Anda di halaman 1dari 28

LITERASI KEUANGAN REMAJA TERHADAP PERILAKU IMPULSIVE

BUYING ONLINE FOOD DELIVERY

Makalah diajukan sebagai syarat


pemenuhan tugas mata kuliah
Penulisan Ilmiah

Nama Lengkap
NIM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
2021

i
ABSTRAK

Makalah ini bertujuan untuk menganalisis literasi keuangan remaja terhadap perilaku
impulsive buying online food delivery. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kuantitatif asosiatif. Responden dalam penelitian dipilih dengan menggunakan teknik
purposive sampling. Peneliti memiliki kriterira tertentu dalam memilih responden penelitian
yaitu, remaja yang melakukan perilaku implusive buying online food delivery. Teknik
pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan melakukan pengisian
kuesioner dan dokumentasi. Kusioner yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
skala Likert yang digunakan untuk mengukur literasi remaja dan perilaku implusive buying.

Kata kunci: Keuangan Remaja,, Impulsive buying, Online Food Delivery

ii
ABSTRACT

This This paper aims to analyze adolescent financial literacy on impulsive buying behavior
online food delivery. The method used in this research is associative quantitative method.
Respondents in the study were selected using purposive sampling technique. Researchers
have certain criteria in selecting research respondents teenagers who have impulsive buying
behavior online food delivery. The data collection technique used in this study was filling out
questionnaires and documentation. The questionnaire used in this study used a Likert scale
which was used to measure behavior impulsive and buying online food.

Keywords: Youth Finance, Impulsive Buying, Online Food Delivery

iii
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang,
penulis memanjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini tepat
pada waktunya.

Makalah Literasi Keuangan Remaja Terhadap Perilaku Impulsive Buying Online


Food Delivery ini ditulis untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Penulisan Ilmiah pada
Universitas Indraprasta PGRI.

Dalam proses penulisan tugas ini, tentunya penulis mendapatkan bimbingan, saran
dan motivasi, maka dari itu penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih
kepada:

1. Kedua orang tua penulis yang senantiasa memberikan dukungan berupa doa dan materi
kepada penulis untuk dapat terus berjuang menyelesaikan studinya.
2. Bapak Prof. Dr. H. Sumaryoto selaku Rektor Universitas Indraprasta PGRI.
3. Bapak Dr. Heru Sriyono, M.M., M.Pd. selaku Dekan Fakultas Sarjana Universitas
Indraprasta PGRI.
4. Bapak H. Akhmad Saefudin, S.E., M.M. selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Ekonomi Universitas Indraprasta PGRI.
5. Bapak Wiriadi Sutrisno, M.M., MBA. Selaku Dosen Pembimbing Akademik Universitas
Indraprasta PGRI.
6. Bapak Nicky Rosadi, S.S., M.Pd. Selaku Dosen Pengampu mata kuliah Penulisan Ilmiah
Universitas Indraprasta PGRI.
7. Seseorang yang selalu ada untuk membantu.
8. Teman-teman seperjuangan yang telah memberikan saran dan motivasi.

Tugas ini berisi penelitian terkait Literasi Keuangan Remaja Terhadap Perilaku
Impulsive Buying Online Food Delivery. Dalam tugas ini juga dibahas teori-teori terkait
variabel yang penulis bahas.

iv
Penulis menyadari dalam penulisan tugas ini bukanlah karya yang sempurna karena
memiliki banyak kekurangan, baik dalam hal isi maupun sistematika dan teknik penulisan.
Oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan tugas ini. Akhir kata, semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi
penulis dan pembaca.

Jakarta, 20 – Juli - 2021

Endah

v
DAFTAR ISI

Abstrak ................................................................................................................................ ii
Kata Pengantar .................................................................................................................... iv
Daftar Isi ............................................................................................................................. vi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................................. 3
C. Tujuan Penulisan .................................................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN
A. Landasan Teori Impulsive Buying .......................................................................4
B. Landasan Teori Literasi Keuangan........................................................................13
C. Peneltian Relevan..................................................................................................15

BAB III PENUTUP


A. Simpulan ............................................................................................................... 17
B. Saran ..................................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................18

vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.


Remaja, merupakan tahapan usia dari kanak-kanak menuju dewasa. Usia remaja,
merupakan usia yang masih rentan namun sudah mulai diberikan tanggung jawab yang
cukup atas keputusannya. Pada faktor kebutuhan, usia remaja merupakan sepenuhnya
tanggung jawab orang tua, segala kebutuhan masih dalam pengawasan orang tua. Namun
karena usianya yang berada dalam peralihan, remaja belajar dalam menentukan pilihan dan
keputusannya, termasuk dalam memutuskan pembelian. Keputusan pembelian ini dapat
mencerminkan bagaimana tingkat literasi keuangan remaja.
Literasi keuangan remaja sendiri merupakan hal yang penting dalam
menggambarkan kemampuannya mengelola uang, pengelolaan keuangan remaja tidak
dipungkiri mampu berdampak pada kebiasaannya mengatur uang, kemana uang disimpan
dan dibelanjakan. Akses internet pada ponsel seluler yang mudah diakses dan mudahnya
dimiliki oleh para remaja masa ini, terutama smartphone, mampu mengubah dan
mempermudah seseorang pula dalam mengikuti gaya hidup, penyesuaian lingkungan,
terpengaruh sosial media, dan mampu pula mendorong remaja dalam memiliki keinginan
berbelanja (Muruganantham & Bhakat, 2013)
Menurut KBBI, impulsif berasal dari kata impuls yang berarti rangsangan atau
gerak hati yang muncul secara cepat dalam melakukan sesuatu tanpa pertimbangan atau
rangsangan luar (BPPB, 2018). Pembelian impulsif merupakan kecenderungan perilaku
konsumtif dalam jenis perilaku konsumen. Pembelian impulsive menurut Gasiorowska
adalah pembelian yang tidak reflektif, sebenarnya tidak diharapkan, terjadi secara spontan,
diiringi dengan munculnya keinginan mendadak untuk membeli produk-produk tertentu,
dan dimanifestasikan dalam sebuah reaksi terhadap suatu stimulus dari produk, baik dalam
produk barang maupun jasa (Gasiorowska, 2011).
Impulsive Buying merupakan hal yang sering dilakukan termasuk pada remaja.
Menurut Anin dan Atamimi salah satu pemicu perilaku impulsive buying adalah
pemasaran dan karakteristik produk yang dapat dilakukan melalui iklan dan bersifat sangat
sugestibel (Anin F., Rasimin, &  Atamimi, 2015). Dari sejumlah hasil riset, sebagian besar
sasaran utama iklan adalah remaja karena karakteristik remaja yang masih labil
menyebabkan mereka mudah dipengaruhi untuk melakukan impulsive buying.

