Anda di halaman 1dari 112

PETUNJUK PRAKTIKUM

DETEKSI DAN PENGUKURAN RADIASI

Disusun Oleh:
Prof. Dr. Ir. Agus Budhie Wijatna, M.Si.
Yessika Natalia Chelsie
Aulia Dina Wulandani
Imam Bayu Prasetya
Valentinus Elzha Widatama
Muhammad Farhan Ramadhany

LABORATORIUM TEKNOLOGI ENERGI NUKLIR


DEPARTEMEN TEKNIK NUKLIR DAN TEKNIK FISIKA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Deteksi dan Pengukuran Radiasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ilmu
teknik nuklir. Oleh karena itu, insinyur teknik nuklir harus memahami dan menguasai masalah
deteksi dan pengukuran radiasi sebagai kompetensi dasar disiplin teknik nuklir. Untuk melatih
pemahaman dan keterampilan mahasiswa S1 sebagai calon insinyur teknik nuklir,
dilaksanakanlah Praktikum Deteksi dan Pengkuran Radiasi di Laboratorium Teknologi Energi
Nuklir, Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika Fakultas Teknik Universitas Gadjah
Mada. Karenanya, buku Petunjuk Praktikum Deteksi dan Pengukuran Radiasi disusun untuk
membantu pelaksanaan kegiatan praktikum.
Buku petunjuk praktikum ini memuat metode deteksi partikel radiasi bermuatan,
khususnya radiasi beta serta deteksi partikel radiasi yang tidak bermuatan yaitu foton gamma.
Selain itu, memuat tentang penentuan koefisien atenuasi suatu materi terhadap partikel beta
maupun foton gamma. Memuat juga penentuan aktivitas suatu sumber radiasi, identifikasi
unsur radioaktif dengan spektroskopi foton gamma, dan metode deteksi dengan teknik
koinsiden. Beberapa peubah yang berkaitan dengan pengoperasian suatu detektor juga dimuat
dalam petunjuk praktikum ini, misalnya untuk pengoperasian detektor Geiger Muller dan
Kristal NaI(Tl). Selain itu, buku petunjuk praktikum edisi 2021 sudah mengalami sedikit
penyesuaian isi dikarenakan berubahnya sistem praktikum menjadi daring. Adapun untuk tata
tertib praktikum sebagaimana tertulis dalam buku panduan ini berlaku saat praktikum luring.
Tata tertib yang berlaku selama praktikum daring disesuaikan setiap tahunnya da n disampaikan
pada saat pengarahan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada pihak-pihak yang telah andil dalam
penulisan buku ini: Bapak Widodo sebagai Administrasi Laboran, yang telah membantu
berjalannya praktikum dan tersusunnya panduan ini; para asisten di masa lalu yang telah
membantu membangun fondasi praktikum; serta para reviewer yang telah menjaga kualitas
panduan dari segi penulisan maupun desain. Akhir kata, kritik dan saran untuk perbaikan dan
penyempurnaan buku petunjuk praktikum ini sangat kami harapkan. Semoga buku ini dapat
bermanfaat bagi pembaca dan penulisnya.
Yogyakarta, Agustus 2021

Penulis

ii
TATA TERTIB PRAKTIKUM

1. Praktikan harus memasuki laboratorium tepat pada waktunya. Praktikan yang hadir 10
menit atau lebih dari waktu yang dijadwalkan dinyatakan terlambat. Terlambat dengan
alasan masih dapat mengikuti pratikum setelah mendapat izin dari koordinator
praktikum. Sedangkan terlambat tanpa alasan:
• untuk pertama kali praktikan tidak dapat mengikuti praktikum dan diganti waktu
lain (inhal);
• selebihnya setiap keterlambatan praktikan tidak boleh mengikuti praktikum,
tanpa inhal dan mengumpulkan satu poin kesalahan.
2. Test pendahuluan dari asisten dilaksanakan selama ± 2 atau 3 jam sebelum praktikum.
Untuk dapat mengikuti tes pendahuluan, praktikan diwajibkan untuk menyerahkan draf
dasar teori dan metode percobaan. Kelulusan tes sepenuhnya ditentukan oleh asisten
yang bersangkutan. Jika tidak lulus tes pendahuluan maka:
• untuk pertama kali, praktikan tidak boleh mengikuti praktikum dan diganti inhal;
• selebihnya untuk setiap ketidaklulusan tes mengakibatkan praktikan tidak boleh
mengikuti praktikum tanpa inhal dan mengumpulkan satu poin kesalahan.
3. Selama praktikum berlangsung praktikan wajib mengenakan jas lab, bekerja tenang, dan
tertib.
4. Setiap selesai praktikum, praktikan wajib menyerahkan laporan sementara rangkap dua
yang telah ditandatangani dan disahkan oleh asisten.
5. Laporan lengkap harus dikumpulkan selambat-lambatnya satu pekan setelah praktikum
sebagai persyaratan untuk mengikuti praktikum berikutnya. Jika laporan tidak lengkap
dan/atau terlambat maka:
• untuk pertama kali, praktikan tidak boleh mengikuti praktikum selanjutnya, dan
harus memperbaiki laporan yang tidak lengkap (harus dikumpulkan sepekan
kemudian);
• selebihnya untuk setiap ketidaklengkapan dan atau keterlambatan
mengumpulkan laporan mengekibatkan praktikan tidak boleh mengikuti
praktikum berikutnya, tanpa inhal dan mengumpulkan satu poin kesalahan.
6. Praktikan yang tidak dapat hadir karena alasan yang dapat diterima, diberi kesempatan
satu kali. Ketidakhadiran tanpa alasan menyebabkan praktikan tidak boleh inhal dan
mengumpulkan satu poin kesalahan.
iii
7. Tidak diperkenankan untuk inhal lebih dari dua kali.
8. Praktikan dinyatakan gugur dan tidak diijinkan mengikuti praktikum selanjutnya bila
telah mengumpulkan dua poin kesalahan secara berturut-turut.
9. Setiap kerusakan alat karena kesalahan praktikan menjadi tanggung jawab praktikan.

iv
TATA TERTIB UJIAN PRAKTIK

1. Semua praktikan wajib menyelesaikan seluruh laporan resmi praktikum sebelum


mengikuti ujian praktik. Ketidaklengkapan laporan resmi akan menyebabkan praktikan
tidak diijinkan mengikuti ujian praktik.
2. Praktikan mengikuti ujian praktik pada hari dan jam yang telah ditentukan. Tidak ada
toleransi/penggantian waktu ujian praktik di waktu yang telah ditetapkan.
3. Ujian praktik dibagi menjadi tiga tahap yaitu:
a. Eksperimen
Pada saat eksperimen dilaksanakan, praktikan tidak diperkenankan membawa
tabel, catatan, atau textbook apapun ke dalam ruang eksperimen.
b. Pembuatan laporan eksperimen
Pada pembuatan laporan eksperimen, praktikan diperkenankan membawa tabel,
catatan, textbook dan sarana lain yang diperlukan di dalam pembuatan laporan.
Penyelenggara ujian praktik tidak menyediakan sarana-sarana di atas kecuali
bahan-bahan yang dibutuhkan untuk eksperimen.
c. Presentasi hasil eksperimen
Pada presentasi hasil eksperimen, praktikan hanya diperkenankan membawa
dan mempresentasikan laporan eksperimen yang telah dibuat.
4. Jenis eksperimen yang akan dilakukan dipilih melalui pengundian sebelum ujian praktik
dimulai.
5. Hal-hal yang belum jelas dapat dikonfirmasikan lebih lanjut dengan Koordinator
Praktikum Deteksi dan Pengukuran Radiasi.

Koordinator Praktikum
Deteksi dan Pengukuran Radiasi

Prof. Dr.Ir. Agus Budhie Wijatna, M.Si


NIP. 195606211983031002

v
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii


TATA TERTIB PRAKTIKUM ....................................................................................... iii
TATA TERTIB UJIAN PRAKTIK .................................................................................. v
DAFTAR ISI .................................................................................................................. vi
DAFTAR BAGAN ....................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... viii
DAFTAR GRAFIK ...................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................................... ix
1. PERCOBAAN 01-02 DETEKTOR GEIGER MULLER ............................................ 1
TUJUAN ..................................................................................................................... 1
DASAR TEORI ........................................................................................................... 1
METODE PERCOBAAN ............................................................................................ 6
ANALISIS DATA ....................................................................................................... 9
SOAL-SOAL PENGAYAAN..................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 13
LAPORAN SEMENTARA ........................................................................................ 14
2. PERCOBAAN 03-04 SPEKTROSKOPI FOTON GAMMA MENGGUNAKAN
DETEKTOR NaI(Tl) ..................................................................................................... 18
TUJUAN ................................................................................................................... 18
DASAR TEORI ......................................................................................................... 18
METODE PERCOBAAN .......................................................................................... 25
ANALISIS DATA ..................................................................................................... 28
SOAL-SOAL PENGAYAAN..................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 30
LAPORAN SEMENTARA ........................................................................................ 31
3. PERCOBAAN 05-06 DETEKSI DENGAN METODE KOINSIDEN...................... 36
TUJUAN ................................................................................................................... 36
DASAR TEORI ......................................................................................................... 36
METODE PERCOBAAN .......................................................................................... 43
ANALISIS DATA ..................................................................................................... 45
SOAL-SOAL PENGAYAAN..................................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 46
LAPORAN SEMENTARA ........................................................................................ 47

vi
4. PERCOBAAN 07-08 PENGUKURAN LEVEL FLUIDA DALAM BEJANA
MENGGUNAKAN DETEKTOR GEIGER MULLER.................................................... 50
TUJUAN ................................................................................................................... 50
DASAR TEORI ......................................................................................................... 50
METODE PERCOBAAN .......................................................................................... 59
ANALISIS DATA ..................................................................................................... 63
SOAL-SOAL PENGAYAAN..................................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 64
LAPORAN SEMENTARA ........................................................................................ 65
5. PERCOBAAN 09-10 PEMANFAATAN SISTEM SPEKTROSKOPI GAMMA
DENGAN MULTI-CHANNEL ANALYZER (MCA) DAN DETEKTOR NaI(Tl) .............. 73
TUJUAN ................................................................................................................... 73
DASAR TEORI ......................................................................................................... 73
METODE PERCOBAAN .......................................................................................... 80
ANALISIS DATA ..................................................................................................... 82
SOAL-SOAL PENGAYAAN..................................................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 86
LAPORAN SEMENTARA ........................................................................................ 87
LAMPIRAN .................................................................................................................. 91
LAMPIRAN A DAFTAR PUSTAKA TAMBAHAN.................................................. 92
LAMPIRAN B PANDUAN PROTEKSI RADIASI .................................................... 94
LAMPIRAN C CONTOH SAMPUL .......................................................................... 95
LAMPIRAN D PEDOMAN PEMBUATAN DRAF.................................................... 96
LAMPIRAN E PEDOMAN PEMBUATAN LAPORAN ............................................ 97
LAMPIRAN F DAFTAR RADIONUKLIDA ............................................................. 99
GLOSARIUM ............................................................................................................. 100
INDEKS...................................................................................................................... 102
SINOPSIS ................................................................................................................... 103

vii
DAFTAR BAGAN
Bagan 1.1. Skema alat percobaan 01-02 ...............................................................................7
Bagan 2.1. Skema penampang detektor sintilasi ..................................................................19
Bagan 2.2. Skema peluruhan Co 60 ......................................................................................23
Bagan 2.3. Skema alat percobaan 03-04 .............................................................................25
Bagan 3.1. Skema peluruhan Co 60 ......................................................................................36
Bagan 3.2. Magnetic substate .............................................................................................41
Bagan 3.3. Skema alat percobaan 05-06 .............................................................................43
Bagan 4.1. Skema alat percobaan 07-08 .............................................................................60
Bagan 5.1. Skema penampang detektor sintilasi..................................................................73
Bagan 5.2. Komponen elektronik untuk sistem spektroskopi gamma dengan detektor NaI(Tl)
.........................................................................................................................................74
Bagan 5.3. Diagram blok komponen MCA .........................................................................75

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Detektor Geiger Muller ....................................................................................1
Gambar 1.2. Intensitas radiasi yang dipancarkan suatu sumber radiasi ...................................6
Gambar 3.1. Keluaran dari unit koinsiden...........................................................................37
Gambar 3.2.Prinsip kerja unit koinsiden .............................................................................37
Gambar 4.1. Penurunan intensitas radiasi setelah melewati materi.......................................56
Gambar 5.1. Tampilan layar Maestro-32.............................................................................76

DAFTAR GRAFIK
Grafik 1.1. Kurva karakteristik detektor Geiger Muller .........................................................2
Grafik 1.2. Distribusi normal ...............................................................................................5
Grafik 2.1. Grafik kalibrasi energi gamma ..........................................................................20
Grafik 2.2. Grafik koefisien atenuasi material NaI ..............................................................22
Grafik 3.1. Kurva penundaan koinsiden ..............................................................................38
Grafik 3.2. Grafik korelasi sudut teoritis .............................................................................42
Grafik 4.1. Hubungan tegangan dengan jumlah partikel bermuatan yang ditangkap pada
detektor isian gas...............................................................................................................51
Grafik 4.2. HV plateau.......................................................................................................52
Grafik 4.3. Waktu mati dan waktu pulih detektor GM .........................................................52
Grafik 4.4. Koefisien atenuasi massa efek fotolistrik pada timbal (Nelson & Reilly, 1991) ..54
Grafik 4.5. Koefisien atenuasi massa dari beberapa elemen (Nelson & Reilly, 1991)............57
Grafik 5.1. Grafik kalibrasi energi dengan pengujian tiga partikel gamma ...........................78
Grafik 5.2. Contoh grafik kalibrasi efisiensi sistem spektroskopi dengan sumber standar Ra 226
.........................................................................................................................................80
Grafik 5.3. Spektrum dari sumber standar Cs 137 ..................................................................84

viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Jangkau Maksimum Partikel Beta .......................................................................12
Tabel 2.1. Contoh hubungan energi dengan nomor kanal ....................................................20
Tabel 2.2. Tabel kalibrasi energi ........................................................................................28
Tabel 5.1. Hasil pengukuran parameter kinerja sistem spektroskopi dengan sumber standar .87
Tabel 5.2. Hasil perhitungan resolusi untuk tiap HV ...........................................................87
Tabel 5.3. Hasil pengukuran cacah puncak dan cacah lembah untuk sumber standar Cs137 ..88
Tabel 5.4. Hasil informasi dari puncak-puncak energi spektrum sumber X ..........................89
Tabel 5.5. Hasil pengukuran laju cacah untuk puncak-puncak energi sumber X ...................90

ix
1. PERCOBAAN 01-02
DETEKTOR GEIGER MULLER

TUJUAN
1. Membiasakan mahasiswa menggunakan detektor Geiger Muller
2. Membuat kurva plateau dan menentukan tegangan operasi optimum
3. Menentukan waktu pulih detektor (resolving time)
4. Melakukan analisis pengaruh jarak terhadap intensitas radiasi
5. Melakukan pengukuran jangkau energi maksimum zarah beta
6. Mempelajari sifat statistik dari radiasi nuklir (cacah statistik)

DASAR TEORI
1. Detektor Geiger Muller
Detektor Geiger Muller atau detektor GM merupakan jenis detektor isian gas yang
bekerja di daerah IV. Detektor GM dengan sistem self-quenching memiliki dua komponen gas,
yaitu gas isian yang berupa gas inert seperti neon, helium, argon, atau krypton dan quench gas
yang berupa gas organik atau gas halogen (Oak Ridge Associated Universities, 2007). Detektor
GM biasanya berbentuk tabung, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.1. Selimut bagian
dalam tabung berfungsi sebagai elektroda negatif (katoda) dan kawat tipis yang berada di
tengah tabung berfungsi sebagai elektroda positif (anoda). Pada anoda dan katoda dipasang
beda potensial, sehingga muncul medan listrik. Radiasi yang masuk akan berinteraksi dengan
gas dalam tabung dan melepaskan sebagian atau seluruh energinya hingga menghasilkan
pasangan ion-elektron yang disebut dengan peristiwa ionisasi. Peristiwa ionisasi pertama ini
disebut ionisasi primer. Dikarenakan tegangan kerja detektor GM yang tinggi, maka elektron
hasil ionisasi primer memiliki cukup energi tambahan untuk melakukan ionisasi sekunder,
ionisasi tersier, dan seterusnya hingga terjadi peristiwa guguran elektron (electron avalanche).

Gambar 1.1. Detektor Geiger Muller


(NDT Resource Center, t.thn.)
1
Grafik 1.1 menunjukan kurva laju cacah versus tegangan untuk suatu detektor GM.
Daerah antara N1 dan N2 yang terkorespondensi dengan V 1 dan V2 disebut daerah operasi.
Tegangan lebih besar dari V 2 menyebabkan lucutan kontinyu pada detektor GM yang akan
memperpendek umur detektor. Daerah kurva yang mendatar di antara V 1 dan V2 disebut
plateau, sedangkan kemiringannya disebut slope. Lebar plateau beserta nilai slope merupakan
parameter yang menyatakan kualitas suatu detektor GM. Lebar plateau dapat ditentukan dengan
melihat kurva karakteristik detektor GM, sedangkan nilai slope dapat dihitung dengan
persamaan berikut:
𝑁2 − 𝑁1 100 (1.1)
𝑠= × × 100% = … %⁄100 𝑣𝑜𝑙𝑡
𝑁1 𝑉2 − 𝑉1
dengan
𝑠 adalah kemiringan (slope) plateau detektor GM.
𝑁1 adalah laju cacah pulsa pada tegangan ambang (𝑉1 ).
𝑁2 adalah laju cacah pulsa pada tegangan batas (𝑉2 ).

Grafik 1.1. Kurva karakteristik detektor Geiger Muller


(Tsoulfanidis & Landsberger, 2015)

Keterangan :
A= Tegangan awal (starting voltage).
B= Tegangan ambang (threshold voltage).
C= Tegangan batas, di mana mulai timbul lucutan yang tak terkendali (breakdown/
discharge).
D= Tegangan operasi detektor Geiger Muller.
B-C= Daerah tegangan operasi (plateau).

2
Detektor GM harus dioperasikan pada tegangan optimum agar dapat bekerja secara
optimal. Tegangan optimum detektor GM dapat dihitung menggunakan persamaan berikut:
𝐻𝑉 𝑜𝑝𝑡𝑖𝑚𝑢𝑚 = 𝑉1 + (50% − 70%) (𝑉2 − 𝑉1 ) (1.2)

Terkumpulnya elektron di anoda akan menimbulkan pulsa negatif yang mempunyai


amplitudo sama dan berurutan. Pulsa yang berurutan tersebut mempunyai selang waktu tertentu
di mana detektor GM tidak mampu mencacah lagi, yaitu pada saat kuat medan listrik di sekitar
anoda turun sampai batas minimum yang diperlukan untuk dapat terjadi electron avalanche
yang baru. Keadaan tersebut dinamakan "waktu tidak peka" atau "waktu mati” (Sayono, 1991).
Waktu yang diperlukan untuk terbentuknya pulsa berikutnya hingga normal kembali dis ebut
"waktu pulih" (recovery time), sedang waktu mati ditambah waktu pulih disebut resolving time.
Maka dari itu, perlu dilakukan penentuan faktor koreksi dengan persamaan berikut:

𝑁1 + 𝑁2 − 𝑁1,2 − 𝑁𝐵𝑔 (1.3)


𝑇𝑅 =
2𝑁1 𝑁2
dengan
𝑇𝑅 adalah resolving time.
𝑁1 adalah laju cacah pulsa per menit sumber pertama.
𝑁2 adalah laju cacah pulsa per menit sumber kedua.
𝑁1,2 adalah laju cacah pulsa per menit kedua sumber besamaan.
𝑁𝐵 adalah laju cacah pulsa latar per menit.
Faktor koreksi di atas digunakan untuk mengetahui jumlah cacah sebenarnya (true
couting rate) yang dapat dinyatakan menurut persamaan berikut:
𝑁 (1.4)
𝑁0 =
1 − 𝑁. 𝑇𝑅
dengan
𝑁0 adalah laju cacah sebenarnya.
𝑁 adalah laju cacah yang tercatat pada counter.
𝑇𝑅 adalah resolving time.
Dalam radiasi nuklir, beberapa hal mempunyai banyak persamaan sifat dengan sinar
biasa. Oleh karena itu, keduanya dianggap sebagai pancaran gelombang elektromagnetik yang
memenuhi hukum klasik.

3
𝐸 = ℎ .𝜈 (1.5)
dengan
𝐸 adalah energi foton.
ℎ adalah konstanta Planck (6,624. 1027 erg.sekon).
𝜈 adalah frekuensi radiasi.
Analog dengan persamaan di atas digunakan hukum kuadrat berbanding te rbalik
(Inverse Square Law). Dianggap bahwa terdapat sumber yang memancarkan cahaya foton pada
laju 𝑁0 foton/detik. Dalam hal ini pancaran cahaya foton dianggap bersifat isotropis. Jika
sumber diletakan di tengah pelindung plastik bersih yang bulat (spherical), dengan mudah
ditentukan banyaknya cahaya foton tiap detik tiap cm² pada pelindung tadi. Intensitas ini
ditunjukan dalam rumusan berikut:
𝑁0 𝑁0 𝑘 (1.6)
𝐼= = 2 = 2
𝐴 4𝜋𝑟 𝑟
dengan
𝐼 adalah intensitas atau laju cacah persatuan luas.
𝑁0 adalah laju cacah radiasi/foton.
𝐴 adalah luasan pancaran radiasi atau dalam kasus ini adalah luasan permukaan bola
yang dibentuk oleh radiasi yang menyebar secara isotropik/ke segala arah dengan laju
yang sama pada jarak 𝑟.
Karena 𝑁0 dan 4𝜋 konstan dalam persamaan ini, maka intensitas 𝐼 akan bervariasi
terhadap jarak 𝑟 dengan kuadrat terbalik.
Percobaan selanjutnya adalah mengukur jangkau dan menentukan tenaga makimum
zarah beta murni. Proses absorpsi zarah beta oleh bahan adalah sangat rumit, mengingat
absorpsi dan hamburan tidak dapat dilacak secara terpisah. Karena massanya yang sangat kecil,
elektron dapat dengan mudah dihamburkan oleh inti atom. Sehingga simpangan (straggling)
elektron menjadi besar, serta sulit untuk menentukan jangkauannya. Pengukuran absorpsi zarah
beta dari sumber beta merupakan ketergantungan aktivitas atau intensitas terhadap fungsi
ketebalan absorben. Secara empiris, hubungan antara tenaga (E) dengan jangkau (R) adalah
sebagai berikut:

𝑔𝑟 (1.7)
𝑅( ⁄𝑐𝑚2 ) = 0,542 𝐸𝑚𝑎𝑥 − 0,133 untuk 𝐸𝑚𝑎𝑥 > 0,8 𝑀𝑒𝑉
𝑔𝑟
𝑅 ( ⁄𝑐𝑚2 ) = 0,407 𝐸𝑚𝑎𝑥 1,38 untuk 0,15 𝑀𝑒𝑉 < 𝐸𝑚𝑎𝑥 < 0,8 𝑀𝑒𝑉 (1.8)

4
dengan
𝑅 adalah jangkauan zarah beta.
𝐸𝑚𝑎𝑥 adalah energi zarah beta maksimum.
Pengukuran radiasi dari bahan radioaktif yang mengalami peluruhan (decay) memiliki
sifat acak (random) sehingga pengukuran distribusi statistik dilaksanakan pada percobaan ini.
Sifat acak suatu pengukuran selalu mengikuti distribusi tertentu, sebagai contoh eksperimen
uang logam dan dadu mengikuti distribusi binomial. Bila distribusi binomial tersebut
mempunyai probabilitas sangat kecil maka akan berubah menjadi distribusi Poisson, sedangkan
bila distribusi Poisson tersebut menghasilkan nilai ukur yang besar (beberapa literatur
menuliskan >30) maka berubah menjadi distribusi Gauss (normal).
Berdasarkan pola datanya, sistem distribusi dapat dibedakan menjadi data diskrit dan
data kontinyu. Yang termasuk dalam data diskrit adalah distribusi binomial dan distribusi
Poisson, sedangkan yang termasuk dalam data kontinyu adalah distribusi Gauss (normal).
Grafik 1.2 menunjukkan probabilitas nilai ukur yang dihasilkan oleh pengukuran berulang
terhadap suatu besaran yang mengikuti distribusi Gauss. Terlihat bahwa nilai ukur yang
dihasilkannya dapat bermacam-macam dengan probabilitas terbesar terletak pada nilai rata-
ratanya.

