Anda di halaman 1dari 14

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id
6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kemampuan Bahasa

1. Pengertian

Kemampuan berasal dari kata mampu yang berarti kuasa (bisa,

sanggup) melakukan sesuatu, sedangkan kemampuan berarti kesanggupan,

kecakapan, kekuatan (Depdikbud, 1989). Komunikasi mempunyai makna

luas yaitu perpaduan antara perilaku dan kemampuan berbahasa (Simms

dan Schum, 2011).

Dalam prosesnya komunikasi menggunakan bahasa, komunikasi

dengan menggunakan bahasa ada dua, yaitu komunikasi dengan bahasa

verbal dan non verbal (Karina, 2012). Bahasa verbal merupakan bahasa

yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari yaitu berupa kata-kata

lisan sedangkan bahasa non verbal merupakan bahasa yang menggunakan

isyarat atau bahasa tubuh. Pada orang tertentu kadang digunakan bahasa

gambar yang berupa fotografi atau simbol yang disebut bahasa abstrak

(Rahayu, 2007).

Ada dua komponen penting dalam terciptanya komunikasi secara

efektif. Komponen pertama adalah kemampuan untuk memahami pesan

(pemahaman) yaitu kemampuan mendengarkan suara atau melihat aksi,

kemampuan mengolah pesan, dan menyimpannya dalam memori.

Komponen kedua adalah kemampuan berespon terhadap pesan (ekspresi)


commit to user

6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
7

yaitu kemampuan memilih kata atau aksi yang tepat, kemampuan

menyusun kata-kata dan aksi-aksi menjadi pesan yang dapat dimengerti

(Lenawaty et al., 2010).

2. Faktor-faktor Mempengaruhi

Kemampuan berbahasa dan berbicara seseorang dalam

perkembangannya dapat dipengaruhi oleh beberapa kelainan. Kelainan

tersebut dapat berupa kelainan hambatan gerak atau kelainan fisik dan

hambatan non gerak. Hambatan gerak seperti bibir sumbing atau cerebal

palsy, sedangkan hambatan non gerak seperti autis, tuna rungu, afasia atau

down syndrome (Karina, 2012).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Catani et al. (2007)

kesimetrisan antara otak kanan dan kiri juga dapat mempengaruhi

kemampuan bahasa seseorang. Telah diketahui bahwa hemisferium kiri

merupakan bagian dari otak manusia yang lebih dominan dalam mengatur

kemampuan berbahasa. Sedangkan hemisferium kanan pada manusia

mempunyai fungsi bahasa yaitu mengartikan kata dan mempelajari kata.

Selain itu area Broca yang terdapat di lobus frontalis yang berfungsi

mengtur kamampuan berbicara dan area Wernicks yang terdapat pada

lobus temporal yang berfungsi untuk mengerti bahasa tulis dan lisan.

Kelainan pada area Broca atau Wernick serta asimetris otak dapat

berpengaruh pada kemampuan bahasa seseorang (Weiner, 2001).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8

B. Autisme

1. Definisi

Menurut The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders

4th Edition Text Revision (DSM-IV-TR) dan edisi kesepuluh International

Classification of Diseases (ICD-10) dari World Health Organization

(WHO) menyatakan bahwa ASD nama lain dari gangguan perkembangan

pervasif. Sedangkan gangguan autistik pada DSM-IV-TR atau childhood

autism pada ICD-10 (sering disingkat autism atau gangguan autistik saja di

literatur) sebagai salah satu bentuknya (Rapin dan Tuchman, 2008). ASD

didefinisikan sebagai gangguan neurodevelopmental yang ditandai adanya

abnormalitas dalam perkembangan kemampuan baik dalam komunikasi

maupun interaksi sosial dan juga adanya tingkah laku yang dilakukan

berulang atau stereotype, terjadi pada masa kanak-kanak sampai dewasa

dengan onset kurang dari 36 bulan (Ratajczak, 2011; Landa et al., 2010;

Loucas et al., 2008; CDDH, 2010). Sedangkan autisme menurut DSM-IV

ditandai dengan gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal

balik, adanya suatu pola stereotype dalam perilaku, minat dan kegiatan,

keterlambatan atau gangguan dalam interaksi sosial, bicara dan berbahasa

dan cara bermain yang kurang variatif sebelum umur tiga tahun, serta tidak

disebabkan oleh sindrom Rett atau gangguan disintegratif masa kanak-

kanak (Lenawaty et al., 2010).

