Anda di halaman 1dari 50

KLIPING SEJARAH

PEPERANGAN MELAWAN VOC DAN BELANDA

NAMA:ZULFAN REZAL MUSTARI

NO ABSEN:36

KELAS:XII-MIPA-3

SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) NEGERI 3 PAMEKASAN

Jalan Pintu Gerbang 37 Pamekasan, Jawa Timur 69316

Website: www.sman3pmk.sch.id E-mail: smaga@sman3pmk.sch.id

2020
A. Perlawanan Goa Terhadap VOC

PERLAWANAN RAKYAT GOA TERHADAP VOC

Perlawanan rakyat Goa terhadap VOC. Semenjak Indonesia berada dalam masa kolonial,
ada banyak sekali perlawanan rakyat untuk melawan para penjajah. Perlawanan rakyat melawan
para penjajah terjadi di mana-mana. Pada kesempatan ini kita akan membahas tentang
perlawanan rakyat Goa terhadap VOC. Perlawanan rakyat Goa terhadap VOC perlu kita ketahui
agar semangat nasionalisme kita bertambah. Berikut ini penjelasan singkat tantang perlawanan
rakyat Goa terhadap VOC.

Kerajaan Goa merupakan salah satu kerajaan yang sangat terkenal di Nusantara. Pusat
pemerintahannya berada di Somba Opu yang sekaligus menjadi pelabuhan Kerajaan Goa. Somba
Opu senantiasa terbuka untuk siapa saja. Banyak para pedagang asing yang tinggal di kota itu.
Misalnya, orang Inggris, Denmark, Portugis, dan Belanda. Mereka diizinkan membangun loji di
kota itu. Goa anti terhadap tindakan monopoli perdagangan. Masyarakat Goa ingin hidup
merdeka dan bersahabat kepada siapa saja tanpa hak istimewa. Masyarakat Goa senantiasa
berpegang pada prinsip hidup sesuai dengan kata-kata “Tanahku terbuka bagi semua bangsa”,
“Tuhan menciptakan tanah dan laut; tanah dibagikannya untuk semua manusia dan laut adalah
milik bersama.” Dengan prinsip keterbukaan itu maka Goa cepat berkembang.Pelabuhan Somba
Opu memiliki posisi yang strategis dalam jalur perdagangan internasional. Pelabuhan Somba
Opu telah berperan sebagai bandar perdagangan tempat persinggahan kapal-kapal dagang dari
timur ke barat atau sebaliknya. Sebagai contoh kapal-kapal pengangkut rempah-rempah dari
Maluku yang berangkat ke Malaka sebelumnya akan singgah dulu di Bandar Somba Opu. Begitu
juga barang dagangan dari barat yang akan masuk ke Maluku juga melakukan bongkar muat di
Somba Opu. Dengan melihat peran dan posisinya yang strategis, VOC berusaha keras untuk
dapat mengendalikan Goa dan menguasai pelabuhan Somba Opu serta menerapkan monopoli
perdagangan. Untuk itu VOC harus dapat menundukkan Kerajaan Goa.
Berbagai upaya untuk melemahkan posisi Goa terus dilakukan. Sebagai contoh, pada tahun
1634, VOC melakukan blokade terhadap Pelabuhan Somba Opu, tetapi gagal karena perahu-
perahu Makasar yang berukuran kecil lebih lincah dan mudah bergerak di antara pulau-pulau,
yang ada. Kemudian kapal-kapal VOC merusak dan menangkap kapal-kapal pribumi maupun
kapal-kapal asing lainnya.

Raja Goa, Sultan Hasanuddin ingin menghentikan tidakan VOC yang anarkis dan provokatif
itu. Sultan Hasanuddin menentang ambisi VOC yang memaksakan monopoli di Goa. Seluruh
kekuatan dipersiapkan untuk menghadapi VOC. Beberapa benteng pertahanan mulai
dipersiapkan di sepanjang pantai. Beberapa sekutu Goa mulai dikoordinasikan. Semua
dipersiapkan untuk melawan kesewenangwenangan VOC. Sementara itu VOC juga
mempersiapkan diri untuk menundukkan Goa. Politik devide et impera mulai dilancarkan.
Misalnya VOC menjalin hubungan dengan seorang Pangeran Bugis dari Bone yang bernama Aru
Palaka.

 ADANYA PERJANJIAN BONGAYA

VOC begitu bernafsu untuk segera dapat mengendalikan kekuasaan di Goa. Oleh karena itu,
pimpinan VOC, Gubernur Jenderal Maetsuyker memutuskan untuk menyerang Goa. Dikirimlah
pasukan ekspedisi yang berkekuatan 21 kapal dengan mengangkut 600 orang tentara. Mereka
terdiri atas tentara VOC, orang-orang Ambon dan juga orang-orang Bugis di bawah Aru Palaka.
Tanggal 7 Juli 1667, meletus Perang Goa.

Tentara VOC dipimpin oleh Cornelis Janszoon Spelman, diperkuat oleh pengikut Aru
Palaka dan ditambah orang-orang Ambon di bawah pimpinan Jonker van Manipa. Kekuatan
VOC ini menyerang pasukan Goa dari berbagai penjuru. Beberapa serangan VOC berhasil
ditahan pasukan Hasanuddin. Tetapi dengan pasukan gabungan disertai peralatan senjata yang
lebih lengkap, VOC berhasil mendesak pasukan Hasanuddin. Benteng pertahanan tentara Goa di
Barombang dapat diduduki oleh pasukan Aru Palaka

Hal ini menandai kemenangan pihak VOC atas kerajaan Goa. Hasanuddin kemudian dipaksa
untuk menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667.
Isi dari perjanjian Bongaya antara lain sebagai berikut.
1.Goa harus mengakui hak monopoli VOC
2. Semua orang Barat, kecuali Belanda harus meninggalkan wilayah Goa
3. Goa harus membayar biaya perang

Sultan Hasanuddin tidak ingin melaksanakan isi perjanjian Bongaya, karena isi perjanjian
Bongaya bertentangan dengan hati nurani dan semboyan masyarakat Goa atau Makasar. Pada
tahun 1668 Sultan Hasanuddin mencoba menggerakkan kekuatan rakyat untuk kembali melawan
kesewenang-wenangan VOC itu. Namun perlawanan ini segera dapat dipadamkan oleh VOC.
Dengan sangat terpaksa Sultan Hasanuddin harus melaksanakan isi Perjanjian Bongaya. Bahkan
benteng pertahanan rakyat Goa jatuh dan diserahkan kepada VOC. Benteng itu kemudian oleh
Spelman diberi nama Benteng Rotterdam.

Pada awalnya orang-orang belanda ketika datang ke kepulauan indonesia pada mulanya tidak
begitu tertarik dengan kerajaan Gowa yang letaknya di kaki barat daerah sulawesi selatan.
Belanda pada mulanya dalam perjalanan ke Timur sesudah berangkat dari pelabuhan-pelabuhan
jawa mereka meneruskan perjalanan nya ke maluku. Belanda baru mengetahui pentingnya
pelabuhan Gowa setelah kejadian di dekat perairan malaka. Dimana pihak belanda merampas
kapal milik portugis yang ternyata memilki seorang awak kapal makassar. Dari orang makassar
ini lah belanda mengetahui bahwa pelabuhan Gowa merupakan pelabuhan transito bagi kapal-
kapal yang berlayar deri atau ke maluku. Selain itu setelah bertemu dengan kapal-kapal Gowa
yang memuat orang-orang portugis tidak di serang oleh belanda. Hal ini di lakukan guna mencari
kesan yang baik dengan raja Gowa. Pada saat itu belanda berkesimpulan bahwa pelabuhan Gowa
sangat strategis karena terletak antara malaka dan maluku.Kemudian belanda mencoba menjajagi
hubungan dengan terlebih dahulu mengirim sepucuk surat yang dikirim dari banda kepada sultan
Gowa. Isi dari surat itu adalah semata-mata tujuan belanda hanya ingin berdagang saja. Akhirnya
raja Gowa mengundang belanda berkunjung ke pelabuhan Gowa, tetapi dengan tekanan bahwa
belanda hanya boleh berdagang saja di Gowa. Raja Gowa tidak ingin kerajaanya menjadi tempat
adu senjata antara orang asing yang datang berdagang disana.atas undangan raja gowa, pedagang
belanda mulai datang ke pelabuhan gowa untuk berdagang. Belanda pernah mengajak kerajaan
gowa untuk menyerang Banda yang merupakan pusat rempah-rempah, tetapi raja gowa menolak
hal tersebut.
Anggota kompeni belanda sering melakukan kunjungan ke gowa. Mereka selalu membujuk
raja gowa agar tidak menjual berasnya pada portugis. Akan tetapi raja gowa tidak ingin
memmutuskan hubungan dagang dengan portugis karena di anggap menguntungkan. Bahkan raja
gowa mengeluh karena kapal-kapal kompeni mulai melakukan penyerangan  ke maluku.
Akhirnya keadaan gowa dan belanda pun makin memburuk karena kedua-duanya mempunyai
kepentingan yang sama dalam perdagangan. Karena itu suatu saat bentrokan antara ke duanya
tidak dapat terelakkan.
Beberapa penyebab timbulnya perselisihan belanda dengan kerajaan gowa di karenakan
kelicikan orang belanda yang hendak menagih hutang dari pembesar-pembesar Gowa. Pembesar
ini di undang ke kapal belanda untuk di jamu, akan tetapi mereka di lucuti oleh belanda. Hal ini
yang membuat kebencian masyarakat makassar tidak senang dengan belanda. Sebagai balas
dendam orang-orang makassar membunuh awak kapal belanda. Hal ini membuat Jon Pieteers
Coen menaruh dendam pada orang makassar.
Jalannya Perang
Kompeni menginginkan bagian terbesar dalam perdagangan rempah-rempah dimaluku,
padahal pada waktu itu perdagangan ini berada di tangan orang-orang makassar, maka dengan
sendirinya menimbulkan permusuhan. Belanda berencana melumpuhkan kerajaan Gowa. Pada
tahun 1634 diadakan pemblokiran terhadap kerajaan Gowa. Dengan bantuan dari kapal yang
datang dari batavia, belanda memblokir sombaopu. Kapal ini di tugaskan agar tidak membuang
waktu. Tetapi langsung merusak, merongrong, merebut kapal portugis dan india yang berdagang
di sombaopu, tidak terkecuali juga kapal-kapal makassar. Selain itu desa-desa kerajaan Gowa
juga di musnahkan. Akan tetapi hal ini tidak tepat sasaran karena gowa telah mengetahui  berita
tentang VOC dari japara. Dan tiga minggu sebelumnya kapal portugis telah berangkat menuju
kakao. Pada tahun 1635 belanda melakukan lagi pemblokiran. Tetapi orang-orang makassar
menyeberang melalui darat, sehingga dapat terus melakukan perdagangan. Bahkan dari buton,
banyak terjadi penyerbuan dan pembunuhan terhadap orang belanda.
Dua kali perang diistirahatkan ( 1635-1655 dan 1660). Tetapi dalam masa ini sering timbul
permasalan yang membawa ke jurang permusuhan. Maetsuycker bahwa perang melawan
makassar akan menelan belanja yang sangat besar karena melengkapi persiapan perang yang
banyak. Dunia juga sadar bahwa pengarah-pengarah di amsterdam(Belanda) benci
membelanjakan uang untuk menawan. Tambahan pula dalam tahun 1651 kompeni belanda
sedang berperang dengan orang-orang portugis yang menghabiskan banyak biaya.
Pada tahun awal tahun 1654 terjadi perang, Gowa telah menyiapakan suatu armada perang
dengan kekuatan 5.000 orang bersenjata untuk berlayar ke maluku. Pertempuran ini bermula
karena belanda merampas suatu angkutan kayu cendana yang telah dijual rakyat makassar
kepada orang portugis. Dan akhirnya belanda dipaksa membayar ganti rugi, Dan membuat
pecahnya perang. Pertempuran terjadi di buton dan maluku, terutama di Ambon. Orang-orang
makassar mendapat bantuan dari Gowa maupun dari Majira, seorang pemimpin maluku. Bagi
belanda sendiri sangat kewalahan dengan perang ini karena dijalankan di beberapa tempat yang
saling berjauhan sehingga merepotkan.Akhirnya pada tanggal 27 februari 1656 membuat
perjanjian yang menguntungkan makassar. Akan tetapi tahun 1660 VOC menyiapakan diri untuk
berperang, armada yang terdiri dari 31 buah kapal dan 2.600 awak dikirim ke sulawesi. Perang
dimulai ketika armada ini sampai di depan sombaopu,dan menyebar ke kerajaan Gowa. Belanda
berhasil merebut benteng Penanukang.
Kondisi Sosial, Ekonomi Dan Politik Kerajaan Gowa Tallo
a) Kondisi sosial budaya Kerajaan Gowa Tallo
Sebagai negara Maritim, maka sebagian besar masyarakat Makasar adalah nelayan dan
pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang
dari mereka yang merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya.  Walaupun masyarakat
Makasar memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi
dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral.
Norma kehidupan masyarakat Makasar diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut
PANGADAKKANG. Dan masyarakat Makasar sangat percaya terhadap norma-norma tersebut.
Di samping norma tersebut, masyarakat Makasar juga mengenal pelapisan sosial yang
terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan
“Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to Maradeka” dan masyarakat
lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan golongan “Ata”.
Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Makasar banyak menghasilkan benda-benda
budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis
kapal yang dibuat oleh orang Makasar dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo.Kapal Pinisi dan
Lombo merupakan kebanggaan rakyat Makasar dan terkenal sampai mancanegara.
b) Kondisi ekonomi Kerajaan Gowa Tallo
Kerajaan Makasar merupakan kerajaan Maritim dan berkembang sebagai pusat
perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini ditunjang oleh beberapa faktor :
a. letak yang strategis,
b. memiliki pelabuhan yang baik
c. jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 yang menyebabkan banyak pedagang-
pedagang yang pindah ke Indonesia Timur.
Sebagai pusat perdagangan Makasar berkembang sebagai pelabuhan internasional dan
banyak disinggahi oleh pedagang-pedagang asing seperti Portugis, Inggris, Denmark dan
sebagainya yang datang untuk berdagang di Makasar.
Pelayaran dan perdagangan di Makasar diatur berdasarkan hukum niaga yang disebut
dengan ADE’ ALOPING LOPING BICARANNA PABBALUE, sehingga dengan adanya
hukum niaga tersebut, maka perdagangan di Makasar menjadi teratur dan mengalami
perkembangan yang pesat.
Selain perdagangan, Makasar juga mengembangkan kegiatan pertanian karena Makasar juga
menguasai daerah-daerah yang subur di bagian Timur Sulawesi Selatan.
c) Kondisi politik Kerajaan Gowa Tallo
Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan dilakukan oleh Datuk Robandang/Dato’ Ri
Bandang dari Sumatera, sehingga pada abad 17 agama Islam berkembang pesat di Sulawesi
Selatan, bahkan raja Makasar pun memeluk agama Islam. Raja Makasar yang pertama memeluk
agama Islam adalah Sultan Alaudin. Sejak pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan Makasar
berkembang sebagai kerajaan maritim dan berkembang pesat pada masa pemerintahan raja
Muhammad Said (1639 – 1653).
Selanjutnya kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan
Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar berhasil memperluas
wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah
yang dapat menunjang keperluan perdagangan Makasar. Ia berhasil menguasai Ruwu, Wajo,
Soppeng, dan Bone.Perluasan daerah Makasar tersebut sampai ke Nusa Tenggara Barat. Daerah
kekuasaan Makasar luas, seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya.
Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh
karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC yang telah
berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur)
dan Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut maka timbul
pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya
peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku.
Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya
untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda
semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan
julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur.Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan
dengan Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba antara Makasar dengan kerajaan
Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh
Makasar mengadakan persetujuan kepada VOC untuk melepaskan diri dari kekuasaan Makasar.
Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makasar.
Akibat persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota kerajaan
Makasar. Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui kekalahannya dan
menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya tentu sangat merugikan kerajaan
Makasar.                                                                          
 Isi dari perjanjian Bongaya antara lain:
1. VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.
2. Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.
3. Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di
luar Makasar.
4. Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.
Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap
berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba (putra Hasannudin)
meneruskan perlawanan melawan Belanda.Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makasar,
Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya Belanda dapat menguasai
sepenuhnya kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami kehancurannya.
Proses Kehancuran Kerajaan Gowa Tallo
Sepeninggal Hasanuddin, Makassar dipimpin oleh putranya bernama napasomba. Sama
seperti ayahnya, sultan ini menentang kehadiran belanda dengan tujuan menjamin eksistensi
Kesultanan Makasar. Namun, Mapasomba gigih pada tekadnya untuk mengusir Belanda dari
Makassar. Sikapnya yang keras dan tidak mau bekerja sama menjadi alasan Belanda
mengerahkan pasukan secara besar-besaran. Pasukan Mapasomba berhasil dihancurkan dan
Mapasomba sendiri tidak diketahui nasibnya. Belanda pun berkuasa sepenuhnya atas kesultanan
Makassar.
Peninggalan – Peninggalan Kerajaan Gowa Tallo
1. Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang
Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng
peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota
Makassar, Sulawesi Selatan. Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang
bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa’risi’ kallonna. Awalnya benteng ini
berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin
konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang
ada di daerah Maros.
Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak
turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat
hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan
maupun di lautan. Nama asli benteng in i adalah Benteng Ujung Pandang.
2. Masjid Katangka
Mesjid Katangka didirikan pada tahun 1605 M. Sejak berdirinya telah mengalami
beberapa kali pemugaran. Pemugaran itu berturut-turut dilakukan oleh Sultan Mahmud  (1818),
Kadi Ibrahim (1921), Haji Mansur Daeng Limpo, Kadi Gowa (1948), dan Andi Baso,
Pabbicarabutta Gowa (1962) sangat sulit mengidentifikasi bagian paling awal (asli) bangunan
mesjid tertua Kerajaan Gowa ini.
3. Kompleks Makam Raja Gowa Tallo.
Makam raja-raja. Tallo adalah sebuah kompleks makam kuno yang dipakai sejak abad
XVII sampai dengan abad XIX Masehi. Letaknya di RK 4 Lingkungan Tallo, Kecamatan Tallo,
Kota Madya Ujungpandang. Lokasi makam terletak di pinggir barat muara sungai Tallo atau
pada sudut timur laut dalam wilayah benteng Tallo. Berdasarkan hasil penggalian (excavation)
yang dilakukan oleh Suaka Peninggalan sejarah dan Purbakala (1976¬-1982) ditemukan gejala
bah wa komplek makam berstruktur tumpang-tindih. Sejumlah makam terletak di atas pondasi
bangunan, dan kadang-kadang ditemukan fondasi di atas bangunan makam.
Kompleks makam raja-raja Tallo ini sebagian ditempatkan di dalam bangunan kubah, jirat
semu dan sebagian tanpa bangunan pelindung: Jirat semu dibuat dan balok¬balok ham pasir.
Bangunan kubah yang berasal dari kuran waktu yang lebih kemudian dibuat dari batu bata.
Penempatan balok batu pasir itu semula tanpa mempergunakan perekat. Perekat digunakan
Proyek Pemugaran. Bentuk bangunan jirat dan kubah pada kompleks ini kurang lebih serupa
dengan bangunan jirat dan kubah dari kompleks makam Tamalate, Aru Pallaka, dan Katangka.
Pada kompleks ini bentuk makam dominan berciri abad XII Masehi.

