Anda di halaman 1dari 58

BAGIAN IKM- IKK LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN Oktober 2021


UNIVERSITAS HALU OLEO

TULI SENSORINEURAL AKIBAT KEBISINGAN PADA


PEKERJA PLN DI WUA-WUA KOTA KENDARI

Oleh :

Muhammad Nur Rafiq Al ashar, S.Ked K1B120073

Andi Sayyed Arham Putra DaengNyonri,S.Ked K1B121063

Puji Lestari, S.Ked K1B121066

Andi Batari Aliyah Dinah Pasilong, S.Ked K1B120022

PEMBIMBING:
dr. Arimaswati, M. Sc.

LABORATORIUM KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN


MASYARAKAT DAN KEDOKTERAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Muhammad Nur Rafiq Al ashar, S.Ked K1B120073


Andi Sayyed Arham Putra DaengNyonri,S.Ked K1B121063
Puji Lestari, S.Ked K1B121066
Andi Batari Aliyah Dinah Pasilong, S.Ked K1B120022

Judul Laporan : Tuli Sensorineural Akibat Kebisingan Pada Pekerja PLN di


Wua-Wua Kota Kendari
Fakultas :Kedokteran

Telah menyelesaikan tugas Laporan Kasus Kedokteran Okupasi dalam rangka


kepanitraan klinik pada Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran
Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Oktober 2022


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Arimaswati, M. Sc.


NIP. 19821213009122003

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan laporan
kasus ini dengan baik. Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas
limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran,
sehinggapenulismampuuntukmenyelesaikanpembuatanlaporankasusinisebagai
tugas dalam rangka menyelesaikan stase ilmu kesehatan masyarakat dan ilmu
kedokteran komunitas dengan judul “Tuli Sensorineural Akibat Kebisingan
Pada Pekerja PLN di Wua-Wua Kota Kendari”
Penulis tentu menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.
Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk laporan
kasusini,supayanantinyadapatmenjadilebihbaiklagi.Kemudianapabilaterdapat
banyak kesalahan pada laporan ini penulis mohon maaf yangsebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak khususnya
kepada dosen pembimbing kami yang telah membimbing dalam penulisan laporan
kasus ini.Demikian, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat. Terimakasih.

Kendari, April 2021

Tim Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMANJUDUL..........................................................................................i
HALAMANPENGESAHAN...........................................................................ii
KATA PENGANTAR.....................................................................................iii
DAFTAR ISI....................................................................................................iv
DAFTAR TABEL............................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................3
C. Tujuan..................................................................................................3
D. Manfaat................................................................................................3
BAB IITINJAUAN PUSTAKA.......................................................................4
A. Gangguan pendengaran akibat bising ................................................4
B. Penyakit Akibat Kerja.........................................................................17
BAB III LAPORAN KASUS..........................................................................20
A. IdentitasPasien....................................................................................20
B. Anamnesis Pasien...............................................................................20
C. Anamnesis Okupasi............................................................................21
D. Pemeriksaan Fisik...............................................................................22
E. Pemeriksaan Penunjang......................................................................24
F. Resume................................................................................................24
G. Diagnosis Okupasi..............................................................................25
H. Penatalaksanaan..................................................................................27
I. Prognosis.............................................................................................27

BABIVPEMBAHASAN..................................................................................28
BAB VPENUTUP............................................................................................33
A. Simpulan.............................................................................................33
B. Saran...................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................34

iv
DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Judul Tabel Halaman


Tabel 1 Bahaya Potensial di Lingkungan Kerja Pasien 22
Tabel 2 Langkah Diagnosis Okupasi 25
Tabel 3 Hubungan Pajanan Dengan Low Back Pain pada 28
Kasus

v
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit akibat kerja merupakan suatu penyakit yang diderita pekerja dalam

hubungan dengan kerja, baik faktor risiko karena kondisi tempat kerja, peralatan kerja,

material yang dipakai, proses produksi, cara kerja, limbah perusahaan dan hasil

produksi. Salah satu penyakit akibat kerja yang menjadi masalah kesehatan adalah tuli

akibat kebisingan.

Kebisingan merupakan suara yang tidak dikehendaki yang dapat mengganggu

dan atau dapat membahayakan kesehatan. Pengaruh bising pada kesehatan berupa

gangguan pendengaran dan gangguan bukan pendengaran (Suma‟mur, 2013).

Pendengaran akibat terpapar oleh suara yang bising atau Noise Induced Hearing Loss

(NHL) merupakan salah satu penyakit akibat kerja paling banyak dijumpai di

perusahaan. Noise Induced Hearing Loss dalam bahasa Indonesia disebut Tuli Akibat

Bising (TAB). TAB adalah kelainan atau gangguan pendengaran berupa penurunan

fungsi indera pendengaran akibat terpapar oleh bising dengan intensitas yang berlebih

terus menerus dalam waktu lama (Rotinsulu, 2008 dalam Lianasari, 2010).

Pada tahun 2001 WHO mneyatakan bahwa secara global penderita gangguan

pendengaran di seluruh dunia mencapai 222 juta jiwa usia dewasa, di Amerika lebih

dari 35 juta jiwa pada usia 18 tahun ke atas mengalami gangguan pendengaran dan

semakin parah dengan bertambah usianya. Penelitian yang dilakukan di India

menyatakan dari 50 pekerja yang terpajan kebisingan, terdapat 80% pekerja mengalami

2
kehilangan pendengaran pada frekuensi kurang dari 4000Hz (speech frequency) dan

90% pekerja pada frekuensi 4000 Hz (Tekriwal, 2011 dalam Kusumawati, 2012). Di

Indonesia, permasalahan bising termasuk dalam permasalahan yang cukup besar di

dunia industri. Hal ini bisa kita lihat dari besarnya prevalensi kejadian penurunan

pendengaran akibat pajanan bising di tempat kerja. Di perusahaan plywood, pajanan

bising yang diterima pekerja berkisar 86,1- 108,2 dB dengan prevalensi NIHL sebesar

31,81 % (Tana dalam Akbar, 2012).

Gangguan pendengaran yang tidak dikoreksi dapat menimbulkan penurunan

kualitas hidup, isolasi diri, penurunan kegiatan sosial dan perasaan seperti tidak

diikutsertakan, yang dapat meningkatkan prevalensi gejala depresi (Arlinger S, 2003).

Gangguan pendengaran akibat bising menurut beberapa penelitian dipengaruhi oleh

beberapa faktor seperti intensitas kebisingan, durasi paparan, area tempat kerja, dan

penggunaaan alat pelindung diri (Arini EY, 2005). Kebisingan yang sangat kuat lebih

besar dari 90 dB dapat menyebabkan gangguan fisik pada organ telinga (Mukono J,

2002). Seseorang yang telah bekerja di lingkungan bising lebih dari lima tahun

memiliki kemungkinan lebih besar terkena penyakit tuli syaraf koklea yang tidak dapat

disembuhkan (Soepardi & Iskandar, 2003). Proses mekanisasi dan pekerjaan di ruang

terbatas juga dapat menyebabkan tingkat kebisingan yang tinggi.

PT.PLN adalah badan usaha milik negara bertugas dalam menyediakan

pemenuhan listrik kepada masyarakat. Namun, mesin-mesin menimbulkan suara bising

yang dapat memberikan efek merugikan pada tenaga kerja, terutama indera

pendengaran dan gangguan emosional.

3
B. RumusanMasalah
1. Bagaimana mengidentifikasi kebisingan pada pekerja PT.PLN di Wua-Wua
Kota Kendari?

2. Apakah rencana penatalaksanaan jika terjadi kebisingan pada pekerja


PT.PLN di Wua-Wua Kota Kendari?
C. Tujuan
1. mengidentifikasi kebisingan pada pekerja PT.PLN di Wua-Wua Kota
Kendari?

2. Mengetahui rencana penatalaksanaan jika terjadi kebisingan pada pekerja


PT.PLN di Wua-Wua Kota Kendari?