Dalam PPDGJ III autisme merupakan gangguan perkembangan

pervasif yang ditandai dengan adanya abnormalitas perkembangan yang


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
9

muncul sebelum usia 3 tahun dengan ciri fungsi yang abnormal dalam

interaksi sosial, komunikasi dan perilaku yang terbatas dan berulang-

ulang. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa autisme merupakan

gangguan perkembangan pervasif atau ASD yang mengalami gangguan

mencakup gangguan dalam bidang interaksi sosial, adanya gangguan pola

perilaku, minat, kegiatan yang terbatas dan berulang, dan kelemahan

dalam komunikasi verbal maupun non verbal (Lenawaty et al., 2010).

2. Etiologi

ASD merupakan sindrom neurodevelopmental heterogen yang

etiologi utamanya belum diketahui dan multifaktoral (Geschwind dan

Levitt, 2007; Reiff, 2011). Seorang anak dapat dikatakan mengalami ASD

yang esensial ketika mempunyai kesesuaian dengan kriteria diagnosis

DSM dan riwayat serta pemeriksaan fisik tidak didapatkan etiologi yang

spesifik. Hal tersebut dikarenakan kurang dari 10% ASD berhubungan

dengan keadaan medis tertentu atau suatu sindrom, keadaan ini disebut

sindromic atau complex (Reiff, 2011).

Pada studi tentang anak kembar dan keluarganya menunjukkan

adanya hubungan dengan kejadian salah satu ASD yaitu gangguan autistik

(Shao et al., 2003). Selain itu, infeksi virus saat kehamilan juga

berpengaruh pada kejadian ASD (Libbey et al., 2005).

Umur maternal dan paternal dan paparan selama awal kehamilan,

seperti teratogen, menunjukkan adanya faktor risiko untuk mempuyai anak

dengan ASD (Reiff, 2011). Umur maternal yang lebih dari 40 tahun
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10

mempunyai faktor risiko yang lebih untuk mempunyai anak dengan ASD,

namun hal ini tidak terlalu signifikan. Sedangkan paparan dari asam

valproate, ethanol, thalidomide dan misoprostol diduga berhubungan

dengan peningkatan insidensi dari autisme (Duchan & Patel, 2012).

Peran dari disfungsi sistem imun sebagai etiologi dari ASD telah

diusulkan namun masih dalam perdebatan (Reiff, 2011). Faktor perinatal

berperan dalam terjadinya gangguan autistik. Perdarahan ibu pada

trimester pertama dan mekonium dalam cairan amnion dilaporkan lebih

sering terjadi pada anak dengan gangguan autistik dibanding dengan

populasi umum. Lobus temporalis juga diyakini merupakan area penting

yang berhubugan dengan kejadian gangguan autistik karena ditemukannya

sindrom mirip gangguan autistik pada orang yang mempunyai kerusakan

pada lobus temporalis. Pada anak dengan gangguan autistik juga

didapatkan peningkatan metabolit dopamin yaitu asam homovanilat dalam

cairan serebrospinal. Hal tersebut yang menyebabkan peningkatan gejala

stereotype dan penarikan diri (Sadock dan Sadock, 2010).

3. Patogenesis

Patogenesis dari autisme hingga kini belum diketahui secara pasti,

namun telah diketahui berhubungan dengan gangguan perkembangan otak

dan unit fungsionalnya. Berikut beberapa teori mengenai patogenesis

autisme:

a. Hubungan antarneuron

Salah satu teori yang spesifik menekankan bahwa pertumbuhan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11

awal otak yang berlebih dan koneksi berlebih pada neuron merupakan

kunci pada patogenesis autis. Menurut teori ini kelebihan neuron dapat

menyebabkan defek di pola dan hubungan antarneuron, yang kemudian

menyebabkan interaksi cortical yang pendek dan terlalu kuat

menghalangi interaksi dari cortical yang berjarak jauh. Kelainan

neuroanatomi ini bersifat difuse dan dapat menyebabkan defisit socio-

emotional dan fungsi komunikasi pada autis.

