Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

MODEL PENYUSUNAN KURIKULUM: TYLER, TABA, LEWIS

Tugas Mata Kuliah Pengembangan Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini


Dosen Pengampu : Dr. Slamet Suyanto, M.Ed.

Disusun oleh Kelompok 3 :


Hilman Fauzi NIM. 22117251037
Ici Aprilia Susanti NIM. 22117251049
Isya Tarradiah NIM. 22117251051
Lisa Nur Maulidia NIM. 21117251053

PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya, yang telah
memberikan kesehatan dan kemudahan, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini tepat waktu. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada nabi kita yakni
Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan umatnya, yang kita nantikan
syafaatnya di yaumul akhir.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini dengan pembahasan “Model Penyusunan
Kurikulum: Tyler, Taba, Lewis”. Harapan kami makalah ini dapat menjadi referensi
bagi semua pihak terutama bagi mahasiswa pendidikan anak usia dini (PAUD) S2 FIP
UNY. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan penulisa dan
pembaca.
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih memerlukan
penyempurnaan, terutama pada bagian isi. Oleh sebab itu, kami menerima segala
bentuk kritik dan saran pembaca demi penyempurnaan makalah ini. Apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini, kami mohon maaf.

Yogyakarta, 28 September 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 1
C. Tujuan ..................................................................................................... 1

BAB II KAJIAN PUSTAKA


A. Model Penyusunan Kurikulum Tyler ..................................................... 2
1. Alasan Logis di Balik Model Penyusunan Kurikulum Tyler .......... 3
2. Model Pengembangan Kurikulum Tyler ......................................... 4
3. Mendefinisikan Tujuan Pengalaman Belajar ................................... 5
4. Mendefinisikan pengalaman belajar ................................................ 6
5. Pengorganisasian Kegiatan Pembelajaran untuk Mencapai Tujuan
yang Ditetapkan ............................................................................... 7
6. Evaluasi dan Penilaian Pengalaman Belajar .................................... 8
7. Kritik Pada Model Penyusunan Kurikulum Tyler ........................... 8
B. Model Penyusunan Kurikulum Taba ..................................................... 8
1. Masa kecil dan studi universitas Hilda Taba ................................... 9
2. Penyusunan Model Kurikulum Taba ............................................... 11
C. Model Penyusunan Kurikulum Lewis .................................................... 14
1. Elemen Sistem Kurikulum ............................................................... 14
2. Pengembangan Model Kurikulum ................................................... 15
3. Kelebihan dan Kekurangan .............................................................. 20

iii
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................ 22

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 26

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kurikulum merupakan penjabaran dari tujuan pendidikan yang menjadi landasan
dalam proses pembelajaran, perkembangan kurikulum dari waktu ke waktu disebabkan
oleh banyak faktor. Seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, faktor inilah
yang dapat menyebabkan suatu kurikulum dilakukan pengembangan dan kemudian
menghasilkan model-model pengembangan kurikulum.Pengembangan kurikulum adalah
perencanaan kesempatan-kesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membawa siswa
ke arah perubahan-perubahan yang diinginkan dan menilai hingga mana perubahan-
perubahan itu telah terjadi pada siswa. Pada prinsipnya pengembangan kurikulum
berkisar pada pengembangan aspek ilmu pengetahuan dan teknologi yang perlu diimbangi
dengan perkembangan pendidikan. Makalah ini disusun untuk mengkaji lebih dalam lagi
mengenai model pengembangan kurikulum Tyler, Taba dan lewis, semoga dengan
penyusunan makalah ini baik bagi penulis maupun pembaca mendapat pemahaman lebih
mengenai Model Pengembangan Kurikulum.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini meliputi:
1. Bagaimana Model Penyusunan Kurikulum Tyler?
2. Bagaimana Model Penyusunan Kurikulum Taba?
3. Bagaimana Model Penyusunan Kurikulum Lewis?

C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini meliputi:
1. Untuk Mengetahui Model Penyusunan Kurikulum Tyler.
2. Untuk Mengetahui Model Penyusunan Kurikulum Taba.
3. Untuk Mengetahui Model Penyusunan Kurikulum Lewis.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Model Penyusunan Kurikulum Tyler


Ralph W. Tyler (1902-1994) memiliki karir cemerlang dalam pendidikan dan
menghasilkan kontribusi besar terhadap kebijakan dan praktik sekolah di Amerika.
Pengaruhnya terutama terasa di bidang pengujian, di mana ia mengubah ide pengukuran
menjadi konsep yang lebih besar yang disebutnya evaluasi dan juga di bidang kurikulum,
di mana ia merancang dasar pemikiran perencanaan kurikulum dalam ranah kebijakan
Pendidikan (Lorenz, 2005).
Ralph Winfred Tyler lahir pada 22 April 1902, di Chicago, Illinois. Pada tahun
1904 ia pindah ke Nebraska. Di tahun 1921, pada usia 19 tahun, Tyler menerima gelar
A.B.1 dari Doane College di Crete, Nebraska, dan mulai mengajar di sekolah menengah
di Pierre, South Dakota. Dia memperoleh gelar A.M.2 dari Universitas Nebraska (1923)
saat bekerja di sana sebagai asisten pengawas ilmu (1922-1927). Pada tahun 1927 Tyler
menerima gelar Ph.D.3 gelar dari Universitas Chicago.
Reputasi Tyler sebagai pakar pendidikan tumbuh dengan diterbitkannya Prinsip-
prinsip Dasar Kurikulum dan Instruksi. Karena nilai yang ditempatkan Tyler bertujuan
untuk menghubungkan tujuan dengan pengalaman (instruksi) dan evaluasi. Atas jasanya
ini Tyler dikenal sebagai bapak pembentukan perilaku (Antonelli, 1972). Sering disebut
kakek dari desain kurikulum, Ralph W. Tyler sangat dipengaruhi oleh Edward Thorndike,
John Dewey, dan gerakan Pendidikan Progresif tahun 1920-an. Thorndike mengubah
penyelidikan kurikulum dari nilai-nilai relatif dari mata pelajaran yang berbeda ke studi
empiris kehidupan kontemporer. Dewey mempromosikan gagasan menggabungkan minat
siswa ketika merancang tujuan dan kegiatan pembelajaran. Pada era Pendidikan progresif

1
AB adalah singkatan dari "artium baccalaureus," yang merupakan nama Latin untuk gelar Bachelor of
Arts (BA). Glear ini termasuk dalam gelar seni liberal, jadi penekanan diberikan pada bidang humaniora,
bahasa, dan ilmu sosial. Gelar AB akan memberi penyandangnya pengetahuan umum dalam berbagai
mata pelajaran.
2
Master of Arts (bahasa Latin: Magister Artium atau Artium Magister; disingkat MA, M.A., AM, atau A.M.)
adalah pemegang gelar master yang diberikan oleh universitas di banyak negara. Gelar biasanya
dibandingkan dengan gelar Master of Science.
3
PhD (Doctor of Philosophy) adalah gelar penelitian doktoral dan tingkat kualifikasi akademik tertinggi
yang dapat dicapai. Gelar PhD biasanya membutuhkan waktu antara tiga dan empat tahun untuk
diselesaikan.

