Disusun Oleh:
Dr. Ir. Agus Budhie Wijatna, M.Si.
Alkindi Azhar
Agnafan Julian Fortin
Shaffan Haqi
Ghulam Abrar
Muhammad Ilham
Yusuf
Widodo
Deteksi dan Pengukuran Radiasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ilmu
teknik nuklir. Oleh karena itu, mahasiswa teknik nuklir harus memahami dan menguasai
masalah deteksi dan pengukuran radiasi sebagai kompetensi dasar disiplin teknik nuklir. Untuk
mempermudah pelaksanaan Praktikum Deteksi dan Pengukuran Radiasi di Departemen Teknik
Nuklir dan Teknik Fisika Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada maka disusunlah buku
petunjuk praktikum.
Buku petunjuk praktikum ini memuat metode deteksi partikel radiasi bermuatan,
khususnya radiasi alfa dan beta serta deteksi partikel radiasi yang tidak bermuatan yaitu foton
gamma. Selain itu, memuat tentang penentuan koefisien serapan suatu materi terhadap partikel
beta maupun foton gamma. Penentuan aktivitas suatu sumber radiasi dan metode deteksi
dengan teknik koinsiden. Beberapa peubah yang berkaitan dengan pengoperasian suatu
detektor juga dimuat dalam petunjuk praktikum ini, misalnya untuk pengoperasian detektor
Geiger Muller dan Kristal NaI(Tl).
Akhir kata kritik dan saran untuk perbaikan dan penyempurnaan buku petunjuk
praktikum ini sangat kami harapkan.
Penulis
i
TATA TERTIB PRAKTIKUM
1. Praktikan harus memasuki laboratorium tepat pada waktunya. Praktikan yang hadir 10
menit atau lebih dari waktu yang dijadwalkan dinyatakan terlambat. Terlambat dengan
alasan masih dapat mengikuti pratikum setelah mendapat izin oleh koordinator
praktikum, sedangkan terlambat tanpa alasan:
Untuk pertama kali praktikan tidak dapat mengikuti praktikum dan diganti
waktu lain (inhal).
Selebihnya setiap keterlambatan praktikan tidak boleh mengikuti praktikum,
tanpa inhal dan mengumpulkan satu poin kesalahan.
2. Test pendahuluan dari asisten dilaksanakan selama ±1/2 jam sebelum praktikum. Untuk
dapat mengikuti test pendahuluan, praktikan diwajibkan untuk menyerahkan draft dasar
teori dan metode percobaan. Kelulusan test sepenuhnya ditentukan oleh asisten yang
bersangkutan. Jika tidak lulus test pendahuluan maka
untuk pertama kali, praktikan tidak boleh mengikuti ujian praktikum dan diganti
inhal,
selebihnya untuk setiap ketidaklulusan test mengakibatkan praktikan tidak
boleh mengikuti praktikum tanpa inhal dan mengumpulkan satu poin kesalahan.
3. Selama praktikum berlangsung praktikan wajib mengenakan jas lab, bekerja tenang dan
tertib.
4. Setiap selesai praktikum, praktikan wajib menyerahkan laporan sementara rangkap dua
yang telah ditandatangani dan disahkan oleh asisten.
5. Laporan lengkap harus dikumpulkan selambat-lambatnya satu minggu setelah
praktikum sebagai persyaratan untuk mengikuti praktikum berikutnya. Jika laporan
tidak lengkap dan atau terlambat maka
untuk pertama kali, praktikan tidak boleh mengikuti praktikum selanjutnya, dan
harus memperbaiki laporan yang tidak lengkap (harus dikumpulkan seminggu
kemudian);
selebihnya untuk setiap ketidaklengkapan dan atau keterlambatan
mengumpulkan laporan mengekibatkan praktikan tidak boleh mengikuti
praktikum berikutnya, tanpa inhal dan mengumpulkan satu poin kesalahan.
ii
6. Praktikan yang tidak dapat hadir karena alasan yang dapat diterima, diberi kesempatan
satu kali. Ketidakhadiran tanpa alasan menyebabkan praktikan tidak boleh inhal dan
mengumpulkan satu poin kesalahan.
7. Inhal yang lebih dari dua kali ditiadakan.
8. Praktikan dinyatakan gugur dan tidak diijinkan mengikuti praktikum selanjutnya bila
telah:
Mengumpulkan dua poin kesalahan secara berturut-turut. Mengumpulkan dua
poin kesalahan secara tidak berurutan.
9. Setiap kerusakan alat karena kesalahan praktikan menjadi tanggung jawab praktikan.
iii
TATA TERTIB UJIAN PRAKTIK
Koordinator Praktikum
Deteksi dan Pengukuran Radiasi
iv
DAFTAR ISI
i
IV.2. DASAR TEORI ................................................................................................. 30
PERHITUNGAN ............................................................................................................ 34
ii
BAB I
PRAKTIKUM 01 – 02
DETEKTOR GEIGER MULLER
I.1 TUJUAN
1. Membiasakan mahasiswa menggunakan detektor Geiger Muller
2. Membuat kurva plateau dan menentukan tegangan operasi optimum
3. Menentukan waktu pulih detektor (resolving time)
4. Melakukan analisis pengaruh jarak terhadap intensitas radiasi
5. Melakukan pengukuran jangkau energi maksimum zarah beta.
6. Mempelajari sifat statistik dari radiasi nuklir (cacah statistik)
1
dapat ditentukan dengan melihat kurva karakteristik detektor GM, sedang nilai slope dapat
dihitung dengan rumus:
𝑁2 − 𝑁1 100
𝑠= × × 100% = … %⁄100 𝑣𝑜𝑙𝑡
𝑁1 𝑉2 − 𝑉1
dengan
𝑠 adalah slope plateu detektor GM
𝑁1 adalah jumlah laju cacah pulsa pada tegangan pertama (𝑉1 )
𝑁2 adalah jumlah laju cacah pulsa pada tegangan kedua (𝑉2 )
Tabung GM adalah alat yang bekerja lambat. Pada waktu digunakan untuk laju cacah
di atas 5000 cacah/menit, perlu dilakukan koreksi waktu mati (dead time) agar didapatkan laju
cacah sebenarnya. Untuk menentukan waktu mati, digunakan dua buah sumber, yang mana
waktu pulih (resolving time) ditentukan dengan rumus:
𝑁1 + 𝑁2 − 𝑁1,2 − 𝑁𝐵𝑔
𝑇𝑅 =
2𝑁1 𝑁2
dengan
𝑇𝑅 adalah resolving time
𝑁1 adalah jumlah cacah pulsa per menit sumber pertama
𝑁2 adalah jumlah cacah pulsa per menit sumber kedua
𝑁1,2 adalah jumlah cacah kedua sumber besamaan
𝑁𝐵 adalah jumlah cacah pulsa background
Waktu pulih sistem berada dalam orde 30 μs. Dalam percobaan ini perlu diteliti pula
kebenaran jumlah cacah pulsa/menit (true couting rate) yang dapat dinyatakan menurut
persamaan berikut
𝑁
𝑁0 =
1 − 𝑁. 𝑇𝑅
dengan
𝑁0 adalah jumlah cacah sebenarnya
𝑁 adalah jumlah cacah yang tercatat counter
𝑇𝑅 adalah resolving time
2
Dalam radiasi nuklir beberapa hal mempunyai banyak persamaan sifat dengan sinar
biasa. Oleh karena itu keduanya dianggap sebagai pancaran gelombang elektromagnet yang
memenuhi hukum klasik.
𝐸 = ℎ. 𝜈
dengan
𝐸 adalah energi foton
ℎ adalah konstanta Planck 6,624. 1027 erg.sekon
𝜈 adalah frekuensi radiasi
𝑁0 𝑁0
𝐼0 = =
𝐴0 4𝜋𝑅0 2
dengan
𝐼0 adalah intensitas atau laju cacah persatuan luas
𝑁0 adalah laju cacah radiasi/foton
𝐴0 adalah luasan pancaran radiasi atau dalam kasus ini adalah luasan permukaan bola
yang dibentuk oleh radiasi yang menyebar secara isotropik/ke segala arah dengan laju
yang sama pada jarak 𝑅0
Karena 𝑁0 dan 4𝜋 konstan dalam persamaan ini, maka intensitas 𝐼0 akan bervariasi
terhadap jarak 𝑅0 dengan kuadrat terbalik. Percobaan DPR 02 adalah mengukur jangkau dan
menentukan tenaga makimum zarah beta murni. Pengukuran radiasi dari bahan radioaktif yang
mengalami peluruhan (decay) memiliki sifat acak (random) sehingga pengukuran distribusi
statistik dilaksanakan pada percobaan ini.
Proses absorpsi zarah beta oleh bahan adalah sangat rumit, mengingat absorpsi dan
hamburan tidak dapat dilacak secara terpisah. Karena massanya yang sangat kecil, elektron
yang mempunyai massa dengan mudah dihamburkan oleh inti atom. Sehingga simpangan
(straggling) elektron menjadi besar, serta sulit untuk menentukan jangkauannya.
3
Dalam pengukuran absorpsi zarah beta dari sumber beta merupakan ketergantungan
aktivitas atau intensitas terhadap fungsi ketebalan absorben dalam gr/cm². Secara empiris,
hubungan antara tenaga E dengan jangkau R:
𝑔𝑟
𝑅( ⁄𝑐𝑚2 ) = 0,542 𝐸𝑚𝑎𝑥 − 0,133 untuk 𝐸𝑚𝑎𝑥 > 0,8 𝑀𝑒𝑉
𝑔𝑟
𝑅( ⁄𝑐𝑚2 ) = 0,407 𝐸𝑚𝑎𝑥 1,38 untuk 0,15 𝑀𝑒𝑉 < 𝐸𝑚𝑎𝑥 < 0,8 𝑀𝑒𝑉
dengan
𝑅 adalah jangkauan zarah beta
𝐸𝑚𝑎𝑥 adalah energi zarah beta maksimum
Statistika Pencacahan
Sifat acak suatu pengukuran selalu mengikuti distribusi tertentu, sebagai contoh
eksperimen uang logam dan dadu di atas mengikuti distribusi binomial. Bila distribusi binomial
tersebut mempunyai probabilitas sangat kecil maka akan berubah menjadi distribusi Poisson,
sedangkan bila distribusi Poisson tersebut menghasilkan nilai ukur yang besar (beberapa
literatur menuliskan >20) maka berubah menjadi distribusi Gauss (Normal).
