Anda di halaman 1dari 13

PEMAPARAN MATERI METODE PEMBELAJARAN

COMMUNITY LANGUAGE LEARNING (CLL)

TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)

MATA KULIAH :
JP703 - METODE DAN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA JEPANG
(NIHONGO KYOUJUHOU & KYOUGU)

Oleh :
Trisgar
2208437

SEKOLAH PASCASARJANA
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2022
BAB 7
COMMUNITY LANGUAGE LEARNING (CLL)

1. LATAR BELAKANG

Community Language Learning (CLL) adalah nama metode yang dikembangkan oleh Charles
A. Curran dan rekan sesama penelitinya. Curran adalah seorang spesialis konseling dan
profesor psikologi di Loyola University di Chicago. Metode Curran dalam menerapkan teknik
konseling psikologis dalam pembelajaran dikenal sebagai Counseling-Learning. CLL
menerapkan teori Counseling-Learning ini pada pengajaran bahasa. Seperti namanya, ide
dasar dan alasan untuk CLL berasal dari teori konseling Rogers (Rogers 1951). Konseling
adalah praktik memberi nasihat, bantuan, dan dukungan kepada seseorang yang memiliki
masalah dan membutuhkan bantuan. CLL menggunakan metafora konseling untuk
mendefinisikan kembali peran guru (konselor) dan pembelajar (klien) dalam pengajaran
bahasa. Prosedur dasar CLL diperkirakan muncul dari hubungan konselor-klien.

Teknik CLL dapat dilihat sebagai salah satu dari berbagai teknik pengajaran bahasa asing
yang disebut “teknik humanistic” (Moskowitz 1978). Moskowitz mendefinisikan teknik
pengajaran yang berpusat pada manusia sebagai berikut:

Teknik pengajaran yang berpusat pada manusia memadukan apa yang siswa rasakan,
pikirkan, dan ketahui dengan apa yang sedang mereka pelajari dalam bahasa target. Idealnya
adalah menjadi lebih toleran terhadap kehidupan, aktualisasi diri, dan evaluasi diri melalui
praktik daripada penyangkalan diri. (Teknik ini membangun rasa percaya, solidaritas, dan
kasih sayang yang lebih kuat, membantu pelajar untuk menjadi dirinya sendiri, dan untuk
mendorong penerimaan diri dan harga diri.) Teknik ini juga membantu menciptakan
suasana kepedulian dan berbagi dalam kelas bahasa asing. (Moskowitz 1978: 2).

Dengan kata lain, teknik pengajaran yang berpusat pada manusia melibatkan seluruh
kepribadian, termasuk tidak hanya pengetahuan bahasa dan keterampilan perilaku, tetapi
juga emosi dan kepekaan (domain emosional).
Metode pengajaran bahasa tradisional yang berhubungan dengan CLL mencakup metode
praktik yang digunakan dalam program pendidikan bilingual. Mackey (1972) menyebut ini
sebagai “metode pengkonversian bahasa/language alternation”. Metode pengkonversian
bahasa adalah terkait menyajikan pesan/pelajaran/pengajaran yang terlebih dahulu
disajikan dalam bahasa ibu/bahasa asli kemudian dalam bahasa kedua. Pembelajar
mempelajari pesan dalam bahasa kedua dengan mengingat makna dan aliran pesan yang
pertama kali diperoleh dalam bahasa ibu. Dari serangkaian pesan, kita mulai membangun
gambaran keseluruhan dari bahasa kedua. Dalam CLL, satu pelajar mengkomunikasikan
pesan kepada knower (seseorang yang fasih dalam bahasa perantara dan bahasa target, di
sini adalah seorang guru) dalam bahasa ibu mereka. Kemudian knower menerjemahkan
pesan ke dalam bahasa kedua lalu pelajar mengulanginya dalam bahasa kedua mereka dan
menyebarkannya ke pelajar lain yang ingin mereka ajak bicara. CLL mendorong anda untuk
'mendengarkan' apa yang terjadi antara pelajar lain dan seorang knower. 'Mendengarkan' ini
memungkinkan setiap orang dalam kelompok untuk memahami apa yang coba dikatakan
oleh pembelajar (La Forge 1983:45).

