Anda di halaman 1dari 24

SKENARIO 2

Nn. W, 20 tahun dibawa ke IGD dengan keluhan kejang disertai penurunan kesadaran sejak
30menit sebelum masuk RS. Pasien dikeluhkan mengalami demam sejak satu minggu
sebelumnya dengan disertai batuk, sesak nafas, badan lemah, mudah lelah, jantung
berdebar-debar disertai pusing apalagi bila berdiri. Enam bulan yang lalu Nn. W sering
mengeluh demam yang tidak terlalu tinggi hilang timbul, badan lemah, nyeri sendi terutama
pada pergelangan tangan dan kaki. Nn. W juga mengeluhkan rambut rontok, di daerah pipi
muncul bercak kemerahan dan menjadi merah bila terkena sinar matahari, sering sariawan
dilangit langit mulut. Nn.W sudah berobat ke RS, menjalani serangkaian pemeriksaan
laboratorium hingga ia dinyatakan mengalami penyakit autoimun. Sejak saat itu, Nn.W rutin
mengonsumsi obat untuk penyakitnya.

Setelah kejang teratasi, dokter menemukan hasil pemeriksaan fisik Tekanan Darah
160/100mmHg, Nadi 120x/menit, Respirasi 38 x/menit, suhu 38,5 0 C dengan GCS 12,
alopesia (+), Konjungtiva palpebra pucat (+) , sklerai kterik (+), muka: malar rash (+),
mulut: ulserasi dilangit mulut (+). Dokter melakukan pemeriksaan penunjang sebagai
berikut:

PemeriksaanHematologi
 Hb: 5,5g/dL (Normal:11.40-15.00g/dL)
 Eritrosit 1.77x109mm: (Normal:4.00-5.70x109/mm)
 Leukosit: 13.000/uL(Normal4.73-10.89/mm)
 Trombosit 140.000/uL(Normal:150-400x103/uL)
 Hitung jenis 02/80/30/8 (Normal: basofil 0-1, cosinofil 1-6, neutrofil 50-70, limfosit
20-40,monosit2-3)
 Hematokrit 16%(Normal35-45%)
 Retikulosit 2,5%(Normal0.5-1.5%)
 LED: 40mm/jam(Normal<15mm/jam)
 Bilirubin total 2.67mg/dL
 Bilirubin indirect 2.1mg/dL
 Bilirubin direct 0.57mg/Dl
 Ureum 66 mg/Dl
 Kreatinin 0.8mg/Dl
 MCV 90.4
 MCH 31
 MCHC 34
 CRP: 0,57mg/dl
 PCT: 3,93ng/mL

Urin rutin:
Epitel (+), Leukosit 3-S/LPB, Eritrosit 2-4/LPB, Silinder cast (++), Kristal (-), Protein (+2),
Glucosa(-), Nitrit (-). Bilirubin (+) urobilinogen (+).
Urin Esbach 0,25g/24jam

Tes ANA Metode ELISA : 9,83


Tes Coombs direk (+), indirek(+).
Anti dsDNA:
1135 jumlah
C3 :25,9
Rontgen thorax:

IDENTIFIKASI MASALAH
1. Makna klinis dari batuk, sesak napas, badan lelah, jantung berdebar, disertai pusing terutama
saat berdiri?
2. Apa makna klinis dari demam tidak terlalu tinggi dan hilang timbul, nyeri sendi pada tangan
dan kaki?
3. Apa makna klinis dari rambut rontok, bercak kemerahan di daerah pipi dan semakin merah
saat terkena sinar matahari, dan sering sariawan di langit mulut?
4. Apa interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik?
5. Interpretasi dari pemeriksaan penunjang?
6. Apa saja diagnosis banding keluhan pasien?
7. Apa diagnosis kerja pasien?
8. Apa etiologi penyakit pasien?
9. Apa epidemiologi dan faktor resiko penyakit pasien?
10. Apa patofisiologi penyakit pasien?
11. Apa tanda dan gejala penyakit pasien?
12. Alur penegakan diagnosis pasien?
13. Apa komplikasi penyakit pasien?
14. Apa tatalaksana farmakologis dan edukasi pasien?
15. Apa prognosis penyakit pasien?
BRAINSTORMING
1. Makna klinis dari batuk, sesak napas, badan lelah, jantung berdebar, disertai pusing
terutama saat berdiri?

