Anda di halaman 1dari 7

Ma`iyyah berasal dari kata Arab ‫[ َم َع‬ma`a] yang berarti bersama, beserta dan dengan.

Ma`iyyah secara
bahasa dinisbahan pada kata ma`a yang bermakna kebersamaan. Adapun yang dimaksud secara istilah
berarti kebersamaan sesuatu dengan sesuatu yang lain karena adanya sebab yang menggabungkan
keduanya. Dalam Al-Qur`an kata ma`a disebut sebanyak 162 kali. Ini mengindikasikan bahwa kata ma`a
layak dikaji dan diteliti karena semakin banyak kata disebut menandakan bahwa kata itu mengandung
sesuatu yang penting.

Al-Qur`an menyebutkan ada beberapa penyebutan kata ma`a. Disana


adama`iyyatullah[kebersamaan Allah], ma`iyyatulkutub[Kebersamaan kitab-kitab] ,
ma`iyyaturrusul[Kebersamaan Rasul-rasul],ma`iyyatulkhala`iq[Kebersamaan mahluk]. Dari penyebutan
itu dapat kita ketahui bahwa ma`iyyah memiliki hubungan horisontal dan vertikal, yang berkaitan
dengan mahluk dan Khaliq[pencipta].

Ma`iyyah erat kaitanya dengan sinergi, kebersamaa dan persatuan. Yang menjalankan ma`iyyah
dengan baik maka akan mendapat keberuntungan baik di dunia maupun di akhirat. Misal saja dengan
ma`iyyatullah kesadaran kita akan adanya Allah bersama kita membuat kita senantiasa waspada dan
hati-hati dalam melakukan segala hal. Setiap kali melakukan sesuatu diperhitungkan dulu antara baik
dan buruknya sehingga tidak terjatuh pada kesalahan yang fatal.

Ma`iyyatullah juga memberikan banyak keuntungan bagi kita diantaranya kita akan dijaga,
dipelihara, dilindungi oleh Allah dan kita juga akan mendapat kemenangan. Dalam sejarah bisa
dibuktikan bahwa dengan ma`iyyatullah Nabi Muhammad beserta Abu Bakar ditolong Allah dari kejaran
orang-orang kafir sewaktu hijrah ke Madinah; denganma`iyyatullah, Nabi Musa ditolong Allah dari
kejaran Fir`aun beserta bala tentaranya.

Ma`iyyatullah melahirkan kesadaran positif akan kehadiran Allah. Orang-orang yang ber-
ma`iyyatullah berarti imannya sangat kuat dan kokoh. Dalam menjalani kehidupannya tidak akan merasa
takut dan sedih karena ia sadar bahwa Allah akan menolongnya. Namun ma`iyyatullah bisa rusak jika
disertai denganma`iyyatussyuraka`[anggapan bahwa Allah punya sekutu]. Ma`iyyatussyurakaa dapat
merusak akidah mukmin, bukan hanya rusak, nanti dihari kiamat akan mendapat siksaan yang sangat
pedih.

Ma`iyyatullah bukanlah hal yang gratis. Perlu adanya upaya yang sungguh-sungguh dan
terencana agar bisa ber-ma`iyyatullah. Ma`iyyatullah bisa diperoleh dengan syarat berikut: Iman, sabar,
takwa dan ihsan. Dengan demikian ma`iyyatullah menuntut kita untuk memiliki akidah yang benar;
ketangguhan sabar; kehebatan takwa; dan kedahsyatan ihsan.

