Anda di halaman 1dari 9

RESUME SKENARIO 5 BLOK 5

PENCEGAHAN DAN PENANGAN SINDROM NEFROTIK

NAMA : GRACELA MARIANA GERO


NIM : 2161050067
KELOMPOK : 7A

I. FUNGSI FISIOLOGI GINJAL


Ginjal berfungsi untuk mengatur keseimbangan cairan dalam tubuh, mengatur konsentrasi
garam dalam darah, keseimbangan asam basa dalam darah, dan ekskresi bahan buangan
seperti urea dan sampah nitrogen lain dalam darah.
Ginjal menyekresi hormon dan enzim yang membantu pengaturan produksi eritrosit,
tekanan darah, serta metabolisme kalsium dan fosfor. Ginjal membuang sisa metabolisme
dan menyesuaikan ekskresi air dan pelarut. Ginjal mengatur volume cairan tubuh, asiditas,
dan elektrolit sehingga mempertahankan komposisi cairan yang normal
Ginjal memainkan peranan penting dalam fungsi tubuh, tidak hanya dengan menyaring
darah dan mengeluarkan produk-produk sisa, namun juga dengan menyeimbangkan tingkat-
tingkat elektrolit dalam tubuh, mengontrol tekanan darah, dan menstimulasi produksi dari
sel-sel darah merah. Ginjal mempunyai kemampuan untuk memonitor jumlah cairan tubuh,
konsentrasi dari elektrolit-elektrolit seperti sodium dan potasium, serta keseimbangan
asam-basa dari tubuh. (Ganong, 2009).
Menurut Prabowo dan Pranata (2014), ginjal memiliki fungsi sebagai berikut: 10 Poltekkes
Kemenkes Yogyakarta
1) Mengekskresikan zat-zat yang merugikan bagi tubuh, antara lain: urea, asam urat,
amoniak, kreatinin, garam anorganik, bakteri dan juga obat-obatan. Jika zat-zat ini tidak
diekskresikan oleh ginjal, maka tubuh akan diracuni oleh kotoran yang dihasilkan oleh
tubuhnya sendiri. Bagian ginjal yang berfungsi untuk menyaring adalah nefron.
2) Mengekskresikan kelebihan gula dalam darah.
3) Membantu keseimbangan air dalam tubuh, yaitu mempertahankan tekanan osmotik
ekstraseluler.
4) Mengatur konsentrasi garam dalam darah dan keseimbangan asambasa darah.
5) Ginjal mempertahankan pH plasma darah pada kisaran 7,4 melalui pertukaran ion
hidtronium dan hidroksil. Akibatnya, urin yang dihasilkan dapat bersifat asam pada pH 5
atau alkalis pada pH 8.

Ginjal terdiri dari :


a. Korteks (bagian luar) : susbtansi kortekalis berwarna coklat merah, konsistensi lunak, dan
bergranula. Substansi tepat dibawah fibrosa, melengkung sepanjang basis piramid yang
berdekatan dengan sinus renalis. Bagian dalam diantara piramid dinamakan kolumna
renalis.
b. Medula atau piramid (bagian dalam) : susbtansi medularis terdiri atas pyramid renalis,
jumlahnya antara 8-16 buah yang mempunyai basis sepanjang ginjal, sedangkan apeksnya
menghadap ke sinus renalis ; (Syaifudin, 2009).
Nefron merupakan unit dasar ginjal. Setiap ginjal memiliki 400.000-800.000 nefron,
walaupun jumlah ini berkurang seiring usia. Nefron terdiri dari glomerolus dan tubulus
terkait yang menuju pada duktus kolektivus. Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam
pembuktian urin, yaitu filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi. Pembentukan urin dimulai dengan
filtrasi sejumlah besar cairan yang hampir bebas protein dari kapiler glomerolus ke kapsula
Bowman. Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali protein, di filtrasi secara bebas sehingga
konsentrasinya pada filtrat glomerolus dalam kapsula bowman hampir sama dengan plasma.
Awalnya zat akan difiltrasi secara bebas oleh kapiler glomerolus tetapi tidak di filtrasi.
Kemudian akan diekskresi. Setiap proses filtrasi glomerolus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi
tubulus diatur menurut kebutuhan tubuh (Guyton, 2007). 2.1.3

