Anda di halaman 1dari 84

Bahasa Indonesia

RPS (Rencana Pembelajaran


Semester)
Rules Satu Semester
Minggu Pertama

RPS (Rencana Pembelajaran


Semester)
Bahasa n Bahasa Indonesia
Minggu Kedua
Topik 1: Konsep Bahasa
Indonesia
Topik 2: Fungsi Bahasa
Indonesia
Minggu Ketiga

Topik 1: Bahasa Baku


Topik 2: Ejaan n Tanda Baca
Minggu Keempat

Topik 1: Ragam Bahasa


Topik 2: Laras Bahasa
Minggu Kelima

Topik 1: Kosakata
Topik 2: Diksi n Makna Kata
Minggu Keenam

Topik 1: Kalimat
Topik 2: Kalimat Efektif n
Persyaratan Kalimat Efektif
Minggu Ketujuh

Topik 1: Mengulang Materi


Topik 2: Kisi-Kisi UTS (Ujian
Tengah Semester)
Minggu Kedelapan

UTS
(Ujian Tengah Semester)
Minggu Kesembilan

Topik 1: Paragraf
Topik 2: Jenis-Jenis
Paragraf
Minggu Kesepuluh

Topik 1: Struktur Paragraf


Topik 2: Cara Membuat
Paragraf Yang Baik
Minggu Kesebelas

Topik 1: Jenis Tulisan


Topik 2: Tema n Topik
Minggu Keduabelas

Topik 1: Tujuan n Tesis


Topik 2: Kerangka
Karangan
Minggu Ketigabelas

Topik 1: Ringkasan,
Abstrak, Sintesis
Topik 2: Kutipan
Minggu Keempatbelas
Topik 1: Catatan Kaki n
Daftar Pustaka
Topik 2: Membuat Kerangka
Karangan
Minggu Kelimabelas

Topik 1: Mengulang Materi


Topik 2: Kisi-Kisi UAS
(Ujian Akhir Semester)
Minggu Keenambelas

UAS
(Ujian Akhir Semester)
Modul II
Topik I
Konsep Bahasa
Sampai dengan abad XXI perkembangan ilmu dan tekhnologi menunjukkan bahwa Bahasa
Indonesia sebagai Bahasa nasional dan Bahasa Inggris sebagai Bahasa internasional sangat
berperan penting sebagai sarana komunikasi. Dalam bidang akademik, Bahasa Indonesia telah
menunjukkan peranannya dalam berbagai disiplin ilmu melalui bentuk-bentuk tulisan ilmiah
seperti makalah, skripsi, tesis, disertasi, dan laporan penelitian. Pada dasarnya, interaksi dan
kegiatan akademik tidak akan sempurna tanpa Bahasa. Begitu pentingnya Bahasa sebagai sarana
komunikasi antar anggota masyarakat dalam menyampaikan ide dan perasaan secara lisan dan
tulis.
Konsepsi Bahasa tersebut menunjukkan bahwa system lambing bunyi ujaran dan lambing
tulisan digunakan untuk berkomunikasi di masyarakat dan lingkungan akademik. Bahasa yang
baik dikembangkan oleh pemakainya berdasarkan kaidah-kaidah yang tertata dalam suatu
system. Kaidah Bahasa dalam sistem tersebut mencakup beberapa hal yaitu:
1. Sistem lambang yang bermakna dan dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat.
2. Berdasarkan kesepakatan masyarakat pemakainya.
3. Lambang sebagai huruf yang bersifat manasuka.
4. Sistem yang terbatas (A-Z) mampu mengasilkan kata, bentukan kata, frasa, klausa, dan
kalimat yang sangat produktif.
5. Sistem lambang itu fonemis, tidak sama dengan sisten lambang Bahasa yang lain.
6. Sistem lambang Bahasa yang dibentuk berdasarkan aturan yang bersifat universal.
Unsur dalam system lambang tersebut menunjukkan bahwa Bahasa bersifat unik, khas,
dan dapat dipahami oleh masyarakat. Bahasa dikatakan unik karena Bahasa mengandung
berbagai unsur-unsur yang pada mulanya bersifat arbiter atau manasuka. Unsur-unsur Bahasa
tersebut kemudian membangun suatu system yang mempunyai kaitan satu sama lain dan
saling mempengaruhi. Sistem Bahasa tersebut juga terikat oleh makna. Keterkaitan sistem
Bahasa dan maknanya juga bersifat unik, lain Bahasa lain pula maknanya.
Bahasa dikatakan bersifat khas karena masing-masing Bahasa mempunyai sifat khusus
yang berbeda dengan Bahasa lain. Kekhasan Bahasa dipengaruhi oleh berbagai factor baik
factor ilmiah, factor linguis, maupun faktor pengguna. Bahasa haruslah memenuhi syarat
dapat dimengerti oleh umum karena pada hakikatnya fungsi Bahasa yang utama adalah
sebagai alat komunikasi dan alat penyampaian informasi.
Modul II
Topik 2
Fungsi Bahasa

Bahasa mempunyai fungsi yang sangat beragam. Hal ini dikarenakan Bahasa tak dapat lepas dari
masyarakat penggunanya dalam kehidupan sehari-hari di bebagai aspek. Masyarakat
menggunakan Bahasa untuk berbagai keperluannya serta menggambarkannya dalam sikap dan
tingkah laku. Maka, tak dapat dipungkiri jika sering kali dikatakan bahwa Bahasa adalah
cerminan identitas suatu masyarakat. Bahkan identitas masing-masing individu.
Beragam fungsi Bahasa dikemukakan oleh banyak ahli. Tentu masing-masing
mempunyai pengelompokkan fungsi Bahasa yang berbeda-beda tergantung dari segi mana
Bahasa dilihat. Akan tetapi, pada dasarnya semua mengemukakan bahwa Bahasa mempunyai
fungsi utama sebagai alat komunikasi.
Perincian fungsi Bahasa yang sering muncul antara lain adalah:
1. Fungsi ekspresi dalam Bahasa
Bahasa merupakan media pengungkapan ekspresi yang dapat melengkapi dan
mendukung proses penyampaian informasi si pengguna Bahasa.
2. Fungsi komunikasi dalam Bahasa
Fungsi utama Bahasa adalah sebagai komunikasi antar masyarakat pengguna Bahasa.
3. Fungsi adaptasi dan integrasi dalam Bahasa
Bahasa menjadi alat adaptasi dan penyatu para pengguna Bahasa. Bahasa Indonesia
sebagai Bahasa nasional Indonesia misalnya, akan dapat membantu adaptasi para
pengguna Bahasa yang berasal dari berbagai daerah yang berbeda. Dengan demikian,
Bahasa Indonesia mampu mengintegrasi masyarakat penutur.
4. Fungsi kontrol sosial
Bahasa menjadi pengontrol komunikasi dan interaksi sosial masyarakat berkaitan dengan
budaya, norma, etika, dan adat budaya yang tumbuh di lingkungan penutur Bahasa.
Dalam hal ini, Bahasa secara tidak langsung dapat dikatakan sebagai tolak ukur
kesantunan dan kesopanan penggunanya.
Selain empat fungsi tersebut, Gorys Keraf menambahkan beberapa fungsi lain yaitu:
1. Lebih mengenal kemampuan diri sendiri,
2. Lebih memahami orang lain,
3. Belajar mengamati dunia,
4. Mengembangkan proses berfikir yang jelas, runtut, teratur, terarah, dan logis,
5. Mengembangkan atau mempengaruhi orang lain dengan baik dan menarik,
6. Mengembangkan kemungkinan kecerdasan,
7. Membentuk karakter diri,
8. Membangun dan mengembangkan profesi diri,
9. Menciptakan berbagai kreatifitas baru.
Masih banyak fungsi Bahasa Indonesia, khususnya yang dipertegas dengan kedudukan atau
posisi Bahasa Indonesia. Posisi atau kedudukan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fungsi Bahasa persatuan adalah sebagai alat pemersatu suku bangsa.
2. Fungsi Bahasa nasional adalah fungsi jati diri bangsa Indonesia apabila berkomunikasi di
luar Indonesia. Fungsi Bahasa nasional ini dirinci atas beberapa bagian berikut:
-Sebagai lambang kebanggaan kebangsaan Indonesia.
-Sebagai identitas nasional di kancah internasional.
-Alat penghubung antarwarga, antardaerah, antarbudaya.
-Alat pemersatu berbagai suku bangsa.
3. Fungsi Bahasa negara adalah Bahasa yang digunakan dalam administrasi negara untuk
berbagai aktivitas yaitu:
a. Sebagai Bahasa resmi administrasi kenegaraan.
b. Sebagai Bahasa pengantar dalam Pendidikan.
c. Sebagai alat penghubung pada tingkat nasional untuk perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan.
d. Sebagai alat untuk mengembangkan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan tekhnologi.
4. Fungsi Bahasa baku (Bahasa standar) merupakan Bahasa yang dipergunakan dalam
pertemuan sangat resmi. Fungsi Bahasa baku tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pemersatu sosial, budaya, dan Bahasa.
b. Penanda berkepribadian bersuara dan berkomunikasi.
c. Penambah kewibaan sebagai pejabat intelektual.
d. Penanda acuan ilmiah dan penulisan tulisan ilmiah.
Empat posisi atau kedudukan Bahasa Indonesia tersebut mempunyai fungsi keterkaitan
antarunsur. Posisi dan fungsi tersebut merupakan jati diri Indonesia yang kokoh dan mandiri.
Ciri-ciri Bahasa Indonesia yang khas, legitimasi, sebagai interaksi Bahasa Indonesia, serta ragam
dan laras Bahasa Indonesia memperkuat konsepsi dan fungsi dikembangkan ke berbagai ilmu,
tekhnologi, dan budaya.
Tak jauh berbeda dengan yang telah disampaikan di atas, Halliday, seorang linguis
ternama dalam bukunya yang berjudul Explorations in the Functions of Languange (Halliday
melalui Rahardi 2009:6) mengemukakan bahwa ada tujuh fungsi Bahasa yaitu:
1. Fungsi instrumental
2. Fungsi regulasi
3. Fungsi representasional
4. Fungsi interaksional
5. Fungsi personal
6. Fungsi heuristic
7. Fungsi imajinatif
Modul 3
Topik 1
Bahasa Baku

Pengertian bahasa baku menurut beberapa pengamat bahasa adalah:


1. Bahasa baku atau bahasa standar adalah ragam bahasa yang berkekuatan sanksi sosial dan yang
diterima masyarakat bahasa sebagai acuan atau model (Moeliono 1989:43).
2. Bahasa Indonesia baku adalah ragam bahasa yang mengikuti kaidah bahasa Indonesia, baik yang
menyangkut ejaan, lafal, bentuk kata, struktur kalimat, maupun penggunaan bahasa (Junaiyah
1991:18). 3. Bahasa baku adalah suatu bentuk pemakaian bahasa yang menjadi model yang dapat
dicontoh oleh setiap pemakai bahasa yang hendak berbahasa secara benar (Moeljono 1989:23).
4. Bahasa baku atau bahasa standar adalah ragam bahasa atau dialek yang diterima untuk dipakai
dalam situasi resmi seperti dalam perundang-undangan, surat-menyurat resmi, dan berbicara di
depan umum (Kridalaksana 1982:221).

Ciri-ciri Kata Baku


1. Tidak dipengaruhi bahasa daerah tertentu.
2. Tidak dipengaruhi bahasa asing.
3. Bukan bahasa percakapan.
4. Pemakaian imbuhan pada kata bersifat eksplisit.
5. Pemakaian kata sesuai dengan konteks kalimat.
6. Kata baku bukan kata rancu
7. Kata baku tidak mengandung hiperkorek.
8. Tidak mengandung pleonase.

Ciri-ciri Kata Tidak Baku


1. Umumnya digunakan dalam bahasa sehari-hari.
2. Dipengaruhi bahasa daerah dan bahasa asing tertentu.
3. Dipengaruhi dengan perkembangan zaman.
4. Bentuknya dapat berubah-ubah.
5. Memiliki arti yang sama, meski terlihat beda dengan bahasa baku.
Contoh Kata-Kata Baku dan Tidak Baku
1. Abjad (kata baku) - Abjat (kata tidak baku)
2. Akhirat - Akherat
3. Aksesori - Asesoris
4. Aktif - Aktip
5. Akuarium - Aquarium
6. Aluminium - Almunium
7. Ambulans - Ambulan
8. Analisis - Analisa
9. Antena - Antene
10. Antre - Antri
11. Anugerah - Anugrah
12. Azan - Adzan
13. Afdal - Afdol
14. Agamais - Agamis
15. Ajek - Ajeg
16. Adjektif - Ajektifaktivitas
17. Aktifitasaktual - Aktuil
18. Balsam - Balsem
19. Batalion - Batalyon
20. Baterai - Batere
21. Baka - Baqa
22. Barzakh - Barzah
23. Batalion - Batalyon
24. Batil - athil
25. Bazar - Bazaar
26. Becermin - Bercermin
27 Besok - Esok
28. Blanko - Blangko
29. Boks - Bok
30. Bosan - Bosen
31. Bus - Bis
32. Cabai - Cabe
33. Capai - Capek
34. Cedera - Cidera
35. Cendekiawan - Cendikiawan
36. Cengkih - Cengkeh
37. Cinderamata - Cenderamata
38. Cokelat - Coklat
39. Daftar - Daptar
40. Derajat - Derajad
41. Desain - Desaign
42. Detail - Detil
43. Detergen - Deterjen
44. Diagnosis - Diagnosa
45. Durian - Duren
46. Efektif - Efektip
47. Efektivitas - Efektifitas
48. Ekosistem - Ekosistim
49. Ekspor - Eksport
50. Ekstra - Extra
51. Ekstrakurikuler - Ekstrakulikule
52. Ekstrem - Ekstrim
53. Elite - Elit
54. Favorit - Pavorit
55. Februari - Pebruari
Modul III
Topik 2
Penulisan Ejaan Dan Tanda Baca

Konsepsi Ejaan
Ejaan adalah keseluruhan pelambangan bunyi bahasa, penggabungan dan pemisahan kata,
penempatan tanda baca dalam tataran satuan bahasa. Dalam KBBI (2005:205) disebutkan bahwa
ejaan adalah kaidah-kaidah cara menggambarkan bunyibunyi dalam bentuk huruf serta
penggunaan bahasa dalam tataran wacana. Berdasarkan konsepsi ejaan tersebut, cakupan ejaan
membicarakan tentang
1. Pemakaian huruf vokal dan konsonan.
2. Penggunaan huruf kapital dan kursif.
3. Penulisan kosakata dan bentukan kata.
4. Penulisan unsur serapan afiksasi dan kosakata asing.
5. Penempatan dan pemakaian tanda baca.
Lima aspek ejaan tersebut tertata dalam kaidah ejaan yang disebut Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang dipergunakan sejak 2016.

