Anda di halaman 1dari 4

PENGERTIAN KELEMBAGAAN DAN KONSEP KELEMBAGAAN AGRIBISNIS

Sistem kelembagaan (Institutional) merupakan sistem yang kompleks, rumit dan abstrak
yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan, dan kebiasaan yang tidak terlepas dari
lingkungan. Kelembagaan mempunyai peran yang sangat penting dalam memecahkan
masalah-masalah nyata dalam pembangunan, termasuk pembangunan pertanian atau
usahatani.
Terdapat dua jenis pengertian kelembagaan yaitu kelembagaan sebagai aturan main dan
kelembagaan sebagai organisasi. Dengan demikian kelembagaan merupakan suatu
organisasi atau kaidah-kaidah atau norma, baik formal ataupun informal yang mengatur
perilaku dan tindakan-tindakan anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari sesama
anggota masyarakat maupun dalam usaha mencari nafkah (Soekanto, 1982 ; Pakpahan,
1990). Syahyuti (2003), menggunakan istilah kelembagaan secara ilmiah setaraf dengan
lembaga (institution) maupun organisasi (organization). Maksudnya, koperasi adalah sebuah
kelembagaan, meskipun sebagian orang menyebutnya itu organisasi atau lembaga atau
organisasi formal. Subak juga sebuah kelembagaan, meskipun orang lain menyebutnya
lembaga tradisional atau organisasi nonformal.
Sebagai organisasi, kelembagaan diartikan sebagai wujud konkret yang membungkus
aturan main dalam masyarakat tersebut, seperti pemerintah, bank, koperasi, pendidikan,
organisasi agribisnis dan kemitraan antara petani dengan lembaga-lembaga pemasaran
maupun pabrik pengolahan. Alasan pembentukan organisasi, secara ekonomi dapat
dipandang sebagai upaya menghindari biaya transaksi tinggi yang harus dikeluarkan oleh
para anggota organisasi tersebut untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Petani dan keluarga dalam menjalankan aktivitas usahatani, sangat dipengaruhi oleh
lembaga atau kelembagaan yang ada di masyarakat dalam aktivitas usahatani, pemasaran
maupun aktivitas sosial. Dalam usahatani keluarga (farm households), susah memisahkan
antara aktivitas bisnis yaitu aktivitas produksi dengan kehidupan sehari-hari, baik dalam
konsumsi atau hubungan sosial dalam bermasyarakat.
Umumnya kelembagaan dalam sistem agribisnis dapat dikelompokkan ke dalam lima
kelompok yaitu kelembagaan dalam pengadaan sarana produksi, kelembagaan dalam
budidaya (usahatani), kelembagaan dalam pengolahan hasil produksi, kelembagaan dalam
pemasaran dan kelembagaan pendukung. Pengelompokan kelembagaan ini berdasarkan
pengertian dari Sistem agribisnis (Syahyuti, 2003; Krisnamurthi 2001 dan 2005).
Kelembagaan ini saling terkait (integrasi) secara vertikal (backward and forward linkage
kepada kelembagaan yang berbeda fungsinya) dan integrasi secara horizontal (keterkaitan
kelembagaan yang fungsinya sama, misal kerja sama petani dalam kelompok tani dalam
upaya memperbesar skala usaha).
Pengembangan kelembagaan agribisnis perlu dilakukan untuk meningkatkan daya saing
dari produk agribisnis Indonesia, baik di pasar domestik (lokal) maupun di pasar
internasional (ekspor). Untuk itu pengembangan kelembagaan agribisnis perlu dilakukan
secara integrasi vertikal antar subsistem, maupun pengembangan di tingkat organisasi bisnis
petani, agar mampu meningkatkan nilai tambah yang ada mulai dari subsistem hulu sampai
subsistem hilir. Kelembagaan di tingkat petani dapat dilakukan untuk pengadaan sarana
produksi, pemasaran dan pengolahan komoditi yang dihasilkan. Dengan demikian kerja sama
secara integrasi vertikal dan horizontal dapat saling menguntungkan semua pihak yang
terlibat dan menghasilkan produk-produk agribisnis yang memiliki daya saing tinggi.
