Anda di halaman 1dari 14

Laporan Resmi Praktikum Perbekalan Steril

Praktikum III

Pembuatan Larutan Irigasi

Kelompok 3

1. Sausa Monica (G1F012062)


2. Nisadiyah F. Shahih (G1F012064)
3. Shinta Ana Wijaya (G1F012068)
4. Rizky Ariyanti (G1F012070)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN

KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL

SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU

KESEHATAN JURUSAN FARMASI

PURWOKERTO

2014
Praktikum III

Pembuatan Larutan Irigasi

I. Pendahuluan
Sediaan steril merupakan sediaan terapetik yang bebas dari mikroorganisme baik
itu vegetatif atau dalam bentuk spora yang patogen maupun nonpatogen. Sediaan steril
secara umum yaitu sediaan farmasi yang memiliki kekhususan sterilitas dan bebas dari
mikroorganisme. Sediaan parenteral ini disuntikkan melalui kulit atau membran mukosa
ke dalam tubuh. Sediaan ini harus memiliki tingkat kemurnian yang tinggi dan terbebas
dari kontaminasi mikroba dan dari komponen toksik karena sediaan ini masuk ke dalam
tubuh (Ansel, 2005).
Yang termasuk dalam sediaan steril antara lain: sediaan parenteral volum besar,
sediaan parenteral volume kecil, sediaan mata.
Larutan irigasi merupakan salah satu sediaan steril dalam jumlah besar dan
larutan ini tidak disuntikkan ke vena melainkan digunakan di luar sistem peredaran darah.
Larutan irigasi merupakan larutan steril, bebas pirogen dan digunakan untuk tujuan
pembilasan dan pencucian.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan larutan irigasi yaitu:
a. Isotonik;
b. Steril;
c. Tidak disorpsi;
d. Bukan larutan elektrolit;
e. Tidak mengalami metabolisme;
f. Cepat diekskresi;
g. Mempunyai tekanan osmotik-diuretik;
h. Bebas pirogen.