B. Perlawanan Aceh terhadap VOC

Usaha VOC untuk berdagang dan menguasai pelabuhan-pelabuhan penting di Aceh tidak
berhasil, karena Sultan Iskandar Muda cukup tegas. Ia selalu mempersulit orang-orang barat
untuk berdagang di wilayahnya.
Ketika itu Inggris dan Belanda minta ijin untuk berdagang di wilayah Aceh. Sultan Iskandar
Muda menegaskan bahwa ia hanya akan memberi ijin kepada salah satu di antara keduanya
dengan syarat ijin diberikan kepada yang memberi keuntungan kepada Kerajaan Aceh.

Karena merasa kesulitan mendapatkan ijin berdagang, maka para pedagang Inggris dan
Belanda mencoba melaksanakan perdagangan Inggris dan Belanda mencoba melaksanakan
perdagangan gelap atau penyelundupan. Usaha itupun tidak berhasil, karena armada Aceh selalu
siaga menjaga setiap pelabuhan di wilayahnya.

Pada akhir pemerintahan Sultan Iskandar muda, Aceh mulai surut. Hal itu akibat
kekalahan Perlawanan Aceh terhadap Portugis di Malaka. Oleh karena itu, Aceh membutuhkan
banyak beaya untuk membangun armadanya kembali. Maka dengan sangat terpaksa, Aceh
memberi ijin kepada VOC untuk berdagang di wilayahnya.
Dalam pelaksanaannya, VOC tetap mengalami kesulitan. Pada tahun 1641 VOC merebut
Malaka dari tangan Portugis. Sejak itu VOC berperan penting di Selat Malaka. Akibatnya
peranan Aceh di selat tersebut makin berkurang.

Sejarah Perang Aceh Melawan Belanda, 1873-1904

Perang Aceh ialah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 sampai
1904. Kesultanan Aceh menyerah pada 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang
gerilya terus berlanjut. Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, &
mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen.

Pada 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen
Rudolf Köhler, & langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler saat itu
membawa 3. 198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira.

Penyebab Terjadinya Perang Aceh

Perang Aceh disebabkan karena Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari Perjanjian
Siak 1858. Di mana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan & Serdang kepada
Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan
Aceh.

Belanda melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah perjanjian London tahun 1824. Isi
perjanjian London ialah Belanda & Britania Raya membuat ketentuan tentang batas-batas
kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura. Keduanya
mengakui kedaulatan Aceh.

Aceh menuduh Belanda tak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yg lewat
perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Britania.

Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps. Menyebabkan perairan Aceh


menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan.

Ditandatanganinya Perjanjian London 1871 antara Inggris & Belanda, yg isinya, Britania
memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus
menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di
Siak & menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Britania.
Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan
Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia, Kesultanan Usmaniyah di Singapura. Dan
mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871.

Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia & Turki di Singapura,
Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia
Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh & meminta
keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yg sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi
Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.

Strategi Siasat Snouck Hurgronje Mata-mata Belanda

Untuk mengalahkan pertahanan & perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli Dr.
Christiaan Snouck Hurgronje yg menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti
kemasyarakatan & ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat
Aceh [De Acehers]. Dalam buku itu disebutkan strategi bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van
Heutsz adalah, supaya golongan Keumala [yaitu Sultan yg berkedudukan di Keumala] dengan
pengikutnya dikesampingkan dahulu.

Tetap menyerang terus & menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan
pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik
Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan
irigasi & membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh. Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronje diterima
oleh Van Heutz yg menjadi Gubernur militer & sipil di Aceh [1898-1904]. Kemudian Dr Snouck
Hurgronje diangkat sebagai penasehatnya.

Taktik Perang belanda Menghadapi Aceh

Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan
maréchaussée yg dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan yg telah
mampu & menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari &
mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh. Taktik berikutnya yg dilakukan Belanda ialah dengan
cara penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri
Sultan & Tengku Putroe [1902].
Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah
pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli & berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap
Tangse kembali, Panglima Polim dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera
Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara perempuannya & beberapa keluarga terdekatnya.
Akibatnya Panglima Polim meletakkan senjata & menyerah ke Lhokseumawe pada Desember
1903. Setelah Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yg menyerah
mengikuti jejak Panglima Polim.

Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yg dilakukan di


bawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yg menggantikan Van Heutz. Seperti
pembunuhan di Kuta Reh [14 Juni 1904] dimana 2. 922 orang dibunuhnya, yg terdiri dari 1. 773
laki-laki & 1. 149 perempuan. Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yg
masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya Dien dapat ditangkap &
diasingkan ke Sumedang.

Surat perjanjian tanda menyerah Pemimpin Aceh

Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek [korte verklaring,
Traktat Pendek] tentang penyerahan yg harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yg telah
tertangkap & menyerah. Di mana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja
[Sultan] mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda, Raja berjanji tak akan
mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri, berjanji akan mematuhi seluruh
perintah-perintah yg ditetapkan Belanda.

Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian terdahulu yg rumit & panjang


dengan para pemimpin setempat. Walau demikian, wilayah Aceh tetap tak bisa dikuasai Belanda
seluruhnya, dikarenakan pada saat itu tetap saja terjadi perlawanan terhadap Belanda meskipun
dilakukan oleh sekelompok orang [masyarakat]. Hal ini berlanjut sampai Belanda enyah dari
Nusantara & diganti kedatangan penjajah baru yakni Jepang [Nippon].
C. Perang Banten Melawan Voc

Banten merupakan salah satu daerah di pulau jawa. Banten terletak berbatasan dengan
jakarta.pada abad ke 16 banten merupakan salah satu bandar perdagangan di indonesia. Setelah
di kuasainya malaka pada tahun 1511 M. Pelabuhan banten semakin ramai di kunjunjugi para
pedagang dari barat dan timur. Kedatangan bangsa portugis di malaka di ikuti negara eropa
lainnya yaitu belanda yang mendarat di banten 1596 m. Kedatangan para pedagang belanda di
banten yang dipinpin Cornelis Dehoutman awalnya di terima baik oleh penguasa banten waktu
itu. Namun karena sikap kurang bersahabat dan keinginan memonopoli perdagangan.  Sehingga
mendapatkan perlawanan dari banten sehingga rombongan pertama belanda ini berhasil di usir
dari banten.Karena pengusiran oleh banten belanda mengirimkan epedisi kedua ke
indonesia.Dalam ekpedisi ini terdiri dari 8 kapal dan mendarat di banten.rombongan kedua ini di
teima baik oleh banten karena beberapa sebab. Antara lain:

 Banten sedang berperang bermusuhan dengan portugis di malaka


 Sikap bersahabat dari para pedangan belanda

 Kepandaian dalam mengambil hati raja banten

Dengan di terima baiknya pedagang belanda di banten sehingga 3 dari 8 kapal belanda
penuh dengan rempah-rempah pulang kembali ke belanda dan 5 kapa meneruskan perjaanan ke
pulau maluku.Pada tahun 1602 M berdiri persekutuan dagang beanda (VOC) untuk menperkuat
posisi pedagang belanda di indonesia.pedagang belanda menbangun perwakilan dagangya yang
pertama di banten.

