Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

PRATIKUM PENGGUNAAN KURSI ANTROPOMETRI

Laporan Ini Dibuat Sebagai Syarat


Dalam Mata Kuliah Laboratorium Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Program Studi Kesehatan Masyarakat

OLEH

Nama : Nia Vita Shalina


NIM : 10011181823006
Kelompok : 3 (Tiga)
Dosen : Mona Lestari, S.K.M., M.KKK.
Poppy Fujianti, S.K.M., M.Sc.
Asisten : Dessy Widiyaristi, S.Si.
Miranda Tegar Permana
Rizki Saputra
Rifani Arliana Utami
Susilawati
Hanaa Nur Juaningsih

LABORATORIUM KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2021
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3. 1 EPAM 5000 Haz Dust.......................................................................15


Gambar 3. 2 Flowchart Penggunaan EPAM 5000 Haz Dust.................................16
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini, di Indonesia banyak didirikan berbagai macam industri. Hal ini
akan semakin banyak pula menimbulkan berbagai masalah yang berhubungan
dengan proses-proses produksi pada industri tersebut. Pada setiap industri dalam
proses produksi akan menghasilkan efek negatif yang berupa pencemaran.
Diantara berbagai gangguan kesehatan akibat lingkungan kerja, debu merupakan
salah satu sumber yang tidak dapat diabaikan. Dalam kondisi tertentu debu
merupakan bahaya yang dapat menimbulkan kerugian besar. Tempat kerja yang
prosesnya mengeluarkan debu, dapat menyebabkan berkurangnya kenyamanan
kerja, gangguan penglihatan, gangguan fungsi paru-paru, bahkan dapat
menimbulkan keracunan umum. Apabila debu-debu yang ada pada ruangan kerja
yang konsentrasinya melebihi Baku Mutu Udara Ambien Nasional maka hal ini
akan menimbulkan gangguan kesehatan pada karyawan. Untuk itu perlu adanya
keseimbangan dan keselarasan antara manusia dan lingkungan kerjanya.

Gangguan-gangguan pada kesehatan dan daya kerja akibat berbagai faktor


dalam pekerjaan bisa dihindarkan, asal saja pekerja dan pimpinan perusahaan ada
kemauan baik untuk mencegahnya. Tentu perundang-undangan tidak akan ada
faedahnya, apabila pimpinan perusahaan tidak melaksanakan ketetapan -
ketetapan perundang-undangan itu, juga apabila para pekerja tidak mengambil
peranan penting dalam menghindarkan gangguan-gangguan tersebut.

Cara mencegah gangguan tersebut adalah dengan cara subtitusi, ventilasi


umum, ventilasi keluar setempat (local exhauster), isolasi, alat pelindung diri,
pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, pemeriksaan kesehatan berkala/ ulangan,
penerangan sebelum kerja, pendidikan tentang kesehatan dan keselamatan kepada
pekerja secara kontinyu (Suma’mur, 1992).

Pemeliharaan dan peningkatan kondisi kesehatan tenaga kerja mutlak


diperlukan agar karyawan dapat terlindungi dari dampak negatif dalam
melaksanakan pekerjaan. Kesehatan merupakan hak dasar (asasi) manusia dan
merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM). Kesehatan dan keselamatan bagi masyarakat pekerja memiliki
korelasi terhadap produktivitas dan kesejahteraan karyawan. Oleh karena itu perlu
dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya sehingga pada akhirnya dapat
memberikan sumbangan nyata dalam meningkatkan daya saing bangsa (Drs. Irzal,
2016).

Namun pada dasar nya paparan debu ini masih dirasakan oleh banyak
orang, terutama pekerja lapangan dan pekerja di industri. Dimana pekerja
merasakan langsung debu hasil dari pengolahan industri. Paparan tersebut
membuat pekerja mual dan pusing, terlebih lagi debu sangat membahayakan
kesehatan pernafasan manusia. Sehingga upaya pencegahan seperti memakai alat
pelindung diri (APD) dalam bekerja dan mengatur jam kerja dapat diperlukan. Hal
tersebut mampu mengurangi risiko dari paparan debu yang berlebih terhadap
pekerja.

