DISUSUN OLEH :
APRIYANTI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................................ 1
B. Tujuan Penulisan........................................................................................................ 1
C. Metode penulisan...................................................................................................... 2
D. Sistematika.................................................................................................................. 2
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 41
LAMPIRAN
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
I. Definisi
Luka bakar merupakan cedera paling berat yang mengakibatkan permasalahan yang
kompleks, tidak hanya menyebabkan kerusakan kulit namun juga seluruh sistem tubuh
(Nina,2008). Luka bakar adalah trauma yang diakibatkan oleh panas, bahan kimia, arus listrik,
dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam. Luas permukaan tubuh
yang terbakar akan mempengaruhi metabolisme dan fungsi sel tubuh dan mengganggu semua
sistem terutama sistem kardiovaskuler (Rahayuningsih, 2012).
Luka bakar merupakan respon kulit dan jaringan subkutan terhadap trauma termal.
Terdapat dua jenis luka bakar menurut ketebalannya. Luka bakar dengan ketebalan parsial
adalah luka bakar yang tidak merusak epitel atau merusak sebagian dari epitel, sedangkan luka
bakar dengan ketebalan penuh merusak semua sumber-sumber pertumbuhan kembali epitel
kulit dan jika permukaan kulit yang terluka luas akan membutuhkan eksisi dan cangkok kulit
(Grace & Borley,2006).
Luka bakar merupakan kondisi terjadinya luka akibat terbakar yang disebabkan oleh
panas yang tinggi, senyawa kimia, kistrik dan pemajanan sinar matahari yang berlebihan.
Pengobatan luka bakar harus dibedakan berdasarkan luasnya. Pada prinsip rule of nine luka
bakar dibagi menjadi beberapa bagian yakni bagian kepala 9%, dada 18%, punggung 18%,
anggota gerak atas 18%, paha 18% dan anggota gerak bawah 18%, perineum dan genitalia 1%
(Hidayat, 2008).
Adanya luka bakar pada tubuh akan merusak fungsi kulit yakni melindungi tubuh
dari kotoran dan infeksi. Apabila banyak permukaan tubuh yang terbakar, maka dapat
mengancam jiwa seseorang karena adanya kerusakan pembuluh darah, ketidakseimbangan
elektrolit dan suhu tubuh, gangguan pernapasan serta fungsi saraf (Adibah & Winasis,2014
dalam Sari,2015). Luka bakar yang luas dapat menyebabkan shock. Hal ini terjadi karena
cairan tubuh sebagian besar dikirim ke daerah yang terbakar sehingga volume darah yang
dialirkan ke otak dan jantung berkurang. Shock pada anak-anak dapat terjadi jika luka bakar
seluas 10%, sedangkan pada orang dewasa seluas 20% (Mohamad,2005).
1. First degree (partial thickness) : pada daerah superfisial, berwarna merah, terasa nyeri.
2. Second degree (Partial thickness) : kulit kemerahan, melepuh, bengkak, dan sangat
nyeri.
3. Third degree (full thickness) : kulit berwarna keputihan, hangus, tembus hingga saraf,
ada sensasi seperti tusukan jarum di area yang terbakar.
Menurut Di Maio & Dana (1998), luka bakar dibedakan menjadi 4 derajat berdasarkan
kedalaman jaringan yang rusak, yaitu :
Terjadi kerusakan pada semua lapisan epidermis dan sebagian dermis. Terdapat bula,
sedikit oedema, dan nyeri berat.
Terjadi kerusakan pada semua lapisan kulit dan terdapat nekrosis, lesi tampak putih,
hilang sensasi rasa pada kulit dan akan menimbulkan jaringan parut setelah sembuh.
Kulit tampak hitam seperti arang akibat jaringan yang terbakar. Kerusakan terjadi pada
seluruh kulit, jaringan subkutan dan tulang akan hangus.
Menurut James (1990) dalam Dewi (2013), berdasarkan derajat dan luasnya kulit yang
terkena luka bakar dikategorikan menjadi 3 yakni ringan, sedang dan berat :
1. Luka bakar ringan jika ada luka bakar derajat I sebesar <15% atau derajat II sebesar
<2%.
2. Luka bakar sedang jika ada luka bakar derajat I sebesar 10-15% atau derajat II sebesar
5-10%.
3. Luka bakar sedang jika ada luka bakar derajat II sebesar >20% atau derajat III sebesar
>10% atau mengenai wajah, tangan-kaki, alat kelamin, persendian, sekitar ketiak atau
akibat listrik tegangan tinggi (>1000V) atau dengan komplikasi patah tulang maupun
kerusakan jaringan lunak/gangguan jalan napas.
III. Etiologi
Pada luka bakar dapat ditentukan luas lukanya dengan beberapa metode, diantaranya rule of
nine, Lund and Browder, dan Hand Palm. Ukuran luka bakar ditentukan dengan prosentase
dari permukaan tubuh yang terkena luka bakar.
1. Rule of Nine
Wallace membagi tubuh atas bagian 9% atau kelipatannya yang terkenal dengan rule
of nine. Metode ini dikenal sejak tahun 1940 sebagai pengkajian cepat untuk menentukan
perkiraan luas luka bakar. Dalam metode ini, tubuh dibagi menjadi beberapa bagian anatomi
dan setiap bagian mewakili 9% kecuali daerah genital.
a. Kepala dan leher : 9%
b. Ekstremitas atas : 2 x 9% (kanan dan kiri)
c. Paha dan betis-kaki : 4 x 9% (kanan dan kiri)
d. Dada, perut, punggung, bokong : 4 x 9% (kanan dan kiri)
e. Perineum dan genitalia : 1%
Pada metode ini total area tubuh yang terkena dikalkulasikan berdasarkan lokasi dan
usia. Metode lund and browder merupakan modifikasi prosentase bagian tubuh menurut usia
yang memberikan perhitungan lebih akurat tentang luas luka bakar. (Hardisman,2014). Pada
anak di bawah usia 1 tahun kepala sebesar 19% dan setiap pertambahan usia satu tahun ,
prosentase kepala tutun 1% hingga tercapai nilai dewasa.
