
berasal dari kata India yaitu ‘shastri’ (dari akar kata
‘shastra’) yang memiliki makna orang-orang yang
memahami atau menguasai buku-buki suci agama Hindu.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 7


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Sementara itu, Nurcholis Madjid (2010:19-20)


berpendapat bahwa istilah ini berasal dari bahasa
Sansekerta atau Jawa Cantrik. Pendapat pertama, kata ini
berasal dari bahasa Sansekerta yaitu ‘sastri’ yang diartikan
‘orang yang melek huruf’ atau kaum literat (literate class).
Hal ini merujuk pada aktifitas kaum santri yang sedang
mendalami ilmu agama melalui kitab-kitab klasik
berbahasa arab atau pegon. Pendapat kedua, kata ini
diartikan sebagai seseorang yang selalu mengikuti guru
kemana pun guru ini pergi menetap agar bisa belajar suatu
keahlian kepada gurunya tersebut.
Pendapat lainnya, Robson dalam Harun Asrahah
(2009) mengutarakan bahwa kata santri berasal dari bahasa
Tamil yang memiliki arti orang yang tinggal di sebuah
rumah atau bangun sederhana.
Berdasarkan pendapat diatas, meskipun kata
pesantren berasal dari bahasa yang berbeda-beda, namun
mengisyaratkan kepada karakteristik pesantren secara utuh
yaitu seseorang yang sedang mendalami ilmu-ilmu agama
kepada seorang guru dan menetap di sebuah bangunan
yang sangat sederhana.

2. Literasi Digital
Saat ini makna literasi sudah jauh lebih berkembang,
tidak hanya dimaknai sebagai kemampuan membaca dan
menulis dalam media cetak, namun literasi sudah beralih

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 8


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

ke media digital dalam format seperti: e-book, e-newspaper,


e-magazine, electronic talking book, online journal,
personal blog, social media, dan lain sebagainya.
Terminologi literasi digital, dicetuskan pertama kali
oleh Paul Glister (1997) yang mengatakan bahwa literasi
digital merupakan kemampuan seseorang untuk
memahami dan memanfaatkan informasi dalam
bermacam format yang berasal dari berbagai sumber yang
disajikan melalui komputer.
Beberapa tahun berselang, Bawden (2001)
menjelaskan literasi digital atau literasi informasi digital,
bertumpu pada literasi komputer dan informasi. Literasi
ini sudah dimulai sejak tahun 1980an dan berkembang
pesat pada periode 1990an dimana berbagai informasi
menjadi lebih mudah diakses dan disebarluaskan oleh
masyarakat penggunanya.
Selanjutnya, Douglas A.J. Belshaw (2012) dalam
studinya menjabarkan pengertian literasi digital secara
lebih rinci dengan menekankan pada delapan elemen
fundamental dalam mengembangkan literasi digital yaitu
(1) kultural; (2) kognitif; (3) konstruktif; (4) komunikatif;
(5) kepercayaan diri; (6) kreatif; (7) kritis; dan (8)
bertanggungjawab. Kedelapan elemen dasar tersebut
sebagai prasayarat seseorang untuk dapat menerima,
memahami, mengolah dan menyebarkan informasi yang

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 9


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dan


terhindar dari informasi palsu (fake news).
Merujuk pada tiga pendapat ahli tersebut, maka dapat
ditarik benang merah bahwa terminologi literasi digital
dapat diartikan sebagai kemauan, perilaku, dan
kemampuan seseorang untuk menerima, mengakses,
memanfaatkan, mengelola, dan mengevaluasi informasi
digital yang disajikan di internet melalui perangkat
komputer atau telepon pintar dimana informasi tersebut
dapat menjadi suatu pengetahuan baru yang sudah
dianalisis dan dicek kebenarannya sebelum disebarluaskan
secara efektif.
Pada dasarnya, literasi digital sudah dapat
dimanfaatkan di lingkungan pesantren. Karena literasi
digital menawarkan berbagai manfaat yang berimplikasi
pada proses pembelajaran di pesantren seperti: 1)
menghemat waktu dalam mencari referensi; 2) belajar jadi
lebih cepat karena sumber-sumber informasi dengan
mudah ditemukan di internet; 3) menghemat biaya, karena
tidak perlu membeli banyak buku; 4) memberikan
informasi terkini; 5) selalu terhubung dengan dunia luar;
6) mendorong penggunanya untuk lebih kritis dalam
memilih dan menerima informasi; 7) mendorong
penggunanya untuk akrab dengan fitur-fitur yang ada di
komputer atau telepon pintar; 8) tampilan informasi
lebih bervariasi dan menarik; 9) memberikan ruang yang

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 10


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

luas untuk mencurahkan gagasan atau pemikiran serta 10)


dapat mempengaruhi dunia melalui pemikiran-pemikiran
yang dituangkan dalam tulisan (Wright, 2015).
Akhirnya, meminjam pernyataan Ja’far (2019:22)
bahwa “relasi literasi digital dengan pesantren merupakan
titik pijak perjumpaan akademik antara santri dengan
dunia luar pesantren yang memungkinkan santri untuk
mengakses informasi (literature keislaman) sebanyak
mungkin yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Selain
itu, literasi digital juga dapat mendorong santri untuk
berpikir krtitis dan bertindak selektif dalam menerima,
memilih, dan mengkonsumi informasi agar terhidar dari
informasi yang tidak benar (hoax). Singkatnya, kerangka
konseptual studi ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Proses
Integrasi Pesantren
Pembelajaran
Literasi Digital Yang Literat
di Pesantren

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 11


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

BAB II
KAJIAN TEORITIS

A. Tinjaun Literatur
Pada awalnya, pesantren didirikan sebagai pusat
pendidikan keagamaan Islam yang secara khusus ditujukan
untuk mentransmisikan ilmu-ilmu agama Islam
sebagaimana terekam dalam karya-karya Islam klasik yang
dikenal dengan sebutan kitab kuning (Bruinessen, 1999).
Namun, transformasi pesantren yang sangat masif terjadi
di masa pasca-reformasi dimana banyak sekali pesantren
salaf yang mencangkokkan keilmuan pesantren berbasis
kitab salaf dengan kurikulum nasional berbasis
pengetahuan modern. Hasilnya, terjadinya diverifikasi
dimana pesantren tidak hanya terfokus untuk mempelajari
kitab kuning (al-kutub as-sofro) sebagai kitab induk
pesantren (turast), tetapi juga buku putih (al-kutub al-
baidho’) seperti ilmu pengetahuan umum, majalah, dan
koran (Dhofier, 2011). Hal ini menunjukkan keterbukaan
pesantren terhadap keilmuan kontemporer dan perangkat
pembelajaran yang modern yang juga dibutuhkan oleh
santrinya.
Sedikit-banyak, hadirnya literasi digital memberikan
pengaruh pada pola pendidikan dan pola relasi di
pesantren. Zulhimma (2013:163) dalam studinya
mengemukakan bahwa selain alasan efisiensi dalam

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 12


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

belajar, akses informasi yang lebih luas, literasi digital juga


menjadi media baru yang sangat efektif dalam memperoleh
dan menyampaikan gagasan dan pendapat keagamaan.
Akan tetapi, hal ini perlu diantisipasi secara baik, karena
teknologi digital dapat mempengaruhi pola interaksi dan
belajar para santri di mana tradisi yang sudah lama
terbangun seperti muwajjah (tatap muka/face to face)
dalam belajar dapat diganti dengan pertemuan daring
(online meeting), tradisi istimbat (mencari referensi) lewat
kitab-kitab turast (kitab induk pesantren) dapat digantikan
dengan tradisi googling.
Pada hakikatnya, literasi digital hadir sebagai jawaban
dari kebutuhan manusia modern untuk dapat mengakses,
mengelola informasi, dan menciptakan konten untuk
dibagikan kepada warganet (netizen) lainnya. Kajian
mengenai pemanfaatan literasi digital sebagai media
dakwah pesantren salah satunya dilakukan oleh Hasyim
Iskandar (2018). Kajian ini terfokus pada santri yang
tergabung dalam Arus Informasi Santri di Banyuwangi dan
menyebarkan dakwah lewat media internet.
Peneliti lainnya, seperti Ja’far (2019) dan Zabidi dan
Tamami (2021) sudah mengekspose penetrasi literasi
digital dalam proses pembelajaran dan tradisi di pesantren.
Ja’far (2019) menelaah dari sisi literasi digital sebagai
bagian dari modernisasi, pola perubahan akademik, dan
kontestasi maya yang mempengaruhi tradisi di pesantren.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 13


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Dalam studi ini, Ja’far mengungkapkan bahwa: Pertama,


modernisasi dan literasi digital membawa dampak pada
disverifikasi pengetahuan dimana santri lebih leluasa
mengakases informasi informasi secara online. Kedua,
literasi digital di pesantren dipengaruhi oleh figur
sentralnya yaitu Kyai yang memegang peran kunci dalam
menentukan kebijakan dan mengendalikan arus informasi
literasi digital. Ketiga, literasi digital berpeluang sebagai
media untuk menyampaikan narasi dan nilai-nilai ke-
Islaman yang toleran, inklusif, dan berwawasan
kebangsaan.
Hampir serupa dengan studi yang dilakukan Ja’far,
Zabidi dan Tamimi (2021) juga mengadakan sebuah studi
tentang pemanfaatan literasi digital di pesantren. Hasil
studi ini menjabarkan bahwa: Pertama, pimpinan
pesantren mempunyai kebijakan serta komitmen yang kuat
dalam mengoptimalisasi literasi digital di pesantren yang
dipimpinnya. Salah satunya dengan cara menyediakan wifi
secara gratis untuk santri dan masyarakat sekitar. Kedua,
melalui optimalisasi literasi digital, proses pembelajaran
dalam bidang kajian agama menjadi menarik dan dinamis
khususnya bagi para santri millennial yang sudah sangat
akrab dengan fitur gawai pintar (smart phone).
Berbeda dengan studi-studi yang sudah dikemukakan
diatas, studi ini (pendampingan masyarakat berbasis
lembaga keagamaan) lebih bersifat praktis namun juga

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 14


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

memiliki nilai akademis, karena menitikberatkan pada


program pendampingan kepada ustad/ustadzah di Pondok
Pesantren Modern yang ada di Provinsi Banten dalam
menyusun program literasi digital yang dapat
diintegrasikan dalam proses pembelajarann secara
berkesinambungan.
Adapun landasan yuridis dari kegiatan ini adalah UU
No 18 Tahun 2019 tentang Pesantren Pasal 4 yang
berbunyi “Ruang lingkup fungsi pesantren meliputi: (a)
pendidikan, (b) dakwah; dan (c) pemberdayaan
masyarakat.” Serta pasal 16 ayat 2 yang menyatakan bahwa:
“Fungsi Pendidikan Pesantren sebagaimana yag dimaksud
pada ayat (1) ditujukan untuk membentuk Santri yang
unggul dalam mengisi kemerdekaan Indonesia dan
mampu menghadapi perkembangan zaman.”

B. Literasi Digital
1. Pengertian Literasi Digital
Pada awalnya, istilah literasi sudah mulai marak
diperbincangkan sejak ditemukannya mesin cetak pada
pertengahan abad ke 14 (Revolusi Gutenberg). Semula,
konsep literasi merujuk kepada aktivitas membaca dan
menulis serta juga digunakan untuk membedakan
masyarakat yang sudah melek aksara (literate) dan yang
masih buta huruf (illterate). Namun, saat ini istilah literasi
kemudian berkembang dan dipadankan dengan istilah

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 15


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

pengetahuan dan keterampilan dalam berbagai kehidupan.


Literasi dasar yang semula hanya baca-tulis kemudian
berkembang menjadi literasi numerasi, literasi sains,
literasi digital, literasi finansial, serta literasi budaya dan
kewarganeganegaraan (Jendela Pendidikan dan
Kebudayaan, edisi VI/Oktober/2016).
Pasca memasuki Era Revolusi Industri 4.0 yang biasa
disebut sebagai revolusi digital, semua informasi dan
aktifitas dapat diperoleh dan dilakukan secara cepat (real-
time), dimana saja dan kapan saja. Pesatnya perkembangan
teknologi digital memberikan perubahan yang signifikan
pada aspek kehidupan seperti politik, pendidikan hingga
sosial keagamaan di Indonesia (Jurriens & Tapsel, 2017:
10). Pada aspek pendidikan, pesatnya perkembangan
teknologi berdampak pada perubahan pola dan model
pendidikan dimana pengetahuan dan informasi selain
ditransmisikan secara konvensional (baca: luring) namun
juga dapat melalui digital yang berbasis online (baca:
daring) seperti email, blog, e-book, video tutorial, podcast,
dan sebagainya (Suharto, 2014:55).
Dalam era serba digital, manusia modern juga
dituntut untuk dapat mengakses, memilih, memanfaatkan
dan menelusuri informasi secara cepat dan tepat.
Kemampuan inilah yang menjadi cikal-bakal lahirnya
kemampuan literasi digital. Literasi digital muncul seiring
pesatnya perkembangan teknologi informasi dan

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 16


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

komunikasi, konsep ini awalnya diperkenalkan oleh Paul


Gilster pada tahun 1997. Gilster memaknai literasi digital
sebagai kemampuan untuk memahami informasi,
mengevaluasi dan mengintegrasikan informasi dalam
berbagai format yang disajikan dalam komputer.
Empat tahun kemudian, Bawden (2001) memaparkan
literasi digital bertumpu pada literasi komputer dan
informasi. Literasi ini sudah ada sejak tahun 1980an dan
berkembang sangat pesat pada masa 1990an dimana
berbagai informasi menjadi lebih mudah diakses dan
disebarluaskan oleh masyarakat penggunanya.
Setali tiga uang, Littlejohn, Beetham, dan McGill
(2017) juga memiliki perspektif yang hampir serupa
tentang literasi digital. Mereka berpendapat bahwa literasi
digital sebagai keahlian dalam menggunakan perangkat
komputer, internet, dan alat digital lainnya dalam upaya
untuk mengetahui (to know), untuk mencari (to search),
untuk memahami (to understand), untuk menganalisa (to
analyze), dan untuk menggunakan (to use) teknologi
digital.
Dari ketiga pengertian tersebut, maka literasi digital
dapat didefinisikan sebagai kemauan, periku, dan
kemampuan seseorang untuk mengakses, memanfaatkan,
mengelola, mengintegrasikan, menganalisi dan
mengevaluasi isi dari berbagai informasi yang disajikan
berbasis teknologi digital. Informasi tersebut jika

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 17


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

dimanfaatkan dengan baik maka dapat membangun suatu


pengetahuan baru yang dapat disebarluaskan kepada orang
lain melalui berbagai aplikasi media sosial yang terhubung
melalui jaringan internet.

2. Jenis-Jenis Literasi Digital


Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
tidak dapat dihindari dan terjadi di berbagai aspek
kehidupan termasuk pendidikan. Dewasa ini,
kecenderungan manusia modern lebih memanfaatkan
google dari pada membaca buku sebagai referensi
informasi dan pengetahuan. Hal ini mengisyaratkan bila
internet menyediakan berbagai kebutuhan dalam mencari
informasi (Kurniawati, 2016).
Literasi digital yang juga biasa disebut dengan literasi
komputer, secara sederhana identik dengan kemahiran
memanfaatkan komputer, telepon pintar, PDA, Internet,
dan gawai digital lainnya yang telah menjadi sebuah
kebutuhan dasar yang harus dikuasai oleh manusia
modern. Literasi ini meliputi tiga kemampuan utama yaitu:
1) kompetensi pemanfaatan teknologi; 2) kemampuan
memaknai dan memahami konten digital; serta 3)
kemampuan menilai kredibilitas (Common Sense Media,
2011).
McQuail (2010) dalam teorinya membagi literasi
media digital menjadi empat kategori yaitu: 1) media

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 18


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

komunikasi interpersonal seperti email; 2) media


permainan interaktif seperti game; 3) media pencarian
informasi seperti google; dan 4) media partisipatoris seperti
ruang chat.
Perkembangan literasi digital saat ini dapat
diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis seperti: 1)
internet, media yang memungkinkan penggunanya untuk
menemukan berbagai informasi yang dibutuhuhkan secara
cepat; 2) media sosial, media yang memungkinkan
penggunanya untuk bersosilasasi dan terhubung satu sama
lain secara online tanpa adanya batasan waktu dan jarak;
3) buku berbicara elektronik, buku cerita digital yang dapat
didengar suaranya dengan menggunakan e-pen; 4) e-book,
buku yang dicetak dalam bentuk digital (biasanya dalam
bentuk pdf), e-book ini biasanya dapat diunduh oleh
pengguna internet namun ada juga berbayar; 5) personal
blog atau weblog, media yang memberikan kesempatan
kepada pengguna internet untuk mencurahkan gagasan
atau ide-idenya di halaman web; 6) iPhone atau Android,
media telepon pintar yang dapat berfungsi sebagai media
komunikasi, pencarian informasi, dan memasang aplikasi
yang dibutuhkan oleh penggunanya; 7) CD atau DVD,
media penyimpan optic yang dapat menyimpan data,
video, atau suara dapat diputar kembali pada saat
dibutuhkan.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 19


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

3. Komponen Literasi Digital


Jenis-jenis media literasi digital yang telah disebutkan
pada sub-bab sebelumnya pada dasarnya berfungsi untuk
memudahkan santri untuk belajar, mengakses informasi
lebih capat, terhubung dengan dunia luar, dan
menyebarkan ide-ide atau gagasan baru yang dapat
disebarkan secara efektif ke khalayak ramai.
Joint Information System Committee (2014)
mengungkapakan bahwa dalam memanfaatkan dan
mengembangkan literasi digital, seseorang dituntut untuk
menguasai 21 jenis komptensi digital yang dikelompokkan
dalam 5 kompetensi inti yaitu1) literasi data dan informasi
(information dan data literacy); 2) komunikasi dan
kolaborasi (Communication and collaboration); 3)
penciptaan konten digital (digital content creation); 4)
keamanan (safety); dan 5) penyelesaian masalah (problem
solving).
Sementara itu Belshaw (2012) merinci delapan
komponen esential untuk dapat memanfaatkan dan
mengembangkan litersi digital yaitu: 1) kultural, yaitu
pemahaman ragam konteks penggunaan dunia digital; 2)
kognitif, yaitu daya pikir dalam menilai konten; 3)
konstruktif, yaitu reka cipta sesuatu yang ahli dan actual;
4) komunikatif, yaitu memahami kinerja jejaring dan
komunikasi di dunia digital; 5) kepercayaan diri yang
bertanggung jawab; 6) kreatif, melakukan hal baru dengan

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 20


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

cara baru, 7) kritis dalam menyikapi konten; dan 8)


bertanggung jawab secara sosial.
Sementara itu Hellen Slee (2017) menguraikan enam
standar komponen literasi digital yang mencakup:
1) Tanggung-jawab digital menggunakan internet denga
aman;
2) Produktif digital, santri dapat menerapkan
keterampilan yang dimilikinya untuk menyelesaikan
permasalahan di lingkungan digital;
3) Literasi informasi digital, santri dapat mencari
informasi atau pengetahuan serta melakukan
penelitian di lingkungan digital;
4) Kolaborasi digital, santri dapat terhubung dengan
dunia luar untuk melakukan kerjasama di lingkungan
digital;
5) Kreativitas digital, santri depat mengasah kepercayaan
dirinya dengan menghasilkan karya dan dapat mencari
alternatif solusi dari suatu permasalahan dengan cara
yang lebih spesifik;
6) Digital learning, santri didorong untuk menjadi
seorang pembelajar mandiri.
Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan untuk
mengembangkan komponen literasi digital seseorang
harus mampu 1) akrab dengan berbagai fitur yang ada di
gawai; 2) memanfaatkan teknologi digital secara aman dan
bertanggung jawab; 3) bersikap kritis dalam menilai

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 21


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

berbagai informasi yang ada di dunia digital agar terhindar


dari berita bohong (hoax) atau berbagai konten yang tidak
bermanfaat (spam); 4) mampu membangun interaksi
dengan dunia luar melalui pemikiran atau gagasan yang
dituangkan dalam tulisan; 5) mampu meningkatkan
kreativitas dan menjadi pembelajar yang mandiri dengan
cara memperbaharui informasi terbaru dan mencari
referensi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan.