2
1920 berkembangan pandangan bahwa cara terbaik bagi siswa belajar adalah dengan
mengalami situasi dunia nyata. Sementara Tyler menargetkan emosi, perasaan, dan
keyakinan siswa serta kecerdasannya (Cordero Arroyo & José María García Garduño,
2004).

1. Alasan Logis di Balik Model Penyusunan Kurikulum Tyler


Karya Ralph Tyler yang paling berpengaruh adalah Prinsip Dasar Kurikulum dan
Instruksi. Prinsip ini digunakan sebagai referensi dasar dari silabus mata kuliah saat ini
untuk pengembangan kurikulum dan instruksi (Kalamees-Ruubel & Läänemets, 2013).
Tyler memberikan 4 pertanyaan yang menjadi dasar dalam rencana pengembangan
kurikulum apapun, diantaranya:
1. Apa tujuan pendidikan yang harus dicapai sekolah?
2. Pengalaman pendidikan apa yang dapat diberikan yang kemungkinan besar akan
mencapai tujuan ini?
3. Bagaimana pengalaman pendidikan yang dimiliki siswa dapat diatur secara efektif?
4. Bagaimana dapat menentukan ketercapaian sebuah tujuan yang telah dirumuskan?
Pertanyaan-pertanyaan ini dapat dirumuskan kembali menjadi proses empat
Langkah yakni menyatakan tujuan, memilih pengalaman belajar, mengatur pengalaman
belajar, dan mengevaluasi kurikulum. Alasan Tyler pada dasarnya adalah penjelasan dari
langkah-langkah ini (Parks, 2011).
Alasannya juga menyoroti serangkaian faktor penting yang harus
dipertimbangkan terhadap pertanyaan. Tyler percaya bahwa struktur kurikulum sekolah
juga harus responsif terhadap tiga faktor utama yang mewakili elemen utama dari
pengalaman edukatif, yaitu:
1. Sifat pembelajar (faktor perkembangan, minat dan kebutuhan pembelajar, pengalaman
hidup, dll);
2. Nilai dan tujuan masyarakat (prinsip, nilai, dan sikap demokratisasi); dan
3. Pengetahuan tentang materi pelajaran (apa yang diyakini sebagai pengetahuan yang
layak dan dapat digunakan) (Lorenz, 2005).

3
Dalam menjawab empat pertanyaan dan dalam merancang pengalaman sekolah
untuk anak-anak, pengembang kurikulum harus menyaring penilaian mereka melalui tiga
factor yang telah disebutkan.
Alasan logis dibalik 4 pertanyaan mendasar secara tidak langsung membuka
adanya perbedaan yang samar antara mempelajari potongan-potongan informasi tertentu
dan memahami konsep-konsep pemersatu yang mendasari informasi tersebut. Tyler
menegaskan bahwa ini adalah proses di mana pendidikan yang bermakna terjadi. Tyler
memberikan catatan bahwa seseorang tidak boleh hanya dididik untuk mengetahui fakta
(Parks, 2011). Namun baginya orang yang benar-benar terpelajar, tidak hanya
memperoleh informasi faktual tertentu tetapi juga mengubah pola perilaku yang dimiliki
sebagai hasilnya. Pola perilaku ini memungkinkan orang terpelajar untuk mengatasi
banyak situasi secara tepat, bukan hanya situasi di mana pembelajaran berlangsung.

2. Model Pengembangan Kurikulum Tyler


Model pengembangan kurikulum Tyler menganut cara berpikir deduktif, yakni
berangkat dari hal umum (misalnya, memeriksa kebutuhan masyarakat) ke khusus
(misalnya, menentukan tujuan instruksional). Selanjutnya, modelnya bersifat linier. Hal
ini melibatkan urutan langkah tertentu dari awal hingga akhir. Namun, model linier tidak
tidak berarti sebuah urutan langkah yang tidak dapat diubah. Pembuat kurikulum dapat
melakukan penilaian untuk penyesuaian dan keterkaitan komponen model. Selain itu,
modelnya bersifat preskriptif; dimana bermaksud memberikan saran terkait apa yang
harus dilakukan dan oleh pengembang kurikulum (Antonelli, 1972).
Ini juga tidak seperti kurikulum rekonstruksi sosial, kurikulum ini lebih “berpusat
pada masyarakat”. Model ini memposisikan kurikulum sekolah sebagai alat untuk
meningkatkan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, kebutuhan dan masalah-masalah
sosial merupakan sumber kurikulum utama. Tyler (1976) berpendapat bahwa ada tiga
bentuk sumber daya yang dapat digunakan untuk merumuskan tujuan pendidikan, yaitu
individu (anak-anak sebagai siswa), kehidupan kontemporer, dan pertimbangan ahli
bidang studi. Model pengembangan kurikulum ini lebih kepada bagaimana cara
merancang kurikulum yang sesuai dengan tujuan dan misi suatu lembaga pendidikan.
Menurut Tyler (1976) ada empat hal mendasar yang harus dipertimbangkan untuk

4
mengembangkan suatu kurikulum, yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai,
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan, pengalaman pengorganisasian pembelajaran,
dan evaluasi.

Goals
(based on wishes)

Organization of Instruction
(based on school-free pedagogy)

Feedback
(Need for new reform)

Learning
(in the school context)

Evaluation
(based on pre-determined goals)

Gambar 1. Susunan Model Tyler (R. W. Tyler, 2013)

3. Mendefinisikan Tujuan Pengalaman Belajar


Tyler menyatakan bahwa kaum progresif akan menekankan pentingnya
mempelajari anak untuk mengetahui minat apa yang dia miliki, masalah apa yang dia
hadapi, tujuan apa yang ada dalam pikirannya (R. W. Tyler, 1983). Kaum progresif
melihat informasi ini sebagai sumber dasar untuk memilih tujuan. Tyler tertarik pada
bagaimana pembelajaran terkait dengan isu-isu masyarakat, dan percaya studi tentang
kehidupan kontemporer memberikan informasi untuk tujuan pembelajaran (R. W. Tyler,
1949). Dia mendefinisikan tujuan pembelajaran dalam hal pengetahuan, keterampilan
komunikasi, perspektif sosial dan etika, keterampilan kuantitatif dan analitis, serta
kognitif/taksonomi. Dia mengusulkan bahwa tujuan pendidikan berasal dari tiga sumber:
studi masyarakat, studi peserta didik, dan pakar akademik. Data ini dikumpulkan dan

5
dianalisis secara sistematis membentuk dasar tujuan awal yang akan diuji pencapaiannya
dan upayanya dalam situasi kurikulum nyata. Tujuan tentatif dari tiga sumber disaring
melalui dua layer yakni filosofi pendidikan sekolah dan pengetahuan tentang psikologi
pembelajaran, yang menghasilkan serangkaian tujuan akhir pendidikan.

