Anda di halaman 1dari 16

TELAAH KRITIS JURNAL THERAPY

PENUGASAN BLOK  4.1 KESEHATAN OLAHRAGA

Effect of All-Extremity High-Intensity Interval Training vs. Moderate-


Intensity Continuous Training on Aerobic Fitness in Middle-Aged and
Older Adults with Type 2 Diabetes

Penulis:
Shinta Marcelyna (19711091)
Fairuz Maulidya (19711140)

BLOK 4.1 KESEHATAN OLAHRAGA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2022
PICO 3
Abstrak Jurnal 4
Pembahasan dan Tinjauan Pustaka 5
Kesimpulan 6
PICO

1. Deskripsi kasus (No 1/ Pasien Diabetes Mellitus)

Pasien diabetes mellitus mengeluhkan penurunan kebugaran aktivitas aerobic.

2. Merumuskan pertanyaan klinis yang dapat dijawab

P (Populasi) Diabetes Mellitus Tipe 2 (DM2) yang berumur parubaya dan lansia

E (exposure) Training

C (Comparator) High Intensity Interval Training dan Moderate Intensity Continous


Training

O (Outcome) Olahraga yang aman untuk pasien DM2 & peningkatan aktivitas aerobik

Pertanyaann klinis Apakah HIIT& MICT aman untuk pasien DM2? Apakah HIIT lebih
baik daripada MICT dalam meningkatkan aktivitas aerobik ?

3. Pencarian Literatur

4. Judul Jurnal Laporan Penelitian

Judul :
Effect of All-Extremity High-Intensity Interval Training vs. Moderate-Intensity Continuous
Training on Aerobic Fitness in Middle-Aged and Older Adults with Type 2 Diabetes: A
Randomized Controlled Trial

Penulis :  

Chueh-Lung Hwang, PhDa, Jisok Lim, MSca, Jeung-Ki Yoo, PhDa, Han-Kyul Kim, PhDa,
Moon-Hyon Hwang, PhDa,b, Eileen M. Handberg, PhDc, John W. Petersen, MDc, Brady J.
Holmer, BSa, Julio A. Leey Casella, MDd, Kenneth Cusi, MDd, and Demetra D. Christou,
PhDa

Penerbit  : N Engl J Med

5. Telaah Kritis

Citation:

Are the results of this single preventive or therapeutic trial valid?

Was the assignment of patients to Iya, penelitian ini dilakukan dengan


treatments randomised? randomized controlled trial

Tidak, Alokasi peserta untuk HIIT,


Was the randomization list concealed?
MICT atau kontrol non-olahraga
(CONT) dilakukan oleh koordinator
studi. Pengukuran diperoleh pada awal
dan setelah intervensi 8 minggu oleh
peneliti yang sama secara ketat
mengikuti prosedur operasi standar yang
ditetapkan
Were the groups similar at the start of the Iya, pada disebutkan peserta yang
trial apart from the experimental therapy? mengikuti penelitian adalah yang
berumur 30-79 tahun, serta menjalankan
aktivitas aerobik <30 menit /minggu
selama kurang lebih 1 tahun. Kedua
kriteria itu dibagi pada setiap kelompok
HIIT dan MICT
Was follow-up of patients sufficiently Iya, pasien tersebut harus
long and complete? menyelesaikan masa latihan sebanyak 4
sesi/ minggu selama 8 minggu
Were all patients analysed in the groups to Iya, Partisipan yang menyelesaikan
which they were randomised? studi kisaran usia 46 hingga 78 tahun
dan partisipan wanita pascamenopause
minimal 2 tahun. Total ada 58
partisipan, namun 22% partisipan dari
kelompok HIIT & 16% MICT undur
diri, dan ada 1 partisipan MICT & HIIT
yang missed latihannya.
Who was kept “blind” to treatment? Pada penelitian ini dilakukan double
masked intervention. Sehingga peneliti
dan subjek tidak mengetahui treatment
apa yang akan diterima. Namun hanya
pihak farmasi yang mengetahui isi infus
intervensi.(hal.4 )
Were the groups treated equally, apart Tidak, peserta MICT ditingkatkan
from the experimental treatment? durasi menjadi 47 menit pada 70%
Hrpeak dan peserta HIIT secara
bertahap ditambahkansebanyak 4 menit
interval pada 90% Hrpeak sampai bisa
menyelesaikan 4 interval yang diberikan

Jika glukosa darah <100 mg/dL


sebelumnya untuk berolahraga
diberikan 30 gram karbohidrat dan jika
100 sampai 180 mg/dL maka diberikan
15 gram karbohidrat. jika glukosa darah
> 250 mg/dL, sesi latihan dibatalkan.
(Hal 5)
Are the valid results of this randomised trial important?

