Anda di halaman 1dari 16

ANATOMI PERJALANAN TABLET BIASA DALAM TUBUH

MANUSIA

Dosen :
Prof. Dr. Teti Indrawati, MS. Apt
Ritha Widyapratiwi, S.Si., MARS., Apt

Disusun Oleh :
Mei Desi Irmasari Ompusunggu 22334722
Arbi Sulaiman 22334729
Hadasa Agnes Nova Pasaribu 22334740
Nola Utomo 22334746
Decely Rana Dwi Putri 22334747
Miranda Oktaviani 22334749
Putri Isa Juniyanti 22334752
Elisa Widiani 22334753
Siti Aminah 22334754
Destimela Ramadhini 22334756

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI


INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha kuasa karena telah memberikan kesempatan pada
penulis untuk menyelesaikan makalah dengan judul “Anatomi Perjalanan Tablet Biasa Dalam
Tubuh Manusia” dengan tepat waktu. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas pada mata
kuliah Biofarnasi di Institut Sains dan Teknologi Nasional. Selain itu, penulis juga berharap
agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca. Penulis mengucapkan terima
kasih kepada Prof. Dr. Teti Indrawati, MS., Apt. dan Ibu Ritha Widyapratiwi, S.Si., MARS.,
Apt. selaku dosen mata kuliah Biofarmasi. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada
semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini. Penulis menyadari
makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 25 Oktober 2022

Kelompok 1

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pemilihan bentuk sediaan dan rute pemberian merupakan hal krusial yang harus
diperhatikan dalam terapi. Bentuk sediaan dan rute pemberian sangat menentukan efek
biologis suatu obat. Sebelum suatu obat diformulasi menjadi satu atau beberapa jenis
bentuk sediaan, terdapat dua faktor utama yang harus diperhatikan. Kedua faktor tersebut
yaitu sifat fisika dan kimia obat dan pertimbangan terapetik. Karakteristik fisika dan
kimia obat dipelajari pada tahapan studi praformulasi untuk merencanakan bentuk
sediaan yang rasional dan memprediksi perjalanan obat secara in vivo setelah
penggunaan.
Bentuk sediaan obat pada dasarnya berfungsi untuk menghantar molekul obat menuju
ke tempat kerja obat (site of action; site of receptor) melalui rute pemberian yang tepat
untuk menghasilkan efek terapi yang dikehendaki. Tujuan utama pembuatan bentuk
sediaan (dosage forms) adalah membuat desain untuk mencapai respon terapi yang dapat
diprediksi dari suatu obat dalam suatu proses formulasi, bahkan untuk manufaktur dalam
skala besar.
Obat dalam suatu bentuk sediaan banyak diberikan secara ekstravaskular untuk tujuan
sistemik. Pemberian obat secara ekstravaskular didefinisikan sebagai pemberian obat
yang tidak diberikan secara langsung ke dalam sirkulasi sistemik, meliputi pemberian
melalui rute per oral, intramuskular, subkutan, transmukosal, inhalasi, transdermal, dan
rute pemberian lain selain rute pemberian intravena atau intraarterial. Pada pemberian
secara ekstravaskular, proses absorpsi memegang peranan penting untuk efek
farmakologi yang dihasilkan.
Tablet merupakan bentuk sediaan yang diperoleh dari campuran serbuk bahan obat
dan bahan tambahan yang dikompresi dalam die untuk menghasilkan bentukan padat.
Jenis tablet yang paling umum diproduksi adalah tablet yang digunakan dengan cara
ditelan seluruhnya, kemudian terdisintegrasi dan melepaskan obat pada saluran
pencernaan. Jenis tablet lain yang saat ini berkembang pesat adalah tablet yang mampu
terdisolusi atau terdispersi secara cepat pada air sebelum digunakan. Jenis tablet ini
dipersyaratkan bahwa seluruh komponen bahan harus dapat terlarut atau terdispersi
dalam bentuk suspensi halus.
1
Tablet merupakan suatu bentuk sediaan obat yang cukup banyak digunakan dalam
menunjang kesehatan masyarakat. Namun, tentunya perlu juga diketahui mengenai
kapan dan bagaimana obat dalam bentuk tablet itu bekerja, agar efek terapi yang
diinginkan dapat disesukikan dengan kebutuhan manusia itu sediri. Oleh karena itu,
menjadi hal yang sangat penting untuk mengetahui bagaimana perjalanan tablet biasa di
dalam tubuh manusia.