D. Manfaat
Adapun manfaat penulisan laporan ini adalah :
1. Manfaat Bagi Penulis
a. Menambah pengetahuan penulis tentang kedokteran okupasi
b. Mampu melakukan penilaian bahaya potensial dan mampu melakukan
pendekatan diagnosis penyakit akibat kerja(PAK)
2. Bagi TenagaKesehatan
Sebagai bahan masukan kepada tenaga kesehatan agar memberikan
penanganan kepada yang mengalami kebisingan secara holistik, terpadu,
paripurna dan berkesinambungan serta mempertimbangkan diagnosis
penyakit akibat kerja dan tatalaksana medis dan okupasi.
3. Bagi Pasien
a. Memberikan informasi kepada pasien tentang penyakit yang dialami
b. Mengetahui bahaya potensial yang dapat terjadi di lingkungan kerja.

4
4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuli Sensorineural

1. Definisi

Tuli sensorineural atau Sensorineural Hearing Loss (SNHL) adalah

gangguan pendengaran pada subjek yang disebabkan kerusakan saraf pendengaran

akibat bising kerja, didiagnosis berdasarkan pemeriksaan audiometri.

2. Epidemiologi

Menurut hasil penelitian oleh WHO pada tahun 2021 bahwa terdapat 430

juta orang di dunia mengalami gangguan pendengaran atau tuli. Dari data

tersebut dapat disimpulkan bahwa 5,3% populasi di seluruh dunia menderita

tuli. Telah diperkirakan bahwa pada tahun 2050 populasi penderita tuli akan

akan mencapai 700 juta orang atau 1/10 orang akan mengalami gangguan

pendengaran akibat bertambah tua, pemeriksaan yang tidak dilakukan

dengan baik, hingga akses ke pelayanan yang belum optimal.

Tuli atau gangguan pendengaran masih menjadi masalah kesehatan dan

mendapat perhatian baik dari pemerintah maupun dari masyarakat di

Indonesia. Indonesia masuk kedalam peringkat keempat di Asia Tenggara

dengan angka prevalensi tuli tertinggi. Berdasarkan data yang didapatkan

dari Litbang Depkes terdapat 9 provinsi di Indonesia dengan angka

prevalensi tuli pada penduduk usia lebih dari 5 tahun yang telah melebihi
5
angka nasional (2,6%), yaitu di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,

Sulawesi Barat, Jawa Timur, Maluku Utara, Sumatra Selatan, Sulawesi

Selatan, Jawa Tengah, Lampung dan Nusa Tenggara Timur. Menurut hasil

Riskesdas tahun 2013, menunjukkan bahwa penduduk Indonesia yang

berusia 5 tahun ke atas sebanyak 2,69% mengalami tuli.

3. Faktor Risiko

Menurut Andini (2015) faktor risiko LBP disebabkan oleh kombinasi

berbagai faktor, yang dapat digolongkan atas tiga faktor,y aitufaktorindividu,

faktor pekerjaan dan faktorlingkungan.

a) Faktor Individu

1) Usia

Pertambahan usia pada manusia akan meningkatkan kemungkinan terjadinya

degenerasi yang semakin tinggi sehingga fungsinya akan menurun termasuk

pada organ pendengaran. Khususnya pada telinga bagian dalam, terjadi

perubahan pada bagian sensor saraf, pembuluh darah, jaringan penunjang

maupun sinaps saraf. Organ corti merupakan bagian dari koklea yang paling

rentan terhadap perubahan akibat proses degenerasi yang biasa terjadi pada

sel-sel rambut luar. Hal inilah yang menyebabkan gangguan pendengaran pada

seseorang dengan usia di atas 40 tahun khususnya jenis gangguan pendengaran

sensorineural.

2) Hipertensi

Hipertensi pada seseorang dapat menyebabkan penurunan aliran darah

kapiler dan transpor oksigen pada organ pendengaran. Hal tersebut

mengakibatkan terjadinya kerusakan sel-sel auditori dan proses transmisi

sinyal yang dapat menimbulkan penurunan pendengaran di telinga bagian


6
dalam. Hipertensi yang berlangsung lama dapat memperberat tahanan vaskuler

yang mengakibatkan disfungsi sel endotel pembuluh darah. Patogenesis sistem

sirkulatorik dapat terjadi pada pembuluh darah organ telinga dalam disertai

peningkatan viskositas darah, penurunan aliran darah kapiler dan transpor

oksigen. Akibatnya terjadi kerusakan sel-sel auditori, dan proses transmisi

sinyal yang dapat menimbulkan gangguan komunikasi.

3) Diabetes Melitus

Tuli sensorineural pada penderita DM akibat terjadinya mikroangiopati pada

telinga bagian dalam terutama organ korti yang menimbulkan atrofi dan

berkurangnya sel rambut. Serta, neuropati yang terjadi akibat mikroangiopati

pada vasa nervosum nervus VIII dan vasa ligamentum spirale yang berakibat

atrofi pada ganglion spiral dan demielinisasi serabut saraf ke VIII. Tuli

sensorineural yang dialami oleh penderita DM Tipe-2 biasanya bersifat

progresif bilateral.

4) Hiperkolesterolemia

Hal ini terjadi karena koklea sangat peka terhadap perubahan suplai darah,

sehingga bila terjadi trombosis, embolus, vasospasme, hipoksia maupun

penurunan aliran darah pada koklea, akan terjadi kompromi vaskular yang

menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural. Sistem pendengaran yang

sangat rentan terhadap insufisiensi vaskular dan sistem pendengaran memiliki

vaskularisasi terbesar dari semua bagian sistem saraf pusat, sehingga bila

terjadi perubahan suplai darah akan menyebabkan gangguan pendengaran

sensorineural bilateral. Hiperkolesterolemia menyebabkan terbentuknya plak

aterosklerotik yang mengakibatkan penyempitan dinding pembuluh darah dan

memicu stenosis arteri spiral modiolar sehingga terjadi obstruksi aliran darah,

sehingga menurunkan transpor oksigen akan mengakibatkan iskemia koklea


7
dan menyebabkan gangguan pendengaran.

b) Faktor Pekerjaan

1) Masa Kerja

Masa kerja adalah faktor yang berkaitan dengan lamanya seseorang bekerja di suatu

tempat. Terkait dengan hal tersebut, tuli sensorineural merupakan penyakit kronis

yang membutuhkan waktu lama untuk berkembang dan bermanifestasi. Jadi semakin

lama waktu bekerja atau semakin lama seseorang terpajan faktor risiko ini maka

semakin besar pula risiko untuk mengalami tuli sensorineural.

2) Intensitas Kebisingan

Hal ini terjadi karena perubahan ambang dengar yang diakibatkan oleh

paparan bising terjadi berawal dari beradaptasinya telinga yang terpapar oleh

bising. Pada pemaparan awal, akan terjadi kenaikan ambang pendengaran

sementara yang secara perlahan akan kembali seperti semula. Keadaan ini

berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam bahkan sampai beberapa

minggu setelah pemaparan. Kenaikan ambang pendengaran sementara ini mula

mula terjadi pada frekuensi 4000 Hz, tetapi bila pemaparan berlangsung lama

maka kenaikan nilai ambang pendengaran sementara akan menyebar pada

frekuensi sekitarnya. Makin tinggi intensitas dan lama waktu pemaparan

makin besar perubahan nilai ambang pendengarannya. Respon tiap individu

terhadap kebisingan tidak sama tergantung dari sensitivitas masing-masing

individu. Apabila seseorang terpapar intensitas kebisingan yang tinggi dan

secara terus menerus, maka akan terjadi kenaikan ambang pendengaran yang

akan bersifat permanen dan tidak dapat disembuhkan (pulih). Frekuensi

pendengaran yang mengalami penurunan intensitas adalah antara 3000 – 6000

Hz dan kerusakan organ corti untuk reseptor bunyi yang terberat terjadi pada

frekwensi 4000 Hz (4 K notch).


