Anda di halaman 1dari 20

Kementerian Pertanian

Republik Indonesia

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN
KELAPA SAWIT

Disampaikan Pada Pelatihan Auditor ISPO


Bogor, 2 Desember 2019
Direktorat Jenderal Perkebunan

I. KONDISI
PERKEL@P@S@WIT@N
INDONESI@

1
 Pengembangan perkebunan kelapa sawit yang mulai
dilaksanakan tahun 1980’an, dilakukan setelah Konferensi
Stockholm tahun 1972, yang menandai kebangkitan kesadaran
global untuk penerapan konsep pembangunan berkelanjutan.

 Diawali dengan pengembangan Perkebunan Rakyat (PR) melalui


pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR)/Nucleus Estate
Smallholders (NES) bantuan Bank Dunia, yang sudah menganut
persyaratan pembangunan berkelanjutan.

 Keberhasilan proyek NES dimaksud, kemudian menjadi rujukan


pengembangan perkebunan kelapa sawit selanjutnya dan
berkat kerjasama semua pihak terkait, akhirnya Indonesia
menjadi negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia tahun
2006.

 Luas areal kelapa sawit th 2017 sebesar 14,04 juta Ha


merupakan 52,56 % luas dari total areal perkebunan sebesar
26,69 juta Ha.

2
 Areal th 2018 (angka sementara) seluas 14,33 juta Ha
atau sekitar 47 kali dari areal th 1980 seluas 295 ribu
Ha yang pada tahun tersebut seluruhnya adalah
Perkebunan Besar (PB).
 Areal kelapa sawit terdiri dari Perkebunan Rakyat (PR)
seluas 5,81 juta Ha (40,54%), Perkebunan Besar
Negara (PBN) 634 ribu Ha (4,42%) dan seluas 7,88
juta Ha (54,99%) merupakan Perkebunan Besar
Swasta (PBS).

Penyebarannya pada awal th ‘80 an hanya di Sumatera Bagian


Utara (Aceh dan Sumatera Utara), saat ini telah menyebar ke 23
propinsi, dengan luas areal terbesar di RIAU (2,74juta Ha),
kemudian diikuti oleh SUMUT (1,74 juta Ha), KALBAR (1,53 juta Ha),
KALTENG (1,51 juta Ha) dan SUMSEL (1,18 juta Ha);
Pengembangan th 2018 (angka sementara) di Sumatera seluas
8,54 juta Ha (59,59%), Kalimantan seluas 4,97 juta Ha (34,68%),
Jawa seluas 38 ribu Ha (0,26%), Sulawesi, Maluku, Papua seluas
770,57 ribu Ha (5,37%).

3
CAPAIAN KINERJA PEMBANGUNAN
KELAPA SAWIT INDONESIA

1848 1911 1980 2010 2018*

4 BIBIT LIPUT RIVER 295 ribu HA 8,3 juta HA 14,33 Juta HA

KEBUN RAYA 721 ribu TON 22 Jjuta TON 40,57 Juta TON
COMMERSIAL
BOGOR CPO CPO CPO

503 TON 16 juta TON 34,71 juta TON


EKSPOR CPO EKSPOR CPO EKSPOR CPO++

 Produksi CPO tahun 2018 sebesar 40,57 juta ton atau 56 kali
dari produksi tahun 1980 sebesar 721 ribu ton.
 Ekspor CPO dan turunannya tahun 2018 sebesar 34,71 juta ton,
dengan nilai US $ 20,54 Miliar atau sekitar Rp. 387,6 Triliun;
 Selain penghasil devisa, kelapa sawit berperan dalam
penyerapan tenaga kerja sekitar 6 juta TK, pengembangan
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru, pemerataan
pembangunan (tanaman pangan terpusat di P. Jawa, kelapa
sawit hampir seluruhnya di luar P. Jawa).

4
II. HAMBATAN
PENGEMBANGAN
KELAPA SAWIT

1. Kesenjangan produktivitas
Seiring dengan perkembangan pengalaman dan
teknologi, dicanangkan visi 35 : 26 pada tahun 2025,
yaitu tekad untuk mencapai produktivitas 35 ton
TBS/Ha/Th dan rendemen CPO 26%.
Untuk Perkebunan Besar, pencapaian visi menjadi
tanggung jawab masing-masing perusahaan.
Untuk Perkebunan Rakyat, praktek pertanian yang
baik tidak/belum kunjung terjangkau, baik
ketersediaannya maupun keterjangkauannya. Hal
tersebut berakibat terjadinya kesenjangan tingkat
produktivitas, yang apabila tidak ada upaya khusus
dan operasional, kesenjangan produktivitas akan
semakin bertambah.
10

