Anda di halaman 1dari 8

WAWASAN PENDIDIKAN ISLAM MENGENAI AKIDAH IBADAH DAN AKHLAK

Irwan Haryono Sirait


irwanharyonos@gmail.com
IAIN Padang Sidimpuan

Abstrak

Tulisan ini bertujuan menempatkan pendidikan Islam tidak hanya dibatasi kepada
wawasan mengenai akidah an sich¸ hanya ibadah atau fokus kepada akhlak. Pendidikan
Islam adalah pendidikan yang universal dengan bagian-bagiannya terdiri dari akidah,
ibadah dan akhlak. Kecermatan memandang ini akan mengantarkan kepada keberhasilan
dalam penyelenggaraan pendidikan itu sendiri. Pada titik akhirnya, ketimpangan dalam
lingkup pendidikan Islam dapat teratasi. Dilakukan dengan pendekatan konseptual dari
para pemikir pendidikan Islam, tulisan ini diorganisir atas penjelasan mengenai kata-kata
kunci dalam pendidikan Islam, keterangan mengenai pendidikan akidah, ibadah dan
akhlak, untuk kemudian melihat bagaimana sumbangsih dari tiga konsep pendidikan itu
terhadap ketinggian derajat manusia. Hal ini dilakukan demi menambah wawasan
pendidikan Islam yang tidak dikotomi melainkan universal dan menyeluruh.

Kata kunci: Pendidikan Islam, Akidah, Ibadah, Akhlak.

A. Pendahuluan

M
eski menjadi keluaran dari The First World Conference on Muslim
Education1 yang dilaksanakan di Jeddah oleh Universitas King Abdul Aziz
Mekkah, 31 Maret –08 April 1977 silam, kecermatan Ali Ashraf dan Sajjad
Husain selaku editor yang memberi judul kumpulan kertas kerja konferensi tersebut
dengan bunyi Krisis Pendidikan Islam harus diakui masih memiliki relevansi yang kuat
hingga saat ini.2 Bahwa ada pergeseran nilai, tujuan, penempatan yang terjadi dari
unsur-unsur bahasan Pendidikan Islam, sehingga konsepsinya menjadi rapuh digerogoti
krisis. Guru, misalnya, sedikit sekali –untuk menyatakan tidak memiliki harapan
melangkah lebih jauh karena pandangannya yang teralihkan pada beban dan tanggung
jawab tertentu yang harus dilaksanakan demi memeroleh gaji yang diberikan Negara
atau organisasi swasta yang menyelenggarakan pendidikan.3 Orientasi pendidikan yang
berubah menjadi lapangan kerja, jenjang karir ataupun hal yang semisal menjadikan
keluhan Al-Zarnuji yang muncul jauh lebih lama dari keluaran tersebut bahkan masih
terasa baru, bahwa banyak dari pelajar yang sebenarnya telah bersungguh-sungguh
1
Mengenai konferensi tersebut, dapat dibaca dalam Rasyidin, “Pendidikan Islam dalam Perspektif World
Conference on Muslim Education,” Jurnal al-’Ibrah 14, no. 2 (Desember 2018): 148–69.
2
Ali Ashraf dan Sajjad Husain, Krisis Pendidikan Islam, trans. oleh Rahmani Astuti (Bandung: Risalah,
t.t.).
3
Ashraf dan Husain.h.153.

Vol.2, No.1, Desember, 2019


208 | Irwan Haryono Sirait

menuntut ilmu, tetapi tidak merasakan nikmatnya disebabkan karena meninggalkan atau
kurang memperhatikan etika (akhlak) dalam menuntut ilmu.4

Tulisan ini, bermaksud membahas ulang bagaimana wawasan pendidikan Islam


semestinya terus dikembangkan. Kutipan dari Mahmud (1905-1993 M) patut menjadi
pertimbangan, yaitu ketika ia melihat bahwa keterbelakangan dunia Arab (Islam-pen)
atas dunia Barat adalah akibat pemikiran mereka sendiri yang masih didominasi oleh
kerangka epistemologi dan intelektual masa lalu. Implikasi, pemikiran itu telah nyata
gagal membangun wacana yang koheren, yang dapat mengatasi masalah dan persoalan-
persoalan yang diperdebatkan sejak seratus tahun yang lalu.5

