Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG LARANGAN EKSPOR CRUDE


PLAM OIL (CPO)

DISUSUN OLEH :
BAYU ANANDA ( B1A021408)
DOSEN PENGAMPU :
PROF. ISKANDAR, S.H, M.H

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BENGKULU
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah dengan judul “Dampak Kebijakan Pemerintah Tentang Larangan Ekspor
crude plam oili (CPO)” ini dapat tersusun hingga selesai.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan kami semangat dan motivasi dalam pembuatan tugas makalah ini. Kepada kedua
orang tua kami yang telah memberikan banyak kontribusi bagi kami, dosen pembimbing
kami, Bapak PROF.ISKANDAR, S.H,M.H dan juga kepada teman-teman seperjuangan yang
membantu kami dalam berbagai hal. Harapan kami, informasi dan materi yang terdapat
dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Tiada yang sempurna di dunia, melainkan
Allah SWT. Tuhan Yang Maha Sempurna, karena itu kami memohon kritik dan saran yang
membangun bagi perbaikan makalah kami selanjutnya.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi nilai UTS dalam mata kuliah
Hukum Administasi Negara. Selain itu, pembuatan makalah ini juga bertujuan agar
menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca. Karena keterbatasan pengetahuan
maupun pengalaman maka kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempuraan makalah ini sehingga makalah ini dapat sempurna. Akhir kata, saya ucapkan
semoga makalah ini dapat berguna dan menambah wawasan bagi para pembaca dan kita
semua. .

BENGKULU,5 Oktober 2022

Bayu Ananda
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Ekspor merupakan suatu kegiatan pengiriman barang, jasa atau modal yang
bersal dari daerah pabean ke luar daerah pabean yang dilakukan oleh orang, badan
hukum, atau Negara sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi andalan Indonesia, sektor
perkebunan kelapa sawit atau crude plam oil (CPO) merupakan penyumbang
devisa tertinggi dalam sektor ekspor non-migas yaitu sebesar 12,7%. Pada tahun
2021 indonesia memproduksi sebanyak 46 juta ton crude plam oil (CPO), oleh
karna itu menjadikan Indonesia sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar di
dunia.
Namun pada tanggal 22/4/2022 presiden menyatakan terkait kebijakan
larangan ekspor bahan baku minyak goreng, hal ini mengejutkan sejumlah pihak
terutama di bidang komuditi perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Kebijakan larangan ekspor minyak kelapa sawit atau crude plam oil (CPO)
dan beberapa turunannya yang di berlakukan sejak tanggal 28 april 2022. Upaya
larangan ekspor CPO ini menurut pemerintah merupakan salah satu bentuk
perlindunganterhadap kepentingan rakyat dalam mengatasi persoalan kelangkaan
dan mahal nya harga minyak goreng yang terjadi.
Keputusan ini muncul setelah presiden jokowi memimpin rapat terbatas
mengenai pemenuhan kebutuhan pokok. Presiden mengatakan larangan ekspor ini
memiliki tujuan antara lain adalah untuk memastikan ketersediaan dan harga
minyak goreng di dalam negeri, sehingga dapat menekan atau menurunkan harga
minyak goring yang melambung tinggi.
Pernyataan presiden ini mengejutkan banyak pihak dan menjadi perbincangan,
masyarakat beranggapan bahwa bahan baku minyak goring yang dimaksud
adalah CPO yang memiliki notabene komoditas andalan Indonesia.
Kebijakan tentang larangan ekspor sangat memiliki pengaruh negative
terhadap sektor petani sawit. Banyak sekali petani sawit yang merasa dirugikan
karena anjloknya harga pasar atau harga jual tandan buah segar (TBS).
Adanya kebijakan tersebut membuat turunnya harga TBS mencapai 40-70%
dari harga yang telah ditetapkan dinas perkebunan kelapa sawit. Di kabupaten
muko-muko, Bengkulu utara, harga TBS sawit petani pada 13-14 mei 2022 turun
sebesar 150,00/kg. sebagai respon dari turunnya harga TBS sawit, sebanyak 40-
70% banyak pabrik minyak kelapa sawit menghentikan pembelian TBS sawit dari
petani.
Adanya kebijakan larangan ekspor CPO dan produk turunannya menebabkan
banyak persoalan antara lain yang pertama adalah kelebihan pasokan CPO yang
selama ini terserap di pasar ekspor global tidak dapat mungkin di serap di pasar
domestic. Melimpahnya pasokan CPO didalam negeri, sementara permintaan CPO
dari luar negri atau ekspor menurun ini di akibatkan oleh adanya kebijakan
pemerintah untuk mengekspor CPO yang kemudian menyebabkan penurunan
harga TBS di dalam negeri. Penurunan harga TBS secara sepihak ini
menyebabkan kerugian yang begitu besar bagi petani yakni mencapai angka 14
triliun.
Permasalahan yang kedua ialah larangan ekspor ini menyebabkan banyak
pabrik-pabrik kelapa sawit menghentikan pembelian TBS sawit dari petani hal ini
dikarnakan penuh nya tangki CPO karena harus disimpan akibat tidak adanya
pembeli terutama dibidang ekspor global, tidak hanya itu berhentinya kegiatan di
industri perkebunan kelapa sawit juga menyebabkan pengurangan serapan pekerja
disebabkan CPO merupakan komudits yang padat.
Kemudian masalah ketiga yang timbul ialah akibat larangan ekspor CPO ini
banyak permintaan CPO beralih ke Negara competitor. kompetitor Indonesia
dalam pasar CPO global adalah tidak lain yaitu Negara Malaysia, yang menduduki
posisi pengekspor CPO terbesar ke dua di dunia dengan ekspor sebesar 26% dari
nilai ekspor dunia tahun 2020. Dibandingkan dengan Indonesia, Malaysia hanya
mencapai 60% dari nilai ekspor CPO Indonesia dan akan meraup untung yang
lebih besar apabila keran ekspor CPO di Indonesia di tutup.
Indonesia adalah Negara agraris dimana sebagian besar penduduknya hidup
dari hasil bercocok tanam atau bertani, sehingga pertanian merupakan sektor yang
memegang peran penting dalam kesejahteraan kehidupan penduduknya. Dalan hal
demikian maka pertanian sangat bergantung pada bagaimana keadaan pasar
global, jika pasar global tidak stabil maka akibatnya akan terjadi yang dinamakan
fluktuasi yang berdampak pada pendapatan dan juga tingkat kesejahteraan petani.
Saat ini tekanan sangat dirasakan pleh petani sawit di Indonesia karena produk
atau hasil dari pertanian ini cendrung berorientasi ekspor dan harga nya
tergantung pada pasar internasional.
Harga yang cendrung menurun pada beberapa jenis komuditi salah satu nya
adalah kelapa sawit merupakan masalah ekonomis yang secara lansung
mengancam kesejahteraan petani sawit di Indonesia, karena perkebunan kelapa
sawit adalah salah satu kegiatan pertanian yang berorientasi pada ekspor.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Dalam hal ini mengacu pada kasus diatas, bahwa kebijakan tentang larangan
ekspor CPO ini sangat berdampak bagi para petani perkebunan kelapa sawit,
oleh karena itu dapat kita rumuskan masalah sebagai berikut antara lain:
 Bagaimana ampak negative dari kebijakan larangan ekspor crude plam oil
(CPO) terhadap petani perkebunan kelapa sawit di Indonesia?
 Apa sajakah penyebab diberlakukan dari kebijakan larangan ekspor crude
plam oil (CPO)?
 Apakah penurunan harga tandan buah segar (TBS) merupakan akibat dari
kebijakan larangan ekspor crude plam oil (CPO)?
 Apakah kebijakan larangan ekspor ini bertujuan untuk menekan harga minyak
goreng yang melambung tinggi?