Di samping ma`iyyatullah, disana ada banyak lagi ma`iyyah-ma`iyyah yang lain


seperti:ma`iyyatulkutub[kebersamaan dengan kitab dengan menjalankan apa yang ada di dalamnya],
ma`iyyaturrasul[Kebersamaan dengan Rasul, dengan meneladani ajaran-ajaranya],
ma`iyyatulkhala`iq[Kebersamaan dengan mahluk, dengan menjalin hubungan yang harmonis, selaras
dan sinkron dengan alam dan mahluk lain sehingga menciptakan keserasian hubungan dan keindahan],
ma`yyiatunnas[Kebersamaan dengan manusia, dengan menjalin kerjasama, bersinergi dan berjuang
untuk kemaslahatan sosial]. Dari kesekian ma`iyyah yang disebut barusan ada dua ma`iyyah lagi yang
patut diwaspadai yaituma`iyyah orang-orang munafik dan ma`iyyah orang-rang yang dzalim. Kedua
macamma`iyyah ini dapat merusak ma`iyyah-ma`iyyah yang lain, ia semacam firus yang sangat
berbahaya bagi ma`iyyah.
Ma`iyyah bukan saja berorientasi pada dunia akan tetapi berorientasi juga pada akhirat.
Ma`iyyah tidak memisahkan antara agama dan dunia. Ma`iyyah selalu menyatukan bukan memecah-
belah; memperbaiki bukan merusak, membangun bukan merobohkan. Dan yang terpenting adalah
bahwa ma`iyyah harus dilandasi, dihubungkan dengan Tuhan karena merupakan kekuatan terdahsyat
dari kesekian ma`iyyah yang ada. Denganma`iyyah diharapkan akan terjalin hubungan yang indah, apik
dan serasi antara manusia dengan Allah; menusia dengan manusia; manusia dengan alam.

1. ‫ المعية فى القرآن الكريم دراسة موضوعية‬karya Dr. Thaha Abdul Khaliq Abdul Aziz Thaithah, Profesor Ilmu
Tafsir, Fakultas Ushuluddin Kairo Mesir.

2. Al-Qur`an Al-Karim

Ayat Batin

“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153).

Kata “ma’a” yang berarti bersama tidak bisa diartikan secara zahiriah, karena mustahil keberadaan
Tuhan bersama dengan hamba-Nya dalam makna lahir. Oleh karena itu, kata“ma’a” harus diartikan
secara batin agar dapat dipahami maksudnya. Hal semacam inilah yang akan menggiring kita kepada
penafsiran bathiniah.

Abu Zaid, Nasr Hamid. 2002. Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an. Yogyakarta: LKiS.

E.Makna Ma’a ( ‫ ) مع‬dan fungsinya

Huruf Ma’a ( ‫ ) مع‬mempunyai makna bersama,sama. Dan sama seperti huruf yang lainnya jika
dalam konsteks kalimat yang berbeda huruf ini mempunyai makna-makna tertentu[14] seperti:

1.Menghendaki makna ijtimaa’ baik pada tempat, waktu maupun makna.

2.Menghendaki makna mansur yaitu pertolongan dan harus disandarkan kepada sesuatu (mudhaf ilaihi),
seperti: ‫ ال تحزن ان هللا معنا‬Artinya: Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita. (Q.S.9/at-
Taubah:40). Dan contoh lainnya dalam Q.S.2/al-Baqarah:249 dan Q.S.8/al-Anfal:66.

Ilmu garib Alquran merupakan suatu ilmu yang sangat penting untuk diketahui karena dengan
mengetahui ilmu tersebut kita dapat mengetahui hal-hal yang sulit atau yang sukar-sukar dalam
Alquran. Salah satu pembahasannya adalah Garaib Alquran:Ma’ani al-Huruf dari segi ilmu Alquran.Yang
dimaksud dengan Ma’âni al-Huruf ( ‫ )معانى الحروف‬yaitu beberapa kata yang memiliki makna tertentu
sesuai dengan posisinya dalam kalimat.

Huruf Ila ( ‫ ) الى‬bermakna ‫ اإلنتهاء‬yang berarti adalah penghabisan, kesudahan, batas, maksud akhir
dan tujuan. Dan ‫ اإلنتهاء‬terbagi menjadi 4 dan juga bermakna Huruf Ila ( ‫ ) الى‬juga bermakna musahabah
yaitu menggunakan arti lafal ma’a bersama dengan atau beserta. Huruf ‘An (‫ ) عن‬juga mepunyai
makna-makna tertentu sesuai dengan kalimatnya. Diantaranya adalah ,‫ التعليل‬,‫االستعالء‬, ‫البدل‬, ‫المجاوزة‬
‫ مرادف من‬sinonim huruf min dengan makna dari.