1
Temuan hasil riset IDN Times juga didapati fakta bahwa dalam sepekan kaum
milenial Indonesia paling sedikit menghabiskan anggaran Rp50.000 hingga Rp150.000 per
individu untuk memesan makanan via aplikasi pesan-antar, sebanyak 44,2% dari mereka
masih berstatus sebagai pelajar atau mahasiswa yang justru belum memiliki penghasilan
sendiri (Putriana, 2019). Tingkat pembelian ini saling terkait antara kepemilikan ponsel
dalam penggunaannya untuk membeli makanan via online atau Online Food Delivery
(OFD), serta tidak dipungkiri juga, hal ini memicu sikap impulsive buying Online Food
Deliery (OFD) terhadap produk makanan via ponsel.
Phillip Kotler dalam bukunya mangatakan bahwa perilaku pembelian konsumen
dipengaruhi oleh faktor budaya, sosial, pribadi dan faktor psikologi (Kotler & Keller,
2012). Keempat faktor tersebut merupakan faktor yang mempengaruhi konsumen dalam
perilaku membeli atau dalam melakukan keputusan pembelian, tetapi ada sub faktor yang
mempunyai peran penting dalam perilaku konsumen yaitu sub faktor sosial dari
lingkungan keluarga dan teman sebaya, pribadi yaitu pengendalian diri yaitu sub faktor
psikologis dan sub faktor literasi keuangan (Dewi, Rusdanti, & Sunarto St., 2017),
sehingga kontrol dalam membeli sesuatu, termasuk secara impulsif, dapat dikaitkan
dengan literasi keuangan, lingkungan keluarga, teman sebaya serta pengendalian diri.
Literasi keuangan merupakan pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap
konsep keuangan dan berbagai manfaat, resiko dan kewajiban produk keuangan untuk
mengaplikasikannya kedalam kehidupan ekonomi (Fattah, Indriayu, & Sunarto, 2018).
Sehingga dianggap penting dalam melihat tingkat melek ekonomi di suatu negara. Remaja,
merupakan gambaran awal bagaimana sebuah tingkat literasi keuangan terlihat, dan pada
masa remaja ini pula, sebagian implementasi dari penanaman pendidikan literasi keuangan
dari faktor lingkungan, maupun keluarganya. Terdapat gap besar antara penggunaan
layanan keuangan dengan tingkat literasi yang dimiliki masyarakat, yang tidak sampai
setengahnya mampu memahami literasi keuangan dengan baik.
Berbagai hasil survey nasional menunjukkan bahwa literasi keuangan masyarakat
masih sangat rendah. Diperkuat dengan bukti hasil survei OECD PISA 2018, belajar di
Indonesia dengan usia remaja akhir menduduki level terendah dalan literasi keuangan dari
20 negara yang diujikan, selama 2 kurun waktu 2012 dan 2018 (OECD, PISA 2018
Results (Volume IV); Are Students Smart about Money?, 2020). Masih 5,3% lagi untuk
mencapai target nasional. Sehingga diperlukannya dorongan lebih untuk masyarakat dalam
memahami literasi keuangan. Sebab tingkat kesejahteraan suatu masyarakat sejalan dengan
tingkat melek keuangan dan kedekatan masyarakat terhadap akses keuangan (Akmal &
Saputra, 2016). Literasi keuangan membantu meningkatkan kualitas pelayanan keuangan
2
dan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan pembangunan suatu
negara, semakin meningkatnya kompleksitas ekonomi, kebutuhan individu dan produk
keuangan, individu harus memiliki literasi keuangan untuk mengatur keuangan pribadinya
(Yushita, 2017).
Dari data di atas, literasi keuangan Indonesia masih belum mencapai angka yang
cukup. Untuk meningkatkan target nasional, pendekatan dalam bidang literasi keuangan,
pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam
pembentukan pemahaman akan pentingnya literasi keuangan, dan keluarga merupakan unit
terdekat dalam menularkan pendidikan dini dalam membangun wawasan literasi keuangan
remaja, sebagai salah satu cara meningkatkan angka melek literasi skala nasional dan
global. Sehingga dipertanyakan tingkat literasi remaja dengan pengaruhnya terhadap
impulsive buying Online Food Delivery yang mereka lakukan.
Literasi keuangan Indonesia perlu ditanamkan sejak dini terutama di dalam
keluarga. Perilaku konsumtif dalam keputusan pembelian impulsif pada masa remaja
menggambarkan tingkat literasi keuangan yang dimilikinya. Sehingga dimasa mendatang,
mempenaruhi pengaturan keuangannya pula, dan memungkinkan melemahkan angka
indeks literasi keuangan nasional di Indonesia. Sehingga dari latar belakang dan
permasalahan tersebut, penulis bermaksud melakukan penelitian dengan memfokuskan
pada literasi keuangan keluarga dan impulsive buying , dengan judul “Literasi Keuangan
Remaja terhadap Perilaku Impulsive Buying Online Food Delivery”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah, penulis merumuskan masalah yaitu: “apakah


terdapat literasi keuangan remaja terhadap perilaku impulsive buying online food
delivery?”