Pada teori lain yang masih dalam ranah yang sama yaitu

neuropatologi menyebutkan bahwa penurunan koneksi intracortical

menyebabkan penggabungan informasi lintas area cortical menjadi

rendah.

b. Migrasi neuron

Malformasi cerebral cortical pada autis dapat disebabkan oleh

gangguan migrasi neuron ke korteks serebral selama 6 bulan pertama

kehamilan. Disgenesis cortical terlihat pada pasien autis dengan

gangguan migrasi neuron antara lain; penebalan korteks, neuron yang

padat, perbatasan antara substansi alba dan grisea yang tipis dan

substansia grisea ektopik.

c. Eksisatori dan inhibitori aktivitas neuron

Pada penelitian yang ada mengenai teori ketidakseimbangan antara

eksisatori dan inhibitori didapatkan bahwa kelompok gen reseptor

GABA sangat berperan dalam menyebabkan abnormalitas fungsi dan

kemampuan eksitatori sistem saraf pusat. Peran reseptor glutamat juga


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12

berhubungan dengan patofisiologi dari autis, namun belum diketahui

secara pasti bagaiman tepatnya abnormalitas dari eksitatori dan

inhibitori neuron dapat mempengaruhi perkembangan autis.

d. Gangguan neuroimun

Gangguan neuroimun dikatakan berpengaruh pada patogenesis dari

autis. Pada pasien autis ditemukan bahwa ada kelainan imun yang

berupa abnormalitas respon sel T-helper tipe 1 dan 2, supresi dari

imunitas seluler, level subnormal dari limfosit CD4+,

ketidakseimbangan level antibodi dan menurunnya fungsi dari sel

natural killer.

e. Sinyal kalsium

Sinyal kalsium juga berperan dalam terjadinya autis melalui

aktivitas influks kalsium menuju neuron yang mana mengatur beberapa

eksitatori sinaps.

f. Mirror Neurone System Theory

Mirror neuronmerupakan sel pre-motor dan parietal pada korteks

serebral yang menyebabkan potensial aksi saat bergerak dan mengamati

aksi serupa pada orang lain. Neuron ini membuat mekanisme fisiologi

yang baik dalam hal perilaku sosial dan kemampuan seperti meniru,

empati dan kemahiran bahasa. Disfungsi dari mirror neurontersebut

dapat menyebabkan defisit sentral dalam komunikasi dan sosial.

g. Teori lain

Selain teori diatas ada beberapa penelitian yang mengungkapkan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13

teori yang berhubungan dengan patogenesis autis seperti teori

penurunan level apoptosis; abnormalitas neurotransmitter serotonin

yang lebih dari normal; defek metabolik; defisit molekul adesi sel,

sistem second messenger dan molekul yang disekresikan juga berperan

dalam patofisiologi autisme (Watts, 2008).

4. Prevalensi

Secara umum prevalensi autisme di seluruh dunia sekitar 10 per

10.000. Sedangkan menurut analisis dari 37 penelitian didapatkan bahwa

prevalensi sekitar 7.1 per 10.000, namun ada banyak variasi dengan

interval antara 1.6 sampai 30.6. Sebuah penelitian yang menganalisis data

selama 11 tahun (1997-2008) mendapatkan prevalensi autisme pada anak 3

sampai 17 tahun sekitar 47 per 10.000 (Duchan dan Patel, 2012).

Di Amerika Serikat prevalensi autisme mencapai 50 sampai 90 kasus

per 10.000 anak. Dan pada penelitian di Amerika Serikat pada tahun 2007

tentang prevalensi ASD berdasar laporan orang tua didapatkan sekitar

673.000 anak di Amerika Serikat menderita ASD, yaitu sekitar 110 kasus

per 10.000 anak (Kogan et al., 2009) dengan perbandingan prevalensi

antara laki-laki dan perempuan yaitu 3:1 (Muhle et al., 2004).

Untuk prevalensi di Asia tidak begitu berbeda. Di Taiwan tahun 2005

dilaporkan bahwa prevalensi gangguan auistik 28.72 per 10.000.