Karena letak banten yang strategis sebagai bandar perdagangan internasional memunculkan
keinginan dari voc untuk menguasai banten dan menopoli perdagangan. Namun niat voc tersebut
selalu mengalami kegagalan karena di tentang oleh kerajaan dan rakyat banten. Untuk menyaingi
banten maka belanda menbangun kota pelabuhan di sunda kelapa (jaya karta). Kemudian di
namakan batavia oleh belanda pada tahun 1619 M. Maka terjadilah perebutan posisi sebagai
bandar perdagangan internasional antara banten dengan voc. Sejak itu rakyat Banten sering
melakukan serangan-serangan terhadap VOC.Pada saat pangeran surya naik tahta 1651 M. Nama
lain sultan surya yaitu sultan ageng tirtayasa.Sultan ageng tirta yasa berusaha  memulihkan posisi
Banten sebagai Bandar perdagangan internasional dan sekaligus menandingi perkembangan voc
di Batavia. Ada beberapa usaha yang di lakukan banten untuk menbendung voc di batavia.antara
lain:

1. Mengundang para pedagang ingris,prancis,denmark dan portugis untuk berdagang di


banten
2. Mengembangkan hubungan dagang dengan cina,india dan persia

3. Mengirimkan armada penggangu kapal dagang voc

4. Menbangun saluran irigasi untuk tranfortasi suplai perang

Untuk menghadapi  banten voc menbangun beberapa benteng di daerah batavia diantaranya
benteng norwijk dan lain-lain. Di harapkan dapat membendung serangan dari luar baik dari darat
dan laut. Di tahun 1671 Sultan Ageng Tirtayasa menjadikan putra mahkota Abdulnazar
Abdulkahar menjadi raja atau yang lebih di kenal dengan nama Sultan Haji. Sultan haji
mendapat mandat mengurusi urusan dalam negri dan sultan Ageng Tirtayasa bertanggung jawab
urusan luar negeri yang di bantu oleh putranya yang  lain yaitu  Pangeran Arya Purbaya. Inilah
yang nanti jadi bumerang oleh sultan ageng tirtayasa karena belanda voc mengetahui pembagian
kekuasaan ini. Dengan adanya pembagian kekuasaan menjadi pitu masuk bagi voc untuk
menpengaruhi penguasa banten.

Perwakilan Voc di banten yaitu W.caeft ia mulai mendekati dan merayu sultan haji agar
banten di bawah satu komando. Dia menghasut sultan banten bahwa pewaris tahta kerajaan
nantinya setelah ayahnya meninggal akan di berikan kepada arya purbaya. Dan sultan ahji akan
di singkirkan dari kekuasaan. Kemudian voc menarwankan bantuan untuk mengambil alih
kekuasaan banten secara utuh dan di berikan kepada sultan haji. Karena adanya adu domba
tersebut sultan haji mulai kawatir dia tidak akan di nobatkan sebagai raja banten.
Kemudian dia juga mencurigai ayah dan saudaranya akan mengambil tampuk kekuasaan dan
di berikan kepada arya pengangsang.Akhirnya sultan haji dan voc menbuat persekongkolan
untuk mengambila alih banten dari ayah dan saudaranya.VOC menawarkan bantuan bukan
tampa pamrih.Voc menawarkan empat syarat yaitu :

1. Banten harus menyerahkan cirebon kepada voc


2. Hak monopoli lada di banten di kuasai oleh voc

3. Banten harus menbayar 600.000 ringgit apablia mengingkari janjinya

4. Pasukan banten yang di pesisir dan yang menguasai periangan di tarik ke banten

  Sultan haji menyetujui perjanjian tersebut. Akhirnya Pasukan voc dengan bantuan pasukan
sultan haji mulai melakukan penyerangan terhadap posisi pasukan sultan ageng di suroawan pada
tahun 1681 M. Berkat bantuan voc soroawan bisa di kuasai. Sultan agen tirtayasa menyingkir  ke
tirta yasa dan menbangun pusat pemerintahan di sana.Sultan ageng dengan bantuan putranya
arya ppurbaya berusaha mengambil alih kembali kembali banten. Pada tahun 1682 sultan ageng
berhasil mengepung istana banten di suroasam. Dengan di kepungya istan menbuat posisi sultan
haji terdesak.

Akhir perang melawan voc

Karena terdesak sultan haji minta bantuan dari voc. Voc mengirimkan pasukan di bawah
pimpinan francois tack. Pasukan voc berhasil mematahkan pengepungan istana banten dan
mendesak pasukan ageng tirtayasa hingga ke benteng tirtayasa.

Kekalahan sultan ageng tirta yasa waktu itu. Disebakan karena persenjatan yang lebih
kuno dari pada yang di pakai voc di tambah pasukan sultan haji.karena terdesak di tirta yas
sultan dan anaknya sultan arya purbaya berhasil meloloskan diri kehutan lebak dan melanjutkan
perjuangan secara gerilya.

Kemudian tentara voc terus menburu sultan agen dan anaknya. Namu karena kelicikan
voc sultan ageng tirtayas berhasil di tangkap pada tahun1683M .lebih kurang setelah satu tahun
tirtayasa berhasil di rebut voc. Sultan agen dan anaknya di tawan di batavia  sampai meninggal
tahun 1692 M.
Setelah meninggalnya sultan agen tirtayasa perlawanan rakyat banten terus terjadi walau
dalam skala kecil. Perlawana ini selalu menjadi inpirasi bagi rakyat banten dalam melawan
penjajah. Misalnya tahun 1750 timbul lah=gi perlawanan di banten di bawah kyai tapa dan ratu
bagus.(SI)
D. Perang Banjar Melawan Belanda

Perang Banjar merupakan perang untuk melawan kolonial Belanda yang dimulai pada tahun
1859 hingga 1906.  Perang ini termasuk dalam masa penjajahan Belanda di Indonesia. Nama
lainnya adalah Perang Kalimantan Selatan atau Perang Banjar-Barito karena letaknya Kesultanan
Banjar. Wilayah perang ini meliputi Kalimantan Selatan dan Tengah. Konflik ini dimulai ketika
Belanda memonopoli perdagangan di Kesultanan Banjar. Ternyata Belanda menginginkan hal
lebih yaitu ikut campur di urusan kerajaan yang tentu membuat situasi kerajaan bertambah kalut.
Perang ini berakhir dengan kemenangan Belanda.
Kedatangan Belanda di Tanah Banjar

Pada abad keenam belas, Belanda atas nama East United India Company sudah datang dan
menjalin kontrak di Pulau Kalimantan. Tepatnya pada tahun 1606. Pada tahun 1635, kontrak
pertama perdagangan lada ditandatangani bersama dengan Kesultanan Banjar. Waktu itu, lada
merupakan produk mewah di Eropa dan tentunya menjadi alasan utama Belanda berada di
tempat ini. Beberapa dekade berikutnya sudah muncul peperangan kecil dan bentrokan senjata
karena kontrak lada yang tidak dipenuhi. Yang paling serius adalah insiden pembunuhan 64
orang Belanda dan 21 orang Jepang di Kota Waring pada tahun 1638.

Pada abad kesembilan belas, Herman Willem Daendels selaku Gubernur Hindia Belanda,
memutuskan untuk meninggalkan Banjarmasin atas pertimbangan tidak ekonomis. Kemudian
Inggris mengambil alih Kalimantan sebagai akibat dari Perang Napoleon pada tahun 1811. 
Namun, pada Desember 1816, kewenangan Kalimantan kembali dari Inggris ke Belanda.
Belanda menandatangi kontrak baru dengan Sultan. Pada Januari 1817, bendera Sultan diganti
dengan bendera Belanda. Perlahan, kekuasaan Sultan digantikan oleh Hindia Belanda. Di tahun-
tahun berikutnya, timbul pemberontakan kecil dan ada kontrak tidak adil yang ditandatangani.

Sejarah Perang Banjar

Sultan Tahmidillah I memiliki tiga orang anak yang bisa menggantikan kedudukannya
sebagai sultan yaitu Pangeran Amir, Pangeran Abdullah dan Pangerah Rahmat. Muncullah
Pangeran Nata yang merupakan saudara Sultan Tahmidillah I. Antagonis ini membunuh
Pangeran Abdullah dan Pangeran Rahmat atas bantuan Belanda. Hanya Pangeran Amir yang
selamat. Belanda lalu mengangat Pangeran Nata menjadi Sultah Tahmidillah II.

Pangeran Amir yang selamat tentu tidak menerima Sultan Tahmidillah II menjadi Sultan
Banjar. Konflik pun meletus selama beberapa tahun. Namun dengan mudahnya Sultan
Tahmidillah II dan Belanda mengalahkan Pangeran Amir. Pangeran Amir ditangkap dan dibuang
ke Ceylon atau Sri Lanka. Tapi kemenangan atas Pangeran Amir ini tidaklah gratis. Sultan
Tahmidillah II harus membayar daerah Kotawaringin, Bulungan, Pasir dan Kutai kepada
Belanda.

Pangeran Antasari adalah putra dari Pangeran Amir yang lahir di tahun 1809. Pangeran
Antasari kecil sudah membenci kehidupan istana yang  penuh politik, intrik dan pengaruh
kekuasaan kolonial Belanda. Dia lebih sering hidup di masyarakat biasa, bermain bersama rakyat
biasa, hidup bertani dan berdagang serta mempelajari agama Islam pada para ulama.

Agama Islam sangat berpengaruh ke kehidupan Pangeran Antasari. Tak heran Pangeran
Antasari memiliki akhlak yang baik. Seperti jujur, ikhlas dan pemurah. Tak hanya itu, Pangeran
Antasari juga sangat tabah dalam menghadapi cobaan dan memiliki pandangan yang cukup luas
dan jauh sehingga dia sangat disukai oleh rakyat. Sehingga Pangeran Antasari menjadi pemimpin
yang baik bagi rakyat Kalimantan Selatan.

Kondisi Kesultanan cukup memprihatinkan, tidak stabil dan kacau. Sultan Tahmidillah II
wafat dan diganti oleh Sultan Sulaiman yang hanya dua tahun memerintah. Lalu Sultan Adam
yang melanjutkan pemerintahan. Wilayah Kesultanan Banjar sekarang tinggal sedikit yaitu
Banjarmasin, Hulusungai dan Martapura. Wilayah yang dimiliki sebelumnya sudah diambil oleh
Belanda karena suatu perjanjian.

Perjanjian yang ditandatangani tahun 1826 itu cukup merugikan Kesultanan Banjar.
Isinya yaitu Kesultanan Banjar tidak bisa membuka hubungan diplomasi dengan negara selain
Belanda. Pengecilan wilayah Kesultanan Banjar karena beberapa bagian wilayah menjadi milik
dan diawasi oleh Belanda. Tokoh yang memangku jabatan Mangkubumi pun harus disetujui oleh
pemerintah Belanda. Padang perburuan yang menjadi tradisi dan penuh dengan menjangan pun
harus diserahkan ke Belanda.

Seperti Padang Bajingah, Padang Pacakan, Padang Simupuran, Padang Ujung Karangan
dan Padang Atirak. Penduduk sekitar dilarang berburu di menjangan itu. Pajak penjualan intan
pun didapat oleh Belanda dengan jumlah sepuluh persen dari harga intan dan harga
pembeliannya juga diatur oleh Belanda. Satu-satunya yang terlihat baik adalah Belanda
melindungi Kesultanan Banjar apabila diserang oleh musuh. Baik musuh dari dalam negeri
maupun luar negeri. Kelihatannya Belanda melindungi kedaulatan Kesultanan Banjar. Tapi
justru musuh Kesultanan Banjar adalah Belanda sendiri.

Perjanjian yang tidak seimbang ini tentu dipengaruhi oleh tindakan pendahulu Sultan
Adam yaitu Pangeran Nata. Pangeran Nata yang dibantu oleh Belanda untuk merebut kekuasaan
bagaikan bersekutu dengan setan. Akibatnya, Pangeran Nata harus membalas budi Belanda
dengan perjanjian yang sangat menguntungkan Belanda baik dari jangka pendek maupun jangka
panjang.

Perang Banjar pada 28 April 1859

Setelah Sultan Adam mangkat, Pangeran Tamjidillah diangkat oleh Sultan Banjar.
Padahal rakyat Banjar ingin agar Pangeran Hidayatullah yang menjadi sultan karena dia adalah
putra dari Sultan Adam. Tapi Belanda tetap memaksa agar Pangeran Tamjidillah tetap menjadi
Sultan dan Pangeran Hidayatullah hanya sebagai Mangkubumi. Penindasan dan perlakuan
Belanda yang seenaknya sendiri pada rakyat Kesultanan banjar membuat rakyat marah.
Pemerintah Hindia Belanda mulai waspada akan kemunculan pemberontakan. Penduduk
Banjar mulai melawan Belanda dan membawa semangat Perang Agama. Kelemahan Sultan
Tamjidillah mulai mengakibatkan kekacauan. Kondisi yang semakin panas membuat Pangeran
Antasari tampil menjadi pemimpin rakyat Banjar. Awalnya, Pangeran Antasari menghimpun
kekuatan rakyat yang sudah muak pada Belanda. Tak lupa Pangeran Hidayatullah juga diajak
yang kini menjadi Mangkubumi. Pangeran Hidayatullah pun setuju.

Pada tanggal 28 April 1859 pecahlah Perang Banjar. Pihak Kesultanan Banjar dipimpin
oleh pahlawan nasional yang sangat dikenal yaitu Pangeran Antasari. Pangeran Antasari dibantu
oleh Pangeran Hidayatullah, Demang Lehman, Haji Buyasin, Tumenggung Antaluddin,
Pangeran Amrullah dan lain-lain. Serangan mengarah ke tambang Nassau Oranje milik belanda
dan Benteng Pengaron. Sebagai reaksi, Pemerintah Hindia Belanda melakukan intervensi dan
mengutus Kolonel Augustus Johannes Andersen untuk mengambil alih komando militer. Dia
dibantu oleh Letnan Kolonel G. M. Verspyck.