Gambar 2.5 Penilaian Luka Bakar dengan Metode Lund and Browder
(Sumber : google.com)
3. Hand Palm
Pada metode permukaan telapak tangan (hand palm), area permukaan tangan pasien
adalah sekitar 1% dari total luas permukaan tubuh. Biasanya metode ini digunakan untuk luka
bakar kecil (Gurnida & Lilisari,2011).
IV. Patofisiologi
Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber panas ke tubuh. Panas
tersebut mungkin dipindahkan melalui konduksi atau radiasi kulit dengan luka bakar akan
mengalami keusakan pada epidermis, dermis, maupun jaringan subkutan tergantung lamanya
kulit kontak dengan sumber panas (Effendi, 1999). Cidera luka bakar mempengaruhi semua
sistem organ. Besarnya respon patofisiologis ini berkaitan erat dengan luasnya luka bakar dan
mencapai masa stabil ketika terjadi luka bakar kira0kira 60% seluruh permukaan tubuh
(Hudak & Gall, 1996).
Tingkat keperawatan perubahan tergantung pada luas dan kedalaman luka bakar yang
menimbulkan kerusakan dimulai dari terjadinya luka bakar dan berlangsung 24 – 72 jam
pertama. Kondisi ditandai dengan pergeseran cairan dari komponen vaskuler ke ruang
interstisium. Bila jaringan terbakar, vasodilatsi meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul
perubahan permeabilitas sel pada luka bakar dan sel disekitarnya. Dampaknya jumlah cairan
yang banyak berada pada ekstra sel, sodium chloride dan protein lewat melalui daerah yang
tebakar dan membentuk gelembung-gelembung dan edema atau keluar melalui luka terbuka.
Akibat adanya edema luka bakar, lingkungan kulit mengalami kerusakan. Kulit sebagai barier
mekanik berfungsi sebagai mekanisme pertahanan diri yang penting dari organisme yang
masuk. Terjadinya kerusakan lingkugan kulit akan memungkinkan mikro organisme masuk
dalma tubuh dan menyebabkan infeksi luka yang dapat memperlambat proses penyembuhan
luka. Dengan adanya edema juga akan berpengaruh terhadap peningkatan peregangan
pembuluh darah dan saraf yang dapat menimbulkan rasa nyeri. Rasa nyeri terseut dapat
mengganggu mobilitas pasien.
Ketika terjadi kehilangan cairan dalam sitem vaskuler, terjadi homo konsentrasi dan
hematokrit naik, cairan darah menjadi kurang lancar pada daerah luka bakar dan nutrisi
kurang. Adanya cidera luka bakar menyebabkan tahanan vaskuler perifer meningkat sebagai
akibat respon stress neurohomoral. Hal tersebut dapat meningkatkan afterload jantung dan
mengakibatkan penurunan curah jantung lebih lanjut. Akibat penuruna curah jantung,
menyebabakan metabolisme anaerob dan hasil akhir produk asam ditahan karena rusaknya
fungsi ginjal. Selanjutnya timbul asidosis metabolik yang menyebabkan perfusi jaringan
terjadi tidak sempurna.
Mengikuti periode pergeseran cairan, pasien tetap dalam kondisi akut. Periode ini
ditandai dengan anemia dan malnutrisi. Anemia akan berkembang akibat banyak kehilangan
eritrosit. Keseimbangan nitrigen negatif mulai terjadi pada waktu terjadi luka bakar yang
disebabkan kerusakan jaringan kehilangan protein dan akibat respon stress. Hal ini akan
berlangsung selama periode akut karena terus menerus kehilangan protein melalui luka.
Gangguan respiratori timbu karena obstruksi saluran nafas bagian atas atau karena
efek syok hipovolemik. Obstruksi saluran nafas bagian atas disebabkan karena inhalasi bahan
yang merugikan atau udara yang terlalu panas, menimbulkan iritasi pada saluran nafas, edema
laring dan obstruksi potensial.
Luka bakar suhu pada tubuh terjadi baik karena kondisi panas langsung atau radiasi
elektromagnetik. Sel-sel dapat menahan temperatur sampai 440C tanpa kerusakan bermakna,
kecepatan kerusakan jaringan berlipat ganda untuk tiap drajat kenaikan temperatur. Saraf dan
pembuluh darah merupakan struktur yang kurang tahan dengan konduksi panas. Kerusakan
pembuluh darah ini mengakibatkan cairan intravaskuler keluar dari lumen pembuluh darah,
dalam hal ini bukan hanya cairan tetapi protein plasma dan elektrolit. Pada luka bakar
ekstensif dengan perubahan permeabilitas yang hampir menyelutruh, penimbunan jaringan
masif di intersitial menyebabakan kondisi hipovolemik. Volume cairan intravaskuler
mengalami defisit, timbul ketidak mampuan menyelenggarakan proses transportasi ke
jaringan, kondisi ini dikenal dengan syok (Moenajat, 2001).