Huruf ‘ala (‫ )علَى‬mempunyai makna atas, diatas, akan tetapi dalam konteks kalimat yang berbeda
huruf ini bisa bermakna bermacam-macam diantaranya adalah ‫ ظرفية‬,‫ التعليل‬dan ‫االستدراك‬. Huruf fi ( ‫)فِى‬
merupakan salah satu huruf jar. Huruf fi ( ‫ )فِى‬arti dasarnya adalah mempunyai arti di, di dalam. Tetapi
dalam konsteks kalimat yang berbeda huruf ini bisa bermakna ‫ التعليل‬yang berarti sebab/karena. Huruf
min( ‫ ) مِن‬arti dasarnya adalah ‫ اإلبتداء‬yaitu arti dari, akan tetapi dalam konteks kalimat yang berbeda
huruf ini bisa bermakna ‫ التعليل‬,‫ البيان‬,‫ التبعيض‬.

Huruf Ma’a ( ‫ ) مع‬mempunyai makna bersama,sama.Dan juga menghendaki makna ijtimaa’ baik
pada tempat, waktu maupun makna. Dan juga menghendaki makna mansur yaitu pertolongan dan harus
disandarkan kepada sesuatu (mudhaf ilaihi).Sedangkan huruf Al-Lamu ( ‫ ) ال‬mempunyai kepunyaan atau
milik serta mempunyai makna ‫ التعليل و السببيه‬dan ‫ اإلنتهاء‬bermakna ila.

Daftar Pustaka

Al-Ashfahani, Al-Husaini bin Muhammad.1889. Mufradat fi Gharib al-Qur’an Beirut: Ad-Dar al-Ma’rifah

Al-Ghalaini, Syeikh Mustafa.2005.Jami’ ad-Durus al-Arabi.Qahirah:Darul Hadits

Al-Sajastany, Muhammad Ibnu ‘Aziz.2013. Nuzhat al-Qulub fi Tafsir Gharib Al-Qur’an .Beirut: Ad-Dar Al-
Ma’rifah

Syutuhi, Imam Jalaluddin. 2009. Itqan fi Ulum al-Quran. Terj. Tim Indiva Editor. Studi Alquran
Komprehensif. Surakarta:Indiva

Harun,Salman.2009.Pintar Bahasa Arab Al-Quran.Tangerang Selatan: Lentera Hati

Ijtimak (berasal dari Bahasa Arab), atau disebut pula konjungsi geosentris, adalah peristiwa di mana
Bumi dan Bulan berada di posisi bujur langit yang sama, jika diamati dari Bumi. Ijtimak terjadi setiap
29,531 hari sekali, atau disebut pula satu bulan sinodik.
Pada saat sekitar ijtimak, Bulan tidak dapat terlihat dari bumi, karena permukaan bulan yang nampak
dari Bumi tidak mendapatkan sinar matahari, sehingga dikenal istilah Bulan Baru. Pada petang pertama
kali setelah ijtimak, Bulan terbenam sesaat sesudah terbenamnya matahari.

Ijtimak merupakan pedoman utama penetapan awal bulan dalam Kalender Hijriyah.

Pada ayat tersebut terdapat satu jenis keterikatan dan jalinan hubungan antara menahan segala
kesulitan dan memperoleh kemudahan; artinya bahwa manusia tidak akan dengan mudah memperoleh
kemudahan secara kebetulan setelah melalui beberapa kesulitan. Karena itu untuk menyampaikan
hubungan antara kesulitan (‘usr) dan kemudahan (yusr) kita memerlukan sebuah lafaz yang
mengandung makna tersebut di dalamnya dan lafaz itu adalah ma’a.

Untuk penggunaan kata ma’a terdapat beberapa penafsiran dari beberapa ahli tafsir di antaranya:

Ayat dengan lafaz ma’a memahamkan bahwa kemudahan senantiasa disertai dengan kesulitan dan
penderitaan. Dengan menahan kesulitan maka kemudahan secara perlahan akan dapat diraih.

Dari kata ma’a digunakan untuk menunjukkan bahwa kemudahan dekat dengan kesulitan yang dengan
melalui kesulitan akan menguatkan hati manusia untuk memperoleh kemudahan.

Bagaimanapun dengan memperhatikan bahwa setiap pada kesulitan terpendam kemudahan dan setiap
kesusahan tertimbun kesenangan karena itu kedua hal ini senantiasa bersama dan penggunaan lafaz
ba’d tidak akan dapat menyampaikan makna subtil ini.