1.3 TUJUAN MAKALAH


Tujuan dari penusilan makalah ini yaitu:
 Mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan larangan ekspor crude
plam oil (CPO) terhadap petani perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
 mengetahui penyebab apa penyebab diberlakukan dari kebijakan larangan
ekspor CPO.
 Menganalisis apakah penurunan harga TBS merupakan bentuk respon dari
larangan ekspor CPO ini.

BAB 2
PEMBAHASAN

A. CRUDE PLAM OIL (CPO) INDONESIA


Crude palm oil atau biasa disebut CPO ini berasal dari buah kelapa sawit yang
didapatkan dengan cara mengekstark buah sawit tersebut. Selain berupa minyak sawit
sebagai produk utama, proses ini pula menghasilkan produk sampingan berupa tandan
kosong yang biasanya diolah menjadi kompos, serat perasan, lumpur sawit/solid, dan
bungkir kelapa sawit.

Gambar 1.
Hasil buah sawit Indonesia

Sawit yaitu merupakan salah satu dari komoditas ekspor unggulan yang ada di
Indonesia. Menurut badan Pusat Statistik atau BPS mencatat, pada tahun 2021 volume
ekspor CPO Indonesia mencapai angka 48% dari produksinya, yaitu sebesar 23,69
juta ton ekspor CPO dari 49,71 juta ton produksi CPO. Berdasarkan data OEC World
2020, Indonesia mengekspor USD17,9 miliar CPO, menjadikan Indonesia sebagai
pengekspor CPO terbesar dunia. Destinasi ekspor CPO dari Indonesia terbesar adalah
India (USD3,05 miliar) diikuti Cina (USD2,47 miliar) dan Pakistan (USD1,62 miliar).
Indonesia berperan penting dalam pasar CPO baik sebagai produsen maupun
eksportir. Sungguh ironi, dengan kontribusi lebih dari setengah produksi CPO dunia
58%, Indonesia belum mampu berperan sebagai penentu harga CPO dunia. Posisi
penentu harga komoditas ini ada di tangan Malaysia yang menduduki posisi kedua
eksportir CPO dunia terbesar, melalui Bursa Malaysia Derivatives (BMD).
Produksi CPO di Indonesia sendiri terus menurun sejak tahun 2019. Pada
tahun 2021, produksi CPO kembali menurun sebesar 0,9% dari tahun sebelumnya
menjadi 46,89 juta ton. Data rinci terkait stok akhir CPO tahun 2021 tidak tersedia
pada waktu penulisan ini, namun laporan dari Dewan Negara Produsen Sawit
(Council of Palm Oil Producing Countries ) memberikan perkiraan bahwa stok akhir
CPO di Indonesia pada 2021 berada di bawah tingkat rata-rata 4 juta ton.

Gambar 2.
Table produksi CPO di Indonesia

B. KEBIJAKAN TENTANG LARANGAN EKSPOR CRUDE PLAM OIL (CPO)


DI INDONESIA
Pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng, hal
ini disampaikan lansung oleh Presiden Jokowi yang melarang ekspor bahan baku minyak
goreng dan minyak goreng "Dalam rapat saya putuskan melarang ekspor bahan baku
minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis 28 April 2022 sampai batas waktu yang
ditentukan".
Upaya moratorium ekspor CPO merupakan bentuk pelindungan pemerintah
terhadap kepentingan rakyat dalam mengatasi persoalan kelangkaan dan mahalnya harga
minyak goreng yang terjadi beberapa bulan terakhir. Pemerintah menerapkan upaya
strategis ini dengan harapan harga minyak goreng curah dapat turun hingga
Rp14.000,00/liter, tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 22
Tahun 2022 sehingga tercapai optimalisasi CPO sebagai bahan baku minyak goreng.
Kelebihan pasokan minyak sawit yang selama ini terserap di pasar ekspor tidak mungkin
bisa diserap di pasar domestic, sehingga dapat menyebabkan turun nya harga tandan buah
segar atau TBS.
Kebijakan larangan ekspor CPO dan produk turunan CPO merupakan bentuk
kedaulatan pemerintah dalam pengambilan kebijakan yang memprioritaskan
kesejahteraan rakyat untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri. Namun
demikian, akibat pelarangan ekspor ini, Indonesia harus rela kehilangan devisa negara
yang besar, mengingat sawit merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan Indonesia
dan memberikan kontribusi devisa negara nonmigas yang utama. Di sisi lain pelindungan
terhadap petani sawit juga perlu diperhatikan.
Larangan ekspor membuat negara tak bisa meraup pemasukan dari transaksi
jual/beli CPO yang kerap mendatangkan untung.pemerintah diperkirakan kehilangan
penerimaan negara dan pungutan ekspor hingga Rp 13 per triliun per bulan akibat
kebijakan larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO).Di sisi lain, produksi sawit juga
akan alami penurunan. Sehingga menjadi beban bagi para petani.