1.3. Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui literasi keuangan remaja trehadap
terhadap perilaku impulsive buying online food delivery.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Deskripsi Konseptual


2.1.1. Impulsive Buying Online Food Delivery pada Remaja
2.1.1.1. Definisi Impulsive Buying

Impulsive buying, atau pembelian impulsif, berasal dari dua kata, yaitu
buying (pembelian) dan impulsive (impulsif). Buy atau beli, dalam KBBI yaitu
memperoleh sesuatu melalui penukaran (pembayaran) dengan uang, sehingga
buying atau pembelian merupakan proses, cara, perbuatan membeli sesuatu
dengan alat tukar uang. Sedangkan berdasarkan etimologi impulsive menurut
bahasa inggris, berasal dari kata impulse, sesuatu yang dilakukan secara tidak
terencana, unreflective—tidak direfleksikan, dorongan untuk melakukan sesuatu,
yang dalam KBBI (2018) merupakan rangsangan, dorongan, tanpa pertimbangan,
sehingga disebutkan bahwa impulsive atau impulsif adalah bersifat cepat bertindak
secara tiba-tiba menurut gerak hati tanpa adanya rencana.
Menurut Piron, dkk dalam Muruganantham dan Bhakat (2013)
mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa impulsive buying sama dengan
unplanned purchasing, dimana pembelian dilakukan tanpa adanya perencanaan
matang, tidak disengaja pada suatu kondisi yang mendorong seseorang dalam
melakukan pembelian. Menurut Rookh, impulsive buying atau pembelian impulsif
merupakan pembelian yang tidak terencana dan terjadi tiba-tiba yang didorong
oleh kognitif dan afektif, sehingga seseorang yang impulsif akan mudah memiliki
dorongan untuk membeli barang (Renanita, 2017). Hampir sama seperti yang
diungkapkan oleh John Mowen dan Michael Minor (2002) bahwa impulsive
buying dilakukan dengan keterlibatan kognitif dan sebagian besar terjadi secara
otomatis, dan sesuai dengan yang diungkapkan oleh Verplanken dan Herabadi
bahwa impulsive buying termasuk dalam dua dimensi kecenderungan aspek
kognitif dan afektif, dimana keduanya saling berkesinambungan dalam
membentuk dorongan dalam dii seseorang untuk menghabiskan uang (Verplanken
& Herabadi, 2001). Bayley dan Nancarrow dalam Muruganantham dan Bhakat
(2013) mendefinisikan pembelian impulsif sebagai pembelian yang tiba-tiba,
menarik, dan hedonis, perilaku di mana kecepatan proses keputusan impulsif
menghalangi pertimbangan yang bijaksana dan terencana, mengikuti informasi
dan pilihan alternatif (Muruganantham & Bhakat, 2013).
Menurut (Kacen & Lee, 2002) menyatakan bahwa impulsive buying lebih
membangkitkan gairah dan sulit dicegah tetapi dilakukan dengan sengaja bila
dibandingkan dengan perilaku pembelian yang direncanakan (compulsive buying.
Pernyataan diperkuat oleh pernyataan Hirchman dan Stern dalam (Sumarwan,
2011) bahwa pembelian impulsif adalah kecenderungan konsumen untuk
melakukan pembelian secara spontan, tidak terefleksi, terburu-buru, dan didorong
oleh aspek psikologis emosional terhadap suatu produk serta tergoda oleh persuasi
pemasaran.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa
impulsive buying merupakan perilaku konsumen, kecenderungan konsumen dalam
membeli barang secara cepat, melalui tindakan spontan, tidak terencana, didorong
oleh faktor kognitif yang kuat, faktor afektif, baik memperoleh kebutuhan,
keinginan atau kesenangan semata.