 Demam
Ketika terjadi gangguan kuman, virus, lingkungan, obat-obatan tertentu
yang berlebihan terhadap tubuh seseorang, menyebabkan terjadinya gangguan pada
immunoregulasi.Salah satu bentuk gangguan pada immunoregulasi adalah
antibody yang berlebihan, yang ditunjukkan dari antibody yang menyerang organ-
organ tubuh sendiri, baik berupa sel maupun jaringan. Adanya gangguan ini akan
menyebabkan timbulnya sel T supresor yang abnormal yang akan menyebabkan
penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan.
Dengan adanya gangguan ini, menyebabkan terjadinya produksi antibody
yang menyerang sel tubuh terus menerus yang akan mencetus penyakit yang
menyebabkan inflamasi pada banyak organ. Dengan adanya inflamasi ini,
menyebabkan tubuh berusaha memperbaiki imunoregulator yang berlebihan
melalui demam. Dengan munculnya monosit dan makrofag sebagai pelawan
infeksi, akan menyintesis pirogen endogen (IL3, IL6, dll) untuk menuju endotel
hipotalamus yang berperan sebagai thermostat. Dikarenakan adanya inflamasi,
thermostat akan mengatur suhu tubuh untuk lebih tinggi.
 Batuk dan sesak nafas
Ketika terjadi gangguan kuman, virus, lingkungan, obat-obatan tertentu
yang berlebihan terhadap tubuh seseorang, menyebabkan terjadinya gangguan pada
immunoregulasi. Salah satu bentuk gangguan pada immunoregulasi adalah
antibody yang berlebihan, yang ditunjukkan dari antibody yang menyerang organ-
organ tubuh sendiri, baik berupa sel maupun jaringan. Adanya gangguan ini akan
menyebabkan timbulnya sel T supresor yang abnormal yang akan menyebabkan
penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan.
Dengan adanya gangguan ini, menyebabkan terjadinya produksi antibody
yang menyerang sel tubuh terus menerus yang akan mencetus penyakit yang
menyebabkan inflamasi pada banyak organ. Inflamasi ini salah satunya akan
menyebabkan kerusakan pada organ paru. Kerusakan ini dapat berupa efusi pleura
yang akan menyebabkan pasien mengalami tidak efektif spola nafasnya (berupa
sesak napas) karena adanya gangguan jumlah produksi cairan dan absorbsi dalam
paru. Akibat dari efusi pleura ini bukan hanya sesak napas, tetapi seseorang juga
akan timbul gejala batuk.
 Badan lemah dan mudah lelah
Ketika terjadi gangguan kuman, virus, lingkungan, obat-obatan tertentu
yang berlebihan terhadap tubuh seseorang, menyebabkan terjadinya gangguan pada
immunoregulasi.Salah satu bentuk gangguan pada immunoregulasi adalah
antibody yang berlebihan, yang ditunjukkan dari antibody yang menyerang organ-
organ tubuh sendiri, baik berupa sel maupun jaringan. Adanya gangguan ini akan
menyebabkan timbulnya sel T supresor yang abnormal yang akan menyebabkan
penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan.
Dengan adanya gangguan ini, menyebabkan terjadinya produksi antibody
yang menyerang sel tubuh terus menerus yang akan mencetus penyakit yang
menyebabkan inflamasi pada banyak organ.Inflamasi ini salah satunya akan
menyebabkan gangguan pada aliran darah. Ketika terjadi gangguan, Hb akan
menurun. Ketika Hb menurun, suplai oksigen dalam darah juga akan menurun
yang akan menyebabkan penurunan ATP. Ketika ATP menurun, akan
menyebabkan munculnya gejala badan lemah dan mudah lelah pada seseorang.
 Jantung berdebar-debar
Ketika terjadi gangguan kuman, virus, lingkungan, obat-obatan tertentu
yang berlebihan terhadap tubuh seseorang, menyebabkan terjadinya gangguan pada
immunoregulasi.Salah satu bentuk gangguan pada immunoregulasi adalah
antibody yang berlebihan, yang ditunjukkan dari antibody yang menyerang organ-
organ tubuh sendiri, baik berupa sel maupun jaringan. Adanya gangguan ini akan
menyebabkan timbulnya sel T supresor yang abnormal yang akan menyebabkan
penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan.
Dengan adanya gangguan ini, menyebabkan terjadinya produksi antibody
yang menyerang sel tubuh terus menerus yang akan mencetus penyakit yang
menyebabkan inflamasi pada banyak organ. Inflamasi ini salah satunya akan
menyebabkan gangguan pada jantung. Kerusakan pada jantung ini ada
hubungannya dengan terganggunya aliran darah.Ketika terjadi gangguan, Hb akan
menurun. Ketika Hb menurun, suplai oksigen dalam darah ke jantung juga akan
menurun. Dengan menurunnya suplai oksigen pada aliran darah ke jantung ini
akan menyebabkan jantung bekerja lebih cepat, oleh karena itu seseorang akan
merasa berdebar-debar.Keadaan ini bisa menjadi komplikasi jika tidak diterapi
dengan baik, salah satu bentuk komplikasinya adalah pericarditis.
 Pusing bila berdiri
Ketika terjadi gangguan kuman, virus, lingkungan, obat-obatan tertentu
yang berlebihan terhadap tubuh seseorang, menyebabkan terjadinya gangguan pada
immunoregulasi.Salah satu bentuk gangguan pada immunoregulasi adalah
antibody yang berlebihan, yang ditunjukkan dari antibody yang menyerang organ-
organ tubuh sendiri, baik berupa sel maupun jaringan. Adanya gangguan ini akan
menyebabkan timbulnya sel T supresor yang abnormal yang akan menyebabkan
penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan.
Dengan adanya gangguan ini, menyebabkan terjadinya produksi antibody
yang menyerang sel tubuh terus menerus yang akan mencetus penyakit yang
menyebabkan inflamasi pada banyak organ. Inflamasi ini salah satunya
akanmenyebabkan gangguan pada otak. Kerusakan pada otak ini ada hubungannya
dengan terganggunya aliran darah.Ketika terjadi gangguan, Hb akan menurun.
Ketika Hb menurun, suplai oksigendalam darah ke otak juga akan menurun.
Dengan menurunnya suplai oksigen aliran darah ke otak ini akan menyebabkan
pusing. Keadaan ini juga akan diperberat jika seseorang juga dehidrasi dan
menderita anemia.
2. Diagnosis banding:
a. Rheumatoid artritis
b. SLE
c. SLE derajat berat
3. Etiologi:
a. Idiopatik
b. Faktor genetik
c. Faktor lingkungan
d. Faktor hormonal
4. Patofisiologi:
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun kronik yang melibatkan
banyak organ. Ciri khas SLE adalah produksi autoantibodi antinuklear yang mana patogen
pembentukan kompleks imun dan aktivasi komplemen menimbulkan inflamasi dan
kerusakan jaringan. Pemahaman sebelumnya tentang patogenesis SLE adalah proliferasi
sel B dan terbentuknya autoantibodi. Akan tetapi, seiring dengan berkembangnya ilmu
biologi molekuler, proliferasi sel B dan sintesis autoantibodi diakibatkan hilangnya fungsi
tolerance, abnormalitas interaksi sel T dan B, Sel T dan B yang hipereaktif, adanya
gangguan fungsi clearance autoantigen, dan pembentukan kompleks imun. patogenesis
SLE sangat rumit dan sangat terkait faktor genetik, lingkungan, serta hormonal yang
menimbulkan disregulasi dan hilangnya toleransi sel T dan Sel B yang mengakibatkan
terjadi sintesis autoantibodi. Autoantibodi tersebut membentuk kompleks imun yang
mengaktivasi komplemen sehingga terjadi inflamasi (reaksi peradangan).