What is the magnitude of the


treatment effect?

Baik olahraga dengan intensitas tinggi dan moderate sama


sama memiliki efektivitas yang cukup terlihat dimana VO2
peak HIIT 10% dan MICT 8%.
How precise is the estimate of
the treatment effect?

Kedua terapi dilakukan selama 8 minggu dimana setiap


minggunya dilakukan terapi sebanyak 4 kali. HIIT dan MICT
memiliki peningkatan kebugaran jasmani yang terlihat.

SAMPLE CALCULATIONS

Occurrence of diabetic Relative risk Absolute risk Number


neuropathy at 5 years among reduction reduction needed to
insulin-dependent diabetics in (RRR) (ARR) treat (NNT)
the DCCT trial
Usual insulin Intensive insulin
regimen regimen 1/ARR
control event experimental CER – EER CER-EER

rate (CER) event rate (EER) CER


9.6% 2.8% 9.6% - 2.8% 9.6% - 2.8% 1/6.8%
9.6% = 6.8% = 15 patients
= 71%
95% CI * 4.4% to 9.2% 11 to 23

±1. 96
√( ¿ ofControlPts
+)(
CER×(1−CER ) EER×(1−EER )
¿ ofExperPts )
=±1. 96
730 √( +
711 )(
0 . 96×0 . 904 0. 028×0 . 972
=±2 . 4 %)
* 95% confidence interval (CI) on an NNT = 1/(limits on the CI of its ARR) =

YOUR CALCULATIONS  tidak diketahui


Responses to all extremity Relative risk Absolute risk Number
HIIT and MICT reduction reduction needed to
(RRR) (ARR) treat (NNT)
CER 1/ARR
EER CER – EER CER-EER

CER

95% CI 

Can you apply this valid, important evidence about therapy in caring for your patient?

Do these results apply to our patient?

Is our patient so different from those in Tidak


the study that its results cannot apply?
Ya, dimana telah dibuktikan kebugaran
Is the treatment feasible in our setting?
aerobic meningkat 2,3 mL/kg/menit sebagai
respons terhadap HIIT dan 1,7 mL/kg/menit
sebagai respons terhadap MICT yang
dilakukan selama 8 minggu. Baik HIIT dan
MICT secara signifikan meningkatkan
toleransi latihan maksimal.
What are our patient’s potential benefits and harms from the therapy?
Method I: f Tidak diketahui

Method II: 1/(PEER x RRR) Tidak diketahui

Are our patient’s values and preferences satisfied by the regimen and its
consequences?
Do we and our patient have a clear Kesimpulannya, High-Intensity Interval
assessment of their values and Training and Moderate-Intensity Continous
preferences? Training layak dilakukan, dapat ditoleransi
dan aman untuk usia menengah sampai tua.
Berdasarkan penelitian juga menyatakan
pasien yang tidak mampu melakukan High
Intensity Interval Training dapat
melakukan MICT karena memiliki manfaat
serupa.
Are they met by this regimen and its
consequences?

Penelitian ini memiliki


beberapa kekuatan
dimana intervensi
latihan diacak. Namun
juga ada keterbatasan
pada penelitian ini,
walaupun risiko studi
telah diminimalkan
dengan penyaringan
peserta secara ketat
tetapi keamanan
intervensi jangka
panjang masih harus
diteliti.

