Anda di halaman 1dari 87

LAPORAN PRAKTIKUM

KLIMATOLOGI

Disusun oleh:

Kelompok IVB

Kurnia Nur Hasanah 23020221140081


Eiffel Natasya Maharani Saragih 23020221140096
Hanun Shakti Setya Atmaja 23020221140097
Muhammad Luqman Hakim 23020221140106
Ghifary Fajri Anhasra 23020221140111
Kezia Winona Hasugian 23020221140117
Muhammad Yusuf Ferdianto 23020221140123
Fariha Fauzul Amalia 23020221140138
Lathifatun Nisa 23020221140152

PROGRAM STUDI S-1 AGROEKOTEKNOLOGI


DEPARTEMEN PERTANIAN
FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Judul : LAPORAN PRAKTIKUM KLIMATOLOGI


Kelompok : IVB (EMPAT)B
Program Studi : SI - AGROEKOTEKNOLOGI
Tanggal Pengesahan : DESEMBER 2021

Menyetujui,

Koordinator Praktikum Asisten Pembimbing Praktikum


Klimatologi Klimatologi

Dr. Ir. Sutarno M.S. Marrotin Nuroini Salma


NIP. 19580611 198303 1 002 NIM. 23020220130060

ii
RINGKASAN

Kelompok IV Agroekoteknologi B 2021. Laporan Praktikum Klimatologi.


(Asisten: Marrotin Nuroini Salma)

Praktikum Klimatologi materi Alat-Alat Klimatologi dilaksanakan pada


tanggal 30 Agustus 2021 secara daring melalui Microsoft Teams. Praktikum
Klimatologi acara Pengamatan Perawanan dilaksanakan pada tanggal 14 September
2021 hingga 27 September 2021 di Jalan Nangka, Kelurahan Betokan, Kecamatan
Demak di halaman depan rumah, di samping rumah, dan di belakang rumah. Tujuan
praktikum Klimatologi acara Alat-Alat Klimatologi untuk mengetahui jenis, fungsi
dan cara kerja alat-alat pengukur cuaca. Tujuan Praktkum Klimatologi acara
Pengamatan Perawanan adalah untuk mengetahui jenis-jenis awan, dan dapat
mengukur suhu dan kelembaban pada suatu tempat. Manfaat praktikum acara alat-
alat klimatologi adalah menambah ilmu mengenai fungsi dan prinsip kerja dari alat
klimatologi. Manfaat dari praktikum klimatologi acara Pengamatan Perawanan
adalah untuk mengetahui jenis-jenis awan dan keadaan cuaca di lokasi pengamatan.
Materi yang digunakan dalam praktikum alat klimatologi berupa alat dan
bahan penunjang praktikum. Alat yang digunakan yaitu buku dan alat tulis untuk
mencatat hasil praktikum, dan kamera untuk dokumentasi. Bahan yang digunakan
adalah alat pengukur radiasi matahari, alat pengukur lama penyinaran matahari, alat
pengukur suhu dan kelembaban tanah, alat pengukur tekanan udara, alat pengukur
arah dan kecepatan angin, alat pengukur curah hujan, alat pengukur tingkat
penguapan air, dan alat pengukur kualitas udara. Materi yang digunakan pada
praktikum klimatologi acara Pengamatan Perawanan terdiri dari alat dan bahan.
Bahan yang digunakan terdiri dari awan, suhu, dan kelembaban. Alat yang
digunakan adalah Termohigrograf untuk mengukur suhu dan kelembaban, kamera
untuk mendokumentasikan awan, dan alat tulis untuk mencatat data.
Hasil praktikum Klimatologi pada Acara Alat-Alat Klimatologi adalah alat
untuk mengukur radiasi matahari yaitu gunn-bellani, actinograph bimetal,
solarimeter dan automatic solar radiation system. Alat pengukur suhu dan
kelembaban udara yaitu psikrometer standar dan thermohigrogaf. Alat pengukur
suhu dan kelembaban tanah yaitu thermometer tanah bervegetasi dan thermometer
tanah gundul. Alat pengukur tekanan udara yaitu barometer dan barograf. Alat
pengukur arah dan kecepatan angin yaitu anemometer dan wind force. Alat
pengukur curah hujan yaitu ombrometer observatorium, ombrometer tipe hellman,
automatic rain sampler dan automatic rain gauge. Alat pengukur penguapan air
yaitu open pan evaporimeter. Alat pengukur kualitas udara yaaitu high volume
sampler. Hasil praktikum Pengamatan Perawanan adalah pada minggu ke I suhu
dan kelembaban di adalah 30,50oC dan 72,3%, dan jenis awan yang paling sering
muncul adalah awan Cumulus. Minggu ke II suhu dan kelembaban adalah 31,10oC
dan 74,2 %, dan jenis awan yang sering muncul adalah awan Cumulus. Pergerakan
awan pada pagi-siang dan sore adalah stratus- cirrocumulus-cirrus.

Kata Kunci : anemometer, barometer, klasifikasi awan, suhu, thermohigrograf


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan Praktikum Klimatologi. Praktikum pengenalan alat-alat klimatologi
bertujuan agar mahasiswa dapat mengetahui fungsi dan cara kerja dari alat-alat
Klimatologi. . Praktikum pengamatan perawanan bertujuan agar mahasiswa dapat
mengetahui jenis-jenis awan, kondisi cuaca, dan dapat mengukur suhu dan
kelembaban pada suatu tempat.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Sutarno, M. S. selaku
Dosen penanggung jawab Praktikum Klimatologi dan Marrotin Nuroini Salma
selaku Asisten pembimbing Pratikum Klimatologi yang telah membimbing penulis
selama praktikum berlangsung sampai penyusunan laporan Praktikum Klimatologi
ini selesai. Harapan penulis adalah semoga laporan Praktikum Klimatologi yang
telah disusun dapat bermanfaat bagi pembaca.
Demikian pengantar dari penulis menyadari laporan praktikum masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat
diharapkan oleh penulis. Akhir kata, penulis menyampaikan terima kasih atas
perhatian dan koreksi dari berbagai pihak

Semarang, Desember 2021

Penulis
.
DAFTAR ISI

Halaman
PENGESAHAN ......................................................................................... ii
RINGKASAN ............................................................................................ iii
KATA PENGANTAR ............................................................................... iv
DAFTAR ISI .............................................................................................. v
DAFTAR TABEL ....................................................................................... viii
DAFTAR ILUSTRASI .............................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... x
ACARA I. ALAT-ALAT KLIMATOLOGI
BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................... 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 2
2.1. Pengukur Radiasi Matahari ..................................................... 2
2.1.1. Gunn-Bellani ............................................................... 2
2.1.2. Actinograph Bimetal .................................................... 2
2.1.3. Solarimeter .................................................................. 3
2.1.4. Automatic Solar Radiation System ............................... 4
2.2. Pengukur Lama Penyinaran Matahari ..................................... 4
2.2.1. Campbell Stokes ........................................................... 4
2.3. Pengukur Suhu dan Kelembaban Udara .................................. 5
2.3.1. Psikrometer Standar .................................................... 5
2.3.2. Thermohigrograf ......................................................... 6
2.4. Pengukur Suhu dan Kelembaban Tanah ................................. 7
2.4.1. Thermometer Tanah Bervegetasi ................................. 7
2.4.2. Thermometer Tanah Gundul ....................................... 7
2.5. Pengukur Tekanan Udara ........................................................ 8
2.5.1. Barometer .................................................................... 8
2.5.2. Barograf ....................................................................... 9
2.6. Pengukur Arah dan Kecepatan Angin ..................................... 10
2.6.1. Anemometer ................................................................ 10
2.6.2. Wind Force .................................................................. 10
2.7. Pengukur Curah Hujan ............................................................ 11
2.7.1. Ombrometer Observatorium ........................................ 11
2.7.2. Ombrometer tipe Hellmann ......................................... 12
2.7.3. Automatic Rain Sampler ............................................... 12
2.7.4. Automatic Rain Gauge ................................................. 13
2.8. Pengukur Tingkat Penguapan Air ............................................ 14
2.8.1. Open Pan Evaporimeter .............................................. 14
2.9. Pengukur Tingkat Kualitas Udara ........................................... 15

v
2.9.1. High Volume Sampler ................................................. 15
BAB III. MATERI DAN METODE ........................................................... 16
3.1. Materi ...................................................................................... 16
3.2. Metode ..................................................................................... 16
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 17
4.1. Pengukur Radiasi Matahari ..................................................... 17
4.1.1. Gunn-Bellani ............................................................... 17
4.1.2. Actinograph Bimetal .................................................... 18
4.1.3. Solarimeter .................................................................. 19
4.1.4. Automatic Solar Radiation System ............................... 21
4.2. Pengukur Lama Penyinaran Matahari ...................................... 22
4.2.1. Campbell Stokes ........................................................... 22
4.3. Pengukur Suhu dan Kelembaban Udara .................................. 24
4.3.1. Psikrometer Standar .................................................... 24
4.3.2. Thermohigrograf ......................................................... 25
4.4. Pengukur Suhu dan Kelembaban Tanah ................................. 27
4.4.1. Thermometer Tanah Bervegetasi ................................. 27
4.4.2. Thermometer Tanah Gundul ....................................... 28
4.5. Pengukur Tekanan Udara ........................................................ 29
4.5.1. Barometer .................................................................... 29
4.5.2. Barograf ....................................................................... 30
4.6. Pengukur Arah dan Kecepatan Angin ..................................... 32
4.6.1. Anemometer ................................................................ 32
4.6.2. Wind Force .................................................................. 33
4.7. Pengukur Curah Hujan ............................................................ 34
4.7.1. Ombrometer Observatorium ........................................ 34
4.7.2. Ombrometer tipe Hellmann ......................................... 36
4.7.3. Automatic Rain Sampler ............................................... 37
4.7.4. Automatic Rain Gauge ................................................. 38
4.8. Pengukur Tingkat Penguapan Air ............................................ 40
4.8.1. Open Pan Evaporimeter .............................................. 40
4.9. Pengukur Tingkat Kualitas Udara ........................................... 41
4.9.1. High Volume Sampler ................................................. 41
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 43
5.1. Simpulan .................................................................................. 43
5.2. Saran ........................................................................................ 43
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 44
ACARA II. PENGAMATAN PERAWANAN
BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................... 50
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 51
2.1. Tipe-tipe Awan ......................................................................... 51

vi
2.1.1. Awan Horizontal .......................................................... 51
2.1.1.1. Awan Rendah .............................................. 52
2.1.1.2. Awan Sedang .............................................. 54
2.1.1.3. Awan Tinggi ............................................... 55
2.1.2. Awan Vertikal .............................................................. 56
2.1.2.1. Awan Cumulonimbus ................................. 57
2.2. Pengaruh Awan terhadap Cuaca dan Iklim ............................. 59
2.3. Siklus Awan ............................................................................ 59
BAB III. MATERI DAN METODE .......................................................... 61
3.1. Materi ...................................................................................... 61
3.2. Metode ..................................................................................... 61
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 62
4.1. Pengamatan Perawanan Minggu I ........................................... 62
4.2. Pengamatan Perawanan Minggu II ......................................... 64
4.3. Perbandingan Pengamatan Minggu I dan II ............................ 66
4.4. Siklus Awan ............................................................................ 67

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 71


5.1. Simpulan .................................................................................. 71
5.2. Saran ........................................................................................ 71
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 72
LAMPIRAN ............................................................................................... 75

vii
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Pengamatan Perawanan Minggu ke-I ................................................ 52


2. Pengamatan Perawanan Minggu ke-II ............................................... 64
3. Perbandingan Pengamatan Minggu I dan II ...................................... 66
4. Pengamatan Siklus Awan .................................................................. 68

viii
DAFTAR ILUSTRASI

Nomor Halaman

1. Gunn-Bellani...................................................................................... 17
2. Actinograph Bimetal .......................................................................... 18
3. Solarimeter......................................................................................... 19
4. Automatic Solar Radiation System .................................................... 21
5. Campbell Stokes................................................................................. 22
6. Psikrometer Standar ........................................................................... 24
7. Thermohigrograf ................................................................................ 25
8. Thermometer Tanah Bervegetasi ....................................................... 27
9. Thermometer Tanah Gundul.............................................................. 28
10. Barometer .......................................................................................... 29
11. Barograf ............................................................................................. 30
12. Anemometer ...................................................................................... 32
13. Wind Force ........................................................................................ 33
14. Ombrometer Observatorium .............................................................. 34
15. Ombrometer tipe Hellman ................................................................. 36
16. Automatic Rain Sampler .................................................................... 37
17. Automatic Rain Gauge....................................................................... 38
18. Open Pan Evaporimeter .................................................................... 40
19. High Volume Sampler ........................................................................ 41

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Form Pengamatan Indikator Cuaca Dan Iklim .................................. 75


2. Form Pengamatan Indikator Cuaca Dan Iklim Minggu Ke- I ........... 75
3. Form Pengamatan Indikator Cuaca Dan Iklim Minggu Ke- II .......... 75
4. Perbandingan Pengamatan Minggu Ke I – II .................................... 76
5. Suhu Dan Kelembaban Siklus Awan ................................................. 76
ACARA I

ALAT-ALAT KLIMATOLOGI
1

BAB I

PENDAHULUAN

Prakiraan cuaca dan Iklim mempunyai Lembaga tersendiri, yaitu BMKG


(Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika). BMKG mempunyai tugas dan
wewenang untuk memberikan informasi prakiraan seperti cuaca, iklim, dan gempa
bumi. Tidak semua orang sempat untuk melakukan pengecekan terhadap informasi,
sehingga informasi yang disajikan pada web resmi BMKG ini tidak tersampaikan
kepada masyarakat terutama ketika seseorang berada ditempat umum
BMKG memiliki beberapa jenis alat pemantau otomatis yaitu Automatic
Weather Station (AWS), Agroclimate Automatic Weather Station (AAWS) dan
Automatic Rain Gauge (ARG) (Alfiandy, 2020). Alat Pengukur Radiasi Matahari
yaitu Gunn-Bellani, Actinograph Bimetal, Automatic Solar Radiation System,
Solarimeter. Campbell Stokes merupakan alat pengukur lama penyinaran Matahari.
Pengukur Suhu dan Kelembapan Udara, yaitu Psikrometer Standar dan
Thermohigrograph. Pengukur Suhu dan Kelembapan Tanah yaitu, Thermometer
Tanah Bervegetasi dan Thermometer Tanah Gundul. Alat untuk mengukur Tekanan
Udara, yaitu Barometer dan barograf, untuk Pengukur Arah dan Kecepatan Angin
Anemometer dan Wind Force. Pengukur curah hujan, yaitu Ombrometer
Observatorium, Ombrometer tipe Hellman, Automatic Rain Sampler, dan
Automatic Rain Gauge. Alat Pengukur Tingkat Penguapan Air yaitu Open Pan
Evaporimeter dan Pengukur Tingkat Kualitas Udara yaitu High Volume Sampler.
Tujuan dari praktikum Klimatologi adalah untuk mengetahui fungsi dan
cara kerja dari alat-alat yang ada di BMKG. Manfaat dari praktikum Klimatologi
adalah agar mahasiswa dapat mengetahui fungsi dan cara kerja dari alat-alat
Klimatologi sehingga dapat diterapkan dalam bidang pertanian guna untuk
meningkatkan produktivitas pertanian.
2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengukur Radiasi Matahari

2.1.1. Gunn-Bellani

Gunn-Bellani merupakan salah satu alat klimatologi yang digunakan untuk


mengukur radiasi cahaya matahari. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
menggunakan Gunn-Bellani sebagai salah satu alat untuk mencatat radiasi
penyinaran matahari (Nurhamiddin dan Sulisa, 2020). Data yang dihasilkan oleh
Gun-Bellani berupa jumlah radiasi sinar matahari yang memiliki satuan
Cal/cm2/jam. Gun-Bellani memiliki sensor yang berwarna hitam pekat. Komponen
dari Gun-Bellani yaitu berupa sebuah sensor yang memiliki warna hitam pekat dan
memiliki skala mililiter (cc) (Suciatiningsih, 2013).
Kelebihan Gun-Bellani yaitu sudah bersifat semi manual karena sudah
menggunakan alat pencatat yang dinamakan chart recorder, sedangkan
kekurangannya yaitu pada saat pengamatan menggunakan Guun-Bellani harus
dilakukan tepat waktu dan tidak boleh terlambat (Ninuk, 2015) . Prinsip dari alat
ini yaitu menangkap radiasi pada benda yang berbentuk bola sensor. Cara kerja
Gunn-Bellani memerlukan tenaga manusia untuk pengoperasiannya, alat ini
dipasang pada pagi hari dan dibalik pada sore hari (Kimei dan Khabongo, 2004).