Jawaban Detil

Allah Swt pada ayat ini berfirman kepada Rasul-Nya bahwa, “Maka (ketahuilah) sesungguhnya sesudah
kesulitan itu pasti ada kemudahan.” (Qs. Al-Insyirah [94]:5) Rasulullah Saw yang berada di Mekkah
berhadapan dengan pelbagai kesulitan. Jelas bahwa janji dari sisi Allah Swt yang menyatakan bahwa
kemudahan menanti untuknya di Madinah atau dengan kesulitan di dunia ini maka kemudahan menanti
untuknya di akhirat.

Namun keluasan makna ayat-ayat mencakup segala kesulitan; artinya dua ayat ini sedemikian
diungkapkan sehingga tidak terkhusus semata pada pribadi Rasulullah Saw dan pada masa itu (ansich),
melainkan dinyatakan dalam bentuk prinsip universal dan sebagai konsekuensi dari pembahasan-
pembahasan sebelumnya yang mengemuka serta memberikan berita gembira kepada seluruh manusia
yang beriman, tulus ikhlas dan bekerja keras bahwa di samping segala kesulitan senantiasa terdapat
kemudahan-kemudahan yang menyertai.[1]

Adapun sehubungan dengan penggunaan lafaz ma’a terdapat beberapa penafsiran yang dilontarkan
oleh sebagian ahli tafsir yang kebanyakan dari perbedaan penafsiran tersebut dapat digabungkan.
Berikut ini adalah sebagian dari penafsiran tersebut:

Penggunaan lafaz ma’a sebagai ganti ba’d adalah untuk menyatakan keterjalinan dan pertautan erat
antara kemudahan dan kesulitan.
[2]

Artinya bahwa pada ayat tersebut terdapat satu jenis keterikatan dan jalinan hubungan antara menahan
segala penderitaan dan memperoleh kemudahan; artinya bahwa manusia tidak dengan mudah
memperoleh kemudahan secara kebetulan setelah melalui beberapa penderitaan. Karena itu untuk
menyampaikan hubungan antara kesulitan (‘usr) dan kemudahan (yusr) kita memerlukan sebuah kata
yang mengandung makna tersebut di dalamnya dan kata itu adalah ma’a.

Dengan kata lain, ayat dengan lafaz ma’a memahamkan bahwa kemudahan senantiasa disertai dengan
kesulitan dan penderitaan. Dengan menahan kesulitan maka kemudahan secara perlahan akan diraih.[3]
Bagaimanapun ma’a pertanda penyertaan[4] dan menjelaskan bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan
dari satu dengan yang lain.

Lafaz ma’a digunakan untuk menunjukkan kemudahan dekat dengan kesusahan yang dengan melalui
kesusahan akan menguatkan hati manusia memperoleh kemudahan.

[5]

Allamah Thabathabai meyakini bahwa yang dimaksud dengan lafaz ma’a=dengan terealisirnya
kemudahan yang mengikuti (setelah) kesulitan tidak bermakna ma’iyyat (kebersamaan). Yusr
(kemudahan) dan usr (kesulitan) terealisir pada satu waktu.[6]

Meski demikian apa pun makna lafaz ma’a namun dengan memperhatikan bahwa pada setiap kesulitan
terpendam kemudahan dan setiap kesusahan tertimbun kesenangan karena itu kedua hal ini senantiasa
bersama[7] dan dengan menggunakan lafaz ba’d tidak dapat menyampaikan makna subtil yang
terkandung di dalamnya sebagaimana lafaz ma’a. [iQuest]

[1]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 27, hal. 127, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Cetakan Teheran,
1374 S.

[2]. Sayid Mahmud Thaliqani, Partu az Qur’ân, jil. 4, hal. 157, Syerkat Sahami Intisyar, Teheran, 1362 S.

[3]. Sayid Ali Akbar Qarasyi, Tafsir Ahsan al-Hadits, jil. 12, hal. 274, Bunyad Bi’tsat, Teheran, 1377 S.

[4]. Tafsir Nemune, jil. 27, hal. 127 & 128.

[5]. Fadhl bin Hasan Thabarsi, Jawâmi’ al-Jâmi’, jil. 4, hal. 507, Intisyarat Danesygah Tehran wa Mudiriyat
Hauzah Ilmiah Qum, Teheran, Cetakan Pertama, 1377 S; Muhammad bin Ahmad Ibnu Jazi Garanti , al-
Tashil li ‘Ulûm al-Tanzil, jil. 2, hal. 493, Syerkat Dar al-Arqam bin Abi al-Arqam, Cetakan Pertama, 1416.