Gambar 3.
Ilustrasi larangan ekspor CPO

Namun Larangan ekspor minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dan
minyak goreng membawa justru dampak negatif bagi para petani kelapa sawit. kebijakan
larangan ekspor ini tidak efektif untuk menjamin stabilitas harga minyak goreng karena
masalah minyak goreng sebetulnya adalah persoalan distribusi bukan bahan baku.

C. PENYEBAB DI BERLAKUKANNYA TENTANG LARANGAN EKSPOR


CRUDE PLAM OIL (CPO) DI INDONESIA
Salah satu penyeban di berlakukan nya larangan ekspor CPO ini adalah tingginya
harga minyak goreng di Indonesia telah menjadi sorotan sejak kuartal keempat 2021
hingga awal kuartal pertama 2022. Indeks BU RT1 mencatat kenaikan harga minyak
goreng sebesar 56% antara Maret sampai Desember 2021 dan harganya sempat mencapai
Rp 20.667/liter pada bulan Desember. Walaupun harganya sempat turun pada Januari
2022 menjadi Rp 19.555/liter, harga tersebut tetap tergolong mahal karena masih 46%
lebih tinggi dari harga pada Januari 2021.
Gambar 4.
Table harga minyak goreng
Minyak goreng bagi masyarakat Indonesia adalah salah satu kebutuhan pokok
atau merupakan salah satu dari Sembako (sembilan bahan pokok) menurut keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Dalam kehidupan sehari-hari minyak goreng
dikonsumsi oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia baik yang berada di perkotaan
maupun perdesaan. Minyak goreng digunakan untuk memasak seperti: penumisan,
penggorengan dalam jumlah yang sedikit maupun banyak. Sebab minyak goreng
dapat memberikan aroma yang sedap, cita rasa yang lebih lezat, gurih, membuat
makanan menjadi renyah atau crispy, serta penampilan yang lebih menarik
memberikan warna keemasan dan kecoklatan daripada makanan yang dikukus,
direbus atau dipanggang.
Minyak goreng yang umumnya dikonsumsi di Indonesia dihasilkan dari minyak
sawit mentah atau crude palm oil (CPO). Minyak goreng kelapa sawit terbagi dalam
dua jenis, yaitu minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan yang bermerek.
Minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan yang bermerek merupakan sama-
sama hasil dari proses industri namun berbeda dari kualitas prosesnya. Untuk minyak
goreng kemasan yang bermerek penyaringannya dilakukan 3-4 kali, sedangkan
minyak goreng curah hanya dilakukan 1 kali penyaringan. Sehingga jika dilihat dari
warnanya sangat berbeda, minyak goreng kemasan yang bermerek bewarna lebih
jernih di bandingkan dengan minyak goreng curah yang berwarna kuning keruh.
Gambar 5.
Melambung nya harga minyak goremg

