Anda di halaman 1dari 12

Asas Rancang

Gambaran Umum Asas Rancang


Anggaplah merancang itu seperti sebuah perjalanan dari titik asal hingga sampai
pada titik tujuan. Tentu, ada keperluan dan kepentingan tertentu dalam diri kita
sehingga kita berkeputusan untuk menempuh perjalanan ke titik tujuan itu,dan itu
berpengaruh langsung pada keadaan perjalanan kita. Misalnya saja, kita
menempuh perjalanan itu karena ingin berlibur dan karena ada kerabat yang
meninggal, maka keadaan perjalanan akan menjadi sangat berbeda, bukan?
Namun, untuk pembicaraan kita kali ini, tentang sebab musabab atau alasan
untuk mencapati titik tujuan itu kita kesampingkan saja, dan anggap saja kita
memiliki maksud dan sebab musabab yang sama yakni untuk berlibur.
Mengingat bahwa kita berpikiran untuk membelanjakan uang secara maksimal di
tempat liburan, maka guna biaya perjalanan itu kita menetapkan yang semurah
mungkin. Perjalanan yang murah menjadi ketentuan pertama kita dalam
menempuh perjalanan. Menyadari bahwa yang disebut ‘murah’ itu relatif, maka
anggaplah kita mampu untuk mendapatkan yang termurah itu dengan kendaraan
umum maupun dengan kendaraan pribadi. Kalau itu tak menjadi masalah alias
bisa sama-sama dijalani, maka yang diperlukan sekarang adalah kepastian
sarana perjalanan manakah yang akan dipakai. Sewaktu masih
mempertimbangkan manakah yang akan dipakai, ternyata kita tersadarkan
bahwa ketetapan untuk menunjuk sarana itu belum cukup lengkap dan
sempurna, dan karena itu keputusannya juga tidak cukup mudah untuk
dilakukan. Kita lupa bahwa kita tidak sendirian karena perjalanan ini akan kita
tempuh berdua yakni saya dan keponakan saya. Di situ lalu kita emnimbang-
timbang, perjalanan ini sebaiknya dilakukan sebagai perjalana yang pribadi/privat
ataukah yang umum/publik. Maksudnya, perjalanan yang menggunakan fasilitas
publik akan menjadikan sifat perjalanan kita adalah perjalanan yang tidak bersifat
pribadi,dan karena itu kita harus mengikuti apa yang menjadi aturan dan
ketentuan dari sarana yang kita pakai. Ini berbeda dari pilihan menggunakan
sarana pribadi karena sepenuhnya akan bergantung pada diri kita. Kalau kita

Metoda Perancangan 1 (by. Yunitha, ST.,MT) 1


pakai yang publik, kita bisa saja tak susah-susah mengemudi, tapi bisa saja di
ssepanjang perjalanan kita tak mendapatkan tempat duduk. Atau. Kalau
mendapat tempat duduk ternyata sarana transportasi itu lagi rewel pendingin
udaranya.
Yang pasti, dengan peninjauan itu semua, sekarang ini ada dua kemungkinan
yang harus diputuskan pilihannya: apakah murah – publik, ataukah murah –
privat.

asal tujuan

asal tujuan

Dengan menetapkan salah satunya, akan terbukalah kemudahan lain bagi


keperluan perjalanan ini, yakni kendaraan macam manakah yang akan
digunakan. Kalau saja misalnya pilihan itu adalh pilihan yang murah – privat,
maka dapat digunakan sepeda motor, sedan ataukah minibus (yang tanpa
hidung). Dengan menggunakan sepeda motor berarti akan melengkapi diri
dengan helm dan jaket yang tahan angin; dengan menggunakan sedan berarti
ada keyakinan bahwa keadaan jalan akan mulus sehingga tubuh sedan tak
terantuk pada badan jalan bila harus melewati jalan yang rusak; dan dengan
menggunakan minibus yang tanpa hidung berarti kita tahu bahwa untuk itu resiko
berbenturan dapat dengan langsung mengenai badan kita. Yang pasti, dengan
menetapkan kendaran manakah yang digunakan, kita tidak hanya
berkesempatan untuk mengendalikan perjalanan, tetapi sekaligus juga mengikuti
segenap keunggulan dn kekurangan dari masing-masing kendaraan tadi.