Perkembangan Ejaan di Bahasa Indonesia


Ditinjau dari sejarah penyusunannya, sejak peraturan ejaan Bahasa Melayu dengan huruf Latin
ditetapkan pada tahun 1901 berdasarkan rancangan Ch.A.Van Ophuijsen dengan bantuan Engku
Nawawi gelar Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim, telah dilakukan
penyempurnaan ejaan dalam berbagai nama dan bentuk.
Pada tahun 1938, pada Kongres Bahasa Indonesia yang pertama di Solo, disarankan agar
ejaan Indonesia lebih banyak diinternasionalkan. Pada tahun 1947 Soewandi, Menteri Pengajaran,
Pendidikan, dan Kebudayaan pada masa itu menetapkan dalam surat keputusannya tanggal 19
Maret 1947, No. 264/Bhg.A bahwa perubahan ejaan Bahasa Indonesia dengan maksud membuat
ejaan yang berlaku menjadi lebih sederhana. Ejaan baru itu oleh masyarakat diberi julukan Ejaan
Republik.
Kongres Bahasa Indonesia Kedua, yang diprakarsai Menteri Moehamamad Yamin,
diselenggarakan di Medan pada tahun 1954. Kongres itu mengambil keputusan supaya ada badan
yang menyusun peraturan ejaan yang praktis bagi Bahasa Indonesia. Panitia yang dimaksud yang
dibentuk oleh Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan dengan surat keputusannya
tanggal 19 Juli 1956, No. 44876/S, berhasil merumuskan patokan - patokan pada tahun 1957.
Sesuai dengan laju pembangunan nasional, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan yang pada
tahun 1968 menjadi Lembaga Bahasa Nasional, kemudian pada tahun 1975 menjadi Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Menyusun program pembakuan Bahasa Indonesia secara
menyeluruh. Di dalam hubungan ini, panitia Ejaan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan yang disahkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Sarino Mangunprono,
sejak tahun 1966dalam surat keputusannya tangal 19 September 1967, No. 062/1967, menyusun
konsep yang ditanggapi dan dikaji oleh kalangan luas di seluruh tanah air selama beberapa tahun.
Setelah rancangan itu akhirnya dilengkapi di dalam Seminar Bahasa Indonesia di puncak
pada tahun 1972 dan diperkenalkan secara luas oleh sebuah panitia yang ditetapkan dengan surat
keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tangal 20 Mei 1972, No. 03/A.I/72, pada hari
Proklamasi Kemerdekaan tahun itu juga diresmikan aturan ejaan yang baru itu berdasarkan
keputusan Presiden, No. 57, tahun 1972, dengan nama Ejaan yang Disempurnakan. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan menyebarkan buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan, sebagai patokan pemakaian ejaan itu.
Karena penuntun itu perlu dilengkapi, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang dibentuk oleh Menteri Pendididkan dan
Kebudayaan dengan surat keputusannya tanggal 12 Oktober 1972, No. 156/P/1972 menyusun
buku Pedoman Umum yang berisi pemaparan kaidah ejaan yang lebih luas.
Pada tahun 1988 Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan (PUEYD) edisi kedua
diterbitkan berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 0543a/U/1987 pada tanggal 9 September 1987. Setelah itu, edisi ketiga diterbitkan pada
tahun 2009 berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 46.
Pada tahun 2016 berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Anis
Baswedan, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (PUEYD) diganti
dengan nama Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang penyempurnaan naskahnya disusun
oleh Pusat Pengembangan dan Pelindungan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

Kaidah Penempatan Ejaan dalam Penulisan


Dalam buku Pedoman Ejaan yang Disempurnakan, penulisan ejaan dan tanda baca diatur dalam
kaidahnya masing-masing. Penulisan ejaan yang diatur tersebut di antaranya:
1.Pemakaian abjad, huruf vokal, dan huruf konsonan.
2. Persukuan, yaitu pemisihan suku kata.
3. Penulisan huruf kapital.
4. Penulisan huruf miring.
5. Penulisan kata dasar, kata ulang, kata berimbuhan, dan gabungan kata.
6. Penulisan angka dan lambang bilangan.
7. Penempatan tanda baca atau pungtuasi.
Sedangkan tata bahasa mencakupi aturan perihal:
1. Kaidah ucapan dan ejaan.
2. Kaidah pembentukan kata.
3. Kaidah penyusunan kalimat.
4. Kaidah pembentukan paragraf.
5. Kaidah tata tulis.
Modul 4

Topik 1

Ragam Bahasa

Bahasa digunakan oleh penuturnya dalam berbagai situasi dan waktu. Masyarakat pengguna
bahasa menggunakan bahasa untuk menyampaikan pesan kepada lawan tuturnya. Dengan
demikian, penutur berharap maksud yang ditangkap oleh lawan tuturnya sesuai dengan yang
ingin ia sampaikan.

Guna mempermudah penyampaian bahasa tersebut maka terciptalah ragam bahasa.


Ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaiannya, topik yang dibicarakan, hubungan
pembicara dan teman bicara, serta medium pembicaraannya(KBBI 2005:920). Yang perlu
diperhatikan dalam ragam bahasa adalah hal-hal sebagai berikut:

1. Situasi yang dihadapi.

2. Permasalahan yang hendak disampaikan.

3. Latar belakang pendengar dan pembaca.

4. Medium atau sarana bahasa yang dipergunakan.

Empat aspek dalam ragam bahasa tersebut lebih mengutamakan aspek situasi yang
dihadapi dan aspek medium bahasa yang digunakan dibandingkan dengan dua aspek yang lain.
Dalam perkembangannya, ragam bahasa semakin bertambah jumlahnya. Bahkan bisa dikatakan
bahwa ragam bahasa di Indonesia sangat banyak. Pola pergaulan modern dan perkembangan
IPTEK berperan penting dalam kemunculan berbagai ragam bahasa. Bahasa Indonesia
bermanifestasi dalam bermacam-macam bentuk kebahasaan. Perkembangan budaya yang
tumbuh seiring dengan perkembangan pola pergaulan masyarakat menumbuhkan inovasi-inovasi
bahasa sebagai hasil kreatifitas penggunanya. Sebut saja bahasa iklan dan bahasa pergaulan yang
semakin beragam akhir-akhir ini.

Selain sebagai wujud kreatifitas penggunanya, ragam bahasa muncul dan berkembang
seiring dengan tuntutan pemenuhan istilah keilmuan dari berbagai bidang dan aspek. Misalnya,
pada zaman dahulu manusia belum membutuhkan ragam bahasa tertentu yang digunakan dalam
dunia perfilman karena pada waktu dulu dunia perfilman belum semeriah dansecanggih zaman
sekarang.

Perkembangan ragam bahasa tersebut tentu menambah kekayaan bahasa Indonesia.


Namun, di sisi lain mau tak mau kitaharus mengakui bahwa keberadaan ragam bahasa yang
semakin berkembang dan bermunculan ini menimbulkan permasalahan sebagai sisi negatif.
Permasalahan tidak timbul dari ragam bahasa yang tercipta melainkan dari para penggunanya.
Masyarakat pengguna bahasa sering kali tidak dapat memilah-milah mana ragam bahasa yang
harus digunakan sesuai dengan kondisi dan situasi yang sedang dihadapi. Hasilnya, ragam
bahasa yang mereka gunakan menjadi campur aduk dan carut-marut. Lamakelamaan hal ini
menjadi kebiasaan yang dianggap lumrah meskipun sebenarnya salah.

Mahasiswa sebagai penutur bahasa di tingkat lingkungan pendidikan tertinggi


mempunyai tugas untuk menjadi filter atau setidaknya menjadi pengguna bahasa yang baik. Hal
ini mengingat mahasiswa sebagai kaum terdidik yang mempunyai hak untuk mengembangkan
dunia pendidikan baik di kancah keilmuan maupun di lingkungan sosial masyarakat.

3.1. Ragam Bahasa Berdasarkan Situsi Pemakaiannya

Berdasarakan situasi pemakaiannya, ragam bahasa terdiri atas tiga bagian yaitu:

1. Ragam bahasa formal.

2. Ragam bahasa semiformal.

3. Ragam bahasa nonformal.

Setiap ragam bahasa dan laras bahasa diidentifikasikan ke dalam situasi pemakaiannya.
Misalnya, ragam bahasa lisan (formal, semiformal, dan nonformal) dan laras bahasa (formal,
semiformal, dan nonformal). Kriteria ragam bahasa formal agar menjadi resmi adalah sebagai
berikut:

Empat aspek dalam ragam bahasa tersebut lebih mengutamakan aspek situasi yang dihadapi dan
aspek medium bahasa yang digunakan dibandingkan dengan dua aspek yang lain. Dalam
perkembangannya, ragam bahasa semakin bertambah jumlahnya. Bahkan bisa dikatakan bahwa
ragam bahasa di Indonesia sangat banyak. Pola pergaulan modern dan perkembangan IPTEK
berperan penting dalam kemunculan berbagai ragam bahasa. Bahasa Indonesia bermanifestasi
dalam bermacam-macam bentuk kebahasaan. Perkembangan budaya yang tumbuh seiring
dengan perkembangan pola pergaulan masyarakat menumbuhkan inovasi-inovasi bahasa sebagai
hasil kreatifitas penggunanya. Sebut saja bahasa iklan dan bahasa pergaulan yang semakin
beragam akhir-akhir ini. Selain sebagai wujud kreatifitas penggunanya, ragam bahasa muncul
dan berkembang seiring dengan tuntutan pemenuhan istilah keilmuan dari berbagai bidang dan
aspek. Misalnya, pada zaman dahulu manusia belum membutuhkan ragam bahasa tertentu yang
digunakan dalam dunia perfilman karena pada waktu dulu dunia perfilman belum semeriah dan
secanggih zaman sekarang. Perkembangan ragam bahasa tersebut tentu menambah kekayaan
bahasa Indonesia. Namun, di sisi lain mau tak mau kitaharus mengakui bahwa keberadaan ragam
bahasa yang semakin berkembang dan bermunculan ini menimbulkan permasalahan sebagai sisi
negatif. Permasalahan tidak timbul dari ragam bahasa yang tercipta melainkan dari para
penggunanya. Masyarakat pengguna bahasa sering kali tidak dapat memilah-milah mana ragam
bahasa yang harus digunakan sesuai dengan kondisi dan situasi yang sedang dihadapi. Hasilnya,
ragam bahasa yang mereka gunakan menjadi campur aduk dan carut-marut. Lamakelamaan hal
ini menjadi kebiasaan yang dianggap lumrah meskipun sebenarnya salah. Mahasiswa sebagai
penutur bahasa di tingkat lingkungan pendidikan tertinggi mempunyai tugas untuk menjadi filter
atau setidaknya menjadi pengguna bahasa yang baik. Hal ini mengingat mahasiswa sebagai
kaum terdidik yang mempunyai hak untuk mengembangkan dunia pendidikan baik di kancah
keilmuan maupun di lingkungan sosial masyarakat.

3.2.Ragam Bahasa Berdasarkan Situsi Pemakaiannya

Berdasarakan situasi pemakaiannya, ragam bahasa terdiri atas tiga bagian yaitu:

1. Ragam bahasa formal.

2. Ragam bahasa semiformal.

3. Ragam bahasa nonformal.

Setiap ragam bahasa dan laras bahasa diidentifikasikan ke dalam situasi pemakaiannya.
Misalnya, ragam bahasa lisan (formal, semiformal, dan nonformal) dan laras bahasa (formal,
semiformal, dan nonformal). Kriteria ragam bahasa formal agar menjadi resmi adalah sebagai
berikut:

1. Kemantapan dinamis dalam pemakaian kaidah sehingga luwes dalam pemakaiannya dan
dimungkinkan ada perubahan kosakata dan istilah dengan benar.

2. Penggunaan fungsi-fungsi gramatikal secara konsisten dan eksplisit.

3. Penggunaan bentukan kata secara lengkap dan tidak disingkat.

4. Penggunaan imbuhan (afiksasi) secara eksplisit dan konsisten.

5. Penggunaan ejaan yang baku pada ragam bahasa tulis dan lafal yang baku pada ragam bahasa
lisan.

Berdasarkan kriteria ragam formal tersebut, pembedaan antara ragam formal, semiformal, dan
nonformal diamati dari hal berikut:

1. Pokok masalah yang sedang dibahas.

2. Hubungan antara pembicara dan pendengar.

3. Medium bahasa yang dipergunakan lisan atau tulis.

4. Area atau lingkungan pembicaraan.

5. Situasi ketika pembicaraan berlangsung.

Menurut Arifin dan Tasai (2000:21) ragam bahasa dibedakan pula menjadi ragam sosial dan
ragam fungsional. Baik ragam lisan maupun ragam tulis, bahasa Indonesia ditandai oleh adanya
ragam sosial yaitu ragam bahasa yang sebagian norma dan kaidahnya didasarkan atas
kesepakatan bersama dalam lingkungan sosial yang lebih kecil dalam lingkungan masyarakat.
Ragam bahasa yang digunakan dalam keluarga atau persahabatan dua orang yang akrab dapat
merupakan ragam sosial tersendiri. Selain itu, ragam sosial tidak jarang dihubungkan dengan
tinggatau rendahnya status kemasyarakatan lingkungan sosial yang bersangkutan. Dalam hal ini
ragam baku nasional dapat pula berfungsi sebagai ragam sosial yang tinggi sedangkan ragam
baku daerah atau ragam sosial yang lain merupakan ragam sosial dengan nilai kemasyarakatan
yang rendah.

Ragam fungsional, yang disebut juga dengan ragam profesional, adalah ragam bahasa
yang dikaitkan dengan profesi, lembaga, lingkungan kerja, atau kegiatan tertentu lainnya. Ragam
fungsional juga dikaitkan dengan keresmian keadaan penggunaannya. Dalam kenyataan, ragam
fungsional menjelma sebagai bahasa negara dan bahasa teknis keprofesian seperti bahasa dalam
lingkungan keilmuan atau teknologi, kedokteran, dan keagamaan.

3.3.Ragam Bahasa Berdasarkan Medianya

Berdasarkan mediumnya, ragam bahasa terdiri atas dua ragam

yaitu:

1. Ragam bahasa lisan.

2. Ragam bahasa tulis.

Ragam bahasa lisan adalah bahasa yang dilafalkan langsung oleh penuturnya kepada pendengar.
Bahasa ragam lisan ditandai dan ditentukan oleh penggunaan aksen-aksen bicara atau
penekanan-penekanan tertentu dalam aktivitas bertutur, pemakaian intonasi, atau lagu kalimat
tertentu. Demikian juga tanda-tanda itu akan kelihatan dari wujud-wujud kosakata, tata bahasa,
kalimat, dan paragrafnya. Dalam ragam bahasa lisan, orang tidak lazim menyebut kalimat tetapi
tuturan. Bukan pula paragraf namun paratone. Bahasa ragam lisan selanjutnya dapatdiperinci
menjadi dua yaitu bahasa ragam lisan baku dan bahasa ragam lisan tidak baku (Rahardi
2009:17). Contoh ragam lisan baku bisa kita lihat ketika mendengarkan pembicara dalam
seminar atau rapat. Sedangkan contoh bahasa lisan tidak baku bisa ditemui ketika mendengar
aktivitas tawar-menawar pedagang dan pembeli di pasar.

Ragam bahasa tulis adalah ragam bahasa yang hanya tepat muncul dalam konteks tertulis.
Ketika menggunakan ragam bahasa tulis kita harus cermat menggunakan tanda baca serta
pemakaian ejaan, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan syarat wacana yang baik. Ragam
bahasa tulis bisa bersifat formal, semiformal, maupun nonformal. Menurut Rahardi (2009:18)
ketentuan-ketentuan yang lazim ditemukan dalam ragam bahasa tulis baku adalah sebagai
berikut:

1. Memakai ucapan baku.

2. Memakai ejaan resmi.

3. Menghindari unsur kedaerahan.

4. Memakai fungsi gramatikal secara eksplisit.

5. Memakai bentuk kebahasaan secara lengkap.

6. Memakai partikel secara konsisten.

7. Memakai kata depan secara tepat.

8. Memakai aspek-pelaku-tindakan secara konsisten.

9. Memakai bentuk sintesis.

10. Menghindari unsur leksikal yang terpengaruh bahasa daerah.

Arifin dan Tasai (2000:15-16) mengungkapkan bahwa ada perbedaan yang nyata antara ragam
bahasa lisan dan ragam bahasa tulis. Perbedaan mendasar tersebut terlihat dari:

1.Ragam lisan menghendaki adanya orang kedua, teman berbicara yang ada di depan pembicara,
sedangkan ragam bahasa tulis tidak mengharuskan adanya teman bicara berada di depan penulis.

2. Unsur-unsur gramatikal dalam ragam bahasa lisan seperti subjek, predikat, objek, dan
keterangan tidak selalu dinyatakan. Unsur-unsur tersebut kadang dapat ditinggalkan. Hal ini
disebabkan oleh bahasa yang digunakan dapat dibantu dengan gerak, mimik, pandangan,
anggukan, dan intonasi.

3. Ragam bahasa lisan dapat terikat pada kondisi, situasi, ruang, dan waktu. Apa yang
dibicarakan dalam suatu ruang kuliah atau rapat hanya berlaku dalam situasi dan ruang tersebut.
Ragam bahasa tulis tidak terikat oleh situasi, ruang, dan kondisi, dan waktu. Tulisan yang ada di
sebuah buku yang ditulis oleh seseorang yang berada di Amerika pada tahun 2000 dapat dibaca
dan dipahami oleh orang yang ada di Indonesia pada tahun 2016 dan seterusnya. Hal ini
dimungkinkan oleh kelengkapan dan unsur-unsur dalam ragam tulis.

4. Ragam bahasa lisan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya dan panjang pendeknya suara
sedangkan ragam bahasa tulis dilengkapi dengan tanda baca. Menurut Rahardi (2009:18) jika
dilihat dari bentuk dan medianya, karya ilmiah akademik termasuk dalam ragam bahasa tulis
baku. Maka, karya tulis akademik tidak boleh mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang
berlaku dalam ragam bahasa tulis baku. Ragam tulis baku dalam karya ilmiah akademik
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Jelas struktur bahasanya. Susunan kalimatnya juga jelas dan runtut.