2.1.2. Actinograph Bimetal

Actinograph Bimetal merupakan alat klimatologi yang digunakan untuk


mengukur radiasi matahari dan lama penyinaran matahari. Salah satu alat BMKG
yang digunakan untuk mengukur intensitas cahaya matahari adalah Actinograph
Bimetal (Nurhamiddin dan Sulisa, 2020). Radiasi global dapat menghantam
permukaan bumi. Actinograph bimetal dapat merekam data radiasi global yang
3

menghantam permukaan bumi dan komponen utama yang terdapat pada


Actinograph Bimetal yaitu strip bimetalik berwarna hitam. Strip bimetalik
merupakan elemen yang dapat merasakan suhu dan mengubahnya menjadi
mekanis, dan alat ini digunakan dalam satuan W/meter2 (Adhikari, 2012).
Prinsip kerjanya adalah meletakkan alat ini dibawah sinar matahari dan
radiasi langit difus yang jatuh ke bumi akan tercatat oleh Actinograph Bimetal.
Sensor pada Actinograph Bimetal terdiri dari satu lempeng hitam dan dua lempeng
putih. Lempeng logam akan memuai apabila terjadi perubahan pada suhu panas dan
pena yang terdapat didalamnya akan bergerak melukis pada kertas pias karena
adanya perubahan suhu (Adhikari, 2012). Radiasi matahari merupakan sinar yang
berasal dari matahari. Actinograph Bimetal menggunakan panas radiasi dan
mencatat panas tersebut dalam satuan energy. Kelebihan dari alat ini yaitu data
tercatat secara otomatis pada kertas grafik. Kekurangan dari actinograph bimetal
yaitu pencatatan dari Achtinograph Bimetal mengalami keterlambatan kurang lebih
5 menit (Manara et al., 2016).

2.1.3. Solarimeter

Solarimeter adalah alat yang digunakan untuk mengukur intensitas radiasi


matahari. Solarimeter meter merupakan instrumen yang digunakan untuk
mengukur radiasi matahari dan data yang dihasilkan dinyakan dalam satuan
Kcal/cm2 (Nwankow dan Nnabuchi 2015). Solarimeter sendiri dapat digunakan
dalam mengevaluasi iklim dan cuaca tersebut. Solarimeter memiliki bagian-bagian
dengan fungsi yang berbeda. Solarimeter terdiri dari black surface, temperatur
difference, optional glass dome, thermopile sensor (Hile, 2009).
Prinsip kerja solarimeter dibagi menjadi dua yaitu thermoeletrik dan juga
photovoltaic. Thermoelektrik sangat memungkinkan untuk mendapatkan hasil yang
sebanding antara perbedaan potensial dan juga perbedaan termal, sedangkan
photovoltaic menggunakan material semi-konduktor sebagai alat dektektor dari
solarimeter (Sartarelli et al., 2010). Alat Solarimeter memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kelebihan yang dimiliki solarimeter yaitu dapat diketahui langsung
4

besaran dari hasilnya, sedangkan kekurangan dari solarimeter adalah memerlukan


alat tambahan yaitu pita banyangan atau disk tersembunyi. Pita benda membayangi
langsung sinar matahari dari solarimeter (Woodward dan Sheehy, 2017).

2.1.4. Automatic Solar Radiation System

Automatic Solar Radiation System adalah alat klimatologi yang digunakan


untuk mengukur radiasi sinar matahari secara otomatis. Automatic solar radiation
system merupakan sebuah instrumen yang digunakan untuk mencatat radiasi sinar
matahari (Sucipto et al., 2017). Cara kerja alat ini yaitu menggunakan sebuah
sensor. Automatic Solar Radiation System dilengkapi dengan sensor sun tracker
yang akan mengikuti arah dimana matahari akan bersinar dan mengukur radiasi
sinar matahari tanpa terhalang oleh awan. Prinsip kerja dari Automatic Solar
Radiation System adalah Motor stepper bekerja ketika koil tersebut ada energi
sehingga poros dari motor stepper menyesuaikan dengan kutub-kutub kumparan
magnet (Rosma et al., 2017).
Automatic Solar Radiation System terkonstruksi atas beberapa bagian-
bagian diantaranya adalah silicon solar cell (sensor), multimeter digital , saklar
satu arah, digital timer, sensor panel and stand, alumunium ,USB, dan baterai 9
volt (Daniel dan Odinakachi, 2014). Kelebihan dari Automatic Solar Radiation
System data-data akan tersimpan dengan aman dan baik di dalam bagian
mikrokontroler. Sedangkan kekurangan dari alat ini adalah ketika kondisi cuaca
sedang mendung atau gelap maka alat pelacak akan tertidur jadi harus disetel ulang
secara manual (Sari et al., 2015).

2.2. Pengukur Lama Penyinaran Matahari

2.2.1. Campbell Stokes

Campbell Stokes adalah alat yang digunakan untuk mengukur lama


penyinaran matahari. Campbell Stokes merupakan alat yang digunakan secara resmi
5

oleh BMKG untuk mencatat penyinaran matahari, komponen utama yang terdapat
pada Campbell Stokes yaitu bola kaca yang berdiameter 10 cm dan berfungsi
sebagai lensa cembung dan kertas pias (Hamdi, 2014). Campbell Stokes terdiri dari
bola pejal yang terbuat dari material gelas berdiameter 4 inchi yang dipasangkan
pada kedudukan tertentu sehingga sinar dari matahari akan difokuskan dengan
tajam ke kartu pias yang merupakan kartu berskala sebagai alat perekam radiasi
matahari (Pujiastuti dan Harjoko, 2016).
Prinsip kerja dari Campbell Stokes adalah sinar matahari yang jatuh pada
sekeliling bola kaca pejal yang akan difokuskan ke permukaan kertas pias kemudian
dapat meninggalkan bekas terbakar yang akan menjadi catatan berapa lama
matahari bersinar di hari itu (Asri, 2013). Campbell Stokes memiliki kelebihan dan
kelemahan. Kelemahan dari Campbell Stokes yaitu skala dalam pengukuran yang
ada dalam pencatatan kertas pias masih dalam orde jam, kelemahan lainnya yaitu
bagian kertas pias yang terkena sinar matahari akan terbakar padahal intensitas
cahaya matahari belum terukur, sedangkan kelebihan dari Campbell Stokes yaitu
sensornya terdapat kertas pias dari karton yang memiliki warna gelap
menjadikannya mudah terbakar dan alat ini dapat menyesuaikan kedudukan dari
matahari pada saat alat ini sedang dipasangkan (Kamus dan Pratama, 2013).

2.3. Pengukur Suhu dan Kelembaban Udara

2.3.1. Psikrometer Standar

Psikrometer Standar adalah alat yang didesain khusus untuk mengukur


kelembaban udara. Kelembaban udara relatif diukur menggunakan alat psikrometer
standar (Rachman et al., 2015). Psikrometer terdiri dari thermometer bola basah
dan thermometer bola kering, thermometer maksimum dan thermometer minimum.
Thermometer bola kering dibaca terlebih dahulu kemudian thermometer bola basah
karena suhu udara yang ditunjukkan thermometer bola kering lebih mudah berubah.
thermometer maksimum dan thermometer minimum digunakan untuk mengetahui
suhu udara maksimum dan minimum pada saat tertentu (Arief, 2012).
6

Psikrometer diletakkan di bangunan bentuk rumah berwarna putih yang


biasa disebut sangkar meteorologi agar alat terlindung dari radiasi surya dan hujan.
Termometer bola kering digunakan untuk menunjukkan suhu udara sedangkan
termometer bola basah digunakan untuk mencari kelembaban udara dengan bantuan
tabel. Suhu dari termometer bola kering memiliki satuan derajat celcius, sedangkan
termometer bola basah menunjukkan satuan persen (Sunitra et al., 2011). Kelebihan
dari psikrometer yaitu cukup mudah digunakan dan dapat mengetahui titik uap dan
titik embun yang terukur pada udara, sedangkan kekurangannya adalah psikrometer
sangat peka terhadap kelembaban (Hidayanti et al., 2019).

2.3.2. Termohigrograph

Thermohygrograph adalah alat yang dignakan untuk mengukur suhu dan


kelembaban. Thermohygrograph merupakan alat yang berfungsi untuk mengukur
suhu dan kelembaban (Falahnsia dan Hariyanto, 2013). Thermohygrograph
memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan alat ini yaitu dapat mengukur
kelembaban relatif secara langsung dan terdapat tabel untuk mengubah pembacaan
temperatur ke data kelembaban udara. Kekurangannya adalah hubungan
kelembaban dan pemasangan tidak linear, tidak terlalu teliti (sekitar 5%), meskipun
rambut kuda mempunyai sifat higroskopis yang baik (Kurniawan, 2002).
Bagian Thermohigrograf salah satunya adalah sensor suhu yang terbuat
dari logam, bila udara panas logam akan memuai dan menggerakkan pena ke atas,
bila udara dingin logam akan mengkerut dan gerakan pena turun. Kedua sensor
dihubungkan secara mekanis ke jarum penunjuk yang merupakan pena penulis di
atas kertas pias yang berputar menurut waktu (Ugurlu dan Mehmet, 2010). Prinsip
kerjanya yaitu dengan mengganti kertas grafik yang sudah terpasang dengan kertas
grafik yang baru. Thermohigrograf dapat mencatat suhu dan kelembapan selama 24
jam secara otomatis pada pias di mana kertas pias bagian atas untuk mencatat suhu
(°C) dan kertas pias bagian bawah untuk mencatat RH (%) dengan kisaran suhu dan
kelembapan tertentu. Kisaran pengukuran suhu thermohigrograf -20 + 40° C dan
rentang pengukuran kelembaban adalah 0-100% (Falahnsia dan Hariyanto, 2013).
7

2.4. Pengukur Suhu dan Kelembaban Tanah

2.4.1. Thermometer Tanah Bervegetasi

Thermometer tanah bervegetasi merupakan alat yang digunakan untuk


mengukur suhu tanah. Suhu dan Kelembapan merupakan faktor penting dalam
tahapan pertumbuhan tanaman. Suhu tanah dan kelembaban yang optimal dapat
membuat tanah memiliki pori-pori yang cukup, dimana peredaran udara didalam
tanah dapat berfungsi dengan baik. Tanah yang bagus ditandai dengan pH netral
yang berdampak pada kesehatan dari tanaman. Besaran suhu dan kelembaban tanah
mempengaruhi kenaikan dari besaran pH tanah (Fikrinda dan Murti, 2017).
Thermometer tanah ditanam pada kedalaman tanah yang berbeda-beda. Kedalaman
tanah yang biasa diukur suhunya yaitu kedalaman 0 cm, 5 cm, 10 cm, 20 cm, 50 cm
dan 100 cm dari permukaan tanah (Tjasyono, 2004).
Thermometer tanah bervegetasi mempunyai prinsip yang hampir sama
dengan termometer biasa yang berfungsi untuk mengukur suhu dan kelembaban
tanah. Cara mengukur suhu tanah dengan thermometer adalah dengan membuat
lubang tanah mencapai kedalaman yang akan diukur, setelah itu thermometer
dimasukkan kedalam lubang dan ditimbun dengan tanah, beberapa menit kemudian
diambil dan dibaca suhunya (Budiarto, 2016). Thermometer tanah bervegetasi
memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah mampu mengukur
hingga kedalaman 100 cm dan skala mudah diamati karena berupa jarum penunjuk.
Kekurangan Thermometer tanah bervegetasi adalah harus melubangi tanah terlebih
dahulu dan mudah patah (Fikrinda dan Murti, 2017).

2.4.2. Thermometer Tanah Gundul

Thermometer tanah gundul merupakan alat untuk mengukur suhu pada


tanah yang tidak berumput, umumnya thermometer tanah gundul dan thermometer
tanah bervegetasi sama yang membedakan hanya jenis tanahnya saja. Thermometer
tanah gundul adalah suatu alat yang dapat mengetahui suhu tanah yang tidak
8

bervegetasi (Sriworo, 2006). Penggunaan Thermometer Tanah gundul ini ditanam


di kedalaman tanah yang berbeda-beda. Penggunaan thermometer tanah berumput
dan thermometer tanah gundul yaitu dengan cara ditanam pada tanah dengan
kedalaman yang berbeda-beda meliputi kedalaman tanah 0 cm, 2 cm, 10 cm, 20 cm,
50 cm, dan 100 cm (Pardosi dan Lubis, 2013).
Prinsip kerja thermometer tanah gundul hampir sama dengan thermometer
tanah bervegetasi, yaitu jika suhu tanah naik maka air raksa pada reservoir akan
naik. Cara kerja thermometer tanah gundul hampir sama dengan cara kerja
thermometer tanah bervegetasi yaitu apabila suhu naik maka air raksa dalam
resevoir akan naik dan menunjukkan skala pada pipa (Budiarto, 2016).
Thermometer tanah gundul memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya
adalah skala pada thermometer mudah dilihat karena bentuknya yang bengkok.
Kekurangannya karena ditanam pada kedalaman yang berbeda-beda sehingga harus
melubangi tanah terlebih dahulu (Haryono, 2001).

2.5. Pengukur Tekanan Udara

2.5.1. Barometer

Barometer adalah suatu alat yang dirancang untuk mengukur tekanan pada
udara. Barometer merupakan suatu alat ukur tekanan udara yang bekerja
berdasarkan prinsip perubahan kondisi sensor silicon terhadap perubahan tekanan
udara. (Populasi et al., 2012). Barometer memiliki berbagai macam jenis dan
barometer diukur dengan menggunakan satuan pascal. Barometer terdapat berbagai
macam diantaranya barometer air, barometer raksa, dan barometer aneroid.
Barometer digunakan untuk mengukur tekanan pada udara dengan nilai yang
berupa satuan dalam pascal (Khaery et al., 2020).
Prinsip kerjanya barometer dalam mengukur ketinggian adalah dengan
mendeteksi tekanan udara di sekitarnya. Barometer mengukur ketinggian dengan
mendeteksi tekanan udara dengan menyeimbangkan berat merkuri dengan berat
udara di sekitarnya (Muliady dan Subagya., 2019). Kelebihan dari barometer adalah
9

akurat, sedangkan kekurangannya adalah sulit untuk melakuka pembacaan


pengukuran. Pengukuran barometer memiliki akurasi tinggi, namun sering kali
terdapat kesulitan dalam pembacaan pengukuran barometer. (Perkasa, 2019).

2.5.2. Barograf

Barograf adalah alat yang digunakan untuk mencatat tekanan udara. Alat
pengukur tekanan udara ialah barometer air raksa, barometer aneroid, dan alat
perekam tekanan udara disebut barograf (Priyahita et al., 2015). Barograf
didalamnya terdapat alat, yaitu pena dan pias, pena digunakan untuk memperjelas
tulisan yang ada di dalam barograf, sedangkan pias merupakan alat yang digunakan
didalam tabung untuk menulis tekanan udara yang terdata. Barograf juga memiliki
kelebihan yaitu pengukuran dilakukan secara otomatis, sedangkan kekurangannya
adalah alat tidak boleh terpapar sinar matahari langsung(Wijohamidjojo, 2009).
Barograf dalam perhitungannya juga memiliki tingkat keakuratan yang
spesifik, keakuratannya berdasarkan jumlah kapsul atau disebut dengan sel aneroid,
semakin banyak kapsul aneroid yang ada di barometer maka semakin peka
barometer terhadap tekanan udara yang di tangkap. semakin banyak kapsul aneroid
yang bisa digunakan maka semakin peka barograpf tersebut terhadap perubahan
tekanan udara (Wijohamidjojo, 2009). Prinsip kerja barograf, yaitu dengan
Perubahan tekanan atmosfer akar, yang kemudian dicatat oleh alat dan akan
terbentuk getaran dari jarum yang menunjukkan skala dari tekanan udara. Alat
barograf terdiri dari logam berbentuk silinder dengan lengan pena, barograf
membaca perubahan tekanan atmosfer sedangkan lengan pena mencatat hasil
pengukuran pada kertas atau media lain (Gonalez et al., 2014)
10

2.6. Pengukur Arah dan kecepatan Angin

2.6.1. Anemometer

Anemometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur arah kecepatan


angin dan pengatur arah angin, yang berdasarkan arah yang ditunjuk oleh arah
kecepatan angin. Angin dalam penentuan kecepatannya memiliki satuan yang
dipakai, yaitu m/s. (Muin, 2012). Bagian yang terdapat pada anemometer, yakni 3
buah alat seperti mangkok yang digunakan untuk mengukur kecepatan angin.
Bagian dari anemometer yaitu tiga buah mangkuk yang dipasang simetris dan alat
penunjuk arah angin berbentuk panah (Premadi dan Putra, 2014).
Prinsip kerja anemometer, yakni putaran yang dihasilkan oleh mengkok-
mangkok sesuai dengan arah angin yang dapat digunakan untuk menentukan
kecepatan suatu angin. Putaran pada mangkok anemometer dapat dideteksi dengan
sensor optocoupler (Derek et al., 2016). Anemometer memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kelebihan yang dimiliki oleh anemometer ini adalah bahwa alat nya
ringan dan mudah untuk diamati, sedangkan kekurangannya harus diletakkan sesuai
dengan posisi yang akurat (Kurniawan, 2002).