Grafik 1.2. Distribusi normal

(Figliola & Beasley, 2011)


Pencacahan radiasi dapat diasumsikan sebagai data diskrit atau kontinyu tergantung
kepada jumlah data yang dimiliki secara umum, pencacahan dengan jumlah data lebih dari 30
dapat dianggap mewakili distribusi normal jika probabilitas kemunculan data kecil. Oleh karena

5
aktivitas zat radioaktif bersifat acak mengikuti distribusi Gauss (normal) maka intensitas radiasi
yang terukur pun akan bersifat acak sehingga data hasil pengukurannya juga akan mengikuti
distribusi Gauss. Pengukuran intensitas radiasi yang dilakukan secara berulang pasti akan
memperoleh hasil pengukuran yang berbeda-beda. Yang menjadi pertanyaan adalah
“berapakah nilai ukur yang sebenarnya?”.

Gambar 1.2. Intensitas radiasi yang dipancarkan suatu sumber radiasi


(Tsoulfanidis & Landsberger, 2015)

Dengan fenomena tersebut di atas maka pengukuran intensitas radiasi harus dilakukan
secara berulang, baik beberapa kali atau dalam selang waktu cukup panjang, yang berarti
akumulasi nilai dari pengulangan waktu beberapa detik. Nilai ukur sebenarnya diduga berada
di dalam rentang nilai rata-rata ± nilai simpangannya.
Ketidakpastian pengukuran (measurements uncertainty) sebenarnya tidak hanya berasal
dari pengukuran saja melainkan berasal dari semua langkah analisis mulai dari preparasi
sampel, faktor kesalahan alat, kesalahan personil, kesalahan metode, dan pengukurannya
sendiri. Akan tetapi, dalam pembahasan ini hanya akan dipelajari ketidakpastian yang berasal
dari proses pengukuran dan faktor yang berkaitan langsung dengan pengukuran.

METODE PERCOBAAN
1. Alat dan Bahan
a. Sumber radiasi : Sr90 dan beta murni.
b. Detektor Geiger Muller.
c. Pembalik pulsa Geiger Muller (GM Pulse Inventer).
d. Sumber daya tegangan tinggi-DC (HVDC).
e. Pencacah (Counter).
6
f. Pengala (Timer).
g. Perisai radiasi (Aluminium).
h. Mistar.
i. Dudukan sumber.
2. Langkah Percobaan

Bagan 1.1. Skema alat percobaan 01-02

a. DPR 01
Menentukan Daerah/Panjang Plato
1) Susunan rangkaian sistem pencacah pulsa seperti Bagan 1.1.
2) Periksa sekali lagi hubungan tersebut dengan meminta bantuan asisten agar dapat
diperiksa sebelum alat tersebut dioperasikan.
3) Set pengala untuk selang waktu 3 detik.
4) Letakkan sumber radioaktif Sr90 pada jarak ±2 cm dari detektor.
5) Naikan tegangan HV dengan interval 25 volt, hingga tercatat adanya daya pencacahan
pulsa pada counter. Posisi ini disebut starting voltage.
6) Kemudian naikkan tegangan HV sampai sebelum discharge. Gejala ini akan tampak
jika setiap perubahan tegangan sedikit saja akan tercatat pencacahan pulsa yang
melonjak jumlahnya.
7) Tentukan starting voltage, tegangan threshold, tegangan breakdown, dan tegangan
optimum detektor.
8) Set sumber tegangan tinggi (HVDC) sesuai perhitungan tegangan optimum yang telah
didapat untuk digunakan pada sub-praktikum selanjutnya. Susun alat sesuai skema pada
Bagan 1.1, tetapi tanpa medium.

Menentukan Waktu Pulih


1) Set sumber tegangan tinggi (HVDC) pada daerah operasi optimum tabung GM.

7
2) Set pengala untuk selang waktu 3 detik.
3) Letakkan sumber radioaktif pertama (Sr 90) pada jarak ±2 cm dari detektor, lakukan
pencacahan dan catat 𝑁1 sebagai jumlah cacah/detik dari sumber tersebut.
4) Berikutnya, lakukan pencacahan secara bersamaan sumber pertama (Sr 90) dan sumber
kedua (beta murni) yang sama aktivitasnya, sehingga diperoleh laju cacah kedua sumber
𝑁1,2 mendekati 2 kali 𝑁1 .
5) Selanjutnya, sumber pertama (Sr 90) diambil, sehingga hanya dicatat 𝑁2 sebagai jumlah
cacah/detik dari sumber kedua.
6) Akhirnya lakukan pengukuran cacah latar hingga diperoleh jumlah cacah/detik 𝑁0 .

Intensitas vs. Jarak


1) Set sumber tegangan tinggi (HVDC) pada daerah operasi optimum tabung GM.
2) Set pengala untuk selang waktu 3 detik.
3) Letakan sumber Sr90 pada jarak 0 cm dari permukaan jendela detektor, lakukan
pencacahan pulsa dari sumber tersebut dalam waktu 3 detik sebanyak tiga kali.
4) Lakukan pencacahan selanjutnya dengan menambah (memvariasikan) jarak antara
sumber ke detektor sebesar 1 cm untuk jarak 0 cm – 5 cm dan 5 cm untuk jarak setelah
5 cm.
5) Lakukan pencacahan hingga jumlah cacah yang tercatat mendekati cacah background.
6) Lakukan pencacahan untuk mendapatkan cacah latar (background)

b. DPR 02
Jangkau dan Energi Maksimum Zarah Beta
1) Set sumber tegangan tinggi (HVDC) pada daerah operasi optimum tabung GM.
2) Set pengala untuk selang waktu 3 detik.
3) Letakan sumber radioaktif Sr 90 pada jarak 0 cm di depan jendela detektor, lakukan
pencacahan tanpa menggunakan bahan absorben.
4) Ambil bahan absorben aluminium yang tersedia, kemudian letakan bahan absorben
sedekat mungkin dengan detektor agar tidak terdapat celah udara.
5) Lakukan pencacahan untuk setiap ketebalan bahan absorben (tambahkan satu demi satu
keping absorben) sampai cacah yang tercatat mendekati cacah latar (background).
6) Lakukan pencacahan untuk mendapatkan cacah latar (background).

8
Pengukuran Distribusi Statistik/Cacah Statistik
1) Set sumber tegangan tinggi (HVDC) pada daerah operasi optimum GM.
2) Set pengala untuk selang waktu 3 detik.
3) Letakan sumber Sr90 pada jarak ±2 cm dari detektor, lakukan pengukuran pencacahan
sebanyak 300 kali.
4) Lakukan pencacahan untuk mendapatkan cacah latar (background).

ANALISIS DATA
1. Penetuan plateau dan HV Optimum GM
1) Gambarkan kurva plateau dengan laju cacah (cps) sebagai fungsi tegangan (volt).
2) Hitung lebar plateau, starting voltage, hitung tegangan operasi, dan kemiringannya
(slope) per 100 volt.
3) Nyatakan kondisi atau kualitas detektor GM yang digunakan berdasarkan lebar plateau
dan kemiringan yang diperoleh.
2. Menentukan Resolving Time
1) Hitung koreksi resolving time dengan menggunakan persamaan (1.3).
2) Hitung laju cacah yang sebenarnya (true counting data) pada cacah-cacah yang
dihasilkan dengan persamaan (1.4).
3. Pengaruh Jarak Terhadap Intensitas
Tanpa menggunakan Faktor Koreksi
1) Gambarkan grafik I sebagai fungsi 𝑟.
1
2) Gambarkan grafik I sebagai fungsi 2 .
r

3) Analisis kedua grafik tersebut.

Dengan menggunakan Faktor Koreksi


Bagian atas penahan sumber mungkin tidak sesuai dengan permukaan aktif sumber dan
jendela detektor mungkin tidak bertepatan dengan titik di mana ionisasi sebenarnya terjadi
di sisi detektor. Oleh karena itu koreksi untuk jarak yang diukur harus dilakukan.
Dengan mempertimbangkan faktor koreksi jarak, maka :

𝑅 = 𝑅𝑖 + 𝑅𝑜 (1.9)

9
Dimana :

𝑅𝑜 merupakan faktor koreksi

𝑅𝑖 merupakan jarak terukur

R merupakan jarak setelah dikoreksi

1) Hitung faktor koreksi menggunakan rumus :


𝐼′
(1 + √ 𝑜)
𝐼𝑖
𝑅𝑜 = 𝑅𝑖
𝐼′ (1.10)
( 𝑜 − 1)
𝐼𝑖

I′o = Intensitas pada jarak 𝑅 0 atau jarak 0 cm (𝑅𝑖 = 0)

Ii = Intensitas radiasi yang terukur pada jarak ke-i.

2) Gunakan rerata faktor koreksi semua jarak untuk menentukan masing-masing jarak
yang sebenarnya (R) dari cacah radiasi yang telah diukur.
3) Buat grafik Ln R versus Ln I.
4) Tampilkan nilai regresi (y = mx+c).
5) Bandingkan nilai gradien dengan teori. Inverse Square Law dibuktikan dari nilai
gradien (m = -2).
6) Hitung error dan analisis hasilnya.

4) Jangkau Energi Maksimum Zarah Beta


𝑁
1) Hitung harga ln ( 0 ) untuk setiap ketebalan bahan absorben. 𝑁0 merupakan laju cacah
𝑁𝑥

pada jarak 0 cm dari detektor.


𝑁
2) Gambarkan grafik ln ( 0 ) sebagai fungsi ketebalan bahan absorben.
𝑁𝑥

3) Dari grafik, dibuat trendline linear, set intercept = 0, lalu munculkan persamaan
regresinya. Kemudian didapatkan persamaan dengan bentuk 𝑦 = 𝑚𝑥, dengan m adalah
koefisien atenuasi linear (𝜇).
4) Hitung harga koefisien atenuasi massa (𝜇) .
10
5) Hitung 𝐸𝑚𝑎𝑥 dengan persamaan di bawah ini untuk mendapatkan harga 𝐸𝑚𝑎𝑥
praktikum.
1,7 1/1,14
𝐸𝑚𝑎𝑥 = ( ) (1.11)
𝜇̅

Dengan
𝐸𝑚𝑎𝑥 = energi beta maksimum (MeV)
𝜇̅ = koefisien atenuasi massa (m2/kg)
6) Lalu, hitung nilai R (jangkau beta maksimum) praktikum dengan persamaan (1.7) atau
(1.8) sesuai dengan nilai Emax hasil praktikum.
7) Cari 𝐸𝑚𝑎𝑥 teoritis untuk partikel beta Sr 90, lalu interpolasi nilai tersebut pada Tabel 1.1
untuk mendapatkan R teoritis.
8) Bandingkan nilai R praktikum dan nilai R teoritis, kemudian hitung nilai error yang
terjadi.
5) Distribusi Statistik Pencacahan
1) Urutkan data laju cacah dari nilai terkecil ke nilai terbesar.
2) Tentukan jumlah kelas dengan persamaan berikut.
𝑘 = 1 + 3,3 log (𝑛) (1.12)

Dengan
k = jumlah kelas
n = jumlah data
3) Tentukan lebar kelas dengan persamaan berikut.
𝐿𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 = (𝑥 𝑚𝑎𝑥 − 𝑥𝑚𝑖𝑛 )/𝑘 (1.13)

Dengan
𝑥 𝑚𝑎𝑥 = data terbesar
𝑥 𝑚𝑖𝑛= data terkecil
4) Tentukan rentang pada setiap kelas, gunakan nilai tepi bawah dan tepi atas.
5) Tentukan banyak data pada setiap kelas (frekuensi).
6) Hitung nilai modus, rerata (𝑥̅) dan standar deviasi (𝑠) .
7) Buatlah histogram menggunakan data yang telah diperoleh, kemudian tambahkan garis
kurva yang menghubungkan nilai tengah setiap kelas.

11
8) Untuk mengetahui kesesuaian distribusi data yang sudah dibuat dalam mengikuti
distribusi normal, hitung presentase data (%) pada nilai 𝑥
̅±1s, 𝑥
̅±2s, dan 𝑥
̅±3s dari
distribusi data yang sudah diperoleh. Bandingkan dengan teori.
9) Hitung nilai cacah (a) menggunakan persamaan di bawah (tingkat kepercayaan 90%).
Jelaskan nilai yang diperoleh tersebut.
𝑎 − 𝑥̅
𝑍= 𝑠 (1.14)
√𝑛
Dengan
Tingkat kepercayaan yang dipilih adalah 90%, maka nilai 𝑍 = ⋯
𝑥̅ = rerata
𝑠 = standar deviasi
𝑛 = jumlah data

Tabel 1.1 Jangkau Maksimum Partikel Beta

Jangkau/Range
Partikel Beta
Air atau
𝑬𝒎𝒂𝒙 Aluminium Udara
jaringa n
MeV mm mg/cm2 cm mm
0,01 0,0006 0,16 0,13 0,002
0,05 0,0144 3,9 2,91 0,046
0,07 0,0263 7,1 5,29 0,083
0,1 0,5 14 10,1 0,158
0,3 0,281 76 56,7 0,889
0,5 0,593 160 119 1,87
0,7 0,926 250 186 2,92
1,0 1,52 410 306 4,80
1,5 2,47 670 494 7,80
1,75 3,01 800 610 9,50
2,0 3,51 950 710 11,10
2,5 4,52 1220 910 14,30

12
SOAL-SOAL PENGAYAAN
1. Bagaimana proses interaksi radiasi alfa, beta, dan gamma dalam mengionisasi gas tabung
detektor GM?
2. Mengapa detektor GM tidak dapat digunakan untuk spektroskopi?
3. Jelaskan secara ringkas fungsi dan cara kerja quench gas pada detektor GM!
4. Jelaskan efek aktivitas sumber terhadap nilai dead time detektor GM!
5. Bagaimana pengaruh pengukuran berulang terhadap data hasil pengukuran?
6. Berdasarkan pengukuran pada tanggal 27 Mei 1993, sumber radiasi Sr90 yang digunakan
pada praktikum memiliki aktivitas 4,44 kBq. Hitunglah laju dosis radiasi beta yang
dipancarkan oleh Sr90 tersebut di udara pada jarak 30 cm dari sumber radiasi! Gunakan
persamaan berikut.
𝐴
𝐷 = 7,53 × 10−8 (1.13)
𝑑2

Dengan
𝐷 = Laju dosis (Gy/jam).
𝐴 = Aktivitas sumber radiasi (Bq).
𝑑 = Jarak ke sumber radiasi (cm).
Kemudian bandingkan laju dosis yang telah diperoleh dengan NBD (Nilai Batas Dosis),
simpulkan apakah sumber Sr 90 yang digunakan untuk praktikum aman digunakan atau
tidak.

DAFTAR PUSTAKA
Figliola, R. S. & Beasley, D. E., 2011. Theory and Design for Mechanical Measurements.
New York: John Wiley & Sons, Inc..
NDT Resource Center, t.thn. Survey Meters. [Online]
Available at: https://www.nde-
ed.org/EducationResources/CommunityCollege/RadiationSafety/radiation_safety_equipment/
SurveyMeters.htm.
Sayono, 1991. Pembuatan detektor Geiger-Mueller Tipe Jendela Samping Dengan Gas Isian
Neon Dan Brom.
Tsoulfanidis, N. & Landsberger, S., 2015. Measurement & Detection of Radiation. 4th ed.
New York: CRC Press.

13
LAPORAN SEMENTARA
DPR 01
Penentuan Plateau dan HV Optimum
WAKTU CACAH DETIK

NO HV (VOLT) CACAH HV TRESHOLD (V)


1 HV BREAKDOWN (V)
2 HV OPTIMUM (V)
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

14
Penentuan Resolving Time
WAKTU CACAH DETIK
CACAH
N1 CACAH BACKGROUND
N1,2
N2

Pengaruh Jarak Terhadap Intensitas


WAKTU CACAH DETIK
NO JARAK (cm) CACAH
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

CACAH BACKGROUND

15
DPR 02
Jangkau Zarah Beta
WAKTU CACAH DETIK

TEBAL TEBAL
NO PERISAI CACAH NO PERISAI CACAH
(cm) (cm)
1 11
2 12
3 13
4 14
5 15
6 16
7 17
8 18
9 19
10 20

CACAH BACKGROUND

Distribusi Cacah Statistik


WAKTU CACAH DETIK

CACAH

16
CACAH

NAMA TANGGAL PARAF


KELOMPOK NIM
PRAKTIKAN PRAKTIKUM ASISTEN

17
2. PERCOBAAN 03-04
SPEKTROSKOPI FOTON GAMMA MENGGUNAKAN DETEKTOR NaI(Tl)

TUJUAN
1. Menentukan tegangan operasi (HV) optimum dalam pencacahan
2. Membuat dan menggunakan grafik kalibrasi
3. Menentukan koefisien atenuasi linier
4. Menentukan aktivitas sumber X

DASAR TEORI
Foton gamma adalah jenis radiasi nuklir yang tidak memiliki massa dan tidak
bermuatan. Secara umum radionuklida yang memancarkan radiasi gamma juga memancarkan
radiasi beta karena pancaran radiasi gamma adalah hasil peluruhan inti metastabil yang
sebelumnya telah meluruh memancarkan beta. Namun dalam percobaan ini, pengaruh beta
diabaikan karena telah diserap oleh lingkungan maupun adsorben yang terpasang pada
permukaan detektor NaI(Tl), sehingga semua data yang didapat benar-benar berasal dari
pancaran foton gamma.
Detektor NaI(Tl) adalah jenis detektor sintilasi dengan bahan sintilator berupa kristal
NaI yang diberi pengotor talium (Tl). Proses sintilasi adalah kejadian di mana dipancarkan
cahaya tampak ketika terdapat radiasi yang melewati suatu materi. Intensitas dari foton cahaya
tampak yang terbentuk sebanding dengan energi radiasi yang mengenai sintilator. Cahaya
tampak yang terbentuk pada sintilator akan diteruskan ke photomultiplier tube (PMT). Pada
PMT terdapat photocatode yang akan mengubah foton cahaya tampak menjadi elektron.
Elektron ini akan ditarik ke elektroda-elektroda yang ada di dalam PMT yang disebut dinoda.
Deretan dinoda dalam PMT diberi tegangan yang nilainya bertambah seiring ke belakang
sehingga elektron akan terus tertarik ke dinoda selanjutnya. Elektron yang menabrak dinoda
akan menghasilkan lebih banyak elektron. Keluaran dari PMT adalah kumpulan elektron yang
akan ditangkap oleh anoda dan menghasilkan pulsa tegangan. Tinggi pulsa tegangan ini
ditentukan oleh banyaknya elektron yang terkumpul di mana banyaknya elektron yang
terkumpul ditentukan oleh banyak cahaya yang dihasilkan sintilator. Hal inilah yang
menyebabkan detektor sintilator mampu membedakan energi radiasi (Tsoulfanidis &
Landsberger, 2015).