4. Tahapan GLS dan Jenis Kegiatan Literasi


Pada praktiknya, pelaksanaan GLS di setiap pesantren
diselenggarakan secara bertahap dengan melihat pada
kesiapan masing-masing lembaga pendidikan. Kesiapan ini
meliputi kesiapan fisik sekolah (e.g. ketersediaan fasilitas,
sarana, dan prasarana literasi), kesiapan warga pesantren
(e.g. santri, ustad/ustazah, orang tua/wali santri), dan
kesiapan sistem pendukung lainnya (e.g. partasipasi
masyarakat sekitar, penggiat literasi, dukungan swasta, dan
perangkat kebijakan yang relevan).
Dalam buku Panduan Gerakan Literasi Sekolah
(2016: 8-21) dijelaskan bahwa untuk memastikan
keberlangsungan pelaksanaan GLS dalam jangka panjang
maka kegiatan ini dibagi menjadi tiga tahapan yaitu

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 22


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Pembelajaran
Pengembangan

Pembiasaan

Gambar 2.1 Tahapan Pelaksanaan GLS

Pada tahap pembiasaan, GLS memiliki empat tujuan


utama yaitu: (1) menumbuhkan minat baca peserta didik
di luar jam pelajaran; (2) meningkatkan keterampilan
membaca pemahaman; (3) membangun kepercayaan diri
sebagai pembaca yang baik; dan (4) membiasakan peserta
didik untuk memanfaatkan berbagai media sebagai sumber
informasi (Gerakan Literasi Sekolah di SMA, 2016, h.8).
Pada tahap ini, jenis kegiatan literasi dapat berupa: (1)
membaca 15 menit sebelum pelajaran di mulai; (2)
membaca buku dengan memanfaatkan peran
perpustakaan dan sumber digital lainnya; (3) membaca
terpadu (guided reading); dan (4) membaca mandiri
(independent reading). Dalam kegiatan membaca harus
juga didukung dengan penkondisiaan iklim literasi
pesantren yang baik. Pengkondisian iklim literasi dapat

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 23


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

dilakukan dengan cara pengembangan dan pengadaan


lingkungan fisik, seperti (1) menambah koleksi buku-buku
non-pelajaran (e.g. novel, cerpen, komik, surat kabar,
majalah, dan buku ilmiah popular); (2) menyediakan sudut
baca kelas atau area baca di sekitar lingkungan pesantren;
dan (3) menciptakan lingkungan pesantren yang literat
dengan cara menempel poster-poster tentang pentingnya
membaca atau kutipan-kutipan yang inspiratif, dan,
majalah dinding sebagai sarana berekspresi bagi santri.
Dalam kegiatan membaca pada tahap pembiasaan, ada
beberapa prinsip yang harus diperhatikan seperti:
1) Ustadz/Ustadzah memberikan waktu selama 15 menit
kepada siswa/santri untuk membaca setiap hari.
Kegiatan membaca 15 menit ini bersifat kondisional,
bergantung pada jadwal dan kondisi pesantren
masing-masing (e.g., bisa di awal, tengah, atau akhir
pelajaran);
2) Buku yang dibaca adalah buku non-pelajaran;
3) Santri diperbolehkan memilih buku yang ingin
mereka baca, sesuai dengan minta dan kegemarannya;
4) Santri diperbolehkan membaca buku miliknya
sendiri;
5) Kegiatan membaca buku pada tahap ini belum diikuti
oleh tugas-tugas yang bersifat penilaian;

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 24


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

6) Setelah kegiatan membaca dapat dilanjutkan dengan


kegiatan diskusi informal tentang buku yang sudah
baca oleh para santri;
7) Kegiatan membaca berlangsung dalam suasana yang
yang santai, tenang, dan menyenangkan. Suasana
tersebut dapat dikondisikan dengan cara mengatur
tempat duduk yang nyaman, pencahayaan yang cukup,
sirkulasi udara yang baik, dan poster-poster tentang
pentingnya membaca; dan
8) Ustadz/Ustadzah ikut serta secara aktif dalam kegiatan
membaca 15 menit.
Tahap kedua yaitu tahap pengembangan. Pada
prinsipnya, kegiatan literasi pada tahap ini hampir sama
dengan tahap pembiasaan namun yang membedakan
adalah adanya kegiatan tindak lanjut setelah kegiatan
membaca 15 menit agar para santri dipicu untuk
menunjukkan keterlibatan pikiran dan perasaanya setelah
melalui proses membaca melalui kegiatan produktif secara
lisan maupun tulisan.
Kegiatan tindak lanjut pada tahap ini memikiki tujuan
antara lain:
1) Melatih kemampuan para santri untuk dapat
menanggapi buku non-pelajaran (buku pengayaan)
baik secara lisan maupun tulisan;

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 25


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

2) Menciptakan hubungan antara santri dengan


ustad/ustadzah dari buku yang sudah dibaca;
3) Mendorong para santri untuk berpikir kritis, kreatif,
inovatif, dan analitis; serta
4) Memicu para santri untuk senantiasa mencari
hubungan antara buku yang sudah dibacanya dengan
dirinya sendiri dan sesuatu yang terjadi di lingkungan
sekitarnya.
Jenis kegiatan tindak lanjut pada tahap pengembangan
dapat berupa: 1) menulis komentar singkat terhadap buku
yang dibaca di jurnal membaca harian; 2) bedah buku; 3)
reading award; dan 4) mengembangkan iklim literasi
sekolah (Panduan Gerakan Literasi Sekolah di SMA, 2016,
h.16-18). Dalam implementasinya, kegiatan tindak lanjut
ini memiliki beberapa prinsip yang harus dipertimbangkan
seperti:
1) Buku yang dibaca haruslah buku non-pelajaran yang
diminati oleh santri.
2) Para santri diperkenankan untuk membaca buku
milik sendiri;
3) Setelah kegiatan membaca diikuti oleh kegiatan tidak
lanjut seperti presentasi singkat, menulis sederhana,
kriya atau seni peran untuk menanggapi bacaan yang
telah disesuaikan dengan jenjang dan tingkat
kemampuan santri;

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 26


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

4) Tugas-tugas presentasi singkat, menulis sederhana,


kriya, atau seni peran dapat dinilai secara non-
akademik dengan berpusat pada sikap santri selama
kegiatan. Tugas-tugas tersebut dapat dikembangkan
menjadi bagian dari penilaian akademik apabila
pelaksaan GLS di pesantren tersebut sudah sampai
pada tahap pembelajaran;
5) Kegiatan membaca buku dilaksanakan dalam suasana
yang kondusif dan menyenangkan. Ustad/Ustadzah
juga sesekali dapat memberikan motivasi, komentar,
atau umpan balik kepada santri sebagai bentuk
apresiasi;
6) Sudah terbentuknya Tim Penggerak Literasi Pesantren
(berikutnya ditulis TPLP) yang memiliki tugas untuk
merancang, mengelola, memonitoring, dan
mengevalusi perlaksanaan program literasi pesantren.
Tahap terakhir yaitu tahap pembelajaran. Kegiatan
literasi pada tahap ini memiliki beberapa tujuan yaitu:
1) Meningkatkan kemampuan memahami isi teks dan
mengaitkannya dengan pengalaman pribadi sehingga
mendorong para santri untuk menjadi pembelajar
sepanjang hayat yang mandiri (autonomous learner);
2) Mendorong para santri berpikir kritis, analitis, kreatif,
dan inovatif;

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 27


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

3) Melatih para santri untuk dapat meningkatkan


kemampuan komunikatif secara kreatif (verbal,
tulisan, visual, digital) melalui kegiatan menanggapi
teks buku bacaan dan pelajaran (Anderson &
Krathwol, 2001).
Pada tahap pembelajaran, ada beberapa jenis
kegiatan literasi yang dapat diterapkan di pesantren,
kegiatan tersebut antara lain:
1) Kegiatan membaca lima belas menit sebelum jam
pelajaran pertama dimulai, kegiatan membaca ini
dapat dipadukan dengan berbagai teknik membaca
seperti membaca nyaring, membaca dalam hati,
membaca bersama, atau membaca terpadu;
2) Kegiatan literasi dalam pembelajaran dengan tagihan
akademik;
3) Kegiatan membaca pemahaman dalam semua mata
pelajaran dengan memanfaatkan graphic organizers;
4) Pembuatan biografi santri satu kelas atau dewan
ustad/ustadzah;
5) Pemanfaatn lingkungan fisik, sosial, afektif, dan
akademik yang disertai dengan beragam bacaan (e.g.
cetak, visual, auditori, dan digital) yang kaya literasi di
luar buku teks pelajaran untuk memperluas
pengetahuan santri dalam semua mata pelajaran

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 28


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

(Panduan Gerakan Literasi Sekolah di SMA, 2016,


h.22).
Seluruh kegiatan literasi pada tahap ini harus diarahkan
untuk mendukung pelaksanaan Kurikulum 2013 yang
mensyaratkan para santri untuk membaca buku non-teks
pelajaran. Pada Tahap pembelajaran ada beberapa prinsip
yang harus dipertimbangkan, seperti:
1) Buku yang dibaca berupa buku non-pelajaran seperti
pengetahuan umum, kegemaran, minat tertentu, atau
teks multimodal yang dapat dikaitkan dengan mata
pelajaran tertentu; dan
2) Terdapat tagihan akademis yang terkait dengan mata
pelajaran.

5. Literasi Baru dan Penerapannya di Pesantren


Derasnya arus informasi menuntut manusia modern
termasuk santri untuk dapat memanfaatkan dan memilah-
milih informasi yang beredar agar terhindar dari berita
bohong (hoax). Ferguson (2016:8) menguraikan bahwa
baru-baru ini literasi informasi tengah berkembang dan
seyogyanya dikuasai oleh seluruh pelajar, literasi ini
meliputi literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi media,
literasi teknologi, dan literasi visual.
Literasi dasar sebagai fondasi awal literasi
menitikberatkan pada kemampuan menyimak, berbicara,

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 29


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

membaca, menulis dan menghitung (counting) dikaitkan


dengan bernagai kemampuan seperti menganalisis dalam
berhitung (calculating), mempersepsi informasi
(perceiving), mengkomunikasikan (communicating), dan
menggambarkan informasi (drawing) yang didasarkan pada
pemahaman dan penarikan kesimpulan.
Literasi perpustakaan sangat bermanfaat terutama
dalam memberikan pemahaman cara membedakan bacaan
fiksi dan nonfiksi, menggunakan koleksi referensi dan
periodikal, serta memahami pemanfaatan katalog dan
pengideksan.
Literasi media merupakan keterampilan untuk
memanfaatkan berbagai jenis media sebagai sumber
informasi. Media tersebut baik dalam bentuk media cetak,
media elektronik (e.g. radio dan televisi), maupun media
digital (internet & telepon pintar).
Literasi teknologi adalah kemampuan menggunakan
perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software),
serta etika dalam memanfaatkan teknologi. Dalam
praktiknya, para santri dituntut untuk dapat
mengoperasikan komputer yang di dalamnya meliputi:
menghidupkan dan mematikan komputer, menyimpan
dan mengelola data, dan mengoperasikan program
perangkat lunak.
Literasi visual ialah pemahaman tingkat lanjut antara
literasi media dan teknologi, yang ditekankan pada

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 30


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

kemampuan dan kebutuhan belajar dengan memanfaatan


materi visual dan audio-visual secara krtis dan
betanggungjawab.
Berikut ini akan disajikan beberapa contoh kegiatan
literasi baru yang dapat langsung diterapkan di pesantren
dan telah disesuaikan dengan tahapan GLS:
Tabel 2.1
Contoh Kegiatan Literasi

Tahap Pembiasan
Literasi Dasar
Membaca 15 menit sebelum kegiatan belajar setiap hari
Literasi Perpustakaan
Mencari bahan pustaka yang diminati untuk kegiatan
membaca 15 menit
Literasi Media
Membaca berita dari media cetak atau daring dalam kegiatan
membaca 15 menit
Literasi Teknologi
Membaca buku elektornik (e-book atau Elektronik Talking
Book)
Literasi Visual
Mengamati dan mendiskusikan isi film dan iklan pendek
Tahap Pengembangan
Literasi Dasar
Mendiskusikan bacaan
Literasi Perpustakaan

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 31


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Menggunakan perpustakaan sebagai sumber informasi dalam


diskusi tentang bacaan
Literasi Media
Mendiskusikan berita dari media cetak atau daring
Literasi Teknologi
Memberikan komentar terhadap buku elektronik
Literasi Visual
Mendiskusikan isi film atau iklan pendek
Tahap Pembelajaran
Literasi Dasar
Menulis analisis terhadap bacaan
Literasi Perpustakaan
Mencantumkan daftar pustaka dalam laporan tugas/praktik
setiap mata pelajaran
Literasi Media
Membuat komunitas pembelajaran untuk diskusi dan
berbagai informasi terkait pemahaman mata pelajaran antara
teman, guru, dan antarsekolah
Literasi Teknologi
Setiap mata pelajaran memanfaatkan teknologi (komputasi,
searching, dan share) dalam mengolah, menyaji, melaporkan
hasil kegiatan/laporan
Literasi Visual
Menggunakan aplikasi video/film dalam menyaji dan
melaporkan kegiatan hasil praktik/diskusi/observasi melalui
website sekolah, youtube, dll.
(Sumber: Panduan Gerakan Literasi Sekolah)

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 32


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

6. Pembentukan Tim Penggerak Literasi Pesantren


Program GLS yang sudah diterapkan di pesantren
akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh sumber
daya manusia yang baik dan fasiltas pendukung kegiatan
yang memadai. Agar program GLS dapat berkembang ke
tahap berikutnya dan mencapai tujuan utama yaitu
membangun budaya literasi di pesantren, maka seorang
pimpinan pesantren dapat membentuk Tim Penggerak
Literasi Pesantren (berikutnya disingkat TPLP) yang dapat
menggerakan program GLS.
TPLP ini terdiri dari wakil pimpinan pesantren, guru
kelas, guru bahasa, guru mata pelajaran non-bahasa,
pustakwan, tenaga kependidikan, orang tua santri, anggota
komite sekolah, dan relawan literasi. Tim tersebut nantinya
bertugas untuk merancang, melaksanakan, mengawasi, dan
mengevaluasi pelaksanaan GLS yang kemudian dilaporkan
kepada pimpinan pesantren.
Adapun peran TPLP antara lain:
1. Memastikan kegiatan membaca 15 menit berjalan
setiap hari;
2. Memastikan keberadaan buku-buku non-pelajaran di
perpustakaan sekolah, sudut-sudut baca, dan lorong
sekolah;
3. Memonitoring sirkulasi peminjaman buku di
perpustakaan sekolah dan kegiatan membaca di sudut-
sudut baca;

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 33


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

4. Merancang kegiatan minggu literasi, bazar buku,


bengkel menulis, atau perayaan hari-hari besar lain
yang berbasis literasi seperti pada hari pendidikan
nasional;
5. Mengkoordinir penggalangan dana kepada wali santri,
pelaku bisnis, atau donator lainnya agar dapat
menambah koleksi buku-buku pengayaan;
6. Melakukan klinik membaca untuk melatih para santri
dalam mengimplementasikan teknik-teknik membaca
seperti membaca nyaring, membaca dalam hati,
membaca terpadu, membaca bersama, dan membaca
mandiri;
7. Melakukan bedah buku atau seminar pendidikan
untuk orang tua santri (parenting);
8. Membangun komunikasi dengan orang tua/wali
santri secara berkelanjutan berkenaan dengan
pelaksanaan kegiatan membaca di rumah ketika para
santri pulang liburan;
9. Mempublikasi capaian kegiatan GLS dan memajang
produk-produk literasi yang dihasilkan oleh para
santri.
10. Membangun jaringan eskternal dengan berbagai pihak
seperti pemerintah daerah, pelaku bisnis, atau pegiat
literasi yang memiliki visi dan misi yang sama dalam
memajukan program GLS;

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 34


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Setelah TPLP terbentuk, maka langkah selanjutnya


yang harus dilakukan adalah menata sarana literasi dan
menciptakan lingkungan pesantren yang literat. Sarana
literasi di pesantren meliputi perpustakaan, sudut baca
kelas, dan area baca.
Perpustakaan yang memiliki fungsi sebagai pusat
pembelajaran, saat ini sangat mungkin untuk
dikembangkan dengan memberikan berbagai fasilitas
penunjang pembelajaran seperti koleksi audio-visual,
televisi, personal computer, multimedia player, film
dokumenter dan pengetahuan serta buku-buku pengayaan.
Ruang perpustakaan harus ditata dengan baik dengan
memberikan perhatian khusus pada sirkulasi udara, tata
cahaya, tempat duduk, dan penempatan buku. Selain itu,
ruang baca juga harus kedap suara, sejuk, dan membuat
pengunjungnya merasa nyaman.
Sudut baca merupakan sebuah sudut yang ada di
setiap kelas yang dilengkapi dengan rak yang berisikan
koleksi buku-buku pengayaan. Sudut baca merupakan
kepanjangan dari perpustakaan yang berfungsi untuk
menumbuhkan minat baca siswa dan mendekatkan siswa
dengan buku-buku non-pelajaran. Selain itu, sudut baca
juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat yang memajang
koleksi bacaan dan hasil karya para santri.
Area baca sekolah yang terdiri dari serambi, koridior,
halaman, kebun, ruang kepala sekolah, ruang ustdaz, ruang

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 35


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

UKS, ruang kelas, tempat ibadah, tempat parkir, kantin,


dan kebun/taman pesantren yang dilengkapi dengan
koleksi buku untuk memfasilitasi kegiatan membaca
seluruh warga pesantren. Di setiap area baca juga dapat
ditempel poster-poster ajakan membaca, disediakan surat
kabar dan majalah, serta papan buletin.