2. Mengemban konsep makna yang jelas.

3. Memiliki kecermatan dalam hal diksi dan pemakaian tata bahasa.

4. Bersifat objektif karena bahasa ilmiah menggambarkan fakta sesuai dengan keadaan yang
sesungguhnya.

5. Bersifat konsisten dan runtut dalam cara penalaran.

6. Bersifar rasional dan sistematis dalam alur berpikir.

3.4.Ragam Bahasa Berdasarkan Pesan Komunikasinya

Rahardi dalam bukunya yang berjudul Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi (2009:18-19)
menjelaskan bahwa berdasarkan kandungan pesan komunikasinya, ragam bahasa dapat
dibedakan menjadi:

1. Bahasa ragam ilmiah.

2. Bahasa ragam sastra.

3. Bahasa ragam pidato.

4. Bahasa ragam berita .


Ragam ilmiah digunakan dalam dua manifestasi yaitu dalam karya ilmiah akademik dan dalam
karya ilmiah populer. Karya ilmiah akademik di perguruan tinggi meliputi artikel ilmiah,
makalah ilmiah, jurnal ilmiah, laporan penelitian, skripsi, tesis, disertasi, dan habilitasi. Karya
ilmiah populer meliputi esai ilmiah populer, catatan ilmiah populer, opini media massa, dan
kolom khas di media massa. Bahasa dalam ragam karya ilmiah harus mempunyai tujuan yang
jelas serta penulisan yang sistematis. Bahasa yang digunakandalam ragam ilmiah harus runtut,
jelas, padat, tidak bertele-tele, dan tidak bermakna ambigu. Hal ini dikarenakan karya ilmiah
diangkat dari fakta. Alasan-alasan yang dituangkan dalam karya ilmiah pun harus disusun
dengan kalimat yang baik tata bahasanya. Bahasa karangan ilmiah harus mempunyai visi jelas,
bersudut pandang jelas, dan tidak subjektif dalam menggambarkan data atau fakta. Berbeda
dengan ragam ilmiah, ragam sastra mempunyai susunan dan bentuk yang berbeda. Karya sastra
bersifat imajiner karena ditulis berdasarkan imajinasi penulisnya. Fakta yang terkandung dalam
karya sastra disampaikan melalui simbol yang dibentuk melalui berbagai gaya bahasa. Oleh
karena itu, fokus ragam bahasa dalam karya sastra justru diberatkan pada pemilihan diksi dan
penggunaan gaya bahasa. Gaya bahasa yang digunakan diharapkan dapat menyampaikan makna
yang terkandung di dalamnya karena yang terpenting dari karya sastra adalah esensi makna yang
ingin disampaikan. Penulis karya sastra mempunyai hak licentia poetica, yaitu hak untuk
menggunakan gaya bahasa secara bebas tanpa mempertimbangkan kebakuan kalimat, ejaan, dan
tanda baca. Bahasa dalam ragam pidato mempunyai titik fokus maksud dan tujuan yang
terkandung dalam pidato tersebut. Sama halnya dengan bahasa yang digunakan dalam seminar,
sarasehan, diskusi, rapat, dan lain sebagainya. Dengan demikian, harus diperhatikan benar apa
tujuan penggunaan bahasa dalam ragam pidato tersebut. Tujuan yang dimaksud dapat bertujuan
untuk memberi tahu, menghibur, mengajak, membujuk, mempropagandakan, atau mencari
penentu untuk memecahkan suatu masalah.

Ragam bahasa dalam penulisan berita mempunyai syarat tertentu yaitu mengandung
unsur-unsur berita what, who, when, where, why, how atau sering disingkat 5W+1H. Dalam
bahasa Indonesia sering disebut asakadamba yang berarti kepanjangan dari apa, siapa, kapan, di
mana, mengapa, bagaimana. Ragam berita menggunakan bahasa yang singkat, jelas, padat, dan
informatif. Bahasa dalam ragam berita atau jurnalistik menganut paham keefektifan. Hal inilah
yang tampak ketika kita membaca berita di koran atau mendengar berita di radio dan televisi.
Bahasa yang digunakan selalu terkesan hemat dan tepat sasaran sehingga banyak unsur
gramatikal yang dilesapkan.
Modul V
Topik 1
Kosakata, Diksi, Dan Makna Kata

Kosakata atau perbendaharaan kata adalah kekayaan kata suatu bahasa. Kosakata biasanya
dirangkum atau direkam dalam sebuah kamus (kamus kata, kamus istilah, dan kamus ungkapan).
Kosakata terdiri atas tiga macam yaitu kata, istilah, dan ungkapan.
1.Kata
Kata adalah rangkaian bunyi bahasa yang memiliki makna.
2. Istilah
Istilah dapat didefinisikan sebagai kata atau gabungan kata yang dapat dengan cermat
mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas di bidang kehidupan dan
cabang ilmu pengetahuan tertentu.
a. Istilah umum yaitu istilah yang umum dikenal masyarakat luas dan tidak terbatas pada bidang
ilmu tertentu.
b. Istilah khusus atau istilah teknis yaitu kata atau istilah yang digunakan dalan bidang ilmu
tertentu.
3. Ungkapan
Ungkapan adalah kata yang sudah memiliki makna kias.

Kata atau Diksi Kata atau diksi adalah rangkaian bunyi bahasa yang memiliki makna. Kata terdiri
atas bentuk dan makna. Makna adalah pengertian, konsep, atau acuan yang ditunjuk atau
dinyatakan oleh kata-kata atau diksi. Guna mencapai diksi yang baik kita harus memahami secara
baik masalah kata dan maknanya. Ada beberapa cara untuk memenuhi diksi:
1. Menggunakan kamus sebagai sumber.
2. Memperluas dan mengaktifkan kata.
3. Memilih kata yang tepat.
4. Memilih kata yang cocok, sesuai dengan situasinya.
5. Pengenalan beberapa corak gaya bahasa sesuai dengan tujuan penulisan.
Syarat diksi yang baik antara lain adalah:
1. Ketepatan diksi atau pilihan kata (ketepatan gagasan yang disampaikan).
2. Kesesuaian diksi atau pilihan kata (kesesuaian dalam kesempatan atau situasi).
3. Kelaziman pemakaian kata.

Makna Kata
Makna adalah pengertian, konsep, atau acuan yang ditunjuk atau dinyatakan oleh kata-kata.
1.Makna leksikal
Makna leksikal adalah keseluruhan makna yang dikandung oleh suatu kata. Makna leksikal
meliputi makna denotasi dan makna konotasi. Arifin dan Tasai (2000:25) menjelaskan bahwa
makna denotasi adalah makna dalam alam wajar secara eksplisit. Makna yang wajar ini maksudnya
adalah makna yang apa adanya. Denotasi adalah pengertian yang dikandung sebuah kata secara
objektif. Makna denotatif atau denotasi adalah makna pokok atau makna objektif, makna yang
ditunjuk langsung oleh kata itu sendiri atau makna kata yang sesungguhnya. Rahardi (2009:31-
32) menjelaskan bahwa dalam studi linguistik ditegaskan bahwa kata yang tidak mengandung
makna tambahan atau perasaan tambahan makna tertentu disebut denotasi. Adapun maknanya
disebut makna denotatif, makna denotasional, makna kognitif, makna konseptual, makna
ideasional, makna referensial, atau makna proposional. Jadi, makna denotatif dapat disebut makna
yang sebenarnya, makna yang dirujuk oleh sesuatu yang disimbolkan itu. Rahardi memberi contoh
bahwa kata “kursi” yang digunakan untuk menyebut sebuah benda yang digunakan untuk duduk
di sebuah kantor memang bermakna kursi. Hal ini merujuk pada makna kata yang sebenarnya.
Kata “kursi” tidak digunakan untuk menyimbolkan makna lain. Makna konotasi adalah makna
asosiatif, makna yang timbul sebagai akibat dari sikap sosial, sikap pribadi, dan kriteria tambahan
yang dikenakan pada sebuah makna konseptual (Arifin dan Tasai 2000:26). Makna konotatif
adalah makna tambahan, makna subjektif, makna yang timbul sebagai akibat adanya sugesti atau
saran dan asosiasi atau tautan pikiran yang ditimbulkan oleh makna pokok. Rahardi (2009:32)
mengatakan bahwa makna konotasi dalam studi bahasa makna yang mengandung arti tambahan,
perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar yang umum. Konotasi atau
maknakonotatif sering disebut dengan makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif.
Dapat pula dikatakan bahwa makna konotasi adalah makna kias, bukan makna sesungguhnya.
Maka, sebuah kata bisa diartikan berbeda pada masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain.
Makna konotatif mempunyai nuansa makna subjektif dan cenderung digunakan dalam situasi tidak
formal.
2. Makna gramatikal Selain makna leksikal, ada pula makna gramatikal. Makna gramatikal adalah
makna yang timbul akibat proses ketatabahasaan. Suatu kata yang telah dirangkai menjadi frasa
atau kalimat akan mempunyai makna gramatikal akibat pembentukan unsur kebahasaan yang
mengenainya.
Makna berdasarkan struktur leksikalnya dapat diperinci dalam uraian berikut:
1. Sinonim dan Antonim
Sinonim adalah beberapa kata yang mempunyai makna sama atau hampir sama. Antonim
adalah kata yang mempunyai arti berlawanan. Kata bersinonim berarti kata sejenis, sejajar,
serumpun, dan memiliki arti sama. Lebih gampang dapat dikatakan sinomin sesungguhnya
adalah persamaan makna kata. Adapun yang dimaksud adalah dua kata atau lebih yang
berbeda bentuknya, ejaannya, pengucapan atau lafalnya, tetapi memiliki makna sama atau
hampir sama. Ambil saja bentuk “hamil”, “mengandung”, dan “bunting”. Tiga bentuk
kebahasaan tersebut dapat dikatakan bersinonim karena bentuknya berbeda namun
mempunyai makna yang sama (Rahardi 2009:33). Chaer dalam Linguistik Umum (2003:297)
mengatakan bahwa sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan
makna antara satu ujaran dengan satuan ujaran yang lain. Misalnya antara kata “betul” dan
kata “benar”, antara kata “hamil” dan “duduk perut”. Sedangkan antonim adalah hubungan
semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, penentangan,
atau kontras antara yang satu dengan yang lain. Misalnya kata “buruk” berantonim dengan
kata “baik, kata “membeli” berantonim dengan kata “menjual” (2003:299). Bentuk
kebahasaan tertentu dapat dikatakan berantonim jika bahasa tersebut memiliki makna yang
tidak sama dengan makna lainnya. Dalam linguistik dijelaskan bahwa antonim menunjukkan
bentuk-bentuk kebahasaan itu menunjukkan relasi antarmakna yang wujud logisnya berbeda
atau bertentangan antara satu dengan lainnya. Dengan kata lain, penyangkalan terhadap entitas
kebahasaan yang satu akan menegaskan eksistensi yang satunya lagi. Bentuk antonim dapat
dibedakan menjadi antonim kembar, antonim plural, dan antonim gradual. Antonim kembar
misalnya kata “jantan” dan “betina”. Antonim plural misalnya kata “sayur” dan “buah”.
Sedangkan antonim gradual misalnya kata “setengah kaya”, “lumayan kaya”, dan “agak kaya”
(Rahardi 2009:33).
2. Kata Konkret dan Abstrak
Kata-kata konkret adalah kata-kata yang merujuk pada objek yang dapat dipilih, didengar,
dirasakan, diraba, atau dicium. Kata-kata konkret lebih mudah dipahami daripada kata abstrak.
Kata konkret akan lebih efektif jika dipakai dalam deskripsi sebab kata konkret akan dapat
merangsang pancaindera. Kata konkret merujuk pada kata yang dapat diinderakan dan bukan
merupakan kata jadian atau kata bentukan. Kata abstrak merujuk pada konsep atau gagasan.
Katakata abstrak lebih sering dipakai untuk mengungkapkan gagasan yang cenderung rumit.
Kata konkret lebih lazim digunakan untuk menyampaikan gagasan, argumentasi, persuasi, dan
bukan untuk menyampaikan deskripsi atau penggambaran benda (Rahardi 2009:35). Contoh
kata konkret antara lain kata “meja”, “buku”, “parfum”, “orang”. Kata-kata tersebut merujuk
pada suatu benda yang dapat dikenali bentuknya. Sedangkan contoh kata abstrak misalnya
kata “miskin”, “kaya”, “sedih”. Kata-kata tersebut merujuk pada sesuatu yang abstrak dan
tidak dapat disentuh.
3. Homonim, Homograf, dan Homofon
Homonim adalah kata yang sama tulisan dan pelafalannya tetapi mempunyai makna yang
berbeda jika digunakan dalam kalimat. Contoh homonim adalah kata “bisa” yang dapat
bermakna “dapat” dan “racun”. Homograf adalah kata yang mempunyai kesamaan tulisan
namun mempunyai pelafalan dan makna yang berbeda. Contoh homograf adalah kata “teras”
yang dapat berarti “beranda rumah” dan “jabatan penting”. Homofon adalah kata yang
mempunyai kesamaan bunyi atau pelafalan namun mempunyai tulisan dan makna yang
berbeda. Contoh homofon adalah kata “bang” dan “bank”, “sangsi” dan “sanksi”.
4. Polisemi
Polisemi adalah kata yang mempunyai banyak makna apabila dihubungkan dengan kata yang
lain. Kata berpolisemi ini merujuk pada makna yang serupa. Contoh polisemi misalnya kata
“kepala”. Kata “kepala” dapat berarti bagian tubuh, orang yang memimpin suatu lembaga,
atau bagian penting suatu benda.
5. Hiponim dan Hipernim
Hiponim adalah kata-kata yang maknanya terangkum oleh kata lain yang wilayah maknanya
lebih luas. Sedangkan hipernim adalah kata-kata yang memiliki makna luas. Contoh kata
bermakna luas adalah kata “bunga”. Kata “bunga” memiliki acuan yang lebih luas daripada
kata “mawar”, “melati”, dan “teratai”. Maka kata “bunga” dapat disebut sebagai hipernim dan
kata “mawar”, “melati”, serta “teratai” disebut sebagai hiponim.
6. Ambiguitas dan Ketaksaan
Ambiguitas atau ketaksaan adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran
gramatikal yang berbeda. Tafsiran gramatikal yang berbeda ini pada umumnya terjadi pada
bahasa tulis karena dalam bahasa tulis unsur suprasegmental tidak dapat digambarkan dengan
akurat. (Chaer 2003:307). Selanjutnya Chaer memberi contoh keambiguitasan dengan kalimat
“buku sejarah baru” yang dapat ditafsirkan sebagai “buku sejarah yang baru terbit” atau “buku
yanmemuat sejarah zaman baru”. Kalimat lain yang dapat dijadikan contoh adalah kalimat
“anak dosen yang nakal”. Kalimat tersebut dapat ditafsirkan bahwa yang nakal adalah si
dosen. Dapat pula ditafsirkan bahwa yang nakal adalah si anak. Ketaksaan dapat juga terjadi
bukan karena tafsiran gramatikal yang berbeda tetapi karena masalah homonimi sedangkan
konteksnya tidak jelas (Chaer 2003:308).
Ketaksaan dapat dilihat dalam contoh berikut:
1. “Mereka bertemu paus.” Kata “paus” dalam kalimat tersebut dapat ditafsirkan sebagai salah
satu jenis ikan yang besar. Dapat juga ditafsirkan sebagai pemimpin agama Katolik yang ada
di Roma.
2. “Dia memang bukan orang kudus.” Kata kudus dalam kalimat di atas dapat ditafsirkan
sebagai salah satu nama kota di Jawa Tengah. Dapat juga ditafsirkan sebagai istilah lain dari
kata suci dalam hal agama.
Modul 5
Topik 2
Persiapan UTS

1. Bahasa merupakan ..... komunikasi.


a. Ujung b. Sarana c. Cara
2. Bahasa terbagi menjadi dua yaitu ....
a. Verbal dan Verbal
b. Verbal dan Non Verbal
c. Non Verbal dan Non Verbal
3. Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa ....
a. Melayu b. Inggris c. Arab
4. Kapan Bahasa Indonesia diperkenalkan pertama kali?
a. 17 Agustus b. Sumpah Pemuda c. 01 Januari
5. Mengungkapkan rasa bahagia dengan wajah yang ceria dan tertawa sumringah
merupakan fungsi Bahasa....
a. Ekspresif b. Integrasi c. Komunikasi
6. Pemangku adat di sebuah desa memberikan nasehat pada dua warganya yang berselisih
merupakan contoh dari fungsi Bahasa .....
a. Sebagai alat komunikasi
b. Sebagai bentuk kontrol sosial
c. Sebagai bentuk adaptasi
7. Ada berapakah fungsi Bahasa menurut Halliday?
a. 10 b. 6 c. 7
8. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam Ragam Bahasa kecuali .....
a. Situasi yang dihadapi
b. Permasalahan yang hendak disampaikan
c. Tema yang dibicarakan
9. Apakah pengertian dari PUEYD?
a. Pedoman Ejaan
b. Pedoman Ejaan Umum
c. Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan
10. Kapan Kongres Bahasa Indonesia Pertama diadakan?
a. 1938 b. 1930 c. 1945
Modul 6
Topik 1
Kalimat