Metoda Perancangan 1 (by. Yunitha, ST.,MT) 2


kereta api
murah,
publik
bus
asal tujuan
murah, spd.motor
privat
minibus

jip disel

Melalui penggambaran mengenai perjalanan itu, kita sebenarnya telah


berurusan dengan konsep dan asas. Hal ihwal murah – publik atau murah
– privat adalah konsep perjalanan yang kita tentukan. Selanjutnya,
dengan konsep murah – privat, kita memiliki pilihan asas perjalanan
yakni kendaraan manakah yang akan digunakan.

Pengertian khusus
Asas/Prinsip rancang adalah merupakan prinsip-prinsip yang
mengatur, mengarahkan, memberi pedoman bagi proses
merancang sehingga mampu memberikan pengaruh bagi hasil
rancangan ( dalam bentuk aliran, isme ) sebagai suatu konsekuensi
bagi pemakai asas rancang.
Asas adalah aliran, isme, sehingga apabila seorang perancang
memakai salah satu asas, maka secara otomatis perancang akan dibawa
kepada salah satu aliran (hal ini sudah menjadi konsekuensi logis bagi
pemakaian asas ini). Sebagai akibatnya, maka perancang dengan hasil
rancangannya dengan memakai asas X dapat dinilai salah total bila dilihat
dengan memakai asas Y.

Metoda Perancangan 1 (by. Yunitha, ST.,MT) 3


Dalam proses rancang, seorang perancang terkadang tidak hanya
memakai satu asas saja, tetapi dapat lebih dari satu asas.Di sini asas
dijadikan penolok bagi tingkat pencapaian rancangan dan mutu
arsitektural rancangan.

Panduan dan/atau pedoman bagi macam tujuan khusus yang


akan dicapai, disampaikan sebagai sebuah pernyataan yang
bercorak teoretik. Jadi, seakan teori yang digunakan dalam
merancang

Panduan dan/atau pedoman yang pasti terkhususkan di dalam


sesuatu alur pikiran (‘-isme’) yang tertentu

Fungsi Asas Rancang


Asas rancang pada umumnya berisi definisi dan atau idealisme.
Sebenarnya dapat dikatakan bahwa asas rancang memiliki dua fungsi
utama, bila ditinjau dari kualitas karya arsistektur, yakni fungsi penciri
dan fungsi pemandu.
Fungsi penciri menunjuk pada ihwal memberikan dan mengarahkan
penilaian dan apresiasi sehingga sesuatu karya arsitektur mampu
menunjukkan adanya ciri-ciri khas rancangan. Memperhatikan sebuah
karya arsitektur dan mengapresiasinya, seseorang akan bisa mengatakan
bahwa karya rancang itu dapat dicirikan sebagai karya yang berciri
modern (menampakkan langgam modern, misalnya), berciri glamour
(menampakkan olah rupa yang berasaskan ke-glamour-an), berciri
fungsional (menampakkan gubahan rancangan yang berasaskan `form
follows function), dan sebagainya Di sinilah Egon Schirmbeck
menekankan adanya tiga asas rancangan yakni asas rasional, psikologikal
dan asas simbolik.