1.2 Tujuan
Untuk mengetahui anatomi perjalanan tablet biasa di dalam tubuh manusia.

1.3 Rumusan Masalah


2.4.1 Apa yang dimaksud dengan Tablet
2.4.2 Apa yang dimaksud dengan Farmakologi?
2.4.3 Apa yang dimaksud dengan Farmakokinetik?
2.4.4 Apa yang dimaksud dengan Farmakodinamik?
2.4.5 Bagaimana Perjalanan Tablet Biasa dalam fase Farmakokinetik di dalam
tubuh manusia?
2.4.6 Bagaimana Perjalanan Tablet Biasa dalam fase Farmakodinamik di dalam
tubuh manusia?

2
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tablet


Tablet merupakan bentuk sediaan yang diperoleh dari campuran serbuk bahan obat
dan bahan tambahan yang dikompresi dalam die untuk menghasilkan bentukan padat.
Selain dengan cara kompresi, tablet juga dapat dihasilkan menggunakan teknik
moulding. Tablet kompresi dibuat diproduksi mesin kompresi yang dapat memberikan
tekanan dengan kekuatan besar terhadap serbuk atau granul. Bentuk dan ukuran tablet
ditentukan oleh bentuk punch dan dies yang digunakan. Molded tablet dihasilkan dengan
teknik moulding, yaitu dengan cara memasukkan serbuk dalam alat moulding sehingga
dihasilkan tablet. Tablet yang terbentuk kemudian diejeksikan dan dikeringkan. Tablet
memiliki berbagai macam ukuran, bentuk, bobot, kekerasan, karakteristik disintegrasi,
karakteristik disolusi dan aspek yang lain, bergantung pada tujuan penggunaan dan
metode manufaktur.
Jenis tablet yang paling umum diproduksi adalah tablet yang digunakan dengan cara
ditelan seluruhnya, kemudian terdisintegrasi dan melepaskan obat pada saluran
pencernaan. Jenis tablet lain yang saat ini berkembang pesat adalah tablet yang mampu
terdisolusi atau terdispersi secara cepat pada air sebelum digunakan. Jenis tablet ini
dipersyaratkan bahwa seluruh komponen bahan harus dapat terlarut atau terdispersi
dalam bentuk suspensi halus.
Ukuran dan bentuk sediaan tablet saat ini menjadi salah satu aspek yang diperhatikan
dalam formulasi sediaan tablet. Tablet umumnya didesain dengan bobot 50 mg hingga
750 mg. Dosis obat yang sangat besar dapat diformulasi menjadi dua unit tablet.
Sementara itu, dosis obat yang sangat kecil harus dicampur dengan bahan pengisi agar
sediaan tersebut dapat dengan mudah digunakan. Kesulitan dalam menelan tablet
(disfagia) merupakan permasalahan individual yang dapat menyebabkan efek yang tidak
diharapkan dan ketidakpatuhan terhadap terapi.
2.2 Farmakologi
Dalam arti luas, farmakologi adalah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel
hidup, lewat proses kimia khususnya lewat reseptor. Dalam ilmu kedokteran dan farmasi,
3
senyawa tersebut disebut obat dan lebih menekankan pengetahuan yang mendasari
manfaat dan risiko penggunaan obat. Oleh karena itu, dikatakan farmakologi merupakan
seni menimbang. Farmakoterapi yang berhubungan dengan penggunakan obat di klinik
telah berkembang menjadi disiplin farmakologi klinik, yang mempelajari secara
mendalam farmakokinetik dan farmakodinamik obat pada manusia sehat maupun sakit.
Farmakologi klinik ialah ilmu obat pada manusia, secara umum lebih erat keterkaitannya
dengan farmakokinetik obat.
2.3 Biofarmasetika
Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara sifat fisikokimia obat, bentuk
sediaan yang mana obat diberikan, dan rute pemakaian terhadap laju dan jumlah absorpsi obat
sistemik. Jadi, biofarmasetika juga mencakup faktor-faktor yang mempengaruhi (1) stabilitas
obat dalam produk obat, (2) pelepasan obat dari produk obat, (3) laju disolusi/pelepasan obat
pada site absorpsi, dan (4) absorpsi sistemik obat. Suatu skema umum yang menggambarkan
hubungan dinamis ini digambarkan dalam Gambar 1-1.