2.6.2. Wind Force

Wind Force adalah alat pengukur arah dan kecepatan angin, yang
digunakan untuk mencatat kecepatan angin sesaat dan juga arah angin. Wind force
digunakan untuk menghitung kecepatan angin dan di letakkan ditempat yang
tinggi, dan pengukuran menggunakan satuan speedometer, yakni km/jam. Wind
force berada pada ketinggian 2-15 meter di atas permukaan tanah (Banodin, 2011).
Wind force merupakan alat yang digunakan untuk mengukur arah dan kecepatan
angin sesaat, dimana wind force ini bergerak sesuai dengan kecepatan anginnya.
semakin cepat angin berhembus semakin cepat Wind Force bergerak (As’ari, 2013).
Prinsip kerja Wind Force yaitu poros putaran berputar sesuai dengan
kecepatan angin, apabila angin berhembus semakin cepat maka putaran porosnya
11

juga semakin cepat. Semakin besar kekuatan angin semakin cepat juga putarannya.
Pada poros putaran dipasang magnet pembangkit arus listrik, sehingga bila
mangkok berputar maka timbul arus yang besarnya sebanding dengan kecepatan
putaran (Azwar dan Kholiq, 2013). Wind Force memiliki kelebihan dan
kekurangan. kelebihannya yaitu harga relatif murah dan kekurangannya
perhitungan yang tidak spesifik (Prabowo et al., 2018)

2.7. Pengukur Curah Hujan

2.7.1. Ombrometer Observatorium

Ombrometer Observatorium merupakan alat pengukur hujan dengan


manual yang paling sering digunakan. Salah satu tipe pengukur hujan manual yang
paling banyak dipakai adalah tipe observatorium (obs) atau sering disebut
ombrometer (Cahyono, 2018). Alat ini dipasang di tempat terbuka, sehingga air
hujan akan diterima langsung oleh alat ini. Satuan yang digunakan adalah milimeter
(mm) dan ketelitian pembacaannya sampai dengan 0.1 mm. Alat pengukur hujan
ini mengukur tinggi hujan seolah-olah air hujan yang jatuh ke tanah menumpuk ke
atas merupakan kolom air, air yang tertampung volumenya dibagi dengan luas
corong penampung, hasilnya adalah tinggi atau tebal, satuan yang dipakai adalah
milimeter (Kurniawan, 2020).
Alat pengukur curah hujan Observatorium biasanya melakukan pencatatan
setiap pukul 07.00 WIB. Observatorium atau biasa disingkat OBS, merupakan
penakar hujan dengan mengukur curah hujan harian yang diukur setiap pukul 07.00
WIB (Triatmodjo, 2008). Jenis penakar hujan memiliki kelebihan dan kekurangan.
Alat penangkar (OBS) ini merupakan alat pengukur curah hujan manual yang sering
digunakan dikarenakan harganya yang murah. Kelebihan penakar hujan
Ombrometer observatorium yaitu alatnya murah, perawatannya mudah namun,
kelemahannya terletak pada resolusi data harian karena alat ini manual sehingga
alat ini tidak dapat diketahui kederasan hujan (intensitas) hujan, durasi (lama
waktu) hujan dan kapan terjadinya. (Petonengan et al., 2016).
12

2.7.2. Ombrometer tipe Hellman

Ombrometer tipe Hellman bekerja secara otomatis karena pengamat cukup


membaca grafik pada kertas untuk mengetahui curah hujan. Ombrometer tipe
Hellmann memiliki prinsip kerja yaitu dapat merekam berapa lama terjadinya hujan
pada hari tersebut, penghitungan tersebut dilakukan dengan menggunakan jam
bekker yang diberi pena dan memutar kertas pias (Permana et al., 2015). Alat ini
mengukur hujan secara kontinyu sehingga dapat diketahui intensitas hujan dan lama
waktu hujan. Ada dua jenis pengukur hujan yaitu pengukur hujan rekam
(recording) dan pengukur hujan non rekam (non recording) salah satunya yaitu
pengukur hujan Jenis Hellman. Alat ini termasuk jenis alat penakar hujan recording
atau alat yang dapat mencatat sendiri. Alat ini telah dikenal lama dan sering dipakai
untuk melakukan pengamatan curah hujan (Muliantara et al., 2015)
Ombrometer tipe Hellmann digunakan untuk mengukur curah hujan
dengan satuan millimeter. Ombrometer tipe Hellmann berfungsi untuk mengukur
curah hujan dengan satuan millimeter dan sistem sistem kerjanya berjenis recording
atau dapat mencatat sendiri yang dipakai di stasiun- stasiun pengamatan udara
permukaan (Wahdianty, 2016). Bagian-bagian alat ini yaitu terdapat silinder jam
tempat meletakan pias, tabung tempat pelampung, tangki pelampung dan
pelampung. Ombrometer tipe Hellman merupakan alat penakar hujan
berjenis recording yang terdiri dari dari jam pencatat, tabung gelas, dan pelampung.
Ombrometer tipe hellman memiliki kelebihan dan juga kekurangan. Kelebihan dari
ombrometer tipe hellmann yaitu mengukur curah hujan dengan satuan milimeter,
sedangkan kekurangannya sewaktu-waktu dapat mengalami gangguan sehingga
mengakibatkan hilangnya data curah hujan (Kurniawan, 2020)
.
2.7.3. Automatic Rain Sampler

Automatic Rain Sampler adalah alat pengukur yang digunakan untuk


mengambil sampel air hujan dengan menggunakan metode wet and dry dopsition
dengan bantuan Acid Precipitation Sampler (APS) serta untuk menganalisi
13

konsentrasi kimia. Automatic Rain Sampler merupakan alat penakar curah hujan
dengan cara, mengambil sampel air hujan yang akan dianalisis konsentrasi kimia di
dalam air hujan seperti pH (Bunganaen et al., 2013). Alat ini bekerja secara
otomatis serta menjaga air hujan agar tidak terkontaminasi oleh bahan lain. Prinsip
kerja Automatic Rain Sampler yaitu ketika air hujan mengenai sensor maka sinyal
akan menggerakkan penutup tabung atau ember penakar, sehingga setelah hujan
reda penutup tersebut akan kembali terbuka (Hamrin, 2016).
Automatic rain sampler berfungsi untuk mengumpulkan sampel air hujan
yang akan diukur konsentrasi kimia air hujannya. Alat ini digunakan untuk
menentukan curah hujan dan nilai pH air hujan yang didalamnya mewakili
keseluruhan kondisi air hujan awal untuk analisis kimia dengan cara
mempertahankan kondisi kimia yang terkandung dalam air hujan
tersebut (Permana et al., 2015). Cara kerja Automatic Rain Sampler yaitu apabila
sensor terkena hujan maka akan membuka tutup tempat penampungan air. Sistem
kerja Automatic Rain Sampler yaitu ketika terjadi hujan maka sensor akan
memberikan trigger kepada sistem kontrol untuk membuka tutup tempat
penampungan air yang digerakkan oleh motor listrik, selama hujan penutup tersebut
tetap terbuka kemudian setelah hujan berhenti maka penutup akan bergerak ke
posisi semula.(Nugroho, 2012).

2.7.4. Automatic Rain Gauge

Automatic Rain Gauge merupakan alat yang sistem kerjanya secara


otomatis dengan sumber tenaga dari baterai yang berfungsi sebagai perhitungan
curah hujan dalam waktu tertentu. Automatic Rain Gauge adalah alat klimatologi
yang berfungsi untuk menghitung curah hujan secara otomatis dengan tenaga
baterai (Munawir et al., 2017). Alat pengukur hujan otomatis digunakan dengan
menghitung jumlah air hujan yang masuk ke tangki ke dalam kolektor (corong).
Alat pengukur hujan otomatis menggunakan sensor berupa bak yang dapat
menampung air hujan dan menghitung intensitas hujan (Widagdo et al., 2018).
14

Automatic rain gauge digunakan untuk mengukur curah hujan di suatu


wilayah per wilayah. Pengukuran curah hujan secara otomatis memiliki kelebihan
antara lain pengiriman data secara real-time yang cepat dan pengambilan data akan
lebih efektif dan efisien, kekurangannya yaitu hasil pengukuran tidak benar-benar
tepat karena keterbatasan ukuran penakar hujan (Rafi et al., 2018). Alat pengukur
hujan otomatis terdiri dari beberapa bagian penting seperti sensor dan power
supply. Alat pengukur hujan otomatis terdiri dari beberapa bagian yaitu berupa
sensor, power supply, sistem komunikasi dan sistem akuisisi dan alat ini sering
ditempatkan di lapangan untuk dijadikan sampel. (Chairani en Dewi, 2013).

2.8. Pengukuran Tingkat Penguapan Air

2.8.1. Open Pan Evaporimeter

Open pan evaporimeter merupakan perangkat untuk mengukur tingkat


evaporasi atau penguapan air pada suatu wilayah. Evaporimeter panci terbuka atau
open pan evaporation adalah suatu alat yang disusun sedemikian rupa untuk dapat
mencatat banyaknya penguapan yang terjadi selama 24 jam (Siswanti, 2011).
Evaporimeter Pan Terbuka digunakan setiap hari dan diakumulasikan selama
sebulan untuk mengukur kandungan uap. Evaporimeter merupakan alat yang
digunakan untuk mengukur laju penguapan yang terjadi selama 24 jam dan
terakumulasi dalam kurun waktu satu bulan (Muldawati, 2013). Prinsip
pengoperasian Open Pan Evaporimeter menggunakan variasi ketinggian air di
tangki evaporasi. Nilai tangki evaporasi dihitung dengan mengamati variasi
ketinggian air di tangki evaporasi (Anggraini, 2019).
Evaporator bejana terbuka berfungsi sebagai pengukur penguapan di udara
terbuka dengan mempertimbangkan berbagai faktor seperti matahari, angin, hujan,
suhu, kelembapan, dan awan. Baki evaporasi terbuka mengukur penguapan air yang
tersimpan dalam baki dengan memperhatikan kelembaban udara, kecepatan angin
dan posisi posisi baki hasilnya mewakili perairan terbuka (Anggraini, 2019).
Evaporimeter Open Pan memiliki beberapa komponen instrumen. Alat-alat yang
15

terdapat pada evaporimeter open pan antara lain Hook Gauge, Cup Counter
Anemometer, Floating Thermometer dan alat pengukur hujan tipe Obs Kelebihan
yang dimiliki dari alat Open Pan Evaporimeter adalah penggunaannya yang mudah
dengan kekurangan dari alat Open Pan Evaporimeter adalah dapat terjadi gangguan
dari luar yang mempengaruhi hasilnya (Rachmawati dan Suyono, 2013).

2.9. Pengukuran Tingkat Kualitas Udara

2.9.1. High Volume Sampler

High volume sampler merupakan alat yang digunakan mengumpulkan


tingkat kualitas udara. Perbedaan high volume sampler dengan low volume sampler
terdapat pada jumlah sampel air yang disimpan (Sirsath et al., 2010). High Volume
Sampler adalah alat yang dipakai untuk menghisap dan memompa udara melalui
sistem alat sehingga dapat mengukur tingkat kualitas udara. Prinsip kerjanya debu
yaitu menempel pada kertas filter yang nantinya akan ditimbang serta dicatat
flowrate dan waktu lamanya sampling sehingga ditemukuan konsentrasi debu
tersebut. High Volume Sampler merupakan alat yang digunakan untuk
pengumpulan kandungan partikel melalui filtrasi di atmosfer dan dilengkapi dengan
filter serta alat kontrol laju air (Aprianti et al., 2010).
Sampler volume tinggi digunakan untuk menentukan kualitas udara
dengan menimbang debu pada kertas saring. Debu yang menempel pada kertas
saring ditimbang untuk mengetahui kualitas udara (Aprianti et al., 2010). Sampler
volume tinggi adalah perangkat pengambilan sampel partikulat udara, komponen
yang bekerja pada prinsip yang sama seperti sistem vakum dan memiliki komponen
yang sama. Sampler volume tinggi memiliki prinsip yang sama dengan sistem
vakum dan terdiri dari beberapa komponen utama yaitu kipas, dinamo, housing,
kunci filter, filter, dan tombol on/off (Yuwono et al., 2012).
16

BAB III

MATERI DAN METODE

Praktikum Klimatologi acara Pengenalan Alat-Alat Klimatologi


dilaksanakan pada hari Senin, 6 September 2021 pada pukul 16.00 - 18.00 WIB
secara daring melalui Microsoft Teams.

3.1. Materi

Materi yang digunakan dalam praktikum Klimatologi acara Alat-alat


Klimatologi terdiri dari alat dan bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum
adalah alat-alat klimatologi. Alat yang digunakan dalam praktikum pengenalan
alat-alat klimatologi adalah kamera untuk mendokumentasikan alat-alat
klimatologi. Alat tulis dan buku untuk mencatat alat-alat klimatologi beserta fungsi
dan prinsip kerjanya.

3.2. Metode

Metode yang digunakan dalam praktikum Klimatologi Acara Pengenalan


Alat-alat Klimatologi diawali dengan penjelasan materi dari asistensi klimatologi
tentang alat-alat klimatologi. Alat-alat klimatologi yang sudah diamati lalu
didokumentasikan, dan dicatat beserta fungsi dan prinsip kerjanya.
17

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengukur Radiasi Matahari

4.1.1. Gunn – Bellani

Sumber : Data Primer Praktikum Klimatologi, 2021.


Ilustrasi 1. Gunn-Bellani

Berdasarkan praktikum klimatologi diperoleh hasil bahwa Gunn-Bellani


merupakan alat klimatologi yang digunakan untuk mengukur radiasi cahaya
matahari. Hal ini didukung dengan pendapat Nurhamiddin dan Sulisa (2020) yang
menyatakan bahwa Gunn-Bellani merupakan suatu alat yang digunakan untuk
mengukur radiasi matahari. Gunn-Bellani memiliki sebuah sensor yang berwarna
hitam pekat. Hal ini sesuai pendapat dari Suciatiningsih (2013) yang menyatakan
bahwa komponen dari Gun-Bellani yaitu berupa sensor yang memiliki warna hitam
pekat dan memiliki skala mililiter (cc).
Prinsip dari alat ini yaitu menangkap radiasi pada benda yang berbentuk
bola sensor, kemudian mengondensasikan air yang terdapat di dalam dan jatuh pada
buret ukur. Hal ini didukung Kimei dan Khabongo (2004) bahwa cara kerja Gun-
18

Bellani memerlukan tenaga manusia untuk pengoperasiannya, alat ini dipasang


pada pagi hari dan dibalik pada sore hari. Kelebihan dari Gunn-Bellani adalah alat
sudah bersifat semi manual, sedangkan kekurangannya adalah pada saat
pengamatan harus dilakukan tepat waktu pada dan tidak boleh terlambat. Hal ini
didukung Ninuk (2015) bahwa kelebihan Gunn bellani, yaitu sudah bersifat semi
manual karena sudah menggunakan alat pencatat yang dinamakan chart recorder
sedangkan kekurangannya, pada saat pengamatan menggunakan Gunn-Bellani
harus dilakukan tepat waktu dan tidak boleh terlambat.

4.1.2. Actinograph Bimetal

Sumber : Data Primer Praktikum Klimatologi, 2021.