Setelah berhasil menguasai dua tempat tersebut, muncullah pertempuran di beberapa


tempat lain. Pertempuran Benteng Tabanio di Agustus 1859, Pertempuran Benteng Gunung
Lawak pada September 1859, Pertempuran Munggu Tayur pada Desember 1859, Pertempuran
Amawang pada Maret 1860. Tumenggung Surapati sukses merusakkan kapal Onrust di Sungai
Barito.

Keberpihakan Pangeran Hidayatullah kepada rakyat semakin jelas dan menjadi anti
Belanda. Dia menolak tuntutan oleh Belanda agar menyerah. Hingga akhirnya Belanda
menghapus Kesultanan Banjar di Juni 1860 dan memerintahkan seorang petinggi Belanda untuk
memerintah Kesultanan Banjar.

Perang semakin meluas setelah para kepala daerah dan para ulama juga bergabung dengan
pemberontak. Mereka memperkuat tentara Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayatullah
melawan penjajah. Sayangnya, pasukan pemberontak kalah oleh persenjataan Belanda yang
begitu canggih dan modern. Setelah terus berperang hingga tiga tahun, Pangeran Hidayatullah
menyerah ke Belanda  pada tahun 1861 dan dibuang ke daerah Cianjur.
Menyerahnya Pangeran Hidayatullah membuat Pangeran Antasari menjadi satu-satunya
pemimpin pemberontakan dan keturunan Kesultanan Banjar. Untuk memperkuat kedudukan
sebagai pemimpin tertinggi, Pangeran Antasari meneriakkan slogan, “Hidup untuk Allah dan
Mati untuk Allah,” sehingga rakyat, alim ulama dan pejuang mengakui Pangeran Antasari
sebagai Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. Pangeran Antasari tidak bisa menolak
dan dia harus mengemban kedudukan yang dipercayakan rakyat dan kaum ulama sepenuhnya.
Dia begitu tawakkal kepada Allah. Sekarang Pangeran Antasari bertugas sebagai Kepala
Pemerintahan, Komando Tertinggi Perang dan Pemimpin Islam Tertinggi.

Sejarah Perang Banjar semakin mendekati akhir dan kekalahan Kesultanan Banjar sedikit
demi sedikit semakin tampak. Pasukan Belanda dipasok berbagai persediaan dan pasukan
bantuan dari Batavia. Karena terus terdesak, Pangeran Antasari memindahkan markas komando
di Sungai Teweh. Dari sana, Pangeran Antasari dibantu oleh dua putranya seperti Gusti
Muhammad Said dan Gusti Muhammad Seman. Selain itu juga dibantu oleh Kiai Demang
Lehman dan Tumenggung Surapati. Tapi beberapa hari kemudian Pangeran Antasari wafat lalu
dimakamkan di Hulu Teweh.

Meski Pangeran Antasari sudah wafat, pemberontakan pada Belanda masih berlanjut.
Sekarang dipimpin oleh dua putranya. Tapi tetap saja perlawanan melemah karena perbedaan
kekuatan yang signifikan. Di tahun-tahun akhir perang, Belanda berhasil menangkap dan
membunuh beberapa tokoh perjuangan. Contohnya yang tertangkap seperti Tumenggung Aria
Pati dan Kiai Demang Lehman. Sedangkan yang gugur yaitu Tumenggung Macan Negara,
Tumenggung Naro, Panglima Bukhari dan Rasyid. Menantu Pangeran Antasari, yaitu Pangeran
Perbatasari tertangkap di Belanda ketika bertempur di Kalimantan Timur pada tahun 1866. Dia
diasingkan ke Tondano di Sulawesi Utara. Panglima Bakumpai juga tertangkap dan digantung
pada tahun 1905 di Banjarmasin. Gusti Muhammad Seman juga wafat di Pertempuran Baras
Kuning di daerah Barito.

Hasil Akhir dengan Kekalahan Kesultanan Banjar

Sejarah Perang Banjar selesai pada tahun 1906 yang ditandai dengan kekalahan Pangeran
Antasari dan Kesultanan Banjarmasin. Korban di pihak Banjar lebih dari enam ribu jiwa.
Sementara pihak kolonial kehilangan tiga ribu hingga lima ribu orang dan dua kapal uap yang
tenggelam. Pasca perang ini, Belanda semakin menusukkan taring dan kukunya di tanah
Kalimantan.

E. Perang Padri

Perang Padri adalah salah satu perlawanan rakyat pada masa kolonialisme Belanda di
Indonesia pada abad ke-19. Di mana perang ini berawal dari adanya dua kelompok yang
berkonflik, yang kemudian berkobar menjadi pertempuran melawan kolonial Belanda.
Kekacauan ini berlangsung mulai dari tahun 1803 dengan pulangnya tiga orang haji dari
Mekkah, baru berakhir pada tahun 1838.Bersama dengan Perang Jawa (1825-1830), Perang
Padri menjadi salah satu peperangan yang menghabiskan anggaran pemerintah akibat sangat
berlarut-larut. Sampai dengan tahun 1833, konflik ini dianggap hanya kekacauan antara dua
kelompok masyarakat. Namun setelah itu kedua pihak berbalik melawan Belanda, meskipun
pada akhirnya mengalami kekalahan.
Latar Belakang

Ketika orang-orang Minangkabau mulai memeluk agama Islam sekitar abad ke-16,
tumbuh dua adat yang berdampingan. Adat lama Minang serta adat Syara’ atau adat baru yang
kental dengan ajaran agama Islam. Tidak pernah ada permasalahan dalam kehidupan mereka,
karena dapat saling hidup dengan satu sama lain. Masyarakat Minangkabau dipimpin oleh raja
yang berkedudukan di Pagarruyung. Meski begitu, pemimpin di Pagarruyung tidak termasuk dari
dua belas suku Minangkabau. Sehingga apabila terjadi perubahan perilaku masyarakat Minang,
para pemimpin ini tidak dapat banyak memahami dan berbuat apapun. Pada perkembangannya,
perubahan kebiasaan masyarakat Minangkabau mengarah pada kebiasaan yang berlawanan
dengan ajaran Islam seperti judi, sabung ayam, dan mabuk-mabukan. Para ulama atau Padri
merasa harus berbuat untuk menghilangkan kebiasaan buruk masyarakat ini.
Penyebab Terjadinya Perang Padri

Perang Padri disebabkan antara lain adanya ulama-ulama yang ingin memberantas
kebiasaan buruk. Upaya itu harus direalisasikan meskipun dengan jalan kekerasan. Pada tahun
1803, tiga orang haji pulang dari Mekkah. Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang yang
telah menyaksikan gerakan Wahhabisme di Arab berupaya untuk membersihkan kebiasaan-
kebiasaan yang bertentangan dengan Islam di Minangkabau. Haji Miskin membakar tempat
sabung ayam di Pandai Sikat, hal ini menyebabkan kemarahan masyarakat. Ia melarikan diri ke
Kota Lawas dan dilindungi Tuanku Mensiangan. Haji Miskin kemudian mendatangi Tuanku nan
Renceh dan membentuk Harimau Salapan atau delapan ulama untuk melawan kaum adat.

Kronologi Perang

1. Periode Pertama (1815-1825)

Pembentukan Harimau Salapan mendapatkan respon dari kaum adat yang semakin keras
menolak untuk menerima ide Islam dan mempertahankan apa yang menjadi kebiasaan mereka.
Sementara tidak sedikit pula pembesar-pembesar yang menerima ide-ide Padri, sehingga eskalasi
gerakan menjadi semakin besar dan tidak terkendali. Puncaknya, Kaum Padri dipimpin Tuanku
Pasaman menyerbu Pagarruyung pada tahun 1815 dan menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah
harus menyingkir dari wilayah tersebut. Pada tahun 1821, kaum adat meminta bantuan kepada
Inggris namun pada saat itu Stamford Raffles telah mengincar pembukaan pelabuhan di Tumasik
yang dikuasai Belanda. Sehingga arah bantuan ini diubah kepada Belanda. Tanggal 10 Februari
1821, Residen Du Puy dan Tuanku Saruaso meminta bantuan kepada Belanda dengan ganti
konsesi beberapa wilayah di Minangkabau.

Letnan Kolonel Raaf datang pada Maret 1822 dan sukses menduduki Batusangkar dan
Luhak Ahgam. Namun serangan terus-menerus dari Tuanku Nan Renceh membuat Belanda
harus kembali ke Batusangkar. Benteng Van der Capellen didirikan sebagai posisi baru Belanda
di Pagaruyung, namun kematian mendadak Raaf pada April 1824 membuat gerakan Belanda
terhambat. Sementara itu pada September 1824, Mayor Laemlin menguasai  beberapa wilayah di
Luhak Agam. Laemlin yang kemudian gugur pada bulan desember sehingga pergerakan Belanda
kembali terhenti.
2. Periode Kedua (1825-1830)

Meletusnya Perang Jawa pada tahun 1825 membuat Belanda harus memikirkan ulang
berlarut-larutnya perang Padri. Kolonel Stuers berhasil membuat kontak dengan kaum Padri
yang dipimpin oleh Tuanku Keramat. Perjanjian dilakukan di Ujung Karang dan ditandatangani
di Padang pada 15 November 1825. Menyatakan bahwa Belanda mengakui kedudukan para
Tuanku di beberapa wilayah dan meminta untuk menghormati kepentingan satu sama lain di
wilayah tersebut. Perjanjian ini memberikan kelegaan terhadap Belanda untuk dapat membawa
sebagian besar pasukannya ke Jawa. Di sisi lain, Kaum Padri memanfaatkan ini untuk
mengonsolidasikan kekuatan dan memperbesar pengaruh ke berbagai wilayah. Menjelang tahun
1830, ketegangan kembali memuncak.

3. Periode Ketiga (1830-1838)

Pada periode ketiga, Belanda kini dapat memusatkan seluruh kekuatannya untuk
menaklukkan Minangkabau. Belanda berhasil menduduki Pandai Sikek dan Lintau yang
merupakan posisi kuat Padri. Belanda kemudian mendirikan Fort de Kock di Bukittinggi.
Tuanku Lintau dan Tuanku Rao menjadi tokoh Harimau Salapan selanjutnya yang dikalahkan
Belanda pada Januari 1833. Pada bulan yang sama, garnisun Belanda diserang dan menewaskan
139 serdadu. Hal ini menandai kompromi antara kaum adat dan kaum Padri, sehingga Belanda
kemudian menangkap Raja Pagaruyung Sultan Tangkal Alam Bagagar. Menghadapi seluruh
masyarakat Minangkabau, Belanda melunakkan sedikit konfrontasinya dengan mengeluarkan
Plakat Panjang. Pernyataan bahwa Belanda datang hanya untuk berdagang

Gubernur Jenderal Dominique Jacques de Eerens mengirim Mayor Jenderal Cochius pada
1837 untuk menggempur Bonjol. Bonjol belum berhasil ditaklukkan sejak awal tahun 1833.
Belanda mengepung benteng Bonjol selama enam bulan sejak Maret sampai Agustus 1837. Pada
bulan Agustus benteng berhasil dijatuhkan dan Imam Bonjol melarikan diri. Kekuatan terakhir
Kaum Padri berhasil runtuh dan tidak dapat bangkit kembali setelahnya.
Tokoh-Tokoh Perang

1. Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol adalah salah satu dari ulama besar yang memimpin gerakan Padri. Ia
dianggap sebagai tokoh yang kuat karena memiliki kedudukan yang kuat berupa benteng di atas
bukit wilayah Bonjol. Setelah Tuanku nan Renceh wafat, ia menggantikannya sebagai panglima
perang. Imam Bonjol menyerah kepada Belanda pada 1837 setelah kesulitan menyatukan
pasukan yang tercerai-berai. Ia menyesalkan kekerasan yang dilakukan oleh kaum Padri kepada
kaum Adat dalam rangkaian perang tersebut. Imam Bonjol wafat pada 8 November 1864 di
Lotta, Minahasa tempat pengasingan terakhirnya.

2. Tuanku Pasaman

Tuanku Pasaman adalah salah satu dari Harimau Selapan yang memimpin gerakan Padri. Ia
bertanggungjawab atas serbuan Padri ke istana Pagarruyung yang menyebabkan Sultan harus
menyingkir dari Minangkabau. Serangan ini menjadi rangkaian awal dari konflik Padri-Adat
sebelum terlibatnya Belanda.

3. Tuanku Nan Renceh

Tuanku Nan Renceh adalah salah satu ulama yang kuat pendiriannya terhadap penggunaan
jalan kekerasan dalam gerakan Padri. Ia bertugas menjadi pimpinan gerakan sekaligus panglima
perang. Setelah wafat, digantikan oleh Tuanku Imam Bonjol sebagai panglima perang Padri.
Tuanku Nan Renceh berjasa dalam menyebarkan ide-ide gerakan Padri kepada pembesar
Minangkabau.
4. Mayor Jenderal Cochius

Mayor Jenderal Cochius adalah perwira tinggi Belanda yang ahli dalam penerapan taktik
Benteng Stelsel. Ia dikirim ke Minangkabau pada tahun 1837 untuk menyerbu Bonjol dan
mengakhiri peperangan. Cochius memerintahkan penyerangan besar-besaran terhadap benteng
Bonjol selama enam bulan (Maret-Agustus 1837). Pada awal Agustus baru Belanda dapat
menguasai keadaan, Benteng Bonjol jatuh pada 16 Agustus 1837 dan Imam Bonjol melarikan
diri.