Oleh karenanya, organisasi yang akan dihadirkan dalam tulisan ini adalah terkait
wawasan pendidikan Islam yang meliputi pendidikan akidah, ibadah dan akhlak.
Terlebih dahulu akan dicermati sekilas mengenai kata-kata kunci terkait hal tersebut
untuk melihat bagaimana pengaruhnya pada pembentukan manusia yang, dalam bahasa
Al-Attas, good man (manusia yang baik).6

A. Sekilas Mengenai Pendidikan, Akidah, Ibadah, Akhlak, Din dan Islam

Pendidikan. Secara etimologis, kata yang senantiasa dirujuk para ahli adalah
tarbiyah untuk kemudian dijelaskan bahwa ia berasal dari “raba-yarbu” yang berarti
bertambah dan bertumbuh, “rabia-yarba” yaitu menjadi besar, dan “rabba-yarubbu” yang
bermakna memperbaiki, menguasai urusan, menuntut, menjaga dan memelihara. Dari
akar tersebut, pendidikan dipahami sebagai segala sesuatu yang mengalami proses
perubahan ke arah yang lebih baik. Pendidikan juga dapat dikatakan sebagai –terlepas
dari bagaimanapun bentuknya, suatu konsep atau objek yang diamati atau objek itu
sendiri yang mengalami proses perbaikan dalam arti ke arah yang lebih baik.7
Dalimunthe menjelaskan, ditelusuri dalam Alquran, kata tarbiyah juga berasal dari asli
kata “ra-ba-ba”, yang disebutkan hingga 1241 kali. Hal ini dengan merujuk salah satu
nama Allah yaitu “rabbun” yang merupakan penerjemahan dari Tuhan yang selalu
berperan dalam segala hajat manusia.8 Ia memberi ilustrasi bahwa ketika seorang
pasangan suami-istri mengharapkan Allah memberi rezeki anak kepada mereka, maka
mereka pun berdoa kepada-Nya sebagai “rabbun” sebagaimana mereka meminta untuk
diberkahi rezeki yang halal. Singkatnya, Rabbun selalu hadir dalam setiap kepentingan
manusia.9

4
Ibrahim Bin Ismail, Syarh Ta’lim al-Muta’allim (Indonesia: al-Haramain Jaya Indonesia, 2006).h.3.
5
Bambang Irawan, “Urgensi Tauhid dalam Membangun Epistemologi Islam,” TSAQAFAH 7, no. 2
(Oktober 2011): 287.
6
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, trans. oleh Khalif Muammar (Bandung:
Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (PIMPIN), 2011).h.177-187.
7
Irawan, “Urgensi Tauhid dalam Membangun Epistemologi Islam.”h.109.
8
Sehat Sultoni Dalimunthe, Filsafat Pendidikan Akhlak (Yogyakarta: Deepublish, 2016).h.3.
9
Dalimunthe.

Jurnal Idrak
Wawasan Pendidikan Mengenai Akidah, Ibadah dan Akhlak | 209

Akidah. Istilah ini, dalam uraian Al-Attas, berarti penyerahan diri sejatinya hanya
kepada Allah swt semata yang juga bermakna aslama.10 Hamka menerjemahkannya lebih
sederhana, yaitu tauhid, yaitu keyakinan yang dipelihara baik-baik, diasah dan diasuh;
dijadikan tujuan hidup.11

Ibadah. Kerja khidmah totalitas kepada Allah swt (mengabdikan diri pada Allah
12
swt). Jika Allah swt dengan kuasanya berkenan memberikan hidayah pada hambanya,
maka sebagai makhluk yang mengikuti fitrah penghambaannya pada Allah swt, ia akan
benar-benar mengerjakan amal-ibadahnya, segala amal shalehnya, sehingga seluruh
shalatnya, hidupnya, matinya bahkan jiwa tunduknya yang saat ini memenuhi jasadnya,
semuanya bermuara pada satu keyakinan tidak ada yang lain kecuali hanya karena Allah
swt.13

Akhlak. Untuk benar-benar memahami arti akhlak perlu dikembalikan arti katanya
secara bahasa, yaitu bentuk plural dari “Al-khalqu” yang menerangkan tentang sifat yang
melekat pada diri seseorang, dengannya penilain terhadap jiwa seseorang itu muncul,
apakah ia di nilai baik, atau buruk, atau menjelaskan berbagai perangai dan
kelakuannya.14