Risiko munculnya SLE pada individu didasari adanya gen yang multigenik dan adanya
faktor pencetus di lingkungan. Sinar matahari, infeksi, sinar ultraviolet atau hormonal
diduga merupakan faktor lingkungan yang memicu timbulnya penyakit SLE. Sistem Imun
pada SLE 20 Sel –sel sistem imun bawaan (innate) yang terlibat dalam patogenesis SLE,
antara lain makrofag, dendritic cells (DCs), dan netrofil sel B dan T. Sel B selanjutnya
memproduksi antibodi (dapat dilihat dalam Gambar 2.1).
Sel DCs merupakan antigen presenting cells (APC), fungsinya mengenali perubahan
microenviroment lokal yang kemudian informasinya disampaikan ke sel imun adaptif. Sel
dendrit yang mature berasal dari sel plasmactoid dendritric (pDC) yang memicu maturasi
dendritik bila sel pDC mengenali antigen. Sel dendrit yang mature masuk dalam sirkulasi
yang selanjutnya ke jaringan limfanodus dan bermigrasi ke tempat zona sel T, kemudian
sel T berdiferensiasi menjadi sel efektor Th1, Th2, T17, sel T sitotoksik, dan Treg atas
bantuan sitokin yang ada di microenvironment. Bila terjadi gangguan keseimbangan antara
Th1 dan Th2, Th17, dan Treg akan memicu proses inflamasi. Inflamasi ini bisa berlanjut
terus-menerus bila sel dendritik banyak yang mature. Sel T yang berdiferensiasi menjadi
Th2 mensekresi sitokin untuk memicu diferensiasi dan pada keadaan normal sel dendritik
mempertahankan hemostasis respons imun agar tidak timbul autoimun dan pada SLE aktif
ditemukan banyak sel dendrit yang mature. Proses sel dendritik merupakan penghubung
imun bawaan dengan imun adaptif. Sel dendritik selain mempunyai Major
Histocompatibility Complex (MHC) untuk mengenali peptide antigen, juga mempunyai
reseptor untuk mengenali pathogen associated molecular patterns (PAMP). Reseptor yang
mengenali PAMP disebut Toll-like receptor (TLR). TLR mampu mengenali komponen
mikroba, antara lain protein, lemak, karbohidrat, dan asam nukleat. Ada dua domain TLR,
domain pertama berbentuk membran glikoprotein yang banyak mengandung ikatan
leucine yang berulang dan terlibat dalam pengenalan 21 PAMP. Domain kedua
sitoplasmik bertugas meneruskan signalling. Domain ini homolog dengan IL-IR sering
disebut TIR domain dan pada manusia ada 10 tipe TLR. Berdasarkan lokasinya ditemukan
pada permukaan membran sel dan intraseluler. TLR 1-5 terlibat dalam pengenalan struktur
kimia bakteri dan lokasinya di permukaan membran sel, sedangkan TLR 7-9 lokasinya
intraseluler. Bila terjadi signalling pada TLR maka akan menginduksi sitokin
proinflamasi, interferon tipe I, kemokin, dan kostimulator. TLR signalling melalui 2 jalur
yaitu melalui MyD88 atau TRIF dependent pathway. Fungsi TLR adalah menstimulasi
signalling serta aktivasi IFN-regulatory (NF-κB) dan mitogen-activated protein (MAP).
Hal ini terbukti bahwa interferon dapat memengaruhi perubahan signalling intraseluler
(cross talk signalling). Laporan studi menjelaskan Toll-like Receptors (TLR) berperan
signifikan terhadap patogenesis SLE. Interferon berperan dalam hilangnya toleransi dan
aktivasi autoreaktif sel T dan B yang selanjutnya sekresi autoantibodi
Nt : IFN : Protein yang dibuat oleh berbagai sel dari sistem kekebalan tubuh, termasuk sel
darah putih.