4. Mendefinisikan pengalaman belajar


Setelah langkah pertama yakni menyatakan dan menyempurnakan tujuan
pembelajaran dilakukan. Pemikiran berlanjut melalui langkah-langkah pemilihan dan
pengorganisasian pengalaman belajar sebagai sarana untuk mencapai tujuan, dan akhirnya
melakukan evaluasi terkait hasil belajar tersebut. Istilah "pengalaman belajar" mengacu
pada interaksi antara pelajar dan kondisi eksternal di lingkungan di mana dia dapat
bereaksi. Tyler berpendapat bahwa istilah “pengalaman belajar” tidak sama dengan isi
mata pelajaran yang berkaitan atau kegiatan yang dilakukan oleh guru (R. W. Tyler &
Nurman, 2016). Pembelajaran berlangsung melalui perilaku aktif siswa; apa yang dia
lakukan itulah yang dia pelajari bukan apa yang dilakukan guru. Jadi, pengalaman belajar
siswa mengacu pada kegiatan dalam proses pembelajaran. Yang harus ditanyakan dalam
pengalaman ini adalah “apa yang akan dilakukan dan telah dilakukan oleh siswa” bukan
“apa yang akan dilakukan dan telah dilakukan oleh guru”.
Tyler mengakui adanya masalah sehubungan dengan pemilihan pengalaman
belajar oleh seorang guru. Masalahnya adalah bahwa menurut definisi pengalaman belajar
adalah interaksi antara siswa dan lingkungannya. Artinya, pengalaman belajar sampai
tingkat tertentu merupakan fungsi dari persepsi, minat, dan pengalaman siswa
sebelumnya. Dengan demikian, pengalaman belajar tidak sepenuhnya berada dalam
kekuasaan guru untuk memilih. Namun demikian, Tyler berpendapat bahwa guru dapat
mengontrol pengalaman belajar melalui manipulasi lingkungan, menghasilkan situasi
yang merangsang yang cukup untuk membangkitkan jenis hasil belajar yang diinginkan
(R. W. Tyler, 2013). Ada beberapa prinsip dalam menentukan pengalaman belajar siswa,
yaitu:
1. Pengalaman siswa harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai
2. Setiap pengalaman belajar harus memuaskan siswa
3. Setiap desain pengalaman belajar siswa harus melibatkan siswa, dan

6
4. Dalam satu pengalaman belajar, siswa dapat mencapai tujuan yang berbeda.
Adapun masalah yang paling sulit adalah menyiapkan pengalaman belajar untuk
membuat jenis kegiatan yang membosankan menjadi menarik bagi anak. Ia menekankan
bahwa siswa belajar melalui eksplorasi. John Dewey sebagai tokoh panutan Tyler juga
mengemukakan bahwa guru harus mendorong anak-anak untuk terlibat secara aktif dalam
menemukan bagaimana dunia yang sebenarnya (Lorenz, 2005).

5. Pengorganisasian Kegiatan Pembelajaran untuk Mencapai Tujuan yang


Ditetapkan
Lembaga pendidikan dipandang sebagai pusat penting dalam pengembangan
kurikulum karena sangat mempengaruhi efisiensi pengajaran dan sejauh mana perubahan
pendidikan besar dibawa oleh anak. Tyler percaya tiga kriteria utama diperlukan dalam
membangun pengalaman belajar yang terorganisir yaitu kontinuitas, urutan, dan integrasi.
Siswa membutuhkan pengalaman konkret yang dimana pengetahuan dapat terhubung
secara bermakna (Kliebard, 1970).
Tyler berpendapat bahwa ada dua jenis pengorganisasian pengalaman belajar,
yaitu pengorganisasian secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal apabila
menghubungkan pengalaman belajar dalam satu kajian yang sama dalam tingkat/kelas
yang berbeda. Secara horizontal jika menghubungkan pengalaman belajar dalam
tingkat/kelas yang sama. Terdapat beberapa kriteria dalam mengorganisasi pengalaman
belajar ini yaitu : berkesinambungan, berurutan, berisi dan tintegrasi. Prinsip pertama,
artinya pengalaman belajar yang diberikan harus memiliki kesinambungan dan diperlukan
untuk mengembangkan pengalaman belajar selanjutnya. Prinsip kedua, erat hubungan
dengan kontinuitas, perbedaan dengan prinsip kedua terletak pada tingkat kesulitan dan
keluasan bahasan, artinya setiap pengalaman belajar yang diberikan kepada peserta didik
harus memperhatikan tingkat perkembangan peserta didik. Prinsip ketiga, menghendaki
bahwa suatu pengalaman yang diberikan pada peserta didik harus memiliki fungsi dan
bermanfaat untuk memperoleh pengalaman belajar dalam bidang lain (R. W. Tyler, 1949).

7
6. Evaluasi dan Penilaian Pengalaman Belajar
Evaluasi adalah proses menentukan sampai sejauh mana tujuan pendidikan
diwujudkan oleh kurikulum. Dengan kata lain, pernyataan tujuan tidak hanya berfungsi
sebagai dasar untuk memilih dan mengatur pengalaman belajar, tetapi juga berfungsi
sebagai standar terhadap program kurikulum dan pengajaran yang dinilai. Dengan
demikian, menurut Tyler, evaluasi kurikulum adalah proses mencocokkan harapan awal
berupa tujuan perilaku dengan hasil yang dicapai oleh pembelajar. Ada dua fungsi
evaluasi. Pertama, evaluasi yang digunakan untuk memperoleh data tentang pencapaian
tujuan pendidikan oleh siswa (disebut fungsi sumatif). Kedua, evaluasi digunakan untuk
mengukur efektivitas proses pembelajaran (disebut fungsi formatif). Proses penilaian
sangat penting untuk Model Tyler dan dimulai dengan tujuan program Pendidikan (R. W.
Tyler & Nurman, 2016).
Tyler menegaskan bahwa proses evaluasi pada hakikatnya adalah proses
menentukan sejauh mana tujuan pendidikan benar-benar diwujudkan oleh program
kurikulum dan pengajaran. Lebih lanjut, ia menyatakan jika perencanaan kurikulum
adalah proses yang berkelanjutan dimana ketika bahan dan prosedur dikembangkan,
mereka akan diuji coba, hasilnya dinilai, kekurangannya diidentifikasi, dan diberikan
saran-saran perbaikan (Kliebard, 2019). Dengan penekanan pada masing-masing anak,
Tyler percaya bahwa semua evaluasi harus dipandu oleh tujuan dan peka terhadap
keunikan individu yang dinilai. Tyler sangat memperhatikan bagaimana kurikulum dibuat
dan ia sering memberikan peringatan bahwa “Pendidikan adalah proses mengubah pola
perilaku orang” dan dari sana ia sangat menghargai cara belajar masing-masing individu.

