Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Burung memiliki peran dalam berbagai aspek kehidupan baik ekologi,
ekonomi dan sosial bagi manusia. Praktek memelihara burung biasa ditemukan
pada masyarakat baik di kota maupun di desa (Abdurrazaq dan Prasetyawan,
2019). Kebanyakan pemelihara burung memilih burung untuk dijadikan hewan
peliharaan dengan alasan suaranya yang merdu, bulunya yang indah, dan hanya
sekedar hobi (Doneley, 2010).
Burung merupakan organisme makhluk hidup yang tergolong dalam
kingdom animalia pada filum aves dan termasuk organisme yang memiliki
persamaan ciri dengan penutup tubuh berupa bulu dan dapat terbang. Burung
juga merupakan kekayaan hayati yang perlu dijaga dan dilestarikan mengingat
pentingnya keberadaan dan peranan burung bagi manusia (Saputra, 2018). Aves
ialah sekelompok hewan yang bertulang belakang yang unik, karena pada
sebagian besar aves merupakan binatang yang beradaptasi dengan kehidupan
secara sempurna. Terutama pada sistem pernapasan burung yang beradaptasi
untuk terbang (Hidayat, dkk., 2017).
Sistem pernapasan pada burung memiliki tiga komponen penting yaitu
saluran pernapasan (hidung, sinus hidung, trakea, dan bronkus), paru-paru, dan
kantong udara. Sistem pernapasan merupakan alat tubuh yang mudah terserang
penyakit karena adanya hubungan langsung antara udara luar (Adi, 2014).
Sebagian besar kondisi sistem pernapasan merupakan akibat dari infeksi pada
bagian saluran pernapasan. Penyakit pernapasan sering terjadi pada burung yang
menua. Nutrisi, kelembaban yang tidak tepat, riwayat penyakit, dan stres
merupakan faktor penting dalam pencegahan penyakit pada burung. Agen
bakteri, virus, jamur, atau parasite juga mungkin terlibat dalam infeksi pada
saluran pernapasan pada burung (Welle & Reavill, 2016).
Sinusitis umumnya dikaitkan dengan penyakit pada sistem pernapasan.
Sinusitis infraorbital sering terjadi di psittacines, menyebabkan pembengkakan

15
pada area medial dan ventromedial bola mata. Peradangan pada kelenjar garam
yang tampak bengkak di seluruh bola mata dan dapat disebabkan karena
konsumsi air dengan kadar natrium yang tinggi (Samour, 2016). Infeksi sinus
pada burung peliharaan mungkin cukup merepotkan jika melibatkan sinus
infraorbital. Infeksi pada sinus hidung lebih sulit untuk didefinisikan, dan
seringkali terjadi komplikasi. Agen umum yang perlu dipertimbangkan dalam
diagnosis infeksi sinus hidung yaitu bakteri, Mycoplasma, dan elemen jamur.
Penanganan sinusitis biasanya dimulai dengan prosedur nasal flush, cairan yang
didapat dari nasal flush digunakan untuk penegakan diagnosa dengan sitologi
dan kultur (Sakas, 2002).
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang diagnosa dan
penanganan kasus sinusitis pada burung. Melalui tulisan ini, penulis berharap
bisa mengedukasi masyarakat, terutama untuk para bird lovers supaya dapat
mengerti langkah penanganan kasus sinusitis pada burung dan penulis dapat
membantu menangani kasus sinusitis pada burung.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana teknik diagnosa kasus sinusitis pada burung di Taman Burung
Taman Mini Indonesia Indah?
2. Bagaimana langkah penanganan kasus sinusitis pada burung di Taman
Burung Taman Mini Indonesia Indah?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui teknik diagnosa kasus sinusitis pada burung di Taman
Burung Taman Mini Indonesia Indah.
2. Mengetahui langkah penanganan kasus sinusitis pada burung di Taman
Burung Taman Mini Indonesia Indah.
1.4 Manfaat
Berdasarkan tujuan yang telah dipaparkan di atas, maka manfaat yang
dapat diperoleh, antara lain :
1. Manfaat untuk mahasiswa
Manfaat yang diperoleh mahasiswa dari kegiatan PKL ini adalah
mahasiswa mendapat pengetahuan serta keterampilan dalam praktek

2
kerja lapang dalam menambah pengetahuan, pengalaman, serta
keterampilan dalam diagnosa dan penanganan kasus sinusitis pada
burung di Taman Burung Taman Mini Indonesia Indah.
2. Manfaat untuk Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya
Manfaat yang diperoleh Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Brawijaya adalah dapat menjalin kerjasama dengan instansi yang
menyediakan fasilitas untuk menangani kasus-kasus sinusitis pada hewan
avian dan eksotik seperti burung dan reptil atau bahkan penyakit hewan
avian dan eksotik lainnya yang sering terjadi.
3. Manfaat untuk Taman Burung Taman Mini Indonesia Indah
Manfaat yang diperoleh yaitu untuk dijadikan sebagai bahan
evaluasi untuk mengingkatkan kulitas penanganan kasus sinusitis pada
burung di Taman Burung Taman Mini Indonesia Indah.
4. Manfaat untuk masyarakat
Manfaat yang diperoleh masyarakat dengan adanya kegiatan PKL
ini adalah dapat memberikan edukasi mengenai pentingnya tindakan
penanganan suatu kasus penyakit maupun pertolongan pertama pada
burung.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Burung
Burung termasuk dalam kelas aves, sub filum vertebrata dan filum chordata,
yang diturunkan dari hewan berkaki dua. Aves terbagi dalam 30 ordo yang terdiri
dari 158 famili, aves merupakan salah satu di antara kelas hewan bertulang
belakang dan berkembangbiak melalui telur (Tarmidzi, 2018). Burung
merupakan hewan endotermik yang menggunakan panas metabolis tubuhnya
sendiri untuk mempertahankan suhu tubuhnya (Rini, 2018).
Menurut Lovette dan Fitzpatrick (2016) burung merupakan hewan yang
sebagian tubuhnya ditutupi oleh bulu dan sebagian kaki pada bagian bawah
ditutupi oleh sisik seperti reptil, burung tidak bergigi, sebagai ganti terdapat
paruh. Aves atau burung merupakan satu-satunya hewan vertebrata berbulu
(Scott, 2010). Sebagai suatu kelompok hewan, burung telah berevolusi menjadi
berbagai ukuran. Burung terkecil, yaitu burung kolibri madu memiliki berat
hanya 1.6 g, jauh lebih kecil dari hewan seperti kupu-kupu. Sementara itu,
burung terbesar, yakni burung unta, memiliki berat hingga 125 kg, dengan kata
lain memiliki berat 80.000 kali yang lebih besar (Burnie, 2008).
Menurut Rini (2018) taksonomi ilmiah burung berdasarkan beberapa hal
yaitu persamaan dan perbedaan spesies burung, morfologi dan anatomi, jenis
makanan dan habitat yaitu sebagai berikut
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Aves
Burung termasuk dalam kelas aves yang terdiri dari 2 subkelas, yaitu
Archaeornithes merupakan burung yang sudah punah hanya ditemukan dalam
bentuk fosil, dan subkelas Neornithes merupakan burung-burung sejati dengan 30
ordo (Yudini, 2016).

4
2.1.1 Sistem Respirasi Burung
Menurut Rini (2018) sistem respirasi pada burung berbeda dengan
sistem respirasi pada vertebrata lainnya. Burung memiliki paru-paru yang lebih
kecil namun memiliki sembilan buah kantong udara yang berfungsi untuk
suplai oksigen, memperbesar ruang siring sehingga burung dapat
mengeluarkan suara yang nyaring, membantu pernapasan ketika sedang
terbang, dan juga mencegah panas yang berlebih pada tubuh.

a b

Gambar 2.1 (a) Saluran respirasi pada aves tampak lateral (Welle & Reavill,
2016). (b) Saluran respirasi pada aves tampak ventral (Doneley, 2010).