Manifestasi Klinis
- Rash pada kulit, demam, dan leukopenia berhubungan dengan peningkatan kadar IFN,
namun tidak semua pasien SLE kadarnya meningkat. Biasanya pada pasien SLE fase
awal sering didapatkan kadar interferon meningkat (interferon signature) yang bisa
berasal dari paparan sinar matahari atau infeksi virus. Pada umumnya, kompleks imun
yang mengandung asam nukleat dapat memicu pDC mensekresi IFN seperti pada studi
genetik yang melaporkan hubungan antara SLE dan gen yang terlibat dalam produksi
dan efek IFN, diduga pada SLE terjadinya peningkatan interferon diduga karena
adanya plimorfisme pada interferon regulatory factor (IRF)- 5 yang terekspresi pada
sel dendritik dan regulasi gen interferon yang terganggu.
- NET adalah reaksi sensitivitas berlebihan dari sistem imun terhadap racun yang
terakumulasi pada kulit, karena penggunaan atau konsumsi obat seperti antibiotik,
sulfonamid, allopurinol, NSAID, antimetabolit, antiretroviral, kortikosteroid,
antikonvulsan, dan infeksi mycoplasma pneumonia, virus herpes, transplantasi tulang
dan sumsum. Faktor risiko NET adalah orang yang memiliki gangguan atau
sensitivitas berlebihan pada sistem kekebalan tubuhnya. Pembentukan NET
(Nekrolisis Epidermal Toksik) akibat apoptosis neutrophil, maka banyak di keluarkan
materialnya antara lain histone, kondensasi kromatin dan protein sitoplasma yang
membentuk Web-like structure. Pasien SLE dilaporkan adanya peningkatan produksi
NET dan adanya gangguan fungsi enzim DNA sel yang menyebabkan ekpresi asam
nukleat dan protein yang menyebabkan sel B teraktivasi dan membentuk autoantibodi.
NET ini juga mengaktivasi 22 pDC melalui TLR9 untuk memproduksi interferon yang
sangat tinggi. Pada penderita SLE banyak ditemukan DNA mikrokondrial yang
teroksidasi yang dapat memicu sekresi interferon melalui jalur cGAS yang
mengaktivasi jalur STING dalam memproduksi interferon. Derivat dari NET yang
berupa kompleks kationik antimikrobial peptide LL37-DNA memicu aktivasi sel B,
dari data ini menyimpulkan bahwa Sel imun yang terpapar konpleks imun akan terpicu
untuk produksi interferon. Selain itu, aktivasi sel B, NK, dan T dapat memengaruhi
pDC meningkatkan sekresi IFN saat pDC menangkap imun kompleks. Gambar 2.2