18
Bagan 2.1. Skema penampang detektor sintilasi

(Tsoulfanidis & Landsberger, 2015)


Dalam percobaan ini akan dipelajari pengaruh perubahan HV terhadap sistem
spektroskopi. Perubahan nilai HV akan mempengaruhi nilai tegangan pada dinoda sehingga
mempengaruhi multiplikasi dari elektron pada PMT. Semakin tinggi HV, kerja detektor sintilasi
semakin baik hingga pada HV tertentu, kemudian kenaikan HV tidak lagi meningkatkan unjuk
kerja sistem spektroskopi. Unjuk kerja sistem spektroskopi diketahui dengan cara menghitung
resolusi sistem yang dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini:
Δ𝐸
𝑅(%) = × 100% (2.1)
𝐸
dengan
𝑅 adalah resolusi sistem spektroskopi
Δ𝐸 adalah lebar puncak pada separuh tinggi maksimum (FWHM)
𝐸 adalah nomor kanal puncak spektrum
Hal pokok yang harus diketahui dari unsur-unsur radioaktif adalah jenis radiasi, energi
dan aktivitasnya. Setiap unsur radioaktif memiliki spektrum energi yang spesifik. Sehingga
apabila bentuk dan puncak spektrum energinya telah diketahui maka jenis nuklida X dapat
ditentukan tersebut dengan melihat daftar atau tabel radionuklida. Pada grafik spektrum energi
suatu sumber radionuklida, dapat diketahui jumlah cacah untuk setiap nomor kanal. Energi dari
sumber radionuklida yang dicacah dapat diketahui dengan mencari nomor kanal dengan jumlah
laju cacah paling tinggi. Namun dari informasi nomor kanal dengan laju cacah paling tinggi
belum diketahui nilai energi dari radiasi, karena itu perlu dilakukan kalibrasi untuk menentukan
hubungan antara nomor kanal dengan energi radiasi.
Kalibrasi pada sistem spektroskopi dilakukan dengan mencari spektrum dari dua
sumber standar, yaitu Co 60 – yang memiliki dua energi radiasi yaitu 1,17 MeV dan 1,33 MeV
– dan Cs137 dengan energi radiasi 0,662 MeV. Dari hasil pencacahan akan didapatkan nomor

19
kanal puncak untuk masing-masing energi. Ketiga korelasi nomor kanal dengan energi dibuat
grafik dengan nomor kanal sebagai absis dan energi sebagai ordinat sehingga akan diperoleh
grafik seperti pada Grafik 2.1.
Tabel 2.1. Contoh hubungan energi dengan nomor kanal
E (MeV) Nomor Kanal
0,662 A
1,17 B
1,33 C
Y X

Grafik 2.1. Grafik kalibrasi energi gamma


(EG&G ORTEC, 1987)

Dari grafik kalibrasi energi dapat ditentukan persamaan antara energi dengan nomor
kanal atau dapat dilakukan regresi linier untuk menentukan persamaan regresi dari ketiga
korelasi dari sumber standar sehingga didapatkan persamaan kalibrasi dalam bentuk:
𝑦 = 𝑚𝑥 + 𝑐 (2.2)
dengan 𝑦 adalah energi dan 𝑥 adalah nomor kanal. Dari persamaan ini dapat dicari tahu energi
dari sumber X yang belum diketahui energinya dengan memasukkan nilai nomor kanal puncak
pada spektrum sumber X pada persamaan kalibrasi.
Aktivitas sumber radioaktif adalah laju peluruhan dari sumber tiap satuan waktu. Dalam
percobaan ini, akan ditentukan aktivitas radioaktif dari sumber radionuklida menggunakan dua
metode, yaitu
1. Metode relatif
2. Metode absolut

20
Penentuan aktivitas dengan metode relatif dilakukan dengan membandingkan cacah
radiasi foton gamma dari sebuah sumber X yang ingin diketahui nilai aktivitasnya dengan cacah
sumber standar. Nilai aktivitas sumber X dapat dicari dari hubungan:
𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑋 𝛴𝑋 − 𝛴𝐵𝑔
= (2.3)
𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑠𝑢𝑚𝑏𝑒𝑟 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 𝛴𝑆𝑡𝑑 − 𝛴𝐵𝑔
dengan
𝛴𝑋 adalah laju cacah sumber X
Σ𝐵𝑔 adalah laju cacah latar
Σ𝑠𝑡𝑑 adalah laju cacah sumber standar
Pengukuran aktivitas dengan metode absolut dilakukan dengan hanya melihat hasil
pencacahan sumber X. Laju cacah sumber X harus dikoreksi dengan beberapa faktor yang dapat
dirumuskan sebagai:
𝛴𝑋 − 𝛴𝐵𝑔 1
𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑋 = (2..4)
𝑡 𝐺𝜎𝐹
dengan
𝑡 adalah waktu pencacahan
𝐺 adalah faktor geometri
𝐹 adalah fraksi peluruhan nuklida
Nilai efisiensi intrinsik detektor NaI(Tl) dapat ditentukan dengan persamaan (Tsoulfanidis &
Landsberger, 2015):
𝜎 = 1 − 𝑒𝑥𝑝 [𝜇 (𝐸 )𝐿] (2..5)

dengan
𝜇(𝐸) adalah nilai koefisien atenuasi total untuk material NaI untuk foton dengan energi
sebesar 𝐸. Nilai 𝜇(𝐸) dapat dilihat pada Grafik 2.2
𝐿 adalah panjang bahan aktif detektor

21
Grafik 2.2. Grafik koefisien atenuasi material NaI

(Tsoulfanidis & Landsberger, 2015)

Nilai faktor geometri dapat ditentukan dengan persamaan


𝜋𝑟 2
𝐺= (2.6)
4𝜋𝑠 2
dengan
𝑟 adalah jari-jari detektor
𝑠 adalah jarak sumber ke detektor
22
Dalam penentuan aktivitas absolut, perlu diperhatikan skema peluruhan dari sumber
radioaktif. Hal ini penting untuk sumber radionuklida yang memancarkan lebih dari satu energi
radiasi. Misalnya Co 60 yang memiliki 2 energi gamma seperti pada Bagan 2.2, kedua foton
dengan energi 1,17 MeV dan 1,33 MeV dihasilkan dari satu kali peluruhan. Apabila didapatkan
aktivitas Co 60 dari puncak energi 1,17 MeV dan 1,33 MeV secara berurutan adalah 100 dps
(disintegrasi per sekon) dan 102 dps, dengan penyederhanaan sehingga nilai 𝐹 (fraksi
peluruhan) dibulatkan menjadi 100%, nilai aktivitas Co 60 adalah 101 dps di mana nilai tersebut
adalah rata-rata dari aktivitas Co 60 untuk setiap puncak.

Bagan 2.2. Skema peluruhan Co 60

(EG&G ORTEC, 1987)

Foton gamma memiliki probabilitas untuk berinteraksi dengan materi yang dilaluinya.
Terdapat banyak interaksi antara foton gamma dengan materi, namun tiga interaksi yang paling
sering dijumpai adalah efek fotolistrik, hamburan Compton, dan produksi pasangan. Ketiga
interaksi tersebut akan menyebabkan penurunan atau pelemahan intensitas foton gamma.
Pelemahan intensitas foton sebagai fungsi jarak dapat dirumuskan sebagai
𝐼 = 𝐼0 exp (−𝜇𝑥) (2.7)
dengan
𝐼 adalah intensitas radiasi gamma setelah melewati medium
𝐼0 adalah intensitas radiasi gamma sebelum melewati medium
𝜇 adalah koefisien atenuasi linier medium
𝑥 adalah tebal medium yang dilewati radiasi
Koefisien atenuasi linier adalah konstanta yang menunjukkan pelemahan intensitas
radiasi tiap satuan panjang. Nilai koefisien atenuasi dipengaruhi oleh nomor atom materi (𝑍),
densitas materi (𝜌), dan energi dari radiasi yang melaluinya (𝐸). Materi yang memiliki nomor
23
atom dan densitas yang besar akan memiliki nilai koefisien atenuasi yang besar juga. Koefisien
atenuasi juga dapat dinyatakan dalam half value layer (HVL) yang menunjukkan nilai ketebalan
suatu materi yang menyebabkan intensitas radiasi foton gamma yang melaluinya akan
mengalami pelemahan menjadi setengah dari intensitas awal.

24
METODE PERCOBAAN
1. Alat dan Bahan
a. NaI(Tl) Crystal Phototube Assembly and Photomultiplier Tube Base
b. HVDC power supply (tegangan maksimum 1500V)
c. Scintillation Preamplifier (pre-amp)
d. Penguat (amplifier)
e. Single Channel Analyzer (SCA)
f. Sumber radiasi Co 60
g. Sumber radiasi Cs137
h. Sumber X
i. Lempeng perisai timbal 5 mm
j. Lempeng perisai aluminium 5 mm
k. Kabel konektor
l. Mistar
m. Jangka sorong
2. Langkah Percobaan

Pengala

Sumber radiasi

Single Channel Pencacah


Scintillator PMT Pre-amp Penguat
Analyzer

Bagan 2.3. Skema alat percobaan 03-04

a. DPR 03
Instruksi Umum Penggunaan Detektor NaI(Tl)
1) Susun peralatan sesuai dengan susunan alat pada Bagan 2.3 . Tunjukkan pada asisten
sebelum mulai mengoperasikan.
2) Pastikan HV bernilai 0 V.
3) Nyalakan rangkaian sistem spektroskopi dengan detektor NaI(Tl).
4) Naikkan HV pada nilai yang dikehendaki.
5) Pada pencacah, set waktu pencacahan dengan waktu yang dikehendaki.
6) Pada SCA, set nomor kanal dengan kanal yang ingin dicacah.
7) Untuk memulai pencacahan, tekan ‘start’ pada pencacah.

25
8) Untuk menghapus nilai cacah pada tampilan pencacah (mengembalikan ke nilai 0),
tekan ‘reset’.

Pengaruh HV Terhadap Resolusi dan Pergeseran Puncak


1) Susun peralatan sesuai dengan susunan alat pada Bagan 2.3.
2) Set waktu pencacahan 2 detik.
3) Set tegangan (HV) dengan besar 700 volt.
4) Letakkan sumber radiasi Cs 137 sekitar 0 cm dari detektor.
5) Lakukan pencacahan dan catat nilai laju cacah pada setiap peru bahan nomor kanal (U)
mulai dari yang terkecil sampai terbesar, sampai telah mendapatkan puncak spektrum
dan nilai laju cacahnya sudah kurang dari setengah laju cacah puncaknya.
6) Gambarlah spektrum yang didapat dan tentukan resolusinya dengan persamaan (2.1).
7) Ulangi langkah 3-6 dengan besar HV 750 dan 800 volt.
8) Bandingkan resolusi yang dihasilkan dari variasi HV. Berikan analisis.
9) HV terbaik akan digunakan pada percobaan berikutnya.

Kalibrasi Energi Foton Gamma


1) Susun peralatan sesuai dengan susunan alat pada Bagan 2.3.
2) Set waktu pencacahan 2 detik.
3) Set pada HV optimum yang didapatkan pada percobaan sebelumnya.
4) Letakkan sumber Co 60 dengan jarak 0 cm dari detektor.
5) Lakukan pencacahan pada setiap perubahan nomor kanal (U) mulai dari yang terkecil
sampai terbesar, sehingga didapatkan dua puncak spektrum.
6) Catat nomor kanal puncaknya di mana puncak pertama memiliki energi 1,17 MeV dan
puncak kedua 1,33 MeV. Selain itu, lakukan hal yang sama untuk sumber Cs137dengan
mencatat nomor kanal puncak dan energinya.

Mencari Energi Sumber X


1) Susun peralatan sesuai dengan susunan alat pada Bagan 2.3.
2) Set waktu pencacahan 2 detik.
3) Letakkan sumber X dengan jarak 0 cm dari jendela detektor.
4) Lakukan pencacahan dan catat nilai laju cacah pada setiap perubahan nomor kanal (U)
mulai dari yang terkecil sampai didapat dua kanal puncak.

26
b. DPR 04
Penentuan Aktivitas Gamma dengan Metode Relatif
1) Susunan peralatan sesuai dengan susunan alat pada Bagan 2.3.
2) Letakkan sumber X dengan jarak 0 cm dari jendela detektor.
3) Lakukan pencacahan selama 8 detik di rentang kanal puncak (dari lembah spektrum,
melewati puncak, lalu sampai di lembah selanjutnya) untuk setiap puncak spektrum
sumber X. Dalam melakukan pengukuran cacah untuk penentuan aktivitas, hasil cacah
bersifat kumulatif untuk setiap bukit puncak, sehingga tidak dilakukan reset pada
pencacah untuk menghitung cacah satu bukit. Nomor kanal lembah dapat dilihat pada
data percobaan Mencari Energi Sumber X.
4) Ganti sumber radiasinya dengan Cs137 standar dan ulangi langkah 3.

Penentuan Aktivitas Gamma dengan Metode Absolut


1) Susun peralatan sesuai dengan susunan alat pada Bagan 2.3.
2) Lakukan langkah 2-4 seperti pada percobaan Penentuan Aktivitas Gamma dengan
Metode Relatif.
3) Tentukan karakteristik dari jendela detektor dan sumber menggunakan mistar dan
jangka sorong.

Penentuan Koefisien Serapan Gamma


1) Susun peralatan sesuai dengan susunan alat pada Bagan 2.3.
2) Letakkan sumber Cs 137 pada jarak 0 cm dari detektor.
3) Set kanal SCA pada nomor kanal puncak untuk Cs 137 .
4) Cacah dengan lama pencacahan 4 detik dan catat laju cacah yang didapat, lakukan
sebanyak tiga kali.
5) Ukur ketebalan perisai menggunakan jangka sorong.
6) Letakkan perisai Timbal (Pb) di antara sumber dengan jendela detektor dan cacah
sebanyak tiga kali.
7) Ulangi langkah 5-6 sampai terdapat variasi ketebalan perisai sebanyak 5 varian.
8) Ganti perisai dengan bahan aluminium .
9) Ulangi langkah 5-6 sampai terdapat variasi ketebalan perisai sebanyak 5 varian.

27
ANALISIS DATA
1. Pengaruh HV Terhadap Resolusi Detektor
1) Buat grafik spektrum Cs 137 (nomor kanal untuk absis dan laju cacah untuk ordinat) pada
setiap variasi HV. Jelaskan fenomena yang tampak pada grafik spektrum.
2) Dari spektrum tersebut, tentukan nomor kanal puncak, FWHM dan hitung resolusi dari
masing-masing HV menggunakan persamaan (2.1).
3) Untuk menentukan FWHM tentukan puncak spektrum dan lembah pada nomor kanal
sebelum puncak dan setelah puncak. Lembah adalah nomor kanal dengan cacah paling
rendah sebelum nilai cacah naik kembali pada spektrum.
4) Tentukan nilai tengah antara laju cacah pada nomor kanal puncak dan laju caca h pada
salah satu lembah.
5) Pilih nomor kanal puncak dengan lembah yang memiliki laju cacah hampir sama dengan
nilai yang didapat pada langkah 4). Lakukan pada lembah sebelum dan setelah puncak.
6) Nilai FWHM adalah selisih nomor kanal antara kedua tengah lembah.
7) Buat grafik hubungan antara HV dengan resolusi. Kemudian tentukan HV optimum dari
grafik dan nilai resolusi yang telah didapat sebelumnya.
8) Pada pembahasan, jelaskan pengaruh perubahan HV terhadap nomor kanal puncak!
2. Kalibrasi Energi Gamma
1) Buat grafik spektrum energi untuk Cs 137 dan sumber X
2) Berdasarkan spektrum-spektrum tersebut, tentukan nomor kanal puncak masing-masing
sumber dan isikan pada tabel
Tabel 2.2. Tabel kalibrasi energi

Sumber Energi Puncak (keV) Nomor Kanal


Cs137 662
1170
Co 60
1330

Sumber X

3) Buat grafik kalibrasi antara nomor kanal terhadap energi dengan data dari Tabel 2.2.
4) Tentukan persamaan regresi dari grafik kalibrasi. Digunakan regresi linier untuk
mendapatkan persamaan dalam bentuk persamaan (2.2).

28
3. Menentukan Sumber X
1) Menggunakan persamaan kalibrasi, tentukan energi radiasi sumber X dari nomor kanal
puncak spektrum sumber X.
2) Berdasarkan energi sumber X, tentukan sumber X menggunakan tabel radioisotop.
3) Jelaskan alasan pemilihan jenis sumber X berdasarkan energi radiasi yang didapatkan!
4. Penentuan Aktivitas Sumber X
1) Berdasarkan data-data untuk menentukan aktivitas sumber X, untuk menentukan
aktivitas relatif sumber X, gunakan persamaan (2.3).
2) Untuk menentukan aktivitas sumber X menggunakan metode absolut, gunakan
persamaan (2.4).
3) Nilai 𝐹 (fraksi peluruhan) dapat dilihat di tabel pada berbagai literatur.
4) Nilai 𝜎 (efisiensi intrinsik detektor) dapat ditentukan dengan persamaan (2.5).
5) Dalam penentuan aktivitas sumber X, terdapat dua puncak energi di mana perlu
diperhatikan penentuan aktivitas harus mempertimbangkan skema peluruhan dari
sumber
6) Bandingkan kedua hasil aktivitas yang diperoleh dengan aktivitas yang didapatkan dari
persamaan peluruhan
7) Pada pembahasan, tentukan ralat antara hasil percobaan terhadap aktivitas referensi dan
buat analisis terhadap hasil tersebut.
5. Penentuan Koefisien Atenuasi Linier
1) Untuk masing-masing jenis perisai, buat grafik perbandingan antara laju cacah rerata
terhadap tebal dalam skala linier dan logaritmik menggunakan aplikasi pengolahan data
seperti Microsoft Excel, SPSS, dan sebagainya.
2) Untuk membuat grafik dalam skala logaritmik, dapat diturunkan dari persamaan (2.7)
menjadi:
𝐼0
ln ( ) = 𝜇𝑥 (2.8)
𝐼
dengan
𝐼0 adalah laju cacah ketika tidak ada perisai (tebal perisai 0 cm)
𝐼 adalah laju cacah setelah melewati perisai dengan tebal 𝑥
𝑥 adalah tebal perisai
Bentuk persamaan (2.8) adalah bentuk persamaan linier melewati koordinat (0,0), yang
analog dengan persamaan:

29
𝑦 = 𝑚𝑥 (2.9)
𝐼
dengan 𝑦 adalah ln ( 0⁄𝐼) dan 𝑚 (gradien garis) adalah 𝜇 (koefisien atenuasi linier).

3) Dari grafik dalam skala logaritmik, tentukan persamaan regresi dan didapatkan nilai
koefisien atenuasi linier yang tidak lain adalah gradien dari kurva kalibrasi. Lakukan
untuk semua jenis perisai.
4) Bandingkan nilai koefisien atenuasi yang didapatkan dari analisis hasil dengan nilai
koefisien dari referensi.
5) Berikan analisis terhadap nilai koefisien atenuasi kedua jenis perisai dan ralat terhadap
nilai referensi.

SOAL-SOAL PENGAYAAN
1. Sintilasi adalah proses dipancarkan percikan cahaya ketika radiasi menembus sebuah
materi. Jelaskan bagaimana proses ini dapat terjadi!
2. Jelaskan bagaimana cara kerja SCA (Single Channel Analyzer) dalam membedakan energi
dari setiap pulsa yang masuk!
3. Ketika HV dinaikkan, akan terjadi pergeseran puncak spektrum ke arah yang lebih tinggi,
selain itu tinggi spektrum juga akan berkurang. Jelaskan kenapa hal ini terjadi!
4. Ketika melakukan spektroskopi sumber dari kanal 0, akan didapati adanya laju cacah yang
cukup tinggi dan bersifat fluktuatif pada kanal awal. Jelaskan apa yang menyebabkan hal
ini!
5. Jelaskan perbedaan dead time dari detektor GM dengan detektor NaI(Tl)!
DAFTAR PUSTAKA
EG&G ORTEC, 1987. AN34 Experiments in Nuclear Science Laboratory Manual. Oak
Ridge: EG&G ORTEC.
Tsoulfanidis, N. & Landsberger, S., 2015. Measurement & Detection of Radiation. New
York: CRC Press.

30
LAPORAN SEMENTARA
DPR 03 - Pengaruh HV terhadap Resolusi Detektor
SUMBER WAKTU
HV (VOLT)
RADIASI CACAH (S)
NO. NO. NO.
NO. CACAH NO. CACAH NO. CACAH
KANAL KANAL KANAL
1 11 21
2 12 22
3 13 23
4 14 24
5 15 25
6 16 26
7 17 27
8 18 28
9 19 29
10 20 30

SUMBER WAKTU
HV (VOLT)
RADIASI CACAH (S)
NO. NO. NO.
NO. CACAH NO. CACAH NO. CACAH
KANAL KANAL KANAL
1 11 21
2 12 22
3 13 23
4 14 24
5 15 25
6 16 26
7 17 27
8 18 28
9 19 29
10 20 30

31
SUMBER WAKTU CACAH
HV (VOLT)
RADIASI (S)
NO. NO. NO.
NO. KANAL CACAH NO. KANAL CACAH NO. KANAL CACAH
(E) (E) (E)
1 16 31
2 17 32
3 18 33
4 19 34
5 20 35
6 21 36
7 22 37
8 23 38
9 24 39
10 25 40
11 26 41
12 27 42
13 28 43
14 29 44
15 30 45

Penentuan Resolusi Detektor

NO. HV E (PUNCAK) ∆E %R
1
2
3
4

32
DPR 03 - Kalibrasi Energi Foton Gamma
SUMBER WAKTU
HV (VOLT)
RADIASI CACAH (S)
NO. NO. NO.
NO. CACAH NO. CACAH NO. CACAH
KANAL KANAL KANAL
1 21 41
2 22 42
3 23 43
4 24 44
5 25 45
6 26 46
7 27 47
8 28 48
9 29 49
10 30 50
11 31 51
12 32 52
13 33 53
14 34 54
15 35 55
16 36 56
17 37 57
18 38 58
19 39 59
20 40 60

NO.
SUMBER
NO. ENERGI KANAL
RADIASI
PUNCAK
1
2
3

33
DPR 03 - Mencari Energi Sumber X
SUMBER WAKTU
HV (VOLT)
RADIASI CACAH (S)
NO. NO. NO.
NO. CACAH NO. CACAH NO. CACAH
KANAL KANAL KANAL
1 16 31
2 17 32
3 18 33
4 19 34
5 20 35
6 21 36
7 22 37
8 23 38
9 24 39
10 25 40
11 26 41
12 27 42
13 28 43
14 29 44
15 30 45

NO. KANAL SUMBER


NO. ENERGI
PUNCAK RADIASI
1
2

DPR 04 - Penentuan Aktivitas Gamma Dengan Metode Relatif dan Absolut

WAKTU PENCACAHAN SEKON HV (VOLT)

Cs137 SUMBER X
RENTANG CACAH CACAH RENTANG CACAH CACAH
LEMBAH BACKGROUND RADIASI LEMBAH BACKGROUND RADIASI

34
KARAKTERISTIK DETEKTOR DAN PENGUKURAN
𝜎 (efisiensi puncak)
F (fraksi peluruhan nuklida)
s (jarak sumber ke detektor)
r (radius detektor)
ℓ(panjang detektor)
DPR 04 - Koefisien Serapan Gamma

WAKTU CACAH (S)


BACKGROUND

TIMBAL WAKTU CACAH (S)


TEBAL
NO. CACAH
(cm)
1
2
3
4
5
6

ALUMINIUM WAKTU CACAH (S)


TEBAL
NO. CACAH
(cm)
1
2
3
4
5
6

NAMA TANGGAL PARAF


KELOMPOK NIM
PRAKTIKAN PRAKTIKUM ASISTEN

35
3. PERCOBAAN 05-06
DETEKSI DENGAN METODE KOINSIDEN

TUJUAN
1. Mengetahui skema peluruhan sumber radioaktif yang koinsiden
2. Mengenal perangkat untuk penelitian koinsiden
3. Menentukan resolving time coincidence
4. Menerapkan metode koinsiden untuk menentukan aktivitas sumber radiasi
5. Mengukur cacah koinsiden dari sumber radiasi Co 60
6. Membandingkan harga cacah koinsiden dengan grafik korelasi sudut teoritis
7. Menentukan harga koefisien korelasi sudut dari grafik fungsi korelasi

DASAR TEORI
Arti kata koinsiden adalah bersamaan atau serentak. Metode pencacahan koinsiden
merupakan metode untuk mendeteksi dan mengidentifikasi fenomena pancaran radiasi yang
terpancar hampir/ secara bersamaan. Peristiwa koinsiden dari radiasi yang dipancarkan oleh
suatu sumber dapat berupa koinsiden raidiasi (α-γ), koinsiden radiasi (β-γ), dan koinsiden
radiasi (γ-γ).
Salah satu sumber radiasi yang memancarkan radiasi secara koinsiden adalah Co 60, yang
mempunyai skema peluruhan seperti Bagan 3.1.

Bagan 3.1. Skema peluruhan Co 60

(EG&G ORTEC, 1987)


Dari skema peluruhan diatas, selang waktu antara pemancaran sinar γ 1 dan sinar γ 2
tersebut berkisar antara 10 -3 sampai 10 -21 detik. Pada rangkaian analog, orde sebesar ini dapat

36
dikatakan bersamaan atau serentak sehingga radiasi yang tercacah lebih sedikit dari yang
sebenarnya. Misalkan sinar γ 1 dan sinar γ 2 dari Co 60 terpancar hampir bersamaan, maka
rangkaian detektor akan mencacah radiasi sebanyak satu. Unit koinsiden merupakan piranti
dengan dua masukan atau lebih dan mempunyai sebuah keluaran yang berupa pulsa koinsiden.
Contoh pulsa keluaran dari unit koinsidens sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3.2.