Oleh karena aktivitas zat radioaktif bersifat acak mengikuti distribusi Gauss (normal)
maka intensitas radiasi yang terukurpun akan bersifat acak sehingga data hasil pengukurannya
juga akan mengikuti distribusi Gauss. Pengukuran intensitas radiasi yang dilakukan secara
berulang pasti akan memperoleh hasil pengukuran yang berbeda-beda. Yang menjadi
pertanyaan adalah “berapakah nilai ukur yang sebenarnya”.
Dengan fenomena tersebut di atas maka pengukuran intensitas radiasi harus dilakukan
secara berulang, baik beberapa kali atau dalam selang waktu cukup panjang, yang
berartiakumulasi nilai dari pengulangan waktu beberapa detik. Nilai ukur sebenarnya diduga
berada di dalam rentang nilai rata-rata ± nilai simpangannya.
Setiap pengukuran selalu mempunyai kesalahan (error) oleh karena itu hasil
pengukuran atau kalkulasi yang berdasarkan hasil pengukuran harus ditampilkan dalam bentuk
suatu rentang nilai (bukan nilai tunggal). Rentang nilai tersebut adalah ketidak-pastian suatu
pengukuran. Nilai ukur sebenarnya diduga berada di dalam rentang nilai tersebut.
5
Pertanyaannya adalah, “Seberapa yakinkah nilai ukur sebenarnya berada di dalam rentang nilai
tersebut”
Untuk menetukan rentang nilai data, digunakan dua buah terminologi, yaitu:
1. Standart error
Didefinisikan sedemikian hingga pada rentang nilai kemungkinan untuk
menemukan nilai yang benar adalah sebesar 68,3%
2. Probable error
Didefinisikan sedemikian hingga pada rentang nilai kemungkinan untuk
menemukan nilai yang benar adalah sebesar 50,0%
Untuk membatasi nilai error yang terjadi pada eksperimen diperlukan suatu pengaturan,
baik pada prosedur eksperimen maupun pada pengaturan instrumen. Salah satu metode untuk
mengurangi error pada pencacahan radiasi, yaitu dengan mengatur waktu pencacahan optimum
yang dibutuhkan untuk mencacah suatu sumber radiasi.
𝑡𝐺 𝑟𝐺
=√
𝑡𝐵 𝑟𝐵
dimana
𝑡𝐺 adalah waktu cacah total
𝑡𝐵 adalah waktu cacah background
𝑟𝐺 adalah laju cacah total
𝑟𝐵 adalah laju cacah background
Waktu cacah optimum ini dipengaruhi oleh laju cacah sumber, laju cacah baground,
dan kondisi instrumentasi yang digunakan.
6
6. Pengala (Timer)
7. Perisai radiasi (Alumunium)
8. Penggaris
9. Dudukan sumber
10. Kabel konektor
DPR-01
A. Menentukan daerah/panjang plateau
1. Susunan rangkaian sistem pencacah pulsa seperti gambar 1.4
2. Periksa sekali lagi hubungan tersebut dengan meminta bantuan asisten agar dapat
diperiksa sebelum alat tersebut dioperasikan
3. Letakkan sumber radioaktif stronsium-90 pada jarak ± 2 cm dari detektor
4. Set pengala untuk selang waktu 3 detik
5. Naikan tegangan HV dengan interval 25 volt, hingga tercatat adanya daya
pencacahan pulsa pada counter. Posisi ini disebut starting voltage.
6. Kemudian naikkan tegangan HV sampai sebelum discharge. Gejala ini akan
tampak jika setiap perubahan tegangan sedikit saja akan tercatat pencacahan pulsa
yang melonjak jumlahnya.
7. Tentukan starting voltage, tegangan threshold, tegangan discharge, dan tegangan
optimum detektor.
8. Set sumber tegangan tinggi (HVDC) sesuai perhitungan tegangan optimum yang
telah didapat untuk digunakan pada subpraktikum selanjutnya.
7
B. Menentukan waktu pulih
1. Letakkan sumber radioaktif pertama (stronsium-90) pada jarak 2 cm dari detektor,
lakukan pencacahan dan catat 𝑁1 sebagai jumlah cacah/detik dari sumber tersebut.
2. Berikutnya lakukan pencacahan secara bersamaan sumber pertama (stronsium-90)
dan sumber kedua (beta murni) yang sama aktivitasnya, sehingga diperoleh laju
cacah kedua sumber 𝑁1,2 mendekati 2 kali 𝑁1 .
3. Selanjutnya sumber pertama (stronsium-90) diambil, sehingga hanya dicatat 𝑁2
sebagai jumlah cacah/detik dari sumber kedua.
4. Akhirnya lakukan pengukuran cacah latar hingga diperoleh jumlah cacah/detik 𝑁0 .
C. Intensitas versus jarak
1. Set sumber tegangan tinggi (HVDC) pada daerah operasi optimum tabung GM.
2. Letakan sumber stronsium-90 pada jarak 0 cm dari permukaan jendela detektor,
lakukan pencacahan pulsa dari sumber tersebut dalam waktu 3 detik sebanyak tiga
kali.
3. Lakukan pencacahan selanjutnya dengan menambah (memvariasikan) jarak antara
sumber ke detektor sebesar 1 cm untuk jarak 0 cm – 5 cm dan 5 cm untuk jarak
setelah 5 cm.
4. Lakukan pencacahan hingga jumlah cacah yang tercatat mendekati background.
5. Lakukan pencacahan untuk mendapatkan cacah latar (background).
DPR-02
A. Jangkau dan energi maksimum zarah beta
1. Selanjutnya lakukan pengukuran jangkau energi maksimum zarah beta
2. Ambil bahan absorben aluminium yang tersedia. Hitung rapat ketebalanya (density
thickness) dalam gr/cm².
3. Lakukan pencacahan tanpa menggunakan sumber radioaktif untuk mendapatkan
cacah latar.
4. Letakan sumber radioaktif stronsium-90 pada jarak 0 cm di depan jendela detektor,
lakukan pencacahan tanpa menggunakan bahan absorben.
5. Letakan bahan absorben sedekat mungkin dengan detektor dan lakukan
pencacahan untuk setiap ketebalan bahan absorben (tambahkan satu demi satu
keping absorben) sampai cacah yang tercatat mendekati cacah latar.
B. Pengukuran distribusi statistik/cacah statistik
1. Susun rangkaian seperti pada gambar 1.4 di atas
8
2. Periksakan kepada asisten, apakah rangkaian sudah betul sebelum dioperasikan.
3. Set sumber tegangan tinggi (HVDC) pada daerah operasi optimum GM.
4. Letakan sumber ⁹⁰Sr sejauh 2 cm dari detektor, lakukan pengukuran pencacahan
sebanyak 300 kali, tiap pengukuran dan catat harga-harga tersebut pada daftar
laporan sementara.
9
D. Jangkau dan Tenaga Maksimum Beta
1. Gambarkan grafik jumlah cacah persatuan waktu yang telah dikoreksidengan cacah
latar sebagai fungsi ketebalan bahan absorben gr/cm² pada grafik absorpsi tersebut.
2. Hasil pengukuran jangkau, hitunglah besarnya tenaga zarah beta (bandingkan
dengan nilai yang ada di tabel 1.1).
3. Bandingkan dan hitung berapa besar kesalahannya terhadap tenaga zarah beta yang
digunakan {Sr-90 E maks ᵦ= 2,283 MeV (99,9%)} Jelaskan jawaban saudara.
E. Distribusi Statistik Pencacahan
1. Bandingkan nilai standar deviasi untuk 1, 15, dan 400 data. Jelaskan hasilnya!
2. Hitung nilai rata – rata pencacahan!
3. Jelaskan pada kondisi bagaimana distribusi Poisson dan Gauss diterapkan!
4. Dari data yang diperoleh, hitung nilai rata-rata cacah dimana nilai probabilitas untuk
menentukannya > 0,85. Bandingkan hasil yang diperoleh dengan menggunakan
distribusi Poisson dan Gauss!