Menurut Doneley (2010) sistem respirasi pada burung bagian atas


dimulai dari nares, tepat di dalam nares atau lubang hidung terdapat operculum
yang merupakan penutup jaringan yang terkornifikasi. Nares terletak di atas
paruh dan dikelilingi oleh bulu yang halus di sekitar pangkal paruh (Tully, et
al, 2000). Septum pada hidung terdiri dari sebagian tulang keras dan sebagian
tulang rawan. Selain itu, pada rongga hidung juga terdapat conchae atau biasa
disebut turbinat yang dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: turbinat rostral
vaskular yang dipenuhi vaskularisasi dengan lapisan epitel skuamosa
bertingkat; turbinat tengah juga seperti gulir tetapi dengan lapisan mukosiliar
dan turbinat kaudal dengan lapisan epitel olfaktorius yang dipersarafi oleh saraf
olfaktorius (Doneley, 2010).
Bagian lain dari sistem perapasan bagian atas yaitu jaringan sinus
infraorbital. Sinus infraorbital adalah rongga tidak beraturan sepanjang

5
ekstraosseous dan rostroventral ke mata. Ini memiliki dua pintu keluar, satu ke
rongga hidung dan yang lainnya ke concha kaudal hidung (Tully, et al., 2000).
Menurut Doneley (2016) setiap sinus infraorbital memiliki lima
divertikula dan dua ruang, yaitu divertikulum rostral, ruang rahang atas,
divertikulum preorbital, ruang suborbital, divertikulum infraorbital,
divertikulum postorbital, dan divertikulum mandibula. Selain itu, juga terdapat
kantung udara cervicocephalic yang berkomunikasi dengan aspek paling
kaudal dari sinus infraorbital. Kantung udara ini tidak berperan dalam
pertukaran gas, juga tidak berkomunikasi dengan saluran pernapasan bagian
bawah (Doneley, 2016).

Gambar 2.2 Gambar jaringan sinus infraorbital (Doneley, 2016).

Burung memiliki glotis yang berperan untuk mencegah makanan masuk


ke trakea. Struktur tulang rawan di glotis yaitu: krikoid, tulang rawan dengan
sayap lateral kiri dan kanan; prokrioid, tulang rawan kecil yang berartikulasi
dengan sayap krikoid di garis tengah punggung; dan dua aritenoid yang
membentuk tepi glotis. Trakea pada aves tersusun atas cincin tulang rawan
yang lengkap, masing-masing berbentuk seperti signet ring, dengan bagian
yang lebar membentuk dinding kiri dan kanan secara bergantian (Doneley,
2010). Percabangan dari trakea adalah syrinx yang terdiri dari sejumlah tulang
rawan yang mengeras dan struktur lunak yang bergetar. Beberapa bagian dari

6
tulang rawan syringeal yaitu: timpanum, kartilago trakea, pessulus, dan
kartilago bronkial (Tully, et al., 2000).
Paru-paru burung tidak berlobus seperti halnya paru-paru mamalia.
Kira-kira seperempat volume paru-paru berada di antara tulang rusuk. Bronkus
masuk ke paru-paru secara ventral dan oblique di persimpangan kranial dan
sepertiga dari medial paru, kemudian melewati dorsolateral ke permukaan
paru-paru dan berbelok secara kaudal ke dalam kantung udara perut. Bronkus
memiliki lapisan otot polos internal, melingkar, dan halus serta otot polos yang
berorientasi longitudinal (Doneley, 2016).

Gambar 2.3 Gambaran saluran repirasi bagian bawah pada aves (Welle &
Reavill, 2016).

Menurut Doneley (2016) aves memiliki sembilan buah kantung udara


yaitu satu buah clavicular sac, satu pasang cervical sacs, satu pasang cranial
thoracic sacs, satu pasang caudal thoracic sacs, dan satu pasang abdominal
sacs. Karena adanya kantung udara, pertukaran gas yang terjadi sangat efisien
sehingga burung membutuhkan lebih sedikit ventilasi untuk mencapai tingkat
oksigenasi darah yang lebih tinggi daripada mamalia.
2.2 Penyakit Pada Sistem Respirasi Burung
Sistem pernapasan terdiri dari saluran udara, tabung yang memasok udara
ke paru-paru dan sistem pernapasan untuk mengalirkan darah beroksigen melalui
dasar kapiler yang terletak di parenkim paru dan alveoli. Tujuan utama dari

7
saluran pernapasan adalah pertukaran udara segar dan udara kotor. Karena
paparan udara lingkungan yang konstan, lapisan kapiler alveoli dan kantung
udara sangat rentan terhadap gas, uap, bahan beracun, berbagai mikroba, dan
partikel beracun. Pada saat yang sama, sistem pernapasan juga rentan terhadap
cedera akibat serangan hematogen (Samanta & Bandyopadhyay, 2017). Penyakit
pernapasan yang dibagi menjadi dua jenis, yaitu penyakit sistem pernapasan
bagian atas (upper respiratory tract/URT) dan bagian bawah (lower respiratory
tract/LRT) (Sakas, 2002).
Penyakit yang sering kali menyerang sistem pernapasan bagian atas/URT
antara lain:
Rinitis
Rinitis merupakan salah satu kasus yang sangat sering terjadi dan sangat
menantang pada burung (Sakas, 2002). Penyebab terjadinya rinitis adalah
buruknya kualitas epitel yang melapisi nares, mulut, sinus dan rongga mulut,
keadaan tersebut menimbulkan hilangnya mekanisme pertahanan lokal dan
struktural yang memungkinkan kolonisasi jaringan yang terdenaturasi dengan
bakteri oportunistik (Chitty & Monks, 2018). Tanda klinis dari penyakit ini
berupa bersin, menggesek wajah, dan keluarnya cairan dari hidung (Doneley,
2016).
Pada sistem pernapasan bagian bawah/LRT juga ditemukan penyakit yang
seringkali menyerang burung, di antaranya adalah:
Trakeitis
Trakeitis adalah peradangan pada trakea yang sangat umum terjadi,
penyakit ini diakibatkan oleh beberapa hal seperti infeksi bakteri, parasite, dan
jamur. Adanya benda asing di trakea seperti yang millet, dedak padi atau biji-
bijian dapat menyebabkan trakeitis parah bahkan dapat terjadi obstruksi
(Samanta & Bandyopadhyay, 2017). Burung yang mengalami trakeitis biasanya
batuk dan mudah tersedak. Syrinx yang terpengaruh dapat menimbulkan
perubahan dan hilangnya suara pada burung (Doneley, 2016).