Sinar UV memiliki banyak efek terhadap sel-sel kulit, seperti merusak rantai DNA
sehingga dapat mengubah ekspresi gen atau menyebabkan apoptosis maupun nekrosis sel.
Walaupun sel yang rusak akibat UV tidak mengalami kematian sel, kerusakan rantai DNA
dapat berperan sebagai antigen yang menstimulasi respons imun. Radiasi UVB
menyebabkan terjadinya translokasi antigen Ro/SSA dan La/SSB dan yang memicu
terbentuknya autoantibodi. Dibuktikan bahwa pasien SLE yang mengalami gejala
fotosensitif berkorelasi dengan autoantibodi tersebut ultraviolet menyebabkan apoptosis
dan merangsang produksi IFN yang akan mengaktifkan sistem imun dengan memicu
terbentuknya kompleks imun dan aktivasi sel imun. Gambar 2.3
Radiasi ultraviolet (UV) mempunyai gelombang pendek dan mempunyai energi yang
tinggi, panjang gelombangnya sekitar 100–400 nm dan dibagi dalam tiga komponen UV A
24 (320–400 nm), UV B (290–320), dan UV C 200–290 nm. Radiasi UV B dapat memicu
terjadinya metilasi DNA, komponen UV C diabsorsi oleh atmosfer oleh lapisan ozon
sedangkan UV A tidak diabsorsi oleh atmosfer dan 95% radiasinya sampai pada
permukaan bumi dan sangat sedikit diabsorsi oleh protein dan asam nukleat. Sinar
ultraviolet menyebabkan perubahan susunan DNA yang disebut proses epigenetik dalam
proses epigenetik Metilasi DNA mungkin merupakan epigenetik yang paling banyak
dipelajari menambahkan gugus metil ke posisi 5 ′ karbon sitosin dalam dinukleotida
citosin-fosfat-guanosin (CpG) mekanisme epigenetik yang sangat kuat. Fungsinya
mengontrol aksesibilitas terhadap faktor transkripsi, co-activators transkripsi, dan RNA
polimerase. Mekanisme epigenetik bersifat reversibel dan juga diturun. Epigenetik
merupakan proses yang mengatur ekspresi gen tanpa mengubah yang Urutan DNA.
Fungsinya mengontrol aksesibilitas DNA terhadap kompleks transkripsi, termasuk faktor
transkripsi dan RNA polimerase. Epigenetik bertanggung jawab bila DNA metilasi ini
terlepas uraiannya maka DNA ini banyak mengandung CpG, pada umumnya lebih dari
200 base pair. CpG ini banyak ditemukan pada daerah promoter yang akan menghambat
transkripsi dan mengganggu regulasi silencing pada target gen. Sinar ultraviolet lainnya
misalnya UV A masih berpengaruh secara tidak langsung pada kertatinosit melalui
produksi radikal bebas dan ROS yang dapat merusak dsDNA menjadi single strand.
Sebagian besar pasien secara genetis cenderung untuk berkembang jadi SLE Namun, bila
hanya mempunyai alel risiko saja maka tidak kuat untuk memunculkan penyakit
diperlukan faktor pendukung, misalnya faktor hormonal, infeksi, obat-obatan, paparan
terhadap racun, dan bahan kimia), faktor pengaturan kekebalan tubuh, dan adanya proses
epigenetik barulah muncul ekspresi penyakit. Tidak hanya sinar ultraviolet saja sebagai
faktor lingkungan yang dapat men-trigger SLE, namun beberapa obat-obatan juga diduga
dapat memicu SLE, antara lain Hydralazine, Procainamide, Isoniazid, Hydantoins,
Chlorpromazin Methyldopa Penicillamie Minocycline, dan TNF inhibitor (Hedrich, 2017).

Infeksi juga diduga sebagai salah satu faktor lingkungan yang terkait dengan patogenesis
SLE. antibodi antigen virus Epstein-Barr (EBV) pada pasien SLE. Infeksi virus ini
meningkatkan kadar interferon (IFN) tipe 1 yang memicu aktivitas sel B.