5
2. Peremajaan
Sesuai dengan umur teknis kelapa sawit, setelah umur
25 tahun harus diremajakan. Terkait awal
pembangunan perkebunan rakyat mulai tahun
1980, masalah peremajaan perkebunan kelapa
sawit rakyat selain mendesak dan terlewati,
apabila tidak segera ada upaya terobosan yang
tepat, cepat dan berani, akan berdampak serius
yang berpotensi mengancam keberlanjutan peran
perkebunan rakyat dalam perkelapasawitan
nasional.
Fasilitas skim pendanaan KPEN –RP, karena paket
persyaratan Bank teknis yang ditentukan masih
cukup sulit untuk dipenuhi, maka tidak dapat
berjalan sesuai yang diharapkan. Oleh sebab itu
perlu dibangun skim kredit baru yang sesuai.
11

3. Penggunaan Benih Ilegitim


Sebagai akibat dari kuatnya hasrat masyarakat untuk
pengembangan perkebunan kelapa sawit sebagai
dampak dari keberhasilan fasilitasi pengembangan
perkebunan rakyat kelapa sawit (Pola PIR), dan di lain
pihak pada waktu itu (sekitar era 1990an) ketersediaan
benih unggul bermutu bersertifikat masih sangat
terbatas (baru 3 sumber benih), maka mulai
berlangsung pengembangan perkebunan rakyat
dengan menggunakan benih ilegitim. Hal tersebut
terus berlangsung sampai saat ini, sehingga langkah
yang perlu ditempuh tidak saja sebatas menghentikan,
tetapi perlu dipertimbangkan langkah dalam bentuk
gerakan untuk mengganti kebun-kebun yang
menggunakan benih ilegitim dimaksud, karena kebun
dimaksud kurang memberi manfaat bagi petani.
12

6
4. Penerapan Konsep Pembangunan
Berkelanjutan dan Ramah Lingkungan

Pada era derasnya tuntutan penerapan konsep


pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan,
semakin kuat tuntutan global untuk antisipasi ancaman
perubahan iklim dan pemanasan global.
Konsep yang selama ini dikenal sebagai ekonomi hijau,
mulai memasuki babak baru dgn sebutan ekonomi
biru.
Dalam ekonomi biru, tidak hanya mengolah limbah
menjadi pro-lingkungan, namun bagaimana mengolah
limbah menjadi nilai tambah baru, sehingga
berlangsung sistem produksi tanpa limbah.

13

5. Pemberdayaan Pekebun
Sistem pemberdayaan petani belum dapat
diterapkan dengan baik, karena tenaga
penyuluh/fasilitator, baik jumlah dan
kompetensinya serta pendanaan yang kurang
memadai.

6. Infrastruktur
Infrastruktur, baik jalan kebun, jalan menuju
pabrik dan jalan menuju pelabuhan serta
pelabuhan belum memadai.
7. Penelitian dan Pengembangan
Penelitian dan pengembangan, baik untuk produk
utama, maupun untuk hasil samping dan limbah
perlu ditingkatkan.
14

7
III. @R@H KEBIJ@K@N
PENGEMB@NG@N
KEL@P@ S@WIT INDONESI@

15

 Sampai dengan saat ini komoditas kelapa sawit telah teruji


dan terbukti paling kompetitif, antara lain produktivitasnya
paling tinggi dibanding minyak nabati lainnya
 Perbandingan Efisiensi Produksi Minyak Nabati

Produktivitas Minyak (Ton/Ha/Th)


5.0 4.14
4.5
4.0
3.5
3.0
2.5
2.0
1.5
1.0 0.69
0.37 0.53
0.5
0.0
Soybean Sunflower Rapeseed Oil Palm

Sumber: World Oil, 2010

16

8
Kedepan komoditas kelapa sawit semakin
kompetitif

• Teknologi produksi terus ber-kembang, sejak


hulu sampai hilir (benih, budidaya, pengolahan,
dll)
• Biomassa paling banyak dan dapat
dimanfaatkan
(ekonomi hijau  ekonomi biru)

 Selain produk utama, seluruh hasil samping dan


limbah berpotensi dapat diolah menghasilkan nilai
tambah baru sesuai konsep ekonomi biru, yang
salah satu pilarnya adalah berlangsungnya
proses produksi tanpa menyisakan limbah

9
BIOMASSA SAWIT
PALM OIL MILL

EMPTY FRUIT
BUNCH
(5 ton/ha/y,
dry wt : 2
ton/ha/y)