8
Pneumonia
Pneumonia merupakan peradangan yang umum terjadi pada pulmo.
Tanda-tanda klinis pneumonia termasuk batuk, dispnea, dan penurunan berat
badan. Kematian dapat terjadi apabila penyakit ini sudah akut. Jenis dan tingkat
keparahan pneumonia yang terlihat pada burung tergantung pada penyebab,
kronisitas, dan sistem imun burung (Welle & Reavill, 2016). Selain disebabkan
oleh bakteri, terdapat pneumonia parasit yang disebabkan oleh agen protozoa
seperti Sarcocystis dan Trichomonas (Sakas, 2002).
2.2.1 Sinusitis
Sinusitis merupakan penyakit pada sistem pernapasan bagian atas
ditandai dengan pembengkakan pada sinus infraorbitalis (Tully, et al., 200).
Pada burung, lapisan hidung dan sinus dirancang untuk menghambat
menghirup partikel asing dan bertindak sebagai penghalang aktif
mikroorganisme. Lapisan sel dapat berfungsi dengan baik apabila memiliki
kemampuan untuk mengeluarkan lendir dan menghasilkan epitel yang sehat
(Chitty & Monks, 2018).
Sinusitis biasanya diawali dengan keluarnya cairan okulonasal, oklusi
nares, exophthalmos dengan dyspnea (atau enophthalmos pada makaw -
sindrom mata cekung), pernapasan mulut terbuka, dan distensi sinus. Mungkin
ada anyaman atau hilangnya bulu periokular, dan hiperemia atau penebalan
konjungtiva). Burung yang terkena mungkin bersin, menggelengkan kepala dan
menggaruk wajah mereka dengan kaki, atau menggosok wajah mereka secara
berlebihan pada benda-benda seperti tempat bertengger (Samanta &
Bandyopadhyay, 2017).

9
A B

Gambar 2.4 (A) Cockatiel dengan sinusitis. Adanya pus/nanah berwarna


kuning dan terjadi pembengkakan dari bagian sinus hingga ke punggung mata,
dan hilangnya bulu periocular (Doneley, 2016). (B) African grey dengan sinusitis.
Tampak adanya eksudat pada nares (Chitty & Monks, 2018).

Dalam beberapa kasus, karena akumulasi eksudat yang berlebihan,


burung mungkin tidak dapat membuka paruhnya dan biasa disebut sebagai
“locked jaw syndrome seperti yang terdeteksi pada hewan dengan tetanus.
Terapi agresif harus dilakukan, jika tidak, hewan akan mati. Ini paling umum
terjadi pada burung cockatiel (Samanta & Bandyopadhyay, 2017).
2.2.2 Etiologi
Menurut Samanta dan Bandyopadhyay (2017) sinusitis sering kali
terjadi pada burung karena sinus infraorbital yang pada saluran respirasi bagian
atas burung. Anatomi kompleks sinus infraorbital burung, dengan banyak
divertikula yang meluas ke rahang atas dan rahang bawah, di sekitar saluran
mata dan telinga, menyebabkan burung mengalami sinusitis. Malnutrisi
memiliki efek yang sangat besar pada lapisan sinus dan kemampuannya untuk
berfungsi secara efektif. Sering disebut sebagai defisiensi vitamin A karena
peran vitamin ini dalam pembelahan sel, terdapat perubahan progresif dalam
sifat lapisan seluler sinus dari sel epitel kolumnar bersilia penghasil lendir
menjadi sel metaplastik yang kering. Sel-sel ini mati dan mengelupas di dalam

10
sinus dan lubang hidung, awalnya menyebabkan peradangan, dan kemudian
terakumulasi sebagai pembengkakan (Chitty & Monks, 2018).
Iritasi pada lapisan sinus dapat terjadi karena toksikosis amonia di
kandang burung yang berventilasi buruk, tidak higienis seperti adanya asap
rokok, polutan aerosol lainnya, kelembapan yang ekstrem (terlalu kering,
terlalu lembab) atau atresia choanal. Kelainan anatomi seperti atresia choana,
tulang frontal yang roboh, dan cedera traumatis juga dapat menjadi predisposisi
infeksi, seperti halnya benda asing yang terhirup dan neoplasia (Doneley,
2016).
Adanya agen infeksi biasanya merupakan penyerang sekunder termasuk
bakteri (E. coli, Haemophilus spp., Klebsiella spp., Pasteurella spp.,
Pseudomonas spp., Mycobacterium spp., dan spirochaetes pada cockatiels),
virus (herpesvirus, poxvirus, retrovirus dan avian influenza), jamur
(Aspergillus spp. ., Candida albicans, Cryptococcus spp. Dan Zygomycetes
spp.), Chlamydia, Mycoplasma dan parasit (Trichomonas spp. Dan
Cryptosporidia spp.) (Doneley, 2016).
2.2.3 Diagnosa
Menurut Chitty and Monks (2018) uji sitologi dengan kultur
pembilasan hidung atau aspirasi sinus biasanya membantu untuk menetapkan
penyebab yang mendasari sinusitis. Pengujian diagnostik lainnya seperti
radiografi, computed tomography (CT), magnetic resonance imaging (MRI),
dan endoskopi juga dapat dilakukan untuk penegakan diagnosa.
Beberapa metode diagnosa untuk menetapkan penyebab dari sinusitis
yaitu :
a. Pembilasan hidung (nasal flush)
Pembilasan dan pemberian obat pada burung yang menderita sinusitis
dapat digunakan untuk mengeluarkan eksudat dan benda asing dari sinus atau
untuk mendapatkan sampel untuk sitologi, kultur, dan pengujian sensitivitas.
Air steril dan larutan antibiotik atau antijamur dapat digunakan untuk
pengobatan sinusitis (Samour, 2016).

11
Syringe yang sudah diisi air disuntikkan ke lubang hidung membentuk
segel dan cairan diinfuskan. Drainase cairan harus mengalir bebas dari choana
ke dalam mulut. Cairan drainase yang keluar dari choana apabila diperlukan
akan digunakan untuk pemeriksaan sitologi dan kultur (Samour, 2016).

Gambar 2.5 Nasal flush pada burung parrot amazon muka biru. (a) burung
dimiringkan ke bawah untuk mencegah air mengalir ke trakea. (b) disiram
dengan menggunakan air hangat dan saline steril. (c) disemprotkan secara paksa
syringe yang berisi larutan steril pada salah satu lubang nares dengan lubang
nares lainnya ditutup menggunakan jari. (d) adanya cairan yang keluar melalui
celah choana dapat dikumpulkan untuk pemeriksaan lanjutan (Chitty & Monks,
2018).

Prosedur sitologi dan kultur diperlukan bila dicurigai adanya masalah


infeksi atau parasit. Jika lendir pada hidung atau sekresi mukopurulen akan
digunakan untuk isolasi bakteri, mikoplasma, atau virus yang diindikasikan.
Sampel dari choana digunakan untuk isolasi Chlamydia (Samour, 2016).
b. Aspirasi sinus
Aspirasi sinus dapat dilakukan dari bagian ventral dan rostral sinus
infraorbital menggunakan jarum dan spuit 22-25 G. Lebih baik dilakukan
anestesi untuk mencegah adanya pergerakan secara tiba-tiba oleh pasien yang
dapat menyebabkan tusukan pada mata atau struktur vital lainnya (Chitty &
Monks, 2018).
Langkah aspirasi sinus dengan memasukkan jarum pada komisura paruh
dan mengarahkannya tehak lurus ke bawah tulang zygomatic di titik antara
mata dan nares (Chitty & Monks, 2018).

12
Gambar 2.6 Lokasi untuk aspirasi sinus (panah merah) (Chitty & Monks,
2018).
c. Endoskopi
Endoskopi melalui celah choana memungkinkan visualisasi nares internal
kiri dan kanan, rongga hidung dan turbinat hidung. Saline dapat dialirkan
melalui lubang hidung eksternal untuk memberikan pemeriksaan yang lebih
baik dan untuk mengeluarkan benda asing. Pasien harus diintubasi sebelum
dilakukan endoskopi. Endoskopi melalui choana dapat berguna bila dicurigai
ada benda asing (Doneley, 2016).

Gambar 2.7 Endoskopi pada burung (Doneley, 2016).


d. Radiografi
Radiografi adalah alat diagnostik yang penting dalam pengobatan
unggas, sayangnya banyak dari nilainya yang hilang karena teknik dan
peralatan yang salah, dan kesulitan dalam interpretasi gambar (Doneley, 2016).
Radiografi merupakan diagnostik lanjutan yang digunakan dalam kasus
sinusitis. Radiografi sering diperlukan untuk lebih mengkarakterisasi penyakit
sinus pada burung (Chitty & Monks, 2018).

