Anda di halaman 1dari 31

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Agribisnis

Menurut Arsyad, dkk (2006: 16), agribisnis adalah suatu kegiatan usaha

yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan

hasil dan pemasaran yang ada hubungannya dengan pertanian arti luas. Dimaksud

dengan “ada hubungannya” dengan pertanian dalam artian luas adalah kegiatan

usaha yang menunjukan kegiatan pertanian dan kegiatan kegiatan usaha yang

ditunjukkan oleh kegiatan pertanian.

Konsep agribisnis sebenarnya adalah suatu konsep yang utuh, mulai dari

proses produksi, mengolah hasil, pemasaran dan aktivitas lain yang berkaitan

dengan kegiatan pertanian. Agribisnis sebagai sistem adalah keseluruhan aktivitas

produksi input, produksi dan produksi pengolahan dari hasil suatu pertanian

(Soekartawi, 2003: 42). Agribisnis diartikan sebagai kegiatan pertanian yang

ditunjukkan untuk mendapatkan keutungan usaha, tenaga kerja, rencana

penggunaan tanah, biaya penggunaan tanah, sarana dan kebutuhan lain yang

penting. Dengan demikian, agribisnis merupakan konsep yang utuh mulai dari

proses produksi, pengolahan hasil dan aktivitas lain yang berkaitan dengan

kegiatan pertanian (Nurani, 2007: 38).

Agribisnis merupakan bentuk sistem komoditas, yakni meliputi komponen

input, produksi dan distribusi dengan sendirinya agribisnis menjadi sebuah sistem,

yakni sebagai suatu kesatuan organisasional yang melaksanakan fungsi produksi,


11

pengolahan dan distribusi produk pertanian. Sebagai sebuah sistem, agribisnis

menyerap input dan melalui berbagai proses produksi, pengelolahan dan distribusi

menghasilkan produk untuk konsumen. Masing-masing komponen atau subsistem

agribisnis juga merupakan suatu sistem contohnya, dalam komponen agriservis,

khususnya produksi teknologi baru sebagai output. Demikian pula dalam

komponen agriindustri hilir.

Agriindustri hulu dan agriservis berperan sebagai input dalam sistem

agribisnis berturut-turut sebagai pemasok barang input dan jasa input. Input-input

tersebut dipadukan dalam proses menghasilkan produksi primer di komponen

alamiah ditransformasikan menjadi produk primer. Berdasarkan produk primer,

agriproduksi mengalami perpindahan secara ruang dan perpindahan berlangsung

oleh jasa agriniaga. Soekartawi(2005: 27) menyatakan bahwa produk primer ada

yang langsung dikonsumsi oleh rumah tangga konsumen adapun yang diolah

terlebih dahulu di agriindustri hilir dan menghasilkan produk antara (intermediate

product) atau produk akhir (final product ).

Menurut Suryanto (2004: 58), agribisnis adalah usaha pertanian dalam arti

luas mencakup semua kegiatan mulai dari pengadaan dan penyaluran sarana

produksi sampai pada kegiatan budidaya produksi usaha tani, kegiatan pengolahan

hasil, dan kegiatan pemasarannya. Kegiatan agribisnis secara utuh mencakup: (1)

subsistem agribisnis hulu (upstream agribusiness) yaitu kegiatan ekonomi yang

menghasilkan dan menyalurkan sarana produksi; (2) subsistem usaha budidaya

usahatani (on-farm agribusiness) yaitu kegiatan ekonomi yang menggunakan

saprodi untuk menghasilkan produksi primer; (3) subsistem agribisnis hilir

(down
tream agribusiness) yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah hasil pertanian primer

menjadi produk olahan yang siap dikonsumsi; (4) subsistem pemasaran

(marketing agribusiness) kegiatan memasarkan hasil pertanian primer dan produk

olahannya.

Dijelaskan lebih lanjut oleh Suryanto (2004: 62), pembangunan agribisnis

ternak ruminansia dengan menggunakan pendekatan sistem agribisnis dapat

dikelompokan menjadi empat sistem yaitu (1) subsistem agribisnis hulu

(upstream agribusiness) yaitu kegiatan ekonomi yang menghasilkan dan

menyalurkan sarana produksi seperti pembibitan ternak, usaha industri pakan,

industri obat-obatan, industri inseminasi buatan, dan lain-lain beserta kegiatan

perdagangannya; (2) subsistem usaha budidaya usahatani (on-farm agribusiness)

yaitu kegiatan ekonomi yang menggunakan saprodi untuk menghasilkan produksi

primer (farm product); (3) subsistem agribisnis hilir (downtream off-farm

agribusiness) yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah hasil pertanian primer

menjadi produk olahan dan memperdagangkan hasil olahan ternak, dalam

subsistem ini termasuk industri pemotongan ternak, industri

pengolahan/pengalengan daging, industri pengawetan kulit, industri penyamaan

kulit, industri sepatu, industri pengolahan susu dan lain- lain beserta

perdagangannya di dalam negeri maupun ekspor; (4) subsistem jasa penunjang

(supporting institution) kegiatan yang menyediakan jasa dalam agribisnis ternak

seperti perbankan, transportasi, penyuluhan, peskesnak, holding ground,

kebijakan pemerintah (Ditjen Produksi Peternakan), Lembaga Pendidikan dan

Penelitian, dan lain-lain (Saragih, 2001: 39).


Sumber daya manusia dalam hal ini para petani dapat ditingkatkan melalui

penyuluhan. Penyuluhan dalam bidang pertanian merupakan kegiatan pendidikan

non formal yang ditujukan kepada masyarakat tani untuk membantu

meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dengan tujuan meningkatkan taraf

hidup melalui usaha tani sehingga petani mampu meningkatkan better farming,

better business dan better living (Dwijatmiko dan Surtini, 2006).

2.2 Teori Pembangunan dan Teori Pengembangan Wilayah

2.2.1 Teori Pembangunan

Pembangunan dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu proses perbaikan

yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara

keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi, dan

pembagunan adalah mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang

belum ada (Rustiadi, dkk, 2009). Menurut Blakely dalam Kuncoro (2004: 64),

pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana pemerintah daerah

dan seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumber daya yang ada dan

membentuk suatu pola kemitraan untuk menciptakan suatu lapangan pekerjaan

baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut.