8
Tuli akibat bising mempengaruhi organ Corti di koklea terutama sel-sel

rambut. Daerah yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar yang

menunjukkan adanya degenerasi yang meningkat sesuai dengan intensitas dan

lama paparan. Stereosilia pada sel-sel rambut luar menjadi kurang kaku

sehingga mengurangi respon terhadap stimulasi. Dengan bertambahnya

intensitas dan durasi paparan akan dijumpai lebih banyak kerusakan seperti

hilangnya stereosilia.

4. Klasifikasi Derajat Kurang Pendengaran WHO 2008

Tabel 1. Derajat Kurangnya Pendengaran berdasarkan WHO 2008

9
5. Patofisiologi

Pertama-tama, daun telinga akan menangkap energi bunyi dalam bentuk

gelombang, gelombang tersebut akan menggetarkan membran timpani yang berada

di dalam telinga tengah. Tulang maleus yang berhubungan langsung dengan bagian

tengah dari membran timpani nantinya juga akan menjadi ikut bergetar. Getaran

tersebut disalurkan ke tulang inkus dan tulang stapes. Getaran pada tulang stapes

menyebabkan bergeraknya tingkap lonjong, yang menyebabkan perilimfa pada skala

vestibuli menjadi ikut bergerak. Getaran diteruskan melalui membran Reissner lalu

mendorong endolimfa, sehingga menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris

dan membran tektoria.

Seluruh proses ini disebut sebagai rangsang mekanik yang menimbulkan

defleksi dari stereosilia sel-sel rambut, membuka kanal-kanal ion, dan pelepasan ion

bermuatan listrik dari badan sel. Terjadinya proses depolarisasi pada sel-sel rambut

stereosilia akan menyebabkan terlepasnya neurotransmiter ke dalam sinaps, sehingga

menimbulkan aksi potensial pada saraf auditorius. Aksi potensial tersebut nantinya

akan dilanjutkan hingga nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran yang

terletak pada area 39 hingga 40 di lobus temporalis otak.

Tuli sensorineural terjadi hambatan pada transmisi setelah melalui koklea.

Gangguan tersebut dapat terjadi pada koklea itu sendiri, saraf vestibulokoklearis,

atau jalur persarafan dari telinga ke otak. Akibatnya, otak tidak dapat menangkap

dan mengintepretasikan gelombang suara yang ditransmisikan. Gangguan ini dapat

disebabkan oleh berbagai etiologi dan faktor-faktor yang merusak sel rambut pada

koklea atau merusak saraf vestibulokoklearis (N.VIII).

10
6. Diagnosis

a) Anamnesis

1) Identitatas Pasien ( Nama, Usia, Alamat, Pekerjaan)

2) Keluhan Utama

Keluhan yang dirasakan pasien atau keluarga sangat mengganggu sehingga

mendorong pasien atau keluarga mencari pertolongan atau nasehat medik.

3) Onset dan perjalanan penyakit

• Sudah berapa lama terjadi?

• Apakah sebelumnya pernah mengalami keluhan yang sama?

• Apakah keluhan hilang timbul?

• Apa pemicunya bila kambuh?

• Apakah keluhan bertambah bila bekerja?

• Apakah keluhan berkurang pada saat istirahat kerja, cuti, hari libur?

• Apakah pernah mengalami trauma sebelumnya?

• Pertanyaan lain yang relevan

4) Riwayat penyakit dahulu (riwayat trauma pada area pergelangan tangan,

infeksi, dll yang terkait), riwayat penyakit yang seperti DM, rheumatoid

arthritis, hipotiroid, kehamilan, kelainan anatomis, stress dll.

5) Riwayat penyakit keluarga yang mungkin terkait dengan diagnosis klinis

6) Ada tidaknya anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama

7) Riwayat hobi/kebiasaan yang mungkin terkait dengan diagnosis klinis seperti

gerakan-gerakan repetitive yang dilakukan atau tekanan pada pergelangan

tangan, atau ada pajanan vibrasi yang berulang, dll

8) Riwayat okupasi

Jenis pekerjaan: Pekerja tambang mangan seperti menghaluskan bijih, memilih bijih,
11
menampi dan mengayak bijih.

a) Uraian tugas yang dilakukan setiap hari, maupun berkala

b) Riwayat pekerjaan dan pajanan di tempat kerja, terutama terkait dengan

pajanan bahan kimia dalam bentuk debu, uap, uap logam, gas, larutan,

kabut, partikel nano dan lain-lain, terutama diamati pada penambang,

tukang las, peleburan, pekerja diproduksi baterai sel kering, pabrik baja

ferroalloy, industri manufaktur kaca dan keramik, dan industri korek api

dan kembang api.

c) Gambaran pekerjaan, alat dan proses kerja

d) Gambaran lingkungan kerja tempat pekerjaan dilakukan, seperti adanya

faktor stressor psikososial, target produksi yang tinggi, stress mental

e) Riwayat kecelakaan kerja yang mengenai kepala

f) Adakah rekan kerja yang mengalami keluhan yang sama?

Adakah pekerjaan sampingan dengan pejanan bahan kimia seperti tersebut

di atas yang dapat menimbulkan gejala klinis yang sama?

b) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada pasien tuli yakni berupa pemeriksaan umum pada

kedua telinga, disertai tes pendengaran untuk menentukan jenis tuli. Pada

dasarnya pemeriksaan umum pada telinga hanya dapat melihat bagian telinga luar

hingga bagian tengah, sehingga pemeriksaan secara umum sangat berperan dalam

diagnosis tuli konduktif. Sedangkan pada tuli sensorineural biasanya tidak

menunjukkan adanya kelainan pada bagian telinga luar maupun tengah, karena

permasalahannya terletak pada telinga bagian dalam. Pemeriksaan umum pada

telinga meliputi pemeriksaan bentuk daun telinga dan liang telinga, serta

pemeriksaan menggunakan otoskop.

12
1) Pemeriksaan Bentuk Daun Telinga dan Liang Telinga

Pemeriksaan bentuk daun telinga dan liang telinga dilakukan untuk melihat

adanya mikrotia atau atresia liang telinga, serumen atau benda asing yang

menutupi liang telinga, penyempitan pada liang telinga, sekret pada liang

telinga, osteoma pada liang telinga, dan kolesteatoma.

2) Pemeriksaan Otoskop

Pemeriksaan otoskop dilakukan untuk melakukan pemeriksaan pada membran

timpani. Hal-hal yang perlu diperiksa pada pemeriksaan otoskop adalah

sebagai berikut:

 Melakukan pemeriksaan terhadap membran timpani: apakah terdapat

retraksi atau penonjolan

 Warna membran timpani, apakah terdapat perubahan warna

 Kejernihan membran timpani, yakni dapat dilakukan melalui

pemeriksaan refleks cone

 Keutuhan membran timpani (untuk melihat perforasi)

3) Tes Pendengaran Beserta Interpretasinya

Tes pendengaran sangat penting dilakukan pada penderita tuli, karena tes

pendengaran dapat membantu dokter untuk membedakan apakah pasien

menderita tuli konduktif atau sensorineural. Tes pendengaran yang dilakukan

pada praktik sehari-hari adalah tes garpu tala berupa tes Rinne dan tes Weber.

Selain kedua tes tersebut, terdapat tes lain seperti tes berbisik yang juga dapat

dilakukan untuk menilai derajat ketulian secara kasar.

13
Tabel 2. Interpretasi Tes Garpu Tala

c) Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk membantu dalam

mendiagnosis tuli yakni berupa pemeriksaan audiometri, timpanometri dan emisi

otoakustik. Audiometri sendiri terdiri dari berbagai macam jenis, namun yang

paling sering dilakukan yakni audiometri nada murni, audiometri tutur dan evoked

response audiometry.