Dalam proses penulisan karya ilmiah, ada dua jenis kalimat yang mendapat perhatian penulis yaitu
kalimat dan kalimat efektif. Pernyataan sebuah kalimat bukanlah sebatas rangkaian kata dalam
frasa dan klausa. Rangkaian kata dalam kalimat tersebut ditata dalam struktur gramatikal yang
benar unsur-unsurnya dalam membentuk makna yang akan disampaikan secara logis. Kalimat-
kalimat dalam karya penulisan ilmiah harus menggunakan kalimat yang benar dan efektif karena
kalimat-kalimat yang tertata berada dalam tataran laras bahasa ilmiah.
Kalimat
Kalimat dalam tataran sintaksis adalah satuan bahasa yang menyampaikan sebuah gagasan yang
bersifat predikatif dan berakhir dengan tanda baca titik sebagai pembatas. Sifat predikatif dalam
kalimat berstruktur yang dibentuk oleh unsur subjek, predikat, dan objek (S-P-O). Unsur subjek
dan predikat harus mewujudkan makna gramatikal kalimat yang logis. Sekurang-kurangnya
kalimat dalam ragam resmi, baik lisan maupun tertulis, harus memiliki subjek dan predikat. Kalau
tidak mempunyai unsur subjek dan unsur predikat maka tidak dapat dikatakan sebagai kalimat.
Deretan kata yang seperti itu hanya bisa disebut frasa.
Kalimat adalah satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan, yang
mengungkapkan pikiran yang utuh. Dalam wujud lisan kalimat diucapkan dengan suara naik turun,
keras lembut, disertai jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir. Dalam wujud tulisan kalimat
dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik (.), tanda tanya (?), atau tanda seru (!)
(Arifin dan Tasai 2000:58).
Unsur-Unsur Kalimat
Kalimat mempunyai unsur-unsur pembangun yang terdiri atas subjek (S), predikat (P), objek (O),
pelengkap (Pel), dan keterangan (K). Berikut adalah penjelasan masing-masing unsur tersebut:
Subjek
Subjek adalah unsur penting yang ada di dalam kalimat. Di dalam kalimat, subjek tidak harus ada
di depan namun juga bisa berada di tengah kalimat. Subjek menandai unsur “apa” yang diceritakan
dalam kalimat.
Predikat
Predikat juga merupakan unsur penting dalam kalimat. Suatu pernyataan dikatakan sebuah
kalimat jika mengandung predikat. Jika dicermati dari dimensi maknanya, bagian kallimat yang
memberikan informasi “bagaimana” dan “mengapa” adalah predikat kalimat tersebut.
Objek
Objek kalimat hanya dimungkinkan hadir apabila predikat kalimat tersebut merupakan verba atau
kata kerja yang sifatnya aktif transitif. Objek menandai suatu benda yang dikenai pekerjaan oleh
subjek.
4. Pelengkap Pemahaman pelengkap sering dikacaukan dengan pemahaman objek. Dalam kalimat
pasif, pelengkap tidak dapat menduduki fungsi subjek. Berbeda dengan objek yang dapat
menduduki fungsi subjek dalam kalimat pasif. Selain perbedaan mendasar tersebut, memang
terdapat kesamaan antara objek dan pelengkap. Kesamaan itu adalah (1) dua-duanya harus hadir
untuk melengkapi kata kerja dalam kalimat, (2) dua-duanya tidak dapat diawali oleh preposisi atau
kata depan, dan (3) dua-duanya menempati posisi di belakang kalimat. Ciri lain yang juga
menunjukkan ciri pelengkap adalah bahwa verba yang mendahuluinya berawalan “ber-“. Selain
itu, bentuk-bentuk berafiks “ke-an” seperti “kehilangan”, “kedatangan”, “kemasukan”, dan
“kecopetan” juga diikuti dengan pelengkap (Rahardi 2009:84).
5. Keterangan Keterangan adalah unsur kalimat yang tidak wajib hadir. Unsur keterangan pada
kalimat dapat disebut sebagai unsur luaran atau unsur periferal. Fungsi keterangan adalah untuk
menambah informasi pada kalimat tersebut. Informasi yang hendak disampaikan dapat berupa
keterangan tempat, waktu, cara, syarat, sebab, dan tujuan.
Modul Tujuh

Topik Satu

Paragraf

Pengertian Paragraf

Paragraf adalah satuan bahasa yang membicarakan suatu topik atau gagasan atau pokok
pembicaraan. Paragraf terdiri atas beberapa kalimat dan biasanya cara penulisannya menjorok ke
dalam (alinea). Paragraf disebut juga karangan mini karena pada dasarnya merupakan miniatur
sebuah karangan. Tujuan paragraf dinyatakan dalam kalimat topik.

Paragraf mempunyai gagasan utama yang dituangkan dalam bentuk kalimat topik. Bagi
penulis, gagasan utama dalam paragraf merupakan pengendali isi paragraf sedangkan bagi
pembaca paragraf menjadi kunci pemahaman karena merupakan rangkuman isi paragraf. Salah
satu kalimat dalam paragraf merupakan kalimat topik, selebihnya kalimat pengembangan yang
berfungsi untuk memperluas keterangan, memperjelas, menganalisis, atau menerangkan kalimat
topik.

Kalimat-kalimat dalam paragraf memperlihatkan kesatuan pikiran atau mempunyai


keterkaitan dalam membentuk gagasan atau topik. Sebuah paragraf mungkin terdiri atas satu
hingga lima kalimat. Bahkan sering ditemui dalam satu paragraf terdiri atas lebih dari lima kalimat.
Walaupun paragraf itu mengandung beberapa kalimat namun tidak satu pun dari kalimat-kalimat
itu yang membahas persoalan lain. Seluruhnya memperbincangkan satu masalah yang sama atau
sekurang-kurangnya bertalian eratdengan masalah yang menjadi inti pembicaraan (Arifin dan
Tasai 2000:113).

Fungsi Paragraf

Paragraf berupa himpunan kalimat saling terkait dalam mengemukakan gagasan utama berfungsi
penting bagi penulis paragraf dan bagi pembaca. Fungsi paragraf bagi penulis adalah sebagai
berikut:
1. Paragraf memudahkan pengertian dan pemahaman dengan menceraikan satu tema dari tema
yang lain dalam teks.

2. Paragraf merupakan wadah untuk mengungkapkan sebuah ide atau pokok pikiran secara tertulis.

3. Paragraf harus memisahkan setiap unit pikiran yang berupa ide sehingga tidak terjadi
percampuran di antara unit pikiran penulis.

4. Penulis tidak cepat lelah dalam menyelesaikan sebuah karangan dan termotivasi masuk ke
paragraf berikutnya.

5. Paragraf dapat dimanfaatkan sebagai pembatas antara bab karangan dalam satu kesatuan yang
koheren.

Selain itu, fungsi paragraf bagi pembaca antara lain adalah:

1. Pembaca dapat dengan jelas memahami gagasan utama paragraf dengan memisahkan atau
menegaskan perhentian secara wajar dan formal

2. Pembaca dengan mudah “menikmati” karangan secara utuh sehingga memperoleh informasi
penting dan kesan yang kondusif.

3. Pembaca tertarik dan bersemangat membaca paragraf per paragraf karena tidak membosankan
atau tidak melelahkan.

4. Pembaca dapat belajar bagaimana cara menarik menyampaikan gagasan dalam paragraf.

5. Pembaca merasa tertarik dan termotivasi cara menjelaskan paragraf tidak hanya kata-kata tetapi
dapat juga dengan gambar, bagan, diagram, grafik, dan kurva.

Kalimat dalam Paragraf

Dilihat dari fungsi dan kandungan isinya, kalimat dalam paragraf terdiri atas:

1. Kalimat topik,
Kalimat topik merupakan kalimat yang mengungkapkan gagasan utama atau gagasan
pokok dalam paragraf yang bersangkutan. Bagian ini merupakan bagian yang penting,
berfungsi sebagai sarana mengarahkan dan sekaligus mengontrol pengembangan paragraf,
juga menuntun pembaca untuk menelusuri paragraf. Biasanya, kalimat topik terletak pada
awal atau tengah paragraf. Karena kalimat topik merupakan kalimat yang terpenting,
hendaknya merupakan kalimat yang efektif dan menarik, susunannya runtut dan logis,
rumusannya tidak terlalu umum namun juga tidak terlalu spesifik.
2. Kalimat pengembangan
Kalimat pengembangan merupakan kalimat-kalimat yang menguaraikan hal-hal yang
terkandung dalam kalimat topik. Kalimat ini hendaknya berpusat pada kalimat topik dan
cara merumuskan butir-butir pengembangan secara ringkas di bawah kalimat topik
sehingga terbentuk semacam kerangka paragraf
3. Kalimat penutup
Kalimat penutup merupakan kalimat yang mengakhiri paragraf. Kalimat penutup berupa
penekanan kembali hal-hal yang dianggap penting, dapat berupa simpulan, rangkuman,
yang dapat menimbulkan banyak kesan dalam hati pembaca.
4. Kalimat penghubung
Kalimat penghubung yaitu kata atau frasa yang menyatakan hubungan dengan paragraf
lain. Kalimat ini berfungsi menjaga terwujudnya kesatuan dan kepaduan paragraf.
Modul Tujuh
Topik Dua
Jenis-Jenis Paragraf

Jenis Paragraf Dilihat dari Satuan Karangan


Jenis paragraf jika dilihat dari satuan karangan dapat dibedakan menjadi paragraf pembuka,
paragraf isi, paragraf penghubung, dan paragraf penutup.
1.Paragraf Pembuka
Paragraf pembuka berfungsi membimbing pembaca untuk memasuki inti permasalahan atau ide
pokok yang akan dibicarakan yang berupa keterangan permulaan. Paragraf pembuka merupakan
bagian permulaan yang ditemui pembaca sehingga harus dapat memancing minat dan perhatian
pembaca. Ada beberapa cara untuk menarik perhatian pembaca:
a. Membuat garis besar karangan dengan menonjolkan bagian yang penting.
b. Memaparkan isi dan maksud judul karangan.
c. Mengutip pendapat dari pakar.
d. Menyitir suatu pendapat.
e. Membatasi subjek dan objek permasalahan.
f. Memaparkan arti pentingnya masalah tersebut.
g. Menceritakan pengalaman pribadi.
2. Paragraf Isi
Paragraf isi yaitu paragraf yang bertugas mengungkapkan ide pokok beserta pengembangannya.
Bagian ini merupakan bagian yang esensial dalam karangan. Oleh karena itu, susunan kalimatnya
harus runtut dan sesuai dengan asas-asas penalaran yang logis. Yang perlu diperhatikan dalam
paragraf isi adalah hal-hal sebagai berikut:
a. Mengemukakan pokok permasalahan dengan jelas dan eksplisit.
b. Perlu dijaga keserasian dan kelogisan antarparagraf.
c. Pengembangan paragraf dapat menggunakan jenis paragraf ekspositoris, argumentatif,
deskriptif, atau naratif.
d. Memperhatikan hal teknis seperti kutipan, sumber kutipan, bagan, diagram, dan kurva.
e. Menyiapkan uraian pokok masalah yang disintesiskan sebagai bahan paragraf simpulan.
Ada beberapa pola pengembangan paragraf yaitu pola urutan waktu, pola urutan tingkat, pola
urutan apresiatif, pola urutan tempat, pola urutan klimaks, pola urutan antiklimaks, pola urutan
khusus-umum, pola urutan sebab-akibat, dan pola urutan tanya-jawab.
3. Paragraf Penghubung
Paragraf penghubung yaitu paragraf yang bertugas menghubungkan paragraf yang satu dengan
paragraf yang lain atau bagian karangan yang satu dengan bagian yang lain. Disebut pula dengan
paragraf peralihan atau transisi. Paragraf ini berupa kalimat kompleks dan terletak pada awal
paragraf penutup, atau bagian penutup paragraf.
4. Paragraf Penutup
Paragraf penutup merupakan paragraf yang menutup atau mengakhiri sebuah karangan. Paragraf
ini merupakan kebulatan dari masalah-masalah yang dikemukakan sebelumnya. Paragaraf ini
hendaknya memperkuat gagasan pokok dan sekaligus menggambarkan isi karangan. Bagian
penutup ini merupakan bagian terakhir yang dibaca oleh pembaca. Oleh karena itu, susunan
kalimatnya harus diolah sedemikian rupa sehingga berkesan bagi pembaca. Kalimat penutup
berupa simpulan, ringkasan, penekanan kembali hal yang penting, saran, atau harapan. Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam paragraf penutup antara lain:
a. Tidak terlalu panjang dan tidak begitu saja diputuskan.
b. Ditampilkan sebagai cerminan sebuah simpulan.
c. Mendapat kesan positif dan informatif.
d. Pengetahuan yang logis dan kondusif.
e. Bisa berupa jawaban singkat dari uraian atau pertanyaan pada paragraf pembuka.
f. Tidak menguraikan, mengutip, atau mengemukakan hal baru.
g. Berdasarkan apa yang disimpulkan dalam paragraf, penulis dapat mengajukan rekomendasi.
h. Usulan yang berupa saran.
Jenis Paragraf Berdasarkan Sifat Tujuan
Karangan Berdasarkan sifat dan tujuan karangan, paragraf dibagi menjadi beberapa jenis yaitu:
1. Paragraf eksposisi adalah paragraf yang menginformasikan atau memaparkan pokok masalah.
2. Paragraf argumentatif adalah paragraf yang mengemukakan suatu pikiran dengan alasan logis.
3. Paragraf deskriptif adalah jenis paragraf yang menggambarkan suasana, area, dan benda.
4. Paragraf naratif adalah jenis paragraf yang menceritakan suatu masalah dengan urutan
kronologis.
5. Paragraf persuasif adalah jenis paragraf yang memengaruhi atau merajuk orang tentang suatu
hal.
Jenis Paragraf Berdasarkan Posisi Kalimat
Topiknya Berdasarkan posisi kalimat topiknya, paragraf dibagi menjadi beberapa jenis yaitu:
1. Paragaf deduktif adalah jenis paragraf yang menempatkan kalimat topik pada awal paragraf.
2. Paragraf induktif adalah jenis paragraf yang menempatkan kalimat topik pada akhir paragraf.
3. Paragraf deduktif-induktif adalah jenis paragraf yang menempatkan kalimat topik pada awal
dan akhir paragraf.
4. Paragraf ineratif adalah jenis paragraf yang menempatkan kalimat topik pada tengah paragraf.
5. Paragraf tanpa kalimat topik adalah jenis paragraf yang pengembangan paragrafnya menyebar
dalam satu paragraf.
Jenis Paragraf Berdasarkan Cara atau Metode Pengembangannya
Berdasarkan cara atau metode pengembangannya, paragraf dibagi menjadi beberapa jenis yaitu:
1. Paragraf menerangkan
2. Paragraf memerinci
3. Paragraf contoh
4. Paragraf pembuktian
5. Paragraf pertanyaan
6. Paragraf perbandingan
7. Paragraf sebab akibat
Syarat Paragraf yang Baik
Sebuah paragraf harus memenuhi beberapa syarat agar menjadi paragraf yang baik. Berikut adalah
beberapa syarat paragraf yang baik:
1. Kesatuan yang kompak Kesatuan yang kompak maksudnya adalah semua kalimat haruslah
mengemukakan satu tema yang jelas. Kalimat-kalimat yang membentuk paragraf itu disusun
sedemikian rupa sehingga tidak satu kalimat pun yang menyimpang. Apabila dalam satu paragraf
terdapat kalimat yang menyimpang, paragraf tersebut tidak utuh. Oleh karena itu, harus dibuat
paragraf baru.
2. Kepaduan atau koherensi Kepaduan atau koherensi maksudnya adalah antarkalimat dalam
paragraf saling terkait. Hal ini dapat terlihat melalui penyusunan kalimat secara logis dan melalui
kata-kata pengait anatarkalimat. Mengaitkan kalimat dalam paragraf dapat dilakukan dengan cara
berikut.
a. Pengulangan kata kunci (repetisi) yang terdapat dalam setiap kalimat.
b. Penggunaan kata penghubung (konjungsi) setiap awal kalimat dengan tepat dan benar
(misalnya: selanjutnya, di samping itu, pendek kata, pada umumnya, dengan demikian,
sehubungan dengan itu, oleh karena itu).
c. Penggunaan kata ganti orang atau kata ganti penunjuk sebagai pengganti gagasan utama,
misalnya dia, mereka, -nya, itu, tersebut, ini.
d. Penggunaan metode pengembangan paragraf sebagai penjelas gagasan utama paragraf. Metode
yang digunakan dari metode proses sampai dengan metode definisi.
e. Setiap paragraf harus mempunyai satu gagasan utama yang ditulis dalam kalimat topik. Posisi
kalimat topik dalam paragraf ditepatkan pada
(1) Awal paragraf (dedukktif).
(2) Akhir paragraf (induktif).
(3) Awal dan akhir paragraf (deduktif-induktif).
(4) Tengah paragraf (ineratif).
(5) Semua kalimat dalam paragraf (deskriptif).
f. Penulis paragraf tetap memperhatikan kaidah satuan bahasa yang lain, seperti ejaan, tanda baca,
bentukan kata, diksi, dan kalimat.
g. Dalam penulisan karangan ilmiah, penulisan paragraf harus memperhatikan kutipan, sumber
rujukan, tata letak grafik, kurva, dan gambar.
h. Penulis memperhatikan jenis-jenis paragraf pada posisi bagian karangan, yaitu pendahuluan, isi,
dan penutup.
i. Penulisan paragraf menjorok ke dalam (paragraf menekuk) atau sejajar (paragraf merenggang).
j. Penulis memperhatikan jumlah kata atau kalimat (jumlah kosakata antara 30-100 kata dan
jumlah kalimat minimal tiga kalimat).
k. Jika uraian paragraf lebih dari 100 kata, sebaiknya dibuat menjadi dua paragraf.
Struktur Paragraf
Paragraf mempunyai struktur kalimat utama atau kalimat topik dan kalimat penjelas.
1. Kalimat utama atau kalimat topik yaitu kalimat yang mengungkapkan gagasan utama.
2. Kalimat penjelas yaitu kalimat yang menjelaskan atau menguraikan kalimat utama.
Jenis-Jenis Paragraf
Dalam karangan terdapat bermacam-macam jenis paragraf. Macam-macam jenis paragraf tersebut
adalah:
1. Paragraf Deduktif
Berikut adalah contoh paragraf deduktif:
Eceng gondok termasuk gulma atau tumbuhan pengganggu. Eceng gondok menyebar
dengan cepat lewat angin dan arus bawah air, serta mampu mempercepat penguapan air
tenang seperti danau. Perairan yang ditumbuhi eceng gondok akan menjadi cepat dangkal,
kotor, dan lumpur melekat pada akar-akar tumbuhan tersebut akan menganggu lalu lintas
air. Sungai pun tampak kotor.
Kalimat utama dalam kalimat tersebut terletak pada awal paragraf yaitu eceng gondok
termasuk gulma atau tumbuhan pengganggu. Kalimat utama tersebut dikembangkan lagi
oleh beberapa kalimat penjelas. Seluruh isi kalimat penjelas itu harus mendukung pokok
pikiran utama.
2. Paragraf Induktif
Berikut adalah contoh paragraf induktif:
DNA (Deoxyribo Nucleid Acid) disebut juga asam dioksiribonukleat, yaitu asam protein dalam
darah yang mengandung informasi tentang sifat dan karakteristik makhluk hidup yang khas dan
tidak disamai oleh makhluk lain. Informasi ini terangkum dalam kode genetis berupa ikatan
kimiawi. Jadi, DNA digunakan untuk memastikan siapa orang tua dari seorang anak.
Paragraf tersebut diawali oleh kalimat-kalimat penjelas terlebih dahulu yaitu penjelas pokok
pikiran utama tentang DNA. Keseluruhan kalimat penjelas ini disimpulkan oleh kalimat utama
pada akhir paragraf. Jadi, kalimat utama dalam paragraf tersebut, DNA dapat digunakan untuk
memastikan siapa orang tua dari seorang anak
3. Paragraf Campuran (Deduktif-Induktif)
Berikut adalah contoh paragraf campuran (deduktif-induktif):
Seorang anak perlu menyenangi dan menikmati kegiatan kreatif. Hal ini dapat dilakukan dengan
cara mengajak si anak melakukan kegiatan tersebut bersama-sama dengan orang tua atau pendidik.
Kegiatan seperti ini sebaiknya dilakukan sejak usia dini. Semangat dan kegembiraan orang tua dan
pendidik dalam melakukan hal-hal kreatif akan menular kepada si anak. Jadi, ia pun akan
menyenangi dan menikmati kegiatan kreatif itu.
Kalimat utama pada paragraf tersebut terletak pada awal dan diulang di akhir paragraf. Kalimat-
kalimat yang terletak di antara kedua kalimat utama merupakan kalimat penjelas yang berfungsi
mengembangkan pokok pikiran utama.
Modul 8
Topik 1
Struktur Paragraf Dan Cara Membuat Paragraf