Adanya kegagalan dalam membersihkan material sel yang mengalami apoptosis


menyebabkan mudahnya terbentuk kompleks imun yang akan menstimulasi sel B dan Sel
T. Sel B yang hipereaktif akan memproduksi auto antibody dan selanjutnya mengaktifkan
komplemen dan menimbulkan kerusakan jaringan. Plasmacytoid dendritic cells (pDCs)
diaktifkan kompleks imun dan PDV akan melepaskan interferon α/β (IFNα/β) yang
berlebihan dan menyebabkan kerusakan jaringan masing-masing jalur aktivasi
berhubungan dengan lukus yang terkait adanya kelainan gen masing lokus gen
bertanggung jawab terhadap hilangnya toleransi dan timbulnya proses autoimmunity.

Mekanisme peningkatan kadar IL-10 dengan aktivitas penyakit SLE terkait dengan
aktivitas sel B, diketahui bahwa IL-10 meningkatkan proliferasi dan diferensiasi IL10
yang menyebabkan sintesis autoantibodi meningkat. Dengan dasar pemikiran bila sel B
berproliferasi sangat banyak maka sintesis autoantibodi akan meningkat. Autoantibodi
SLE ada 100 lebih, karena pada SLE semua komponen sel menjadi antigen. bahwa
kompleks imun yang meningkat bisa memicu makrofag menyintesis IL-10 lebih banyak
yang menyebabkan sel B selalu dalam kondisi hiperaktif. Wang et al. (2005) melaporkan
bahwa kadar IL-10 yang meningkat menyebabkan sel T banyak yang mengalami
apoptosis. Penelitian Mongan et al. (1997) mendukung penelitian Wang et al. (2005)
bahwa kadar IL-10 akan meningkatkan apoptosis tetapi melalui jalur fas dan fas ligand.
Sarjana Mongan, et al., (1997) melaporkan IL-10 merupakan inhibitor radikal bebas
oksigen, yang mengakibatkan apoptosis, dan IL-10 mampu mengubah protein sebagai
neoantigen. Schotte et al. (2004) yang meneliti tentang pembentukan autoantibodi dan
mendapatkan hasil bahwa peningkatan IL-10 signifikan dengan kadar anti-Sm, demikian
juga Price et al. (2001) peningkatan IL-10 signifikan dengan kadar dsDNA. Namun, tidak
demikian yang didapatkan Yuliasih (2010), peningkatan IL-10 tidak signifikan dengan
kadar ANA dan dsDNA. sel B yang berproliferasi tidak banyak mensekresi ANA dan ds
DNA mungkin karena perbedaan suku yang menimbulkan perbedaan sintesis ANA dan
dsDNA. ANA hanya ditemukan pada 57,4% sedangkan dsDNA 42,6 %. Sumber utama
IL-10 adalah monosit dan sel B hal ini pertama kali dilaporkan oleh 33 Llorente et al.
(1993) dan penemuan ini juga dikonfirmasi oleh peneliti lain. Bila IL-10 dihubungkan
dengan parameter aktivitas penyakit yang lain yaitu C3 dan C4 namun pada penelitian gen
promoter IL-10 pada SLE, peningkatan kadar IL-10 signifikan dengan penurunan C3
namun tidak dengan C4, hal ini diduga C4 telah melakukan kompensasi segera setelah
dilakukan pemecahan kompensasi ini diduga untuk tidak terjadi pemecahan yang lebih
lanjut SLE dengan Aktivitas penyakit berat yang terutama mengenai organ-organ vital
pada studi in vivo. Teori lain menyatakan pada SLE aktif didapatkan penurunan C1, C4,
C2 dan penurunan C3 bisanya didapatkan SLE yang berat kadar C3 dipertahankan normal
karena merupakan regulator aktivasi komplemen jalur klasik .