1) Audiometri Nada Murni

Pemeriksaan ini hanya dapat dilakukan pada orang dewasa atau anak-anak

yang minimal berusia 4 tahun atau sudah dapat mengikuti instruksi dan

14
bersikap kooperatif. Pemeriksaan ini akan memberikan hasil yang bernama

audiogram dan pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan alat yang

bernama audiometer. Pada hasil dari audiogram, dapat ditemukan grafik AC

(konduksi udara) dan grafik BC (konduksi tulang). Berikut ini adalah hasil

interpretasi dari audiometri.

 Pada tuli konduktif, hasil audiogram akan menunjukkan grafik BC

berada pada garis normal (0 – 25 dB) sedangkan grafik AC turun

hingga lebih dari 25 dB. Diantara grafik AC dan BC harus terdapat gap

sebesar 10 dB.

 Pada tuli sensorineural, hasil audiogram akan menunjukkan grafik BC

dan AC turun lebih dari 25 dB dan diantara kedua grafik tidak ada gap.

 Pada tuli campuran, hasil audiogram akan menunjukkan grafik BC

turun lebih dari 25 dB, grafik AC turun lebih besar dari grafik BC, dan

terdapat gap diantara keduanya.

Terdapat 5 derajat ketulian berdasarkan ambang pendengaran (dalam desibels /

dB) yang ditetapkan oleh American National Standards Institute, yakni sebagai

berikut.

 Derajat 0 (Normal): 0 – 25 dB

 Derajat 1 (Ringan): 26 – 40 dB

 Derajat 2 (Sedang): 41–55 dB

 Derajat 3 (Sedang-Berat): 56–70 dB

 Derajat 4 (Berat): 71–90 dB

15
 Derajat 5 (Sangat Berat): lebih dari 90 dB

2) Audiometri Tutur

Pemeriksaan ini menggunakan kata-kata yang sudah disusun dalam suku kata

dan berada dalam daftar yang disebut Phonetically balance word LBT. Pasien

kemudian diminta untuk mengulangi kata-kata yang didengar melalui kaset

yang disediakan oleh pemeriksa. Berikut ini adalah interpretasi dari hasil

pemeriksaan audiometri tutur (berdasarkan jumlah kata yang betul disebutkan

oleh pasien).

 Pendengaran normal: 90-100%

 Tuli ringan: 75 – 90 %

 Tuli sedang: 60 – 75%

 Tuli berat: dibawah 50%

3) Evoked Response Audiometry

Pemeriksaan evoked response audiometry atau yang lebih dikenal dengan

nama brainstem evoked response audiometry/ BERA, merupakan suatu

pemeriksaan yang digunakan untuk menilai fungsi pendengaran dan fungsi

nervus VIII. Pemeriksaan ini lebih direkomendasikan untuk bayi, anak-anak,

cacat, dan penurunan kesadaran. Prinsip kerjanya yakni dengan cara

memberikan rangsang bunyi, lalu merekam potensial listrik yang dikeluarkan

oleh sel koklea selama menempuh perjalanan yang dimulai dari telinga dalam

hingga mencapai nukleus-nukleus yang terletak pada batang otak. Setiap

adanya keterlambatan waktu dalam mencapai masing-masing nukleus di otak

16
menandakan adanya suatu kelainan.

4) Timpanometri

Timpanometri dilakukan untuk menilai telinga tengah. Hasil gambaran

timpanometri yang menunjukkan adanya kelainan seperti cairan dan tekanan

negatif pada telinga tengah, pemeriksaan ini sangat bermakna untuk

menentukan tuli konduktif.

5) Emisi Otoakustik (Otoacoustic Emission/ OAE)

Pemeriksaan OAE adalah pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai

fungsi koklea yang bersifat objektif, yakni dengan memasukkan sumbat telinga

ke dalam liang telinga, di dalam sumbat telinga tersebut terdapat mikrofon

beserta pengeras suara yang akan memberikan sebuah stimulus suara. Dalam

merespon stimulus suara, koklea akan menghasilkan suara pula, yang nantinya

akan ditangkap oleh mikrofon, dan dicatat oleh sumbat telinga.

7. Penatalaksanaan

a) Terapi Medikamentosa

Penyebab tuli sensorineural yang dapat diberikan medikamentosa adalah:

 Tuli yang disebabkan oleh penyakit autoimun: berikan prednisolon oral

disertai metotreksat dosis rendah

 Penyakit Meniere: berikan diuretik kombinasi antara hidroklorotiazid dan

triamterene. Selain itu dapat juga menggunakan acetazolamide,

spironolactone, dan furosemide

b) Terapi Pembedahan

Berikut ini adalah beberapa penyakit atau penyebab tuli sensorineural yang

17
membutuhkan terapi pembedahan, seperti fistula perilimfa melalui operasi

reparasi fistula, trauma kepala atau fraktur tulang temporal dan tumor akustik.

Terapi pembedahan lainnya yang juga dapat dilakukan untuk kasus-kasus tuli

sensorineural yang tidak dapat dibantu dengan alat bantu dengar adalah

pemasangan implan koklear.

c) Terapi Suportif

Terapi suportif pada penderita tuli yang dapat dilakukan yakni berupa

rehabilitasi audiologi.

1) Rehabilitasi Audiologi

Rehabilitasi audiologi bertujuan untuk meningkatkan kemampuan

mendengar atau meringankan gangguan pendengaran untuk pasien, yakni

dengan memilih alat bantu dengar yang sesuai dan tepat, terapi komunikasi

seperti cara membaca gerakan bibir, hingga cara komunikasi lainnya seperti

bahasa isyarat. Hal ini sangat diperlukan terutama bagi anak-anak, karena tuli

dapat menyebabkan anak mengalami gangguan kemampuan dalam berbicara

dan berbahasa.

2) Alat Bantu Dengar

Penggunaan alat bantu dengar harus disesuaikan dengan derajat keparahan

tuli yang terjadi serta kondisi-kondisi lainnya yang dapat dilihat pada

penjelasan berikut:

 Alat di dalam telinga (in-the ear/ ITE): Digunakan pada gangguan

pendengaran derajat ringan hingga berat, dan tidak direkomendasikan

untuk anak-anak, karena diletakkan di luar atau cuping telinga (bentuk

telinga anak-anak masih dalam masa pertumbuhan)

 Alat di dalam liang telinga (in the canal/ ITC): Digunakan pada

gangguan pendengaran derajat ringan hingga sedang, dan digunakan


18
pada orang dewasa, dapat dimodifikasi sesuai dengan ukuran liang

telinga pasien

 Sepenuhnya di dalam telinga (completely in the canal/ CIC):

Digunakan pada gangguan pendengaran derajat ringan hingga sedang

pada orang dewasa, jenis alat bantu dengar dengan ukuran paling kecil

dan tidak terlihat mencolok

 Di belakang telinga (behind the ear/ BTE): Dapat digunakan pada

gangguan pendengaran derajat ringan hingga berat pada segala umur

 Speaker atau receiver di dalam liang telinga: Hampir serupa dengan

jenis alat bantu dengar BTE namun bentuknya lebih kecil

B. Penyakit AkibatKerja

1. Definisi

Penyakit akibat kerja merupakan suatu penyakit yang diderita pekerja

dalam hubungan dengan kerja, baik factor risiko karena kondisi tempat

kerja, peralatan kerja, material yang dipakai, proses produksi, cara kerja

(Andini, 2015).