7. Kritik Pada Model Penyusunan Kurikulum Tyler


Orang tua, guru dan siswa adalah kerangka utama pendidikan. Mereka saling
bergantung satu sama lain dan memiliki beberapa hak dan kewajiban satu sama lain. Di
era modernisasi ini, kita menuju lingkaran setan Pendidikan. Dimana ketika siswa tidak
unggul dalam ujian, orang tua mengatakan guru tidak mengajar dengan baik; kalau soal
guru, katanya siswa tidak konsentrasi dan belajar, mereka bilang orang tua tidak
bertanggung jawab. Begitu seterusnya sampai tuduhan tersebut tidak pernah selesai.
Model Tyler dikritik hebat karena dianggap terlalu linear dan arahan ketika membuat

8
kurikulum sekolah yang baik. Sebilangan pengkritik berpendapat bahwa sudah
ketinggalan zaman dan tidak memperhitungkan penemuan teoritis terkini mengenai
masalah ini, dan hanya berguna untuk pemimpin yang tidak berhubungan dengan bidang
Pendidikan (Hunkins & Hammill, 1994).
Namun sejatinya berdebat mengenai Tyler bukanlah untuk mengkritik hasil
pekerjaan mereka, melainkan untuk mengakui bahwa kita berada di waktu yang
berbeda—waktu yang menantang kita untuk berpikir dengan cara baru tentang realitas
kita dan bagaimana menghasilkan kurikulum di dalamnya. Tyler mencerminkan
pandangan modernisme: bahwa kehidupan dapat dilihat sebagai mekanis, bahwa ada alam
semesta yang stabil, bahwa proses pengembangan kurikulum dapat dikotak-kotakkan dan
didekontekstualisasikan, bahwa tujuan dapat dipisahkan dari pengalaman yang dirancang
untuk mengatasi tujuan tersebut (Jonnaert & Therriault, 2013).

B. Model Penyusunan Kurikulum Taba


1. Masa kecil dan studi universitas Hilda Taba

Hilda Taba lahir di Kooraste, sebuah desa kecil di wilayah Põlva sekarang, di
tenggara Estonia, pada 7 Desember 1902. Dia adalah anak pertama dari sembilan
bersaudara. Ayah Hilda Taba bernama Robert Taba seorang kepala sekolah. Hilda
pertama kali dididik di sekolah dasar ayahnya, dan kemudian di sekolah paroki setempat.
Pada tahun 1921, setelah lulus dari Sekolah Menengah Perempuan Võru, ia
memutuskan untuk menjadi guru sekolah dasar. Pada musim gugur tahun yang sama Hilda

9
lulus ujian akhir untuk srtifikasi guru dasar di Seminar Didaktik Tartu, tetapi dia tidak
mulai bekerja di sekolah dasar. Sebaliknya, ia menjadi mahasiswa ekonomi di Universitas
Tartu. Ekonomi, bagaimanapun, tidak menarik bagi Taba dan setahun kemudian dia
melamar untuk dipindahkan ke Fakultas Filsafat di mana dia mengambil jurusan sejarah
dan pendidikan.
Karena pendapatan kepala sekolah ayahnya terlalu kecil untuk menghidupi
keluarga besar dan untuk mendukung studi Hilda, bimbingan belajar untuk siswa muda
menjadi kegiatan dan sumber pendapatan utama setelah sekolah. Sebuah dedikasi dalam
disertasinya kepada Maria Raudsepp, seorang murid yang dia latih selama studi
universitasnya di Tartu, memperingati aspek biografi Taba ini.
Setelah lulus dari Universitas Tartu pada tahun 1926, Taba mendapat kesempatan
untuk melanjutkan studi pasca sarjananya di Amerika Serikat, didukung oleh hibah dari
Rockefeller Foundation. Pengetahuannya yang sangat baik tentang mata pelajaran
pendidikan yang diperoleh di Universitas Tartu memungkinkan dia untuk menyelesaikan
gelar master di Bryn Mawr College dalam setahun.
Selama studinya di Bryn Mawr, dia mulai mengunjungi sekolah-sekolah progresif
dan menjadi tertarik pada praktik Rencana Dalton (Klarin, 1989). Mensurvei literatur
pendidikan Amerika, Taba menemukan Fundamentals of education oleh Boyd H. Bode
(1921), seorang penulis dan pendidik yang dikenal luas di Amerika Serikat. Taba sangat
terkesan dengan pendekatan Bode (1873 1953) dan dia semakin tertarik pada filosofi
pendidikan progresif. Secara khusus, dia menikmati keberpusatan pada anak dan kebaruan
dan fleksibilitas dari pendekatan pendidikan ini.
Pada tahun 1927 ia melamar studi doktoral dalam filsafat pendidikan di
Universitas Columbia. Selama lima tahun studi berikutnya, Taba bertemu dengan banyak
ilmuwan Amerika yang terkenal di dunia, di antaranya psikolog E.L. Thorndike (1874-
1949), pendidik dan sejarawan P. Monroe (1869-1947), sosiolog G.C. Gounts, dan pendiri
Rencana Winnetka, C. Washburne (1889-1968). Namun demikian, orang yang paling
mempengaruhi pemikiran pendidikan Hilda Taba adalah John Dewey (1859-1952)
seorang filsuf dan pendidik dengan reputasi global, dan salah satu penggagas gerakan
pendidikan progresif yang ceramahnya dia hadiri dan tulisannya dia pelajari dengan
cermat ( Isham, 1982; Taba, 1932, hlm. vii).

10
Penasihat utama karya doktornya menjadi William H. Kilpatrick (1871-1965),
salah satu rekan John Dewey, yang dikenal dalam sejarah pendidikan sebagai penggagas
metode proyek. Kilpatrick mengakhiri kata pengantarnya untuk disertasi Taba dengan
kata-kata kenabian tentang penulisnya, menyatakan bahwa 'akan sulit bagi pembaca untuk
menyenangkan dan jauh memajukan pemikiran sebelumnya yang tidak meninggalkan
buku ini merasa sangat berhutang budi kepada penulisnya yang sangat cakap' (Kilpatrick,
1932) . Kilpatrick benar dalam menilai nilai karya ini, dan pendapatnya dibuktikan dengan
fakta bahwa sekitar lima puluh tahun kemudian Telegraph Books mencetak ulang
monografi tersebut pada tahun 1980.

2. Penyusunan Model Kurikulum Taba


Taba menggunakan pendekatan akar rumput (grass-roots approach) bagi
perkembangan kurikulum. Taba percaya kurikulum harus dirancang oleh guru dan bukan
diberikan oleh pihak berwenang. Menurut Taba guru harus memulai proses dengan
menciptakan suatu unit belajar mengajar khusus bagi murid-murid mereka disekolah dan
bukan terlibat dalam rancangan suatu kurikulum umum. Karena itu Taba menganut
pendekatan induktif yang dimulai dengan hal khusus dan dibangun menjadi suatu
rancangan umum.