Kelembagaan penunjang di tingkat usahatani atau petani sampai dengan pengolahan bahan
baku menjadi bahan jadi, dapat dilakukan oleh kelompok tani (Poktan), gabungan kelompok
tani (Gapoktan) maupun oleh Koperasi. Pada awalnya diharapkan petani bersatu di dalam
satu wadah yaitu Kelompok Tani yang berperan dalam upaya penyediaan input, peningkatan
produktivitas dan pemasaran output secara bersama-sama (secara horizontal) dalam upaya
meningkatkan posisi petani (bargaining position). Kemudian beberapa kelompok tani dapat
bergabung untuk melakukan aktivitas agribisnis sistem (kerja sama secara vertikal) dalam
satu wadah yang disebut Gapoktan. Tujuannya untuk peningkatan skala usaha dan usaha
yang komersial sehingga pertanian dalam arti luas dapat berkembang. Usaha ini juga dapat
dilakukan oleh kelembagaan Koperasi di lain pihak, merupakan kelembagaan yang berbadan
hukum di mana kekuasaan tertinggi ada pada anggota melalui Rapat Anggota Tahunan
(RAT).
Kelembagaan Pendidikan, Pelatihan dan Penyuluhan sangat diperlukan untuk
pengembangan agribisnis di Indonesia, terutama di tingkat usahatani dan pengolahan produk-
produk pertanian di tingkat UMKM. Pengembangan Sumber daya Manusia (SDM) pelaku-
pelaku dalam sistem agribisnis yaitu subsistem hulu (penyediaan sarana produksi), usahatani
dan agribisnis hilir (pengolahan dan pemasaran). Pendidikan, Pelatihan dan Penyuluhan,
dapat dilakukan secara formal dan informal. Melalui pendidikan dapat dilakukan secara
formal pada sekolah-sekolah kejuruan yang berbasis agribisnis mulai pendidikan dari industri
hulu (teknologi pembibitan, pemupukan organik dan lain-lain), di tingkat usahatani
mengusahakan komoditas primer yang standar dan komersial sesuai dengan keinginan pasar
(pabrik pengolah maupun konsumen akhir). Melalui Pelatihan dan Penyuluhan dapat
dilakukan secara informal, melalui kursus-kursus ataupun magang di perusahaan-perusahaan
besar, memperkenalkan dan melatih keterampilan dalam sistem agribisnis yang modern dan
komersial, tetapi dengan orientasi bisnis yang sehat (efisien dan efektif). Kerja sama yang
sinergis dan harmonis antar berbagai posisi ataupun subsistem dalam agribisnis akan
terwujud.
Magang atau Studi Banding, merupakan salah satu metode pembelajaran bagi SDM yang
efektif dalam sistem agribisnis. Magang merupakan pembelajaran ataupun latihan melalui
pelaksanaan tugas (learning by doing) dan belajar dengan mengalami sendiri (learning by
experiencing). Studi banding dapat memperluas wawasan dari pelaku agribisnis, untuk
melihat dan mempelajari praktek-praktek agribisnis yang berhasil dan maju di wilayah lain
bahkan sampai di luar negeri.
Martha Tilaar (2006) mengemukakan dalam Era Global membutuhkan SDM unggul yang
dapat survive dalam ketatnya persaingan dan tuntutan akan kualitas yang sempurna. Untuk
tercapainya SDM yang unggul tersebut adalah manusia pembelajar (belajar sepanjang
hayat). Dalam Era Global, permintaan produk-produk agribisnis, maupun teknologi untuk
menghasilkan produk agribisnis yang diinginkan konsumen, cepat sekali berubah, dinamis
dan higienitas yang tinggi. Oleh sebab itu diperlukan tenaga-tenaga SDM yang selalu mau
belajar dan berorientasi ke masa depan dan kepuasan konsumen.