Larutan irigasi yang umum digunakan adalah larutan NaCl untuk mengirigasi
rongga tubuh, jaringan ataupun luka. Larutan irigasi NaCl 0,45% hipotonis digunakan
untuk dialisis sedangkan larutan NaCl 0,9% digunakan untuk mengatasi iritasi pada luka.
II. Pembahasan
a. Analisis Farmakologi
Normal saline atau NaCl 0,9% merupakan cairan yang bersifat fisiologis, non-
toksik. NaCl 0,9% merupakan cairan pencuci luka yang sering digunakan. Tujuan
pencucian luka dengan NaCl 0,9% ini adalah untuk meningkatkan, memperbaiki, dan
mempercepat proses penyembuhan luka, menghindari terjadinya infeksi, membuang
jaringan nekrosis dan debris. NaCl dalam setiap liternya mempunyai komposisi
natrium klorida 9,0 gram dengan osmolaritas 308 m/L setara dengan ion-ion Na+ 154
meq/L dan Cl 154 neq/L (In ETNA, 2004; ISO Indonesia, 2000).
Natrium Klorida 0,9% adalah larutan fisiologis yang ada diseluruh tubuh, karena
alasan ini, tidak ada reaksi hipersensitivitas dari natrium klorida normal saline aman
digunakan untuk kondisi apapun (Lilley & Aucker, 1999). Natrium Klorida
mempunyai Na dan Cl yang sama seperti plasma. Larutan ini tidak mempengaruhi sel
darah merah (Handerson, 1992). Natrium Klorida tersedia dalam beberapa
konsentrasi, yang paling sering digunakan Natrium Klorida 0,9% yang merupakan
konsentrasi normal dari natrium klorida dan merupaka natrium klorida saline normal.
Natrium klorida 0,9% merupakan larutan isotonis aman untuk tubuh, tidak iritan,
melindungan jaringan dari kondisi kering, menjaga kelembapan sekitar luka dan
membantu luka menjalani proses penyembuhan serta mudah didapat (Lilley &
Aucker, 1999).
Mekanisme NaCl 0,9% dapat berperan penting dalam proses penyembuhan luka
adalah:
1. Cairan NaCl 0,9% sangat baik digunakan pada fase inflamasi dalam proses
penyembuhan luka karena pada keadaan lembab invasi netrofil yang diikuti
oleh makrofag, monosit dan limfosit ke daerah luka berfungsi lebih dini.
2. Suasana lembab yang diciptakan dari kompres NaCl 0,9% dalam merawat
luka dapat mempererat terbentuknya stratu, corneum dan angiogenesis untuk
proses penyembuhan luka.
3. Pada fase proliferative dalam fisiologis penyembuhan luka, cairan NaCl 0,9%
yang digunakan untuk perawatan luka sangat membantu melindungi granulasi
jaringan agar tetap lembab sehingga membantu proses penyembuhan luka.
4. Cairan NaCl 0,9% yang digunakan pada perawatan luka post operasi dapat
melindungi granulasi jaringan dari kondisi kering, sehingga dapat
mempercepat kesembuhan.
5. NaCl 0,9% pada perawatan luka post operasi dapat menjaga kelembaban
sekitar luka dan membantu menjalani proses penyembuhan.
6. Luka post operasi yang diberikan balutan kompres cairan NaCl 0,9% dapat
memperkecil terjadinya infeksi karena kejadian infeksi pada perawatan luka
dengan suasana lembab relative lebih kecil dibandingkan dengan perawatan
lering.
7. NaCl 0,9% tidak menghambat pertumbuhan jaringan sehingga dapat
membantu proses penyembuhan pada luka post operasi.
8. Cairan NaCl 0,9% merupakan larutan isotonis yang tidak berbahaya untuk
perawatan luka post operasi (Walton, 1990).
b. Preformulasi
1. NaCI (Natrium Klorida)
Rumus molekul : NaCl
Bobot molekul : 58,44
Pemerian : Kristal tidak berbau tidak berwarna atau serbuk kristal
putih, tiap 1gram.
Setara dengan 17,1 mmol NaCI. 2,54g NaCl ekivalen dengan 1 g Na
Kelarutan : 1 bagian larut dalam 3 bagian air, 10 bagian gliserol
Sterilisasi : Autoklaf atau filtrasi
Stabilitas : Stabil dalam bentuk larutan. Larutan stabil dapat
menyebabkan pengguratan partikel dari tipe gelas.
pH : 4,5 –7 atau 6,7-7,3
OTT : logam Ag, Hg, Fe
E NaCl 1
Kesetaraan E elektrolit : 1 g ≈ 17,1 mEq
Konsentrasi/dosis : lebih dari 0,9%. Injeksi IV 3-5% dalam 100ml selama 1
jam. Injeksi NaCl mengandung 2,5-4 mEq/ml. Na+ dalam plasma = 135-145
mEq/L.
Khasiat/kegunaan : Pengganti ion Na+, Cl- dalam tubuh.
Efek samping : Keracunan NaCl disebabkan oleh induksi yang gagal
dapat menyebabkan hipernatremia yang memicu terjadinya trombosit dan
hemorrage. Efek samping yang sering terjadi nausea, mual, diare, kram usus,
haus, menurunkan salivasi dan lakrimasi, berkeringat, demam, hipertensi,
takikardi, gagal ginjal, sakit kepala, lemas, kejang, koma dan kematian.
Kontraindikasi : Untuk pasien penyakit hati perifer udem atau pulmonali
udem, kelainan fungsi ginjal.
Farmakologi : berfungsi untuk mengatur distribusi air, cairan dan
keseimbangan elektrolit dan tekanan osmotik cairan tubuh.
Dalam praktikum larutan irigasi kali ini NaCl 0.9 % digunakan sebagai zat aktif
untuk mengatasi iritasi pada luka (FI IV, 1995).
2. Aqua Pro Injeksi
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau.
Sterilisasi : Kalor basah (autoklaf).
Kegunaan : Pembawa dan melarutkan .
Cara pembuatan : didihkan aqua dan diamkan selama 30 menit, dinginkan
Aqua pro injeksi digunakan sebagai pelarut dan pembawa karena bahan-bahan
larut dalam air.
Alasan pemilihan : Karena digunakan untuk melarutkan zat aktif dan zat-zat
tambahan (FI IV, 1995; FI III, 1979).
3. Karbon
Pemerian : serbuk hitam tidak berbau.
Kelarutan : praktis tidak larut dalam suasana pelarut biasa.
Kestabilan : stabil ditempat yang tertutup dan kedap udara.
Kegunaan : untuk kelebihan H2O2 dalam sediaan.
Konsentrasi : 0,1-0,3%.
Alasan pemilihan : Karbon aktif inert sehingga tidak bereaksi dengan zat aktif
(FI IV, 1995).
c. Pendekatan Formulasi
Zat NaCl digunakan dalam sediaan karena sifatnya yang larut dalam air, selain itu
NaCl berfungsi sebagai zat aktif untuk mengiritasi luka. Aqua pro injeksi digunakan
sebagai pelarut dan pembawa karena bahan-bahan yang digunakan larut dalam air.
d. Formulasi
Formulasi dasar yang dipakai yaitu:
NaCl 4,59 gram
Aqua pro injeksi 5,0 ml
Karbon aktif 0,5 gram
Dekstrose
(www.polifarma.com.tr)
e. Sterilisasi
Sterilisasi yang dilakukan untuk larutan irigasi NaCl 0,9% adalah termasuk
sterilisasi akhir, dimana sterilisasi dilakukan setelah larutan dimasukkan ke dalam
wadah. Metode sterilisasi untuk larutan ini adalah sterilisasi uap (panas lembab). Pada
umumnya metode sterilisasi ini digunakan unntuk sediaan farmasi dan bahan-bahan
yang tahan terhadap pemanasan yang digunakan terhadap penembusan uap air, tetapi
tidak timbul efek yang tidak dikehendaki akibat uap air tersebut. Sterilisasi uap air ini
lebih efektif dibandingkan dengan sterilisasi panas kering. Bila uap air, bakteri akan
dikoagulasi dan dirusak pada temperature yang lebih rendah daripada tidak ada
kelembaban, sedangkan untuk sterilisasi panas kering, kematian mikroba diakibatkan
karena adanya sel mikroba mengalami dehidrasi diikuti dengan pembakaran pelan-
pelan atau proses oksidasi. Sterilisasi larutan irigasi NaCl 0,9% dilakukan dengan
autoklaf pada suhu 121 C selama 15 menit (Lukas, 2006).