Sesungguhnya, teori pembangunan terkait erat dengan strategi

pembangunan, yakni perubahan struktur ekonomi dan pranata sosial yang

diupayakan untuk menemukan solusi yang konsisten dan langgeng bagi persoalan

yang dihadapi, muncul berbagai pendekatan menyangkut tema-tema kajian

tentang pembangunan. Satu di antaranya adalah mengenai isu pembangunan


wilayah. Secara luas, pembangunan wilayah diartikan sebagai suatu upaya

merumuskan dan mengaplikasikan kerangka teori ke dalam kebijakan ekonomi

dan program pembangunan yang di dalamnya mempertimbangkan aspek wilayah

dengan mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan menuju tercapainya

kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan (Nugroho dan Dahuri, 2004).

Menurut Todaro (2006: 57) pembangunan harus memenuhi tiga komponen

dasar yaitu: 1. Kecukupan (sustenance): kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-

kebutuhan dasar, yaitu sandang, pangan, papan, ketahanan dan proteksi. 2. Harga

diri (self esteem): dorongan dari diri sendiri untuk maju, untuk menghargai diri

sendiri, untuk merasa diri pantas dan layak melakukan atau mengejar sesuatu, dan

seterusnya. 3. Kebebasan dari sikap menghamba (freedom): kemampuan untuk

memilih: kemampuan untuk berdiri tegak sehingga tidak diperbudak oleh

pengejaran aspek-aspek materiil dalam kehidupan ini.

Todaro (2006: 59) menjelaskan proses pembangunan di semua masyarakat

paling tidak harus memiliki tiga tujuan inti sebagai berikut:

1) Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barang

kebutuhan hidup yang pokok, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan,

dan perlindungan keamanan.

2) Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan

pendapatan, tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja,

perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai

kultural dan kemanusiaan, yang kesemuanya itu tidak hanya untuk


memperbaiki kesajahteraan materiil, melainkan juga menumbuhkan harga

diri pada pribadi dan bangsa yang bersangkutan.

3) Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta

bangsa secara keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari

belitan sikap menghamba dan ketergantungan.

Dijelaskan lebih lanjut oleh Kuncoro (2000: 78) bahwa pembangunan

regional sebaiknya lebih memperhatikan keunggulan-keunggulan dan

karakteristik khusus suatu daerah. Pembangunan juga harus dapat meningkatkan

pendapatan perkapita dari penduduk tersebut dan akan meningkatkan daya tarik

daerah untuk menarik investor-investor baru untuk menanamkan modalnya di

daerah, yang pada akhirnya akan mendorong kegiatan ekonomi yang lebih tinggi.

Pada dasarnya, pembangunan regional tidak bisa dilepaskan kaitannya

dengan pembangunan nasional, salah satu sasaran pembangunan nasional

Indonesia adalah menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil

pembangunan, termasuk di dalamnya pemerataan pendapatan antar daerah

(wilayah). Untuk mencapai sasaran di atas bukanlah pekerjaan ringan karena pada

umumnya pembangunan ekonomi suatu daerah berkaitan erat dengan potensi

ekonomi dan karakteristik yang dimilikinya. Pembangunan ekonomi daerah

mempunyai tujuan utama, yaitu meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja

untuk masyarakat lokal, dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah

daerah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif

membangun daerahnya.
Pemerintah daerah harus berupaya menggunakan sumber daya yang ada di

daerah tersebut dengan sebagaimana mestinya untuk kemakmuran rakyat banyak

dan mendorong perekonomian untuk maju. Bila memperbandingkan pertumbuhan

antara daerah, maka akan ditemui kenyataan bahwa ada daerah yang tumbuh lebih

cepat diantaranya disebabkan oleh struktur ekonominya sebagian besar

mempunyai laju pertumbuhan yang cepat. Sebaliknya bagi daerah yang

pertumbuhannya lambat, sebagian besar sektor ekonominya mempunyai laju

pertumbuhan yang lambat.

Salah satu tujuan pembangunan adalah meningkatkan pertumbuhan

ekonomi, dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tentu akan dapat dirasakan

manfaatnya oleh masyarakat luas. Indikator penting untuk mengetahui kondisi

ekonomi suatu wilayah atau daerah dalam suatu periode tertentu ditunjukkan oleh

data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) wilayah atau daerah tersebut.

Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator penting dalam melakukan

analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara.

Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian akan

menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu.

Disamping analisis pertumbuhan ekonomi dapat digunakan untuk menentukan

keberhasilan pembangunan yang telah dicapai dapat pula digunakan untuk

menentukan arah pembangunan yang akan datang.

Keberhasilan pelaksanaan pembangunan daerah berkaitan erat dengan

kualitas perencanaan pembangunan daerah. Rencana pembangunan daerah

tersebut dilaksanakan berdasarkan identifikasi terhadap wilayah perencanaan dan


karakteristik wilayah. Karakteristik wilayah perencanaan meliputi berbagai

permasalahan dan potensi yang dimiliki daerah. Perencanaan pembangunan suatu

daerah diarahkan untuk mengelola sumber daya daerah sehingga dapat menunjang

pembangunan ekonomi daerah tersebut.

Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama

untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah.

Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakat harus

secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah. Oleh sebab itu,

pemerintah daerah beserta partisipasi masyarakatnya dan dengan menggunakan

sumber daya yang ada harus mampu menaksir potensi sumber daya yang

diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian daerah (Arsyad

dalam Sinaga 2012: 41).

2.2.2 Teori Pengembangan Wilayah

Wilayah dikonotasikan dengan lokasi suatu kegiatan pembangunan atau

kegiatan-kegiatan ekonomi seperti industri atau pabrik, perusahaan, dan fasilitas

pelayanan, dengan demikian pemilihan atau penentuan lokasinya akan

berpengaruh terhadap kelangsungan kegiatan-kegiatan tersebut (Adisasmita,

2008). Pengertian wilayah sangat penting untuk diperhatikan apabila berbicara

tentang program-program pembangunan yang terkait dengan pengembangan

wilayah dan pengembangan kawasan. Pengembangan kawasan terkait dengan

pengembangan fungsi tertentu dari suatu unit wilayah, mencakup fungsi sosial,

ekonomi, budaya, politik maupun pertahanan dan keamanan. Sementara itu,


pengembangan wilayah seharusnya mempunyai cakupan yang lebih luas yaitu

menelaah keterkaitan antar kawasan (Rustiadi, dkk, 2011: 24).