Jangkau/Range
Partikel Beta
Air atau
𝑬𝒎𝒂𝒙 Aluminium Udara
jaringan
MeV mm mg/cm2 cm mm
0,01 0,0006 0,16 0,13 0,002
0,05 0,0144 3,9 2,91 0,046
0,07 0,0263 7,1 5,29 0,083
0,1 0,5 14 10,1 0,158
0,3 0,281 76 56,7 0,889
0,5 0,593 160 119 1,87
0,7 0,926 250 186 2,92
1,0 1,52 410 306 4,80
1,5 2,47 670 494 7,80
1,75 3,01 800 610 9,50
2,0 3,51 950 710 11,10
2,5 4,52 1220 910 14,30
10
BAB II
PRAKTIKUM 03-04
SPEKTROSKOPI FOTON GAMMA
MENGGUNAKAN DETEKTOR NaI(Tl)
II.1 TUJUAN
1. Dapat menentukan HV optimum dalam pencacahan.
2. Dapat membuat dan menggunakan grafik kalibrasi.
3. Dapat menentukan koefisien atenuasi linier.
4. Dapat menentukan aktivitas sumber X.
∆𝐸
𝑅(%) = × 100%
𝐸
11
dengan
𝑅 adalah resolusi sistem spektroskopi
∆𝐸 adalah lebar puncak pada separuh tinggi maksimum (FWHM)
𝐸 adalah nomor kanal puncak spektrum
Hal yang pokok, yang harus diketahui pada unsur-unsur radioaktif adalah jenis radiasi,
energi dan aktivitasnya. Dalam percobaan ini, jenis radiasinya sudah tertentu yaitu foton
gamma sedangkan aktivitas gamma ditentukan dengan dua cara
1. Metode relatif
2. Metode absolut
𝑎𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑋 ∑ 𝑋 − ∑ 𝐵
=
𝑎𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑠𝑢𝑚𝑏𝑒𝑟 𝑆 ∑ 𝑆 − ∑ 𝐵
dengan
𝑋 adalah sampel yang ingin diketahui aktivitasnya berapa
𝑆 adalah sumber radiasi standar yang diketahui jenis radioniklidanya, aktivitasnya,
waktu paruhnya, jenis radiasinya, energinya
∑ 𝑋 adalah laju cacah X yang tercatat
∑ 𝑆 adalah laju cacah S yang tercatat
∑ 𝐵 adalah laju cacah background yang tercatat
∑𝑋 − ∑𝐵 1
𝑎𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑋 =
𝑡 𝐺𝜎𝐹
dengan
𝑡 adalah waktu cacah
𝐺 adalah faktor geometri
𝜎 adalah efisiensi puncak intrinsik untuk energi gamma dan ukuran detektor yang
digunakan
12
𝐹 adalah fraksi peluruhan nuklida, atau 𝑝: peluang pancaran radiasi
𝜋𝑟 2
𝐺=
4𝜋𝑠 2
dengan
𝑟 adalah jari-jari detektor
𝑠 adalah jarak sumber ke detektor
Setiap unsur radioaktif memiliki spektrum energi yang spesifik. Sehingga bila bentuk
dan puncak spektrum energinya telah diketahui maka jenis nuklida X dapat ditentukan tersebut
dengan melihat daftar atau tabel radionuklida.
Apabila foton gamma melintasi media tertentu akan terjadi tiga macam interaksi utama
yaitu fotolistrik, hamburan Compton dan produksi pasangan. Ketiga interaksi tersebut
menyebabkan turunnya intensitas foton gamma karena foton famma yang diserap oleh media
yang dilewatinya. Besarnya serapan masing-masing materi tidak sama, tergantung pada nomor
atom (Z) dan kerapatannya (ρ). Semakin besar Z dan ρ maka semakin besar pula serapannya.
Pengurangan intensitas radiasi sebagai fungsi media dirumuskan sebagai berikut
𝐼 = 𝐼0 . 𝑒𝑥𝑝(−𝜇𝑥)
dengan
𝐼 adalah intensitas radiasi gamma setelah melewati medium
𝐼0 adalah intenstias radiasi gamma awal sebelum melewati medium
𝜇 adalah koefisien atenuasi linear medium
𝑥 adalah tebal medium yang dilewati radiasi
Half value layer (HVL) adalah ketebalan yang menyebabkan intensitas radiasi
berkurang hingga setengahnya. Sedangkan tenth value layer (TVL) adalah ketebalan yang
menyebabkan intensitas radiasi berkurang hingga sepersepuluh radiasi awalnya.
15
6. Catat nomor kanal puncaknya dimana puncak pertama memiliki energi 1,17 MeV
dan puncak kedua 1,33 MeV. Selain itu, lakukan hal yang sama untuk sumber Cs-
137 dengan mencatat nomor kanal puncak dan energinya.
C. Mencari Energi Sumber X
1. Susunan alat sama seperti sebelumnya (Gambar 2.3).
2. Set waktu pencacahan 2 detik.
3. Letakkan sumber X dengan jarak 0 cm dari jendela detektor.
4. Lakukan pencacahan dan catat nilai laju cacah pada setiap perubahan nomor kanal
(U) mulai dari yang terkecil sampai didapat dua kanal puncak.
16
II.5 ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. Pengaruh HV terhadap resolusi detektor
1. Buat grafik spektrum Cs-137 (nomor kanal untuk absis dan laju cacah untuk ordinat)
pada setiap variasi HV. Jelaskan fenomena yang tampak pada grafik spektrum.
2. Dari spektrum tersebut, tentukan nomor kanal puncak, energi gamma tiap kanal dan
hitung nilai resolusi dari masing-masing HV.
3. Buat grafik antara HV vs resolusi. Selanjutkan tentukan HV optimum dari grafik
tersebut.
4. Pada pembahasan, jelaskan pengaruh perubahan HV terhadap nomor kanal puncak,
cacah puncak dan resolusi. Jelaskan juga mengapa hal itu bisa terjadi.
B. Kalibrasi energi gamma
1. Buat Grafik spektrum Cs-137, Co-60 dan sumber X.
2. Berdasarkan spektrum-spektrum tersebut, tentukan nomor kanal masing-masing
puncak laju cacah dan isikan seperti Tabel 2.1
17
1. Berdasarkan data-data untuk menentukan aktivitas relatif, hitung aktivitas sumber X
dengan persamaan penentuan aktifitas metode relatif
2. Nilai f (fraksi peluruhan) dapat dilihat di tabel pada laboratorium, dan nilai σ dapat
dilihat pada halaman 392-393 dan fig 12.14 buku Tsoulfanidis.
3. Gunakan metode absolut untuk mencari aktivitas Cs-137 dan sumber X.
4. Berdasarkan data, hitung aktivitas absolut dengan menggunakan persamaan
penentuan aktifitas metode absolut
5. Dalam penentuan aktivitas sumber X, terdapat dua puncak energi yang dimiliki oleh
sumber X. Aktivitas total dari sumber X adalah penjumlahan dari nilai aktivitas yang
dianalisis dari kedua puncaknya.
6. Bandingkan kedua hasil aktivitas yang diperoleh dengan aktivitas dari persamaan
peluruhan.
7. Pada pembahasan, carilah ralat (error) antara hasil percobaan anda terhadap aktivitas
referensi, dan berikan analisis terhadap hasil tersebut!
E. Koefisien atenuasi linier
1. Untuk masing-masing jenis perisai, buat grafik antara tebal vs. laju cacah rerata dan
antara tebal vs logaritmik cacah tanpa dan dengan perisai menggunakan aplikasi
Spreadsheet atau Microsoft Excel.
2. Bersasarkan grafik tersebut, tentukan persamaan garis menggunakan regresi linier.
3. Berdasarkan persamaan linier yang diperoleh, tentukan koefisien atenuasi linier,
koefisien atenuasi massa dan half value layer masing-masing perisai.
4. Bandingkan koefisien atenuasi linier masing-masing perisai dengan analisis hasil
dengan metode aljabar biasa, mengacu pada persamaan berikut :
𝐼
ln ( 𝐼0 )
=𝜇
𝑥
Serta bandingkan pula dengan nilai referensi dan tentukan seberapa besar ralat yang
dihasilkan masing-masing metode dengan nilai referensi.
5. Berikan analisis terhadap ralat yang diperoleh serta berikan saran Anda untuk
perbaikan hasil pengukuran.
18
BAB III
PRAKTIKUM 05-06
DETEKSI DENGAN METODE KOINSIDENS
III.1 TUJUAN
1. Mengetahui skema peluruhan sumber radioaktif yang koinsidens.
2. Mengenal perangkat untuk penelitian koinsidens.
3. Menentukan resolving time koinsidens.
4. Menerapkan metode koinsidens untuk menentukan aktivitas sumber radiasi.
5. Mengukur cacah koinsidens dari sumber radiasi Cobalt-60.
6. Membandingkan harga cacah koinsidens dengan grafik korelasi sudut teoritis.
7. Menentukan harga koefisien korelasi sudut dari grafik fungsi korelasi.
Salah satu sumber radiasi yang memancarkan radiasi secara koinsidens adalah Cobalt-
60, yang mempunyai skema peluruhan seperti Gambar 3.1
19
yang sebenarnya. Misalkan sinar γ1 dan sinar γ2 dari Cobalt-60 terpancar hampir bersamaan,
maka rangkaian detektor akan mencacah radiasi sama dengan satu. Unit koinsidens merupakan
piranti dengan dua masukan atau lebih dan mempunyai sebuah keluaran yang berupa pulsa
koinsidens. Contoh pulsa keluaran dari unit koinsidens sebagaimana ditunjukkan pada Gambar
3.2
ADA TIDAK
A
Gambar 3. 2 Keluaran dari Unit Koinsiden
Coincidence time ditekankan pada waktu datangnya pulsa sehingga diperlukan ralat
yang disebabkan oleh lebarnya pulsa yaitu resolving time koinsidens. Resolving time
koinsidens dapat diukur dengan melakukan pencatatan kurva penundaan koinsidens seperti
Gambar 3.3
20
Partikel-partikel β hasil peluruhan Co-60 akan terserap hampir semuanya oleh
aluminium penutup Kristal NaI (Tl). Selisih umur sinar γ1 dan sinar γ2 yang dipancarkan oleh
Co-60 adalah 7x10-13 detik. Selisih umur ini kecil sekali jika dibandingkan dengan resolving
time dari unit koinsidens yaitu 10-9 detik. Sehingga dapat dikatakan bahwa sinar-sinar γ yang
dipancarkan oleh Co-60 adalah koinsidens.
Pengukuran aktivitas mutlak dari suatu sumber radiasi koinsidens dapat dilakukan
dengan melakukan pencacahan koinsidens menggunakan dua sistem detektor. Masing-masing
sistem mempunyai nilai cacah
𝑁1 = 𝐸1 . 𝑁𝑠 untuk sistem 1
𝑁2 = 𝐸2 . 𝑁𝑠 untuk sistem 2
dengan
𝑁1 adalah laju cacah pada sistem deteksi 1 dengan efisiensi 𝐸1
𝑁2 adalah laju cacah pada sistem deteksi 2 dengan efisiensi 𝐸1
𝑁𝑠 adalah aktivitas sumber
𝑁𝑖 = 𝐸1. . 𝐸2 . 𝑁𝑠
sehingga,
𝑁1 𝑁2
𝑁𝑖 = . .𝑁
𝑁𝑠 𝑁𝑠 𝑠
𝑁1 . 𝑁2
𝑁𝑖 =
𝑁𝑠
Korelasi laju cacah koinsidens yang disebabkan oleh koinsidens resolving time yaitu
change coincidence. Dimana semua radiasi yang terpancar dalam rentang time coincidence
akan dianggap bersamaan. Sehingga:
𝑁𝑐ℎ = 2𝜏. 𝑁1 . 𝑁2
Laju cacah terukur (Nc) adalah jumlah dari laju cacah sejati dan laju cacah change
coincidence.