7. Indikator Ketercapaian
Setelah melaksanakan GLS selama minimal satu
semester, TPLP dapat mengadakan evaluasi diri untuk
mengukur ketercapaian kegiatan GLS pada tahap
pembiasaan. Sebuah pesantren dapat dinyatakan mampu
untuk melanjutkan ke tahap pengembangan apabila
pesantren tersebut telah terbiasa melaksanakan kegiatan
membaca selama 15 menit baik membaca dalam hati
maupun membaca nyaring dalam kurun waktu minimal
satu semester. Biasanya di sebuah kelas dalam sebuah
pesantren terdapat perbedaan dalam hal pencapaain
kegiatan literasi.
Pada table 2.2 akan disajikan indikator pencapaian
pada tahap pembiasaan. Jika semua indikator ini sudah
terpenuhi maka sebuah sekolah atau kelas dapat
meningkatkan diri ke tahap berikutnya yaitu tahapan
pengembangan.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 36


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Tabel 2.2
Indikator Ketercapaian Tahap Pembiasan

No Indikator Sudah Belum


1 Ada kegiatan 15 menit
membaca (membaca dalam hati,
membaca nyaring) yang
dilakukan setiap hari (di awal,
tengah, atau menjelang akhir
pelajaran)
2 Kegiatan membaca 15 menit
membaca telah berjalan selama
minimal satu semester
3 Para santri memiliki jurnal
membaca harian
4 Pimpinan pesantren,
ustadz/ustadzah dan tenaga
kependidikan menjadi model
dalam kegiatan 15 menit
membaca dengan ikut membaca
selama kegiatan tersebut
berlangsung
5 Ada perpustakaan, sudut baca di
tiap kelas, dan area baca yang
nyaman dengan koleksi buku
non-pelajaran

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 37


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

6 Ada poster-poster kampanye


membaca di kelas, koridor, dan
area lain di lingkungan
pesantren
7 Ada bahan kaya teks yang
terpampang di tiap kelas
8 Lingkungan yang bersih, sehat
dan kaya teks. Terdapat poster-
poster tentang pembiasaan
hidup bersih, sehat, dan indah
9 Pesantren berupaya melibatkan
publik (orang tua, alumni, dan
elemen masyarakat) untuk
mengembangkan kegiatan
literasi pesantren
10 Pimpinan pesantren, dewan
ustadz, dan jajarannya
berkomitmen melaksanakan
dan mendukung gerakan literasi
pesantren
(Sumber: Panduan Gerakan Literasi Sekolah)

Setelah kegiatan literasi pada tahap pengembangan


telah berjalan dengan baik dan dirasa sudah memenuhi
ketercapaian kegiatan literasi di tahap pengembangan,
TPLP dapat melakukan evaluasi ketercapaian dengan

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 38


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

menggunakan indikator yang ada pada table 2.3 sebagai


berikut:

Tabel 2.3
Indikator Ketercapaian Tahap Pengembangan

No Indikator Sudah Belum


1 Ada kegiatan 15 menit
membaca (membaca dalam hati,
membaca nyaring) yang
dilakukan setiap hari (di awal,
tengah, atau menjelang akhir
pelajaran)
2 Ada berbagai kegiatan tindak
lanjut dalam bentuk
menghasilkan tanggapan lisan
maupun tulisan
3 Para santri memiliki protofolio
yang berisi kumpulan jurnal
tanggapan membaca
4 Pimpinan pesantren, ustadz dan
tenaga kependidikan menjadi
model dalam kegiatan 15 menit
membaca dengan ikut membaca

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 39


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

selama kegiatan tersebut


berlangsung
5 Tagihan lisan dan tulisan
digunakan sebagai penilaian
nonakademik
6 Jurnal tanggapan membaca
peserta didik dipajang di kelas
atau koridor pesantren
7 Perpustakaan, sudut baca di tiap
kelas dan area baca yang nyaman
dengan koleksi buku non-
pelajaran dimanfaatkan untuk
berbagai kegiatan literasi
8 Ada penghargaan terhadap
pencapaian santri dalam
kegiatan literasi secara berkala
9 Ada poster-poster kampanye
membaca
10 Ada kegiatan akademik yang
mendukung budaya literasi
sekilah, misalnya: wisata ke
perpustakaan atau kunjungan
perpustakaan keliling ke
pesantren

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 40


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

11 Ada kegiatan perayaan hari-hari


tertentu yang bertemakan
literasi
12 Ada Tim Penggerak Literasi
Pesantren yang dibentuk oleh
pimpinan pesantren yang terdiri
dari guru bahasa, guru mata
pelajaran lain, dan tenaga
kependidikan
Dalam mengukur dan mengevaluasi ketercapaian
pada tahap pembelajaran, seluruh kegiatan literasi yang
telah dilaksanakan dalam kegiatan tindak lanjut dapat
dilanjutkan sebagai bagian dari proses pembelajaran yang
kemudian dapat dinilai secara akademik. Pada table 2.4
akan disajikan indikator ketercapaian program GLS pada
tahap pembelajaran:
Tabel 2.4
Indikator Ketercapaian Tahap Pembelajaran

No Indikator Sudah Belum


1 Kegiatan membaca pada
tempatnya (selain 15 menit
sebelum pembelajaran) sudah
membudaya dan menjadi
kebutuhan warga pesantren

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 41


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

(tampak dilakukan oleh semua


warga pesantren)
2 Kegiatan 15 menit membaca
setiap hari sebelum jam
pelajaran pertama dimulai
diikuti dengan kegiatan lain
dengan tagihan non-akademik
atau akademik
3 Ada pengembangan berbagai
strategi membaca
4 Kegiatan membaca buku non-
pelajaran yang terkait dengan
buku pelajaran dilakukan oleh
para santri dan ustadz (ada
tagihan akademik untuk peserta
didik)
5 Ada berbagai kegiatan tindak
lanjut dalam bentuk
menghasilkan tanggapan secara
lisan maupun tulisan (tagihan
akademik)
6 Melaksanakan berbagai strategi
untuk memahami teks dalam
semua mata pelajaran (misalnya

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 42


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

dengan menggunakan graphic


organizers)
7 Tagihan lisan dan tulisan
digunakan sebagai penilaian
akademik
8 Para santri menggunakan
lingkungan fisik, sosial, afektif,
dan akademik disertai beragam
bacaan (cetak, visual, auditorial,
digital) yang kaya literasi di luar
buku teks pelajaran untuk
memperkaya pengetahuan
dalam mata pelajaran
9 Jurnal tanggapan santri dari
hasil membaca buku bacaan dan
buku pelajaran (hasil tagihan
akademik) dipanajang di kelas
atau koridor pesantren
10 Ada Penghargaan terhadap
pencapaian santri dalam
kegiatan berliterasi (berdasarkan
tagihan akademik)
11 Ada poster-poster kampanye
membaca untuk memperluas
pemahaman dan tekat warga

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 43


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

pesantren untuk menjadi


pembelajar sepanjang hayat
12 Ada unjuk karya (hasil dari
kemampuan berpikir kritis dan
kemampuan berkomunikasi
secara kreatif, secara verbal,
tulisan, visual, atau digitak)
dalam peryaan hari-hari tertentu
yang bertemakan literasi
13 Perpustakaan pesantren
menyediakan beragam buku
bacaan (e.g. buku-buku non-
pelajaran: fiksi dan nonfiksi)
yang diperlukan peserta didik
untuk memperluas
pengetahuannya dalam
pelajaran tertentu)
14 Tim Literasi Pesantren bertugas
melakukan perencanaan,
pelaksanaan, dan asesmen
program literasi pesantren
15 Pesantren berjejaring dengan
pihak eskternal untuk
pengembangan program literasi
pesantren dan pengembangan

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 44


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

profesional warga pesantren


tentang literasi
(Sumber: Panduan Gerakan Literasi Sekolah)

Apabila seluruh indikator pada tabel di atas telah


terpenuhi dengan baik, sebuah pesantren atau kelas dapat
mempertahankan dan melakukan kreasi atau inovasi
kegiatan-kegiatan literasi lainnya serta dapat menjadi
contoh bagi pesantren-pesantren lainnya.

C. Pondok Pesantren
1. Definisi Pondok Pesantren
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan
Islam tertua di Indonesia. Lembaga yang dahulunya juga
berfungsi sebagai benteng perlawanan menghadapi
kolonial ini, ternyata, memiliki penyebutan yang berbeda-
beda di setiap daerah. Di Pulau Jawa istilah pondok
pesantren merupakan dua kata yang memiliki satu arti
yaitu tempat tinggal (asrama) bagi para santri yang terbuat
dari bambu. Kata pondok itu sendiri diserap dari kata
bahasa Arab yaitu ‘funduq’ yang dapat diartikan sebagai
asrama besar yang disediakan untuk persinggahan (Abudin
Nata, 2001, h.90). Di Sumatera Barat, kata pesantren biasa
disebut dengan ‘surau’, sedangkan di Aceh dikenal dengan
nama ‘rangkang’ (Yasmadi, 2002, h.62).

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 45


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Secara etimologi, Humaeni dan Tihami (2018:12)


menjelaskan bahwa derivasi kata pesantren berasal dari ‘pe-
santrian’ dengan kata dasar (root) “santri” yang
memperoleh awalan (prefix) ‘pe’ dan akhiran (suffix) ‘an’.
Kata tersebut memiliki dua makna. Pertama, pesantren
bisa diartikan sebagai tempat santri bermukim. Kedua, kata
pesantren juga bermakna ‘proses menjadikan santri’.
Namun beberapa ilmuwan memiliki pendapat yang
berbeda mengenai asal-usul kata santri ini namun merujuk
pada makna yang hampir serupa. Anthony Johns (1975),
seorang Profesor orientalis, berpendapat bahwa kata santri
berasal dari bahasa tamil yang artinya “guru mengaji”.
Sedangkan C.C. Berg (1974) berasumsi bahwa kata
pesantren memiliki kata dasar ‘shastri’ dari bahasa India
yang maknanya ialah orang-orang yang memahami buku-
buku suci Hindu. Serupa dengan Berg, Geertz (1983) juga
memprediksi bahwa kata santri berasal dari bahasa
Sansekerta yaitu ‘shastri’, yang maknanya ilmuan Hindu
yang pandai menulis.
Berbeda dengan pendapat di atas, Nurcholis Madjid
(2010) menguraikan bahwa ada dua pendapat mengenai
asal kata santri. Pendapat pertama, kata santri berasal dari
bahasa Sansekerta yang memiliki arti ‘Melek Huruf’. Hal
ini merujuk pada deskripsi kaum santri yang
diklasifikasikan kedalam kelompok terpelajar (literate
class) yang berupaya mempelajari dan mendalami kitab-

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 46


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

kitab klasik yang ditulis dalam bahasa Arab. Pendapat


kedua, kata santri berasal dari bahasa Jawa Catrik yang
berarti seseorang yang mengabdi pada guru atau orang yang
mengikuti guru kemanapun guru tersebut pergi agar tetap
bisa belajar suatu ilmu.
Berikutnya, secara terminologi, definisi pesantren
diartikan oleh beberapa tokoh terkemuka (Abdurrahman
Mas’ud, 2000, Abdurrahman Wahid, 2001; Muhammad
Yunus, 1990) sebagai tempat di mana santri tinggal dan
mencurahkan sebagian besar waktunya untuk belajar ilmu-
ilmu agama Islam. Sementara itu, Imam Zarkasyi (1996),
salah satu pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor,
mendefinisikan pesantren sebagai institusi pendidikan
Islam dengan sistem pondok atau asrama, yang dipimpin
oleh Kyai sebagai tokoh utamanya yang dibantu oleh para
ustadz, dimana masjid sebagai pusat kegiatan yang
menjiwainya dan pengajaran agama Islam dibawah
bimbingan Kyai yang diikuti oleh para santri sebagai
aktifitas utamanya. Definisi tersebut, memiliki kemiripan
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Zamakhsyari
Dhofier (1995) yang mendeskripsikan elemen-elemen yang
dapat dijumpai di sebuah pesantren seperti Kyai, santri,
masjid, pondok, dan pengajaran agama Islam.
Meskipun kedua tokoh tersebut memiliki persamaan
dalam mendefinisikan elemen pesantren, namun Dhofier
memberikan sedikit perbedaan dalam hal menentukan

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 47


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

materi pelajaran dan metode pengajaran. Dhofier


(1995:44-60) berpendapat bahwa dalam memilih materi
pelajaran, pesantren hanya terbatas pada kitab-kitab klasik
dengan metode pengajaran yaitu sorogan dan wetonan.
Sedangkan, Zarkasyi dalam Bukhory (2016) menjelaskan
bahwa tidak membatasi materi pelajaran di Pondok
Modern Darussalam Gontor dengan menjelaskan prinsip
keseimbangannya yaitu 100% agama dan 100% umum
dengan menggunakan metode pembelajaran sistem
klasikal (sekolah).
Definisi lengkap tentang pesantren dapat juga
ditemukan dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 18 Tahun 2019 Pasal 1 yang menyatakan bahwa
“Pondok Pesantren, Dayah, Surau, Meunasah, atau
sebutan lain yang selanjutnya disebut pesantren adalah
lembaga yang berbasis masyarakat dan didirikan oleh
perseorangan, Yayasan, organisasi masyarakat Islam,
dan/atau masyarakat yang menanamkan keimanan dan
ketakwaan kepada Allah SWT., menyemaikan akhlak
mulia serta memegang teguh ajaran Islam rahmatan
lil’alamin yang tercermin dari sikap rendah hati, toleran,
keseimbangan, moderat, dan nilai luhur bangsa Indonesia
lainnya melalui pendidikan, dakwah, Islam, keteladanan,
dan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 48


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Dari beberapa pendapat diatas maka dapat


disimpulkan bahwa pesantren merupakan asrama tempat
santri tinggal dan menuntut ilmu kepada Kyai yang
dibantu oleh ustadz, dengan masjid sebagai episentrum
dari aktifitas pembelajaran agama Islam yang membahas
kitab-kitab klasik dalam rangka menanamkan keimanan
dan ketakwaan kepada Allah SWT.

2. Peran dan Fungsi Pesantren


Secara historis, pesantren tercatat sebagai institusi
pendidikan Islam tertua yang menyiarkan dan
mengajarkan ajaran-ajaran Islam sampai hari ini. Anthony
Johns dalam Dhofier (2011:16) mengungkapkan bahwa
“pada awal kemunculannya keberadaan pesantren sangat
berperan dalam proses perluasan dunia Islam (the
extension of the Islamic world) di Indonesia khususnya
pada abad ke-13 sampai dengan abad ke-17. Lebih lanjut,
Anthony Johns (1975) dalam studinya menyatakan bahwa:
“Lembaga-lembaga pesantren itulah yang paling
menentukan watak keislaman kerajaan-kerajaan
Islam, dan memegang peranan Islam sampai ke
pelosok pedesaan. Dari lembaga-lembaga pesantren
itulah asal-usul sejumlah manuskrip tentang
pengajaran Islam di Asia Tenggara, yang tersedia
secara terbatas, yang dikumpulkan oleh pengembara-
pengembara pertama perusahaan-perusahaan dagang
Belanda dan Inggris sejak akhir abad ke-16. Untuk

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 49


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

dapat betul-betul memahami sejarah Islamisasi di


wilayah ini, kita harus mulai mempelajari lembaga-
lembaga pesantren tersebut, karena lembaga-lembaga
inilah yang menjadi anak panah penyebaran Islam di
wilayah ini.
Pasca penetrasi Islam di Nusantara, pesantren
langsung menjelma sebagai benteng-benteng perlawanan
umat Islam untuk menghadapi tirani kolonial dan sebagai
pusat dakwah Islam (Azyumardi Azra, et.al., 2005,
hal.296).
Semantara itu, secara kultural pesantren diyakini lahir
dari rahim budaya asli Indonesia. Nurcholis Madjid dalam
Yasmadi (2002) menjelaskan secara gamblang bahwa
“pesantren tidak hanya mengandung makna ke-Islaman,
tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia. Sebab,
cikal-bakal pesantren sesungguhnya sudah ada sejak masa
Hindu-Budha, dan Islam tinggal meneruskan,
melestarikan, dan mengislamkannya.
Senada dengan Nurcholis Madjid, Martin van
Bruinessen (1999:21) juga berpendapat bahwa pesantren
ialah institusi pendidikan Islam yang menampilkan ke-
khasan Indonesia, berorientasi internasional dengan
menempatkan Mekah sebagai pusat orientasinya.
Akan tetapi, sedikit berbeda dengan pendapat
Bruinessen, Sutejo Bradjanegara (1956:24) berasumsi
bahwa tradisi pesantren bukanlah berasal dari sistem

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 50


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

pendidikan Islam di Mekah tetapi dari Hindu. Namun,


ketika Islam mulai masuk ke Indonesia, kandungan ajaran
di pesantren diubah dari ajaran Hindu menjadi ajaran
Islam. Pendapat ini didukung penuh oleh Karel A.
Steenbrink (1994:20-21) yang juga meyakini bahwa jika
dilihat dari sudut pandang bentuk dan sistemnya, maka
pendidikan pesantren berasal dari India. Sebelum
penetrasi Islam di Indonesia, sistem tersebut sudah
digunakan secara meluas pada pendidikan dan pengajaran
agama Hindu di Pulau Jawa.
Meskipun terdapat perbedaan mengenai asal-usul
sistem pendidikan pesantren di Indonesia, namun dapat
ditarik sebuah benang merah jika pesantren merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan budaya
masyarakat Indonesia.
Multi-peran pesantren juga dapat dijumpai dalam
sebuah studi yang dilakukan oleh Daniel C Harries (2009)
yang mengungkapkan bahwa
“Pesantren memiliki peran yang sangat signifikan,
pesantren tidak hanya memiliki peran akademik dan
keagamaan, namun juga sebagai fondasi utama bagi
tradisi Jawa yang direfleksikan dalam bahasa dan
kesopan-santunan yang sangat dipelihara dan
dilaksanakan dalam perilaku sehari-hari dan juga
melestarikan bahasa Jawa melalui berbagai aktifitas
belajara-mengajar kita kuning. Selain itu, Pesantren

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 51


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

senantiasa menekankan pada kesederhanaan,


kemandirian, ketahanan diri, dan kepercayaan diri”.
Nampaknya, pendapat tersebut juga diamini oleh
Amin Haedari (2004:18-19). Dia menuturkan bahwa
“selain sebagai lembaga pendidikan agama Islam untuk
para santri, pesantren juga memiliki peran sebagai
pengontrol perilaku budaya yang berkembang di tengah-
tengah masyarakat. Dalam kata lain, pesantren menjadi
pengawal umat menuju masyarakat yang maslahat dan
Islami”. Dari pernyataan tersebut, Haedari (2004:16-17).
menyimpulkan tiga fungsi utama pesantren yaitu sebagai 1)
institusi pendidikan Islam yang melakukan transfer ilmu-
ilmu agama (tafaqquh fi al-adin) dan nilai-nilai Islam
(Islamic values); 2) institusi keagaamaan yang melakukan
kontrol sosial (social control); 3) institusi keagamaan yang
melakukan rekayasa sosial (social engineering).
Seiring dengan berkembangnya zaman, pesantren juga
berfungsi sebagai pencetak kader-kader ulama, berperan
aktif dalam menyebarkan ajaran agama Islam dan
mentransfer ilmu pengetahuan. Selain itu, pesantren juga
memiliki peranan dalam membentuk, menjaga, dan
menguatkan karakter moral bangsa (Jazuli Juwaini, 2017,
h.51).
Namun, secara eksplisit ruang lingkup fungsi
pesantren tercantum dalam Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2019 Pasal 4 yang meliputi: 1) pendidikan; 2)

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 52


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

dakwah; dan 3) pemberdayaan masyarakat. Dalam


praktiknya, pesantren menjalankan fungsi pendidikan
sebagai bagian dari penyelenggaraan pendidikan nasional
ynag berdasarkan kekhasan, tradisi, dan kurikulum
pendidikan di setiap pesantren. Hal ini sesuai dengan
Undang-Undang No 18 Tahun 2019 Pasal 16 Ayat 1.
Selanjutnya dalam ayat 2 diperjelas lagi bahwa fungsi
pendidikan pesantren ditujukan untuk membentuk santri
yang unggul dalam mengisi kemerdekaan Indonesia dan
mampu menghadapi perkemabangan zaman.
Fungsi kedua adalah fungsi dakwah. Dalam Undang-
Undang No 18 Tahun 2019 Pasal 37 tertulis bahwa
pesantren menyelenggarakan fungsi dakwah untuk
mewujudkan Islam rahmatan lil’alamin. Hal ini meliputi: 1)
upaya mengajak masyarakat menuju jalan Allah SWT
dengan cara yang baik dan menghindari kemungkaran; 2)
mengajarkan pemahaman dan keteladanan penagalaman
nilai keislaman yang rendah hati, toleran, keseimbangan,
moderat, dan nilai luhur bangsa Indonesia berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945; dan 3) menyiapkan pendakwah
Islam yang menjunjung tinggi nilai luhur bangsa Indonesia
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (UU No 18 Tahun
2019 Pasal 38).
Fungsi terakhir adalah fungsi pemberdayaan
masyarakat, Dalam Pasal 43 dijelaskan bahwa pesantren
menyelenggarakan fungsi pemberdayaan masyarakat yang

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 53


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

beorientasi pada peningkatan kesejahteraan pesantren dan


masyarakat. Dalam implementasinya, bentuk
pemberdayaan masyarakat yang dapat dilakukan oleh
pesantren meliputi 1) pelatihan dan praktik kerja
lapangan; 2) pendirian koperasi, lembaga usaha mikro,
kecil dan menengah, serta lembaga keuangan lainnya; 3)
pendampingan dan pemberian bantuan pemasaran
terhadap produk-produk masyarakat; 4) peminjaman dan
bantuan modal usaha; 5) pembimbingan manajemen
keuangan, optimalisasi dan kendali mutu; 6) pelaksanaan
kegiatan sosial kemasyarakatan; 7) pemanfaatan dan
pengembangan teknoligi industri; 8) penguatan potensi
dan kapasitas ekonomi pesantren dan masyarakat; serta 9)
pengembangan program lainnya.