13
Gambar 2.8 Massa padat jaringan lunak yang besar diidentifikasi di
diverticulum rostral dari sinus infraorbital (di dasar mandibula atas, digariskan
oleh panah) (Chitty & Monks, 2018).

e. Computed Tomography (CT).


CT merupakan teknik diagnostik canggih pada saat ini dalam kedokteran
hewan termasuk unggas, untuk mendiagnosis penyakit, trauma, dan kelainan
organ pada berbagai ordo unggas (Samour, 2016). Burung diposisikan ventral
recumbency untuk memfasilitasi pernapasan dan tegak lurus untuk
memungkinkan pemindaian pada bidang melintang Untuk membantu
penentuan posisi, bahan seperti handuk, bantalan busa, atau kantong cairan IV.
Indikasi klinis utama dalam pengobatan unggas saat ini adalah penilaian
kelainan yang diketahui atau dicurigai pada struktur rangka dan saluran
pernapasan (Samour, 2016).
Meskipun CT adalah teknik terbaik untuk mengevaluasi sinus hidung
kebanyakan dokter umum tidak memiliki akses ke peralatan tersebut atau
prosedurnya terlalu mahal untuk sebagian besar klien (Doneley, 2016).

14
Gambar 2.9 Posisi CT pada burung. Posisi
ventral recumbency di atas meja geser yang
bergerak ke gantry CT scanner heliks
(Samour,2016).

Gambar 2.10 Computed tomography scan pada corella paruh panjang (Cacatua
tenuirostris). (A) dan (B) menunjukkan sinusitis sisi kanan yang disebabkan oleh
Cryptococcus sp. (Samour, 2016).

2.2.4 Diagnosa Banding


Diagnosa banding dari sinusitis yang paling mirip adalah rinitis.
Penyebab rinitis mirip dengan sinusitis. Oklusi nares dapat terjadi karena
hipertrofi cere, Cnemidocoptes spp. infeksi atau rhinolith (Doneley, 2016).
Rinitis dan sinusitis sama-sama merupakan kasus yang sangat sering terjadi
dan sangat menantang pada burung (Sakas, 2002).
Gejala seperti keluarnya cairan okulonasal, oklusi nares, exophthalmos
dengan dyspnea, dan distensi sinus merupakan gejala yang sama pada rinitis
dan sinusitis (Samanta & Bandyopadhyay, 2017).

15
2.2.5 Penanganan dan Pengobatan
Penyebab yang mendasar harus diidentifikasi terlebih dahulu (Samanta
and Bandyopadhyay, 2017). Pengangkatan nidus infeksi seperti benda asing
adalah langkah pertama. Langkah ini secara substansial mengurangi gejala dan
penderitaan burung yang terkena, jika tidak ditemukan dan diangkat, burung
akan sering terjangkit kembali. Penting untuk menghilangkan eksudat kaseosa
dan kotoran lain di dalam sinus (Doneley, 2016).
Penanganan yang dapat dilakukan untuk kasus sinusitis beberapa
diantaranya adalah :
a. Nebulisasi
Nebulisasi sering digunakan dalam pengobatan penyakit pernapasan
untuk mengantarkan obat langsung ke tempat yang membutuhkan (Doneley,
2016). Terapi aerosol juga bertujuan untuk melembabkan saluran udara guna
meningkatkan pembersihan eksudat dan puing-puing nekrotik (Samour, 2016).
Nebulisasi memungkinkan konsentrasi terapi lokal yang tinggi untuk
memaksimalkan efektivitas dan meminimalkan penyerapan sistemik,
mengurangi potensi toksisitas, dan mengurangi biotransformasi obat.
Humidifikasi eskalator mukosiliar juga dapat meningkatkan efisiensinya
(Samour, 2016).

Gambar 2.11 Nebulisasi pada African grey. Burung menerima obat melalui
nebuliser yang dipasang di kotak penyimpanan plastik melalui kateter kantung
udara di bagian ekor burung (Doneley, 2016).

b. Sinus Trephination
Burung dengan lesi lokal pada rongga sinus di bawah tulang cancellous,
drainase melalui pengeboran sinus sering diperlukan. Situs pengeboran yang

16
umum digunakan termasuk sinus frontal dan divertikulum hidung.
Pengetahuan yang tepat tentang anatomi dan teknik bedah diperlukan sebelum
melakukan prosedur ini, untuk mencegah kerusakan pada struktur di
bawahnya (Chitty & Monks, 2018).
Sebuah saluran Penrose kemudian dijahit di tempat untuk memungkinkan
pembilasan harian dengan klotrimazol. Setelah beberapa minggu pengobatan,
sinusitisnya sembuh dan berbulan-bulan kemudian, lubang di paruhnya benar-
benar tertutup.

Gambar 2.12 Sinus Trephination pada Green winged macaw. Seekor macaw
didiagnosis menderita sinusitis divertikulum hidung karena infeksi Aspergillus.
Setelah mengebor lubang melalui tulang kortikal, bahan kaseosa dapat diangkat
(Chitty & Monks, 2018).

Sebuah saluran yang terbuka kemudian dijahit untuk pemberian bilasan


harian dengan klotrimazol. Setelah beberapa minggu pengobatan, sinusitis
akan sembuh dan berbulan-bulan kemudian, lubang pada nares akan tertutup
(Chitty & Monks, 2018).
c. Pembedahan Debridemen
Terapi agresif menggunakan bedah akan dibutuhkan apabila terdapat
cairan okulonasal yang mengeras. Penanganan ini pada dasarnya adalah
bentuk penanganan abses karena sinus tidak dikelilingi oleh tulang. Setelah
sinus dibuka, cotton bud steril atau kuret dapat digunakan untuk
membersihkan lubang nares (Chitty & Monks, 2018).

17
Gambar 2.13 Bedah debridemen pada kasus sinusitis akut. (a) Pembukaan
sinus dan (b) pengangkatan eksudat kaseosa dari sinus (Chitty & Monks, 2018).

Selama prosedur ini, sampel dapat dikumpulkan dari lapisan sinus untuk
pemeriksaan histologi, sitologi atau kultur. Sinus dibilas dengan saline steril,
sambal memantau agar tidak ada cairan yang disedot saat keluar dari nares
atau choana. Sinus biasanya dibiarkan terbuka dan dibilas 2-4 kali sehari
sampai luka menjadi granulasi setelah tindakan bedah debridemen (Chitty &
Monks, 2018).

Tabel 2.1 Obat yang digunakan untuk kasus sinusitis pada burung (Samour, 2016).

18
Terapi antimikroba oral atau parenteral diberikan berdasarkan sitologi
dan kultur. Terapi topikal juga dapat digunakan, dengan pemberian nebulisasi
atau aplikasi tetes ke dalam lubang hidung, jika pus belum terakumulasi di
dalam sinus (Doneley, 2016). Tetes hidung yang mengandung sorbitol dan
beta adrenergic blocker seperti xylometazoline/oxymetazoline hydrochloride
dan nasal spray dengan fluticasone propionate adalah alternatif untuk terapi
topical. Jika peradangan yang terjadi sudah cukup parah, aplikasi lokal NSAID
sangatlah berguna. Antibiotik oral atau parenteral seperti amoksisilin potensial
dan fluroquinon adalah pilihan yang dapat diambil (Samanta &
Bandyopadhyay, 2017).