Ada lima langka-langka untuk menyusun model kurikulum Taba menurut Hilda
Taba dapat dilihat di gambar 1

11
Gambar 1 langka-langka penyusunan model kurikulum Taba

1. Producing Pilot Units (membuat unit percontohan) yang mewakili peringkat kelas
atau mata pelajaran. Taba melihat langkah ini sebagai penghubung antara teori dan
praktek.

a) Diagnosis of needs (diagnosa kebutuhan). Pengembang kurikulum memulai dengan


menentukan kebutuhan- kebutuhan siswa kepada siapa kurikulum direncanakan.
b) Formulation of objectives (merumuskan tujuan). Setelah kebutuhan siswa didiagnosa,
perencana kurikulum memerinci tujuan – tujuan yang akan dicapai.
c) Selection of content (pemilihan isi). Bahasan yang akan dipelajari berpangkal
langsung dari tujuan-tujuan
d) Organization of content (organisasi isi). Setelah isi/bahasan dipilih, tugas selanjutnya
adalah menentukan pada tingkat dan urutan yang mana mata pelajaran ditempatkan.

12
e) Selection of learning experiences (pemilihan pengalaman belajar). Metodologi atau
strategi yang dipergunakan dalam bahasan harus dipilih oleh perencana kurikulum.
f) Orgcmzation of learning activities (organisasi kegiatan pembelajaran). Guru
memutuskan bagaimana mengemas kegiatan-kegiatan pembelajaran dan dalam
kombinasi atau urutan seperti apa kegiatan-kegiatan tersebut akan digunakan.
g) Determination of what to evaluate and of the ways and means of doing it (Penentuan
tentang apa yang akan dievaluasi dan cara serta alat yang dipakai untuk melakukan
evaluasi). Perencana kurikulum harus memutuskan apakah tujuan sudah tercapai.
Guru rnemilih alat dan teknik yang tepat untuk menilai keberhasilan siswa dan untuk
menentukan apakah tujuan kurikulum sudah tercapai.
h) Checking for balance and sequence (memeriksa keseimbangan dan urutan). Taba
meminta pendapat dari pekerja kurikulurn untuk melihat konsistensi diantara berbagai
bagian dari unit belajar mengajar, untuk melihat alur pembelajaran yang baik dan
untuk keseimbangan antara berbagai macam pembalajaran dan ekspresi.
2. Testing Experimental Units (menguji unit percobaan). Uji ini diperlukan untuk
mengecek validitas dan apakah materi tersebut dapat diajarkan dan untuk mcnetapkan
batas atas dan batas bawah dari kemampuan yang diharapkan.
3. Revising and Consolidating (revisi dan konsolidasi). Unit pembelajaran dimodifikasi
menyesuaikan dengan keragaman kebutuhan dan kemampuan siswa, sumber daya
yang tersedia dan berbagai gaya mengajar sehingga kurikulum dapat sesuai dengan
semua tipe kelas.
4. Developing a framework (pengembangan kerangka kerja). Setelah sejumlah unit
dirancang, perencana kurikulum harus memeriksa apakah ruang lingkup sudah
memadai dan urutannya sudah benar.
5. Installing and disseminating new units (memasang dan menyebarkan unit-unit baru).
Mengatur pelatihan sehingga guru-guru dapat secara efektif mengoperasikan unit
belajar mengajar di kelas mereka.

C. Model Penyusunan Kurikulum Saylor, Alexsander, dan Lewis


Kurikulum menurut Saylor, Alexander, dan Lewis (1981) adalah sebagai segala
upaya sekolah untuk mempengaruhi siswa supaya belajar, baik dalam ruangan kelas, di

13
halaman sekolah, maupun di luar sekolah (the curriculum is the sum total of school’s
efforts to influence learning, whether in the classroom, on the playground, or out of
school).

1. Elemen Sistem Kurikulum


Pada hakikatnya kurikulum sebagai suatu program kegiatan terencana (program
of planned activities) yang memiliki rentang yang cukup luas, hingga membentuk suatu
pandangan yang menyeluruh. (Hamalik, 2016). Berdasarkan perkembangannya menurut
Saylor, Alexander dan Lewis (1981) kurikulum dibagi kedalam empat konsep, yaitu:
1. Kurikulum sebagai rencana tentang mata pelajaran atau bahan-bahan pelajaran.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
2. Kurikulum sebagai rencana tentang pengalaman belajar.
Semua kegiatan yang memberikan pengalaman belajar/pendidikan bagi siswa pada
hakikatnya adalah kurikulum.Kegiatan-kegiatan kurikulum tidak terbatas dalam
ruang kelas saja, melainkan mencakup juga kegiatan-kegiatan diluar kelas. Tidak ada
pemisahan yang tegas antara intra dan ekstra kurikulum.
3. Kurikulum, sebagai rencana tentang tujuan pendidikan yang hendak dicapai.
Kurikulum ialah sejumlah mata ajaran yang harus ditempuh dan dipelajari oleh siswa
untuk memperoleh sejumlah pengetahuan. Mata ajaran (subject matter) dipandang
sebagai pengalaman orang tua atau orang-orang pandai masa lampau, yang telah
disusun secara sistematis dan logis. Mata ajaran tersebut mengisis materi pelajaran
yang disampaikan kepada siswa, sehingga memperoleh sejumlah ilmu pengetahuan
yang berguna baginya.
4. kurikulum; sebagai rencana tentang kesempatan belajar.
Kurikulum adalah suatu program pendidikan yang disediakan untuk membelajarkan
siswa. Dengan program itu para siswa melakukan berbagai kegiatan belajar, sehingga
terjadi perubahan dan perkembangan tingkah laku siswa, sesuai dengan tujuan
pendidikan dan pembelajaran. Dengan kata lain, sekolah menyediakan lingkungan

14
bagi siswa yang memberikan kesempatan belajar. Itu sebabnya, suatu kurikulum
harus disusun sedemikian rupa agar maksud tersebut dapat tercapai.
Dalam Saylor, Alexander, dan Lewis membagi desain kurikulum menjadi
kurikulum subject matter disiplin, kompetensi yang barsifat spesifik atau kurikulum
teknologi, kurikulum sebagai proses, kurikulum sebagai fungsi sosial, dan kurikulum
yang berdasarkan minat individu (Yu’timaalahuyatazaka, 2016). Metode SAL
dikembangkan secara deduktif, yang mana metode ini mempunyai kelebihan pada anak-
anak yang masih belajar nilai pada tahap pemula, karena anak tersebut terlebih dahulu
dikenalkan beberapa teori tentang nilai secara umum baru kemudian ditarik rincian yang
lebih sempit dan mendetail serta dihubungkan dengan kasus-kasus yang terjadi dalam
masyarakat sehingga metode ini baik untuk mengembangkan kearah pendidikan nilai
ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan (Mubasyaroh, 2013).