Kementerian Perdagangan RI, Harga CPO di Indonesia menggunakan patokan


harga lelang yang ditetapkan oleh PT. Kharisma Pemasaran Besar Nusantara (KPBN)
Dumai, yang merupakan anak usaha PT. Perkebunan Nusantara. Harga lelang KPBN
berkorelasi langsung dengan harga CPO di pasar internasional. Oleh karena itu, harga
CPO Internasional secara langsung mempengaruhi harga minyak goreng di Indonesia
Sepanjang tahun 2021, harga CPO di pasar internasional naik secara signifikan
sebesar 36,3% dibandingkan 2020 (Majalah Sawit Indonesia, 2022). Pada akhir
Januari 2022, kenaikan harga CPO mencapai Rp 15.000/kg dan menjadi harga
tertinggi yang pernah tercatat dalam sejarah seperti yang dilansir Sawit Indonesia
(2022) mengutip Direktur KPBN, Rahmanto Amin Djatmiko. Tingginya harga
tersebut terjadi karena pasokan CPO turun, sementara permintaan sedang meningkat
di berbagai bagian dunia menyusul pemulihan ekonomi pasca gelombang kedua
pandemi COVID-19.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi harga minyak goreng antara
lain yaitu:
1. Meningkatnya harga kelapa sawit dunia
CPO memiliki dampak negatif dan beberapa kelebihan terhadap harga minyak goreng
sebagai komoditas supercycle. Menurut pemahaman saya, bahwa harga komoditas
minyak goreng akan mengalami peningkatan jika harga dari CPO terus meningkat.
(Horas, Hartono, 2010) Kenaikan minyak goreng diperparah dengan adanya
kecurangan oknum yang mencari keuntungan lebih banyak, salah satu kecurangan
yang ada adalah, banyak pedagang yang menimbun minyak goreng dan menjual
kembali diatas HET (Harga Eceran Tertinggi). Dengan keadaan seperti ini menjadi
salah satu faktor pendukung kenaikan harga minyak goreng di Indonesia.
2. Penimbunan yang dilakukan oknum tidak bertanggung jawab
Hukum akan ditegakkan pada penimbunan bahan pokok yaitu minyak goreng dan
pihak Polri akan menindak tegas kepada para pelaku atau masyarakat yang melakukan
penimbunan minyak goreng dan setelah itu di jual Kembali dengan harga tinggi.
(Mulyana, 2022) Pemerintah telah menetapkan harga jual minyak goreng
Rp14.000/liter untuk seluruh kemasan berbagai merek. Jika terdapat oknum atau
masyarakat yang melakukan tindak pidana tersebut akan terjerat pidana penjara tak
akan lolos dari hukum. Hal ini sesuai Pasal 107 Undang-Undang (UU) Nomor 7
Tahun 2014 tentang penimbunan, dengan ancaman 5 Tahun atau denda Rp50 miliar.
Oknum-oknum penimbun minyak goreng menyebabkan beberapa masyarakat
mengoplos minyak goreng curah. Hal itu menjadi salah satu pilihan alternatif, agar
kebutuhan minyak goreng terutama untuk masyarakat kebawah terpenuhi.
3. Terbatasnya produksi kelapa sawit
Salah satu penyebab terjadinya kenaikan harga minyak goreng di Indonesia adalah
terbatasnya produksi kelapa sawit seiring naiknya harga minyak goreng sejak kuartal
keempat 2021 hingga awal kuartal pertama 2022.(USDA, 2021) Direktur KPBN,
seperti yang dikutip di beberapa situs media, dan laporan Outlook CPOPC 2022
mengaitkan turunnya produktivitas sawit dengan tiga faktor utama. Faktor pertama
adalah terbatasnya tenaga kerja yang ada di perkebunan kelapa sawit. Karantina yang
dilakukan selama pandemi Covid-19 sangat membatasi mobilitas dan menyebabkan
pembatasan jumlah tenaga kerja di perkebunan tersebut. Akibatnya, terbatasnya
kapasitas produksi perkebunan sawit. Faktor kedua adalah cuaca yang buruk dapat
menyebabkan banjir di perkebunan sawit. Faktor ketiga adalah tingginya harga pupuk
sangat menyulitkan petani untuk mendapatkan pupuk yang terjangkau. Meningkat
harga pupuk yang mengandung nitrogen dan fosfat sering digunakan oleh para petani
kelapa sawit meningkat 50-80% pada pertengahan 2021.(Arief, 2022) Tingginya
biaya pupuk dapat secara signifikan mempengaruhi produksi minyak sawit oleh petani
swadaya yang berkontribusi hingga 34% dari total produksi minyak sawit Indonesia.
Namun untuk keadaan ini ada beberapa keanaehan yang terjadi karena
seyogiayanya bahwa Indonesia merupakan (1) produsen crude palm oil (CPO)
terbesar didunia; (2) kelangkaan terjadi Ketika pemberlakuan 1 harga; (3) kenaikan
harga minyak secara serempak dalam waktu bersamaan.
1. Indonesia merupakan crude pa lm oil (CPO) terbesar. Indonesia memang
merupakan produsen terbesar kedua minyak sawit mentah crude palm oil
(CPO) setelah malaysia. Namun Indonesia belum bisa menjadi pengendali
harga. Di dalam kenyataannya harga berfluktuatif mengikuti kenaikan atau
penurunan harga CPO dunia. keadaan ini berlangsung karena sebagian besar
produsen minyak goreng tidak terhubung dengan produsen CPO. Menurut
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) produksi crude palm
oil (CPO) atau minyak sawit pada 2021 mencapai 46.888 juta ton. Apabila
dibandingkan dengan produski sebelumnya maka terdapat penurunan sebesar
0,31% . adapun salah satu kendala yang menyebabkan penerunan tersebut
diantaranya faktor cuaca. Meskipun demikian konsumsi minyak sawit dalam
negeri mengalami kenaikan. Penggunaan minyak sawit dalam negeri pada 2021
mencapai 18.422 juta ton atau naik 6 % dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Kenaikan konsumsi minyak sawit dalam negeri masih dalam batas
wajar yang artinya produksi minyak sawit masih diatas tingkat konsumsi
masyarakat.
2. Kelangkaan terjadi Ketika pemberlakuan 1 harga Langkah lain yang dilakukan
oleh pemerintah dalam menekan laju minyak goreng adalah memberlakukan
harga eceran tertinggi (HET) yang termaktub dalam Permendag No 1 hingga 6,
Tahun 2022. Namun pada kenyataannya terjadi kelangkaan pada saat
diberlakukannya kebijakan tersebut. pemberlakuan Permendag No 1 hingga 6,
Tahun 2022 dapat dinyatakan gagal kurang baiknya system manajemen
pemerintah dalam mengatur, dan mengawasi pemberlakuan kebijakan tersebut.
Hal ini dapat dilihat dengan adanya kasus penimbunan misalnya yang terjadi di
deli Serdang . Bukti kegagalan berikutnya adalah dengan dicabutnya
permendag no. 1 hingga 6, tahun 2022. Setelah dicabutnya kebijakan tersebut
secara tiba-tiba jumlah minyak goreng melimpah dipasaran namun dengan
harga yang tinggi.
