Anda di halaman 1dari 5

1.

Kondisi Nyata Permasalahan Krusial


a. Nama Masalah
Pemberian ganjaran atau hukuman yang bertentangan dengan
hakikat pendidikan.
b. Seberapa Parah Masalah yang Terjadi
Pada bulan Januari sampai dengan 13 Februari saja, Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah menerima laporan 24 kasus di
sektor pendidikan dengan korban dan pelaku anak. Adapun kasus-kasus
tersebut terbagi dalam dua kategori, yakni anak sebagai korban dan anak
sebagai pelaku. Untuk anak sebagai korban, Retno mencatat kasus
didominasi perundungan. Rinciannya: 3 kasus kekerasan fisik, 8 kekerasan
psikis, 3 kekerasan seksual, 1 tawuran pelajar, korban kebijakan 5 kasus,
dan 1 kasus eksploitasi. Pada kenyataannya, kasus siswa sebagai korban
lebih mendominasi daripada siswa menjadi pelaku.

Gambar 1

Berdasarkan Ikhtisar Eksekutif Strategi Nasional Penghapusan


Kekerasan Terhadap Anak 2016-2020 oleh Kemen-PPPA, terlihat bahwa
kekerasan di dunia pendidikan terbilang tinggi, baik yang dilakukan guru
pada siswa, siswa terhadap guru, maupun siswa terhadap siswa lainnya.
Adapun datanya adalah sebagai berikut.
1) 84% siswa pernah mengalami kekerasan di sekolah
2) 45% siswa laki-laki menyebutkan bahwa guru atau petugas sekolah
merupakan pelaku kekerasan
3) 40% siswa usia 13-15 tahun melaporkan pernah mengalami
kekerasan fisik oleh teman sebaya
4) 75% siswa mengakui pernah melakukan kekerasan di sekolah
5) 22% siswa perempuan menyebutkan bahwa guru atau petugas
sekolah merupakan pelaku kekerasan
6) 50% anak melaporkan mengalami perundungan (bullying) di
sekolah.
Pengaduan pada KPAI masih didominasi dengan kekerasan fisik.
Belum lagi kekerasan verbal atau penindasan yang dilakukan dengan kata-
kata, pernyataan atau julukan tertentu yang memiliki efek tak kalah
berbahaya dibandingkan dengan bullying yang dilakukan dengan
kekerasan fisik. 
c. Dimana dan Siapa yang Terkena Masalah
Masalah ini terjadi di sekolah, di tempat dimana pendidikan
karakter seharusnya terjadi. Namun pada kenyataannya, yang terjadi ialah
pembunuhan karakter siswa akibat pemberian hukuman atau ganjaran dari
guru yang bertentangan dengan hakikat pendidikan.
d. Akibat Lanjutan Apabila Masalah Tidak Diatasi
Pemberian hukuman yang tidak sesuai dengan hakikat pendidikan
akan mengakibatkan siswa merasa rendah diri, hilang kepercayaan, tidak
percaya diri, kerenggangan hubungan emosional dengan guru seperti
memendam benci/dendam, perasaan untuk terus memberontak, bahkan
memicu kebohongan-kebohongan untuk menutupi kesalahan lainnya.
Penggunaan tiga kata terlarang juga dapat menghambat kreativitas siswa.
Sehingga akan terjadi pembunuhan karakter pada siswa hingga siswa
kehilangan kesempatan untuk mengembangkan potensi dirinya secara
maksimal.

2. Faktor Penyebab Masalah


Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pembunuhan karakter siswa
akibat pemberian ganjaran atau hukuman yang bertentangan dengan hakikat
pendidikan adalah sebagai berikut.
a. Guru tidak dapat mengontrol emosinya di dalam kelas dan berperilaku
impulsif (bertindak secara tiba-tiba tanpa memikirkan konsekuensinya
terlebih dahulu).
b. Guru kurang memahami dan memaknai psikologi pendidikan, sehingga
guru tidak tahu bahwa kekerasan baik fisik maupun verbal tidak efektif
untuk memotivasi siswa atau merubah perilaku, justru beresiko
menimbulkan trauma psikologis dan melukai harga diri siswa.
c. Guru memandang siswa lebih rendah darinya, sehingga sering
menganggap siswa selalu salah dan guru selalu benar.

3. Solusi Untuk Mengatasi Masalah


Solusi yang dapat menyelesaikan permasalahan pembunuhan karakter
siswa akibat pemberian ganjaran atau hukuman yang bertentangan dengan hakikat
pendidikan adalah sebagai berikut.
a. Guru harus mulai peduli dengan kesehatan mental atau psikologisnya serta
melakukan pemeriksaan secara berkala, sehingga dapat mengontrol emosi
dan tidak berperilaku impulsif. Karena perilaku impulsif merupakan salah
satu gejala dari kelainan mental. Selain karena ada kelainan pada otak,
perilaku yang bersifat impulsif juga dapat terjadi akibat adanya faktor dari
luar, seperti genetik (seseorang yang lahir dari keluarga dengan riwayat
kelainan mental, memiliki risiko terkena kelainan mental yang lebih
tinggi) dan lingkungan (seseorang yang dibesarkan di keluarga dengan
penuh kekerasan, baik verbal maupun fisik, memiliki risiko tinggi untuk
mengalami kelainan mental). Oleh karena itu, penting bagi orang yang
berperilaku impulsif untuk berkonsultasi dengan pihak profesional seperti
psikolog dan psikiater.
b. Pemberian pelatihan tambahan untuk menerapkan teori-teori pada
psikologi pendidikan.
c. Pemberian hukuman yang mendidik, sesuai dengan aturan yang diberikan
oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu :
1) Hukuman harus selaras  dengan kesalahan. Misalnya,
kesalahannya memecah kaca, hukumannya mengganti kaca yang
pecah  itu  saja. Tidak perlu ada tambahan tempeleng atau hujatan
yang menyakitkan hati. Apabila datang terlambat  lima menit,
maka waktu pulang ditambah lima menit, bukan datang terlambat
lima menit tetapi hukumannya mengintari lapangan sekolah lima
kali.
2) Hukuman harus adil. Adil harus berdasarkan atas rasa obyektif,
tidak memihak salah satu dan membuang perasaan subyektif.
Misalnya apabila gerombolan siswa ketahuan mengotori kelas,
maka minta mereka untuk membersihkan ruangan kelas tersebut.
Hindari perasaan subjektif terhadap siswa yang memiliki hubungan
keluarga ataupun lainnya. Pastikan semua siswa yang terlibat harus
melakukannya.
3) Hukuman harus lekas dijatuhkan. Hal ini bertujuan agar siswa
segera paham hubungan dari kesalahannya, jadi sebaiknya jangan
ditunda.  Guru pun harus jelas menunjukkan dan memberikan
penjelasan atas pelanggaran yang diperbuat oleh siswa, sehingga
siswa tahu apa yang harus diperbaiki dari dirinya.
d. Miminalisir penggunaan kata “nakal”, “tidak boleh”, dan “jangan” dalam
merespons anak.

A. KESIMPULAN
Guru hanya diperbolehkan memberi hukuman yang mendidik dengan tujuan
untuk mengubah siswa yang melanggar aturan tersebut menjadi pribadi yang lebih baik.
dengan memperhatikan aturan :
1. Hukuman harus selaras dengan kesalahan.
2. Hukuman harus adil. 
3. Hukuman harus lekas dijatuhkan.
Guru pun sebaiknya memiminalisir penggunaan kata “nakal”, “tidak boleh”, dan
“jangan” dalam merespons anak.

Anda mungkin juga menyukai