Din. Diartikan sebagai agama. Ia berasal dari akar kata Arab dayana yang
mengandung banyak makna dasar yang saling berkelindan, dengan rumusan; keadaan
berhutang, keadaan takluk menyerahkan diri, upaya dan kuasa dalam menghukum atau
dalam memberi hukuman, penilaian dan pertimbangan, bawaan kecenderungan yang
sedia pada diri insan, atau kebiasaaan yang menjadi adat. Kata da>na, misalnya, yang
terbentuk dari akar kata di<n mengandung makna: keadaan berhutang, termasuk makna-
makna lain yang berkaitan dengan makna hutang dan perhutangan. Adapun arti secara
keadaan, sebagai dain (orang yang berhutang), maka orang itu memasrahkan dirinya
untuk tunduk dan patuh terhadap kehendak hukum dan undang-undang mengenai
perkara hutang dan perhutangan tersebut. Secara ringkas, istilah itu membawa makna
yang merangkumi keimanan, kepercayaan, amalan, dan ajaran dan anutan yang sangat
diikuti oleh umat muslimin khususnya.15

Islam. Ia adalah pengakuan atau penyerahan. Ia menjadi nama dari satu agama
yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw., yang diterimanya sebagai wahyu dari Allah
swt. Intisari dari ajaran ini ialah memimpin manusia supaya percaya kepada satu tuhan,

10
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, “Islam Faham Agama Dan Asas Akhlak” (Muktamar Islam
Antarbangsa, London: Dewan Besar Royal Commonwealth Society, 1976).h.24.
11
Hamka, Pandangan Hidup Muslim (Jakarta: Gema Insani, 2016).
12
Al-Attas, “Islam Faham Agama Dan Asas Akhlak.”h.21.
13
Al-Attas.h.23.
14
Dato’ Muhammad Muda, Muhammad Aunurrahim, dan Hani Yahya, “Al-Akhlaqiyyat al-Mihaniyah Fi
Mu’assasat al-Tamwil al-Asghar al-Islamiyyah,” TSAQAFAH 7, no. 2 (30 November 2011): 392.
15
Al-Attas, “Islam Faham Agama Dan Asas Akhlak.”h.3-5.

Vol.2, No.1, Desember, 2019


210 | Irwan Haryono Sirait

“Laa ilaaha illallah” diikuti oleh “Muhammadurrasulullah” (Tiada Tuhan selain Allah
dan Muhammad saw adalah utusan Allah.16

B. Pendidikan Akidah, Ibadah dan Akhlak

Akidah, dalam lingkup ilmu Kalam sebagaimana dinyatakan Zarkasyi dari pernyataan
Al-Ghazali adalah mengakui bahwasannya Allah swt esa. Makna esa di sini kembali
kepada dzatnya Allah swt dan meniadakan sekutu bagi-Nya. Allah swt yang
menciptakan Alam semesta dan seluruh isinya. Ialah Maha kuasa lagi Maha Mengetahui,
Maha Hidup, Maha Berkehendak, Maha Mendengar, Maha Melihat Dan Maha Berbicara.
Al-Ghazali menyebut ini sebagai sifat tujuh. Ketujuh sifat ini menurutnya bukanlah inti
dari pada dzat Allah akan tetapi adalah sifat penambahan di luar dari pada dzatnya
sendiri.17

Orang yang baik, dengan demikian –atau dapat dibahasakan sebagai orang yang
bijakasana, tidak lain adalah orang yang selalu mengembalikan sesuatunya kepada Allah.
Tidak mengetahui kecuali atas izin Allah, meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa
langit, bumi, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan seluruh ciptaan di dunia ini adalah
ciptaan Allah swt. Bahkan pengetahuan, rasa, perasaan itu juga muncul tidak lain dan
tidak bukan atas izin Allah swt.18

Terkait dengan lingkup pendidikan, kesadaran mengenai akidah ini yang


semestinya dikembangkan. Dalam paparan Al-Ghazali, tingkatannya ada empat;19 empat
tingkatan ini yang seharusnya menjadi perhatian dari penyelenggara pendidikan;

1. Mereka yang mengatakan “La> ila>ha Illallah” dengan lisannya, namun hatinya
tertutup untuk menerima kata yang dia ucapkan tersebut. Yang ini namanya
“Tauhi>d al-Muna>fiq” (tauhid orang munafiq).
2. Mereka yang hatinya seirama dengan lisannya dalam mengakui keesaan Allah
swt, yang demikian disebut “Tauhi>d al-Mu’zom al-Muslimi>n” (tauhid
mayoritas muslim.)
3. Mereka yang bersaksi dengan lisannya, membenarkan apa yang dikatakannya
dengan keyakinan batin yang mendapatkan cahaya kebenaran. Sebutannya
“Tauhi>d al-Muqorrabi>n” (tauhid orang-orang yang sangat dekat dengan Allah),
orang-orang yang setiap kali melihat apa-apa saja di bumi ini, yang dilihatnya
adalah sumber kuasa Allah swt.