2. PENDEKATAN ( TEORI LINGUISTIK DAN TEORI PEMBELAJARAN )

Meskipun Curran sendiri menulis sedikit tentang teori tersebut, muridnya La Forge (1983)
berusaha untuk menjelaskan sifat teori CLL. La Forge melihat teori linguistik, yang
mencakup fonetik, kalimat, dan model konseptual bahasa, bukanlah sebuah hasil akhir dari
metode CLL melainkan sebagai awal (La Forge 1983 : 4). Tugas pembelajar bahasa asing
adalah "memahami sistem fonetik dan membangun makna dasar yang utama darinya". La
Forge melampaui strukturalis, dia menggambarkan bahasa sebagai proses sosial teoretis
baru (Language as social process). Komunikasi bukan sekedar penyampaian pesan dari
pembicara kepada pendengar. Pembicara merupakan subjek dan tubuh pesan itu sendiri.
…Komunikasi tidak hanya transmisi informasi satu arah, tetapi juga pembentukan subjek
dalam hubungannya dengan orang lain. …Komunikasi adalah pertukaran yang tidak lengkap
jika tidak ada reaksi dari penerima pesan. (La Forge 1983:3).
Pandangan bahasa sebagai proses sosial ini dijabarkan dalam enam fitur atau subproses. La
Forge juga menyebutkan tampilan interaksi bahasa yang mendasari CLL (lihat Bab 2).
"Bahasa adalah manusia. Bahasa adalah orang yang mengontak dan merespon" (1983:9).
Interaksi CLL pada dasarnya dibagi menjadi dua jenis yang berbeda: pelajar dan pelajar, dan
pelajar dan pengajar (knower). Dalam komunikasi antar pelajar, meskipun bisa jadi isinya
tidak dapat dipahami, umumnya dianggap bahwa perasaannya dipahami, karena saat kelas
telah menjadi komunitas, persahabatan para pelajar menjadi lebih dekat. Keinginan untuk
berpartisipasi dalam pendalaman persahabatan ini memotivasi siswa untuk belajar bersama
dengan teman sekelasnya.

Hubungan pelajar dan pengajar tergantung pada tahapan awalnya. Pelajar mengatakan apa
yang ingin mereka katakan dalam bahasa target, dan guru mengajari mereka bagaimana
mengatakannya. Hubungan tersebut kemudian berkembang melalui tahap ketegasan (tahap
2), emosional (tahap 3), penerimaan (tahap 4), dan kemandirian (tahap 5). Perubahan
yang saling terkait ini sesuai dengan lima tahap pembelajaran bahasa dan lima tahap konflik
emosional (La Forge 1983: 50).

Pengalaman Curran dalam konseling telah membuatnya percaya bahwa teknik konseling
dapat diterapkan pada pembelajaran umum (gagasan ini menjadi bernama metode
pembelajaran konseling) dan sampai pada kesimpulan bahwa teknik tersebut juga dapat
dimasukkan terutama dalam pengajaran bahasa (yang sekarang menjadi Pembelajaran
Bahasa Komunitas atau Community Language Learning). CLL percaya bahwa pembelajaran
manusia yang "sejati" adalah kognitif dan afektif, dan pembelajaran itu "holistik."
Pembelajaran ini, yang disebut ``whole-person learning'', adalah pendekatan komunikatif
yang memungkinkan guru dan pelajar untuk ``berhubungan sedemikian rupa sehingga
mereka berdua merasa mereka memberikan segalanya'' (Curran 1972:90). Situasi ini
berfokus pada membina hubungan antara guru dan pelajar. Prosesnya dibagi menjadi lima
tahap, yang menggantikan karakteristik tumbuh kembang anak.

Pada tahap pertama “Kelahiran”, terlahir rasa aman dan perlindungan.