19
BAB III

METODE KEGIATAN
3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan
Kegiatan Praktek Kerja Lapang dilaksanakan di Taman Burung Taman Mini
Indonesia Indah, DKI Jakarta. Pelaksanaan kegiatan ini dimulai pada 14 Juni
2021 hingga 19 Juli 2021 yang akan berlangsung selama 30 hari kerja. Kegiatan
yang dilaksanakan dalam Praktek Kerja Lapang ini adalah mengenai diagnosa
dan penanganan sinusitis pada burung.
3.2 Metode Pengambilan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan penulis dalam pelaksanaan
Praktek Kerja Lapang ini adalah teknik pengumpulan data secara langsung
melalui kegiatan terhadap beberapa kasus dan perlakuan meliputi wawancara,
observasi lapang, dan studi pustaka.
a. Wawancara
Kegiatan ini dilakukan dengan cara diskusi dan juga mengajukan beberapa
pertanyaan terkait informasi tentang teknik diagnosa, pencegahan dan tata
cara tindakan penanganan sinusitis pada burung kepada drh. Muhamad Piter
Kombo.
b. Observasi
Kegiatan observasi dilakukan secara langsung di lapangan. Hal-hal yang
akan diobservasi antara lain meliputi teknik diagnosa dan prosedur
pelaksanaan penanganan sinusitis pada burung.
c. Recording
Kegiatan ini dilakukan dengan cara menulis catatan dan
mendokumentasikan kegiatan selama menjalani PKL di Taman Burung
Taman Mini Indonesia Indah.
d. Studi Pustaka
Studi pustaka merupakan studi referensi yang diambil dari buku, skripsi,
thesis, dan jurnal untuk mencari informasi pendukung yang dibutuhkan dan
membandingkannya dengan pelaksanaan yang ada di lapangan.

20
3.3 Jadwal Kegiatan PKL
Jadwal kegiatan Praktek Kerja Lapang Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya yang dilaksanakan seperti yang tertera pada tabel 3.1 di
bawah ini.
Tabel 3.1 Kegiatan Praktek Kerja Lapang

Hari/Tanggal Jenis Kegiatan Pelaksanaan


Senin, 14 Juni 1. Penerimaan mahasiswa 1. Dokter Hewan
2021 2. Briefing 2. Petugas pelaksana
3. Pengenalan kondisi 3. Mahasiswa PKL
lapangan

Senin, 14 Juni 1. Pelaksanaan PKL 1. Mahasiswa PKL


2012 – Senin, 2. Pengumpulan data dan
19 Juli 2021 dokumentasi
Senin, 19 Juli 1. Pelaksanaan PKL 1. Mahasiswa PKL
2021 2. Pelepasan mahasiswa 2. Dokter Hewan
PKL 3. Petugas pelaksana

3.4 Biodata Peserta PKL


Peserta yang akan melaksanakan Praktek Kerja Lapang di Taman Burung
Taman Mini Indonesia Indah adalah :
Nama : Pratitha Laksmi Ratnanggani
NIM : 185130107111032
Program Studi : S1 Pendidikan Dokter Hewan
Universitas : Universitas Brawijaya
Alamat : Jl. Tlogo Biru VI No. 3, Pedurungan, Semarang.
Nomor telfon : 081515030080
Email : pratitalr@student.ub.ac.id

21
BAB IV

PELAKSANAAN KEGIATAN
4.1 Tempat dan Waktu
Praktek Kerja Lapangan (PKL) oleh mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya dilaksankan di Taman Burung TMII yang beralamat di
Jalan Raya Taman Mini, Jakarta Timur, DKI Jakarta. Praktek Kerja Lapangan
(PKL) ini dilaksanakan selama 30 hari kerja dari tanggal 14 Juni 2021 hingga 19
Juli 2021.

4.2 Jadwal Kegiatan


Kegiatan yang dilakukan selama praktek kerja lapang (PKL) di taman burung
TMII antara lain adalah pagi hari membantu keeper memberi pakan burung dan
membersihkan kubah, lalu dilanjutkan membantu paramedik memberikan pakan
dan membersihkan kendang burung yang dirawat inap. Siang harinya membantu
dokter dalam menangani pasien, membantu mengobati pasien di ruang rawat inap,
membantu membersihkan dan menyiapkan peralatan baik di ruang periksa
maupun di ruang operasi. Kegiatan lain yaitu melakukan nekropsi, membantu
dokter dalam home visit, serta melakukan diskusi materi bersama yang terdapat
pada Lampiran 1.

22
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN


5.1 Profil Taman Burung
Taman Burung TMII yang beralamat di Jalan Raya Taman Mini, Jakarta
Timur, DKI Jakarta merupakan salah satu lembaga konservasi ek-situ. Taman
Burung terbagi menjadi beberapa tempat yaitu kubah timur, kubah barat,
karantina, penangkaran, dan klinik taman burung. Taman Burung TMII memiliki
kelompok yang terdiri dari dokter hewan, paramedis, keeper, dan staf yang
memanajemen pakan untuk seluruh hewan di taman burung. Kelompok dokter
hewan yakni drh. M. Piter Kombo sebagai pemimpin perusahaan di Taman
Burung TMII dan drh. Kenda Adhitya Nugraha. Taman burung beroperasi setiap
hari.
Klinik Taman Burung TMII (Gambar 5.1) merupakan satu-satunya klinik
hewan satwa eksotik yang khususnya adalah burung dan reptil yang berada di
Jakarta yang memiliki jasa pelayanan yang ditawarkan antara lain konsultasi
kesehatan hewan oleh dokter hewan, program vaksinasi, operasi, rawat inap,
home visit, dan petshop. Pelayanan klinik dilakukan oleh 2 dokter hewan yaitu
drh M. Piter Kombo dan drh. Kenda Adhitya Nugraha.

Gambar 5.1 Tampak depan klinik Taman Burung (Dokumentasi pribadi, 2021).

Klinik taman burung TMII memiliki standar operasional dalam


penanganan pasien. Hal pertama yang dilakukan yaitu admin akan menuliskan

23
sinyalemen hewan terlebih dahulu meliputi nama hewan, nama pemilik, dan jenis
hewan. Kemudian dilanjutkan dengan menuliskan keluhan dan penyakit yang
nantinya akan mempermudah dokter untuk melihat riwayat kesehatan pasien.
Pasien yang masuk akan dilakukan pemeriksaan fisik, selanjutnya pasien
didiagnosa maka dapat ditentukan pemberian terapi sesuai dengan diagnosa.
Bangunan taman burung TMII memiliki fasilitas ruang tunggu, ruang
periksa serta konsultasi, ruang operasi, ruang rawat inap, ruang obat, dan ruang
staf yang digunakan untuk istirahat dan tempat penyimpanan makanan untuk
hewan rawat inap. Fasilitas alat yang dimiliki klinik taman burung TMII adalah
mikroskop, alat untuk melakukan potong kuku dan paruh, cabut bulu, unit
oksigen, nebulizer, dan LED Film Viewer yang merupakan alat untuk membaca
hasil rontgen.
5.2 Kasus Sinusitis pada Burung di Taman Burung TMII
Kasus sinusitis pada burung yang dijumpai saat pelaksanaan PKL pada
tanggal 14 Juni 2021 – 19 Juli 2021 sebanyak 2 kasus dengan penjelasan sebagai
berikut:
5.2.1 Kasus I
Kasus pertama didapatkan pada tanggal 17 Juni 2021 yaitu burung
Cockatiel dijelaskan pada tabel 5.1
Tabel 5.1 Kasus burung Cockatiel