16
Hamka, Pandangan Hidup Muslim.h.241.
17
Amal Fathullah Zarkasyi, “Aqidah Al-Tauhid Baina al-Tasawwuf al-Sunni Wa al-Tasawwuf al-Falsafi,”
TSAQAFAH 6, no. 2 (30 November 2010): 392, https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v6i2.126.
18
Zarkasyi.
19
Zarkasyi.h.394.

Jurnal Idrak
Wawasan Pendidikan Mengenai Akidah, Ibadah dan Akhlak | 211

4. Mereka yang tidak melihat tuhan kecuali Allah swt yang maha esa (tunggal).
Derajat ini adalah derajat paling tertinggi dari pengakuan mereka yang
membenarkan keesan Allah swt, dan kaum sufi menamakan mereka adalah
yang telah sampai ke derajat fana dalam bertauhid kepada Allah swt.

Perhatian terhadap ini tentu penting. Siapapun orangnya, jika ia mendekati Tuhan
yang hak dengan cara penyerahan diri yang sempurna-ikhlas kepada kehendak-Nya,
dengan mengerjakan semua perintah Allah dan meninggalkan semua yang dilarangnya
adalah termasuk mengerjakan amal-ibadah pengabdian diri dan amalam “nawafil” yakni:
ibadat tambahan yang hukumnya sunnah, dikerjakan mendapatkan pahala, jikapun tidak
juga tidak apa-apa, namun dengan upaya tersebut, mudah-mudahan Allah berkenan dan
ridha, atas semuanya, sehingga insan itu mencapai suatu peringkat “maqom” (baca:
Kedudukan) yang mulia yang memungkinkan baginya dapat menerima anugerah amanah
kewalian dari Allah swt. Al-Attas menjelaskan satu hadis Qudsi terkait itu, “Hambaku
tiada hentinya mendekati Daku dengan amalan nawafil sehingga Kukasih akan dia; dan
apabila Aku kasih akan dia maka Akulah pendengarannya yang dengannya dia
mendengar, dan Akulah penglihatannya yang dengannya dia melihat, dan Akulah
lidahnya yang dengannya dia berkata-kata, dan Akulah tangannya yang dengannya dia
berjabat.”20

Adapun buah dari ilmu terkait akidah di atas adalah amal. Dengan ilmu itu
seseorang beramal. Ilmu tanpa amal seperti pohon tanpa buah. Ia berwujud namun tidak
memberi banyak manfaat terhadap sesama. Manusia tidak boleh demikian. Ia mesti
berpikir dan terus berusaha agar menghasilkan efek kebermanfaatan yang dapat
diberikan dan dirasakan oleh orang banyak. Pendidikan ibadah adalah bentuk fisik yang
bermula dari ilmu yang menjadi hasil dari olah pikir yang matang. Al-Ghazali
mengatakan bahwa akal –yang menjadi sebutan bagi proses olah pikir yang matang
tersebut, lebih patut disebut sebagai sumber ilmu “cahaya” dari pada indra.21

Terkait itu, penjelasannya dapat ditelusuri dari ilustrasi Kartanegara. Guru besar
Filsafat Islam tersebut menyatakan misalnya dengan indra seseorang dapat melihat bulan
separuh saja pada satu saat. Namun tidak bisa membukitkan adanya paruh lain dari bulan
yang tidak terlihat. Dalam hal ini, hanya akal yang dapat menyempurnakan bentuk bulan
itu sebagai bola atau sferik. Demikian juga, akal yang berperan aktif dalam mengukur
dan menaksir serta menunjukkan dengan logika atau model matermatika, berapa

20
Al-Attas, “Islam Faham Agama Dan Asas Akhlak.”h.70.
21
Abu Hamid Al-Ghazali, Misykat Cahaya-Cahaya (Misykat al-Anwar, trans. oleh Mohamad Bagir
(Bandung: Mizan, 1985).h.6.