Luka bakar juga dapat menyebabkan kematian yang disebabkan oleh kegagalan
organ multi sistem. Awal mula terjadi kegagalan organ multi sistem yaitu terjadinya
kerusakan kulit yang mengakibatkan peningkatan pembuluh darah kapiler, peningkatan
ekstrafasasi cairan (H2O, elektrolit dan protein), sehingga mengakibatkan tekanan onkotik dan
tekanan cairan intraseluler menurun, apabila hal ini terjadi terus menerus dapat
mengakibatkan hipopolemik dan hemokonsentrasi yang mengakibatkan terjadinya gangguan
perfusi jaringan. Apabila sudah terjadi gangguan perkusi jaringan maka akan mengakibatkan
gangguan sirkulasi makro yang menyuplai sirkulasi orang organ organ penting seperti : otak,
kardiovaskuler, hepar, traktus gastrointestinal dan neurologi yang dapat mengakibatkan
kegagalan organ multi sistem
1. Syok hipovolemik
Pada luka bakar yang berat akan mengakibatkan koagulasi disertai dengan nekrosis
jaringan yang akan menimbulkan respon fisiologis pada setiap system organ, tergantung
pada ukuran luka bakar yang terjadi. Destruksi jaringan akan disertai dengan peningkatan
permebilitas kapiler sehingga cairan intravena akan keluar ke interstisial. Hal ini akan
disertai dengan proses evaporasi pada bagian kulit yang rusak sehingga cairan tidak akan
bertahan lama. Keadaan ini selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya syok hipovolemik.
Pada kondisi ini perlu dilakukan resusitasi cairan segera. Selama ini digunakan cairan
isotonik (RL); dengan cara ini cukup efektif menangani syok hipovolemik dan juga dapat
mengurangi kebutuhan terhadap transfuse darah. Cairan koloid lainnya sepert Asetat Ringer
(AR) juga dapat digunakan. Pemberiannya dilakukan dalam waktu cepat, menggunakan
beberapa jalur intravena, bila perlu melalui vascular access (vena seksi dan sebagainya).
Jumlah cairan yang diberikan adalah tiga kali jumlah cairan yang diperkirakan hilang.
Setelah syok teratasi pemberian cairan mengacu kepada regimen resusitasi cairan
berdasarkan formula yang ada. Pada keadaan yang menyertai syok seperti sepsis, hipoksi
jaringan, proses gluko-neogenesis dan oksidasi hepatik yang melemah merupakan faktorfaktor
yang mempengaruhi terjadinya kenaikan laktat dalam plasma (s/d 600%). Kadar laktat plasma
yang meningkat ini berhubungan dengan kerja miokardial rang meningkatkan mortalitas.
Dalam kondisi ini penggunaan RL seringkali tidak memperbaiki keadaan, bahkan
membahayakan. Sebagai alternatif, Asetat Ringer merupakan cairan yang secara fisiologik
sama dengan RL , tanpa kandungan laktat. Dengan pemberian Asetat ringer ini asetat segera
di metabolisme dengan cepat sehingga akan diikuti dengan perbaikan keseimbangan
asambasa.
2. Infeksi, Sepsis, SIRS, dan MODS
Infeksi luka bakar Jarang terjadi pada partial-thickness burns kecuali jika terdapat
kelalaian dalam penanganan luka bakar derajat II ini. infeksi jaringan invasive sering
terjadi pada pasien dengan luka bakar derajat III yang meliputi lebih dari 30% permukaan
tubuhnya. Resiko terjadinya infeksi pada luka bakar meningkat jika terdapat luka terbuka
atau karena komorbiditas.
SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada pasien
luka bakar maupun pasien trauma lainnya. Dalam penelitian dilaporkan bahwa SIRS dan
MODS menyebabkan kematian sebesar 81% pasca trauma. SIRS adalah suatu bentuk respon
klinik yang bersifat sistemik terhadap berbagai stimulus klinik berat akibat infeksi ataupun
noninfeksi seperti trauma, luka bakar, reaksi autoimun, sirosis, pankreatitis, dll. Respon ini
merupakan dampak dari pelepasan mediator-mediator inflamasi (proinflamasi) yang mulanya
bersifat fisiologik dalam proses penyembuhan luka, namun oleh karena pengaruh beberapa
faktor predisposisi dan faktor pencetus, respon ini berubah secara berlebihan (mengalami
eksagregasi) dan menyebabkan kerusakan pada organ-organ sistemik, menyebabkan disfungsi
dan berakhir dengan kegagalan organ terkena menjalankan fungsinya; MODS (Multi-system
Organ Disfunction Syndrome) bahkan sampai kegagalan berbagai organ (Multi-system Organ
Failure/MOF).
SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada pasien
luka bakar maupun trauma berat lainnya. Dalam penelitian dilaporkan SIRS dan MODS
keduanya menjadi penyebab 81% kematian pasca trauma; dan dapat dibuktikan pula bahwa
SIRS sendiri mengantarkan pasien pada MODS.
Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection, injury,
inflamation, inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion injury. Kriteria klinik yang
digunakan, mengikuti hasil konsensus American College of Chest phycisians dan the Society
of Critical Care Medicine tahun 1991, yaitu bila dijumpai 2 atau lebih menifestasi berikut
selama beberapa hari, yaitu:
1. Hipertermia (suhu > 38°C) atau hipotermia (suhu < 36°C)
2. Takikardi (frekuensi nadi > 90x/menit)
3. Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan parsial CO2 rendah (PaCO2)
4. Leukositosis (jumlah lekosit > 12.000 sel/mm < 32 mmHg) 3 ), leukopeni (< 4000
sel/mm3
Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur
darah/bakteremia), maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan selalu berkaitan dengan
MODS karena MODS merupakan akhir dari SIRS) atau dijumpai > 10% netrofil dalam
bentuk imatur (band). Pada dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya
gangguan fungsi organ pada pasien akut sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat
dipertahankan tanpa intervensi. Bila ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu proses yang
berkesinambungan sehingga dapat dimengerti bahwa MODS menggambarkan kondisi lebih
berat dan merupakan bagian akhir dari spektrum keadaan yang berawal dari SIRS.
Perjalanan SIRS dijelaskan menurut teori yang dikembangkan oleh Bone dalam beberapa
tahap.