Autoklaf adalah alat untuk mensterilkan berbagai macam alat & bahan yang
menggunakan tekanan 15 psi (2 atm) dan suhu 121 C. Untuk cara kerja penggunaan
autoklaf: suhu dan tekanan tinggi yang diberikan kepada alat dan media yang
disterilisasi memberikan kekuatan yang lebih besar untuk membunuh sel dibanding
dengan udara panas. Biasanya untuk mensterilkan media digunakan suhu 121 C dan
tekanan 15 lb/in2 (SI = 103,4 Kpa) selama 15 menit. Alasan digunakan suhu 121 C
atau 249,8 F adalah karena air mendidih pada suhu tersebut jika digunakan tekanan
15 psi. Untuk tekanan 0 psi pada ketinggian di permukaan laut (sea level) air
mendidih pada suhu 100 C, sedangkan untuk autoklaf yang diletakkan di ketinggian
sama, menggunakan tekanan 15 psi maka air akan mendidih pada suhu 121 C, jika di
laboratorium terletak pada ketinggian tertentu, maka pengaturan tekanan perlu
disetting ulang. Misalnya autoklaf diletakkan pada ketinggian 2700 kaki dpl, maka
tekanan dinaikkan menjadi 20 psi supaya tercapai suhu 121 C untuk mendidihkan air.
Semua bentuk kehidupan akan mati jika dididihkan pada suhu 121 C dan tekanan 15
psi selama 15 menit (Lukas,2006).

Prinsip kerja autoklaf yaitu pada saat sumber panas dinyalakan, air dalam
autoklaf lama-kelamaan akan mendidih dan uap air yang terbentuk mendesak uadara
yang mengisi autoklaf. Setelah semua udara dalam autoklaf diganti dengan uap air,
katup udara atau uap ditutup sehingga tekanan udara dalam autoklaf naik. Pada saat
tercapai tekanan dan suhu yang sesuai, maka proses sterilisasi dimulai dan timer
mulai menghitung waktu mundur. Setelah proses sterilisasi selesai, sumber panas
dimatikan dan tekanan dibiarkan turun perlahan hingga mencapai 0 psi. Autoklaf
tidak boleh dibuka sebelum tekanan mencapai 0 psi untuk mencegah pecahnya
perangkat kaca pada waktu siklus sterilisasi telah selesai (Lukas,2006).