Struktur Paragraf
Paragraf mempunyai struktur kalimat utama atau kalimat topik dan kalimat penjelas.
1. Kalimat utama atau kalimat topik yaitu kalimat yang mengungkapkan gagasan utama.
2. Kalimat penjelas yaitu kalimat yang menjelaskan atau menguraikan kalimat utama.

Persyaratan Paragraf yang Baik dan Benar


Paragraf yang baik dan efektif harus memenuhi persyaratan berikut.
(1) Kesatuan yang kompak,yaitu semua kalimat harus mengemukakan satu tema yang jelas.
(2)Koherensi yang padu, yaitu antarkalimat dalamparagraf saling terkait dalam paragraf. Cara
mengaitkan antarkalimat dalam paragraf dapat dilakukan dengan cara berikut.
(a) Pengulangan kata kunci (repetisi) yang terdapat dalam setiap kalimat.
(b) Penggunaan kata penghubung (konjungsi) setiap awal kalimat dengan tepat dan benar.
(c) Penggunaan kata ganti orang atau kata ganti penunjuk sebagai pengganti gagasan utama dengan
kata-kata seperti: dia, mereka,nya, itu, tersebut, ini.
(3) Penggunaan metode pengembang paragraf sebagai penjelas gagasan utama paragraf. Metode
yang digunakan dari metodeproses sampai dengan metode definisi.
(4) Setiap paragraf harus mempunyai satu gagasan utama yang ditulis dalam kalimat topik. Posisi
Kalimat topik dalam paragraf ditempatkan pada
(a) Kalimat topik pada awal paragraf (deduktif),
(b) Kalimat topik pada akhir paragraf (induktif),
(c) Kalimat topik pada awal dan akhir paragraf (deduktif—induktif),
(d) Kalimat topik pada tengah paragraf (ineratif),
(e) Kalimat topik pada semua kalimat dalam paragraf (deskriptif).
Kalimat topik dalam paragraf ditulis dalam kalimat tunggal atau kalimat majemuk bertingkat
karena kedua kalimat itu hanya menyampaikan satu gagasan utama.
(5)Penulis paragraf tetap memperhatikan kaidah satuan bahasayang lain, seperti ejaan, tanda baca,
kalimat, diksi, dan bentukan kata.
(6) Dalam penulisan karangan ilmiah,penulisan paragraf harus diperhatikan hal-hal teknis
penulisan Seperti kutipan, sumber rujukan, tata latak grafik, kurva,gambar.
(7) Penulis pun memperhatikan jenis-jenis paragraf pada posisi bagian karangan pendahuluan,
isi,dan bagian kesimpulan.
(8) Penulisan paragraf yang menjorok ke dalam, sejajar, atau menekuk.
(9) Penulis juga memperhatikan jumlah kata atau jumlah kalimat dalam sebuah paragraf, yaitu
jumlah Kosakata paragraf antara 30—100 kata dan jumlah kalimat minimal tiga kalimat.
(10) Jika uraian paragraf melebihi 100 kata sebaiknya dibuat menjadi dua paragraf.
Modul 8
Topik 2
Jenis-Jenis Tulisan

Sebelum mengarang, apalagi menulis karangan ilmiah, penulis harus memahami terlebih dahulu
segala hal tentang karangan dan jenis-jenis karangan. Dengan demikian, seorang penulis dapat
menentukan jenis karangan yang akan dibuatnya dan memudahkan penulis menyusun kerangka
sehingga tujuan penulis tercapai.
Pada dasarnya mengarang merupakan pekerjaan merangkai kata, kalimat, dan paragraf
untuk menjabarkan dan atau mengulas topik tertentu guna memperoleh hasil akhir berupa
karangan (Finoza 2008:228). Selain itu, harus pula dipahami bahwa karangan dapat bersifat
nonilmiah, semiilmiah atau ilmiah populer, dan ilmiah. Ketiganya memiliki perbedaan. Berikut
sifat, ciri, dan contoh karangan non-ilmiah, semi-ilmiah atau ilmiah populer, dan ilmiah.
Sifat Karangan Ciri Contoh
Non-Ilmiah a. Tidak terikat oleh aturan Cerita pendek, anekdot, dan
bahasa baku. puisi.
b. Struktur tidak baku
walaupun tetap sistematis.
c. Nonfaktual/ rekaan.
d. Subjektif.
e. Biasa berbentuk narasi,
deskripsi, dan campuran.
Semi-Ilmiah a.Menghindari istilah-istilah Berita, opini, dan artikel.
teknis dan menggantinya
dengan istilah umum.
b. Struktur tidak baku
walaupun tetap sistematis.
c. Pengamatan bersifat
faktual. d. Bersifat campuran
(objektif dan subektif).
e. Biasanya berbentuk
eksposisi, persuasi, deskripsi,
dan campuran.
Ilmiah a. Sumber bersifat faktual. Makalah, skripsi, tesis, dan
b. Bersifat objektif. disertasi.
c. Menggunakan kaidah
bahasa Indonesia baku.
d. Terkait oleh aturan yang
lazim digunakan dalam ranah
ilmiah bidang bidang ilmu.
e. Struktur bersifat baku.
f. Argumentasi dan campuran.
Karangan Eksposisi
Karangan eksposisi merupakan wacana yang bertujuan memberikan penjelasan, informasi,
keterangan, dan pemahaman kepada pembaca atau pendengan tentang suatu hal. Tulisan jenis ini
biasanya menguraikan sebuah proses atau suatu hal yang belum diketahui oleh pembaca atau
proses kerja suatu benda (Keraf 1997:110).
Sebuah tulisan ekspositoris semata-mata hanya memberikan informasi dan tidak bertujuan
lain, misalnya berpromosi atau menggiring pembaca agar setuju dengan apa yang dijelaskan. Jenis
tulisan ini dapat kita temui di media massa seperti berita politik dan kriminal. Karangan eksposisi
dapat disebut juga karangan paparan karena sifatnya memaparkan.
Karangan Argumentasi
Tulisan ini bertujuan untuk meyakinkan atau mengubah pendapat pembaca atas suatu pendapat,
ideologi, doktrin, sikap, atau tingkah laku tertentu. Dalam tulisan yang bersifat ilmiah, jenis
karangan ini biasanya digunakan oleh penulis untuk meyakinkan pembaca atas topik yang
diuraikan penulis. Dengan demikian, penulis harus menyusun karangannya secara logis dengan
alasan atau data yang mampu meyakinkan pembaca.
Menurut Keraf argumentasi adalah suatu bentuk retorika yang berusaha memengaruhi
sikap dan pendapat orang lain agar mereka percaya dan bertindak sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh penulis atau pembicara (1985:3).
Ada beberapa kosakata yang sangat aneh dalam bahasa Indonesia yang dipakai oleh
masyarakat untuk mengungkapkan idenya. Salah satu kosakata tersebut yang banyak digunakan
di media elektronik, terutama televisi, adalah terkini. Sejumlah stasiun televisi menggunakan kata
itu dengan berbagai variasi “kabar terkini”, “terdepan dan terkini”, “Indonesia terkini”, dan lain-
lain.
Adakah yang lebih “kini” sehingga ada yang “terkini”? Adakah waktu bisa kita tangkap,
kita bekukan, menjadi “kini” yang berhenti, statis, beku, kemudian kita membuat yang lebih
“kini”? Kini, kemarin, atau pun esok merupakan momen yang tidak mungkin kita tangkap.
Begitulah absurditas waktu. Hanya tubuh kita yang menjadi bukti dan saksi yang menangkap jejak
waktu. Bayi bertumbuh remaja, muda, berangsur matang. Setelah itu tua, kusut, menopause, renta,
lalu surut.
Bukan karena bahasa Indonesia tidak mengenal tensis lalu kita boleh memakai kosakata
dengan logika sembarangan. Melatih logika, melatih otak, bahkan melatih tubuh, dan tangan kita
pun sebenarnya bisa digunakan untuk mengingat apa yang tidak diingat oleh otak kita, adalah
bagian-bagian dari melatih kesadaran. Tiadanya kesadaran membuat jagat kecil yaitu diri kita
menjadi morat-marit. Korupsi dan segala kejahatan turunannya adalah perihal diri manusia yang
kacau (disunting dari “Terkini” oleh Bre Redana dalam Kompas Minggu, 20 Desember 2012).
Karangan Persuasi
Kata “persuasi” berasal dari to persuade yang berarti “membujuk” atau “meyakinkan”. Bentuk
nominanya adalah persuation yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata
“persuasi” (Finoza 2008:247). Karangan persuasi adalah karangan yang bertujuan meyakinkan
pembaca, membuat pembaca percaya, atau membujuk pembaca atas apa yang dikemukakan oleh
penulis. Yang dikemukakan tersebut dapat berupa fakta, produk, pendapat, hingga ideologi
tertentu. Bidang yang paling banyak menggunakan jenis karangan ini adalah bidang periklanan.
Sedangkan menurut Keraf dalam bukunya yang berjudul Argumentasi dan Narasi
menjelaskan bahwa persuasi adalah suatu seni verbal yang bertujuan untuk meyakinkan seseorang
agar melakukan sesuatu yang dikehendaki pembicara dalam waktu ini atau pada waktu yang akan
datang. Karena tujuan terakhir adalah agar pembaca atau pendengar melakukan sesuatu maka
persuasi dapat dimasukkan pula dalam cara-cara untuk mengambil keputusan (1985:118).
Karangan persuasi dapat digolongkan ke dalam empat kelompok, yaitu:
1. Persuasi politik.
2. Persuasi pendidikan.
3. Persuasi advertensi.
4. Persuasi propaganda.
Sebagai bahan pemahaman, berikut adalah contoh tulisan persuasi advertensi:
Persiapkan perawatan khusus kulit, wajah, dan tubuh Anda saat menuju tanah suci dengan
Energhi. dengan demikian, kondisi cuaca, suhu, dan udara yang ekstrim tidak mengganggu
kekhusukan ibadah haji Anda. Energhi Skin Care Packge akan menjaga dan melindungi kulit Anda
tetap lembab, sehat, dan alami.
Karangan Narasi (Kisahan)
Narasi atau kisahan adalah karangan yang menceritakan sesuatu, baik berdasarkan pengamatam
maupun pengalaman secara runtut. Sebuah karangan narasi berusaha mengisahkan suatu peristiwa
atau kejadian secara logis (Keraf 1997:109). Penulisan narasi membutuhkan tiga hal yaitu:
(1) Kalimat pertama dalam paragraf harus menggugah minat pembaca.
(2) Kejadian disusun secara kronologis
(3) Fokus pada tujuan akhir yang jelas (Utorodwo dkk. 2004:65).
Karangan Deskripsi
Deskripsi merupakan jenis karangan yang menggambarkan bentuk objek pengamatan dari aspek
rupa, sifat, rasa, atau corak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya selain
menggambarkanperasaan bahagia, takut, sepi, sedih, atau gembira. Tujuan karangan ini adalah
untuk membantu pembaca membayangkan apa yang digambarkan tersebut (Utorodewo dkk.
2004:65).
Seorang penulis yang hendak menulis karangan deskriptif haruslah teliti, cermat, dalam
memilih kata sehingga pembaca dapat membayangkan objek yang dilukiskan. Penulis harus
mengambil sikap terhadap objek yang akan dilukiskannya agar sampai pada tujuan.
Ada dua pendekatan dalam karangan deskriptif yaitu pendekatan realistis dan
impresionalistis.
1. Pendekatan Realistis Dalam pendekatan ini, penulis seolah bertindak sebagai tukang potret yang
memotret sebuah objek. Dengan kata lain, penulis harus bersifat objektif, tidak dibuat-buat dan
apa adanya.
2. Pendekatan Impresionalistis Pendekatan ini bertujuan untuk menimbulkan kesan dalam diri
pembaca sesuai dengan impresi penulis karena pelukisan bertolak dari sudut pandang penulis. Jadi,
sifat pendekatan ini subjektif. Tarigan (2008:66) membuat tabel perbedaan responsi pembaca
setelah membaca berbagai tulisan di atas guna memudahkan perbedaan fungsi jenis tulisan.
Jenis Tulisan Responsi pembaca
Narasi (pengisian) Kami menikmatinya
Deskripsi (pemerian) Kami melihat, mendengar, dan merasakan
Persuasi (peyakinan) Kami meyakini dan mempercayainya
Eksposisi (penyingkapan) Kami meyakini dan memahaminya
Modul Sembilan
Topik Satu
Tema dan Topik

Tema
Pengertian tema secara khusus dalam karang-mengarang dapat dilihat dari dua sudut yaitu dari
sudut karangan yang telah selesai dan sudut proses penyusunan sebuah karangan.
Dilihat dari sudut sebuah karangan yang telah selesai, tema adalah suatu amanat utama
yang disampaikan oleh penulis melalui karangannya. Amanat utama ini dapat diketahui jika
seorang pembaca membaca karangan hingga mengungkap sari atau makna seluruh karangan itu
(Keraf 2004:121).
Keraf selanjutnya mengemukakan bahwa jika dilihat dari sudut penyusunan atau penulisan
karangan, kita bisa membatasi tema dengan suatu rumusan yang agak berlainan, walaupun
nantinya apa yang dirumuskan itu pada hakikatnya sama. Dalam kenyataan untuk menulis suatu
karangan, penulis harus memilih suatu topik atau pokok pembicaraan. Di atas pokok pembicaraan
itulah ia menempatkan suatu tujuan yang ingin disampaikan dengan landasan topik tadi. Dengan
demikian pada waktu menyusun sebuah tema atau pada waktu menentukan sebuah tema untuk
sebuah karangan ada dua unsur yang paling dasar perlu diketahui yaitu topik atau pokok
pembicaraan dan tujuan yang akan dicapai.
Berdasarkan kenyataan ini, pengertian tema dapat dibatasi sebagai suatu rumusan dari
topik yang akan dijadikan landasan pembicaraan dan tujuan yang akan dicapai melalui topik tadi
(2004:122).