Fungsi sitokin Interleukin-10 (IL-10) sangat banyak atau bersifat pleotropik, antara lain
mempunyai sifat dapat menstimulasi Macrophage Colony-Stimulating Factor (MCSF),
merupakan sitokin yang berfungsi diferensiasi dan proliferasi makrofag. Adanya
peningkatan sitokin ini menimbulkan inflamasi akibat makrofag, memicu sel T
berproliferasi dan deferensiasi, memicu sel B berdiferensiasi, serta memicu sintesis
autoantibodi sehingga terjadi proses inflamasi. Bila kejadian ini terus menerus akan
menimbulkan inflamasi kronis atau inflamasi bertambah berat dan menimbulkan banyak
organ yang mengalami inflamasi. Bila banyak organ vital yang mengalami inflamasi maka
aktivitas penyakit menjadi berat (Hann, 2007). Akibat aktivasi sel T menyebabkan sekresi
sitokin proinflamasi meningkat antara lain IL-1, IL-6, IL-12, IFN, TNF-α, dan reaktif
oksigen. Inflamasi pada SLE disebutkan akibat badai sitokin yang mungkin memperberat
aktivitas penyakit. TNF-α adalah sistemik sitokin yang menimbulkan gejala demam,
kelelahan, demam, nafsu makan turun, dan peningkatan katabolisme. Selain itu, TNFα
dapat meningkatkan ekspresi cyclooxygenase type-2 (COX-2), adhesi molekul, rekruitmen
sel monosit, sekresi sitokin pro-inflamasi, kemokin, serta merangsang ekspresi MHC.
TNF-α juga bertanggung jawab terhadap maturasi sel B melalui reseptor Baff (BlyS)

(Aringer & Smolen, 2008). Berdasarkan laporan studi-studi tentang interferon pada SLE
bahwa interferon 34 diproduksi pada awal penyakit akibat dipicu oleh infeksi dan
kadarnya sangat tinggi pada SLE aktif. Sistem imun bawaan sebagai lini pertama sistem
pertahanan tubuh terhadap serangan mikro organisme dan sebagai regulator sistem imun
adaptif. Sistem bawaan memegang peran penting dalam patogenesis SLE. Beberapa
dekade terakhir di laporan studi yang membahas peran sistem imun bawaan dalam
patogenesis SLE (Ronnblom & Leonard, 2019). Penelitian-penelitian tersebut dibuat
berdasarkan laporan studi sebelumnya yang melaporkan adanya peningkatan produksi
interferon yang sangat tinggi pada SLE aktif karena adanya peningkatan ekspresi gene
(IFN signature). Interferon tipe I pada kondisi normal diproduksi sel plasmacytoid
dendritic cells (pDC) dalam merespons infeksi virus. Pada SLE, peningkatan sintesis
interferon melalui TLR yang mengenali asam nukleat. Interferon berperan dalam
hilangnya proses toleransi dan aktivasi sel T dan Sel B. Sebenarnya proses autoimun
adalah mirip sistem imun tubuh yang melawan bakteri, namun pada SLE material sel
tubuh dapat memicu aktivasi sistem bawaan maupun adaptif. Peningkatan IFN mengubah
milieu sekitar sel yang dapat mengubah signalling IL-10 (Ronnblom & Leonard, 2019).

Adanya interferon menyebabkan terjadinya cross talk signalling dengan IL-10 yang
menjadikan aktivasi STAT3 berubah menjadi STAT1. Disimpulkan bahwa IFN
memengaruhi IL-10 menjadi pro-inflamasi, makin tinggi kadar IFN dan IL-10 maka
perubahan cross talk signalling makin besar karena IFN merangsang sintesis STAT1. Sel
T Fungsi dari sel T (T-cells) pada pasien SLE telah diketahui banyak perannya dalam
patogenesis SLE. Fungsinya antara lain mensekresi sitokin, memicu proliferasi sel, dan
fungsi regulasi sistem imun melalui Treg pada SLE dilaporkan kadar Treg menurun
sehingga tidak ada pengontrol sel T yang autoreaktif (Crispin et al., 2010). Peran lain dari
sel T CD4+ (Th2) menstimulasi sel B untuk menyintesis autoantibodi. Apa tanda dan
gejala penyakit pasien?
Jawab:
Scr sistemik demam, dan kelelahan
Scr spesifik pada kulit  malar rash
Ginjal  hematuria, proteinuria,
Gi tract  mual, muntah, nyeri abdomen
Paru --< hipertensi pulmonal dan lesi paru
Jantung  mio dan endokarditis
SRE  organomegali
Hematologi  anemia
Neuropsikiatri  kejang, pusing, nyeri kepala

5. Alur penegakan diagnosis pasien?

6. Apa komplikasi penyakit pasien?


Bisa ke ginjal  lupus nefritis
Paru  pleuritis
Kardio  perikarditis
Ssp  lupus cerebri

7. Apa tatalaksana farmakologis dan edukasi pasien


Jawab:
- Edukasi
1. Menghindari paparan dengan matahari
2. Menghindari stres dan kerusakan jaringan
3. Penggunaan obat
4. Pembatasan makanan
2. Obat Anti-Malaria dan Disease-Modifying Anti-Rheumatic Drugs (DMARD)
a. Hidroksiklorokuin
Obat anti-malaria macamnya hydroxychloroquine dan chloroquine terapi awal yang
dianjurkan untuk SLE ringan atau sedang misalnya pada rash skin dan artritis. Saat ini
dianjurkan pada semua pasien SLE aktif diberi anti malaria. Terdapat dua aspek utama
yang penting diperhatikan dalam terapi antimalarial. Pertama, ketidakpatuhan terhadap
pengobatan dapat memengaruhi hasil pengobatan, dan ketidakpatuhan terhadap obat anti-
malaria mungkin menunjukkan kepatuhan yang rendah terhadap obat lainnya.