Metoda Perancangan 1 (by. Yunitha, ST.,MT) 4


Sebagai fungsi pemandu, yakni sebagai pemandu di dalam kegiatan
merancang (di studio, tentunya) fungsi asas rancang dapat dibedakan
dalam tiga kelompok fungsi :

a. Fungsi sebelum proses rancang


Pada saat sebelum proses rancang, asas masih belum berfungsi.
Dia hanya berdiri sendiri sebagai sebuah asas yang sewaktu-waktu
akan dipakai oleh perancang.
b. Fungsi pada saat berlangsungnya kegiatan merancang
Pada saat proses rancang, asas berfungsi sebagai :
- dasar teori
- patokan
- pengarah, pengatur, pengendali
- pedoman
c. Fungsi setelah proses rancang
Setelah proses rancang yakni ketika telah diperoleh hasil rancang,
maka asas berfungsi sebagai uji mutu yang akan menguji apakah
kualitas rancangan sesuai dengan tema yang diajukan atau
tidak.Diujikan pada hasil rancangan guna menilai hasil rancangan
tentang :
- tingkat keberhasilan pelaksanaan tugas
- mutu arsitektural rancangan

Menjadi petunjuk mengenai `faham’ dan/atau konteks


arsitektur yang diturutkan dalam merancang

= Menjadi ungkapan penerapan teori arsitektur yang dipakai


= Menjadi patokan, pedoman, pengatur, pengarah dan
pengendali dalam menjalankan rancang

= Menjadi penolok bagi menilai mutu arsitektural rancangan


= Menjadi acuan bagi menilai tingkat keberhasilan
melaksanakan tugas merancang
Metoda Perancangan 1 (by. Yunitha, ST.,MT) 5
Kategorisasi Asas Rancang (Sumber : Egon Schrimbeck (1988) :
(terjemahan Aris K. Onggodipuro) : Gagasan dan Bentuk dalam Arsitektur,
Prinsip-prinsip Perancangan dalam Arsitektur Kontemporer. Intermatra
Bandung. Judul Asli: Idea and Form in Architecture)
Asas perancangan Arsitektur dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori:
- Asas Rasional; - Asas Simbolik; - Asas Psikologik.

Asas RASIONAL
Asas ini secara mendasar memberikan pemerian (describe) atas “functions that have a
rational objective” (ES – h.148) – segenap fungsi arsitektur yang memiliki tujuan-tujuan
dan sasaran yang rasional. Apa sajakah fungsi-fungsi yang dimaksud? Dengan
meminjam dari Geoffrey Broadbent dalam bukunya yang berjudul Design in
Architecture, fungsi-fungsi itu adalah: fungsi wadah aktifitas (container of activites),
fungsi penyesuai perilaku (behavior modifier), fungsi investasi (capital investment),
fungsi penyaring lingkungan (environmental filter). [Harap dicatat bahwa ada dua fungsi
lagi yang tidak disertakan di sini karena tidak tergolong ke dalam fungsi yang
tujuan/sasarannya rasional, yakni fungsi artistik dan fungsi lambang budaya).
Dari buku ES, simak baik-baik petikan di halaman 148 berikut ini: “The principle
allocated to this category are those whose realization is possible with design elements
that can be essentially described as rational, or following a certain logic…. The `rational’
principles, do not, on the whole, deal with essentially new aspects.” Dengan demikian,
adalah mendasar untuk mengetahui mana dan siapa sajakah yang tergolong ke dalam
`design elements’ itu? Menarik pula untuk dicatat bahwa asas ini tidak bisa
diberlakukan bagi aspek-aspek baru yang bertumbuh kembang di arsitektur.

Metoda Perancangan 1 (by. Yunitha, ST.,MT) 6


Asas SIMBOLIK
Ditegaskan oleh ES bahwa asas ini mendominasi cakrawala arsitektur postmodern.
Dengan asas-asas simbolik ini, terbukalah peluang bagi hadirnya kesadaran baru akan
kesertaan sejarah bagi merancang. Di sini, sejarah yang dimaksud bukanlah sejarah
dalam arti peristiwa, tetapi sejarah dalam arti berragam langgam, estetika dan artistika
arsitektur dari masa silam. Jadi, di sini yang dimaksud dengan sejarah bukanlah pula
identitas lokal yang sering-sering dienal dengan sebutan jatidiri kedaerahan yang
kultural. Dapatkah asas-asas dalam kategori ini banyak berkenaan dengan tatarupa?
Tidak terlalu keliru, karena kepedulian paling utama dari asas ini adalah pada `artistic
truth’ (kebenaran artistik dalam tinjauan karya seni, tentunya), dan pada `perceptual
force’ ( daya persepsi, khususnya yang berkenaan dengan ingatan, kenangan atau
memori). Sederhananya, asas ini banyak bertumpu pada “yang elok dipandang dan
membangkitkan kenagan”.