Pada laporan PBB yang berjudul “Toward Accelerated Development:

Proposals for the second decade”, yang disusun oleh UN Committee for

Development dalam Rustiadi, dkk, (2011), secara tegas diusung tiga prasyarat

terhadap percepatan pengembangan wilayah yaitu; 1) Mobilisasi serta

penggerakan potensi dan sumber daya domestik; 2) Partisipasi masyarakat luas

dalam proses pembangunan dan upaya memenuhi standar hidup minimum

masyarakat banyak, dan 3) Mempraktikkan “perencanaan partisipatif” untuk

membangun kapasitas sosial dan kelembagaan masyarakat yang dibutuhkan untuk

pembangunan berkelanjutan.

Pengembangan wilayah menurut Rustiadi, dkk. (2011), adalah

pengembangan fungsi tertentu dari suatu unit wilayah, mencakup fungsi sosial,

ekonomi, budaya, politik, maupun pertahanan dan keamanan yang mempunyai

cakupan keterkaitan antarkawasan. Salah satu tujuan pengembangan wilayah

adalah pemerataan kesejahteraan antar wilayah. Kesejahteraan suatu wilayah

dapat dilihat melalui tingkat pertumbuhan ekonomi wilayahnya. Pertumbuhan

ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat secara keseluruhan

yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (added

value) yang terjadi (Tarigan, 2005).

Menurut pendapat Rustiadi, dkk. (2011), kemampuan memacu

pertumbuhan suatu wilayah atau negara sangat tergantung dari keunggulan atau

daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayahnya. Nilai strategis setiap sektor di


dalam memacu menjadi pendorong utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi

wilayah berbeda-beda. Sektor potensial adalah sektor yang mempunyai potensi

untuk dapat menjadi sektor basis di suatu wilayah. sektor ekonomi suatu wilayah

dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sektor basis dimana kelebihan dan

kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut

menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Artinya

industri basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik

daerah maupun pasar luar daerah/wilayah. Sektor non-basis adalah sektor dengan

kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di daerahnya sendiri, dan kapasitas

ekspor daerah belum berkembang.

Strategi dalam pengembangan wilayah dapat dikategorikan menjadi dua,

yaitu demand side strategy dan supply side strategi. Demand side strategy atau

strategi dari sisi permintaan adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang

diupayakan melalui peningkatan barang-barang dan jasa-jasa dari masyarakat

setempat melalui kegiatan produksi lokal. Tujuan pengembangan wilayah secara

umum adalah meningkatkan taraf hidup penduduk. Peningkatan taraf hidup

penduduk diharapkan akan meningkatkan permintaan terhadap barang-barang non

pertanian. Adanya peningkatan tersebut akan meningkatkan perkembangan sektor

industri dan jasa-jasa yang akan lebih mendorong perkembangan wilayah tersebut.

Sedangkan supply side strategi atau strategi dari sisi penawaran adalah suatu

strategi yang terutama diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan-

kegiatan produksi yang berorientasi ke luar. Tujuan penggunaan strategi ini

adalah untuk meningkatkan pasokan dari komoditas yang pada umumnya diproses
dari sumber daya alam lokal. Kegiatan produksi terutama ditunjukkan untuk

ekspor yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan lokal dan selanjutnya akan

menarik kegiatan lain untuk datang ke wilayah tersebut (Rustiadi, dkk. 2011).

Perencanaan pembangunan wilayah semakin relevan dalam

mengimplementasikan kebijakan ekonomi dalam aspek kewilayahan. Hoover dan

Giarratani (dalam Nugroho dan Dahuri, 2004), menyimpulkan tiga pilar penting

dalam proses pembangunan wilayah, yaitu:

1) Keunggulan komparatif (imperfect mobility of factor). Pilar ini

berhubungan dengan keadaan dtemukannya sumber-sumber daya tertentu

yang secara fisik relatif sulit atau memiliki hambatan untuk digerakkan

antar wilayah. Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor lokal (bersifat khas

atau endemik, misalnya iklim dan budaya) yang mengikat mekanisme

produksi sumber daya tersebut sehingga wilayah memiliki komparatif.

Sejauh ini, karakteristik tersebut senantiasa berhubungan dengan produksi

komoditas dari sumber daya alam, antara lain pertanian, perikanan,

pertambangan, kehutanan, dan kelompok usaha sektor primer lainnya.

2) Aglomerasi (imperfect divisibility). Pilar aglomerasi merupakan fenomena

eksternal yang berpengaruh terhadap pelaku ekonomi berupa

meningkatnya keuntungan ekonomi secara spasial. Hal ini terjadi karena

berkurangnya biaya-biaya produksi akibat penurunan jarak dalam

pengangkutan bahan baku dan distribusi produk.

3) Biaya transpor (imperfect mobility of good and service). Pilar ini adalah

yang paling kasat mata mempengaruhi aktivitas perekonomian.


Implikasinya adalah biaya yang terkait dengan jarak dan lokasi tidak dapat

lagi diabaikan dalam proses produksi dan pembangunan wilayah.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan

wilayah antara lain dipengaruhi oleh aspek-aspek keputusan lokasional,

terbentuknya sistem perkotaan, dan mekanisme aglomerasi. Istilah pertumbuhan

wilayah dan perkembangan wilayah sesungguhnya tidak bermakna sama.

Pertumbuhan dan perkembangan wilayah merupakan suatu proses kontiniu hasil

dari berbagai pengambilan keputusan di dalam ataupun yang mempengaruhi suatu

wilayah.

Perkembangan wilayah senantiasa disertai oleh adanya perubahan

struktural. Wilayah tumbuh dan berkembang dapat didekati melalui teori sektor

(sektor theory) dan teori tahapan perkembangan (development stages theory).

Teori sektor diadopsi dari Fisher dan Clark yang mengemukakan bahwa

berkembangnya wilayah, atau perekonomian nasional, dihubungan dengan

transformasi struktur ekonomi dalam tiga sektor utama, yakni sektor primer

(pertanian, kehutanan dan perikanan), serta sektor tertier (perdagangan,

transportasi, keuangan dan jasa). Perkembangan ini ditandai oleh penggunaan

sumber daya dan manfaatnya, yang menurun di sektor primer, meningkat di sektor

tertier, dan meningkat hingga pada suatu tingkat tertentu di sektor sekunder.

2.3 Teori Pertumbuhan Daerah

Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara

dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari


perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode berikutnya.

Pertumbuhan ekonomi yang berlangsung secara berkesinambungan dalam suatu

kurun waktu tertentu dapat mengubah struktur ekonomi. Keadaan ekonomi di

negara manapun umumnya mengalami pertumbuhan baik secara alamiah maupun

pengaruh dari kebijakan ekonomi. Perubahan struktur (transformasi struktural)

perekonomian suatu daerah adalah perubahan dari sistem ekonomi tradisional ke

sistem ekonomi modern. Ini berarti juga terjadi perubahan struktur ekonomi dari

sektor pertanian ke sektor industri kemudian dari sektor industri berubah ke sektor

jasa-jasa (Sirojuzilam dan Mahalli, 2010).

Sjafrizal (2012: 28), pertumbuhan ekonomi suatu wilayah pada dasarnya

ditentukan oleh besarnya keuntungan kompetitif (competitive advantage) yang

dimiliki oleh wilayah bersangkutan. Bila suatu wilayah tertentu dapat mendorong

pertumbuhan sektor-sektor yang mempunyai keuntungan kompetitif sebagai basis

untuk kegiatan ekspor, maka pertumbuhan ekonomi wilayah yang bersangkutan

akan meningkat cepat. Hal ini dapat terjadi karena peningkatan ekspor tersebut

akan memberikan dampak berganda (multiplier effect) yang cukup besar bagi

perekonomian daerah bersangkutan.

Keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh tiga hal pokok

yaitu (1) berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan

pokoknya (basic need); (2) meningkatkan rasa harga diri (self esteem); (3)

meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from servitude)

yang merupakan salah satu dari hak manusia. Pertumbuhan ekonomi daerah

merupakan proses kenaikan pendapatan perkapita daerah tersebut dalam jangka


panjang. Sumberdaya lokal yang merupakan potensi ekonomi harus dapat

dikembangkan secara optimal sehingga memberikan kontribusi bagi pertumbuhan

ekonomi suatu daerah. Kemampuan pemerintah daerah untuk melihat sektor yang

memiliki keunggulan/kelemahan di wilayahnya menjadi semakin penting. Sektor

yang mempunyai keunggulan memiliki prospek yang lebih baik untuk

dikembangkan dan diharapkan dapat mendorong sektor-sektor lain untuk

berkembang (Tarigan, 2005: 121).

Theory growth poles adalah salah satu teori yang dapat menggabungkan

antara prinsip-prinsip konsentrasi dengan desentralisasi secara sekaligus (Alonso

dalam Sirojuzilam dan Mahalli, 2010). Dengan demikian, teori pusat

pengembangan merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pembangunan

regional yang saling bertolak belakang, yaitu pertumbuhan dan pemerataan

pembangunan ke seluruh pelosok daerah. Selain itu teori ini juga dapat

menggabungkan antara kebijaksanaan dan program pembangunan wilayah dan

perkotaan terpadu.

2.4 Teori Perubahan Struktur Ekonomi

Chenery dalam Tambunan (2001: 67) menyatakan bahwa perubahan

struktur ekonomi yang umum disebut dengan transformasi struktural diartikan

sebagai suatu rangkaian perubahan yang saling terkait satu dengan yang lainnya

dalam komposisi Agregat Demand, perdagangan luar negeri (ekspor dan impor),

Agregat Supply (produksi dan penggunaan faktor-faktor produksi seperti tenaga

kerja dan modal) yang diperlukan guna mendukung proses pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Transformasi ekonomi merupakan

salah satu indikator terjadinya pembangunan perekonomian wilayah. Jika terjadi

proses transformasi ekonomi maka dapat dinyatakan bahwa telah terjadi

pembangunan ekonomi dan perlu pengembangan lebih lanjut, akan tetapi jika

tidak terjadi proses transformasi maka pemerintah daerah perlu mengadakan

perbaikan dalam penyusunan perencanaan wilayahnya, sehingga kebijakan

pembangunan yang disusun menjadi lebih terarah agar tujuan pembangunan dapat

tercapai.

Adapun beberapa faktor penyebab terjadinya transformasi ekonomi yaitu,

pertama disebabkan oleh sifat manusia dalam kegiatan konsumsinya. Sesuai

dengan Hukum Engels bahwa makin tinggi pendapatan masyarakat, maka makin

sedikit proporsi pendapatan yang digunakan untuk membeli bahan pertanian,

sebaliknya proporsi pendapatan yang digunakan untuk membeli barang-barang

produksi industri menjadi bertambah besar. Dengan demikian peranan sektor

industri akan semakin besar dibandingkan sektor pertanian. Kedua, perubahan

struktur ekonomi disebabkan pula oleh perubahan teknologi yang berlangsung

secara terus–menerus. Proses transformasi struktural akan berjalan cepat jika

terjadi pergeseran pola permintaan domestik kearah output industri manufaktur

diperkuat oleh perubahan yang serupa dalam komposisi perdagangan luar negeri

atau ekspor.
2.5 Teori Produksi

Teori produksi adalah teori yang menerangkan sifat hubungan antara

tingkat produksi yang akan dicapai dengan jumlah faktor-faktor produksi yang

digunakan. Konsep utama yang dikenal dalam teori ini adalah memproduksi

output semakismal mungkin dengan input tertentu, serta memproduksi sejumlah

output tertentu dengan biaya produksi seminimal mungkin.

Hukum Hasil yang Semakin Berkurang (The Law of Diminishing Return)

merupakan hukum yang dicetuskan oleh David Richardo. Hukum ini menyatakan

bahwa penambahan faktor produksi tidak selalu memberikan peningkatan hasil

yang sebanding, pada titik tertentu, penambahan hasil akan semakin berkurang

meskipun faktor produksi terus ditambah. Hal ini dikarenakan penambahan iput

secara terus menerus akan berakibat pada jumlah input yang melebihi kapasitas

produksi sehingga produktivitas tidak lagi maksimal.

Seperti yang dapat kita lihat pada gambar di bawah ini, dapat kita lihat

terdapat kurva produksi total, serta kurva rata-rata produksi dan kurva produksi

marginal. Dapat kita lihat bahwa penambahan satu orang tenaga kerja sebagai

input akan meningkatkan jumlah output total yang dihasilkan, begitu juga

penambahan tenaga kerja kedua masih akan menambah jumlah produksi total

yang dihasilakn (lihat gambar pada kurva produksi total). Akan tetapi, tambahan

produksi yang diberikan oleh pekerja akan semakin berkurang. Penambahan

pekerja pertama masih memberikan tambahan hasil yang tinggi, akan tetapi

penambahan pekerja kedua, ketiga dan seterusnya akan memberikan tambahan


hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan tambahan pekerja pertama (lihat

kurva produksi marginal).

Sumber: Wikipedia.org, 2016


Gambar 2.5 Kurva Produksi

Produksi dapat dibagi menjadi lima kategori:

1. Bidang ekstraktif

Semua usaha yang dilakukan dengan cara mengambil hasil alam secara

langsung. Contoh: pertambangan, perikanan


2. Bidang agraris

Setiap usaha dengan mengolah alam agar memperoleh hasil yang dibutuhkan.

Contoh: pertanian, perkebunan

3. Bidang industri

Setiap usaha yang dilakukan dengan cara mengolah bahan mentah sampai menjadi

barang jadi.

Contoh: industri tekstil, industri makanan

4. Bidang perdagangan

Setiap usaha yang dilakukan dengan cara membeli dan menjual kembali tanpa

merubah bentuk barang yang dijual tersebut.

Contoh: industri ritel

5. Bidang jasa

Setiap usaha yang dilakukan dengan cara memberikan jasa pelayanan kepada

masyarakat.

Contoh: asuransi, perbankan, pengangkutan

2.6 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah semua barang dan jasa

sebagai hasil dari kegiatan ekonomi yang beroperasi di wilayah domestik, tanpa

memperhatikan apakah faktor produksinya berasal dari atau dimiliki oleh

penduduk daerah tersebut. Produk regional adalah produk domestik ditambah

dengan pendapatan yang diterima dari luar daerah dikurang dengan pendapatan

yang dibayarkanke luar daerah tersebut. Jadi, produk regional merupakan produk
yang ditimbulkan oleh faktor produksi yang dimiliki oleh penduduk suatu daerah

(BPS Kabupaten Buleleng, 2015).

PDRB atas dasar harga berlaku adalah jumlah nilai tambah bruto (Gross

Value Added) yang timbul dari seluruh sektor perekonomian di suatu wilayah.

Nilai tambah adalah nilai produksi (output) dikurangi biaya antara. Nilai tambah

bruto disini mencakup komponen-komponen pendapatan faktor produksi (upah

dan gaji, bunga, sewa tanah, dan keuntungan), serta penyusutan dan pajak tidak

langsung netto. Untuk dapat mengukur perubahan volume produksi atau

perkembangan produktivitas secara nyata, faktor pengaruh atas perubahan harga

perlu dihilangkan dengan cara menghitung PDRB atas dasar harga konstan (BPS

Kabupaten Buleleng, 2015).

Penghitungan atas dasar harga konstan ini berguna antara lain dalam

perencanaan ekonomi, proyeksi dan untuk menilai pertumbuhan ekonomi secara

keseluruhan maupun sektoral. Produk domestik menurut lapangan usaha atas

dasar harga konstan apabila dikaitkan dengan data mengenai tenaga kerja dan

barang modal yang dipakai dalam proses produksi dapat memberikan gambaran

tentang tingkat produktivitas dan kapasitas produksi dari masing-masing lapangan

usaha tersebut. Secara konsep nilai atas dasar harga konstan dapat juga

mencerminkan kuantum produksi pada tahun yang berjalan yang dinilai atas dasar

harga pada tahun dasar. Perkiraan produk/pendapatan domestik atas dasar harga

konstan dapat dilakukan pada PDRB menurut lapangan usaha dengan cara

menghitung nilai tambah atas dasar harga konstan untuk berbagai lapangan usaha
atau terhadap PDRB menurut pengeluaran yaitu dengan menghitung

komponenkomponen pengeluaran atas dasar harga konstan.

2.7 Teori Berbasis Ekonomi

Teori basis ekonomi mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan

ekonomi di suatu wilayah ditentukan oleh besarnya kegiatan ekspor diwilayah

tersebut. Kegiatan ekonomi dikelompokkan menjadi kegiatan basis dan non basis.

Hanya kegiatan basis yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah

(Tarigan, 2005: 75).

Teori basis ekonomi ini menyatakan bahwa faktor penentu utama

pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan

permintaan barang dan jasa dari luar daerah (Arsyad, 2002: 65). Teori basis

ekonomi ini digolongkan ke dalam dua sektor yaitu sektor basis dan sektor non

basis. Sektor basis merupakan sektor yang melakukan aktivitas berorientasi

ekspor keluar batas wilayah perekonomian yang bersangkutan. Sektor basis

memiliki peran penggerak utama (primermover) dalam pertumbuhan suatu

wilayah. Semakin besar ekspor suatu wilayah semakin maju pertumbuhan

wilayah. Setiap perubahan yang terjadi pada sektor basis menimbulkan efek ganda

dalam perekonomian regional.

Teori basis ekonomi merupakan model yang relatif sederhana. Teori ini

menyederhanakan suatu perekonomian regional terbagi menjadi dua sektor, sektor

pertama adalah sektor basis (sektor ekspor) dan sektor kedua adalah sektor non
basis (sektor lokal). Model teori ini menjelaskan struktur perekonomian suatu

daerah atas dua sektor yaitu:

1) Sektor unggulan, yaitu sektor atau kegiatan ekonomi yang melayani, baik

pasar domestik maupun pasar luar daerah itu sendiri, dan luar negri (asing)

ini berarti daerah secara tidak langsung mempunyai kemampuan untuk

mengekspor barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor tersebut ke daerah

lain.

2) Sektor non unggulan, yaitu sektor atau kegiatan yang hanya mampu

melayani pasar di daerah itu sendiri.

2.9 Location Quotient (Kuesion Lokasi)

Metode Location Quotients merupakan suatu alat yang dapat digunakan

dengan mudah, cepat, dan tepat. Karena sederhanaannya, teknik Location

Quotient dapat dihitung berulang kali dengan menggunakan berbagai perubahan

acuan dan periode waktu. Analisis Location Quotient dimaksudkan untuk

mengidentifikasi dan merumuskan komposisi dan pergesaran sektor-sektor basis

suatu wilayah dengan menggunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

sebagai indikator pertumbuhan wilayah (Adisasmita, 2005: 38).

Dalam analisis ini kegiatan ekonomi suatu daerah dibagi menjadi dua

golongan, yaitu:

1) Sektor Basis adalah kegiatan ekonomi yang melayani pasar di daerah itu

sendiri maupun di luar daerah yang bersangkutan.

2) Sektor Non Basis adalah kegiatan ekonomi yang melayani pasar di daerah itu

sendiri.
Teknik LQ merupakan salah satu pendekatan yang umum digunakan

dalam model ekonomi basis sebagai langkah awal untuk memahami sektor

kegiatan yang menjadi pemacu pertumbuhan. LQ mengukur konsentrasi relatif

atau derajat spesialisasi kegiatan ekonomi melalui pendekatan perbandingan. Inti

dari model ekonomi basis menerangkan bahwa arah dan pertumbuhan suatu

wilayah ditentukan oleh ekspor wilayah. Ekspor itu sendiri tidak terbatas pada

bentuk barang-barang dan jasa, akan tetapi dapat juga berupa pengeluaran orang

asing yang berada di wilayah tersebut terhadap barang-barang tidak bergerak

(Budiharsono, 2001: 78).

Teknik LQ banyak digunakan untuk membahas kondisi perekonomian

mengarah pada identifikasi spesialisasi kegiatan perekonomian atau mengukur

konsentrasi relatif kegiatan ekonomi untuk mendapatkan gambaran dalam

penetapan sektor unggulan sebagai leading sektor suatu kegiatan ekonomi

(industri). Dasar pembahasannya sering difokuskan pada aspek tenaga kerja dan

pendapatan. Berdasarkan pemahaman terhadap teori ekonomi basis, teknik LQ

relevan digunakan sebagai metode dalam menentukan sektor unggulan.

Khususnya dari sisi penawaran (produksi atau populasi).

Untuk sektor yang berbasis lahan seperti tanaman pangan, holtikultura,

dan perkebunan, perhitungannya didasarkan pada lahan pertanian (area tanam atau

area panen), produksi, atau produktivitas. Untuk sektor pertanian yang tidak

berbasis lahan seperti usaha ternak, dasar perhitungannya digunakan jumlah

populasi (ekor). Setiap metode analisis memiliki kelebihan dan keterbatasan

demikian halnya dengan menggunakan metode LQ (Hendayana, 2003: 67):


a) Kelebihan metode LQ dalam mengidentifikasikan sektor unggulan antara

lain penerapannya sederhana, tidak memerlukan program pengolahan data

yang rumit. Penyelesaian analisis cukup dengan spreed sheet dari excel atau

program lotus serta alat perhtungan lainnya.

b) Keterbatasannya adalah karena sederhananya perhitungan LQ ini, maka yang

dituntut adalah akurasi data. Sebaik apapun hasil olahan LQ tidak akan

banyak manfaatnya jika data yang digunakannnya tidak valid. Oleh karena

itu, sebelum memutuskan menggunakan alat analisis ini maka validitas data

sangat diperlukan.

Untuk menghindari bias musiman dan tahunan, diperlukan bila rata-rata

kurang dari lima tahun. Sementara itu di lapangan, mengumpulkan data yang

panjang ini sering mengalami hambatan. Keterbatasan lainnya dalam

mendefinisikan wilayah kajian. Untuk menetapkan batasan wilayah yang dikaji

dalam ruang lingkup aktivitas, acuannya sering tidak jelas. Akibatnya hasil

hitungan LQ terkadang aneh, tidak sama dengan apa yang kita duga.

2.10 Shift Share Analysis

Shift Share Analysis (SSA) merupakan alat analisis yang sangat baik untuk

melihat struktur perekonomian dan pergeseran pangsa sektor suatu wilayah atau

lokasi dalam kaitannya dengan wilayah yang lebih luas. Dikaitkan dengan

perkembangan perekonomian suatu wilayah, SSA juga dapat digunakan untuk

melihat fase pembangunan suatu wilayah, apakah masih bersifat pertanian primer,

industri pengolahan, perdagangan, jasa-jasa, informasi, atau bahkan telah masuk


ke dalam aktivitas ekonomi kreatif. Lebih jauh, dapat dilihat apakah transformasi

struktur perekonomian dimaksud terjadi secara seimbang (balance) atau tak

seimbang (imbalance).

Dengan kata lain, SSA dapat digunakan untuk menganalisa struktur

ekonomi suatu wilayah dilihat dari penyerapan tenaga kerja dan kontribusi

terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan untuk menganalisis

pergeseran pangsa sektor-sektor dilihat dari penyerapan tenaga kerja dan

kontribusi terhadap PDRB. SSA memberikan data tentang kinerja perekonomian

lokal dalam tiga aspek:

1) Petumbuhan ekonomi (economic growth), mengukur pertumbuhan ekonomi

dalam terminologi kesempatan kerja total dalam wilayah referensi antara dua

periode;

2) Pergeseran proporsional (proportional shift), mengukur tingkat pertumbuhan

sektor secara individu dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan wilayah

referensi total. Hal ini mengukur untuk memastikan apakah terdapat

perubahan di wilayah referensi.

3) Pergeseran diferensial (differential shift), membantu dalam menentukan daya

saing sektor/industrial lokal dibandingkan dengan wilayah referensi. Hal ini

mengukur tingkat pertumbuhan suatu sektor lokal dibandingkan dengan

sektor yang sama di wilayah referensi. Angka positif untuk parameter ini di

tingkat lokal berarti sektor tersebut tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan

sektor yang sama di wilayah referensi. Dengan kata lain, nilai positif

memberikan indikasi posisi daya saing sangat kuat.


2.11 Tipologi Klassen

Tipologi Klassen adalah alat analisis yang dapat digunakan untuk

mengidentifikasi sektor, subsektor, usaha, atau komoditas prioritas unggulan suatu

daerah. Dalam hal ini, analisis Tipologi Klassen dilakukan dengan

membandingkan pertumbuhan ekonomi daerah (Kabupaten Buleleng) dengan

pertumbuhan ekonomi daerah yang menjadi acuan (Provinsi Bali) dan

membandingkan kontribusi sektor, subsektor, usaha, atau komoditas (Widodo,

2006: 78).

Tipologi Klassen akan menunjukan posisi pertumbuhan dan pangsa sektor,

subsektor, usaha, atau komoditi pembentuk variabel regional suatu daerah.

Tipologi Klassen juga merupakan salah satu alat analisis ekonomi regional, yaitu

alat analisis yang digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan

struktur pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Tujuan analisis Tipologi Klassen

sebagai berikut:

1) Mengidentifikasi posisi perekonomian suatu daerah dengan memperhatikan

perekonomian daerah yang diacunya.

2) Mengidentifikasi sektor, subsektor, usaha, atau komoditi unggulan suatau

daerah.

Manfaat analisis Tipologi Klassen adalah sebagai berikut:

1) Dapat membuat prioritas kebijakan daerah berdasarkan keunggulan sektor,

subsektor, usaha, atau komoditi daerah yang merupakan hasil analisis tipologi

Klassen.
2) Dapat menentukan prioritas kebijakan Kabupaten berdasarkan posisi

perekonomian yang dimiliki terhadap perekonomian Provinsi.

3) Dapat menilai suatu daerah baik dari segi daerah maupun sektoral.

Alat analisis Tipologi Klassen merupakan gabungan atau perpaduan antara

alat analisis hasil bagi lokasi atau LQ dengan model rasio pertumbuhan. Data

yang bisa digunakan dalam analisa ini adalah data PDRB.

2.12 Komoditas Unggulan

Komoditas unggulan adalah komoditas andalan yang memiliki posisi

strategis, berdasarkan baik pertimbangan teknis (kondisi tanah dan iklim) maupun

sosial ekonomi dan kelembagaan (penguasaan teknologi, kemampuan sumber

daya manusia, infrastruktur, dan kondisi sosial budaya setempat), untuk

dikembangkan di suatu wilayah.

Saragih (2001: 89) mengatakan bahwa komoditas unggulan diartikan

sebagai komoditas basis yaitu komoditas yang dihasilkan secara berlebihan dalam

pengertian lebih untuk digunakan masyarakat dalam suatu wilayah tertentu

sehingga kelebihan tersebut dapat dijual keluar wilayah tersebut. Sebagai akibat

upaya transfer keluar wilayah tersebut maka terciptalah kegiatan- kegiatan

pendukung yang dapat meningkatkan nilai tambah serta memperluas kesempatan

kerja.

Menurut Ambardi dan Socia (2002), kriteria komoditas unggulan suatu

daerah, di antaranya:
1) Komoditas unggulan harus mampu menjadi penggerak utama

pembangunan perekonomian. Artinya, komoditas unggulan dapat

memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan produksi,

pendapatan, maupun pengeluaran.

2) Komoditas unggulan mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang

yang kuat, baik sesama komoditas unggulan maupun komoditas lainnya.

3) Komoditas unggulan mampu bersaing dengan produk sejenis dari wilayah

lain di pasar nasional dan pasar internasional, baik dalam harga produk,

biaya produksi, kualitas pelayanan, maupun aspek-aspek lainnya.

4) Komoditas unggulan daerah memiliki keterkaitan dengan daerah lain, baik

dalam hal pasar (konsumen) maupun pemasokan bahan baku (jika bahan

baku di daerah sendiri tidak mencukupi atau tidak tersedia sama sekali).

5) Komoditas unggulan memiliki status teknologi yang terus meningkat,

terutama melalui inovasi teknologi.

6) Komoditas unggulan mampu menyerap tenaga kerja berkualitas secara

optimal sesuai dengan skala produksinya.

7) Komoditas unggulan bisa bertahan dalam jangka waktu tertentu, mulai dari

fase kelahiran, pertumbuhan, puncak hingga penurunan. Di saat komoditas

unggulan yang satu memasuki tahap penurunan, maka komoditas unggulan

lainnya harus mampu menggantikannya.

8) Komoditas unggulan tidak rentan terhadap gejolak eksternal dan internal.


9) Pengembangan komoditas unggulan harus mendapatkan berbagai bentuk

dukungan. Misalnya, dukungan keamanan, sosial, budaya, informasi dan

peluang pasar, kelembagaan, fasilitas insentif/disinsentif, dan lain-lain.

10) Pengembangan komoditas unggulan berorientasi pada kelestarian sumber

daya dan lingkungan.

Keunggulan komperatif bagi suatu komoditas bagi suatu negara atau

daerah adalah bahwa komoditas itu lebih unggul secara relatif dengan komoditas

lain di daerahnya. Pengertian unggul dalam hal ini adalah dalam bentuk

perbandingan dan bukan dalam bentuk nilai tambah riil. Keunggulan komperatif

adalah suatu kegiatan ekonomi yang secara perbandingan lebih menguntungkan

bagi pengembangan daerah (Tarigan, 2001: 94). Hal terpenting bagi ukuran

komoditas adalah memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif sehingga

mampu bersaing di pasar dengan komoditas pesaingnya. Oleh karena itu, sangat

perlu diketahui apakah komoditas dari hutan tanaman yang ada saat ini memiliki

salah satu atau keduanya dari kriteria keunggulan tersebut. Keunggulan

komparatif sistem komoditas hutan tanaman (efisiensi ekonomi) didefinisikan

sebagai kemampuan sistem komoditas untuk memperoleh keuntungan ekonomi

pada kondisi pasar persaingan sempurna (tidak ada distorsi kebijakan).