Ilustrasi 2. Actinograph Bimetal

Berdasarkan Praktikum Klimatologi diperoleh hasil bahwa Actinograph


Bimetal merupakan salah satu alat klimatologi yang digunakan untuk mengukur
radiasi matahari. Hal ini sesuai pendapat Nurhamiddin dan Sulisa (2020) yang
menyatakan bahwa salah satu alat BMKG yang digunakan untuk mengukur
intensitas cahaya matahari adalah Actinograph Bimetal. Radiasi global dapat
menghantam permukaan bumi dan Actinograph Bimetal dapat merekamnya. Hal
ini sesuai dengan pendapat Adhikari (2012) yang menyatakan bahwa Actinograph
bimetal dapat merekam data radiasi global yang menghantam permukaan bumi dan
komponen utama yang terdapat di Actinograph Bimetal yaitu strip bimetalik
19

berwarna hitam, strip bimetalik merupakan elemen yang dapat merasakan suhu dan
mengubahnya menjadi mekanis, dan alat ini digunakan dalam satuan W/meter2.
Prinsip kerjanya adalah meletakkan alat ini dibawah sinar matahari dan
radiasi langit difus yang jatuh ke bumi akan tercatat oleh Actinograph Bimetal. Hal
ini sesuai pendapat Adhikari (2012) yang menyatakan bahwa sensor pada
Actinograph Bimetal terdiri dari satu lempeng hitam dan dua lempeng putih,
lempeng logam akan memuai apabila terjadi perubahan pada suhu panas dan pena
yang terdapat didalamnya akan bergerak melukis pada kertas pias karena adanya
perubahan suhu. Radiasi matahari merupakan sinar yang berasal dari matahari.
Actinograph Bimetal mencatat data secara otomatis tetapi dalam pencatatannya
mengalami keterlambatan alat sselaama lima menit. Hal ini sesuai dengan pendapat
Manara et al. (2016) yang menyatakan bahwa Kelebihan dari alat ini yaitu data
tercatat secara otomatis pada kertas grafik. Kekurangan dari actinograph bimetal
yaitu pencatatan dari Achtinograph mengalami keterlambatan kurang lebih 5
menit.

4.1.3. Solarimeter

Sumber : Data Primer Praktikum Klimatologi, 2021.


Ilustrasi 3. Solarimeter
20

Berdasarkan praktikum klimatologi Pengamatan alat-alat Klimatologi


diperoleh hasil bahwa Solarimeter adalah salah satu alat yang digunakan untuk
mengukur intensitas dari radiasi cahaya matahari. Hal ini sesuai dengan pendapat
Nwankow dan Nnabuchi (2015) yang menyatakan bahwa Solarimeter meter
merupakan instrumen yang digunakan untuk mengukur radiasi matahari dan data
yang dihasilkan dinyakan dalam satuan K cal/cm2. Solarimeter memiliki bagian-
bagian diantaranya black surface, temperatur difference, optional glass dome,
thermopile sensor. Hal ini sesuai dengan pendapat Hile (2009) yang menyatakan
bahwa Solarimeter memiliki bagian-bagian dengan fungsi yang berbeda.
Solarimeter terdiri dari black surface, temperatur difference, optional glass dome,
thermopile sensor.
Prinsip kerja dari alat klimatologi solarimeter dibagi menjadi dua bagian
yaitu thermoeletrik berdasarkan beda potensial dan photovoltaic berdasarkan
perbedaan termal. Hal ini sesuai dengan pendapat Sartarelli et al. (2010) yang
menyatakan bahwa Thermoelektrik sangat memungkinkan untuk kita mendapatkan
hasil yang sebanding antara perbedaan potensial dan juga perbedaan termal,
sedangkan photovoltaic menggunakan material semi-konduktor sebagai alat
dektektor dari solarimeter. Solarimeter mempunyai kelebihan yaitu kita dapat
mengetahui secara langsung besaran hasil, tetapi alat ini memerlukan tambahan
berupa pita bayangan yang membayangi langsung sinar surya. Hal ini sesuai dengan
pendapat Woodward dan Sheehy (2017) yang menyatakan bahwa kelebihan yang
dimiliki solarimeter yaitu dapat diketahui langsung besaran dari hasilnya,
sedangkan kekurangan dari solarimeter adalah memerlukan alat tambahan yaitu pita
banyangan atau disk tersembunyi. Pita benda membayangi langsung sinar matahari
dari solarimeter.
21

4.1.4. Automatic Solar Radiation System

Sumber : Data Primer Praktikum Klimatologi, 2021.


Ilustrasi 4. Automatic Solar Radiation System

Berdasarkan Praktikum klimatologi Pengamatan Alat alat Klimatologi


diperoleh hasil bahwa Automatic Solar Radiation System adalah alat klimatologi
yang digunakan untuk mengukur radiasi sinar matahari secara otomatis. Hal ini
sesuai dengan pendapat Sucipto et al. (2017) yang menyatakan bahwa Automatic
solar radiation system merupakan sebuah instrumen yang digunakan untuk
mencatat radiasi sinar matahari. Alat klimatologi ini tersusun dari beberapa bagian
yaitu berupa silicon solar cell (sensor), multimeter digital, saklar satu arah, digital
timer, sensor panel and stand, alumunium,USB, dan baterai 9 volt. Hal ini sesuai
dengan pendapat Daniel dan Odinakachi (2014) yang menyatakan bahwa Automatic
Solar Radiation System terkonstruksi atas silicon solar cell (sensor), multimeter
digital, saklar satu arah, digital timer, sensor panel and stand, alumunium,USB,
dan baterai 9 volt.
Cara kerja alat klimatologi ini yaitu dengan menggunakan sebuah sensor
yang dapat mengikuti arah sinar matahari yang akan datang . Hal ini sesuai dengan
pendapat Rosma et al. (2017) yang menyatakan bahwa Automatic Solar Radiation
System dilengkapi dengan sensor sun tracker yang akan mengikuti arah dimana
matahari akan bersinar dan mengukur radiasi sinar matahari tanpa terhalang oleh
awan. Kelebihan yang dimiliki berupa data yang akan tersimpan dengan aman,
22

tetapi ketika cuaca kurang baik alat pelacak akan tertidur. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Sari et al. (2015) yang menyatakan bahwa Kelebihan dari
Automatic Solar Radiation System data tersimpan dengan aman di dalam
mikrokontroler. Sedangkan kekurangan dari alat ini adalah ketika kondisi cuaca
sedang mendung atau gelap maka alat pelacak akan tertidur jadi harus disetel ulang
secara manual.

4.2. Pengukur Lama Penyinaran Matahari

4.2.1. Campbell Stokes

Sumber : Data Primer Praktikum Klimatologi, 2021.


Ilustrasi 5. Campbell Stokes

Berdasarkan Praktikum klimatologi Pengamatan Alat-alat Klimatologi


diperoleh hasil bahwa Campbell Stokes adalah alat Badan Meteorologi Klimatologi
dan Geofisika yang digunakan untuk mengukur lama penyinaran matahari. Hal ini
dengan pendapat Hamdi (2014) yang menyatakan bahwa Campbell Stokes
merupakan alat yang digunakan secara resmi oleh Badan Meteorologi Klimatologi
dan Geofisika untuk mencatat penyinaran matahari. Komponen utama yang
terdapat pada Campbell Stokes yaitu bola kaca yang berdiameter 10 cm dan bola
kaca tersebut berfungsi sebagai lensa cembung dan kertas pias. Hal ini sesuai
dengan pendapat Pujiastuti dan Harjoko (2016) yang menyatakan bahwa Campbell
23

Stokes terdiri dari bola pejal yang terbuat dari material gelas berdiameter 4 inchi
yang dipasangkan pada kedudukan tertentu sehingga sinar dari matahari akan
difokuskan dengan tajam ke kartu pias yang merupakan kartu berskala sebagai alat
perekam radiasi matahari.
Prinsip kerja dari Campbell stokes yaitu sinar matahari yang jatuh akan
difokuskan oleh bola kaca pada kertas bakar yang nantinya akan meninggalkan
jejak bakar. Hal ini sesuai dengan pendapat Asri (2013) yang menyatakan bahwa
prinsip kerja dari Campbell Stokes adalah sinar matahari yang jatuh pada sekeliling
bola kaca pejal yang akan difokuskan ke permukaan kertas pias kemudian dapat
meninggalkan bekas terbakar yang akan menjadi catatan berapa lama matahari
bersinar di hari itu. Kelebihannya Campbell Stokes yaitu dapat menyesuaikan di
mana matahari berada saat alat dipasang, sedangkan kekurangan dari alat ini adalah
pada sensor terdapat kertas pias yang memudahkan terbakar. Hal ini sesuai dengan
pendapat Kamus dan Pratama (2013) yang menyatakan bahwa kelemahan dari
Campbell Stokes yaitu skala dalam pengukuran yang ada dalam pencatatan kertas
pias masih dalam orde jam, kelemahan lainnya yaitu bagian kertas pias yang terkena
sinar matahari akan terbakar padahal intensitas cahaya matahari belum terukur dan
kelebihan dari Campbell Stokes yaitu sensornya terdapat kertas pias dari karton
yang memiliki warna gelap jadi hal tersebut menjadikannya mudah terbakar,
sedangkan kelebihan dari Campbell stokes yaitu data menyesuaikan kedudukan dari
matahari pada saat alat ini dipasang.
24

4.3. Pengukur suhu dan kelembapan Udara

4.3.1. Psikrometer Standar

Sumber : Data Primer Praktikum Klimatologi, 2021.


Ilustrasi 6. Psikrometer Standar

Berdasarkan praktikum klimatologi Pengamatan Alat-alat Klimatologi


diperoleh hasil bahwa Psikrometer Standar adalah alat untuk mengukur kelembaban
udara. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rachman et al. (2015) yang menyatakan
kelembaban udara relatif diukur menggunakan alat psikrometer standar.
Psikrometer memiliki beberapa bagian yaitu, Thermometer bola basah dan
thermometer bola kering serta, thermometer maksimum, dan thermometer
minimum. Hal ini didukung oleh Arief (2012) bahwa Psikrometer terdiri dari
thermometer bola basah dan thermometer bola kering, thermometer maksimum dan
thermometer minimum thermometer bola kering dibaca terlebih dahulu kemudian
thermometer bola basah karena suhu udara yang ditunjukkan thermometer bola
kering lebih mudah berubah. Thermometer Maksimum dan Thermometer
Minimum digunakan untuk mengetahui suhu udara maksimum dan minimum pada
saat tertentu.
Psikrometer diletakkan di bangunan bentuk rumah berwarna putih yang
biasa disebut sangkar meteorologi agar alat terlindung dari radiasi surya dan hujan.
25

Thermometer bola kering menunjukkan suhu udara sedangkan thermometer bola


basah digunakan untuk mencari kelembaban udara dengan bantuan tabel. Hal ini
sesuai dengan Sunitra et al. (2011) yang menyatakan pengukuran suhu dari
thermometer bola kering menunjukkan derajat celcius, sedangkan thermometer
bola basah menunjukkan satuan persen. Kelebihan dari psikrometer yaitu cukup
mudah digunakan, sedangkan kekurangan psikrometer yaitu peka pada
kelembaban. Hal ini sesuai dengan Hidayanti et al. (2019) yang menyatakan
psikrometer mudah digunakan sehingga dapat mengetahui titik uap dan titik embun
yang terukur pada udara dan psikrometer sangat peka terhadap kelembaban yang
dapat menyulitkan penggunaannya.

4.3.2. Thermohigrograf

Sumber : Data Primer Praktikum Klimatologi, 2021.


Ilustrasi 7. Thermohigrograf

Berdasarkan praktikum klimatologi Pengamatan Alat-alat klimatologi


diperoleh hasil bahwa Thermohigrograf merupakan alat klimatologi yang
digunakan untuk mengukur suhu dan kelembaban. Hal ini didukung oleh pendapat
yang dikemukakan Falahnsia dan Hariyanto (2013) yang menyatakan bahwa
thermohigrograf merupakan alat yang berfungsi untuk mengukur suhu dan
kelembaban yang dapat mencatat otomatis temperatur dan kelembaban sebagai
fungsi waktu selama 24 jam. Prinsip kerjanya yaitu dengan mengganti kertas grafik
26

yang sudah terpasang dengan kertas grafik yang baru. Thermohigograph memiliki
kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya, yaitu dapat mengukur kelembaban relatif
secara langsung. Kekuranganya adalah hubungan kelembaban dan pemasangan
tidak linear. Hal ini didukung Kurniawan (2002) bahwa kekurangan
Thermohigograph adalah hubungan kelembaban dan pemasangan tidak linear,
tidak terlalu teliti (sekitar 5%), meskipun rambut kuda mempunyai sifat higroskopis
yang baik.
Bagian Thermohigograph salah satunya adalah sensor suhu yang terbuat
dari logam. Hal ini didukung oleh Ugurlu dan Mehmet (2010) yang menyatakan
bahwa bagian Thermohigograph salah satunya adalah sensor suhu yang terbuat dari
logam, bila udara panas logam akan memuai dan menggerakkan pena ke atas, bila
udara dingin logam akan mengkerut dan gerakan pena turun. Kedua sensor
dihubungkan secara mekanis ke jarum penunjuk yang merupakan pena penulis di
atas kertas pias yang berputar menurut waktu. Alat Thermohigograph dapat
mencatat suhu dan kelembapan secara otomatis pada pias dimana kertas pias bagian
atas untuk mencatat suhu (°C) dan kertas pias bagian bawah untuk mencatat RH
(%) dalam kisaran pengukuran suhu Thermohigograph dan kelembaban tertentu.
Hal ini didukung oleh Falahnsia dan Hariyanto (2013) yang menyatakan bahwa
Thermohigrograf dapat mencatat suhu dan kelembapan setiap waktu secara
otomatis pada pias di mana kertas pias bagian atas untuk mencatat suhu (°C) dan
kertas pias bagian bawah untuk mencatat RH (%) dengan kisaran suhu dan
kelembapan tertentu, yaitu kisaran pengukuran suhu thermohigrograf -20 + 40° C
dan rentang pengukuran kelembaban adalah 0-100% r.h.
27

4.4. Pengukur Suhu dan Kelembapan Tanah

4.4.1. Thermometer Tanah Bervegetasi

Sumber : Data Primer Praktikum Klimatologi, 2021.


Ilustrasi 8. Thermometer Tanah Bervegetasi

Berdasarkan praktikum klimatologi pengamatan alat-alat klimatologi


diperoleh hasil bahwa Thermometer tanah bervegetasi adalah alat yang digunakan
untuk mengukur suhu tanah. Suhu dan kelembapan merupakan faktor penting
dalam tahapan pertumbuhan tanaman. Suhu tanah dan kelembapan yang optimal
dapat membuat tanah memiliki pori-pori yang cukup, dimana peredaran udara
didalam tanah dapat berfungsi dengan baik. Tanah yang bagus ditandai dengan pH
netral yang berdampak pada kesehatan dari tanaman. Hal ini didukung pendapat
yang dikemukakan oleh Fikrinda dan Murti (2017) yang menyatakan bahwa
besaran suhu dan kelembapan tanah mempengaruhi kenaikan dari besaran pH
tanah. Thermometer tanah ditanam pada kedalaman tanah yang berbeda-beda. Hal
ini sesuai dengan pendapat yang di kemukakan oleh Tjasyono (2012) yang
menyatakan bahwa kedalaman tanah yang biasa diukur suhu nya yaitu kedalaman
0 cm, 5 cm, 10 cm, 20 cm, 50 cm, dan 100 cm dari permukaan tanah.
Thermometer tanah bervegetasi mempunyai prinsip yang hampir sama
dengan termometer biasa yang berfungsi untuk mengukur suhu dan kelembapan
tanah. Hal ini didukung pendapat dari Budiarto (2016) yang menyatakan bahwa
28

Thermometer tanah bervegetasi mempunyai prinsip yang hampir sama dengan


termometer biasa, yaitu dengan membuat lubang tanah mencapai kedalaman yang
akan diukur, setelah itu thermometer dimasukkan kedalam lubang dan ditimbun
dengan tanah, beberapa menit kemudian diambil dan dibaca suhunya. Alat
Thermometer tanah bervegetasi memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan,
kelebihannya mudah di amati sedangkan kekurangannya mudah patah. Hal ini
didukung Fikrinda dan Murti (2017) yang menyatakan bahwa kelebihan
thermometer tanah bervegetasi adalah mampu mengukur hingga kedalaman 100 cm
dan skala mudah diamati karena berupa jarum penunjuk sedangkan kekurangannya
adalah harus melubangi terlebih dahulu dan mudah patah.

4.4.2. Thermometer Tanah Gundul

Sumber : Data Primer Praktikum Klimatologi, 2021.


Ilustrasi 9. Thermometer Tanah Gundul

Berdasarkan praktikum klimatologi pengenalan alat-alat klimatologi


diperoleh hasil bahwa Thermometer tanah gundul merupakan alat untuk mengukur
suhu pada tanah yang tidak berumput, umumnya thermometer tanah berumput dan
thermometer tanah bervegetasi sama yang membedakan hanya jenis tanahnya saja.
Hal ini didukung Sriworo (2006) bahwa thermometer tanah gundul dapat
mengetahui suhu tanah yang tidak bervegetasi. Penggunaan alat thermometer tanah
gundul ditanam di kedalaman tanah yang berbeda-beda pada yaitu 0 cm, 2 cm, 10
29

cm, 20 cm, 50 cm, dan 100 cm. Hal ini didukung Pardosi dan Lubis (2013) bahwa
penggunaan thermometer tanah berumput dan thermometer tanah gundul yaitu
dengan cara ditanam pada tanah dengan kedalaman yang berbeda-beda.
Prinsip kerja thermometer tanah gundul yaitu apabila suhu tanah naik
maka air raksa pada reservoir akan naik. Hal ini didukung Budiarto (2016) yang
menyatakan bahwa cara kerja thermometer tanah gundul hampir sama dengan cara
kerja thermometer tanah bervegetasi yaitu apabila suhu naik maka air raksa dalam
reservoir akan naik dan menunjukkan skala pada pipa. Alat pengukur suhu,
Thermometer tanah gundul tentunya memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan.
Hal ini didukung Haryono (2001) yang menyatakan bahwa Kelebihan thermometer
tanah gundul adalah skala pada thermometer mudah dilihat karena bentuknya yang
bengkok, sedangkan kekurangannya karena ditanam pada kedalaman yang berbeda-
beda sehingga harus melubangi tanah terlebih dahulu .

