Anda di halaman 1dari 4

4.

ZINA DAN STATUS ANAK ZINA


Zina menurut Al-Jurjani, ialah:
‫الوطأ فى قبل عن ملك وشبهة‬
"Memasukkan penis (zakar, bhs. Arab) ke dalam vagina (farj, bhs. Arab) bukan miliknya
(bukan istrinya) dan tidak ada unsur syubhat (keserupaan atau kekeliruan).
Dari definisi zina di atas, maka suatu perbuatan dapat dikatakan zina, apabila sudah
memenuhi 2 (dua) unsur, ialah:
1. Adanya persetubuhan (sexual intercourse) antara dua orang yang berbeda jenis
kelaminnya (heterosex); dan
2. Tidak adanya keserupaan atau kekeliruan (syubhat) dalam perbuatan seks (sex act).
Dengan unsur pertama, maka jika dua orang yang berbeda kelaminnya baru
bermesraan, misalnya berciuman atau berpelukan, belum dapat dikatakan berbuat zina, yang
dapat dijatuhi hukuman had, berupa dera bagi yang belum pernah kawin atau rajam bagi
yang sudah pemah kawin; tetapi mereka bisa dihukum ta’zir yang bersifat edukatif.
Demikian pula, melakukan inseminasi buatan dengan sperma atau ovum donor
untuk memperoleh keturunan, maka menurut rumusan definisi Al-Jurjani tentang zina di
atas, juga tidak bisa disebut zina, sebab tidak terjadi sexual intercourse (persetubuhan) dalam
inseminasi buatan. Namun menurut Mahmud Syaltut, inseminasi buatan itu menurut hukum
termasuk zina, sebab hal itu mengakibatkan pencemaran kelamin dan pencampuran nasab
padahal Islam sangat menjaga kesucian/kehormatan kelamin dan kemurnian nasab.
Dengan unsur kedua (syubhat), maka sexual intercourse yang dilakukan oleh orang
karena kekeliruan, misalnya dikira "istrinya", juga tidak dapat disebut zina.
Kalau kita perbandingkan antara KUHP Indonesia dengan Hukum Pidana Islam mengenai
kasus zina ini, maka kita dapat melihat banyak perbedaan pandangan, antara lain sebagai
berikut:
1. Menurut KUHP, tidak semua pelaku zina diancam dengan hukuman pidana. Misalnya
pasal 284 (1) dan (2) KUHP menetapkan ancaman pidana penjara paling lama 9
(sembilan) bulan bagi pria dan wanita yang melakukan zina, padahal salah seorang atau
kedua-duanya telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya. Ini berarti bahwa pria dan
wanita yang melakukan zina itu belum/tidak kawin, tidaklah kena sanksi hukuman
tersebut di atas, asal kedua-duanya telah dewasa dan suka sama suka (tidak ada unsur
perkosaan). Baru kalau ada unsur perkosaan atau wanitanya belum dewasa, dapat
dikenakan sanksi hukuman (pasal 285 dan 287 (1). Sedangkan menurut Hukum Pidana
Islam, semua pelaku zina pria dan wanitadapat diancam hukuman had. Hanya dibedakan
hukumannya, yakni bagi pelaku yang belum kawin diancam dengan hukuman dera
(flogging) dengan pukulan tongkat, tangan, atau sepatu (praktek di zaman Nabi dan
khalifah-khalifah sesudahnya). Dera dengan cara apa pun tidak boleh berakibat fatal bagi
yang didera. Sedangkan bagi pelaku yang telah kawin diancam dengan hukuman rajam
(stoning to death) berdasarkan Sunah Nabi. Ada pula yang berpendapat, bahwa pelaku
zina yang telah kawin mendapat hukuman rangkap: dera dahulu kemudian rajam.
Mazhab Dzahiri termasuk pendukung pendapat ini berdasarkan Hadis Nabi:
)‫الثيب بالثيب جلد مائة و الرجم (الحديث‬
"Pelaku zina yang telah atau pernah kawin itu didera 100 kali dan dirajam,"
Dan juga berdasarkan pelaksanaan hukum dera dan rajam yang dilakukan oleh
Khalifah Ali terhadap Syarahah al-Hamdaniyah, kemudian Ali menegaskan:
‫جلدتك بكتاب هللا ورجمتها بسنة رسول هللا‬
Aku mendera dia (Syarahah berdasarkan Kitab Allah (Surat AlNur ayat 2) dan merajamnya
dengan Sunah Rasul.
Mengenai wanita yang, diperkosa di luar perkawinan tidak dikenakan hukuman,
tetapi bagi wanita di bawah umur (kurang dari 15 tahun, pasal 287 KUHP) yang bersetubuh
dengan pria tanpa unsur paksaan, dapat diancam dengan hukuman menurut Hukum Pidana
Islam.

