Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PERAWATAN PALIATIF MENJELANG AJAL DALAM


BUDAYA : SUKU JAWA

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPERAWATAN PALIATIF

Dosen Pengampu Mata Kuliah : Susan Susyanti S.Kep.,M.kep

Disusun oleh :

Dimelda Ayuni Putri KHGC20046


Friska Fitrianti KHGC20050
Hilna Elpi Rani KHGC20051
Noviawati KHGC20072
Nurul Aulia KHGC20073

KELAS 3B
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
KARSA HUSADA GARUT
2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat-Nya serta hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan
makalah dengan judul “Perawatan Paliatif Menjelang Ajal Dalam Budaya : Suku
Jawa ”. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW beserta keluarga dan para sahabatnya hingga pada umatnya sampai akhir
zaman.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dari Keperawatan
Menjelang Ajal dan Paliatif ini Kami berharap makalah yang telah disusun ini bisa
memberikan sumbangsih untuk menambah pengetahuan para pembaca, dan akhir
kata, dalam rangka perbaikan selanjutnya, kami akan terbuka terhadap saran dan
masukan dari semua pihak karena kami menyadari makalah yang telah disusun ini
memiliki banyak sekali kekurangan.

Garut, 18 September 2022

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR……………………………………..……………………...…i
DAFTAR ISI…………………………………………………………...…………….ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang……………………………………………….……………………1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………..………………….……….2
1.3 Tujuan…………………………………………………….…………….…………2
1.4 Manfaat…………………………………………………….…………….………..2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sosial Budaya Suku Jawa Tentang Perawatan Paliatif .......................................... 3
2.2 Tanda – Tanda Kematian Menurut Suku Jawa ......................................................4
2.3 Penatalaksanan Menjelang Ajal dan Perawatan Pasca Meninggal ..........................5
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan………………………………………………………..…..………..…7
3.2 Saran……………………………………………………………..……..………....8
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….………..9

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perawatan Paliatif adalah semua tindakan aktif guna meringankan beban


pasien terutama yang tidak dapat disembuhkan. Tindakan aktif yang dimaksud
ialah antara lain menghilangkan nyeri dan keluhan lain,serta perbaikan dalam
bidang psikologis, sosial dan spiritual. Perawatan ini tidak saja diberikan kepada
pasien yang tidak dapat disembuhkan tetapi juga pasien yang mempunyai harapan
untuk sembuh bersama-sama dengan tindakan kuratif .
Salah satu faktor yang menentukan kondisi kesehatan masyarakat adalah
perilaku kesehatan masyarakat itu sendiri. Dimana proses terbentuknya perilaku
ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor sosial budaya,
bila faktor tersebut telah tertanam dan terinternalisasi dalam kehidupan dan
kegiatan masyarakat ada kecenderungan untuk merubah perilaku yang telah
terbentuk tersebut sulit untuk dilakukan. Untuk itu, untuk mengatasi dan
memahami suatu masalah kesehatan diperlukan pengetahuan yang memadai
mengenai budaya dasar dan budaya suatu daerah. Sehingga dalam kajian sosial
budaya tentang perawatan paliatif bertujuan untuk mencapai derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya, meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam
menghadapi masalah yanh berhubungan dengan penyakit yang mengancam
kehidupan.
Suku Jawa apabila dipandang dari suku maupun dari pola kehidupannya
memiliki akar pengetahuan yang seolah tidak pernah habis untuk digali. Berbagai
macam filosofi dari pewayangan, keyakinan, kepercayaan, tradisi, adat maupun
praktik-praktik lain selalu memiliki ciri dan sudut pandang yang luhur. Hakikat
kemanusiaan ini dipahami sebagai tata cara dalam hidup yang mewujud bersama