3. Tipologi Pesantren
Pondok pesantren pada awalnya berfungsi sebagai
lembaga yang menyebarkan agama Islam. Lambat laun
lembaga ini berkembang dengan mengajarkan ilmu-ilmu
keislaman sekaligus menjaga tradisi Islam dan mencetak
ulama atau Kyai yang siap terjun mengajarkan ajaran Islam
sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunah. Saat ini, pesantren
juga telah banyak melakukan pembenahan dan mengalami
perubahan terutama berkaitan dengan penyelenggaraan
pendidikan.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 54


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Melihat fenomena pendidikan yang terjadi saat ini,


sudah banyak pesantren yang telah bertransformasi dengan
mengadopsi sistem pendidikan formal yang
diselenggarakan oleh pemerintah. Di satu sisi, di antara
pesantren tersebut ada yang menyelenggarakan pendidikan
formal dibawah naungan Departemen Agama dengan
membuka Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah,
dan Madrasah Aliyah. Di sisi lain, ada juga pesantren yang
mendirikan lembaga pendidikan formal di bawah naungan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan seperti Sekolah
Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah
Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan (Masjkur Anhari,
2007, h.23). Dari pemaparan tersebut, terindikasi bahwa
pesantren terlihat memiliki otoritas dan keluwesan dalam
memilih dan mengembangkan model pendidikannya
tanpa harus mengikuti suatu model yang telah ditetapkan
oleh pemerintah.
Terdapat perbedaan pendapat diantara sarjana Islam
mengenai tipologi pendidikan pesantren di Indonesia. Hal
ini terjadi karena setiap pesantren memiliki keunikan yang
berbeda satu sama lainnya. Berdasarkan berbagai literatur,
peneliti merangkum tipologi pesantren berdasarkan
pendapat ahli sebagai berikut Zamakhsyari Dhofier (1980):
Pesantren Salaf dan Khalaf; Mastahu (1989): Pesantren
NU dan Muhammadiyah; M. Dawam Rahardjo (1995):
Pesantren Induk dan Anak; Direktorat Jenderal

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 55


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Kelembagaan Agama Islam, Depag RI (2003): Salaf, Asri,


dan Gabung; Masjku Anhari (2007): Pesantren yang
santrinya bermukim dan pesantren yang menampung
santri kalong; serta Haidar Putra Daulay (2009): Pondok
Pesantren Traditional, Pondok Pesantren Modern, dan
Pondok Pesantren Komprehensif.
Mencermati disparitas pendapat diatas, maka peneliti
mencoba menyintesiskan tipologi pesantren menjadi: 1)
Pesantren Traditional dan Pesantren Modern; 2) Pesantren
dengan Pendidikan Formal, Non Formal, dan Informal; 3)
Pesantren Besar, Menengah, Sedang, dan Kecil; 4)
Pesantren yang berafiliasi dengan organisasi tertentu; dan
5) Pesantren yang santrinya mukim dan pesantren dengan
santri kalong.
Pertama, pesantren traditional merupakan prototipe
dari pesantren yang tumbuh dan berkembang di
Indonesia. Pesantren ini dalam mentransmisikan ajaran
ilmu-ilmu Islam melalui metode sorogan, wetonan atau
bandongan, pasaran dan lainnya tanpa adanya batasan
kelas dan usia. Sedangkan, pesantren modern adalah
pesantren yang telah mengadopsi sistem klasikal, memiliki
kurikulum, dan mengajarkan ilmu-lmu umum.
Kedua, Pesantren yang memfasilitasi pendidikan
formal adalah pesantren yang juga menyelenggarakan
pendidikan formal dari tingkat sekolah dasar SD atau MI,
sampai dengan pendidikan menengah seperti SMP atau

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 56


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

MTs, SMA, MA, SMK dan yang sederajat. Berikutnya,


pesantren dengan jalur pendidikan non-formal
menyediakan pendidikan khusus seperti lembaga pelatihan
atau kursus, kelompok bermain dan belajar, pusat kegiatan
belajar masyarakat, dan majlis ta’lim. Sementara itu,
pesantren jalur infomal menyediakan berbagai bentuk
kegiatan belajar yang diselenggarakan secara mandiri
(Masjkur Anhari, 2007, h.23).
Ketiga, pesantren jenis ini dikategorikan berdasarkan
jumlah santrinya. Pesantren besar adalah pesantren yang
memiliki santri lebih dari 5.000 orang. Sementra pesantren
yang jumlah santrinya 3.000 sd 5.000 tergolong sebagai
pesantren menengah. Adapu pesantren yang memiliki
jumlah santri 1.000 sampai dengan 3.000 dimasukan ke
dalam kategori pesantren sedang. Terakhir, apabila
pesantren hanya memiliki santri kurang dari 1.000 dan
reputasinya hanya terbatas pada tingkat kota/kabupaten,
maka pesantren tersebut masih dikatakan pesantren kecil.
Keempat, pesantren yang berafiliasi dengan ormasi
Islam terhitung banyak di Indonesia. Seperti yang
berafiliasi Pondok Pesantren Tebu Ireng dengan Nahdlatul
Ulama, Pondok Pesantren Darul Arqom yang berafilasi
dengan Muhammadiyah, Pesantren Persatuan Islam
Tarogong, Garut yang berafiliasi dengan Persis, Pesantren
Mathla’ul Anwar Kepuh yang berafiliasi dengan Mathla’ul
Anwar.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 57


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Kelima, pesantren dengan santri mukim dan santri


kalong. Santri mukim adalah santri yang tinggal di dalam
pesantren karena mereka berasal dari wilayah yang jauh
dari pesantren. Sedangkan santri kalong adalah santri yang
berasal dari wilayah sekitar pesantren dan mereka tidak
menetap di dalam pesantren. Mereka hanya datang ke
pesantren ketika mereka hendak mengikuti pengajian.

4. Sistem Pendidikan di Pesantren


Pesantren sebagai lembaga yang menyelenggarakan
pendidikan dan pengajaran telah melahirkan berbagai
metode pembelajaran. Metode tersebut tidak terlepas dari
jati diri dan kental dengan kultur yang berkembang di
pesantren tersebut. Beberapa metode tersebut masih
bertahan hingga saat ini dan bahkan ada juga yang sudah
dipadukan dengan metode pembelajaran klasikal yang
biasa dijumpai di sekolah umum. Beberapa metode yang
sering dijumpai di pesantren salafi antara lain metode
sorogan, wetonan (bandongan), hafalan, dan pasaran.
Metode sorogan, kata sorogan berasal dari bahasa Jawa
yang dapat diartikan sebagai menyodorkan. Metode ini
bersifat individual karena biasanya hanya dilakukan oleh
dua atau tiga orang santri yang menyorongkan sebuah kitab
kepada Kyai, lalu secara bergantian mereka membaca dan
menterjemahkan kata demi kata dan kalimat demi kalimat
dibawah pengawasan dan bimbingan langsung sang Kyai.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 58


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Kyai akan akan langsung membenarkan apabila terjadi


kesalahan dalam membaca maupun menterjemahkan.
Dalam metode ini, Kyai juga biasanya akan menerangkan
isi kitab sedangkan santri akan menyimak dan memberi
catatan (pemberian harakat/syakal) pada kitabnya.
Metode wetonan atau bandongan, kata weton dalam
bahasa Jawa artinya waktu. Karena pengajian ini biasanya
diberikan pada waktu-waktu tertentu seperti sebelum atau
sesudah shalat fardhu. Dalam metode ini, para santri
duduk mengelilingi Kyai, kemudian Kyai membacakan dan
menjelaskan makna dari kitab yang sedang dikaji
sedangkan para santri menyimak dengan seksama sambil
membuat catatan (ngabsahi/ngesahi) (Haidar Putra
Daulay, 2007, h. 70). Diakhir pengajian, sang Kyai biasanya
menarik kesimpulan dari materi pembahasan yang sudah
diterangkannya tadi.
Metode hafalan, metode ini biasa disebut juga tahfizh
dapat digunakan oleh semua santri baik yang sudah senior
maupun masih pemula. Tujuan dari metode ini adalah
agar santri tidak hanya mengahafal ayat-ayat Al Qur’an dan
Hadist, maupun nazham (syair) tetapi juga memahami isi
kitab tertentu (Abudin Nata, 2001, h.108). Metode ini
biasanya dipakai untuk menghafal kitab-kitab tertentu
seperti (1) kitab-kitab alat (baik nahwu maupun sharaf)
contohnya kitab awamil, kitab jurumiyah, kitab imriti, kitab al-
fiyah, kitab nadho maqsud, dan lain sebagainya; (2) Al Qur’an

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 59


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

dan (3) Hadits yang diajarkan dalam bentuk nazham (syair).


Santri yang sudah menghafal biasanya akan menyetorkan
hafalannya kepada Kyai atau ustad secara berkala dalam
jangka waktu tertentu. Bila seorang santri yang sudah dapat
menguasai suatu teks tertentu dengan baik maka dia
diperkenakan oleh Kyai atau ustad untuk menghafal
kelanjutan dari teks tersebut sampai target hafalan yang
telah ditentukan berhasil tercapai.
Metode pasaran merupa metode yang sudah dikenal
luas dan biasanya dapat diikuti secara terbuka oleh santri-
santri luar dan masyarakat yang ada di sekitar pesantren.
Metode pasaran biasanya diadakan secara rutin setiap
bulan Ramadhan dengan membahas kitab-kitab tertentu
selama sebulan penuh.
Berbeda dengan pesantren salafi, di pesantren modern
metode pembelajaran telah mengalami banyak
pembaharuan, terdapat kurikulum yang memuat mata
pelajaran umum, dan sistem pendidikan dan pengajaran
yang bersifat klasikal. Dalam sejarah pendidikan di
Indonesia, kemunculan pesantren modern sangat erat
kaitannya dengan Pondok Modern Darussalam Gontor
Ponorogo. Pondok ini merupakan pionir yang
memperbaharui sistem pendidikan di pesantren dengan
model KMI (Kulliyatul Mu’alilimin al-Islamiyyah) yang
mengintergrasikan dan mengimplemntasikan sistem
pendidikan dari empat institusi bereputasi dunia yaitu

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 60


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Universitas Al-Azhar di Mesir, Pondok Syanggit di


Mauritania (Afrika Utara), Universitas Aligarh dan
Perguruan Santiniketan di India (baca Biografi KH. Imam
Zarkasyi: Dari Gontor Merintis Pesantren Modern).
KH. Imam Zarkasyi (w. 1985) mengadopsi sistem
pendidikan di empat institusi tersebut karena setiap
institusi tersebut memiliki kelebihan masing-masing. Al
Azhar terkenal sebagai episentrum misi dan kebudayaan
Islam dengan dana wakafnya yang berlimpah, Pondok
Syanggit terkenal dengan jiwa keikhlasannya, Universitas
Aligarh terkenal dengan semangat dan jiwa kebangkitan
Islam (revival of Islam) yang dikobarkan oleh pendirinya,
serta Perguruan Santiniketan dengan konsep terbaik ala
Rabindranath Tagorenya (Imam Zarkasyi, 1996, h.473-
482).
Dalam penerapannya, sistem pendidkan model KMI
merupakan sintesis elektik antara sistem pembelajaran
yang khas ala pesantren dengan sistem pembelajaran di
madrasah yang sudah baku. Fusi dari kedua sistem
pendidikan tersebut sesusai dengan prinsip “al-Muhafazah
‘ala al-Qadim al-Salih wa al-Akhdh bi al-Jadid al-Aslah”
(Melestarikan sesuatu yang lama dan baik, serta mengambil
hal-hal baru yang lebih baik) yang pada akhirnya disebut
dengan “pondok modern” (Win Usuluddin, 2002, h.101-
102). Secara epsitemologi, KH Imam Zarkasyi memaknai
modern merujuk pada penggunaan metode mutakhir, yang

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 61


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

diselaraskan dengan konteks kekinian, bersifat produktif


dan mudah atau cepat menghasilkan (Imam Zarkasyi,
1996, h.450-451).
Adapun yang menjadi keunggulan dari pesantren
modern adalah penggunaan dua bahasa asing (bilingual)
yaitu bahasa Arab dan Inggris sebagai bahasa percakapan
sehari-hari dan bahasa pengantar dalam proses
pembelajaran. Kedua bahasa tersebut yang dianggap oleh
KH. Imam Zarkasyi sebagai alat untuk mencari ilmu.
Pesantren moden memandang setiap santri wajib dibekali
kemampuan berbahasa asing. Urgensi penguasaan bahasa
asing tercermin dari sebuah pepatah arab yang mengatakan
bahwa “Man arofa lughota qoumin salam min makhrihim” yang
artinya barang siapa yang mengetahui bahasa suatu kaum
maka dia akan selamat dari tipu daya kaum tersebut. Hal
ini mengindikasikan bila ingin berperan dalam persaingan
global yang sangat kompetitif maka seorang santri wajib
menguasai bahasa asing.
Setali tiga uang, di lingkungan pesantren modern juga
terdapat sebuah adagium yang mengatakan “Al Lughah
Tajul Ma’had” (Bahasa itu Mahkotanya Pesantren). Hal ini
mengisyaratkan bahwa betapa pentingnya penguasaan
bahasa asing bagi kalangan santri di pesantren modern.
Pembelajaran bahasa di pesantren modern biasanya
menggunakan metode langsung (direct method) yang biasa
disebut dalam istilah bahasa Arab yaitu “tariqah

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 62


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

mubasharah”. Dengan memanfaatkan metode tersebut,


santri memiliki kesempatan untuk langsung
mempraktikan bahasa Arab maupun Inggris dalam
komunikasi sehari-hari meskipun mereka baru belajar
bahasa asing tersebut beberapa bulan saja. Dalam
pelaksanaanya, metode ini mengharuskan santri
melakukan sesuatu yang sama secara berulang-ulang (e.g.
melafalkan sebuah kata atau merangkai kalimat secara
lisan) dengan tujuan menambah perbendaharaan kata atau
meningkatkan keterampilan menyusun kalimat lisan atau
tulis secara benar, permanen, dan otomatis. Dikutip oleh
Herry Muhammad (2006:92), KH Imam Zarkasyi pernah
mengatakan “Al-Kalimah al-wahidah fi alfi jumal khayr min
alfi kalimah fi jumlah wahidah” yang artinya satu kata dalam
seribu kalimat lebih baik daripada seribu kata dalam satu
kalimat.
Berikutnya, Metode muhawarah atau muhadatsah
yang merupakan metode percakapan yang dilakukan oleh
dua orang santri atau lebih dengan menggunakan bahasa
asing selama mereka berada di lingkungan pesantren.
Metode ini memiliki kelebihan yaitu menciptakan suasana
lingkungan yang mendukung para santri untuk aktif
berbicara bahasa Arab dan Inggris. Sebelum kegiatan
muhadatsah biasanya “Muharrik Al-Lughah” (bagian
pengerak bahasa) melakukakan kegiatan pemberian

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 63


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

“mufradat” (kosa kata) yang harus dihapal oleh seluruh


santri dan diletakan dalam sebuah kalimat.
Selanjutnya untuk meningkatkan kemampuan bahasa
asing santri diadakan juga kegiatan “muhadarah” atau
berpidato. Kegiatan ini memiliki tujuan utama yaitu untuk
melatih santri untuk berbicara bahasa asing di depan
khalayak ramai dengan penuh percaya diri. Pesantren
secara insentif dan konsisten melakukan kegiatan tersebut
agar para santri dapat berbicara bahasa asing dalam jangka
waktu yang relatif cepat.
Kemudian, metode mudzakarah yang berisikan forum
diskusi ilmiah yang membahas permasalahan diniyah
(agama) seperti tauhid, aqidah, ibadah, waris, dan lain
sebagainya. Metode ini bertujuan untuk mengembangkan
daya nalar (kritis) dan memantik semangat intelektual para
santri. Dalam metode ini, para santri diajak untuk
mengekspolarsi penalaran-penalaran yang ilmiah yang
disandarkan pada Al Qur’an, As Sunah, dan kitab-kitab
klasik. Selain itu, metode ini juga diyakini berimplikasi
postif terhadap pembentukan jiwa demokratis dan rasa
toleransi santri terhadap perbedaan argumentasi dari santri
lainnya.
Terakhir, metode bahtsul masa’il yang difokuskan
pada pencariaan solusi dalam permasalahan fiqh. Metode
ini bisa diterapkan di dalam kelas atau masjid yang
dipimpin langsung oleh seorang Kyai atau ustadz senior

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 64


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

dan diikuti oleh para santri yang telah menguasai kitab-


kitab tertentu yang menjadi rujukan permasalahan
kontemporer (Tata Taufiq, dkk, 2005, h.15).

5. Budaya Literasi di Pesantren


Salah satu karakteristik yang menonjol dan menjadi
tradisi kuat dari budaya literasi di pesantren yaitu
pengajaran kitab-kitab klasik yang dikarang oleh ulama-
ulama besar pada abad pertengahan, yaitu antara abad 12
sampai dengan abad 15 yang biasa disebut juga kitab
kuning (Kuntowijoyo, 1987, h.44). Pengajaran kitab-kitab
klasik tersebut bertujuan untuk mempersiapkan calon
ulama agar memiliki wawasan dan pemahaman ajaran
agama Islam yang komprehensif serta kemampuan bahasa
Arab yang mumpuni.
Dalam lingkungan pesantren terdapat sebuah
keyakinan bahwa pengajaran kitab-kitab kuning
merupakan media untuk memahami dan menguasai ilmu-
ilmu agama Islam. Kalangan pesantren mempercayai
semua ajaran yang terkandung dalam kitab kuning adalah
pedoman kehidupan yang sah dan relevan. Sah memiliki
arti ajaran tersebut bersumber dari Al Qur’an dan As-
Sunah. Sedangkan relevan artinya masih sesuai sampai hari
ini untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar
memperoleh kebahagian dan keselamatan di dunia dan
akhirat nanti.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 65


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Dari studi yang dilakukan oleh Syafi’in Mansur (2007)


dan Humaeni & Tihami (2018) tercatat pada umumnya
kitab-kitab kuning yang sering dipakai di sebagian besar
pesantren yang ada di Banten yaitu: 1) Kitab Amil; 2) Kitab
Jurumiyah; 3) Kitab Imriti; 4) Kitab Al-fiyah; 5) Kitab
Mukhtasyar Jiddan; 6) Kitab Mulhatul I’rab; 7) Kitab
Mutammimah; 8) Kitab Nadhom Maksud; 9) Kitab
Kifayatus Saja; 10) Kitab Kifayatul Akhyar; 11) Kitab
Sulamut Taufiq; 12) Kitab Tankihul Qaul; 13) Kitab
Asmawi; 14) Kitab Syarah Sittin; 15) Kitab Durrotun
Nashihin; 16) Kitab Kailani; 17) Kitab Ihya Ulumuddin;
18) Kitab Mantiq; 19) Kitab Uqudul Zain; 20) Kitab Ta’lim
Muta’lim; 21) Kitab Irsyadul Ibad; 22) Kitab Majmu
Shorof; 23) Kitab Sulamu Munajat; 24) Kitab Fathul
Wahab; 25) Kitab Fathul Qarib; 26) Kitab Syaraj Ibnu Aqil;
27) Kitab Riyadul Badi’ah; 28) Kitab Fathul Mu’in; 29)
Kitab Al-Iqna; 30) Kitab Tijan Durori; 31) Kitab Irsyadul
Ibad; 32) Kitab Tuhfatul Athfal; 33) Kitab Riyadus
Shalihin; 34) Kitab Hadits Bukhori; 35) Kitab Hadits
Muslim; 36) Kitab Tafsir Jalalen; 37) Kitab Tafisr Yasin;
dan 38) Kitab Tafisr Munir.
Namun kedua studi tersebut mengakui bahwa tidak
semua kitab-kitab tersebut tercatat bahkan luput dalam
rekaman peneliti ketika melakukan penelusuran di
lapangan. Biasanya, setiap pesantren mempunyai jadwal
pengajian dan kitab-kitab tertentu yang akan dibahas serta