2. Pencegahan

Pencegahan yang dilakukan harus berdasarkan 5 Level of Pevention yang

dibuat oleh Level and Clark. Saat ini penggolongannya dimodifikasi

menjadi (Soemarko, 2012):

a) PencegahanPrimer

Prinsip dari pencegahan ini adalah mencoba meningkatkan daya tubuh

pekerja, dengan Health Promotion. Kegiatan yang dilakukan antara lain

n
penyuluhan tentang perilaku kesehatan, faktor bahaya ditempat kerja da 23

19
perilaku kerja yang baik. Kegiatan yang lain adalah olahraga dan makan

dengan gizi yang seimbang (Soemarko, 2012).

b) Pencegahan Sekunder

Prinsip dari pencegahan ini adalah mencoba mengurangi kontak

pajanan dengan tubuh atau mengurangi masuknya pajanan kedalam

tubuh, dengan Specific Protection. Kegiatan yang dilakukan adalah

pengendalian teknik seperti melakukan substiusi pajanan, isolasi pajanan,

membuat ventilasi ruang kerja yang sesuai. Setelah itu ada pengendalian

administrasi yang kegiatannya dengan melakukan aplikasi perundang-

undangan dan peraturan yang terkait dengan kesehatan dan keselamatan

kerja serta ketenaga kerjaan. Pengendalian administrasi juga dapat

dilakukan dengan membuat aturan internal di tempat kerja seperti dengan

membuat aturan rotasi dan pembatasan jam kerja.

Khusus untuk pelayanan kesehatan, pengendaliannya antara lain

dengan melakukan kegiatan imunisasi. Penggunaan alat pelindung diri

merupakan salah satu cara untuk mengurangi jumlah pajanan yang masuk

ke dalam tubuh pekerja. Alat pelindung diri yang dipilih harus sesuai

dengan cara masuk pajanan ke dalam tubuh, dan alat pelindung diri harus

nyaman dipakai. Ingat, alat pelindung diri harus digunakan oleh diri

sendiri, bukan untuk bersama-sama (Soemarko, 2012).

3. Diagnosis

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2016)

diagnosis penyakit akibat kerja dilaksanakan dengan pendekatan 7 (tujuh)

langkah yang meliputi :

20
a) Penegakan diagnosis klinis

b) Penentuan pajanan yang dialami pekerja di tempatkerja

c) Penentuan hubungan antara pajanan denganpenyakit

d) Penentuan kecukupanpajanan

e) Penentuan faktor individu yangberperan

f) Penentuan faktor lain di luar tempatkerja

g) Penentuan diagnosis okupasi.

4. Tata Laksana

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2016)

tatalaksana penyakit akibat kerja secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu

tata laksana medis dan tata laksana okupasi.

a) Tata Laksana Medis

Tata laksana medis dilakukan setelah diagnosis klinis pada langkah

pertama diagnosis penyakit akibat kerja ditegakkan. Tata laksana medis

berupa rawat jalan dan/atau rawat inap yang dapat dilakukan di fasilitas

pelayanan kesehatan dilakukan oleh dokter sesuai dengan

kompetensinya. Terapi yang diberikan berupa medikamentosa dan/atau

21
non medikamentosa seperti edukasi, exercise, fisioterapi, konseling,

psikoterapi dan nutrisi. Rujukan klinis dilakukan apabila diagnosis klinis

belum dapat ditegakkan karena:

1) Timbul keraguan dari dokter yang melakukanpemeriksaan

2) Sumber daya manusia, sarana, dan prasarana yang tidakmemadai.

b) Tata Laksana Okupasi

Tata laksana okupasi diberikan setelah diagnosis PAK ditegakkan.

Sasaran tata laksana okupasi adalah individu pekerja dan komunitas

pekerja. Tata laksana okupasi pada individu pekerja terdiri dari

penetapan kelaikan kerja, program kembali bekerja dan penentuan

kecacatan.

22
20

BAB III

LAPORANKASUS

A. IdentitasPasien

Nama : TN.Z

Usia : 54 Tahun

Status :Menikah

Pekerjaan : Analisis Integrasi

Pendidikan : SMA

Agama :Islam

Suku :bugis

Tanggal pemeriksaan : 4 Oktober 20222

B. AnamnesisPasien

1. Keluhan Utama:

Penurunan pendengaran pada telinga kiri dan kanan

2. Anamnesis Terpimpin:

Tn.Z datang dengan keluhan pendengaran telinga kanan dan kiri

menurun yang dialami sejak 1 bln yang lalu. Selain itu pasien merasa nyeri

pada kedua telinganya, ada cairan yang keluar berwarna kuning tidak berbau

ini dialami sejak pasien pulang dari kegiatan berenang 1 bulan yang lalu.

Dalam sehari pasien bekerja selama 8 jam diselingi makan dan istrahat pada

jam 12 sampai jam 1 siang


Sebelumnya Pasien juga mengatakan pernah mengalami trauma diwajah

saat bekerja sebegai pengganti panel di PLN, saat bekerja sebegai operator

mesin di PLN pasien jarang menggunakan alat pelindung diri seperti ear

plug. Tidak didapati adanya penyakit atau keluhan yang sama pada orang

tuanya tetapi keluhan yang sama didapati pada anak ke 5 dan ke 6 nya.

Riwayat hipertensi pada pasien sejak 5 tahun yang tidak terkontrol dan

riwayat penyakit lain tidak ada. Riwayat kebiasaan pasien merokok(+),

alkohol(-) sering mengorek telinganya(+), saat muda pasien adalah atlet

boxing.
3. Riwayat Penyakit Dahulu:

Hipertensi(+)

4. Riwayat Penyakit dalam Keluarga :

tidak ada

5. Riwayat Keluarga yang Menderita Penyakit yang Sama :

ada pada anak ke 5 dan ke 6

6. Riwayat Kebiasaan:

riwayat merokok (+), mengkonsumsi alkohol (-), alkohol(-), sering

mengorek telinga(+)

7. Riwayat Pengobatan:

Tidak ada

8. Riwayat Sosial Ekonomi:

Ekonomi keluarga Tn.Z termaksud kategori ekonomi menengah, Tn.Z

tinggal bersama suami dan 6 anaknya. Keuangan keluarga Tn,Z bersumber

dari penghasilannya dan istrinya yang bekerja sebagai IRT. Pembiayaan

kesehatan Tn.Z menggunakan BPJS dan JKN

C. Anamnesis Okupasi

1. Jenis Pekerjaan

Pasien bekerja sebagai analisis integritas di PT.PLN

2. Uraian Tugas

a) Pasien sudah bekerja selama 28 tahun di PT.PLN. kini bekerja sebagai


21
analisis integritas sudah 8 tahun, pasien juga pernah bekerja sebagai

operator mesin selama 20 tahun.

b) Jadwal kerja

Kerja pasien dalam 1 minggu yaitu 6 - 8 jam kerja setiap harinya,

dimulai pukul 07.00 - 15.00. waktu istirahat pasien sekitar pukul 12.00 -

13.00 wita.

22
3. Bahaya Potensial

Tabel 1. Bahaya Potensial Di Lingkungan Kerja Pasien

23
Bahaya Resiko
potensi
al

Daftar fisika Kimia ergonomi Psikologi Gangguan Kecelakaan


Bioloi
kegiatan kesehatan

memantau Sinar - - Duduk dan stress Penurunan Pasien

mesin dan UV,panas berdiri pendengaran, cedera

pegawai dan biisng memantau stress pada wajah

mesin,

mengangkat

panel listrik,

memperbaiki

listrik yang

rusak dijalan-

jalan

Menganalisi Paparan - - Duduk, Kerja Mata kering,

s data sinar radiasi mengetik yang panas

dikomputer komputer Monoton

24
Hubungan Pekerjaan dengan Penyakit yang Dialami

Pasien saat ini bekerja sebagai analisis integritas yang bekerja didepan

komputer sebelumnya pasien bekerja sebagai operator yang

mengharuskannya berada di sekitar mesin selama 6 – 8 jam sehari. Pajanan

bising saat bekerja, lama waktu kerja yang tidak ergonomis yang dilakukan

dalam waktu yang lama dapat berdampak negatif bagi pasien.