Fungsi Ginjal Ginjal di dalam tubuh berfungsi untuk mengekskresikan produk akhir
metabolisme tubuh (sisa metabolisme dan obat-obatan), mengontrol sekresi hormon-
hormon aldosteron dan ADH dalam mengatur jumlah cairan tubuh, mengatur metabolisme
ion kalsium dan vitamin D, mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan
kelebihan H+ dan membentuk kembali HCO3 (Price 2006). Invidu dengan fungsi ginjal
normal akan menghasilkan ion hydrogen yang cukup untuk mengambil kembali semua
bikarbonat yang telah disaring dan mengeluarkan 1 meq/kg per hari ion hydrogen yang
dihasilkan dari metabolism protein makanan. Sebagai akibatnya, ginjal mempertahankan PH
konstan cairan tubuh melalui buffering ion hydrogen oleh protein, hemoglobin, fosfat, dan 7
bikarbonat (Hudson, 2008). Namun ginjal yang rusak tidak mengeliminasi 1 meq/kg per hari
buangan asam yang dihasilkan dari metabolism protein. Terjadinya asidosis metabolik
terutama disebabkan oleh masa ginjal (Sjamsiah, 2005).
2.1.3.1 Fungsi Eliminasi Ginjal Ginjal merupakan organ utama untuk membuang produk sisa
metabolisme yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Produk-produk ini meliputi urea yang
merupakan hasil metabolisme dari asam amino, kreatinin hasil metabolisme dari kreatnin
otot, asam urat hasil metabolisme dari asam nukleat, bilirubin yang merupakan produk akhir
dari pemecahan hemoglobin, dan metabolit dari berbagai hormon. Ginjal juga membuang
banyak toksin dan zat asing lainnya yang diproduksi oleh tubuh pencernaan , seperti
pestisida, dan obat-obatan (Guyton and Hall, 2006 ; Syaifuddin, 2009). Proses eliminasi pada
ginjal ini dibagi dalam beberapa tahap yaitu filtrasi glomerolus, reabsorbsi tubular dan
sekresei tubular.
2.1.3.2 Fungsi Filtrasi Glomerolus Glomerular Filtration Rate (GFR) adalah jumlah filtrasi
ginjal yang dibentuk oleh ginjal dalam satu menit, rata-rata 100 sampai 125 ml/menit. GFR
dapat berubah jika aliran darah melalui ginjal berubah. Jika aliran darah meningkat ,GFR
akan meningkat dan akan lebih banyak filtrat dibentuk. Jika aliran darah turun (seperti yang
terjadi setelah perdarahan hebat), GFR akan turun sehingga filtratnya yang dibentuk sedikit
dan keluaran urine turun (Scanlon 2007).
2.1.3.3 Fungsi Reabsorbsi Tubular Proses reabsorbsi tubular terjadi setelah proses filtrasi-
glomerolus. Pada proses ini sebagian besar Na+ , K+ , dan glukosa direabsorbsi secara aktif
dari cairan tubular dalam tubulus proksimal sedangkan air direabsorbsi secara osmotik.
Proses reabsorbsi tubular ini dapat berlangsung secara transpor aktif maupun transpor pasif
(McPhee and Ganong, 2006).
2.1.3.4 Fungsi Sekresi Tubular Proses sekresi tubular terjadi secara trasnpor aktif. Pada
proses ini tubulus proksimal merupakan tempat penting untuk asam-asam, basa-basa
organik seperti oksalat, urat, dan ketekolamin. Sebagian besar zat-zat ini ke dalam tubulus
proksimal ditambah filtrasi ke dalam tubulus proksimal oleh kapiler glomerolus dan hampir
tidak ada reabsorbsi pada bagian manapun dari sistem tubulus ini, semua 8 bergabung turut
berperan terhadap ekskresi yang cepat dalam urin. Selain produk buangan hasil
metabolisme, ginjal juga mensekresi secara langsung sebagian besar obat atau toksin yang
potensial berbahaya melalui sel-sel tubulus ke dalam tubulus, dan dengan cepat
membersihkan zat-zat ini dari dalam darah (McPhee and Ganong, 2006).
2.1.3.5 Fungsi Pengaturan Tekanan Darah Ginjal mempunyai peran penting dalam
pengaturan tekanan darah terkait peranannya dalam keseimbangan Natrium yang
merupakan penentu utama tekanan darah. Melalui peran macula densa, yang merupakan
bagian dari juxtaglomerular, penurunan Natrium dan penurunan tekanan darah akan
menstimulasi terbentuknya renin. Renin mengubah angiotensinogen dalam darah menjadi
angiontensin I yang kemudian akan diubah menjadi Angiontensin II oleh Angiotensin
Converting Enzyme (ACE). Angiontensi II meningkatkan tekanan darah melalui efek
vasokontruksi dan menstmulasi dan menstimulasi sekresi aldosteron sehingga terjadi retensi
natrium dan air (Risthanti, 2012).
2.1.3.6 Fungsi Dalam Metabolisme Kalsium Ginjal memegang peran dalam proses