[6]. Muhammad Husain Thabathabai, Tafsir al-Mizân, Terjemahan Persia oleh Sayid Muhammad Baqir
Musawi Hamadani, jil. 20, hal. 534, Daftar Intisyarat Islami, Qum, Cetakan Kelima, 1374 S.

[7]. Tafsir Nemune, jil. 27, hal. 127 & 128.


lustrasi Terjemahan QS. An-Nisa : 69 dari kedua belah pihak : Wa man yuthi’illaaha warrosuula fa’ulaaaika ma’alladziina an’amallaahu ‘alayhim minannabiyyiina washshiddiiqiina

wasysyuhadaai washsholihiina. Wa hasuna ulaaika rofiiqan. 69. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan ‘ma’a’ dengan orang-orang yang dianugerahi

nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin[314], orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya. [314] ialah: orang-

orang yang amat teguh kepercayaannya kepada kebenaran rasul, dan inilah orang-orang yang dianugerahi nikmat sebagaimana yang tersebut dalam surat Al Faatihah ayat 7. From

Qur’an in Word Ver q1.0.0 Created by Mohamad Taufiq… (NOTE: agar netral maka kata ma’a dimasukkan sebagai ganti kata ‘bersama’!!! karena kata ‫( مع‬ma’a) inilah yang akan kita

bahas & menjadi masalah dalam sharing ini). Arti terjemahan menurut Ahmadi, diambil dari Al-Quran dan Tafsir Digital Terbitan JAI, QS An Nisa 4: 70 ; Penulisan nomor ayat Al-

Qur’an menurut Ahmadi, berdasarkan Hadist Nabi Besar Al-Mushthafa Muhammad saw, riwayat sahabah Ibnu Abbas ra, yang menunjukkan bahwa setiap basmalah pada tiap awal

surah adalah ayat pertama surat itu. “Kaanaanabiyyu shollallahu ‘alayhi wasallama laa ya’rifu fashlassuuroti hatta yanzila ‘alayhi bismillahirrohmaanirrohiymi…”, artinya: Nabi saw

tidak mengetahui pemisahan antara surat itu sehingga bismilaahir-rahmaanir-rahiim turun kepadanya.” (HR. Abu Daud, “Kitab Shalat” ; dan Al-Hakim dalam “Al-Mustadrak”). Dan,

[a] barangsiapa taat kepada Allah swt. dan Rasul ini maka mereka akan termasuk di antara [628] orang-orang [b] yang kepada mereka Allah swt. memberikan nikmat, yakni : nabi-

nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang saleh. Dan, mereka [629] itulah sahabat yang sejati. Tafsir 628 Kata depan ‫( مع‬ma’a) menunjukkan adanya dua orang atau lebih

bersama pada suatu tempat atau pada satu saat, kedudukan, pangkat atau keadaan. Kata itu mengandung arti bantuan, seperti tercantum dalam 9:40 (Mufradat). Kata itu

dipergunakan pada beberapa tempat dalam Alquran dengan artian fi artinya “di antara”: ( 3:194; 4:147 ). Tafsir 629 Ayat ini sangat penting sebab ia menerangkan semua jalur

kemajuan rohani yang terbuka bagi kaum Muslimin. Keempat martabat kerohanian – para nabi, para shiddiq, para syuhada dan para shalihin – kini semuanya dapat dicapai hanya

dengan jalan mengikuti Rasulullah s.a.w. Hal ini merupakan kehormatan khusus bagi Rasulullah s.a.w. semata. Tidak ada nabi lain menyamai beliau dalam memperoleh nikmat ini.

