Anda di halaman 1dari 6

LAPORAN KASUS POLIKLINIK

Nama Ny. AT NRM 001***

Jenis Perempuan Tgl Lahir 27-08-1971 (46 Tahun)


Kelamin

Alamat Tanjung Priuk No.Telp 08131983686

Diagnosis Abses Gluteal Dextra ICD - 10 L029

Tindakan - ICD - 9 -

DPJP dr. Anastasia Dessy Harsono, Sp.BP-RE Assistant -

Residen dr. Emil Muzammil Co-Assistant Ravania Rahadian Putri


2110221097

Anamnesis
Keluhan Utama :
Nyeri di bokong kanan sejak 1 bulan SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien awalnya mengaku awalnya digigit serangga dan merasa
gatal pada daerah bokong bokong 1 bulan SMRS, kemudian pasien mengeluhkan adanya benjolan
yang nyeri pada daerah luka gigitan serangga dan demam (+). Pasien sempat berobat ke dokter
Sp.KK dan diberi salep kulit namun tak kunjung membaik. 3 hari setelahnya luka semakin
membesar, nyeri bertambah, bernanah(+) dan pasien datang ke dokter Sp.BP dan dilakukan
tindakan spooling. Mual (-), muntah (-) Saat ini pasien kontrol yang ke-3 untuk rawat luka dan
ganti verban.
Riwayat Penyakit Dahulu : Hipertensi (+), DM (-)
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan serupa
Pemeriksaan fisik
 Keadaan Umum : Baik
 Kesadaran : Compos mentis
 Tanda-tanda vital :
o Tekanan darah : 130/85 mmHg
o Nadi : 93 kali/menit
o Laju napas : 24 kali/menit
o Suhu : 36℃
 Status Lokalis
 Gluteal : Ulkus berukuran 5x2x0.1cm, tepi teratur, dengan dasar jaringan
granulasi (+), edema (-), pus (-), darah (+).

Gambar 1. Kontrol ke-1 (25 Mei 2022) Gambar 2. Kontrol ke-3 (17 Juni 2022)

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:
Hasil Lab tidak ditemukan di RM

Diagnosis: Abses regio Gluteal dextra post drainase

.
TINJAUAN PUSTAKA

ABSES KULIT

1. Definisi
Infeksi lokal kulit dengan karakteristik akumulasi neutrofil, bakteri, dan jaringan nekrosis yang
umumnya disebabkan oleh bakteri Staphylococcuc aureus. Abses terjadi karena reaksi pertahanan
tubuh dari jaringan untuk menghindari penyebaran infeksi dalam tubuh. S. aureus merupakan
bakteri Gram positif yang berkapsul. Hal tersebut dapat menghambat fagositosis sehingga sulit
dimusnahkan oleh tubuh. Selain itu S. aureus juga memiliki adhesins fibronectin binding protein
dan colagen binding protein memudahkan invasi, menghasilkan toksin TSST-1, enterotoksin,
coagulates yang mengubah fibrinogen menjadi fibrin, dan staphylokinase yang mangaktivasi
plasminogen sehingga saat S. aureus terancam akan membentuk kapsul fibrin sehingga tidka
mudah dimusnahkan dan saat kondisi tubuh sedang melemah S. aureus akan membebaskan
staphylokinase yang akan melisiskan kapsul fibrin dan terjaid reinfeksi.

2. Faktor resiko
Diabetes melitus, imunokompromised, infeksi kulit primer, higenitas, malnutrisi, alkoholisme

3. Patogenesis
S. aureus menginvasi kulit saat pertahanan kulit rusak karena abrasi, luka bakar atau tersayat.
Patogen tersebut akan terdeteksi oleh sel dendritik, makrofag, sel mast, dan menginduksi sel
sitokin TNF, IL 1 6 17, kemokin. Induksi sel-sel tersebut menyebabkan vasodilatasi, peningkatan
permeabilitas vaskular, dan perekrutan sel imun, terutama neutrofil. Neutrofil akan masuk ke
jaringan yang terinfeksi untuk menfagosit patogen, namun S. aureus menghasilkan toksin sehingga
fagositosis terhambat. Hal tersebut menyebabkan semakin banyak neutrofil yang masuk ke
jaringan. Kumpulan neutrofil, sel imun, patogen, dan jaringannekrotik akan membentuk kumpulan
nanah (supurative inflammation). Sebagai respon terhadap hal tersebut, tubuh akan membentuk
membentuk kapsul fibrinogen agar nanah tidak menyebar. Toksin coagulates yang dihasilkan oleh
S. aureus juga berpean dalam pembentukkan kapsuk fibrinogen. Namun, kapsuk tersebut juga
menyebabkan sel imun dan antibiotik sulit untuk menyerang agen penyebab infeksi di dalam abses.