2.1.1.2. Klasifikasi Impulsive Buying

Menurut Han yang dimodifikasi oleh Stern dalam (Muruganantham &


Bhakat, 2013) klasifikasi konteks impulsive buying adalah sebagai berikut :
1. Planned impulse buying : yaitu pembelian impulsif yang
direncanakan tetapi produk atau kategori tertentu tidak diputuskan
oleh seseorang yang ingin belanja, namun planned impulsive
buying ini masih dapat berdasarkan kebutuhan. Hal yang
mempengaruhi mereka adalah bagaimana toko memasarkan,
memberikan promosi atau diskon yang ditawarkan. Jadi seseorang
memiliki niatan untuk berbelanja atau menghabiskan uangnya,
namun tidak ingin menentukan apa yang ingin dibeli. Seperti
seseorang pergi ke toko atau mal pusat perbelanjaan, atau melihat-
lihat marketplace secara online, hendak membeli sesuatu, tetapi
5
tidak menentu apa yang ingin dibeli. Hal ini bias dikategorikan
sebagai planned impulsive buying atau pembelian impulsif yang
terencana.
2. Reminded impulse buying : Merupakan kategori impulsive buying
yang terjadi ketika pembeli diingatkan akan kebutuhan produk
yang memperhatikannya di toko, merchant atau marketplace.
Dalam hal ini misalkan seseorang tidak memiliki rencana untuk
membeli barang, namun diingatkan atau ingat akan kebutuhannya
untuk membeli suatu produk, padahal tidak mempersiapkan untuk
membeli.
3. Suggestion or fashion-oriented impulse buying : Yaitu konsep
pembelian impulsive yang tersugesti sebagai pembelian produk
baru atas dasar saran diri sendiri, tetapi tanpa adanya perencanaan
atau pernah menggunakan produk yang akan dibeli sebelumnya
(Muruganantham & Bhakat, 2013). Mattila dan Enz dalam
Muruganantham dan Bhakat (2013) kemudian berpendapat bahwa
pembelian impuls dapat dipengaruhi oleh emosi positif pembelanja
sendiri saat berbelanja, sehingga emosi positif yang dimiliki atau
keyakinan yang dimiliki dalam membeli produk yang padahal
belum pernah dicoba sebelumnya membentuk karakteristik
pembelian impulsif (Muruganantham & Bhakat, 2013).
4. Pure impulse buying : adalah pembelian impulsif yang dilakukan
dengan sengaja, melakukan kegiatan belanja diluar kebutuhannya,
benar-benar keinginan semata, hanya sekedar melakukan
kesenangan, tanpa pertimbangan, dan tidak benar-benar
dibutuhkan.

6
2.1.1.3. Aspek Impulsive Buying

(Verplanken & Herabadi, 2001) menyatakan bahwa ada dua aspek


yang saling mempengaruhi impulsive buying, yaitu aspek kognitif dan
aspek afektif atas impulsive buying adalah sebagai berikut :
1. Aspek Kognitif

Aspek kognitif menyangkut kurangnya perencanaan dan


pertimbangan ketika melakukan pembelian, lemahnya kontrol diri
dalam menpertimbangkan, mengevaluasi, memperhitungkan sebuah
perencanaan dalam menyiasati keuangan faktor pembelian
(Verplanken & Herabadi, 2001). Dalam penelitiannya, kognitif aspek
dijelaskan berupa kurangnya perencanaan, diskusi dan pertimbangan
yang matang. Temuan yang paling penting adalah pola korelasi yang
bermakna antara skala kecenderungan kepribadian perilaku impulsif
dalam pembelian. Aspek kognitif dikaitkan dengan kemampuan
pribadi yang rendah untuk struktur, kemampuan yang rendah untuk
mengevaluasi, dan kurangnya kesadaran. konstruksi biasanya terkait
dengan proses kognitif.
2. Aspek Afektif
Aspek afektif menyangkut perasaan senang dan gembira, keinginan
untuk membeli, kesulitan untuk meninggalkan barang, kemungkinan
penyesalan setelahnya, dan kurangnya kontrol. Aspek afektif
ditemukan terkait dengan orientasi tindakan tinggi dan kurangnya
otonomi dalam mengontrol perasaan/emosi semata. Aspek afektif
berpengaruh besar terhadap tindakan kognitif impulsive yang
dilakukan seseorang, ketika aspek kognitif yang baik diterima, akan
mudah memancing perasaan dalam berkeinginan berbelanja impulsive,
sehingga terbentuklah actual behavior impulse buying sebagai responsi
buying impulse pleasure.

7
2.1.1.4. Faktor yang Mempengaruhi Impulsive Buying

Dalam review jurnal oleh Muruganantham dan Bhakat bahwa


faktor yang mempengaruhi impulsive buying berhubungan dengan
lingkungan belanja (shopping environment) shopper personal traits atau
sifat dari seseorang dalam berbelanja, produk itu sendiri dan aspek
demografis dan sosial-budaya yang beragam (Muruganantham & Bhakat,
2013), diantaranya:
1. Stimuli Eksternal dan Lingkungan Tempat Belanja (dalam faktor
online, tampilan pemasaran pada aplikasi)

Faktor eksternal pembelian impulsif mengacu pada cara


memasarkan, melalui pemasaran atau rangsangan yang ditempatkan dan
dikendalikan oleh pemasar dalam upaya untuk memikat konsumen ke
dalam perilaku pembelian (Muruganantham & Bhakat, 2013). Stimuli
eksternal adalah terkait dengan lingkungan belanja dan pemasaran.
Lingkungan belanja termasuk ukuran toko, suasana, desain dan format
sementara lingkungan pemasaran adalah berbagai kegiatan penjualan dan
periklanan, termasuk publikasi testimony pembeli.
2. Stimuli Internal

Stimuli internal terkait dengan faktor-faktor terkait kepribadian


yang berbeda yang menjadi ciri individu daripada lingkungan belanja atau
rangsangan. Faktor internal pembelian impuls menunjukkan internal
individu, isyarat dan karakteristik yang membuatnya terlibat dalam
pembelian impulsif.
Salah satu penelitian penentu jalan oleh Rook dan Hoch dalam
(Muruganantham & Bhakat, 2013) menggarisbawahi bahwa yang mampu
mengendalikan keinginan dalam berbelanja adalah manusianya, karena

8
manusia lah yang mengalami keinginan membeli secara impulsif selama
berbelanja.