Menurut Mochtar Buchori (2006), ada dua (2) ciri pendidikan agribisnis yang
dicanangkan yaitu (1) tidak hanya berorientasi pada pembangunan teknis sektoral, (2) harus
menekankan pada aspek reformasi sosial dengan sasaran utama pada pemberdayaan manusia
serta sinergi lintas sektoral sehingga dapat membangun pertanian secara berkelanjutan.
Kedua ciri pendidikan ini dapat melalui pendidikan formal maupun informal. Pemberdayaan
manusia melalui hubungan yang harmonis dan sinergis antara pelaku-pelaku agribisnis dan
tidak merusak lingkungan, sehingga akan terwujud sistem agribisnis yang ramah lingkungan
dan berkelanjutan.
Pemberdayaan Kelembagaan Agribisnis dapat juga dilakukan melalui pendekatan Supply
Chain Management – SCM (Penawaran Rantai Pasok atau Manajemen Rantai Pasok). SCM
merupakan pendekatan kerja sama terintegrasi antara retailer dengan pemasok barang jadi,
pabrik dengan pemasok bahan baku dan seterusnya; pendekatan jejaringan ini merupakan
kerja sama, koordinasi terintegrasi tentang apa yang diinginkan konsumen (consumer driven)
yang disampaikan kepada pelaku-pelaku bisnis di bawahnya mulai dari pedagang eceran
sampai ke petani sebagai penyedia bahan baku. Dengan demikian pendekatan SCM
merupakan pendekatan, kerja sama jejaringan terintegrasi arus informasi dan produk mulai
dari pemasok sampai ke tangan konsumen akhir. Pendekatan ini sama dengan pendekatan
integrasi vertikal yang umum, hanya dalam pendekatan SCM kerja sama antarperusahaan
dimulai dengan adanya arus informasi tentang apa yang diinginkan konsumen (retailers),
kemudian disampaikan kepada grosir, pabrik dan terus sampai ke petani sebagai penyedia
bahan baku.
Pendekatan SCM akan meningkatkan nilai tambah atau meningkatkan efisiensi dalam
penyediaan produk yang diinginkan konsumen, antara lain (Daryanto, A. 2009):
1. Kesesuaian produk pesanan, ketepatan dalam distribusi dan kesesuaian dalam biaya
produksi.
2. Mengurangi biaya transaksi yang berdampak pada timbulnya respons pasar terhadap
kepentingan pedagang eceran atau konsumen akhir.
3. Mengurangi risiko bisnis, yaitu memberikan jaminan pasar produk dan pengembangan
modal untuk memberikan nilai tambah produk yang dihasilkan sesuai dengan keinginan
konsumen akhir.
4. Menjamin ketersediaan dan kontinuitas produk maupun bahan baku sesuai dengan
ketepatan waktu yang diinginkan.

Memperhatikan manfaat dari kerja sama dari kelembagaan agribisnis dan kondisi
pemasaran produk agribisnis yang kompetitif dan kompleks, maka kerja sama yang
terintegrasi vertikal maupun horizontal (memperluas volume usaha), harus dilakukan. Kerja
sama ini sebaiknya dilakukan secara tertulis atau formal, sehingga masing-masing pihak
yang terlibat dalam kerja sama ini dapat memenuhi kewajiban dan tanggung jawab masing-
masing dan efisiensi maupun efektivitas dapat terwujud. Koperasi merupakan kelembagaan
yang sangat sesuai dengan karakteristik agribisnis di Indonesia. Koperasi merupakan
kelembagaan sosial dan ekonomi yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan
kesejahteraan anggotanya. Koperasi dapat melakukan pengolahan hasil dari anggota ataupun
bekerja sama dengan perusahaan pengolah, pabrik secara integrasi vertikal, sehingga
bargaining power petani akan meningkat. Keuntungan bisnis koperasi akan dibagikan
kembali kepada anggota berupa Sisa Hasil Usaha (SHU), sesuai dengan aktivitas anggota
dalam bisnis koperasi.

Anda mungkin juga menyukai