2. Pengembangan Model Kurikulum


Perencanaan kurikulum merupakan beberapa rencana unit-unit kecil pada bagian-
bagian tertentu dari sebuah kurikulum. Langkah-langkah pengembangan kurikulum
model Saylor,Alexander, and Lewis (1981) lebih rinci dapat dilihat pada gambar berikut:

Mereka mendefinisikan kurikulum sebagai perangkat/langkah rencana yang


diarahkan pada sekumpulan aktivitas pembelajaran bagi individu agar menjadi terdidik.
Perencanaan kurikulum merupakan beberapa rencana unit-unit kecil pada bagian-bagian
tertentu dari sebuah kurikulum.
Perama goals (tujuan) merupakaan sesuatu yang ingin di capai, yang mana terbagi
menjadi dua; yaitu general goals (tujuan umum) yaitu suatu pencapaian menuju sejauh
mana usaha mau diarahkan. Istilah lebih luasnya dalam dunia pendidikan untuk
menentukan hasil penting yang diinginkan dari program pendidikan. Selanjutnya subgoal

15
(tujuan khusus) lebih spesifik mengarah langsung pada tujuan yang dicari dalam
kesempatan belajar
Menentukan goals, subgoals and objective, model ini mulai menunjukkan bahwa
tujuan umum pendidikan dan tujuan khusus pendidikan yang di klasifikasikan menjadi
empat domain yaitu: pengembangan diri, kompetensi social, kemampuan belajar
berkesinambungan dan spesialisa (Coffman, 1981). Pinar (2008) menilai, merencanakan
dan merancang model kurikulum J. Galen Saylor, William Alexander, dan Arthur Lewis
dianggap sebagai model tradisional yang paling banyak dikenal. Pinar mengatakan
bahwa menurut Saylor, Alexander, dan Lewis, perencanaan dan desain proses rasional,
berdasarkan ketertiban, dan birokrasi..
Kedua rancangan kurikulum adalah menentukan struktur kurikulum, memilih dan
mengelompokkan materi, menentukan strategi kurikulum, menyusun perangkat
pembelajaran, media pembelajaran, instrument evaluasi atau penilaian. Perencana
kurikulum harus merancang kesempatan belajar apa pun yang paling sesuai untuk domain
dan tujuan: Dengan kata lain, desain harus mengikuti fungsi dan bukan sebaliknya, dan
akibatnya rencana kurikulum komprehensif dapat memanfaatkan lebih dari satu desain.
Pekerja kurikulum harus sepenuhnya menyadari kemungkinan desain dan membuat
pilihan yang disengaja di antara mereka.
Ketiga implementasi kurikulum adalah penerapan kurikulum guru diberikan
pilihan strategi penyajian materi yang sudah disediakan di dalam kurikulum sesuai dengan
tujuan instruksional yang hendak dicapai.
Apalagi dalam merencanakan pembelajaran untuk mewujudkan tujuan, guru harus
memperhatikan dampak kurikulum tersembunyi. perencana kurikulum dan semua
pendidik perlu mengenali efek kuat dari institusi institusi pendidikan dan struktur sosial
dan interaksi guru-siswa tentang apa dan bagaimana siswa belajar, faktor-faktor ini
mewakili sebuah "kurikulum yang tidak diperdebatkan". Fungsi penting dari perencana
kurikulum adalah untuk menganalisa "kurikulum yang tidak dibuktikan" ini dan pada
dasarnya menjadikannya bagian dari kurikulum yang diakui sehingga berkontribusi
terhadap keefektifan total institusi pendidikan.
Kurikulum tersembunyi yang dikembangkan oleh siswa untuk diri mereka
dihasilkan dari kurikulum yang direncanakan, yang dapat diidentifikasi seperti iklim

16
sosial dan proses kehidupan kelompok dan interaksi di antara keluarga sekolah: dan
gambar dan situasi-set siswa berkenaan dengan guru dan sekolah sebagai institusi, dan
guru berkenaan dengan siswa. Perencanaan pembelajaran, sayangnya, seringkali dibatasi
oleh fasilitas yang tersedia, peralatan dan sumber pengajaran yang dapat digunakan, dan
organisasi administrasi dan struktur sekolah. perancang kurikulum, karena mereka
merencanakan implementasi, perlu mempertimbangkan bagaimana perbedaan individu
akan ditangani. Umumnya, keseimbangan yang lebih baik dalam program pendidikan
dapat dipertahankan bila instruksi individual dikombinasikan dengan instruksi kelompok.
Terakhir evaluasi kurikulum terbagi ke dalam lima komponen, yaitu: evaluasi
program pendidikan sekolah:
1. goals, subgoals, objectives
Menentukan goals, subgoals and objective, model ini mulai menunjukkan bahwa
tujuan umum pendidikan dan tujuan khusus pendidikan yang di klasifikasikan
menjadi empat yaitu:
a. Kompetensi social (analisis kebutuhan sosial)
Masyarakat dalam hal ini adalah masyarakat lingkungan pendidikan dimana
output pendidikan itu sendiri ditempatkan.
b. Pengembangan diri (analisis kebutuhan individu)
Analisis ini diarahkan kepada kebutuhan dari peserta didik.
c. Analisis dari ahli atau kelompok tertentu (spesialisasi)
Setelah analisis kebutuhan masyarakat dan individu dilaksanakan maka
perencana kurikulum membuat analisis dari berbagai kelompok serta analisis
dari ahli bidang tertentu.
d. Kemampuan belajar berkesinambungan
Perencana kurikulum juga harus berkonsultasi dengan ahli pada bidangnya
mengenai pencapaian dan keseuaian tujuan kurikulum. Data yang diperoleh dari
program ujicoba sebelumnya harus digunakan untuk merevisi tujuan kurikulum
sebelum evaluasi berikutnya. Untuk tujuan praktis, selain merujuk pada tujuan
kurikulum, perencana kurikulum dapat membuat validasi berdasarkan penilaian
dari penilaian berbagai kelompok dan ahli kurikulum lainnya.
2. Instructional (evaluasi Pembelajaran)

17
Evaluasi pembelajaran merupakan evaluasi dalam bidang pembelajaran. Tujuan
evaluasi pembelajaran adalah untuk menghimpun informasi yang dijadikan dasar
untuk mengetahui taraf kemajuan, perkembangan, dan pencapaian belajar siswa, serta
keefektifan pengajaran guru. Pembelajaran merupakan sistem yang terdiri atas
beberapa unsur, yaitu masukan, proses dan hasil. Berdasarkan hal tersebut, terdapat
tiga jenis evaluasi sesuai dengan sasaran evaluasi pembelajaran, yaitu evaluasi
masukan, proses dan hasil pembelajaran.
a. Evaluasi masukan pembelajaran
Evaluasi ini menekankan pada evaluasi karakteristik peserta didik, kelengkapan
dan keadaan sarana dan prasarana pembelajaran, karakteristik dan kesiapan guru,
strategi pembelajaran yang sesuai, serta keadaan lingkungan dimana
pembelajaran berlangsung.
b. Evaluasi proses pembelajaran
Evaluasi proses pembelajaran menekankan pada evalusi pengelolaan
pembelajaran yang dilaksanakan oleh pembelajar meliputi keefektifan strategi
pembelajaran yang dilaksanakan, keefektifan media pembelajaran, cara
mengajar yang dilaksanakan, dan minat, sikap serta cara belajar peserta didik.
c. Evaluasi hasil pembelajaran
Evaluasi hasil pembelajaran atau evaluasi hasil belajar antara lain menggunakan
tes untuk melakukan pengukuran hasil belajar. Hasil belajar tersebut dapat dilihat
berdasarkan aspek kognitif, afektif dan psikomotor.
3. The specific segments of the education program (segmen khusus dari program
pendidikan)
Apabila suatu program pendidikan memiliki segmen khusus maka perlu adanya
evaluasi terhadap segmen khusus tersebut. Pada pendidikan yang ada di Indonesia,
segmen khusus tersebut misalnya adanya Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).
Kurikulum pada sekolah bertaraf internasional tentunya berbeda dengan sekolah
standar nasional pada umumnya. Sebagai contoh, untuk mata pelajaran sains pada
sekolah SBI sebaiknya digunakan bahasa pengantar yaitu bahasa inggris. Evaluasi
dapat dilakukan mengenai apakah pelaksanaan kurikulum tersebut cukup efektif
untuk mencapai tujuan kurikulum yang dibuat.