3. Faktor Situasi dan Produk Terkait

Semakin banyak waktu yang dihabiskan di toko (online maupun


offline) sebelum melihat barang yang menarik, semakin banyak
kesempatan untuk membeli secara impulsif (Jeffrey & Hodge, 2007).
Hubungan antara lingkungan toko dan suasana hati konsumen yang
impulsif dimoderasi oleh faktor situasional seperti tekanan waktu (Xu,
2007)
Manfaat fungsional juga dapat memicu fenomena pembelian
impulsif. Yu dan Bastin dalam Harmancioglu (2009) menemukan bahwa
pembelian impuls bervariasi di berbagai kategori produk yang meliputi
pakaian, makanan, buku dan peralatan untuk latihan, yang dilihat dari
manfaatnya tanpa tahu apakah benar-benar butuh. Dalam hal produk baru,
Harmancioglu, dkk menemukan bahwa pengetahuan tentang dorongan
produk baru, niat dan perilaku yang ditentukan oleh mulut ke mulut, yang
membuat rasa penasaran bagi yang mendengarnya (Harmancioglu, Finney,
& Joseph, 2009).
4. Faktor Demografi dan Sosio-kultural

Kollat dan Willett dalam Murugananthan dan Bhakat menemukan


bahwa karakteristik konsumen dan demografi mereka mempengaruhi
pembelian impulsif (Muruganantham & Bhakat, 2013). Kondisi pasar dan
berbagai kekuatan budaya juga dapat mempengaruhi cara konsumen untuk
melakukan pembelian impulsif (Vohs & Faber, 2007). Faktor internal
yang berhubungan dengan pribadi seperti pengalaman pendidikan
memengaruhi tindakan pembelian impulsif (Wood, 1998 dalam
(Muruganantham & Bhakat, 2013), seperti bagaimana memesan produk
lewat aplikasi, marketplace yang tidak semua latar belakang pendidikan
memperolehnya, kemudahan dalam jaringan, proses memahami bahasa
9
produk dan tampilan dalam aplikasi, merupakan salah satu dari faktor
kemudahan yang diperoleh dari faktor pendidikan dan lingkungan.

2.1.1.5. Online Food Delivery


Online Food Delivery atau dalam arti bahasa merupakan pembelian
makanan secara daring, Pemesanan makanan di internet secara konseptual
merupakan hal baru era ini, secara langsung internet menyebarluaskan dan
mempromosikan kepada konsumen, dari penjual, mengikuti karakteristik
konsumen dan algoritma daya tarik konsumen (diskon, jenis makanan,
iklan, promosi terbatas, reward, membership, dll) disesuaikan dengan jam
buka toko, yang secara garis besarnya, teknologilah yang memiliki
peranan penting dalam merevolusi cara pemesanan layanan antar dari
ponsel ataupun perangkat yang terkoneksi ke nomor telepon sehingga
mengubah total proses panjang menjadi instan (Rathore & Chaudhary,
2018).
Online food delivery termasuk pembelian secara online, Dholakia
dalam (Muruganantham & Bhakat, 2013) menyatakan pembelian secara
online dipengaruhi oleh rangsangan pemasaran dan faktor situasional
(faktor eksternal) dan sifat impulsif (faktor internal). Rangsangan
pemasaran termasuk diskon, tampilan produk (merchandising), apa pun
yang ditawarkan oleh toko, tenaga penjualan, popularitas produk,
komentar dari kelompok referensi, keberadaan rekan, nama merek toko,
faktor sosial, tampilan jendela, tanda titik pembelian, pengemasan, dan
promosi (Bhatti, 2014). Hampir sama dengan system penjualan tradisional
maupun ritel namun semuanya dilakukan secara daring, maya, dan
langsung kepada persona.
Sedangkan menurut Yeo, dkk dalam Prabowo dan Nugroho secara
teoretikal model penelitian, online food delivery berbasis pada
Convenience motivation, dan Post-usage usefulness memiliki dampak

10
besar pada sikap dan perilaku konsumen dalam memesan makanan lewat
aplikasi atau secara daring (Prabowo & Nugroho, 2018).

2.1.1.6. Definisi Remaja

Pengertian remaja dalam KBBI (2018) adalah mulai dewasa, atau


sinonimnya sama dengan pemuda, muda, sampai setengah umur. berasal
dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh menjadi dewasa, atau
dalam bahasa latin dikenal dengan istilah adolensence, yang diberikan
pada pernyataan oleh Hurlock terhadap tahap usia remaja mempunyai arti
yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial
dan fisik (Hurlock, Psikologi Perkembangan, 2003). Masa remaja adalah
masa peralihan dimana perubahan secara fisik dan psikologis dari masa
kanak-kanak ke masa dewasa (Hurlock, Psikologi Perkembangan, 2003).
Menurut Santrock dalam Agustriyana dan Suwato, remaja merupakan
salah satu tahapan perkembangan manusia dengan ciri manusia tersebut
sering mengalami masa krisis identitas dan ambigu. Hal yang demikian
menyebabkan remaja menjadi tidak stabil, agresif, konflik antara sikap dan
perilaku, kegoyahan emosional dan sensitif, terlalu cepat dan gegabah
untuk mengambil tindakan yang ekstrim (Agustriyana & Suwanto, 2017).

2.1.1.7. Tahap Perkembangan Remaja

Semua aspek perkembangan dalam masa remaja secara global


berlangsung antara umur 12 -21 tahun, dalam tahapan psikososial, dengan
pembagian usia 12-14 tahun adalah masa remaja awal (early adolescent),
15-17 tahun adalah masa remaja pertengahan (middle adolescent), 18-21
tahun adalah masa remaja akhir (late adolescent), Karakteristik periode

11
remaja ditandai oleh terjadinya perubahan-perubahan psikologis
(Batubara, 2010).