Studi biofarmasetika didasarkan atas prinsip dasar ilmiah dan metodologi eksperimental.
Studi dalam biofarmasetika menggunakan metode in vitro dan in vivo. Metode in vitro adalah
prosedur yang menggunakan peralatan dan perlengkapan uji tanpa melibatkan binatang
laboratorium atau manusia. Metode in vivo merupakan studi yang lebih kompleks yang
melibatkan subjek manusia atau binatang laboratorium. Metode-metode ini harus mampu
memperkirakan pengaruh sifat fisikokimia obat, stabilitas obat, dan produksi obat skala besar dan
produk obat pada performa biologis obat. Lebih lanjut, biofarmasetika juga mempertimbangkan
sifat-sifat obat dan bentuk sediaan dalam suatu lingkungan fisiologis di mana penggunaan
terapeutik obat ditujukan, dan rute pemakaian.
Suatu obat yang diminum per oral akan melalui tiga fase: farmasetik (disolusi),
farmakokinetik, dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi. Dalam fase farmasetik, obat

4
berubah menjadi larutan sehingga dapat menembus membran biologis. Jika obat diberikan
melalui rute subkutan, intra muscular, atau intravena, maka tidak terjadi fase farmaseutika. Fase
kedua, yaitu farmakokinetik, terdiri dari empat proses (subfase): absorpsi, distribusi,
metabolisme (atau biotransformasi), dan ekskresi. Dalam fase farmakodinamik, atau fase ketiga,
terjadi respons biologis atau fisiologis.
2.3.1 Tahap Utama Biofarmasetika Tablet
Rute oral adalah rute yang digunakan untuk administrasi tablet. Bentuk sediaan tablet
biasanya dimaksudkan untuk efek sistemik yang dihasilkan dari penyerapan obat melalui
berbagai epitel dan mukosa dari saluran pencernaan. Dibandingkan dengan rute lain, rute oral
adalah yang paling sederhana, cara pemberian obat yang paling nyaman dan aman.
Kekurangannya, timbulnya efek relatif lambat, kemungkinan penyerapan tidak teratur dan obat-
obatan tertentu dieliminasi oleh enzim dan sekresi saluran cerna. Misalnya, preparat yang
mengandung insulin diinaktivasi oleh aksi cairan lambung.
Beberapa fitur spesifik yang berkaitan dengan penyerapan tablet dari saluran pencernaan
dapat ditekankan dalam konteks rute administrasi. Perubahan dalam kelarutan obat dapat
dihasilkan dari reaksi dengan bahan yang ada di saluran pencernaan, seperti gangguan
penyerapan tetrasiklin melalui pembentukan kompleks yang tidak larut dengan kalsium, yang
dapat diperoleh dari bahan makanan. Selain itu, karena pH lingkungan dapat mempengaruhi
ionisasi.
Tablet dibuat dengan cara dikompresi dan mengandung obat-obatan dan formulasi yang
disertakan untuk fungsi tertentu, seperti penghancur yang mendorong pemecahan tablet menjadi
butiran dan bubuk partikel dalam saluran pencernaan, sehingga menentukan disolusi dan absorpsi
obat. Onset sediaan tablet bervariasi mulai dari beberapa menit sampai hitungan jam. Berikut
tahapan utama biofarmasetika tablet:
a. Disintegrasi
Sebelum absorpsi terjadi, suatu tablet harus mengalami disintegrasi ke dalam partikel-partikel
kecil dan melepaskan obat.
b. Liberasi (Pelepasan)
Suatu obat mulanya merupakan zat aktif yang jika mencapai tempat penyerapannya akan
segera diserap. Proses pelepasan zat aktif dari sediaannya cukup rumit dan tergantung pada
jalur pemberian dan bentuk sediaan, serta dapat terjadi secara cepat dan lengkap. Pelepasan
zat aktif di pengaruhi oleh keadaan lingkungan biologis mekanis pada tempat pemasukan
obat, misalnya gerakan peristaltic usus, hal ini penting untuk bentuk sediaan yang keras atau
yang kenyal.
c. Disolusi
Setelah terjadi pelepasan yang bersifat setempat, maka tahap kedua adalah pelarutan zat aktif
yang terjadi secara progresif, yaitu pembentukan dispersi molekuler dalam air. Tahap ketiga