Kesimpulan itu lebih lanjut ditunjang oleh ayat yang membicarakan nabi-nabi secara umum dan mengatakan, “Dan orang-orang yang beriman kepada Allah swt. swt. dan para rasul-

Nya, mereka adalah orang-orang shiddiq dan saksi-saksi di sisi Tuhan mereka” ( 57:20 ). Apabila kedua ayat ini dibaca bersama-sama maka kedua ayat itu berarti bahwa, kalau para

pengikut nabi-nabi lainnya dapat mencapai martabat shiddiq, syahid, dan saleh dan tidak lebih tinggi dari itu, maka pengikut Rasulullah s.a.w. dapat naik ke martabat nabi juga. Kitab

“Bahr-ul-Muhit” (Jilid III, hal. 287) menukil Al-Raghib yang mengatakan, “Tuhan telah membagi orang-orang mukmin dalam empat golongan dalam ayat ini, dan telah menetapkan

bagi mereka empat tingkatan, sebagian di antaranya lebih rendah dari yang lain, dan Dia telah mendorong orang-orang mukmin sejati agar jangan tertinggal dari keempat tingkatan

ini.” Dan membubuhkan bahwa “Kenabian itu ada dua macam : umum dan khusus. Kenabian khusus, yakni kenabian yang membawa syariat, sekarang tidak dapat dicapai lagi; tetapi

kenabian yang umum masih tetap dapat dicapai.” Kata depan ‫( مع‬ma’a) menunjukkan adanya dua orang atau lebih, berbarengan pada suatu tempat, atau pada satu sa’at, atau pada

satu kedudukan pangkat, atau pada satu keadaan yang sama ; dimana dalam Surah An-Nisa 4 : 70, lebih tepat diartikan sebagai ‘menjadi atau termasuk’, bukan ‘bersama’. Hal ini

mengacu pada arti kata ‫( مع‬ma’a), yakni: ‘illalladziina taabuw wa ashlahuw wa’tashomuw billahi wa akholashuw diynahum Lillahi fa’ulaaika ma’al mu’miniyna wa sawfa yu’tillahul

mu’miniyna ajran ‘adhiyman’ [a] Kecuali orang-orang yang bertobat dan memperbaiki diri dan [b] berpegang teguh kepada Allah SWT., serta mereka ikhlas dalam ibadah mereka

kepada Allah SWT.. Dan mereka ini termasuk golongan orang-orang mukmin. Dan, kelak Allah SWT. akan memberi kepada orang-orang mukmin ganjaran besar. [a] Lihat 2:161. [b]

3:102. Kata ‫( مع‬ma’a) inilah juga yang dimaksud dalam Q.S. Ali Imran 3: 193 dalam do’a yang berbunyi: Rabbanaa faghfirlanaa dzunuubanaa wa kaffir ‘annaa sayyiatinaa wa

tawaffanaa ma’al abroori. Wahai Tuhan kami, ampunilah bagi kami, dosa-dosa kami, [548] dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami dalam

golongan orang-orang baik.” Kalimat wa tawaffanaa ma’al abroori kalau kita artikan: “ dan wafatkanlah kami bersama orang yang saleh”, apa untungnya bagi kita? Apakah akan lebih

bagus mati kita, hanya karena mati bersama-sama dengan matinya orang-orang yang saleh? Begitu pula ‫( مع‬ma’a) pada ayat QS. An Nisa 4 : 69, persyaratan “taat kepada Allah dan

Rasul” tak ada untungnya, kalau hanya dalam arti “bersama-sama”. Bahkan mungkin tak akan pernah kesampaian, apabila hidup kita tidak di zaman ada Nabi, tidak di zaman ada

orang-orang shiddiq, syahid dan shalih,…niscaya kita tidak akan pernah bisa “mati bersama-sama” dengan mereka. Lebih-lebih kalau benar anggapan bahwa tidak akan ada lagi Nabi

(dalam bentuk apapun, walaupun Nabi Ummati, Khilafatun nabi) sesudah wafat Nabi Muhammad saw., seperti anggapan Tn Arif, sekalipun kita ta’at kepada Allah dan Rasulullah

saw, sempurna fanafillah & fanafirrasul. (dalam arti mengikuti dan mempraktekkan ajaran Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw.), jaminan bahwa akan bersama-sama dengan Nabi,

niscaya tak akan pernah terlaksana!!! Sehingga pastilah akan mengundang timbulnya penilaian negatif terhadap ayat tersebut (QS. An Nisa 4 : 69), bahkan ini akan merendahkan

derajat Khatamannabiyyin YM. Rasulullah Muhammad saw jika dibandingkan dengan maqam Nabi Musa as, yang pengikutnya di dunia ini juga mendapatkan derajat nabi seperti