Additional notes:
ABSTRAK

Penuaan dan diabetes berkaitan dengan penurunan kebugaran aerobik yang menjadi
prediktor independen dari kematian. Latihan aerobik diresepkan untuk meningkatkan kebugaran
aerobik namun pada pasien diabetes usia setengah baya/lebih tua sering menderita keterbatasan
mobilitas. Tujuan dari uji coba terkontrol secara acak ini ada dua: 1) untuk menguji apakah
pelatihan interval intensitas tinggi (HIIT) dan pelatihan berkelanjutan intensitas sedang (MICT),
yang diimplementasikan pada ergometer semua ekstremitas yang tidak menahan beban, layak, dapat
ditoleransi dan aman di paruh baya/orang tua dengan diabetes tipe 2; dan 2) untuk menguji apakah
HIIT semua ekstremitas lebih efektif dalam meningkatkan kebugaran aerobik daripada MICT.
Sebanyak 58 individu dengan diabetes tipe 2 (46 hingga 78 tahun; 63±1) diacak untuk HIIT (n=23),
MICT (n=19) atau kontrol non-olahraga (CONT; n=16 ). HIIT dan MICT semua ekstremitas,
dilakukan 4x/minggu selama 8 minggu di bawah pengawasan, tidak menghasilkan efek samping
yang memerlukan rawat inap atau perawatan medis. Kebugaran aerobik meningkat 10% pada HIIT
dan 8% pada MICT. Toleransi latihan maksimal juga mengalami peningkatan maisng masing 1,8
dan 1,3 menit. Dapat disimpulkan HIIT dan MICT semua ekstremitas layak, dapat ditoleransi, dan
aman pada individu paruh baya/ tua yang mengidap diabetes mellitus tipe 2 untuk peningkatan
kebugaraan aerobik.

Keywords :
All-extremity aerobic exercise; VO2peak; aerobic fitness; aging; diabetes; cardiovascular disease
risk
KASUS

 Ny M dngan usia 45 tahun menderita diabetes mellitus tipe 2 sejak 15 tahun yang
lalu.Datang ke rumah sakit mengeluhkan sulit menurunkan berat badan. Berdasar riwayat
terapi, pada awal pengecekan A1C 8,9% setelah meminum metformin selama 3 bulan turun
menjadi 8,0%. Kemudian diberikan penambahan glipizide 20 mg A1C turun menjadi 7,1%.
Berdasar riwayat keseharian, pasien tidak meminum obat secara teratur dan berenti
mengkonsumsi glipizide karena pasien merasakan efek samping seperti gemetar,
berkeringat, dan berkabut setelah meminumnya. Untuk mengkompensasi gejala gula darah
yang turun, pasien memakan cemilan yang berakibat peningkatan berat badan dan A1C
8,2%. Pasien juga jarang berolahraga.
 Hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran compos mentis, berat
badan overweight. Status generalis dalam keadaan normal. Pada pemeriksaan laboratorium
A1C didapatkan gula darah meningkat 8,2%.

TINJAUAN PUSTAKA

Diabetes Mellitus merupakan gangguan metabolisme kronis yang ditandai dengan


hiperglikemia persisten. Peristiwa ini bisa terjadi karena gangguan sekresi insulin, resistensi
terhadap tindakan perifer insulin, atau keduanya. Berdasarkan International Diabetes Federation
(IDF) sekitar 415 juta orang dewasa berusia 20 – 79 tahun menderita diabetes mellitus pada tahun
2015. Diabetes Mellitus tipe 2 sebagian besar terjadi akibat obesitas dan gaya hidup (sedentary life
style) yang telah menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Hiperglikemia
kronis yang bersinergi dengan kelainan metabolik lain pada pasien diabetes mellitus dapat
menyebabkan kerusakan pada berbagai sistem organ, yang mengarah pada perkembangan
komplikasi kesehatan yang melumpuhkan dan mengancam jiwa, yang paling menonjol adalah
mikrovaskular (retinopati, nefropati, dan neuropati) dan komplikasi makrovaskular yang
menyebabkan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular 2 kali lipat hingga 4 kali lipat (1).
Beberapa faktor risiko yang menyebabkan terjadinya Diabetes mellitus Tipe 2 yaitu usia,
riwayat keluarga, obesitas, gizi buruk, dan kurangnya aktifitas fisik. Aktifitas fisik yang jarang
dilakukan dapat meningkatkan resistensi insulin pada pasien dengan diabetes mellitus. Aktifitas
fisik adalah semua gerakan yang dihasilkan oleh otot rangka sehingga memerlukan pengeluaran
energi dalam tubuh. Aktifitas fisik diklasifikasikan menjadi 3 tingkatan yaitu aktivitas fisik rendah,
menengah, dan berat.(2)
Penatalaksanaan diabetes mellitus dibagi menjadi beberapa aspek yaitu edukasi, diet, latihan
fisik, kepatuhan obat, dan juga pemantauan gula darah secara rutin. Latihan fisik telah
direkomendasikan sebagai strategi terapi non farmakologi yang penting dalam pengelolaan Diabetes
Mellitus Tipe 2. Berdasarkan pedoman internasional American College of Sports Medicine
merekomendasikan aktivitas fisik berupa latihan aerobik dan resistensi untuk pasien Diabetes
Mellitus Tipe 2. Latihan fisik yang dilakukan dengan pengawasan dapat menjadi modalitas yang
efektif untuk meningkatkan kontrol glikemik, penurunan berat badan, mengurangi faktor risiko
kardiovaskular, dan meningkatkan kesehatan tubuh (3,4).
PEMBAHASAN