5
ini merupakan keharusan agar selanjutnya terjadi penyerapan, yakni pelarutan. Laju pelarutan
adalah jumlah obat yang terlarut per satuan luas per waktu (misal g/cm2.menit). Laju
pelarutan juga dipengaruhi pula oleh sifat fisikokimia obat, formulasi, pelarut, suhu media dan
kecepatan pengadukan.

d. Absorpsi
Tahap ini merupakan tahap dari biofarmasetik dan awal farmakokinetik. Fase ini merupakan
masuknya zat aktif dalam tubuh yang yang aturannya ditenggarai oleh pemahaman
ketersediyaan hayati (bioavailibilitas). Penyerapan zat aktif tergantung pada berbagai
parameter terutama sifat fisiko-kimia molekul obat. Dengan demikian proses penyerapan zat
aktif terjadi apabila sebelumnya sudah dibebaskan dari tablet dan sudah melarut dalam cairan
biologi setempat. Tahap pelepasan dan pelarutan zat aktif merupakan tahap penentu pada
proses penyerapan zat aktif baik dalam hal jumlah yang diserap maupun jumlah
penyerapannya.
2.1.1 1Fase Farmasetik (Disolusi)
Sekitar 80% obat diberikan melaui mulut; oleh karena itu, farmasetik (disolusi) adalah fase
pertama dari kerja obat. Dalam saluran gastrointestinal, obat-obat perlu dilarutkan agar dapat
diabsorsi. Obat dalam bentuk padat (tablet atau pil) harus didisintegrasi menjadi partikel-partikel
kecil supaya dapat larut ke dalam cairan, dan proses ini dikenal sebagai disolusi. Tidak 100%
dari sebuah tablet merupakan obat. Ada bahan pengisi dan pelembam yang dicampurkan dalam
pembuatan obat sehingga obat dapat mempunyai ukuran tertentu dan mempercepat disolusi obat
tersebut. Beberapa tambahan dalam obat seperti ion kalium (K) dan natrium (Na) dalam kalium
penisilin dan natrium penisilin, meningkatkan penyerapan dari obat tersebut. Penisilin sangat
buruk diabsorbsi dalam saluran gastrointestinal, karena adanya asam lambung. Dengan
penambahan kalium atau natrium ke dalam penisilin, maka obat lebih banyak diabsorbsi.
Disintegrasi adalah pemecahan tablet atau pil menjadi partikel-partikel yang lebih kecil, dan
disolusi adalah melarutnya partikel-partikel yang lebih kecil itu dalam cairan gastrointestinal
untuk diabsorbsi. Rate limiting adalah waktu yang dibutuhkan oleh sebuah obat untuk
berdisintegrasi dan sampai menjadi siap untuk diabsorbsi oleh tubuh.Obat-obat dalam bentuk cair
lebih cepat siap diserap oleh saluran gastrointestinal daripada obat dalam bentuk padat.Pada
umumnya, obat-obat berdisintegrasi lebih cepat dan diabsorpsi lebih cepat dalam cairan asam
yang mempunyai pH 1 atau 2 daripada cairan basa.Orang muda dan tua mempunyai keasaman
lambung yang lebih rendah sehingga pada umumnya absorpsi obat lebih lambat untuk obat-obat
yang diabsorpsi terutama melalui lambung.
2.4 Farmakokinetik
6
Farmakokinetik merupakan Keseluruhan proses atau kejadian yang dialami molekul
obat mulai saat masuknya obat ke dalam tubuh sampai keluarnya obat tersebut dari
dalam tubuh, melalui berbagai tempat pemberian obat, misalnya pemberian obat melalui
alat cerna atau diminum (peroral), otot-otot rangka (intramuskuler), kulit (topikal), paru-