Tahap I
Patofisiologi Respon inflamasi sistemik didahului oleh suatu penyebab, misalnya luka bakar
atau trauma berat lainnya. Kerusakan lokal merangsang pelepasan berbagai mediator
proinflamasi seperti sitokin; yang selain membangkitkan respon inflamasi juga berperan pada
proses penyembuhan luka dan mengerahkan sel-sel retikuloendotelial. Sitokin adalah
pembawa pesan fisiologik dari respon inflamasi. Molekul utamanya meliputi Tumor
Necrotizing Factor (TNFα), interleukin (IL Tahap I 1, IL6), interferon, Colony Stimulating
Factor (CSF), dan lain-lain. Efektor selular respon inflamasi adalah sel-sel PMN, monosit,
makrofag, dan sel-sel endotel. Sel-sel untuk sitokin dan mediator inflamasi sekunder seperti
prostaglandin, leukotrien, thromboxane, Platelet Activating Factor (PAF), radikal bebas,
oksida nitrit, dan protease. Endotel teraktivasi dan lingkungan yang kaya sitokin mengaktifkan
kaskade koagulasi sehingga terjadi trombosis lokal. Hal ini mengurangi kehilangan darah
melalui luka, namun disamping itu timbul efek pembatasan (walling off) jaringan cedera
sehingga secara fisiologik daerah inflamasi terisolasi.
Tahap II
Sejumlah kecil sitokin yang dilepaskan ke dalam sirkulasi justru meningkatkan respon lokal.
Terjadi pergerakan makrofag, trombosit dan stimulasi produksi faktor pertumbuhan (Growth
Factor/GF). Selanjutnya dimulailah respon fase akut yang terkontrol secara simultan melalui
penurunan kadar mediator proinflamasi dan pelepasan antagonis endogen (antagonis reseptor
IL Tahap II 1 dan mediator-mediator anti-inflamasi lain seperti IL4, IL10, IL11, reseptor
terlarut TNF (Transforming Growth Factor/TGF). Dengan demikian mediator-mediator
tersebut menjaga respon inflamasi awal yang dikendalikan dengan baik oleh down regulating
cytokine production dan efek antagonis terhadap sitokin yang telah dilepaskan. Keadaan ini
berlangsung hingga homeostasis terjaga.
Tahap III
Jika homeostasis tidak dapat dikembalikan, berkembang tahap III (SIRS); terjadi reaksi
sistemik masif. Efek predominan dari sitokin berubah menjadi destruktif. Sirkulasi dibanjiri
mediator-mediator inflamasi sehingga integritas dinding kapiler rusak. Sitokin merambah ke
dalam berbagai organ dan mengakibatkan kerusakan. Respon destruktif regional dan sistemik
(terjadi peningkatan vasodilatasi perifer, gangguan permeabilitas mikrovaskular, akselerasi
trombosis mikrovaskular, aktivasi sel leukosit-endotel) yang mengakibatkan perubahan-
perubahan patologik di berbagai organ. Jika reaksi inflamasi tidak dapat dikendalikan, terjadi
syok septik, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), ARDS, MODS, dan kematian.
MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinis SIRS. Pada pasien luka bakar dapat
dijumpai secara kasar 30% kasus mengalami MODS. Ada 3 teori yang menjelaskan timbulnya
SIRS, MODS dan sepsis; yang mana ketiganya terjadi secara simultan.
2. Teori kedua menjelaskan pelepasan Lipid Protein Complex (LPC) yang sebelumnya
dikenal dengan burn toxin dari jaringan nekrosis akibat cedera termis. LPC memiliki
toksisitas ribuan kali di atas endotoksin dalam merangsang pelepasan mediator pro-
inflamasi; namun pelepasan LPC ini tidak ada hubungannya dengan infeksi. Respon
yang timbul mulanya bersifat lokal, terbatas pada daerah cedera; kemudian berkembang
menjadi suatu bentuk respon sistemik.
3. Teori ketiga menjelaskan kekacauan sistem metabolisme (hipometabolik pada fase akut
dilanjutkan hipermetabolik pada fase selanjutnya) yang menguras seluruh modalitas
tubuh khususnya sistim imunologi. Mediator-mediator pro-inflamasi yang dilepas ke
sirkulasi sebagai respon terhadap suatu cedera tidak hanya menyerang benda asing atau
toksin yang ada; tetapi juga menimbulkan kerusakan pada jaringan organ sistemik.
Kondisi ini dimungkinkan karena luka bakar merupakan suatu bentuk trauma yang
bersifat imunosupresif.
V. Manifestasi Klinis
Kedalaman dan Bagian
Penampilan
Penyebab Luka Kulit yang Gejala Perjalanan Kesembuhan
Luka
Bakar Terkena
Kesemutan,
Derajat Satu Memerah,
hiperestesia
(Superfisial): menjadi putih Kesembuhan lengkap dalam
(supersensivitas)
Tersengat matahari, Epidermis ketika ditekan waktu satu minggu, terjadi
, rasa nyeri
terkena api dengan minimal atau pengelupasan kulit
mereda jika
intensitas rendah tanpa edema
didinginkan
Derajat Dua Epidermis Nyeri, Melepuh, dasar Kesembuhan dalam waktu 2-
(Partial-Thickness): dan bagian hiperestesia, luka berbintik- 3 minggu, pembentukan
Tersiram air dermis. sensitif terhadap bintik merah, parut dan depigmentasi,
mendidih, terbakar udara yang epidermis retak, infeksi dapat mengubahnya
oleh nyala api dingin. permukaan luka menjadi derajat-tiga.
basah, terdapat
edema.
Akan sembuh dengan
sendirinya dalam 3 minggu
(bila tidak terkena infeksi ),
2a = Superficial Tapi warna kulit tidak akan
partial thickness sama seperti sebelumnya.