Diagnosis Diabetes Mellitus tipe 2 ditengakkan dengan melakukan serangkaian anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Hasil anamnesis didapatkan bahwa pasien
mengeluhkan kesulitan menurunkan berat badan dan mengalami peningkatan kadar gula darah.
Anamnesis yang dapat ditanyakan kepada pasien antara lain sejak kapan mengalami DM, keluhan
yang dirasakan selama menderita DM, melihat dari riwayat keluarga ada yang mengalami hal
serupa atau tidak, keteraturan dalam mengkonsumsi obat obatan, dan menggali faktor risiko dari
pasien untuk mencari akar permasalahan sehingga dapat diperbaiki. Faktor risiko Diabetes Mellitus
antara lain faktor genetik atau keturunan, obesitas, usia dimana sekitar 50% dialami oleh lansia
kaarena sensitifitas insulin berkurang, hipertensi, ras, dan riwayat keseharian seperti merokok dan
makan minuman yang tinggi gula. Menanyakan gejala umum dari Diabetes Mellitus pada pasien
seperti poliagia (merasa lapar berlebih), polidipsia (haus berlebih), dan poliuria (sering berkemih)
(5).

Pemeriksaan fisik pada pasien dengan Diabetes Mellitus tipe 2 pada umumnya memiliki
hasil pemeriksaan fisik yang normal kecuali sudah mulai terjadi komplikasi dari penyakitnya.
Pemeriksaan dimulai dari keadaan umum baik dengan kesadaran compos mentis. Pada pemeriksaan
berat badan dan tinggi badan hasil IMT yang didapat kemungkinan mengalami overweight.
Pemeriksaan tanda vital juga dapat dilakukan meliputi tekanan darah, denyut nadi, frekuensi nafas,
dan suhu tubuh. Pada pasien dengan DM tipe 2, tanda vital umumnya dalam batas normal dengan
tekanna darah normal atau terkadang mengalami peningkatan. Pemeriksaan status generalis untuk
melihat apakah ada komplikasi dari penyakit diabetes mellitus tipe 2. Pemeriksaan funduskopi
harus dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya retinopati, kelenjar tiroid ada pembesaran atau
tidak, pemeriksaan denyut dan irama jantung. Penilaian status neurologis dan foot examination,
juga perlu diperiksa untuk melihat ada tidaknya komplikasi gangguan pada saraf perifer. Pada kasus
didapatkan data bahwa pemeriksaan fisik pada pasien secara umum dalam batas normal.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien tersebut adalah pemeriksaan darah
lengkap mulai dari kadar glukosa, kreatinin, nitrogen urea darah, kolesterol total, HDL, LDL, dan
trigliserida. Pada umumnya DM tipe 2 didiagnosis menggunakan glycated hemoglobin (A1C) test
dimana tes ini mengindikasikan rerata level gula darah selama 2 sampai 3 bulan yang lalu. Hasil tes
A1C yang mengindikasikan diabetes lebih dari sama dengan 6,5%. Pemeriksaan lain yang dapat
dilakukan seperti Gula Darah Sewaktu (GDS) jika kadar 200 mg/dL atau lebih tinggi menjadi tanda
dan gejala diabetes ditambah dengan gejala sering buang air kecil dan rasa haus yang ekstrem. Tes
Gula Darah Puasa (GDP) jika kadar 126 mg/dL atau lebih tinggi pada dua tes terpisah menjadi
diagnosis seseorang mengalami diabetes(6).