paru (inhalasi), molekul obat masuk ke dalam cairan intra vaskuler setelah melalui
beberapa dinding (barrier) dan disebarkan ke seluruh tubuh serta mengalami beberapa
proses. Pada umumnya obat baru dikeluarkan (ekskresi) dari dalam tubuh setelah
mengalami biotransformasi di hepar. Ekskresi obat dapat melalui beberapa tempat, antara
lain ginjal (urin) dan kulit (keringat).
2.4.1 Absorbsi
Absorpsi adalah pergerakan partikel-partikel obat dari konsentrasi tinggi dari saluran
gastrointestinal ke dalam cairan tubuh melalui absorpsi pasif, absorpsi aktif, rinositosis
atau pinositosis. Absorpsi aktif umumnya terjadi melalui difusi (pergerakan dari
konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah). Absorpsi aktif membutuhkan carier atau
pembawa untuk bergerak melawan konsentrasi. Pinositosis berarti membawa obat
menembus membran dengan proses menelan. Absorpsi obat dipengaruhi oleh aliran darah,
nyeri, stress, kelaparan, makanan dan pH. Sirkulasi yang buruk akibat syok, obat-obat
vasokonstriktor, atau penyakit yang merintangi absorpsi. Rasa nyeri, stress, dan makanan
yang padat, pedas, dan berlemak dapat memperlambat masa pengosongan lambung,
sehingga obat lebih lama berada di dalam lambung.
Daya larut obat diberikan per oral setelah diingesti sangat bergantung pada bentuk
atau preparat obat tersebut. Larutan atau suspensi, yang tersedia dalam bentuk cair, lebih
mudah diabsorpsi daripada bentuk tablet atau kapsul. Bentuk dosis padat harus dipecah
terlebih dahulu untuk memajankan zat kimia pada sekresi lambung dan usus halus. Obat
yang asam melewati mukosa lambung dengan cepat.Obat yang bersifat basa tidak
terabsorpsi sebelum mencapai usus halus. Kondisi di tempat absorpsi mempengaruhi
kemudahan obat masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Apabila kulit tergores, obat topikal
lebih mudah diabsorpsi. Obat topikal yang biasanya diprogramkan untuk memperoleh efek
lokal dapat menimbulkan reaksi yang serius ketika diabsorpsi melalui lapisan kulit.
Adanya edema pada membran mukosa memperlambat absorpsi obat karena obat
membutuhkan waktu yang lama untuk berdifusi ke dalam pembuluh darah. Absorpsi obat
parenteral yang diberikan bergantung pada suplai darah dalam jaringan. Sebelum
memberikan sebuah obat melalui injeksi, perawat harus mengkaji adanya faktor lokal,
misalnya; edema, memar, atau jaringan perut bekas luka, yang dapat menurunkan absorpsi
7
obat. Karena otot memiliki suplai darah yang lebih banyak daripada jaringan subkutan
(SC), obat yang diberikan per intramuskular (melalui otot) diabsorpsi lebih cepat daripada
obat yang disuntikan per subkutan.
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah.
Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut
sampai rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Paling penting untuk diperhatikan adalah
cara pemberian obat per oral, dengan cara ini tempat absorpsi utama adalah usus halus
karena memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni 200 meter persegi (panjang
280 cm, diameter 4 cm, disertai dengan vili dan mikrovili ).