Asas Psikologik
Menurut Schirmbeck, asas ini mencoba untuk menggabungkan asas rasional dengan
asas simbolik, karena Schirmbeck berkeyakinan bahwa gabungan antara yang rasional
dengan yang simbolik akan menghasilkan yang psikologik. Sudah barang tentu, asas ini
menjadi lebih sulit dalam mempraktekkannya, karena di sini harus dapat digabungkan
antara yang rasional dengan yang `memorial’ (non-rational), dan oleh karena itu, tak
mengherankan bila dalam barisan postmodern hanya ada beberapa nama saja yang
mampu menanganinya, misalnya adalah James Stirling, Aldo Rossi, Mario Botta dan
Arata Isozaki.

(Egon Schirmbeck)

Metoda Perancangan 1 (by. Yunitha, ST.,MT) 7


Dalam bagan di atas, bagi setiap kategori asas, di dalamnya akan terdapat
sejumlah asas yang menunjuk pada perancangan guna & fungsi, perancangan
ruang dan perancangan bentuk. Dengan demikian, misalnya saja ditetapkan
asas rasional dalam menjalankan perancangan, maka di sini kita mesti bisa
menyampaikan asas yang berkenaan dengan guna & fungsi, yang berkenaan
dengan ruang dan akhirnya, yang berkenaan dengan bentuk. Bila skala
perancangannya lebih luas lagi, bisa saja disertakan topik yang berkeaan
dengan ketetanggaan dan topik yang berkenaan dengan rancang urban.

Contoh asas-asas perancangan dalam kategori asas rasional, sebagaimana


terdapat dalam buku Egon Schirmbeck.

1. Creation of a Flexible and Adaptive Building Form for Changes in Use and Function.
2. Description of and or Emphasis on Different Zones for Function and Use.
3. Provision of A Neutral Space to Allow Demarcation for the Differing Uses or for Emphasis on
the Interior Finishes.
4 A) Separation of the Neutral Structure of the Space and the Finishing Elements of the Space.
B) Emphasis of these Measures through the Superimposition of the Principles of the Primary
Order.

1. Description of and/or Emphasis on Different Zones for Function and Use


2. Separation into “Serving” and “Served” Space
3. Production of Contradictions between the Visual Appearance of the Architectural Spaces
and the Added Architectural Elements. Demonstration of ‘Complexity’ through the
Introduction of Disparate Elements.
4. Creation of Direct Connections between Spaces
5. Generation of a Continuous Sequence of Spaces without “Intermediate Spaces.”
6. Connection between the Interior and the Exterior Space.
7. Creation of Human Scale and Production of Perceptible (Artistic) Urban Spaces.
8. Separation of the Neutral Structure of the Space and the Finishing Elements of the Space
9. Provision of a Neutral Space to Allow demarcation for the differing Uses or for Emphasis of
the Interior Finishes

1. Human Scale through the Use of Comprehensible Units.


2. Creation of Great ‘Formal Richness’.
3. Supplementation of the Architecture with ‘Ornamental Accessories’.
4. Expression of the Structure; Unity of Materials and Form; Clear Expression of the Building
Process – that is, show How the Space was Created.
5. Characterization of and or Emphasis on Technical and Functional Condition.
6. Production of Contradictions between the Visual Appearance of the Architectural Spaces
and the Added Architectural Elements. Demonstration of ‘Complexity’ through the
Introduction of Disparate Elements. Metoda Perancangan 1 (by. Yunitha, ST.,MT) 8
7. Clarity and Readability of Structural Principles and Fabrication of Structural
Materials. Use of Least Number of Materials and Construction Methods.
8. Creation of Human Scale and Production of Perceptible (Artistic) Urban Spaces.
Contoh lain dapat diperoleh dari buku W.H.Mayall (1979) `Principles in Design';
van Nostrand Reinhold; London, sebuah buku yang juga terkategori ke dalam
asas rasional, namun menunjuk pada cakupan yang lebih luas dan sekaligus
lebih khusus yakni cakupan Desain Produk.