1.2 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dalam penulisan Laporan Pratikum ini adalah sebagai


berikut :

1. Mengetahui dan memahami dasar dari debu.


2. Mengetahui nilai intensitas paparan debu di area gedung perkuliahan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya.
3. Mampu menggunakan alat EPAM 5000 Haz Dust.
4. Mengetahui Nilai Ambang Batas Paparan Debu.
5. Mengetahui Risiko yang ditimbulkan oleh paparan debu yang berlebih.
6. Mengetahui Upaya penanggulangan dari dampak buruk paparan debu
yang berlebih.

1.3 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dalam penulisan Laporan Pratikum ini adalah sebagai


berikut :
1. Memenuhi tugas dalam mata kuliah Laboratorium Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sriwijaya.
2. Meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, dan
keterampilan mahasiswa mengenai paparan debu dan penggunaan alat
EPAM 5000 Haz Dust.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Antropometri

Antropometri (ukuran tubuh) merupakan salah satu cara langsung menilai


status gizi, khususnya keadaan energi dan protein tubuh seseorang. Dengan
demikian, antropometri merupakan indikator status gizi yang berkaitan dengan
masalah kekurangan energi dan protein yang dikenal dengan KEP. Antropometri
dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Konsumsi makanan dan
kesehatan (adanya infeksi) merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi
antropometri (Aritonang, 2013).
Keunggulan antropometri antara lain prosedurnya sederhana, aman, dan
dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar. Relatif tidak membutuhkan
tenaga ahli. Alatnya murah, mudah dibawa, tahan lama, dapat dipesan dan dibuat
di daerah setempat. Tepat dan akurat karena dapat dibakukan, dapat mendeteksi
atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau, umumnya dapat
mengidentifikasi status gizi sedang, kurang dan buruk karena sudah ada ambang
batas yang jelas. Dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu
atau dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dapat digunakan untuk penapisan
kelompok yang rawan gizi (Istiany dkk, 2013).
Kelemahan antropometri antara lain yaitu tidak sensitif, artinya tidak dapat
mendeteksi status gizi dalam waktu singkat. Faktor di luar gizi (penyakit, genetik
dan penurunan penggunaan energi) dapat menurunkan spesifikasi dan sensitivitas
pengukuran antropometri. Kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran dapat
mempengaruhi presisi, akurasi dan validitas pengukuran antropometri. Kesalahan
ini terjadi karena latihan petugas yang tidak cukup, kesalahan alat atau kesulitan
pengukuran (Istiany dkk, 2013).
Dibandingkan dengan metode lainnya, pengukuran antropometri lebih
praktis untuk menilai status gizi (khususnya KEP) di masyarakat. Ukuran tubuh
yang biasanya dipakai untuk melihat pertumbuhan fisik adalah berat badan (BB),
tinggi badan (TB), lingkar lengan atas (LILA), lingkar kepala (LK), tebal lemak
dibawah kulit (TL) dan pengukuran tinggi lutut. Penilaian status gizi antropometri
disajikan dalam bentuk indeks misalnya BB/U, TB/U, PB/U, BB/TB, IMT/U
(Aritonang, 2013).
Ada beberapa penilaian status gizi dapat diterapkan yaitu :
1) Skrining atau penapisan, adalah status gizi perorangan untuk
keperluan rujukan dari kelompok atau puskesmas dalam kaitannya
dengan suatu tindakan atau intervensi.
2) Pemantauan pertumbuhan yang berkaitan dengan kegiatan
penyuluhan.
3) Penilaian status gizi pada kelompok masyarakat yang dapat
digunakan untuk mengetahui hasil suatu program sebagai bahan
perencanaan suatu program (aritonang, 2013).
2.2 Jenis – Jenis Debu

Menurut macamnya, debu diklasifikasikan atas 3 jenis yaitu (Walangare et


al., 2013) :

a. Debu organik adalah debu yang berasal dari makhluk hidup (debu
kapas, debu daun-daunan, tembakau dan sebagainya).
b. Debu metal adalah debu yang di dalamnya terkandung unsur-unsur
logam (Pb, Hg, Cd, dan Arsen)
c. Debu mineral ialah debu yang di dalamnya terkandung senyawa
kompleks (SiO2, SiO3, dll).