Faktor-faktor yang mempengaruhi absorsi obat adalah sebagai berikut :

a. Metode absorpsi
Transport pasif, tidak memerlukan energi, sebab hanya dengan proses difusi
obat dapat berpindah dari daerah dengan kadar konsentrasi tinggi ke daerah dengan
konsentrasi rendah. Transport pasif dapat terjadi selama molekulmolekul kecil dapat
berdifusi sepanjang membran dan berhenti bila konsentrasi pada kedua sisi membran
seimbang. Transport Aktif, membutuhkan energi untuk menggerakkan obat dari
daerah dengan konsentrasi obat rendah ke daerah dengan konsentrasi obat tinggi.
b. Kecepatan Absorpsi. Waktu untuk berbagai cara absorpsi obat adalah:

a) Detik s/d menit : IV, inhalasi


b) Lebih lambat: oral, IM, topical kulit, lapisan intestinal, otot
c) Lambat sekali, berjam-jam/berhari-hari: per rektal/sustained release.

8
d) Dalam hal ini, tablet termasuk ke dalam sediaan yang diabsorbsi lebih lambat
karena memakan waktu beberapa menit sampai hitungan jam.

c. Faktor yang mempengaruhi penyerapan tablet:

a) Aliran darah ke tempat absorpsi


b) Total luas permukaan yang tersedia sebagai tempat absorpsi
c) Waktu kontak permukaan absorpsi

d. Kecepatan Absorpsi
Absorpsi Tablet dapat diperlambat oleh nyeri dan stress, nyeri dan stress
mengurangi aliran darah, mengurangi pergerakan saluran cerna, retensi gaster.
Selain itu makanan tinggi lemak dan padat akan menghambat pengosongan
lambung dan memperlambat waktu absorpsi obat.
2.4.2 Distribusi
Distribusi adalah proses di mana obat menjadi berada dalam cairan tubuh dan jaringan
tubuh. Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah (dinamika sirkulasi), afinitas
(kekuatan penggabungan) terhadap jaringan, berat dan komposisi badan, dan efek
pengikatan dengan protein. Dinamika sirkulasi obat lebih mudah keluar dari ruang
interstial ke dalam ruang intravaskuler daripada di antara kompartemen tubuh.Pembuluh
darah dapat ditembus oleh kebanyakan zat yang dapat larut, kecuali oleh partikel obat
yang besar atau berikatan dengan protein serum.Konsentrasi sebuah obat pada sebuah
tempat tertentu bergantung pada jumlah pembuluh darah dalam jaringan, tingkat
vasodilasi atau vasokonstriksi lokal, dan kecepatan aliran darah ke sebuah
jaringan.Latihan fisik, udara yang hangat, dan badan yang menggigil mengubah sirkulasi
lokal. Contoh, jika klien melakukan kompres hangat pada tempat suntikan intramuskular,
akan terjadi vasodilatasi yang meningkatkan distribusi obat.
Distribusi merupakan proses obat dihantarkan dari sirkulasi sistemik ke jaringan dan
cairan tubuh.Distribusi obat yang telah diabsorpsi tergantung beberapa faktor yaitu:

a. Aliran darah. Setelah obat sampai ke aliran darah, segera terdistribusi ke organ
berdasarkan jumlah aliran darah. Organ dengan aliran darah terbesar adalah jantung,
hepar, dan ginjal. Sedangkan distribusi ke organ lain seperti kulit, lemak, dan otot
lebih lambat

9
b. Permeabilitas kapiler. Distribusi obat tergantung pada struktur kapiler dan struktur
obat.
c. Ikatan protein. Obat yang beredar di seluruh tubuh dan berkontak dengan protein
dapat terikat atau bebas. Obat yang terikat protein tidak aktif dan tidak dapat bekerja.
Hanya obat bebas yang dapat memberikan efek. Obat dikatakan berikatan protein
tinggi bila >80% obat terikat protein.