13
14

2. Menurut KUHP, perbuatan zina hanya dapat dituntut atas pengaduan suami/istri yang
tercemar (pasal 284 (2) KUHP); sedangkan Islam tidak memandang zina hanya sebagai
klacht delict (hanya bisa dituntut atas pengaduan yang bersangkutan); tetapi
dipandangnya sebagai perbuatan dosa besar yang harus ditindak tanpa menunggu
pengaduan dari yang bersangkutan. Sebab zina mengandung bahaya besar bagi pelaku-
nya sendiri dan juga bagi masyarakat, antara lain sebagai berikut:
a. Pencemaran kelamin dan pencampuran nasab, padahal Islam sangat menjaga
kesucian/kehormatan kelamin dan kemurnian nasab. Dan itulah sebabnya Islam
membolehkan seorang suami menolak mengakui seorang anak yang dilahirkan oleh
istrinya setelah terjadi li'an dan terbukti anak tersebut hasil hubungan gelap istri
dengan pria lain.
b. Penularan penyakit kelamin (veneral disease) yang sangat membahayakan
kesehatan suami istri dan dapat mengancam keselamatan anak yang lahir. Penularan
penyakit AIDS yang sangat berbahaya itu juga bisa disebabkan oleh zina atau free
sex;
c. Keretakan keluarga yang bisa berakibat perceraian karena suami atau istri yang
berbuat serong (zina) akan menimbulkan konflik besar dalam rumah tangga;
d. Teraniayanya anak-anak yang tidak berdosa sebagai akibat ulah orang-orang yang
tidak bertanggung jawab (para pelaku zina), karena mereka terpaksa menyandang
sebutan anak zina/jadah
e. Pembebanan pada masyarakat dan negara untuk mengasuh dan mendidik anak-anak
teraniaya yang tidak berdosa itu, sebab kalau masyarakat dan negara tidak mau
menyantuni mereka, mereka bisa mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.
3. Menurut KUHP, pelaku zina diancam dengan hukuman penjara yang lamanya berbeda
(pasal 284 (1) dan (2); pasal 285; 286; dan 287 (1); sedangkan menurut Islam, pelaku zina
diancam dengan hukuman dera, jika ia belum kawin; dan diancam dengan hukuman
rajam jika ia telah kawin.
Hukuman 100 kali relatif lebih ringan dibandingkan dengan hukuman penjara
seperti tersebut dalam KUHP, sebab pelaksanaan dera tidak boleh sampai berakibat fatal
bagi orang yang didera. Karena itu, disarankan agar sasaran pukulan/dera tidak hanya pada
satu bagian tubuh saja, melainkan pada berbagai bagian tubuh, kecuali bagian yang sangat
rawan/berbahaya dan bagian yang sangat pribadi (terhormat).
Mengenai hukuman rajam (stoning to death), yang berarti hukuman mati bagi pelaku zina
yang telah kawin, karena si pelaku zina itu seharusnya (wajib) menjaga loyalitas dan nama
baik keluarga, dan lagi perbuatan zina itu mengandung bahaya-bahaya yang besar bagi
keluarganya, masyarakat, dan negara. Sedangkan hukuman dera yang relatif ringan bagi
pelaku zina yang belum kawin, karena si pelaku masih hijau, belum berpengalaman, maka
dengan hukuman dera itu diharapkan bisa memberi kesadaran kepadanya, sehingga ia tidak
mau mengulang perbuatannya yang tercela. Sekalipun teknologi sekarang ini cukup canggih,
namun menurut Islam tak perlu hukuman rajam itu diganti dengan hukuman tembak atau
strum listrik atau minum obat dengan alasan untuk mempercepat kematian dan mengurangi
sakit dan siksaannya. Sebab hukuman mati dengan cara-cara lain belum tentu mempercepat
kematian dibandingkan dengan cara rajam (melempar pelaku zina mukhsan dengan batu oleh
orang banyak). Dan lagi andaikata hukuman mati dilaksanakan dengan cara-cara yang
smooth dan tidak menimbulkan rasa sakit, maka sudah tentu hukuman mati itu tidak efektif
lagi dalam rangka usaha mencegah pelaku-pelaku kejahatan yang sadis dan biadab, seperti
pembunuh bayaran, pemerkosa dan lain-lain, sebab mereka tidak takut hukuman mati yang
cukup enak.
Adapun tujuan hukuman menurut Hukum Pidana Islam, ialah sebagai berikut:
1. Untuk preventif, artinya untuk mencegah semua orang agar tidak melanggar larangan
agama dan melalaikan kewajiban agama dengan adanya sanksi-sanksi hukumannya yang
jelas;
15