Gambar 3.1. Keluaran dari unit koinsiden

(Tsoulfanidis & Landsberger, 2015)

Unit koinsiden bekerja dengan cara menambahkan kedua pulsa yang datang. Pada unit
koinsiden terdapat diskriminator. Ketika dua pulsa datang bersamaan, maka jumlahan kedua
pulsa tersebut akan melewati diskriminator yang terdapat pada unit koinsiden dan pulsa tersebut
dianggap koinsiden. Jika kedua pulsa tidak datang bersamaan, maka pulsa tidak akan
dijumlahkan dan pulsa tidak akan cukup tinggi untuk melewati diskriminator sehingga kedua
pulsa tersebut tidak dianggap koinsiden. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada Gambar 3.3.

Gambar 3.2.Prinsip kerja unit koinsiden


(Tsoulfanidis & Landsberger, 2015)

37
Dua buah pulsa yang datang dengan selang waktu tertentu bisa dianggap koinsiden. Jika
dua pulsa yang masuk pada unit koinsiden memiliki perbedaan waktu kurang dari resolving
time coincidence-nya maka kedua pulsa tersebut dianggap koinsiden oleh unit koinsiden.
Resolving time coincidence adalah selang waktu ketika dua pulsa dianggap datang bersamaan.
Resolving time coincidence dapat diukur dengan melakukan pencatatan kurva penundaan
koinsiden seperti Grafik 3.1.

Grafik 3.1. Kurva penundaan koinsiden

(Tsoulfanidis & Landsberger, 2015)

Dalam penerapannya, penggunaan metode ini harus menggunakan sumber yang


memiliki pulsa dengan pancaran yang konsisten. Dalam praktikum kali ini digunakan pulser.
Setelah dilakukan pencacahan koinsiden pulser pada variasi delay time TSCA (Timing Single
Channel Analyzer) didapatkan rentang resolving time coincidence dari sistem deteksi. Delay
time adalah waktu tunda yang nilainya diatur pada TSCA.

Masing-masing piranti detektor memiliki noise yang berbeda baik itu karena perbedaan
panjang kabel atau noise dari alat itu sendiri. Karena itu pulsa yang berasal dari pulser harus
dikalibrasi agar kedua pulsa dari pulser berada pada posisi koinsiden. Kalibrasi dilakukan
dengan men-delay salah satu pulsa pada TSCA. Delay time optimum adalah delay time pada
TSCA yang diatur agar kedua pulsa yang dihasilkan pulser berada pada posisi koinsiden sejati.
Nilai delay time optimum berada tepat di tengah rentang nilai resolving time coincidence.

Pengukuran aktivitas sumber radiasi dengan metode koinsiden hanya d apat dilakukan
terhadap sumber yang memancarkan dua atau lebih radiasi koinsiden yang dideteksi secara
terpisah. Partikel-partikel β hasil peluruhan Co 60 akan terserap hampir semuanya oleh
aluminium penutup Kristal NaI (Tl). Selisih umur sinar γ1 dan sinar γ2 yang dipancarkan oleh

38
Co 60 adalah 7x10 -13 detik. Selisih umur ini kecil sekali jika dibandingkan dengan resolving time
coincidence dari unit koinsiden yaitu 10 -9 detik. Sehingga dapat dikatakan bahwa sinar-sinar γ
yang dipancarkan oleh Co 60 adalah koinsiden.

Pengukuran aktivitas mutlak dari suatu sumber radiasi koinsiden dapat dilakukan
dengan melakukan pencacahan koinsiden menggunakan dua sistem detektor. Masing-masing
sistem mempunyai nilai cacah (EG&G ORTEC, 1987).

𝑁1 = 𝐸1 . 𝑁𝑠 untuk sistem 1 (3.1)

𝑁2 = 𝐸2 . 𝑁𝑠 untuk sistem 2 (3.2)

dengan
𝑁1 adalah laju cacah pada sistem deteksi 1 dengan efisiensi 𝐸1
𝑁2 adalah laju cacah pada sistem deteksi 2 dengan efisiensi 𝐸1
𝑁𝑠 adalah aktivitas sumber

Laju cacah koinsidens sejati (𝑁𝑖) dinyatakan sebagai:

𝑁𝑖 = 𝐸1. . 𝐸2 . 𝑁𝑠 (3.3)

sehingga,
𝑁1 𝑁2
𝑁𝑖 = . .𝑁 (3.4)
𝑁𝑠 𝑁𝑠 𝑠
𝑁1 . 𝑁2
𝑁𝑖 = (3.5)
𝑁𝑠
Korelasi laju cacah koinsiden yang disebabkan oleh resolving time coincidence yaitu
change coincidence (𝑁𝑐ℎ) di mana semua radiasi yang terpancar dalam rentang resolving time
coincidence (𝜏) akan dianggap bersamaan. Sehingga:

𝑁𝑐ℎ = 2𝜏. 𝑁1 . 𝑁2 (3.6)

Laju cacah terukur (𝑁𝑐 ) adalah jumlah dari laju cacah sejati dan laju cacah change
coincidence.

𝑁𝑐 = 𝑁𝑐ℎ + 𝑁𝑖 (3.7)

𝑁𝑖 = 𝑁𝑐 − 𝑁𝑐ℎ (3.8)

sehingga,
39
𝑁1 . 𝑁2
= 𝑁𝑐 − 𝑁𝑐ℎ (3.9)
𝑁𝑠
𝑁1 . 𝑁2
𝑁𝑠 = (3.10)
𝑁𝑐 − 𝑁𝑐ℎ
Persamaan ini dapat disederhanakan dengan mengabaikan laju cacah change
coincidence dan pendekatan ini teliti jika tidak ada korelasi sudut pancaran antara kedua radiasi
koinsiden dan yang tercatat adalah benar-benar laju cacah koinsiden sejati..

𝑁1 . 𝑁2
𝑁𝑠 = (3.11)
𝑁𝑐
Radiasi bersifat acak sehingga pengukuran harus dilakukan berulang dengan
mempertimbangkan deviasi yang dihasilkan. Pengukuran radiasi merupakan pengukuran untuk
data tunggal sehingga rumus untuk menghitung ralat pengukuran (deviasi) dan rambat ralat
adalah pada pengukuran aktivitas adalah:

̅ = ∑ 𝑁, dimana n adalah jumlah data


𝑁 (3.12)
𝑛

𝑁 ̅
𝑁1 = ̅̅̅
𝑁1 ± 𝜎
̅̅̅𝑁̅̅,
1
dimana 𝜎𝑁 = √ (3.13)
𝑛

𝑁2 = ̅𝑁
̅̅̅2 ± 𝜎
̅̅̅𝑁̅̅2 (3.14)

𝑁𝑐 = ̅̅̅
𝑁𝑐 ± 𝜎
̅̅̅̅
𝑁𝑐 (3.15)

𝑁𝐵𝑔 = ̅̅̅̅̅
𝑁𝐵𝑔 ± 𝜎
̅̅̅̅̅̅
𝑁𝐵𝑔 (3.16)

̅̅̅
𝑁1 − ̅̅̅̅̅
𝑁𝐵𝑔 = 𝑥 (3.17)

̅̅̅𝑁̅̅1 2 + ̅̅̅̅̅̅
𝜎𝑥 = √(𝜎 𝜎𝑁𝐵𝑔 2 ) (3.18)

̅𝑁
̅̅̅2 − ̅̅̅̅̅
𝑁𝐵𝑔 = 𝑦 (3.19)

̅̅̅𝑁̅̅2 2 + 𝜎
𝜎𝑦 = √(𝜎 ̅̅̅̅̅̅2
𝑁𝐵𝑔 ) (3.20)

𝑥. 𝑦 = 𝑧 (3.21)

𝜎𝑥 2 𝜎𝑦 2
𝜎𝑧 = √( ) + ( ) . 𝑧 (3.22)
𝑥 𝑦
40
𝑧
𝑁𝑠 = ̅̅̅ (3.23)
𝑁𝑐

𝜎𝑧 2 𝜎𝑁𝑐 2
𝜎𝑠 = √( ) + ( ) . 𝑁𝑠 (3.24)
𝑧 𝑁𝑐

Sebagai perbandingan, aktivitas sumber standar dapat dihitung menggunakan


persamaan berikut.

𝐴𝑡 = 𝐴0 . 𝑒 −𝜆𝑡 (3.12)

Korelasi sudut γ-γ menjelaskan spin dan paritas dari tiap-tiap level energi sinar γ.
Gambar 3.5 menunjukkan terjadinya peluruhan dari level spin J 1 melewati spin J2 menuju spin
J3 dengan memancarkan dua sinar γ yaitu γ1 dan γ2. Kebolehjadian angular γ1- γ2 dan korelasi
sudut antara γ1- γ2 merupakan representasi intensitas populasi relatif dan magnetic substate J1.

Bagan 3.2. Magnetic substate

Kebolehjadian terjadinya transisi inti yang memancarkan dua radiasi γ secara berurutan
bergantung pada parameter-parameter inti pada skema peluruhan, salah satu diantaranya adalah
sudut antara kedua radiasi, 𝜃. Dengan kata lain, terdapat sudut sebesar 𝜃 antara pancaran γ1 dan
γ2 (korelasi sudut gamma-gamma).
Dalam percobaan korelasi ini, sudut diukur antara sinar γ1 dengan energi 1,17 Mev dan
sinar γ2 dengan energi 1,33 Mev dari peluruhan Co 60. Persamaan teoritis yang didapatkan untuk
korelasi sudut γ-γ pada Co 60 adalah:

1 1
𝑊 (𝜃) = 1 + 𝑐𝑜𝑠 2 (𝜃) + 𝑐𝑜𝑠 4 (𝜃) (3.26)
8 24
Jika digambarkan grafiknya diperoleh Error! Reference source not found..

41
Grafik 3.2. Grafik korelasi sudut teoritis

Hubungan antara 𝑊(𝜃 ) dengan 𝑁(𝜃) adalah sebagai berikut

𝑁 (𝜃) = 𝑁0 . 𝑊 (𝜃) (3.13)

dengan 𝑁(𝜃 ) adalah cacah koinsidens pada sudut 𝜃, 𝑁0 adalah faktor normalisasi dan 𝑊 (𝜃)
adalah persamaan untuk korelasi sudut γ-γ yang sebelumnya telah dijelaskan. Faktor
normalisasi yang diambil adalah cacah koinsidens pada sudut 90°. Jadi persamaan yang
terbentuk dan digunakan untk analisis data adalah

𝑁(𝜃) = 𝑁(90°) . 𝑊(𝜃) (3.28)

𝑁 (𝜃)
= 𝑊 (𝜃) (3.29)
𝑁(90°)
Pengukuran ralatnya adalah:

𝑁(𝜃) = ̅̅̅̅̅̅̅ ̅̅̅̅̅̅̅̅̅


𝑁(𝜃) ± 𝜎𝑁 (𝜃) (3.30)

̅̅̅̅̅̅
𝑁0 = 𝑁 (90°) = 𝑁 ( 90) ± ̅̅̅̅̅̅̅̅
𝜎𝑁(90) (3.31)

𝑊 (𝜃) = 𝑢 (3.32)

2 2
̅̅̅̅̅̅̅̅̅
𝜎𝑁(𝜃) ̅̅̅̅̅̅̅
𝜎𝑁(0)
𝜎𝑢 = √ ( ̅̅̅̅̅̅̅ ) + ( ̅̅̅̅̅ ) . 𝑢 (3.33)
𝑁(𝜃) 𝑁(0)

42
METODE PERCOBAAN
1. Alat dan Bahan

1. NaI(Tl) Crystal, Phototube Assembly and Photomultyplier Tube Base.


2. High Voltage Power Supply.
3. Scitilation Preamplifier.
4. Amplifier.
5. Pulser.
6. Timing Single Channel Analyzer .
7. Universal Coincidence.
8. Counter.
9. Timer.
10. Sumber radiasi Co 60
11. Kabel konektor

2. Langkah Percobaan

Bagan 3.3. Skema alat percobaan 05-06


a. DPR-05
Pengukuran Resolving Time Coincidence
1) Peralatan percobaan disusun seperti Error! Reference source not found..
Setting peralatan untuk praktikum :
• Penguat : input negative, output dwi kutub.
• Timing SCA : integral mode.
• Universal Coincidence : input A dan B coincidence, sedang C dan D off,
koinsidens yang dikehendaki 2, resolving time maksimum.

43
• Pulser : negative output, power ON.
2) Atur pulser menjadi ON.
3) Atur waktu cacah sebesar 2s.
4) Variasikan nilai tunda dengan skala 0.1 μs (dimulai dari 0 μs) pada salah satu TSCA sampai
laju cacah maksimum. Pada kondisi ini kedua cabang mendekati koinsiden.
5) Lanjutkan variasi nilai tunda hingga tidak ada cacah. Pada kondisi ini kedua cabang tidak
koinsiden.
6) Gambarlah kurva koinsiden dan ukur resolving time coincidence berdasarkan kurva
koinsiden.

b. DPR-06
Menentuan Aktivitas Sumber dengan Rangkaian Koinsiden
1) Peralatan percobaan disusun seperti Gambar 3.6.
Setting peralatan sebagai berikut:
• Amplifier: negative output bipolar output
• Timing SCA: differential mode
• Universal Coincidence : input A dan B coincidence, sedang C dan D OFF
2) Gunakan sumber Co 60 dan tegangan HV antara 800 Volt.
3) Letakkan sumber menghadap kebawah.
4) Tentukan waktu pencacahan 4s.
5) Atur delay time optimum untuk mendapatkan cacah koinsiden yang maksimal.
6) Ambil data cacah N1, N2 dan Nc untuk berbagai konfigurasi geometri detektor.
7) Tentukan nilai aktivitas terukur dari langkah di atas dan bandingkan dengan menggunakan
persamaan peluruhan.

Korelasi Sudut γ-γ


1) Tentukan resolving time coincidence dari unit koinsiden.
2) Susun alat seperti pada Error! Reference source not found.
3) Letakkan sumber menghadap kebawah.
4) Atur delay time optimum.
5) Kedua TSCA diset pada mode window dan lebar window diatur.
6) Lebar window TSCA untuk pulsa-pulsa dari detektor bisa diputar, diatur lebarnya agar
mencakup puncak 1,33 MeV.
44
7) Sudut kedua detektor diatur dengan hati-hati dimulai dari sudut 90° sampai 180° dengan
variasi setiap perubahan sudut 10°.
8) Lakukan pencacahan untuk setiap perubahan sudut dengan waktu cacah 4s.
9) Buat grafik hubungan antara cacah koinsiden dengan sudut pancaran yang dibentuk oleh
kedua detektor terhadap sumber.

ANALISIS DATA
1. Pengukuran Resolving Time Coinsidens
1) Buatlah grafik cacah koinsiden terukur (dalam cps) vs delay time.
2) Buat perhitungan untuk menentukan berapa nilai resolving time coincidence dan berapa
nilai delay time optimum dalam praktikum.

2. Menentukan Aktivitas Sumber dengan Rangkaian Koinsiden


1) Tentukan nilai aktivitas terukur dari sumber pada sudut dan jarak antar detektor lengkap
dengan koreksi error dan sudah dikoreksi terhadap background (satuan dalam Bq atau
dps),
2) Hitunglah nilai aktivitas dari sumber standar yang digunakan,
3) Detail perhitungan dalam bentuk excel dan dilampirkan dalam laporan.

3. Korelasi Sudut γ-γ


1) Carilah nilai dari N(θ), σN(θ), W(θ) teori, W(θ) praktikum, dan σW(θ) praktikum, dari
setiap sudut yang ditentukan,
2) Buatlah grafik sudut teoritis antara W(θ) VS θ,
3) Buatlah grafik antara N(θ) VS θ sesuai hasil praktikum,
4) Buatlah grafik antara W(θ) VS θ sesuai hasil praktikum,
5) Hasil dari perhitungan cantumkan dalam hasil percobaan, rincian perhitungan dalam
bentuk excel dilampirkan dalam laporan

SOAL-SOAL PENGAYAAN
1. Apa saja contoh penerapan metode koinsiden dalam deteksi dan pengukuran radiasi?
2. Bagaimana langkah-langkah menentukan delay time optimum pada TSCA?
3. Bagaimana cara kerja detektor NaI(Tl) yang digunakan pada praktikum ini?
4. Kenapa Co 60 tidak stabil?

45
5. Adakah pengaruh variasi sudut dan jarak pada pengukuran aktivitas menggunakan metode
koinsiden? Jelaskan!
6. Mengapa korelasi sudut γ-γ berbeda untuk tiap sumber radiasi?

DAFTAR PUSTAKA
EG&G ORTEC, 1987. AN34 Experiments in Nuclear Science Laboratory Manual. 3rd
penyunt. Oak Ridge: EG&G ORTEC.
Tsoulfanidis, N. & Landsberger, S., 2015. Measurement & Detection of Radiation. 4th
penyunt. New York: CRC Press.

46
LAPORAN SEMENTARA
DPR 05 - Pengukuran Resolving Time Coincidence

SUMBER WAKTU CACAH


HV (VOLT) - PULSER
RADIASI (S)
DELAY DELAY DELAY
NO CACAH NO CACAH NO CACAH
TIME (𝜇𝑠) TIME (𝜇𝑠) TIME (𝜇𝑠)
1 31 61
2 32 62
3 33 63
4 34 64
5 35 65
6 36 66
7 37 67
8 38 68
9 39 69
10 40 70
11 41 71
12 42 72
13 43 73
14 44 74
15 45 75
16 46 76
17 47 77
18 48 78
19 49 79
20 50 80
21 51 81
22 52 82
23 53 83
24 54 84
25 55 85
26 56 86
27 57 87
28 58 88
29 59 89
30 60 90

RESOLVING DELAY TIME


TIME (𝜇𝑠) OPTIMUM (𝜇𝑠)

47
DPR 06 - Pengukuran Aktivitas dengan Metode Koinsiden

WAKTU
SUMBER
HV (VOLT) CACAH
RADIASI
(SEKON)
JARAK JARAK
CACAH CACAH
DETEKTOR DETEKTOR CACAH
NO SUDUT DETEKTOR DETEKTOR
1 KE 2 KE KOINSIDENS
1 2
SUMBER SUMBER
1 3 3
2 3 3
3 3 3
90°
4 3 6
5 3 6
6 3 6
7 3 3
8 3 3
9 3 3
135°
10 3 6
11 3 6
12 3 6
13 3 3
14 3 3
15 3 3
180°
16 3 6
17 3 6
18 3 6
19
20 CACAH BACKGROUND (3 KALI ↓)
21

48
DPR 06 - Korelasi Sudut γ-γ

WAKTU
SUMBER
CACAH
RADIASI
(SEKON)
CACAH CACAH CACAH
NO SUDUT
KOINSIDEN KOINSIDEN KOINSIDEN
1 90°

2 100°

3 110°

4 120°

5 130°

6 140°

7 150°

8 160°

9 170°

10 180°

NAMA TANGGAL PARAF


KELOMPOK NIM
PRAKTIKAN PRAKTIKUM ASISTEN

49
4. PERCOBAAN 07-08
PENGUKURAN LEVEL FLUIDA DALAM BEJANA MENGGUNAKAN
DETEKTOR GEIGER MULLER

TUJUAN
1. Memahami pemanfaatan detektor Geiger Muller
2. Memahami konsep atenuasi
3. Memahami aplikasi radiasi sebagai media Non-Destructive Testing (NDT)
DASAR TEORI
1. Detektor Geiger Muller
Energi yang dipindahkan melalui mekanisme radiasi nuklir sulit untuk diindera oleh
manusia. Untuk itu digunakan detektor radiasi yang mampu mengetahui adanya radiasi nuklir.
Salah satu yang paling membedakan jenis detektor adalah berdasarkan materi yang digunakan
untuk berinteraksi dengan radiasi. Ada tiga jenis detektor yang paling sering digunakan, yaitu
detektor isian gas, detektor sintilasi, dan detektor semikonduktor. Ketiga detektor ini memiliki
kemampuan untuk mengubah energi radiasi yang masuk menjadi sinyal/pulsa listrik. Perlu
diperhatikan bahwa suatu bahan yang sensitif terhadap suatu jenis radiasi belum tentu sensitif
terhadap jenis radiasi yang lain (BATAN, t.thn.).
Detektor isian gas adalah salah satu detektor yang sering digunakan karena relatif lebih
sederhana dibanding detektor lainnya. Detektor ini terdiri dari dua elektroda (katoda dan anoda)
dan terdapat gas di antara keduanya. Biasanya detektor jenis ini berbentuk tabung dengan
sumbu di tengahnya. Sumbu ini berfungsi sebagai anoda sedangkan dinding tabung berfungsi
sebagai katoda. Kedua elektroda ini akan aktif jika diberi beda postensial oleh high voltage-
direct current (HVDC). Gas akan terionisasi ketika radiasi pengion memasuki detektor. Beda
potensial pada kedua elektroda akan menghasilkan medan magnet yang akan menarik ion-ion
positif dan elektron pada kutub-kutubnya sehingga akan timbul arus listrik. Terdapat lima
daerah tegangan pada detektor isian gas di mana setiap daerah memiliki korelasi dengan jumlah
muatan yang dapat ditangkap oleh detektor. Kelima daerah ini dapat ditunjukkan pada Grafik
4.1.
Pada daerah I beda potensial relatif rendah sehingga medan magnet yang dapat
dihasilkan tidak cukup kuat. Hal ini menyebabkan laju rekombinasi antar ion menjadi lebih
besar dibandingkan dengan laju ionisasi sehingga detektor hanya mampu menangkap sedikit
muatan. Oleh sebab itu daerah ini disebut sebagai daerah rekombinan. Pad a daerah II, beda

50
potensial sudah cukup kuat untuk menarik seluruh ion positif dan elektron yang terbentuk,
namun belum memungkinkan untuk menghasilkan ionisasi sekunder. Daerah ini disebut
sebagai daerah ionisasi. Detektor yang bekerja pada rentang op erasi ini memiliki kemampuan
untuk membedakan energi dan jenis radiasi. Gaya elektrostatik elektron akan meningkat ketika
high voltage (HV) diatur pada daerah III sehingga dapat terbentuk ion sekunder. Daerah kerja
ini disebut dengan daerah proporsional. Jika HV dinaikkan hingga daerah IV, elektron akan
memiliki energi elektrostatik yang sangat besar. Akibatnya akan terjadi guguran elektron
(electron avalanche) karena ionisasi yang terjadi sangat banyak. Daerah ini disebut dengan
daerah Geiger Muller. Daerah V disebut daerah discharge di mana ionisasi yang terjadi tidak
dapat dikendalikan. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya umur tabung detektor karena gas
sangat cepat berubah menjadi ion-ionnya.
tertangkap per
satuan waktu
satuan waktu
Jumlah ion
yang

Grafik 4.1. Hubungan tegangan dengan jumlah partikel bermuatan yang ditangkap pada
detektor isian gas

(Tsoulfanidis & Landsberger, 2015)

Detektor GM (Geiger Muller) bekerja pada daerah IV di mana pada dearah ini detektor
tidak dapat membedakan jenis dan energi radiasi. Walaupun demikian, mengingat untuk
keperluan yang praktis dan ekonomis, detektor GM tetap dipilih untuk keperluan deteksi
sederhana. Pada detektor dengan sistem internal quenching, gas di dalam tabung GM terdiri
dari dua komponen, yaitu gas isian dan quench gas (Oak Ridge Associated Universities, 2007).
Gas isian biasanya menggunakan neon, namun kadang helium, argon, atau kripton juga
digunakan sebagai gas isian. Terdapat dua tipe quench gas, gas halogen dan gas organik.
Agar dapat bekerja secara optimal, maka nilai HV yang dihubungkan dengan tabung
GM harus optimal. Nilai tegangan optimum GM bisa didekati dengan nilai tegangan 50% - 70%
dari plato, seperti yang ditunjukkan oleh persamaan (4.1).
𝐻𝑉 𝑜𝑝𝑡𝑖𝑚𝑢𝑚 = 𝑉𝐵 + (50% − 70%) (𝑉𝐶 − 𝑉𝐵 ) (4.1)

51
di mana VB adalah threshold voltage dan VC adalah breakdown voltage. Adapun VA, yang
ditunjukkan pada Grafik 4.2, merupakan starting voltage.