D. PemeriksaanFisik

1. KeadaanUmum

Tampak baik, sakit ringan, kesadaran kompos mentis (GCS E4V5M6)

2. Tanda Vital

a) Tekanan darah : 140/80 mmHg

b) Frekuensi nadi :86x/menit

c) Frekuensi napas : 22 x/menit

d) Suhu :36,5oC

e) Berat badan : 64 kg

f) Tinggibadan : 160 cm

g) Indeks massa tubuh : 25 kg/m2 (Obes1)

25
3. StatusGeneralisata

a) Kepala : Normocephal, rambut dalam batasnormal

b) Kulit : Tidak ditemukan kelainan

c) Mata : Pupil isokor

d) Telinga : Otore(+) ADS, tulang intak(-) ADS

e) Hidung : Rinore(-)

f) Mulut : Stomatitis (-), lidah kotor(-)

g) Tonsil :T1/T1

h) Leher : Tidak ada pembesarankelenjar

i) Thorax :

1) Inspeksi : Dada simetris kiri = kanan, retraksi(-),

2) Palpasi : Sela iga kiri=kanan, vocal fremitus normal kiri =kanan

3) Perkusi : Sonor kiri =kanan

4) Auskultasi : Bronchovesikuler, BT : Rhonki -/-; Wheezing :-/-

j) Cor

1) Inspeksi : Ictus cordis tidaktampak

2) Palpasi : Ictus cordis tidakteraba

3) Perkusi :Pekak

a) Batas kiri pada ICS V linea midclavicularissinistra

b) Batas kanan pada ICS IV linea parasternalisdextra

4) Auskultasi : Bunyi Jantung I/II murni regular, murmur(-)

26
k) Abdomen

1) Inspeksi : Tampaknormal

2) Auskultasi : Bising usus kesannormal

3) Palpasi : Nyeri tekan abdomen (-), hepar dan lien tidakteraba

4) Perkusi :Timpani

27
4. Status Neurologis

a) Kekuatan otot

Tn.Z didapatkan tidak ada tahanan gerak dari setiap perlakuan

untuk melihat adanya kelainan pada otot

b) Tes Laseque

Tidak didapatkan nyeri yang menjalar pada bokong hingga tungkai

c) Kernig Sign

Tidak terdapat tahanan sebelum terbentuk sudut 135 derajat antara

tungkai bawah dengan pinggul

E. Pemeriksaan Penunjang

Audiometrik (+) pendengaran di kedua telinga mixed

hearing loss menurun difrekunesi 4000 hz dan .....

F. Resume

Tn.Z merupakan pegawai PT.PLN yang datang dengan keluhan nyeri

pada daerah Tn.Z datang dengan keluhan pendengaran telinga kanan dan

kiri menurun yang dialami sejak 1 bln yang lalu. Selain itu pasien merasa

nyeri pada kedua telinganya, ada cairan yang keluar berwarna kuning tidak

berbau ini dialami sejak pasien pulang dari kegiatan berenang 1 bulan yang

lalu. Dalam sehari pasien bekerja selama 8 jam diselingi makan dan istrahat

pada jam 12 sampai jam 1 siang

28
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital, tekanan darah 140/80

mmhg. Status generelisata didapatkan pada telinga terdapat otore(+) ADS

berwarna kuning dan tidak berbau, tulang intak (-) ADS, Status neurologis

didapatkan dalam batas normal

29
G. Diagnosis Okupasi

Tabel 2. Langkah Diagnosis Okupasi

Langkah Diagnosis

1. Diagnosis klinis tuli senorineural akibat bising

Dasar diagnosis Nyeri pada daerah punggung bawah dan rasa kesemutan

yang menjalar ke kaki. Pada tes laseque didapatkan nyeri (+)

yang menjalar kedaerah lutut pada sudut <70derajat

2. Pajanan di tempatkerja

Fisik : Radiasi Sinar Uv, suhu tinggi

Kimia : -

Biologi : -

Ergonomi : Posisi kerja (bungkuk, berdiri), Mengangkat berat

Psikologi : Pekerjaan yang monoton, dan stress

3. Hubungan SektorPertanianjugadikategorikansebagaipekerjaanyang

pajanan dengansangatberbahayapadaduniakerja.Parapenilititelah

diagnosa klinis

30
membuktikan bahwa pekerjaan pada sektor pertanian yang

melibatkan kerja fisik yang dapat menyebabkan penyakit

musculoskeletal (Kolstrup, 2012). Aktivitas bertani

meningkatkan risiko mengalami nyeri punggung yang

disebabkan oleh gerakan-gerakan selama melakukan aktivitas

tersebut. Para petani cenderung melakukan aktivitas bertani

terus-menerustanpadiselingiwaktuistirahatyangtepat,dimana

pada akhirnya mereka akan mengalami nyeri akut dan akan

menimbulkan rasa tidak nyaman pada bagian tubuh yang


4. Apakah pajanan
berbeda. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa, jenis kelamin
cukup
dan kebiasaan merokok tidak memiliki hubungan dengan

keluhannyeripunggungbawah.Sedangkanumur,IndeksMassa

Tubuh (IMT), serta waktu istirahat memiliki hubungan dengan

keluhan nyeri punggung bawah. Hendaknya perlu dilakukan

penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor lainnya yang

belum pernah diteliti seperti misalnya sikap kerja, dan faktor

lainnya. (Das dkk..2013)

a. Menurut Andini (2015), durasi waktu terpajan faktor

risiko terbagi atas 3 yaitu durasi singkat jika kurang dari 1

jam/hari, durasi sedang 1-2 jam/hari dan durasi lama lebih

2 jam/hari. Durasi terjadinya postur janggal yang berisiko

bila postur dipertahankan selama lebih dari 10detik

b. Menurut hasil penelitian Rinaldi (2015), data hasil

observasi dari 52 responden terdapat 21 responden (40%)

melakukan posisi kerja yang buruk dan pada saat

mengangkatbeban.

31
c. Berdasarkan penelitian Rinaldi (2015), kejadian Low

Back Pain yang diteliti dari 52 orang responden sebanyak

30 responden (57%) yang memiliki risiko tinggi LBP yang

disebabkanolehposisimengangkatbebandanlamajumlah

jam kerja yang melebihi ambang batas yaitu 28,3 kg

permenit.

a. Usia Pasien yang berumur 60 tahun. menurut Anderson


5. Apa ada faktor
(1997), lebih dari 70% manusia dalam hidupya pernah
individu yang
mengalami LBP dengan rata-rata puncak kejadian berusia
berpengaruh
35-55 tahun
terhadap
b.Masakerjayangsudah20tahun.Penelitianyangdilakukan oleh
timbulnya
Umami (2013) bahwa pekerja yang paling banyak
diagnosisklinik
mengalamikeluhanLBPadalahpekerjayangmemilikimasa

kerja >10 tahun dibandingkan dengan mereka dengan masa

kerja < 5 tahun ataupun 5-10tahun.

c. Posisi kerja yang mengangkut barang dan beban yang berat.

Menurut penelitian Adriawan tahun 2015 yang termasuk ke

dalam posisi janggal adalah pengulangan atau waktu lama

dalam posisi menggapai, berputar, memiringkan badan,

berlutut,jongkok,memegangdalamposisistatisdanmenjepit

dengan tangan. Posisi ini melibatkan beberapa area tubuh

seperti bahu, punggung dan lutut karena daerah inilah yang

paling sering mengalamicedera.

32
d.B Berat bahwa seseorang yang overweight lebih berisiko 5 kali

badan menderita LBP dibandingkan dengan orang yang memiliki

tergolong berat badan ideal. Ketika berat badan bertambah, tulang

dalam obes belakang akan tertekan untuk menerima beban yang

2. Hasil membebani tersebut sehingga mengakibatkan mudahnya

penelitian terjadi kerusakan dan bahaya pada stuktur tulang belakang.