1
komponen kebijaksanaan sejak zaman leluhur. Dimensi ini memandang hidup
yang

2
dilimpahi berkah oleh suatu kekuatan yang menopang manusia. Faktanya,
memang Jawa memiliki konsep-konsep keberhidupan terkait dengan dimensi
transobjektif. Dalam buku Rites of Passage, Van Gennep mengungkapkan bahwa
masyarakat memiliki tradisi/ritus unik terkait dengan daur hidup mereka, mulai
dari lahir, kanak-kanak, remaja, nikah, hingga kematian Dalam konteks ini,
bahwa ritual di seputar kematian seseorang di Jawa juga menjadi salah satu tradisi
yang unik. Ritus ini dilakukan dengan dasar dan argumentasi yang jelas sehingga
menjadi keyakinan di kalangan masyarakat, baik secara normatif agama maupun
secara sosiologis.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana Perawatan paliatif menjelang ajal dalam kearifan lokal budaya : suku
Jawa?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui bagaimana Perawatan paliatif menjelang ajal dalam kearifan
lokal budaya : suku Jawa.
1.4 Manfaat
Manfaat dari makalah ini adalah penulisan dan pembaca dapat menambah ilmu
pengetahuan mengenai Konsep Palliative care budaya suku Jawa.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sosial Budaya Suku Jawa Tentang Perawatan Paliatif

Pengertian sosial menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah segala


sesuatu yang mengenai masyarakat atau kemasyarakatan. Kebudayaan atau
kultur dapat membentuk kebiasaan dan respons terhadap kesehatan dan penyakit
dalam segala masyarakat tanpa memandang tingkatannya. Karena itulah penting
bagi tenaga kesehatan untuk tidak hanya mempromosikan kesehatan, tapi juga
membuat mereka mengerti tentang proses terjadinya suatu penyakit dan
bagaimana meluruskan keyakinan atau budaya yang dianut hubungannya dengan
kesehatan. Pengaruh kebudayaan, tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan
garis pengaruh sikap terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai
sikap anggota masyarakat, karena kebudayaanlah yang memberi corak
pengalaman individu-individu masyarakat. Green dalam Notoatmodjo (2007)
mengatakan bahwa perilaku manusia dari tingkat kesehatan dipengaruhi oleh 2
faktor pokok yaitu faktor perilaku (behaviour cause) dan faktor di luar perilaku
(non-behaviour cause). Perilaku itu sendiri terbentuk dari tiga factor, yaitu :

Perawatan paliatif melalui pendekatan budaya terbukti mampu meningkatkan


kulitas asuhan keperawatan kepada pasien. Pendekatan budaya dilakukan dengan
menerapkan nilai ajaran Jawa yaitu temen, nerima, sabar, dan rila (Trisna).
Model asuhan keperawatan paliatif Trisna ini lebih efektif dalam meningkatkan
kualitas asuhan keperawatan dan kualitas hidup pasien. asuhan keperawatan
tersebut juga terbukti lebih efektif meningkatkan kepuasan pasien. Melalui model
asuhan keperawatan ini pasien dibantu mencegah penyakit dan meringankan
penderitaan lewat identifikasi dini. Selain itu dengan penilaian yang tertib serta
penanganan nyeri dan masalah lainnya baik fisik, psikososial, maupun spiritual
melalui pendekatan nilai-nili budaya Jawa.

4
2. 2 Tanda – Tanda Kematian Menurut Suku Jawa

1. Jika sering merasa hambar dalam menghadapi hidup, atau bosan melihat
keadaan dunia dan sering bermimpi pergi kearah utara, maka di percaya
bahwa tanda -tanda tersebut merupakan firasat akan meninggal dalam waktu
kurang dari 3 tahun.
2. Apabila sering merasa kangen kepada orang-orang yang sudah pada
meninggal kemudian sering bermimpi memperbaiki rumah maka tandanya
kurang dari 2 tahun ajalnya akan tiba.
3. Jika sering melihat apa yang tidak dapat terlihat oleh mata telanjang, seperti
mahluk gaib, alam gaib maka bisa di kategorikan masuk dalam firasat bahwa
nyawanya tidak lebih dari 1 tahun akan melayang.
4. Jika sering melakukan hal-hal yang diluar kewajaran serta sering bertemu
mahluk gaib merupakan tanda akan meninggal kurang dari 9 bulan.
5. Jika sering mendengar suara-suara yang tidak biasanya seperti mendengar
suara jin ,setan atau suara hewan yang pada biasanya tiak bersuara,
merupakan tanda bahwa umurnya tinggal 6 bulan lagi.
6. Jika sering mencium bau-bauan mahluk halus seperti kemenyan dibakar
dicampur bunga-bungaan maka pertanda usianya kurang dari 3 bulan/ 100
hari.
7. Apabila sering melihat sesuatu yang aneh seperti lihat air warnamya merah,
lihat api warnanya hitam, tanda tersebut merupakan firasat bahwa ajalnya
tinggal 2 bulan.
8. Jika jari manis kram pada saat bersedakep dan susah untuk di acungkan maka
tandanya bahwa kematian akan datang sekitar 40 hari lagi.
9. Jika tangan terlihat lemah dan persendian seperti mau lepas, tandanya
meninggalnya kurang ari 1 bulan.
10. Jika melihat mukanya sendiri bukan dari cermin atau pantulan, melinkan
seperti melihat orang lain namun wajahnya adalah wajah kita, maka pertanda
kurang dari 1/2 bulan atau 15 hari lagi akan meninggal.
5
11. Jika sudah merasa lemas dan terkadang sampai nggak selera makan dan susah
tidur maka ajalnya hanya tinggal menghitung hari (1 minggu).
12. Jika badan sudah merasa panas dan saat buang hajat sering ada cacing
kalungnya maka pertanda umurnya kurang dari 3 hari.
13. Jika sering mengeluarkan angin dari dalam badan baik memalui kentut atau
sendawa maka tanda usianya kurang sari 2 hari.
14. Jika persendian seperti sudah pada longgar dan merasakan seperti orang yang
kecapean dan sering berkeringat maka tanda kurang 1 hari meninggal.
15. Jika kulitnya sudah tidak bisa merasakan apa-apa dan perasaannya berdebar-
debar serta suara-suara gemrusung ditelinga tidak ada lagi maka sudah
waktunya meninggal dunia.
2.3 Penatalaksanan Menjelang Ajal dan Perawatan Pasca Meninggal
a. Menghadapi Sakaratul Maut
Menjelang kematian menurut suku Jawa dianggap sebagai proses
lepasnya ruh dari dalam badan (tubuh). Secara bahasa, dipahami bahwa
sakaratul maut itu kondisi sekarat (tidak bisa melakukan apa-apa) dalam
menunju kematian. Ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi sakaratul
maut karena memang ruh sedang merasa tidak nyaman lagi berada di dalam
tubuh karena sedang dicabut oleh malaikat. Manusia sehebat apapun tidak bisa
melawan malaikat Izrail yang sedang menjalankan perintah dari Tuhan untuk
mencabut nyawanya. Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa sakaratul maut
adalah keadaan ketidak berdayaan seseorang dalam menjalani lepasnya nyawa
ketika sedang dicabut oleh malaikat Izrail. Orang-orang di Banyumas
memiliki cara-cara yang unik dalam menyikapi kerabat yang menghadapi
sakaratul maut. Ada tradisi bahwa orang yang sakit harus dijenguk dan
ditunggui. Pola ini dimaksudkan agar apabila terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan, maka pihak kerabat telah siap dan berada di tempat kejadian
peristiwa. Dalam kondisi semacam ini, keluarga akan berkumpul, siap apabila
dibutuhkan, dan mendoakan. Dalam berdoa hal utama yang dipan- jatkan
adalah berdoa untuk
6
kesembuhan. Namun, bila tidak ada kesembuhan baginya, maka berdoa agar
proses kematiannya dimudahkan (agar tidak terlalu menderita).
Sakaratul maut ditandai dengan ketidaksadaran dan kesadaran dari
seseorang yang hendak meninggal. Ia masih bisa melihat dan mendengar
orang
-orang yang di sekitarnya, namun ingatannya sudah mulai kabur. Untuk
membimbing orang yang sedang menjalani sakaratul maut, biasanya pihak
keluarga berusaha untuk membimbing mengucapkan sahadat agar meninggal
dunia dalam keadaan menyebut nama Tuhan. Orang yang meninggal dunia
dalam keadaan selalu mengingat Tuhan akan selalu mendapatkan bimbingan
dari cahaya Tuhan di alam kubur, maupun alam lainnya kelak.
b. Memandikan Jenazah
Dalam memandikan mayit suku Jawa, pihak keluarga (dengan dibantu
oleh warga) biasanya menyiapkan air yang banyak dan bermacam-macam.
Pertama , air leri dicampur dengan sambetan . Cara membuatnya, yakni ketika
mencuci beras, maka air berubah menjadi putih seperti susu. Air sambetan
dibuat dari beberapa dringo, kunir, dan bengkle yang ditumbuh sampai halus.
Setelah ditumbuk sampai halus, komponen ini kemudian dimasukkan ke
dalam air sehingga air tampak kekuningkuningan. Dalam persepsi ini, air leri
dan air sambetan yang dijadikan satu mampu membuat sukma menjadi sejuk.
Lepasnya sukma dari dalam tubuh itu sangat menyiksa dan terasa sangat
panas. Kedua , air kapur barus. Air kapur barus adalah air biasa yang
dicampur dengan kapur barus. Tujuan air ini untuk membunuh bakteri-bakteri
kecil yang ada di kulit. Selain itu, air ini juga dimaksudkan agar mayit tidak
cepat berbau busuk. Ketiga , air sabun. Air sabun digunakan untuk
membersikan segala kotoran yang melekat. Ada anjuran bahwa sabun mandi
yang digunakan juga sabun yang biasanya dipakai oleh almarhum ketika
masih hidup (satu jenis). Keempat
, air bening biasa. Air bisa bersumber dari sumur ataupun dari kali. Yang jelas,
air ini terjaga kesuciannya. Selain beberapa air tersebut, di Boyolali juga
7
disiapkan air dari merang yang telah dibakar untuk berkeramas. Air ini
digunakan untuk membasuh bagian rambut agar benar-benar bersih.
c. Mengafani Jenazah

Kain kafan dipotong sesuai dengan panjang (tinggi) mayit tersebut dan
diberi lebih sedikit agar mudah untuk mengikat. Biasanya, Kayim atau Modin
juga akan memotong kain dalam bentuk kecil untuk dijadikan tali yang
biasanya diletakkan di bagian paling bawah. Kain kafan diletakkan di keranda
dengan dibentangkan satu per satu dengan tempat untuk posisi kepala
mengarah kiblat. Selanjutnya, mayit diletakkan di atas kain yang telah
dibentangkan tadi dan dilipat hingga menutupi seluruh tubuh tubuh, kecuali
muka. Muka atau wajah tidak ditutup karena sebagai perwujudan dan sosok
kemanusiaannya kelak ketika harus menghadap di alam kubur.

Dalam mengkafani mayit , juga biasanya disiapkan kapas, kapur barus


halus, minyak wangi, dan beberapa keperluan lain. Kapas digunakan untuk
menutup lubang telinga, lubang hidung, dan mulut apabila masih sedikit
terbuka. Lubang tersebut ditutup untuk menghindari lalat (atau sejenisnya)
memasuki lubang tersebut sebelum jenazah dikuburkan. Kapur barus halus
biasanya ditaburkan pada kain kafan agar serangga-serangga kecil seperti
semut tidak lekas mendekati mayit . Minyak wangi biasanya digunakan untuk
menjadikan yang sudah berbau tidak terlalu menyengat (bau busuknya kalah
dengan bau minyak wangi).

d. Menyolati Jenazah

Bagi beberapaorang Jawa , setelah selesai menyolati jenazah, orang-


orang yang menyolati jenazah diberi uang selawat . Uang selawat adalah
sejumlah uang yang diberikan kepada orang-orang yang menyolati jenazah
sebagai tanda terima kasih dari pihak keluarga karena sudah berkenan
menyolati dan mendoakan si mayit . Uang ini diberikan ketika jamaah telah

8
selesai melakukan sholat jenazah dan masih dalam posisi berdiri saat berdoa
setelah sholat. uang selawat biasanya dibungkus dalam amplop, dibagikan
oleh seorang yang ditunjuk oleh keluarga dengan cara dimasukkan ke dalam
saku baju orang yang sedang berdoa setelah selesai shalat jenazah. Besaran
uang selawat ini tidak ada ketentuan umumnya.

e. Prosesi Sebelum mulai Mengantar


Sebelum jenazah diantar ke pemakaman, biasanya modin atau kayim
mewakili pihak akan berpidato singkat. Dalam pidato singkat, intinya, ia ingin
menyampaikan apabila almarhum pernah berbuat salah kepada keluarga,
kerabat, maupun masyarakat mohon untuk dimaafkan. Modin atau kayim juga
menanyakan kepada seluruh orang yang ada di sekitar: bahwa jenazah tidak
akan dikuburkan apabila masih memiliki hutang. Jenazah baru akan
dikuburkan apabila sudah benar-benar bersih dari hutang juga telah dimaafkan
kesalahannya selama hidup. Hal ini dimaksudkan agar kelak hal yang
tampaknya sepele tersebut dapat menjadi siksa kubur yang pedih dan penuh
derita.

Setelah itu, pihak keluarga akan melakukan Brobosan/Tlusupan, yang


dalam tradisi orang Banyumas disebut sebagai Lodosan. Brobosan/Tlusupan
dilakukan dengan cara masuk ke bawah kolong keranda jenazah dari kiri ke
kanan sewaktu akan diantar ke makam. Brobosan/Tlusupan dilakukan oleh
keluarga yang ditinggal untuk melepas kepergian mayit ke pemakaman. Hal
dimaksudkan agar pihak yang ditinggal tidak selalu ingat kepada almarhum.
Brobosan/Tlusupan dilakukan atas dasar bahwa setelah meninggal dunia, ruh
masih sering datang ke rumah. Hal ini berlangsung selama 40 hari. Oleh
karena itu, agar almarhum tidak muncul dalam bentuk ingatan kepada orang-
orang yang ditinggal dilakukan Brobosan/Tlusupan. Boleh dikatakan, bahwa
acara ini seperti pelukan terakhir sebelum mayit diantarkan ke
pemakaman. Dengan

9
perpisahan terakhir, diharapkan bahwa semua anggota keluarga telah
benarbenar ikhlas melepas kepergian almarhum untuk dikuburkan.

f. Mengantar Jenazah ke Pemakaman

Pada saat jenazah mau diberangkatkan, menurut suku jawa ada


seorang perempuan dari keluarga yang meninggal yang membawa sapu lidi
dan lampu senthir (pelita). Perempuan tersebut mendahului pemberangkatan
jenazah dengan menyapu halaman atau jalan sebanyak 7 langkah dari awal
pemberangkatan jenazah. Hal tersebut dilakukan sebagai simbol harapan agar
si Almarhum mendapatkan jalan yang bersih dan terang atau jalan yang benar
dalam perjalanannya menuju alam akhirat.

g. Pemakaman Jenazah

Setelah pemakaman jenazah kendi yang digunakan untuk membawa


air tawar yang dicampuri dengan minyak cendana dan kembang telon, yang
akan disiramkan di atas kuburan dan maesan. Semua itu melambangkan
kesucian, kesegaran, dan keharuman nama si Almarhum. Hal lain yang
dilakukan adalah dengan kelapa hijau yang masih muda. Kelapa hijau yang
masih muda itu nantinya akan dibelah dan airnya akan disiramkan di atas
kuburan dan belahan kelapanya juga ditelungkupkan di atas makam setelah
jenazah selesai dikuburkan. Air kelapa ini melambangkan kesucian karena air
kelapa adalah “air suci” karena tidak pernah tercampur oleh apapun. Selain
itu, air kelapa muda juga sebagai perlambang keteguhan hati si Almarhum. Ia
dianalogikan seperti halnya pohon kelapa yang berdiri kokoh, tidak mudah
roboh ataupun terombang-ambing oleh angin. Sementara itu, bagi almarhum
yang memiliki putri belum menikah, maka anakan pohon pisang yang telah
dibawa ke makam diletakkan di dekat makam. Hal ini dimaksudkan sebagai
perlambang bahwa anak-anaknya tetap dekat dengan orang tuanya, dan
orangtua yang telah meninggal tidak perlu mengkhawatirkan anak-anak
yang ditinggalkan

10
walaupun belum dewasa. Untuk orang yang telah menggali kubur, dilarang
untuk menengok ke makam sebelum tujuh langkah dari kuburan. Suku Jawa
meyakini apabila mereka menengok kubur sebelum tujuh langkah, maka
kedatangan malaikat ke dalam kubur tersebut akan lebih cepat (yang harusnya
tujuh hari dalam hitungan dunia ini). Mereka diharapkan untuk tetap lurus
meninggalkan kuburan dan dianjurkan untuk langsung mandi terlebih dahulu.
Bila orang yang bersentuhan dengan jenazah (dan dalam menggali kubur)
tidak langsung mandi, diyakini ada beberapa penyakit yang bisa tumbuh.
Bahkan, ada yang meyakini bahwa apabila tidak mandi, menyebabkan
kematian pada anggota keluarganya.

11
BAB III

PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan untuk


meningkatkan kualitas kehidupan pasien dan keuarganya dalam menghadapi
masalah masalah yang berhubungan dengan penyakit yang mengancam jiwa,
dengan mencegah dan meringankan penderitaan melalui identifikasi awal serta
terapi dan masalah lain, fisik, psikososial dan spirittual.
Perilaku manusia dalam menghadapi masalah kesehatan merupakan
suatu tingkah laku yang selektif, terencana, dan tanda dalam suatu sistem
kesehatan yang merupakan bagian dari budaya masyarakat yang
bersangkutan. Perilaku tersebut terpola dalam kehidupan nilai sosial budaya
yang ditujukan bagi masyarakat tersebut. Perilaku merupakan tindakan atau
kegiatan yang dilakukan seseorang dan sekelompok orang untuk kepentingan
atau pemenuhan kebutuhan tertentu berdasarkan pengetahuan, kepercayaan,
nilai, dan norma kelompok yang bersangkutan. Kebudayaan kesehatan
masyarakat membentuk, mengatur, dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan
individu-individu suatu kelompok sosial dalam memenuhi berbagai kebutuhan
kesehatan baik yang berupa upaya mencegah penyakit maupun
menyembuhkan diri dari penyakit. Oleh karena itu dalam memahami suatu
masalah perilaku kesehatan harus dilihat dalam hubungannya dengan
kebudayaan, organisasi sosial, dan kepribadian individu-individunya terutama
dalam paliatif care.

12
1.2 Saran
Dari makalah yang telah dibuat ini diharapkan pembaca mendapat
mengetahui tradisi menjelang ajal suku jawa dalam memaknai kematian
sebagai jalan kembali karena hakikat manusia itu berasal dari Tuhan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Fitri Nur azizah. 2013. Aspek Sosial Mempengaruhi Kesehatan. (diakses tanggal 11
November 2019 )
Lukman Hakim, dkk., 2013, Faktor Sosial Budaya Dan Orientasi Masyarakat Dalam
Berobat (Socio-Cultural Factors And Societal Orientation In The
Treatment), Universitas Jember (UNEJ), Jember. (diakses tanggal 11
November 2019 )
Suwito. S, Agus. 2015. Tradisi dan Ritual Kematian Wong Islam Jowo . Jurnal
Kebudayaan Islam. Vol 13 No 2 : 197-216.
Notoatmodjo, S. 2007 , Pengantar Perilaku Kesehatan, FKM : UI, Jakarta.

14

Anda mungkin juga menyukai