Kedua, saat ini pemberian chloroquine direkomendasikan oleh EULAR/ERAEDTA dalam


merawat lupus nefritis (Bertsias et al., 2012). Data dari studi sebelumnya menunjukkan
bahwa pasien dengan lupus nefritis yang sudah dirawat dengan hydroxychloroquine
memiliki kemungkinan kerusakan ginjal yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien
yang tidak menerima. Hal ini kemungkinan adanya pengurangan fibrosi interstitial. Obat
anti-malaria berguna untuk pengobatan manifestasi SLE ringan dan berat dan harus secara
teratur dikonsumsi. Pemantauan level serum hidroksiklorokuin harus dilakukan untuk
mencegah efek samping obat anti-malaria, terutama klorokuin dan hidroksiklorokuin
(Gatto, 2018).
d. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa Pilar
pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan obatobatannya. Pada
SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan sebagaimana tercantum di
bawah ini.
- Glukokortikoid Dosis Tinggi
Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia: 40 – 60 mg / hari (1 mg/kgBB) prednison
atau yang setara selama 4-6 minggu yang kemudian diturunkan secara bertahap, dengan
didahului pemberian metilprednisolon intra vena 500 mg sampai 1 g / hari selama 3 hari
bertutut-turut.
- Obat Imunosupresan atau Sitotoksik
Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan / sitotoksik yang biasa digunakan pada
SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil. Pada
keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau sitopenia,
seringkali diberikan gabungan antara kortikosteroid dan imunosupresan / sitotoksik karena
memberikan hasil pengobatan yang lebih baik.

e. Terapi Lain
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus SLE mencakup:
- Intra vena imunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari, terutama
pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia hemilitik, nefritis, neuropsikiatrik SLE,
manifestasi mukokutaneus, atau demam yang refrakter dengan terapi konvensional.
- Plasmaferesis pada pasien SLE dengan sitopeni, krioglobulinemia dan lupus serberitis.
- Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid.
- Danazol pada trombositopenia refrakter.
- Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki steroid-sparring eff ect pada SLE
ringan.
- Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang refrakter dengan obat
lainnya.
- Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada SLE yang berat.
- Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas stimulator limfosit sel
B telah dilaporkan efektif dalam terapi SLE42 (saat ini belum tersedia di Indonesia)
- Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan CD40
(CD40LmAb).
- Dialisis, transplantasi autologus stem-cell.
IV. Pemantauan Batasan operasional
pemantauan adalah dilakukannya observasi secara aktif menyangkut gejala dan tanda baru
terkait dengan perjalanan penyakit dan efek pengobatan / efek sampingnya, baik yang dapat
diperkirakan maupun tidak memerlukan pemantauan yang tepat. Proses ini dilakukan seumur
hidup pasien dengan SLE. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah:
- Anamnesis: Demam, penurunan berat badan, kelelahan, rambut rontok meningkat, nyeri
dada pleuritik, nyeri dan bengkak sendi. Pemantauan ini dilakukan setiap kali pasien SLE
datang berobat.
- Fisik: Pembengkakan sendi, ruam, lesi diskoid, alopesia, ulkus membran mukosa, lesi
vaskulitis, fundus, dan edema. Lakukanlah pemeriksaan Fisik yang baik. Bantuan
pemeriksaan dari ahli lain seperti spesialis mata perlu dilakukan bila dicurigai adanya
perburukan fungsi mata atau jika klorokuin/ hidroksiklorokuin diberikan.
- Penunjang: Hematologi (darah rutin), analisis urin, serologi, kimia darah dan radiologi
tergantung kondisi klinis

- EDUKASI
8. Apa prognosis penyakit pasien?
Jawab:
Bervariasi mulai dari ringan sampai berat. Jika berat biasanya disertai dengan kegagalan
organ dan kematian. Prognosis buruk jika disertai dengan kerusakan renal , usia tua, dan
hipertensi

Anda mungkin juga menyukai