keseimbangan kalsium-fosfat, dimana mobilisasi kalsium dari tulang akan meningkatkan
mobilisasi fosfat dalam jumlah yang seimbang. Proses ini berlangsung diginjal karena ginjal
merupakan tepat 1 alpha dan 24 hidroksi vitamin D yang berperan dalam asupan kalsium
dari usus dan tempat aksi dari hormon paratiroid yang mengakibatkan retensi kalsium dan
pembuangan fosfat diurin (Risthanti, 2012).
2.1.3.7 Fungsi Ginjal Dalam Eritropoesis Ginjal merupakan suatu organ yang dapat
memproduksi hormon eritropoitin, yang mana hormon ini diproduksi didalam sumsum
tulang dan digunakan untuk mematangkan sel darah merah. Eritropoitin adalah suatu
glikoprotein yang berfungsi untuk membentuk serta melepaskan sel darah merah dari
sumsum tulang (eritropoesis) dengan cara meningkatkan jumlah sel bakal disumsum tulang.
Sel-sel bakal ini berubah menjadi prekursor sel darah merah dan akhirnya menjadi eritrosit
matang (Ganong, 2005).
Mempertahankan osmolaritas cairan tubuh yang sesuai, terutama melalui regulasi
keseimbangan H2O. Fungsi ini penting untuk mencegah fluks-fluks osmotic masuk atau
keluar sel, yang masingmasing dapat menyebabkan pembengkakkan atau penciutan sel yang
merugikan; Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES, termasuk natrium
(Na+ ), klorida (Cl- ), kalium (K+ ), calcium (Ca2+), ion hydrogen (H+ ), bikarbonat (HCO3 - ),
bahkan fluktuasi kecil konsentrasi sebagian besar elektrolit ini dalam CES 8 dapat
berpengaruh besar. Sebagai contoh, perubahan konsentrasi K + CES dapat menyebabkan
disfungsi jantung yang mematikan; Mempertahankan volume plasma yang tepat, yang
penting dalam pengaturan jangka panjang tekanan darah arter. Fungsi ini dilaksanakan
melalui peran regulatorik ginjal dalam keseimbangan garam (Na+ dan cl- ) dan H2O;
Membantu mempertahankan keseimbangan asam-basa tubuh yang tepat dengan
menyesuaikan pengeluaran H+ dan HCO3 - di urin; Mengeluarkan (mengekskresikan)
produk-produk akhir (sisa) metabolisme tubuh, misalnya urea, asam urat, dan kreatinin. Jika
dibiarkan menumpuk maka bahan-bahan sisa ini menjadi racun, terutama bagi otak;
Mengeluarkan banyak senyawa asing, misalnya obat, aditif makanan, pestisida, dan bahan
eksogen non-nutritif lain yang masuk ke tubuh; Menghasilkan eritropoietin, suatu hormone
yang merangsang produksi sel darah merah; Menghasilkan rennin, suatu hormone enzim
yang memicu suatu reaksi berantai yang penting dalam pengehmatan garam oleh ginjal;
Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya (Sherwood, 2016). Ginjal memproduksi urin
yang mengandung zat sisa metabolik dan mengatur komposisi cairan tubuh melalui 3 cara,
yaitu filtrasi glomerulus, reabsorbsi tubulus, dan sekresi tubulus. Fungsi utama ginjal adalah
untuk zat sia metabolisme serta zat-zat lain yang berbahaya bagi tubuh sambil
mempertahankan konstituen darah yang masih berguna (Sherwood, 2016).
Mempertahankan osmolaritas cairan tubuh yang sesuai, terutama melalui regulasi
keseimbangan H2O. Fungsi ini penting untuk mencegah fluks-fluks osmotik masuk atau
keluar sel, yang masing-masing dapat menyebabkan pembengkakan atau penciutan sel
yang merugikan.
Membantu mempertahankan keseimbangan asam basa tubuh yang tepat dengan
menyesuaikan pengeluaran H+ dan HCO3- di urine. f) Mengeluarkan (mengekskresikan)
produk-produk akhir (sisa) metabolisme tubuh misalnya ureum, kreatinin dan asam urat.
Jika dibiarkan menumpuk maka bahanbahan sisa ini menjadi racun, terutama bagi otak.
Membuang hasil akhir dari proses metabolisme, spt: ureum, kreatinin, dan asam urat yg bila
kadarnya meningkat di dlm tubuh dapat bersifat toksik
Melakukan fungsi metabolik khusus: - mengubah vitamin D inaktif menjadi bentuk aktif
(1,25-dihidroksi-vitamin D3), suatu hormon yg merangsang absorpsi kalsium di usus -
sintesis amonia dari asam amino → untuk pengaturan imbangan asam-basa - sintesis
glukosa dari sumber non-glukosa (glukoneogenesis) saat puasa berkepanjangan -
menghancurkan/menginaktivasi berbagai hormon, spt: angiotensin II, glukoagon, insulin, &
hormon paratiroid
Ginjal kanan terdesak hati shg terletak lebih rendah dari ginjal kir