2.1.1.8. Karakteristik Remaja


Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan
dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri remaja menurut
Hurlock (Hurlock, Psikologi Perkembangan, 2003), antara lain :
1. Masa remaja merupakan periode yang penting yaitu
perubahan-perubahan yang dialami masa remaja akan
memberikan dampak langsung pada individu yang
bersangkutan dan akan mempengaruhi perkembangan
selanjutnya, dari kanak-kanak menuju dewasa.
2. Masa remaja sebagai periode pelatihan. Disini berarti
perkembangan masa kanak-kanak lagi dan belum dapat
dianggap sebagai orang dewasa. Status remaja tidak jelas,
keadaan ini memberi waktu padanya untuk mencoba
gayahidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku,
nilai dan sifat yang paling sesuai dengan dirinya.
3. Masa remaja sebagai periode perubahan, yaitu perubahan
pada emosi perubahan tubuh, minat dan peran (menjadi
dewasa yang mandiri), perubahan pada nilai-nilai yang
dianut, serta keinginan akan kebebasan
4. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri yang
dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya
dan apa peranannya dalam masyarakat.
5. Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan.
Dikatakan demikian karena sulit diatur, cenderung
12
berperilaku yang kurang baik. Hal ini yang membuat
banyak orang tua menjadi takut.
6.

13
2.1.2. Literasi Keuangan
2.1.2.1. Definisi Literasi Keuangan

Literasi berasal dari bahasa latin, kata literatus berarti orang yang belajar,
dalam KBBI (2018) Literasi merupakan kemampuan individu dalam mengolah
informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Uang dalam imbuhan,
keuangan, merupakan alat tukar, urusan berupa seluk beluk uang, keadaan uang,
sehingga jika diartikan bersamaan literasi keuangan merupakan kemampuan
seseorang dalam mengolah informasi dan pengetahuan, kecakapan hidup dalam
seluk beluk pengetahuan dan tata kelolanya mengenai seluk beluk uang, keadaan
uang, namun secara harfiahnya tidak sekedar pengatahuan uang secara umum,
tetapi terperinci (BPPB, 2018).
Literasi keuangan berkaitan dengan kompetensi seseorang untuk
mengelola keuangan (Akmal & Saputra, 2016). Diperkuat oleh pernyataan
Huston, bahwa literasi keuangan merupakan kemampuan membaca, menganalisis,
mengelola dan berkomunikasi tentang keuangan kondisi pribadi yang
memengaruhi kesejahteraan materi, termasuk kemampuan untuk membedakan
pilihan keuangan, mendiskusikan masalah uang dan keuangan tanpa (atau
meskipun) tidak nyaman, merencanakan masa depan dan merespons dengan
kompeten peristiwa kehidupan yang mempengaruhi keputusan keuangan sehari-
hari, termasuk perekonomian sehari-hari secara sederhana (Huston, 2010). Literasi
keuangan (financial literacy) juga dapat dipahami sebagai pengetahuan dan
kemampuan dalam mengelola keuangan guna meningkatkan kesejahteraan.
Literasi keuangan merupakan bagian dari pengetahuan, kecakapan dalam
keuangan. Literasi keuangan mempunyai esensi yang lebih mendetail
dibandingkan dengan pengetahuan keuangan secara umum, seperti pendapatan
dan pengeluaran (Rapih, 2016).
Menurut Chen dan Volpe dalam Lantara dan Kartini (2015) Literasi
keuangan menunjukkan pemahaman keuangan mengenai pengetahuan umum
keuangan investasi tabungan dan asuransi. Literasi keuangan sendiri merupakan
suatu kemampuan dalam mengelola pendapatan, menentukan berbagai

14
konsekuensi atas keputusan pribadi dalam pendapatan sekarang dan masa depan
(Tomášková, Němcová, & Mohelska, 2011).

2.1.2.2. Tujuan Literasi Keuangan

Program International for Student Assesment atau PISA (OECD, PISA


2018 Results (Volume IV); Are Students Smart about Money?, 2020) menyatakan
literasi keuangan merupakan pengetahuan dan pemahaman terhadap konsep
keuangan dan resiko, keahlian, motivasi dan kepercayaan diri untuk menerapkan
pengetahuan dan pemahaman untuk membuat keputusan atas berbagai aspek
keuangan, untuk memperbaiki kesejahteraan finansial seseorang atau kelompok
dan untuk ikut serta dalam kegiatan ekonomi, sehingga seseorang dengan
pemahaman literasi keuangan yang tinggi memiliki kehidupan ekonomi yang
lebih baik sehingga memudahkan pengambilan keputusan keuangannya.

2.1.2.3. Aspek-aspek Literasi Keuangan

Remund menyatakan empat hal yang paling umum dalam literasi


keuangan (financial literation) adalah penganggaran, tabungan, pinjaman, dan
investasi (Remund, 2010). Literasi Keuangan didefenisikan sebagai pengetahuan
mengenai konsep-konsep keuangan yang mencakup pengetahuan dasar mengenai
keuangan pribadi (basic personal finance), pengetahuan mengenai manajemen
uang (cash management), pengetahuan mengenai kredit dan utang, pengetahuan
mengenai tabungan dan investasi serta pengetahuan mengenai risiko (Akmal &
Saputra, 2016).
Hal yang menjadi perhatian literasi keuangan menurut Hogart (2006)
dalam Azmi, dkk, (2018) termasuk (a) menjadi berwawasan, terdidik, dan
memahami hal mengenai pengelolaan uang dan aset, memahami pentingnya bank,
invrestasi, kredit, asuransi, dan pajak-pajak. (b). Memahami konsep pengelolaan
uang dan hartanya, (c) dapat menggunakan pengetahuan dan pemahamannya
untuk merencanakan, mengimplementasi dan mengevaluasi keputusan-keputusan
keuangannya (Azmi, et al., 2018).

15
2.1.3. Kerangka Teoritik

Pada dasarnya, kestabilan keuangan adalah hal yang diinginkan seseorang.