Sedangkan di Jepang prevalensi sekitar 27.2 per 10.000. Di Cina

prevalensi gangguan autistik pada anak kurang dari 15 tahun menurut data

pemerintah dari tahun 1986 sampai 2005 yaitu 16.1 per 10.000 (Duchan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14

dan Patel, 2012).

5. Gambaran Klinis

Semua ASD akan didapatkan ciri yaitu kurang atau terbatasnya

kemampuan sosial, kelakuan yang berulang dan meniru serta minat yang

terbatas. Walaupun defisit kemampuan sosial lebih spesifik dari pada

defisit kemampuan bahasa, namun defisit kemampuan sosial biasanya

mulai muncul pada umur awal 2 tahun dan biasanya luput dari perhatian

orang tua. Anak dengan ASD secara umum menunjukkan defisit sosialnya

berupa keengganan untuk bergaul dan berbagi perasaan dengan orang lain.

Anak dengan ASD sering tidak menunjukkan ketertarikannya, anak

tersebut lebih senang untuk menyendiri, mengabaikan perhatian yang

diberikan orang tua dan jarang melakukan kontak mata dengan orang lain

(Johnson dan Myers,2007).

Anak dengan ASD mempunyai karakteristik utama mengalami defisit

atau keterlambatan kemampuan komunikasi, namun keterlambatan bahasa

yang signifikan hanya didapatkan pada gangguan autistik dan gangguan

perkembangan pervasif yang tak tergolongkan. Selain itu defisit

kemampuan bahasa merupakan Hallmark dari gangguan autistik (Sadock

dan Sadock, 2010; Johnson dan Myers,2007).

6. Diagnosis

Di Indonesia dioagnosis gangguan perkembangan pervasif

menggunakan pedoman PPDGJ III yang merujuk dari DSM-IV, yaitu


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15

mencakup autisme masa kanak, autisme tak khas, sindrom Rett, gangguan

desintegratif masa kanak lainya, gangguan aktivitas berlebih yang

berhubungan dengan retardasi mental dan gerakan stereotipik serta

sindrom Asperger (Maslim, 2001).

C. Pengaruh Jenis Kelamin terhadap Kemampuan Bahasa pada Autisme

Semua anak dengan ASD mengalami gangguan bahasa. Namun gangguan

bahasa yang signifikan hanya didapatkan pada gangguan autistik dan

gangguan perkembangan pervasif yang tak tergolongkan (Johnson dan Myers,

2007).

Sebagian besar anak dengan ASD mengalami gangguan dalam hal

komunikasi verbal dan non verbal. Namun, kemampuan komunikasi verbal

dan non verbal pada anak dengan ASD sangat heterogen, terutama pada anak

gangguan autistik yang disertai dengan gangguan intelektual (Malijaars et al.,

2011; Rapin dan Dunn, 2003). Selain tingkat intelektual, kemampuan

komunikasi anak dengan ASD juga dapat dipengaruhi oleh umur dan

intervensi atau terapi yang telah diberikan. Pada anak presekolah, kemampuan

verbal anak dengan ASD akan berkembang lebih pesat dari pada kemampuan

non verbalnya. Sedangkan saat mulai usia sekolah, yaitu 6 sampai 7 tahun,

rentang perbedaan kemampuan antara bahasa verbal dan non verbal mulai

menurun. Hasil dari intervensi atau terapi yang diberikan pada anak dengan

ASD akan dipengaruhi oleh umur saat intervensi tersebut dimulai. Intervensi

pada umur 3 tahun memiliki hasil yang lebih bagus dari pada intervensi yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16

dimulai pada umur lebih dari 5 tahun (Mayes dan Calhoun, 2003; Woods dan

Watherby, 2003).

Yang disebut anak autis dengan bahasa verbal yaitu anak autis yang

memiliki keterlambatan bahasa namun masih dapat menggunakan kalimat

pendek yang sederhana walaupun terbatas atau tidak mengalami

keterlambatan perkembangan bahasa dan dapat berkomunikasi dengan lancar.