5. Letnan Kolonel Raaf

Letnan Kolonel Raaf adalah salah satu perwira yang didatangkan ke Minangkabau setelah
perjanjian antara kaum adat dan Belanda disepakati. Ia datang pada Desember 1821. Pada maret
1822, ia berhasil memukul mundur Padri dari Pagarruyung dan mendirikan Benteng Van der
Capellen di Batusangkar. Ia terus memimpin pasukan menekan gerakan Padri yang tadinya tidak
terbendung, meskipun akhirnya wafat pada April 1824.

6. Letnan Kolonel Elout

Letnan Kolonel Elout memasuki peperangan pada tahun 1831 dengan membawa Sentot
Prawirodirjo yang membelot dalam rangkaian Perang Jawa. Ia menjadi salah satu perwira yang
bertugas menangkap pimpinan kaum adat ketika mereka berkompromi dengan Padri untuk
bersama-sama menggempur Belanda. Ia menangkap Sultan Tanah Alam Bagagar yang diduga
bertanggungjawab atas serangan kepada garnisun belanda yang menewaskan 139 serdadu.

Akhir Perang Padri

Akhir dari Perang Padri telah dapat dilihat ketika Benteng Bonjol jatuh pada Agustus
1837. Bonjol adalah posisi kuat terakhir yang dimiliki oleh kaum Padri di Minangkabau.
Sehingga kejatuhannya menyebabkan pasukan tercerai-berai, Imam Bonjol kesulitan untuk
menyatukannya kembali. Pada Oktober 1837, Belanda berhasil menangkap Imam Bonjol yang
kemudian diasingkan ke Cianjur pada Januari 1838. Perang masih berkobar sampai Belanda
berhasil menduduki Rokan Hulu yang diduduku oleh Tuanku Tambusai. Kerajaan Pagarruyung
serta wilayah Minangkabau kemudian masuk ke bagian Pax Netherlandica.
F. Perang Maluku melawan portugis

Maluku merupakan kepulauan yang mempunyai banyak rempah-rempah. Hal ini menjadi
daya tarik bangsa asing untuk menjajah Maluku, terbukti dengan datangnya bangsa Spanyol dan
Portugis, bahkan VOC. Mendapatkan penjajahan dari bangsa asing tentunya membuat rakyat di
Maluku melakukan perlawanan.
LATAR BELAKANG
Tahun 1521 Portugis memasuki Kepulauan Maluku dengan berpusat di Ternate. Tidak
lama dari itu Spanyol juga datang dan berpusat di Tidore. Hal ini membuat munculnya
persaingan.
Tahun 1529  terjadi perang antara Tidore melawan Portugis. Penyebabnya karena kapal-
kapal portugis menembaki jung-jung dari banda yang akan membeli cengkih ke Tidore.
Dalam perang ini Portugis mendapat bantuan dari Ternate dan Bacan sehingga mudah
mendapatkan kemenangan. Karena kemenangan ini Portugis semakin melakukan monopoli.
Tahun 1534 dilaksanakan perjanjian damai yaitu Perjanjian Saragosa dimana Portugis menguasai
daerah perdagangan dari Maluku sampai ke Tanjung Harapan dan Spanyol menguasai daerah
perdagangan di Filipina.
PERISTIWA
Portugis yang semakin serakah ingin memonopoli perdagangan di Ternate. Hal ini tentu
membuat hubungan Portugis dan Ternate putus dan Ternate melakukan perlawanan.  Tahun 1565
rakyat Ternate dibawah pimpinan Sultan Khaerun melakukan pelawanan. Sultan Khaerun
menyerukkan seluruh rakyat dari irian/papua sampai jawa untuk mengangkat senjata melawan
Portugis. Portugis yang kewalahan membuat perundingan dengan Sultan Khaerun tahun 1570 di
Benteng Sao Paolo tetapi Sultan Khaerun ditipu dengan diculik dan dibunuh oleh Portugis.
Sultan Baabullah yang merupakan putera dari Sultan Khaerun melanjutkan perlawanan
terhadap Portugis. Ternate, Tidore, dan seluruh rakyat Maluku dipersatukan untuk melancarkan
serangan besar-besaran. Pada tahun 1574 benteng Portugis dapat direbut oleh Ternate. Dengan
demikian rakyat Ternate berhasil mempertahankan kemerdekaannya dari penjajahan Portugis.
Tahun 1575 Portugis terdesak dan diusir dari Ternate.
Perlawanan Rakyat Maluku Melawan VOC
1. Pada tahun 1635 muncul perlawanan rakyat Maluku terhadap VOC di bawah
pimpinan Kakiali, Kapten Hitu.

2. Pada tahun 1646 muncul perlawanan rakyat Maluku terhadap VOC di bawah
pimpinan Telukabes.

3. Pada tahun 1650 muncul perlawanan di Ambon yang dipimpin oleh Saidi.

4. Pada akhir abad ke-18, muncul lagi perlawanan rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan
Jamaluddin

5. Tahun 1780 pasukan Patra Alam menyerang dan mengepung tempat kediaman Sultan


Nuku, namun Sultan Nuku berhasil meloloskan diri dan menyingkir ke Halmahera

6. Menjelang akhir abad ke-18 (1797) muncullah perlawanan besar rakyat Maluku di bawah
pimpinan Sultan Nukudari Tidor

7. Perlawanan Pattimura(1817). Perlawanan Pattimura terjadi di Saparua, yaitu sebuah kota


kecil di dekat pulau Ambon.

Namun berbgai serangan itu dapat dikalahkan oleh VOC yang memiliki peralatan senjata
lebih lengkap. Akibatnya rakyat terus mengalami penderitaan. Pada tahun 1680, VOC
memaksakan sebuah perjanjian baru dengan penguasa Tidore. Kerajaan Tidore menjadi vassal
atau daerah kekuasaan VOC dan sebagai penguasa yang baru diangkatlah Putra Alam sebagai
Sultan Tidore. Pangeran Nuku memprotes Tidore yang mejadi vassal VOC. Akhirnya Pangeran
Nuku memimpin perlawanan rakyat. Sultan Nuku mendapat dukungan rakyat Papua dibawah
pimpinan Raja Ampat. Akhirnya Sultan Nuku berhasil mengembangkan pemerintahan yang
berdaulat melepaskan diri dari Belanda di Tidore sampai akhir hayatnya tahun 1805 karena
mendapat dukungan dari Inggris.
TOKOH-TOKOH
1. Sultan Khaerun
2. Sultan Baabullah

3. Sultan Nuku

4. Pattimura

DAMPAK 
Rakyat di maluku dapat bersatu dan rakyat di luar maluku terdorong untuk melawan
portugis. Dampak negatifnya meluasnya monopoli,rakyat menderita, dan kekuasaan diatur oleh
bangsa asing.
G. Perlawanan Pattimura Terhadap Belanda Tahun 1817

Menurut Convensi London (1814) Kepulauan Maluku merupakan salah satu wilayah


kekuasaan Inggris, yang harus diserahkan kepada Belanda. Pasca penyerahan, pemerintah
Belanda segera menunjuk van Middelkoop sebagai Gubernur di kepulauan Maluku.

Kembalinya Belanda ke Maluku menimbulkan kekecewaan sekaligus kemarahan dari rakyat


Maluku. Hal tersebut dikarenakan oleh, Belanda diduga akan membebani rakyat dengan berbagai
kewajiban yang memberatkan. Hal yang serupa ini memang telah terjadi dimasa kekuasaan
VOC. Alasan kedua adalah rakyat takut Belanda akan memonopoli perdagangan.
Karena tidak ingin kembali menderita akibat penguasaan Belanda, maka rakyat Maluku pun
bersiap melakukan gerakan perlawanan.
Pada tanggal 9 Mei 1817 rakyat Saparua mengangkat Thomas Matulesi sebagai pemimpin
gerakan perlawanan. Thomas Matulesi juga diberikan gelar Pattimura. Pattimura dipilih karena
dianggap mempunyai kecakapan bidang militer juga memiliki kemampuan memimpin.
Kemampuan Pattimura atau Thomas Matulesi ini sudah tidak diragukan lagi. Ia memiliki
pengalaman yang cukup dalam memimpin pasukan militer. Pada masa pemerintah Inggris di
Maluku, Pattimura bekerja di dinas militer. Ia juga memiliki pangkat terakhir sebagai mayor.
Ketika dilaksanakan suatu pertemuan, para pejuang Maluku bertekad untuk merebut
Benteng Duurstede dan juga mengusir semua penghuninya. Aksi perlawanan untuk merebut
Benteng  Duurstede tersebut dimulai pada 15 Mei 1817. Kala itu, rakyat Maluku melakukan
perlawanan terhadap pemerintah Hindia – Belanda.
Mulai dari perampasan perahu – perahu pos yang berada di Pelabuhan Porto. Pasca
perampasan tersebut mereka mulai menyerang benteng. Di saat itu, banyak serdadu Belanda
yang ditangkap dan juga dibunuh. Hal yang sama dialami juga oleh Residen Porto, van den
Berg. Saat itu juga. Benteng Duurstede jatuh ke tangan rakyat Maluku.
Gubernur Van Middelkoop terkejut mendengar kabar mengenai kejadian tersebut. Ia lalu
segera mengirimkan pasukan dari Ambon di bawah pimpinan Mayor Beetjes. Pasukan ini
didaratkan di Saparua pada 20 Mei 1817.
Akan tetapi, begitu pasukan Belanda mendarat, rakyat Saparua dengan segera
menyambutnya dengan serentetan tembakan. Akibatnya, dengan terpaksa pasukan Beetjes
memutar haluan dan membelokkannya ke sebuah tikungan teluk yang terletak di sebelah kiri
benteng.
Di tempat ini, lagi –lagi pasukan Beetjes kembali disambut dengan serangan yang semakin
gencar saja. Pasukan Beetjes pun menjadi kacau balau. Sebaliknya, rakyat Maluku semakin
bersemangat dalam melakukan penyerangan terhadap Belanda.
Pasukan Belanda berusaha untuk mundur, tetapi pasukan Pattimura terus -menerus
mengejarnya. Di dalam pertempuran ini, Mayor Beetjes pun akhirnya tewas.
Sebagai pembalasan atas kekalahannya, Belanda lalu segera menempatkan kapal –kapal
perangnya di wilayah perairan Saparua. Serangan segera dilancarkan dengan menembakkan
meriam ke arah Duurstede yang dilakukan secara terus – menerus.
Pada 2 Agustus 1817 pasukan Belanda berhasil menduduki Benteng Duurstede. Namun,
mereka gagal menangkap Pattimura. Oleh karena itu, Belanda segera melancarkan politik adu
domba. Belanda mengumumkan kepada khalayak tentang tawaran hadiah sebesar 1.000 gulden.
Hadiah tersebut akan diberikan bagi siapa pun yang dapat menginformasikan keberadaan
Pattimura. Ternyata, jeratan yang dibuat Belanda ini betul mengenai sasaran. Raja Boi adalah
orang yang memberitahukan tempat prsembunyian Pattimura kepada pihak Belanda.
Setelah mengatahui lokasi persembunyia Pattimura, Belanda dengan segera mengerahkan
pasukannya. Ia membawa pasukan besar –besaran demi menangkap Pattimura yang bersembunyi
di Bukit Boi.
Pada 16 Desember 1918, Pattimura pun dijatuhi dengan hukuman gantung di Benteng
Nieuw Victoria di kota Ambon. Penangkapan Pattimura ini pun menjadi tanda berakhirnya
perjuangan rakyat Maluku terhadap Belanda.
H. Maluku melawan portugis dan VOC

Perlawanan rakyat Maluku pada penjajahan tercatat sebagai salah satu perlawanan terhebat
di negeri ini. Kawasan ini selalu menjadi incaran negara asing karena kekayaan rempah-rempah.
Dua negara pernah mencoba menguasai kawasan ini, Portugis lalu kemudian Belanda.

Selain Maluku, perlawanan juga terjadi di beberapa daerah, seperti Jawa, Sumatera Barat,
dan Aceh. Bentuk perlawanan tersebut dilakukan untuk mengusir penjajah dari Nusantara.
Berikut ringkasan perjuangan perlawanan rakyat Maluku pada VOC Belanda yang dikutip dari
berbagai sumber:

Latar Belakang

Latar belakang perlawanan rakyat Maluku mengusir bangsa Belanda karena adanya
praktik monopoli dan sistem pelayaran Hongi yang membuat rakyat sengsara. Belanda
melaksanakan sistem penyerahan wajib sebagian hasil bumi terutama rempah- rempah kepada
VOC.

Kompeni juga melangsungkan sistem pelayaran Hongi (hongitochten). Dengan cara itu,
para birokrat Kompeni dapat menginspeksi satu per satu pulau-pulau di Maluku yang bertujuan
menjaga keberlangsungan monopoli rempah-rempah. Kompeni juga punya hak ekstirpasi, yaitu
hak memusnahkan pohon pala dan cengkeh jika harganya turun.