𝑁𝑐 = 𝑁𝑐ℎ + 𝑁𝑖
𝑁𝑖 = 𝑁𝑐 − 𝑁𝑐ℎ
21
sehingga,
𝑁1 . 𝑁2
= 𝑁𝑐 − 𝑁𝑐ℎ
𝑁𝑠
𝑁1 . 𝑁2
𝑁𝑠 =
𝑁𝑐 − 𝑁𝑐ℎ
𝑁1 . 𝑁2
𝑁𝑠 =
𝑁𝑐
Korelasi sudut γ-γ menjelaskan spin dan paritas dari tiap-tiap level energi sinar γ.
Gambar 3.4 menunjukkan terjadinya peluruhan dari level spin J1 melewati spin J2 menuju spin
J3 dengan memancarkan dua sinar γ yaitu γ1 dan γ2. Kebolehjadian angular γ1- γ2 dan korelasi
sudut antara γ1- γ2 merupakan representasi intensitas populasi relatif dan magnetic substate J1.
Dalam percobaan korelasi ini, sudut diukur antara sinar γ1 dengan energi 1,17 Mev dan
sinar γ2 dengan energi 1,33 Mev dari peluruhan Cobalt-60. Persamaan teoritis yang didapatkan
untuk korelasi sudut γ-γ pada Cobalt-60 adalah:
1 1
𝑊(𝜃) = 1 + 𝑐𝑜𝑠 2 (𝜃) + 𝑐𝑜𝑠 4 (𝜃)
8 24
22
Jika digambarkan grafiknya diperoleh Grafik 3.1
𝑁(𝜃) = 𝑁0 . 𝑊(𝜃)
dengan 𝑁(𝜃) adalah cacah koinsidens pada sudut 𝜃, 𝑁0 adalah faktor normalisasi dan
𝑊(𝜃) adalah persamaan untuk korelasi sudut γ-γ yang sebelumnya telah dijelaskan. Faktor
normalisasi yang diambil adalah cacah koinsidens pada sudut 90° . Jadi persamaan yang
terbentuk dan digunakan untk analisis data adalah
𝑁(𝜃)
= 𝑊(𝜃)
𝑁(90°)
24
6. Gambarlah kurva koinsidens dan ukur resolving time berdasarkan kurva
koinsidens
DPR-06
25
KORELASI SUDUT γ-γ
1. Tentukan resolving time sistem koinsidens.
2. Susun seperti pada Gambar 3.6
3. Letakkan sumber menghadap kebawah.
4. Atur delay untuk nilai resolving time diset pada TSCA.
5. Kedua TSCA diset pada mode window dan lebar window diatur.
6. Lebar window TSCA untuk pulsa-pulsa dari detektor bisa diputar, diatur
lebarnya agar mencakup puncak 1,33 MeV.
7. Sudut diatur dengan hati-hati dimulai dari sudut 900 sampai 1800 dengan
variasi setiap perubahan sudut 100 Konfigurasi perubahan sudut disusun seperti
Gambar 3.7
a. Percobaan 1
1. Buatlah grafik Resolving Time antara cacah terukur (dalam cps) VS Delay Time
(cantumkan dalam hasil percobaan)
2. Buat perhitungan untuk menentukan berapa nilai Resolving Time dan berapa Delay
Time dalam praktikum (cantumkan dalam lampiran)
b. Percobaan 2
26
1. Tentukan nilai Aktivitas terukur dari sumber pada sudut dan jarak antar detektor
lengkap dengan koreksi error dan sudah dikoreksi terhadap background (satuan
dalam Bq atau dps, hasil tiap perhitungan cantumkan dalam bab hasil percobaan)
2. Hitunglah nilai Aktivitas dari sumber standar yang digunakan (hasil perhitungan
cantumkan dalam bab hasil percobaan)
3. Detail perhitungan dalam bentuk excel dan dilampirkan dalam laporan
4. Rumus dan Perhitungan
𝑁1 .𝑁2
𝑁𝑠 = 𝑁𝑡
𝑁1 .𝑁2
𝑁𝑠 = dimana Nch diabaikan sehingga,
𝑁𝑐 −𝑁𝑐ℎ
𝑁1 .𝑁2
𝑁𝑠 = 𝑁𝑐
𝑁1 = ̅̅̅
𝑁1 ± 𝜎
̅̅̅̅̅
𝑁1
√∑𝑛
𝑖 (𝑥𝑖−𝑥̅ )
2
𝑁2 = ̅𝑁
̅̅2̅ ± 𝜎
̅̅̅̅̅
𝑁2 𝜎𝑁 = 𝑛
𝑁𝑐 = ̅̅̅
𝑁𝑐 ± ̅̅̅̅
𝜎𝑁𝑐
𝑁𝐵𝑔1 = ̅̅̅̅̅̅
𝑁𝐵𝑔1 ± ̅̅̅̅̅̅̅
𝜎𝑁𝐵𝑔1
𝑁𝐵𝑔2 = ̅̅̅̅̅̅
𝑁𝐵𝑔2 ± ̅̅̅̅̅̅̅
𝜎𝑁𝐵𝑔2 sehingga untuk Ns didapatkan persamaan
Dimisalkan
̅̅̅
𝑁1 − ̅̅̅̅̅̅
𝑁𝐵𝑔1 = 𝑥
2
𝜎𝑥 = √(𝜎
̅̅̅̅ 𝜎𝑁𝐵𝑔 2 )
𝑁1 + ̅̅̅̅̅̅̅ 1
̅𝑁
̅̅2̅ + ̅̅̅̅̅̅
𝑁𝐵𝑔2 = 𝑦
2
𝜎𝑦 = √(𝜎
̅̅̅̅ 𝜎𝑁𝐵𝑔 2 )
𝑁2 + ̅̅̅̅̅̅̅ 2
𝑥. 𝑦 = 𝑧
𝜎𝑥 2 𝜎𝑦 2
𝜎𝑧 = √( ) +( ) .𝑧
𝑥 𝑦
27
𝑧
𝑁𝑠 =
̅̅̅
𝑁𝑐
𝜎𝑧 2 𝜎𝑁𝑐 2
√
𝜎𝑠 = ( ) + ( ) . 𝑁𝑠
𝑧 𝑦
c. Percobaan 3
1. Buatlah grafik sudut teoritis antara W(ɵ) VS ɵ (cantumkan dalam hasil percobaan)
3. Buatlah grafik antara W(ɵ) VS ɵ sesuai hasil praktikum (cantumkan dalam hasil
percobaan)
4. Carilah nilai dari N(ɵ), σN(ɵ), W(ɵ) teori, W(ɵ) praktikum, dan σW(ɵ)
praktikum, dari setiap sudut yang ditentukan
5. Hasil dari perhitungan cantumkan dalam hasil percobaan, detail perhitungan dalam
bentuk excel dan dilampirkan dalam laporan
6. Rumus dan Perhitungan
𝑁(𝜃)
𝑊(𝜃) =
𝑁0
𝑁(𝜃) = ̅̅̅̅̅̅̅
𝑁(𝜃) ± ̅̅̅̅̅̅̅̅̅
𝜎𝑁(𝜃)
𝑁0 = ̅̅̅̅̅̅
𝑁(90) ± ̅̅̅̅̅̅̅̅
𝜎𝑁(90)
Dimisalkan
𝑊(𝜃) = 𝑢
̅̅̅̅̅̅̅̅̅ 2
𝜎𝑁(𝜃) ̅̅̅̅̅̅̅
𝜎𝑁(0)
2
𝜎𝑢 = √( ) +( ) .𝑢
̅̅̅̅̅̅̅
𝑁(𝜃) ̅̅̅̅̅
𝑁 (0)
𝑊(𝜃) ± 𝜎𝑊(𝜃)
28
Untuk mendapatkan 𝑊(𝜃) teoritis gunakan persamaan,
1 1
𝑊(𝜃) = 1 + cos 2 𝜃 + cos 4 𝜃
8 24
d. Pembahasan
1. Bandingkan antara aktivitas teoritis dengan aktivitas terukur dari tiap sudut dan
jarak pada percobaan 2, jika ada perbedaan berikan alasan mengapa bisa demikian
2. Bandingkan grafik antara praktek dan teoritis pada percobaan 3, berikan penjelasan
terkait grafik tersebut
3. Adakah pengaruh korelasi sudut pada metode koinsidens, berikan penjelasan secara
rinci
4. Poin pembahasan yang lain bisa ditambahkan sendiri, sesuai dengan apa yang sudah
didapatkan selama mengikuti kegiatan praktikum
29
BAB IV
PRAKTIKUM 07-08
PENGUKURAN LEVEL FLUIDA DALAM BEJANA
MENGGUNAKAN DETEKTOR GEIGER MULLER
IV.1. TUJUAN
1. Memahami pemanfaatan detektor Geiger Muller
2. Memahami konsep atenuasi
3. Memahami aplikasi radiasi sebagai media Non-Destructive Test (NDT)
Detektor GM merupakan salah satu jenis detektor isian gas yang banyak digunakan
karena kemudahan dan kesederhanaan penggunaannya. GM menghasilkan sinyal yang kuat
sehingga tidak membutuhkan preamplifier. GM dapat digunakan untuk mendeteksi bermacam-
macam radiasi pengion. Kekurangan dari GM ialah GM tidak dapat membedakan energi radiasi
yang masuk. Semua jenis interaksi radiasi dengan materi ikut terdeteksi, sehingga GM hanya
memberikan informasi berupa jumlah partikel yang masuk.