Topik
Sebuah karangan ilmiah haruslah direncanakan dan disusun dengan cara yang sistematis dan
terukur. Oleh karena itu, perlu ditetapkan terlebih dahulu hal yang paling penting yang akan
diuraikan. Hal yang penting tersebut disebut topik.
Topik tidak sama dengan judul. Topik haruslah yang pertama ditentukan oleh penulis
sedangkan judul boleh ditentukan paling akhir karena judul hanyalah kepala karangan atau nama
karangan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih judul adalah sebagai berikut:
1. Harus menarik perhatian penulis.
2. Diketahui dan dikuasai oleh penulis.
3. Harus sempit dan terbatas.
4. Hindari topik yang kontrovesial atau baru.
Sebuah topik harus menarik perhatian penulis. Topik yang menarik perhatian penulis akan
memungkinkan pengarang berusaha secara terus-menerus mencari data-data untuk memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi. Penulis akan didorong terus-menerus agar dapat menyelesaikan
tulisan itu sebaik-baiknya. Sebaliknya, suatu topik yang sama sekali tidak disenangi malah akan
menimbulkan kesalahan bila terdapat hambatan-hambatan. Penulis tidak akan berusaha sekuat
tenagauntuk menemukan data dan fakta untuk memecahkan persoalanpersoalan yang dihadapi
(Keraf 2004:126).
Dalam menentukan topik, penulis harus menguasai betul topik yang diangkat. Penulis juga
harus membatasi topik tersebut agar pembahasan masalah yang disajikan tidak terlalu luas dan
melebar. Tulisan yang terlalu luas dan melebar hanya akan merancukan fokus pembahasan. Data
yang disajikan pun akan kurang akurat.
Setelah topik selesai dirumuskan, langkah selanjutnya adalah penentuan tujuan. Tujuan
adalah sasaran yang hendak dicapai penulis berdasarkan topik sehingga tujuan itu mempersempit
atau membatasi topik.
Modul Sembilan
Topik Dua
Tujuan Dan Tesis
Tujuan
Membuat karya tulis ibarat berpergian ke suatu tempat. Ketika akan berpergian kita tentu harus
tahu ke mana tujuan kita pergi lalu memutuskan bagaimana cara ke sana dan akan menggunakan
kendaraan apa. Begitu pula dengan menulis. Ketika akan menulis kita harus tahu tujuan menulis.
Kira-kira untuk apa kita menulis, siapa calon pembaca kita, dan bagaimana cara kita
menyampaikan hal yang akan kita bahas agar maksud yang kita sampaikan dapat diterima dengan
tepat oleh pembaca.
Banyak hal yang dapat diangkat menjadi topik tulisan. Seperti yang telah disebutkan di
atas, topik yang dipilih sebaiknya adalah topik yang diketahui dan dikuasai oleh penulis. Setelah
menemukan topik barulah tentukan tujuan untuk apa menulis. Tanpa menentukan tujuan, tentu
penulis akan kesulitan menulis karena tidak mempunyai arah yang pasti.
Selain menentukan tujuan, penulis juga harus mengira-kira siapa calon pembacanya.
Dengan demikian, penulis akan dapat menentukan ragam bahasa yang digunakan, cara bertutur,
penggambaran ide atau tema, cara pemecahan masalah, dan penyampaian contoh yang sesuai. Hal
ini tak ada bedanya dengan ketika kita berbicara. Berbicara dengan anak usia sekolah dasar tentang
pendidikan seks tentu akan sangat berbeda ketika kita berbicara dengan orang dewasa meskipun
topik yang dibicarakan sama. Begitu pula akan beda gaya pembahasan yang diungkapkan ketika
kita mendiskusikan masalah politik dengan pejabat dan dengan tukang becak.

Tesis
Tesis dalam penulisan karangan ilmiah merupakan langkah awal penulisan. Tesis dibentuk
berdasarkan topik dan tujuan topik adalah pokok masalah yang akan dibahas dalam karangan
ilmiah. Tanpa mengetahui pokok masalah yang akan dibicarakan, penulis tidak dapat menentukan
permasalahan serta sasaran yang akan dicapai dalam penulisan. Supaya topik dapat ditetapkan
dengan jelas dan menarik, penulis menentukan topik berdasarkan penguasaan permasalahan.
Setelah topik ditetapkan, penulis menentukan tujuan berdasarkan topik. Tujuan dari topik
adalah sasaran yang akan dicapai oleh penulis berdasarkan topiknya. Tujuan semacam pembatasan
topik agar tidak menyimpang dari permasalahan. Pada dasarnya, tujuan mempersempit
permasalahan yang akan dibicarakan. Oleh karena itu, tujuan harus lebih sempit dari topik. Setelah
topik dan tujuan ditetapkan, penulis merumuskannya ke dalam tesis. Dengan demikian, tesis
adalah perumusan topik dantujuan dalam bentuk kalimat dengan menonjolkan topiknya sebagai
pokok bahasan. Hal ini dimaksudkan bahwa penulis karangan ilmiah melakukan analisis,
interpretasi, dan sistesis.
Dalam penulisan karangan ilmiah, tesis merupakan “payung” bagi tahapan penulisan
karangan ilmiah. Misalnya, dalam menyusun kerangka karangan, penulis berpedoman pada tesis.
Jadi, tesis semacam rambu-rambu pedoman dalam penulisan. Namun, penentuan tesis dapat
dilakukan berdasarkan karangan yang sudah jadi (publikasi ilmiah). Dengan demikian, tesis
berguna untuk meramalkan, mengendalikan, dan mengarahkan penulis dalam menyusun kerangka
karangan (outline). Dalam penulisan karangan ilmiah, penulis tidak langsung menulis tesis, tetapi
harus menata pokok-pokok bahasan ke dalam kerangka karangan.
Tesis biasanya berbentuk satu kalimat, entah kalimat tunggal atau kalimat majemuk
bertingkat. Sebuah tesis tidak boleh berbentuk kalimat majemuk setara karena dengan demikian
berarti ada dua gagasan sentral. Justru ini tidak diperkenankan. Fungsi tesis bagi sebuah karangan
adalah sama seperti kalimat topik atau kalimat utama bagi sebuah paragraf (Keraf 2004:132).
Modul Sepuluh
Topik Satu
Kerangka Karangan

Pengertian dan Fungsi Kerangka Karangan Kerangka karangan adalah suatu rencana kerja ilmiah
yang teratur untuk mendeskripsikan penyusunan pokok-pokok bahasan ke dalam bab dan subbab
dengan menampilkan acuan berupa sumber rujukan (referensi) yang digunakan. Tahapan
penyusunan kerangka karangan perlu dimanfaatkan penulis karena kerangka mempunyai beberapa
fungsi penting dalam proses penulisan, di antaranya adalah:
1. Tidak perlu mengolah dan mengingat ide berkali-kali sehingga menghabiskan waktu dan tidak
sesuai dengan pokok masalah.
2. Menciptakan klimaks yang berbeda setiap bab sehingga ada variasi dalam penyajian materi
karangan. 3. Mengingatkan penulis pada bahan/ materi sebagai sumber rujukan dan bahan.
4. Membaca ulang karangan yang sudah selesai dapat menciptakan reproduksi yang sama dari
pembaca. 5. Dapat melihat wujud, ide, nilai umum, dan spesifikasi karangan.
Setelah mengetahui fungsi kerangka karangan, penulis perlu memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1. Perumusan tesis dan pengungkapan maksud dengan jelas dan benar.
2. Penginventarisasian topik ke dalam sub-subtopik secara maksimal.
3. Pengevalusian semua topik yang telah dirinci ke dalam tahap sebagai berikut:
a. Semua bab topik relevan dengan tesis.
b. Jangan ada topik yang sama.
c. Semua topik dan subtopik disusun paralel.
4. Tahapan 1 dan 2 dilakukan secara berulang untuk mendapatkan subtopik yang terinci secara
maksimal.
5. Penetapan pola susun ragangan yang tepat berdasarkan pola alamiah atau pola logis.
6. Ragangan dibuat tidak sekali.
7. Ragangan digunakan sebagai pedoman penyusunan daftar isi karangan.
Syarat Penyusunan Kerangka Karangan
Penyusunan kerangka karangan perlu mengikuti syarat-syarat yang baik agar kerangka yang dibuat
mempunyai pola yang runtut dan memudahkan alur penulisan nantinya. Persyaratan penyusunan
kerangka karangan adalah sebagai berikut:
1. Tesis sudah benar dan jelas.
2. Data primer dan sekunder sudah dikumpulkan, dibaca, dan dikutip dalam catatan.
3. Tiap unit dalam kerangka karangan mempunyai satu gagasan.
4. Pokok-pokok kerangka karangan disusun secara logis, di antaranya:
a. Unit pokok terinci secara maksimal.
b. Tiap rincian ada kaitannya dengan unit atasan langsung.
c. Urutan rincian baik dan teratur
5. Pilihlah pola kerangka karangan yang diterapkan. Pola tersebut terdiri atas:
a. Pola alamiah spasial.
b. Pola alamiah kronologis.
c. Pola alamiah topik yang ada.
6. Pola logis yang digunakan.
7. Pasangan simbol disusun secara taat asas dengan menggunakan.
a. Sistem lekuk.
b. Sistem lurus.
c. Sistem gabungan.
Pola Susunan Kerangka Karangan
Pola susunan yang paling utama adalah pola alamiah dan pola logis. Pola alamiah didasarkan atas
urutan kejadian, urutan tempat, atau urutan ruang. Walaupun pada pola logis masih ada sentuhan
dengan keadaan yang nyata tetapi lebih dipengaruhi oleh jalan pikiran manusia yang menghadapi
persoalan yang tengah digarap.
1. Pola Alamiah
Susunan atau pola alamiah adalah suatu urutan unit-unit kerangka karangan sesuai dengan
keadaan yang nyata di alam. Sebab itu pola alamiah didasarkan pada dimensi kehidupan
manusia yaitu atas-bawah-melintang-menyeberang, sekarang nanti, dulu-sekarang,
timur-barat, dan sebagainya. Susunan alamiah dapat dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu
urutan berdasarkan waktu (kronologis), urutanberdasarkan ruang (urutan spasial), dan
urutan berdasarkan topik yang sudah ada.
a. Urutan waktu (kronologi) Urutan waktu atau kronologis adalah urutan yang didasarkan
pada runtutan peristiwa atau tahap-tahap kejadian. Yang paling mudah dalam pola urutan
ini adalah mengurutkan peristiwa berdasarkan urutan kejadiannya atau kronologisnya
(Keraf 2004:154). Contoh tulisan yang menggunakan pola urutan waktu adalah laporan
perjalanan atau cerita dalam novel.
b. Urutan ruang (spasial) Urutan ruang atau spasial menjadi landasan yang paling penting
bila topik yang diuraikan mempunyai pertalian yang sangat erat dengan ruang atau tempat.
Urutan ini terutama digunakan dalam tulisan-tulisan yang bersifat deskriptif (Keraf,
2004:155). Salah satu contoh tulisan yang menggunakan urutan ruang adalah tulisan
deskripsi yang menggambarkan tata bangunan sebuah rumah. Tulisan dapat dibuat
berdasarkan urutan spasial dengan menggambarkan halaman depan, teras, ruang tamu,
ruang tengah, hingga ke halaman belakang rumah.
c. Topik yang ada Menulis berdasarkan topik yang sudah ada maksudnya adalah menulis
dengan menceritakan topik yang diangkat. Soal apa dan bagian mana yang harus
diungkapkan lebih dulu tergantung dari sudut pandang dan pilihan penulis. Dengan pola
ini, penulis menggambarkan bagian-bagian topik secara rinci berdasarkan apa yang ia
ketahui. Sebagai analoginya, Keraf (2004:156) mengungkapkan bahwa seseorang dapat
menceritakan badan-badan yang ada di Perserikatan Bangsa-Bangsa tanpa harus ragu
mendahulukan yang mana karena semua badan sama pentingnya. Penulis hanya harus
memberikan rincian yang jelas tentang masing-masing bagian yang diceritakan.
2. Pola Logis
Macam-macam urutan logis yang dikenal adalah:
a. Urutan Klimaks dan Antiklimaks Klimaks adalah bagian paling penting dalam topik
yang akan dibahas sedangkan antiklimaks adalah bagian yang dianggap paling tidak
penting. Tulisan yang menganut pola urutan klimaks menceritakan sesuatu dari hal yang
dianggap paling rendah tingkat kepentingannya menuju ke bagian yang semakin penting
hingga mencapai bagian yang paling penting. Urutan antiklimaks adalah kebalikan dari
urutan klimaks.
b. Urutan Kausal Urutan kasual mencakup dua pola yaitu urutan dari sebab ke akibat dan
urutan dari akibat ke sebab. Pola yang pertama memerinci bagian pembahasan yang
dianggap sebab kemudian menerangkan akibat dari hal yang dibahas. Pada pola kedua
menganut urutan yang berkebalikan.
c. Urutan Pemecahan Masalah Urutan pemecahan masalah dimulai dari suatu masalah
tertentu kemudian bergerak menuju simpulan umum atas pemecahan masalah tersebut.
Sekurang-kurangnya uraian yang dipergunakan sebagai landasan pemecahan masalah
terdiri atas tiga bagian utama yaitu analisis mengenai peristiwa atau persoalan tadi,
deskripsi mengenai sebab sebab atau akibat-akibat persoalan, dan alternatif-alternatif
untuk jalan keluar dari masalah yang dihadapi (Keraf 2004:158).
d. Urutan Umum-Khusus Urutan umum-khusus terdiri atas dua corak yaitu urutan umum
ke khusus dan urutan khusus ke umum. Urutan umum ke khusus pada mulanya
menceritakan permasalahan dalam kelompok yang besar dulu kemudian menuju ke
permasalahan yang lebih sempit, khusus, dan fokus. Pada pola urutan khusus-umum
berlaku aturan yang sebaliknya.
e. Urutan Familiaritas Urutan familiaritas dimulai dengan mengemukakan sesuatu yang
sudah dikenal kemudian berangsur-angsur pindah kepada hal-hal yang kurang dikenal.
Dengan demikian, pembaca akan dapat menyerap maksud yang diuraikan karena terlebih
dahulu dimulai dengan hal-hal yang dikenalnya.
f. Urutan Akseptabilitas Urutan akseptabilitas mirip dengan urutan familiaritas. Bila urutan
familiaritas mempersoalkan apakah suatu barang atau hal yang sudah dikenal atau tidak
oleh pembaca, urutan akseptabilitas mempersoalkan apakah suatu gagasan diterima atau
tidak oleh pembaca dan apakah suatu pendapat disetujui atau tidak oleh pembaca. Sebab
itu, sebelum mengemukakan pendapat yang mungkin ditolak oleh pembaca, penulis harus
mengemukakan gagasan-gagasan yang sekiranya dapat diterima oleh pembaca.
Modul Sepuluh
Topik 2
Cara Membuat Kerangka Karangan

