Jahe merah (Zingiber officinale var rubrum) berasal dari Asia Pasifik yang
tersebar dari India sampai China. Oleh karena itu kedua bangsa ini disebut-sebut
sebagai bangsa yang pertama kali memanfaatkan jahe terutama sebagai bahan
minuman, bumbu masak dan obat-obatan tradisional (Setiawan, 2015: 17).
Penyebaran tanaman jahe merah (Zingiber officinale var rubrum) kini
sampai di wilayah tropis dan subtropis, contohnya Indonesia. Jahe merah (Zingiber
officinale var rubrum) disebut juga jahe sunti. Selain itu, banyak nama lain dari jahe
dari berbagai daerah di Indonesia antara lain halia (Aceh), beeuing (Gayo), bahing
(Batak Karo), sipodeh (Minangkabau), jahi (Lampung), jahe (Sunda), jae (Jawa dan
Bali), jhai (Madura), melito (Gorontalo), geraka (Ternate), dan sebagainya
(Setiawan, 2015: 17).
Jahe Merah
Menurut Soekartawi (1993), dalam unit ekonomi yang terkecil atau yang
sering dikenal dengan istilah Wilayah Unit Desa (WILUD), dilengkapi dengan
kelembagaan yang dapat melayani petani yaitu :
(1) Melalui koperasi petani dapat memperbaiki posisi rebut tawar mereka baik
dalam memasarkan hasil produksi maupun dalam pengadaan input produksi
yang dibutuhkan. Posisi rebut tawar (bargaining power) ini bahkan dapat
berkembang menjadi kekuatan penyeimbang (countervailing power) dari
berbagai ketidakadilan pasar yang dihadapi para petani.
(2) Dalam hal mekanisme pasar tidak menjamin terciptanya keadilan, koperasi
dapat mengupayakan pembukaan pasar baru bagi produk anggotanya. Pada
sisi lain koperasi dapat memberikan akses kepada anggotanya terahadap
berbagai penggunaan faktor produksi dan jasa yang tidak ditawarkan pasar.
(3) Dengan bergabung dalam koperasi, para petani dapat lebih mudah
melakukan penyesuaian produksinya melalui pengolahan paska panen
sehubungan dengan perubahan permintaan pasar. Pada gilirannya hal ini
akan memperbaiki efisiensi pemasaran yang memberikan manfaat bagi
kedua belah pihak, dan bahkan kepada masyarakat umum maupun
perekonomian nasional.
(4) Dengan penyatuan sumberdaya para petani dalam sebuah koperasi, para
petani lebih mudah dalam menangani risiko yang melekat pada produksi
pertanian, seperti: pengaruh iklim, heterogenitas kualitas produksi dan
sebaran daerah produksi.
(5) Dalam wadah organisasi koperasi, para petani lebih mudah berinteraksi
secara positif terkait dalam proses pembelajaran guna meningkatkan
kualitas SDM mereka.
PENUTUP
Arief, M., Suamba, & Artini. (2017). Nilai Tambah Produk Olahan Jahe Merah
pada UD. Vision Bali Herbal Indonesia, Denpasar. E-Journal Agribisnis
dan Agrowisata, VI, 280-290.
Eddi, Supriono. (2012). Makalah Kelembagaan Dan Koperasi Strategi
Kelembagaan Koperasi Agribisnis Dalam Memberdayakan Petani Pesisir.
Universitas Borneo Tarakan.
Nartopo, S. A. (2009). Analisis Pengembangan Agribisnis Jahe (Zingiber
officinale) di Desa Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar. Retrieved
Februari 18, 2018, from
https://digilib.uns.ac.id/dokumen/download/9605/MjI0NDY=/Analisis-
pengembangan-agribisnis-jahe-Zingiber-officinale-di-desa-Ngargoyoso-
kabupaten-Karanganyar-abstrak.pdf
Pribadi, E. R. (2007). Usahatani dan Pemasaran Jahe. Retrieved Februari 18, 2018,
from
https://www.academia.edu/attachments/37075318/download_file?st=MTU
xODk3OTI3NSwzNi44NC42NS4xODcsMTQ0OTI4Mzc%3D&s=swp-
toolbar&ct=MTUxODk3OTI3OCwxNTE4OTc5MzA5LDE0NDkyODM3
Wahyuni, S. (2007). Pengembangan Agribisnis Ditinjau Dari Kelembagaan. Media
Agro, III, 9-20.