Nyeri dan sangat Kulit tampak
Epidermis sensitif oleh kemerahan,
dan lapisan tekanan. oedem dan rasa
atas dari nyeri lebih berat
dermis daripada luka
bakar grade I,
ditandai dengan
bula yang muncul
beberapa jam
setelah terkena
luka, bila bula
disingkirkan akan
terlihat luka
bewarna merah
muda yang basah,
Luka sangat
sensitive dan akan
menjadi lebih
pucat bila terkena
tekanan.
Disertai juga
Luka akan sembuh dalam 3-
dengan bula,
9 minggu. Organ-organ kulit
permukaan luka
seperti folikel-folikel
berbecak merah
rambut, kelenjar keringat,
muda dan putih
kelenjar sebasea sebagian
karena variasi dari
2b = Deep partial besar masih utuh.
vaskularisasi
thickness Epidermis Nyeri dan
pembuluh darah
dan lapisan sensitif.
( bagian yang
dalam dari
putih punya hanya
dermis
sedikit pembuluh
darah dan yang
merah muda
mempunyai
beberapa aliran
darah.
Derajat Tiga (Full- Epidermis, Tidak terasa Kering, luka bakar Pembentukan skar,
Thickness): Terbakar keseluruhan nyeri, syok, berwarna putih diperlukan pencangkokan,
hematuria
(adanya darah
dalam urin) dan
kemungkinan
seperti bahan kulit
nyala api, terkena dermis dan pula hemolisis
atau gosong, kulit pembentukan parut dan
cairan mendidih kadang- (destruksi sel
retak dengan hilangnya kontur serta fungsi
dalam waktu yang kadang darah merah),
bagian lemak kulit, hilangnya jari tangan
lama, tersengat arus jaringan kemungkinan
yang tampak, atau ekstrenitas dapat terjadi
listrik subkutan terdapat luka
terdapat edema
masuk dan
keluar (pada
luka bakar
listrik)
VI. Komplikasi
Sindrom kompartemen merupakan proses terjadinya pemulihan integritas kapiler, syok luka
bakar akan menghilang dan cairan mengalir kembali ke dalam kompartemen vaskuler, volume
darah akan meningkat. Karena edema akan bertambah berat pada luka bakar yang melingkar.
Tekanan terhadap pembuluh darah kecil dan saraf pada ekstremitas distal menyebabkan
obstruksi aliran darah sehingga terjadi iskemia.
c. Adult Respiratory Distress Syndrome, akibat kegagalan respirasi terjadi jika derajat
gangguan ventilasi dan pertukaran gas sudah mengancam jiwa pasien.
Berkurangnya peristaltic usus dan bising usus merupakan tanda-tanda ileus paralitik akibat
luka bakar. Distensi lambung dan nausea dapat mengakibatnause. Perdarahan lambung yang
terjadi sekunder akibat stress fisiologik yang massif (hipersekresi asam lambung) dapat
ditandai oleh darah okulta dalam feces, regurgitasi muntahan atau vomitus yang berdarha, ini
merupakan tanda-tanda ulkus curling.
e. Syok sirkulasi terjadi akibat kelebihan muatan cairan atau bahkan hipovolemik yang
terjadi sekunder akibat resusitasi cairan yang adekuat. Tandanya biasanya pasien
menunjukkan mental berubah, perubahan status respirasi, penurunan haluaran urine,
perubahan pada tekanan darah, curah janutng, tekanan cena sentral dan peningkatan
frekuensi denyut nadi.
f. Gagal ginjal akut
g. Haluran urine yang tidak memadai dapat menunjukkan resusiratsi cairan yang tidak
adekuat khususnya hemoglobin atau mioglobin terdektis dalam urine.
h. Kontraktur
a. Pemberian oksigen
Oksigen diberikan 2-4 L/menit adalah memadai. Bila sekret banyak, dapat ditambah menjadi
4-6 L/menit. Dosis ini sudah mencukupi, penderita trauma inhalasi mengalami gangguan
aliran masuk (input) oksigen karena patologi jalan nafas; bukan karena kekurangan oksigen.
Hindari pemberian oksigen tinggi (>10 L/mnt) atau dengan tekanan karena akan menyebabkan
hiperoksia (dan barotrauma) yang diikuti terjadinya stres oksidatif.
b. Humidifikasi
Oksigen diberikan bersama uap air. Tujuan pemberian uap air adalah untuk mengencerkan
sekret kental (agar mudah dikeluarkan) dan meredam proses inflamasi mukosa.
c. Terapi inhalasi
d. Lavase bronkoalveolar
Prosedur lavase bronkoalveolar lebih dapat diandalkan untuk mengatasi permasalahan yang
timbul pada mukosa jalan nafas dibandingkan tindakan humidifier atau nebulizer. Sumbatan
oleh sekret yang melekat erat (mucusplug) dapat dilepas dan dikeluarkan. Prosedur ini
dikerjakan menggunakan metode endoskopik (bronkoskopik) dan merupakan gold
standart. Selain bertujuan terapeutik, tindakan ini merupakan prosedur diagnostik untuk
melakukan evaluasi jalan nafas.
e. Rehabilitasi pernafasan
Proses rehabilitasi sistem pernafasan dimulai seawal mungkin. Beberapa prosedur rehabilitasi
yang dapat dilakukan sejak fase akut antara lain:
a. Pengaturan posisi
b. Melatih reflek batuk
c. Melatih otot-otot pernafasan.
Prosedur ini awalnya dilakukan secara pasif kemudian dilakukan secara aktif saat
hemodinamik stabil dan pasien sudah lebih kooperatif
f. Penggunaan ventilator
3. Circulation
Warna kulit tergantung pada derajat luka bakar, melambatnya capillary refill time, hipotensi,
mukosa kering, nadi meningkat.