Tahap kedua adalah periode di mana kemampuan pembelajar sebagai seorang anak
meningkat, dan ini merupakan waktu dimana orang tua mengekplorasi cara untuk membuat
anak mandiri.

Pada tahap ketiga, pembelajar "berbicara untuk diri mereka sendiri" dan menegaskan
identitas mereka, mengakui sering menolak nasihat yang menurutnya tidak perlu.

Pada tahap keempat, mereka mengembangkan kepercayaan diri sampai mereka mampu
menerima kritikan, dan tahap terakhirnya hanya berkaitan dengan pengembangan
pengetahuan bahasa yang baik dan gaya bahasa dalam mengekpresikannya. Melalui proses
ini, anak-anak menjadi dewasa, pelajar akan dapat memahami segala sesuatu yang dilakukan
pengajar dan akan menjadi seorang knower bagi pelajar baru.

Proses belajar bahasa baru seakan seperti dilahirkan kembali dan menjadi dewasa dengan
kepribadian baru, walaupun dengan segala tantangan dan masalah yang terkait dengan
kelahiran dan kedewasaan didalamnya.

Curran telah berbicara di banyak tempat tentang apa yang disebutnya "persetujuan
konsensual (consensual validation)" atau "persetujuan consensus (convalidation)". Dalam
"persetujuan" ini, evaluasi positif terhadap orang lain, seperti belas kasih dan pengertian
yang mendalam, dikembangkan antara guru dan siswa. Hubungan yang ditandai dengan
"persetujuan konsensual" dianggap penting untuk proses pembelajaran dan kunci untuk
manajemen kelas CLL. Kondisi psikologis yang diperlukan untuk keberhasilan belajar
dijelaskan dengan menggunakan akronim SARD (Curran 1976: 6) sebagai berikut:

S singkatan dari (Security / keamanan). Jika pembelajar tidak merasa aman, sulit bagi
mereka untuk berhasil terlibat dalam kegiatan belajar.

A adalah singkatan dari Attention (perhatian) and Agression (agresi). CLL menganggap
kurangnya perhatian pelajar sebagai tanda kurangnya keterlibatan dalam pembelajaran, dan
percaya bahwa penambahan tugas pilihan meningkatkan perhatian dan dapat memfasilitasi
dalam pembelajaranan.

R adalah singkatan dari Retensi dan Refleksi. Dengan keterlibatan holistik dalam proses
pembelajaran, apa yang dipelajari diasimilasi dan menjadi bagian dari kepribadian baru
pembelajar. Refleksi adalah cara bagi pembelajar untuk “fokus pada keefektifan
pembelajaran mereka sebelumnya, mengevaluasi tahap mereka saat ini, dan mengevaluasi
kembali tujuan masa depan” dalam kerangka pelajaran (La Forge 1983:68). Ini adalah waktu
hening yang disadari.

D singkatan dari Diskriminasi. Jika pembelajar "mengingat isi materi, dia dapat mengaturnya
dan memahami bagaimana hubungannya satu sama lain" (La Forge 1983: 69).
Pengembangan lebih lanjut dari proses identifikasi ini pada akhirnya mengarah pada
“pembelajar mampu menggunakan bahasa target untuk komunikasi di luar kelas”. (La Forge
1983:69).

Ide sentral Curran tentang pembelajaran tidak diarahkan pada proses psikologis dan kognitif
yang terlibat dalam pemerolehan bahasa kedua, tetapi pada hubungan pribadi yang harus
dibuat oleh pembelajar sebelum proses pemerolehan bahasa itu terjadi.