30
Gambar 4.1 Hubungan antara tegangan Gambar 4.2 Hubungan antara tegangan
dengan jumlah partikel yang tertangkap dengan jumlah partikel yang tertangkap
berdasarkan jenis radiasi
GM bekerja pada daerah IV dimana pada daerah ini medan listrik sangat kuat sehingga
terjadi multiplikasi yang sangat tinggi hingga menyebabkan electrical avalanche dengan
mekanisme seperti pada Gambar 4.3. Ionisasi primer akan menghasilkan satu pasang elektron-
ion dengan energi cukup tinggi untuk menyebabkan ionisasi sekunder, dan seterusnya hingga
terjadi guguran elektron dalam orde eksponensial, membentuk Geiger discharge. Apabila
tegangan kerja GM melebihi daerah operasinya (daerah IV), maka akan terjadi discharge yang
terlampau banyak, dimana dapat memperpendek umur tabung GM.
Setiap jenis radiasi akan menghasilkan jenis interaksi yang berbeda-beda. Interaksi
radiasi tak bermuatan dan tak bermassa (gamma dan sinar x) terhadap materi terbagi menjadi
3 (tiga), yaitu efek fotolistrik, hamburan Compton, dan produksi pasangan. Terdapat beberapa
jenis interaksi materi dengan radiasi khususnya yang tidak bermuatan dan bermassa (gamma
dan sinar x). Ketiga interaksi tersebut mengakibatkan pelemahan (atenuasi) atau turunnya
intensitas radiasi. Masing-masing interaksi memiliki nilai probabilitas yang apabila
dijumlahkan menjadi nilai koefisien atenuasi. Koefisien atenuasi dapat disajikan dalam
berbagai satuan, salah satunya adalah koefisien atenuasi linear. Koefisien atenuasi linear adalah
probabilitas interaksi per satuan panjang materi. Hubungan ini dapat dinyatakan dengan
persamaan atenuasi linear.
𝐼 = 𝐼𝑜 𝑒 −µx
32
Koefisien atenuasi berbagai materi didapatkan dengan memodifikasi persamaan
atenuasi
𝐼 = 𝐼𝑜 𝑒 −µx
𝐼
= 𝑒 −𝜇𝑥
𝐼0
𝐼
𝑙𝑛 ( ) = −𝜇𝑥
𝐼0
𝐼0
𝑙𝑛 ( ) = 𝜇𝑥
𝐼
Persamaan ini sesuai dengan bentuk persamaan grafik y=mx, dimana m adalah nilai gradien
dari grafik dan yang pada persamaan atenuasi senilai dengan variabel �. Gradien grafik yang
diperoleh ialah koefisien atenuasi.
Persamaan atenuasi dapat juga dinyatakan dalam koefisien atenuasi massa. Nilai ini
tergantung pada energi yang melalui medium tersebut dan jenis medium. Jenis medium ini
bergantung pada nomor atom dan densitas. Gambar 4.5 menunjukkan hubungan antara
koefisien atenuasi massa udara dengan energi dalam melemahkan (mengatenuasi) foton,
dengan komposisi berat udara 78.04% N, 21.02% O, dan 0.94% Ar. Densitas udara 0.001293
g/cm3 pada suhu 0°C dan tekanan 760 mmHg digunakan sebagai faktor pengali untuk koefisien
atenuasi linear.
33
Pelemahan oleh medium akibat interaksi ini bisa dimanfaatkan untuk mengetahui level
suatu bahan, misal fluida, dengan melihat hubungan antara koefisien atenuasi dan cacah radiasi
terukur.
PERHITUNGAN KETIDAKPASTIAN
Cacahan (𝐶) adalah nilai yang dihasilkan oleh sistem pencacah setelah mengukur
radiasi selama waktu tertentu (𝑡). Semakin lama waktu pengukuran ini, maka nilai cacahan
akan semakin besar.
Karena bersifat acak, maka pengukuran radiasi secara berulang akan memberikan nilai
yang bervariasi. Cacah rerata (𝐶̅ ) dihitung dengan persamaan berikut
𝑛
1 𝐶1 + 𝐶2 + ⋯ + 𝐶𝑛
𝐶̅ = ∑ 𝐶𝑖 =
𝑛 𝑛
𝑖=1
dengan 𝐶𝑖 adalah nilai cacah pengukuran ke-i, dan 𝑛 adalah banyaknya pengukuran.
Standar deviasi atau error pengukuran (𝜎𝐶 ) dihitung dengan rumus berikut
𝐶̅
𝜎𝐶 = √
𝑛
Laju cacah (𝑅) adalah jumlah cacah persatuan waktu. Nilai ini sebanding dengan
jumlah radiasi yang memasuki detektor atau sebanding dengan aktivitas sumber radiasi.
𝐶
𝑅=
𝑡
𝐶̅
𝑅̅ =
𝑡
𝜎𝐶 1 𝐶̅ 𝐶̅ 1 𝑅̅
𝜎𝑅 = = √ =√ =√
𝑡 𝑡 𝑛 𝑡 𝑛. 𝑡 𝑛. 𝑡
34
Laju cacah latar belakang (𝑅𝑏𝑔 ) adalah nilai laju cacah yang ditampilkan oleh sistem
pencacah walaupun tidak ada sumber radiasi. Nilai ini berasal dari radiasi alam disekeliling
detektor.
Laju cacah sumber (𝑅𝑠 ) adalah nilai laju cacah yang berasal dari sumber radiasi yang
tercatat (𝑅𝑡 ) dikurangi dengan laju cacah latar belakang (𝑅𝑏𝑔 )
𝑅𝑠 = 𝑅𝑡 − 𝑅𝑏𝑔
Standar deviasi laju cacah sumber (𝜎𝑅𝑠 ) dihitung menggunakan rumusan berikut
𝜎𝑅𝑡 2 𝜎𝑅𝑏𝑔 2
𝜎𝑅𝑠 = 𝑅𝑠 √( ) +( )
𝑅𝑡 𝑅𝑏𝑔
Nilai batas minimum deteksi (𝑙𝑖𝑚𝑖𝑡 𝑜𝑓 𝑑𝑒𝑡𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛, 𝐿𝐷) adalah suatu parameter yang
dapat menunjukkan batas minimum dari cacahan yang masih dapat diukur
𝐿𝐷 = 𝑘. 𝜎𝐵𝑔
dengan 𝜎𝐵𝑔 adalah standar deviasi dari cacah latar belakang, dan 𝑘 adalah faktor cakupan yang
berhubungan dengan tingkat kepercayaan terhadap data yang didapatkan. Untuk tingkat
kepercayaan 99%, k=3.
Nilai 𝐿𝐷 berlaku untuk kondisi tertentu, yaitu untuk waktu pengukuran dan jumlah
pengulangan pencacahan. Suatu sampel daoat ditentukan aktivitasnya bila jumlah cacahan
sampel lebih besar dari 𝐿𝐷 untuk kondisi lama (waktu) pengukuran yang sama.
̅
𝐶𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 > 𝐿𝐷
Efisiensi pengukuran (𝜀) adalah suatu nilai yang menunjukkan huungan antara laju
cacah (𝑅) dan aktivitas (𝐴) sumber radiasi. Parameter ini dihitung dengan mengukur sumber
radiasi standar
𝑅𝑠𝑡
𝜀=
𝐴𝑠𝑡 . 𝑝
35
dengan 𝑝 adalah probabilitas pancaran radiasi yang nilainya bergantung jenis radionuklida
standar yang digunakan. Nilai efisiensi (𝜀) dipengaruhi oleh geometri (jarak, dimensi, posisi)
pengukuran, jenis dan energi radiasi.
𝜎𝜀 𝜎𝑅 2 𝜎𝐴 2 𝜎𝑝 2
= √( 𝑠𝑡 ) + ( 𝑠𝑡 ) + ( )
𝜀 𝑅𝑠𝑡 𝐴𝑠𝑡 𝑝
𝑅𝑠𝑡 𝑅𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
𝑘𝑎𝑟𝑒𝑛𝑎 = 𝜀. 𝑝 ≅
𝐴𝑠𝑡 𝐴𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
𝑅𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
𝐴𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 =
𝜀. 𝑝
𝜎𝐴𝑠𝑡 𝜎𝑅𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 2 𝜎𝜀 2 𝜎𝑝 2
√
= ( ) +( ) +( )
𝐴𝑠𝑡 𝑅𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝜀 𝑝
Secara garis besar, jika suatu pengukuran dipengaruhi beberapa parameter yang
memiliki nilai errornya di masing-masing parameter, maka error pengukuran ini merupakan
akumulasi dari semua error dimasing-masing parameter. Jika ada suatu besaran hitung 𝑋 yang
dipengaruhi oleh parameter 𝑚, 𝑛, 𝑜, 𝑝 dengan keempat parameter ini memiliki standar deviasi
(error) masing-masing, maka error besaran X dapat dirumuskan sebagai berikut
𝜎𝑋 𝜎𝑚 2 𝜎𝑛 2 𝜎𝑜 2 𝜎𝑝 2
= √( ) + ( ) + ( ) + ( ) 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑋 = 𝑓𝑢𝑛𝑔𝑠𝑖 (𝑚, 𝑛, 𝑜, 𝑝)
𝑋 𝑚 𝑛 𝑜 𝑝
36
IV.3. ALAT DAN BAHAN
1. Sumber radiasi (Cs-137)
2. HVDC power supply
3. Detektor Geiger Muller
4. Inverter GM
5. Counter
6. Timer
7. Kabel coaxial dan konektor
8. Medium
a. Udara
b. Bejana kaca
c. Keping kaca
d. Fluida (air)
9. Mistar
10. Milimeter skrup
37
5. Naikkan tegangan HV hingga tercatat adanya pencacahan pulsa pada counter. Nilai ini
adalah starting voltage. Catat.