Menurut Djumhana (2011), penanganan sirkulasi dilakukan dengan pemasangan IV line
dengan kateter yang cukup besar, dianjurkan untuk pemasangan CVP untuk mempertahankan
volume sirkulasi
a. Pemasangan infus intravena atau IV line dengan 2 jalur menggunakan jarum atau
kateter yang besar minimal no 18, hal ini penting untuk keperluan resusitasi dan
tranfusi, dianjurkan pemasangan CVP
b. Pemasangan CVP (Central Venous Pressure)
Merupakan perangkat untuk memasukkan cairan, nutrisi parenteral dan merupakan parameter
dalam menggambarkan informasi volume cairan yang ada dalam sirkulasi. Secara sederhana,
penurunan CVP terjadi pada kondisi hipovolemia. Nilai CVP yang tidak meningkat pada
resusitasi cairan dihubungkan dengan adanya peningkatan permeabilitas kapiler. Di saat
permeabilitas kapiler membaik, pemberian cairan yang berlebihan atau penarikan cairan yang
berlebihan akibat pemberian koloid atau plasma akan menyebabkan hipervolemia yang
ditandai dengan terjadinya peningkatan CVP.
Gambar Rule of nine (Cont Edu Anaesth Crit Care and Pain. 2012)
Perawatan luka bakar di unit perawatan luka bakar, terdapat dua jenis perawatan luka selama
dirawat di bangsal yaitu:
1. Perawatan terbuka: luka yang telah diberi obat topical dibiarkan terbuka tanpa balutan
dan diberi pelindung cradle bed. Biasanya juga dilakukan untuk daerah yang sulit
dibalut seperti wajah, perineum, dan lipat paha.
2. Perawatan tertutup: penutupan luka dengan balutan kasa steril setelah dibeikan obat
topical.
1. Pantau keadaan pasien dan setting ventilator. Kaji apakah pasien mengadakan
perlawanan terhadap ventilator
2. Observasi tanda – tanda vital; tekanan darah, nadi, pernafasan, setiap jam dan suhu
setiap 4 jam
3. Pantau nilai CVP, amati neurologis pasien (GCS), pantau status hemodinamik, pantau
haluaran urin (minimal 1ml/kg BB/jam), pantau status oksigen, fisoterapi dada.
4. Auskultasi suara paru setiap pertukaran jaga
5. Cek asalisa gas darah setiap hari atau bila diperlukan
6. Penghisapan lendir (suction) minimal setiap 2jam dan jika perlu
7. Perawatan tiap 2 jam (beri boraq gliserin)
8. Perawatan mata dengan memberi salep atau tetes mata setiap 2 jam
9. Ganti posisi pasien setiap 3 jam (perhatikan posisi yang benar bagi pasien)
10. Perawatan daerah invasif seperti daerah pemasangan CVP, kateter dan tube setiap hari
11. Ganti kateter dan NGT setiap minggu
12. Observasi letak tube (ETT) setiap shift
13. Observasi setiap aspirasi cairan lambung
14. Periksa laboratorium darah : elektrolit, ureum/kreatinin, AGD, protein (albumin), dan
gula darah (kolaborasi dokter)
15. Perawatan luka bakar sesuai protokol rumah sakit
16. Pemberian medikasi sesuai dengan petunjuk dokter
1. Luka bakar berat (luka bakar >20% pada dewasa, >10% pada anak)
a. Pantau nadi, TD, suhu, keluaran urin, berikan analgesia adekuat i.v., pertimbangan
selang nasogastric (nasogastric tube, NGT), berikan profilaksis tetanus.
b. Berikan cairan i.v. berdasarkan formula Muir-Barclay: %luka bakar x berat badan
dalam kg/2= satu aliquot cairan. Berikan 6 aliquot cairan selama 36 jam pertama
dengan urutan 4, 4, 4, 6, 6,12 jam dari waktu terjadinya luka bakar. Biasanya
menggunakan larutan koloid, albumin atau plasma.
c. Luka akibat terbakar diobati sebagai luka bakar ringan
d. Pertimbangkan untuk merujuk ke pusat luka bakar
2. Luka bakar ringan (luka bakar <20% pada dewasa, <10% pada anak)
a. Terapi terbuka-bersihkan luka dan biarkan terpapar pada lingkungan khusus yang bersih
b. Terapi tertutup-tutup luka dengan kasa yang dibasahi dengan klorheksidin atau silver
sulfadiazine yang ditutup tipis
c. Debridemen eskar dan split skin graft.
Resusitasi Cairan
Menurut Sunatrio (2000), pada luka bakar mayor terjadi perubahan permeabilitas kapiler yang
akan diikuti dengan ekstrapasasi cairan (plasma protein dan elektrolit) dari intravaskuler ke
jaringan interstisial mengakibatkan terjadinya hipovolemik intravaskuler dan edema
interstisial. Keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik terganggu sehingga sirkulasi
kebagian distal terhambat, menyebabkan gangguan perfusi sel atau jaringan atau organ. Pada
luka bakar yang berat dengan perubahan permeabilitas kapiler yang hampir menyeluruh,
terjadi penimbunan cairan massif di jaringan interstisial menyebabkan kondisi hipovolemik.
Volume cairan intravaskuler mengalami defisit, timbul ketidakmampuan menyelenggarakan
proses transportasi oksigen ke jaringan. Keadaan ini dikenal dengan sebutan syok. Syok yang
timbul harus diatasi dalam waktu singkat, untuk mencegah kerusakan sel dan organ bertambah
parah, sebab syok secara nyata bermakna memiliki korelasi dengan angka kematian.
Perbaiki volume cairan yang bersirkulasi seperti kristaloid, koloid atau darah melalui IV.
Resusitasi cairan intravena yaitu cairan isotonic, seperti Ringer Laktat jika pasien syok.