3. DESAIN (Tujuan, Silabus, Kegiatan Belajar, Pembelajar, Guru, Peran Bahan Ajar)

Tujuan linguistik dan komunikatif CLL tidak dijelaskan, karena kompetensi linguistik dan
komunikatif hanya diekspresikan dalam ekspresi sosial. Sebagian besar deskripsi CLL
digunakan dalam kursus pengantar percakapan bahasa asing. CLL tidak menggunakan
silabus bahasa pada umumnya yang telah ditentukan seperti tata bahasa, kosa kata, dan item
serta urutan instruksional lainnya. Dasar dari kemajuan pembelajaran CLL adalah sebuah
topik, dan pembelajar memutuskan apa yang ingin mereka bicarakan dan pesan apa yang
ingin mereka sampaikan. Pembelajar memutuskan apa yang ingin mereka bicarakan dan
pesan apa yang ingin mereka komunikasikan. Tanggung jawab guru adalah menyampaikan
makna yang ingin mereka sampaikan dengan cara yang sesuai dengan tingkat bahasa
pembelajar. Mempertimbangkan hal tersebut, silabus CLL lahir dari interaksi antara
komunikasi yang diungkapkan oleh pembelajar, kemudian guru merekonstruksinya menjadi
pengucapan bahasa sasaran yang sesuai. Item gramatikal tertentu, pola kosa kata, dan teori
umum lainnya dapat dipelajari secara lebih rinci dan diberikan instruksi individual untuk
berpikir secara mendalam. Setelah itu, meninjau materi yang tercakup dalam kursus dan
menghitung jumlah item didalamnya dapat menjadi cara untuk memandu silabus bahasa
CLL.

Seperti kebanyakan metode, CLL menggabungkan kegiatan pembelajaran yang inovatif


dengan yang tradisional. Kegiatan belajar meliputi:

1. Parafrase: Pelajar membentuk lingkaran kecil. Kemudian seorang pembelajar


membisikkan pesan atau makna yang ingin dia sampaikan, dan guru memparafrasekan (dan
terkadang menjelaskan dalam bahasa target) ke dalam bahasa target. Lalu siswa mengulangi
parafrase guru tersebut.

Parafrase adalah bentuk pengungkapan kembali suatu kata, bahasa, kalimat atau pernyataan
dengan menggunakan diksi yang lebih sederhana namun tidak dengan mengubah makna
dari bahasa tersebut.

2. Kerja Kelompok: Pelajar terlibat dalam berbagai kerja kelompok. Contoh : kelompok
diskusi kecil, persiapan percakapan, persiapan pembicaraan untuk dipresentasikan kepada
guru dan pembelajar lainnya.

3. Rekaman: Pembelajar merekam percakapan dalam bahasa target.

4. Dikte: Pembelajar menyalin ucapan dan percakapan yang direkam untuk praktik dan
analisis linguistik.

5. Analisis: Pembelajar menganalisis apa yang telah mereka diktekan dalam bahasa target
untuk fokus pada penggunaan kata-kata dan aturan tata bahasa tertentu.

6. Refleksi dan Observasi: Pembelajar, secara keseluruhan kelas atau dalam kelompok,
merefleksikan dan melaporkan pengalaman mereka di kelas. Laporan biasanya merupakan
ekspresi emosional dari perasaan masing", reaksi terhadap keheningan, dan ekpresi dari
perasaan tidak nyaman.

7. Mendengarkan: Pembelajar mendengarkan guru mengatakan apa yang tidak mereka


dengar dengan baik atau tidak mengerti dalam kegiatan kelas.
8. Percakapan Bebas: Pembelajar berbicara dengan bebas dengan guru dan pembelajar
lainnya. Diskusikan tidak hanya apa yang telah Anda pelajari, tetapi juga bagaimana
perasaan Anda tentang bagaimana Anda belajar.