6. Atur kembali timer ke selang waktu 5-10 detik.
7. Naikkan tegangan HV secara bertahap dengan selang ΔV 5V – 10V (maksimum
1200V). Konsultasikan dengan asisten terlebih dahulu.
8. Cacah sumber sebanyak 1 (satu) kali untuk tiap variasi nilai tegangan dan catat hasilnya.
9. Tentukan nilai threshold voltage dan breakdown voltage.
10. Buat dan amati kurva cacah terhadap tegangan. Cari nilai HV optimum.
*catatan: Tegangan HV yang terlalu besar dapat memperpendek umur tabung. Pastikan
pengaturan HVDC tidak melebihi batas maksimum yang telah ditentukan. Bila
terdengar suara dari detektor GM segera laporkan kepada asisten.
Instruksi Umum
1. Set HV pada daerah optimum dengan nilai HV optimum yang telah ditentukan pada
praktikum DPR-07.
2. Atur timer dengan selang waktu 5-10 detik.
3. Lakukan pencacahan 5 (lima) kali untuk setiap pengambilan variasi data.
4. Tentukan cacah background sebelum menentukan cacah sumber dengan berbagai
materi.
5. Tentukan cacah dengan konfigurasi berbagai materi dengan 5 (lima) variasi.
6. Hitung error yang didapatkan pada tiap pengukuran.
A. Menentukan Koefisien Atenuasi Berbagai Materi
1. Letakkan sumber Cs-137 dengan jarak 0 cm dari detektor. Cacah dan catat hasilnya.
2. Variasikan jarak antara detektor dengan sumber radiasi hingga didapatkan 5 (lima)
variasi.
3. Buatlah grafik hubungan antara intensitas radiasi terukur dengan jarak.
4. Tentukan koefisien atenuasi udara.
1. Gunakan medium berupa kaca yang sudah diukur ketebalannya. Tempelkan antara
detektor dengan sumber radiasi.
38
2. Variasikan ketebalan kaca dengan menambah jumlah kaca hingga didapatkan 5 (lima)
variasi. Catat nilai cacah setiap pengambilan data.
3. Buatlah grafik hubungan antara intensitas radiasi terukur dengan jarak.
4. Tentukan koefisien atenuasi kaca.
1. Gunakan medium berupa bejana kaca dengan dasar bejana menempel pada detektor.
2. Gantung sumber radiasi tegak lurus jendela detektor di atas bejana. Pastikan sumber
radiasi tidak akan tercelup ke air nantinya.
3. Isi bejana dengan air. Beri variasi ketinggian dengan penambahan air sebanyak 5 (lima)
variasi.
Catat nilai cacah setiap pengambilan data.
4. Buat grafik hubungan antara intensitas radiasi terhadap ketinggian air.
5. Susun persamaan atenuasi berbagai materi. Koefisien atenuasi kaca dan udara
didapatkan dari langkah sebelumnya.
6. Tentukan koefisien atenuasi air.
B. Menentukan Ketinggian Fluida
1. Gunakan medium berupa bejana kaca dengan dasar bejana menempel pada detektor.
2. Gantung sumber radiasi segaris jendela detektor di atas bejana. Pastikan sumber radiasi
tidak akan tercelup ke air nantinya.
3. Isi bejana dengan air dengan ketinggian air sembarang. Ukur ketinggian air tersebut
dengan mistar.
4. Cacah sumber dan catat nilai cacah setiap pengambilan data.
5. Buatlah persamaan untuk menentukan ketinggian air.
6. Tentukan ketinggian air berdasarkan persamaan tersebut dan data yang telah didapatkan.
7. Bandingan dengan ketinggian real yang didapat melalui pengukuran dengan mistar.
Hitung error relatif yang didapatkan.
C. Aplikasi Radiasi sebagai Media Non-Destructive Test (NDT)
1. Lakukan studi pustaka mengenai aplikasi radiasi sebagai media NDT.
2. Rangkum dan tuliskan dalam laporan praktikum.
3. Sertakan seluruh sumber yang digunakan.
Grafik 4.1 Contoh grafik hubungan intensitas radiasi dengan tebal materi
2. Modifikasi grafik sehingga terbentuk persamaan y = mx dengan cara mengatur
trendline, set intercept = 0.
3. Untuk mencari koefisien atenuasi air, susunlah terlebih dahulu persamaan atenuasi
banyak materi.
4. Catat nilai koefisien atenuasi materi yang didapatkan beserta ralat yang didapatkan
dari perhitungan berdasarkan persamaan yang telah diberikan.
5. Bandingkan nilai koefisien atenuasi materi yang didapatkan dengan nilai koefisien
atenuasi referensi.
C. Menentukan Ketinggian Fluida
1. Modifikasi dan susunlah persamaan untuk menentukan ketinggian fluida.
2. Hitung ketinggian fluida beserta ralat yang didapatkan dari perhitungan
berdasarkan persamaan yang telah diberikan.
3. Bandingkan ketinggian fluida hasil perhitungan dengan ketinggian real fluida.
Catat nilai error relatif yang didapatkan.
40
D. Aplikasi Radiasi sebagai Media Non-Destructive Test (NDT)
1. Jelaskan apa yang disebut dengan metode NDT.
2. Sebutkan dan beri penjelasan singkat tentang 6 (enam) metode NDT yang paling
sering digunakan.
3. Jelaskan konsep penerapan radiasi sebagai media NDT, cara penerapannya
beserta kelebihan dan kekurangannya.
41
BAB V
PRAKTIKUM 09 – 10
PEMANFAATAN SISTEM SPEKTROSKOPI DENGAN EASY-
MCA DAN MAESTRO-32 MENGGUNAKAN DETEKTOR
NaI(Tl)
Energi radiasi dikonversikan menjadi tinggi pulsa listrik oleh detektor dan amplifier.
42
Tinggi pulsa listrik dikonversikan menjadi posisi channel dalam spektrum radiasi oleh
MCA.
Perbedaan utama antara SCA dan MCA terletak pada kemampuannya untuk
memperlihatkan spektrum energi dengan lebih jelas. Hal ini dikarenakan MCA memiliki
banyak ULD (Upper Level Discriminator) dan LLD (Lower Level Discriminator) yang tetap
dan dibagi sesuai dengan jumlah kanal yang diinginkan. Sedangkan SCA hanya memiliki satu
ULD dan LLD yang dijadikan patokan sehingga tidak mampu menggambarkan spektrum
energi radiasi.
Di dalam MCA, terdapat beberapa komponen yang menyusun MCA. Diagram blok dari
komponen di dalam MCA adalah sebagai berikut
43
Dari diagram blok di atas, dapat diketahui bahwa terdapat beberapa komponen penting yang
menyusun MCA, di antaranya adalah Delay, SCA, Linear Gate, Input Gate, ADC, Live Time
Clock, dan Memory. SCA berfungsi untuk mengolah input yang diberikan dan memberikan
keluaran berupa sinyal digital yang kemudian akan dimasukkan dalam linear gate. Delay
digunakan untuk menunda sinyal yang masuk agar dapat masuk bersamaan dengan sinyal
keluaran dari SCA masuk ke linear gate. Input gate berfungsi sebagai semacam “tempat antrian”
sinyal yang akan masuk ke ADC. ADC berfungsi untuk mengubah sinyal analog dari linear
gate menjadi sinyal digital. Live time clock merupakan clock yang menunjukkan waktu kerja
detektor yang sebenarnya. Live time clock akan tidak bekerja bila ADC sedang busy. Sinyal
keluaran ADC kemudian masuk ke memory untuk disimpan dan dikelompokkan berdasarkan
kanal – kanal yang sudah ada. Hasil dalam memory kemudian ditampilkan dalam display
khusus. Dalam praktikum ini, display dari hasil MCA adalah dengan menggunakan software
Maestro-32.
Rangkaian MCA, rangkaian elektronika dan catu daya tegangan tinggi kini telah dibuat
secara terintegrasipada slot komputer PC. Dengan perangkat lunak khusus, komputer PC dapat
berfungsi sebagai MCA dengan kemampuan pengolahan dan analisis yang lebih baik. Dalam
hal ini perangkat lunak yang digunakan untuk menganalisis hasil pencacahan adalah Maestro-
32. Tampilan awal dan fitur Maestro-32 dapat dilihat pada Gambar 3.
44
Keterangan fitur-fitur Maestro-32 sebagai berikut :
1. Tittle bar, menunjukan nama program dan nama sumber dengan spektrum yang berada
pada tampilan jendela komputer.
2. Menu bar, pada bagian ini terdiri dari beberapa pilihan menu yang dapat digunakan
untuk menganalisis secara cepat. Pilihan pada menu bar terdiri dari file, acquire,
calculate, services, region of interest (ROI), dispalay dan window.
3. Tool bar, berada dibawah menu bar yang terdiri dari icon-icon yang digunakan ketika
menginginkan kembali (recall) spektrum, menyimpan file, menjalankan dan
menghentikan akuisisi data dan mengatur skala spektrum baik vertikal maupun
horizontal.
4. Detector list, yang menampilkan hasil pencacahan (spketrum) detektor yang sedang
aktif dan buffer.
5. Spektrum area, merupakan daerah yang menampilkan deretan spektrum-spektrum yang
berasal dari sumber yang dicacah.
6. Expanded spektrum view, menunjukan semua atau sebagian dari histogram.
7. Full spektrum view, menunjukan semua tampilan histogram dari file dan memori
detektor.
8. ROI (region of interest) status area, berada pada sisi kanan menu bar yang
mengindikasikan apakah pemberi tanda ROI sedang aktif atau tidak (Mark atau
Unmark).
9. Status side bar, menyediakan informasi mengenai waktu pencacahan, waktu dan
tanggal serta sejumlah tombol yang digunakan untuk memindahkan dengan mudah
puncak-puncak spektrum, ROI dan catatan pada library.