Debu memiliki karakter atau sifat yang berbeda-beda, antara lain debu
fisik (debu tanah, batu, dan mineral), debu kimia (debu organik dan anorganik),
dan debu biologis (virus, bakteri, kista), debu eksplosif atau debu yang mudah
terbakar (batu bara, Pb), debu radioaktif (uranium, plutonium), debu inert (debu
yang tidak bereaksi kimia dengan zat lain) (Wardhana, 1994).

Menurut sifatnya, debu diklasifikasikan menjadi :

a. Inert dust
Golongan debu inert tidak menyebabkan kerusakan atau reaksi fibrosis
pada paru efeknya sangat sedikit atau tidak sama sekali pada penghirupan
normal. Reaksi jaringan pada paru terhadap jenis debu ini adalah susunan
nafas alat tetap utuh, tidak terbentuk fibrosis di paru, reaksi jaringan
potensi dapat pulih kembali, dan tidak merupakan predisposing faktor
penyakit TBC (Lestari, 2010).
b. Proliferative dust
Golongan debu proliferatif di dalam paru akan membentuk fibrosis,
fibrosis ini akan membuat pengerasan pada jaringan alveoli sehinnga
mengganggu fungsi paru.
c. Debu lain
Debu yang tidak termasuk dalam debu inert maupun debu ganas, yaitu
keluhan debu yang tidak ditahan dalam paru, namun dapat menimbulkan
efek iritasi yaitu debu bersifat asam atau basa kuat. Efek keracunan secara
umum misalnya debu arsen, lead, sedangkan efek alergia khususnya debu
golongan organik.

2.3 Nilai Ambang Batas (NAB) Debu

(Suma’mur, 1981) menyatakan Nilai Ambang Batas (NAB adalah kadar


yang pekerja sanggup menghadapinya dengan tidak menunjukkan penyakit atau
kelainan dalam pekerjaan mereka sehari-hari untuk waktu 8 jam sehari dan 40 jam
seminggunya. Debu-debu yang hanya mengganggu kenikmatan kerja (nuisance
dust) adalah debu-debu yang tidak berakibat fibrosis kepada paru-paru, melainkan
berefek sangat sedikit atau tidak sama sekali pada penghirupan normal. Dahulu
debu-debu demikian disebut debu inert (lamban), tetapi ternyata tidak ada debu
yang sama sekali tanpa reaksi seluler, sehingga istilah inert tidak dipakai lagi.
Reaksi jaringan paru-paru terhadap penghirupan debu yang demikian adalah :

a. Susunan saluran udara tetap utuh.


b. Tidak berbentuk jaringan parut.
c. Reaksi jaringan potensil dapat pulih kembali.

Nilai ambang batas (NAB) paparan debu merupakan batas nilai maksimal
untuk paparan debu sehingga masih dapat diterima oleh pernapasan dalam batas
waktu tertentu. Jika jumlah paparan debu diatas NAB dan waktu terpapar debu,
maka seseorang akan menderita gangguan pernapasan. Standar Nilai Ambang
Batas paparan debu telah diatur dalam beberapa pertaruran yang terkait, meliputi
paparan debu di tempat kerja, baku tingkat paparan debu hingga paparan debu
yang berhubungan dengan kesehatan.

a. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 5 Tahun 2018 Tentang


Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja.
Pada peraturan ini menetapkan Nilai Ambang Batas (NAB) untuk
kadar debu total di tempat kerja adalah 10 mg/m3 dan untuk Nilai
Ambang Batas (NAB) debu aluminium tidak disebut secara spesifik
dalam peraturan tersebut.
b. SNI 19-0232-2005 Tentang Nilai Amabang Batas (NAB) Zat Kimia di
Udara Tempat Kerja. Menurut SNI 19-0232-2005.
Nilai Ambang Batas (NAB) adalah standar faktor bahaya di tempat
kerja sebagai pedoman pengendalian agar tenaga kerja masih dapat
menghadapinya tanpa mengakibatka penyakit atau gangguan kesehatan
dalam pekerjaan sehari - hari untuk waktu tidak lebih dari 8 jam sehari
atau 40 jam seminggu. Dalam SNI 19-0232-2005 Tentang Nilai
Amabang Batas (NAB) Zat Kimia di Udara Tempat Kerja juga
menetapkan Nilai Ambang Batas (NAB) untuk kadar debu total
ditempat kerja adalah 10 mg/m3.