OIL PALM FRONDS


(10-16 ton/ha)

SHELL
(0.7 ton/ha/y)

FIBER
(1.6 ton/ha/y)
FRESH FRUIT BUNCH
(20 – 26 ton/ha/y)
OIL PALM TRUNK
(70 ton/ha/30y)

CRUDE PALM OIL PALM FRUIT


(4-5 ton/ha/y)

Minyak Goreng
Curah
(3-4 ton)
PALM KERNEL OIL MILL

PALM OIL MILL


CRUDE PALM
EFFLUENT
KERNEL OIL
(4-5 ton/ha/y)
(0.6 ton/ha/y)
Source: IOPRI, 2012

BIOMASS TO ENERGY
TKS - KOMPOS Potensi listrik
22% - LISTRIK 5,1 MWh
(keluar PKS) (*h: 18,8 MJ/kg, MC 67%, ef:25%)

CANGKANG Potensi listrik


LISTRIK
7% 2,9 MWh
(dalam PKS)
(*h: 20,8 MJ/kg, MC 12%, ef:25%)

SERAT Potensi listrik


LISTRIK
14% 5,5 MWh
(dalam PKS)
(*h: 19,1 MJ/kg, MC 12%, ef:15%)

Potensi listrik
POME
65%
- LISTRIK 1,1 MWh
(*h: 20 MJ/m3, 0,35 m3/kg COD,
ef: 90%)

*untuk setiap 500 ton TBS, AB Nasrin


20

10
 Arah Kebijakan Kelapa Sawit
 Peningkatan produktivitas :
• penggantian benih ilegitim dengan benih
unggul bermutu bersertifikat;
• peremajaan kebun yang telah memasuki
umur peremajaan, khususnya perkebunan
rakyat;
• intensifikasi Tanaman Menghasilkan (TM);
peningkatan infrastruktur & pemberdayaan
petani,

 Pengembangan diversifikasi dengan


tanaman pangan dan integrasi
perkebunan kelapa sawit dgn ternak
(sapi, kambing dll) dalam rangka
penerapan konsep ekonomi biru
 Peningkatan penelitian dan
pengembangan untuk produk
utama, maupun hasil samping dan
limbah

11
Kebijakan Peremajaan Sawit Rakyat
Tahun 2019
Tujuan/Maksud Syarat Target Simpul Kritis

• Untuk meningkatkan  • Berkelompok; • Target tahun 2019  • Identifikasi 


• Usia tanaman diatas  kebun/lahan, pekebun dan 
produktivitas melalui  seluas 200.000 Ha; kelembagaan pekebun;
penguatan  25 tahun;
• Pelaksanaan di 21  • Persiapan  (Sosialisasi, 
kelompok/  • Produktivitas  Administrasi, Teknis 
kelembagaan dan  tanaman 10 ton  provinsi dan 107  Peremajaan, Kelembagaan, 
kemitraan; TBS/ha/tahun  kabupaten; Pendampingan)
• Memperbaiki tata  minimal  usia  • Kebutuhan Benih • Verifikasi  (Dinas 
Kabupaten, Dinas Provinsi, 
kelola perkebunan  tanaman 7 tahun; 30.000.000 batang Ditjenbun, BPDP‐KS)
kelapa sawit  • Menggunakan benih   dipasok oleh 17  • Koordinasi  Kemenko 
pekebun. tidak unggul  dan  industri benih Perekonomian, Ditjenbun, 
tidak bersertifikat  nasional. Dinas Provinsi dan 
pada usia tanaman  Kabupaten, Kehutanan, 
BPN, Perbankan;
minimal 2 tahun.

Sesuai Undang-undang Perkebunan No 39 tahun


2014

Perkebunan diselenggarakan berdasarkan asas :

a. kedaulatan;
b. kemandirian;
c. kebermanfaatan;
d. keberlanjutan;
e. keterpaduan;
f. kebersamaan;
g. keterbukaan;
h. efisiensi-berkeadilan;
i. kearifan lokal; dan
j. kelestarian fungsi lingkungan hidup.

12
Perkebunan adalah segala kegiatan pengelolaan sumber
daya alam, sumber daya manusia, sarana produksi, alat dan
mesin, budi daya, panen, pengolahan, dan pemasaran
terkait Tanaman Perkebunan.
Pelaku Usaha Perkebunan adalah pekebun dan/atau
perusahaan Perkebunan yang mengelola Usaha Perkebunan.
Pekebun adalah orang perseorangan warga negara
Indonesia yang melakukan Usaha Perkebunan dengan
skala usaha tidak mencapai skala tertentu.
Perusahaan Perkebunan adalah badan usaha yang
berbadan hukum, didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di wilayah Indonesia, yang mengelola Usaha
Perkebunan dengan skala tertentu.