Pirogen merupakan substansi yang mampu menyebabkan demam dan sering


mencemari sediaan farmasi. Sampai saat ini, substansi pirogenik yang diketahui
paling aktif dan paling sering mencemari sediaan farmasi adalah endoktoksin; selain
itu masih banyak substansi pirogenik lainnya seperti bakteri, fungi, DNA–RNA virus
dan lain-lain. Endotoksin merupakan suatu produk mikroorganisme terutama dari
bakteri gram negatif yang terdiri atas suatu senyawa kompleks lipopolysaccharida
yang pyrogenic, suatu protein dan suatu lipid yang innert. Pada saat ini endoktoksin
diketahui merupakan pirogen yang paling, kuat, namun kehadiran pirogen lain dalam
suatu sediaan perlu diperhitungkan; karena manusia tidak hanya respon terhadap
endoktoksin saja tetapi juga pirogen yang lain (Suwandi, 1988).

Pada tahun 1923 Seibert membuktikan bahwa pirogen adalah substansi yang
tidak tersaring, thermostabil, dan non – volatile. Pada tahun 1937 Co Tui
membuktikan bahwa kontaminasi pirogen ini juga terjadi pada alat-alat seperti
wadah-wadah untuk melarutkan obat suntik, juga pada zat kimia yang digunakan
sebagai zat berkhasiat. Pirogen dapat bersumber dari pelarut, zat aktif, peralatan, dan
timbul pada proses penyimpanan. Sifat – sifat pirogen:

Thermostabil, sehingga hanya dapat dihilangkan dengan pemanasan pada suhu


650ºC selama 1 menit, 250ºC selama 15 menit atau 180ºC selama 4 jam;

Larut dalam air. Sehingga tidak bisa memakai penyaring bakteri;


Tidak dipengaruhi oleh bakterisida yang biasa;
Tidak menguap, destilasi biasa ada yang ikut bersama percikan air;
Berat molekul (BM) antara 15.000 – 4.000.000; dan
Ukuran umumnya 1 – 50µm.

Secara garis besar, pirogen dikelompokkan menjadi 2 golongan; yaitu pirogen


endogen dan pirogen eksogen. Pirogen Endogen, yaitu faktor-faktor yang berasal dari
dalam tubuh kita sendiri sebagai reaksi kekebalan melawan kuman penyakit yang
masuk ke tubuh. Misalnya interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), alpha-interferon,
dan tumor necrosis factor (TNF). Pirogen Eksogen, yaitu faktor eksternal tubuh yang
menyebabkan gangguan pada fungsi tubuh manusia. Misalnya bagian dari sel bakteri
dan virus. Selain itu, bisa juga berupa zat racun (toksin) yang dihasilkan oleh bakteri
atau virus tertentu (Suwandi, 1988).

Jika suatu pirogen masuk ke tubuh, maka pirogen menjadi suatu benda asing
yang dapat menimbulkan respon imun berupa demam. Demam yaitu suatu keadaan
ketika temperatur tubuh di atas batas normal yang dapat disebabkan oleh kelainan
dalam otak sendiri atau oleh bahan – bahan toksik yang mempengaruhi pusat
pengaturan temperatur. Penyebab – penyebab tersebut meliputi penyakit bakteri,
tumor otak, dan keadaan lingkungan yang dapat berakhir dengan serangan panas
(Suwandi, 1988).

Uji pirogenitas adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui apakan suatu
sediaan uji bebas pirogen atau tidak (Anonim, 1995) dengan maksud untuk
membatasi resiko reaksi demam yang dapat diterima oleh pasien apabila diinjeksi
dengan suatu sediaan farmasi (Suwandi, 1988). Uji pirogenitas biasanya
menggunakan kelinci. Pengujian ini ditetapkan di USP pertama kali pada tahun 1942
dan merupakan pengujian resmi untuk menentukan non-pirogenitas sediaan farmasi.
Sejak diketahui bahwa endotoksin ternyata mampu menggumpalkan sel darah
Limulus, kemudian dikembangkan suatu pengujian untuk mendeteksi adanya
endotoksin dengan menggunakan reagensia yang dibuat dari sel darah Limulus.
Pengujian ini kemudian dikenal sebagai metode Limulus Amebocyt Lysate (LAL
Test).