Peran pelajar CLL sangat jelas. Pembelajar menjadi bagian dari komunitas pembelajaran dan
guru ikut terlibat didalamnya. Belajar dianggap sebagai pencapaian kolaboratif daripada
pencapaian individu. Pembelajar diharapkan untuk: Dengarkan baik-baik apa yang
dikatakan guru, bebas mengungkapkan apa yang ingin Anda katakan, ulangi bahasa target
tanpa ragu-ragu, bantu sesama anggota komunitas Anda, tidak hanya hal-hal yang
menyenangkan dan bahagia, tetapi juga jauh di lubuk hati Anda. yang juga mengungkapkan
perasaan dan keluhan tertentu. Pelajar juga bisa menjadi konselor untuk pelajar lainnya.
Siswa biasanya dibagi menjadi kelompok yang terdiri dari 6 sampai 12 orang dan duduk
melingkar. Jumlah guru bervariasi dari satu per kelompok hingga satu per pembelajar.

Peran pembelajar berubah sesuai dengan lima tahap pembelajaran bahasa yang diuraikan di
atas. Cara berpikir pembelajar sama kompleksnya dengan organisme. Peran baru
berkembang dari peran sebelumnya. Perubahan peran seperti itu tidak terjadi dengan
mudah atau dilakukan secara mekanis. Hal ini sebenarnya diyakini muncul dari krisis
emosional.

Ketika dihadapkan dengan tugas-tugas intelektual baru, pembelajar harus mengatasi krisis
emosional. Ada satu krisis emosional di masing-masing dari lima tahap CLL, dan dengan
bertahan dari masing-masing tahap, pelajar berkembang dari tingkat perkembangan yang
lebih rendah ke tingkat yang lebih tinggi. (La Forge 1983:44).

Peran guru berasal dari konsep konseling psikologis Rogersian. Peran konselor yaitu
membantu klien lebih memahami masalahnya dengan mengatur dan menganalisis sendiri
masalahnya, dengan cara yang tenang, tidak menghakimi, dan kooperatif. Salah satu peran
penerimaan dalam konseling adalah menghubungkan emosi dengan kognisi. Salah satu
peran penerimaan dalam konseling adalah menghubungkan emosi dengan kognisi.
Bersamaan dengan memahami bahasa 'emosional', konselor merespons dalam bahasa
kognitif' (Curran 1976: 26). Ini adalah citra guru sebagai konselor yang ingin dimasukkan
Curran ke dalam pembelajaran bahasa.
(Kognisi adalah proses mental yang terjadi mengenai sesuatu yang didapatkan dari kegiatan
berpikir tentang seseorang atau sesuatu. Proses yang dilakukan adalah memperoleh
pengetahuan dan memanipulasi pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisis,
memahami, menilai, menalar, membayangkan dan berbahasa.)

CLL juga memungkinkan untuk konseling yang sebenarnya. “Gangguan psikologis seperti
konflik kepribadian, kemarahan, dan kecemasan dalam belajar dapat menjadi dasar untuk
pemeriksaan yang mendalam jika guru memahami dan menanggapinya dengan kepekaan
konseling.” (J. Rardin, dalam Curran 1976) :103).

Lebih khusus lagi, peran guru, seperti peran pembelajar, berubah sesuai dengan lima tahap.
Pada tahap pertama pembelajaran, guru berperan mendukung pembelajar dengan
memparafrasekannya ke dalam bahasa target sesuai dengan permintaan klien (pembelajar)
dan menghadirkan model untuk ditiru. Kemudian, ketika percakapan menjadi dipimpin oleh
pembelajar, pantau ucapan pembelajar, bantu jika perlu. Saat pembelajaran berlangsung dan
pembelajar menjadi lebih menerima kritik, guru turun tangan langsung untuk mengoreksi
penyimpangan dan ucapan, memperkenalkan ekspresi idiomatik, dan menyarankan
penggunaan tata bahasa dan poin yang lebih baik. Peran guru pertama kali digantikan oleh
orang tua yang mengasuh anak. Sifat dari hubungan guru-murid berubah seiring dengan
perkembangan kompetensi siswa yang 'tumbuh'. Sikap mental guru menjadi agak
tergantung pada pembelajar. Knower merasa harga dirinya ada dengan dimintai bantuan
oleh pembelajar.

Curran tidak berpikir buku teks diperlukan karena kursus CLL berkembang dari interaksi
komunitas. Buku teks menghambat pertumbuhan dan keterlibatan pelajar dengan
memaksakan konten bahasa tertentu pada pelajar. Bahan ajar dapat dirancang sesuai
dengan kemajuan, tetapi paling banyak tentang menuliskan pokok-pokok pembicaraan
pelajar dan ciri-ciri bahasa di papan tulis atau OHP. Percakapan dapat ditranskripsi dan
didistribusikan untuk studi dan analisis. Siswa juga dapat bekerja dalam kelompok untuk
membuat materi mereka sendiri, seperti skrip untuk dialog dan sandiwara.
4. PROSEDUR PENGAJARAN

Kursus CLL dalam beberapa hal merupakan pengalaman yang unik. Oleh karena itu
bermasalah untuk menggambarkan prosedur instruksional CLL yang khas di kelas. Stevick
(1980) membedakan antara CLL "klasik" (yang secara langsung didasarkan pada model yang
dikemukakan oleh Curran) dan CLL berdasarkan interpretasi pribadi (yang telah
dikemukakan oleh berbagai pendukung) (misalnya, La Forge 1983). Aktivitas kelas CLL yang
khas mungkin terlihat seperti ini:

Di kelas CLL yang khas, pembelajar berdiri dalam lingkaran dan saling berhadapan. Satu atau
lebih orang yang mengetahui berfungsi sebagai guru bagi pelajar. Kelas pertama (dan kelas-
kelas berikutnya) dimulai dengan keheningan. Selama keheningan itu, pembelajar berpikir
tentang apa yang terjadi di kelas. Dalam pelajaran berikutnya, pelajar duduk dan berpikir
tentang apa yang harus dikatakan (La Forge 1983: 72). Akhirnya, kesunyian menjadi sangat
tidak nyaman sehingga salah satu pembelajar dengan sukarela memecahnya. Guru
menggunakan ucapan tersebut sebagai pengantar diskusi kelas atau sebagai pemicu untuk
mendiskusikan bagaimana perasaan pembelajar selama keheningan. dan mendorong
pembelajar dan guru lain untuk mengajukan pertanyaan. Isi pertanyaan dapat berupa apa
saja yang benar-benar ingin didengar oleh pembelajar. Catat pertukaran pertanyaan pada
tape recorder dan gunakan nanti untuk mengingat dan merenungkan topik dan kata-kata
yang digunakan.

Guru kemudian meminta semua siswa duduk berpasangan saling berhadapan dan meminta
mereka berbicara berpasangan selama 3 menit. Ini seperti latihan kelompok pendek yang
Anda lakukan dalam latihan judo. Selanjutnya, bagilah pembelajar menjadi kelompok-
kelompok kecil dan mintalah kelas atau kelompok mendiskusikan satu topik pilihan mereka.
Setelah berdiskusi, bagikan poin-poin utama dengan kelompok lain. Kelompok penerima
mengulangi apa yang mereka dengar atau dengan kata lain dan mengembalikannya ke
kelompok asal.

Di kelas menengah dan lanjutan, guru membimbing setiap kelompok untuk membuat
pertunjukan cerita gambar dan mempresentasikannya di depan kelas. Kelompok
menyiapkan sebuah cerita dan menceritakan atau menunjukannya kepada konselor (guru).
Konselor (guru) mengoreksi bahasa sasaran dan memberikan saran untuk memperbaiki
alur cerita. Pembelajar menerima materi untuk pertunjukan cerita bergambar dan membuat
kartu bergambar besar untuk mencocokkan cerita. Setelah mempraktikkan alur cerita dan
membuat gambar, setiap kelompok menyajikan pertunjukan cerita bergambar di depan
kelas. Selain gambar, saya menambahkan musik, wayang, dan kendang agar sesuai dengan
ceritanya (La Forge 1983: 81-82).

Terakhir guru meminta pembelajar untuk meninjau pelajaran secara keseluruhan kelas atau
dalam kelompok. Refleksi ini dapat berupa kontrak (komitmen tertulis atau lisan antara
pelajar dan guru yang telah disepakati dan secara khusus ditetapkan sebelumnya apa yang
akan dicapai kursus), interaksi individu, dan perasaan terhadap guru dan pelajar lainnya,
realisasi kemajuan, frustrasi, dll, untuk membentuk dasar topik diskusi.

Dieter Stroinigg (Stevick 1980: 185-186) menjelaskan protokol untuk konten hari pertama
CLL. Garis besarnya adalah sebagai berikut :

1. Salam informal dan perkenalan diri dipertukarkan.

2. Guru menyatakan tujuan dan pedoman mata pelajaran.

3. Terjadi percakapan dalam bahasa sasaran.

a) Kami duduk melingkar sehingga kami dapat melihat wajah satu sama lain.

b) Seorang pelajar mengirim pesan kepada pelajar lain dalam bahasa ibunya (dalam
hal ini bahasa Inggris) dan percakapan pun dimulai.

c) Guru berdiri di belakang siswa dan membisikkan padanan pesan dalam bahasa
target (dalam hal ini bahasa Jerman).

d) Pelajar mengulangi pesan dalam bahasa target kepada pelajar lain dan
merekamnya pada pita.

e) Setiap pembelajar diberi kesempatan untuk mengucapkan beberapa pesan dan


merekamnya.

f) Kaset diputar ulang dan diputar pada interval tertentu.


g) Pembelajar mengulangi dalam bahasa ibunya apa yang dia katakan dalam bahasa
target dan membantu pembelajar lain untuk mengingatnya.

4. Pembelajar memiliki waktu untuk melakukan refleksi. Pada saat ini, pembelajar diminta
untuk menyatakan dengan sangat jujur apa yang mereka rasakan dalam aliran hingga saat
itu.

5. Guru memilih kalimat dari rekaman sebelumnya dan menuliskannya di papan tulis.
Pengecualian tata bahasa, ejaan, dan kapitalisasi ditekankan.

6. Pembelajar didorong untuk bertanya tentang materi sebelumnya.

7. Pembelajar menyalin kalimat di papan tulis beserta makna dan penggunaannya. Ini akan
menjadi "buku pelajaran" Anda untuk belajar di rumah.

5. KESIMPULAN

CLL memberikan beban besar pada guru bahasa. Baik bahasa ibu dan bahasa target haruslah
terampil, dan harus peka terhadap perbedaan yang tipis. Harus terbiasa dengan peran
seorang penasihat dalam konseling psikologis dan beresonansi dengan gagasan itu. Juga
perlu untuk tidak dihancurkan oleh tekanan dari "metode pengajaran" tradisional. Karena
pelajar bertujuan untuk bebas, para guru tidak boleh melakukan intervensi secara langsung,
menerima agresivitas "muda" pelajar dan memiliki penampilan membesarkan. Kami tidak
menggunakan materi pengajaran konvensional untuk mendorong pembelajar untuk
mengatur kelas dan mempromosikan kelas tentang topik yang dipilih oleh pembelajar. CLL
biasanya membutuhkan pelatihan guru khusus. Kritik terhadap CLL didasarkan pada apakah
konseling itu tepat. Ada juga pertanyaan bahwa konseling dapat dilakukan tanpa menerima
pelatihan khusus. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa tujuan mencapai tidak jelas dan sulit
dievaluasi karena tidak ada silabus, dan bahwa tidak mungkin untuk sepenuhnya
memperoleh sistem tata bahasa dari bahasa target karena berfokus pada fasih daripada
akurasi. Pendukung CLL, di sisi lain, menekankan keuntungan dari metode ini, berfokus pada
pembelajar dan menekankan tidak hanya aspek bahasa tetapi juga aspek pembelajaran
bahasa manusia.
6. SESI TANYA JAWAB
Tidak ada pertanyaan saat sesi Tanya jawab karena durasi waktu habis digunakan
simulasi pembelajaran.

Anda mungkin juga menyukai