Laju Cacah

Grafik 4.2. HV plateau

(Tsoulfanidis & Landsberger, 2015)

Ketika sebuah radiasi pengion memasuki detektor, energinya akan diguna kan untuk
mengionisasi gas. Elektron yang terbentuk memiliki energi kinetik yang cukup untuk
melakukan ionisasi sekunder dan ionisasi setelahnya. Hal ini akan menyebabkan banyaknya ion
yang terbentuk tidak lagi mencerminkan energi radiasi yang memasuki detektor. Selain itu,
karena massa ion positif jauh lebih besar dari pada elektron, maka ion positif akan lebih lambat
sampai ke katoda. Hal ini menyebabkan naiknya probabilitas rekombinansi dan akan
menurunkan medan magnet di dalam tabung sehingga sinyal akan hilang. Namun seiring waktu
kondisi ini akan pulih karena berkurangnya ion positif. Waktu yang dibutuhkan untuk
memulihkan kondisi ini sampai muncul pulsa kembali disebut dengan waktu mati (dead time).
Sedangkan waktu yang dibutuhkan agar pulsa keluaran kembali seperti semula disebut dengan
waktu pulih (recovery time). Parameter waktu ini dapat digunakan untuk menentukan kualitas
suatu detektor GM. Semakin sedikit waktu pulih yang dimiliki suatu detektor maka detektor
akan semakin baik.
Tinggi
Pulsa

Tingkat diskriminator

Waktu (µs)

Waktu mati

Waktu pulih

Grafik 4.3. Waktu mati dan waktu pulih detektor GM


(Tsoulfanidis & Landsberger, 2015)

52
Selain itu, kemiringan (slope) dan lebar plato daerah kerja detektor GM juga
menunjukkan kualitasnya. Jika daerah kerja semakin landai (𝑠𝑙𝑜𝑝𝑒 < 10%), maka detektor
akan semakin baik karena jumlah cacah yang dikeluaran tidak akan jauh berbeda jika terjadi
fluktuasi pada HVDC. Adapun lebar plato dikatakan baik jika memiliki nilai minimal 300 volt.
Slope dapat dinyatakan sebagai persen perubahan laju cacah tiap perubahan HV sebesar 100
volt, yang dihitung dengan persamaan (4.2) berikut. (EG&G ORTEC, 1987)
(𝑅𝐶 − 𝑅 𝐵 )/𝑅 𝐵 (4.2)
𝑠𝑙𝑜𝑝𝑒 = × 100 × 100%
(𝑉𝐶 − 𝑉𝐵 )
di mana RB adalah laju cacah pada VB dan RC adalah laju cacah pada VC.
2. Konsep Atenuasi Foton
Setiap jenis radiasi yang melewati materi akan menimbulkan interaksi yang berbeda-
beda, sesuai dengan massa dan muatan yang dimilikinya. Pada interaksi antara radiasi yang
tidak bermassa dan tidak bermuatan (foton gamma dan sinar X) dengan materi terdapat banyak
mekanisme yang mungkin terjadi. Namun hanya tiga mekanisme yang menjadi perhatian dalam
pengukuran radiasi, yaitu efek fotolistrik, hamburan Compton, dan produksi pasangan.
a. Efek Fotolistrik
Mekanisme ini terjadi ketika foton berinteraksi dengan sebuah elektron yang terikat
di kulit atom. Foton akan mentansfer seluruh energi yang dimilikinya ke elektron
tersebut sehingga foton menghilang. Elektron yang menerima energi dari foton akan
terlepas dari kulit atom, yang disebut sebagai fotoelektron. Kemungkinan besar
interaksi ini terjadi pada elektron yang berada di kulit K pada atom, yang memiliki
energi ikat tertinggi. Probabilitas terjadinya efek fotolistrik bisa disebut sebagai
tampang lintang fotolistrik atau koefisien fotolistrik. Tidak ada persamaan
matematis yang dapat menunjukkan besarnya probabilitas ini secara pasti, namun
dapat didekati dengan persamaan (Tsoulfanidis & Landsberger, 2015):
𝑍𝑛 (4.3)
𝜏(𝑚 −1 ) = 𝑎𝑁 [1 − 𝑂 (𝑍)]
𝐸𝛾𝑚
di mana
𝜏 = probabilitas terjadinya efek fotolistrik per satuan jarak yang
ditempuh foton di dalam materi
𝑎 = konstanta,bergantung pada Z dan Eγ
N = jumlah atom per volume materi yang dilewati
Z = nomor atom materi yang dilewati

53
𝐸𝛾 = energi foton
𝑛, 𝑚 = konstanta dengan nilai 3 – 5, bergantung pada Eγ
𝑂 (𝑍) = faktor koreksi, bergantung pada Z
Probabilitas terjadinya efek ini sangat tinggi saat energinya rendah (mendekati 10
keV) dan probabilitasnya akan menurun saat energinya meningkat. Pada deteksi
efek fotolistrik untuk timbal, didapatkan bahwa terdapat diskontinyuitas pada
interaksinya yaitu disebut sudut K dan sudut-sudut L seperti pada Gambar 4.4. Saat
energi foton yang dipancarkannya terlalu rendah, maka interaksi pada kulit K akan
mengalami bocoran sehingga interaksi terjadi pada elektron kulit L (Nelson &
Reilly, 1991).

Grafik 4.4. Koefisien atenuasi massa efek fotolistrik pada timbal


(Nelson & Reilly, 1991)

b. Hamburan Compton
Hamburan Compton terjadi ketika adanya interaksi antara foton dengan elektron
yang terikat lemah pada kulit atom maupun elektron bebas. Interaksi ini sering kali
terjadi pada foton dengan tingkat energi tinggi atau pada tingkat energi peluruhan
radioaktif. Ketika berinteraksi, foton akan mentransfer sebagian energinya ke
elektron dan menimbulkan recoil electron (Knoll, 2000). Foton yang mengalami
54
penurunan energi akan dibelokkan arah geraknya untuk menjaga konservasi energi
dan momentum. Analog dengan efek fotolistrik, probabilitas terjadinya hamburan
Compton bisa disebut sebagai tampang lintang hamburan Compton atau koefisien
Compton. Nilai probabilitas ini dapat didekati dengan persaman (Tsoulfanidis &
Landsberger, 2015):
𝜎(𝑚−1 ) = 𝑁𝑍𝑓(𝐸𝛾 ) (4.4)
di mana
𝜎 = probabilitas terjadinya hamburan Compton per satuan jarak yang
ditempuh foton di dalam materi
𝑓(𝐸𝛾 ) = suatu faktor sebagai fungsi Eγ
c. Produksi Pasangan
Ketika foton dengan energi yang melebihi dua kali massa diam elektron (Eγ ≥
1,02 MeV) berhasil memasuki medan inti atom, maka kemungkinan besar akan
terjadi produksi pasangan. Interaksi ini akan menghasilkan pasangan positron-
negatron yang merupakan hasil konversi energi yang dibawa oleh foton menjadi
materi. Jika Eγ > 1,02 MeV, kelebihan energi dari pembentukan pasangan elektron
akan menjadi energi kinetik pasangan elektron tersebut sehingga foton menghilang.
Probabilitas terjadinya interaksi ini bisa disebut juga sebagai tampang lintang
produksi pasangan atau koefisien produksi pasangan. Nilai probabilitas ini dapat
didektasi dengan persamaan (Tsoulfanidis & Landsberger, 2015):
𝜅( 𝑚 −1 ) = 𝑁𝑍2 𝑓(𝐸𝛾 ,𝑍) (4.5)
di mana
𝜅 = probabilitas terjadinya produksi pasangan per satuan jarak yang
ditempuh foton di dalam materi
𝑓(𝐸𝛾 ,𝑍) = suatu faktor sebagai fungsi Eγ dan Z
Atenuasi merupakan pelemahan intensitas radiasi setelah melewati suatu materi.
Penurunan intensitas radiasi, seperti yang tergambar pada Gambar 4.1, terjadi karena adanya
interaksi antara radiasi dengan materi yang menyebabkan radiasi menghilang atau teserap di
dalam materi. Setiap mekanisme interaksi foton dengan materi berkontribusi dalam terjadinya
atenuasi foton. Koefisien atenuasi linier (𝜇 𝑙) merupakan probabilitas terjadinya pelemahan
intensitas radiasi per satuan panjang jarak yang ditempuh foton di dalam materi. Nilai 𝜇 𝑙
merupakan penjumlahan probabilitas setiap mekanisme interaksi yang mungkin terjadi.

55
𝜇 𝑙 (𝑚−1) = 𝜏 + 𝜎 + 𝜅 (4.6)
Nilai koefisien atenuasi yang tertera pada literatur biasanya dalam nilai koefisien
atenuasi massa yang merupakan satuan spesifik terhadap densitas materi. Nilai koefisien
atenuasi massa (𝜇 𝑚) dapat dihubungkan dengan koefisien atenuasi linier (𝜇 𝑙) melalui
persaman:
2 𝜇 𝑙 (𝑚−1 )
𝜇 𝑚 ( 𝑚 ⁄𝑘𝑔) = (4.7)
𝑘𝑔
𝜌 ( ⁄𝑚 3 )

Jika materi yang dilalui oleh foton merupakan campuran dari berb agai bahan, maka
koefisien atenuasi massa campuran tersebut (𝜇 𝑚𝑐 ) merupakan akumulasi dari koefisien atenuasi
massa masing-masing bahan dengan proporsi yang sesuai dengan fraksi massanya di dalam
materi (w).
2 2
𝜇 𝑚𝑐 (𝑚 ⁄𝑘𝑔) = ∑ 𝑤𝑖 𝜇 𝑚𝑖 (𝑚 ⁄𝑘𝑔) (4.8)
𝑖

materi

I0 x Ix

Gambar 4.1. Penurunan intensitas radiasi setelah melewati materi

(Tsoulfanidis & Landsberger, 2015)

Penurunan intensitas radiasi foton setelah melewati materi terjadi secara eksponensial
mengikuti persamaan
𝐼𝑥 = 𝐼0 𝑒 −𝜇𝑙𝑥 (4.9)
di mana
𝐼0 = intensitas radiasi sebelum melewati materi
𝐼𝑥 = intensitas radiasi setelah melewati materi setebal x
𝜇 𝑙 = koefisien atenuasi linier
𝑥 = tebal materi
Persamaan (4.9) dapat dimodifikasi menjadi persamaan linier sebagai berikut.
𝐼0
𝑙𝑛 ( ) = 𝜇𝑥 (4.10)
𝐼𝑥

56
Jika materi yang dilalui oleh foton merupakan tumpukan beberapa materi, maka
persaman (4.9) dan (4.10) dapat ditulis sebagai berikut.
∑𝑖 𝜇𝑙 𝑥𝑖
𝐼𝑥 = 𝐼0 𝑒 − 𝑖 (4.11)
𝐼0
𝑙𝑛 ( ) = ∑ 𝜇 𝑙𝑖 𝑥𝑖 (4.12)
𝐼𝑥
𝑖

Grafik 4.5. Koefisien atenuasi massa dari beberapa elemen (Nelson & Reilly, 1991)
3. Non-Destructive Testing (NDT)
Non-destructive testing (NDT) adalah salah satu teknik atau metode non-invasif untuk
menentukan integritas, komponen, atau struktur suatu material. Pemeriksaan tersebut dapat
dilakukan tanpa merusak material tersebut sehingga tidak mempengaruhi fungsi atau kinerja
material setelah dilakukan pemeriksaan. Teknologi yang digunakan dalam NDT hampir sama
dengan yang digunakan dalam industri medis, namun NDT lebih ditekankan pada aplikasi
terhadap benda mati di industri. Dengan menggunakan berbagai metode yang ada, NDT mampu
melakukan kontrol kualitas yang baik dan hemat biaya (NDT Education Resources Center,
2011).
Salah satu metode NDT memanfaatkan adanya penurunan intensitas radiasi setelah
melewati materi. Penurunan intensitas ini terjadi secara eksponesial sepanjang lintasan yang
dilalui radiasi. Dengan membandingkan intensitas radiasi sebelum dan setelah melewati materi
maka ketebalan material tersebut dapat ditentukan. Metode ini dapat diaplikasikan untuk
57
mengukur ketinggian fluida, yang disebut sebagai level gauging. Untuk mempermudah
pengukuran maka sering kali digunakan sumber radiasi yang monoenergetik, karena nilai
koefisien atenuasi bergantung pada energi radiasi. Berdasarkan persamaan (4.10), maka
ketinggian fluida dapat ditentukan melalui persamaan
𝐼
𝑙𝑛 ( 0 )
𝐼𝑥 (4.13)
𝑥=
𝜇
4. Perhitungan Ketidakpastian
Cacahan (𝐶 ) adalah nilai yang dihasilkan oleh sistem pencacah setelah mengukur
radiasi selama selang waktu tertentu (𝑡) . Semakin lama waktu pengukuran ini maka nilai
cacahan akan semakin besar. Karena radiasi bersifat acak, maka pengukuran radiasi secara
berulang akan memberikan nilai yang bervariasi. Cacah rerata (𝐶̅ ) dihitung dengan persamaan
berikut
𝑛
1 𝐶1 + 𝐶2 + ⋯ + 𝐶𝑛
𝐶 ̅ = ∑ 𝐶𝑖 = (4.14)
𝑛 𝑛
𝑖=1

dengan Ci adalah nilai cacah pengukuran ke-i, dan n adalah banyaknya pengukuran.
dengan Ci adalah nilai cacah pengukuran ke-i, dan n adalah banyaknya pengukuran.
Standar deviasi atau ketidakpastian pengukuran ( 𝜎𝐶 ) dihitung dengan persamaan
berikut.

𝐶̅
𝜎𝐶 = √ (4.15)
𝑛

Laju cacah (𝑅) adalah jumlah cacah persatuan waktu. Nilai ini sebanding dengan
jumlah radiasi yang memasuki detektor atau sebanding dengan aktivitas sumber radiasi. Maka
laju cacah rerata dapat dirumuskan sebagai berikut.
𝐶̅
𝑅̅ = (4.16)
𝑡
dengan 𝐶̅ adalah nilai cacah rerata dan 𝑡 adalah waktu pengukuran.
Standar deviasi laju cacah (𝜎𝑅 ) dihitung dengan persamaan berikut.

𝜎𝐶 1 𝐶̅ 𝐶̅ 1 𝑅̅
𝜎𝑅 = = √ =√ =√ (4.17)
𝑡 𝑡 𝑛 𝑡 𝑛. 𝑡 𝑛. 𝑡
Dalam pengukuran, diperlukan perhitungan perambatan atau propagasi nilai
ketidakpastian. Perhitungan ini berdasarkan pada penentuan ketidakpastian menggunakan
pendekatan diferensial dari suatu fungsi seperti pada persamaan 4.18. Perambatan
58
ketidakpastian terjadi dikarenakan adanya beberapa variabel dengan ketidakpastian yang saling
independen pada satu fungsi. Bentuk umum dari perambatan ketidakpastian seperti pada
persamaan 4.20.
d𝑓 (𝑥)
Δ𝑓 (𝑥) ≈ ∙ Δ𝑥 (4.18)
d𝑥
Misal 𝑥 merupakan suatu fungsi dengan variabel dua atau lebih, 𝑢 dan 𝑣 yang memiliki
ketidakpastian independen.
𝑥 = 𝑓(𝑢, 𝑣, … ) (4.19)
2 2
𝛿𝑥 𝛿𝑥
𝜎𝑥2 = 𝜎𝑢2 ( ) + 𝜎𝑣2 ( ) + ⋯ (4.20)
𝛿𝑢 𝛿𝑣
Laju cacah latar/background (𝑅 𝑏𝑔 ) adalah nilai laju cacah yang ditampilkan oleh sistem
pencacah walaupun tidak ada sumber radiasi. Nilai ini berasal dari radiasi alam di sekeliling
detektor. Laju cacah sumber (𝑅 𝑠 ) adalah nilai laju cacah yang berasal dari sumber radiasi yang
tercatat (𝑅𝑡 ) dikurangi dengan laju cacah latar (𝑅𝑏𝑔 ).
𝑅 𝑛𝑒𝑡𝑡𝑜 = 𝑅𝑡 − 𝑅 𝑏𝑔 (4.21)

Standar deviasi laju cacah sumber (𝜎𝑅𝑛𝑒𝑡𝑡𝑜 ) dihitung menggunakan persamaan berikut.

𝜎𝑅𝑛𝑒𝑡𝑡𝑜 = √𝜎𝑅2𝑡 + 𝜎𝑅2𝑏𝑔 (4.22)

Limit deteksi (LD) adalah suatu parameter yang dapat menunjukkan batas minimum
dari cacahan yang masih dapat diterima sebagai cacah sumber. LD ditentukan menggunakan
konsep outlier dalam statistika, di mana cacah sumber merupakan outlier cacah latar. Artinya,
jika nilai cacah yang didapatkan kurang dari CBg+LD, maka data tersebut tidak dapat diterima
sebagai cacah sumber. Nilai 𝐿𝐷 berlaku secara spesifik, yaitu untuk waktu pengukuran dan
jumlah pengulangan pencacahan tertentu. LD dapat dihitung dengan persamaan
𝐿𝐷 = 𝑘. 𝜎𝐵𝑔 (4.23)
dengan 𝜎𝐵𝑔 adalah standar deviasi dari cacah latar dan 𝑘 adalah faktor cakupan yang
berhubungan dengan tingkat kepercayaan terhadap data yang didapatkan (untuk tingkat
kepercayaan 99,87%, k=3) (Tsoulfanidis & Landsberger, 2015).

METODE PERCOBAAN
1. Alat dan Bahan
a. Sumber radiasi (Cs137)
b. HVDC power supply
c. Detektor Geiger Muller (GM)

59
d. Inverter GM
e. Pencacah (counter)
f. Pengala (timer)
g. Kabel coaxial dan konektor
h. Medium: udara, keping kaca, bejana kaca, fluida (air)
i. Mistar
j. Milimeter sekrup
2. Langkah Percobaan

Sumber radiasi

Medium

Inverter
HVDC GM Pencacah Pengala
GM

Bagan 4.1. Skema alat percobaan 07-08

a. DPR 07 – Menentukan Daerah Operasi Geiger Muller


Menentukan HV Optimum Detektor Geiger Muller
1) Susun alat sesuai skema pada Bagan 4.1 tanpa medium.
2) Teliti kembali rangkaian alat. Tanyakan pada asisten apakah susunan alat sudah tepat.
3) Letakkan sumber radiasi pada jarak 0 cm dari detektor (menempel pada jendela
detektor).
4) Atur timer pada selang waktu 600 detik.
5) Naikkan tegangan HV hingga tercatat adanya pencacahan pulsa pada counter. Catat
nilai HV ini sebagai starting voltage.
6) Atur ulang timer pada selang waktu 5 – 10 detik.
7) Naikkan tegangan HV secara bertahap dengan interval 5 – 10 V (maksimum 1200 V*).
Konsultasikan terlebih dahulu dengan asisten.
8) Cacah sumber sebanyak 1 (satu) kali untuk tiap variasi nilai tegangan dan catat hasilnya.
9) Tentukan nilai threshold voltage, breakdown voltage, dan HV optimum.
*catatan: Tegangan HV yang terlalu besar dapat memperpendek umur tabung. Pastikan
pengaturan HV tidak melebihi batas maksimum yang telah ditentukan. Bila
terdengar suara dari detektor GM, segera laporkan kepada asisten.

60
b. DPR 08 – Menentukan Level Fluida
Mengukur Cacah Latar dan Menentukan Limit Deteksi
1) Atur HV pada nilai HV optimum yang didapatkan pada praktikum DPR-07.
2) Atur timer pada selang waktu 5 – 10 detik.
3) Lakukan pencacahan tanpa sumber radiasi sebanyak 5 (lima) kali pengulangan untuk
megukur cacah latar (background)
4) Hitung nilai rerata dan standar deviasi cacah background.
5) Hitung limit deteksi (LD).

Menentukan Koefisien Atenuasi Berbagai Materi


Koefisien Atenuasi Udara
1) Letakkan sumber radiasi pada jarak 0 cm dari detektor.
2) Lakukan pencacahan sebanyak 5 (lima) kali pengulangan dan catat hasilnya.
3) Hitung nilai cacah rerata beserta standar deviasinya.
4) Ulangi langkah 1-3 hingga 5 (lima) variasi jarak.

Koefisien Atenuasi Kaca


1) Ukur ketebalan keping kaca menggunakan mikrometer sekrup dan cacat ketebalannya.
2) Letakkan kaca menempel di antara detektor dengan sumber radiasi.
3) Lakukan pencacahan sebanyak 5 (lima) kali pengulangan dan catat hasilnya.
4) Hitung nilai cacah rerata beserta standar deviasinya.
5) Ulangi langkah 1-4 dengan melakukan penambahan keping kaca hingga 5 (lima)
variasi ketebalan.

Koefisien Atenuasi Air


1) Gunakan medium berupa bejana kaca dengan dasar bejana menempel pada detektor.
2) Gantung sumber radiasi segaris dengan jendela detektor di atas bejana. Pastikan sumber
radiasi tidak akan tercelup ke air nantinya.
3) Isikan air ke dalam bejana dengan ketinggian sembarang. Ukur ketinggian air dengan
mistar dan catat ketinggiannya.
4) Lakukan pencacahan sebanyak 5 (lima) pengulangan dan catat hasilnya.
5) Hitung nilai cacah rerata beserta standar deviasinya.

61
6) Ulangi langkah 3-5 dengan melakukan penambahan/pengurangan air hingga 5 (lima)
variasi ketinggian.

Menentukan Ketinggian Fluida


1) Gunakan medium berupa bejana kaca dengan dasar bejana menempel pada detektor.
2) Gantung sumber radiasi segaris dengan jendela detektor di atas bejana. Pastikan
sumber radiasi tidak akan tercelup ke air nantinya.
3) Isikan air ke dalam bejana dengan ketinggian sembarang. Ukur ketinggian air tersebut
menggunakan mistar dan catat sebagai ketinggian real.
4) Cacah sumber dan catat nilai cacah pada setiap pengambilan data.
5) Hitung nilai cacah rerata beserta standar deviasinya.

Aplikasi Radiasi Sebagai Media Non-Destructive Testing (NDT)


1) Lakukan studi pustaka mengenai aplikasi radiasi sebagai media NDT.
2) Rangkum dan tuliskan dalam laporan praktikum. Cantumkan seluruh sumber yang
digunakan.