Perlawanan
Perlawanan rakyat Maluku muncul pada tahun 1635 di bawah pimpinan Kakiali, Kapitan
Hitu. Saat Kakiali tewas terbunuh, perjuangannya dilanjutkan Kapitan Tulukabessy. Perlawanan
ini baru dapat dipadamkan pada tahun 1646. Sampai akhir abad ke-18 tak terdengar lagi
perlawanan pada VOC.

Baru kemudian muncul nama Sultan Jamaluddin, dan Sultan Nuku dari Tidore. Namun
VOC dengan cepat bisa memadamkan perlawanan itu. Lalu pada 1817 muncul tokoh dari di
Pulau Saparua bernama Pattimura. Dalam aksi Pattimura itu, Benteng Duurstede berhasil
dihancurkan oleh rakyat Maluku. Bahkan, Residen Belanda Van den Bergh terbunuh dalam
peristiwa tersebut.

Tak sampai di situ, Belanda terus membawa pasukan dari Ambon hingga Jawa demi
mengalahkan rakyat Maluku. Peristiwa ini menjalar ke kota lainnya di Maluku, seperti Ambon,
Seram, dan pulau lainnya agar rakyat Maluku mundur.

Rakyat Maluku pun mundur karena kekurangan pasokan makanan. Demi menyelamatkan
rakyat dari kelaparan, Thomas Mattulessia atau Patimurra menyerahkan diri dan dihukum mati.

Tokoh Perlawanan Rakyat Maluku

Ada dua tokoh yang terlibat dalam perlawanan tersebut, yakni Patimurra sebagai pemimpin
perlawanan pertama dan pejuang perempuan Khristina Martha Tiahahu.

Khristina Martha Tiahahu diketahui menggantikan kepemimpinan Pattimura yang


menyerahkan diri demi rakyat. Sayang, perjuangannya harus berhenti ketika ia dibawa ke
pengasingan di Jawa dan meninggal dunia.

Kolonial pun semakin menerapkan kebijakan yang berat terhadap rakyat Maluku, terutama
rakyat Saparua setelah perlawanan rakyat Maluku. Monopoli rempah-rempah kembali
diberlakukan.

I. Perang Batak
Perang Batak adalah perlawanan yang dilakukan oleh rakyat negeri Toba, di Sumatra Utara
kepada Belanda. Perang ini disebut juga Perang Batak/ Tapanuli karena di sana sebagian besar
masyarakatnya berasal daril rumpun Suku Batak. Suku yang termasuk Suku Batak adalah suku
Toba, Karo,Pakpak, Simalungun, Angkola, dan Mandailing.  Perang ini terjadi dari tahun 1878-
1907, jadi kalau dihitung, 29 tahun lamanya perang di negeri Toba ini terjadi. Perlawanan ini
dipimpin oleh Sisingamangaraja XII, yaitu Raja di negeri Toba, Sumatera Utara.

Beliau lahir di Bakara, 18 Februari 1845 dan kemudian naik tahta pada usia 19 tahun pada
tahun 1870. Beliau termasuk salah satu pejuang dan pahlawan Indonesia yang paling gigih dalam
melawan penjajah Belanda sehingga diangkat oleh pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia sejak tanggal 9 November 1961 berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961.
Bahkan nama beliau diabadikan dengan dipakai sebagai nama jalan di beberapa kawasan
Indonesia.  Perjuangan dan kegigihan Sisingamangaraja  XII dalam perang Batak ini akan
dibahas dalam paparan berikut ini :

Sejarah Perang Batak

Sejarah Perang di Batak terdiri dari beberapa masa dan fase, yaitu masa kedatangan Belanda di
Sumatra, masa konflik kepercayaan dan agama, masa peperangan, dan masa wafatnya Raja
Sisingamangaraja XII. Untuk lebih jelasnya silahkan simak keterangan berikut ini :

A. Masa Kedatangan Belanda ke Sumatra

Perang Batak dipicu sejak kedatangan Belanda Ke kawasan Sumatra , yang mana dasar
Kedatangan Belanda adalah dengan adanya Perjanjian Belanda Inggris (Anglo-Dutch Treaty of
1824). Inggris memberikan seluruh wilayahnya di Sumatera kepada Belanda. Hal ini membuka
peluang bagi Hindia Belanda untuk meng-aneksasi seluruh wilayah yang belum dikuasai di
Sumatera. Dari sinilah Belanda mulai melancarkan monopolinya di Bumi Sumatra.  Penobatan
Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door
policy (politik pintu terbuka) Belanda.

Politik ini bertujuan mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia Belanda, namun
Kesultanan Aceh dan Toba ( Batak) tidak mau menandatangani Korte Verklaring ( Perjanjian
pendek) di Sumatra,  padahal di sisi lain  seluruh wilayah Sumatra, sudah membuka kerja sama
dengan Belanda. Penolakan dan peralawanan Aceh, dapat disimak dalam Sejarah Perang Aceh
melawan Belanda.
Pada saat itu, dalam masa Pemerintahan Sisingamangaraja XII tepatnya abad ke-18
Sumatra Utara masih dalam kondisi damai, dengan masyarakatnya  yang mencari mata
pencaharian dengan berburu, bertani, beternak dan sebagian lainnya berdagang.  Sementara di
daerah Sumatra lainnya, kecuali Aceh, sudah di bawah kekuasaan Belanda.  Sisingamangaraja
XII merupakan raja yang sangat bijaksana, anti perbudakan, anti penindasan dan menjunjung
tinggi nilai kemerdekaan. Beliau juga sangat dihormati dan dicintai oleh rakyatnya.

B. Masa konflik Agama dan keyakinan di Batak

Awal konflik antara Belanda dan Batak dipicu dari berkembangnya agama Kristen yang
dibawa oleh Belanda melalui missionarisnya yang bernama Dr. Nomensen . Pada awalnya, Raja
Sisingamangaraja XII tidak merasa keberatan dengan masuknya dan berkembangnya agama
Kristen yang disebarkan oleh Belanda. Namun, karena Belanda yang bersifat manipulatif dan
ingin memanfaatkan misi penyebaran agama ini, untuk menguasai dan memonopoli Batak, maka
Sisingamangaraja melakukan tindakan preventif.  Seluruh kawasan Sumatra pada sat itu sudah
dikuasai oleh Belanda , diantaranya Raja-raja huta Kristen Batak yang menerima masuknya
Hindia Belanda ke Tanah Batak, sementara Raja Bakkara, Sisingamangaraja menolak adanya
Agama Kristen di wilayahnya.

Hal ini dikarenakan mereka masih sangat mempertahankan dan menghormati agama asli
Batak yaitu Parmalim. Agama Parmalim ini merupakan sebuah kepercayaan Terhadap Tuhan
yang tumbuh dan berkembang di Sumatera Utara sejak dahulu kala. Pengaruh Para Penginjil
RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) di Silindung dan Bahal Batu, semakin besar dan
menyebar di sana. Ditambah lagi para missionaris ini mempunyai kedekatan yang erat dengan
tentara dan Pemerintahan Belanda, hal ini menimbulkan keresahan dalam Kerajaan Batak yang
menganggap Belanda memanfaatkan konflik antara masyarakat Batak dengan para missionaris
dengan tujuan untuk menguasai tanah Batak.

Segera untuk memadamkan penyebaran agama dari missionaris yang sudah ditunggangi
kepentingan politik itu, Sisingamangaraja XII melakukan pengusiran terhadap missionaris di
Silindung dan Bahal Batu.  Tidak terima dengan pengusiran tersebut, para missionaris di
Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman
pengusiran yang dilakukan oleh Singamangaraja XII tersebut. Kejadian tersebut berlangsung
pada tahun 1877.  Konflik dengan para missionaris tersebut tidak berhenti disitu saja. Para
missionaris semakin berani mengungkapkan ketidakpuasan mereka pada Kerajaan Batak karena
dinilai menghalangi misi penyebaran agamanya.

Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil
Ingwer Ludwig Nommensen, untuk melindungi  para Missionaris dan membantu permasalahan
yang mereka alami. Pasukan Belanda datang beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai
penerjemah pasukan Belanda. Kunjungan mereka ini diteruskan menuju ke Bahal Batu untuk
menyusun benteng pertahanan. Namun kehadiran tentara kolonial ini telah membuat
Sisingamangaraja XII khawatir dan melakukan tindakan preventif sehingga  beliau
mengumumkan perang pada tanggal 16 Februari 1878. Nah, mulai sejak itulah penyerangan ke
pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan. Perlawanan terhadap Belanda juga terjadi di
Sumatra Barat pada masa ini, yaitu pada Sejarah Perang Padri.
Masa Perang Batak

 Tahun 1878

Perlawanan dan Pekik Perang dari Sisingamangaraja XII merupaka sesuatu yang sudah
ditunggu oleh Belanda. Hal tersebut memudahkan Belanda untuk beralasan bahwa Kerajaan
Bataklah yang mengobarkan perang terlebih dulu. Serangan Sisingamangaraja XII dibalas sengit
oleh Belanda. Saat itu pusat pertahanan Sisingamangaraja di Bakara, sementara pusat pertahanan
Belanda di Bahal Batu. Untuk menghadapi serangan dari Kerajaan Batak, pada tanggal 14 Maret
1878, Belanda men datangkan Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh
Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga.
Kemudian tanggal 1 Mei 1878, Bangkara, yang merupakan pusat pemerintahan
Sisingamangaraja diserang pasukan kolonial Belanda. Namun sayangnya, seluruh Bangkara
dapat ditaklukkan pada tanggal 3 Mei 1878. Untungnya, Sisingamangaraja XII beserta
pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar dari wilayah tersebut untuk
mengungsi. Sementara itu para raja yang masih tinggal di Bangkara dan tidak sempat melarikan
diri dipaksa Belanda untuk bersumpah setia. Maka sejak Belanda dapat menguasai Bangkara,
wilayah tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia-Belanda. Kisah pasang
surut, menang kalah perjuangan melawan penjajah Belanda, juga dapat disimak di Sejarah
Perang Banten melawan VOC Belanda.
Singamangaraja XII tidak menyerah sampai disitu, walaupun Bangkara sudah jatuh dalam
kekuasaan Belanda, beliau terus melakukan perlawanan secara gerilya, namun sampai akhir
Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, dan Huta Ginjang,
dapat takluk dibawah gempuran Belanda. Karena Lemahnya taktik perang, senjata, dan
pasukan ,maka Sisingamangaraja XII menjalin hubungan dengan pasukan Aceh dan  tokoh-
tokohnya untuk meningkatkan kemampuan tempur pasukannya. Beliau pergi menuju ke wilayah
Gayo, Alas, Singkel, dan Pidie di Aceh dan turut dalam latihan perang Keumala. Berhubung
Belanda unggul dalam persenjataan, maka taktik perang perjuangan Batak dilakukan secara
sembunyi-sembunyi dan tiba-tiba, hal ini mirip dengan taktik perang Gerilya.

 Tahun 1888

Pada tahun 1888, para pejuang Batak melakukan penyerangan ke Kota Tua dengan dibantu
tentara Aceh yang datang dari Trumon. Perlawanan lagi-lagi dapat diredam oleh pasukan
Belanda yang dipimpin oleh J. A. Visser. Saat itu Belanda juga menghadapi kesulitan
menghadapi perlawanan di  Aceh sehingga Belanda terpaksa membatasi perlawanannya terhadap
Sisingamangaraja XII menghindari krisis pasukan dikarenakan tewas di dalam peperangan.
Kehebatam kerajaan Aceh dapat disimak dalam Peninggalan Kerajaan Aceh.
 Tahun 1889

Pasukan Sisingamangaraja XII, tidak berhenti melakukan perlawanan di Lobu Talu, mereka
kembali menyerang Belanda Pada tanggal 8 Agustus 1889. Dalam pertempuran itu, seorang
prajurit Belanda tewas, dan Belanda harus mundur dari Lobu Talu. Namun Lobu Talu dapat
direbut kembali setelah  Belanda mendatangkan bala bantuan dari Padang. Tidak hanya di Lobu
Talu, Huta Paong juga diduduki oleh Belanda Pada tanggal 4 September 1889. Pasukan Batak
yang mengalami kekalahan, terpaksa ditarik mundur ke Passinguran namun pasukan Belanda
terus mengejar pasukan Batak.

Hal ini menyebabkan pertempuran sengit tidak dapat dielakkan saat mereka bertemu di
Tamba. Pasukan Belanda ditembaki oleh pasukan Batak, dan Belanda membalasnya terus
menerus tanpa henti dengan peluru dan altileri. Hal ini menyebabkan pasukan Batak mundur ke
daerah Horion. Khawatir dengan perlawanan Sisingamangaraja XII yang tiada surut, Belanda
mencoba mengambil hati Sisingamangaraja dengan menjanjikan pengangkatan beliau sebagai
Sultan Batak. Namun Sisingamangaraja XII dengan tegas menolak iming-iming tersebut. Beliau
berpendapat lebih baik mati daripada menghianati bangsa sendiri.