f. Evaluasi Sediaan
1. Uji kejernihan
Pemeriksaan dilakukan secara visual biasanya dilakukan oleh seseorang
yang memeriksa wadah bersih dari luar di bawah penerangan cahaya yang baik,
terhalang terhadap refleksi ke dalam matanya, dan berlatar belakang hitam dan
putih, dengan rangkaian isi dijalankan dengan suatu aksi memutar, harus benar-
benar bebas dari partikel kecil yang dapat dilihat dengan mata (Lachman, 1994).
Tujuan dari uji kejernihan adalah untuk memastikan keberadaan pirogen dalam
larutan steril secara kasat mata. Hasil uji kejernihan larutan irigasi steril
menunjukan bahwa masih terdapat partikel kecil yang melayang-layang. Hal ini
tidak sesuai dengan kriteria dari uji kejernihan sediaan larutan.
2. Uji volume terpindahkan
Larutan irigasi steril dibuat dengan volum 500ml, tetapi untuk mencegah
berkurangnya volume larutan, maka dilebihkan 2 % dari volume larutan, sehingga
volume larutan steril yang dibuat adalah 510ml. Setelah disaring dengan dua kali
penyaringan didapatkan volum sebesar 500ml sesuai dengan volume yang
diinginkan pada pembuatan larutan irigasi. Hasil uji volume terpindahkan larutan
irigasi steril menunjukkan bahwa terdapat pengurangan volume menjadi 490ml.
Hal ini dimungkinkan bahwa dalam pemanasan aquades dilakukan hingga
mendidih sehingga menyebabkan volume aquades sebagai pelarut dan pengencer
menjadi berkurang.
3. Uji penetapan pH
Cek pH larutan dengan menggunakan pH meter atau kertas indikator
universal (Depkes RI, 1995). Tujuan dari uji penetapan pH adalah untuk
mengetahui sifat keasam-basaan dari sediaan larutan irigasi yang telah dibuat.
Hasil uji penetapan pH larutan irigasi steril menunjukkan bahwa pH yang
diperoleh adalah 7 pH netral. Sulistyawati (2009) menyatakan bahwa pH cairan
tubuh berkisar antara 6,8-7,4. Membuktikan bahwa pH sediaan steril telah sesuai
dengan kondisi cairan tubuh manusia.

g. Desain Kemasan

Etiket Obat

SODIUM CHLORIDE 0,9%


Larutan Irigasi
TIDAK DIGUNAKAN SECARA INJEKSI

Komposisi : 100 ml mengandung 0,9 gram


Natrium Klorida
No Reg : DKL 01 001 010 01A 1
No Batch : 12345
PT. PM Pharma
Purwokerto
h. Informasi Obat

Sodium Chloride 0,9%


Komposisi : Tiap 100 ml larutan mengandung 0,9 gram Natrium
Klorida.
Mekanisme kerja : Membersihkan rongga tubuh secara steril, jaringan atau
luka, dan membilas atau merendam pakaian bedah,
instrumen dan laboratorium spesimen.
Indikasi : Untuk luka topikal maupun rongga tubuh.
Kontraindikasi : Tidak digunakan untuk irigasi selama prosedur
electrosurgical
Efek samping : Efek samping dari penggunaan irigasi rongga tubuh,
jaringan, dan sel-sel dapat dihindari jika mengikuti
prosedur yang tepat. Volume atau tekanan yang
berlebihan dapat menyebabkan gangguan jaringan.
Kontamiasi di luar prosedur dapat menularkan infeksi.
Peringatan dan Perhatian : Hanya untuk irigasi. Tidak digunakan secara injeksi.
Dosis : Tergantung luas permukaan atau struktur yang akan
diirigasi
Penyimpanan : Tidak disimpan pada suhu lebih dari 25oC
Kemasan : Larutan irigasi 0,9%