4. Gejala klinis
a. Tanda inflamasi pada daerah lesi: nyeri, kemerahan, panas, bengkak
b. Demam, mual muntah

5. Pemeriksaan penunjang
a. Leukositosis pada keadaan akut
b. Pemeriksaan Gram  Gram positif
c. Kultur  pertumbuhan S. aureus d. USG

6. Diagnosis
a. Inspeksi kulit  fluctuance, nodus eritematosa
b. Palpasi  nyeri, hangat, bengkak
c. Jika meragukan bisa dengan pemeriksaan USG

7. Diagnosis banding
Diagnosis banding abses meliputi selulitis, kista sebaseus, necrotizing fascitis.
8. Tata laksana
Tatalaksana awal dan paling penting adalah insisi dan drainase. Jika didapatkan kondisi-kondisi
berikut maka pasien harus segera berobat ke rumah sakit: Demam diatas 102o F, tidak ada drain,
muncul lesi baru, lesi bersifat sangat nyeri, abses pada wajah/bokong/dekat rectal dan genitalia,
tidak sembuh dalam 2 minggu dan semakin membesar, diameter abses lebih besar dari 1 cm, dan
dalam keadaan hamil. Penggunaan antibiotik setelah insisi dan drainase hanya dianjurkan jika lesi
parah, terdapat tanda infeksi sistemik, terdapat faktor komorbid, usia pasien sangat muda atau
sangta tua, abses berada di lokasi tubuh yang sulit untuk didrainase, dan tidak ada respon terhadap
insisi dan drainase. Antibiotik yang buiasa digunakan untuk terapi abses:
a. Dicloxacillin 250-500 SD
b. Clindamycn 300-450 mg 3xsehari
c. Doxycycline 100 mg 2x sehari
d. Minocyline 50-100 ng 2x sehari
e. Trimethroprim-sulfamethoxazole (TMX-SMX) 160-80 mg PO 2x

9. Komplikasi
Jika kompliaksi bisa terlokalisir oleh dinding abses, biasanya infeksi tidak menyebar. Dalam
beberapa kasus, infeksi yang dimulai di dalam abses kulit dapat menyebar ke jaringan sekitar dan
di seluruh tubuh, yang menyebabkan komplikasi serius. Jaringan kulit dapat nekrosis akibat
infeksi, yang dapat menyebabkan gangren. Jika infeksi tidak segera ditangani maka infeksi dapat
menyebar secara internal di dalam tubuh dapat menyebabkan osteomielitis, endokarditis, sepsis.

10. Prognosis
Sebagian besar abses bisa sembuh ketika pecah dan nanah mengering. Namun sebagian besar
memerlukan pengobatan dan intervensi berupa pungsi bahkan insisi atau operasi.
TINJAUAN PUSTAKA

1. Saavedra A, Weinberg AN, Swartz MN, Johnson RA. Soft tissue infections: Erysipelas, cellulitis,
gangrenous cellulitis, and myonecrosis. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine (Eight Edition). New York:
McGraw Hill; 2012; p. 1720- 31.
2. Hay RJ, Adriaans BM. Bacterial infections. In: Burn T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors.
Rook’s Textbook of Dermatology (Eight Edition). Singapore: Willey-Blackwell Publishing; 2010;
p. 30.1-30.82.
3. Rogers RL, Perkins J. Skin and soft tissue infections. Prim Care Clin Office Pract. 2006; 33:697-
710.
4. McNamara DR, Tleyjeh IM, Berbari EF, Lahr BD, Martinez JW, Mirzoyev SA. Incidence of lower-
extremity cellulitis: a population-based study in Olmsted county, Minnesota. Mayo ClinProc.
2007;82(7): 817-21.
5. James WD, Berger TG, Elston DM. Bacterial infections. In: James WD, Berger TG, Elston DM.
Andrew’s Disease of the Skin (Tenth Edition). Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006. p. 251-95.

Nilai Laporan : Mengetahui,


DPJP

dr. Anastasia Dessy Harsono, Sp.BP-RE

Anda mungkin juga menyukai