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 66


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

tidak ada aturan baku mengenai berapa lama santri harus


menguasai kitab-kitab tersebut. Karena hal tersebut
tergantung kepada kemampuan santri dalam memahami
dan menyerap kandungan dari kitab-kitab tersebut. Jika
seorang santri telah menguasai sebuah kitab dan ingin
memperdalam kitab yang lain biasanya dia memperoleh
surat rekomendasi dari Kyai untuk pindah dan
memperdalam ilmu-ilmu agama dalam bidang yang lain ke
pesantren yang telah ditunjuk oleh Kyai tersebut. Karena
biasanya, setiap pesantren memiliki keunggulan atau kitab-
kitab keahlian yang diajarkan oleh masing-masing Kyai.
M. Hasyim Munif (2003:33-35) dalam Pondok
Pesantren dan Madarasah, Pertumbuhan dan
Perkembangannya mengklasifikasikan seluruh kitab klasik
yang biasa diajarkan di lingkungan pesantren kedalam
delapan bidang keilmuan yaitu:
1) Nahwu (syntax) dan shorof (morfologi), contohnya
kitab jumriyah, kitab imriti, kitab al-fiyah, dan kitab
ibu aqil.
2) Fiqh (tentang berbagai hukum agama atau Syariah,
contohnya kitab fathul qorib, sulam taufiq, al-ummu
dan bidayatul mujtahid.
3) Kitab Ushul Fiqh (yang berkaitan dengan
pertimbangan penetapan hukum Islam atau syari’at),
seperti mabadi’ul awaliyah.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 67


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

4) Hadits misalnya bulughul maram; shahih Bukhari,


dan shahih Muslim.
5) Aqidah, Tauhid, atau Ushuludin (yang membahas
tentang pokok-pokok keimanan kepada Allah SWT),
contih aqidathul awam, ba’dul amal;
6) Tafsir pengetahuan tentang makna serta isi Al Qur’an,
contohya Tafsir jalalain, Tafsir Almarahi.
7) Tasawuf dan Etika (mengenai sufi atau filsafat Islam),
seperti kitab Ihya Ulumuddin
8) Tarikh, seperti kitab Khulasahatun Nurul Yaqin.
Jika melihat dari gaya pemaparan, kitab-kitab kuning
tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu: 1)
kitab-kitab nashr dan 2) kitab-kitab nadzam. Kitab natsr
adalah kitab yang menyajikan materinya secara essai
(natsr). Kelebihan dari kitab model ini ialah materi yang
disajikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah
dipahami oleh santri. Sedangkan kitab-kitab nadzam dalam
mempresentasikan materinya dengan menggunakan syair.
Penggunaan syair ini bertujuan untuk menarik santri-santri
pemula untuk mempelajari kitab-kitab tersebut dan
mempermudah untuk dihafal karena bentuknya seperti
nyayian. Contoh kitab nadzam antara lain Kitab Hidayat As-
Shibyan, Kitab Al-Maqshud, Kitab Imriti, Kitab Al-fiyah, dan
lain sebagainya. Dari kedua model kitab tersebut, kitab
nadzam nampaknya memiliki sedikit tingkat kesukaran
pemahaman dibandingkan kitab nashr, karena kitab

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 68


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

nadzam mengharuskan santri untuk memiliki kemampuan


bahasa Arab yang baik.
Selanjutnya jika merujuk pada format penyajian, maka
kitab kuning dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu: 1)
kitab matan; 2) kitab syarh; dan 3) kitab mukhtasar. Pertama,
kitab matan adalah kitab inti. Penyebutan matan terjadi
ketika pada kitab tersebut mengalami perubahan, baik
menjadi syarh atau dalam bentuk hasyiah. Kitab matan ada
disajikan berupa kitab natsr maupun kitab nadzm.
Beberapa contoh kitab matan yang sering dijumpai seperti
kitab matn al-Ajurumiyah, kitab matn Taqrib, kitab matn
Al-fiyah dan lain-lain.
Kedua, kitab syarh ialah kitab yang memberikan
komentar tingkat pertama, sedangkan kitab yang
memperluas komentar yang lebih mendalam disebut
hasyiah. Contoh kitab asymawi yang termasuk kitab syarh
yang menjelaskan lebih dalam dari isi tekas kitab al-
Ajurumiyah. Sementara itu, kitab yang tergolong kedalam
kitab hasyiah adalah kitab al-Shabban yang merupakan
kitab yang mengomentari kitab al-Asymuni. Karena kitab
al-Asymuni merupakan kitab syarh dari kitab Alfiyah Ibn
Malik.
Ketiga, kitab mukhtashar yang merupakan kitab
kuning yang menyajikan intisari atau pokok-pokok
masalah dari suatu kitab yang pembahasannya panjang.
Kitab mukhtashar ditulis secara singkat namun kandungan
materinya sangat padat. Beberpa kitab kuning yang masuk

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 69


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

kedalam kitab ini antara lain kitab Al-fiyah ibn Malik yang
merupakan ringkasan dari kitab Al-fiyah atau kitab Lubb al-
Ushul yang merangkum kitab Jam’ al—Jawawi.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 70


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Metode dan Teknik Pengabdian


Kegiatan pendampingan masyarakat berbasis lembaga
keagamaan ini akan menggunakan metode Community
Based Participatory Research (CBPR). Metode ini
menggunakan pendekatan kemitraan yang melibatkan
anggota masyrakat (dalam hal ini masyarakat pesantren),
perwakilan organisasi (pegiat literasi), dan akademisi yang
sedang melakukan kegiatan pendampingan (Muhammad
Saifuddin, 2021). Dalam kegiatan pendampingan ini,
semua mitra akan diminta untuk menyumbangkan
pemikiran sesuai dengan keahliannya dan berbagi
pengetahuan dalam pengambilan keputusan (Coughin,
Smith & Fernandez, 2017:1).
Patricia Leavy (2017:224) menjelaskan bahwa hal yang
paling penting dalam pelaksanaan CBPR adalah partisipasi
dan kontribusi dari setiap mitra untuk mengidentfikasi,
mencari alternatif solusi, dan melakukan tindakan dalam
menyelesaikan masalah secara bersama.
Dalam pelaksanaanya, kegiatan pendampingan ini
akan dimulai dengan mengadakan observasi lapangan yang
akan dijadikan lokus kegiatan. Namun, dikarenakan
pandemi Covid 19 yang belum berakhir dan sebagian besar
pesantren masih menutup akses masuk bagi orang luar.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 71


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Maka, untuk mengetahui profil pesantren beserta dewan


pengajarnya, peneliti akan menelusurinya melalui laman
website http:emispendis.kemenag.go.id atau
http://sekolah.data.kemendikbud.go.id. Selain itu,
peneliti juga akan memanfaatkan tracer study dan jejaring
alumni (IKA UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten)
untuk memperoleh informasi mengenai sebaran alumni
yang mengajar di pesantren yang ada di Provinsi Banten.
Setelah data peserta terkumpul, kemudian tim
pengabdi akan mengadakan Forum Group Discussion
(FGD) dengan mengundang berbagai pihak seperti pegiat
literasi, penanggung jawab kurikulum di pesantren modern
(meminjam istilah Gontor: Kulliyatul Mu’alimin al-
Islamiyah), dan dewan ustadz/ustadzah untuk membuat
format kegiatan pendampingan dan menentukan isu-isu
apa saja yang akan dijadikan materi pendampingan.
Dalam kegiatan FGD ini juga akan dilakukan analisis
pohon masalah untuk mengidentifikasi permasalahan
literasi yang ada di pondok pesantren dan mengukur
sejauh mana literasi digital sudah dimanfaatkan oleh
masyarakat pesantren dalam proses pembelajaran.
Adapun kegiatan inti dari program ini adalah
pendampingan penyusunan program literasi digital yang
dapat diintegrasi dalam proses pembelajaran di pesantren
secara berkesinambungan secara daring melalui Zoom
Meeting atau Google Meet. Kegiatan pendampingan ini

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 72


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

terpaksa diselenggarakan secara daring karena mengingat


pandemi Covid 19 yang belum berakhir dan pesantren
tidak membuka akses untuk orang luar untuk masuk ke
dalam lingkungan pesantren.
Selain memberikan pendampingan penyusunan
program literasi digital, tim pendamping juga akan
memfasilitasi pustakwan dalam menciptakan lingkungan
pesantren yang literat dengan memajang hasil karya para
santri di sudut-sudut ruangan yang ada di pesantren.
Selama kegiatan pendampingan ini, peneliti juga akan
membuat catatan lapangan (field note). Catatan ini
berfungsi untuk mengukur efektifitas kegiatan
pendampingan, mencatat kemajuan dan kendala
pelaksanaan kegiatan pendampingan, serta mengakomodir
saran ataupun kritikan dari setiap peserta pendampingan.
Di akhir kegiatan pendampingan akan diadakan evaluasi
kegiatan pendampingan serta penyusunan rencana tindak
lanjut agar kegiatan ini memiliki manfaat praktis yang
dapat langsung dirasakan oleh seluruh warga pesantren.

B. Rencana Pengabdian
Berdasarkan informasi yang dirilis oleh LP2M UIN
Sultan Maulana Hasanuddin Banten Tahun Anggaran
2021, kegiatan pendampingan ini secara efektif akan
berlangsung selama satu semester (7 Mei s/d 30 Oktober

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 73


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

2021) termasuk di dalamnya penyusunan laporan akhir


dan laporan pertanggungjawaban keuangan. Oleh karena
itu, kegiatan pendampingan di lapangan akan diagendakan
selama 2 bulan atau 8 kali pertemuan daring (online)
Pesantren yang terlibat dalam kegiatan
pendampingan ini adalah 3 pondok pesantren modern
kecil yang ada di provinsi Banten yang memiliki ± 1.000
santri. Ketiga pesantren tersebut yaitu (1) Pondok
Pesantren Modern Kulni Cikande, Kabupaten Serang; (2)
Pondok Pesantren Modern Nur El-Qolam, Cipocok Jaya,
Kota Serang; dan (3) Pondok Pesantren Modern Fathi
Qalbi, Binuangeun, Kabupaten Lebak. Adapun rincian
rencana kegiatan pendampingan ini dapat dideskripsikan
dalam table 3.1 sebagai berikut:
Tabel 3.1
Rencana Kegiatan Pendampingan di Lapangan
Agustus September
No Uraian Tema Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4
1 Orientasi literiasi digital
2 Bengkel membaca:
pemanfaatan e-book, e-
newspaper, e-magazine,
wattpad, buku berbicara,
dan sumber bacaan
online lainnya dalam
membangun minat baca
santri

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 74


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

3 Bengkel menulis:
pemanfaatan graphic
organizer dalam menulis
teks narasi
4 Pemanfaatan kanal
youtube, podcast, atau
video clip dalam menulis
teks tanggapan
5 Praktik literasi lintas
mata pelajaran
6 Pemanfaatan aplikasi
berbasis IOS atau
Android (seperti Google
Classroom atau
Edmodo) dalam proses
pembelajaran
7 Menciptakan lingkungan
pesantren yang literat
8 Penyusunan rencana
tindak lanjut

C. Target Pengabdian
Kegiatan ini memiliki sasaran utama yaitu masyarakat
pesantren yang terdiri dari ustadz/ustadzah, pustakawan,
dan para santri yang bermukim di dalamnya. Untuk
membangun budaya literasi di Pesantren sebagaimana yang
diamanatkan dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun
2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, maka diperlukan
upaya untuk mempersiapkan ustadz/ustadzah dengan

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 75


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

seperangkat pengetahuan dan pemahaman yang


menyeluruh tentang literasi. Sebagai tenaga pendidik, para
ustadz/ustadzah perlu mengetahui konsep dasar, tujuan,
manfaat, dan cara pemanfaatan literasi digital yang dapat
diintegrasikan dalam proses pembelajaran secara
berkesinambungan.
Selain itu, pustakawan yang ada di pondok pesantren
modern juga akan dibekali dengan pengetahuan yang
memadai tentang tata cara pengelola dan pemanfaatan
perpustakaan digital sebagaimana yang diatur dalam UU
Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan,
Permendiknas Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar
Sarana dan Prasarana Sekolah Dasar dan Menengah, dan
Permendiknas Nomor 25 Tahun 2008 tentang Standar
Tenaga Perpustakaan Sekolah/Madrasah.
Disisi lain, bagi para santri kegiatan ini diharapkan
dapat menumbuhkan kesadaran untuk membudayakan
kebiasaan baca-tulis, memberikan wawasan tentang
pemanfaatan literasi digital sebagai pendukung
pembelajaran, media pencarian informasi, penyampaian
ide, pendapat, ataupun dakwah keagaamaan, serta
membentuk santri yang unggul, beriman dan bertakwa
kepada Allah SWT, moderat, dan mampu menghadapi
perkembangan zaman.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 76


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

BAB IV
PELAKSANAAN PENDAMPINGAN
DAN DISKUSI KEILMUAN

A. Gambaran Umum Pesantren Binaan


Kegiatan pendampingan ini melibatkan 3 Pondok
Pesantren Modern di Provinsi Banten dimana terdapat
alumni jurusan Tadris Bahasa Inggris UIN Sultan Maulana
Hasanuddin yang sedang mengabdi di sana. Berdasarkan
hasil tracer study dan saran dari reviewer maka Pondok
Pesantren Modern yang dipilih adalah Pondok Pesantren
Modern yang masih kecil dengan jumlah santri ± 1.000
orang dan masih sangat memerlukan peningkatan
kompetensi sumber daya manusia terutama
ustadz/ustadzah yang mengajar di sana beserta
pustakawan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan alumni yang
mengajar di ketiga Pondok Pesantren Modern tersebut,
diketahui bahwa Pondok Pesantren mereka belum
menerapkan Program Gerakan Literasi Sekolah termasuk
mengintegrasikan literasi digital dalam proses
pembelajaran. Hal ini disebabkan, masih kurangnya
sosialisasi dari instansi pemerintah baik Kementerian
Agama dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan terhadap
program tersebut.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 77


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Berikut ini akan disajikan profil singkat dari Pondok


Pesantren Modern binaan:

1. Pesantren Modern Kulni


Pesantren ini beralamat di Jalan Raya Serang KM 28,
Kampung Bauan Masjid, Kelurahan Parigi, Kecamatan
Cikande Desa, Kabupaten Serang, Provinsi Banten.
Telepon: 0878889325388, website:
http://www.pesantrenkulni.sch.id. Nama Kulni
merupakan singkatan dari “Kulliyatul Al-Nasyiin Al-
Islamiyah”. Pesantren ini dirintis pada tahun 1998 oleh
seorang tokoh agama terkemuka yaitu KH. Ahmad
Dimyati yang juga pendiri dari Pesantren Modern Daarul
‘Uluum yang ada berada di Lido Bogor, Jawa Barat.

Gambar 4.1

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 78


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Pesantren Modern Kulni


Sejak tahun 2002, dibawah naungan Yayasan Al-
Nahal, Pesantren Kulni mulai menyelenggarakan
pendidikan formal untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah
dan Madrasah Aliyah dengan kurikulum yang terpadu
antara pendidikan agama dan penguasaan teknologi.
Pesantren Modern Kulni memiliki visi yaitu
mencetak generasi ahli dzikir, ahli pikir, dan ahli ikhtiyar.
Untuk mewujudkan visi tersebut maka misi yang
dicanangkan adalah:
(1) Membentuk pribadi Muslim yang beriman dan
bertaqwa serta berkahlak mulia;
(2) Membentuk generasi moderat dan toleran yang
mampu hidup di tengah masyarakat sebagai perekat
umat;
(3) Melaksanakan proses pendidikan yang menghasilkan
outcome yang unggul dalam prestasi akademik
maupun non-akademik;
(4) Mengembangkan lembaga pendidikan yang
berkualitas, representatif, dan terjangkau;
(5) Membentuk pribadi yang menguasai bahasa Arab dan
Inggris secara lisan maupun tulisan dan ilmu
Komputer;

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 79


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

(6) Mencetak pribadi yang aktif, kreatif, dan iniovatif


dengan life skill yang dibutuhkan untuk eksis di era
globalisasi.
Selain, visi dan misi, Pesantren Modern Kulni juga
memiliki tujuan yaitu untuk menghasilkan:
(1) Santri yang berakhlak mulia;
(2) Santri yang fasih membaca Al-Qur’an
(3) Santri yang menguasai kitab kuning
(4) Santri mahir bahasa Arab dan bahasa Inggris
(5) Santri menguasai Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK)
Saat ini, Pesantren Modern Kulni dipimpin oleh
Ustadz. Ahmad Sadeli Arif, S.E. dengan ketua Yayasan Al-
Nahal yaitu KH. A. Damanhuri, BA. Pesantren ini sudah
memiliki sarana dan prasarana yang cukup baik seperti
masjid, ruang kelas, ruang asrama, dapur umum, kantin,
kamar mandi, laboratorium komputer, laboratorium
bahasa, laboratorium multimedia, laboratorium IPA,
Radio 107.7 Kulni fm, Perpustakaan, Hotspot internet,
Baitul Maal wat-Tamwiil (BMT), fotokopi dan percetakan,
ruang usaha kesehatan pesantren, dan dapur umum.
Berikutnya, untuk mengoptimalkan hard skills dan
soft skills para santri, Pesantren Modern Kulni
memfasilitasinya dengan berbagai kegiatan ekstrakurikuler
seperti: Latihan Pidato (muhadhoroh), Diskusi Ilmiah

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 80


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

(munaqasah), Pramuka, Paskibra, Palang Merah Remaja


(PMR), Pencak Silat (Tapak Suci), Olahraga (Bola Voli,
Sepak Bola, Tenis Meja, Bola Basket), Marawis,
Drumband, Seni Teater, Kaligrafi, Keputrian (Tata Boga),
Nasyif, Qosidah, Broadcasting (Siaran Radio), dan
Nicomas (Kulni Computer Mania Students).

2. Pondok Pesantren Modern Nur El-Qolam


Pada awalnya, sebelum mendirikan Pondok
Pesantren Modern Nur El-Qolam, Yayasan Nur El-Qolam
yang didirikan oleh Dr. Muhajir, MA dan Drs. H. Sugeng
Pamuji terlebih dahulu mendirikan SDIT Nur El-Qolam
pada tahun 2009 di atas sebidang tanah seluas 600 M2.
Seiring berjalannya waktu, melihat kemajuan dan
memperhatikan kepercayaan masyrakat kepada Yayasan
Nur El-Qolam, maka pada tahun 2018 yayasan ini merasa
terpanggil untuk mendirikan Pondok Pesantren Modern
Nur El-Qolam dengan memadukan antara kurikulum
nasional (K-13) dengan kurikulum Pondok Modern yang
oleh Yayasan Nur-El Qolam disebut dengan Dirasah al-
Mu’allimin al-Isalamiyah (DMI).

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 81


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Gambar 4.2
Pondok Pesantren Modern Nur El-Qolam
Pesantren yang berlokasi di Jalan Syekh Nawawi,

Komplek Taman Banjar Agung Indah Blok C 07


No.08 kelurahan Banjar Agung, Kecamatan Cipocok Jaya,
Kota Serang ini, telah memiliki gedung 3 lantai milik
sendiri, masjid, perpustakaan, laboratorium komputer,
laboratorium pendidikan agama, alat peraga pembelajaran,
sarana belajar indoor dan outdoor, lapangan olahraga
(futsal, bulu tangkis, bola voli), saung, dan asrama
santri/santriwati.
Pesantren ini memiliki visi yaitu menjadi pesantren
unggulan pilihan umat. Untuk mencapai visi tersebut
maka misi dari Pondok Pesantren Modern Nur El-Qolam
adalah menyelenggarakan pendidikan Islam yang
beorientasi mutu, berbasis moral-spiritual, keilmuan,
kecerdasan emosi dan keterampilan hidup, sehingga
mampu melahirkan santri yang mempunyai kepribadian
disiplin, peduli, cerdas, berani, mandiri, dan mampu
mengatasi permasalahan-permasalahan hidup.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 82


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Untuk menghasilkan santri yang unggul, Pondok


Pesantren Modern Nur El-Qolam menawarkan beberapa
program unggulan seperti: tahfidz al-Qur’an, pidato 3
bahasa, pembinaan bahasa Asing (bahasa Arab dan bahasa
Inggris), penanaman disiplin dan karakter (etiket/sopan-
santun dan dakwah), kajian kitab kuning, Teknologi
Informasi dan Komunikasi, penerbitan, seminar, serta
praktik ibadah amaliyah sehari-hari (shalat berjamaah,
dhuha, dan tahajud).