2.4.3 Metabolisme
Metabolisme atau biotransformasi obat adalah proses tubuh mengubah komposisi obat
sehingga menjadi lebih larut air untuk dapat dibuang keluar tubuh. Obat dapat
dimetabolisme melalui beberapa cara, yaitu menjadi metabolit inaktif kemudian
diekskresikan; dan menjadi metabolit aktif, memiliki kerja farmakologi tersendiri dan
bisa dimetabolisme lanjutan. Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme adalah
sebagai berikut :
a. Kondisi Khusus. Beberapa penyakit tertentu dapat mengurangi metabolisme, antara
lain penyakit hepar seperti sirosis.
b. Pengaruh Gen.
c. Pengaruh Lingkungan. Lingkungan juga dapat mempengaruhi metabolisme,
contohnya: rokok, keadaan stress, penyakit lama, operasi, dan cedera
d. Usia.
2.4.4 Ekskresi
Ekskresi merupakan eliminasi atau pembuangan obat dari tubuh terutama dilakukan
oleh ginjal melalui urin, selain itu dapat juga dikeluarkan melalui paru-paru, eksokrin
(keringat, ludah, payudara), kulit dan traktusintestinal. Ekskresi melalui ginjal
melibatkan 3 (tiga) proses, yakni filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus, dan
reabsorpsi pasif di sepanjang tubulus. Fungsi ginjal mengalami kematangan pada usia 6-
12 bulan, dan setelah dewasa menurun 1% per tahun. Organ ke dua yang berperan
penting, setelah ginjal, untuk ekskresi obat adalah melalui empedu ke dalam usus dan
keluar bersama feses. Ekskresi melalui paru terutama untuk eliminasi gas anastetik
umum.
2.5 Farmakodinamik
Farmakodinamik merupakan bagian dari ilmu Farmakologi yang mempelajari efek
biokimiawi dan fisiologi, serta mekanisme kerja obat. Tujuan mempelajari
Farmakodinamik adalah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat

10
dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respons yang
terjadi. Farmakodinamik juga sering disebut dengan aksi atau efek obat. Kerja obat dapat
dibagi menjadi onset (mulai kerja), merupakan waktu yang diperlukan oleh tubuh untuk
menimbulkan efek terapi atau efek penyembuhan atau waktu yang diperlukan obat untuk
mencapai maksimum terapi; Peak (puncak); duration (lama kerja), merupakan lamanya
obat menimbulkan efek terapi; dan waktu paruh.
Secara
garis besar
dikenal
dua jenis

mekanisme kerja obat yaitu melalui perantara reseptor dan tanpa melibatkan reseptor.
Mekanisme aksi obat yang diperantarai reseptor adalah berdasarkan teori pendudukan
reseptor (Receptor Occupancy) yaitu obat baru dapat menghasilkan efek farmakologi jika
terjadi ikatan komplek antara obat dan reseptor. Reseptor didefinisikan suatu
makromolekul seluler yang secara spesifik langsung berikatan ligan (obat, hormon dan
neurotransmitter) untuk memicu serangkaian reaksi dalam tubuh sehingga timbul efek
farmakologis.
Beberapa mekanisme kerja obat tanpa melibatkan reseptor dapat digolongkan sebagai
berikut:
a.Secara fisika
a) Massa fisis : laktulosa dan biji psyllium akan mengadsorpsi air jika diberikan secara
peroral sehingga volume akan mengembang dan memicu peristaltik
(laksativa/purgativa).
b) Osmosis: laksansia osmotis (natrium sulfat dan magnesium sulfat), lambat sekali
diabsorbsi usus dan secara osmosis menarik air ke dalam usus sehingga volume usus
bertambah dan memicu peristaltik usus untuk mengeluarkan isinya.
c) Adsorbsi: kaolin dan karbon aktif akan menyerap racun pada pengobatan diare dan
sebagai antidotum.
d) Surfaktan : sabun pembersih kulit bersifat antiseptik dan desinfektan.