1. Principle of Totality
All design requirements are always interrelated and must be treated as such throughout a design
task

2. Principle of Time
The features and characteristics of all products change as time passes

3. Principle of Value
The characteristics of all products have different relative values depending upon the different
circumstances and times in which they may be used

4. Principle of Resources
The design, manufacture and life of all products and systems depend upon the materials, tools and
skills upon which we can call

5. Principle of Synthesis
All features of a product must combine to satisfy all the characteristics we expect it to possess with
an acceptable relative importance for as long as we wish, bearing in mind the resources available
to make and use it.

Metoda Perancangan 1 (by. Yunitha, ST.,MT) 9


6. Principle of Iteration
Design requires processes of evaluation that begin with the first intentions to explore the need for a
product or system. These processes continue throughout all subsequent design and development
stages to the user himself, whose reactions will often cause the iterative process to continue with a
new product or system.
7. Principle of Change
Desgn is a process of change, an activity undertaken not only to meet changing circumstances, but
also to bring about changes to these circumstances by the nature of the products it creates.

8. Principle of Relationships
Design work cannot be undertaken effectively without establishing with all those activities
concerned with the conception, manufacture and marketing of products and, importantly, with the
prospective user, together with all the services he may call upon to assist his judgement and
protect his interests

9. Principle of Competence
Design competence is the ability to create a synthesis of features that achieves all desired
characteristics in terms of their required life and relative value, using available or specified
materials, tools and skills, and to transmit effective information about this synthesis to those who
will turn it into products or systems

10. Principle of Service


Design must satisfy everybody, and not just those for whom its products are directly intended

Metoda Perancangan 1 (by. Yunitha, ST.,MT) 10


Sebagaimana telah ditandaskan di depan, penggunaan asas perancangan
dalam proses merancang mesti diharuskan apabila perancangan ini dipandang
sebagai kegiatan belajar atau kegiatan berpikir. Dengan demikian, bila kegiatan
atau proses rancang itu tidak dijalankan dengan melibatkan proses
berpikir/belajar, kehadiran asas tidaklah mutlak diharuskan. Dari sini, menjadi
jelas dan dimengerti dengan baik, mengapakah Nigel Cross tidak
mengikutsertakan asas perancangan di dalam proses rancangnya, yakni karena
model proses rancang yang disajikan oleh Cross (yakni model French dan
Archer) adalah proses rancang dalam tataran ketrampilan (skill), bukan dalam
tataran kognisi/intelektual/akademik.
Oleh karena asas perancangan ini berada dalam tataran berpikir, tentulah
padanan yang memadai bagi proses rancangnya adalah yang sama-sama
berada dalam tataran berpikir, yakni misalnya penelitian ilmiah dan pembentukan
teori. Bagan di bawah ini mencoba untuk memberikan gambaran bagi padanan
tersebut.

masalah hipotesa teori metoda

masalah konsep asas metoda

-isme filsafat teori


Metoda Perancangan 1 (by. Yunitha, ST.,MT) 11
Akhiran
Mengakhiri pembicaraan mengenai asas perancangan ini, tentunya kini anda
dapat memberikan penilaian apakah penggambaran perjalanan dari titik asal ke
titik tujuan di bagian paling awal dari pembicaraan asas perancangan ini adlah
penggambaran yang tepat, ataukah penggambaran yang meleset.

Metoda Perancangan 1 (by. Yunitha, ST.,MT) 12

Anda mungkin juga menyukai