Untuk mencegah terjadinya pencemaran udara di lingkungan kerja perlu


dilakukan upaya pengendalian pencemaran udara dengan penetapan nilai ambang
batas yaitu menurut Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja tentang Nilai Ambang
Batas Faktor Kimia di Lingkungan Kerja yaitu sebesar 3 mg/m3, dengan Surat
Edaran No.SE.01/MEN/1997, bahwa NAB kadar debu di udara tidak boleh
melebihi 3,0 mg/m³. NAB dari debu-debu yang hanya mengganggu kenikmatan
kerja adalah 10 mg/m³ atau 30 dalam juta partikel perkaki kubik / 30 jppkk.

Menurut PP 41-1996 tentang Baku Mutu Udara Ambien NAB debu total
untuk waktu pemaparan selama 24 jam adalah 230 µg/m3. NAB batubara menurut
Menteri Tenaga Kerja No. 51/MEN/1999 tentang NAB Faktor Fisik di Tempat
Kerja adalah 2 mg/m3.
2.4 Sifat – Sifat Debu

Sifat-sifat debu tidak berflokulasi, kecuali oleh gaya tarikan elektris, tidak
berdifusi, dan turun karena tarikan gaya tarik bumi. Debu di atmosfer lingkungan
kerja biasanya berasal dari bahan baku atau hasil produksi (Depkes RI, 1994).

Sifat-sifat debu adalah sebagai berikut :

a. Sifat Pengendapan
Yaitu debu yang cenderung selalu mengendap karena gaya gravitasi bumi.
Debu yang mengendap dapat mengandung proporsi partikel yang lebih
besar dari debu yang terdapat di udara.
b. Permukaan cenderung selalu basah
Permukaan debu yang cenderung selalu basah disebabkan karena
permukaannya selalu dilapisi oleh lapisan air yang sangat tipis. Sifat ini
menjadi penting sebagai upaya pengendalian debu di tempat kerja.
c. Sifat Penggumpalan
Debu bersifat menggumpal karena permukaan debu yang selalu basah
maka debu satu dengan yang lainnya cenderung menempel membentuk
gumpalan. Tingkat kelembaban di atas titik saturasi dan adanya turbelensi
di udara mempermudah debu membentuk gumpalan.
d. Debu Listrik Statik
Debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat menarik partikel lain yang
berlawanan dengan demikian partikel dalam larutan debu mempercepat
terjadinya penggumpalan.
e. Sifat Opsis
Opsis adalah partikel yang basah/lembab lainnya dapat memancarkan sinar
yang dapat terlihat dalam kamar gelap.

2.5 Dampak Kesehatan yang Ditimbulkan dari Paparan Debu Khususnya


Fungsi Pernafasan

Partikel debu melayang (Suspended Particulated Matter) adalah suatu


kumpulan senyawa dan bentuk padatan maupun cair yang tersebar di udara
dengan diameter yang sangat kecil, kurang dari 1 mikron sampai maksimal 500
mikron. Ukuran partikel debu yang membahayakan kesehatan umumnya berkisar
antara 0,1 mikron sampai 10 mikron. Partikel debu tersebut akan berada di udara
dalam waktu yang relatif lama dalam keadaan melayang - layang dan dapat masuk
melalui saluran pernafasan.

Dengan menarik nafas, udara yang mengandung debu masuk ke dalam


paru-paru. Jalur yang ditempuh hidung, pharinx, tracea, bronchus, bronchioli dan
alveoli. Apa yang terjadi dengan debu ini sangat tergantung dari pada besarnya
ukuran debu.

Debu yang berukuran antara 5 ± 10 mikron bila terhisap akan tertahan dan
tertimbun pada saluran nafas bagian atas; debu yang berukuran antara 3 ± 5
mikron tertahan dan tertimbun pada saluran nafas tengah. Partikel debu dengan
ukuran 1 ± 3 mikron disebut debu respirabel merupakan yang paling berbahaya
karena tertahan dan tertimbun mulai dari bronkhiolus terminalis sampai alveoli.