Nabi Harun as,…Nabi Isa as!!!. Lain halnya kalau ma’a itu dalam arti “termasuk dalam golongan yang sama”,… di dunia ini juga mendapatkan derajat tersebut!!! Justru itu akan

menunjukkan hidupnya ajaran profesor rohani YM Rasulullah Muhammad saw, yang sampai kiamat akan mampu menghasilkan profesor-profesor rohani sesuai dengan waktu yang

dibutuhkan zaman!!! Jadi dengan mengikuti persyaratan ta’at kepada Allah SWT dan Rasulullah saw, orang tidak hanya mempunyai harapan “akan termasuk dalam golongan yang

sama” dengan Nabi, atau dengan Shiddiq, atau dengan Syahid, atau paling tidak minimal Shalih…tapi mempunyai keyakinan yang kuat akan pasti meraihnya di dunia ini juga salah

satu derajat tersebut!!! Kata penghubung ‫'(و‬wawu') dalam ayat tersebut (QS. An Nisa 4 : 69) berarti ‫( ْاو‬au) = atau, seperti dalam QS. An Nisa 4 : 3 yang berbunyi: Faanikahuu maa

thoobalakum minannisaai matsnaa wa tsulaatsa wa rubaa’a. maka kawinilah perempuan-perempuan lainnya yang kamu sukai; dua, tiga, atau empat; [560] Jadi jelas bukan berarti,

diterjemahkan “dan” !!!. Nah, dengan pengertian seperti yang kami uraikan di atas, maka ayat QS. An Nisa 4 : 69 betul-betul memotivasi kita, membangkitkan semangat berlomba

dalam menta’ati Allah SWT & Rasulullah Muhammad saw,… karena nubuatan Rasulullah saw tentang kebangkitan & kemenangan Islam dengan cara elegan & damai di akhir zaman
haruslah dipimpin oleh seorang Imam, ulama besar dari kalangan Umat Islam-nya Rasulullah saw, keturunan ruhani Beliau saw. yang dijuluki dengan Al Mahdi & Isa Muhammadi

saw. yang derajat, maqam rohani-nya sebagai nabi ummati, khilafatun nabi, yang seakan-akan yang memimpin di akhir zaman itu Rasulullah saw sendiri (berdasarkan QS. Al Jumu’ah

62 : 3,…wa akhariina minhum…) ; dimana wajib bagi setiap muslim untuk meng-imani, bai’at, bersyahadat kepada Khalifatullah Al Mahdi-nya Rasulullah saw!!! Huwalladzii ba’atsa fil

ummiyiina rosuulam minhum yatluu ‘alayhim ayaatihii wa yuzakkiihim wayu’allimuhumul kitaaba wak hikmata wa inkaanuu min qablu lafii dholaalimmubiin. Dia-lah Yang telah

membangkitkan di tengah-tengah bangsa yang buta huruf [3044] seorang [c] rasul dari antara mereka, yang membacakan kepada mereka Tanda- tanda-Nya, dan mensucikan

mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah, [3045] walaupun sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata. Dan, Dia akan membangkitkannya pada

kaum lain dari antara mereka, yang belum bertemu dengan mereka. [3046] Dan, Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha bijaksana. NOTE penting: Kata ‫( مع‬ma’a) dalam arti “termasuk

dalam golongan yang sama”,… selain dalam QS. An Nisa 4 : 69 dan Q.S. Ali Imran 3: 193 , terdapat pula pada ayat-ayat sebagai berikut: Qaa la yaa ibliisu maa laka alla takuuna

ma’assaajidiina. [a] Allah berfirman, “Hai iblis, apakah yang telah terjadi dengan engkau, [1496a] bahwa engkau tidak ‘bersama-sama’ dengan mereka yang sujud (mengapa engkau

tidak mau turut melakukan sujud bersama mereka yang sujud?). (QS. Al Hijr 15 : 32). Rabbanaa aamannaa bimaa anzalta wattaba’naarrasuula fa’tubna ma’asysyaahidiina. “Ya Tuhan

kami, kami beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan kami mengikuti Rasul ini; maka catat(tuliskan, masukkan)-lah kami (hamba) ‘bersama’ (ke dalam) golongan, orang-