2. Untuk repressif, artinya untuk menindak dengan tegas siapa saja yang melanggar hukum
tanpa diskriminasi, demi menegakkan hukum (law enforcement);
3. Untuk kuratif dan edukatif, artinya untuk menyembuhkan penyakit mental/psychis dan
memperbaiki akhlak pelaku pelanggaran/kejahatan, agar insaf dan tidak mengulang lagi
perbuatannya yang jelek/jahat;
4. Untuk melindungi keamanan masyarakat/negara, dan memelihara ketertiban dalam
masyarakat.lo )
Adapun anak zina, ialah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah; sedangkan
perkawinan yang diakui di Indonesia, ialah perkawinan yang dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya, dan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku (pasal 2 (1) dan (2) UU No. 1/ 1974). Pencatatan perkawinan
dilakukan oleh pegawai pencatat dari KUA untuk mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut hukum Islam; sedangkan untuk mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut hukum agamanya dan kepercayaannya selain Islam, maka
pencatatan perkawinannya dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan
Sipil (pasal 2 (1) dan (2) PP No. 9/1975 tentang pelaksanaan UU No. 1/ 1974 tentang
perkawinan).
Berdasarkan ketentuan pasal-pasal dan ayat-ayat tersebut di atas, maka perkawinan
penduduk di Indonesia yang dilakukan menurut hukum Islam misalnya, tetapi tidak dicatat
oleh pegawai pencatat dari KUA, atau perkawinan yang dicatat oleh pegawai pencatat dari
Kantor Catatan Sipil, tetapi perkawinan tersebut tidak dilakukan menurut hukum agamanya
dan kepercayaannya; maka perkawinan tersebut tidak sah menurut negara. Anak yang lahir
di luar perkawinan yang sah itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya ( pasal 43 (1) PP No. 9/1975).
Menurut Hukum Perdata Islam, anak zina/jadah itu suci dari segala dosa orang yang
menyebabkan eksistensinya di dunia ini, sesuai dengan Hadis Nabi Muhammad:
‫كل مولود يولد على الفطرة حتى يعرب عنه لسانه فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه‬
Semua anak dilahirkan atas hesucian/kebersihan (dari segala dosa/ noda) dan pembawaan
beragama tauhid, sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orang tuanyalah yang
menyebabkan anaknya menjadi Yahudi, atau Nasrani atau Majusi. (Hadis riwayat Abu
Ya'la, Al-Thabrani, dan Al-Baihaqi dari Al-Aswad bin Sari').
Dan berdasarkan firman Allah dalam Surat Al-Najm ayat 38:
‫از َرةٌ ِو ْز َر ُأ ْخ َرى‬
ِ ‫َأالَّ ت َِز ُر َو‬
Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.
Karena itu, anak zina harus diperlakukan secara manusiawi, diberi pendidikan,
pengajaran, dan ketrampilan yang berguna untuk bekal hidupnya di masyarakat nanti. Yang
bertanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan hidupnya -materiil dan spiritual- adalah
terutama ibunya yang melahirkannya dan keluarga ibunya. Sebab anak zina hanya
mempunyai hubungan nasab atau perdata dengan ibunya.
Apabila ibunya yang melahirkan tidak bertanggung jawab, bahkan sampai hati
membuangnya untuk menutup malu/aib keluarga; maka siapa pun yang menemukan anak
(bayi) zina tersebut wajib mengambilnya untuk menyelamatkan jiwanya. Keluarga yang
menemukan bayi terlantar akibat daripada hubungan gelap orang-orang yang tidak
bertanggung jawab, wajib mengasuhnya dan mendidik baik-baik, dan untuk mencukupi
kebutuhan hidup anak tersebut, bisa atas harta pribadi keluarga tersebut, dan bisa juga atas
bantuan Baitul Mal. Dan bisa juga anak tersebut diserahkan oleh keluarga tersebut kepada
Panti Asuhan Anak Yatim. Hanya perlu dicatat, apabila orang yang menemukan anak
tersebut temyata tidak baik cara mengasuh dan mendidiknya, atau tidak dapat dipercaya
dalam penggunaan bantuan keuangan dari Baitul Mal dan dari masyarakat Islam, maka wajib
dicabut hak perwaliannya atas anak itu, dan pemerintah wajib mengurusi, mengawasi, dan
mencukupi kebutuhan hidupnya.
Perlu ditambahkan, bahwa anak yang lahir sebelum 6 bulan dari perkawinan, maka
"sang ayah" berhak menolak keabsahan anak itu menjadi anaknya, sebab masa hamil yang
16