62
ANALISIS DATA
1. Menentukan HV Optimum Detektor Geiger Muller
1) Buatlah kurva daerah operasi GM (cacah terhadap tegangan HV).
2) Hitung lebar dan slope plato detektor GM.
3) Bandingkan nilai yang didapatkan dengan referensi, apakah nilai tersebut tergolong baik
atau buruk.
4) Tentukan nilai HV optimum.
2. Menentukan Koefisien Atenuasi Berbagai Materi
1) Hitung nilai cacah netto.
2) Buatlah grafik ln (I0 ⁄Ix ) terhadap x (ketebalan), I0 adalah intensitas radiasi pada x=0
(sumber menempel ke detektor).
3) Lakukan regresi linier yang membentuk persamaan y=mx (jika terbentuk persamaan
y=mx+c, lakukan set intercept = (0,0) pada trendline).
4) Tentukan nilai koefisien atenuasi linier materi yang nilainya merupakan kemiringan
garis regresi yang terbentuk.
5) Bandingkan nilai koefisien atenuasi materi yang didapatkan dengan niliai koefisien
atenuasi berdasarkan referensi.
3. Menentukan Ketinggian Fluida
1) Hitung nilai cacah netto.
2) Hitung ketinggian fluida beserta ralat yang didapatkan dari perhitungan menggunakan
persamaan yang telah diberikan.
3) Bandingkan ketinggian fluida hasil perhitungan dengan ketinggian real fluida. Hitung
nilai ketidakpastian relatif yang didapatkan.
4. Aplikasi Radiasi sebagai Media Non-Destructive Testing (NDT)
1) Jelaskan apa yang disebut dengan metode NDT.
2) Sebutkan dan beri penjelasan singkat tentang berbagai metode NDT yang sering
digunakan.
3) Jelaskan konsep penerapan radiasi sebagai media NDT mencakup cara penerapannya,
kelebihan, serta kekurangannya.

63
SOAL-SOAL PENGAYAAN
1. Pada industri CNC dilakukan menggunakan metode NDT menggunakan radiasi.
Diketahui bahwa ingot tersebut merupakan campuran SS-316 (75%), emas (10%),
tantalum (13%), dan silikon (2%) dengan kerapatan massa sebesar 10133,6 kg/m3. Pada
pengukuran tersebut digunakan detektor dengan efisiensi absolut sebesar 13% dan
sumber Cs137 dengan aktivitas 10 mCi. (Data komposisi dan atenuasi dicari sendiri)
a. Hitunglah koefisien atenuasi massa campuran ingot tersebut!
b. Hitunglah ketebalatan ingot tersebut jika laju cacah radiasi setelah melewati
perunggu sebesar 10824 cps!
2. Bagaimana prinsip pengolahan sinyal yang ada di instrumentasi nuklir detektor GM!
3. Jelaskan berbedaan detektor GM yang digunakan untuk poengukuran in-situ dan ex-
situ!
4. Pada praktikum DPR 7-8 yang telah dilakukan, mengapa perhitungan ketidakpastian
dihitung tiap variasi ketebalan material? Mengapa tidak digunakan ketidakpastian total
yang mewakili seluruh ketebalan material? Jawab secara komprehensif!

DAFTAR PUSTAKA
BATAN, t.thn. Jenis Detektor Radiasi. [Online]
Available at:
http://www.batan.go.id/pusdiklat/elearning/Pengukuran_Radiasi/Dasar_04%20Materi.htm
[Diakses 13 April 2018].
EG&G ORTEC, 1987. AN34 Experiments in Nuclear Science Laboratory Manual. 3rd
penyunt. Oak Ridge: EG&G ORTEC.
Knoll, G. F., 2000. Radiation Detection and Measurement. 3rd penyunt. New York: John
Wiley & Sons, Inc..
NDT Education Resources Center, 2011. About NDT. [Online]
Available at: http://www.nde-ed.org/AboutNDT/aboutndt.htm
[Diakses 20 Oktober 2019].
Nelson, G. & Reilly, D., 1991. Gamma-ray interactions with matter. Dalam: Passive
nondestructive analysis of nuclear materials 2. s.l.:s.n., pp. 27-42.
Oak Ridge Associated Universities, 2007. Geiger-Mueller (GM) Detectors. [Online]
Available at: https://www.orau.org/ptp/collection/gms/introgms.htm
[Diakses 14 April 2018].
Tsoulfanidis, N. & Landsberger, S., 2015. Measurement & Detection of Radiation. 4th
penyunt. New York: CRC Press.

64
LAPORAN SEMENTARA
DPR 07 - Menentukan Daerah Operasi Detektor GM

SUMBER RADIASI WAKTU CACAH (SEKON)


NO HV (VOLT) CACAH NO HV (VOLT) CACAH
1 26
2 27
3 28
4 29
5 30
6 31
7 32
8 33
9 34
10 35
11 36
12 37
13 38
14 39
15 40
16 41
17 42
18 43
19 44
20 45
21 46
22 47
23 48
24 49
25 50
HV THRESHOLD HV OPTIMUM
HV BREAKDOWN

65
DPR 08 - Menentukan Level Fluida

HV (VOLT)
WAKTU CACAH (S)
CACAH BACKGROUND (𝑅𝐵𝐺 )

∑ 𝑅 𝐵𝐺
CACAH RERATA (̅̅̅̅̅
𝑅𝐵𝐺 )
𝑛

̅̅̅̅̅
𝑅 𝐵𝐺
STANDAR DEVIASI (ERROR) (𝜎𝐵𝐺 ) √
𝑛 𝑑𝑎𝑡𝑎

LIMIT DETEKSI (𝐿𝐷) 3 × 𝜎𝐵𝐺

ATENUASI UDARA
TEBAL
CACAH
NO UDARA CACAH UNC.
RERATA
(cm)
0 0
1
2
3
4
5

UNC. KOEF. ATENUASI


KOEFISIEN ATENUASI UDARA
UDARA TIAP VARIASI
PENGUKURAN (𝜇 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 )
TEBAL(𝜎𝜇𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 )

KOEFISIEN ATENUASI UDARA ERROR KOEFISIEN


TEORITIS (𝜇 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎) ATENUASI UDARA

66
ATENUASI KACA
TEBAL
CACAH
NO KACA CACAH UNC.
RERATA
(cm)
0 0
1
2
3
4
5

KOEFISIEN ATENUASI KACA UNC. KOEF. ATENUASI


PENGUKURAN (𝜇 𝑘𝑎𝑐𝑎) KACA TIAP VARIASI
TEBAL (𝜎𝜇𝑘𝑎𝑐𝑎 )
KOEFISIEN ATENUASI KACA ERROR KOEFISIEN
TEORITIS (𝜇 𝑘𝑎𝑐𝑎 ) ATENUASI KACA

ATENUASI AIR
TEBAL TINGGI
CACAH
NO UDARA AIR CACAH UNC.
RERATA
(cm) (cm)
0 0 0
1
2
3
4
5

KOEFISIEN ATENUASI AIR UNC. KOEF. ATENUASI AIR


PENGUKURAN (𝜇 𝑎𝑖𝑟) TIAP VARIASI (𝜎𝜇𝑎𝑖𝑟 )
KOEFISIEN ATENUASI AIR ERROR KOEFISIEN ATENUASI
TEORITIS (𝜇 𝑎𝑖𝑟 ) AIR

67
PENGUKURAN KETINGGIAN FLUIDA
TINGGI
TEBAL TEBAL
AIR
UDARA KACA CACAH
REAL
(cm) (cm)
(cm)

TINGGI FLUIDA
UNC. TINGGI FLUIDA 𝜎𝑥𝑎𝑖𝑟
PENGUKURAN

NAMA TANGGAL PARAF


KELOMPOK NIM
PRAKTIKAN PRAKTIKUM ASISTEN

68
PERHITUNGAN
a. Atenuasi Udara dan Kaca
𝐼 = 𝐼0 exp (−𝜇 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎𝑥𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎)
𝐼
ln ( 0 ) ln 𝐼0 − ln 𝐼
𝜇 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 = 𝐼 =
𝑥 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 𝑥 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎
misal 𝐼0 merupakan variabel tanpa ketidakpastian, sehingga perhitungan ketidakpastian
hanya tergantung dari 𝑥𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 dan 𝐼.
𝜕𝜇 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 1
=−
𝜕𝐼 𝐼 ∙ 𝑥 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎
𝐼 𝐼
𝜕𝜇 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 ln ( 0 ) ln ( )
𝐼
= −( 2 𝐼 )= 2 0
𝜕𝑥 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 𝑥 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 𝑥 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎

𝐼 2
1 2 ln ( )
𝐼
𝜎𝜇2𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 = 𝜎𝐼2 ( ) + 𝜎𝑥2𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 ( 2 0 )
𝐼𝑥 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 𝑥 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎

Karena nilai yang dihitung merupakan cacah netto maka persamaan di atas menjadi:
2
𝑅
2 ln ( 𝑛𝑒𝑡𝑡𝑜
̅̅̅ )
2 1 𝑅0
𝜎𝜇2𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 = 𝜎̅̅̅̅̅̅̅̅̅ (
𝑅𝑛𝑒𝑡𝑡𝑜 ̅̅̅̅̅̅̅̅ ) + 𝜎𝑥
2
𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎
( 2 )
𝑅𝑛𝑒𝑡𝑡𝑜 𝑥𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 𝑥 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎

Jika 𝐼0 merupakan variabel dengan ketidakpastian independent tiap variasi tebal udara
adalah sebagai berikut:
𝑅 𝑛𝑒𝑡𝑡𝑜,𝑖 2
2 ln ( ̅̅̅ )
2 1 𝑅 0
𝜎𝜇2𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎,𝑖 = 𝜎𝑅𝑛𝑒𝑡𝑡𝑜,𝑖 ( ) + 𝜎𝑥2𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 ( )
𝑅 𝑛𝑒𝑡𝑡𝑜,𝑖 . 𝑥 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 𝑥 2𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎

2
2 1
+ 𝜎̅̅
𝑅̅̅ ( )
0 𝑅0 . 𝑥 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎
Persamaan di atas berlaku pula untuk atenuasi kaca.
b. Atenuasi Air
𝐼 = 𝐼0 exp (−𝜇 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎𝑥𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 − 𝜇 𝑘𝑎𝑐𝑎 𝑥𝑘𝑎𝑐𝑎 − 𝜇 𝑎𝑖𝑟𝑥𝑎𝑖𝑟)
𝐼
ln ( 0 ) − 𝜇 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎𝑥𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 − 𝜇 𝑘𝑎𝑐𝑎 𝑥𝑘𝑎𝑐𝑎
𝜇 𝑎𝑖𝑟 = 𝐼
𝑥 𝑎𝑖𝑟

69
Terdapat 6 variabel yang memiliki ketidakpastian independen yaitu: 𝐼, 𝜇 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎, 𝜇 𝑘𝑎𝑐𝑎,
𝑥 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎, 𝑥 𝑘𝑎𝑐𝑎 dan 𝑥 𝑎𝑖𝑟. Untuk mempermudah perhitungan ketidakpastian, dapat dibagi
menjadi tiga komponen persamaan yaitu:
𝐼
ln ( 0 )
𝐴= 𝐼
𝑥 𝑎𝑖𝑟
𝜇 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎𝑥𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎
𝐵=
𝑥𝑎𝑖𝑟
𝜇 𝑘𝑎𝑐𝑎 𝑥𝑘𝑎𝑐𝑎
𝐶=
𝑥 𝑎𝑖𝑟
𝜇 𝑎𝑖𝑟 = 𝐴 − 𝐵 − 𝐶
Jika 𝐼0 tidak memiliki ketidakpastian, maka bagian A:
𝜕𝐴 1
=−
𝜕𝐼 𝐼𝑥 𝑎𝑖𝑟
𝐼
𝜕𝐴 ln ( )
𝐼
= 20
𝜕𝑥𝑎𝑖𝑟 𝑥 𝑎𝑖𝑟
𝐼 2
2 ln ( )
2 2( 1 ) 2 𝐼0
𝜎𝐴 = 𝜎𝐼 + 𝜎𝑥𝑎𝑖𝑟 ( 2 )
𝐼𝑥 𝑎𝑖𝑟 𝑥 𝑎𝑖𝑟

Jika 𝐼 diganti menjadi cacah netto:


𝑅𝑛𝑒𝑡𝑡𝑜 2
2 ln ( ̅̅̅ )
2 2 1 2
𝑅0
𝜎𝐴 = 𝜎𝑅𝑛𝑒𝑡𝑡𝑜 ( ) + 𝜎𝑥𝑎𝑖𝑟 ( )
𝑅𝑛𝑒𝑡𝑡𝑜 .𝑥 𝑎𝑖𝑟 𝑥 2𝑎𝑖𝑟

Jika 𝐼0 memiliki ketidakpastian independen:


2
𝑅
2 ln ( 𝑛𝑒𝑡𝑡𝑜,𝑖
̅̅̅ ) 2
2 2 1 2
𝑅0 2 1
𝜎𝐴,𝑖 = 𝜎𝑅𝑛𝑒𝑡𝑡𝑜,𝑖 ( ) + 𝜎𝑥𝑎𝑖𝑟 ( ) + 𝜎̅̅
𝑅̅̅ (
0 ̅̅̅
)
𝑅𝑛𝑒𝑡𝑡𝑜,𝑖 . 𝑥 𝑎𝑖𝑟 𝑥 2𝑎𝑖𝑟 𝑅0𝑥𝑎𝑖𝑟

Bagian B:

𝜎𝜇 2 𝜎𝑥 2 𝜎𝑥 2
𝜎𝐵,𝑖 = 𝐵√( 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 ) + ( 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 ) + ( 𝑎𝑖𝑟 )
𝜇 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 𝑥 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 𝑥𝑎𝑖𝑟

Bagian C:

𝜎𝜇 2 𝜎𝑥 2 𝜎𝑥 2
𝜎𝐶,𝑖 = 𝐶 √( 𝑘𝑎𝑐𝑎 ) + ( 𝑘𝑎𝑐𝑎) + ( 𝑎𝑖𝑟 )
𝜇 𝑘𝑎𝑐𝑎 𝑥 𝑘𝑎𝑐𝑎 𝑥 𝑎𝑖𝑟

70
Ketidakpastian total koefisien atenuasi air untuk tiap variasi ketebalan air:

2 2 2
𝜎𝜇𝑎𝑖𝑟,𝑖 = √𝜎𝐴,𝑖 + 𝜎𝐵,𝑖 + 𝜎𝐶,𝑖

c. Ketinggian Fluida
𝐼
ln ( 0 ) − 𝜇 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 𝑥𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 − 𝜇 𝑘𝑎𝑐𝑎𝑥𝑘𝑎𝑐𝑎
𝑥 𝑎𝑖𝑟 = 𝐼
𝜇 𝑎𝑖𝑟
Dengan menggunakan pendekatan yang sama dengan poin b maka:
𝐼 𝑅0
ln ( 0 ) ln ( 𝑅 )
𝐼 𝑛𝑒𝑡𝑡𝑜 , 𝑟
𝐴= ≈
𝜇 𝑎𝑖𝑟 𝜇 𝑎𝑖𝑟
𝜇 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎𝑥𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎
𝐵=
𝜇 𝑎𝑖𝑟
𝜇 𝑘𝑎𝑐𝑎 𝑥𝑘𝑎𝑐𝑎
𝐶=
𝜇 𝑎𝑖𝑟
𝑥 𝑎𝑖𝑟 = 𝐴 − 𝐵 − 𝐶
Jika 𝐼0 tidak memiliki ketidakpastian, maka bagian A:
𝑅𝑛𝑒𝑡𝑡𝑜,𝑟 2
2 ln ( ̅̅̅ )
2 2 1 2
𝑅0
𝜎𝐴,𝑟 = 𝜎𝑅𝑛𝑒𝑡𝑡𝑜,𝑟 ( ) + 𝜎𝜇𝑎𝑖𝑟 ( 2 )
𝑅 𝑛𝑒𝑡𝑡𝑜,𝑟 . 𝜇 𝑎𝑖𝑟 𝜇 𝑎𝑖𝑟

Jika 𝐼0 memiliki ketidakpastian independen:


2
𝑅
2 ln ( 𝑛𝑒𝑡𝑡𝑜,𝑟
̅̅̅ ) 2
2 2 1 2
𝑅0 2 1
𝜎𝐴 = 𝜎𝑅𝑛𝑒𝑡𝑡𝑜,𝑟 ( ) + 𝜎𝜇𝑎𝑖𝑟,𝑟 ( ) + 𝜎̅̅
𝑅̅̅ (
0 ̅̅̅
)
𝑅𝑛𝑒𝑡𝑡𝑜,𝑟 . 𝜇 𝑎𝑖𝑟 𝜇 2𝑎𝑖𝑟 𝑅0 𝜇𝑎𝑖𝑟

Bagian B:

𝜎𝜇𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 2 𝜎𝑥 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 2 𝜎𝜇𝑎𝑖𝑟 2


𝜎𝐵 = 𝐵√( ) +( ) +( )
𝜇 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 𝑥 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 𝜇 𝑎𝑖𝑟

Bagian C:

𝜎𝜇 2 𝜎𝑥 2 𝜎𝜇 2
𝜎𝐶 = 𝐶 √( 𝑘𝑎𝑐𝑎 ) + ( 𝑘𝑎𝑐𝑎 ) + ( 𝑎𝑖𝑟 )
𝜇 𝑘𝑎𝑐𝑎 𝑥𝑘𝑎𝑐𝑎 𝜇 𝑎𝑖𝑟

Ketidakpastian total:

𝜎𝑥𝑎𝑖𝑟 = √𝜎𝐴2 + 𝜎𝐵2 + 𝜎𝐶2

71
Daftar Lambang dan Singkatan DPR 07-08
Simbol Kuantitas Satuan
𝐼 Intensitas radiasi pada jarak x radiasi per satuan
luas
𝐼0 Intensitas radiasi pada jarak 0 (sumber menyentuh jendela radiasi per satuan
detektor) luas
𝜇 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 Koefisien atenuasi linier udara satuan panjang-1
𝜇 𝑎𝑖𝑟 Koefisien atenuasi linier air satuan panjang-1
𝜇 𝑘𝑎𝑐𝑎 Koefisien atenuasi linier kaca satuan panjang-1
𝑥 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 Tebal udara satuan panjang
𝑥 𝑎𝑖𝑟 Tebal air satuan panjang
𝑥𝑘𝑎𝑐𝑎 Tebal kaca satuan panjang
𝜎𝜇𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 Ketidakpastian koefisien atenuasi linier udara satuan panjang-1
𝜎𝜇𝑎𝑖𝑟 Ketidakpastian koefisien atenuasi linier air satuan panjang-1
𝜎𝜇𝑘𝑎𝑐𝑎 Ketidakpastian ketebalan pengukuran linier kaca, bergantung satuan panjang-1
jenis alat ukur
𝜎𝑋𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 Ketidakpastian ketebalan pengukuran udara, bergantung jenis satuan panjang
alat ukur
𝜎𝑋𝑎𝑖𝑟 Ketidakpastian ketebalan pengukuran air, bergantung jenis satuan panjang
alat ukur
𝜎𝑋𝑘𝑎𝑐𝑎 Ketidakpastian ketebalan pengukuran kaca, bergantung jenis satuan panjang
alat ukur
𝑅𝑛𝑒𝑡𝑡𝑜,𝑖 Laju cacah netto rerata pada ketebalan medium sebesar i cacah per satuan
satuan panjang waktu
𝑅0 Laju cacah netto rerata pada ketebalan medium 0 cm (sumber cacah per satuan
menyentuh jendela detektor) waktu
𝑖 Indeks pengukuran pada medium dengan ketebalan tertentu -
𝑟 Indeks ketebalan air real pada pengukuran ketinggian fluida -

72
5. PERCOBAAN 09-10
PEMANFAATAN SISTEM SPEKTROSKOPI GAMMA DENGAN MULTI-
CHANNEL ANALYZER (MCA) DAN DETEKTOR NaI(Tl)

TUJUAN
1. Menentukan HV optimum dari resolusi dan peak to valley ratio sistem spektroskopi
2. Membuat dan menentukan grafik serta persamaan kalibrasi energi
3. Membuat dan menentukan grafik serta persamaan kalibrasi efisiensi
4. Menentukan unsur dan aktivitas radioisotop sumber X

DASAR TEORI
1. Sistem Spektroskopi Gamma
Spektroskopi adalah metode pengukuran radiasi yang bertujuan untuk mengukur
distribusi energi partikel radiasi, yang kemudian dapat disajikan dalam sebuah spektrum radiasi
(Tsoulfanidis & Landsberger, 2015). Dengan memanfaatkan keunikan jumlah, jenis, dan energi
radiasi yang dipancarkan dari suatu radionuklida, metode spektroskopi dapat digunakan untuk
identifikasi dan menentukan kadar radionuklida-radionuklida. Metode ini dapat digunakan
untuk seluruh jenis partikel radiasi, baik partikel alfa, beta, gamma, maupun neutron. Pada
percobaan ini, dimanfaatkan sistem spektroskopi gamma untuk menentukan unsur dan aktivitas
dari radioisotop yang tidak diketahui.

Bagan 5.1. Skema penampang detektor sintilasi

(Tsoulfanidis & Landsberger, 2015)

73
Sistem spektroskopi gamma digunakan untuk pengukuran yang bersifat analisis, baik
kualitatif maupun kuantitatif. Salah satu aplikasi yang paling umum adalah menganalisis jenis
dan kadar unsur radioaktif yang terkandung di dalam suatu bahan dari hasil pencacahan dan
spektrum energi gamma. Aplikasi lain mencakup deteksi dan analisis sinar gamma kosmik.
Detektor yang umum digunakan dalam spektroskopi gamma adalah detektor sintilasi NaI(Tl).
Terdapat beberapa langkah pengolahan partikel radiasi menjadi suatu spektrum energi
radiasi. Radiasi gamma yang ditangkap oleh zat aktif detektor NaI(Tl) dikonversi menjadi
sinyal listrik hingga dapat ditampilkan sebagai spektrum energi radiasi yang terdiri dari kanal-
kanal. Langkah-langkah ini secara singkat adalah (Knoll, 2000):
1. Radiasi gamma berinteraksi dengan detektor sintilasi NaI(Tl), menghasilkan pancaran
cahaya tampak;
2. Cahaya tampak dikonversi menjadi elektron, kemudian dimultiplikasi oleh dinoda-
dinoda dalam Photomultiplier Tube (PMT);
3. Elektron-elektron dikirim melalui dinoda dalam bentuk pulsa listrik ke komponen
preamplifier;
4. Preamplifier menghilangkan derau dan membentuk pulsa (pulse shaping) dengan juga
menjaga tegangan;
5. Pulsa kemudian dikirim ke amplifier untuk dikuatkan tegangannya;
6. Pulsa kemudian didiskriminasi dan dicacah sesuai tegangan ke dalam kanal-kanal;
7. Spektrum hasil ditampilkan;

Bagan 5.2. Komponen elektronik untuk sistem spektroskopi gamma dengan detektor NaI(Tl)
(IAEA, 1989)

Komponen elektronik yang umum digunakan pada sistem spektroskopi gamma yang
memanfaatkan Multi-Channel Analyzer (MCA) digambarkan pada Bagan 5.2. MCA adalah
piranti diskriminator yang dikembangkan untuk dapat mengolah pulsa-pulsa listrik ke dalam

74
kanal-kanal sesuai tegangan pulsa masuk secara langsung. Berbeda dengan Single Channel
Analyzer (SCA) yang hanya dapat memanfaatkan satu kanal dalam satu waktu, MCA dapat
mendistribusi pulsa-pulsa secara langsung karena memiliki komponen Analog to Digital
Converter (ADC) dan memori yang dapat langsung mengatur banyak Lower Level
Discriminator (LLD) dan Upper Level Discriminator (ULD) untuk kanal-kanal. Dengan MCA,
spektrum energi dari sumber radioaktif multi-energi atau multi-isotop dapat dibuat dengan lebih
mudah.