3. Pondok Pesantren Modern Fathi Qalbi


Pondok Pesantren Modern Fathi Qalbi berdiri sejak
22 Juli 2016 dengan No SK Pendirian: 503/01-
SD/DPMPTS/2018. Pesantren ini berada dibawah
naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan
telah memperoleh akreditasi dengan nilai B sebagaimana
yang tercantum pada No. SK Akreditasi:
755/BAN_SM/SK/2019.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 83


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Gambar 4.3
Pondok Pesantren Modern Fathi Qalbi
Pondok Pesantren Modern Fathi Qalbi beralamat di
Kampung Binuangeun, Desa Muara, Kecamatan
Wanasalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Pesantren
ini berupaya untuk ikut serta dalam pembentukan manusia
Indonesia yang memiliki keunggulan baik dalam akidah
yang baik (tidak menyimpang), akhlak yang mulia, ibadah
yang tekun dan istiqamah, serta memiliki kompetensi
pribadi yang unggul dalam membangun bangsa.
Saat ini, Pondok Pesantren Modern Fathi Qalbi
telah menyelenggarkan pendidikan formal pada jenjang
SMP dan SMA dimana kurikulumnya diadopsi dari
kurikulum Kulliyatul Mu’alimin al-Islamiyah (KMI)
Gontor. Dr. H. Ade Budiman, MA., mudir Pondok
Pesantren Modern Fathi Qalbi menjelaskan bahwa maksud
dan tujuan dari didirikannya Pondok Pesantren Modern
Fathio Qalbi, Binuangeun adalah: (1) mendidik manusia
dengan nilai-nilai al-Qur’an dan As-Sunnah dengan
pemahaman yang benar dari generasi terbaik umat Islam
sampai dengan sekarang; (2) Mengembangkan ilmu secara
umum, khususnya ilmu yang berorientasi pada nilai-nilai
Islam; (3) mengembangkan sistem pendidikan dan metode
pembelajaran yang efektif dan efisien; dan (4) mewujudkan

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 84


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

generasi muda Islam yang memiliki keunggulan ilmu dan


amal.

B. Deskripsi Kegiatan Pendampingan


Sebagaimana yang telah dideskripsikan pada tabel
3.1 bahwa kegiatan pendampingan ini diselenggarakan
selama 8 pekan terhitung sejak minggu pertama di bulan
Agustus sampai dengan minggu keempat di bulan
September 2021. Namun, dikarenakan sedang terjadi
Masa Darurat Kesehatan Covid-19 (MDKC) maka seluruh
kegiatan pendampingan tersebut diselenggaran secara
daring melalui aplikasi Zoom Meeting dan Google Meet.
Dalam pelaksanaan pendampingan ini tim pengabdi
akan berperan sebagai fasilitator yang akan menemani para
peserta pendampingan dalam penyusunan program literasi
digital yang diintegrasikan dalam proses pembelajaran.
Berikut ini akan dideskripsikan pelaksanaan
pendampingan.
1. Pertemuan Pertama
Tajuk awal kegiatan pendampingan yaitu “Orientasi
Literasi Digital”. Kegiatan pendampingan ini memiliki
tujuan yaitu memperkenalkan perkembangan literasi di era
digital. Di awal sesi ini, fasilitator menjelaskan konsep
dasar literasi digital dan manfaatnya bagi pembelajaran di
Pondok Pesantren. Setelah itu, pembahasan dilanjutkan
dengan mendiskusikan jenis-jenis media literasi digital

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 85


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

seperti internet, e-book, buku berbicara elektronik, video


podcast, personal blog, beberapa aplikasi di telepon pintar
dan lain sebagainya.

Gambar 4.4
Orientasi Literasi Digitral
Pada sesi ini juga dibahas tentang Peraturan Menteri
Pendidikan dan kebudayaan Nomor 23 tahun 2015
tentang Gerakan Literasi Sekolah yang salah satu
kegiatannya yaitu membaca selama 15 menit buku-buku
non pelajaran sebelum pelajaran pertama dimulai.
Fasilitator menjelaskan urgensi dari kegiatan ini kepada
para peserta pendampingan agar para santri memiliki
minat membaca dan meningkatkan keterampilan
membaca supaya ilmu dan pengetahuan dapat diserap
secara baik oleh para santri. Selain itu, fasilitator juga

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 86


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

menekankan kepada para peserta pendampingan bahwa


materi atau tema buku-buku non pelajaran yang dibaca
oleh santri harus mengandung nilai-nilai budi pekerti,
kearfian lokal, nasionalm dan global yang telah disesuaikan
dengan perkembangan para santri.
Setelah pemaparan teori selesai, fasilitator
meluangkan waktu untuk peserta pendampingan untuk
bertanya dan berdiskusi tentang pelaksanaan Gerakan
Literasi Sekolah di masing-masing pondok pesantren. Dari
ketiga Pesantren Modern binaan tersebut, ternyata belum
ada yang menerapkan program Gerakan Literasi Sekolah
dan belum memiliki Tim Penggerak Literasi Pesantren.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, fasilitator
membagikan e-book panduan Gerakan Literasi Sekolah
dan merekomendasikan pembentukan Tim Penggerak
Literasi Pesantren kepada para peserta pendampingan dan
tim tersebut langsung melakukan kajian awal untuk
mengukur kesiapan pesantren dalam menyelenggarakan
program Gerakan Literasi Sekolah.
2. Pertemuan Kedua
Pertemuan ini dilaksanakan pada minggu ke dua
dibulan Agustus 2021. Tema yang diangkat yaitu tentang
Bengkel Membaca dengan memanfaatkan e-book, e-
newspaper, e-magazine, wattpad, buku elektronik
berbicara, dan sumber bacaan online lainnya. Tujuan

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 87


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

utama dari pertemuan ini adalah membangun minat baca


para santri dengan memanfaatkan media literasi digital.

Gambar 4.5
Bengkel Membaca
Pada awal sesi ini, fasilitator menjelaskan apa yang
dimaksud dengan bengkel membaca dan tujuan bagi para
santri. Bengkel membaca (reading workshop) merupakan
kegiatan pengajaran yang memiliki tujuan utama yaitu
untuk mengajarkan berbagai strategi membaca
pemahaman (reading comprehension) bagi para santri.
Dari kegitan bengkel membaca, para
ustadz/ustadzah dapat memperoleh informasi mengenai
tingkat kemampuan membaca setiap santri, mendesain
pelajaran (instruction) dan penilaian (assessment) yang
tepat, menganalisi hasil penilaian untuk merancang

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 88


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

program yang berkelanjutan, dan mendokumentasikan


perkembangan (progress) kemampuan membaca para
santri.
Setelah para peserta pendampingan memahami
konsep dasar dan tujuan bengkel membaca, pembahasan
dilanjutkan dengan membahas prinsip-prinsip pengajaran
membaca dalam kegiatan bengkel membaca beserta cara-
cara praktis memanfaatkan media literasi digital dalam
kegiatan membaca. Fasilitator juga membagaikan beberapa
link yang dapat dimanfaatkan oleh para ustadz/ustadzah
untuk mengunduh buku-buku elektronik, majalah
maupun surat kabar elektronik.
Salah satu peserta pelatihan yaitu Ustadz Ibnu
Ahmad dari Pesantren Modern Kulni mengatakan bahwa:
“Saya merasa memperoleh banyak manfaat dari
pertemuan hari ini. Hari ini saya memperoleh
banyak informasi ternyata banyak sekali ragam
kegiatan membaca seperti: membaca nyaring
(reading a loud), membaca dalam hati (sustained
silent reading), membaca terbimbing (guided
reading), membaca bersama (shared reading), dan
membaca mandiri (independent reading). Selain itu,
fasilitator juga mempraktikan pemanfaatan e-
magazine yang dipadukan dengan strategi jaring
petunjuk semantic (semantic clue webbing) yang
dapat meningkatkan pemahaman membaca dengan
membuat koneksi atas bacaan”.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 89


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Aktivitas dalam kegiatan bengkel membaca sangat


bervariatif seperti pelajaran singkat (mini-lesson) yang
difokuskan pada aktivitas mengidentifikasi dan memahami
elemen cerita, membaca mandiri dan diskusi (independent
reading and conferring), membaca terbimbing (guided
reading), kegiatan menanggapi dan merefleksi (response
and reflection), serta kegiatan berbagi informasi dan
pengalaman membaca (sharing reading experiences).
3. Pertemuan Ketiga
Pertemuan ketiga yaitu bengkel menulis. Pertemuan
ini merupakan kelanjutan dari pertemuan sebelumnya
dengan fokus pada keterampilan menulis. Tujuan utama
dari kegiatan bengkel menulis adalah untuk meningkatkan
pemahaman peserta pendampingan mengenai tahapan
menulis yang nantinya dapat diterapkan dalam proses
pembelajaran di dalam kelas.
Bengkel menulis ialah kegiatan pembelajaran
menulis yang terdiri dari beberapa tahapan seperti pra-
penulisan, membuat draft tulisan, memperbaiki tulisan,
mengedit, dan mempublikasikannya (Williams College,
2014).
Dalam praktiknya, pelaksanaan bengkel menulis
untuk para santri tidak dapat dilaksanakan selama satu
hari, tetapi membutuhkan waktu yang relatif lama. Oleh
karena itu, para ustadz/ustadzah harus dapat mengatur

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 90


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

waktu agar kegiatan bengkel menulis ini tidak menggangu


jam pelajaran lainnya. Selain itu, para ustadz/ustadzah juga
harus memperhatikan jenjang kelas, media menulis, dan
alokasi waktu agar kegiatan ini dapat berjalan dengan
efektif dan mendorong para santri untuk gemar menulis.

Gambar 4.6
Bengkel Menulis
Salah satu media menulis yang dapat digunakan
adalah graphic organizer. Graphic organizer adalah media
pembelajaran menulis yang menggunakan simbol visual
untuk menyatakan pemikiran, ide, konsep, atau hubungan
di antara mereka. Dalam pembelajaran menulis teks narasi
(cerita) graphic organizer jenis peta cerita dapat
merangsang para santri untuk berpikir kritis dan sistematis
karena mereka harus dapat menceritakan kembali sebuah

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 91


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

teks narasi yang telah mereka baca dalam bentuk tulisan


dengan menggunakan bahasa sendiri. Selain itu,
penggunaan graphic organizer jenis peta cerita juga
memungkinkan para santri untuk mendemonstrasikan
pemahaman dan sudut pandang mereka terhadap cerita
narasi yang sudah mereka baca dalam bentuk tulisan.
4. Pertemuan Keempat
Pertemuan keempat membahas tentang
“Pemanfaatan kanal youtube, podcast, atau video clip
dalam menulis teks tanggapan. Tujuan dari pertemuan ini
adalah memfasilitasi peserta pendampingan agar dapat
memanfaatkan media literasi digital tersebut dalam
mengajarkan para santri untuk menulis teks tanggapan.
Kemampuan menulis teks tanggapan ini diperlukan
untuk (1) mempersiapkan kemampuan intelektual para
santri dalam menanggapi berbagai fenomena sosial yang
viral akhir-akhir ini di media sosial; (2) melatih para santri
agar dapat berpikir kritis yang dapat membedakan berita
yang sahih (valid) dan berita tidak benar (hoax).

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 92


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Gambar 4.7
Pemanfaatan Youtoube dalam Menulis Teks Tanggapan
Dalam pelaksanaanya, di awal sesi, peserta
pendampingan diajak berdiskusi untuk menyeragamkan
pemahaman mengenai pengertian teks tanggapan, fungsi
teks tanggapan, ciri kebahasaan, dan struktur teks
tanggapan. Setelah itu, fasilitator baru menjelaskan cara
memanfaatkan kanal youtube, podcast, atau video clip
dalam menulis teks tanggapan.
Pemanfaat media berbasis audio-visual yang tersaji di
internet sangat berguna karena media tersebut memiliki
kekuatan citra yang bisa menyajikan sensasi tontonan yang
menghadirkan pengalaman pribadi (personal experience)
dan ingatan (memorable).
Ditengah sesi pendampingan salah satu peserta yaitu:
Ustadz. Irham Bayquni Ansori dari Pondok Pesantren
Modern Nur El-Qolam memberikan tanggapan dengan
mengatakan bahwa:
“Di pesantren kami, sudah ada akses internet. Kami
para pengajar sudah memanfaatkannya untuk tujuan
komunikasi. Namun, sampai saat ini saya pribadi
belum memaksimalkan fasilitas tersebut, ternyata
ada banyak video di youtube yang bisa dimanfaatkan
sebagai topik pembelajaran khususnya materi teks
tanggapan. Setelah fasilitator mensimulasikan best
practice mengajar teks tanggapan dengan

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 93


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

memanfaatkan video dari youtube, saya pribadi


merasakan seperti mengalami sendiri apa yang sya
saksikan dan mengingat-ingat kembali kejadian yang
sedang berlangsung”.
Dari pertemuan keempat ini, dapat disimpulkan
bahwa pemanfaatan media berbasis audio-visual yang
terdapat di internet dapat merangsang pikiran,
membangkitkan motivasi belajar, mendorong minat, dan
menarik perhatian sehingga memungkinkan terjadinya
proses pembelajaran yang bermakna pada diri santri.
5. Pertemuan Kelima
Pada pertemuan kelima, fokus kegiatan
pendampingan ditekankan pada “Praktik Literasi Lintas
Mata Pelajaran”. Pada sesi ini, dewan ustadz/ustadzah
dibagi menjadi 4 kelompok sesuai dengan mata pelajaran
yang diajarkannya. Kelompok 1 adalah guru mata pelajaran
bahasa (bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa
Arab), kelompok 2 adalah guru mata pelajaran
Matematika, kelompok 3 adalah guru mata pelajaran IPA,
dan kelompok 4 adalah guru mata pelajaran IPS.
Untuk ustadz/ustadzah yang mengajar mata
pelajaran bahasa, tujuan utama pertemuan ini adalah
untuk melatih ustadz/ustadz dalam menguasai
keterampilan informasi yang nantinya akan diprkatikan
kepada para santri dalam proses pembelajaran.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 94


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Tidak dapat diingkari, keterampilan berbahasa satri


akan memiliki dampak yang signifikan pada mata pelajaran
lain. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa baik bahasa
Indonesia maupun bahasa asing ditekankan pada
pemahaman jenis-jenis teks (text types), memproduksi teks,
serta melakukan analisi kritis atas jenis-jenis teks. Kegiatan-
kegiatan tersebut biasa disebut dengan keterampilan
informasi.
Keterampilan informasi ini meliputi: (1)
keterampilan mencari atau mengumpulkan informasi yang
tercermin dalam keterampilan membaca, keterampilan
belajar, keterampilan mengakses informasi, dan
keterampilan dalam memanfaatakan media teknologi
digital atau internet; (2) keterampilan mengolah atau
merangkai informasi baik dari satu sumber maupun
berbagai sumber; (3) keterampilan mengorganisasi
informasi; dan (4) keterampilan menggunakan informasi
dan mengkomunikasikan hasil.
Setelah menguasai konsep keterampilan informasi,
para ustadz/ustadzah yang mengajar mata pelajaran bahasa
diminta untuk melakukan simulasi ketrampilan informasi
(e.g., mencari, mengolah, mengorganisasi, dan
menggunakan, dan mengkomunikasikan hasil) dari
beberapa sumber.
Berikutnya, untuk ustadz/ustadzah yang mengajar
mata pelajaran matematika, tujuan pertemuan kelima

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 95


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

memiliki tujuan yaitu: (1) mengidentifikasi berbagai


kegiatan dalam mata pelajaran matematika yang
memerlukan kemampuan literasi santri; (2) memperoleh
gambaran cara mengembangkan kemampuan literasi santri
ketika belajar mata pelajaran matematika; dan (3)
mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan praktik literasi
dalam pembelajaran matematika.
Dalam praktiknya, kemampuan literasi sangat
membantu santri dalam belajar matematika terutama
dalam memahami dan meyelesaikan soal cerita (soal yang
dikemas dalam bentuk teks). Seringkali ditemukan, para
santri yang dapat menyelesaikan soal simbolik matematika
namun menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan soal
cerita. Pada dasarnya, ketika santri menghadapi soal cerita
maka mereka harus memahami soal tersebut kemudian
menerjemahkan pemahaman tersebut ke dalam
bentuk/simbol matematika. Salah satu indikator santi
memahami soal cerita adalah mereka dapat menceritakan
kembali isi soal tersebut dengan menggunakan bahasa
mereka sendiri.
Dalam sesi ini juga, para ustadz/ustadzah yang
mengajar pelajaran matematika diajak oleh fasilitator
untuk mensimulasikan Langkah-langkah mengembangkan
literasi santri yang dilakukan dalam modelling
penyelesaian soal cerita. Langkah-langkah terdiri dari (1)
meminta santri menyelesaikan soal cerita; (2) meminta

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 96


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

santri untuk menuliskan laporan penyelesaian soal


tersebut; (3) meminta santri untuk saling membacakan
laporan cara menyelesaikan soal; (4) meminta para santri
untuk maju ke depan kelas dan menjelasakan cara dalam
penyelesaian soal cerita; dan (5) menunjukkan berbagai
cara santri dalam menyelesaikan soal cerita.
Selanjutnya, untuk ustadz/ustadzah yang mengajar
mata pelajaran IPA, tujuan pada sesi ini adalah (1)
mengidentifkasi kegiatan dalam pembelajaran IPA yang
mengembangkan kemampuan literasi saintifik; (2)
mempraktikan literasi saintfik dalam proses pembelajaran
IPA.
Kemampuan menguasai literasi saintifik merupakan
tujuan dari pembelajaran IPA. Literasi saintifik dalam
pembelajaran IPA diartikan sebagai kemampuan para
santri untuk memiliki keterampilan proses dan berpikir
ilmiah agar menemukan konsep dasar IPA,
mempresentasikan hasil temuan, memecahkan masalah
dan mengaplikasikan IPA dalam kehidupan sehari-hari,
serta menghubungkan IPA dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang tercermin dari sikap ilmiah para santri.
Pada pertemuan ini, para ustadz/ustadzah yang
mengajar mata pelajaran IPA diajarkan dan diminta untuk
mensimulasikan strategi pengajaran yang
mengintegrasikan keterampilan proses dan literasi saintifik

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 97


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

seperti metode discovery-inquiry, cooperative learning, dan


salingtemas (sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat).