II. MEKANISME FILTRASI DI GLOMERULUS


Filtrasi glomerulus adalah langkah pertama pembentukan urin. Sekitar 125 ml filtrat glomerulus
terbentuk secara kolektif dari seluruh glomerulus setiap menit. Jumlah ini sama dengan 180 liter setiap
hari, hal ini berarti bahwa ginjal menyaring keseluruhan volume plasma sekitar 65 kali sehari. Bahan-
bahan bermanfaat bagi tubuh dikembalikan ke plasma kapiler peritubulus.

Filtrasi glomerulus proses penyaringan besar-besaran plasma (hampir bebas protein) dari kapiler
glomerulus ke dalam kapsula bowman

Hanya 20% plasma yang difiltrasi oleh glomerulus → 19% direabsorpsi, 1% diekskresi

Tekanan filtrasi (Starling forces), ditentukan oleh: 1. Tekanan yg mendorong filtrasi: - tekanan hidrostatik
di kapiler glomerulus - tekanan onkotik dlm kapsula bowman (krn hampir tdk ada protein, πKB=0 2.
Tekanan yg melawan filtrasi: - tekanan hidrostatik di kapsula bowman - tekanan onkotik protein plasma
dlm kapiler glomerulus TF = (PKG + πKB) – (PKB + πKG ) TF = PKG – PKB – πKG PDF Created with deskPDF
PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com faal_ginjal/ikun/2006 21 • Tekanan hidrostatik kapiler
glomerulus (±55mmHg) ≈ kekutan kontraksi jantung & tahanan di dlm aa.aferen & aa.eferen (derajat
konstriksi & dilatasi atau diameter pemb.darah) • Tekanan onkotik protein plasma (±15mmHg) ≈
konsentrasi plasma dlm kapiler glomerulus • Tekanan hidrostatik dlm kapsula bowman (±30mmHg) ≈
keadaan ureter & keadaan ginjal

1. Proses Filtrasi Pembentukan urine diawali dengan proses filtrasi darah di glomerulus. Filtrasi
merupakan perpindahan cairan dari glomerulus menuju ke ruang kapsula bowman dengan menembus
membran filtrasi. Di dalam glomerulus, sel-sel darah, trombosit, dan sebagian besar protein plasma
disaring dan diikat agar tidak ikut dikeluarkan. Hasil penyaringan tersebut berupa urine primer. Kapiler
yang berpori-pori dan sel-sel kapsula yang terspesialisasi bersifat permeabel terhadap air dan zat-zat
terlarut yang kecil, namun tidak terhadap sel darah atau molekul 18 besar seperti protein plasma,
dengan demikian filtrat dalam kapsula bowmen mengandung garam, glukosa, asam amino, vitamin, zat
buangan bernitrogen, dan molekul-molekul kecil lainnya. (Campbell, 2008).