Purnamasari Salah satu daerah pada tulang belakang yang paling

(2010) berisikoakibatefekdariobesitasadalahverterbraelumbal.

menyatakan

6. Apa terpajan Tidakada,setelahbekerjaNy.Ssegerahpulangkerumahuntuk istirahat

bahaya potensial

yang sama diluar

tempatkerja?

7. Diagnosis Dari uraian di atas, maka Low Back Pain yang dialami oleh

Okupasi.Apa Ny. S adalah bukan penyakit akibat kerja, dimana selain faktor

diagnosis klinisini

33
termasuk yang berkaitan dengan pekerjaannya, Ny. S memiliki faktor

penyakit akibat individu yang berpengaruh terhadap sakitnya.

kerja?

H. Penatalaksanaan

1. Terapi Non MedikaMentosa

Pasien diminta untuk mengangkat beban dengan cara dan posisi yang

benar serta sering beristirahat saat bekerja.

2. Terapi MedikaMentosa

Asam Mefenamat 500 mg/ 8 jam/oral, dalam penggunaan obat ini perlu

diperhatikan riwayat penyakit asam lambung

3. TerapiOkupasi

a) Pengurangan waktu kerja menjadi 4-6 jamperhari

b) Penggunaan bajupengaman

c) Melakukan peregangan setelahbekerja

d) Istirahat yang cukup

I. Prognosis

34
1. Advitam : Ad Bonam

2. Ad functionam : AdBonam

3. Ad sanationam : AdBonam

35
28

BAB III

PEMBAHASAN

A. Hubungan Pajanan dengan Low Back Pain pada Kasus

Tabel 3. Hubungan Pajanan Dengan Low Back Pain Pada Kasus

Teori Kasus

 Low back pain atau nyeri punggung pertanian tahun 2010 melaporkan

bawah, nyeri yang dirasakan di punggung terdapat 25,7% pekerja yang

bagian bawah, bukan merupakan penyakit mengeluh nyeri punggung bawah

ataupun diagnosis untuk suatu penyakit (Haiou, 2016).

namunmerupakanistilahuntuknyeriyang SementaraitupenelitiandiIndonesiayan

dirasakan di area anatomi yang terkena g dilakukan oleh Kiranjit (2015), dari

dengan berbagai variasi lama terjadinya 70 petani yang diteliti sebanyak 48

nyeri. Nyeri ini dapat berupa nyeri lokal, orang

nyeri radikuler, ataupun keduanya. Nyeri (68,6%)memilikikeluhannyeripunggu

ini terasa diantara sudut iga terbawah ng bawah. Prevalensi penderita

sampailipatbokongbawahyaitudidaerah penyakit muskuloskeletal tertinggi di

lumbal atau lumbo-sakral, nyeri dapat Indonesia menurut pekerjaan dalam

menjalar hingga ke arah tungkai dan kaki. Riset Kesehatan

(Andini,2015) Dasartahun2013adalahpetani,kemudia

 PenelitiandiAmerikaSerikatpadapekerja n di provinsi Sulawesi Utara


terdapat31,2% petani dengan keluhan Ny. S datang dengan keluhan merasakan

yang sama (Trihono, 2013). Selanjutnya nyeri pada daerah pinggang dan

dalam penelitian Gusetoiu (2011) punggung bawah. Keluhan ini sering

menemukan bahwa dari 43.000 pekerja dialami pasien sejak 2 tahun terakhir,

disektor pertanian, 27.000 nyeri pinggang tidak menghilang pada

pekerjamengalami saatistirahat.Saatserangannyeridatang,

pasien merasa pinggang terasa kaku dan

sulit digerakkan. Dalam sehari pasien

dapat bekerja di sawah sekitar 6 – 8 jam

diselingi istirahat makansiang.


keluhan nyeri punggung bawah. (I Gede tersebut menyebabkan stabilitas pada

Purnawinadi, 2019) tulang dan otot menjadi berkurang.

Semakin tua seseorang, semakin


 Prevalensi terjadinya LBP lebih banyak
tinggi risiko orang tersebut tersebut
pada wanita dibandingkan dengan laki-
mengalami penurunan elastisitas pada
laki, beberapa penelitian menunjukkan
tulang yang menjadi pemicu
bahwa wanita lebih sering izin untuktidak
timbulnya gejala LBP. Pada
bekerja karena LBP. Jenis kelamin sangat
umumnya keluhan muskuloskeletal
mempengaruhi tingkat risiko keluhan otot
mulai dirasakan pada usia kerja yaitu
rangka. Hal ini terjadi karena secara
25- 65 tahun. Penelitian yang
fisiologis, kemampuan otot wanita lebih
dilakukan oleh Garg dalam Pratiwi
rendah daripada pria. Berdasarkan
(2009) menunjukkan insiden LBP
beberapa penelitian menunjukkan
tertinggi pada umur 35-55 tahun dan
prevalensi beberapa kasus
semakin meningkat dengan
musculoskeletal disorders lebih tinggi
bertambahnya umur. Hal ini diperkuat
pada wanita dibandingkan pada pria.
dengan penelitian Sorenson dimana
(Andini,2015)
pada

usia35tahunmulaiterjadinyeripunggun
 Sejalan dengan meningkatnya usia akan
g bawah dan akan semakin meningkat
terjadidegenerasipadatulangdankeadaan
pada umur 55 tahun. (Andini,2015).
inimulaiterjadidisaatseseorangberusia

30 tahun. Pada usia 30 tahun terjadi

degenerasi yang berupa kerusakan

jaringan, penggantian jaringan menjadi

jaringan parut, pengurangan cairan. Hal

29
memiliki masa kerja sudah lebih dari 10

tahun.

Faktor Individu yang terdapat pada Ny. S Faktor Perilaku yang terdapat pada Ny.

Merupakan faktor risiko terjadinya LBP S merupakan faktor risiko terjadinya

yaitu berjenis kelamin perempuan, berusia LBP yaitu posisi kerja dan pada saat

60 tahun, memiliki IMT 33,3 kg/m2dan mengangkut barang yang tidak benar.36

30
 Hasil penelitian Purnamasari (2010)

menyatakan bahwa seseorang yang

overweight lebih berisiko 5 kali menderita

LBP dibandingkan dengan orang yang

memiliki berat badan ideal. Ketika berat

badan bertambah, tulang belakang akan

tertekan untuk menerima beban yang

membebani tersebut sehingga

mengakibatkan mudahnya terjadi

kerusakan dan bahaya pada stuktur tulang

belakang. Salah satu daerah pada tulang

belakang yang paling berisiko akibat efek

dari obesitas adalah verterbraelumbal.

 Bekerja dengan posisi janggal dapat

meningkatkan jumlah energi yang

dibutuhkan dalam bekerja. Posisi janggal

dapat menyebabkan kondisi dimana

transfertenagadariototkejaringanrangka

tidak efisien sehingga mudah

menimbulkan kelelahan. Termasuk ke

dalam posisi janggal adalah pengulangan

atau waktu lama dalam posisi menggapai,

berputar, memiringkan badan, berlutut,

31
jongkok, memegang dalam posisi statis

dan menjepit dengan tangan. Posisi ini

melibatkan beberapa area tubuh seperti

bahu, punggung dan lutut karena daerah

inilah yang paling sering mengalami

cedera. (Andini,2015)

 Frekuensi gerakan yang terlampau sering

akan mendorong fatigue dan ketegangan

otottendon.Keteganganotottendondapat

dipulihkanapabilaadajedawaktuistirahat

yang digunakan untuk peregangan otot.

Dampak gerakan berulang akan

meningkat bila gerakan tersebutdilakukan

dengan postur janggal dengan beban yang

berat dalam waktu yang lama. Frekuensi

terjadinya sikap tubuh terkait dengan

berapa kali repetitive motion dalam

melakukanpekerjaan.Keluhanototterjadi

karena otot menerima tekananakibat

32
beban terus menerus tanpa memperoleh

kesempatan untuk relaksasi. (Andini,

2015)

 Frekuensi gerakan yang terlampau sering

akan mendorong fatigue dan ketegangan

otottendon.Keteganganotottendondapat

dipulihkanapabilaadajedawaktuistirahat

yang digunakan untuk peregangan otot.