4.5. Pengukur tekanan udara

4.5.1. Barometer

Sumber : Data Primer Praktikum Klimatologi, 2021.


Ilustrasi 10. Barometer

Berdasarkan praktikum klimatologi pengamatan alat-alat klimatologi


diperoleh hasil bahwa barometer adalah suatu alat yang dirancang untuk mengukur
30

tekanan pada udara. Hal ini sesuai Populasi et al. (2012) yang menyatakan
barometer merupakan suatu alat ukur tekanan udara yang bekerja berdasarkan
prinsip perubahan kondisi sensor silicon terhadap perubahan tekanan udara.
Barometer memiliki berbagai macam jenis dan barometer diukur dengan
menggunakan satuan pascal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Khaery et al. (2020)
yang menyatakan terdapat berbagai macam barometer diantaranya barometer air,
barometer raksa, dan barometer aneroid. Barometer digunakan untuk mengukur
tekanan udara dengan nilai berupa satuan pascal.
Prinsip kerja barometer dalam mengukur ketinggian adalah dengan
mendeteksi tekanan udara yang berada di sekitarnya. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Muliady dan Subagya (2019) yang menyatakan barometer mengukur
ketinggian dengan mendeteksi tekanan udara dengan menyeimbangkan berat
merkuri dengan berat udara disekitarnya. Kelebihan dari barometer adalah akurat,
sedangkan kekurangannya adalah sulit untuk melakukan pembacaan pengukuran.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Perkasa (2019) yang menyatakan bahwa
pengukuran barometer memiliki akurasi tinggi, namun sering kali terdapat kesulitan
dalam pembacaan pengukuran barometer.

4.5.2. Barograf

Sumber : Data Primer Praktikum Klimatologi, 2021.


Ilustrasi 11. Barograf
31

Berdasarkan praktikum klimatologi pengamatan alat-alat klimatologi


diperoleh hasil bahwa barograf adalah alat yang digunakan untuk mencatat tekanan
udara. Hal ini sesuai dengan pendapat Priyahita et al., (2015) yang menyatakan
bahwa alat pengukur tekanan udara ialah barometer air raksa, barometer aneroid,
dan alat perekam tekanan udara disebut barograf. Barograf didalamnya terdapat
alat, yaitu pena dan pias, pena digunakan untuk memperjelas tulisan yang ada di
dalam barograf, sedangkan pias merupakan alat yang digunakan didalam tabung
untuk menulis tekanan udara yang terdata. Barograf juga memiliki kelebihan yaitu
pengukuran dilakukan secara otomatis, sedangkan kekurangannya adalah alat tidak
boleh terpapar sinar matahari langsung. Hal ini didukung oleh pendapat yang
dikemukakan Wirjohamidjojo (2009) menyatakan bahwa kelebihan barograf
adalah bekerja secara otomatis, sedangkan kekurangannya adalah alat tidak boleh
diletakkan di luar ruangan yang terkena sinar matahari langsung.
Barograf dalam perhitungannya juga memiliki tingkat keakuratan yang
spesifik, keakuratannya berdasarkan jumlah kapsul atau disebut dengan sel aneroid,
semakin banyak kapsul aneroid yang ada di barometer maka semakin peka
barometer terhadap tekanan udara yang di tangkap. Hal ini sesuai dengan pendapat
Wirjohamidjojo (2009) menyatakan bahwa semakin banyak kapsul aneroid yang
bisa digunakan maka semakin peka barograpf tersebut terhadap perubahan tekanan
udara. Prinsip kerja barograf, yaitu dengan Perubahan tekanan atmosfer akar, yang
kemudian dicatat oleh alat dan akan terbentuk getaran dari jarum yang
menunjukkan skala dari tekanan udara. Hal ini sesuai dengan pendapat yang
dikemukakan Gonalez et al. (2014) yang menyatakan bahwa alat barograf terdiri
dari logam berbentuk silinder dengan lengan pena, barograf membaca perubahan
tekanan atmosfer seperti barometer aneroid sedangkan lengan pena mencatat hasil
pengukuran pada kertas atau media lain.
32

4.6. Pengatur Arah dan Kecepatan Angin

4.6.1. Anemometer

Sumber : Data Primer Praktikum Klimatologi, 2021.


Ilustrasi 12. Anemometer

Berdasarkan praktikum klimatologi pengamatan alat-alat klimatologi


diperoleh hasil bahwa anemometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur
kecepatan angin dan arah angin, berdasarkan yang ditunjuk oleh arah kecepatan
angin. Angin dalam penentuan kecepatannya memiliki satuan yang dipakai, yaitu
knot dan juga bisa m/s. Hal ini sesuai dengan pendapat Muin (2012) kecepatan
angin dapat dinyatakan dalam satuan m/s dengan anemometer. Bagian yang
terdapat pada anemometer, yakni 3 buah alat seperti mangkok yang digunakan
untuk mengukur kecepatan angin, dan dilengkapi dengan sebuah sensor otomatis.
Hal ini dinyatakan Premadi dan Putra (2014) yang menyatakan bahwa bagian dari
anemometer yaitu tiga buah mangkuk yang dipasang simetris dan alat penunjuk
arah angin berbentuk panah.
Prinsip kerja anemometer, yakni putaran yang dihasilkan oleh mengkok-
mangkok sesuai dengan arah angin yang dapat digunakan untuk menentukan
kecepatan suatu angin. Hal ini sesuai dengan pendapat Derek et al. (2016) bahwa
untuk mendeteksi jumlah putaran mangkok-mangkok pada anemometer digunakan
33

sensor optocoupler. Kelebihan yang dimiliki oleh anemometer ini adalah alatnya
ringan dan mudah untuk diamati, sedangkan kekurangannya harus diletakkan sesuai
dengan posisi yang akurat. Hal ini sesuai dengan pendapat Kurniawan (2002) yang
menyatakan bahwa kelebihan anemometer adalah ringan dan mudah dalam
pengamatan dan Kekurangannya adalah kurang efisien karena penempatannya
harus tepat.

4.6.2. Wind Force

Sumber : Data Primer Praktikum Klimatologi, 2021.


Ilustrasi 13. Wind Force

Berdasarkan praktikum klimatologi pengamatan alat-alat klimatologi


diperoleh hasil bahwa Wind force adalah alat pengukur arah dan kecepatan angin,
yang digunakan untuk mencatat kecepatan angin sesaat dan juga arah angin. Wind
force digunakan untuk menghitung kecepatan angin dan di letakkan ditempat yang
tinggi, dan pengukuran menggunakan satuan speedometer, yakni km/jam. Hal ini
didukung oleh Banodin (2011) yang mengatakan bahwa wind force berada pada
ketinggian 2-15 meter di atas permukaan tanah. Wind force merupakan alat yang
digunakan untuk mengukur arah dan kecepatan angin sesaat, dimana wind force ini
bergerak sesuai dengan kecepatan anginnya. Hal ini sesuai dengan pendapat yang
34

dinyatakan As’ari (2013) bahwa semakin cepat angin berhembus semakin cepat
Wind Force bergerak.
Prinsip kerja Wind Force yaitu apabila poros putaran dari Wind Force
berputar sesuai dengan kecepatan angin, sehingga apabila angin semakin cepat
maka putaran porosnya semakin cepat. Hal ini sesuai pendapat yang dinyatakan
oleh Azwar dan Kholiq (2013) yang menyatakan bahwa semakin besar kekuatan
angin semakin cepat putarannya serta ada poros putaran dipasang magnit
pembangkit arus listrik, sehingga bila mangkok berputar timbul arus yang besarnya
sebanding dengan kecepatan putaran. Wind Force memiliki kelebihan, yakni harga
relatif murah dan kekurangannya perhitungan yang tidak spesifik. Hal ini didukung
oleh pendapat Prabowo et al. (2018) yang menyatakan bahwa kelebihan wind force
adalah harga nya relatif murah sedangkan kelemahannya adalah data yang
diperoleh tidak begitu akurat.

4.7. Pengukur Curah Hujan

4.7.1. Ombrometer Observatorium

Sumber : Data Primer Praktikum Klimatologi, 2021.


Ilustrasi 14. Ombrometer Observatorium
35

Berdasarkan praktikum klimatologi pengamatan alat-alat klimatologi


diperleh hasil bahwa Ombrometer Observatorium adalah alat pengukur curah hujan
yang digunakan secara manual dan merupakan yang paling sering digunakan. Hal
ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Cahyono (2018) menyatakan bahwa
Salah satu tipe pengukur hujan manual yang paling banyak dipakai adalah tipe
observatorium (obs) atau sering disebut ombrometer. Ombrometer Observatorium
ini dipasang di luar ruangan terbuka, agar dapat menampung air hujan dan memiliki
ketelitian sampai dengan 0,1 mm. Hal ini sesuai dengan pendapat yang
dikemukakan Kurniawan (2020) menyatakan bahwa alat pengukur hujan
Ombrometer dilakukan dengan mengukur tinggi hujan seolah-olah air hujan yang
jatuh ke tanah menumpuk ke atas merupakan kolom air, air yang tertampung
volumenya dibagi dengan luas corong penampung, hasilnya adalah tinggi atau
tebal, satuan yang dipakai adalah milimeter (mm).
Ombrometer Observatorium ini dilakukan pengecekan dan pencatatan data
setiap pukul 07.00 WIB. Hal ini didukung Triatmodjo (2008) menyatakan bahwa
observatorium atau biasa disingkat OBS, merupakan penakar hujan dengan
mengukur curah hujan harian yang diukur setiap jam 07.00 WIB. Ombrometer
Observatorium ini memiliki kelebihan yakni harga yang murah, dan perawatan
yang mudah, sedangkan kekurangannya adalah dikarenakan Ombrometer
Observatorium digunakan manual, sehingga tidak dapat diketahui seberapa deras
hujan yang terjadi, seberapa lama waktunya, dan waktu terjadinya hujan. Hal ini
didukung oleh pendapat Petonengan et al. (2016) menyatakan bahwa kelebihan
penakar hujan OBS, alatnya murah, perawatannya mudah namun, kelemahannya
terletak pada resolusi data harian karena alat ini manual sehingga alat ini tidak
dapat diketahui kederasan hujan (intensitas) hujan, durasi (lama waktu) hujan dan
kapan terjadinya.
36

4.7.2. Obrometer Tipe Hellman

Sumber : Data Primer Praktikum Klimatologi, 2021.


Ilustrasi 15. Ombrometer Tipe Hellman

Ombrometer tipe Hellman adalah alat yang berfungsi untuk mengukur


curah hujan otomatis yang dapat merekam berapa lama terjadinya hujan dan
pengamat cukup membaca grafik pada kertas untuk mengetahui curah hujan. Hal
ini sesuai dengan pendapat Permana et al. (2015) yang menyatakan bahwa
Ombrometer tipe Hellmann memiliki prinsip kerja yaitu dapat merekam berapa
lama terjadinya hujan pada hari tersebut, dan penghitungan tersebut dilakukan
dengan menggunakan jam bekker yang di beri pena dan memutar kertas pias. Ada
2 jenis pengukur hujan yaitu pengukur hujan rekam (recording) dan pengukur hujan
non rekam (non recording).
Ombremeter tipe Hellman termasuk alat pengukur hujan yang dapat
mencatat sendiri dengan mengukur hujan secara kontinyu sehingga dapat diketahui
intensitas hujan dan lama waktu hujan. Hal ini didukung dengan pendapat
Muliantara et al. (2015) yang menyatakan bahwa Ombrometer tipe Hellman
termasuk jenis alat penakar hujan recording atau alat yang dapat mencatat sendiri.
Alat ini telah dikenal lama,dan sering dipakai observer untuk melakukan
observasi/pengamatan curah hujan. Ombrometer tipe Hellmann mengukur curah
hujan menggunakan satuan millimeter. Hal ini sesuai dengan pendapat Wahdianty
(2016) yang menyatakan bahwa Ombrometer tipe Hellmann berfungsi untuk
37

mengukur curah hujan dengan satuan millimeter. Bagian-bagian Ombrometer tipe


Hellman yaitu silinder jam tempat meletakan pias, tabung tempat pelampung,
tangki pelampung dan pelampung. Hal ini dijelaskan Bunganaen et al. (2013) yang
menyatakan bahwa Ombrometer tipe Hellman merupakan alat penakar hujan
berjenis recording yang terdiri dari jam pencatat, tabung gelas, dan pelampung serta
sewaktu-waktu dapat mengalami gangguan sehingga mengakibatkan hilangnya
data curah hujan

4.7.3. Automatic Rain Sampler

Sumber : Data Primer Praktikum Klimatologi, 2021.


Ilustrasi 16. Automatic Rain Sampler

Berdasarkan praktikum klimatologi pengamatan alat-alat klimatologi


diperoleh hasil bahwa Automatic Rain Sampler adalah alat pengukur yang
digunakan untuk mengambil sampel air hujan dengan menggunakan metode wet
and dry dopsition dengan bantuan Acid Precipitation Sampler (APS) serta untuk
menganalisi konsentrasi kimia. Hal ini didukung pendapat Bunganaen et al. (2013)
yang menyatakan bahwa Automatic Rain Sampler merupakan alat penakar curah
hujan dengan cara mengambil sampel air hujan yang akan dianalisis konsentrasi
kimia di dalam air hujan seperti pH. Automatic Rain Sampler merupakan alat
pengukur curah hujan Otomatis yang tersusun atas beberapa komponen untuk
analisis kimia hujan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hamrin (2016) Alat ini bekerja
38

secara otomatis serta menjaga air hujan agar tidak terkontaminasi oleh bahan lain.
Prinsip kerja Automatic Rain Sampler yaitu ketika air hujan mengenai sensor maka
sinyal akan menggerakkan penutup tabung atau ember penakar, sehingga setelah
hujan reda penutup tersebut akan kembali terbuka.
Cara kerja Automatic Rain Sampler yaitu apabila sensor terkena hujan
maka akan membuka tutup tempat penampungan air. Hal ini sesuai dengan
pendapat Nugroho (2012) yang menyatakan bahwa sistem kerja Automatic Rain
Sampler yaitu ketika terjadi hujan maka sensor akan memberikan trigger kepada
sistem kontrol untuk membuka tutup tempat penampungan air yang digerakkan
oleh motor listrik, selama hujan penutup tersebut tetap terbuka kemudian setelah
hujan berhenti maka penutup akan bergerak ke posisi semula. Automatic rain
sampler berfungsi untuk mengumpulkan sampel air hujan yang akan diukur
konsentrasi kimia nya. Hal ini sesuai dengaan pendapat Permana et al., (2015)
baahwa alat Automatic Rain Sampler digunakan untuk menentukan curah hujan dan
nilai pH air hujan yang didalamnya mewakili keseluruhan kondisi air hujan awal
untuk analisis kimia dengan cara mempertahankan kondisi kimia yang terkandung
dalam air hujan tersebut.

4.7.4. Automatic Rain Gauge

Sumber : Data Primer Praktikum Klimatologi, 2021.


Ilustrasi 17. Automatic Rain Gauge
39

Berdasarkan praktikum klimatologi acara pengamatan alat-alat


klimatologi diperoleh hasil bahwa Automatic Rain Gauge merupakan alat penakar
curah hujan yang bekerja secara otomatis yang menggunakan prinsip typing bucket.
Hal ini didukung oleh pendapat Kurniawan (2020) bahwa Automatic Rain Sumber:
Data Primer Praktikum Klimatologi, 2020. 44 Gauge merupakan alat penakar curah
hujan secara otomatis yang menggunakan prinsip typing bucket dilengkapi denggan
relay sebagai pencatat pergerakan timbangan. Seperti halnya dengan alat penakar
hujan otomatis lainnya, Automatic Rain Gauge juga tersesun tas komponen
elektronika seperti memori untukk menyimpa data dan lain sebagainya. Hal ini
sesuai data dari BMKG (2016) bahwa Automatic Rain Gauge tersusun atas
beberapa alat dan komponen yaitu Tipping bucket, data logger, modem komunikasi
berupa GSM, memory card, enclosure, dudukan sensor, catu daya, dan kabe.
Prinsip kerja dari alat Automatic Rain Gauge yaitu menggunakan sensor
alarm yang berbunyi jika curah hujan mencapai tingkat tertentu, pencatatan alat
berupa grafik yang menunjukan besarnya curah hujan. Hal ini didukung oleh
pendapat Kurniawan (2020) bahwa prinsip kerja Automatic Rain Gauge yaitu hujan
yang masuk ke penampung disensor dengan corong sensor. Air akan bergerak
mengisi dua buah bejana yang saling bergantian menampung air hujan. Dimana saat
bucketnya saling berjungkit, secara elektrik terjadi kontak dan menghasilkan nilai
keluaran curah hujan yang tercatat pada penghitung. Automatic Rain Gauge
memiliki kelebihan dan kekurangan dalam menakar curah hujan. Kelebihannya
yaitu dapat menampilkan data jumlah curah hujan setiap waktu, dapat menampilkan
grafik histori data curah hujan, dan dapat mengirim data secara otomatis, sedangkan
kekurangannya yaitu pembelian alat yang sangat mahal dan cepat mudah rusak. Hal
ini sesuai dengan pendapat Bunganean et al. (2013) bahwa Automatic Rain Gauge
memiliki kelebihan yaitu dapat menampilkan data jumlah curah hujan setiap menit,
jam, dan hari, dapat menampilkan grafik histori data curah hujan selama 24 jam,
sedangkan kekurangannya yaitu pembelian alatnya mahal, perawatannya rumit, dan
mudah cepat rusak
40

4.8. Pengukur Tingkat Penguapan Air

4.8.1. Open Pan Evaporimeter

Sumber : Data Primer Praktikum Klimatologi, 2021.


Ilustrasi 18. Open Pan Evaporimeter

Berdasarkan praktikum klimatologi pengamatan alat-alat klimatologi


diperoleh hasil bahwa Open Pan Evaporimeter adalah salah satu alat yang
digunakan untuk mengukur tingkat evaporasi atau penguapan air. Hal ini didukung
dengan pendapat Yasutake et al. (2011) yang menyatakan bahwa Open pan
Evaporimeter merupakan perangkat untuk mengukur tingkat evaporasi atau
penguapan air pada suatu wilayah. Perangkat ini menggabungkan faktor-faktor
iklim seperti suhu, kelembapan, curah hujan, radiasi matahari, dan angin dalam
tingkat evaporasi air. Alat Open Pan Evaporimeter menahan uap air hasil evaporasi
untuk dapat diketahui jumlah atau tingkat evaporasi. Hal ini didukung dengan
pendapat Sirsath et al. (2010) yang menyatakan bahwa Open pan evaporimeter
digunakan untuk menahan uap air hasil evaporasi air yang berada di dalam alat
selama observasi dalam jumlah tertentu untuk menentukan tingkat evaporasi di
suatu wilayah.
Open Pan Evaporimeter umumnya mempunyai dua bentuk yaitu United
State class A dengan bentuk seperti panci evaporation pan dan Sunken Colorado
pan dengan bentuk kubus tanpa penutup di atasnya namun fungsinya tetap sama.
41

Hal ini didukung dengan pendapat Sirsath et al. (2010) yang menyatakan bahwa
Open pan evaporimeter memiliki bentuk yang berbeda – beda di setiap tempat
namun dapat dibedakan menjadi dua bentuk umum, yaitu United State class A
dengan bentuk seperti panci evaporation pan dan Sunken Colorado pan dengan
bentuk kubus tanpa penutup di atasnya. Keduanya memiliki bentuk yang berbeda
dan sedikit perbedaan dalam metode namun memiliki fungsi yang sama yaitu
menilai tingkat evaporasi air. Hasil Open Pan Evaporimeter dapat dimanfaatkan
petani untuk menentukan jumlah air penyiraman tanaman. Hal ini sesuai dengan
pendapat Ertek dan Ahmet (2011) yang menyatakan bahwa hasil Open Pan
Evaporimeter secara tidak langsung dapat menunjukkan jumlah air di dalam tanah
sehingga dapat digunakan oleh petani untuk melakukan penyiraman sesuai dengan
yang dibutuhkan oleh tanaman pertaniannya.

4.9. Pengukur Tingkat Kualitas Udara

4.9.1. High Volume Sampler

Sumber : Data Primer Praktikum Klimatologi, 2021.


Ilustrasi 19. High Volume Sampler

Berdasarkan praktikum klimatologi pengamatan alat-alat klimatologi


diperoleh hasil bahwa High Volume Sampler adalah alat untuk mengumpulkan
sampel air hujan. Hal ini didukung pendapat Sirsath et al. (2010) yang menyatakan
42

bahwa High volume sampler merupakan alat yang digunakan mengumpulkan


sampel debu. Perbedaan high volume sampler dengan low volume sampler terdapat
pada jumlah sampel air yang disimpan. High Volume Sampler dapat menyimpan
lebih banyak sampel air, sampel yang terkumpul dibawa ke laboratorium untuk
diuji tercemar atau tidaknya. Hal ini sesuai dengan pendapat Yasutake et al. (2011)
yang menyatakan bahwa High volume sampler dapat menyimpan sampel air
sebanyak 1500 cm3 sedangkan low volume sampler hanya dapat menyimpan air
sampai 24 cm3. Sampel yang terkumpul dalam alat high volume sampler
selanjutnya dapat dibawa ke laboratorium untuk uji kadar partikel yang terdapat
dalam sampel. Hasil uji kadar partikel sampel dapat menentukan tercemar atau
tidaknya udara di daerah tempat pengambilan sampel air hujan.
High Volume Sampler dibedakan menjadi dua yaitu otomatis dan manual.
High Volume Sampler otomatis tidak perlu dibawa ke laboratorium dan High
Volume Sampler manual harus dibawa ke laboratorium untuk diuji. Hal ini sesuai
dengan pendapat Ertek dan Ahmet (2011) yang menyatakan bahwa High volume
sampler dapat dibedakan menjadi high volume sampler otomatis dan high volume
sampler manual. High volume sampler otomatis dapat membuka bagian penutup
secara otomatis saat terjadi hujan untuk mengumpulkan sampel air hujan dan
melakukan uji kadar partikel dalam sampel secara langsung tanpa harus dibawa ke
laboratorium. Kelebihan dari alat high volume sampler adalah hasil yang diperoleh
dari alat tersebut memiliki tingkat keakuratan yang cukup tinggi dan kekurangan
dari alat high volume sampler adalah dibutuhkan biaya yang tinggi. Hal ini
didukung pendapat Yuwono (2012) yang menyatakan bahwa pengukuran dengan
menggunakan alat high volume sampler memiliki tingkat akurasi cukup tinggi,
tetapi memerlukan biaya cukup mahal karena peralatan yang digunakan masih
diproduksi di luar negeri.
43

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan praktikum Alat-Alat Klimatologi yang telah dilakukan


diperoleh hasil bahwa alat ukur unsur cuaca dan iklim antara lain Gunn-Bellani,
Actinograph Bimetal, Solarimeter dan Automatic Solar Radiation System berfungsi
sebagai alat pengukur radiasi matahari. Campbell Stokes berfungsi sebagai alat
pengukur lama penyinaran matahari. Psikrometer Standar dan Thermohigrogaf
berfungsi sebagai alat pengukur suhu dan kelembaban udara. Thermometer Tanah
Bervegetasi dan Thermometer Tanah Gundul berfungsi sebagai alat pengukur suhu
dan kelembaban tanah. Barometer dan Barograf berfungsi sebagai alat pengukur
tekanan udara. Anemometer dan Wind Force berfungsi sebagai alat pengukur arah
dan kecepatan angin. Ombrometer Observatorium, Ombrometer Tipe Hellman,
Automatic Rain Sampler dan Automatic Rain Gauge berfungsi sebagai alat
pengukur curah hujan. Open Pan Evaporimeter berfungsi sebagai alat pengukur
tingkat penguapan air. High Volume Sampler berfungsi sebagai alat pengukur
tingkat kualitas udara.

5.2. Saran

Saran yang dapat diberikan untuk menunjang hasil praktikum yang lebih
baik adalah gambar-gambar alat klimatologi supaya di ambil lebih jelas agar
praktikan dapat memahami lebih jelas mengenai bentuk dan komponen yang ada di
alat-alat klimatologi tersebut sehingga dalam penulisan atau pembuatan praktikum
jauh lebih baik.
44

DAFTAR PUSAKA

Adhikari, S. 2012. Seasonal and spatial variation of solar radiation in Nepal


Himalayas. J. of Hydrology and Meteorology, 8(1) : 1 – 9.

Andriani dan Ririn. 2016. Pengenalan alat-alat laboratorium mikrobiologi untuk


mengatasi keselamatan kerja dan keberhasilan praktikum. J. Mikrobiologi,
1(1) : 1 – 10.

Arief, L. M. 2012. Monitoring Lingkungan Kerja Tekanan Panas atau Heat. Stress.
Universitas Esa Unggul, Jakarta.

Arisandy, D. Atmi, dan M. Triyanti. 2018. Keanekaragaman jenis vegetasi strata


semak di hutan perlindungan kawasan bukit cogong. J. Pendidikan Biologi
dan Sains, 1(2) : 95 – 105.

As’ari. 2013. Rancang bangun anemometer analog. J. Ilmiah Sains. 11(1) : 1 – 4.

Aurora, R. K., I. Ahmad dan B. P. Singh. 2012. Forecasting late blight of paotato
in Punjab using jhulsacast model. J. Potato, 39(2) : 173 – 176.

Azwar, T. dan A. Kholiq. 2013. Anemometer digital berbasis mikrokontroler


atmega-16. J. Inovasi Fisika Indonesia. 2(3) : 41 – 45.

Banodin, R. 2011. Alat penunjuk arah angin dan pengukur kecepatan angin berbasis
mikrokontroller AT89C51. J. Repetisi. 6(2) : 1 – 7.

Budiarto, A. 2016. Modifikasi Peralatan Sampling Hvas Portabel Untuk Analisis


Total Partikulat Di Udara Ambien. J. Klimatologi. 1(2) : 15 – 20.

Bunganean, W., D. S Krisnayanti dan Y. A. Klaw. 2013. Analisis hubungan tebal


hujan dan durasi hujan pada stasiun klimatologi Lasiana Kota Kupang. J.
Teknik Sipil, 2(2) : 181 – 190.

Cahyono. A.A. 2018. Pemodelan Kapasitas Daya Tampung Folder Jalan Kadri
Oening Berbasis Sistem Informasi Geografis. J. Mahasiswa. 1(1) : 1 – 7.

Daniel, A. A. dan E. E. Odinakachi. 2014. Design, construction and calibration of


a solar radiation measuring meter. Review of Advances in Physics Theories
and Applications, Conscientia Beam, 1(1), 1 – 8.

Derek, O., E. K. Allo., dan N. M. Tulung. 2016. Rancang bangun alat monitoring
kecepatan angin dengan koneksi wireless menggunakan arduino uno. J.
Teknik Elektro dan Komputer, 5(4): 1 – 7.
45

Ertek, Ahmet. 2011. Importance of pan evaporation for irrigation scheduling and
proper use of crop-pan coefficient (Kcp), crop coefficient (Kc) and pan
coefficient (Kp). J. of Agricultural Research, 32 (6) : 6706 - 6718.

Falahnsia, A. R. dan T. Hariyanto. 2013. Pemanfaatan Citra Landsat 7 ETM+ untuk


Menganalisa Kelembaban Hutan Berdasarkan Nilai Indeks Kekeringan. J.
Teknik Pomits, 10(10) : 98 – 107.

Fikrinda, W., dan Murti, T. (2017). Kompleksitas pengaruh temperatur dan


kelembaban tanah terhadap nilai pH tanah di perkebunan jambu biji
varietas kristal (Psidium guajava) Bumiaji, Kota Batu. J. Psidi. 16(3) : 430
– 434.

Gonalez L., J. Galindo, A. Ruiz, dan A. Pedrera. 2014. Magnetic evidence of a


crustal fault affecting a linear laccolith: the guadiana fault and the
Monchique alkaline complex (SW Iberian Peninsula). J. Of Geodynamics.
77(2): 149 – 157.

Guslim. 2009. Agroklimiatolog. USU Press, Medan.

Halla, Sudirman, Rohmi, dan Agrijanti. 2019. Efektivitas Inkubator Portable


sebagai alat inovasi penunjang laboratorium mikrobiologi. J. Analis
Medika Biosains, 6(1) : 66 – 72.

Hamdi, S. 2014. Mengenal lama penyinaran matahari sebagai salah satu parameter
klimatologi. J. Berita Dirgantara, 15(1), 7-16.

Hamdi, Saipul. 2014. Mengenal lama penyinaran matahari sebagai salah satu
parameter klimatologi. J. Berita Dirgantara, 15(1) : 34 – 40.

Hamrin, Vecky, C., Poekoel , dan J. Litouw. 2016. Pengambil sampel air hujan
secara otomatis di bandara sam ratulangi. J. Teknik Elektro dan Komputer,
5(3) : 34 - 39.

Haryono. 2001. Klimatologi. Penebar Swadaya, Jakarta.

Kamus, Zulhendri, dan R. Pratama. 2013. Aplikasi light dependent resistor untuk
pengembangan sistem pengukuran durasi harian penyinaran matahar.
Prosiding SEMIRATA. 1(1) : 1 – 9.

Khaery, M., Pratama, A. H., Wipradnyana, P., dan Ngurah, A. A. 2020.


Perancangan alat ukur tekanan udara menggunakan sensor barometric
pressure 280 (BMP280) berbasis arduino uno. Buletin Fisika 21(1): 14 -
19.

Kurniawan, 2002. “Alat-alat pengukur cuaca”. Bandung.


46

Kurniawansyah, I. Sunan. 2016. Penentuan tingkatan jaminan sterilitas pada


autoklaf dengan indikator biologi spore strip. J. Farmaka, 14(1) : 59 – 69.

Masrikhiyah, Rifatul. 2019. Peningkatan mutu pengetahuan siswa mengenai natural


science di Mi Ikhsaniyah Kupu: Pengenalan dan Praktik Penggunaan
Mikroskop. J. Pengabdian Masyarakat, 2(1): 39-45.

Muin, S. 2012. Penuntun Praktikum Agroklimatologi Unib. Bengkulu. Institut


Pertanian Bogor. Skripsi.

Muldawati. 2013. Prediksi curah hujan daerah sicingin dengan metode arima. J.
Online Agroekoteknologi, 1(3) : 429 – 439.

Muliady, M., dan E. J. Subagya. 2019. Sistem pemetaan udara menggunakan


pesawat fixed wing. TESLA: J. Teknik Elektro. 21(1) : 26 – 35.

Nasution, N. A. Putri, S. Yusnaini, dan A. Niswati. Respirasi tanah pada sebagian


lokasi di hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. J. Agrotek Tropika
3(3) : 427-433.

Nugroho, W. 2012. Pengembangan Sistem Peralatan Pengambil Sampel Air Hujan


Otomatis. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas
Indonesia. Depok.

Nurhamiddin, Fauziah, dan F. M. Sulisa. 2016. Peramalan cuaca menggunakan


metode rantai Markov. J. Biosaintek 2(1) : 16-22

Nwankwo, S., dan M. Nnabuchi. 2015. Global solar radiation measurement in


Abakaliki Ebonyi state Nigeria using locally made pyranometer.”
International Journal of Energy and Environmental Research 3(2): 47-54

Palloan, A., Palloan, A., Wardhana, I., Isnaini, V. A., Wirman, R.P. 2012.

Pardosi, E., Jamilah, dan K.S. Lubis. 2013. Kandungan bahan organik dan beberapa
sifat fisik tanah sawah pada pola tanam padi-padi dan padi semangka. J.
Online Agroekoteknologi.1(3) : 429-439.

Pardosi, E., Jamilah, dan K.S. Lubis. 2013. Kandungan bahan organik dan beberapa
sifat fisik tanah sawah pada pola tanam padi-padi dan padi semangka. J.
Online Agroekoteknologi. 1(3) : 429 – 439.

Perkasa, P. 2019. Use of Global Positioning System (GPS) for basic survey on
students. J. Pendidikan Teknologi dan Kejuruan. 7(1): 22 – 33.
47

Permana, G. R, Rahmawati, E., dan Dzulkiflih. 2015. Perancangan dan pengujian


penakar hujan tipe tipping bucket dengan sensor photo – interrupter
berbasis arduino. J. Inovasi Fisika Indonesia, 4(3) : 71 – 76.

Petonengan, A., J. S. F. Sumarauw, dan E. W. Wuisan. 2016. Pola Distribusi Hujan


Jam-Jaman Di Das Tondano Bagian Hulu. J. Sipil Statik. 4(1) : 21 – 28.