III.DEFINISI SN

Sindrom nefrotik merupakan kelainan pada ginjal akibat peningkatan permeabilitas glomerulus yang
ditandai dengan berbagai manifestasi klinis yaitu proteinuria masif1 , hipoalbuminemia2 , edema
dengan atau tanpa disertai hiperlipidemia 3,4

Sindrom nefrotik paling banyak ditemukan pada anak-anak

Sindrom nefrotik paling banyak ditemukan pada anak-anak. Hal ini dihubungkan karena adanya
gangguan dari fungsi sel T yang melepaskan sitokin yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas
glomerulus. Sel T tersebut diproduksi di thimus yang sangat aktif pada masa kanakkanak7 . 2) Jenis
Kelami

Sindrom nefrotik terjadi akibat peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus sehingga mengakibatkan
keluarnya protein melalui urine dalam jumlah yang banyak2,14 . Terdapat tiga penyebab SN3 : 1)
Sindrom nefrotik primer atau idiopatik (SNI) yang dihubungkan dengan penyakit glomerulus intrinsik
pada ginjal dan tidak terkait dengan penyebab di luar ginjal3 . 2) Sindrom nefrotik sekunder
dihubungkan oleh penyebab yang berada diluar ginjal, akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan ikat,
efek obat dan toksin, dan akibat penyakit sistemik14 . Penyebab sindrom nefrotik sekunder yang paling
sering adalah (1) penyakit autoimun dan vasculitis seperti purpura Henoch-Schonlein dan lupus
eritematosus sistemik, serta vasculitis lain yang dihubungkan dengan antineutrophil cytoplasmic
antibody (ANCA); (2) penyakit infeksi seperti human immunodeficiency virus (HIV), hepatitis B dan C
sifilis kongenital, dan malaria3,11 . 3) Sindrom nefrotik kongenital, yang muncul sebelum usia 3 bulan
disebabkan oleh kelainan genetik yang umumnya diturunkan secara autosomal resesif3 . SNI merupakan
penyabab sindrom nefrotik utama pada anak, dan juga tetap merupakan penyebab utama yang
ditemukan pada semua usia14 .

Mekanisme patogenesis yang berperan pada sindrom nefrotik dibagi menjadi 2, yaitu (1) secara
imunologis, terdapat suatu faktor yang dilepaskan oleh sel sel T berupa Vascular Permeability Factor
(VPF). Hal tersebut mengakibatkan kapiler glomerulus menjadi permeable terhadap protein sehingga
terjadi kebocoran protein. Mekanisme ke (2) adalah terdapat kerusakan primer pada filtrasi glomerulus
yang menyebabkan melebarnya celah diafragma glomerulus15,
Glomerulus ginjal berfungsi sebagai penyaring molekul mempunyai tiga bagian yang terpisah, yaitu
lapisan sel endotel, membrane basal glomerulus, dan lapisan sel epitel podosit (Gambar 1)14,18 .
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kerusakan utama yang terjadi pada sindrom nefrotik terjadi di
tingkat podosit.3,11 Podosit merupakan sel epitel terpolarisasi dengan 15embrane sel basal dan luminal
atau apikal. Terdapat sitoskeleton yang merupakan bagian dari podosit yang mempertahankan fungsi
podosit. Bagian apikal 16 16embrane foot prosesus sebagian besar tersusun atas podokaliksan yang
berperan penting dalam pembentukan dan pemeliharaan arsitektur seluler podosit. Podokaliksin
tersebut dilengkapi dengan lapisan permukaan bermuatan negative. Hilangnya protein tersebut
menyebabkan pembentukan glomerulus yang imatur dengan bentuk podosit pipih yang menerangkan
mekanisme terjadinya proteinuria pada sindrom nefrotik3 .