Pemberian
terapi obat yaitu metformin yang merupakan obat anti hiperglikemik golongan biguanid.
Mekanisme utama metformin dalam mengontrol kadar gula darah adalah dengan cara menghambat
produksi glukosa (glukoneogenesis) di hati. Selain itu glibenclamide dan glipizide yang merupakan
golongan sulfonylurea dapat menurunkan kadar gula darah dengan cara meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas(7). Pilar tatalaksana DM tipe 2 menyatakan bahwa dasar utama bagi
penderita DM tipe 2 adalah gaya hidup sehat (GHS), namun jika GHS dan monoterapi glukosa
darah belum terkendali maka diberikan kombinasi 2 obat. Terapi kombinasi harus dipilih 2 obat
yang cara kerja berbeda, misalnya glongan sulfonilurea dan metformin. Pengobatan kombinasi
sangat dianjurkan terutama pada pasien DM dengan HbA1c 8-9%(8). Kombinasi obat yang dapat
diberikan yaitu biguanid dan sulfonylurea, metformin dan sulfonylurea, sulfonylurea dan
pioglitazone. Berdasarkan konsesus ADA-EASD terapi DM tipe 2 dibagi menjadi tingkat 1 dan
tingkat 2. Tingkat 1 (terapi utama) yang telah terbukti, paling banyak digunakan, dan cost effective.
Terpai tingkat 1 terdiri dari modifikasi gaya hidup (menurunkan Berat Badan(BB) & olahraga),
metformin, sulfonilurea, dan insulin. Tingkat 2 yaitu terapi yang belum banyak dibuktikan dan yang
termasuk terapi tingkat2 adalah tiazolidindion(pioglitazon) dan glucagon like peptide -1 / GLP-1
agonis (exenatide). Pada pasien DM yang gula darahnya tidak terkontrol bisa dengan kombinasi
modifikasi gaya hidup dan metformin. Obat tersebut dapat terdiri dari 2 golongan yaitu terapi
tingkat 1 serta terapi tingkat 2. Pemberian insulin pada pasien DM tidak terkontrol dan apabila
dengan modifikasi gaya hidup (diet dan olahraga) tidak mengalami perbaikan maka sangat
dianjurkan, dosis yang bisa diberikan adalah 01-0,2 unit/kg/hari tiap 12 jam. Dosis metformin yang
dapat diberikan dengan dosis awal 500 mg 2 kali sehari lalu dinaikan 500 mg/ minggu sampai batas
toleransi dan dosis pemeliharaan 2000 mg/hari 2 kali sehari. Dosis glipizid yang dapat diberikan
adlaha 5 mg diminum sekali sehari pada 30 menit sebelum sarapan dengan dosis pemeliharaan 40
mg/ hari . sebelum melakukan olahraga penderita diabetes yang tidak terkontrol dianjurkan untuk
menurunkan gula darah sampai <200 mg/dl dengan tatalaksana farmakologi. Tatalaksana
nonfarmakologi termasuk diantaranya adalah edukasi bagi pasien adalah pemantauan glukosa
mandiri, perawatan kaki, ketaatan penggunaan obat-obatan, berhenti merokok, peningkatan
aktivitas fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak(2). Fisioterapi dan rehabilitasi
pada pasien DM tipe 2 dapat berupa latihan aerobik seperti, berjalan/ jogging menggunakan
treadmill 2 kali/ minggu selama 75 menit disertai dengan warm up dan cooling down. Selain itu,
latihan kekuatan seperti six resistance exercise 3 set dengan 12 repitisi. Fisioterapi mampu
mengontrol indeks glikemik , meningkatkan toleransi latihan dan kekuatan otot. Resep latihan harus
disesuaikan dengan jadwal dan keparahan diabetes. Pada pasien diabetes setiap 1 jam berolahraga
konsumsi tambahan 15 g karbohidrat sebelum atau sesudah latihan. Olahraga harian sangat
dianjurkan, minimal lakukan intesitas sedang jenis aerobik selama 20-60 menit setidaknya 4 hari/
minggu. Pada 2 hari dalam seminggu lakukan latihan resistensi intensitas rendah. Mulai perlahan
dan bertahap tingkatkan intensitas dan durasiya(9,10).
Xx skenario