Menggunakan regimen yang telah direkomendasi oleh unit luka bakar setempat. Secara
umum, koloid lebih baik daripada larutan elektrolit, terutama bila anak akan dirujuk. Bila
cairan yang dianjurkan tidak tersedia, gunakan plasma dengan volume yang sama dengan
larutan elektrolit (Hartmann) untuk resusitasi. Separuhnya diberikan 8 jam pertama setelah
luka bakar dan separuhnya lagi diberikan dalam 16 jam berikutnya (Insley J, 2003)
Penghitungan berat badan pada pasien menjadi langkah awal. Kateter urin ditinggalkan
sebagai indeks perfusi ginjal dan untuk mengevaluasi keefektifan resusitasi cairan. Ada
beberapa rumus yang telah dikembangkan oleh berbagai pusat perawatan untuk menghitung
kebutuhan cairan pada penderita luka bakar. Terdapat dua sistem yang sering digunakan
sekarang adalah modifikasi Brooked dan Parkland. Kedua rumus ini menghitung kebutuhan
cairan berdasarkan luas daerah luka bakar dikali berat pasien dalam kilogram. Dikali volume
larutan Ringer yang akan diberikan dalam 24 jam pasca luka bakar. Pada kedua perhitungan,
setengah jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama sesusitasi, dengan seperempat dari
seluruh jumlah semula diberikan tiap 8 jam berikutnya. Pemantauan yang teliti dan cermat
mengenai pengeluaran urin dan tekanan vaskuler sentral (bila tepat) merupakan metode
resusitasi yang tepat. Bila pengeluaran urin rendah dan terjadi ketidakstabilan kardiovaskular
pada pemberian volume intravena maka perlu adanya pemasangan kateter termodilusi Swan-
Ganz untuk memantau tekanan jantung kiri dan kanan serta curah jantung. (Sabiston, 1995)
Formula untuk Resusitasi Cairan :
Hasil akhir
2. Formula Evans :
a. Luas luka bakar dalam % x berat badan dalam kg = jumlah NaCl / 24 jam
b. Luas luka bakar dalam % x berat badan dalam kg = jumah plasma / 24 jam (no
a dan b pengganti cairan yang hilang akibat oedem. Plasma untuk mengganti
plasma yang keluar dari pembuluh dan meninggikan tekanan osmosis hingga
mengurangi perembesan keluar dan menarik kembali cairan yang telah keluar)
c. 2000 cc Dextrose 5% / 24 jam (untuk mengganti cairan yang hilang akibat
penguapan)
Separuh dari jumlah cairan 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya diberikan dalam 16
jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan pada hari pertama. Dan hari
ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.
3. Cara lain yang banyak dipakai dan lebih sederhana adalah menggunakan rumus Baxter
yaitu :
% luka bakar x BB x 4 cc
Separuh dari jumlah cairan ini diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya diberikan dalam 16
jam berikutnya. Hari pertama terutama diberikan elektrolit yaitu larutan RL karena terjadi
defisit ion Na. Hari kedua diberikan setengah cairan hari pertama. Contoh: seorang dewasa
dengan BB 60 kg dan luka bakar seluas 25 % permukaan kulit akan diberikan 25% x 60 x 4 cc
= 6000 cc yang diberikan hari pertama dan 3000 cc pada hari kedua.
Metode Baxter
Menurut Moenadjat (2009), metode resusitasi ini mengacu pada pemberian cairan kristaloid
dalam hal ini Ringer Laktat (karena mengandung elektrolit dengan komposisi yang lebih
fisiologis dibandingkan dengan Natrium Klorida) dengan alasan; cairan saja sudah cukup
untuk mengantikan cairan yang hilang (perpindahan ke jaringan interstisium), pemberian
kristaloid adalah tindakan resusitasi yang paling fisiologis dan aman
a. Dewasa : Ringer laktat 4cc x berat badan x %luas luka bakar per 24jam
b. Anak : Ringer laktat : Dextran = 17 : 3
Protocol resusitasi :
Kebutuhan cairan dalam 24 jam pertama adalah 4 ml/kg/% luas luka bakar, pemberian
berdasarkan pedoman berikut.
Pedoman
a. Separuh kebutuhan diberikan dalam 8 jam I (dihitung mulai saat kejadian luka bakar)
b. Separuh kebutuhan diberikan dalam 16 jam sisanya
Tabel Formula untuk resusitasi penggantian cairan (Horne M & Pamela L, 2000)
24 jam pertama
Formula Elektrolit Koloid Glukosa dalam air
Cairan ringer
Laktat, 2-4 ml/kg/%
luas permukaan
Consensus
tubuh untuk
ABA
mempertahankan
haluaran urin 30-50
ml/jam
Cairan ringer
Brooks Laktat, 1,5 ml/kg/% 0,5 ml/kg/% burn 2000 ml
luka bakar
Cairan ringer
Parland
Laktat, 4 ml/kg/%
Volume untuk
mempertahankan
Cairan Natrium haluaran urin 30
Hipertonik ml/jam (cairan
berisi 250 mEq
natrium/L)
2. WOC (terlampir)
2. Prognosis
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan luasnya permukaan
luka bakar dan penenganan syok hingga penyembuhan. Selain itu faktor letak daerah terbakar,
usia, dan keadaan kesehatan penderita juga turut menentukan kecepetaan kesembuhan. Luka
bakar pada daerah perinium, ketiak, leher, dan tangan sulit dalam perawatannya, karena
mudah mengalami kontraktur.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3. Asuhan Keperawatan Umum
Pengkajian
1. Primary Survey
a. Airway
b. Breathing
Kaji pergerakan dinding thorax simetris atau tidak, ada atau tidaknya kelainan pada
pernafasan misalnya dispnea, takipnea, bradipnea, ataupun sesak. Kaji juga apakah ada suara
nafas tambahan seperti snoring, gargling, rhonki atau wheezing.Selain itu kaji juga kedalaman
nafas pasien.
c. Circulation
Kaji ada tidaknya peningkatan tekanan darah, kelainan detak jantung misalnya takikardi,
bradikardi. Kaji juga ada tidaknya sianosis dan capilar refil.Kaji juga kondisi akral dan nadi
pasien.
d. Disability
Kaji ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks, pupil anisokor dan
nilai GCS
e. Exposure
Pakaian pasien segera dievakuasi guna mengurangi pajanan berkelanjutan serta menilai luas
dan derajat luka bakar.