Vol.2, No.1, Desember, 2019


212 | Irwan Haryono Sirait

besarnya ukuran sebuah planet, bintang, matahari, atau keliling bumi, seperti yang
pernah dilakukan oleh Al-Biruni, ilmuan muslim pada abad ke-11.22

Selain itu, dalam penjelasan Hamka, akal dalam lingkup pendidikan ibadah sangat
erat hubungannya dengan jiwa. Hal itu karena jiwa memiliki kontak batin langsung
kepada Allah swt. Maka dari itu, janganlah sekali-kali putus hubungan kita dengan
Allah, karena Allahpun tidak pernah putus hubungan-Nya dalam menjaga dan mengatur
alam ini.23 Al-Attas menambahkan bahwa puncak dari Pendidikan ibadah yang selalu
dilandasi dengan keyakinan diri yang kuat terhadap Allah adalah mengerjakan segala
bentuk pekerjaannya dengan menuruti kata hatinya. Maka secara sendirinya batin akan
merasa bahagia dan sejahtera sebab ia telah memasuki bagian yang kekal dari suatu hal
yang ada pada dirinya, sebuah alat hidup ruhani yang disebut dengan “al-qalbu”(hati).24

Adapun pendidikan akhlak, sebagaimana dijelaskan Al-Zarnuji dalam kutipan


Subahri, adalah menanamkan akhlak mulia serta menjauhkan dari akhlak yang tercela
dan mengetahui gerak gerik hati yang dibutuhkan dalam setiap keadaan, ini wajib
diketahui seperti tawakkal, al-inabah, taqwa, ridha, dan lain-lain. Dalam perspektif
Islam, akhlak merupakan syariat Islam atau patokan serta alat untuk menentukan baik-
buruknya sifat dan tingkah laku seseorang.25

Ibnu Miskawaih, sebagai filosof paling populer mengenai akhlak, menyatakan


“Khuluq” (karakter) adalah merupakan suatu keadaan jiwa. Keadaan ini menyebabkan
jiwa bertindak tanpa dipikir atau dipertimbangkan secara mendalam. Keadaan ini ada
dua jenis. Yang pertama, alamiah dan bertolak dari watak. Yang kedua, tercipta melalui
kebiasaan dan latihan. Pada mulanya keadaan ini terjadi karena dipertimbangkan dan
dipikirkan, namun kemudian, melalui praktik terus menerus, menjadi karakter.26

Rahman, ketika meneliti mengenai kitab pendidikan akhlak al-Zarnuji: Ta’li>m al-
Muta’allim menuliskan tiga metode penting dalam pendidikan akhlak, yaitu nasehat,
mudzakarah dan lebih berorientasi kepada konsep wajib dalam belajar.27

22
R. Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirani Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam (Bandung: Mizan,
2003).
23
Hamka, Pandangan Hidup Muslim.h.101.
24
Al-Attas, “Islam Faham Agama Dan Asas Akhlak.”h.51.
25
Subahri, “Aktualisasi Akhlak dalam Pendidikan,” Islamuna: Jurnal Studi ISlam 2, no. 2 (5 Desember
2015).h.167.
26
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, trans. oleh Helmi Hidayat (Bandung: Mizan, 1994).h.56.
27
Alfianoor Rahman, “Pendidikan Akhlak Menurut Al-Zarnuji dalam Kitab Ta’li>m al-Muta’allim,” Al-Ta’dib
11, no. 1 (10 Juni 2016).h.138.

Jurnal Idrak
Wawasan Pendidikan Mengenai Akidah, Ibadah dan Akhlak | 213

C. Pendidikan Islam dan Derajat Tinggi Manusia

Dari titik ini, terlihat bagaimana sejatinya pendidikan Islam membawa manusia
kepada derajatnya yang tertinggi. Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa titik akhir alam
kemanusiaan adalah ketika dia menyentuh awal alam malaikat. Inilah tingkatan paling
tinggi bagi manusia. Pada tingkatan ini seluruh maujud bersatu, dan awal mereka bersatu
dengan akhir mereka dan sebaliknya. Inilah yang disebut lingkaran eksistensi, karena
lingkaran ini didefinisikan sebagai satu garis yang geraknya bermula dari satu titik, lalu
berakhir sekaligus pada titik itu lagi. Lingkaran eksistensi merupakan lingkaran yang
memuat peratuan dari kebhinekaan yang merupakan dalil kuat tentang keesaan, kearifan,
kekuarasaan dan kemuliaan Penciptanya Yang Mahamulia nama-Nya, Mahatinggi
kebaikan-Nya, dan Mahasuci sebutan-Nya.28