PT PM Pharma
No Reg : DKL 01 001 010 01A 1
No Batch : 12345
III. Perhitungan
a. NaCl 0,9% = 4, 5 + (2% x 4, 5) = 4, 5 gram.
b. Aqua pro injeksi = 500 + (2% x 500) = 510 ml.
c. Karbon aktif = 0, 1% x 500 = 0, 5 gram.
IV. Penimbangan
Masing-masing bahan pada formula ditambah dengan 2% dari berat bahan semula
masing-masing, sehingga penimbangannya menjadi:
a. NaCl 0, 9% (0, 9 gram dalam 100 ml) = 0, 9 x 5 = 4, 5 gram
4, 5 gram + (2% x 4, 5) = 4, 59 gram.
b. Aqua pro injeksi 500 ml = 500 ml + (2% x 500) = 510 ml.
c. Karbon aktif = 0, 1% x 500 = 0, 5 gram.
V. Cara Pembuatan
Pertama-tama, alat dan bahan yang dibutuhkan disiapkan. Kemudian, bahan-bahan
seperti NaCl, Aqua pro injeksi, dan karbon aktif ditimbang sesuai yang dibutuhkan yaitu
NaCl 4, 5 gram, Aqua pro injeksi 510 ml, dan karbon aktif sebanyak 0, 5 gram. Setelah
itu NaCl diencerkan dengan aquades sedikit demi sedikit hingga mencapai 510 ml sambil
sesekali diaduk. Setelah larut, gelas ukur yang berisi larutan NaCl dipanaskan kemudian
dimasukkan kabon aktif ke dalam larutan. Karbon aktif ini bertujuan untuk membebaskan
pirogen sehingga larutan menjadi steril. Setelah didihkan, didiamkan, kemudian disaring
hingga jernih, disaring dengan kertas saring selama dua kali penyaringan. Tujuan utama
penyaringan adalah untuk menjernihkan suatu larutan. Larutan yang sangat mengkilap
(hasil dari penjernihan) memberikan kesan kualitas dan kemurnian yang baik sekali,
suatu karakteristik yang sangat diinginkan untuk suatu larutan steril (Lachman, et al,
1994).
Hasil yang didapatkan adalah larutan irigasi berwarna putih bening tetapi tidak
terlalu jernih karena ketika diuji dengan menggunakan papan hitam-putih, di dalam
larutan masih ada beberapa partikel yang tidak tersaring oleh kertas saring.
Larutan dimasukkan ke dalam botol infuse 500 ml dan botol infuse ditutup
dengan tutup yang sesuai lalu dibungkus dengan aluminium foil. Aluminium foil
bertujuan agar sisa-sisa air di luar tidak menyerap ke dalam. Penggunaan aluminium foil
juga menghilangkan udara dan penetrasi uap serta mencegah kontaminasi silang setelah
sterilisasi. Botol infus yang sudah dibungkus dengan aluminium foil, diberi tanda
indikator pada permukaannya. Indikator ini bertujuan agar kita dapat mengetahui apakah
alat tersebut sudah steril atau belum. Indikator digunakan untuk mengecek duplikasi
kondisi dari proses yang sudah dijamin/disahkan dengan menempatkan indikator di
tempat dimana terdapat kesukaran terbesar dalam penetrasi panas (Lachman, et al, 1994).
Indikator ini akan berubah warna menjadi abu-abu, perubahan warna ini karena pengaruh
kelembaban dan panas. Jika terdapat perubahan warna menjadi abu-abu maka alat
tersebut sudah steril.
Sediaan disterilkan dalam autoklaf pada suhu 1200C selama 15 menit. Pembuatan
larutan irigasi ini menggunakan metode sterilisasi akhir dengan autoklaf karena bahan-
bahan yang digunakan tahan panas. Larutan irigasi diberi etiket kemudian dilakukan
evaluasi terhadap kejernihan larutan, volume terpindahkan, dan penetapan pH.
Daftar pustaka

http://www.polifarma.com.tr/files/2309%20SODIUM%20CHLORIDE%20IRRIGATION.pdf.

Anonim, 1979, Farmakope Indonesia edisi III, Departemen Kesehatan RI: Jakarta.

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia edisi IV, Departemen Kesehatan RI: Jakarta.

Anonim, 2000, ISO Indonesia Volume 35, Ikrar Mandiri Abadi: Jakarta.

Ansel, Howard C, 2005, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, UI Press: Jakarta.

Handerson, 1992, Anatomi dan Fisiologi, EGC: Jakarta.

Lachman, Leon, Herbert A. Lieberman dan Joseph L. Kanig., 1988, Teori dan Praktek Farmasi
Industri Jilid III, UI Press: Jakarta.

Lilley & Aucker, 1999, Pharmacology and the Nursing Process, Mosby: St. Louis.

Lukas, S., 2006, Formulasi Steril, Penerbit Andi: Yogyakarta.

Sulistyawati, A, 2009, Asuhan Kebidanan Pada Masa Kehamilan, Salemba Medika: Jakarta.

Usman Suwandi, 1988, Uji Pirogenitas dengan Kelinci dan Limulus Amebocyt Lysate, Cermin
Dunia Kedokteran No. 52.

Wilton, R.L., 1990, Perawatan Luka dan Penderita Perlukaan Ganda, EGC: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai