Penelitian ini berangkat dari keinginan untuk memahami bagaimana organisasi yang “korup”,
ditengah kesenjangan persepsi organizational climates antara para eksekutif dan karyawan, dan
apakah iklim tersebut terkait dengan praktik fraud. Dari hal tersebut timbul pertanyaan “When
fraud exists within an organization, how prevalent is an instrumental climate?”. Untuk itu
penelitian ini menguji bagaimana instrumental organizational climate ada dalam insiden fraud
triangle.
Climate yang dianggap berpengaruh terhadap terjadinya fraud dalam penelitian ini adalah
instrumental climate, dimana karyawan dalam organisasi yang memiliki instrumental climate
H1: When fraud exists within an organization, an instrumental climate will not be
H2b: When fraud exists within an organization, an instrumental climate will not be
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan survey terhadap individu untuk mendapatkan opini dari responden
yang terdiri dari pelaku fraud (39), auditor yang melakukan investigasi fraud (37), dan individu
Hasil dari penelitian ditemukan bahwa 39 persen responden setuju atau sangat setuju bahwa
terdapat instrumental climate pada kasus fraud yang terjadi. Hasil penelitian mendukung H1,H3a
dan H3b, serta partially support H2a dan H2b. Lingkungan kerja yang buruk serta insentif dan
tekanan sosial (terkait dengan reputasi) terkait dengan pressure dalam fraud triangle. Disamping
itu ditemukan rationalization dimana fraud yang dilakukan dianggap bermanfaat bagi organisasi.
Konribusi Penelitan:
Penelitian ini berkontribusi terhadap literatur dimana bahwa fraud terjadi tidak hanya dipicu dari
faktor individu namun dapat juga karena dorongan sosial, dan fraud ternyata memiliki tanda-
Penelitian mungkin masih mengandung bias dari responden, dan sample yang digunakan
tergolong kecil. Penelitian masa depan dapat menguji apakah suatu climate memiliki respon
Penelitian terdahulu telah menunjukkan bahwa keakuratan hipotesis awal dalam analytical
procedures oleh auditor adalah penting dalam menentukan akurasi penilaian akhir. Namun
hipotesis awal yang hanya dari melihat rasio keuangan dapat berdampak negatif terhadap
hipotesis awal ini? Penelitian ini mencoba menjawab dengan menguji bagaimana ambiguity
Ambiguitas mengacu pada kondisi di mana beberapa kemungkinan makna atau interpretasi
terbukti untuk data yang diamati. Ambiguitas informasi dapat disebabkan oleh dua variabel
utama yaitu kecukupan data (sufficiency) dan kompleksitas data (complexity). Menghasilkan
hipotesis awal berdasarkan data yang ambigu dalam proses tinjauan analitis dapat berdampak
negatif terhadap auditor untuk mengidentifikasi penyebab yang benar dari fluktuasi data
keuangan.
H1: In analytical review, more ambiguous initial information will decrease an auditor’s
ability to accurately identify financial statement errors, even after the auditor is exposed
H1a: The accuracy of auditors’ initial hypothesis sets and final judgments when using
sufficient and complex initial information will be greater than, or equal to, auditor
accuracy when using insufficient and complex initial information, and less than, or equal
to, auditor accuracy when using sufficient and not complex initial information.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan simulasi laboratorium yang melibatkan 94 partisipan dari kantor akuntan
publik besar yang terdiri dari staff-level auditor dengan rata-rata pengalaman 7,56 bulan.
kesalahan yang sudah di set. Terdapat 3 kelompok data yang dilakukan analisis yaitu
Hasil penelitian menunjukkan semua hipotesis didukung, dimana ketika auditor disajikan dengan
informasi awal yang lebih ambigu, mereka cenderung tidak akurat dalam mengungkap kesalahan
dalam laporan dalam penilaian akhir. Hal ini mendukung argumen bahwa ambiguity dapat
bersumber dari data insufficiency dan complexity sebagaimana yang diobservasi peneliti.
Kontribusi Penelitian
awal yang tidak akurat. Penelitian menemukan bahwa data insufficiency dan complexity tidak
hanya memengaruhi keakuratan kumpulan hipotesis awal, tetapi juga akurasi penilaian akhir.
Penelitian ini terbatas pada responden yang berasal dari level yang sama, sehingga tidak
Peneliti melakukan studi ini karena melihat rendahnya tingkat pelaporan fraud oleh karyawan
yang mengetahui (saksi). Penelitian ini dilakukan untuk menjawab mengapa para saksi mau/tidak
mau melaporkan dan kepada siapa mereka melaporkan. Peneliti berargumen bahwa budaya
organisasi memiliki pengaruh terhadap pelaporan oleh saksi internal dalam organisasi.
Budaya perusahaan yang diobservasi dalam penelitian adalah managerial procedural safeguards,
yaitu terkait dengan skill dan pelatihan manajer dalam menerima laporan fraud, kebijakan yang
dianut, dan kontrol atas informasi yang diterima manajer yang memandu respons manajer
terhadap laporan.
safeguards are strong compared to when managerial procedural safeguards are weak.
H2: Reporting intentions to a manager will be higher when the manager is likeable
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode experimental study, dimana akuntan professional dan
secara umum. Desain menggunakan indikator managerial procedural safeguards (lemah atau
kuat), disukai manajerial (disukai atau tidak disukai), dan jenis tindakan penipuan
(penyalahgunaan aset atau kecurangan pelaporan keuangan). Total partisipan (bersih) yang
Penelitian ini menunjukkan bagaimana keinginan saksi untuk melaporkan insiden fraud yang
diketahuinya, dimana fokus diarahkan kepada karakteristik perusahaan, penerima laporan fraud,
dan bagaimana budaya tidak benar dapat mempengaruhi niat untuk melaporkan. Lebih lanjut,
Kontribusi Penelitian
Penelitian ini memberikan insight bahwa manajer yang disukai secara signifikan memicu
keinginan lebih tinggi untuk melaporkan suatu pelanggaran. Hal ini dapat dijadikan masukan
bagi organisasi agar mempertimbangkan perilaku manajer dan memberikan pelatihan yang
mengeksplorasi peran atribusi kepada individu yang tampaknya terlibat dalam penipuan sebagai
mediator pelapor yang berniat untuk melaporkan Selain itu perlu diteliti jenis fraud yang