Debu yang ukurannya kurang dari 1 mikron tidak mudah mengendap di


alveoli, debu yang ukurannya antara 0,1 ± 0,5 mikron berdifusi dengan gerak
Brown keluar masuk alveoli; bila membentur alveoli ia dapat tertimbun disitu.
Bila debu masuk ke dalam alveoli, jaringan mengeras, yang disebut fibrosis.
Meskipun batas debu respirabel adalah 5 mikron, tetapi debu dengan ukuran 5 ±
10 mikron dengan kadar berbeda dapat masuk ke dalam alveoli.

Debu yang berukuran lebih dari 5 mikron akan dikeluarkan semuanya bila
jumlahnya kurang dari 10 partikel per milimeter kubik udara. Bila jumlahnya
1.000 partikel per milimeter kubik udara, maka 10% dari jumlah itu akan
ditimbun dalam paru (Irjayanti, 2012).

Ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit pada


saluran pernafasan. Dari hasil penelitian ukuran tersebut dapat mencapai target
organ sebagai berikut :

a.Partikel diameter > 5,0 mikron terkumpul di hidung dan tenggorokan.,


ini dapat menimbulkan efek berupa iritasi yang ditandai dengan gejala
faringitis.
b. Partikel diameter 0,5 ± 5,0 mikron terkumpul di paru ± paru hingga
alveoli, ini dapat menimbulkan efek berupa bronchitis, alergi, atau asma.
c.Partikel diameter < 0,5 mikron terkumpul di alveoli dan dapat
terabsorbsi ke dalam darah.

2.5 Faktor yang Menentukan Besar Gangguan Kesehatan

Lingkungan debu dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan


kenyamanan kerja. Fakta yang menentukan besarnya gangguan kesehatan antara
lain :

a. Kadar debu di udara : makin pekat kadar debu, makin cepat menimbulkan
gangguan kesehatan dan kenikmatan.
b. Ukuran/ diameter debu : debu yang berdiameter kecil akan dapat masuk
jauh ke dalam alveoli sementara yang besar akan tertahan di cilia dari
saluran nafas atas.
c. Sifat debu : berdasarkan sifat debu dalam memberikan gangguan
kesehatan, maka ada debu yang digolongkan mempunyai sifat inert,
fibrogenesis, dan karsinogenik.
d. Reaktifitas debu : debu organik kurang reaktif namun dapat menyebabkan
reaksi alergik. Debu anorganik lebih reaktif namun dapat menyebabkan
reaksi iritasi.
e. Cuaca kerja : lingkungan kerja yang panas dan kering, mendorong
timbulnya debu, dan debu yang terbentuk dalam keadaan demikian akan
menjadi lebih reaktif.
f. Lama waktu pemaparan : debu menimbulkan kelainan dalam paru dalam
jangka waktu yang cukup lama.
g. Kepekaan individu : bentuk kepekaan seseorang sangat berbeda satu
dengan yang lain. Kepekaan disini tidak hanya dalam bidang imonologis
namun juga dalam bidang psikologis dan iritasi.
2.7 Upaya Pengendalian Paparan Debu

Pengendalian debu di lingkungan kerja dapat dilakukan terhadap 3 hal


yaitu pencegahan terhadap sumbernya, media pengantar (transmisi) dan terhadap
manusia yang terkena dampak.

a. Substitusi yaitu mengganti bahan yang memiliki bahaya dengan bahan


yang kurang berbahaya atau tidak berbahaya sama sekali.
b. Ventilasi umum yaitu mengalirkan udara ke ruang kerja agar kadar debu
yang ada dalam ruangan kerja menjadi lebih rendah dari kadar nilai
ambang batas (NAB). Memakai metode basah yaitu, penyiraman lantai
dan pengeboran basah (Wet Drilling). Dengan alat berupa Scrubber,
Elektropresipitator, dan Ventilasi Umum.
c. Isolasi yaitu menutup proses, bahan atau alat kerja yang merupakan
sumber debu agar tidak tersebar ke ruangan lain.
d. Memodifikasi proses yaitu mengubah proses atau cara kerja sedemikian
rupa agar hamburan debu yang dihasilkan berkurang seperti melengkapi
water sprayer pada sumber.
e. Mengadakan pemantauan terhadap lingkungan kerja yaitu pemantauan
terhadap lingkungan kerja agar dapat diketahui apakah kadar debu yang
dihasilkan sudah melampaui nilai ambang batas atau baku mutu yang
diperkenankan.
f. Alat pelindung diri yaitu upaya perlindungan terhadap karyawan agar
terlindungi dari resiko bahaya yang dihadapi. Misalnya masker, sarung
tangan, kaca mata dan pakaian pelindung.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat

Adapun alat – alat dalam Pratikum Pengukuran Paparan Debu


menggunakan alat EPAM 5000 Haz Dustadalah sebagai berikut :

1. Huz Dust

Sumber : (Gholampour et al., 2015)

Gambar 3. 1 EPAM 5000 Haz Dust


2. Meteran
3. Stopwatch

3.1.2 Bahan

Adapun bahan dalam Pratikum Pengukuran Paparan Debu menggunakan


alat EPAM 5000 Haz Dustadalah sebagai berikut :

1. Debu
2. Tisu

3.2 Prosedur Kerja

Prosedur Pengukuran paparan debu pada pekerja menggunakan alat


EPAM 5000 Haz Dust yaitu :
Pasang tabung penghisap
Nyalakan alat
debu dengan ukuran
dengan menekan Setting alat
kepala sesuai keperluan
tombol power.
(PM 1, PM 2,5, PM 10)

Pilih menu special


Pilih special
function - system
function - system
Tekan enter option - extended
option - sample
options - size select -
rate - 1 menit
cth pilih 2,5

Dapat memilih now


(sekarang) atau dapat
Pilih run Run - continue
mengatur program
waktu mulai & selesai.

Data hasil
Catat hasil setelah pengukuran dapat Lalu tuliskan
selesai melakukan dilihat di menu angka urutan yang
pengukuran "review data" - tertera pada alat
statistic - new tag

Gambar 3. 2 Flowchart Penggunaan EPAM 5000 Haz Dust


DAFTAR PUSTAKA

Drs. Irzal, M. K. (2016). Buku Dasar – Dasar Kesehatan & Keselamatan Kerja. In
Kesehatan Masyarakat.

Gholampour, A., Nabizadeh, R., Hassanvand, M. S., Taghipour, H., Nazmara, S.,
& Mahvi, A. H. (2015). Characterization of saline dust emission resulted
from Urmia Lake drying. Journal of Environmental Health Science and
Engineering, 13(1), 1–11.

Gianto, G., Suraatmadja, M. S., & Kurniawan, E. (2015). Perancangan dan


Implementasi Pengendap Debu Dengan Tegangan Tinggi Secara
Elektrostatik. EProceedings of Engineering, 2(2).

Irjayanti, A. (2012). HUBUNGAN KADAR DEBU TERHIRUP (RESPIRABLE)


DENGAN KAPASITASVITALPAKSA PARU PADA PEKERJA MEBEL
KAYU DI KOTA JAYAPURA. Program Pascasarjana Undip.

Lestari, A. (2010). Pengaruh paparan debu kayu terhadap gangguan fungsi paru
tenaga kerja di CV. Gion & Rahayu, kec. Kartasura, kab. Sukoharjo Jawa
Tengah.

Pudjiastuti, W. (2002). Strategi mengatasi masalah kesehatan dan lingkungan


hidup di pemukiman kumuh lewat program pemasaran sosial. Makara
Human Behavior Studies in Asia, 6(2), 76–81.

Suma’mur, P. K. (1981). Keselamatan kerja dan pencegahan kecelakaan. Gunung


Agung.

Suma’mur, P. K. (1992). Keselamatan Kesehatan Kerja. PT. Toko Gunung


Agung: Jakarta.

Walangare, K. R., Tuda, J., & Runtuwene, J. (2013). Tungau debu rumah di
kelurahan taas kecamatan tikala kota manado. EBiomedik, 1(1).

Wardhana, W. A. (1994). Teknik Analisis Radioaktivitas Lingkungan. Penerbit


Andi.

Anda mungkin juga menyukai