Merasa tersinggung dan geram dengan penolakan tersebut, Belanda  mendatangkan regu
pencari jejak dari Afrika, untuk melacak keberadaan Sisingamangaraja XII. Barisan pelacak ini
terdiri dari orang-orang Senegal atau oleh para pejuang Batak di sebut “Si Gurbak Ulu Na
Birong”. Walau Belanda sudah mengerahkan segala kekuatannya, pasukan Sisingamangaraja XII
tak gentar untuk  terus bertarung. Seorang Panglima Sarbut Tampubolon bersama pasukannya
menyerang tangsi Belanda di Butar, sementara itu  Belanda saat itu sedang menyerbu Lintong
dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat Situmorang. Tetapi pasukan Sisingamangaraja XII
melakukan serangan juga ke Lintong Nihuta, Hutaraja, Simangarongsang, Huta Paung,
Parsingguran dan Pollung. Perjuangan gigih yang serupa juga terjadi di Banjar, silahkan
baca Sejarah Perang Banjar.
 Tahun 1906

Pertempuran sengit yang dilakukan pasukan Sisingamangaraja XII terhadap Belanda


merambah ke berbagai penjuru wilayah di Batak. Sayangnya,  Panglima Sisingamangaraja XII,
Amandopang Manullang tertangkap oleh Belanda . Dan terlebih lagi Tokoh Parmalim yang
menjadi Penasehat Khusus Raja Sisingamangaraja XII, Guru Somaling Pardede juga ditawan
Belanda. Ini terjadi pada tahun 1906. Begitu banyak pengorbanan dan perjuangan dilakukan
Sisingamangaraja XII ini, hingga satu persatu orang yang cukup berpengaruh dalam perjalanan
perangnya ditawan.

 Tahun 1907
Tahun 1907, pasukan Belanda yang dijuluki Kolonel Macan atau Brigade Setan mengepung
Sisingamangaraja XII.  Namun Sisingamangaraja XII tetap melakukan perlawanan dan tidak
bersedia menyerah. Ia bertempur sampai titik darah penghabisan. Boru Sagala, Isteri
Sisingamangaraja XII, ditangkap pasukan Belanda begitu pula  putra-putri Sisingamangaraja XII
yang masih kecil. Belanda juga melakukan penangkapan pada Raja Buntal dan Pangkilim,
disusul dengan penangkapan Boru Situmorang, Ibunda Sisingamangaraja XII, Sunting Mariam,
putri Sisingamangaraja XII dan kerabatnya yang lain.

C. Masa wafatnya Sisingamangaraja XII

Pada Tahun 1907,  tepatnya di pinggir kali Aek Sibulbulon, di sebuah desa bernama Si
Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara, di Kabupaten Dairi, gugurlah
Sisingamangaraja XII oleh peluru Marsuse Belanda yang saat itu penyerangannya dipimpin oleh
Kapten Christoffel. Sisingamangaraja XII gugur bersama dua putranya yaitu Patuan Nagari dan
Patuan Anggi beserta putrinya, Lopian.

Pengikut-pengikutnya terpecah belah dan berpencar namun tetap berusaha terus mengadakan
perlawanan. Sementara itu,  keluarga Sisingamangaraja XII yang masih hidup ditawan,
direndahkan dan dinista. Gugurnya Sisingamangaraja XII adalah pertanda jatuhnya tanah Batak
ke dalam kekuasaan Belanda. Setelah  jatuhnya dan kalahnya para pejuang Nusantara di masa
kerajaan, masa-masa suram Bangsa kita dimulai hingga bertahun-tahun, hal ini dapat disimak
dalam Masa kolonial Eropa di Indonesia.

D. Latar belakang terjadinya perang Batak

Dilihat dari sejarah Perang Batak di atas, dapat dilihat bahwa latar Belakang atau faktor yang
mendasari terjadinya Perang Batak adalah :

a) Para Raja Batak atau Tapanuli yang masih menganut agama Batak kuno, yaitu Parmalim,
merasa keberatan atas penyebaran agama Kristen di Tapanuli
b) Belanda menunggangi gerakan Zending ( penyebaran agama Kristen) dengan
kepentingan politiknya untuk menguasai daerah Batak Tapanuli.
c) Belanda sengaja memicu konflik dengan Kerajaan Batak dengan dalih melindungi
kepentingan para missionaris.
d) Penolakan Raja Sisingamangaraja ke-XII atas penyebaran agama Kristen di daerah
Batak/ Tapanuli yang dibawa oleh Dr. Nomensen, seorang Missionaris Belanda.
e) Perang Tapanuli atau Batak pada tahun 1878-1907 terjadi karena politik dagang Belanda
di Batak /Tapanuli, membuat rakyat mengalami kerugian dan penderitaan yang hebat.
Tidak sedikit Petani-petani di Tapanuli yang kehilangan tanah dan pekerjaannya. Hal ini
karena diberlakukannya politik liberal yaitu politik yang memberikan kebebasan kepada
para pengusaha Eropa untuk bisa menyewa tanah penduduk pribumi dengan harga
murah . Lebih parahnya lagi dalam pelaksanaan politik ini, penduduk pribumi dipaksakan
untuk menyewakan tanahnya. Maka dari itu,  Sisingamangaraja XII mengadakan
perlawanan terhadap Belanda.
f) Belanda melakukan kebijakan yang bertujuan untuk mencari keuntungan sebesar-
besarnya di tanah jajahan, yaitu memberlakukan politik Pax Nederlandica serta
mendukung kegiatan kristenisasi yang dilakukan oleh para misionaris. Kedua hal tersebut
dilakukan Belanda dalam rangka menancapkan kekuasaannya di Nusantara, tidak
terkecuali di Batak.
E. Akibat Perang Batak

Perang Batak ini menyisakan kesedihan, kehancuran, korban jiwa, penindasan, penistaan,
dan ketidak bebasan masyarakat Batak. Orang batak  banyak yang terbunuh, pemukiman mereka
hancur karena dibakar, agama Kristen yang saat itu menyebar menjadi berkembang subur tanpa
ada halangan dari pihak manapun. Sedangkan pihak Belanda mengalami krisis pendanaan karena
saat bersamaan mereka juga menghadapi Aceh yang begitu kuat sehingga dia harus
menggunakan pasukan dari luar yang dibayar mahal.Kemegahan, kejayaan dan silsilah Kerajaan
Aceh, dapat disimak dalam Sejarah Kerajaan Aceh.
Dilihat dari sudut Politik, dampak Sejarah Perang Batak ini adalah jatuhnya  Tapanuli/ Batak
di bawah  pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Dari sudut ekonomi, Belanda berhasil
menguasai dan menancapkan  monopoli dagangnya di Tapanuli/ Batak,  terutama hasil
perkebunannya yaitu tembakau. Dilihat dari sudut sosial adalah berkembangnya agama kristen di
Tapanuli/Batak secara meluas sehingga menyebabkan perubahan keyakinan masyarakat
sebelumnya.
J. Perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said

Perlawan terhadap VOC kembali terjadi di Jawa, kali ini dipimpin oleh bangsawan kerajaan
yakni Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Raden Mas Said adalah putera dari Raden
Mas Riya yang bergelar Adipati Arya Mangkunegara dengan Raden Ayu Wulan putri dari
Adipati Blitar. 
Raden Mas Said kemudian diangkat sebagai gandek kraton (pegawai rendahan di istana) dan
diberi gelar R.M.Ng. Suryokusumo. Raden Mas Said kemudian mengajukan permohonan untuk
mendapatkan kenaikan pangkat, namun justru mendapat cercaan dan hinaan dari keluarga
kepatihan, bahkan dikaitkaitkan dengan tuduhan ikut membantu pemberontakan orang-orang
Cina yang sedang berlangsung.
Muncullah niat untuk melakukan perlawanan terhadap VOC. Ia diikuti R. Sutawijaya dan
Suradiwangsa pergi keluar kota untuk menyusun kekuatan. Oleh para pengikutnya Mas Said
diangkat sebagai raja baru dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Senopati
Sudibyaning Prang. Hingga kini sebutan Mas Said yang sangat dikenal masyarakat yakni
Pangeran Sambernyawa.
Perlawanan Mas Said ternyata cukup kuat sehingga menjadi ancaman yang serius bagi
eksistensi Pakubuwana II sebagai raja di Mataram. Pada tahun 1745 Pakubuwana II
mengumumkan sayembara barang siapa yang dapat memadamkan perlawanan Mas Said akan
diberi hadiah sebidang tanah di Sukowati (di wilayah Sragen sekarang).
Mendengar adanya sayembara Pangeran Mangkubumi adik dari Pakubuwana II ingin
mencoba sekaligus menakar seberapa jauh komitmen dan kejujuran Pakubuwana II. Pangeran
Mangkubumi berhasil memadamkan perlawanan Mas Said. Ternyata Pakubuwana II ingkar janji,
karena bujukan Patih Pringgalaya, Pakubuwana II tidak memberikan tanah Sukowati kepada
Pangeran Mangkubumi. 
Terjadilah pertentangan antara Raja Pakubuwana II yang didukung Patih Pringgalaya di satu
pihak dengan Pangeran Mangkubumi di pihak lain. Tiba-tiba dalam pertemuan terbuka di istana
itu Gubernur Jenderal Van Imhoff mengeluarkan kata-kata yang menghina dan menuduh
Pangeran Mangkubumi terlalu ambisi mencari kekuasaan. 
Hal inilah yang sangat mengecewakan Pangeran Mangkubumi segera meninggalkan istana
dan mengadakan perlawanan terhadap VOC. Pangeran Mangkubumi dan pengikutnya pertama
kali pergi ke Sukowati untuk menemui Mas Said. Kedua pihak bersepakat untuk bersatu
melawan VOC. Mangkubumi dan Mas Said sepakat untuk membagi wilayah perjuangan.

Raden Mas Said bergerak di bagian timur, daerah Surakarta ke selatan terus ke Madiun,
Ponorogo dengan pusatnya Sukowati. Sedangkan Mangkubumi konsentrasi di bagian barat
Surakarta terus ke barat dengan pusat di Hutan Beringin dan Desa Pacetokan, dekat Pleret
(termasuk daerah Yogyakarta sekarang).
Pada tahun 1749 dalam suasana perang sedang berkecamuk di berbagai tempat, terpetik
berita kalau Pakubuwana II jatuh sakit. Dalam keadaan sakit ini Pakubuwana II terpaksa harus
menandatangani perjanjian dengan VOC pada tanggal 11 Desember 1749 antara Pakubuwana II
yang sedang sakit keras dengan Gubernur Baron van Hohendorff sebagai wakil VOC. Isi
perjanjian antara lain :
1) Susuhunan Pakubuwana II menyerahkan Kerajaan Mataram baik secara de facto maupun
de jure kepada VOC. 
2) Hanya keturunan Pakubuwana II yang berhak naik tahta, dan akan dinobatkan oleh VOC
menjadi raja Mataram dengan tanah Mataram sebagai pinjaman dari VOC. 
3) Putera mahkota akan segera dinobatkan. 
Sembilan hari setelah penandatanganan perjanjian itu Pakubuwana II wafat. Tanggal 15
Desember 1749 Baron van Hohendorff mengumumkan pengangkatan putera mahkota sebagai
Susuhunan Pakubuwana III.
Pangeran Mangkubumi dan Mas Said sangat kecewa dengan adanya perjanjian tersebut,
sehingga keduanya harus meningkatkan perlawanannya terhadap kezaliman VOC. Perlawanan
Pangeran Mangkubumi berakhir setelah tercapai Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari
1755. Isi pokok perjanjian itu adalah bahwa Mataram dibagi dua. Wilayah bagian barat (daerah
Yogyakarta) diberikan kepada Pangeran Mangkubumi dan berkuasa sebagai sultan dengan
sebutan Sri Sultan Hamengkubuwana I, sedang bagian timur (daerah Surakarta) tetap diperintah
oleh Pakubuwana III.
Sementara perlawanan Mas Said berakhir setelah tercapai Perjanjian Salatiga pada tanggal
17 Maret 1757 yang isinya Mas Said diangkat sebagai penguasa di sebagian wilayah Surakarta
dengan gelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I.

K. Perang Diponegoro

Perang Diponegoro atau Perang Jawa adalah pemberontakan yang dilancarkan oleh


masyarakat Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Perang ini merupakan kekacauan
terbesar yang terjadi pada kekuasaan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Berlangsung selama
lima tahun (1825-1830), perang ini membuat kas pemerintah menjadi kosong ditambah
kehilangan ribuan serdadu Eropa. Perang ini menewaskan kurang lebih 200.000 orang baik
militer maupun sipil, menjadikannya pemberontakan paling berdarah dalam sejarah Hindia
Belanda.
Latar Belakang Perang Diponegoro

Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1822 setelah wafatnya Sri Sultan Hamengkubuwono IV
dikuasai oleh Residen Yogyakarta Hendrik Smissaert yang mencampuri urusan kekuasaan
keraton. Sementara itu Gubernur Jendral van der Capellen meminta seluruh tanah sewa
dikembalikan kepada pemilik dengan kompensasi tertentu. Hal ini tidak disetujui Pangeran
Diponegoro karena akan membawa keraton kepada kebangkrutan atas banyaknya tanah yang
dikembalikan. Namun Smissaert berhasil meyakinkan Ratu Ageng dan Patih Danuredjo selaku
wali raja untuk memuluskan kebijakan tersebut. Keraton terpaksa meminjam uang dari Kapitan
Tionghoa untuk membayar kompensasi tersebut.

Penyebab Terjadinya Perang Diponegoro

Perang Diponegoro sendiri dapat dikatakan disebabkan oleh menguatnya pengaruh Belanda
di dalam keraton. Banyak diantara punggawa keraton yang memihak Belanda karena
mendapatkan keuntungan-keuntungan sendiri. Pangeran Diponegoro memutuskan hubungan
dengan keraton pada Oktober 1824 dan pulang ke Tegalrejo. Ia membahas mengenai
kemungkinan untuk melakukan pemberontakan pada Agustus tahun selanjutnya. Pangeran
Diponegoro menghapus pajak bagi petani untuk memberikan ruang pembelian makanan dan
senjata.