Kesimpulan

Pada pemeriksaan berat badan dan tinggi badan hasil IMT yang didapat kemungkinan
mengalami overweight. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien tersebut adalah
pemeriksaan darah lengkap mulai dari kadar glukosa, kreatinin, nitrogen urea darah, kolesterol total,
HDL, LDL, dan trigliserida. Pada umumnya DM tipe 2 didiagnosis menggunakan glycated
hemoglobin (A1C) test. Pada pasien DM yang gula darahnya tidak terkontrol bisa dengan
kombinasi modifikasi gaya hidup dan metformin. Obat tersebut dapat terdiri dari 2 golongan yaitu
terapi tingkat 1 serta terapi tingkat 2. Edukasi sekaligus tatalaksana nonfarmakologi / fisioterapi
yang bisa diberikan pada pasien DM tipe 2 dapat berupa latihan aerobik seperti, berjalan/ jogging
menggunakan treadmill 2 kali/ minggu selama 75 menit disertai dengan warm up dan cooling down.
Selain itu, latihan kekuatan seperti six resistance exercise 3 set dengan 12 repitisi. Mulai perlahan
dan bertahap tingkatkan intensitas dan durasiya.
Daftar Pustaka

1. Williams A, Radford J, Brien JO, Davison K. Type 2 diabetes and the medicine of exercise.
Aust J Gen Pract [Internet]. 2020;49(4):189–93. Available from:
https://www1.racgp.org.au/getattachment/380dfeea-eb9d-47dd-8e93-18ae96a9f6dd/Type-2-
diabetes-and-the-medicine-of-exercise.aspx
2. Lavie CJ, Johannsen N, Swift D, Sénéchal M, Earnest C, Church T, et al. Exercise is
medicine - the importance of physical activity, exercise training, cardiorespiratory fitness and
obesity in the prevention and treatment of type 2 diabetes. Eur Endocrinol. 2014;10(1):18–
22.
3. Colberg SR. Exercise as medicine for diabetes: Prescribing appropriate activities and
avoiding potential pitfalls. Diabetes Spectr. 2015;28(1):10–3.
4. American Diabetes Association. Aktivitas Fisik Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2. J
Chem Inf Model. 2017;53(9):1689–99.
5. Holzer R, Schulte‐körne B, Seidler J, Predel HG, Brinkmann C. Effects of acute resistance
exercise with and without whole‐body electromyostimulation and endurance exercise on the
postprandial glucose regulation in patients with type 2 diabetes mellitus: A randomized
crossover study. Nutrients. 2021;13(12).
6. The Royal Australian College of General Practitioners and Diabetes Australia. Management
of type 2 diabetes : A handbook for general practice [Internet]. 2020. 165 p. Available from:
https://www.racgp.org.au/getattachment/41fee8dc-7f97-4f87-9d90-b7af337af778/
Management-of-type-2-diabetes-A-handbook-for-general-practice.aspx
7. Marinda FD, Suwandi JF, Karyus A. Pharmacologic Management of Diabetes Melitus Type
2 in Elderly Woman with Uncontrolled Blood Glucose. J Medula Unila. 2016;5(2):26–32.
8. Dambha-Miller H, Day AJ, Strelitz J, Irving G, Griffin SJ. Behaviour change, weight loss
and remission of Type 2 diabetes: a community-based prospective cohort study. Diabet Med.
2020;37(4):681–8.
9. Kaur J, Singh SK, Vij JS. Physiotherapy and rehabilitation in the management of diabetes
mellitus : A REVIEW. 2015;6(2):171–81.
10. Hwang CL, Lim J, Yoo JK, Kim HK, Hwang MH, Handberg EM, et al. Effect of all-
extremity high-intensity interval training vs. moderate-intensity continuous training on
aerobic fitness in middle-aged and older adults with type 2 diabetes: A randomized
controlled trial. Exp Gerontol. 2019;116:46–53.

Anda mungkin juga menyukai