3. Kenaikan harga minyak serempak dalam waktu bersamaan Menurut Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) diduga adanya aksi kartel di balik
naiknya harga minyak goreng. Indikasi ini terlihat dari adanya lonjakan harga
minyak goreng secara serempak dalam waktu bersamaan. Selain itu, minyak
goreng yang bertebaran di pasaran juga dikuasai oleh segelintir perusahaan
besar. Yang menjadi inti permasalahan apabila segelintir perusahaan ini
melakukan kesepakatan, persekongkolan menentukan harga yang sama maka
akan merugikan konsumen dan ini telah menyalahi UU Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sinyal
kartel dibalik tingginya harga minyak goreng akhir-akhir ini terlihar dari be
rsatunya para produsen CPO dan minyak goreng yang dalam meninggikan
harga. baik di pasar tradisional, ritel modern, pabrik perusahaan disinyalir
meninggikan harga bersamaan meskipun mereka memiliki kebun sawit yang
berbeda.
Sebelum di terapkan kebijakan tentang larangan ekspor crude plam oil (CPO)
ini sebelumnya telah di terapkan kebijakan lain untuk mengendalikan kenaikan harga
minyak goreng di tingkat konsumen, pemerintah sebelumnya telah merespons dengan
beberapa instrumen kebijakan. Kebijakan tersebut antara lain termasuk subsidi
minyak goreng, domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation
(DPO) yang mewajibkan eksportir CPO menjual 20% volume ekspornya untuk
konsumsi dalam negeri dengan harga Rp 9.300/kg,6 dan penetapan harga eceran
tertinggi (HET) dengan harga Rp 11.500/liter untuk minyak goreng curah dan Rp
14.000/liter untuk minyak goreng kemasan premium berdasarkan Peraturan Menteri
Perdagangan No. 6 Tahun 2022. Namun, kebijakan tersebut hanya bersifat jangka
pendek dan dapat merugikan tidak hanya produsen tetapi juga petani, serta
memperburuk kelangkaan pasokan minyak goreng jika harga CPO dan biaya produksi
tetap tinggi. Selama penerapan kebijakan ‘satu harga’ atau subsidi minyak goreng
pada pertengahan Januari 2021, kelangkaan pasokan di beberapa pengecer masih
menjadi masalah.
Beberapa Kebijakan Pemerintah dalam pengendalian harga minyak goreng,
Kebijakan-kebijakan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah dalam menekan harga
minyak goreng antara lain:
1. Kebijakan 1 (satu) harga Rp 14.000 Tertanggal 19 januari 2022 pemerintah
menetapkan harga minyak goreng subsidi Rp14.000,-Minyak goreng 1
direncanakan akan didistribusikan ke ritel-ritel modern dan pasar tradisional.
Pemerintah telah memasok 1,2 miliar liter untuk jangka waktu enam bulan. Hal ini
dilakukan untuk menutup selisih harga minyak goreng yang beredar dimasyarakat
dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga, UMKM dan industry kecil9 . Di
dalam praktiknya kebijakan ini dinilai gagal total. Kegagalan ini dapat dilihat dari
langkanya minyak goreng dan terjadinya idikasi penimbunan. Kegagalan ini juga
disinyalir akibat adanya keberagaman ongkos ditribusi. Karena biaya distribusi
disetiap daerah berbeda-beda. Pabrik minyak goreng lebih banyak berada di
sumatera, jawa dan diikuti Sulawesi dan kalimantan maka Ketika akan
mendistribusikan kedaerah lain otomatis mengahsilkan biaya yang berbeda-beda
antar daerah. Hal ini akan memicu masalah kelangkaan. Jika menilik dari sisi
regulasi tentang kebijakan 1 harga ini mengacu kepada Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pengadaan Minyak Goreng Kemasan
untuk keperluan Masyarakat dalam konteks Pembiayaan oleh Badan Pengelola
Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). peraturan ini ditandatangani oleh
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi pada 18 Januari 2022 dan berlaku sejak
diundangkan 19 Januari 2022 hingga enam bulan ke depan. Memang ada sanksi
yang diberikan kepada pelaku usaha yang sudah bersedia bekerjasama dengan
kementrian perdagangan yaitu Permendag Nomor 3 tahun 2022 ini juga mengatur
sanksi administrasi kepada pelaku usaha yang terbukti melanggar ketentuan
pengadaan minyak goreng kemasan, namun dalam prakteknya kegiatan ini tidak
berjalan mulus, malah menimbulkan masalah baru di masyarakat. Kegagalan
kebijakan minyak goreng satu harga ini sejalan dengan pendapat Mufti Anggota
Komisi VI DPR yang menyatakan bahwa gagalnya kebijakan ini akibat minimnya
pengawasan pemerintah setelah mengeluarkan peraturan baru. contohnya belum
ada hukuman kepada produsen minyak goreng yang tidak melaksanakan aturan.
2. Kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation
(DPO) Domestic market obligation (DMO) diatur dalam peraturan Menteri
Keuangan No 56/PMK.02 Tahun 2006 pasal 1 yang intinya adalah badan
usaha/BUT wajib menyerahkan minyak dan gas bumi dari bagiannya ke negara
yang besarannya sudah diatur di dalam kotrak Kerjasama untuk memenuhi
kebutuhan di dalam negeri. Untuk menekan laju kenaikan harga minyak goreng
maka pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag)
Nomor 8 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Permendag Nomor 19
Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor, memberlakukan domestic
market obligation (DMO) serta domestic price obligation (DPO) pada crude palm
oil (CPO), refined, bleached, deodorized palm olein, dan used cooking oil yang
menetapkan seluruh eksportir wajib menyuplai 20% dari volume ekspor CPO dan
produk turunannya, untuk pasar domestik atau kebutuhan nasional. Sedangkan
DPO merupakan harga penjualan minyak sawit dalam negeri yang sudah diatur
dalam Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia nomor 129 tahun
2022. Kelemahan dari peraturan ini menurut beberapa sumber diantaranya emiten
sawit, PT Cisadane Sawit Raya Tbk (CSRA) yaitu kebijakan tersebut terkesan
dikeluarkan secara tergesa-gesa, sehingga sehingga banyak munculnya
kesimpangsiuran informasi atau miss komunikasi, tentang seperti apa cara
penerapan kebijakan tersebut di lapangan. Kemudian menurut Associate
Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta menaksir
kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) merupakan kebijakan yang