Perang akhirnya pecah ketika Smissaert, pada Mei 1825 memperbaiki jalan Yogyakarta-
Magelang melalui Tegalrejo. Patok-patok jalan ini melewati makam leluhur Diponegoro,
sehingga menyebabkan kemarahannya. Ia memerintahkan mengganti patok tersebut dengan
tombak sebagai pernyataan perang terhadap Belanda dan Keraton Yogyakarta.

Kronologi Perang

Keraton Yogyakarta berusaha untuk menangkap Diponegoro untuk mencegah terjadinya


perang. Pihak keraton merasa bahwa Diponegoro semakin fanatic terhadap keagamaannya.
Diponegoro dirasa terlalu tenggelam dan mengabaikan hubungannya dengan keraton. Di mana ia
bertugas sebagai wali raja. Kediamannya di Tegalrejo dibakar namun pangeran dapat melarikan
diri. Ia berpindah ke Kulonprogo, dan kemudian ke Bantul. Mendirikan basisnya di Gua
Selarong, dan berhasil mengajak berbagai elemen masyarakat untuk bergabung dalam perang
suci. 15 orang pangeran bergabung dengan Diponegoro, ia juga merekrut bandit professional
untuk bergabung melawan Belanda. Perjuangan ini dibantu oleh Kyai Mojo selaku pemimpin
spiritual perang, dan kemudian Sentot Alibasah sebagai panglima perang.

Pertempuran terjadi secara terbuka bertempat di puluhan desa. Pangeran Diponegoro


menyerbu pusat-pusat kekuatan Belanda ketika musim penghujan tiba. Sementara Belanda pada
musim yang sama akan mengusahakan untuk melakukan gencatan senjata. Masing-masing pihak
menggunakan mata-mata, kurir, dan penjelajah untuk melihat kelemahan dan peluang untuk
menyerbu musuh. Jalur-jalur logistic dan pabrik mesiu dibangun di hutan-hutan Yogyakarta.
Sementara Belanda rutin melakukan penghasutan dan provokasi di kalangan masyarakat maupun
milisi Diponegoro.

Perang berlangsung secara stagnan sampai dengan tahun 1828, ketika Belanda di bawah
Jenderal de Kock menerapkan taktik Benteng Stelsel yang berfungsi untuk menjepit pasukan
Jawa. Kyai Mojo berhasil ditangkap pada tahun yang sama. Menyusul tahun 1829, Pangeran
Mangkubumi dan Sentot Alibasah menyerah kepada Belanda. Pada Maret 1830, Pangeran
Diponegoro yang terjepit di Magelang kemudian menyerah kepada Belanda dengan catatan
anggota-anggota laskarnya dilepaskan seluruhnya.

Tokoh-Tokoh

1. Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro memang tidak kehilangan jabatan di keraton. Malahan ia adalah wali
raja bagi Hamengkubuwono V yang masih berusia dua tahun bersama Ratu Ageng dan Patih
Danuredjo. Namun kebijakan Belanda yang mencekik para petani serta membawa keraton dalam
kebangkrutan, lebih dari mencampuri urusan dalam keraton. Hal ini membuat kemarahan
Pangeran Diponegoro memuncak baik terhadap Belanda ataupun kalangan Keraton Yogyakarta
yang berdiam diri. Ia memilih memutus hubungan dengan kerajaan dan mempersiapkan perang
suci melawan penindas dan kaum kafir. Ia memobilisasi pangeran, petani, bandit, dan penduduk
biasa untuk membantunya mengobarkan perang yang berlangsung selama lima tahun.
2. Kyai Mojo

Kyai Mojo adalah sepupu Pangeran Diponegoro yang merupakan seorang ulama. Ia
membantu perjuangan Diponegoro selaku pemimpin spiritual dan panglima perang.
Hubungannya memang sangatlah erat dengan Diponegoro, namun kemudian berubah pada tahun
1828. Ketika Pangeran Diponegoro menggunakan sentimen Jawa tentang Ratu Adil yang
dianggap penyelamat masyarakat dari penindasan. Hal ini dianggapnya sebagai penyimpangan
dari kebenaran. Kyai Mojo berhasil disergap oleh pasukan Belanda di Sleman dan dibawa ke
Salatiga.

3. Sentot Alibasah Prawirodirjo

Sentot adalah keponakan dari Hamengkubuwono IV, yang memiliki dendam terhadap
Belanda. Ayahnya, Ronggo Prawirodirjo tewas ketika masa pemerintahan Daendels sehingga ia
mendukung ketika Diponegoro mengobarkan pemberontakan. Sentot berhasil diyakinkan untuk
menyerah kepada Belanda pada tahun 1829. Ia kemudian dikirim untuk mengalahkan Tuanku
Imam Bonjol dalam Perang Padri. Sentot berkhianat dan memasok senjata bagi
pemberontak,sehingga ia ditangkap kembali dan diasingkan ke Bengkulu.

4. Jenderal de Kock

Jenderal de Kock adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkuasa pada tahun 1825-
1826, bertugas untuk memadamkan api pemberontakan Diponegoro di Jawa. Ia menerapkan
kebijakan Benteng Stelsel untuk mengepung pasukan-pasukan Diponegoro dan menangkap
pemimpin perang masyarakat Jawa. Ia berganti jabatan menjadi Komandan KNIL sampai dengan
tahun 1830, dan berperan besar atas penumpasan pemberontakan Diponegoro. Namanya
digunakan atas salah satu benteng di Bukittinggi yang menjadi titik penumpasan pemberontakan
Imam Bonjol di Minangkabau.

5. Hendrik Smissaert

Hendrik Smissaert adalah Residen Yogyakarta yang ditunjuk oleh gubernur jenderal untuk
menangani wilayah tersebut. Ia menjabat hampir bersamaan dengan wafatnya Hamengkubuwono
IV yang seharusya digantikan oleh Hamengkubuwono V yang masih berusia dua tahun.
Smissaert menduduki tahta selama 31 bulan sebagai pemimpin keraton, hal ini dianggap sebagai
penghinaan oleh masyarakat Jawa. Pemasangan patok-patok jalan yang melalui makam leluhur
Diponegoro adalah kebijakan dari Smissaert. Kedudukannya sebagai penyebab meletusnya
perang Jawa sangatlah besar.

Akhir Perang Diponegoro

Pangeran Diponegoro yang menyerah pada Maret 1830, ditangkap dan kemudian diasingkan
ke Manado lalu dipindahkan ke Makassar. Pasukan-pasukannya yang tidak lagi memiliki
pemimpin kehilangan semangat untuk berjuang. Berakhirnya Perang Jawa ini membawa
pemimpin-pemimpin di tanah Jawa kehilangan harapan untuk melawan Belanda. Sejak tahun
1832, seluruh raja dan bupati di Jawa menyatakan ketundukannya kepada Belanda kecuali
Bupati Ponorogo. Sehingga semakin kukuh kedudukan Belanda di Jawa. Meski begitu perang ini
mampu menewaskan 7.000 serdadu Eropa, yang membuat Belanda semakin kesulitan untuk
memenangkan Perang Padri kedua di Minangkabau. Setelah perang berakhir, populasi
Yogyakarta menyusut separuhnya. Sementara keturunan Pangeran Diponegoro diusir dari
keraton.

L. Sultan Agung VS JP.Coen

Sultan Agung adalah raja yang paling terkenal dari Kerajaan Mataram. Pada masa
pemerintahan Sultan Agung, Mataram mencapai zaman keemasan. Cita-cita Sultan Agung antara
lain: 1 mempersatukan seluruh tanah Jawa, dan 2 mengusir kekuasaan asing dari bumi
Nusantara. Terkait dengan cita- citanya ini maka Sultan Agung sangat menentang keberadaan
kekuatan VOC di Jawa. Apalagi tindakan VOC yang terus memaksakan kehendak untuk
melakukan monopoli perdagangan membuat para pedagang Pribumi mengalami kemunduran.
Kebijakan monopoli itu juga dapat membawa penderitaan rakyat. Oleh karena itu, Sultan Agung
merencanakan serangan ke Batavia. Ada beberapa alasan mengapa Sultan Agung merencanakan
serangan ke Batavia, yakni: 1. tindakan monopoli yang dilakukan VOC, 2. VOC sering
menghalang-halangi kapal-kapal dagang Mataram yang akan berdagang ke Malaka, 3. VOC
menolak untuk mengakui kedaulatan Mataram, dan 4. keberadaan VOC di Batavia telah
memberikan ancaman serius bagi masa depan Pulau Jawa. Pada tahun 1628 telah dipersiapkan
pasukan dengan segenap persenjataan dan perbekalan. Pada waktu itu yang menjadi gubernur
jenderal VOC adalah J.P. Coen. Sebagai pimpinan pasukan Mataram adalah Tumenggung
Baureksa.
Tepat pada tanggal 22 Agustus 1628, pasukan Mataram di bawah pimpinan Tumenggung
Baureksa menyerang Batavia. Pasukan Mataram berusaha membangun pos pertahanan, tetapi
kompeni VOC berusaha menghalang-halangi, sehingga pertempuran antara kedua pihak tidak
dapat dihindarkan. Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan itu pasukan Mataram yang lain
berdatangan seperti pasukan di bawah Sura Agul-Agul yang dibantu oleh Kiai Dipati
Mandurareja dan Upa Santa. Datang pula laskar orang-orang Sunda di bawah pimpinan Dipati
Ukur. Pasukan Mataram berusaha mengepung Batavia dari berbagai tempat.
Terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Mataram melawan tentara VOC di berbagai
tempat. Tetapi kekuatan tentara VOC dengan senjatanya jauh lebih unggul, Tumenggung
Baureksa sendiri gugur dalam pertempuran itu.
Dengan demikian serangan tentara Sultan Agung pada tahun 1628 itu belum berhasil. Sultan
Agung tidak lantas berhenti dengan kekalahan yang baru saja dialami pasukannya. Ia segera
mempersiapkan serangan yang kedua. Belajar dari kekalahan terdahulu Sultan Agung
meningkatkan jumlah kapal dan senjata, Ia juga membangun lumbung-lumbung beras untuk
persediaan bahan makanan seperti di Tegal dan Cirebon. Tahun 1629 pasukan Mataram
diberangkatkan menuju Batavia. Sebagai pimpinan pasukan Mataram dipercayakan kepada
Tumenggung Singaranu, Kiai Dipati Juminah, dan Dipati Purbaya. Ternyata informasi persiapan
pasukan Mataram diketahui oleh VOC. Dengan segera VOC mengirim kapal-kapal perang untuk
menghancurkan lumbung-lumbung yang dipersiapkan pasukan Mataram.
Di Tegal tentara VOC berhasil menghancurkan 200 kapal Mataram, 400 rumah penduduk
dan sebuah lumbung beras. Pasukan Mataram pantang mundur, dengan kekuatan pasukan yang
ada terus berusaha mengepung Batavia. Pasukan Mataram berhasil mengepung dan
menghancurkan Benteng Hollandia. Berikutnya pasukan Mataram mengepung Benteng Bommel,
tetapi gagal menghancurkan benteng tersebut. Pada saat pengepungan Benteng Bommel, terpetik
berita bahwa J.P. Coen meninggal. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 21 September 1629. Dengan
semangat juang yang tinggi pasukan Mataram terus melakukan penyerangan. Dalam situasi yang
kritis ini pasukan Belanda semakin marah dan meningkatkan kekuatannya untuk mengusir
pasukan Mataram. Dengan mengandalkan persenjataan yang lebih baik dan lengkap, akhirnya
dapat menghentikan serangan-serangan pasukan Mataram.
Pasukan Mataram semakin melemah dan akhirnya ditarik mundur kembali ke Mataram.
Dengan demikian serangan Sultan Agung yang kedua ini juga mengalami kegagalan. Dengan
kegagalan pasukan Mataram menyerang Batavia, membuat VOC semakin berambisi untuk terus
memaksakan monopoli dan memperluas pengaruhnya di daerah-daerah lain. Namun di balik itu
VOC selalu khawatir dengan kekuatan tentara Mataram.
Tentara VOC selalu berjaga-jaga untuk mengawasi gerak-gerik pasukan Mataram. Sebagai
contoh pada waktu pasukan Sultan Agung dikirim ke Palembang untuk membantu Raja
Palembang dalam melawan VOC, langsung diserang oleh tentara VOC di tengah perjalanan
pasukan Sultan Agung terhadap VOC memang mengalami kegagalan. Tetapi semangat dan cita-
cita untuk melawan dominasi asing di Nusantara terus tertanam pada jiwa Sultan Agung dan para
pengikutnya. Sayangnya semangat ini tidak diwarisi oleh raja-raja pengganti Sultan Agung.
Setelah Sultan Agung meninggal tahun 1645, Mataram menjadi semakin lemah sehingga
akhirnya berhasil dikendalikan oleh VOC.
Sebagai pengganti Sultan Agung adalah Sunan Amangkurat I. Ia memerintah pada tahun
1646 -1677. Ternyata Raja Amangkurat I merupakan raja yang lemah dan bahkan bersahabat
dengan VOC. Raja ini juga bersifat reaksioner dengan bersikap sewenang-wenang kepada rakyat
dan kejam terhadap para ulama. Oleh karena itu, pada masa pemerintahan Amangkurat I itu
timbul berbagai perlawanan rakyat. Salah satu perlawanan itu dipimpin oleh Trunajaya

Anda mungkin juga menyukai