No Data Keterangan
1 Hari, Tanggal Kamis, 17 Juni 2021
2 Sinyalemen Nama hewan : No name
Jenis hewan : Burung
Ras : Cockatiel
Jenis kelamin : Jantan
Berat badan : 0,2 kg
3 Anamnesa Burung cockatiel datang ke klinik taman burung pada
hari Kamis, 17 Juni 2021 dengan keluhan bengkak
pada bagian bawah mata dan berair. Burung juga

24
mengalami penurunan nafsu makan yang sudah
terjadi selama 5 hari. Tembolok tampak kosong dan
burung sangat kurus.
4 Pemeriksaan Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menginpeksi
fisik seluruh bagian tubuh burung dan palpasi pada bagian
kepala leher.
5 Temuan klinis Tampak adanya pembengkakan pada area bawah
mata pada burung cockatiel. Kondisi burung sudah
lemas dan tidak mau makan saat mencoba diloloh.
Selain adanya pembengkakan di area bawah mata
tidak ditemukan lesi lainnya.
6 Diagnosa Rinitis.
banding
7 Pemeriksaan Tidak dilakukannya pemeriksaan penunjang karena
penunjang pada kasus ini tidak diperlukan pemeriksaan
penunjang.
8 Diagnosa Sinusitis pada sinus infraorbitalis.
9 Prognosa Dubius
10 Penanganan Penanganan yang dilakukan yaitu pembersihan pada
area yang terdapat cairan dengan menggunakan
cotton bud. Pemberian obat topikal dengan
menggunakan beberapa kombinasi antiobiotik seperti
dexamethasone sebanyak 1 ml, biodin 3 ml, tylosin 2
ml, dan gentamin 3 ml yang dicampurkan air dengan
pH 8 lalu dimasukkan ke dalam botol spray yang
penggunaannya disemprotkan pada bagian sekitar
mata yang bengkak.

25
5.2.2 Kasus II
Kasus kedua didapatkan pada tanggal 22 Juni 2021 yaitu burung
Nuri Bayan dijelaskan pada tabel 5.2
Tabel 5.2 Kasus burung Indian Ring Neck

No Data Keterangan
1 Hari, Tanggal Selasa, 22 Juni 2021
2 Sinyalemen Nama hewan : No name
Jenis hewan : Burung
Ras : Indian Ring Neck
Jenis kelamin : Betina
Berat badan : 0,3 kg
3 Anamnesa Burung Indian Ring Neck datang ke klinik taman
burung pada hari selasa, 22 Juni 2021 dengan keluhan
bengkak pada bagian bawah mata, tepatnya sinus
infraorbitalis yang sudah terjadi selama satu minggu.
Burung aktif, nafsu makan baik, tidak ada muntah
dan diare.
4 Pemeriksaan Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menginpeksi
fisik seluruh bagian tubuh burung dan palpasi pada bagian
kepala leher.
5 Temuan klinis Tampak adanya pembengkakan pada area bawah
mata pada burung Indian ring neck. Pada bagian
nares terdapat abses yang cukup besar yang
mengakibatkan pembengkakan pada sinus
infraorbitalis. Kondisi burung masih aktif, selain
adanya pembengkakan di area sinus infraorbitalis
tidak ditemukan lesi lainnya.
6 Diagnosa Rinitis, rinolitis.
banding
7 Pemeriksaan Tidak dilakukannya pemeriksaan penunjang karena

26
penunjang pada kasus ini tidak diperlukan pemeriksaan
penunjang.
8 Diagnosa Sinusitis disertai abses pada sinus infraorbitalis.
9 Prognosa Dubius
10 Penanganan Penanganan yang dilakukan yaitu pembedahan pada
sinus infraorbitalis untuk mengangkat abses dengan
cara burung dianestesi dengan ketamin 0,09 ml dan
xylazine 0,06 ml, dibersihkan area luka dan diberikan
iodin. Disayat kulit pada bagian yang terdapat dan
dibuka kulit. Diangkat abses yang terdapat pada sinus
infraorbitalis hingga bersih agar tidak terjadi sinusitis
berkelanjutan, setelah abses diangkat diberikan
antibiotik penstrep dengan cara diteteskan pada luka
sebelum kulit dijahit dengan tipe jahitan simple
interrupted, setelah itu luka bekas jahitan diolesi
dengan bioplasenton. Injeksi antibiotik interflox
diperlukan setelah operasi selesai dilaksanakan.

5.3 Diagnosa Sinusitis pada Burung di Taman Burung TMII


Peneguhan diagnosa sinusitis pada burung di Taman Burung dilakukan
berdasarkan sinyalemen, anamnesa, pemeriksaan fisik yang meliputi inspeksi dan
palpasi. Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan dengan menggunakan
mikroskop apabila dicurigai adanya infeksi jamur, sehingga dapat membantu
dalam menyusun rencana penanganan atau pengobatan yang akan diberikan.
Berikut sinyalemen, anamnesa, pemeriksaan fisik, temuan klinis, diagnosa
banding, pemeriksaan penunjang, diagnosa, dan prognosa dari pasien yang
mengalami sinusitis.
5.3.1 Sinyalemen dan Anamnesa
Menurut Afidatunnisa (2012), sinyalemen adalah identitas diri dari
hewan dengan ciri khusus yang membedakan hewan satu dengan hewan lainnya.
Pada umumnya sinyalemen meliputi nama hewan, jenis hewan, umur hewan,

27
jenis kelamin, umur, warna kulit dan rambut, berat badan, dan ciri khusus
lainnya. Pada burung sinyalemen dapat meliputi nama burung, jenis burung, ras,
jenis kelamin, umur dan berat badan (Doneley, 2010). Di klinik Taman Burung
sinyalemen untuk setiap pasien yang datang meliputi nama hewan, jenis hewan,
dan nama pemilik. Jenis kelamin burung tidak terlalu menjadi perhatian khusus,
karena selain beberapa spesies dapat dibedakan secara morfologi sulit untuk
mengetahui jenis kelamin burung dan harus menggunakan metode DNA Sexing.
Kebanyakan pemilik burung tidak tahu pasti berapa umur dari burungnya,
namun biasanya burung dapat dikategorikan sebagai burung anakan, remaja, dan
dewasa berdasarkan ukuran tubuh dan jenis bulunya.
Anamnesa adalah interaksi memberikan pertanyaan antara dokter dan
pemilik hewan untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai kondisi
hewan. Secara umum anamnesa meliputi kondisi yang tampak, lama gangguan
terjadi, pengobatan yang sudah diberikan, perubahan tingkah laku, dan
perubahan pemberian pakan (Afidatunnisa, 2012). Menurut Doneley (2010)
anamnesa pada burung meliputi gejala dan kondisi yang tampak, perubahan
perilaku, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Pada kasus ini, burung kakatua
yang menjadi pasien merupakan burung temuan sehingga tidak bisa menggali
informasi lebih mengenai perubahan perilaku dan riwayat pengobatan
sebelumnya.
5.3.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menginpeksi seluruh bagian
tubuh burung dan palpasi pada bagian kaki burung kakatua. Menurut
Afidatunnisa (2012) pemeriksaan fisik merupakan kegiatan memeriksa pasien
yang meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Pemeriksaan fisik pada
burung meliputi berat badan, postur, kondisi bulu, cara berjalan, suara napas,
warna, konsistensi feses, dan tingkah laku (Samanta & Bandyopadhyay, 2017).
5.3.3 Temuan Klinis
Temuan Klinis merupakan hasil pemeriksaan yang menunjukkan
gejala atau kelainan pada suatu hewan. Hewan dinyatakan sakit apabila
ditemukan atau menunjukkan kondisi yang berlainan dengan kondisi hewan

28
sehat (Widodo, dkk, 2011). Temuan klinis pada kasus sinusitis termasuk bersin,
menggosok wajah, adanya cairan pada sekret dan ukuran nares yang tidak sama
(Doneley, 2016). Temuan klinis pada kedua kasus yakni pada burung Cockatiel
dan burung Indian Ring Neck sama-sama terdapat adanya pembengkakan pada
sinus infraorbital (Gambar 5.2).