orang yang menjadi saksi (syahid).” (QS. Ali Imron 3: 53). Wa laa taj’alnii ma’al qaumidhdhaalimiina. dan janganlah engkau masukkan aku ke dalam golongan orang-orang (kaum)

yang zalim (aniaya) ini.” (QS. Al a’raaf 7 : 150) Tafsir 3046 Ajaran Rasulullah saw. ditujukan bukan kepada bangsa Arab belaka, yang di tengah-tengah bangsa itu beliau dibangkitkan,

melainkan kepada seluruh bangsa bukan-Arab juga, dan bukan hanya kepada orang-orang sezaman beliau, melainkan juga kepada keuturunan demi keturunan manusia yang akan

datang hingga kiamat. Atau ayat ini dpat juga berarti bahwa Rasulullah saw. akan dibangkitkan di antara kaum yang belum pernah tergabung dalam para pengikut semasa hidup

beliau. Isyarat di dalam ayat ini dan di dalam hadis Nabi s.a.w, yang termasyhur, tertuju kepada pengutusan Rasulullah saw. untuk kedua kali dalam wujud Hadhrat Masih Mau’ud

a.s. di akhir zaman. Abu Hurairah r.a. ketika Surah Jumu’ah diturunkan. Saya minta keterangan kepada Rasulullah saw. “Siapakah yang diisyaratkan oleh kata-kata, Dan dia akan

membangkitkannya pada kaum lain dari antara mereka yang belum bertemu dengan mereka?” - Salman al-Farsi (Salman asal Parsi) sedang duduk di antara kami. Setelah saya

berulang-ulang mengajukan pernyataan itu, Rasulullah saw. meletakkan tangan beliau pada Salman dan bersabda, “Bila iman telah terbang ke bintang Tsuraya, seorang lelaki dari

mereka ini pasti akan menemukannya.” (Bukhari). Hadis Nabi s.a.w. ini menunjukkan bahwa ayat ini dikenakan kepada seorang lelaki dari keturunan Parsi. Hadrat Masih Mau’ud a.s.,

pendiri Jemaat Ahmadiyah, adalah dari keturunan Parsi. Hadis Nabi s.a.w., lainnya menyebutkan kedatangan Almasih pada saat ketika tidak ada yang tertinggal di dalam Alquran

kecuali kata-katanya, dan tidak ada yang tertinggal di dalam Islam selain namanya, yaitu, jiwa ajaran Islam yang sejati akan lenyap (Baihaqi). Jadi, Alquran dan hadis kedua-duanya

sepakat bahwa ayat ini menunjuk kepada kedatangan kedua kali Rasulullah saw. dalam wujud Hadhrat Al Mahdi /Masih Mau’ud (yang dijanjikan) a.s. pendiri Al Jama’ah Islam

Internasional (worldwide) Ahmadiyah, yang sekarang ini dipimpin Khalifatul Mu’minin yang kelima Hz. Mirza Masroor Ahmad atba, sesuai dengan QS. An Nur 24 : 56. Wa

’adallahulladziina aamanuu minkum wa ‘amilushsholihaati laastakhlifannahum fil ardhi kamastakhlafalladziina min qablihim wa layamakkinannalahum diinahumulladzirtadhoolahum

walayubaddilannahum min ba’di khoufihim amnaa. Ya’buduunanii laa yusyrikuuna biisyaian. Wa man kafaro ba’da dzalika fa’ulaaika humul faasiquuna. Allah telah berjanji kepada

orang-orang yang beriman dari antara kamu dan berbuat amal shaleh, bahwa Dia pasti akan menjadikan mereka itu khalifah di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan khalifah

orang-orang yang sebelum mereka ; dan Dia akan meneguhkan bagi mereka agama mereka, yang telah Dia ridhai bagi mereka ; dan niscaya Dia akan menggantikan mereka sesudah

ketakutan mereka dengan keamanan. Mereka akan menyembah Aku, dan mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu dengan Aku. Dan barangsiapa ingkar (kafir) sesudah itu

( sesudah ada Khalifatul Mu’minin tsb ), mereka itulah orang-orang yang durhaka (fasiq). [2057]

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/kwaras/hakekat-arti-maa-ma-a-dalam-qs-an-nisa-69_54f3e3e47455137e2b6c8395

Anda mungkin juga menyukai