Pemahanan seseorang dengan kelola keuangannya dalam ekonomi dikenal dengan
literasi keuangan. Menurut (Huston, 2010) literasi keuangan merupakan
kemampuan membaca, menganalisis, mengelola dan berkomunikasi tentang
keuangan kondisi pribadi yang memengaruhi kesejahteraan materi, termasuk
kemampuan untuk membedakan pilihan keuangan, mendiskusikan masalah uang
dan keuangan tanpa (atau meskipun) tidak nyaman, merencanakan masa depan
dan merespons dengan kompeten peristiwa kehidupan yang mempengaruhi
keputusan keuangan sehari-hari, termasuk perekonomian sehari-hari secara
sederhana.
Untuk terbentuknya pemahaman akan literasi keuangan, para pembuat
kebijakan semakin menyadari bahwa kaum muda perlu melek finansial untuk
melakukan tugas-tugas umum dalam kehidupan sehari-hari mereka, seperti
menggunakan kartu pembayaran seperti kartu debit, kredit dan e-cash atau
memilih di antara paket pada gawai seluler (OECD, PISA 2018 Results (Volume
IV); Are Students Smart about Money?, 2020). Selain itu, ketika remaja semakin
mandiri dalam keuangannya, menunjukkan bahwa pentingnya memperoleh
keterampilan literasi keuangan untuk masa depannya. Pertama, kaum muda
cenderung menghadapi keputusan yang lebih menantang jika transaksi keuangan
terus tumbuh dalam kompleksitas. Oleh karena itu, literasi keuangan akan
memiliki peran, dalam hubungannya dengan perlindungan dan peraturan
keuangan, dalam membekali remaja dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk
memahami produk dan layanan yang lebih kompleks, memilih yang paling sesuai
untuk diri remaja, dan melindungi diri dari penipuan keuangan.
Aspek uang dan transaksi. Aspek ini menjelaskan bagaimana kepahaman
remaja terhadap uang dan penggunaannya, digunakan untuk apa dan kemana ia
menggunakan uang, bagaimana ia bertransaksi, memahami bentuk-bentuk uang
yang kian waktu berubah fisik dan nilainya. Semakin kuat pemahamannya akan

16
uang dan penggunaannya, semakin jelas pula arah uangnya digunakan dan
ditransaksikan, dalam bentuk apa uangnya dibelanjakan atau disimpan, sehingga
melemahkan adanya dorongan ingin membeli sesuatu secara sia-sia, karena
memahami uang secara simple dan kompleks, memahami perputaran transaksi
dan pemanfaatannya. Hal ini diperkuat oleh pernyataan (Anisa & dkk, 2020)
partisipan dalam penelitiannya yang memiliki pemahaman literasi keuangan yang
buruk menggunakan pengetahuannya terhadap uang dan transaksi secara praktis
lebih mudah membeli secara impulsif ketimbang dengan yang memiliki
pemahaman baik terhadap literasi keuangannya.
Aspek perencanaan dan pengelolaan keuangan. Merupakan aspek yang
memegang peran penting akan kemana uang dibelanjakan, akan di simpan di
mana ketika uang belum akan dipakai, dan bagaimana perputaran keuangannya
dialirkan, bagaimana tata kelola keuangan ketika telah diperoleh. Pada masa
pandemi ini, perolehan pendapatan uang jajan contoh paling mudah digunakan
secara positif digunakan untuk ditabung, atau diaturnya pembagian kemana dan
akan digunakan apa uang yang diperolehnya. Pengaruh negatif atas pemahaman
literasi keuangan yang rendah mampu memicu pengaruh pada faktor afektif
remaja setelah mengerjakan tugas yang sulit lewat daring/online, mood yang
berubah-ubah, serta pada faktor kognitifnya seperti dorongan memenuhi
keinginan atau rasa penasaran yang tinggi dengan pemahamannya dalam
mudahnya bertransaksi online, kemudahan dalam menikmati layanan, sehingga
mendorong remaja untuk segera membeli makanan secara impulsive.

17
BAB III
PENUTUP

3.1. Simpulan

Literasi keuangan terhadap perilaku menabung memiliki pengaruh yang


positif dan signifikan terhadap tinggi rendahnya perilaku menabung. Hal ini
berarti, semakin baik literasi keuangan maka perilaku menabung juga akan
meningkat. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka hipotesis pertama yaitu
menyatakan bahwa terdapat pengaruh antara literasi keuangan dan perilaku
menabung adalah terbukti benar. Kontrol diri terhadap perilaku menabung
memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap tinggi rendahnya perilaku
menabung. Hal ini berarti bahwa semakin baik kontrol diri maka akan baik pula
perilaku menabungnya. Selain itu remaja juga harus memahami perilaku
impulsive terhadap online food delivery guna memahami dan dapat memberika
prioritas terhadap kehidupan mereka.

3.2. Saran

Saran yang ingin penulis sampaikan yakni ditujukan kepada setiap remaja
untuk mempunyai rencana terhadap masa depan nya. Hal ini dapat dilakukan dan
direncanakan dengan cara mengguakan keuangan kita dengan bijak dan tepat.
Selain itu, remaja mampu memahami situasi dan kondisi sehingga apa yang di
rencakan oleh remaja merupakan hal yang baik untuk kehidupannya. Maka dari
itu memahami literasi keuangan dan menahan diri untuk tidak melakukan belanja
online secara berleebihan merupakan suatu hal yang sangat diuntungkan.
DAFTAR PUSTAKA

Agustriyana, N. A., & Suwanto, I. (2017). Fully Human Being pada Pencapaian
Perkembangan Identitas. Jurnal Bimbingan Konseling Indonesia, 9-11.