Hasil Perkebunan adalah semua produk Tanaman


Perkebunan dan pengolahannya yang terdiri atas
produk utama, produk olahan untuk memperpanjang
daya simpan, produk sampingan, dan produk ikutan.

Pengolahan Hasil Perkebunan adalah serangkaian


kegiatan yang dilakukan terhadap hasil Tanaman
Perkebunan untuk memenuhi standar mutu produk,
memperpanjang daya simpan, mengurangi kehilangan
dan/atau kerusakan, dan memperoleh hasil optimal
untuk mencapai nilai tambah yang lebih tinggi.

13
2. ASAS PENYELENGGARAAN
PERKEBUNAN
Kelestarian kemandirian
fungsi kedaulatan
lingkungan hidup

kebermanfaatan
kearifan
lokal

Asas
Penyelenggaraan
Perkebunan

efesiensi- keberlanjutan
berkeadilan

keterbukaan keterpaduan
kebersamaan

 kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat
 sumber devisa negara;
 lapangan kerja dan
kesempatan usaha;
 produksi, produktivitas,
kualitas, nilai tambah, daya
TUJUAN saing, dan pangsa pasar;
PERKEBUNAN MENINGKATKAN  Pemenuhan kebutuhan
konsumsi serta bahan baku
industri dalam negeri;
 pelindungan kepada Pelaku
Usaha Perkebunan dan
masyarakat;
 sumber daya Perkebunan
secara optimal, bertanggung
jawab, dan lestari; dan
 pemanfaatan jasa
Perkebunan

14
Memberikan arah,
pedoman, dan alat
PERENCANAAN pengendali
MAKSUD
PERKEBUNAN pencapaian tujuan
penyelenggaraan
Perkebunan

Nasional Provinsi Kabupaten/Kota

Pelaku Usaha Perkebunan dapat diberi hak atas tanah untuk


Usaha Perkebunan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dalam hal terjadi perubahan status
kawasan hutan negara atau Tanah terlantar, Pemerintah Pusat
dapat mengalihkan status alas hak kepada Pekebun sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 11).
Dalam hal Tanah yang diperlukan untuk Usaha Perkebunan
merupakan Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pelaku
Usaha Perkebunan harus melakukan musyawarah dengan
Masyarakat Hukum Adat pemegang Hak Ulayat untuk
memperoleh persetujuan mengenai penyerahan Tanah dan
imbalannya (Pasal 12).
Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud di atas
ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan (Pasal 13).

15
 Pemerintah Pusat menetapkan batasan luas maksimum dan luas
minimum penggunaan lahan untuk Usaha Perkebunan, dengan
mempertimbangkan (Pasal 14):
⁻ jenis tanaman;
⁻ ketersediaan lahan yang sesuai secara agroklimat;
⁻ modal;
⁻ kapasitas pabrik;
⁻ tingkat kepadatan penduduk;
⁻ pola pengembangan usaha;
⁻ kondisi geografis;
⁻ perkembangan teknologi; dan
⁻ pemanfaatan lahan berdasarkan fungsi ruang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang tata
ruang

Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan batasan luas diatur


dalam Peraturan Pemerintah.

 Perusahaan Perkebunan wajib mengusahakan Lahan Perkebunan:

a) paling lambat 3 (tiga) tahun setelah pemberian status hak atas


tanah, Perusahaan Perkebunan wajib mengusahakan Lahan
Perkebunan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) dari luas
hak atas tanah; dan
b) paling lambat 6 (enam) tahun setelah pemberian status hak atas
tanah, Perusahaan Perkebunan wajib mengusahakan seluruh luas
hak atas tanah yang secara teknis dapat ditanami Tanaman
Perkebunan.