Tema : Pendidikan
Topik : Proses Pembelajaran di Masa Pandemi
Tujuan : Menunjukkan proses pembelajaran di masa pandemi.
Tesis : Bagaimana proses pembelajaran di masa pandemi dan apakah perbedaan dan
efeknya pada siswa dan pengajar?
Kerangka Karangan
-Proses pembelajaran secara umum
-Penjabaran mengenai masa-masa pandemi
-Proses pembelajaran di masa pandemi serba online
-Perbedaan pembelajaran pembelajaran di masa normal dan di masa pandemi
-Efek proses pembelajaran di masa pandemi bagi siswa dan pengajar
Modul Sebelas
Topik Satu
Ringkasan

Meringkas adalah menyajikan kembali sebuah tulisan yang panjang ke dalam bentuk yang pendek.
Cara meringkas yang baik adalah dengan menghilangkan segala macam hiasan (ilustrasi atau
contoh, keindahan gaya bahasa, dan pembahasan yang rinci) dalam teks yang akan diringkas. Ciri
ringkasan adalah sebagai berikut.
1. Penulis haruslah mempertahankan urutan pikiran dan cara pandang penulis asli.
2. Penulis haruslah netral, dalam arti tidak memasukkan ide, pikiran, maupun opininya ke dalam
ringkasan yang dibuatnya.
3. Ringkasan haruslah mewakili gaya asli penulisnya, bukan gaya yang peringkas.
Modus Sebelas
Topik Dua
Abstrak

Abstrak adalah karangan ringkas berupa rangkuman. Dalam abstrak berisi hal-hal sebagai berikut:
1. Latar belakang atau alasan pemilihan topik.
2. Tujuan penelitian.
3. Metode atau bahan yang digunakan.
4. Keluaran atau simpulan atas penelitian.
Panjang atau pendeknya abstrak ditentukan oleh tujuannya. Apabila abstrak ditulis untuk
keperluan jurnal, jumlah kata 75-100 kata sedangkan untuk skripsi jumlah kata 200-250 kata.
Selain itu, sesuai dengan kesepakatan umum dalam keilmuan bahwa abstrak ditulis dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris.
Modul Keduabelas
Topik Satu
Sintesis

Berbeda dengan ringkasan dan abstrak yang merupakan ringkasan atas satu sumber saja, sintesis
dibuat atas beberapa sumber. Sintesis adalah merangkum intisari bacaan yang berasal dari
beberapa sumber. Kegiatan ini harus memperhatikan data publikasi atas sumber-sumber yang
digunakan. Dalam tulisan laras ilmiah, data publikasi atau sumber-sumber tersebut dimasukkan
dalam daftar pustaka.
Ada syarat yang harus diperhatikan oleh penulis dalam membuat sintesis, di antaranya adalah:
1. Penulis harus bersikap objektif dan kritis atas teks yang digunakan.
2. Bersikap kritis atas sumber yang dibacanya.
3. Sudut pandang penulis harus tajam.
4. Penulis dapat mengaitkan antara satu sumber dengan sumber lain.
5. Penulis harus menekankan pada bagian sumber yang diperlukan (Utorodewo, dkk. 2004:97).
Modul Keduabelas
Topik 2
Kutipan

Kutipan adalah pinjaman kalimat atau pendapat dari seorang pengarang, atau ucapan seseorang
yang terkenal baik yang terdapat dalam buku-buku maupun majalah-majalah (Keraf 2004:202).
Mengutip pendapat orang lain sah-sah saja artinya diperbolehkan. Asal garis besar kerangka
karangan dan simpulan merupakan pendapat pribadi dari si penulis. Penulis harus bisa menahan
dirinya agar tidak banyak mengutip pendapat orang lain. Jika pun harus mengutip pendapat orang
lain, kutipan harus ditulis sesuai dengan aturan dan prinsip ilmiah. Hal ini menghindari penulis
dari dakwaan plagiatisme dan menjaga agar tulisan bersifat ilmiah. Mengutip bertujuan untuk
membuktikan isi uraian atau pertanyaan yang sedang dibahas serta menguatkan suatu gagasan
tertentu. Kutipan juga dimaksudkan sebagai alur rujukan tertentu, memberikan referensi tentang
hal yang dibahas dan memudahkan pelacakan alur pembahasan.
Jenis Kutipan
Ada dua jenis kutipan yaitu kutipan langsung dan kutipan tak langsung (kutipan isi). Kutipan
langsung adalah pinjaman pendapat dengan mengambil secara lengkap kata demi kata, kalimat
demi kalimat dari sebuah teks asli. Kutipan tak langsung adalah pinjaman pendapat seorang
pengarang atau tokoh terkenal berupa inti sari atau ikhtiar dari pendapat tersebut (Keraf 2004:203).
Mengutip pendapat atau pernyataan seseorang dalam jumlah yang terlalu panjang bukanlah prinsip
menulis yang bijak karena pada dasarnya mengutip hanya digunakan sebagai tambahan,
pembuktian, dan penguat. Gagasan dan pembahasan inti tetap ada pada ide penulis.
Cara-Cara Mengutip
1. Kutipan langsung tidak lebih dari empat baris Cara menulis kutipan langsung yang tidak lebih
dari empat baris atau tidak lebih dari empat puluh kata adalah dengan aturan sebagai berikut:
a. Kutipan diintegrasikan dengan teks
b. Jarak antarbaris dua spasi atau satu setengah spasi.
c. Kutipan diapit tanda baca kutip.
d. Sesudah kutipan selesai diberi nomor urut penunjukan setengah spasi ke atas atau dalam kurung
ditempatkan nama singkat pengarang, tahun terbit, dan halaman yang dikutip.
Contoh kutipan langsung yang tidak lebih dari empat baris:
Selanjutnya Ajidarma mengutip pendapat McCloud yang menyatakan bahwa “medium yang
disebut komik didasarkan pada suatu gagasan sederhana, yaitu gagasan untuk menempatkan
sebuah gambar setelah gambar yang lain untuk menunjukkan perjalanan waktu. Kemampuan
gagasan ini tidak terbatas tetapi secara terus-menerusterbutakan oleh aplikasinya yang terbatas
dalam kebudayaan popular” (Ajidarma, 2011:21).
2. Kutipan langsung lebih dari empat baris
Cara menulis kutipan langsung yang terdiri atas lebih dari empat baris atau lebih dari empat puluh
kata adalah dengan aturan sebagai berikut:
a. Kutipan dipisahkan dari teks dengan jarak 2,5 spasi.
b. Jarak antarbaris satu spasi.
c. Kutipan boleh diapit atau tidak diapit tanda baca kutip.
d. Sesudah kutipan selesai diberi nomor urut penunjukan setengah spasi ke atas atau dalam kurung
ditempatkan nama singkat pengarang, tahun terbit, dan halaman yang dikutip.
e. Seluruh kutipan dimasukkan ke dalam 5-7 ketukan, apabila kutipan dimulai dengan alinea baru,
baris pertama dari kutipan itu dimasukkan lagi 5-7 ketukan. Contoh kutipan langsung yang lebih
dari empat baris adalah sebagai berikut:
Bolter dan Grusin menjelaskan pula bahwa titik ekstrim proses remediation adalah pada saat
sebuah media baru mengubah media lama karena pada titik ini baik secara langsung maupun tidak
langsung akan terjadi persaingan ketat kadar estetis yang lebih baik. Maka, akan muncul
pertanyaan media yang manakah yang dapat meningkatkan nilai estetis karya tersebut, media yang
lama atau yang baru?
What might seem at first to be an esoteric practice is so wide spread that we can identify a
spectrum of different ways in which digital media remediate their predecessors, a spectrum
depending on the degree of perceived competition or rivalry between the new media and the old
(Bolter dan Grusin, 1999:45).
3. Kutipan tidak langsung
Cara menulis kutipan tidak langsung adalah dengan aturan sebagai berikut:
1. Kutipan diintegrasikan dengan teks.
2. Jarak antar baris dua atau satu setengah spasi.
3. Kutipan tidak diapit tanda kutip.
4. Sesudah kutipan selesai diberi nomor urut penunjukan setengah spasi ke atas atau dalam kurung
ditempatkan nama singkat pengarang, tahun terbit, dan halaman yang dikutip. Contoh kutipan
tidak langsung:
Seperti halnya sosiologi, sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat: usaha manusia
untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dalam hal ini
sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama. Meskipun sastra dan sosiologi
bukanlah dua bidang yang sama sekali berbeda garapan, malahan dapat dikatakan saling
melengkapi (Damono, 2009:8-9).
Prinsip-Prinsip Mengutip
Dalam mengutip pendapat orang lain, seorang penulis harus taat pada prinsip-prinsip mengutip.
Tanpa menaati prinsip-prinsip tersebut, penulis yang mengutip pendapat orang lain bisa jadi akan
terkena dakwaan plagiatisme. Berikut adalah prinsip-prinsip mengutip yang dimaksud:
1. Jangan mengubah Penulis tidak boleh mengubah kata-kata atau teknik dari teks asli.
Apabila penulis menganggap perlu ada perubahan, penulis harus memberi keterangan yang
jelas dalam tanda kurung. Misal penulis merasa kata yang ditulis harus dicetak miring mata
di belakang kata yang dicetak miring harus diberi keterangan.
Contoh:
............ buatlah kalimat dengan pilihan kata semena-mena [cetak miring dari penulis].
2. Apabila ada kesalahan Apabila dalam kutipan terdapat kesalahan ejaan atau tata bahasa,
penulis tidak boleh memperbaiki kesalahan. Jika penulis tidak setuju dengan adanya
kesalahan tersebut, penulis cukup memberi keterangan yang ditempatkan dalam kurung
segi empat dengan kata [sic!].
Contoh:
“Karya sastra adalah karya fiktif yang berasal dari imajiner [sic!] penulis. Imajinasi
tersebut lantas dituangkan dalam kata-kata dan kalimat yang indah dan menarik.”
3. Menghilangkan bagian kutipan Dalam mengutip penulis diperkenankan menghilangkan
bagian tertentu dari teks asli asalkan tidak mengubah isi atau makna teks tersebut. Berikut
adalah ketentuan jika ingin menghilangkan bagian kutipan:
a. Apabila unsur yang dihilangkan berupa sebagian dari kalimat, teks yang dihilangkan
dinyatakan dengan tanda […].
b. Apabila unsur yang dihilangkan terdapat pada akhir sebuah kalimat, bagian yang
dihilangkan dinyatakan dengan tanda [….]. Titik terakhir menyatakan berakhirnya kalimat.
c. Apabila bagian teks yang dihilangkan satu alinea atau lebih, bagian yang dihilangkan
dinyatakan dengan tanda titik, satu baris halaman.
Modul Tiga Belas
Topik Satu
Catatan Kaki

Catatan kaki adalah keterangan-keterangan atas teks karangan yang ditempatkan pada kaki
halaman karangan yang bersangkutan (Keraf 2004:218). Catatan kaki tidak hanya sematamata
digunakan sebagai catatan sumber teks namun juga digunakan untuk menerangkan catatan-catatan
lain berkaitan dengan teks. Hubungan antara catatan kaki dengan teks yang diterangkan biasanya
ditunjukkan dengan pemberian nomor pada bagian akhir teks yang diletakkan di pojok atas dengan
ukuran font yang kecil menyerupai pangkat pada matematika. Penulisan nomor ini dapat di-setting
dengan bantuan format komputer. Teks penjelas terletak di kaki halaman.
Tujuan Penulisan Catatan Kaki
Tujuan penulisan catatan kaki (footnote) adalah sebagai berikut:
1. Untuk menyusun pembuktian.
2. Menyatakan hutang budi.
3. Menyatakan keterangan tambahan, dan merujuk bagian lain dari teks.
Jenis Catatan Kaki
Jenis catatan kaki antara lain adalah sebagai berikut:
1. Penunjukan sumber (referensi) Catatan kaki ini digunakan untuk menunjuk sumber tempat
kutipan ditulis.
2. Catatan penjelas Catatan kaki ini dibuat dengan tujuan memberi pengertian atau komentar
terhadap pernyataan dalam teks.
3. Gabungan sumber dan penjelas Catatan kaki ini digunakan untuk menunjuk sumber sekaligus
memberi komentar.
Modul Tiga Belas
Topik Dua
Catatan Kaki