paling sedikit berdasarkan Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 233 dan Surat Al-Ahqaf ayat 15
adalah 6 bulan. Sedangkan masa hamil yang terlama dari seorang wanita tiada nash yang
jelas di dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Pendapat fuqaha tentang masalah ini berbeda-beda
mulai dari 9 bulan menurut mazhab Dzahiri, setahun menurut Muhammad bin Abdul Hakam
al-Maliki, dua tahun menurut mazhab Hanafi, empat tahun menurut mazhab Syafi'i, dan lima
tahun menurut mazhab Maliki. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena hanya
didasarkan atas informasi dari sebagian wanita yang dijadikan responden, yang belum tentu
mengerti ilmu kesehatan, khususnya tentang ilmu kandungan. Maka karena itu di Mesir
berdasarkan UU No. 25 Tahun 1929 pasal 15 menetapkan masa hamil paling lama satu tahun
syamsiyah (365 hari) setelah mendengarkan pertimbangan dari para dokter yang juga ahli
hukum Islam. Menurut hemat penulis, pendapat Dzahiri adalah yang paling mendekati
kebiasaan/pengalaman wanita hamil (berdasarkan realitas dan empirik), sedangkan hukum
positif di Mesir (1 tahun) adalah untuk bersikap hati-hati atas kemungkinan adanya
kehamilan yang cukup lama sekalipun langka. Kiranya sekadar untuk bersikap hati-hati,
cukuplah kiranya masa hamil terlama menurut mazhab Dzahiri itu ditambah sebulan menjadi
10 bulan tahun syamsiyah, demi menjaga kepastian hukum. Sebab norma hukum itu hanya
mengatur dan menetapkan hal-hal yang umum, bukan kejadian-kejadian yang jarang/langka
adanya. Dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 255, bahwa anak yang dilahirkan
300 hari setelah perkawinan putus, adalah tidak sah. Pasal ini berarti, kehamilan paling lama
menurut Hukum Perdata adalah 300 hari.

Anda mungkin juga menyukai