Petonengan, A., Sumarauw, S. F. J., dan E. W. Wuisan. 2016. Pola distribusi hujan
jam-jaman di das tondano bagian hulu. J. Sipil Statik, 4(1): 21 - 28.

Populasi, C. Swastika, P. Palloan, dan N. Ihsan. 2012. Studi tentang komparasi data
tekanan udara pada barometer digital dan Automatic Weather System
(AWOS). J. Sains dan Pendidikan Fisika, 8(3) : 35 – 42.

Prabowo, R., A. Muid, dan R. Adriat. 2018. Rancang bangun alat pengukur
kecepatan angin berbasis mikrokontroler atmega 328p. J. Prisma Fisika.
6(2) : 94 – 100.

Premadi, A dan M. N. Putra. 2014. Perancangan anemometer berbasis internet. J.


Teknik Elektro. 3(1) : 57 – 61.

Priyahita, F., Sugianti, N., dan Aliah, H. 2015. Analisis taman alat cuaca kota
bandung dan sumedang menggunakan satelit terra berbasis python. J. of
Physics, 2(2): 28 – 37.

Pujiastuti, Asih, dan A. Harjoko. 2016. Sistem perhitungan lama penyinaran


matahari dengan metode Otsu Threshold (Studi Kasus: St. Klimatologi
Barongan). J, Compiler 5(2) : 45 – 53.

Rachmadiyanto, A. N. 2018. Peran pengamatan cuaca dalam menunjang data


penelitian di Kebun Raya. J. Warta Kebun Raya, 16 (1) : 63 – 69.

Rachman, A., S. Hadi, dan Sulaeman. 2018. Improved performance of the vapor
compression cooling system using a combination of condensers
evaporative cooling. J. Teknik Mesin. 8(1) : 22 – 26.

Rachman, A., Sulaiman, dan Hadi, S. 2018. Peningkatan kinerja sistem pendingin
kompresi uap menggunakan gabungan kondensor-pendingin evaporatif. J.
Teknik Mesin Institut Teknologi Padang, 8(1): 22 – 26.

Ramlan, D. N., Riry, J, dan Tanasale, V. L. 2019. Inventarisasi jenis gulma di areal
perkebunan karet (Hevea Brasiliensis) pada ketinggian tempat yang
berbeda di negeri liang kecamatan keluk elpaputih kabupaten maluku
tengah. J. Budidaya Pertanian, 15(2) : 80 – 89.
48

Rosma, I. Hasyim, et al. 2017. Automatic solar station for ground-based


measurement of solar energy resource in Pekanbaru City Indonesia.
International Conference on Electrical Engineering and Informatics
(ICELTICs). J. IEEE, 2(3) : 78-81

Sashiomarda, J. Aulia, dan D. Prabowo. 2016. Perancangan peralatan untuk


pengukuran radiasi gelombang pendek matahari. J. Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika, 3(3) : 52 – 59

Satarelli, A., et al. 2012. Heat flux solarimeter. J. Solar energy, 84(12): 2173 –
2178.

Sriworo, B. 2006. Tata Cara Tetap Pelaksanaan Pengamatan dan Pelaporan Data
Iklim dan Agroklimat. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika,
Jakarta.

Sutiknjo, Tutut D. 2005. Petunjuk Praktikum Klimatologi. Fakultas Pertanian


Universitas Kediri, Kediri.

Tjasyono. 2004. Klimatologi. ITB Press, Bandung.

Triatmodjo, B. 2008. Hidrologi Terapan. Beta Offset, Yogyakarta.

Ugurlu N., Mehmet K. 2010. The cooling performance of wet pads and their effect
on reduction of the inside temperature a cage house. J. Turkish of
Agriculture, 24(2) : 79 – 86.

Wardhana, I., Isnaini, V. A., Wirman, R.P. 2012. Implementasi sensor BMP085
pada quadcopter berbasis mikrokontroler. J. Mikrotek, 2 (1) : 19 – 24.

Wirjohamidjojo, S. 2009. Praktek Meteorologi Kelautan, Badan Meteorologi


Klimatologi dan Geofisika, Jakarta.

Woodward, F. I. dan J. E. Sheehy. 2015. Principles and Measurements in


Environmental Biology. Butterworth & Co, Ltd. Boston.

Yasutake, Daisuke, M. Ishikawa, M. Mori, K. Miyauchi, and M. Kitano. 2011.


Development of a supersonic pan-evaporimeter for dynamic analysis of
evaporative demand in a greenhouse. J. Agricultural Meteorology, 67(3) :
193 – 198.
ACARA II

PENGAMATAN PERAWANAN
50

BAB I

PENDAHULUAN

Awan merupakan kumpulan titik-titik air dan kristal air yang melayang-
layang di atmosfer. Awan dapat terbentuk jika volume udara lembab dan
mengalami pendinginan sampai di bawah temperatur titik embunnya. Siklus
terbentuknya awan dimulai dengan proses pemanasan permukaan bumi oleh sinar
matahari, kemudian terjadi penguapan dan akan terjadi kondensasi uap air, yaitu
perubahan uap air menjadi titik air. Awan dapat dimanfaatkan sebagai acuan dalam
pembuatan prakiraan cuaca maupun untuk peringatan dini cuaca ekstrem.
Awan memiliki banyak macam bentuk dan karakteristik. Awan
berdasarkan ketinggiannya dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu awan rendah,
awan menengah, dan awan tinggi. Awan rendah berada pada ketinggian di bawah
3000 meter. Awan rendah terdiri dari awan stratocumulus, awan nimbostratus, dan
awan stratus. Awan ini terdiri dari partikel-partikel es. Awan menengah berada pada
ketinggian 3000-6000 meter. Awan yang termasuk awan menengah adalah awan
altocumulus dan awan altostratus. Awan ini terbentuk di ketinggian rendah
sehingga tercipta dari butiran air. Awan tinggi berada pad ketinggian di atas 8000
meter. Jenis awan ini terdiri dari awan cirrus, awan cirrostratus, awan cirrocumulus,
dan awan cumulonimbus. Awan-awan ini mengandung air yang sangat dingin, es,
dan kristal es.
Tujuan dilakukannya praktikum Klimatologi Acara Pengamatan
Perawanan adalah untuk mengetahui jenis – jenis awan, mengetahui kondisi cuaca
di suatu lokasi berdasarkan pengamatan awan yang dilakukan, dan mengetahui tipe-
tipe awan dan siklus awan. Manfaat dari praktikum Klimatologi Acara Pengamatan
Perawanan yaitu dapat mengetahui jenis-jenis awan dan kondisi di suatu daerah
berdasarkan pengamatan awan yang dilakukan seperti suhu, kelembaban, bentuk
awan, siklus awan.
51

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tipe-Tipe Awan

Awan merupakan kumpulan beberapa pertikel yang berupa air maupun es


dimana memiliki ukuran partikel yang besa yang berada di atmosfer. Awan
merupakan kumpulan besar dari titik-titik air atau kristal-kristal es yang halus di
atmosfer (Handoko, 2017). Awan bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia
dengan adanya ketersediaan air yang terjadi pada proses turunnya hujan ke bumi.
Awan menjadi penting karena awan merupakan fasa yang penting dalam siklus air
di atmosfer. Awan bertindak sebagai perwujudan uap air menjadi air yang sangat
dibutuhkan manusia, karena tanpa air manusia dipastikan tidak dapat
mempertahankan hidup di Bumi (Tjasyono, 2012).
Awan terdiri dari beberapa tipe dari ketinggiannya. Awan juga
diklasifikasikan berdasarkan ketinggiannya yakni pada daerah tropis, ketinggian 0
sampai dengan 2000 meter adalah awan rendah, kemudian awan sedang dengan
ketinggian 2000-6000 meter, dan terakhir adalah awan tinggi dengan ketinggian
6000 -18000 meter (Kristanto et al., 2017). Awan Cumulus dan cumulunimbus
pada perkembangannya berada pada awan vertikal. Awan dengan perkembangan
vertikal yaitu awan jenis Cumulus dan Cumulunimbus. Awan jenis ini biasanya
memiliki cloud base 1000 m untuk cumulus dengan cloud top bisa mencapai 12000
m atau 12 Km (Ahrens, 2016).

2.1.1. Awan Horizontal

Awan horizontal adalah awan yang terbentuk melalui pergerakan udara


dan berbentuk horizontal (Pratikasari, 2011). Awan horizontal dengan tipe awan
rendah terletak pada ketinggian kurang dari 2 km penamaannya ditandai dengan
awalan “strato”. Awan horizontal dengan tipe awan menengah, mempunyai
52

ketinggian dasar awan antara 2 dan 6 km, biasanya dipakai awalan kata “alto”.
Awan horizontal dengan tipe awan tinggi terletak pada ketinggian 6 km hingga 18
km, penamaannya ditandai dengan awalan “cirro” (Kristanto et al., 2017).
Awan horizontal memiliki beberapa jenis awan yang terbagi atas awan
rendah, awan sedang, dan awan tinggi (Miftahul, 2019). Tipe awan horizontal
dibagi berdasarkan ketinggian masing-masing tipe awan. Jenis awan rendah terdiri
dari cumulus (Cu), stratocumulus (Sc), stratus (St), kabut, dan fractostratus (Fs).
Jenis awan menengah terdiri dari altocumulus (Ac), altostratus (As), dan cumulus
yang menjulang tinggi. Jenis awan tinggi terdiri dari cirrus (Ci), cirrostratus (Cs),
cirrocumulus (Cc), dan cumulonimbus (Cb). Kelas awan dipisahkan oleh sebagian
kecil awan dan tinggi awan. (Nardi dan Nazori, 2012).

Awan Rendah Awan Sedang Awan Tinggi


Sumber : Buku Pengantar Meteorologi, 2019.

2.1.1.1. Awan Rendah

Awan rendah adalah awan yang termasuk dalam kategori awan horizontal.
Sesuai dengan namanya, awan rendah merupakan jenis awan dengan posisi
terendah, yaitu di bagian troposfer yang sangat dekat dengan bumi dan memiliki
tingkat potensi yang tinggi akan terjadinya hujan (Adrian et al., 2011). Tipe awan
rendah memiliki ketinggian dasar kurang dari 3 km. Awan rendah tersusun atas
titik-titik air dan terdapat banyak jenis, yaitu awan Stratus, Stratocumulus, dan
Nimbostratus (Karyati, 2019).
Stratocumulus adalah jenis awan rendah yang memiliki tipe tebal, luas,
dan bergumpal, serta memiliki bentuk kubah yang lebih kecil yang memiliki
53

ketinggian dibawah 2 km. Awan ini bergerak dalam beberapa bentuk yaitu yang
bergerak sendirian disebut cumulus, dan yang bergerak Bersama disebut
stratocumulus. (Suryanto dan Luthfian, 2019). Stratocumulus memiliki lapisan
unsur berbentuk bulatan pipih panjang kelabu dan biasanya langit yang dipenuhi
awan Stratocumulus tampak bergelombang atau berombak. Awan stratocumulus
memiliki beberapa jenis, diantaranya adalah stratiformis, lentikularis dan
undulatus. Stratocumulus tersusun atas tetesan air yang menghasilkan hujan
berintensitas kecil (Tjasyono, 2012).
Stratus termasuk dalam kategori awan rendah tapi tidak menyentuh
permukaan bumi dengan ketinggian di bawah 2 km dan biasanya berwarna kelabu.
Dasar awan stratus bisa menutupi puncak lereng gunung atau seringkali disebut
sebagai kabut gunung dan atau yang menyentuh permukaan bumi biasa disebut
kabut. Matahari bisa tidak terlihat jika ditutup oleh Stratus yang tebal dan
sebaliknya dapat terlihat jika ditutupi dengan Stratus yang tipis. Awan Stratus yang
tebal tersusun atas tetesan hujan yang menghasilkan gerimis tanpa halo (Tjasyono,
2012). Stratus bersifat amorphous atau tidak berbentuk atau keabu-abuan. Lapisan
awan ini sering menyelimuti puncak gunung, namun kadang turun ke tanah atau ke
pantai. Stratus juga dapat membawa hujan rintik-rintik atau dalam bentuk salju, dan
dapat terlihat di atas puncak gunung (Suryanto dan Luthfian, 2019).
Nimbostratus merupakan awan rendah yang tidak memiliki bentuk dan
berwarna gelap seperti kelabu tua yang memiliki ketinggian di antara 600 m – 3
km. Nimbostratus adalah lapisan awan yang luas dan muncul dalam keadaan gelap
tak berbentuk, serta menurunkan hujan lebat (Suryanto dan Luthfian, 2019).
Nimbostratus memiliki lapisan yang cukup tebal sehingga bisa menutupi matahari
secara penuh dan keseluruhan. Nimbostratus terdiri dari tetes awan dan hujan.
Curah hujan dapat mencapai permukaan atau berbentuk virga dan berbentuk hujan
kontinu yang berarti secara terjadi terus menerus (Tjasyono, 2012).
54

Awan Stratocumulus Awan Stratus Awan Nimbostratus


Sumber : Nugroho, 2021

2.1.1.2. Awan Sedang

Awan sedang merupakan awan yang terletak pada ketinggian yang


beragam, dimana pada kawasan tropis jenis awan ini terdapat pada ketinggian 2-8
km, pada kawasan beriklim sedang terletak pada ketinggian 2-7 km, dan kawasan
yang terletak di kutup utara terletak di ketinggian 2-4 km. Awan sedang umumnya
berbentuk awan yang berlapis tebal dan berwarna hitam. Awan sedang memiliki
ciri warna putih hingga abu-abu dan bergumpal (Kristanto et al., 2017). Awan
sedang terbagi ke dalam beberapa bagian yang berbeda berdasarkan jenis gumpalan
atau lapisannya. Awan sedang terdiri dari awan altocumulus (awan bergumpal
tebal) dan awan altostratus (awan berlapis tebal) (Cahyono, 2017).
Awan Altocumulus (ACu) terletak pada ketinggian 4.000 meter hingga
6.000 meter. Awan Altocumulus (ACu) memiliki bentuk seperti bola kapas yang
bergandengan. Awan ACu terjadi pada saat massa udara stabil, dan kering tertiup
oleh angin kemudian berkumpul pada satu titik. Awan ACu merupakan salah satu
awan yang dapat menimbulkan hujan (Nugraheny, 2015). Altocumulus terbentuk
karena adanya turbulensi atau konveksi di lapisan atmosfer menengah yang
terbentuk dari Cirrocumulus yang menebal dan dari transformasi Stratocumulus,
Altostratus dan Nimbostratus, atau terbentuk dari pembentangan awan Cumulus
dan Cumulonimbus. Altocumulus dapat juga terbentuk karena efek orografik lokal
udara lembap dalam bentuk lensa lentikularis (Tjasyono, 2012).
Altostratus (As) adalah awan yang berbentuk lembaran dan sering
berbentuk satu struktur berserat. Awan Altostratus (ASt) merupakan awan dengan
55

bentuk yang melebar. Lebar yang dimiliki oleh awan ini dapat menutupi seluruh
bagian langit yang tampak dari bumi. Awan Altostratus terbentuk pada saat saat
tertentu. Terbentuknya awan Altostratus hanya terbentuk pada sore hingga matahari
terbit. Awan Altostratus merupakan jenis awan yang membawa potensi hujan
ringan (Nugraheny, 2015). Altostratus terdiri dari tetes air dan kristal es dengan
mengandung tetes hujan yang dapat menimbulkan gejala virga yaitu hujan yang
tidak sampai ke permukaan bumi karena tetes-tetes hujan yang jatuh menguap di
atmosfer. Altostratus dapat terbentuk dari Cirrostratus yang menebal. Altocumulus
yaitu dari kristal es yang jatuh dari Altocumulus, oleh pembentangan bagian tengah
atau atas Cumulonimbus (Tjasyono, 2012).

Altocumulus Altostratus
Sumber : Buku Pengantar Meteorologi, 2019.

2.1.1.3. Awan Tinggi

Awan Tinggi merupakan awan yang termasuk ke dalam awan horizontal.