10. Marker information line, berada di bawah spektrum yang terdiri dari penanda kanal,
energi dan isi kanal.
11. Supplementary information line, berada di bawah marker information line yang
digunakan untuk menunjukan isi library, menunjukan hasil perhitungan tertentu, pesan
peringatan atau instruksi.
45
sistem spektroskopi diketahui dengan cara menghitung resolusi sistem yang dihitung dengan
menggunakan persamaan 1 berikut ini:
𝐹𝑊𝐻𝑀
𝑅𝑒𝑠𝑜𝑙𝑢𝑠𝑖 (%) = 𝑁𝑜𝑚𝑜𝑟 𝑘𝑎𝑛𝑎𝑙 𝑝𝑢𝑛𝑐𝑎𝑘 × 100% ……………….......... (1)
Selain dengan melihat nilai resolusi, ada cara lain untuk menentukan tegangan kerja
detektor yaitu dengan melihat nilai peak to valley ratio. Rasio peak to valley adalah
perbandingan antara cacah puncak dengan cacah lembah suatu spektrum energi. Hal ini
didefinisikan dengan persamaan 2 berikut ini:
𝑐𝑎𝑐𝑎ℎ 𝑝𝑢𝑛𝑐𝑎𝑘
𝑃𝑒𝑎𝑘 𝑡𝑜 𝑣𝑎𝑙𝑙𝑒𝑦 𝑟𝑎𝑡𝑖𝑜 = ……………..………...……(2)
𝑐𝑎𝑐𝑎ℎ 𝑣𝑎𝑙𝑙𝑒𝑦
Hal yang pokok, yang harus diketahui pada unsur-unsur radioaktif adalah jenis radiasi,
energi dan aktivitasnya. Radioaktivitas adalah jumlah inti yang meluruh per satuan waktu,
dituliskan dengan persamaan 3 berikut:
𝑑𝑛
= −𝜆𝑁 ……………………….…………………..(3)
𝑑𝑡
dengan :
𝐴𝑡 = 𝐴0 𝑒 −𝜆𝑡 …………………………..………….....(4)
ln(2)
𝜆= ……………………………………..………(5)
𝑇1/2
𝑇
1 𝑇
𝐴𝑡 = 𝐴0 [2] 1/2 …………….………………………..(6)
dengan :
Waktu yang dibutuhkan oleh inti radioaktif untuk meluruh hingga aktivitasnya
𝑇1/2 =
tinggal separuh dari aktivitas semula.
T = Selang waktu dari awal hingga saat ini dari sumber.
𝐴0 = Aktivitas sumber semula.
46
𝐴𝑡 = Aktivitas sumber pada saat ini (Bq).
𝐶𝑎𝑐𝑎ℎ (𝐶𝑃𝑆)
𝜀 (%) = × 100% …………………..……………(7)
𝐴𝑡 (𝐵𝑞)
Setiap unsur radioaktif memiliki spektrum energi yang spesifik. Sehingga bila bentuk
dan puncak spektrum energinya telah diketahui maka jenis nuklida X dapat ditentukan tersebut
dengan melihat daftar atau tabel radionuklida.
Unsur X yang belum diketahui energinya, puncak spektrumnya terletak pada kanal x
dengan menggunakan grafik kalibrasi, diketahui energinya sebesar y dan dari daftar isotop
maka unsur X dapat ditentukan jenis nuklidanya.
47
V. 3 ALAT DAN BAHAN
1. Sumber: 137Cs, 60Co, dan Sumber X
2. Detektor Sintilasi: NaI(Tl) Crystal Phototube Assembly (CPA), Photomultiplier Tube
(PMT)
3. High Voltage Power Supply
4. Pre-Amplifier Ortec Model 113
5. Amplifier ORTEC 575A
6. Easy-MCA
7. Seperangkat Komputer yang memiliki Maestro-32
48
7. Mainkan Course dan Fine Gain pada amplifier dengan ketentuan besar dari
penguatan adalah perkalian nilai dari course dan fine gain. Pada penelitian ini
dilakukan besar delta penguatan adalah sebesar 5 Volt
8. Klik Start, kemudian pada layar akan muncul spektrum energi. Pastikan energi dari
puncak spektrum telah berada pada energi sumber atau telah berapa pada rentang
library. Jika belum, maka mainkan kembali nilai course dan fine gain
9. Jika telah menemukan penguatan yang tepat untuk sumber 60Co, maka ganti sumber
dengan 137Cs kemudian klik start pada penguatan yang sama. Apabila energi puncak
spektrum 137Cs tidak di rentang nilai energi 137Cs. Maka mainkan kembali nilai
Course dan Fine Gain hingga energi puncak spektrum sumber 137Cs dan 60Co telah
berada pada rentang nilai energi library masing-masing.
B. Pengaruh HV dan Amplifikasi terhadap Resolusi.
1. Buat Mark pada Region of Interest (ROI) Spektrum energi dan klik 2 kali pada
spektrum tersebut. Pada mark tersebut akan muncul Peak Info. Screenshot tampil
spektrum lengkap dan peak info tersebut. Catat nilai peak count (cacah puncak),
energi, FWHM, dan Net Count Rate untuk 137Cs.
C. Pengaruh cacah peak dan valley terhadap resolusi
1. Gerakkan kursor garis pada layar program dengan menekan tombol kanan dan kiri
pada keyboard. Cari nilai cacah pada peak dan valley dari spektrum energi 137Cs
yang telah berada pada rentang energi library 137Cs. Screenshot dan catat cacah peak
dan valley.
2. Pengambilan data cacah peak dan valley dilakukan sebanyak 5 kali
D. Pengulangan pengambilan data dengan nilai HV berbeda
1. Lakukan langkah A, B, dan C pada nilai HV lainnya dengan delta HV sebesar 50
Volt. Lakukan hingga HV 900 Volt
2. Hitung nilai resolusi dan rasio peak to valley pada tiap HV, kemudian tentukan HV
Optimum
E. Kalibrasi energi dan aktivitas sumber X
1. Sumber X diletakkan sedekat mungkin dengan detektor namun tidak menempel pada
detektor.
2. Atur HV dan besar nilai Course dan Fine Gain pada HV Optimum yang telah
didapatkan sebelumnya
49
3. Klik start. Kemudian mark ROI spektrum energi dan klik 2 kali pada spektrum.
Screenshot tampil spektrum dan peak info tersebut. Catat nilai peak count, energi,
dan net count rate.
4. Lakukan pengambilan data sebanyak 10 kali
50
Berdasarkan energi sumber X dari persamaan garis kalibrasi dan aktivitas dari
spektrum pada program, tentukan unsur X dengan menggunakan tabel
radioisotop. Jelaskan alasan pemilihan jenis sumber X tersebut.
Bandingkan energi sumber X dari persamaan garis kalibrasi dengan energi
sumber referensi dan bandingkan energi sumber X dari spektrum pada program
dengan energi sumber referensi.
Jelaskan seberapa jauh ketelitian hasil eksperimen anda.
4. Penentuan aktivitas dan efisiensi pencacahan
Buat tabel aktivitas yang didapatkan dari spektrum sesuai dengan Tabel 3
Laporan Sementara.
Tentukan aktivitas absolut dari spektrum. Bandingkan aktivitas absolut dari
spektrum dengan aktivitas dari persamaan laju peluruhan. Jelaskan fenomena
yang ada.
Tentukan efisiensi pencacahan. Jelaskan kenapa bisa mendapat nilai efisiensi
pencacahan tersebut pada percobaan.
Bandingkan efisiensi yang didapatkan dalam percobaan dengan efisiensi
pencacahan yang diinginkan. Jelaskan fungsi efisiensi pencacahan.
51
DAFTAR PUSTAKA
Cember, Herman. Jhonson, Thomas E. Introduction to Health Phsysics fourth edition Mc Graw
Hill, New York, 2009.
Marsongkohadi, Pengantar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir, Jakarta: Badan Tenaga
Atom Nasional, 1978.
A. Arif, Presentasi Kuliah Elektronika Nuklir, Yogyakarta: Departemen Teknik Nuklir dan
Teknik Fisika, 2016
52
LAMPIRAN
CONTOH SAMPUL
DRAFT/LAPORAN PRAKTIKUM
TENTANG XXXXXXXXXXXXXX
53
PEDOMAN PEMBUATAN DRAFT
SAMPUL
Sampul : memuat acara praktikum dan identitas praktikan (format sampul disediakan)
I. TUJUAN PRAKTIKUM
memuat tujuan praktikum dalam bentuk point-point
V. HIPOTESIS
Berisikan pernyataan singkat tentang perkiraan hasil praktikum
54
PEDOMAN PEMBUATAN LAPORAN
SAMPUL
memuat acara praktikum dan identitas praktikan (format sampul disediakan)
ABSTRAK
Memuat secara ringkas permasalahan praktikum,cara praktikum,kesulitan dan hasil
akhir praktikum (tanpa penjabaran), ditulis dalam dua bahasa, yakni dalam bahasa
indonesia dan bahasa inggris (ditentukan lebih lanjut saat praktikum)
I. TUJUAN PRAKTIKUM
Memuat tujuan praktikum dalam bentuk poin-poin
II. TINJAUAN PUSTAKA
Berisikan uraian tentang tentang keterangan - keterangan yang ada kaitannya dengan
acara praktikum yang telah dilakukan. Pustaka yang menjadi sumber keterangan
ditunjukkan dengan menuliskan nomor acuan sesuai dengan daftar pustaka dengan
kurung kotak “[nomor]”. Pemberian nomor harus sesuai dengan urutan dituliskannya
tulisan tersebut di tinjauan pustaka, bukan mengikuti urutan daftar pustaka.