18
4. The program of education as totality (evaluasi program pendidikan secara
keseluruhan)
Saylor, Alexander, dan Lewis dalam Oliva (1992) merekomendasikan evaluasi
formatif program pendidikan secara keseluruhan dengan cara "penilaian dari ahli
kurikulum, penelitian data tentang kebutuhan manusia, dan rekomendasi dari
kelompok belajar." Mereka merekomendasikan evaluasi sumatif dari program
pendidikan melalui "survei, tindak lanjut penelitian, penilaian ulama, warga, dan
siswa; data uji". Evaluasi sumatif dari program pendidikan dilakukan dalam beberapa
cara. Data empiris dikumpulkan untuk menentukan apakah tujuan kurikulum telah
dicapai. Contohnya, sebagai tindak lanjut studi mengungkapkan mengenai tingkat
keberhasilan atau kekurangan lulusan setelah meninggalkan sekolah. Kemudian
dilakukan survei kepada guru, orangtua, siswa, dan lain-lain untuk mengevaluasi
program sekolah.
5. Evaluation program (program evaluasi)
Selain tujuan, pembelajaran, segmen khusus, dan program pendidikan secara
keseluruhan maka yang harus dievaluasi adalah program evaluasi itu sendiri.
Program untuk mengevaluasi kurikulum harus terus dinilai. Penilaian tentang
bagaimana evaluasi akan dilakukan harus dilakukan sebelum sebuah inovasi atau
perubahan yang dilaksanakan sebagai sebuah kebijakan publik. Teknik-teknik untuk
evaluasi berkelanjutan dan evaluasi akhir harus hati-hati direncanakan dan diikuti.
Pertanyaan-pertanyaan mengenai evaluasi program evaluasi antara lain, apakah
instrumen yang akan digunakan adalah mampu diandalkan dan valid, apakah
program evaluasi telah mencakup semua dimensi kurikulum, dan apakah prosedur
yang dilakuakn telah sesuai. Masukan dan saran tentang prosedur evaluasi dapat
diperoleh dari para peserta didik dan guru. Jika penelitian harus dilakukan, ahli di
dalam atau di luar sistem harus meninjau teknik penelitian yang diajukan untuk
menentukan apakah mereka memenuhi standar penelitian yang diterima. Bila data
telah dikumpulkan, para perencana kurikulum mungkin merasa perlu untuk meminta
bantuan ahli evaluasi untuk menganalisis dan menginterpretasikan data. Sekarang
harus ditentukan apakah semua variabel telah dipertimbangkan dan tepat dikontrol

19
dan apakah langkah-langkah evaluasi yang dirancang untuk telah sesuai untuk
menilai tujuan-tujuan.
Sebagai contoh, sebuah tes kognitif sejarah Amerika tidak akan menilai kinerja
ketrerampilan siswa keterampilan pada pelajaran kewarganegaraan. Kemampuan
untuk membaca aturan-aturan tata bahasa tidak menjamin keterampilan dalam
menulis. Ketika kekurangan ditemukan dalam evaluasi program, maka program
evaluasi harus diperbaiki.
Evaluasi kurikulum memegang peranan penting baik dalam penetuan
kebijaksanaan pendidikan pada umumnya, maupun pada pengambilan keputusan dalam
kurikulum. Evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memperbaiki subsantsi kurikulum,
prosedur implementasi kurikulum, metode intruksional, serta pengaruhnya pada belajar
dan perilaku siswa (Adnan, 2017). Sebagaimana dijelaskan juga bahwa “Proses evaluasi
memungkinkan perencana kurikulum untuk menentukan apakah tujuan sekolah dan
tujuan pengajaran telah terpenuhi atau belum. Saylor, Alexander dan Lewis melengkapi
model proses perencanaan kurikulum mereka dengan model pendamping yang
menggambarkan unsur-unsur sistem kurikulum, proses mendefinisikan tujuan dan
sasaran lembaga pendidikan dan evaluasi kurikulum menjadi titik fokus”.

3. Kelebihan dan Kekurangan


Terdapat beberapa kelebihan, diantaranya:
1. Kurikulum dapat digunakan sebagai rencana kegiatan pembelajaran
Hal ini sebagai satu rencana yang dikembangkan untuk mendukung proses
mengajar/belajar didalam arahan dan bimbingan sekolah, akademi atau unversitas
dan para anggotanya stafnya.
2. Kurikulum dapat digunakan untuk mempengaruhi proses belajar
Proses belajar disini baik yang berlangsung di kelas, di halaman maupun yang ada di
luar sekolah, seperti di lingkungan masyarakat.
3. Kurikulum dapat digunakan sebagai tujuan hasil pembelajaran
Menempatkan kekuatan-kekuatan fundamental yang peka sekali, karena hasil yang
diinginkan tidak hanya sangat mempengaruhi bentuk kurikulum, tetapi
memberikan arah dan fokus untuk seluruh program pendidikan. Kurikulum dapat

20
digunakan sebagai hasil belajar Semua rencana hasil belajar (learning outcomes)
yang merupakan tanggung jawab sekolah adalah kurikulum, maka belajar yang
diharapkan dapat tercapai. Memandang kurikulum sebagai rekontruksi pengetahuan
dan pengalaman, yang secara sistematis dikembangkan dengan bantuan sekolah atau
(universitas), agar memungkinkan siswa menambah penguasaan pengetahuan dan
pengalamannya.
4. Kurikulum dapat digunakan sebagai evaluasi pembelajaran
Ini ditujukan untuk melakukan evaluasi terhadap belajar siswa (hasil dan proses)
maupun keefektifan kurikulum dan pembelajaran.
5. Kurikulum merupakan pengalaman belajar
Pengalaman belajar bagi siswa dan pedoman penyelenggaraan Kegiatan Belajar
Mengajar bagi semua pihak di sekolah, sehingga siswa dapat berkembang untuk
mencapai tujuan pendidikan.
Terdapat kekurangan dari model pengambangan ini diantaranya:
1. Ketidak relevansinya pendidikan dengan kurikulum yang berkaitan dengan tujuan
tuntutan di era modern.
2. Adanya masalah mutu pendidikan yang berkaitan dengan peningkatan aspek
pendidikan demi menghasilkan lulusan yang berkualitas sesuai dengan kurikulum
yang diajarkan.
3. Terdapat kesenjangan efisiensi antara terselenggaranya pembelajaran dengan
menggunakan kurikulum tersebut yang berkaitan dengan usaha memanfaatkan
kesempatan dalam proses pendidikan.