 Apabila Lahan Perkebunan tidak diusahakan sesuai ketentuan,


bidang Tanah Perkebunan yang belum diusahakan diambil alih
oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

16
 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya berkewajiban melindungi, memperkaya,
memanfaatkan, mengembangkan, dan melestarikan sumber daya
genetik Tanaman Perkebunan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan (Pasal 19).
 Pemerintah Pusat menetapkan jenis benih Tanaman Perkebunan
yang pengeluaran dari dan/atau pemasukannya ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia memerlukan izin (Pasal 24).
 Pengeluaran benih dari dan/atau pemasukannya ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib mendapatkan izin
Menteri.
 Pemasukan benih dari luar negeri harus memenuhi standar mutu
atau persyaratan teknis minimal.
 Ketentuan lebih lanjut mengenai standar mutu atau persyaratan
teknis minimal diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 Perolehan benih bermutu untuk pengembangan budi daya


Tanaman Perkebunan dilakukan melalui kegiatan penemuan
varietas unggul dan/atau introduksi dari luar negeri (Pasal 26).
 Penemuan varietas unggul dilakukan melalui kegiatan pemuliaan
tanaman yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Kegiatan
pencarian dan pengumpulan sumber daya genetik dapat dilakukan
oleh orang perseorangan atau badan hukum berdasarkan izin
Menteri (Pasal 27).
 Introduksi dari luar negeri dilakukan dalam bentuk benih atau
materi induk untuk pemuliaan tanaman yang dilakukan oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya, atau Pelaku Usaha Perkebunan (Pasal 28).
 Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum
diedarkan terlebih dahulu harus dilepas oleh Pemerintah Pusat
atau diluncurkan oleh pemilik varietas (Pasal 31).
 Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat dan tata cara
pelepasan atau peluncuran diatur dengan Peraturan Menteri.

17
 Setiap Orang yang membuka dan mengolah lahan dalam luasan
tertentu untuk keperluan budi daya Tanaman Perkebunan wajib
mengikuti tata cara yang dapat mencegah timbulnya kerusakan
lingkungan hidup (Pasal 32).
 Setiap Orang yang menggunakan media tumbuh Tanaman
Perkebunan untuk keperluan budi daya Tanaman Perkebunan
wajib mengikuti tata cara yang dapat mencegah timbulnya
pencemaran lingkungan hidup.
 Dalam rangka pengendalian organisme pengganggu tumbuhan,
setiap Pelaku Usaha Perkebunan berkewajiban memiliki standar
minimum sarana dan prasarana pengendalian organisme
pengganggu Tanaman Perkebunan. Ketentuan mengenai standar
minimum sarana dan prasarana diatur dengan Peraturan Menteri
(Pasal 35).

 Pelindungan Tanaman Perkebunan dilaksanakan melalui


pencegahan masuknya organisme pengganggu tumbuhan ke
dalam dan tersebarnya dari suatu area ke area lain di dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau eradikasi
organisme pengganggu tumbuhan (Pasal 36).
 Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya dapat melakukan atau memerintahkan
dilakukannya eradikasi terhadap tanaman dan/atau benda lain
yang menyebabkan tersebarnya organisme pengganggu tumbuhan.
Eradikasi dilaksanakan apabila organisme pengganggu tumbuhan
tersebut dianggap sangat berbahaya dan mengancam keselamatan
tanaman secara meluas (Pasal 37).
 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan Tanaman
Perkebunan diatur dengan Peraturan Menteri.

18
 Pembangunan perkebunan kelapa sawit merupakan
pembangunan lintas sektor, sehingga harus tunduk dan
patuh pada seluruh ketentuan/perundangan seluruh instansi
terkait yang berlaku, tidak hanya dibidang
pertanian/perkebunan saja.

 Dengan maksud agar mengikat secara utuh untuk


pembangunan perkebunan kelapa sawit secara
lestari/berkelanjutan, maka ketentuan terkait diikat dalam
satu ketentuan, yaitu ISPO

37

 Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia / ISPO


dimulai dengan terbitnya Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT.140/3/2011 pada bulan Maret 2011
tentang Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia/
Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang mengatur
pelaksanaan sertifikasi untuk perusahaan perkebunan
kelapa sawit yang melakukan usaha budidaya dan
pengolahan hasil.

 Peraturan Menteri Pertanian No.


11/Permentan/OT.140/3/2015 tentang Sistem Sertifikasi
Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia diterbitkan bulan
Maret 2015 merupakan perbaikan dan penyempurnaan dari
Permentan No 19/2011.

38

19
Tujuan ditetapkannya ISPO :

• Memposisikan pembangunan kelapa sawit sebagai


bagian integral dari pembangunan ekonomi
1. Indonesia

• Memantapkan sikap dasar bangsa Indonesia untuk


memproduksi minyak kelapa sawit berkelanjutan
2 sesuai tuntutan masyarakat global

• Mendukung komitmen Indonesia dalam


pelestarian Sumber Daya Alam dan fungsi
3 lingkungan hidup

39

TERIMA KASIH

Pelatihan Auditor ISPO XIV, SANTIKA BOGOR 40

20

Anda mungkin juga menyukai