2.13 Penelitian Terdahulu

M. Wildan (2015) melakukan penelitian berjudul Analisis Struktur

Ekonomi dan Identifikasi Sektor Unggulan di Kabupaten Nganjuk. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa pada analisis Shift Share laju pertumbuhan


tertinggi di Kabupaten Nganjuk terdapat pada sektor perdagangan, hotel dan

restoran, yaitu sebesar 48,74 persen selama tahun 2010-2014. Pada hasil analisis

LQ menunjukkan sektor yang memiliki nilai LQ > 1 adalah sektor basis. Artinya

sektor tersebut telah mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri juga untuk

memenuhi kebutuhan daerah lainnya.

Selama kurun waktu 2010-2014 yang termasuk sektor basis terdapat pada

sektor pertanian, sektor jasa-jasa dan sektor perdagangan, hotel dan restoran.

Berdasarkan analisis Tipologi Klassen maka sektor perekonomian di Kabupaten

Nganjuk, pada sektor pertanian dan industri termasuk ke dalam klasifikasi sektor

maju dan tumbuh cepat. Sektor Bangunan dan Sektor Perdagangan, hotel dan

restoran termasuk ke dalam klasifikasi sektor berkembang cepat. Sektor Listrik.

Gas dan Air Minum; Angkutan dan Komunikasi; Bank, Lemkeu dan Jasa

Perusahaan serta Jasa-Jasa termasuk ke dalam klasifikasi sektor potensial dan

sektor pertambangan dan penggalian termasuk dalam klasifikasi sektor

terbelakang.

Penelitian berjudul “Identifikasi Potensi Komoditas Unggulan pada

Koridor Jalan Lintas Selatan Jatim di Kabupaten Tulungagung-Trenggalek”

ditulis oleh Yulianto dan Santoso (2013). Alat analisis yang digunakan adalah

metode Location Quotient (LQ) dan Analisis ShiftShare. Hasil penelitiannya

adalah bahwa potensi dan dominasi komoditas unggulan dari kedua kabupaten

yang terdapat pada tujuh kecamatan yang dilalui oleh JLS (Jalur Lintas Selatan)

Jatim tidak mencakup semua komoditas, yaitu padi sawah, padi gogo, jagung,
kacang tanah, kedelai, jambu mente, kelapa, kapuk randu, cengkeh, sengon,

akasia, perikanan tangkap, sapi potong, kambing, pasir besi, dan marmer.

Beberapa hasil penelitian dan studi empiris mengenai analisis potensi

daerah telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti. Alat analisis yang dapat

digunakan di antaranya analisis Location Quotient (LQ), analisis shift-share

maupun Tipologi Klassen. Beberapa kajian menunjukkan bahwa pengembangan

komoditas unggulan sektor pertanian tanaman pangan dapat dilakukan melalui

pendekatan agribisnis. Hal ini dibuktikan oleh Prahastha Dewi dan Santoso (2014)

bahwa Kabupaten Karangasem memiliki komoditas unggulan tanaman pangan

yang berpotensi dan memiliki daya saing dan kegiatan penanganan sekunder

(pengolahan) berupa produk turunan yang memiliki nilai jual lebih tinggi

sehingga dapat meningkatkan perekonomian. Zaenuri (2015) menunjukkan bahwa

komoditas tanaman bahan makanan unggulan yang ada di Kabupaten

Boyolali dapat dibuktikan dengan menggunakan analisis Location Quotient (LQ),

Shift Shar (SS), Klassen Typologi.

Hasil penelitian Azwartika dan Sardjito (2013) membuktikan bahwa

dengan analisis Location Quotient dan Shift Share Analysis, didapat dua

komoditas unggulan pertanian yang potensial untuk dikembangkan yaitu

komoditas sapi dan jagung. Kasuba (2015) melakukan penelitian tentang potensi

komoditas hortikultura, struktur pertumbuhan dan hubungan pendapatan usaha

tani serta menetapkan formulasi strategi pengembangan komoditas unggulan

agribisnis hortikultura di Kabupaten Halmahera Selatan, dan hasilnya

membuktikan bahwa Kabupaten Halmahera Selatan memiliki potensi komoditas


unggulan pada subsektor hortikultura yang dapat dikembangkan karena potensi

lahan sangat mendukung.

Lailia dan Eko Budi Santoso (2014) dalam penelitian berjudul Penentuan

Kawasan Agroindustri Berbasis Komoditas Unggulan Sektor Pertanian di

Kabupaten Probolinggo. Hasil studi menunjukkan bahwa terdapat 18 komoditas

unggulan yang kemudian dikelompokkan menjadi tiga subsektor unggulan yaitu

Subsektor Tanaman Pangan dan Hortikultura, Subsektor Peternakan, dan

Subsektor Perikanan. Dalam penentuan kawasan agroindustri, faktor ketersediaan

bahan baku memiliki nilai bobot (tingkat pengaruh) paling besar baik untuk

subsektor tanaman pangan dan hortikultura, subsektor peternakan, dan subsektor

perikanan.

Berdasarkan beberapa penelitian yang sebelumnya telah dilaksanakan di

beberapa daerah, jelas terdapat komoditas yang dikategorikan unggul di daerah

tersebut dan tentunya satu daerah dengan daerah lainnya memiliki keunggulan

yang berbeda-beda pada subsektornya, sehingga diharapkan mampu memberikan

masukan kepada pihak terkait di daerah tersebut agar mengembangkan komoditi

yang unggul tersebut guna kemajuan dan kesejahtraan masyarakat sekitar dan

pertumbuhan ekonomi positif dapat diraih dan juga dipakai sebagai bahan

pengambilan keputusan secara efektif dan efisien untuk perencanaan wilayah

dalam pembangunan pertanian. Penelitian ini memiliki perbedaan dengan

penelitian terdahulu dimana dilaksanakan uji t agar benar-benar didapat hasil yang

akurat dari perhitungan Analisis location quotient (LQ), Analisis shift share

(SSA), dan Analisis Tipologi Klassen, serta diadakannya Zonasi Komoditas.

Anda mungkin juga menyukai