Unsur-Unsur Referensi
Unsur-unsur referensi dalam catatan kaki adalah sebagai berikut:
1. Penulisan Nama Pengarang
a. Nama pengarang dalam catatan kaki dicantumkan sesuai dengan urutan biasa yaitu gelar (jika
ada), nama kecil, nama keluarga. Misal:
Prof. Dr. Muhammad Thalib.
Pada nama yang kedua dan selanjutnya cukup digunakan nama singkatan
Misal: Thalib.
b. Bila terdapat lebih dari seorang pengarang, jika ada dua atau tiga nama maka semua nama
pengarang dicantumkan. Jika ada empat nama atau lebih cukup nama pertama yang dicantumkan.
Sedangkan bagi nama-nama lain digantikan dengan singkatan et al.
c. Penunjukan pada sebuah kumpulan (bunga rampai atau antologi), sama dengan nomor 1 dan 2
ditambah dengan ed. (editor) di belakang nama penyunting terakhir, dipisahkan oleh sebuah tanda
koma. Singkatan ed. boleh ditempatkan dalam tanda kurung boleh juga tidak.
2. Penulisan Judul
a. Semua judul mengikuti aturan yang sama seperti pada bibliografi atau daftar pustaka yaitu judul
buku, judul majalah, harian, atau ensiklopedia digarisbawahi atau dicetak miring. Judul artikel
diapit dengan tanda kutip.
b. Sesudah catatan kaki pertama maka pada penyebutan kedua dan seterusnya atas sumber yang
sama judul buku tidak perlu ditulis lagi dan digantikan dengan singkatan ibid, op.cit, atau loc.cit.
Bila ada dua karya atau lebih dari seorang pengarang digunakan maka satu bentuk yang disingkat
dari judul biasanya dipergunakan untuk menghilangkan keragu-raguan. Misal: Thalib,
Kemakmuran, hlm. 76.
c. Sesudah penunjukan pertama kepada sebuah artikel dalam majalah atau harian maka untuk
selanjutnya cukup dipergunakan judul majalah atau harian tanpa judul artikel. Misal: Majalah
Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, hlm. 76; Kompas, hlm. 6.
Bila ada lebih dari satu nomor yang dipergunakan maka cara di atas tidak bisa dipergunakan.
3. Penulisan Data Publikasi
a. Tempat dan tahun penerbitan sebuah buku dapat dicantumkan pada referensi pertama, referensi-
referensi selanjutnya (dalam kesatuan nomor urut itu) ditiadakan. Dalam referensi yang pertama,
tempat dan tahun terbit ditempatkan dalam tanda kurung dan dipisahkan dengan koma. Misal:
(Jakarta, 1973).
b. Nama penerbit yang juga merupakan sebuah data publikasi, biasanya ditinggalkan dalam
referensi pertama, terutama jika ada bibliografi yang menyajikan semua data secara lengkap. Jika
nama penerbit harus dicantumkan juga maka harus ditempatkan sesudah nama tempat dengan
didahului dengan tanda titik dua. Misal:
(Jakarta: Djambatan, 1967).
c. Data publikasi bagi sebuah majalah tidak perlu memuat nama tempat dan penerbit tetapi juga
mencantumkan nomor jilid dan nomor halaman, tanggal, bulan (tidak boleh disingkat), dan tahun.
Semua keterangan mengenai penanggalan biasanya ditempatkan dalam tanda kurung. Misal:
(April, 1970).
d. Data sebuah publikasi bagi artikel sebuah harian terdiri atas bulan, hari, tanggal, tahun, dan
nomor halaman. Penanggalan tidak boleh ditempatkan dalam tanda kurung.
4. Penulisan Jilid dan Nomor Halaman
a. Buku yang terdiri atas satu jilid, singkatan halaman (hlm.) dipakai untuk menunjukkan nomor
halaman. Misal:
hlm. 78.
b. Jika sebuah buku terdiri atas beberapa jilid maka harus dicantumkan nomor jilid dan nomor
halaman. Nomor jilid menggunakan angka romawi sedangkan nomor halaman menggunakan
angka arab. Tanda singkatan hlm. Bagi referensi yang berasal dari karya-karya ilmiah biasanya
digunakan cara lain yaitu baik nomor jilid maupun nomor halaman ditulis dengan angka arab yang
dipisahkan oleh titik dua. Misal:
MISI, 1 (April, 1963) hlm. 47-58 atau MISI, 1: 47-58 (April, 1963).
Syarat Menulis Catatan Kaki
Syarat penulisan catatan kaki adalah sebagai berikut:
1. Nama pengarang tidak dibalik.
2. Diberi nomor urut penunjukkan.
3. Setiap unsur dibatasi dengan tanda baca koma.
Istilah-Istilah dalam Catatan Kaki
Dalam penulisan catatan kaki digunakan beberapa singkatan khusus yang mempunyai makna.
Beberapa singkatan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ibid. (ibidem)
Singkatan ini berarti pada tempat yang sama. Singkatan ini dipergunakan apabila cacatan
kaki berikutnya menunjuk kepada karya atau artikel yang telah disebutkan sebelumnya.
Apabila halamannya sama, cukup ditulis Ibid. Bila halamannya berbeda ditulis Ibid.
disertai nomor halaman yang dikutip. Contoh:
1 Achmad S. Ruki, Sistem Manajemen Kerja: Panduan Praktis untuk Merancang dan
Meraih Kinerja Prima (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 10.
atau
1 Achmad S. Ruki, Sistem Manajemen Kerja: Panduan Praktis untuk Merancang dan
Meraih Kinerja Prima, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm. 10. 2 Ibid. 3 Ibid.,
hlm. 29.
2. op. cit. (opere citato) Singkatan ini berarti pada karya yang telah dikutip. Singkatan ini
dipakai apabila catatan tersebut menunjuk kembali kepada sumber yang telah disebut
sebelumnya tetapi telah diselingi sumber lain, juga mengutip dari buku dengan halaman
yang berbeda.
Contoh:
1 Achmad S. Ruki, Sistem Manajemen Kerja: Panduan Praktis untuk Merancang dan
Meraih Kinerja Prima (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 10.
Atau
1 Achmad S. Ruki, Sistem Manajemen Kerja: Panduan Praktis untuk Merancang dan
Meraih Kinerja Prima, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm. 10. 2Mutiara S.
Panggabean, Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm.
54. 3 Ruki, op.cit., hlm. 70.
3. loc. cit. (loco citato) Singkatan ini berarti pada tempat yang telah dikutip. Singkatan ini
dipakai atau menunjuk kepada sebuah artikel majalah, harian, atau ensiklopedi yang telah
disebutkan sebelumnya dan telah diselingi sumber lain. Atau juga untuk buku pada
halaman yang sama dan telah diselingi sumber lain. Contoh:
1 Bonor Simanjuntak, “Potensi Teknologi Pendidikan dalam Meningkatan Sumber Daya
Manusia”, dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II: Kurikulum untuk Abad Ke-
21 (Jakarta: Grasindo, 1994), hlm. 167.
Atau
1 Bonor Simanjuntak, “Potensi Teknologi Pendidikan dalam Meningkatan Sumber Daya
Manusia”, dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II: Kurikulum untuk Abad Ke-
21, Jakarta, Grasindo, 1994, hlm. 167.
2 J. Supranto, Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan: Untuk Menaikkan Pangsa Pasar,
Jakarta. Rineka Cipta, 2001, hlm. 50.
3 Simanjuntak, loc.cit., hlm, 170. 4 Supranto, loc. cit.
5 Amin Purnawan, “ Demokrasi yang Tidak Berdasarkan Nurani”, Kompas, 15 Maret
2012, halaman 8.
Nomor urut penunjukkan bertalian pada nomor penunjukkan dalam catatan kaki. Nomor
penunjukkan berlaku untuk setiap bab atau untuk seluruh karangan. Pada nomor penunjukan yang
berlaku untuk setiap bab, pertama, tiap bab dimulai dengan urut 1; kedua, untuk penunjukan yang
pertama tiap bab, nama pengarang harus ditulis lengkap. Sedangkan penunjukkan berikutnya
dalam bab tersebut cukup dengan menyebut nama singkat pengarang ditambah singkatan-
singkatan ibid., op.cit., atau loc. cit. Sebaliknya, apabila nomor urut penunjukkan berlaku untuk
seluruh karangan, hanya untuk penyebutan yang pertama nama pengarang ditulis lengkap
sedangkan penyebutan selanjutnya hanya mempergunakan nama singkat dan singkatan
sebagaimana yang telah disebutkan.
Modul Keempat Belas
Topik Satu
Daftar Pustaka

Daftar pustaka adalah daftar judul-judul buku, judul-judul artikel dan bahan penerbitan lain yang
bertalian dengan karangan yang sedang dikerjakan.
Fungsi Daftar Pustaka
Fungsi daftar pustaka adalah:
1. Untuk menunjuk sumber tempat terdapatnya kutipan.
2. Sebagai pelengkap dari catatan kaki (data referensi secara lengkap dapat diketahui).
Unsur Daftar Pustaka
Daftar pustaka memuat unsur-unsur penting dari referensi yang digunakan. Unsur-unsur tersebut
adalah:
1. Nama pengarang dikutip secara lengkap dengan penulisan yang dibalik.
2. Judul buku atau artikel, termasuk judul tambahan.
3. Data publikasi meliputi tempat terbit, penerbit, dan tahun.
4. Bila daftar pustaka dari artikel maka diperlukan pula jilid, nomor, tahun, dan halaman.
Syarat Daftar Pustaka
Daftar pustaka disusun berdasarkan syarat-syarat tertentu. Syarat tersebut adalah:
1. Daftar pustaka tidak diberi nomor urut.
2. Nama pengarang disusun secara alfabetis.
3. Gelar akademik tidak perlu dicantumkan.
Cara Menyusun Daftar Pustaka (dalam Footnote)
Daftar pustaka disusun berdasarkan ketentuan yang berlaku. Ketentuan tersebut disesuaikan
dengan bentuk sumber referensi. Berikut adalah cara menyusun daftar pustaka dalam footnote
yang baik dan benar.
1. Buku dari satu orang pengarang
Contoh:
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1977.
2. Rujukan dari Beberapa Buku dari Seorang Pengarang
Contoh:
Keraf, Gorys. Komposisi: Suatu Pengantar Kemahiran Berbahasa. Ende, Flores: Nusa
Indah, 2000.
-----------------. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia, 2002.
-----------------. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.
3. Buku dengan dua pengarang
Contoh:
Situmorang, Victor dan Soedibjo. Pokok-Pokok Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta:
Rineka Cipta, 1992.
4. Buku dengan pengarang lebih dari dua
Contoh:
Rachbini, Didik J., Suwidi Tono, Puji Wahono, dan Eko Budi Supriyanto. Bank
Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral. Jakarta: Mardi Mulyo, 2000.
5. Sumber/ rujukan dari artikel dari koran
Contoh:
Purnawan, Amin. “Urgensi Pemantauan Peradilan”. Suara Merdeka, 5 Mei 2006, hlm. 6.
6. Sumber/ rujukan dari artikel yang bersubjudul dari koran
Contoh:
Tanuredjo, Budiman. “Transisi Demokrasi: Sebuah Maklumat untuk Bangsa”. Kompas,
Selasa, 6 Juni 2006, hlm. 5.
7. Rujukan dari buku kumpulan artikel (ada editornya)
Contoh:
Aminuddin (Ed.). Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra.
Malang: HISKI Komisariat Malang dan YA3, 1990.
8. Rujukan dari artikel dalam buku kumpulan artikel (ada editornya)
Contoh:
Hasan, M.Z. “Karakteristik Penelitian Kualitatif”. Dalam Aminuddin (Ed.),
Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang:
HISKI Komisariat Malang dan YA3, 1990.
9. Sumber/ rujukan artikel dari jurnal/ majalah
Contoh:
Budiardjo,Miriam. “Konsep-Konsep Demokrasi”. Majalah/Jurnal Pertahanan Maritim, I
(2):12, 1996.
Volume I, Nomor 2, halaman 12, 1996.
Vol. I, No. 2, hlm. 12, 1996.
10. Rujukan dari buku atas nama lembaga tanpa penulis
Contoh:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia
yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Bandung: Yrama
Widya, 2008.
11. Rujukan dari dokumen resmi pemerintah tanpa lembaga dan tanpa pengarang
Contoh:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2004 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
12. Rujukan artikel dari internet
Contoh:
Sabarianto, Dirgo. “Keefektifan Kalimat dalam Karya Ilmiah”, (Online),
(http://dirgo.com/, diakses, 12 Oktober 2010), 2009.
13. Rujukan dari internet berupa artikel dalam jurnal
Contoh:
Griffith, A.I. ”Coordinating Family and School: Mothering for Schooling”. Education
Policy Analysis Archieve, Vol. 3, No. 1, (Online), (http://olam.ed.edu./epaa/,
diakses, 14 Oktober 1997), 1995.
14. Rujukan dari Artikel di koran tanpa penulis
Contoh:
Kompas. “Human Error Penyebab Kecelakaan Kereta Api di Petarukan”, 12 Oktober 2000,
hlm. 16.
15. Rujukan dari karya terjemahan
Ary, D., J.C. Jacobs, dan A. Razavich. Pengembangan Penelitian Bahasa. Terjemahan oleh
Arief Furchon. 1997. Surabaya: Usaha Nasional, Tanpa tahun/Tth.
16. Rujukan dari skripsi/ tesis/ disertasi
Contoh:
Sulaiman, Ahmad. “Transportasi Berwawasan Lingkungan”. Skripsi Fakultas Teknik,
Universitas Semarang. Semarang, 2008.
17. Rujukan dari makalah yang diseminarkan
Contoh:
Bisri, A. Zaini. ”Peran Pers dalam Pilihan Gubernur Jawa Tengah 2008”. Sosialisasi
Program dan Jadwal Waktu Penyelenggaraan Pemilu Gubernur dan Wakil
Gubernur Jawa Tengah Tahun 2008. Semarang, 5 Februari 2008.
18. Rujukan dari Wawancara
Contoh:
Waluyo, Bibit. Gubernur Jawa Tengah. Wawancara. Semarang, 14 Januari 2008.

Cara Menyusun Daftar Pustaka (dalam Sidenote)


Daftar pustaka disusun berdasarkan ketentuan yang berlaku. Ketentuan tersebut disesuaikan
dengan bentuk sumber referensi. Berikut adalah cara menyusun daftar pustaka dalam sidenote
yang baik dan benar.
1. Buku dari satu orang pengarang
Contoh:
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1977.
2. Rujukan dari Beberapa Buku dari Seorang Pengarang
Contoh:
Keraf, Gorys. Komposisi: Suatu Pengantar Kemahiran Berbahasa. Ende, Flores: Nusa
Indah, 2000.
-----------------. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia, 2002.
-----------------. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.
3. Buku dengan dua pengarang
Contoh:
Situmorang, Victor dan Soedibjo. Pokok-Pokok Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta:
Rineka Cipta, 1992.
4. Buku dengan pengarang lebih dari dua
Contoh:
Rachbini, Didik J., Suwidi Tono, Puji Wahono, dan Eko Budi Supriyanto. Bank
Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral. Jakarta: Mardi Mulyo, 2000.
5. Sumber/ rujukan dari artikel dari koran
Contoh:
Purnawan, Amin. “Urgensi Pemantauan Peradilan”. Suara Merdeka, 5 Mei 2006, hlm. 6.
6. Sumber/ rujukan dari artikel yang bersubjudul dari koran
Contoh:
Tanuredjo, Budiman. “Transisi Demokrasi: Sebuah Maklumat untuk Bangsa”. Kompas,
Selasa, 6 Juni 2006, hlm. 5.
7. Rujukan dari buku kumpulan artikel (ada editornya)
Contoh:
Aminuddin (Ed.). Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra.
Malang: HISKI Komisariat Malang dan YA3, 1990.
8. Rujukan dari artikel dalam buku kumpulan artikel (ada editornya)
Contoh:
Hasan, M.Z. “Karakteristik Penelitian Kualitatif”. Dalam Aminuddin (Ed.),
Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang:
HISKI Komisariat Malang dan YA3, 1990.
9. Sumber/ rujukan artikel dari jurnal/ majalah
Contoh:
Budiardjo,Miriam. “Konsep-Konsep Demokrasi”. Majalah/Jurnal Pertahanan Maritim, I
(2):12, 1996.
Volume I, Nomor 2, halaman 12, 1996.
Vol. I, No. 2, hlm. 12, 1996.
10. Rujukan dari buku atas nama lembaga tanpa penulis
Contoh:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia
yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Bandung: Yrama
Widya, 2008.
11. Rujukan dari dokumen resmi pemerintah tanpa lembaga dan tanpa pengarang
Contoh:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2004 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
12. Rujukan artikel dari internet
Contoh:
Sabarianto, Dirgo. “Keefektifan Kalimat dalam Karya Ilmiah”, (Online),
(http://dirgo.com/, diakses, 12 Oktober 2010), 2009.
13. Rujukan dari internet berupa artikel dalam jurnal
Contoh:
Griffith, A.I. ”Coordinating Family and School: Mothering for Schooling”. Education
Policy Analysis Archieve, Vol. 3, No. 1, (Online), (http://olam.ed.edu./epaa/,
diakses, 14 Oktober 1997), 1995.
14. Rujukan dari Artikel di koran tanpa penulis
Contoh:
Kompas. “Human Error Penyebab Kecelakaan Kereta Api di Petarukan”, 12 Oktober 2000,
hlm. 16.
15. Rujukan dari karya terjemahan
Ary, D., J.C. Jacobs, dan A. Razavich. Pengembangan Penelitian Bahasa. Terjemahan oleh
Arief Furchon. 1997. Surabaya: Usaha Nasional, Tanpa tahun/Tth.
16. Rujukan dari skripsi/ tesis/ disertasi
Contoh:
Sulaiman, Ahmad. “Transportasi Berwawasan Lingkungan”. Skripsi Fakultas Teknik,
Universitas Semarang. Semarang, 2008.
17. Rujukan dari makalah yang diseminarkan
Contoh:
Bisri, A. Zaini. ”Peran Pers dalam Pilihan Gubernur Jawa Tengah 2008”. Sosialisasi
Program dan Jadwal Waktu Penyelenggaraan Pemilu Gubernur dan Wakil
Gubernur Jawa Tengah Tahun 2008. Semarang, 5 Februari 2008.
18. Rujukan dari Wawancara
Contoh:
Waluyo, Bibit. Gubernur Jawa Tengah. Wawancara. Semarang, 14 Januari 2008.
Modul Empat Belas
Topik Dua
Persiapan Ujian Akhir Semester

1. Sebuah Kalimat memiliki .....


a. Pendapat b. Gagasan c. Ide
2. Paragraf yang berfungsi membimbing pembaca untuk memasuki inti permasalahan atau
ide pokok yang akan dibicarakan yang berupa keterangan permulaan merupakan paragraf
....
a. Paragraf Penutup
b. Paragraf Pembuka
c. Paragraf Isi
3. Penulisan paragraf haruslah ....
a. Sejajar b. Menjorok c. Rata Kanan Kiri
4. Tema bagi pembaca merupakan ....
a. Sebuah Pengingat
b. Sebuah Penyampaian Pesan
c. Sebuah Amanah Bagi Pembaca Dari Penulis
5. Kerangka Karangan adalah ....
a. Rencana karangan dalam bentuk kalimat
b. Suatu rencana kerja ilmiah yang teratur untuk mendeskripsikan penyusunan pokok-
pokok bahasan ke dalam bab
c. Rencana penulisan seorang penulis
6. Ringkasan adalah ….
a. Menceritakan inti tulisan
b. Menyajikan kembali sebuah tulisan
c. Merangkum tulisan
7. Penulis harus bersikap objektif dalam teks yang digunakan' penyataan ini merupakan ....
a. Syarat bagi penulis dalam membuat sintesis
b. Dasar membuat sintesis
c. Pengertian sintesis
8. Dalam catatan kaki editor sebuah buku dituliskan .....
a. Edt
b. ed
c. edn
9. Bagaimana cara menulus judul buku dalam catatan kaki?
a. Ditulis dengan cetakan miring
b. Ditulis dengan huruf besar semua
c. Ditulis dengan bold atau tebal
10. Syarat untuk membuat daftar Pustaka yaitu …
a. Menggunakan gelar
b. Membuat daftar Pustaka dengan membalik nama pengarang
c. Daftar pustaka diberi nomor urut

Anda mungkin juga menyukai