Bagan 5.3. Diagram blok komponen MCA


(Knoll, 2000)

Terdapat beberapa komponen penting penyusun MCA, yang di antaranya: penunda,


SCA, gerbang linier, gerbang masukan, ADC, clock waktu hidup, memori, dan tampilan (Bagan
5.3). Pulsa listrik sebagai masukan masuk untuk kemudian dialirkan kepada penunda dan SCA.
SCA berfungsi untuk mendiskriminasi derau dari masukan, untuk kemudian menghasilkan
keluaran bebas derau yang berfungsi sebagai pembuka gerbang linier. Pen unda digunakan
untuk menunda sinyal yang masuk agar dapat masuk bersamaan dengan sinyal keluaran d ari
SCA. Dengan ini, pulsa listrik hanya akan diteruskan melalui gerbang linier jika bukan
merupakan derau elektronik. Pulsa listrik yang berhasil melewati gerbang linier kemudian
dikirim ke gerbang masukan.
ADC berfungsi untuk mengubah pulsa listrik (sinyal analog) menjadi sin yal digital,
sesuai dengan bit-rate MCA. Bila ADC berada dalam keadaan tidak sedang bekerja (“tidak
sibuk”), maka ADC akan mengirim sinyal pada gerbang masukan agar terbuka dan membiarkan
pulsa listrik masuk. Sinyal yang bergerak meuju gerbang masukan saat ia tertutup akan
hilang/tidak terbaca. Clock waktu hidup merupakan perangkat clock yang menunjukkan waktu
kerja detektor yang sebenarnya, karena sinyalnya hanya akan dicacah bila gerbang masukan
75
terbuka (ADC sedang tidak bekerja). Sinyal keluaran ADC kemudian masuk ke memori untuk
disimpan dan dikelompokkan berdasarkan kanal-kanal yang ada. Hasil dalam memori
kemudian ditampilkan dalam tampilan khusus pada komputer.
Rangkaian MCA kini telah dibuat terintegrasi pada slot komputer. Dengan perangkat
lunak khusus, komputer dapat berfungsi sebagai pengatur dari MCA dan sebagai layar tampilan
keluaran MCA. Pada percobaan ini, digunakan Easy-MCA 8K keluaran ORTEC yang
terintegrasi dengan perangkat lunak Maestro-32, yang digunakan untuk analisis. Tampilan awal
dan fitur Maestro-32 dapat dilihat pada Gambar 5.1.

Gambar 5.1. Tampilan layar Maestro-32

Keterangan fitur-fitur Maestro-32 sebagai berikut :

1. Tittle bar, menunjukan nama program dan nama sumber dengan spektrum yang berada
pada tampilan jendela komputer.
2. Menu bar, terdiri dari beberapa pilihan opsi yang dapat digunakan untuk pengaturan
analisis, perhitungan, dan lainnya.
3. Tool bar, berada dibawah menu bar yang terdiri dari tombol-tombol yang digunakan
ketika menginginkan kembali (recall) spektrum, menyimpan file, menjalankan dan
menghentikan akuisisi data, serta mengatur skala spektrum baik vertikal maupun
horizontal.

76
4. Detector list, menampilkan daftar detektor yang sedang aktif atau buffer, untuk dilihat
hasil pencacahan dan spektrumnya.
5. Spektrum area, merupakan daerah yang menampilkan deretan spektrum-spektrum yang
berasal dari sumber yang dicacah.
6. Expanded spektrum view, menunjukan semua atau sebagian dari histogram.
7. Status side bar, menyediakan informasi mengenai waktu pencacahan, jam dan tanggal
dilakukannya pencacahan, serta sejumlah tombol yang digunakan untuk memindahkan
dengan mudah puncak-puncak spektrum, Region of Interest (ROI) dan catatan pada
library.
8. Information line, berada di bawah spektrum dan menunjukkan penanda kanal, energi,
cacah pada kanal tersebut, serta informasi mengenai ROI.
9. Peak Info, menunjukan segala informasi mengenai ROI, di antaranya: nomor kanal
puncak, energi pada puncak, Full-Width at Half Maximum (FWHM), dan laju cacah
netto.

2. Kinerja Sistem Spektroskopi Gamma


Kinerja dari suatu sistem spektroskopi dinilai dari beberapa parameter, di antaranya
adalah parameter resolusi dan nilai peak to valley ratio. Resolusi adalah lebar dari distribusi
tegangan pulsa yang didapat dari partikel radiasi sumber monoenergi (Tsoulfanidis &
Landsberger, 2015). Secara aplikatif, resolusi adalah kemampuan dari sistem spektroskopi
untuk membedakan antara puncak-puncak spektrum energi. Resolusi dihitung dengan
persamaan (5.1) berikut ini:
𝐹𝑊𝐻𝑀
𝑅𝑒𝑠𝑜𝑙𝑢𝑠𝑖(%) = × 100% (5.1)
𝑁𝑜𝑚𝑜𝑟 𝑘𝑎𝑛𝑎𝑙 𝑝𝑢𝑛𝑐𝑎𝑘
Di lain pihak, Peak to valley ratio adalah perbandingan antara cacah puncak dengan
cacah lembah suatu spektrum energi. Parameter ini menggambarkan seberapa dekat spektrum
yang dapat dihasilkan sistem dibandingkan dengan spektrum energi gamma yang ideal.
Parameter ini didefinisikan dengan persamaan (5.2) berikut:
𝑐𝑎𝑐𝑎ℎ 𝑝𝑢𝑛𝑐𝑎𝑘
𝑃𝑒𝑎𝑘 𝑡𝑜 𝑣𝑎𝑙𝑙𝑒𝑦 𝑟𝑎𝑡𝑖𝑜 = (5.2)
𝑐𝑎𝑐𝑎ℎ 𝑙𝑒𝑚𝑏𝑎ℎ
Nilai dari kedua parameter ini sangat bergantung pada nilai tegangan pada HVPS dan
nilai amplifikasi pada amplifier. Perubahan HV maupun amplifikasi akan mempengaruhi
kinerja dari sistem spektroskopi itu sendiri. Oleh karena itu, perlu dicari nilai HV dengan
amplifikasi yang menghasilkan kinerja terbaik, atau disebut HV optimum.

77
3. Kalibrasi Energi dan Efisiensi
Hal-hal pokok yang harus diketahui untuk mengidentifikasi suatu unsur radionuklida
adalah jenis radiasi, energi radiasi, dan waktu paruhnya. Untuk menentukan jenis radiasi, dapat
dipilih detektor yang mengeliminasi jenis-jenis radiasi tertentu atau hanya menerima jenis-jenis
radiasi tertentu. Detektor dapat diberi pelapis agar dapat menyaring radiasi-radiasi lain dan
hanya menyerap radiasi gamma. Untuk menentukan energi radiasi, alat perlu dikalibrasi
terlebih dahulu dengan sumber standar. Energi dari sumber radiasi standar yang telah diketahui
lalu dapat diplot terhadap nomor kanal puncak spektrum hasil keluaran sistem spektroskopi.
Kolerasi dari kedua variabel ini lalu dapat ditentukan dengan membuat persamaan kalibrasi
energi. Pada Grafik 5.1, dicontohkan sebuah grafik kalibrasi energi dengan uji kalibrasi
menggunakan tiga partikel gamma, beserta persamaan kalibrasi energi. Persamaan kalibrasi
energi ini dapat digunakan untuk menentukan energi suatu unsur radionuklida tak dikenal,
selama diketahui nomor kanal puncaknya dari sistem spektroskopi.
1400

1200
y = 0,189x
1000 R² = 1
Energi (keV)

800

600

400

200

0
0 2000 4000 6000 8000
Nomor Kanal

Grafik 5.1. Grafik kalibrasi energi dengan pengujian tiga partikel gamma

Untuk menentukan waktu paruh dari suatu radionuklida, diperlukan pencacahan untuk
menentukan aktivitasnya terlebih dahulu. Ini sesuai dengan konsep peluruhan radioaktif yang
dirumuskan dengan persamaan (5.3) berikut:
𝑑𝑁
= −𝜆𝑁 (5.3)
𝑑𝑡
dengan λ adalah konstanta peluruhan radioaktif, dan N adalah jumlah nuklida radioisotop yang
bersangkutan. Persamaan ini dapat diselesaikan untuk kemudian menghasilkan persamaan
jumlah nuklida suatu radioisotop pada suatu waktu (t = t) sebagai fungsi jumlah awal
radionuklida pada waktu awal (t = 0):

78
𝑁𝑡 = 𝑁0 𝑒 −𝜆𝑡 (5.3a)
Didefinisikan aktivitas (A) suatu radionuklida dengan persamaan berikut:

𝐴 = 𝜆𝑁 (5.4)
Sehingga,

𝐴𝑡 = 𝐴0 𝑒 −𝜆𝑡 (5.4a)
Umur paruh (T1/2) adalah waktu yang diperlukan untuk jumlah suatu radionuklida
meluruh menjadi setengahnya, didefinsikan pada persamaan (5.5). Dari definisi ini, persamaan
(5.4a) dapat dimodifikasi untuk mendapatkan persamaan (5.4b):

ln (2)
𝜆= (5.5)
𝑇1/2
𝑇 (5.4b)
1 𝑇1/2
𝐴𝑡 = 𝐴0 [ ]
2
Tentunya dalam pengukuran aktivitas dengan sistem spektroskopi, tidak semua radiasi
dari peluruhan sumber radioaktif dapat tercacah dan ditampilkan dalam spektrum. Efisiensi (ε)
didefinisikan sebagai perbandingan antara cacah yang didapatkan sebagai keluaran sistem
terhadap laju peluruhan yang dialami oleh radionuklida pada waktu tersebut, atau dalam bahasa
matematika tertulis pada persamaan (5.6);

𝐶𝑎𝑐𝑎ℎ (𝑐𝑝𝑠)
𝜀 (%) = × 100% (5.6)
𝐴𝑡 (𝑑𝑝𝑠)
Nilai dari efisiensi pencacahan akan berbeda-beda untuk tiap energi radiasi yang masuk
pada detektor. Ini karena tiap-tiap energi radiasi memiliki karakteristik interaksi yang berbeda-
beda dengan detektor dan benda-benda di sekitarnya. Oleh karena itu, diperlukan adanya
kalibrasi efisiensi sistem spektroskopi yang dapat memetakan korelasi efisiensi pencacahan
sistem spektroskopi dengan energi radiasi yang masuk. Analog dengan kalibrasi energi,
digunakan sumber standar untuk uji kalibrasi, lalu disusun grafik dan persamaan kalibrasi
efisiensi, yang dicontohkan pada Grafik 5.2 di bawah.

79
Grafik 5.2. Contoh grafik kalibrasi efisiensi sistem spektroskopi dengan sumber standar Ra 226

(Daraban, et al., 2013)


METODE PERCOBAAN
1. Alat dan Bahan
a. Sumber radiasi: Cs137 standar, Co 60 standar, dan sumber X
b. Detektor Sintilasi: NaI(Tl) Crystal Phototube Assembly (CPA) dan Photomultiplier
Tube (PMT)
c. High Voltage Power Supply (HVPS) ORTEC 556
d. Pre-Amplifier ORTEC Model 113
e. Amplifier ORTEC 575A
f. Bin ORTEC 4001C
g. Easy-MCA 8K ORTEC
h. Seperangkat komputer dengan Maestro-32
2. Langkah Percobaan

Bagan 5.1 Skema alat percobaan 09-10

80
a. DPR 09 – Menentukan HV Optimum Sistem Spektroskopi
Persiapan
1) Peralatan dirangkai seperti skema pada Bagan 5.1;
2) Pastikan kabel telah tersambung dengan benar, lalu periksakan kembali kepada asisten
sebelum menyalakan rangkaian alat;
3) Nyalakan alat dengan mengaktifkan tombol ON;
4) Atur waktu Live Time pada “MCB Properties” di opsi “Acquire” sebesar 25 detik.

Pengaruh HVdan Amplifikasi terhadap Resolusi dan Peak to Valley Ratio


1) Atur HV pada 700 volt;
2) Sumber Co 60 diletakkan dengan jarak sedekat mungkin tanpa menempel detektor;
3) Mainkan Course dan Fine Gain pada amplifier, dengan besar dari penguatan adalah
perkalian nilai dari course dan fine gain;
4) Tekan Start, kemudian pada layar akan muncul spektrum energi. Buatlah Region of
Interest (ROI) untuk puncak-puncak energi sumber pada spektrum energi untuk
menampilkan Peak Info;
5) Coba lakukan pencacahan untuk nilai penguatan yang lain. Carilah nilai penguatan yang
akan menghasilkan spektrum yang baik dari segi nomor kanal puncak, FWHM, dan
cacahnya;
6) Catat nilai net count rate (laju cacah netto), nomor kanal puncak, energi, dan FWHM
dari Peak Info, lalu screenshoot layar komputer untuk tiap Peak Info;
7) Ganti sumber dengan Cs 137, hapus ROI sebelumnya, kemudian tekan start pada
penguatan yang sama;
8) Lakukan langkah ke-4 dan ke-6 untuk sumber Cs137;
9) Catat nilai cacah puncak dan cacah lembah spektrum energi Cs 137 dengan
menggerakkan kursor garis pada layar program dengan tombol kanan dan kiri pada
keyboard;
10) Lakukan pencacahan cacah puncak dan cacah lembah sebanyak 5 kali;
11) Lakukan kembali langkah ke-2 hingga ke-10 pada nilai HV berbeda, yaitu pada 750,
800, 850, dan 900 volt.

81
Penentuan HV Optimum dari Nilai Resolusi dan Peak to Valley Ratio
1) Hitung nilai resolusi dengan data yang telah diukur pada tiap HV;
2) Hitung nilai peak to valley ratio dari rerata cacah yang telah diukur pada tiap HV;
3) Tentukan HV optimum dengan mempertimbangkan nilai resolusi dan peak to valley
ratio tiap HV.

b. DPR 10 – Menentukan Unsur dan Aktivitas Sumber X


Pencacahan dan Identifikasi Sumber X
1) Atur HV dan besar nilai course serta fine gain sesuai HV optimum dan penguatannya
yang telah ditentukan sebelumnya;
2) Gunakan data pencacahan Co 60 dan Cs137 pada HV optimum sebelumnya untuk kalibrasi
energi dengan fungsi Calibrations pada Maestro-32;
3) Sumber X diletakkan sedekat mungkin dengan detektor tanpa menempel detektor;
4) Tekan start untuk memulai pencacahan, kemudian akan terlihat spektrum sumber X
dengan puncak-puncak energinya;
5) Buatlah ROI untuk tiap puncak-puncak energinya, kemudian catat nilai energi dan
nomor kanal puncak tiap ROI.

Pengukuran Aktivitas Sumber X


1) Catat nilai laju cacah netto untuk tiap ROI;
2) Lakukan pencacahan hingga didapat 5 nilai laju cacah netto untuk tiap ROI;
3) Hitung rerata dan standar deviasi dari laju cacah netto tiap ROI.

ANALISIS DATA
1. Pengaruh HV dan Amplifikasi terhadap Resolusi dan Peak to Valley Ratio
1) Buatlah grafik nilai resolusi vs HV dari Tabel 5.2 laporan sementara. Jelaskan fenomena
yang tampak pada grafik. Apakah ada perubahan terhadap nomor kanal puncak seiring
berubahnya HV? Mengapa?
2) Buatlah grafik nilai peak to valley ratio vs HV dari Tabel 5.3 laporan sementara.
Jelaskan fenomena yang tampak pada grafik. Apakah ada perubahan terhadap cacah
puncak seiring berubahnya HV? Mengapa?
3) Tentukan HV optimum dari data resolusi dan peak to valley ratio. Jelaskan alasan
memilih HV tersebut.

82
2. Kalibrasi Energi dan Identifikasi Sumber X
1) Buatlah grafik kalibrasi energi radiasi vs nomor kanal puncak spektrum dengan data
dari sumber standar Co 60 dan Cs137. Tentukan juga persamaan kalibrasi energi dengan
regresi linier.
2) Berdasarkan nomor kanal puncak sumber dari percobaan, tentukan energi puncak-
puncak spektrum sumber X menggunakan persamaan kalibrasi energi.
3) Berdasarkan energi-energi spektrum sumber X yang telah ditentukan dan waktu paruh
yang akan disediakan, tentukan radionuklida-radionuklida apa saja yang ada pada
sumber X. Bantu alasan pemilihan dengan tampilan skema peluruhan, rantai peluruhan,
atau data lainnya dari referensi.
4) Bandingkan energi-energi spektrum sumber X dari persamaan garis kalibrasi dan dari
hasil keluaran MCA, dengan energi-energi dari sumber referensi. Jelaskan seberapa
jauh ketelitian hasil percobaan.
3. Kalibrasi Efisiensi dan Aktivitas Sumber X
1) Buatlah grafik kalibrasi efisiensi vs energi radiasi dengan data dari sumber standar Co60
dan Cs137, serta bantuan persamaan (5.6) untuk menghitung efisiensi pencacahan.
Tentukan juga persamaan kalibrasi efisiensi dengan metode regresi. Jelaskan fenomena
apa yang terjadi dari grafik kalibrasi efisiensi;
2) Hitung efisiensi pencacahan untuk tiap radionuklida sumber X dari persamaan kalibrasi
efisiensi;
3) Hitunglah aktivitas absolut untuk tiap energi radiasi dari spektrum sumber X dengan
data rerata laju cacah netto dan standar deviasinya, serta efisiensi dari langkah
sebelumnya;
4) Sajikan hasil perhitungan efisiensi dan aktivitas absolut dari langkah ke -2 dan ke-3
dalam tabel;
5) Tentukan aktivitas sumber X, dan bandingkan nilai aktivitas hasil pengukuran dengan
aktivitas dari perhitungan dengan rumus peluruhan radioaktif. Apakah sudah sesuai?
Mengapa bisa terjadi perbedaan? Apa sebenarnya fungsi diperhitungkannya efisiensi
pada pencacahan dengan sistem spektroskopi?

83
SOAL-SOAL PENGAYAAN
1. Hitunglah resolusi dan peak to valley ratio dari spektrum Cs137 pada Grafik 5.3! Jelaskan
juga mengapa ada penunjuk untuk backscatter dan tepi Compton pada spektrum
tersebut.

Grafik 5.3. Spektrum dari sumber standar Cs 137

(EG&G ORTEC, 1987)

2. Jelaskan jenis-jenis efisiensi deteksi sumber radioaktif!


3. Suatu saat, Anda sebagai seorang ahli limbah radioaktif berkelana ke lokasi terjadinya
kecelakaan reaktor nuklir Fukushima dengan membawa surveymeter. Di tengah
keingintahuan Anda terhadap kejadian-kejadian yang terjadi saat dan pasca-kecelakaan,
Anda menemukan serpihan logam yang berkilau dari kejauhan. Rasa keingintahuan
Anda terhadap logam tersebut memuncak. Bagaimana cara Anda tahu jenis dan kadar
dari logam tersebut? (Jawaban dalam bentuk prosa/paragraf, poin-poin, atau bagan alir)
4. Pada Grafik 5.4. dilakukan pencacahan sumber cobalt-60 menggunakan detektor
Ge(Li). Garis tebal merupakan spektrum yang didapatkan dari rangkaian detektor

84
Ge(Li) yang sudah dimodifikasi menjadi rangkaian anti-compton. Sedangkan garis
putus-putus didapatkan dari rangkaian detektor Ge(Li) biasa.
a. Jelaskan yang dimaksud dengan rangkaian detektor anti-compton dan
bagaimana cara membuatnya serta apa manfaatnya!
b. Jelaskan identitas puncak dari A s/d I, perkirakan energi dari masing-masing
puncak tersebut, kemudian identifikasi mengapa puncak-puncak tersebut berada
pada energi tersebut?

Grafik 5. 4. Spektrum dari Co 60.

85
DAFTAR PUSTAKA
Daraban, L., Iancu, D., Nita, D. & Daraban, L., 2013. Efficiency Calibration in Gamma
Spectrometry by Using Th232 Series Radionuclides. Romanian Journal of Physics, Volume
58, pp. S99-S107.
EG&G ORTEC, 1987. AN34 Experiments in Nuclear Science Laboratory Manual. 3rd
penyunt. Oak Ridge: EG&G ORTEC.
IAEA, 1989. Nuclear Electronics Laboratory Manual (IAEA-TECDOC-530). Vienna: IAEA.
Knoll, G. F., 2000. Radiation Detection and Measurement. 3rd penyunt. New York: John
Wiley & Sons, Inc..
Tsoulfanidis, N. & Landsberger, S., 2015. Measurement & Detection of Radiation. 4th
penyunt. New York: CRC Press.

86
LAPORAN SEMENTARA
DPR 09- Pengaruh HV dan Amplifikasi terhadap Resolusi
Tabel 5.1. Hasil pengukuran parameter kinerja sistem spektroskopi dengan sumber standar

Nomor
Coarse Fine
HV Sumber Laju Cacah Energi Kanal
Gain Gain 𝑪×𝑭 FWHM
(volt) Radiasi Netto (cps) (keV) Puncak
(C) (F)
Energi

Co 60

Cs137

Co 60

Cs137

Co 60

Cs137

Co 60

Cs137

Co 60

Cs137

Tabel 5.2. Hasil perhitungan resolusi untuk tiap HV

No. HV (volt) Resolusi (%)


1.
2.
3.
4.
5.

87
Pengaruh HV dan Amplifikasi terhadap Peak to Valley Ratio
Tabel 5.3. Hasil pengukuran cacah puncak dan cacah lembah untuk sumber standar Cs137

Peak to
HV Sumber
Cs137 Rerata Valley
(volt) Radiasi
Ratio
Cacah
puncak
Cacah
lembah
Cacah
puncak
Cacah
lembah
Cacah
puncak
Cacah
lembah
Cacah
puncak
Cacah
lembah
Cacah
puncak
Cacah
lembah

Dengan Nilai Resolusi ....................... dan Peak to Valley Ratio .......................


Maka, nilai HV optimum detektor adalah ..........................

88
DPR 10 - Identifikasi dan Pengukuran Aktivitas Sumber X

Tabel 5.4. Hasil informasi dari puncak-puncak energi spektrum sumber X

HV
(volt)
Sumber
No. Energi (keV) Nomor Kanal Puncak Energi
Radiasi
1.
2.
3.
4.
5.
Sumber X
6.
7.
8.
9.
10.