A B

Gambar 5.2 Temuan Klinis sinusitis pada (A) kasus I tampak adanya pembengkakan
pada sinus infraorbitalis pada burung Cockatiel . (B) kasus II pembengkakan yang cukup
besar pada sinus infraorbitalis burung Indian Ring Neck yang diduga terdapat abses pada
sinus infraorbitalis (Dokumentasi pribadi, 2021).

5.3.4 Diagnosa Banding


Diagnosa banding dari sinusitis yang paling mirip adalah rinitis.
Penyebab rinitis mirip dengan sinusitis. Oklusi nares dapat terjadi karena
hipertrofi cere, Cnemidocoptes spp. infeksi atau rhinolith (Doneley, 2016). Rinitis
dan sinusitin sama-sama merupakan kasus yang sangat sering terjadi dan sangat
menantang pada burung (Sakas, 2002).
Gejala seperti keluarnya cairan okulonasal, oklusi nares,
exophthalmos dengan dyspnea, dan distensi sinus merupakan gejala yang sama
pada rinitis dan sinusitis (Samanta & Bandyopadhyay, 2017).
5.3.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menentukan diagnosis penyakit
penderita. Pemeriksaan penunjang ini biasanya dilakukan apabila tindakan-
tindakan medis yang ada belum dapat memastikan diagnosis suatu penyakit yang
diderita pasien sehingga dianggap perlu untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
(Mauli, 2018).

29
Pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang karena diagnosa
sudah dapat diputuskan dengan melihat anamnesa, pemeriksaan fisik, dan temuan
klinik pada pasien sdan berlangsungnya PPKM Darurat sehingga menyulitkan
pemilik membawa burung ke klinik atau rumah sakit lain untuk melakukan
rontgen. Pemeriksaan dengan kultur jamur dan pengamatan menggunakan
mikroskop juga tidak dilakukan karena tidak dilakukan penanganan nasal flush
untuk mendapatkan spesimen pada kedua kasus.
5.3.6 Diagnosa
Diagnosa yang didapatkan dari kedua pasien yaitu mengalami sinusitis
pada sinus infraorbitalis. Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan temuan
klinis berupa adanya pembengkakan daerah mata tepatnya pada sinus
infraorbitalis.
Menurut Widodo (2011) diagnosa adalah kesimpulan dari informasi
yang didapatkan dari seluruh data hasil pemeriksaan yang telah dilakukan.
Diagnosa digunakan sebagai pertimbangan untuk menentukan penanganan yang
akan diberikan kepada pasien. Diagnosa pasien sinusitis belum dapat diketahui
secara pasti karena pemeriksaan penunjang tidak dilakukan.
a. Kasus I
Berdasarkan penjelasan dari pemilik, burung tampak lemas dan selama 5
hari terakhir burung suka menggosok-gosok mukanya, lalu terdapat
pembengkakan pada area mata tepatnya di sinus infraorbitalis. Ketika area yang
bengkak dipalpasi terasa ada cairan di dalam area yang bengkak tersebut. Pada
kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang karena merasa tidak diperlukan.
Menurut Doneley (2016) pada burung yang menderita sinusitis biasanya
mengalami bersih, adanya cairan okulonasal, pembengkakan pada sinus
infraorbitalis.
b. Kasus II
Berdasarkan penjelasan pemilik, terdapat bengkak yang cukup besar pada
bagian bawah mata, tepatnya sinus infraorbitalis yang sudah terjadi selama satu
minggu. Pada awalnya hanya bengkak kecil pada daerah mata, semakin lama
bengkak semakin besar dan areanya semakin meluas. Burung suka menggosok-

30
gosokan kakinya ke bagian muka. Saat dilakukan palpasi, benjolan pada sinus
infraorbitalis terasa keras karena adanya abses. Pembedahan dilakukan untuk
mengangkat abses yang ada pada sinus infraorbitalis.
Sinusitis sering terjadi karena defisiensi vitamin A karena peran vitamin
ini dalam pembelahan sel, terdapat perubahan progresif dalam sifat lapisan
seluler sinus dari sel epitel kolumnar bersilia penghasil lendir menjadi sel
metaplastik yang kering. Sel-sel ini mati dan mengelupas di dalam sinus dan
lubang hidung, awalnya menyebabkan peradangan, dan kemudian terakumulasi
sebagai pembengkakan (Chitty & Monks, 2018).
5.3.7 Prognosa
Prognosa merupakan perkiraan jalannya penyakit pada hewan. Prognosa
menjadi dasar dari perencanaan pengobatan (Widodo, dkk, 2011). Menurut
Widodo dkk. (2011) prognosa dibagi menjadi empat golongan:
1. Bona/certa/fausta yaitu hewan dapat dipastikan sembuh dari penyakit;
2. Dubia/incerta yaitu kesembuhan hewan tidak pasti atau ragu;
3. Mala/pessima yaitu kondisi yang buruk, sudah kronis dan luasnya sebaran
penyakit sehingga diperlukan pengobatan bertahap;
4. Letalis/infausta yaitu tidak ada harapan untuk sembuh.
Menentukan prognosa dapat dilihat melalui penilaian faktor prognostik,
yang menghubungkan kovariabel klinis dan pemeriksaan klinis dengan hasil
pemeriksaan, kemudian keakuratan obat yang dipakai dan kemungkinan
penyakit tersebut menginfeksi kembali. Faktor prognosa ini penting karena
dengan menentukan variabel hasil prognosa dapat memperoleh riwayat alamiah
penyakit, strategi pengobatan yang tepat dapat dioptimalkan, sehingga pemilik
diberitahu tentang risiko kambuhnya penyakit atau kematian. Certa/fausta yaitu
hewan dapat dipastikan sembuh dari penyakit, dikarenakan kondisinya yang
tidak terlalu parah dan dapat diobati. Dubia yaitu kesembuhan hewan tidak pasti
atau ragu, dikarenakan kondisinya yang parah namun masih dapat diobati namun
juga memiliki risiko kematian. Infausta yaitu tidak ada harapan untuk sembuh,
dikarenakan kondisi hewan yang semakin melemah dan memiliki risiko tinggi
kematian (Halabi & Owzar, 2010).

31
Prognosa yang dapat diberikan pada kedua pasien sinusitis di Taman
Burung TMII adalah dubia. Dubia berarti kesembuhan hewan tidak pasti atau
ragu. Pada kasus sinusitis kesembuhan pasien dilihat dari parahnya infeksi,
pengobatan yang tepat dan dibutuhkan manajemen perawatan yang tepat dari
pemilik. Karena kasus sinusitis memiliki resiko untuk terjadi berulang.
5.4 Penanganan Sinusitis pada Burung di Taman Burung TMII
5.4.1 Anestesi (Kasus II)
Obat anestesi yang digunakan dalam operasi pengangkatan abses pada
sinus infraorbitalis pada burung Indian Neck Ring yaitu kombinasi ketamin dan
xylazin dengan rute administrasi injeksi IM (intramuscular). Perhitungan dosis
yang diberikan terdapat pada Lampiran 2.
Pemberian anestesi bertujuan untuk mengurangi rasa sakit, relaksasi
otot, dan mengurangi pergerakan hewan saat dilakukan tindakan operasi.
Anestesi umum bekerja di sistem saraf pusat dengan memberikan efek
anestesia (hilangnya rasa nyeri yang disertai dengan hilangnya kesadaran) yang
bersifat sementara (Doneley, 2016).
a. Ketamin
Ketamin adalah agen anestesi umum yang dapat menginduksi anestesi
dengan mengganggu sistem saraf pusat secara fungsional melalui stimulasi
yang berlebihan. Ketamin dapat menghambat GABA (gamma
aminobutyric acid), dapat memblokir serotonin, norephinefrin, dan
dopamine pada sistem saraf pusat. Pada burung, penggunaan ketamin
harus dikombinasikan dengan obat lain. Dosis ketamin pada burung jika
dicampur dengan xylazin yaitu 10-30 mg/kg melalui injeksi intramuscular
(IM) (Plumb, 2011).
b. Xylazine
Xylazin bekerja melalui mekanisme yang menghambat tonus simpatik
sehingga dapat menyebabkan relaksasi otot, penurunan denyut jantung,
penurunan peristaltic, relaksasi saluran cerna dan sedasi. Dosis xylazin
pada burung jika dicampur dengan ketamin yaitu 2-10 mg/kg melalui
injeksi IM (Plumb, 2011).

