Anda di halaman 1dari 2

Guru Cakap, Siswa Tangkap

(OLEH : YOHANES VERGI DARMAN)

Keterampilan dan kecakapan seorang guru adalah salah satu kunci keberhasilan dunia
pendidikan. Sejarah membuktikan bagaimana kemajuan sebuah bangsa tidak pernah lepas dari
potret seorang guru. Guru yang cakap, biasanya memudahkan peserta didik mudah menangkap.
Sebaliknya, jika gurunya “gagap,” biasanya peserta didik akan ngap-ngap dan mudah menguap.
Bagaimana menakar kualitas guru dan pendidikan yang sebenarnya?

Fenomena selama ini memperlihatkan ada begitu keluarga dari daerah pinggiran atau
pedesaan yang berusaha menyekolahkan anak mereka di daerah perkotaan, meskipun di daerah
asalnya, sekolah sudah tersedia. Animo masyarakat untuk menyekolahkan anak ke kota,
menunjukkan satu anomali terkait pendidikan – muncul anggapan daerah kota jauh lebih
berkualitas daripada di desa atau daerah pinggiran. Selain terkait faktor persepsi popularitas
wilayah, ada juga anggapan bahwa guru-guru di kota lebih berkualitas darpada di pedesaan.
Setidaknya, demikianlah cara berpikir sebagian masyarakat saat ini.

Jika dicermati secara komprehensif-kritis, kualitas pendidikan dan guru, tidak bisa ditakar
dari faktor indeks persepsi riuh publik dan letak geografis. Kualitas seorang guru, hemat saya,
justru perlu dibidik dari kemampuannya dalam memanfaatkan potensi dan keterampilan. Di saat
yang sama, elaborasi kemampuan ini kemudian dicermati melalui strategi distribusi pengetahuan
agar mampu dipahami dan diterapkan oleh peserta didik. Lalu pertanyaanya bagaimana cara
untuk mencapai prospek guru demikian? Ada beberapa tawaran strategi yang dapat
dielaborasikan dalam menunjang kualitas seorang guru dan keberhasilan dunia pendidikan.

Pertama, metode pembelajarannya. Guru yang cerdas-cerdik, biasanya tahu bagaimana


cara membuat siswanya paham mengenai materi yang diajarkannya. Salah satunya berkaitan
dengan metode pembelajaran yang digunakannya. Biasanya siswa akan lebih memahami
komponen materi, jika disertai penjelasan contoh. Hal ini, bisa menjadi cara yang tepat untuk
mendekatkan anak didiknya dengan situasi yang konkret. Metode seperti ini, bisa membuat para
siswa bisa lebih memahami materi yang dijelaskan para pendidik.

Metode pembelajaran lain yang juga bisa digunakan adalah dengan metode praktik. Mata
pelajaran seperti Penjaskes dan Seni Budaya merupakan mata pelajaran yang membutuhkan
praktik. Jika hanya sebatas teori, biasanya siswa akan sulit untuk memahami, bahkan merasa
jenuh, sebab mata pelajaran seperti itu paling banyak diminati di kalangan siswa – karena
melatih keterampilan dan ketangkasan para siswa. Oleh karena itu, dianjurkan muatan materi
untuk mata pelajaran demikian harus disertai praktik. Di lingkungan perkuliahan pun, dinamika
pembelajaran juga perlu diimbangi dengan kerja nyata.

Kedua, strategi distribusi ilmu. Guru yang mengajar tanpa ekspresi dan menggunakan
intonasi yang datar-datar saja, cenderung membangun rasa jenuh dalam diri para siswa. Seorang
guru seharusnya menguasai materi ajar dengan baik, misalnya dengan menunjukkan ekspresi
wajah yang bersahabat, menggunakan intonasi suara yang tidak terlalu monoton, dan sedikitnya
memasukan cerita-cerita humoris. Cara ini, mampu membuat para siswa tidak mudah berpaling
dari konten belajar, sekaligus menjaga atmosfer ruang belajar tetap hidup.

Ketiga, penggunaan fasilitas atau media pembelajaran. Perbedaan terbesar antara


pendidikan konvensional dan modern bisa dicermati dari kebaruan fasilitas. Fasilitas-fasilitas
pendidikan di era sekarang jauh lebih lengkap, bahkan lebih canggih, jika dibandingkan dengan
pendidikan konvensional. Jika dahulu guru hanya menggunaka papan tulis untuk mengajar,
sekarang guru bisa menggunakan fasilitas seperti LCD dan perkakas teknologi lainnya dalam
mengajar.

Dengan fasilitas seperti ini, setidaknya waktu dan tenaga bisa dicover. Guru juga bisa
mencari materi-materi mengajar melalui wadah internet, sehingga tidak melulu mengacu pada
bahan ajar yang sama. Di masa pandemi sekarang, di beberapa sekolah sudah mulai diterapkan
fasilitas belajar yang memungkinkan guru dan siswa masih bisa berinteraksi bahkan bertatap
muka. Misalkan, pemanfaatan fasilitas, seperti Google Classroom. Fasilitas Google Classroom
memungkinkan guru dan murid bisa melakukan aktivitas belajar dengan baik di masa pandemi.

Keempat, terkait kredibilitas seorang guru. Seorang guru tentunya tidak memberi
pengetahuan yang sesat kepada muridnya. Seorang guru juga tidak mencuci otak para muridnya
agar menganut paham-paham atau ideologi-ideologi tertentu. Kredibilitas, dengan demikian
menjadi salah satu aspek yang harus dimiliki oleh seorang guru. Pada hakikatnya, seorang guru
diibaratkan seperti sebuah peta dimana ia menjadi penunjuk jalan bagi murid-muridnya. Dalam
tataran praktis, guru yang memiliki kredibilitas yang tinggi, melakukan kewajibannya dengan
memberikan pengetahuan yang benar kepada muridnya dan memenuhi kaidah-kaidah yang telah
ditetapkan sesuai SOP dunia pendidikan. Kredibilitas guru membuat koneksi antara guru dan
murid, tetap terjalin dalam dinamika belajar-mengajar.

Keempat metode di atas hanyalah sebagian dari cara yang dapat digunakan di era
pendidikan sekarang. Selebihnya, masih banyak lagi metode yang dapat dilakukan. Semua upaya
kerberhasilan dunia pendidikan tergantung dari kreativitas dan kecakapan guru. Sebagai
penegasan, guru yang berkualitas bukan hanya dilihat dari gelar akademiknya atau statusnya
dalam sebuah lembaga pendidikan, tetapi dari kemampuannya mendialogkan pengetahuannya.
Gelar akademik akan berhenti pada pribadi seorang pendidik, jika ia kurang cakap dalam
mendistribusikan pengetahuan. Untuk itu, hemat saya setiap guru perlu lebih kreatif-inovatif,
agar mampu menerapkan metode-metode belajar yang efisien, sesuai dengan situasi pelajar saat
ini. Kalau bukan guru, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?

Anda mungkin juga menyukai