berpotensi terjadinya penyimpangan perdagangan, menurunkan reliabilitas
industri Indonesia bagi kolega dagang luar negeri dan mendorong retaliasi dari
negara lain yang mampu merugikan keperluan Indonesia di pasar internasional.
Selanjutnya menurut Direktur Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institite
(PASPI), Tungkot Sipayung, mengungkapkan muncul beberapa masalah lain yang
ditimbulkan akibat kebijakan ini dimulai dari penampungan sementara untuk
minyak goreng, selanjutnya kemungkinan akan ada permasalahan hukum berupa
penyelundupan jika harga terlampau murah. Sejalan dengan pernyataan-
pernyataan di atas Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Indef Andry
Satrio Nugroho menilai dalam menstabilkan kenaikan harga serta memenuhi
pasokan minyak goreng di dalam negeri kebijakan domestic market obligation
(DMO) dan domestic price obligation (DPO) untuk produk turunan sawit
biodiesel belum bisa dikatakan efektif. Hal ini disebabkan oleh alokasi bahan baku
biodiesel yang dialihkan untuk produksi minyak goreng tidak bakal terserap
optimal. Bukan tidak mungkin alokasi bahan baku tersebut akan kembali
dipergunakan untuk memproduksi biodiesel yang telah mendapat subsidi dari
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). ketidaksamaan
harga antara internasional dan domestic untuk B30 sudah di fasilitasi oleh
BPDPKS yang pada intinya peralihan bahan baku biodiesel ke minyak goreng
sulit untuk dilaksanakan karena adanya perbedaan harga tersebut. Sudah pasti
yang paling menguntungkanlah yang akan dijalankan. Menurut Direktur Eksekutif
Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan
peraturan ini dalam menstabilkan kenaikan harga minyak goreng masih belum
dapat dikategorikan efektif dikarenakan sebagian besar eksportir CPO dan produk
turunannya masih belum melaksanakan aturan DMO dan DPO seperti yang
diamanat Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk memastikan pasokan
bahan baku minyak goreng domestik stabil.
3. Larangan terbatas ekspor CPO dan turunannya
Dalam menanggulangi kelangkaan dan mahalnya minyak goreng Langkah lain
yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah penetapan Peraturan Menteri
Perdagangan (Permendag) No. 2/2021 tentang Perubahan atas Permendag No.
19/2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor yang mulai berlaku 24 Januari
2022. Kebijakan ini menata ekspor CPO, refined, bleached, and deodorized
(RBD) palm olein, dan jelantah wajib dilaksanakan melalui perizinan berusaha
berupa pencatatan ekspor (PE). Untuk memperoleh PE, eksportir wajib
melengkapi persyaratan antara lain menyerahkan Surat Pernyataan Mandiri bahwa
eksportir telah menyalurkan CPO, RBD Palm Olein, dan UCO untuk keperluan
dalam negeri. Kebijakan larangan terbatas (Lartas) pada ekspor produk kelapa
sawit ini dilakukan untuk memastikan terpenuhinya pasokan minyak sawit untuk
kebutuhan minyak goreng di dalam negeri. Kebijakan Lartas ini juga dilakukan
untuk memastikan tidak adanya kebocoran minyak goreng subsidi ke luar negeri
(ekspor). Dari sisi pelaku usaha, kebijakan penyaluran minyak goreng bersubsidi
tidak akan berdampak signifikan terhadap pelaku industri minyak goreng karena
pelaku usaha masih bisa mendapatkan pendapatan maksimal dari ekspor produk
CPO dan turunannya . Kebijakan yang dikeluarkan ini mendapatkan beberapa
argument dari Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia (Gapki) Tofan Mahdi yang menyebutkan bahwa kebijakan ekspor ini
dirasa tidak akan memberikan pengaruh pada aktivitas ekspor produk sawit di
Indonesia, hal ini karena kebanyakan anggota Gapki telah menyuplai bahan baku
untuk keperluan domestic. Berdasarkan data yang diperoleh jumlah total produksi
CPO dan minyak mentah kernel (CPKO) yang mencapai 51 juta ton pada tahun
2020, untuk ekspor dalam bentuk CPO hanya sekitar 7,17 juta ton dan RBD palm
oil sekitar 21,1 juta ton. Sedangkan dalam kurun waktu hingga November 2021,
ekspor CPO sebesar 2,43 juta ton dan RBD palm oil sebesar 23,45 juta ton18.
Senada dengan hal tersebut Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati
Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengemukakan kebijakan ini minim pengaruh
terhadap aktivitas ekspor maupun penyaluran ke dalam negeri hanya saja ada
stigma negatif yang diserap pasar dari penerapan pencatatan ekspor ini, pasar
menganggap bahwa pasokan minyak goreng tidak memadai, dalam kenyataannya
serapan domestik dari seluruh produksi CPO Indonesia hanya berkisar 35%,
sementara Sebagian besar yang mencapai 65 persen diserap oleh pasar ekspor.
4. Kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT)
Minyak Goreng Setelah regulasi-regulasi yang dibuat pemerintah mengalami
kegagalan maka langkah terakhir yang diambil oleh pemerintah dalam mengatasi
kekisruhan minyak goreng ini adalah dengan penyaluran Bantuan Langsung Tunai
(BLT). Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia
dalam siaran persnya HM.4.6/191/SET.M.EKON.3/4/2022 mengatakan bahwa
Pemerintah menyiapkan Program Bantuan Langsung Tunai Minyak Goreng (BLT
Minyak goreng), yang merupakan bagian dan juga menggunakan anggaran
Program PEN TA 2022, yang dikoordinasikan oleh Komite PC-PEN (Menko
Perekonomian selaku Ketua Komite PCPEN) dan Kementerian Keuangan. BLT
minyak goreng ini ada 2 macam, yang pertama adalah BLT Minyak goreng di
kumpulan Program BanSos Pangan ( akan disalurkan kepada 20,65 juta KPM,
yang terbagi dalam 18,8 juta penerima BPNT (Kartu Sembako) dan 1,85 juta PKH
yang tidak menerima BPNT, dengan besaran masing-masing Rp100
ribu/KPM/bulan selama 3 bulan (April-Juni 2022), yang diberikan sekaligus
sebesar Rp300 ribu dan yang kedua BLT Minyak goreng di kelompok Program
BT-PKLWN ( akan disalurkan 2,5 juta PKL dan Warung (utamanya yang
mempunyai usaha makanan) pada 514 Kabupaten/Kota, masing-masing menerima
sebesar Rp100 ribu/PKL/bulan selama 3 bulan, dan juga akan diberikan sekaligus
senilai @Rp300 ribu per penerima. Ini menggunakan skema BT-PKLWN yang
penyalurannya dilakukan secara langsung oleh TNI dan POLRI).