Sedangkan anak autis dengan bahasa non verbal yaitu anak autis yang

mengalami gangguan berat dalam berbahasa dan biasanya mengungkapkan

keinginan dengan menarik tangan orang yang didekatnya atau menunjuk ke

suatu arah yang diinginkan, atau mungkin menjerit. Jika orang lain tidak

memahami apa yang diinginkannya anak akan marah-marah dan mengamuk

(Trunoyudho, 2009).

Prevalensi ASD yang lebih besar pada laki-laki dari pada perempuan, yaitu

diperkirakan antara 2:1 sampai 6.5:1 (Johnson dan Myers, 2007) menjadikan

beberapa penelitian berfokus pada perbedaan jenis kelamin. Perbedaan jenis

kelamin banyak terlihat pada penelitian prevalensi yang dilakukan pada

populasi yang masih muda, misalnya pada usia 22-39 bulan (Worley et al.,

2011).

Pada penelitian tentang perbedaan gejala berdasar jenis kelamin pada anak

umur 1,5–3,9 tahun dengan ASD, didapatkan bahwa anak perempuan

cenderung memiliki defisit komunikasi yang lebih besar dari pada anak laki-

laki (Hartley dan Sikora, 2009). Penelitian Carter et al. (2007) pada anak ASD

usia antara 18 sampai 33 bulan didapatkan anak laki-laki memiliki


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17

kemampuan lebih dalam hal bahasa dari pada anak perempuan.

Teori tentang Penyebab dari perbedaan jenis kelamin pada kasus autisme

baik dalam hal prevalensi maupun gejala sampai saat ini masih belum jelas,

namun telah muncul beberapa teori mengenai hal ini. Salah satu teori

menyebutkan bahwa gangguan dalam pengucapan bahasa disebabkan oleh

‘‘extreme male brain”, hal ini menandakan bahwa gangguan kognitif pada

anak autis mungkin berasal dari domain yang pada laki-laki lebih buruk dari

pada perempuan (Wallentin, 2008).

Teori tentang perbedaan keasimetrisan otak manusia juga diduga

berpengaruh terhadap perbedaan yang bahasa antara anak laki-laki dan

perempuan dengan autisme. Pada penelitian tentang hubungan anatomi otak

dan kemampuan bahasa didapatkan bahwa keasimetrisan otak manusia

berpengaruh terhadap kemampuan mengingat kata yang berhubungan (Catani

et al., 2007). Pada gangguan psikiatri seperti autisme, perbedaan antara laki-

laki dan perempuan kemungkinan disebabkankan karena standar deviasi

dominan dari serebral yang berbeda. Hal ini dilihat dari kesembuhan

perempuan dari afasia setelah stroke yang lebih cepat dari pada laki-laki yang

diduga karena perempuan memiliki lateralisasi bahasa yang bilateral (Sommer

et al., 2008).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18

D. Kerangka Pemikiran

Keadaan medis Faktor maternal


tertentu Faktor perinatal
dan paternal

Disfungsi Obat dan Faktor


paparan toksik Neuroanatomis
imunitas biokimia

Autisme Asimetris otak, gangguan


pada lobus temporal

Gangguan Gangguan Aktifitas dan


interaksi sosial komunikasi minat terbatas

Lama Intervensi Kemampuan Bahasa


Medikasi
extreme male
Umur
brain, perbedaan
standar deviasi
dominan serebral
Laki-laki Perempuan

Gambar 2.1Kerangka Pemikiran Perbedaan Kemampuan Bahasa menurut Jenis


Kelamin Siswa Autis SLB Autis Harmony dan SLB Autis
Alamanda

commit
Pada bagan dapat diuraikan bahwatoterdapat
user perbedaan kemampuan bahasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
19

antara siswa laki-laki dan perempuan. Kemampuan bahasa dalam

perkembangannya dapat dipengaruhi oleh lama intervensi, medikasi yang

dijalani serta umur. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dapat

dipengaruhi oleh faktor “extreme male” dan juga perbedaan Standar Deviasi

dominan serebral antara laki-laki dan perempuan.

E. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah terdapat perbedaan kemampuan

bahasaantara siswaautis laki-laki dan perempuan di SLB Autis Harmony dan

SLB Autis Alamanda Surakarta.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai