Anda di halaman 1dari 54

PENGARUH PSYCHOLOGICAL WELL-BEING TERHADAP

PROKRASTINASI PENYUSUNAN SKRIPSI PADA MAHASISWA


UNIVERSITAS HALU OLEO

PROPOSAL PENELITIAN

yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelas Sarjana Psikologi
pada Jurusan/Program Studi psikilogi

Oleh
Muhammad Bhayu Aji
A1R117044

JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI


2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sumber daya manusia Indonesia (SDM) yang berkualitas merupakan

aset bangsa dan negara dalam melaksanakan pembangunan nasional di

berbagai sektor dan dalam menghadapi tantangan kehidupan masyarakat

dalam era globalisasi. Tidak dipungkiri lagi kemajuan suatu bangsa sangat

tergantung pada kualitas generasi mudanya. Salah satu cara yang dapat

mewujudkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas adalah dengan

menempuh jenjang pendidikan (Sulistianingsih, 2005).

Mahasiswa diwajibkan mengambil skripsi untuk digunakan sebagai

persyaratan lulus dari perguruan tinggi dan mendapatkan gelar sarjana dan

lulus dalam menempuh studi minimal selama 4 tahun. Skripsi adalah karya

ilmiah yang ditulis melalui kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan hasil

penelitian ilmiah oleh mahasiswa jenjang program sarjana muda atau sarjana

(Soemanto, 2008). Skripsi ditulis oleh mahasiswa bertolak dari gejala

kehidupan yang memunculkan permasalahan untuk dipelajari dan dipecahkan

oleh mahasiswa yang bersangkutan. Permasalahan dalam skripsi adalah

didalam lingkup atau konteks bidang studi mahasiswa yang bersangkutan

pada suatu jurusan/program studi/fakultas.


Tujuan atau sasaran dari Universitas Halu Oleo Kendari adalah

Mahasiswa dapat lulus tepat waktu (4 tahun untuk S1), tetapi pada

kenyataannya masih banyak mahasiswa yang belum mampu menyelesaikan

studi S1 nya tepat waktu (4 tahun) bahkan tidak jarang mahasiswa lulus lebih

dari 4 tahun. Banyak mahasiswa yang tidak mampu menyelesaikan skripsi

sesuai dengan waktu yang direncanakan atau ditargetkan pihak kampus,

sehingga mahasiswa tersebut tidak dapat lulus dalam waktu singkat akhirnya

banyak mahasiswa yang memperpanjang masa studinya lebih lama untuk

menyelesaikan proses penyusunan skripsi.

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan pada mahasiswa tingkat

akhir di Fakultas Perikanan Universitas Halu Oleo mengenai prokrastinasi

penyusunan skripsi didapatkan hasil bahwa penyebab terjadinya prokrastinasi

adalah adanya kesulitan dalam mengerjakan skripsi seperti proses revisi yang

berulang-ulang, kesulitan mendapatkan referensi, keterbatasan waktu

penelitian, dosen pembimbing yang sibuk dan sulit ditemui.subjek juga

mengakui bahwa alasan dia menunda menyelesaikan skripsinya karena ajakan

teman-teman nya untuk bermain game online. Hal ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Ferrari (1998) yang menyatakan bahwa ada

dua faktor yang menyebabkan terjadinya prokrastinasi yaitu faktor internal

dan faktor eksternal. Faktor internal seperti kondisi kodrati, kondisi fisik,

kondisi kesehatan, dan kondisi psikologis. Sedangkan faktor eksternal seperti


pola asuh orang tua, lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan

sekolah.

Adanya berbagai kesulitan-kesulitan yang ditemui saat penyusunan

skripsi, mahasiswa sering merasakan skripsi sebagai suatu beban yang berat,

akibatnya kesulitan-kesulitan yang dirasakan tersebut berkembang menjadi

perasaan yang negatif yang akhirnya dapat menimbulkan suatu ketegangan,

kekhawatiran, stress, rendah diri, frustasi, dan kehilangan motivasi, yang

akhirnya dapat menyebabkan mahasiswa menunda penyusunan skripsinya

bahkan ada yang memutuskan untuk tidak menyelesaikan skripsinya

( Mu’tadin, 2002). Hal ini tentu saja dapat merugikan mahasiswa yang

bersangkutan mengingat bahwa skripsi merupakan tahap paling akhir dan

paling menentukan dalam mencapai gelar sarjana.

Perilaku menunda pekerjaan termasuk tugas kuliah dalam istilah

psikologi disebut prokrastinasi, yaitu suatu perilaku dimana seseorang tidak

bisa mengatur waktu dengan baik sehingga menyebabkan tertundanya suatu

pekerjaan. Prokrastinasi adalah suatu kecenderungan untuk menunda dalam

memulai maupun menyelesaikan kinerja secara keseluruhan untuk melakukan

aktivitas lain yang tidak berguna, sehingga kinerja menjadi terhambat, tidak

pernah menyelesaikan tugas tepat waktu, serta sering terlambat dalam

menghadiri pertemuan-pertemuan (Junita, 2014).

Prokrastinasi dapat juga dikatakan sebagai penghindaran tugas, yang

diakibatkan perasaan tidak senang terhadap tugas serta ketakutan untuk gagal
dalam mengerjakan tugas. Knaus (2002), berpendapat bahwa penundaan yang

telah menjadi respon tetap atau kebiasaan dapat dipandang sebagai trait

prokrastinasi. Artinya prokrastinasi dipandang lebih dari sekedar

kecenderungan melainkan suatu respon tetap dalam mengantisipasi tugas-

tugas yang tidak disukai dan dipandang tidak diselesaikan dengan sukses.

Dengan kata lain penundaan yang dikatagorikan sebagai prokrastinasi adalah

apabila penundaan tersebut sudah merupakan kebiasaan atau pola yang

menetap, yang selalu dilakukan seseorang ketika menghadapi suatu tugas dan

penundaan yang diselesaikan oleh adanya keyakinan irasional dalam

memandang tugas.

Sebagai suatu pencapaian penuh dari potensi psikologis individu dan

suatu keadaan dimana individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri

apa adanya, memiliki tujuan hidup serta mengembangkan relasi disebut

psychological well-being atau kesejahteraan psikologis. Menurut Ryff (1995)

psychological well-being merupakan suatu dorongan untuk menggali potensi

diri individu secara keseluruhan. Dorongan tersebut dapat menyebabkan

seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat psychological

well-being individu menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki

keadaan hidup yang akan membuat psychological well-being individu tersebut

menjadi tinggi.

Ryff (1995) menyatakan konsep ini terdapat enam dimensi yang

membentuk psychological well-being yakni penerimaan diri (self-acceptance),


hubungan positif dengan orang lain (positif relation with others), otonomi

(autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup

(purpose in life), dan pertumbuhan pribadi (personal growth).

Penelitian yang dilakukan oleh Sagita (2017) mengenai tinggi

rendahnya tingkat stress juga dipengaruhi oleh psychological well-being yang

dicapai setiap individu. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa psychological

well-being terkait dengan kemampuan untuk mengadopsi strategi koping

adaptif dalam konteks akademik, yaitu mereka yang mendapat skor lebih

tinggi akan cenderung mengadopsi strategi adaptif (Sagita, 2017). Dengan

memiliki psychological well-being yang baik, dapat membantu dalam proses

adaptasi dan diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam menghadapi

tuntutan yang berasal dari akademis.

Penelitian yang dilakukan oleh Sagita (2017), menyatakan bahwa stres

yang dirasakan seseorang memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan

psychological well-being. Hasil penelitian tersebut memiliki makna bahwa

apabila psychological well-being yang dimiliki setiap individu semakin baik,

maka stress atau perasaan-perasaan negatif lainnya yang menyebabkan

terjadinya proksrastinasi akan menurun.

Fenomena yang terjadi pada mahasiswa Universitas Halu Oleo

Kendari dalam penyusunan skripsi adalah ketidakmampuan mahasiswa dalam

menghadapi tuntutan akademis dalam menyusun skripsinya, sehingga


mahasiswa tersebut memiliki niat atau motivasi yang rendah dalam

menyelesaikan skripsinya.

Berdasarkan uraian di atas, salah satu yang mungkin mempengaruhi

perilaku prokrastinasi penyusunan skripsi mahasiswa adalah ketidak

mampuan mahasiswa dalam mencapai kesejahteraan psikologisnya. Maka

perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan psychological well-

being dengan prokrastinasi penyusunan skripsi pada mahasiswa Universitas

Halu Oleo Kendari.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana

psychological well-being berpengaruh terhadap prokrastinasi penyusunan

skripsi pada mahasiswa Universitas Halu Oleo Kendari.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh

psychological well-being terhadap prokrastinasi penyusunan skripsi pada

mahasiswa Universitas Halu Oleo Kendari.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis
Memberikan informasi mengenai keterkaitan antara

Psychological Well-being dan fenomena prokrastinasi penyusunan

skripsi yang terjadi di lingkup Universitas Halu Oleo.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan pemahaman terperinci mengenai Psychological

Well-being dan prokrastinasi mahasiswa Universitas Halu

Oleo.

b. Membantu mahasiswa untuk lebih mengerti dirinya terkait

perilaku prokrastinasi.

E. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya

1. Fadhillah (2016) melakukan penelitian hubungan psychological well-

being dengan happines pada remaja di pondok pesantren. Uji hipotesis

dilakukan dengan teknik analisis korelasi bivariate. Hasil penelitian

menyimpulkan terdapatnya korelasi yang positif antara psychological

well-being dengan kebahagiaan umum, terdapatnya korelasi yang

positif antara psychological well-being dengan positive affect,

terdapatnya korelasi yang negatif antara psychological well-being

dengan negative affect terdapatnya korelasi yang positif antara

psychological well-being dengan satisfaction with life. artinya terdapat

hubungan yang positif antara psychological well-being yang tinggi dan


happiness yang tinggi. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan

terletak pada subjek penelitian.

2. Puspita, dkk (2018) melakukan penelitian mengenai hubungan antara

emotional labor dengan psychological well-being pada perawat RSJD

Dr. Amino Gondohutomo Semarang. Teknik pengambilan sampel

yang digunakan dalam penelitian ini adalah cluster random sampling.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa bahwa terdapat hubungan

positif yang signifikan antara emotional labor dengan psychological

well-being pada perawat RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang.

Semakin tinggi emotional labor maka semakin tinggi psychological

well-being, sebaliknya semakin rendah emotional labor maka semakin

rendah psychological well-being pada perawat RSJD Dr. Amino

Gondohutomo Semarang. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan

terletak pada subjek penelitiannya.

3. Pradana dan Kustanti (2017) melakukan penelitian mengenai

hubungan antara dukungan sosial suami dengan psychological well-

being pada ibu yang memiliki anak autis dengan teknik sampling yang

digunakan dalam penelitian ini adalah cluster random sampling. Hasil

penelitian menyimpulkan bahwa semakin tinggi dukungan sosial

suami yang dirasakan oleh ibu maka semakin tinggi psychological

well-being pada ibu yang memiliki anak autisme. Perbedaan dengan

penelitian yang dilakukan terletak pada Subjek penelitiannya.


4. Linawati dan Desiningrum (2017) melakukan penelitian mengenai

hubungan antar religiusitas dengan psychological well-being pada

siswa SMP Muhammadiyah 7 Semarang dengan teknik

stratifedcluster random sampling. Hasil penilitian menyimpulkan

bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara religiusitas dan

psychological well-being pada siswa SMP Muhammadiyah 7

Semarang. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan terletak pada

subjek penelitiannya.

5. Makvana (2020) melakukan penelitian dengan judul psychological

well-being of people. Studi ini dilakukan untuk menyelidiki perbedaan

Kesejahteraan di antara Orang-orang. Total 240 Sampel Pria dan

Wanita diambil dari daerah pedesaan dan perkotaan Kota Bhavnagar

(Gujarat). Data dikumpulkan dengan bantuan 'Psychological well-

being Inventory' yang dikembangkan oleh Verma dan Verma (1989).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tidak ada perbedaan yang

signifikan antara Kesejahteraan Psikologis antara Laki-laki dan

Perempuan. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan terletak pada

subjek penelitian dan desain penelitian.

6. Akpur (2020) melakukan penelitian dengan judul the effect of

procrastination on academic achievement: a meta analysis study.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh tingkat

prokrastinasi terhadap prestasi akademik. Hasil penelitian


menunjukkan variabel berkorelasi negatif satu sama lain dan ukuran

efek keseluruhan dari prokrastinasi terhadap prestasi akademik

ditemukan -0,61, yang dapat diartikan sebagai ukuran efek sedang.

Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan terletak pada desain

penelitian.

7. Hamka dan Lin (2020) melakukan penelitian dengan judul the

psychological well-being of newly-arrived Indonesian student in

Taiwan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kesejahteraan

psikologis mahasiswa Indonesia di Taiwan. Penelitian ini

menggunakan desain studi kasus fenomenologi. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa mahasiswa belum mampu mengelola emosi

(misalnya, gegar budaya, perasaan terisolasi) dan beradaptasi dengan

budaya dan bahasa yang berbeda dari negara asal. Perbedaan dengan

penelitian yang dilakukan terletak pada subjek penelitian.

8. Balkis dan Duru (2017) melakukan penelitian dengan judul Gender

Differences in the Relationship between Academic Procrastination,

Satifaction with Academic Life and Academic Performance. Penelitian

ini bertujuan untuk meneliti perbedaan gender dalam hubungan

penundaan akademik, kinerja akademik dan kepuasan hidup akademik.

Hasil penelitian menemukan bahwa prokrastinasi akademik

berhubungan negatif dengan akademik kinerja dan kepuasan hidup

akademik Siswa laki-laki memiliki tingkat akademik yang lebih tinggi


penundaan dan tingkat yang lebih rendah dari kinerja akademik dan

kepuasan hidup akademik. Perbedaan dengan penelitian yang

dilakukan terletak pada subjek penelitian.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Psychological Well-being

a. Definis Psychological Well-being

Teori psychological well-being dikembangkan oleh Ryff pada tahun

1989. Psychological well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai

aktivitas hidup sehari-hari. Segala aktifitas yang dilakukan oleh individu yang

berlangsung setiap hari dimana dalam proses tersebut kemungkinan

mengalami fluktuasi pikiran dan perasaan yang dimulai dari kondisi mental

negatif sampai pada kondisi mental positif, misalnya dari trauma sampai

penerimaan hidup dinamakan psychological well-being (Bradburn dalam Ryff

& Keyes,1995).

Ryff (dalam Allan, 2008) mendefinisikan psychological well-being

sebagai suatu dorongan untuk menggali potensi diri individu secara

keseluruhan. Dorongan tersebut dapat menyebabkan seseorang menjadi

pasrah terhadap keadaan yang membuat psychological well-being individu

menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki keadaan hidup yang akan

membuat psychological well-being individu tersebut menjadi tinggi (Ryff &

Keyes, 1995).

Individu yang memiliki psychological well-being yang tinggi adalah


individu yang merasa puas dengan hidupnya, kondisi emosional yang positif,

mampu melalui pengalaman-pengalaman buruk yang dapat menghasilkan

kondisi emosional negatif, memiliki hubungan yang positif dengan orang

lain, mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung dengan orang

lain, mengontrol kondisi lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup yang

jelas, dan mampu mengembangkan dirinya sendiri (Ryff, 1989).

Ryff (1995) menyatakan konsep ini terdapat enam dimensi yang

membentuk psychological well-being yakni penerimaan diri (self-

acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positif relation with

others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental

mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan pribadi (personal

growth).

b. Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being

Dalam buku yang ditulis oleh Ingrid E. Wells, sehubungan dengan

konsep Psychological well-being, Ryff (1995) mengusulkan model

multidimensional yang terdiri dari 6 dimensi berbeda, yaitu antara lain,

Penerimaan diri (Self-acceptance), Hubungan positif dengan orang lain

(positive relation with others), Otonomi (autonomy), Penguasaan Lingkungan

(Evironmental mastery), Tujuan dalam hidup (purpose in life) dan

Pertumbuhan pribadi (personal growth).


Keenam dimensi psychological well being ini dapat didefinisikan

sebagai berikut:

1. Penerimaan Diri (Self Acceptance)

Dimensi ini adalah bagian terpenting dari well being yang berkaitan

pada opini positif seseorang yang ia miliki mengenai dirinya sendiri. Hal ini

tidak mengacu pada kenarsisan atau dangkalnya self esteem, melainkan

mengacu pada konstruksi self regard yang terdiri dari aspek positif dan juga

aspek negatif seseorang tersebut (Ryff dan Singer, 2003).

Penulis lain berbicara tentang hal ini sebelumnya, (Jung 1933)

menekankan bahwa hanya orang yang fully-individuated yang bisa menerima

kegagalan sendiri. Konsep ego integrity yang diperkenalkan oleh Erikson

(1959) juga mengacu pada individu yang datang untuk berdamai dengan

kemenangan dan kegagalan di masa lalunya.

Penerimaan diri dibangun dengan self-assessment yang jujur; orang

menyadari kegagalan pribadinya dan keterbatasan, tapi memiliki cinta untuk

menerima dan merangkul dirinya sebagai dia.

 skor tinggi dalam faktor ini adalah indikator orang dengan sikap

positif, yang mengakui dan menerima beberapa aspek dalam dirinya,

termasuk kebaikan dan keburukannya, dan juga dapat melihat masa

lalu dengan perasaan positif (Ryff dan Keyes, 1995).

 skor rendah dalam faktor ini muncul pada orang yang tidak puas
dengan sebagian besar dirinya; yang tidak nyaman dengan apa yang

telah terjadi dalam kehidupan masa lalunya, yang merasa terganggu

akan beberapa kualitas dalam diri mereka dan ingin mengubahnya

(Ryff dan Keyes, 1995).

2. Hubungan Positif dengan Orang Lain (positive relations with others)

Dimensi ini meliputi perasaan tabah dalam menghadapi berbagai

sifat manusia, kebahagiaan yang didapat dari menjalin relasi dan keinginan

untuk menyenangkan manusia yang berasal dari hubungan dekat dengan

orang lain, dari keintiman dan cinta (Ryff dan Singer, 2003).

Teori tentang tahap-tahap perkembangan dewasa juga menekankan

pada kedekatan hubungan dengan orang lain (intimacy) dan guidance juga

kepedulian pada orang lain (generativity). Pentingnya memiliki hubungan

positif dengan orang lain adalah berulang kali ditekankan dalam definisi

psychological well being (Ryff dan Singer, 1996).

 skor tinggi muncul pada individu yang memiliki kehangatan,

perasaan puas dan memiliki hubungan berbasis kepercayaan

dengan orang lain, yang peduli tentang well being orang lain dan

memiliki kapasitas untuk merasakan empati, affect dan intimacy

dan memahami give and take dalam hubungan manusia (Ryff dan

Keyes, 1995).

 skor rendah menunjukkan bahwa seseorang hanya memiliki sedikit


relasi yang dekat dan saling percaya dengan orang lain, merasa

kesulitan untuk memberikan kehangatan, membuka diri dan

memedulikan well being dari yang lain. Mereka merasa terisolasi

dan frustrasi dengan hubungan sosial. dan orang-orang ini tidak

ingin berkomitmen dengan orang lain (Ryff dan Keyes, 1995).

3. Otonomi (autonomy)

Otonomi ini mengacu pada kemampuan seseorang untuk mengatur

kehidupannya sendiri dan mengejar apa yang ia yakini dan percaya, bahkan

jika ini melawan dogma yang diterima atau kebijaksanaan yang konvensional.

Hal ini juga mengacu pada kemampuan untuk menyendiri jika diperlukan dan

untuk hidup mandiri (Ryff dan Singer, 2003). Pada teori tentang aktualisasi

diri, orang yang melakukan aktualisasi diri digambarkan sebagai orang yang

mampu mandiri dan tidak terpengaruh terhadap enkulturasi. Dalam penelitian

ke dalam konsep orang yang memiliki otonomi tinggi, orang ini adalah

seseorang dengan tolak ukur diri, yang terutama tertarik pada apa yang orang

lain pikirkan tentang dia, tetapi akan mengevaluasi dirinya sesuai dengan

standar pribadinya sendiri (Ryff dan Singer, 1996).

 skor tinggi dalam dimensi ini menunjukkan orang-orang yang

memiliki self determined dan independen, mampu menolak tekanan

sosial dan bertindak dengan mengatur perilaku mereka dari tolak

ukur diri. Orang-orang ini mengevaluasi diri sesuai dengan standar


pribadi (Ryff dan Keyes, 1995).

 skor rendah menunjukkan orang yang peduli tentang harapan orang

lain, mereka bergantung pada penilaian orang lain sebelum

membuat keputusan penting, dan pikiran dan tindakan mereka

dipengaruhi oleh tekanan sosial (Ryff dan Keyes, 1995).

4. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)

Penguasaan lingkungan adalah dimensi penting lainnya dalam

psychological well being dan dalam dimensi ini berfokus pada tantangan pada

orang untuk menguasai lingkungan di sekitarnya. Kemampuan ini

membutuhkan keterampilan untuk menciptakan dan mempertahankan

lingkungan yang bermanfaat untuk dirinya (Ryff dan Singer, 2003).

Kemampuan seorang individu untuk memilih atau untuk membuat

lingkungan yang sesuai untuk kondisi mentalnya didefinisikan sebagai

karakteristik mental yang sehat. Menurut teori Life Span Developmental, bagi

seseorang untuk menguasai lingkungannya secara memadai, dibutuhkan

kemampuan untuk mengelola dan mengendalikan kompleks lingkungan, yang

menekankan dari perspektif kebutuhan untuk bergerak maju dalam dunia dan

mengubahnya secara kreatif dengan kegiatan fisik dan mental (Ryff dan

Singer, 1996).

 skor tinggi dalam faktor ini diperoleh oleh orang-orang dengan rasa

untuk menguasai dan kompetensi lingkungan mereka, yang bisa


membuat penggunaan efektif dari peluang yang muncul dan dapat

memilih atau membuat konteks yang tepat untuk kebutuhan mereka

dan nilai-nilai pribadi (Ryff dan Keyes, 1995).

 skor rendah menunjukkan kesulitan dalam mengelola urusan sehari

hari, atau mengubah atau memperbaiki lingkungan mereka dan

kesulitan untuk memunculkan sebagian besar peluang, dan

kurangnya kontrol akan dunia di sekitar mereka (Ryff dan Keyes,

1995).

5. Tujuan hidup (purpose of life)

Memiliki tujuan hidup adalah kemampuan seseorang untuk

menemukan arti dan petunjuk dari pengalamannya, dan untuk merujuk dan

menentukan tujuan dalam hidupnya (Ryff dan Singer, 2003). Definisi dari

kedewasaan juga jelas menekankan pada pemahaman akan tujuan hidup

dan adanya pemgetahuan akan apa yang ingin dituju dan intentionality.

Orang yang berhasil akan memiliki tujuan, keinginan dan pengetahuan akan

apa yang ingin dituju, dan semua pertolongan untuk memberikan kehidupan

yang berarti (Ryff dan Singer,1996).

 skor tinggi pada dimensi ini muncul pada orang orang yang

mempunyai tujuan dalam hidupnya dan memiliki sense of

direction; mereka merasa bahwa masa lalu dan juga masa sekarang

memiliki arti, mereka memegang kepercayaan yang memberikan


kehidupan mereka tujuan dan alasan untuk hidup (Ryff dan Keyes,

1995).

 Skor rendah muncul pada orang yang merasa kehidupannya tidak

memiliki makna dan tidak memiliki tujuan dan sense of direction;

mereka tidak bisa melihat pelajaran atau hikmah dari yang mereka

alami di pengalaman masa lalu (Ryff and Keyes, 1995).

6. Pertumbuhan pribadi (personal growth)

Dimensi ini menyangkut kemampuan seseorang untuk menyadari

potensi dan bakatnya sendiri dan mengembangkan sumber daya baru. Hal

ini juga sering melibatkan diri untuk berhadapan dengan kesulitan yang

membutuhkan usaha lebih untuk menemukan kekuatan (Ryff dan Singer,

2003). Hal ini terkait dengan sikap terbuka terhadap pengalaman baru, yang

merupakan kunci karakteristik agar pertumbuhan pribadi seseorang dapat

berfungsi penuh. Teori rentang hidup juga secara eksplisit menekankan

pentingnya untuk terus tumbuh dan untuk mengatasi tugas baru atau

tantangan dalam berbagai tahap kehidupan seseorang (Ryff dan Singer,

1996).

 skor tinggi menunjukkan orang-orang yang ingin terus berkembang.

Mereka menganggap diri mereka sebagai individu yang dapat

tumbuh dan berkembang, terbuka untuk pengalaman baru, merasa

mereka dapat memenuhi potensi mereka, mereka dapat melihat


perbaikan dalam diri dan perilaku mereka dari waktu ke waktu, dan

perubahan terhadap cara-cara yang meningkatkan pengetahuan diri

dan efektivitas mereka (Ryff dan Keyes, 1995).

 Skor rendah muncul pada orang dengan pribadi yang stagnan, tanpa

perbaikan atau pertumbuhan selama periode waktu, mereka merasa

bosan dan kurang tertarik akan kehidupan. Mereka merasa tidak

mampu mengembangkan sikap atau perilaku baru (Ryff dan Keyes,

1995).

Model ini dipelajari dalam sampel yang representatif dari 1.108 orang

dewasa berusia lebih dari 25 tahun. Setelah di analisis, ditemukan

bahwa hasilmendukung dimensi-dimensi yang diusulkan, dan model yang

terbaik dilengkapi enam factor dikombinasikan bersama untuk

membentuk faktor tatanan yang lebih tinggi, yang disebut psychological

well being (Ryff dan Keyes, 1995). Dalam studi yang sama ditemukan

bahwa faktor penerimaan diri dan penguasaan lingkungan yang

berkorelasi, sehingga diusulkan untuk menggabungkan faktor-faktor

ini untuk mendapatkan model dengan 5 faktor. Dalam kasus

apapun, para penulis menyimpulkan bahwa well being lebih dari

sekedar perasaan senang atau puas dengan kehidupan; juga bukan hanya

tidak adanya emosi negatif atau pengalaman yang mendefinisikan baik.

Sebaliknya itu memerlukan memiliki persepsi yang kaya pengalaman ini


dan berhasil mengelola tantangan dan kesulitan yang mungkin timbul

(Ryff dan Singer, 2003).

c. Faktor-Faktor Psychological Well Being

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat psychological well being

pada seseorang meliputi beberapa aspek, yaitu sebagai berikut:

1. Demografi

a. Usia

Berdasarkan penelitian Ryff (1989), pada rentang usia tertentu

dimensi-dimensi yang memenuhi psychological well being dapat

mengalami peningkatan maupun penurunan. Salah satunya dimensi

penguasaan lingkungan dan kemandirian semakin meningkat seiring

dengan bertambahnya usia sedangkan pada dimensi tujuan hidup dan

pertumbuhan pribadi mengalami penurunan.

b. Jenis Kelamin

Perbedaan jenis kelamin memiliki pengaruh terhadap tingkat

psychological well being pada beberapa dimensi. Dalam penelitian

Ryff (1989), pada dimensi hubungan positif dan pertumbuhan pribadi

wanita lebih memiliki korelasi yang signifikan dibandingkan laki-laki.

Sedangkan dalam dimensi lainnya tidak tampak ada perbedaan yang

signifikan.

c. Budaya
Dalam penelitian Ryff & Singer (dalam Werdyaningrum,

2013), budaya barat cenderung memiliki pengaruh pada dimensi yang

berorientasi pada diri seperti penerimaan diri dan dimensi otonomi,

sedangkan budaya timur lebih menonjol pada dimensi yang

berorientasi pada orang lain seperti hubungan positif dengan orang

lain.

2. Kepribadian

Dalam penelitian Ryan dan Deci, 2001, Ryff dan Schummute

melakukan penelitian terkait pengaruh lima tipe kepribadian terhadap

psychological well being. Dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa

individu yang cenderung memiliki kepribadian ekstraversion,

conscientiousness dan low neuroticism memiliki skor tinggi pada dimensi

pertumbuhan pribadi, individu dengan kecenderungan agreeabless dan

ekstraversion memiliki skor tinggi pada dimensi hubungan positif dengan

orang lain. Sedangkan individu dengan low neuroticism memiliki skor tinggi

dalam dimensi otonomi (Kartikasari, 2013)

3. Religiusitas

Dalam penelitian Amawidyati dan Utami (2006). menyatakan bahwa

religiusitas membantu individu mempertahankan kesehatan mental seseorang

pada masa-masa sulit. Demikian pula penelitian Taylor (1995) menyatakan

bahwa agama mampu meningkatkan psychological well being dalam diri

seseorang. Individu yang memiliki kepercayaan terhadap agama yang kuat


memiliki kepuasan hidup dan kebahagiaan personal yang lebih tinggi,

dampak traumatis yang lebih rendah.

4. Dukungan Sosial

Dalam beberapa penelitian, dukungan sosial yang diberikan

lingkungan pada seseorang akan mempengaruhi tingkat psychological well

being. Desiningrum (2010), melakukan penelitian tentang hubungan antara

dukungan sosial keluarga dengan psychological well being pada Lansia.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara dukungan sosial terhadap psychological well being pada Lansia.

B. Prokrastinasi

a. Pengertian Prokrastinasi Akademik

Kata prokrastinasi akademik sebenarnya sudah ada sejak lama, bahkan

dalam salah satu prasasti di Universitas Ottawa Canada, pada abad ke-17 kata

ini telah dituliskan oleh Walker dalam khotbahnya. Di sana dikatakan bahwa

prokrastinasi sebagai salah satu dosa serta kejahatan manusia, dengan

enunda-nuda pekerjaan manusia akan kehilangan kesempatan dan menyia-

nyiakan karunia Tuhan, Ferrari (1995).

Prokrastinasi juga tidak selalu diartikan sama dalam bahasa dan

budaya manusia. Bangsa Mesir kuno misalnya, mempunyai dua kata kerja

yang memiliki arti sebagai prokrastinasi, yang pertama menunjuk pada suatu

kebiasaan yang digunakan untuk menghindari pekerjaan-pekerjaan penting


dan usaha yang impulsif. Sedangkan kata yang kedua menunjuk pada

kebiasaan yang berbahaya akibat kemalasan dalam menyelesaikan suatu tugas

yang penting untuk nafkah hidup, seperti mengerjakan ladang ketika musim

tanam tiba.

Bangsa Romawi menggunakan kata procrastinare dalam istilah militer

mereka, yaitu perbuatan yang bijaksana untuk menangguhkan keputusan

menyerang dengan cara menunggu musuh keluar yang menunjukkan suatu

sikap sabar dalam konflik militer. Pada abad lalu prokrastinasi bermakna

positif bila penunda-nunda sebagai upaya yang konstruktif untuk menghindari

keputusan impulsif dan tanpa pemikiran yang matang dan tanpa tujuan yang

pasti.

Istilah prokrastinasi berasal dari bahasa Latin procrastination dengan

awalan “pro” yang berarti mendorong maju atau bergerak maju dan akhiran

“crastinus”. yang berarti keputusan hari esok, atau jika digabungkan menjadi

menangguhkan atau menunda sampai hari berikutnya (Burka & Yuen, 2008).

Burka & Yuen (2008), kata prokrastinasi yang ditulis dalam American

College Dictionary, memiliki arti menangguhkan tindakan untuk

melaksanakan tugas dan dilaksanakan pada lain waktu.

Kamus The Webster New Collegiate mendefinisikan prokrastinasi

sebagai suatu pengunduran secara sengaja dan biasanya disertai dengan

perasaan tidak suka untuk mengerjakan sesuatu yang harus dikerjakan.

Prokrastinasi di kalangan ilmuwan, pertama kali digunakan oleh Brown dan


Hoizman untuk menunjukkan kecenderungan untuk menunda-nunda

penyelesaian suatu tugas atau pekerjaan. Seseorang yang mempunyai

kecenderungan menunda atau tidak segera memulai kerja disebut

procrastinator (Ghufron, 2003).

Prokrastinasi dapat juga dikatakan sebagai penghindaran tugas, yang

diakibatkan perasaan tidak senang terhadap tugas serta ketakutan untuk gagal

dalam mengerjakan tugas. Knaus (2002), berpendapat bahwa penundaan yang

telah menjadi respon tetap atau kebiasaan dapat dipandang sebagai trait

prokrastinasi. Artinya prokrastinasi dipandang lebih dari sekedar

kecenderungan melainkan suatu respon tetap dalam mengantisipasi tugas-

tugas yang tidak disukai dan dipandang tidak diselesaikan dengan sukses.

Dengan kata lain penundaan yang dikatagorikan sebagai prokrastinasi adalah

apabila penundaan tersebut sudah merupakan kebiasaan atau pola yang

menetap, yang selalu dilakukan seseorang ketika menghadapi suatu tugas dan

penundaan yang diselesaikan oleh adanya keyakinan irasional dalam

memandang tugas. Bisa dikatakan bahwa istilah prokrastinasi bisa dipandang

dari berbagai sisi dan bahkan tergantung dari mana seseorang melihatnya.

Menurut Ferrari (Ghufron, 2003), pengertian prokrastinasi dapat

dipandang dari berbagai batasan tertentu, yaitu: (1) prokrastinasi hanya

sebagai perilaku penundaan, yaitu bahwa setiap perbuatan untuk menunda

dalam mengerjakan suatu tugas disebut sebagai prokrastinasi, tanpa

mempermasalahkan tujuan serta alasan penundaan yang dilakukan; (2)


prokrastinasi sebagai suatu kebiasaan atau pola erilaku yang dimiliki

individu, yang mengarah kepada trait, penundaan yang ilakukan sudah

merupakan respon tetap yang selalu dilakukan seseorang dalam menghadapi

tugas, biasanya disertai oleh adanya keyakinan-keyakinan yang irasional; (3)

prokrastinasi sebagai suatu trait kepribadian, dalam pengertian ini

prokrastinasi tidak hanya sebuah perilaku penundaan saja, akan tetapi

prokrastinasi merupakan suatu trait yang melibatkan komponen-komponen

perilaku maupun struktur mental lain yang saling terkait yang dapat diketahui

secara langsung maupun tidak langsung.

Berdasarkan pengertian dari pemaparan sebelumnya, peneliti

menyimpulkan pengertian prokrastinasi sebagai suatu penundaan yang

dilakukan secara sengaja dan berulang-ulang, dengan melakukan aktivitas lain

yang tidak diperlukan dalam pengerjaan tugas yang penting. Seseorang yang

memiliki kesulitan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan batasan waktu

yang telah ditentukan, sering mengalami keterlambatan mempersiapkan diri

secara berlebihan, maupun gagal dalam menyelesaikan tugas sesuai batas

waktu bisa dikatakan sebagai procrastinator.

b. Ciri-ciri Prokrastinasi Akademik

Burka dan Yuen (2008), menjelaskan ciri-ciri seorang pelaku

prokrastinasi antara lain:


1) Prokrastinator lebih suka untuk menunda pekerjaan atau

tugastugasnya.

2) Berpendapat lebih baik mengerjakan nanti dari pada sekarang, dan

menunda pekerjaan adalah bukan suatu masalah.

3) Terus mengulang perilaku prokrastinasi

4) Pelaku prokrastinasi akan kesulitan dalam mengambil keputusan.

Menurut Ferrari (Ghufron, 2003), mengatakan bahwa sebagai suatu

perilaku penundaan, prokrastinasi akademik dapat terminifestasikan dalam

indikator tertentu yang dapat diukur dan diamati dalam ciri-ciri tertentu

berupa:

a) Penundaan untuk memulai maupun menyelesaikan kerja pada tugas

yang dihadapi.

b) Keterlambatan dalam mengerjakan tugas.

c) Kesenjangan waktu antara rencana dan kinerja aktual

Jadi dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri prokrastinasi akademik adalah

penundaan untuk memulai maupun menyelesaikan kerja pada tugas yang

dihadapi, keterlambatan dalam mengerjakan tugas, kesenjangan waktu antara

rencana dan kinerja aktual dan melakukan aktivitas lain yang lebih

menyenangkan daripada melakukan tugas yang harus dikerjakan.

c. Faktor Penyebab Prokrastinasi Akademik


Menurut Burka dan Yuen (2008), terbentuknya tingkah laku

prokrastinasi dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain: konsep diri, tanggung

jawab, keyakinan diri dan kecemasan terhadap evaluasi yang akan diberikan,

kesulitan dalam mengambil keputusan, pemberontakan terhadap kontrol dari

figur otoritas, kurangnya tuntutan dari tugas, standar yang terlalu tinggi

mengenai kemampuan individu. Burka dan Yuen (2008), menjelaskan bahwa

prokrastinasi terjadi karena tugas-tugas yang menumpuk terlalu banyak dan

harus segera dikerjakan. Pelaksanaan tugas yang satu dapat menyebabkan

tugas lain tertunda. Kondisi lingkungan yang tingkat pengawasannya rendah

atau kurang akan menyebabkan timbulnya kecenderungan prokrastinasi,

dibandingkan dengan lingkungan yang penuh pengawasan.

Menurut Ferrari (Ghufron, 2003), reward dan punishment dari orang

tua maupun guru juga dikatakan sebagai penyebab prokrastinasi, adanya

obyek lain yang memberikan reward lebih menyenangkan daripada obyek

yang diprokrastinasi. Menurut Mc. Cown dan Jhonson (Rahmawati, 2011),

dapat memunculkan perilaku prokrastinasi akademik. Disamping reward yang

diperoleh prokrastinasi akademik juga cenderung dilakukan pada jenis tugas

sekolah yang mempunyai punishment atau konsekuensi dalam jangka waktu

yang lebih lama daripada tugas yang memiliki konsekuensi dalam jangka

pendek.

Prokrastinasi akademik dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut

Ferrari (Nugrasanti, 2006), menyebutkan bahwa prokrastinasi akademik


dipengaruhi oleh keyakinan yang tidak rasional dan perfeksionisme. Menurut

Solomon & Rothblum (Nugrasanti, 2006), prokrastinasi dilakukan siswa

karena memiliki kecemasan kemampuannya dievaluasi, takut gagal, dan susah

mengambil keputusan. Prokrastinasi juga dilakukan karena membutuhkan

bantuan orang lain untuk mengerjakan tugasnya, malas, kesulitan mengatur

waktu, dan tidak menyukai tugasnya.

Menurut Ferrari (Ghufron, 2003) menyatakan, prokrastinasi

mengganggu dalam dua hal:

1. Faktor internal

Faktor-faktor yang mempengaruhi individu untuk melakukan

prokrastinasi, meliputi:

a) Kondisi kodrati, Terdiri dari jenis kelamin anak, umur, dan urutan

kelahiran. Anak sulung cenderung lebih diperhatikan, dilindungi,

dibantu, apalagi orang tua belum berpengalaman. Anak bungsu

cenderung dimanja, apalagi bila selisih usianya cukup jauh dari

kakaknya.

b) Kondisi fisik dan kondisi kesehatan, mempengaruhi munculnya

prokrastinasi akademik. Menurut Ferrari (Ghufron, 2003), tingkat

itelegensi tidak mempengaruhi prokrastinasi walaupun prokrastinasi

sering disebabkan oleh adanya keyakinan-keyakinan

c) Kondisi psikologis, trait kepribadian yang dimiliki individu turut

mempengaruhi munculnya perilaku prokrastinasi, misalnya hubungan


kemampuan sosial dan tingkat kecemasan dalam berhubungan sosial,

Millgram (Ghufron, 2003). Sikap perfeksionis yang dimiliki seseorang

biasanya mempengaruhi perilaku prokrastinasi lebih tinggi. Besarnya

motivasi seseorang juga akan mempengaruhi prokrastinasi secara

negatif. Semakin tinggi motivasi yang dimiliki individu ketika

menghadapi tugas, akan semakin rendah kecenderungan untuk

melakukan prokrastinasi akademik (Ghufron, 2003).

2. Faktor Eksternal

aktor eksternal yang ikut menyebabkan kecenderungan munculnya

prokrastinasi akademik dalam diri seseorang yaitu faktor pola asuh orang

tua, lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah. Menurut Ferrari &

Ollivete (Ghufron, 2003), tingkat pengasuhan otoriter ayah akan

menyebabkan munculnya kecenderungan prokrastinasi yang kronik pada

subyek peneliti anak wanita, sedangkan tingkat otoritatif ayah

menghasilkan perilaku anak wanita yang tidak melakukan prokrastinasi.

Menurut Millgram (Ghufron, 2003), kondisi lingkungan yang linent, yaitu

lingkungan yang toleran

C. Mahasiswa

a. Defenisi Mahasiswa

Mahasiswa adalah orang yang belajar di sekolah tingkat perguruan

tinggi untuk mempersiapkan dirinya bagi suatu keahlian tingkat sarjana


(Budiman, 2006). Takwin (dalam Chorunnisa, 2011) mengatakan bahwa

mahasiswa adalah orang yang belajar dan terdaftar sebagai peserta didik di

perguruan tinggi baik di universitas, institut, atau akademi. Sedangkan

menurut Sarwono (1978), mahasiswa adalah setiap orang yang secara resmi

terdaftar untuk mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan batas usia

sekitar 18-30 tahun. Antoni (2012) mendefinisikan mahasiswa sebagai insan

yang dipercaya untuk mengemban tugas-tugas keilmuan sesuai potensi dan

kadar intelektual yang dimiliki masing-masingnya. Mahasiswa dengan segala

potensi yang tersedia dan disediakan adalah titipan keluarga dan masyarakat

dalam rangka membingkai kemajuan berpikir, kearifan dalam bertindak, dan

kematangan dalam bersosialisasi.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa mahasiswa merupakan individu yang secara resmi belajar di perguruan

tinggi dan memiliki potensi dalam bidang keilmuannya masing-masing.

b. Ciri, Tipe, dan Karakteristik Mahasiswa

Mahasiswa sering dianggap sebagai seorang dengan intelektualitas

yang tinggi. Menurut Knopfelmacher (dalam Sarwono, 1978), seorang yang

bersifat ntelektual merupakan individu yang memiliki pengetahuan keilmuan

yang sesuai dengan bidang studi yang dipelajarinya di perguruan tinggi,

berminat pada masalah-masalah moral dan politik, serta mampu


menyampaikan pendirian-pendirian moral dan politik mereka baik secara lisan

maupun tertulis (Chorunnisa, 2011).

Mahasiswa sebagai individu yang bersifat intelektual memiliki ciri-

ciri, tipe dan karakteristiknya tersendiri. Munawar (2011) mengatakan, secara

formal, ciri-ciri mahasiswa ialah memiliki kartu mahasiswa sebagai simbol

dan legitimasinya. Namun secara filosofis, ciri-ciri seorang mahasiswa yaitu

rasional, cerdas, inovatif, kreatif, intelek, radikal, idealis, kritis, revolusioner,

dan militan. Selain itu, Munawar (2011) juga menjabarkan tipe dan

karakteristik mahasiswa yang dibagi ke dalam 4 bagian, antara lain:

1. Tipe Akademik

Mahasiswa yang hanya memfokuskan diri pada kegiatan akademik

dan cenderung apatis terhadap kegiatan kemahasiswaan dan kondisi

masyarakat

2. Tipe Organisatoris

Mahasiswa yang memfokuskan diri pada kelembagaan baik

didalam maupun diluar kampus, peka terhadap kondisi sosial dan

cenderung tidak mengkonsentrasikan diri pada kegiatan akademik.

3. Tipe Hedonis

Mahasiswa selalu mengikuti trend dan mode tapi cenderung apatis

terhadap kegiatan akademik dan kemahasiswaan.

4. Tipe Aktivis Mahasiswa


Mahasiswa yang memfokuskan diri pada kegiatan akademik

kemudian berusaha mentrasformasikan “kebenaran ilmiah” yang

didapatkan ke masyarakat melalui lembaga dan sebagainya dan berusaha

memperjuangkannya.

D. Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti berikut

memiliki hubungan yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan kali

ini.

a. Jurnal penelitian dengan judul “Hubungan Antara Self-Efficacy dengan

Prokrastinasi Akademik pada Mahasiswa Program Studi Psikologi

Universitas Sebelas Maret Surakarta” oleh Putri, Wijayanti, dan Priyatama

pada tahun 2012. Hasil yang dikemukakan adalah adanya hubungan

negatif antara self-efficacy dengan prokrastinasi akademik pada

mahasiswa Program Studi Psikologi Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Jurnal penelitian yang berjudul “Hubungan Antara Kontrol Diri dengan

Prokrastinasi dalam Menyelesaikan Skripsi pada Mahasiswa Universitas

Muria Kudus” oleh Aini dan Mahardayani pada tahun 2011. Hasil analisis

adalah ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara kontrol diri

dengan prokrastinasi dalam menyelesaikan skripsi pada mahasiswa UMK.

c. Penelitian Husetiya (2010), dengan judul Hubungan Asertivitas dengan

Prokrastinasi Akademik pada Mahasiswa Fakultas Psiklogi Universitas


Diponegoro Semarang yang merupakan skripsi dari mahasiswa Fakultas

Psiklogi Universitas Diponegoro Semarang. Penelitian ini menguji adanya

hubungan antara asertivitas dengan prokrastinasi akademik pada

mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang. Adapun

hasil yang diperoleh dari hipotesis menunjukkan bahwa terdapat hubungan

yang signifikan antara asertivitas dengan prokrastinasi akademik pada

mahasiswa Psikologi UNDIP,

d. Penelitian Fitri Amaliah (2011), dengan judul Hubungan Prokrastinasi

Akademik dan Prestasi Belajar Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Malang,

yang merupakan mahasiswa Universitas Negeri Malang. Penelitian ini

bertujuan untuk mengungkap hubungan prokrastinasi akademik dan

prestasi belajar siswa kelas XI SMA Negeri 1 Malang. Adapun hasil

penelitian ini adalah terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara

prokrastinasi akademik dan prestasi belajar siswa kelas XI SMA Negeri 1

Malang.

E. Kerangka Berpikir

Psychological Mahasiswa Prokrastinasi


well-being akhir penyusunan skripsi

F. Hipotesis
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis yang diajukan

dalam penelitian ini adalah:

Ho : tidak ada pengaruh antara psychological well-being terhadap

prokrastinasi penyusunan skripsi mahasiswa

Ha : terdapat pengaruh antara psychological well-being terhadap

prokrastinasi pemyusunan skripsi mahasiswa


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Identifikasi dan Operasional Variabel

1. Identifikasi Variabel

Variabel bebas adalah variabel yang menjadi sebab timbulnya atau

berubahnya variabel terikat (Neuman 1994). Variabel bebas dalam pada

penelitian adalah psychological well-being. Variabel terikat adalah

variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya

variabel lain (Neuman 1994). Variabel terikat pada penelitian ini adalah

prokrastinasi.

Variabel X Variabel Y

Psychological well-being Prokrastinasi

2. Definisi Operasional

a. Variabel bebas (psychological well-being)

psychological well-being yaitu tingkat kesejahteraan secara

psikologis dimana keadaan individu tersebut ditandai dengan

mampu menerima dirinya apa adanya, mampu membentuk

hubungan yang hangat dengan orang lain memiliki kemandirian

terhadap tekanan sosial, mampu mengontrol lingkungan eksternal,


memiliki tujuan hidup, serta mampu mengembangkan potensi

dirinya.

b. Variabel terikat (prokrastinasi)

Prokrastinasi akademik adalah suatu kecenderungan menunda

untuk memulai maupun menyelesaikan tugas yang dilakukan

sengaja dan berulang-ulang, dengan melakukan aktivitas lain yang

lebih menyenangkan tetapi tidak mendukung yang mengakibatkan

kelambanan dalam mengerjakan tugas. Tinggi rendahnya

prokrastinasi akademik akan diungkap menggunakan skala

prokrastinasi akademik yang akan disusun peneliti berdasarkan

aspek-aspek prokrastinasi akademik yang dikemukakan oleh

Ferrari (1995) yaitu penundaan untuk memulai dan menyelesaikan

tugas, keterlambatan dalam mengerjakan tugas, kesenjangan

antara rencana dan kinerja aktual, dan melakukan aktivitas lain

yang lebih menyenangkan.

B. Desain Penelitian

Dilihat dari jenis datanya penelitian ini merupakan penelitian dengan

analisis data yang menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu penelitian yang

didasari oleh ilmu yang valid, ilmu yang dibangun dari empiris, teramati,

terukur, menggunakan logika matematika dan membuat generalisasi.


Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif korelasional, dimana

penelitian kuantitatif diartikan juga sebagai sebuah penelitian yang

didalamnya banyak dituntut menggunakan angka, mulai dari

pengumpulan data, penafsiran terhadap data, serta penampilan dari

hasilnya. Sedangkan pendekatan korelasional bertujuan untuk mendeteksi

sejauh mana variasi-variasi pada suatu faktor yang berkaitan dengan variasi-

variasi pada satu atau lebih faktor lain berdasarkan koefisien korelasi.

Dilihat dari pendekatan strategi penelitian atau proses pengumpulan

data, penelitian ini menggunakan metode survey, yaitu penelitian yang

dilakukan pada populasi besar maupun kecil, data yang dipelajari diambil dari

populasi tersebut, sehingga dapat ditemukan kejadian-kejadian relatif,

distribusi dan hubungan antar variabel sosiologi maupun psikologi.

Rancangan penelitian yang digunakan sangat sederhana, yaitu dua skor

yang dikumpulkan dari survey pada sampel yang dipilih, dimana variabel

pertama dalam penelitian dihubungkan dengan variabel kedua. Dalam

menganalisis data digunakan perhitungan statistik korelasi product moment

untuk mengungkap fenomena yang terjadi dan menyesuaikan dengan tujuan

yang ingin dicapai dalam penelitian metode kuantitatif.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi
Populasi merupakan kelompok subjek yang terdapat dalam

wilayah tertentu dengan karakteristik yang sama dan dapat digunakan

untuk penggeneralisasian (Sumanto, 2014). Populasi dalam penelitian ini

adalah mahasiswa tingkat akhir Universitas Halu Oleo angkatan 2015-

2017 yang mengontrak skripsi.

2. Sampel

Sampel adalah subjek yang terdapat dalam suatu populasi, dapat

dipilih, dan dianggap mampu mewakili seluruh populasi (Sumanto, 2014).

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah

nonprobability sampling yaitu purposive sampling (Sugiyono, 2017).

Peneliti memilih teknik ini karena terdapat pertimbangan dalam

menentukan sampel yaitu mahasiswa tingkat akhir Universitas Halu Oleo

angkatan 2015-2017 yang mengontrak skripsi.

D. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di fakultas Perikanan dan fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo kota Kendari. peneliti

memilih lokasi ini karena banyak ditemukan mahasiswa tingkat akhir yang

melakukan tindakan prokrastinasi dalam menyusun skripsi.