Dampak gerakan berulang akan

meningkat bila gerakan tersebutdilakukan

dengan postur janggal dengan beban yang

berat dalam waktu yang lama. Frekuensi

terjadinya sikap tubuh terkait dengan

berapa kali repetitive motion dalam

melakukanpekerjaan.Keluhanototterjadi

karena otot menerima tekanan akibat

beban terus menerus tanpa memperoleh

kesempatan untuk relaksasi. (Andini,

2015)

Diagnosis Low Back Pain  Usiapasien.

Anamnesis
 Lokasi, penjalaran, sifat dan intensitas
33
nyeri. Ny. S datang dengan keluhan

merasakan nyeri pada daerah pinggang


 Kapan, lama,saat dan keadaanawitan.
dan punggung bawah. Keluhan ini sering
 Awitan spontan atau berhubungan dengan dialami pasien sejak 2 tahun terakhir,

trauma mayor ataukumulatif. nyeri pinggang tidak menghilang pada

Perjalanan penyakit. saat istirahat. Saat serangan nyeri datang,

 Faktor yang memberatkan atau pasien merasa pinggang terasa kaku dan

meringankannyeri. sulit digerakkan. Dalam sehari pasien

 Bagaimana hubungan dengan gerakan, dapat bekerja di sawah sekitar 6 – 8 jam

istirahat danwaktu. diselingi istirahat makan siang.

Pasien mengatakan tidak ada nyeri


 Gangguan motorik. Bedakan parese dan
saat buang air kecil atau nyeri pinggang
nyeri. Cenderung tersandung atau sulit naik
yang menjalar ke perut dan rasa
tangga mengarahparese.
kesemutan yang menjalar ke kaki. Pasien
 Gangguan sensibilitas. Luas dermatom
juga mengatakan tidak pernah mengalami
yang terkena, uni ataubilateral.
kecelakaan atau trauma sebelum
 Gangguansfingter.
mengalami keluhan ini. Nafsu makan

pasien baik dan tidak terjadi penurunan

berat badan yang bermakna, gejala tidak

disertai dengan demam, mual, muntah,

batuk, kelemahan anggota gerak serta

baal.

34
 Aktivitas harian, pekerjaan, jenis dan RiwayatPenyakitDahulu:mengalami

olahraga. gejala nyeri pinggang dan punggung

 Keluhan viseral seperti riwayat haid, alat bawah 2 tahun yanglalu.

reproduksi, traktus urogenital, traktus Tanda Vital:

gastrointestinal.  Tekanandarah : 120/70mmHg

 Riwayat penyakit dahulu: adanya  Frekwensinadi :88x/menit

keganasan, penurunan berat badan, riwayat  Frekwensi napas : 20x/menit


pengobatan seperti steroid, kecanduan obat
 Suhu :36,5oC
atau operasisebelumnya.

 Riwayatkeluarga.

Status psikologis untuk mencari yellow flags.

 Manajemen nyeri nonfarmakologis b. Pelemas otot, di gunakan untuk

mengatasi spasmeotot
a. Relaksasi nafasdalam
c. Opioid, tidak terbukti lebih efektif
b. Teknik distraksi (alih fokusperhatian)
dari analgesik biasa. Pemakaian
c. Masase atau pijat pada beberapa area jangka panjang menyebabkan
otot untuk meningkatkan sirkulasi ketergantungan.
jaringan d. Kortikosteroidoral
 Terapiobat
e. Analgetikajuvan.
a. Analgetik danNSAID

35
Terapi Non-Medikamentosa bekerja.

Pasien diminta untuk mengangkat

beban dengan cara dan posisi yang Terapi Medikamentosa

benar serta sering beristirahat saat Asam Mefenamat 500 mg/ 8 jam/oral

36
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penyakit Akibat Kerja (PAK) adalah penyakit yang disebabkan oleh

pekerjaanataulingkungankerja.Padakasusini(Ny.S)didiagnosissebagaiLow

Back Pain (LBP) yang bukan termasuk penyakit akibat kerja. Hal ini

dikarenakan,selainfaktorpekerjaanbanyakfaktorindividuyangmempengaruhi

penyakitpasien.

B. Saran

Diharapkan mahasiswa(i) FakultasKedokteranUniversitasHalu Oleo

khususnya mahasiswa(i) kepaniteraan klinik Ilmu Kedokteran Masyarakat dan

Kedokteran Komunitas mampu mengetahui tentang kedokteran okupasi.

37
DAFTAR PUSTAKA

Andini, F. 2015. Risk Factors Of Low Back Pain In Workers. Jurnal Majority

4(1): 12-19.

Fajrin, Inayati. 2009. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kondisi Low Back Pain

KarenaSpondylosisLumbalDenganInfraRed,TranscutaneusElectricalNerve

Stimulation Dan Terapi Latihan William Flexion Exercise. Skripsi. Program

Studi Fisioterapi .Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas Muhammadiyah

Surakarta.

Helmi,ZairinN.2013.BukuAjarGangguanMuskuloskeletal.Salemba Medika.

Jakarta.

Lateef, H., Patel, D. 2009. What Is The Role Of Imaging In Acute Low Back

Pain?. Pubmed Medical Journal 2 (1):69-73.

Purnawinadi, I.G. 2019. Evaluasi Sikap Kerja Sebagai Risiko Nyeri Punggung

Bawah. Skripsi. Program Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Klabat.

Sulawesi Utara.

Suryadi, I., Rachmawati, S. 2020. Hubungan Postur Kerja Dengan Keluhan Low

38
Back Pain Pada Pekerja Bagian Pengepakan Pt ‘X’ Industri Hasil Tembakau.

Journal of Vocational Health Studies 3:126-130.

Kristiawan, B. 2009. Faktor Risiko Kejadian Low Back Pain Pada Operator

Tambang Sebuah Perusahaan Tambang Nickel Di Sulawesi Selatan. Jurnal

Promosi Kesehatan Indonesia 4(2): 1-7.

Purba, Jan.S., Rumawas, Ashwin.M. 2006. Nyeri Punggung Bawah : Studi

Epidemiologi, Patofisologi Dan Penanggulangan. Jurnal Berkala Neuorsains

7(2):1-9.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2016

Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja.

Rinaldi, E., Utumo, W., Nauli, F.A. 2015. Hubungan Posisi Kerja Pada Pekerja

Industri Batu Bata Dengan Kejadian Low Back Pain. Jom 2(2):1085-1093.

Rohmawan,E.A.Hariyono,W.2017.MasaKerja,SikapKerjaDanKeluhanLow

BackPain(Lbp)PadaPekerjaBagianProduksiPtSuryaBesindoSaktiSerang.

Prosiding Seminar Nasional Ikakesmada “Peran Tenaga Kesehatan Dalam

Pelaksanaan Sdgs”.Serang, Banten. 11Februari:171-180.

39
Sidemen, S. 2016. Manajemen Nyeri Pada Low Back Pain. Tesis. Bagian/Smf
Ilmu Anastesi Dan Reanimasi Fk Undu/Rsup Sanglah.

Soemarko D.S. 2012. Penyakit Akibat Kerja “Identifikasi Dan Rehabilitasi


Kerja”. Program Magister Kedokteran Kerja Fkui Ppds Kedokteran Okupasi
Fkui, Departemen Ikk Fkui - K3 Expo Seminar Smesco Depok 26 April:1-6.

Winata, S.D.2014. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Nyeri Punggung Bawah Dari


Sudut Pandang Okupasi. J. Kedokt Meditek 20(54):

Yuliana. 2011. Low Back Pain. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran 38(4):270- 273.

40
Lampiran. Dokumentasi

41

Anda mungkin juga menyukai