2. Secondary Survey
Secondary survey ini merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara head to
toe, dari depan hingga belakang.
a. Data demografi meliputi identitas pasien nama, usia, jenis kelamin, alamat, dll
b. Keluhan Utama: Luas cedera akibat dari intensitas panas (suhu) dan durasi
pemajanan, jika terdapat trauma inhalasi ditemukan keluhan stridor, takipnea,
dispnea, dan pernafasan seperti bunyi burung gagak (Kidd, 2010).
c. Riwayat Penyakit Sekarang: Mekanisme trauma perlu diketahui karena ini
penting, apakah penderita terjebak dalam ruang tertutup, sehingga kecurigaan
terhadap trauma inhalasi yang dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas. Kapan
kejadiannya terjadi (Sjaifuddin, 2006).
d. Riwayat Penyakit Dahulu: Penting dikaji untuk menetukan apakah pasien
mempunyai penyakit yang tidak melemahkan kemampuan untuk mengatasi
perpindahan cairan dan melawan infeksi (misalnya diabetes mellitus, gagal
jantung kongestif, dan sirosis) atau bila terdapat masalah-masalah ginjal,
pernapasan atau gastro intestinal. Beberapa masalah seperti diabetes, gagal ginjal
dapat menjadi akut selama proses pembakaran. Jika terjadi cedera inhalasi pada
keadaan penyakit kardiopulmonal (misalnya gagal jantung kongestif, emfisema)
maka status pernapasan akan sangat terganggu (Hudak dan Gallo, 1996).
e. Riwayat Penyakit Keluarga: kaji riwayat penyakit keluarga yang kemungkinan
bisa ditularkan atau diturunkan secara genetik kepada pasien seperti penyakit
DM, hipertensi, asma, TBC dll.
f. Review of System
g. Pemeriksaan diagnostik
1. WBC 12,0 X 103ῃ/1
2. MCV 80,4 Fl
3. Limphosyt 11,2%
4. RDW 44,3 fL
1. Analisis data
Edema paru
Pola napas cepat dan
dangkal
Hiperventilasi
TTV : RR= 32 x/ mnt, N=
90 x/ mnt, TD= 100/ 70
mmHg, T= 36oC
Kerusakan pertukaran
gas
DS: -
Luka bakar
DO:
pasien batuk-batuk
Bersihan jalan
Gerakan dada tidak simetris Edema laring
2. napas tidak
RR> 20 x/mnt
efektif
Obstruksi jalan nafas
Pola napas cepat dan
dangkal Bersihan jalan nafas
inefektif
Terdapat edema
Kerusakan
5 Kulit kemerahan hingga
integritas kulit
nekrosis
Inflamasi, Lesi
Kulit tidak utuh
Akral dingin, lembab
Kerusakan integritas
kulit
2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan edema dan efek dari inhalasi
asap
4. Gangguan perfusi jaringan tidak efektif berhubungan dengan penurunan atau interupsi
aliran darah arteri / vena
1. INTERVENSI
DAFTAR PUSTAKA
Borley R. Neil danGrase A. Pierce. 2007. At a glance IlmuBedah. Edisi 3. Jakarta Erlangga
Dewi, Yulia Ratna Sintia. 2013. Luka Bakar : Konsep Umum dan Investigasi Berbasis Klinis
Luka Antemortem dan Postmortem. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Di Maio, V.J.M. & Dana, S.E. 1998. Fire and Thermal Injuries, in: Di Maio, V.J.M. & Dana,
S.E.(eds) Hand Book of Forensic Pathology. USA: Landes Bioscience
Grace, P.A & Borley, N.R. 2006. At a Glance Ilmu Bedah edisi ketiga. Jakarta: Penerbit
Erlangga
Gurnida, Dida dan Melisa Lilisari. 2011. Dukungan Nutrisi pada Penderita Luka Bakar.
Bagian Ilmu Kesehatann Anak,Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Rumah Sakit
Hasan Sadikin,Bandung.
Hardisman. 2014. Gawat Darurat Medis Praktis. Yogyakarta : Gosyen Publising.
Hidayat, A Aziz Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan.
Jakarta. Salemba Medika
Horne, M., Pamela L. 2000. Keseimbangan Cairan Elektrolit & Asam basa. EGC : Jakarta
Insley, J. 2000. Vade-Mecum Pediatri. EGC : Jakarta
Moenadjat Y. 2009. Luka bakar masalah dan tatalaksana. Jakarta : Balai penerbit FKUI
Mohamad, Kartono. 2005. Pertolongan Pertama. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Nina, R. 2008. Efek Penyembuhan Luka Bakar dalam Sediaan Gel Ekstrak Etanol 70% Daun
Lidah Buaya (Aloe Vera L) pada Kulit Punggung Kelinci New Zealand. Skripsi. Fakultas
Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
Ortiz-Pujols SM, Thompson K, Sheldon GF, et al. 2011. Burn Care : Are There Sufficient
Prociders and Facilities?. Chapel Hill, North Carolina. American College of Surgeons Health
Policy Research Institute
Rahayuningsih. 2012. Penatalaksanaan Luka Bakar Combustio. Akademi Keperawatan Bhaki
Mulia.Sukoharjo
Sari, Suci Mustika. 2015. Pengalaman Prehospital Keluarga dalam Penanganan Luka Bakar
di RSUD Sukoharjo. Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kusuma Husada. Surakarta.
Sari, Suci Mustika. 2015. Pengalaman Prehospital Keluarga Dalam Penanganan Luka Bakar
Di Rsud Sukoharjo. Skripsi. Surakarta : Stikes Kusuma Husada .