b. Secara Kimia
11
a) Aktivitas asam basa : antasida lambung (Al(OH)3) yang bersifat basa akan
menetralkan kelebihan asam lambung.
b) Pembentukan khelat : zat-zat khelasi seperti EDTA/ Etilen Diamin Tetra Acetat dan
dimercaprol yang dapat mengikat logam berat seperti timbal dan tembaga dalam
tubuh sehingga toksisitasnya berkurang.
c) Aktivitas oksidasi dan reduksi : kalium permanganat konsentrasi rendah mempunyai
aktivitas oksidasi morfin dan strychnin sehingga toksisitasnya berkurang.
d) Reduktor : vitamin C
c.Proses metabolism
a) Contohnya antibiotika mengganggu pembentukan dinding sel kuman, sintesis protein,
dan metabolisme asam nukleat.
d. Secara kompetisi atau saingan, dalam hal ini dapat dibedakan dua jenis kompetisi yaitu
untuk reseptor spesifik dan enzym-enzym.Contoh: Obat-obat Sulfonamida

12
BAB III
KESIMPULAN

Proses perjalanan obat untuk mencapai target site, sampai menghasilkan efek
terapeutik membutuhkan proses yang cukup panjang. Selain faktor zat aktif, sekumpulan
faktor-faktor formulasi obat sangat berpengaruh terhadap efek terapeutik / efek farmakologis
yang ditimbulkan, hal ini dipelajari dalam bidang ilmu biofarmasi. Sebelum menimbulkan
efek farmakologis, obat juga melalui fase-fase dalam perjalanannya di dalam tubuh. Fase-fase
tersebut meliputi pelepasan zat aktif dari bentuk sediaannya (fase farmasetik), proses
absorbsi, distribusi, metabolism dan ekskresi (fase farmakokinetik) dan fase farmakodinamik,
yaitu obat berikatan dengan reseptor dan menimbulkan efekfarmakologis.

Proses perjalanan obat dalam tubuh (nasib obat) meliputi absorbsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi. Proses absorbs obat dapat terjadi di semua tempat pemberian obat.
Berbagai macam factor seperti kelarutan obat , sirkulasi pada letak absorbs sangat
mempengaruhi kecepatan absorbsi obat. Distribusi obat terjadi segera setelah proses absorbsi.
Distribusi akan terjadi pada organ yang perfusinya lebih cepat. Metabolisme adalah proses
yang sangat penting dalam mengubah molekul obat menjadi hasil metabolisme (metabolit)
obat. Sebagian besar proses metabolism ini terjadi di organ hati oleh enzim retikuloendotelial.
Perubahan meolekul obat yang terjadi dapat berupa: bioinaktivasi, detoksifikasi, atau
perubahan kepolaran. Ekskresi merupakan proses yang sangat penting untuk eliminasi
(pengeluaran) obat dan metabolitnya dalam tubuh. Ginjal melalui urin, merupakan organ
yang sangat penting dalam pengeluaran metabolit obat dalam tubuh. Efek terapeutik / efek
farmakologis obat dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu melalui perantara reseptor dan
tanpa perantara reseptor. Teori yang mendasari efek obat melalui perantara reseptor adalah
teori pendudukan reseptor, di mana obat dapat menimbulkan efek setelah terjadi kompleks
antara reseptor yang sesuai dengan obat. Mekanisme kerja obat yang lain tanpa perantara
reseptor dapat terjadi secara fisika, kimia, metabolisme dan antagonis saingan / kompetitif.

13
DAFTAR PUSTAKA
1. Noviani N, Nurilawati V. Farmakologi. Badan Pengembangan dan Pemberdaya
Sumber Daya Manusia Kesehatan. 2017;
2. Nila A, Halim M. Dasar-dasar farmakologi 2. Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan. 2013;
3. https://repositori.kemdikbud.go.id/10437/1/DASAR-DASAR%20FARMAKOLOGI
%202.pdf
4. Shargel L, Wu-Pong S. Biofarmasetika dan Farmakokinetika terapan. Edisi kelima.
Airlangga Unversitiy Press. 2012
5. Aulton, ME. Pharmaceutics The Science of Dosage Form Design. Edisi Kedua.
Churcill Livingstone.

14

Anda mungkin juga menyukai