D. DAMPAK DARI KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG LARANGAN


EKSPOR CRUDE PLAM OIL (CPO)
Kebijakan larangan ekspor CPO dan produk turunannya mengakibatkan
beberapa persoalan:
1. Pertama, kelebihan pasokan CPO yang selama ini terserap di pasar ekspor tidak
mungkin bisa diserap di pasar domestik. Kelebihan pasokan CPO sementara
permintaan (demand) CPO turun akibat larangan ekspor, menyebabkan penurunan
harga TBS sawit. Bahkan kesepakatan penetapan harga TBS sawit dilanggar oleh
pabrik-pabrik sawit. Penurunan harga TBS secara sepihak ini menyebabkan
kerugian petani diperkirakan mencapai Rp14 triliun. Ketergantungan petani sawit
pada korporasi dinilai sangat besar, sehingga petani sawit tidak memiliki kuasa
untuk menentukan harga TBS. Kelembagaan petani yang memiliki pabrik sendiri
dan mengolah TBS diharapkan sebagai solusi untuk melindungi kepentingan petani
sawit dari fluktuasi harga TBS sawit (Kompas, 18 Mei 2022).
2. Kedua, larangan ekspor menyebabkan pengusaha sawit menghentikan pembelian
TBS sawit dari petani karena penuhnya tangki di perkebunan olahan CPO yang
harus disimpan akibat tidak ada pembeli. Kondisi ini terjadi di sebagian besar
tangki perkebunan di Pulau Sumatera (bisnis.com, 17 Mei 2022). Berhentinya
aktivitas di industri sawit akan mengurangi serapan pekerja disebabkan CPO
merupakan komoditas pertanian yang padat karya (labor intensive).
3. Ketiga, akibat larangan ekspor, permintaan CPO beralih ke negara kompetitor.
Kompetitor Indonesia dalam pasar CPO dunia adalah Malaysia, yang menduduki
posisi pengekspor CPO terbesar kedua dunia dengan kontribusi ±26% dari nilai
ekspor CPO dunia pada tahun 2020 (OEC World, 2020). Dibandingkan Indonesia,
Malaysia hanya mencapai 60% dari nilai ekspor CPO Indonesia dan akan meraup
keuntungan yang lebih besar apabila keran ekspor CPO asal Indonesia ditutup.

E. UPAYA ATAU STRATEGI PEMERINTAHAN KEDEPANNYA


Saat ini Pemerintah tengah membuka kembali ekspor CPO dan produk
turunannya diapresiasi sebagai bentuk evaluasi pemerintah terhadap kebijakan
larangan ekspor CPO yang berlaku selama hampir sebulan. Kondisi ini sesuai Pasal 5
Permendag No. 22 Tahun 2022, di mana kebijakan larangan ekspor CPO dapat
dievaluasi secara periodik atau sewaktu-waktu diperlukan.
Sebelum dicabut, kebijakan menuai pro dan kontra. Sejumlah pakar
berpendapat, kebijakan larangan ekspor CPO tidak efektif menjamin stabilitas harga
minyak goreng. Menurut Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute
(PASPI) Tungkot Sipayung, dengan larangan ekspor CPO dan produk turunannya,
akan ada sekitar 12 juta ton/tahun atau 1 juta ton/bulan minyak goreng tersedia di
pasar domestik, yang seharusnya mampu menurunkan harga jual minyak goreng
curah ke level Rp14.000,00/ liter (Bisnis Indonesia, 17 Mei 2022). Berdasarkan data
Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kemendag, harga rata-rata nasional
minyak goreng curah per 12 Mei 2022 sebesar Rp17.400,00/liter (Kompas, 14 Mei
2022). Pendapat ini didukung oleh Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic
and Law Studies, kebijakan larangan ekspor CPO lebih banyak membawa dampak
negatif bagi petani dan pelaku usaha sawit, dibandingkan menjadi strategi pengendali
harga minyak goreng.
Ada beberapa strategi yang perlu dilakukan untuk pembenahan tata niaga
sawit:
1. Pertama, melakukan pengawasan ketat terhadap pelaksanaan penetapan harga TBS
sawit, sebagaimana diatur pada Pasal 6 Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No.
01 Tahun 2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit
Produksi Pekebun. Agar penetapan harga TBS sepihak tidak terjadi, diperlukan
pengawasan ketat oleh gubernur di wilayahnya, sebagai pihak yang menetapkan TBS,
untuk mencegah konflik antara petani dan pabrik sawit. Sebagai bentuk pengawasan,
sanksi/peringatan tegas harus diberikan kepada perusahaan yang melanggar
kesepakatan penetapan harga TBS.
2. Kedua, pelindungan petani yang tidak bermitra dengan perusahaan dalam
memperoleh harga TBS sawit. Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung menyatakan
bahwa jumlah petani bermitra dengan perusahaan sebanyak 7%, sedangkan 93%
lainnya merupakan petani sawit swadaya (kontan.co.id,17 Mei 2022). Permentan No.
01 Tahun 2018 sesungguhnya memberikan pelindungan dalam perolehan harga wajar
dari TBS sawit dan menciptakan persaingan sehat di antara pabrik sawit. Regulasi ini
perlu direvisi untuk memberikan payung hukum bagi petani yang tidak bermitra.
3. Ketiga, mendorong peningkatan daya saing komoditas CPO melalui sertifikasi
internasional. Per 31 Desember 2020, 735 perusahaan perkebunan sawit di Indonesia
telah memiliki sertifikasi yang bernama Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
4. Keempat, mendukung hadirnya kelembagaan petani yang memiliki pabrik dan
pengolahan TBS untuk menjaga harga TBS sawit. Dalam pengelolaannya,
kelembagaan ini dapat memanfaatkan dana sawit yang dikelola oleh Badan Pengelola
Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Kebijakan larangan ekspor CPO dan produk turunannya, menjadi waktu yang
tepat sebagai momentum untuk memperbaiki tata niaga sawit nasional. Pembenahan
harus terus diupayakan untuk dapat melindungi kesejahteraan rakyat dan
pertumbuhan ekonomi nasional.