Pada sindrom nefrotik, hipoalbuminemia terjadi oleh karena proteinuria masif akibat penurunan
tekanan onkotik plasma.

Teori underfill (Gambar 2) menjelaskan bahwa edema yang terjadi pada penderita sindrom nefrotik
terjadi karena penurunan tekanan onkotik plasma sebagai akibat dari kadar albumin serum yang
rendah sehingga menyebabkan cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan interstitium3 .
Akibatnya, volume plasma menjadi rendah. Selanjutnya, penurunan volume plasma tersebut akan
terjadi hipovolemia3 . Ginjal akan melakukan kompensasi dengan merangsang aksis renin-angiotensin-
aldosteron dan hormon antidiuretik sehingga terjadi retensi natrium dan air di tubulus ginjal yang
memperberat edema 10,1

IV. Tanda utama sindrom nefrotik adalah edema, yang dapat terjadi pada daerah-daerah di tubuh
sesuai dengan gaya gravitasi2,3,17 . Edema mulai muncul di wajah, khususnya daerah periorbita yang
umumnya terlihat pagi hari dan berkurang pada sore hari3,17 . Umumnya akan terlihat lebih jelas
pada bagian tubuh ekstremitas seperti pada kaki. Penderita sindrom nefrotik yang tidak diobati atau
tidak memberi respons terhadap pengobatan dapat berkembang menjadi edema anasarka masif yang
disertai edema scrotal atau vulva3 .

Gangguan Gastrointestinal Gangguan gastrointestinal yang sering ditemukan pada pasien sindrom
nefrotik adalah diare. Namun tidak semua penderita sindrom nefrotik mengalami diare, umumnya
dialami oleh pasien dengan keadaan edema yang masif, diduga penyebabnya adalah edema di
mukosa usus.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hepatomegali, hal ini disebabkan karena sintesis albumin
yang meningkat21

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakaukan pada sindrom nefrotik adalah sebagai berikut : a.
Urinalisis dan biakan urin, dilakukan jika terdapat gejala klinis yang mengarah pada infeksi saluran kemih
(ISK).

b. Protein urin kuantitatif ; Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari, pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui derajat dari
proteinuria.
c. Pemeriksaan darah ; Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,
hematokrit, LED), Albumin dan kolesterol serum, Ureum, kreatinin, dan klirens kreatinin. (UKK Nefrologi
IDAI, 2014)

d. Pemeriksaan Radiologi ; dapat dilakukan USG ginjal untuk mengidentifikasi trombosis vena renalis jika
terdapat indikasi curiga adanya keluhan nyeri pinggang (flank pain), hematuria atau gagal ginjal akut.

e. Pemeriksaan Histopatologi; pada pemeriksaan ini dapat dilakukan biopsi ginjal, pemeriksaan ini
direkomendasikan pada pasien sindrom nefrotik untuk mengkonfirmasi subtipe penyakitnya atau untuk
konfirmasi diagnosis. Meskipun begitu, belum ada guidline yang pasti menjelaskan kapan biposi ginjal di
indikasikan.(Charles, 2009)

II. PENCEGAHAN
Satu-satunya cara untuk mencegah sindrom nefrotik yaitu dengan
mengendalikan kondisi yang bisa menyebabkan gangguan pada ginjal muncul.
Seperti:
a. Menjaga pola hidup yang sehat: memperbanyak mengonsumsi makanan
bergizi seimbang seperti buah dan sayur, menghindari makanan berlemak,
membatasi asupan garam, gula dan lemak, mencukupi kebutuhan cairan
harian (mengonsumsi air 2 liter per hari), rutin berolahraga dan mengelola
stress, menjaga berat badan normal dan berhenti merokok, karena rokok bisa
merusak pembuluh darah dan pembuluh darah ginjal
b. Edukasi kepada masyarakat mengenai penyakit Nefrotik Sindrom dan
prosedur apa yang dilakukan. Penjelasan mengenai penyakit Nefrotik
Sindrom bisa sembuh namun juga dapat kambuh lagi perlu disampaikan
dengan baik agar tidak tejadi kesalah pahaman.