32
5.4.2 Pengangkatan Abses (Kasus II)
Penanganan pada pasien Indian Ring Neck setelah diberikan anestesi
adalah pasien direbahkan dengan posisi lateral recumbency. Daerah yang akan
dioperasi dibersihkan dengan alkohol 70% untuk menghindari kontaminasi.
Disayat kulit pada bagian sinus infraorbitalis yang terdapat abses menggunakan
blade, kemudian abses diambil dengan menggunakan kuret. Abses harus
dibersihkan hingga tidak tersisa supaya tidak terjadi sinusitis yang
berkepanjangan. Setelah abses sudah dikeluarkan sepenuhnya, diberikan
antibiotik Penstrep-400 secara topikal dan dilanjutkan dengan penjahitan
bagian kulit yang terbuka dengan pola jahitan simple interrupted. Kemudian
setelah dioperasi, pasien ditempatkan di bantal hangat sebelum akhirnya
dibawa pulang oleh pemilik hewan. Dokumentasi pembedahan terdapat pada
Lampiran 2.
Menurut Chitty & Monks (2018) pembedahan merupakan terapi agresif
pada kasus sinusitis apabila terdapat cairan okulonasal yang mengeras.
Penanganan ini pada dasarnya adalah bentuk penanganan abses karena sinus
tidak dikelilingi oleh tulang. Setelah sinus dibuka, cotton bud steril atau kuret
dapat digunakan untuk membersihkan lubang. Selanjutnya, sinus dapat dibilas
dengan saline steril. Setelah pembedahan, sinus biasanya dibiarkan terbuka
dan dibilas 2-4 kali sehari sampai luka menjadi mengering.
5.4.3 Terapi Obat
- Kasus I
Pasien pada kasus ini diberikan terapi obat berupa antibiotik
topikal berupa dexamethasone 1 ml, biodin 3 ml, gentamin 3 ml,
dan tylosin 3 ml.
a. Dexamethasone
Dexamethasone adalah obat glukokortikoid yang telah
digunakan dalam upaya untuk mengobati hampir setiap
penyakit yang menimpa manusia atau hewan sebagai agen
antiinflamasi, dan sebagai imunosupresif. Dexamethasone juga
tersedia dalam bentuk sediaan ophthalmic topikal dan aerosol

33
inhalasi. Penggunaan kortikosteroid berkepanjangan secara
sistemik maupun topikal ke mata dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intraokular glaukoma, katarak, dan
eksoftalmus.
b. Gentamicin (Gentamin)
Gentamisin adalah antiiotik yang memiliki mekanisme
aksi dan spektrum aktivitas mirip dengan aminoglikosida
lainnya. Seperti antibiotik aminoglikosida lainnya, ia bekerja
pada bakteri yang rentan mungkin dengan mengikat subunit
ribosom 30S secara ireversibel sehingga menghambat sintesis
protein. Ini dianggap sebagai antibiotik yang bergantung pada
konsentrasi bakterisida. Spektrum aktivitas Gentamisin
mencakup cakupan terhadap banyak gram negatif aerobik dan
beberapa bakteri gram positif aerob. Antibiotik aminoglikosida
tidak aktif terhadap jamur, virus, dan sebagian besar bakteri
anaerob (Plumb, 2011).
c. Tylosin
Tylosin adalah antibiotik bakteriostatik yang diperkirakan
memiliki mekanisme aksi yang sama seperti eritromisin
(mengikat ribosom 50S dan menghambat sintesis protein) dan
menunjukkan spektrum aktivitas yang serupa. Tylosin mungkin
juga memiliki efek imunomodulator pada imunitas yang
diperantarai sel. Penggunaan tylosin untuk terapi awal pada
burung yang mengalami gangguan saluran pernapasan atas
(terutama jika dicurigai mikoplasma) digunakan dalam
kombinasi dengan aminoglikosida (Plumb, 2011).
d. Biodin
Menurut Daris (2017) komposisi dari biodin yaitu pada
larutan injeksi steril yang setiap 100 ml mengandung ATP
0.100, sifat ATP yaitu membebaskan energi pada waktu
peruraiannya. Indikasi penggunaan biodin untuk stimulasi

34
tubuh secara umum terutama pada tonus otot dari semua
species hewan seperti pada keadaan kelemahan otot akibat kerja
keras, kelemahan otot akibat transportasi, kelemahan otot
akibat melahirkan, menjaga stamina, serta kelemahan
diakibatkan oleh kekurangan makanan atau adanya infeksi.
- Kasus II
Pasien pada kasus ini diberikan terapi obat berupa antibiotik
topikal yakni bioplacenton.
a. Bioplacenton
Menurut Kalbe (2013), bioplacenton merupakan sebuah
obat topical berbentuk gel yang dikemas dalam tube.
Bioplacenton memiliki kandungan ekstrak pplasenta 10%
dan neomisin sulfat 0,5 %. Ekstrak plasenta yang terdapat
pada bahan ini dapat menstimulasi terjadinya regenerasi sel,
sedangkan neomisin sulfat dapat berperan sebagai
bakteriosid. Indikasi digunakannya bioplacenton adalah luka
bakar, ulkus kronis, luka yang lama sembuh, dan terdapat
granulasi ulkus dekubistus, eksim pyoderma, impetigo,
furunkolosis, dan infeksi kulit lainnya.

35
BAB VI

PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Kegiatan Praktek Kerja Lapang atau PKL yang dilaksanakan di DRD
Veterinary Clinic selama 30 hari dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Teknik diagnosa kasus sinusitis pada burung dapat dilakukan dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
mikroskopis dan x-ray apabila dibutuhkan.
2. Penanganan kasus sinusitis pada burung dengan dilakukan dengan
pemberian antibiotik sebagai pencegah infeksi sekunder, antiradang
atau antiinflamasi untuk menngurangi peradangan, dan multivitamin
sebagai obat suportif. Tindakan pembedahan untuk pengangkatan abses
juga dapat dilakukan apabila dibutuhkan. Teknik pemberian pakan
yang benar juga sangat diperlukan.
6.2 Saran
Saran yang dapat diberikan selama 30 hari Praktek Kerja Lapang
adalah lebih banyak dilakukan pemeriksaan penunjang agar mendapatkan
hasil diagnosa yang lebih akurat. Kemudian mengedukasi pasien dari cara
pemberian pakan loloh, pemberian multivitamin, pembersihan kendang, jenis
pakan dan multivitamin yang baik lebih diperjelas kembali agar penyakit
tidak berulang, kontrol kembali ke dokter hewan, mengawasi keadaan
hewannya bisa dengan menghubungi owner.

36

Anda mungkin juga menyukai