Pernyataan Al-Attas memperkuat keterangan tersebut di atas. Ia menyatakan


bahwa apabila orang itu telah berjaya menaklukkan diri hayawaninya dengan amal-
ibadahnya nisacaya taat patuh kepada kuasa dan kehendak diri azalinya, maka orang
demikian itu disebut sebagai orang yang telah mencapai kebebasan, dengan arti bahwa
dia telah menunaikan tujuan dia itu di jalan zahir maujud di dunia ini; dia telah mencapai
keamanan murni.29

D. Kesimpulan

Melalui keterangan di atas, terlihat bagaimana sebenarnya pendidikan Islam tidak


hanya dibatasi kepada wawasan mengenai akidah an sich¸ hanya ibadah atau fokus
kepada akhlak. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang universal dengan bagian-
bagiannya terdiri dari akidah, ibadah dan akhlak. Kecermatan memandang ini akan
mengantarkan kepada keberhasilan dalam penyelenggaraan pendidikan itu sendiri. Pada
titik akhirnya, ketimpangan dalam lingkup pendidikan Islam dapat teratasi.

E. Referensi

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam dan Sekularisme. Diterjemahkan oleh Khalif
Muammar. Bandung: Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan
(PIMPIN), 2011.
———. “Islam Faham Agama Dan Asas Akhlak.” London: Dewan Besar Royal
Commonwealth Society, 1976.
Al-Ghazali, Abu Hamid. Misykat Cahaya-Cahaya (Misykat al-Anwar. Diterjemahkan
oleh Mohamad Bagir. Bandung: Mizan, 1985.
Ashraf, Ali, dan Sajjad Husain. Krisis Pendidikan Islam. Diterjemahkan oleh Rahmani
Astuti. Bandung: Risalah, t.t.

28
Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak.
29
Al-Attas, “Islam Faham Agama Dan Asas Akhlak.”h.41.

Vol.2, No.1, Desember, 2019


214 | Irwan Haryono Sirait

Bin Ismail, Ibrahim. Syarh Ta’lim al-Muta’allim. Indonesia: al-Haramain Jaya Indonesia,
2006.
Dalimunthe, Sehat Sultoni. Filsafat Pendidikan Akhlak. Yogyakarta: Deepublish, 2016.
Hamka. Pandangan Hidup Muslim. Jakarta: Gema Insani, 2016.
Irawan, Bambang. “Urgensi Tauhid dalam Membangun Epistemologi Islam.”
TSAQAFAH 7, no. 2 (Oktober 2011): 287.
Kartanegara, R. Mulyadhi. Menyibak Tirani Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam.
Bandung: Mizan, 2003.
Miskawaih, Ibn. Menuju Kesempurnaan Akhlak. Diterjemahkan oleh Helmi Hidayat.
Bandung: Mizan, 1994.
Muda, Dato’ Muhammad, Muhammad Aunurrahim, dan Hani Yahya. “Al-Akhlaqiyyat
al-Mihaniyah Fi Mu’assasat al-Tamwil al-Asghar al-Islamiyyah.” TSAQAFAH 7,
no. 2 (30 November 2011): 392.
Rahman, Alfianoor. “Pendidikan Akhlak Menurut Al-Zarnuji dalam Kitab Ta’li>m al-
Muta’allim.” Al-Ta’dib 11, no. 1 (10 Juni 2016).
Rasyidin. “Pendidikan Islam dalam Perspektif World Conference on Muslim Education.”
Jurnal al-’Ibrah 14, no. 2 (Desember 2018): 148–69.
Subahri. “Aktualisasi Akhlak dalam Pendidikan.” Islamuna: Jurnal Studi ISlam 2, no. 2
(5 Desember 2015).
Zarkasyi, Amal Fathullah. “Aqidah Al-Tauhid Baina al-Tasawwuf al-Sunni Wa al-
Tasawwuf al-Falsafi.” TSAQAFAH 6, no. 2 (30 November 2010): 392.
https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v6i2.126.

Jurnal Idrak

Anda mungkin juga menyukai