89
Tabel 5.5. Hasil pengukuran laju cacah untuk puncak-puncak energi sumber X

Standar
Sumber Puncak Rerata
Laju Cacah Netto (cps) Deviasi
Radiasi ke- (cps)
(cps)

1.

2.
3.
4.
Sumber 5.
X
6.
7.
8.
9.
10.

NAMA TANGGAL PARAF


KELOMPOK NIM
PRAKTIKAN PRAKTIKUM ASISTEN

90
LAMPIRAN

91
LAMPIRAN A
DAFTAR PUSTAKA TAMBAHAN
Berikut terlampir pustaka dalam bentuk buku, makalah, panduan, atau bacaan umum
yang bisa digunakan untuk pengembangan ilmu selama maupun setelah menempuh praktikum.
Pustaka dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok pustaka konsep dan praktik
deteksi dan pengukuran radiasi, serta kelompok pustaka aplikasi dari deteksi dan pengukuran
radiasi. Tentunya ilmu yang tersedia untuk dipelajari tidak terbatas pada pustaka yang tertera
di panduan ini saja. Daftar ini hanya berfungsi sebagai bantuan.
Pustaka Konsep dan Praktik Deteksi dan Pengukuran Radiasi

Cember, H. & Johnson, T. E., 2009. Introduction to Health Physics. 4th ed. New York:
McGraw-Hill.
EG&G ORTEC, 1987. AN34 Experiments in Nuclear Science Laboratory Manual. 3rd ed.
Oak Ridge: EG&G ORTEC.
Grupen, C. & Buvat, I., 2012. Handbook of Particle Detection and Imaging Volume 1 & 2.
New York: Springer.
International Atomic Energy Agency (IAEA), 1989. Nuclear Electronics Laboratory Manual.
Vienna: IAEA.
Knoll, G. F., 2000. Radiation Detection and Measurement. 3rd ed. New York: John Wiley &
Sons, Inc..
Tsoulfanidis, N. & Landsberger, S., 2015. Measurement & Detection of Radiation. 4th ed.
New York: CRC Press.
Turner, J. E., 2007. Atoms, Radiation, and Radiation Protection. 3rd ed. Weinheim: Wiley-
VCH.
Pustaka Radiometric Dating dan Aplikasi di Hidrologi, Mineralogi, & Geologi

Gopalan, K., 2017. Principles of Radiometric Dating. Cambridge: Cambridge University


Press.
International Atomic Energy Agency (IAEA), 2013. Environmental Isotopes in the
Hydrological Cycle : Principles and Applications Volume 1 - 6. [Online]
Available at: http://www-
naweb.iaea.org/napc/ih/IHS_resources_publication_hydroCycle_en.html
[Accessed 02 July 2020].
Macdougall, D., 2008. Nature's Clocks. Berkeley: University of California Press.
Vértes, A., Nagy, S. & Süvegh, K., 1998. Nuclear Methods in Mineralogy and Geology,
Techniques and Applications. 1998 ed. New York: Springer.

92
Pustaka Aplikasi Deteksi Radiasi pada Bidang Kimia, Biologi, dan Lingkungan

Choppin, G., Liljenzin, J.-O., Rydberg, J. & Ekberg, C., 2013. Radiochemistry and Nuclear
Chemistry. 4th ed. Oxford: Academic Press.
Eisenbud, M. & Gesell, T., 1997. Environmental Radioactivity, From Natural, Industrial, and
Military Sources. 4th ed. San Diego: Academic Press.
Friedlander, G., Kennedy, J. W., Macias, E. S. & Miller, J. M., 1981. Nuclear and
Radiochemistry. 3rd ed. New York: John Wiley & Sons.
Hall, E. J. & Giaccia, A. J., 2006. Radiobiology for the Radiologist. 6th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins.
Pustaka Uji Tak-Merusak Radiografi

Bossi, R. H., Iddings, F. A., Wheeler, G. C. & Moore, P. O., 2002. Nondestructive Testing
Handbook Volume 4: Radiographic Testing. 3rd ed. Columbus: American Society for
Nondestructive Testing.
Hull, B. & John, V., 1988. Non-Destructive Testing. London: Macmillan Education.
Pustaka Deteksi Radiasi pada Reaktor Nuklir

Harrer, J. M. & Beckerley, J. G., 1973. Nuclear Power Reactor Instrumentation System
Handbook Volume 1 & 2. Oak Ridge: U. S. Atomic Energy Commision.
Siegel, R. T., 1958. High Energy Neutron Detectors. In: S. Flugge & E. Creutz, eds.
Encyclopedia of Physics Volume XLV: Nuclear Instrumentation II. Berlin: Springer-Verlag,
pp. 487-517.
Pustaka Aplikasi Bidang Fisika Medis

Beyzadeoglu, M., Ozyigit, G. & Ebruli, C., 2010. Basic Radiation Oncology. Heidelberg:
Springer.
Khan, F. M., 2014. Khan's The Physics of Radiation Therapy. 5th penyunt. Philadelphia:
Wolters Kluwer.
Leslie, W. D. & Greenberg, I. D., 2003. Nuclear Medicine. Georgetown: Landes Bioscience.
Podgoršak, E. B., 2005. Radiation Oncology Physics: A Handbook for Teachers and Students.
Vienna: IAEA.
Podgoršak, E. B., 2016. Radiation Physics for Medical Physicists. 3rd ed. Basel: Springer.
Tavernier, S., Getkin, A., Grinyov, B. & Moses, W. W., 2006. Radiation Detectors for
Medical Applications. Dordrecht: Springer.
Thayalan, K., 2014. The Physics of Radiology and Imaging. 1st penyunt. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publishers.

93
LAMPIRAN B
PANDUAN PROTEKSI RADIASI
Bahan radioaktif maupun alat yang dapat menghasilkan radiasi pengion pada Praktikum
Deteksi dan Pengukuran Radiasi selain dapat dimanfaatkan untuk ilmu pengetahuan, juga dapat
menimbulkan kerugian. Kerugian ini dapat bersifat deterministik maupun stokastik. Kerugian
deterministik adalah kerugian yang pasti dirasakan setelah dosis radiasi pada seseorang telah
melebihi nilai tertentu. Contoh kerugian determinisntik adalah luka pada kulit, katarak, dan
kerontokan pada rambut. Di lain pihak, kerugian stokastik adalah kerugian yang secara
probabilistik dirasakan oleh seseorang karena paparan radiasi. Nilai peluang terjadinya
kerugian stokastik akan semakin bertambah dengan bertambahnya dosis, dan tidak ada jaminan
paparan pada dosis rendah tidak menyebabkan efek kerugian. Contoh kerugian stokastik adalah
leukimia, kanker, dan mutasi genetik yang diwariskan pada keturunan.
Untuk mencegah dari kerugian ini, maka perlu diperhatikan beberapa teknik proteksi
radiasi yang berlaku selama Praktikum Deteksi dan Pengukuran Radiasi:
1. Selalu perhitungkan laju dosis yang akan diterima sebelum pelaksa naan praktikum.
Perhitungkan laju dosis dari sumber-sumber radiasi yang akan digunakan pada jarak
aman, yang di Laboratorium TEN adalah pada 30 cm. Hasil dari perhitungan dosis ini
lalu dibandingkan dengan Nilai Batas Dosis (NBD) yang tercantum pada Perka
BAPETEN No. 4 Tahun 2013. Pastikan laju dosis tidak melebihi batas yang telah
ditentukan.
2. Jangan pernah makan, minum, atau merokok di daerah pencacahan atau pengambilan
data di laboratorium. Ini untuk mengurangi risiko masuknya zat radioaktif ke dalam
tubuh. Zat radioaktif yang masuk ke dalam tubuh akan bersifat sebagai sumber internal,
yang dapat merusak jaringan tubuh dari dalam.
3. Selalu gunakan jas laboratorium selama berinteraksi dengan bahan radioaktif, dan
tambahan sarung tangan karet bila bahan radioaktif tidak disegel dalam kemasan. Ingat
selalu tiga prinsip dasar proteksi terhadap radiasi eksternal: gunakan perisai, jaga jarak,
dan perhatikan waktu paparan radiasi.
4. Selalu bekerja bersama seorang pasangan, atau didampingi oleh seorang asisten yang
lebih tahu. Banyak teknik penanganan kejadian atau kecelakaan yang hanya dapat
dilakukan bila berpasangan. Selain itu, bekerja bersama menambah ketelitian dan
kehati-hatian.

94
LAMPIRAN C
CONTOH SAMPUL

DRAF/LAPORAN PRAKTIKUM
DETEKSI DAN PENGUKURAN RADIASI
SEMESTER X, TAHUN AKADEMIK 201X/201X
PRAKTIKUM PERCOBAAN 0X-0X
TENTANG XXXXXXXXXXXXXX
ASISTEN PENGAMPU : NAMA ASISTEN

TANGGAL PRAKTIKUM : 00 JANUARI 20_ _


KELOMPOK PRAKTIKUM : P-1
OLEH : NAMA PRAKTIKAN NIM:YY/XXNIUX/FF/XNIMX
PARTNER : NAMA PARTNER NIM:YY/XXNIUX/FF/XNIMX

LABORATORIUM TEKNOLOGI ENERGI NUKLIR


DEPARTEMEN TEKNIK NUKLIR DAN TEKNIK FISIKA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
20_ _

95
LAMPIRAN D
PEDOMAN PEMBUATAN DRAF
PRAKTIKUM DETEKSI DAN PENGUKURAN RADIASI
SAMPUL
Memuat acara praktikum dan identitas praktikan (bentuk sampul disediakan)

I. TUJUAN PRAKTIKUM
Memuat tujuan praktikum dalam bentuk poin-poin.

II. DASAR TEORI


Berisikan uraian, model matematika, atau persamaan-persamaan yang melandasi acara
praktikum.

III. ALAT DAN BAHAN


Lengkap dengan spesifikasi dan skema alat.

IV. TATA LAKSANA PRAKTIKUM


Berisikan uraian jelas cara menjalankan praktikum dan pengumpulan data.

V. HIPOTESIS
Berisikan pernyataan singkat tentang perkiraan hasil praktikum. Sesuaikan dengan
dasar teori dan engineering sense.

VI. PENGUKURAN DOSIS


Berisikan perhitungan dosis radiasi gamma dengan jarak 30 cm dari sumber. Sumber
yang akan digunakan sesuai dengan yang digunakan pada praktikum. Satuan dosis yang
digunakan adalah µSv.

96
LAMPIRAN E
PEDOMAN PEMBUATAN LAPORAN
PRAKTIKUM DETEKSI DAN PENGUKURAN RADIASI
SAMPUL
Memuat acara praktikum dan identitas praktikan (bentuk sampul disediakan).
ABSTRAK
Memuat secara ringkas permasalahan praktikum, cara praktikum, kesulitan dan hasil
akhir praktikum (tanpa penjabaran), serta kata-kata kunci yang memuat sari dari
praktikum. Ditulis dalam dua bahasa, yakni dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa
Inggris.
I. TUJUAN PRAKTIKUM
Memuat tujuan praktikum dalam bentuk poin-poin.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Berisikan ringkasan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dan berkaitan dengan
tema praktikum yang sedang dilaksanakan. Tinjauan Pustaka yang digunakan berupa
jurnal-jurnal internasional maupun nasional dengan publikasi 5 tahun terakhir.
III. DASAR TEORI
Berisikan uraian tentang hal-hal yang mendasari acara praktikum yang telah dilakukan,
merujuk pada pustaka yang dapat dipertanggungjawabkan. Pustaka yang menjadi
sumber ditunjukkan dengan menuliskan nomor acuan sesuai dengan daftar pustaka, dan
dengan kurung kotak “[nomor]”, sesuai pedoman penulisan IEEE. Pemberian nomor
harus sesuai dengan urutan dituliskannya tulisan tersebut dalam laporan, bukan
mengikuti urutan pada daftar pustaka. Isi dasar teori menyesuaikan asisten praktikum.
IV. PELAKSANAAN PRAKTIKUM
III.1. Alat dan bahan: lengkap dengan spesifikasi dan gambar.
III.2. Skema alat : gambar rangkaian alat.
III.3. Tata laksana : berisikan uraian jelas cara menjalankan praktikum dan
pengumpulan data sesuai dengan kegiatan praktikum. Dibuat dalam bentuk
bagan alir atau flowchart.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1. Hasil praktikum: berupa tabel data, grafik, atau gambar (+ keterangan singkat)
yang dibuat sejelas mungkin agar mudah dipahami.

97
IV.2. Analisis Data : berisikan pengolahan data dan berbagai perhitungan dengan
metode yang sesuai.
IV.3. Pembahasan : berisikan penjelasan tentang hasil praktikum dan analisis data
yang diperoleh, baik secara kualitatif , kuantitatif, maupun statistik.
VI. KESIMPULAN
Menjawab tujuan-tujuan praktikum berdasar hasil dan pembahasan secara singkat.
Kesimpulan adalah rangkuman dari pengalaman praktikum yang mencerminkan
pemahaman terhadap apa yang telah ditulis.
VII. SARAN
Berisi pesan untuk Praktikum Deteksi dan Pengukuran Radiasi, khususnya kepada mata
praktikum terkait.
VIII. DAFTAR PUSTAKA
Menggunakan kurung kotak “[]” untuk setiap sumber bacaan dan harus terdapat kutipan di
bagian laporan untuk setiap sumber yang digunakan. Ini untuk memudahkan proses analisis
data dan menambah pengetahuan praktikan.

98
LAMPIRAN F
DAFTAR RADIONUKLIDA

99
GLOSARIUM
Adsorben: Material yang memiliki Memiliki sifat kimia yang mirip antara satu
kemampuan untuk menyerap bahan atau sama lain.
dalam konteks radiasi nuklir, adsorben adalah
Isotop, Radio-: Isotop dari suatu elemen
material yang digunakan menyerap radiasi.
yang intinya kelebihan energi atau massa,
Atenuasi: Proses berkurangnya intensitas sehingga meluruh untuk mengurangi
suatu radiasi saat melewati suatu materi. energinya hingga ke tingkat stabil.
(Lihat juga Koefisien Atenuasi.)
Koefisien Atenuasi: Fraksi pengurangan dari
Backscatter: Terhamburnya suatu radiasi ke intensitas suatu radiasi per ketebalan materi
arah kebalikan dari arah datangnya. (koefisien atenuasi linier), per densitas materi
(koefisien atenuasi massa), atau per densitas
Efek Fotolistrik: Proses pelepasan elektron,
atom (koefisien atenuasi atomik), karena
yang umumnya pada kulit terdalam atom, oleh
interaksi radiasi dengan materi yang
foton. Energi foton seluruhnya terkonversi
menyebabkan perpindahan energi dari radiasi
menjadi energi pelepasan elektron dan energi
ke materi.
kinetiknya.
Konstanta Peluruhan: Fraksi dari jumlah
Elektron: Partikel bermuatan negatif yang
radionuklida yang meluruh dalam satu satuan
menjadi pembentuk semua atom netral.
waktu; dilambangkan dengan λ. (Lihat juga
Elektron Volt (eV): Satuan energi yang Peluruhan Radioaktif.)
nilainya sama dengan jumlah energi yang
Level Gauging: Pengukuran ketinggian
diterima elektron setelah melewati beda
berdasarkan besar perubahan intensitas radiasi
tegangan 1 volt; 1 eV = 1,6E-19 joule.
sebelum dan setelah melewati materi.
Foton: Suatu pancaran elektromagnetik
Metastabil: Keadaan inti atom yang
dengan energi terkuantisasi sesuai
mengalami kelebihan energi setelah
frekuensinya.
mengalami peluruhan radiasi alfa, beta,
FWHM: Full Width at Half Maximum; maupun neutron sehingga akan melepaskan
perbedaan antara dua nilai ekstrim variabel kelebihan energi dalam bentuk radiasi gamma.
independen di mana nilai variabel dependen
NDT: Non-Destructive Testing; metode
adalah setengah dari nilai maksimumnya.
pemeriksaan kualitas material yang dilakukan
Hamburan Compton: Proses hilangnya tanpa merusak komponen dan fungsinya.
energi dari foton gamma atau sinar x karena
Nomor Atom: Jumlah proton pada inti sebuah
interaksi foton dengan elektron orbital yang
atom. Dilambangkan dengan Z.
menyebabkan elektron terpental keluar orbit
dan foton terhambur dengan energi lebih kecil. Nomor Massa: Jumlah proton dan neutron
pada inti sebuah atom. Dilambangkan dengan
HV: High Voltage (Power Supply); sumber
A.
tegangan tinggi.
Nuklida: Atom yang dinamai sesuai dengan
Ionisasi: Proses berubahnya atom atau
nomor massa, nomor atom, dan keadaan
molekul netral menjadi bermuatan, baik
energinya. Contohnya adalah Ba 137m yang
positif maupun negatif.
menunjukkan atom barium (Z = 56), dengan
Isotop: Kumpulan atom yang memiliki nomor nomor massa (A) 137, dan keadaan energi
atom sama, tetapi nomor massa berbeda. metastabil.
100
Partikel Alfa: Inti He4, atau inti helium yang nuklir, spektrum merujuk pada spektrum
memiliki dua proton dan dua neutron. energi yaitu distribusi energi dari radiasi.
Partikel Beta: Partikel bermassa sama Waktu Paruh: Waktu yang dibutuhkan untuk
dengan elektron, bermuatan -1 atau +1, yang suatu benda radioaktif meluruh menjadi
dikeluarkan dari inti atom atas hasil peluruhan setengah dari jumlah awalnya. Nilainya unik
beta. untuk tiap radionuklida.
Peluruhan Radioaktif: Disintegrasi sebuah
inti dari nuklida tak stabil dengan
mengeluarkan partikel bermuatan dan/atau
foton untuk menuju keadaan stabilnya.
Positron: Partikel yang massanya sama
dengan elektron dan memiliki muatan yang
sama nilainya, tetapi bermuatan positif.
Produksi Pasangan: Proses konversi sinar
gamma atau sinar X di sekitar medan inti atom
menjadi pasangan elektron dan positron. Ini
hanya dapat terjadi bila energi foton melebihi
1,022 MeV.
Resolusi: Perubahan terkecil dalam nilai yang
diukur yang mana instrumen memberi respon.
Sinar Gamma: Radiasi elektromagnetik
dengan panjang gelombang pendek yang
berasal dari inti atom.
Sinar X: Radiasi elektromagmentik dengan
panjang gelombang pendek, lebih pendek
daripada cahaya tampak. Dihasilkan dari
segala sumber selain inti atom, yang itu sinar
gamma. (Lihat juga Sinar Gamma.)
Sintilasi: Pancaran cahaya yang dihasilkan
oleh sebuah materi yang dilewati oleh radiasi.
Sintilator: Material yang dapat mengalami
sintilasi.
Spektroskopi: Ilmu yang mempelajari
mengenai metode menganalisis dan
menghasilkan sebuah spektrum.
Spektrum: Sebuah keadaan atau harga yang
tidak terbatas hanya pada suatu set harga saja
tetapi dapat berubah secara tak terbatas di
dalam sebuah kontinum. Dalam ranah radiasi

101
INDEKS

A 24-26, 31-33, 39, 51-54, 65-66, 69, 70,


77; sinar X, 51-54
Adsorben, 17
I
Atenuasi: backscatter, 76; koefisien, linier,
9, 17, 20-22, 27-28, 51, 53-54; Interaksi sinar gamma: efek fotolistrik, 22,
koefisien, massa, 9-10, 53, 60; secara 51-52; hamburan Compton, 22, 51-52,
umum, 48, 51, 53-54, 57-59, 62-64 76; produksi pasangan, 22, 51-53
D Ionisasi, 1, 48-50
N
Detektor: Geiger-Muller, GM, 1-3, 6-9, 12,
48-51, 56-57, 59-61; photo-multiplier Non-destructive testing: konsep dari,, 54,
tube (PMT), 17-18, 23, 66, 72; sintilasi, 58-60; level gauging, 54
NaI(Tl), 17-18, 20, 23, 28, 41, 43, 48, Nuklida: isotop, radioisotop, 27, 65, 67,
65-68, 72, 75 70-71; nomor atom, 22; nuklida,
E radionuklida, 17-21, 33, 70-71, 75
P
Elektron: fotoelektron, 51; partikel, 1, 2, 4,
17-18, 48-51, 66; pasangan elektron, 52 Peluruhan radioaktif: aktivitas, 4-5, 8, 12,
Elektronika pengukuran: 17-22, 25, 27, 32, 34, 36-39, 42-44, 46,
amplifier/penguat, 23, 41, 66, 69, 72-73; 55, 60, 65, 70-71, 74-75, 80; konstanta,,
counter/pencacah, 3, 6, 7, 23, 41, 56-57; 70; metastabil, 17; sifat acak, 4; waktu
high voltage, HV, 6-8, 23, 41, 48, 51, paruh, 70, 75
56, 66, 69, 72; inverter/pembalik sinyal, R
56; multi-channel analyzer, MCA, 65;
pre-amplifier, 23, 41, 66, 72; single Radiasi bermuatan: alfa, 65; beta,
channel analyzer, SCA, 23, 25, 28, 36, negatron, 1, 4, 6, 8-12, 15, 17, 52, 65;
41-43, 67; timer/pengala, 6-7, 23, 41, positron, 52
56-57 S
F Spektroskopi: FWHM, 18, 26, 69, 73, 78;
Foton: secara umum, 3-4, 51; sinar cahaya resolusi, 18, 24, 26, 29-30, 65, 69, 73-
tampak, 17, 66; sinar gamma, 17, 20-22, 74, 76, 78; sistem,, 17-18, 23, 28, 65-66,
69-73, 75, 78; spektrum, 18-19, 24, 25-
28, 65-71, 73-76, 80

102
SINOPSIS
Seorang insinyur teknik nuklir memiliki kewajiban untuk paham dan menguasai hal-hal
yang berkaitan terhadap deteksi dan pengukuran radiasi. Dengan bertambahnya kebutuhan
dunia terhadap teknologi nuklir dewasa ini, kompetensi ini semakin juga dibutuhkan. Buku
Petunjuk Praktikum Deteksi dan Pengukuran Radiasi menjadi salah satu buku pegangan untuk
pelatihan praktik ilmu deteksi dan pengukuran radiasi.
Buku petunjuk praktikum ini memuat beberapa percobaan yang ditujukan untuk melatih
pemahaman dan keterampilan mahasiswa S1 dalam mendeteksi, mencacah, dan
mengidentifikasi bahan radioaktif. Dimuat dalam buku ini metode deteksi partikel radiasi beta
dan gamma, serta penentuan koefisien atenuasi terhadap radiasi-radiasi ini. Selain itu, dimuat
juga metode penentuan aktivitas sumber radiasi, identifikasi unsur radioaktif dengan
spekstroskopi foton gamma, dan metode deteksi dengan teknik koinsiden. Beberapa peubah
yang berkaitan dengan pengoperasian suatu detektor juga dimuat dalam petunjuk praktikum ini,
misalnya untuk pengoperasian detektor Geiger Muller dan Kristal NaI(Tl).

103

Anda mungkin juga menyukai