III. PELAKSANAAN PRAKTIKUM
III.1. Alat dan bahan : lengkap dengan spesifikasi dan gambar
III.2. Skema alat : gambar rangkaian alat
III.3. Tata laksana : berisikan uraian jelas cara menjalankan praktikum dan
pengumpulan data (dibuat dalam bentuk flow chart). Lengkap dengan
spesifikasinya dan skema alat (bila perlu)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1. Hasil praktikum: berupa tabel data,grafik atau gambar (+ keterangan singkat)
IV.2. Analisis Data : berisikan pengolahan data
IV.3. Pembahasan : berisikan penjelasan teoritis tentang hasil praktikum yang
diperoleh baik secara kualitatif ,kuantitatif maupun statistik
V. KESIMPULAN
VI. SARAN
VII. DAFTAR PUSTAKA
55
Menggunakan kurung kotak “[]” untuk setiap sumber bacaan dan harus terdapat kutipan
di bagian laporan untuk setiap sumber yang digunakan, untuk memudahkan proses
analisis data dan menambah pegetahuan praktikan.
56
LAPORAN SEMENTARA DPR 01
PRAKTIKUM DETEKSI DAN PENGUKURAN RADIASI
Penentuan Plateau
HV
NO CACAH HV TRESHOLD (V)
(VOLT)
1 HV BREAKDOWN (V)
2 HV OPTIMUM (V)
4 NO CACAH BACKGROUND
5 1
6 2
7 3
8 4
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
57
23
24
25
Waktu Resolusi
CACAH
N1
N1,2
N2
Intensitas vs Jarak
NO JARAK (cm) CACAH
10
11
12
13
58
14
15
16
17
18
19
20
59
LAPORAN SEMENTARA DPR 02
PRAKTIKUM DETEKSI DAN PENGUKURAN RADIASI
Jangkau Zarah Beta
WAKTU
DETIK
CACAH
TEBAL TEBAL
NO PERISAI CACAH NO PERISAI CACAH
(cm) (cm)
1 11
2 12
3 13
4 14
5 15
6 16
7 17
8 18
9 19
10 20
WAKTU
SEKON
CACAH
NO CACAH NO CACAH
1 11
2 12
3 13
4 14
5 15
6 16
7 17
60
8 18
9 19
10 20
21 31
22 32
23 33
24 34
25 35
26 36
27 37
28 38
29 39
30 40
41 51
42 52
43 53
44 54
45 55
46 56
47 57
48 58
49 59
50 60
61 71
62 72
63 73
61
64 74
65 75
66 76
67 77
68 78
69 79
70 80
81 91
82 92
83 93
84 94
85 95
86 96
87 97
88 98
89 99
90 100
101 111
102 112
103 113
104 114
105 115
106 116
107 117
108 118
109 119
110 120
62
121 131
122 132
123 133
124 134
125 135
126 136
127 137
128 138
129 139
130 140
141 151
142 152
143 153
144 154
145 155
146 156
147 157
148 158
149 159
150 160
161 171
162 172
163 173
164 174
165 175
166 176
63
167 177
168 178
169 179
170 180
181 191
182 192
183 193
184 194
185 195
186 196
187 197
188 198
189 199
190 200
64
NAMA TANGGAL PARAF
KELOMPOK NIM
PRAKTIKAN PRAKTIKUM ASISTEN
SUMBER WAKTU
HV (VOLT)
RADIASI CACAH (S)
NO NO NO
NO CACAH NO CACAH NO CACAH
KANAL KANAL KANAL
1 11 21
2 12 22
3 13 23
4 14 24
5 15 25
6 16 26
7 17 27
8 18 28
9 19 29
10 20 30
65
SUMBER WAKTU
HV (VOLT)
RADIASI CACAH (S)
NO NO NO
NO CACAH NO CACAH NO CACAH
KANAL KANAL KANAL
1 11 21
2 12 22
3 13 23
4 14 24
5 15 25
6 16 26
7 17 27
8 18 28
9 19 29
10 20 30
66
15 30 45
NO HV E (PUNCAK) ∆E %R
1
2
3
4
67
Kalibrasi Energi Foton Gamma
SUMBER WAKTU
HV (VOLT)
RADIASI CACAH (S)
N NO NO NO
CACAH NO CACAH NO CACAH
O KANAL KANAL KANAL
1 21 41
2 22 42
3 23 43
4 24 44
5 25 45
6 26 46
7 27 47
8 28 48
9 29 49
10 30 50
11 31 51
12 32 52
13 33 53
14 34 54
15 35 55
16 36 56
17 37 57
18 38 58
19 39 59
20 40 60
NO
SUMBER
NO ENERGI KANAL
RADIASI
PUNCAK
1
2
3
68
Mencari Energi Sumber X
SUMBER WAKTU
HV (VOLT)
RADIASI CACAH (S)
N NO NO NO
CACAH NO CACAH NO CACAH
O KANAL KANAL KANAL
1 16 31
2 17 32
3 18 33
4 19 34
5 20 35
6 21 36
7 22 37
8 23 38
9 24 39
10 25 40
11 26 41
12 27 42
13 28 43
14 29 44
15 30 45
NO KANAL SUMBER
NO ENERGI
PUNCAK RADIASI
1
2
69
LAPORAN SEMENTARA DPR 04
PRAKTIKUM DETEKSI DAN PENGUKURAN RADIASI
Penentuan Aktivitas Gamma Dengan Metode Relatif dan Absolut
Cs-137 SUMBER X
RENTANG CACAH CACAH RENTANG CACAH CACAH
LEMBAH BACKGROUND RADIASI LEMBAH BACKGROUND RADIASI
70
ALUMINIUM WAKTU CACAH (S)
NO TEBAL (cm) CACAH
1
2
3
4
5
6
71
LAPORAN SEMENTARA DPR 05
PRAKTIKUM DETEKSI DAN PENGUKURAN RADIASI
Pengukuran Resolving Time Koinsidens
SUMBER WAKTU CACAH
HV (VOLT)
RADIASI (S)
DELAY DELAY DELAY
NO CACAH NO CACAH NO CACAH
TIME (𝜇𝑠) TIME (𝜇𝑠) TIME (𝜇𝑠)
1 31 61
2 32 62
3 33 63
4 34 64
5 35 65
6 36 66
7 37 67
8 38 68
9 39 69
10 40 70
11 41 71
12 42 72
13 43 73
14 44 74
15 45 75
16 46 76
17 47 77
18 48 78
19 49 79
20 50 80
21 51 81
22 52 82
23 53 83
24 54 84
25 55 85
26 56 86
27 57 87
28 58 88
29 59 89
30 60 90
72
LAPORAN SEMENTARA DPR 06
PRAKTIKUM DETEKSI DAN PENGUKURAN RADIASI
SUMBER
WAKTU CACAH (SEKON)
RADIASI
JARAK JARAK
CACAH CACAH
DETEKTOR DETEKTOR CACAH
NO SUDUT DETEKTOR DETEKTOR
1 KE 2 KE KOINSIDENS
1 2
SUMBER SUMBER
1 3 3
2 3 3
3 3 3
90°
4 3 6
5 3 6
6 3 6
7 3 3
8 3 3
9 3 3
135°
10 3 6
11 3 6
12 3 6
13 3 3
14 3 3
15 3 3
180°
16 3 6
17 3 6
18 3 6
19
20 CACAH BACKGROUND (3 KALI ↓)
21
73
Korelasi Sudut γ-γ
WAKTU
SUMBER
CACAH
RADIASI
(SEKON)
CACAH CACAH CACAH
NO SUDUT
DETEKTOR 1 KOINSIDENS DETEKTOR 2
1 90°
2 100°
3 110°
4 120°
5 130°
6 140°
7 150°
8 160°
9 170°
10 180°
74
LAPORAN SEMENTARA DPR 07
PRAKTIKUM DETEKSI DAN PENGUKURAN RADIASI
75
LAPORAN SEMENTARA DPR 08
PRAKTIKUM DETEKSI DAN PENGUKURAN RADIASI
HV (VOLT)
WAKTU CACAH (S)
CACAH BACKGROUND (𝑅𝐵𝐺 )
̅̅̅̅̅ ∑ 𝑅𝐵𝐺
CACAH RERATA (𝑅 𝐵𝐺 )
𝑛
̅̅̅̅̅
𝑅
STANDAR DEVIASI (ERROR) (𝜎𝐵𝐺 ) √ 𝐵𝐺
𝑛 𝑑𝑎𝑡𝑎
LIMIT DETEKSI (𝐿𝐷) 3 × 𝜎𝐵𝐺
ATENUASI UDARA
JARAK
NO CACAH KET RERATA ERROR
(cm)
0 0
1
2
3
4
5
76
ATENUASI KACA
TEBAL
NO CACAH KET RERATA ERROR
(cm)
0 0
1
2
3
4
5
ATENUASI AIR
TEBAL TINGGI
NO UDARA AIR CACAH KET RERATA ERROR
(cm) (cm)
0 0 0
1
2
3
4
5
77
𝜎𝜇
RASIO ERROR KOEFISIEN ATENUASI ( 𝜇 𝑎𝑖𝑟 )
𝑎𝑖𝑟
𝜎𝑥
𝑎𝑖𝑟
RASIO ERROR TINGGI FLUIDA ( ̅̅̅̅̅̅ )
𝑥 𝑎𝑖𝑟
78
LAPORAN SEMENTARA DPR 09-10
PRAKTIKUM DETEKSI DAN PENGUKURAN RADIASI
HV
60
Co
137
Cs
HV
60
Co
137
Cs
79
HV
60
Co
137
Cs
HV
60
Co
137
Cs
80
HV
60
Co
137
Cs
HV HV
Cacah Peak Cacah Valley Cacah Peak Cacah Valley
137 137
Cs Cs
Rerata Rerata
Peak to Valley Ratio Peak to Valley Ratio
81
HV HV
Cacah Peak Cacah Valley Cacah Peak Cacah Valley
137 137
Cs Cs
Rerata Rerata
Peak to Valley Ratio Peak to Valley Ratio
HV
Cacah Peak Cacah Valley
137
Cs
Rerata
Peak to Valley Ratio
82
3. Penentuan Aktivitas dan Efisiensi Pencacahan
HV
Sumber
X
83