Gambar 4.8
Literasi Lintas Mata Pelajaran
Terakhir, praktik literasi lintas mata pelajaran IPS.
Tujuan dari sesi ini adalah: (1) mengidentifikasi proses
pembelajaran IPS yang mengembangkam kemampuan
literasi informasi; (2) mempraktikan literasi informasi
dalam pembeljaran IPS.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 68
Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur
Kurikulum menyiratkan bahwa peserta didik/santri
tingkat sekolah menengah harus memiliki keterampilan
sosial agar dapat mengikuti perkembangan dunia global.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 98


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Keterampilan sosial tersebut meliputi: (1)


keterampilan memperoleh informasi (e.g., keterampilan
mengobservasi, merumuskan masalah, mengumpulkan
informasi, memilah-milih informasi, dan memanfaatkan
perangkat teknologi); (2) keterampilan mengorganisasi dan
memanfaatkan informasi; (3) keterampilan yang
berhubungan dengan relasi sosial serta keikutsertaan
dalam masyarakat (e.g., keterampilan managemen diri,
keterampilan bekerja dalam kelompok, berpartisipasi
dalam kegiatan masyarakat). Keterampilan sosial
khususnya yang berkaitan dengan keterampilan
memperoleh dan menggunakan informasi ini biasa disebut
dengan keterampilan informasi.
Keterampilan sosial harus dikembangkan di
pesantren dan sangat relevan dengan kebutuhan para
santri karena setelah menyelesaikan pendidikannya di
pesantren, para santri akan kembali ke tengah-tengah
masyarakat untuk mengajarkan ilmu yang sudah didapat
ketika belajar di pondok pesantren dan berdakwah
mensyiarkan ajaran Islam yang rahmatan lil-alamin.
Dalam pertemuan ini, para ustadz/ustadzah yang
mengajar pelajaran IPS diminta untuk mensimulasikan
proses mengajar IPS yang diintegrasikan ke dalam tahapan
keterampilan literasi informasi: e.g. mngobservasi,
menyusun pertanyaan, menyeleksi pertanyaan,
menentukan informasi, menyeleksi dan mengolah

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 99


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

informasi, menyajikam informasi, dan


mengkomunikasikan informasi.
6. Pertemuan Keenam
Pada pertemuan keenam, peserta pendampingan
diajak membahas cara memanfaatkan aplikasi
pembelajaran daring (online learning) berbasis Android
atau IOS yaitu Google Classroom dan Edmodo. Kedua
aplikasi tersebut menjadi trend dalam pembelajaran daring
(online) selama masa pandemi terutama ketika kasus
penyebaran covid-19 mengalami lonjakan yang sangat
tinggi di Indonesia pada bulan Juli-Agustus 2021.
Kedua aplikasi tersebut memiliki fitur yang hampir
sama. Pada pertemuan kali ini ditekankan pada bagaimana
para ustadz/ustadzah dapat memaksimalkan berbagai fitur
yang sudah disediakan dari kedua aplikasi tersebut seperti
membuat kelas baru (grouping), membagian konten dan
mengeposkan link pembelajaran (sharing dan posting
hyperlink), memberikan kuis dan tugas pelajaran
(assessment and assignment), dan membuat pemungutan
suara (polling) dengan cara membuat pertanyaan yang
disertai beberapa alternatif jawaban. Namun, yang menjadi
poin pembeda dari aplikasi Google Classroom adalah
aplikasi tersebut menyediakan fasilitas Google Drive yang
dapat menyimpan dan membagikan data dalam jumlah
yang banyak.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 100


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Gambar 4.9
Pemanfaatan Aplikasi Google Classroom dan Edmodo
7. Pertemuan Ketujuh
Setelah membahas seluk-beluk literasi digital, pada
pertemuan ketujuh ini, peserta pendampingan akan diajak
berdiskusi tentang bagaimana menciptakan lingkungan
pesantren yang literat (kaya akan teks). Pertemuan ini tidak
hanya melibatkan dewan ustadz/ustadzah namun juga
pustakawan yang mengabdi di Pondok Pesantren Modern.
Adapun tujuan utama dari pertemuan ini adalah
memberikan wawasan kepada para ustadz/ustadzah dan
pustakawan tentang cara menciptakan lingkungan
pesantren yang literat dengan cara memajang hasil karya
literasi para santri di setiap sudut ruang pesantren.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 101


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Gambar 4.10
Menciptakan Lingkungan Pesantren yang Literat
Di pertemuan ini, fasilitator lebih banyak mengajak
peserta pendampingan untuk berdiskusi tentang apa
sebenarnya yang dimaksud dengan lingkungan pesantren
yang literat? apa manfaat dari lingkungan yang literat bagi
para santri? Bagaimana cara menciptakan lingkungan
pesantren yang literat? dan tata cara menata pajangan hasil

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 102


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

karya para santri di sudut-sudut ruangan yang ada di dalam


pesantren.
Setelah sesi diskusi tersebut selesai, fasilitator
bertanya kepada para peserta pendampingan apakah ada
pajangan hasil karya warga pesantren di sudut-sudut ruang
pesantren? Ustadzah Widian Sri Rahayu yang mengajar
bahasa Arab di Pondok Pesantren Modern Fathi Qalbi
menjawab:
“Di pesantren kami, khususnya di asrama putri
meskipun terbatas namun sudah ada papan kosa
kata 3 bahasa (bahasa Inggris, bahasa Arab dan
bahasa Indonesia) yang tertempel di dapur umum, di
lorong asrama putri dan dalam kamar santriwati.
Selain itu, kaligrafi yang berisi motivasi atau kata-kata
mutiara (mahfudzot) juga sudah ada di depan
asrama. Namun untuk di dalam kelas belum ada
hasil karya santri yang dipajang. Dan saya sebagai
wali kelas sangat terinspirasi dari pemaparan
fasilitator untuk membuat sudut baca di dalam
kelas”.
Dari pertemuan kali ini dapat disimpulkan bahwa
lingkungan pesantren yang literat adalah lingkungan
pesantren yang kaya akan teks dari hasil karya warga
pesantren. Karya literasi dapat dipajang di dalam kelas,
kamar, lorong asrama, dapur umum, kantin, dan ruang
terbuka lainnya. Lingkungan pesantren yang kaya akan teks
diharapkan dapat memicu motivasi para santri untuk

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 103


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

belajar dan membangun budaya literasi di pondok


pesantren.
8. Pertemuan Kedelapan
Pada pertemuan terakhir kegiatan ini, fasilitator
mengajar para peserta pendampingan untuk membuat
rencana tindak lanjut. Rencana tindak lanjut merupakan
salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah
proses kegiatan pendampingan dan awal dari komitmen
para peserta untuk menerapkan apa yang telah diperoleh
dari kegiatan pendampingan yang sudah dilaksanakan
selama dua bulan.

Gambar 4.11
Penyusunan Rencana Tindak Lanjut
Setelah menyelesaikan pertemuan ini, para peserta
pendampingan diharapkan mampu untuk: (1) menuliskan

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 104


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

kegiatan yang akan dilakukan secara individual sebagai


penerapan gagasan yang diperoleh dari kegiatan
pendampingan; (2) memiliki keinginan yang kuat untuk
melaksanakan kegiatan tersebut.
Pada prinsipnya, rencana tindak lanjut seyogyanya
dibuat serealistis mungkin dengan mempertimbangkan
kemampuan ustadz/usatdzah, santri dan pondok
pesantren sehingga rencana yang sudah dibuat tersebut
dapat direalisasikan secara maksimal.
Namun dalam praktiknya, rencana tindak lanjut
harus disusun, ditulis, dan didokumentasikan dengan baik
sehingga akan membantu ustadz/ustadzah untuk
melaksanakan kegiatan yang tekah dirancang sekaligus
memonitor dan mengevaluasi ketercapaiannya. Selian itu,
ada baiknya rencana tindak lanjut perlu dibuat lebih
sederhana yang berisikan sedikit kegiatan literasi yang
mudah dilaksanakan dari pada menyusun banyak kegiatan
literasi namun banyak yang tidak terlaksana atau tidak
tercapai yang tidak memberikan dampak yang postif dalam
membangun budaya literasi di pondok pesantren.
Rencana tindak lanjut dapat disusun secara bersama-
sama dengan melibatkan pimpinan pondok pesantren
(mudir) penanggung jawab bagian kurikulum, dewan
ustadz/ustadzah, pustakawan, tenaga kependidikan, dan
wali santri. Berikut ini akan disajikan contoh lembar kerja
rencana tindak lanjut:

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 105


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

RENCANA TINDAK LANJUT


Nama Pesantren: ………………………………..
Nama Penyusun: ………………………………..

Bulan …. Bulan ….
No Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4
1
2
3
4

C. Evaluasi Kegiatan Pendampingan


Setelah menyelesaikan rangkaian kegiatan
pendampingan, peneliti memberikan lembar evaluasi
pendampingan penyusunan program literasi digital di
Pondok Pesantren kepada peserta pendampingan. Lembar
evaluasi ini terdiri dari (1) lembar evaluasi fasilitator
tentang kemampuan memfasilitasi kegiatan
pendampingan (soft skill); (2) lembar evcaluasi fasilitator
tentang kemampuan menguasai materi pendampingan
(hard skill); dan (3) lembar evaluasi kegiatan
pendampingan secara keseluruhan. Lembar evaluasi

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 106


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

tersebut dibagikan melalui Google Forms pada pertemuan


kedelapan.
Sebagaimana yang sudah dijelaskan pada BAB III,
bahwa kegiatan pendampingan ini melibatkan 3 Pondok
Pesantren Modern yang ada di Provinsi Banten dan setiap
pondok pesantren tersebut mengirim 7 orang utusannya
yang terdiri dari guru mata pelejaran Bahasa Indonesia,
Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Matematika, IPA dan IPS,
serta seorang pustakawan. Jadi secara keseluruhan jumlah
peserta jika hadir semua di setiap pertemuan yaitu 21
orang.
Berdasarkan hasil lembar evaluasi tersebut, sebagian
kecil memberikan skor 4 (baik) dan sebagian besar lainnya
memberikan nilai 5 (sangat baik) terhadap kejelasan suara
dan pengaturan suara (kecepatan intonasi suara) dari
fasilitator. Fasilitator juga dianggap oleh peserta
pendampingan menunjukkan kesantunan dalam
menyapaikan materi, dikemas secara santai dengan gerak
tangan atau ekspresi wajah yang hangat.
Siti Nahdiyyatul Ummah, salah satu ustadzah yang
mengajar mata pelajaran Matematika di Pesantren Modern
Kulni mengatakan bahwa:
“Bapak/Ibu fasilitator sangat baik dalam
menyampaikan materi pendampingan. Ada kalanya
serius namun diselipi juga dengan jokes-jokes yang
dapat mencairkan suasana. Kegiatan pendampingan

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 107


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

lebih banyak diisi dengan diskusi dan tukar


pengalaman diantara peserta pendampingan. Ketika
memberikan pertanyaan brainstorming, fasilitator
terlihat sabar dan memberikan waktu kepada kami
untuk berpikir sejenak. Interaksi dengan kami juga
sangat cair dan tidak ada kesan menggurui.
Seringkali bapak/ibu fasilitator memberikan reaksi
positif atas pertanyaan dan tanggapan dari kami.
Dalam menjawab pertanyaanpun sangat lugas dan
sistematis dan kedua bapak/ibu fasilitator terlihat
kompak”.

Dari pernyataan kesaksian (testimony) tersebut,


dapat disimpulkan bahwa peserta pendampingan merasa
kemampuan memfasiltasi pendampingan (soft skill) dari
kedua fasilitator dikategorikan sangat baik dan membantu
peserta pendampingan dalam memahami materi. Peserta
pendampingan juga merasa diberikan kesempatan untuk
berpikir, mengajukan pertanyaan maupun tanggapan.
Berikutnya, berkenaan dengan hasil evaluasi
kemampuan menguasai materi pelatihan. Berdasarkan
hasil lembar evaluasi dapat disimpulkan bahwa sebagian
besar peserta pendampingan menyatakan kemampuan
fasilitator sangat baik. Hal ini salah satunya dinyatakan
oleh Ustadzah Miftah Aulia Utami yang mengajar mata
pelajaran Bahasa Inggris di Pondok Pesantren Modern

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 108


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Fathi Qalbi. Dalam lembar penilaian dia menyatakan


bahwa:
“Bapak/Ibu fasilitator dalam menjelaskan materi
pendampingan sangat komprehensif dan sistematis.
Mereka senantiasa menjelaskan tujuan
pendampingan diawal pertemuan, memberikan
instruksi dan mengungkapkan pertanyaan kepada
kami dengan menggunakan bahasa yang mudah
dipahami. Selain itu, mereka juga sangat ramah dan
membuat kami merasa nyaman, apabila ditengah
penjelasan kami menyampaikan pertanyaan atau
tanggapan, mereka dengan senang hati
mengakomodir pertanyaan ataupun pendapat dari
kami. Kegiatan pendampingannya pun dibuat lebih
informal, lebih bayak kegiatan diskusi dan tukar-
menukar pengalaman bukan seperti kegiatan
pelatihan yang umumnya kami ikuti, yang lebih
banyak penjelasan materi satu arah”.
Pada lembar terakhir berisi tentang evaluasi kegiatan
pendampingan secara keseluruhan. Dari pertanyaan yang
diajukan pada lembar evaluasi tersebut, sebagian besar
peserta pendampingan mengungkapkan bahwa kegiatan
pendampingan ini sangat bermanfaat dalam meningkatkan
kemampuan dan pengetahuan literasi perserta
pendampingan, serta memiliki dampak yang positif
terhadap pondok pesantren. Ustadz Agus Setiawan yang

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 109


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

merupakan guru bidang studi Bahasa Inggris di Pondok


Modern Nur El-Qolam mengungkapkan bahwa:
“Dari kegiatan pendampingan ini, saya tidak hanya
memperoleh pengetahuan baru dan bisa bertukar
pikiran dengan rekan-rekan lainnya, tapi juga
termotivasi untuk dapat menerapkan berbagai
kegiatan literasi di kelas yang saya ajar. Selain itu,
saya akan mengusulkan beberapa program literasi
yang dapat dilaksanakan di pondok kepada Mudir
(Pimpinan Pondok)”.
Singkatnya, dari hasil lembar evaluasi tersebut.
Kegiatan pendampingan ini memiliki kebermanfaatan baik
untuk peningkatan kompetensi ustadz/ustadzah namun
juga kemajuan pondok pesantren khususnya dalam
membangun budaya literasi di sana.

D. Refleksi Teoritis Kegiatan Pendampingan


Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia,
Pondok Pensantren sudah saatnya untuk dapat
menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi dan
derasnya arus informasi. Pondok Pesantren juga harus
lebih terbuka dengan menyiapkan para santrinya dengan
berbagai kemampuan literasi, baik yang berbasis cetak
maupun digital. Karena sejatinya, kemampuan literasi
merupakan salah satu kecakapan yang harus dimiliki oleh
manusia modern selain kompetensi (e.g. berpikir kritis,

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 110


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi) dan kualitas


karakter (e.g. keingintahuan, inisiatip, ketekunan,
penyesuaian diri, kepemimpinan, dan kesadaran sosial-
budaya) agar dapat bersaing di Abad 21 sebagaimana yang
dinyatakan dalam World Economi Forum tahun 2016.
Sesungguhnya, untuk mengejar ketertinggalan dan
meningkatkan kemampuan literasi pelajar/santri di
Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia melalui
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah mengeluarkan
Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 yang salah satu
produknya adalah Gerakan Literasi Sekolah. Gerakan ini
mengikat semua institusi pendidikan tidak terkecuali
Pondok Pesantren.
Namun, kenyataan yang terjadi khususnya di
Pondok Pesantren Modern yang menjadi binaan peneliti,
program tersebut belum dilaksanakan bahkan dewan
ustadz pun belum pernah mengikuti kegiatan
sosialisasinya. Oleh karena itu, peneliti memulai kegiatan
pendampingan tersebut dengan memberikan orientasi
literasi yang dilanjutkan dengan pemanfaatan berbagai
media literasi digital yang dapat diintegrasikan dalam
proses pembelajaran. Kemudian, membahas penerapaan
literasi lintas mata pelajaran, cara menciptakan lingkungan
pesantren yang literat dan diakhiri dengan penyusunan
rencana tindak lanjut.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 111


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Pada saat penyusunan rencana tindak lanjut, peneliti


menyarankan kepada para peserta pendampingan untuk
membentuk terlebih dahulu Tim Penggerak Literasi
Pesantren (TPLP). Karena tim ini lah yang nantinya akan
bertanggungjawab dalam pelaksanaan kegiatan literasi yang
dilaksanakan sehari-hari di pondok pesantren. Tim
Penggerak Literasi Pesantren ini terdiri dari Pimpinan
Pesantren (Mudir) selaku penasehat, wakil pimpinan
bagian kurikulum pesantren, dewan ustadz/ustadzah,
pustakawan, tenaga kependidikan, dan pemerhati/relawan
literasi.
Tim ini mempunyai tugas utama untuk merancang,
melaksanakan, melaporkan, dan mengevaluasi
pelaksanaan gerakan literasi di pondok pesantren
(Panduan Gerakan Literasin Sekolah, 2016). Tim ini juga
harus dapat membuat jaringan eksternal dengan berbagai
pihak (pemerintah daerah, orang tua/wali santri, dan
pelaku usaha) untuk mendukung kegiatan literasi
pesantren ini dengan cara memberikan bantuan seperti
buku, alat tulis kantor, rak buku, atau fasilitas lainnya.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 112


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

(Sumber: https://pondokmodernnurelqolam.sch.id/)

Gambar 4.12
Rapat Pembentukan Tim Penggerak Literasi Pesantren
Namun, dari beberapa program menarik tersebut,
program literasi yang harus didahulukan dan memiliki
prioritas utama yang ahrus dilakukan adalah program
membaca buku non-pelajaran selama 15 menit sebelum
waktu belajar dimulai. Kegiatan ini memiliki urgensi untuk
menumbuhkan minat baca dan meningkatkan
keterampilan membaca para santri agar pengetahuan dapat
mereka peroleh dengan baik. Buku yang dibaca adalah
buku non-pelajaran namun harus berisikan nilai-nilai budi
pekerti, kearifan lokal, nasional, maupun globnal yang
disesuaikan dengan tahapan perkembangan para santri
(Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang
Penumbuhan Budi Pekerti).

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 113


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

(Sumber: http://www.pesantrenkulni.sch.id/html/index.php?id=album)

Gambar 4.12
Kegiatan Membaca 15 Menit Buku Non-Pelajaran
Di Pesantren Modern Kulni
Setelah kegiatan membaca 15 menit buku non-
pelajaran di pesantren mulai berjalan, beberapa pesantren
binaan mulai melaksanakan program-program literasi yang
telah disusun di rencana tindak lanjut. Di Pesantren
Modern Kulni, TPLP mengadakan program klinik
membaca dengan materi penerapan teknik membaca
seperti sustained silent reading, guided reading, dan
independent reading. Selain itu, pesantren yang memiliki
semboyan “Religious, On Time, dan Computerized” ini
telah memiliki studio radio dan laboratorium komputer
yang terhubung dengan jaringan internet. Hal ini
memungkinkan para santrinya untuk terhubung dengan

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 114


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

dunia luar. Sarana yang dimiliki tersebut dimanfaatkan


dengan baik oleh TPLP dan dikemas dalam bentuk latihan
siaran radio, menulis blogger, dan latihan design grafis.

(
Sumber: Dokumentasi Pribadi Ustadz Ibnu Ahmad)

Gambar 4.13
Kegiatan Siaran melalui Radio 107.7 Kulni fm

Sumber: Dokumentasi Pribadi Ustadz Ibnu Ahmad)

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 115


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Gambar 4.14
Menulis Blog

Sumber: Dokumentasi Pribadi Ustadz Ibnu Ahmad)

Gambar 4.15
Latihan Design Grafis
Sementara itu, di Pondok Pesantren Modern Nur El-
Qolam, Salah satu program literasi unggulan yang
diselenggarakan oleh TPLP adalah kegiatan pekan bahasa.
Kegiatan ini berisi perlombaan literasi seperti lomba baca
puisi, lomba menulis cerpen, lomba bercerita (storytelling),
lomba kaligarafi, dan pemilihan duta literasi pesantren.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 116


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

(Sumber: http: https://www.facebook.com/PondokPesantrenModernnurelqolam/)

Gambar 4.16
Penyerahan Hadiah Pada Kegiatan Pekan Bahasa
Setelah suskes dengan kegiatan pekan bahasa, TPLP
mengundang seorang public speaker and training
motivator, Bapak Heppy Chandrayana, M.I.Kom. Kegiatan
ini selain bertujuan untuk meningkatkan motivasi belajar
dan kepercayaan diri santri, namun juga untuk
memberikan cara jitu berbicara di depan umum untuk
para santri. Pada kegiatan public speaking ini santri juga
diajarkan cara menulis teks pidato dengan menggunakan
bahasa Inggris dan bahasa Arab beserta latihan vocal
(intonasi), ekspresi wajah (facial expression), dan gerak
tubuh (gesture).

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 117


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

(Sumber: Dokuemhtasi Pribadi Ustadz Irham Bayquni Ansori)

Gambar 4.17
Kegiatan Public Speaking
Terakhir, kegiatan literasi unggulan yang
diselenggarakan di Pondok Pesantren Modern Fathi Qalbi
adalah kegiatan mengunjungi perpustaakaan daerah,
mengundang perpustakaan keliling, serta pembuatan
madding dan reading corner. Kegiatan ini merupakan
wujud nyata dari Tim Penggerak Literasi Pesantren dalam
memperkenalkan dan membangun budaya literasi dengan
cara yang lebih menyenangkan kepada para santri Pondok
Pesantren Modern Fathi Qalbi.
Ketua Tim Penggerak Literasi Pesantren, Ustadzah
Nur Humais mengatakan bahwa
“Kegiatan mengunjungi perpustakaan daerah dan
mengundang perpustakaan keliling ke pesantren

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 118


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

kami adalah upaya nyata untuk menarik minat santri


dalam membangun budaya literasi. Dan kegiatan
tersebut diikuti dengan kegiatan menulis resensi
buku. Selain itu kami juga sedang berupaya untuk
membuat sudut baca di kelas dan lorong-lorong
asrama”.