III. PENANGANAN
Penanganan Sindrom Nefrotik
Tidak ada penanganan definitif untuk sindrom Nefrotik. Namun, tata
laksana dapat dilakukan untuk mengontrol dan meringankan gejala serta
memperlambat kerusakan ginjal.

Manajemen Sindrom Nefrotik Manajemen dari Sindrom nefrotik yaitu


mengatasi penyababnya, memberikan terapi berdasarkan gejalanya serta pada
beberapa kasus diberikan agen immunosuppressant jika terdapat masalah di
ginjal.

A. Manajemen Non-Farmakologis
1. Manajemen Nutrisi dan Cairan
-Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat.
-Diet rendah garam, diberikan untuk menurunkan derajat edema. membatasi
asupan snack atau makanan mengandung garam,
-diet rendah kolesterol dan lipid, Pasien sindrom nefrotik dapat mengalami
hyperlipidemia dan hiperkolesterolemia, sehingga asupan lemak dan kolesterol
juga perlu dimanajemen dengan baik. Hindari lemak jenuh karena akan memperburuk
hiperlipidemia.8

B. Manajemen Farmakologis
1. Dietik
Rekomendasi dari RDA (recommended daily allowances) diberikan diberikan diit protein
normal yaitu 1,5-2 g/kgBB/hari. Tidak dianjurkan pemberiaan diit tinggi protein karena akan
menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein dan dapat
menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi
energi protein yang akan menghambat pertumbuhan anak.

2. Diuretik
Karena retensi garam oleh ginjal pada sindrom nefrotik cukup besar, maka
diuretik loop yang kuat harus diberikan.
Diuretik dapat membantu ginjal dalam mengatur pengeluaran garam dan air.
Diuretik cth: furosemid dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari, bila perlu
dikombinasikan dengan spironolakton dengan dosis 2-4 mg/kgBB/hari.
3. ACE-Inhibitor
Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor menunjukkan dapat
menurunkan proteinuria dengan menurunkan tekanan darah, mengurangi
tekanan intraglomerular dan mengurangi risiko progresifitas dari gangguan
ginjal pada pasien sindrom nefrotik sekunder. Dosis yang direkomendasikan
masih belum jelas, tapi pada umumnya digunakan dengan dosis 2,5 – 20
mg/hari. (Charles, 2009)
4. Terapi Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada kontraindikasi.
Yang digunakan sebagai immunosupressan pada sindrom nefrotik adalah
golongan glukokortikoid yaitu prednison, prednisolon dan metilprednisolon.
5. Terapi Hiperlipidemia
Beberapa studi menyatakan bahwa terdapat peningkatan risiko miokard infark
pada pasien dengan sindrom nefrotik yang berkaitan dengan peningkatan level
lipid. Sehingga disarankan untuk pemberian hipolipidemic agents pada pasien
sindrom nefrotik. (Charles, 2009)
6. Terapi Antibiotik
Terapi ini digunakan jika pasien sindrom nefrotik mengalami infeksi, infeksi
tersebut harus di atasi dengan adekuat untuk mengurangi morbiditas. Jenis
antibiotik yang banyak dipakai yaitu golongan penisilin dan sefalosporin.
(Floege, 2015)
7. Pemberian eritropoietin
Sindrom nefrotik yang berlangsung lama dapat menyebabkan anemia karena kehilangan
eritropoietin dan transferin melalui urin.

DAFTAR PUSTAKA
1. Amalia TQ. Aspek Klinis, Diagnosis dan Tatalaksana Sindroma Nefrotik pada
Anak. J Kedokt Nanggroe Med. 2018;1(2):81–8.
2. Pardede SO. Tata Laksana Non Imunosupresan Sindrom Nefrotik pada Anak. Sari
Pediatr. 2017;19(1):53.
3. Ayu G. Studi Kasus Sindrom nefrotik. 2019. 1–35.
4. Alatas H, Trihono PP, Tambunan T, Pardede SO, El H. Tinjauan pustaka
Pengobatan Terkini Sindrom Nefrotik (SN) pada Anak. Sari Pediatr.
2015;17(2):155–62.
5. Arsita E. Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Sindroma Nefrotik. J Kedokt
Meditek. 2017;23:73–82.

Anda mungkin juga menyukai