Akmal, H., & Saputra, E. Y. (2016). Analisis Tingkat Literasi Keuangan. Jurnal
Ekonomi dan Bisnis Islam (JEBI), 235-244.

Anin F., A., Rasimin, B., &  Atamimi, N. (2015).


Hubungan Self Monitoring Dengan Impulsive Buying 
Terhadap Produk Fashion Pada Remaja . Jurnal Psikologi Universitas
Gadjah Mada, 193.

Anisa, N. A., & dkk. (2020). Financial Literacy on Impulsive Buying Behavior in
Y Generation . Quantitative Economics and MAnagement Studies
(QEMS), 70-75.

Azmi, Z., Anriva, D. H., Rodiah, S., Ramashar, W., Ahyaruddin, M., Agustiawan,
. . . Lawita, N. F. (2018). Peningkatan Literasi Keuangan melalui
Perencanaan Keuangan Keluarga. Jurnal Pengabdian Untuk Mu NegeRI ,
66-73.

Batubara, J. R. (2010). Adolescent Development (Perkembangan Remaja). Sari


Pediatri, 29.

Bhatti, K. L. (2014). The Impact of Visual Merchandising on Consumer Impulse


Buying Behavior.  Eurasian Journal of Business and Management , 24-35.

BPPB. (2018). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Badan Pengembangan


dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan Kebudayaan.

Dewi, N., Rusdanti, & Sunarto St. (2017). Pengaruh Lingkungan Keluarga,
Teman Sebaya, Pengendalian Diri dan Literasi Keuangan Terhadap
Perilaku Konsumtif Mahasiswa . Journal of Economic Education, 35.
Fattah, F. A., Indriayu, M., & Sunarto. (2018). Pengaruh Literasi Keuangan dan
Pengendalian Diri Terhadap Perilaku Konsumtif Siswa SMA
Muhammadiyah 1 Karanganyar. BISE: Jurnal Pendidikan Bisnis dan
Ekonomi, 21.

Gasiorowska, A. (2011). Gender as a Moderator of Temperamental Causes of


Impulse Buying Tendency. Journal of Customer Behaviour, 142.

Harmancioglu, N., Finney, R. Z., & Joseph, M. (2009). Impulse purchases of new
products: an empirical analysis . Journal of Product & Brand
Management, 27-37.

Hurlock, B. E. (2003). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.

Huston, S. J. (2010). Measuring Financial Literacy. The Journal of Consumer


Affair, 296-316.

Jeffrey, S., & Hodge, R. (2007). Factors Influencing Impulse Buying during an
Online Purchase. Electronic Commerce Search, 367-379.

Kacen, J. J., & Lee, J. A. (2002). The Influence of Culture on Consumer


Impulsive Buying Behavior. Journal of Consumer Psychology, 176.

Kotler, P., & Keller, K. L. (2012). Manajemen Pemasaran. Dalam K. Keller,


Manajemen Pemasaran (hal. 346). Jakarta: Erlangga.

Muruganantham, G., & Bhakat, R. S. (2013). A Review of Impulse Buying


Behavior. International Journal of Marketing Studies, 160.

OECD. (2020). PISA 2018 Results (Volume IV); Are Students Smart about
Money? Paris: OECD (Organisation for Economic Co-operation and
Development).

Prabowo, G. T., & Nugroho, A. (2018). Factors that Influence the Attitude and
Behavioral Intention of Indonesian Users toward Online Food Delivery
Service by the Go–Food Application. Advances in Economics, Business
and Management Research, 204-210.
Putriana, C. (2019, Februari 19). IDN Times. Dipetik Januari 4, 2020, dari IDN
Times:
https://www.idntimes.com/food/dining-guide/putriana-cahya/millennials-
kecanduan-pesan-antar-makanan-hemat-waktu-atau-malas/4

Rapih, S. (2016). PENDIDIKAN LITERASI KEUANGAN PADA ANAK:


Mengapa dan Bagaimana? . Scholaria, 14-28.

Rathore, S. S., & Chaudhary, M. (2018). Consumer's Perception on Online Food


Ordering. International Journal of Management & Business Studies, 17.

Remund, D. L. (2010). Financial Literacy Explicated: The Case for a Clearer


Definition in an Increasingly Complex Economy. THE JOURNAL OF
CONSUMER AFFAIRS, 276-295.

Renanita, T. (2017). Kecenderungan Pembelian Impulsif Online Ditinjau dari


Penjelajahan Website Yang Bersifat Hedonis dan Jenis Kelamin pada
Generasi Y. Jurnal Indigenous , 6.

Sumarwan, U. (2011). Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya dalam


Pemasaran. Jakarta: PT Ghalia Indonesia.

Tomášková, H., Němcová, Z., & Mohelska, H. (2011). Issues of Financial


Literacy Education.  Procedia - Social and Behavioral Science, 365-369.

Verplanken, B., & Herabadi, A. G. (2001). Individual Differences in Impulse


Buying tendency: Feeling and No thinking. European Journal of
Personality, S83.

Vohs, K., & Faber, R. J. (2007). Spent resources: Self-Regulatory Resource


Availability Affercts Impulse Buying. Journal of Consumer Research,
547.

Xu, Y. (2007). Impact of Store Environment on Adult Generation Y Consumers’


Impulse Buying . Journal of Shopping Center Researc, 56.
Yushita, A. N. (2017). Pentingnya Literasi Keuangan bagi Pengelolaan Keuangan
Pribadi. JURNAL NOMINAL VOLUME VI NOMOR 1, 11-26.

Anda mungkin juga menyukai