Gambar 4.18
Kunjungan ke Perpustakaan Daerah Provinsi Banten

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 119


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Gambar 4.19
Perpustakaan Keliling
Akhirnya, kegiatan pendampingan penyusunan
literasi digital ini selain memberikan dampak postif
terhadap peningkat kompetensi ustadz/ustadzah dalam
mengintegrasikan kegiatan literasi ke dalam mata pelajaran
namun juga menciptakan lingkungan pondok pesantren
yang kaya akan teks. Selain itu, pemanfaatan media literasi
digital dalam proses pembelajaran di pesantren membuka
portal dunia luar bagi santri untuk mengakses informasi
terkini dan memperoleh ilmu pengetahuan yang tidak
mereka dapatkan dari buku pelajaran.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 120


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kegiatan pendampingan ini merupakan sebuah
manifestasi dari kami selaku akdemisi dalam melaksanakan
Tri Dharma Perguruan Tinggi khusus dalam bidang
Pengabdian Kepada Masyarakat. Pada hakikatnya, Pondok
Pesantren telah memiliki kultur literasi yang kuat melalui
kajian-kajian kitab kuning (al-kutub as-sofro) dan tradisi
istimbat (mencari referensi) lewat kitab-kitab turast (kitab
induk pesantren). Namun, di Abad 21 ini Pondok
Pesantren juga harus membuka diri dengan memanfaatkan
teknologi dan internet sebagai media pembelajar. Oleh
karena itu, Pondok Pesantren harus dapat melengkapi
santrinya dengan kemampuan literasi digital yang dapat
mereka manfaatkan dengan baik untuk mengakses
informasi secara cepat. Selain itu, kemampuan literasi
digital ini juga dapat melatih para santri untuk berpikir
kritis, bertindak selektif dalam menerima dan memilih
informasi agar terhindar dari berita yang tidak benar
(hoax).

B. Saran-Saran
Berdasarkan kesimpulan maka saran-saran yang
peneliti ingin ajukan adalah

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 121


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

1. Pondok pesantren sudah seyogyanya lebih membuka


diri dan berorientasi kepada masa depan (futuristic-
minded) dengan membekali para santrinya dengan
komptensi literasi digital.
2. Pada masa pandemi Covid-19 ini, Pondok Pesantren
juga sudah saatnya melaksanakan pembelajaran
gambungan (hybrid learning) yang memadukan antara
pembelajaran yang berbasis textbook dengan
teknologi digital.
3. Kegiatan literasi di pondok pesantren harus
dilaksanakan secara menyeluruh dan konsisten
dengan memperhatikan tahapan literasi sebagaimana
yang tertulis dalam buku Panduan Gerakan Literasi
Sekolah.
4. TPLP harus dapat membuat program-program literasi
yang menarik (efektif) dan effisien. Selain itu, Tim ini
juga harus melakukan ekspansi jaringan dengan
membuka komunikasi dengan beberapa stakeholder
seperti: pemerintah daerah, perusahaan, orang
tua/wali santri, dan pemerhati literasi agar
memperoleh bantuan buku-buku baru atau masukan
mengenai penyusunan program literasi digital di
Pondok Pesantren.
5. Seluruh civitas akademika yang ada di pesantren harus
mampu menciptakan suasana lingkungan pesantren
yang literat.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 122


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

6. Hasil dari kegiatan pendampingan hendaknya


didiseminasikan kepada ustadz/ustadzah lainnya yang
tidak mengikuti kegiatan pendampingan.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 123


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Daftar Pustaka

Anderson, L.W., & Krathwol, D.R. (Eds). (2001). A


Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A
Revision of Bloom’s Taxonomy of Education Objectives.
New York: Longman.
Asrahah, Harun. (2009). Pesantren di Jawa: Asal-Usul,
Perkembangan, dan Pelembagaan. Jakarta: Depag RI.
Badan Pusat Statistik. (2015). Statistik 70 Tahun Indonesia
Merdeka. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Bawden. (2001). Information and Digital Literacies: A
Review of Concept. Journal o Documentation. Vol.57.
Issue 2. 218-259.
Belshaw, Douglas, A.J. (2012). What is Digital Literacy? A
Pragmatic Investigation. Unpublished Doctoral
Dissertation. Durham University.
Berg. C.C. (1974). Penulisan Sejarah Jawa. (S.Gunawan,
Penerjemah). Jakarta: Bharatara.
Bukhory, Umar. (2016). KH Imam Zaekasyi dan Genre
Baru Pondok Pesantren: Refleksi Seorang Cucu
Murid. Dirosat: Journal of Islamic Studies. Volume 1,
No. 2, Juli-Desember.
Bruinessen, Martin Van. (1999). Kitab Kuning, Pesantren
dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia.
Bandung: Mizan.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 124


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Common Sense Media. (2011). Digital Literacy and


Citizenship in the 21st century. San Francisco:
Common Sense Media White Paper.
Coughlin, Smith & Fernandez. (2017). Handbook of
Community-Based Participatory Research. Oxford:
Oxford University Press.
Daulay, Haidar., Putra. (2007). Sejarah Pertumbuhan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
_______. (2009). Dinamika Pendidikan Islam di Asia
Tenggara. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dhofier, Zamakhsyari. (2011). Tradisi Pesantren: Studi
Pandangan Hidup Kiai dan Visinya mengenai Masa
Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Geertz, Clifford. (1983). Abangan, Santri, Priyayi dalam
masyarakat Jawa. cet. ke-2. Jakarta: Pustaka Jaya.
Glister, Paul. (1997). Digital Literacy. New York: Wiley.
Haedari, Amin. (2004). Panorama Pesantren dalam
Cakrawala Modern. Jakarta: Diva Pustaka.
Humaeni, Ayatullah & Tihami. (2018). Membangun
Moderasi Islam di Kalangan Santri melalui Penulisan
Karya Ilmiah di Pesantren Riyadul Mutaalimin
Kabupaten Lebak. Serang: LP2M UIN Sultan
Maulana Hasanuddin Banten.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 125


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Iskandar, Hasyim. (2018). Dakwah Informasi Santri (AIS)


Banyuwangi melalui Literasi Digital. Thesis tidak
dipublikasikan: UIN Sunan Ampel.
Ja’far, Ali. (2019). Literasi digital pesantren: Perubahan
dan kontestasi. Islamic Review: Jurnal Riset dan Kajian
Keislaman, Vol. VII No. 1, 17-35.
Johns. Anthony, H. Islam in Southeast Asia: Reflections
and New Directions. Indonesia. Vol. 19. 1975. 33-56.
Jurriens, E. & Taspel R. (Eds). (2017). Digital Indonesia:
Connectivity and Divergence. Singapore: ISEAS
Publishing.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2016).
Majalah Pendidikan dan Kebudayaan. Nomor VI/
Oktober 2016.
Kuntowijoyo. (1987). Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta:
PT. Tiara Wacana.
Kurniawati, Juliana & Siti Baroroh (2016). Literasi Media
Digital Mahasiswa Universitas Muhammadiyah
Bengkulu. Jurnal Komunikator. Vol. 8 No. 2. 51-66.
Leavy, Partricia. (2017). Research Design: Quantitative,
Qualitative, Mixed Methods, Arts-Based, and Community-
Based Participatory Research Approaches. New York:
The Guilford Press.
Littlejohn, Beetham, & McGill. (2017). Digital Literacy as
Situated Knowledge Practice: Academic’s Influence on

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 126


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Learner’s Behaviour. In Robin Goodfellow & Mary R


Lea (eds). Literacy in Digital University: Critical
Perspective on Learning, Scholarship, and Technology.
London: Routledge.
Madjid, Nurcholis. (2010). Bilik-Bilik Pesantren, Jakarta:
Paramadina.
McQuail, Denis. (2010). McQuail’s Mass Communication
Theory. Sixth ed. London: Sage Publications Ltd.
Miller, John W & Michael M. McKenna. (2016). World
Literacy: How Countries Rank and Why It Matters. New
York: Routledge.
Nata, Abudin. (2001). Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam.
Jakarta: Grasindo.
OECD. (2015). PISA Results in Focus Programme for
International Students Assessment. 1-44.
http://doi.org/10.1787/9789264208070-en.
Perpustakaan Nasional. (2016). Laporan Akuntabilitas
Kinerja Pemerintah (LAKIP) Perpustakaan Nasional
2016. Jakarta: Perpustakaan Nasional.
Steenbrink, Karel, A. (1994). Pesantren, Madrasah, Sekolah,
Pendidikan Islam dalam Kultur Modern. Jakarta:
LP3ES.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 127


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Suharto, Babun. (2014). Managing Transitions: Tantangan


dan Peluang PTAI di Abad Informasi. Jember: STAIN
Jember Press.
Taufiq, Tata., dkk. (2005). Rekonstruksi Pesantren. Jakarta:
Listafariska Putra.
Tim Penyusun. (2003). Pondok Pesantren dan Madarasah,
Pertumbuhan dan Perkembangannya. Jakarta: Dirjen
Kelembagaan Islam Indonesia.
Tim Penyusun. (2016). Panduan Gerakan Literasi Sekolah di
Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar an Kebudayaan.
Tim Penyusun. (1996). Biografi KH. Imam Zarkasyi: Dari
Gontor Merintis Pesantren Modern. Ponorogo: Gontor
Press.
Tim Penyusun. (2017). Panduan Gerakan Literasi Nasional
2017. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Tim Riset Komite Buku Nasional. (2016). History of
Publishing in Indonesia. Jakarta: Komite Buku
Nasional.
Tim Riset Perpustakaan Nasional. (2015). Hasil Kajian
Budaya Baca Masyarakat Indonesia. Jakarta:
Perpustakaan Nasional.
UNESCO. (2003). The Prague Declaration: Toward an
Information Literate Society.

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 128


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Ushuluddin, Win. (2002). Sintesis Pendidikan Islam Asia-


Afrika: Perspektif Pemikiran Pendidikan Menurut KH.
Imam Zarkasyi. Yogyakarta: Paradigma.
Wahid, Abdurrahman. (2001). Menggerakan Tradisi, Esai-
Esai Pesantren. Yogyakarta: LKIS.
Yasmadi. (2002). Modernisasi Pesantren. Jakarta: Ciputat
Press.
Yunus, Mahmud. (1990). Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta: Hidakarya.
Zabidi, Mohammad Naufal & Abd. Bassith Tamami.
(2021). Keefektifan Upaya Meningkatkan Literasi
Digital pada Pesantren Rakyat di Al-Amin Sumber
Pucung Malang. Jurnal Pendidikan Indonesia. Vol. 2
No. 1, 48-58.
Zulhimma. (2013). Dinamika pondok pesantren di
Indonesia. Jurnal Darul ‘Ilmi. Vol. 01 No. 02. 163.

Internet:
College, William. (2014). Writing Programs. Diakses 20
Oktober 2021, dari: https://writing-
programs.williams.edu/writing-workshop/

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 129


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

“Di Indonesia, Hanya 1 dari 1.000 Orang yang Serius


Membaca Buku”. Diakses 06 April 2021,
dari:https://republika.co.id/berita/pendidikan/edu
action/16/04/29/o6dpyg335-di-indonesia-hanya-1-
dari-1000-orang-yang-serius-membaca-buku.
Join Information System Committee. (2014). Developing
Digital Literacies. Diakses 4 Agustus 2021, dari:
http://www.jisc.ac.uk/guides/developing-digital-
literacies
Jumlah Penduduk yang Buta Aksara Turun Menjadi 3,29
Juta. Diakses 5 April 2021, dari:
https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2019/0
8/jumlah-penduduk-buta-aksara-turun-menjadi-329-
juta
“Pengabdian Kepada Masyarakat Dengan Pendekatan
PAR, ABCD, dan CBPR”. Diakses 4 April 2021,
dari: https://profudin.id/pengabdian-kepada-
masyarakat-dengan-pendekatan-par-abcd-dan-cbpr/
Slee, Helen, (2017). Components of Essential Digital
Literacy. Diakses 4 Agustus 2021, dari
http://prezi.com/5g8rbvywsanx/components-of-
essential-digitaliteracy/
Wright, Brian. (2015). Top 10 Benefits of Digital Skills.
Diakses tanggal 3 Agustus 2021, dari
http://webpercent.com/top-10-benefits-of-digital-
skills/

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 130


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

https://bibliotech.us/pdfs/InfoLit.pdf

Perundang-undangan:
Permedikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang
Penumbuhan Budi Pekerti
Permendiknas Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar
Sarana dan Prasarana Sekolah Dasar dan Menengah
Permendiknas Nomor 25 Tahun 2007 tentang Standar
Tenaga Perpustakaan Sekolah/Madrasah
Permendikbud Nomor 68 Tahun 2013 tentang Kerangka
Dasar dan Struktur Kurikulum SMP/MTs
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang
Perpustakaan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang
Pesantren

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 131


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Lampiran:
LEMBAR PENILAIAN FASILITATOR
KEMAMPUAN MEMFASILITASI
PENDAMPINGAN (SOFT SKILL)
Nama Peserta : ………………………
Institusi Asal : ………………………
Bidang Studi : ………………………
Skor
No Aspek
1 2 3 4 5
1. Suara dapat didengar dan
dipahami oleh seluruh peserta
pendampingan
2. Pengaturan suara (kecepatan
dan intonasi suara) sudah baik
3. Kesantunan dalam
menyampaikan materi
4. Gerak proposial ketika
menyampaikan materi
5. Isyarat yang dilakukan (gerak
tangan/gerak tubuh dan wajah
tersenyum)
6. Diam sejenak untuk
memberikan kesempatan
peserta pendampingan untuk
berpikir, memberikan
perhatian, dan penekanan yang
tepat

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 132


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

7. Interaksi fasilitator dengan


peserta pendampingan
berlangsung hangat
8. Memberikan reaksi postif dan
bersahabat atas pertanyaan dan
tanggapan dari peserta
pendampingan
9. Menjawab pertanyaan dengan
lugas dan sistematis
10. Saling kerjasama dengan penuh
persahabatan antara sesama
fasilitator
Catatan Tambahan:
1. Hal yang perlu ditingkatkan:
…………………………………………………………
…………………………………………………………
…………………………………………………………
…………………………………………………………
2. Hal yang perlu dikurangi/dihilangkan
…………………………………………………………
…………………………………………………………
…………………………………………………………
…………………………………………………………

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 133


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

LEMBAR PENILAIAN FASILITATOR


KEMAMPUAN MEMFASILITASI MATERI
PENDAMPINGAN (HARD SKILL)
Nama Peserta : ………………………
Institusi Asal : ………………………
Bidang Studi : ………………………
Skor
No Aspek
1 2 3 4 5
1. Kemampuan menjelaskan
materi secara keseluruahan
(menguasai materi secara
komprehensif)
2. Kemampuan menjelaskan
materi secara sebagian
(menguasai materi secara
sistematis)
3. Kemampuan menjelaskan latar
belakang unit materi yang
disajikan
4. Kemampuan menjelaskan
tujuan sesi yang disajikan
5. Kejelasan memberikan
instruksi
6. Kemampuan memimpin diskusi
kelompok/kerja kelompok
7. Kemampuan mengungkapkan
pertanyaan kepada peserta
pendampingan

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 134


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

8. Kemampuan menjawab
pertanyaan peserta
pendampingan
9. Kemampuan menyimpulkan
materi
10. Kesiapan menyediakan materi
powerpoint pada saat presentasi
Catatan Tambahan:
1. Hal yang perlu ditingkatkan:
…………………………………………………………
…………………………………………………………
…………………………………………………………
…………………………………………………………
2. Hal yang perlu dikurangi/dihilangkan
…………………………………………………………
…………………………………………………………
…………………………………………………………
…………………………………………………………

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 135


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

EVALUASI KEGIATAN PENDAMPINGAN


PENYUSUNAN PROGRAM LITERASI DIGITAL
BAGI USTADZ/USTADZAH DI PONDOK
PESANTREN MODERN DI PROVINSI BANTEN

1. Bagaimana tingkat kebermanfaatan materi


pendampingan bagi pengembangan komptensi anda?
A. Sangat Bermanfaat
B. Bemanfaat
C. Cukup Bermanfaat
D. Kurang Bermanfaat
E. Tidak Bermanfaat

2. Apakah kegiatan pendampingan memiliki dampak


yang positif terhadap pondok pesantren anda?
A. Sangat memiliki dampak yang postif
B. Sebagian besar memiliki dampak yang postif
C. Cukup memiliki dampak yang positif
D. Kurang memiliki dampak yang postif
E. Tidak memiliki dampak yang postif

3. Bagaimana penguasaaan fasilitator terhadap materi


pendampingan?
A. Sangat Menguasai
B. Menguasai
C. Cukup Menguasai
D. Kurang Menguasai
E. Tidak Menguasai

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 136


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

4. Apakah penugasan yang diberikan membantu


meningkatkan pemahaman anda terhadap materi
pendampingan?
A. Semua penugasan membantu meningkatkan
pemahaman
B. Banyak penugasan membantu meningkatkan
pemahaman
C. Sebagian penugasan membantu meningkatkan
pemahaman
D. Sebagian kecil penugasan membantu
meningkatkan pemahaman
E. Tidak ada penugasan membantu meningkatkan
pemahaman

5. Bagaimana tingkat kejelasan pelaksanaan kegiatan


pendampingan dalam memberikan gambaran tentang
pelaksanaan literasi digital di pondok pesantren
anda?
A. Sangat Jelas
B. Jelas
C. Cukup Jelas
D. Kurang Jelas
E. Tidak Jelas

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 137


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

6. Apakah materi-materi pendampingan yang telah


diberikan menambah pemahaman anda akan
pelaksanaan Gerakan Literasi sekolah (GLS) di
tempat anda bekerja?
A. Semua materi pendampingan menambah
pemahaman saya tentang GLS
B. Sebagian besar materi pendampingan menambah
pemahaman saya tentang GLS
C. beberapa materi pendampingan menambah
pemahaman saya tentang GLS
D. Sebagian kecil materi pendampingan menambah
pemahaman saya tentang GLS
E. Tidak ada materi pendampingan menambah
pemahaman saya tentang GLS

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 138


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

RENCANA TINDAK LANJUT


Nama Pesantren: Pondok Modern Kulni
Nama Penyusun: 1. Ustadz Ibnu Ahmad Abdul Karim
2. Ustadzah Siti Nahdiyattul Ummah
3. Ustadzah Siti Alfiqaroh

Oktober November
No Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4
1. Pembentukan Tim
Pengerak Literasi
Pesantren
2 Penerapan Kegiatan
Program 15 menit
membaca buku non-
pelajaran sebelum
pelajaran pertama di
mulai
3 Mengadakan
Program Klinik
Membaca
4 Pemanfaatan Radio
Kulni Dalam Latihan
Berbicara
5 Praktik menulis di
Blog dan Belajar
Desain Grafis

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 139


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

RENCANA TINDAK LANJUT


Nama Pesantren: Pondok Modern Nur El-Qolam
Nama Penyusun: 1. Ustad Irham Bayquni Ansori
2. Ustad Agus Setiawan
3. Ustadzah Nuni Tuswijayani

Oktober November
No Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4
1 Pembentukan Tim
Penggerak Literasi
Pesantren
2 Penerapan Kegiatan
Membaca Buku Non-
Pelajaran Selama 15
Menit Sebelum
Pelajaran Pertama
Dimulai
3 Mengadakan Pekan
Bahasa
4 Publing Speaking dan
Training Motivasi
5 Pembuatan Mading
dan Saung Membaca

RENCANA TINDAK LANJUT


Nama Pesantren: Pondok Pesantren Modern Fathi Qalbi

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 140


Pendampingan Penyusunan Program Literasi Digital
Bagi Ustadz/Ustadzah di Pondok Pesantren Modern di Provinsi Banten

Nama Penyusun: 1. Ustadzah Widian Sri Rahayu


2. Ustadzah Miftah Aulia Utami
3. Ustadzah Nur Humais

Oktober November
No Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4
1. Pembentukan Tim
Penggerak Literasi
Pesantren
2 Penerapan Kegiatan
Membaca Buku Non-
Pelajaran Selama 15
Menit Sebelum
Pelajaran Pertama
Dimulai
2 Melakukan
Kunjungan Ke
Perpustakaan Daerah
3 Mengundang
Perpustakaan
Keliling
4 Pelatihan Menulis
Cerpen
5 Kegiatan Bengkel
Membaca

Yayu Heryatun & Tri Ilma Septiana 141

Anda mungkin juga menyukai