BAB 3
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kebijakan larangan ekspor CPO dan produk turunan CPO merupakan bentuk
kedaulatan pemerintah dalam pengambilan kebijakan yang memprioritaskan
kesejahteraan rakyat untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri.
Namun demikian, akibat pelarangan ekspor ini, Indonesia harus rela kehilangan
devisa negara yang besar, mengingat sawit merupakan salah satu komoditas ekspor
unggulan Indonesia dan memberikan kontribusi devisa negara nonmigas yang utama.
Di sisi lain pelindungan terhadap petani sawit juga perlu diperhatikan.
Evaluasi terhadap moratorium CPO menjadi langkah tepat sebagai solusi mengatasi
dampak larangan ekspor CPO. Namun pemerintah tetap harus menjamin ketersediaan
dan keterjangkauan kebutuhan minyak goreng dalam negeri. Terkait hal ini,
pemerintah perlu melakukan pembenahan tata niaga sawit melalui beberapa strategi,
antara lain: (a) melakukan pengawasan ketat terhadap pelaksanaan penetapan harga
TBS sawit dan pemberian sanksi/ peringatan tegas kepada perusahaan yang
melanggar kesepakatan penetapan harga TBS; (b) pelindungan petani yang tidak
bermitra dengan perusahaan dalam memperoleh harga TBS sawit; (c) mendorong
peningkatan daya saing komoditas CPO Indonesia melalui sertifikasi internasional;
dan (d) mendukung hadirnya kelembagaan petani yang memiliki pabrik dan
pengolahan TBS untuk menjaga harga TBS sawit.

B. SARAN
Upaya lainnya ialah memberikan hak bagi petani untuk menentukan komoditas apa
yang hendak mereka budidayakan. Hal ini juga sebagai konsekuensinya yang akan
menciptakan diversifikasi alami terhadap komoditas yang terdapat di Indonesia, serta
perlu adanya audit atau pengawasan agar cita-cita undang-undang dapat tercipta,
dengan begitu kesejahteraan petani ikut berkembang.

C. DAFTAR PUSTAKA

Setiono, Benny Agus. “Fluktuasi Harga Minyak Dan Pengaruhnya Bagi Ekonomi
Indonesia.” Jurnal Aplikasi Pelayaran dan Kepelabuhanan 4, no. 2 (2014): 1–13

Al Qindy, Fatria Hikmatiar. “KAJIAN HUKUM TERHADAP KASUS KARTEL


MINYAK GORENG DI INDONESIA (Studi Putusan KPPU Nomor 24/KPPU-
1/2009).” Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune1,no.1(2018):39.
https://jurnal.hukumonline.com/download/5cb49bbc01fb730011dd361c.

Levina, G, R Naibaho, and K Siburian. “Tinjauan Yuridis Terhadap Kasus Kartel


Minyak Goreng Di Indonesia (Studi Putusan Kppu Nomor 24/Kppu1/2009).” Jurnal
Hukum PATIK 07, no. 5 (2017): 229–240.
https://ejournal.uhn.ac.id/index.php/patik/article/view/305.

Anggraini, Anna Maria Tri. “Penggunaan Bukti Ekonomi Dalam Kartel Berdasarkan
Hukum Persaingan Usaha.” Jurnal Hukum PRIORIS 3, no. 3 (2016): 1–25.
https://media.neliti.com/media/publications/37179-ID-penggunaan-buktiekonomi-
dalam-kartel-berdasarkan-hukum-pesaingan-usaha.pdf.

Irna Nurhayati, et, al., 2011, Implikasi Kebijakan Standarisasi Produk Crude Palm Oil
(CPO) Melalui Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) Terhadap Perdagangan
Ekspor Produk CPO di Indonesia, Monograph Series: Legal Dimension of Trade.

Carter, Finley, Fry Jackson and Willis. (2007). Palm Oil Markets and Future Supply.
Europan Journal of Lipid Science and Technology Vol 109 No 4.

https://lldikti5.kemdikbud.go.id/home/detailpost/larangan-ekspor-tidak-otomatis-
menurunkan-harga-minyak-goreng

https://journal.unpar.ac.id/index.php/Sentris/article/view/4185/3103
https://bisnis.tempo.co/read/1587822/menilik-dampak-pelarangan-ekspor-cpo-ke-
petani-emiten-hingga-kurs-rupiah

http://jurnal.kemendag.go.id/bilp/article/view/104

https://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-XIV-10-II-P3DI-
Mei-2022-230.pdf

Saleh et al., 2018; USDA, 2021)


(Majalah Sawit Indonesia, 2022; Arief, 2022)

Mulyana, Y. (2022) Penegakkan Hukum Oleh Polri Terhadap Tindak Pidana


Penimbun Minyak Goreng; Vol. 1 No. 8: Maret 2022

Horas, Hartono. (2010) Dampak Kenaikan Harga Minyak Bumi Terhadap Permintaan
CPO Untuk Biodiesel dan Beberapa Aspek Pada Industri Kelapa Sawit Indonesia;
Volume Semester I 2010

Rizal, Jawahir Gustav. “"[Kabar Data] Konsumsi Minyak Goreng Sawit Di


Indonesia.” Kompas.Com. Last modified 2022. Accessed April 4, 2022.
https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/02/04/122200282/-kabardata-konsumsi-
minyak-goreng-sawit-di-indonesia?page=all.

Anda mungkin juga menyukai