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Model pengembangan kurikulum Tyler menganut cara berpikir deduktif, yakni
berangkat dari hal umum (misalnya, memeriksa kebutuhan masyarakat) ke khusus
(misalnya, menentukan tujuan instruksional). Selanjutnya, modelnya bersifat
linier. Hal ini melibatkan urutan langkah tertentu dari awal hingga akhir. Namun,
model linier tidak tidak berarti sebuah urutan langkah yang tidak dapat diubah.
Pembuat kurikulum dapat melakukan penilaian untuk penyesuaian dan keterkaitan
komponen model. Selain itu, modelnya bersifat preskriptif; dimana bermaksud
memberikan saran terkait apa yang harus dilakukan dan oleh pengembang
kurikulum. Tyler berpendapat bahwa ada tiga bentuk sumber daya yang dapat
digunakan untuk merumuskan tujuan pendidikan, yaitu individu (anak-anak
sebagai siswa), kehidupan kontemporer, dan pertimbangan ahli bidang studi.
2. Taba menganut pendekatan induktif yang dimulai dengan hal khusus dan dibangun
menjadi suatu rancangan umum. Taba menggunakan pendekatan akar rumput
(grass-roots approach) bagi perkembangan kurikulum. Taba percaya kurikulum
harus dirancang oleh guru dan bukan diberikan oleh pihak berwenang. Menurut
Taba guru harus memulai proses dengan menciptakan suatu unit belajar mengajar
khusus bagi murid-murid mereka disekolah dan bukan terlibat dalam rancangan
suatu kurikulum umum.
3. Dalam Saylor, Alexander, dan Lewis membagi desain kurikulum menjadi
kurikulum subject matter disiplin, kompetensi yang barsifat spesifik atau
kurikulum teknologi, kurikulum sebagai proses, kurikulum sebagai fungsi sosial,
dan kurikulum yang berdasarkan minat individu. Metode SAL dikembangkan
secara deduktif, yang mana metode ini mempunyai kelebihan pada anak-anak
yang masih belajar nilai pada tahap pemula, karena anak tersebut terlebih dahulu
dikenalkan beberapa teori tentang nilai secara umum baru kemudian ditarik rincian
yang lebih sempit dan mendetail serta dihubungkan dengan kasus-kasus yang
terjadi dalam masyarakat sehingga metode ini baik untuk mengembangkan kearah
pendidikan nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan

22
23
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad D. Marimba. (1980.) Pengantar pendidikan islam, PT. Al-Ma’arrif, Bandung.
Adnan, M. (2017). Evaluasi kurikulum sebagai kerangka acuan pengembangan pendidikan islam. Al-
Idaroh. Jurnal Studi Manajemen Pendidikan Islam, 1(2), 108-129.
Antonelli, G. A. (1972). Ralph W. Tyler: The Man and His Work. Peabody Journal of
Education. https://doi.org/10.1080/01619567209537889
Cordero Arroyo, G., & José María García Garduño, uabcmx. (2004). Tyler’s Curriculum
Rationale and the Reconceptualists: Interview with Ralph W. Tyler (1902-1994).
Revista Electrónica de Investigación Educativa.
Dakir.H. Perancangan dan pengembangan kurikulum. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004
Harlen, w. Gipps, c., Broadfoot, P. Nuttall, D 1992. Assessmenand the mprovement of
education. The curiculum Journal 3:215-230
Hunkins, F. P., & Hammill, P. A. (1994). Beyond Tyler and Taba: Reconceptualizing the
Curriculum Process. Peabody Journal of Education.
https://doi.org/10.1080/01619569409538774
http://restuwijayanto.blogs.uny.ac.id/wp-content/uploads/sites/2030/2015/11/8-Resum-
Model-model-Pengembangan-Kurikulum.pdf
Jonnaert, P., & Therriault, G. (2013). Curricula and curricular analysis: Some pointers for
a debate. In Prospects. https://doi.org/10.1007/s11125-013-9285-7
Kalamees-Ruubel, K., & Läänemets, U. (2013). The Taba-Tyler Rationales. Journal of
the American Association for the Advancement of Curriculum Studies.
Kliebard, H. M. (1970). The Tyler Rationale. The School Review.
https://doi.org/10.1086/442905
Kliebard, H. M. (2019). The Tyler Rationale. In Forging the American Curriculum.
https://doi.org/10.4324/9780429452185-10
Lorenz, A. L. (2005). Ralph W. Tyler. Journalism History.
https://doi.org/10.1080/00947679.2005.12062667
Oliva, Peter F.G. (1992). Developing The Curricullum. Third Edition. New York: Harper Collins.
Parks, D. J. (2011). Lest we forget our past: A leader in curriculum development-Ralph
Winfred Tyler. Educational Forum.
https://doi.org/10.1080/00131725.2010.528549

24
Pinar., W. F. (2008). JCT Today. Jurnal of Curiculum Theorizing, 24(1), 4-10.
Saylor, J. Galen; Alexander, William M, dan Lewis, Athur J. (1981). Curriculum Planning for better
Teaching and Learning, New York: Holt, Rinehartand Wiston
Tyler, R. (1976). Two New Emphases in Curriculum Development. Educational
Leadership.
Tyler, R. W. (1949). What Educational Purposes Should the school seek to attain? Basic
Principles of Curriculum and Instruction.
Tyler, R. W. (1983). A Rationale for Program Evaluation. In Evaluation Models.
https://doi.org/10.1007/978-94-009-6675-8_4
Tyler, R. W. (2013). Basic Principles of Curriculum and Instruction. In Basic Principles
of Curriculum and Instruction.
https://doi.org/10.7208/chicago/9780226820323.001.0001
Tyler, R. W., & Nurman, M. (2016). Evaluasi Program Pendidikan: “Pedekatan Evaluasi
Program Berorientasi Tujuan (Goal-Oriented Evaluation Approach: Ralph W.
Tyler).” El-Tsaqafah : Jurnal Jurusan PBA.
UNESCO, International Bureau of Education), vol. XXXIII, no. 4, December 2003, p.
481-91. ©UNESCO:International Bureau of Education, 2003.
Yu’timaalahuyatazaka. 2016 Model pengembangan kurikulum hilda taba dan
indetifikasinya dalam kurikulum.volume 4.

25

Anda mungkin juga menyukai