E. Teknik Pengumpulan Data

1. Instrumen Penelitian

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan skala. Skala merupakan sejumlah pertanyaan tertulis yang

digunakan mengungkap suatu konstrak arau konsep psikologis yang

menggambarkan aspek kepribadian individu. (Azwar, 2009).

Skala yang akan digunakan adalah skala model likert yang

menggunakan respon skala empat (Arikunto, 2013). Skala yang akan

disajikan disusun kedalam empat jenjang dengan maksud untuk

menghindari jawaban tengah. Skala ini dibuat dengan dua jenis item, yaitu

item favorable (mendukung atau memihak pada objek sikap atau perilaku)

dan unfavorable (tidak mendukug objek sikap atau perilaku), dimana

dalam setiap pertanyaan terdiri dari empat pilihan kategori jawaban. Item

yang mendukung pernyataan atau searah dengan pernyataan (favourable)

mempunyai sistem penilaian jawaban sebagai berikut: yaitu sangat sering

(SS) skor 4, sering (S) skor 3, jarang (J) skor 2, tidak pernah (TP) skor 1.

Sedangkan untuk item yang tidak mendukung pernyataan atau tidak

searah dengan pernyataan (unfavorable), sistem penilaian jawaban sebagai

berikut: sangat sering (SS) skor 1, sering (S) skor 2, jarang (J) skor 3,

tidak pernah (TP) skor 4.


Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang hendak diungkap

yaitu psychological well-being dan prokrastinasi akademik. Sehingga

penelitian ini menggunakan dua macam skala, yaitu skala psychological

well-being dan skala prokrastinasi akademik.

a. Skala Psychological Well-being (PWB)

Skala psychological well-being disusun berdasarkan aspek

psychological well-being yang dikemukakan oleh Ryff (1996) yaitu:

a. Penerimaan diri (self acceptance)

b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with other)

c. Kemandirian (autonomy)

d. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)

e. Tujuan hidup (purpose in life)

f. Pengembangan pribadi (personal growth).

Tabel 1. Blueprint Skala Psychological Well-being


Komponen Indikator Nomor Jumlah
Item
F UF
Penerimaan  Memiliki sikap positif terhadap diri 36 39 7
diri (self sendiri. 37 40
acceptance)  Mengakui dan menerima berbagai 38 41
aspek diri termasuk kualitas baik dan 42
buruk dalam dirinya.
 Perasaan positif tentang kehidupan
masa lalu dan kehidupan yang sedang
dijalani sekarang.
Hubungan  Bersikap hangat dan percaya 22 26 7
positif dengan dalam berhubungan dengan orang lain. 23 27
orang lain  Memiliki empati, afeksi, dan keintiman 24 28
(positive yang kuat. \
relations with  Memahami pemberian, 25
other) kedekatan dan penerimaan dalam suatu
hubungan.
Otonomi/  Kemampuan individu dalam 1 5 7
kemandirian mengambil keputusan sendiri dan 2 6
(autonomy) mandiri. 3 7
 Berperilaku sesuai dengan standar nilai 4
individu itu sendiri.
 Mengevaluasi diri sendiri dengan
standar personal.
 Mampu melawan tekanan sosial untuk
berpikir dan bersikap dengan cara yang
benar.
Penguasaan  Mampu dan berkompetensi 8 12 7
lingkungan mengatur lingkungan. 9 13
(environmental  Menyusun control yang kompleks 10 14
mastery) terhadap aktivitas eksternal. 11
 Menggunakan secara efektif
kesempatan dalam lingkungan.
Tujuan hidup  Memiliki tujuan, misi, dan arah yang 29 31 7
(purpose in membuatnya merasa bahwa hidup ini 30 32
life) memiliki makna. 33
 Mampu merasakan arti dalam hidup 34
masa kini maupun yang telah dijalani. 35
Pengembanga  Menyadari potensi yang ada dalam diri 15 17 7
n pribadi dan terus mengembangkan potensi 16 18
(personal tersebut. 19
growth)  Melakukan perbaikan dalam hidupnya 20
setiap waktu, sesuai dengan kapasitas 21
periode perkembangan.
Berubah dengan cara yang efektif untuk
menjadi lebih terbuka terhadap
pengalaman- engalaman baru.
 Perasaan mampu melewati
tahap-tahap perkembangan secara
berkelanjutan.
TOTAL 21 21 42

b. Skala Prokrastinasi Akademik


Skala prokrastinasi akademik disusun berdasarkan aspek

prokrastinasi akademik yang dikemukakan oleh Ferrari (1995) yaitu:

a. Penundaan untuk memulai maupun menyelesaikan tugas.

b. Keterlambatan dalam mengerjakan tugas.

c. Kesenjangan waktu antara rencana dan kinerja aktual.

d. Melakukan aktivitas lain yang lebih menyenangkan daripada

mengerjakan tugas.

Tabel 2. Blueprint Skala Prokrastinasi Akademik

Aspek Indikator F UF Total


Penundaan untuk memulai dan  Menunda untuk memulai 1 5 8
menyelesaikan tugas mengerjakan tugas 9 13
 Menunda mengerjakan tugas 17 21
sampai tuntas 25 29
Keterlambatan dalam  Menyelesaikan tugas melebihi 2 6 8
mengerjakan tugas batas waktu yang telah 10 14
ditentukan 18 22
26 30
Kesenjangan antara rencana  Menunda untuk menyelesaikan 3 7 8
dan kinerja aktual tugas yang telah direncanakan 11 15
19 23
27 31
Melakukan aktivitas lain yang  Melakukan aktivitas lain yang 4 8 8
lebih menyenangkan dianggap bisa menghibur 12 16
daripada mengerjakan tugas 20 24
28 32
TOTAL 32

2. Validitas dan Reliabilitas

a. Validitas Alat Ukur

Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti

sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam

melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes dapat dikatakan mempunyai

validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukur,

atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan tujuan dilakukannya

pengukuran tersebut, namun jika tes tersebut menghasilkan data

yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran dapat dikatakan

sebagai tes yang memiliki validitas rendah (Azwar, 2007).

Uji validitas dalam penelitian ini menggunakan korelasi

product moment dan dikoreksi teknik Part Whole dari Pearson yaitu

pengujian terhadap korelasi antar tiap aitem dengan skor total nilai

jawaban sebagai kriteria. Standar pengukuran yang digunakan untuk

menentukan validitas aitem dalam penelitian ini yaitu 0,3 untuk

menentukan validitas aitem skala psychological well-being dan skala

prokrastinasi akademik. Sehingga aitem valid apabila melebihi rxy =

0,3 tersebut dianggap valid, sebaliknya apabila didapatkan koefisien


validitas kurang dari 0,3 maka aitem-aitem tersebut menjadi gugur

(Azwar, 2007:65). Karena bila koefisien korelasinya rendah

mendekati nol berarti fungsi aitem tersebut tidak cocok dengan

fungsi ukur tes dan daya bedanya tidak baik (Azwar, 2011:163). Uji

validitas ini dilakukan dengan bantuan komputer SPSS (Statistical

Package for Social Science) versi 20.0 for windows.

b. Reliabilitas Alat Ukur

Reliabilitas merupakan penerjemahan dari kata reliability yang

mempunyai asal kata rely dan ability. Pengukuran yang memiliki

reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliabel.

Keterpercayaan, keterandalan, keajegan, kestabilan, dan konsistensi

sebuah instrumen. Reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu

pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2007)

Reliabilitas dinyatakan dengan koefisien reliabilitas yang

angkanya berkisar mulai dari 0,0 sampai dengan 1,0. Semakin tinggi

koefisien reliabilitas mendekati angka 1,0 berarti semakin tinggi

reliabilitas (Azwar, 2007)

Reliabilitas dinyatakan dengan koefisien reliabilitas yang

angka berada dalam rentang 0 hingga 1,00. Semakin tinggi koefisien

reliabilitas mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi reliabilitas.

Sebaliknya koefisien yang semakin rendah mendekati angka 0

berarti semakin rendah reliabilitas (Azwar, 2009)


Teknik yang digunakan untuk menentukan reliabilitas skala

dalam penelitian ini adalah teknik analisis varians dari Alpha

Cronbach (Arikunto, 2006). Adapun rumusnya sebagai berikut :

r11 = Reliabilitas instrumen


n = Jumlah banyaknya butir pertanyaan atau soal (aitem)

= Jumlah varians skor tiap butir soal

= Jumlah varians skor total

1 = bilangan konstan

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan bantuan

komputer program SPSS (Statistical Package for Social Science)

versi 20.0 for windows.

F. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan langkah yang digunakan untuk menjawab

rumusan masalah dalam penelitian. Tujuannya adalah untuk mendapat

kesimpulan dari hasil penelitian.

Data mentah yang sudah diperoleh kemudian dianalisis dalam

beberapa tahapan, yaitu :

1. Mencari Mean

Mean adalah rata-rata matematik yang harus dihitung dengan cara


tertentu dan jumlah semua angka dapat dibagi oleh banyaknya angka

yang dijumlahkan, rumusnya yaitu :

Keterangan:

M = Mean

N = Jumlah total responden

∑X = Jumlah nilai dalam distribusi

2. Mencari Devisiasi Standart

Setelah mean diketahui, lalu mencari standart deviasinya, dengan

rumus:

Rumus angka kasar:

Keterangan :

SD = Standart deviasi

X = Skor respon

N = Jumlah responden

3. Menentukan Kategorisasi

Tujuan dari kategorisasi adalah untuk menempatkan individu ke

dalam kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum


berdasarkan atribut yang akan diukur. Pada penelitian ini penentuan

kategorisasi yang digunakan sebagai berikut (Azwar, 2009).

a. Tinggi = X ≥ (M + 1,0 SD)

b. Sedang = (M ─ 1,0 SD) ≥ X < (M + 1,0 SD)

c. Rendah = X ≤ (M ─ 1,0 SD)

4. Korelasi Product Moment

Dalam penelitian ini, metode analisis data yang digunakan untuk mencari

hubungan antara variabel psychological well-being dengan variabel

prokrastinasi akademik pada mahasiswa tingkat akhir Universitas Halu

Oleo adalah teknik korelasi Product Moment dari Pearson. Perhitungan

korelasi antar dua variabel tersebut menggunakan rumus :

N  XY  ( X )(Y )
rxy =
{N  X 2  ( X )2}{N Y 2  (Y )2}

Keterangan :

rxy = Korelasi Product Moment

N = Jumlah respon

∑X = Skor psychological well-being

∑Y = Skor prokrastinasi akademik


Untuk melakukan perhitungan dengan rumus-rumus di atas,

peneliti menggunakan bantuan program SPSS (Statistical Package for

Social Science) versi 20.0 for windows.


DAFTAR PUSTAKA

Aini, dkk 2011. “Hubungan antara kontrol diri dengan prokrastinasi dalam
menyelesaikan skripsi pada mahasiswa universitas muria kudus”. Jurnal
Psikologi Pitutur. Vol. 1. No 2.

Akbar, S.R. (2016). Hubungan psychological well-being dengan kecemasan dalam


menghadapi kematian pada lansia di Panti Werdha Budi Sejahtera. Jurnal
Psikologi. Kalimantan Barat: Universitas Lambung Mangkurat

Allan. (2008). Penataan pendidikan profesional konselor dan layanan bimbingan dan
konseling dalam jalur pendidikan formal. Bandung : Departemen Pendidikan
Nasional.
Amawidyati & Utami. (2006). Religiusitas dan psychological well-being pada korban
gempa. Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, 2 (34),
Antoni, C. (2012). Wacana ruang. Yogyakarta: CV Andi Offset

B. Bolang Daniella A. (2012). Perbedaan psychological well-being orang tua tunggal


laki-laki dan orang tua tunggal perempuan yang bercerai.Fakultas Psikologi
Universitas Esa Unggul Jakarta.

Bradburn, Norman M. 1969. The structure of psychological-well being, Aldine


Publishing Company: Chicago

Burka, J. B & Yuen, L. M. 2008. Procrastination. Cambridge: Da Capo Press

Chairunnisa. (2011). Taman sebagai pendukung aktivitas bermain anak dan


berolahraga di permukaan (studi kasus taman air hamzah). Jakarta:
Universitas Indonesia.

Chandra, Budiman. 2006. Pengantar kesehatan lingkungan. EGC. Jakarta

Sagita, D. (2017). Hubungan self efficacy, motivasi berprestasi, prokrastinasi


akademic, dan stres akademik mahasiswa. Universitas Negeri Padang.

Deci, E. L., & Ryan, R. M. 2001. Handbook of self determination research. the
university of rochester press. National Institute of Education Library,
Singapore
Desiningrum, D. R. (2010). Family's social support and psychological well-being of
the elderly in tembalang. Anima, Indonesia Psychological Journal, 26 (1)
Erikson, E. (1959). Identity and the life cyclle. Psychological Issues. 1, 1-171.

Fadhillah, E.P.A. (2016). Hubungan antara psychological well-being dan happines


pada remaja di pondok pesantren. Juenal Ilmiah Psikologi. 9(1)

Ferrari, J.R. dkk.(1995).Procrastination and task avoidance.New York: Plenum Press

Fitria Amaliah. (2011). Hubungan prokrastinasi akademik dan prestasi belajar siswa
kelas xi sma negeri 1 malang (on-line). Skripsi. Universitas Negeri Malang.

Fordham Frieda. 2004. Pengantar psikologi c.g. jung ( teori-teori dan teknik
psikologi kedokteran). Bharata Karya Aksara. Jakarta

Ghufron, M.N. 2003. Hubungan kontrol diri dan persepsi remaja terhadap penerapan
disiplin orang tua dengan prokrastinasi akademik. Yogyakarta : Fakultas
Psikologi, Universitas GajahMada.

Husetiya. (2010). Hubungan asertivitas dengan prokrastinasi akademik. Jurnal,


Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang

Junita, E. D., Yuwono, D., & Sugiharto, P. (2014). Upaya mengurangi prokrastinasi
akademik melalui layanan penguasaan konten, 3(1), 17–23.

Knaus, W. (2002). The procrastination workbook. New York : Harbinger


Publication.

Linawati, R.A. & Desiningrum, D.R. (2017). Hubungan antara religiusitas dengan
psychological well-being pada siswa smp muhammadiyah & semarang. Jurnal
Empati. 7(3)

Maulidina, N.R. & Nurtjahjanti, H. (2016). Hubungan Antara Ketidak Amanan Kerja
dengan Psychological Well-being pada Karyawan Kontrak Rumah Sakit Islam
Sultan Agung Semarang. Jurnal Empati. 5(2).

Mela Rahmawati. (2011). Pengurangan prokrastinasi akademik dalam menyelesaikan


tugas bahasa inggris melalui kelompok belajar pada siswa kelas x ma ali
maksum yogyakarta. Skripsi. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri
Yogyakarta
Mu’tadin, Z. (2002). Pengantar pendidikan dan ilmu perilaku kesehatan.
Yogyakarta. Andi Offset
Munawar, Ali. 2011. Kesuburan tanah dan nutrisi tanaman. IPB Press. Bogor

Neuman, W. Lawrence, 2007. Basic of social reasearch : qualitative and quantitative


approaches, Pearson Education Inc, Boston

Nugrasanti, Renni. 2006. Locus of control dan prokrastinasi akademik mahasiswa.


Jurnal provitae. Vol. 2. No. 1

Pradana, A.P & Kustanti, E.R. (2017). Hubungan antara dukungan sosial suami
dengan psychological well-being pada ibu yang memiliki anak autisme. Jurnal
Empati. 6(2)

Puspita, D.W. & Siswati. (2018). Hubungan antara emotional labor dengan
psychological well-being pada perawat RSJD DR. Amino Gondohutomo
Semarang. Jurnal Empati. 7(3).

Ryff, C. D., & Keyes, C. L. M. (1995). The structure of psychological wellbeing


revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69, 71

Ryff, C.D. & Singer, H.B. (2008). Know thyself and become what you are: a
eudaimonic approach to psychological well being. Journal of Happiness
Studies Vol.9 No.1
Ryff, C.D. (1989). Happiness is everything or is it? Exploration on the meaning of
psychological well-being. Journal of personality and social psychology,
Vol57. Hal 1069-1081

Sari. 2013. Standar asuhan keperawatan : Jakarta. TIM.


Sarwono, S. W. (1978). Perbedaan antara pemimpin dan aktivis dalam gerakan
protes mahasiswa (Cet. 1. ed.). Jakarta: Bulan Bintang.

Soemanto, Westy. 2008. Pendidikan wirausaha. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Sulistyaningsih, W. 2005. Kesiapan bersekolah ditinjau dari jenis pendidikan pra


sekolah anak dan tingkat pendidikan orang tua. PSIKOLOGIA. 1(1).

Taylor, S.E. 1995. Health psychology. New York : McGraw Hill Inc
Werdyaningrum, P. (2013). Psychological well-being pada remaja yang orang tua
bercerai dan yang tidak bercerai (utuh). Journal Online Psikologi 1(2),

Anda mungkin juga menyukai