Awan tinggi terdiri dari awan cirrus, cirrostratus, dan cirrocumulus. awan tinggi
dengan ketinggian 6000 -18000 m dengan jenis awan Cirrus, Cirrocumulus, dan
Cirrostratus (Kristanto et al., 2017). Pengaruh awan tinggi juga bisa berdampak
pada sebaran data. Pertumbuhan awan tinggi juga dapat mempengaruhi data
sebaran abu vulkanik gunung (Abdillah dan Hadi, 2014)
Awan tinggi merupakan awan tertinggi dan letaknya paling atas. Awan
Cirrus adalah awan yang berdiri sendiri dan halus serta tidak berpotensi
menimbulkan hujan (Tjasyono, 2012). Cirrus berada pada ketinggian 18.000-
40.000 kaki dari permukaan tanah, terlihat tipis dan pendek. Cirrus yang merupakan
56

awan tinggi yang jarak tinggi dasar awan lebih dari 6000 meter. Awan cirrus
memiliki ukuran yang kecil, tidak padat, dann tekstur halus. Secara fisis awan cirrus
terdiri dari kristal-kristal es (Avia dan Haryanto, 2013)
Awan cirrostratus berukuran tipis dan luas, serta awan cirrocumulus
memiliki bentuk bergumpal – gumpal. Awan Cirrostratus merupakan jenis awan
tinggi, yang berada pada ketinggian di atas 6 kilometer (Niyati et al., 2018). Awan
cirrostratus merupakan awan transparant yang berada pada ketinggian 18.000-
40.000 kaki, menutupi luas area dari langit. Awan cirrostratus terkadang
membentuk lengkungan dari sekitar cahaya dari cahaya bulan atau cahaya matahari
yang mengidentifikasi kehadiran awan cirrostarus pada langit (Sufy et al., 2017).
Awan Cirrocumulus adalah awan yang memiliki bentuk terputus – putus
terdiri dari kristal es dengan bulatan – bulatan kecil dan tidak memiliki bayangan.
Cirrocumulus berada pada ketinggian 6.000 – 12.000 meter diatas permukaan
tanah. (Klimatologi Pertanian, 2019). Awan Cirrocumulus dapat terlihat sering
pada saat musim panas dan kadang pada saat hujan dan salju. Awan Cirrocumulus
berbentuk gumpalan bulat teratur seperti ombak yang berjajar atau berkelompok
yang berwarna putih (Wahyuningsih dan Payani, 2018)

Awan Cirrus Awan Cirrocumulus Awan Cirrostratus


Sumber: Buku Klimatologi Pertanian, 2019

2.1.2. Awan Vertikal

Awan vertikal merupakan awan yang terbentuk berupa garis lurus secara
vertikal keatas. Awan vertikal dihasilkan oleh kantong udara yang cukup hangat
dan udara lembab yang masih mampu naik sampai ketinggian yang cukup tinggi
melewati arus kondensasi (Kristanto, 2017). Awan ini terdiri atas butir-butir air di
57

bagian paling bawah. Awan ini terdiri dari awan yang menjulang tinggi secara
vertikal. Biasanya awan vertikal terletak pada ketinggian yang lebih dari 500 mdpl.
Awan vertikal rata-rata berada pada ketinggian antara 450 hingga 2.000 mdpl atau
setara dengan 1.456 hingga 6.562 kaki. Awan vertikal sangat tinggi dan
menjangkau banyak awan. Ketinggian awan vertikal berkisar antara 500 m – 1500
m. Awan vertikal apabila dipengaruhi oleh pertumbuhan dari berbagai jenis awan
maka akan semakin besar udara yang naik keatas khususnya pada lapisan bawah
awan maka semakin besar pula pertumbuhan awannya (Nugraheny, 2015).
Awan cumulonimbus mudah dikenali dari penampilannya yang memang
beda dari yang lain. Awan cumulonimbus memiliki ciri-ciri seperti kapas,
puncaknya sangat tinggi, awannya membaca membawa hujan besar, terkadang
awan cumulonimbus mempunyai tonjolan seperti gelembung pada bagian sisi
bawahnya (Maya, 2017). Awan cumulus merupakan awan tebal dengan puncak
tinggi dan biasanya terbentuk pada siang hari. Jika awan ini berhadapan dengan
matahari, maka akan terlihat terang dan jika memperoleh sinar hanya sebagian,
maka akan menimbulkan bayangan berwarna kelabu (Nugraheny, 2015).

Cumulus Cumulonimbus
Sumber : (Nugroho, 2021)

2.1. Awan Cumulonimbus

Awan Cumulonimbus merupakan jenis awan yang tumbuh secara vertikal


dan mengandung uap air yang tunggi serta aktivitasnya menghasilkan badai petir
(thunderstorm). Awan Cumulonimbus awan yang memiliki suhu sangat rendah.
Suhu yang dimiliki oleh awan Kumulonimbus dapat mencapai -100◦ C. Suhu dalam
58

awan cumulonimbus memicu turunnya sebuah hujan es. Suhu dingin yang dimiliki
oleh awan cumulonimbus menyebabkan uap air yang terkumpul berubah menjadi
butiran es. Awan Cumulonimbus salah satu jenis awan konvektif yang banyak
diketahui. Awan Cumulonimbus yang dapat menimbulkan berbagai fenomena
cuaca ekstrim seperti angin kencang, hujan lebat, badai guntur, puting beliung, dan
lain-lain (Chaeran dan Harcici 2020). Awan ini tumbuh secara vertikal dengan
tinggi dasar umumnya kurang dari 1000 meter dan tinggi puncak mencapai 50.000
kaki. Awan Cumulonimbus dapat terbentuk dari akibat turbulensi permukaan,
namun dapat juga terbentuk karena pola angin konvergen, daerah front, dan
lainlain. (Ribudiyanto dan Sucahyono, 2013).
Awan cumulus adalah awan yang terlihat terpisah-pisah atau umumnya
memiliki bentuk yang padat dengan batas-batas yang jelas. Awan ini berkembang
secara vertikal dalam bentuk bulat, kubah atau seperti menara. Teksturnya kasar.
Bentuk dari awan ini sering disamakan dengan bentuk ombak yang berada pada
pasir pantai (Rozi, 2019). Pada awan cumulonimbus terdapat batas tepi warna abu-
abu yang memiliki batas aturan dalam image seperti panjang gelombang, frekuensi
dan intensitas warna. Selain itu, warna gambar dapat digunakan juga sebagai dasar
untuk menentukan parameter terkait dengan kondisi awal akan terjadinya angin
puting beliung (Wanayumini, 2021).

Cumulonimbus
Sumber: Buku Klimatologi Pertanian, 2019
59

2.2. Pengaruh Awan terhadap Cuaca dan Iklim

Cuaca merupakan keadaan udara pada saat tertentu dan di wilayah


tertentu pada jangka waktu yang singkat. Iklim adalah keadaan cuaca rata- rata
dalam jangka waktu yang lama dan meliputi wilayah yang luas. Secara umum unsur
- unsur yang mempengaruhi keadaan cuaca dan iklim suatu daerah atau wilayah
yaitu suhu udara, angin, tekanan udara, kelembaban udara, awan dan curah hujan
(Tjasjono, 2012). Awan berhubungan erat dengan cuaca, dari jenis awan dan
bentuk awan kita bisa memprediksi cuaca yang sedang terjadi ataupun yang akan
terjadi. Awan juga berfungsi untuk memantulkan sinar matahari dan juga
menangkap radiasi infra merah yang datang dari permukaan. Awan adalah indikator
yang menyatakan kondisi atmosfer setempat, tinggi awan, tipe dan luas lapisan
awan (Samarantika et al., 2018).
Bencana alam tidak dapat dicegah namun dengan mempelajari tanda tanda
akan terjadinya bencana seperti tsunami, badai, gunung meletus dapat mengurangi
kerusakan dan korban jiwa dalam bencana. Seperti keberadaan awan gelap yang
menandakan hujan badai ataupun tsunami sehingga kita bisa mempersiapkan untuk
evakuasi diri dari bencana alam yang akan terjadi (Saputra et al., 2015). Selain
berhubungan dengan cuaca, awan berhubungan erat dengan angin, karena factor
cepat lambatnya pergerakan angin membuat terbentuknya jenis-jenis awan.
Pergerakan awan beriringan dengan pergerakan angin, sehingga awan berguna
untuk petunjuk arah angin, karena dengan melihat pergerakan awan, dapat
diketahui pasti ke mana arah angin bergerak dan kecepatannya (Sari, 2019).

2.3. Siklus Awan

Awan merupakan faktor penting dalam pengaruh perubahan cuaca di


bumi. Pembentukan awan di atsmosfer merupakan faktor penting yang
mempengaruhi cuaca bumi (Baskoro et al., 2010). Siklus awan menujukkan
pergantian awan di suatu wilayah. Siklus Awan berhubungan erat dengan siklus
hidrologi yang menjadi sumber utama untuk air hujan. Pembentukan awan menjadi
60

salah satu tahapan dari masing-masing tahapan siklus hidrologi. Dinamika siklus
hidrologi salah satu sumber air utama hujan. Secara alami hujan terjadi dari proses
kondensasi uap air di udara yang selanjutnya membentuk awan (Mulyono, 2014).
Proses siklus awan salah satunya yaitu awan konvektif yaitu awan yang
terbentuk akibat dari proses konveksi dari pemanasan surya. Awan konvektif
merupakan awan yang dihasilkan oleh proses konveksi akibat dari pemanasan
radiasi surya. (Syaifullah, 2011). Udara, suhu dan kelembapan memiliki pengaruh
besar dalam siklus awan. Udara makin lama akan menjadi semakin penuh dengan
uap air, titik-titik air dalam awan akan menjadi semakin besar dan awan itu akan
menjadi semakin berat, dan perlahan-lahan daya tarikan bumi menariknya ke bawah
dan turunlah hujan, namun jika titik-titik air tersebut bertemu udara panas, titik-titik
itu akan menguap dan lenyaplah awan itu. Hal ini yang menyebabkan awan itu
selalu berubah-ubah bentuknya. Air yang terkandung di dalam awan silih berganti
menguap dan mencair. Hal ini yang menyebabkan kadang-kadang ada awan yang
tidak membawa hujan (Karyati, 2019).
61

BAB III

MATERI DAN METODE

Praktikum Klimatologi acara Pengamatan Perawanan dilaksanakan pada


tanggal 14 September 2021 hingga 27 September 2021 di Jalan Nangka, Kelurahan
Betokan, Kecamatan Demak di halaman depan rumah, di samping rumah, dan di
belakang rumah.

3.1. Materi

Materi yang digunakan pada praktikum klimatologi dengan acara


Pengamatan Perawanan terdiri dari alat dan bahan. Bahan yang digunakan terdiri
dari awan, suhu, dan kelembaban. Alat yang digunakan adalah Termohigrograf
untuk mengukur suhu dan kelembaban, kamera untuk mendokumentasikan awan,
dan alat tulis untuk mencatat data suhu dan kelembaban.

3.2. Metode

Metode yang digunakan dalam praktikum pengamatan perawanan yaitu


Lokasi pengamatan awan dipilih dengan tiga waktu pengamatan yang berbeda yaitu
pagi, siang, dan sore. Pengamatan perawanan dilakukan selama empat belas hari
dengan intensitas lima menit per pengamatan, dimana suhu dan kelembapan diukur
dengan alat thermohigrograf dan kondisi awan difoto dengan kamera. Siklus awan
diamati dimana dilakukan pengamatan selama tiga puluh menit disalah satu hari
pengamatan
62

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengamatan Perawanan Minggu ke-I

Berdasarkan pengamatan awan, dan pencatatan indikator suhu,


kelembaban, dan curah hujan yang tampak pada minggu ke-I didapatkan
pengelompokan data berdasarkan tabel berikut:

Tabel 1. Pengamatan Perawanan Minggu ke-I


Hari Waktu pengamatan Rata-rata Rata-rata
ke- Pagi Siang Sore suhu kelemba
(°C) ban (%)
1. 28,1 85

Awan Awan stratus Awan


altocumulus altostratus
2. 30,1 78,3

Awan cirrus Awan Awan cirrus


cirrostratus
3. 30,1 75,6

Awan Awan cumulus Awan


altocumulus cirrocumulus
4. 29,3 78,6

Tidak berawan Awan stratus Awan cumulus


63

5. 31,8 64

Tidak berawan Awan cumulus Tidak berawan

6. 30,4 63

Tidak berawan Awan stratus Awan


altostratus

33,9 61,6
7.

Awan cirrus Tidak berawan Awan cumulus


Rata-rata (Minggu ke-I) 30,5 72,3
Sumber: Data Primer Praktikum Klimatologi, 2021.

Berdasarkan pengelompokan data pada tabel diatas, dapat diketahui bahwa


rata-rata suhu dan kelembaban minggu ke I di lingkungan pengamatan adalah 30,50
C dan 72,3% , dan jenis awan yang paling sering muncul dalam pengamatan satu
minggu adalah awan jenis Cumulus, berdasarkan analisis terhadap pengaruh tipe
awan terhadap tingkat suhu dan kelembaban, dapat dikatakan bahwa jenis awan
Cumulus yang paling sering muncul pada pengamatan satu minggu mempengaruhi
rata-rata suhu dan kelembaban yang dicatat. Hal ini disebabkan karena suhu akan
mempengaruhi proses pembentukan jenis-jenis awan. Hal ini didukung oleh
pendapat Karyati (2019) yang menyatakan bahwa suhu dan kelembaban yang
terjadi akan mempengaruhi tebal tipisnya awan,atau tinggi rendahnya awan. Awan
cumulus termasuk tipe awan yang rendah dengan ketinggian tertentu. Hal ini sesuai
dengan pendapat Ribudiyanto dan Sucahyono (2013) yang menyatakan bahwa
awan cumulus tumbuh secara vertikal dengan tinggi dasar umumnya kurang dari
1000 meter dan tinggi puncak mencapai 50.000 kaki.
Awan cumulus termasuk awan rendah yang tebal, dan bergumpal seperti
kapas, sesuai dengan namanya awan ini berada di posisi yang rendah . Hal ini sesuai
dengan pendapat Suryanto dan Luthfian (2019) yang menyatakan bahwa awan
64

cumulus merupakan awan yang memiliki tipe tebal, luas, dan bergumpal, serta
memiliki bentuk kubah yang lebih kecil dan awan ini bergerak dengan sendirian.
Awan cumulus merupakan awan vertikal yang memiliki tekstur kasar dengan
bentuk yang terpisah-pisah dan dengan batas-batasan yang jelas. Hal ini didukung
oleh pendapat Rozi (2019) yang menyatakan bahwa awan cumulus adalah awan
yang terlihat terpisah-pisah atau umumnya memiliki bentuk yang padat dengan
batas-batas yang jelas. Awan ini berkembang secara vertikal dalam bentuk bulat,
kubah atau seperti menara dan mempunyai tekstur yang kasar. Bentuk dari awan ini
sering disamakan dengan bentuk gumpalan kapas.

4.2. Pengamatan Perawanan Minggu ke-II

Berdasarkan pengamatan awan, dan pencatatan indikator suhu,


kelembaban, dan curah hujan yang tampak pada minggu ke-II didapatkan
pengelompokan data berdasarkan tabel berikut:

Tabel 2. Pengamatan Perawanan Minggu ke-II


Hari Waktu pengamatan Rata-rata Rata-rata
ke- Pagi Siang Sore suhu kelemba
(°C) ban (%)
1.

31,3 70
Awan Awan Awan
altocumulus cirrocumulus altostratus
2.
30,4 77,3

Awan cirrus Awan cirrus Awan


altostratus
3.
31 71,3

Awan cirrus Awan cumulus Awan stratus


65

4.
31,2 72

Awan cirrus Awan cumulus Awan cumulus


5.

32,6 70,6

Awan Awan cumulus Awan cumulus


altocumulus

6. 28,9 82,6

Awan stratus Awan Awan


cirrocumulus altosratus

7.
32,5 76

Awan cirrus Tidak berawan Awan cumulus


Rata-rata (Minggu ke-II) 31,1 74,2
Sumber: Data Primer Praktikum Klimatologi, 2021.

Berdasarkan pengelompokan data pada tabel diatas, dapat diketahui bahwa


rata-rata suhu dan kelembaban minggu ke II di lingkungan pengamatan adalah 31,10
C dan 74,2 % , dan jenis awan yang paling sering muncul dalam pengamatan satu
minggu adalah awan jenis Cumulus, berdasarkan analisis terhadap pengaruh tipe
awan terhadap tingkat suhu dan kelembaban, dapat dikatakan bahwa jenis awan
Cumulus yang paling sering muncul pada pengamatan satu minggu mempengaruhi
rata-rata suhu dan kelembaban yang dicatat. Hal ini disebabkan karena kenaikan
uap air yang mencapai suhu rendah akan membentuk atau menjadi awan. Hal ini
didukung oleh pendapat Anggreni et al. (2018) yang menyatakan bahwa jika suhu
lingkungan sama dengan suhu titik embun akan menyebabkan uap air naik, ketika
uap air itu naik sampai suhu rendah di udara dengan ketinggian tertentu maka akan
membeku dan terjadilah awan. Awan cumulus termasuk awan rendah dan tebal,
sesuai dengan namanya awan ini berada di posisi yang rendah . Hal ini sesuai
dengan pendapat Suryanto dan Luthfian (2019) yang menyatakan bahwa awan
66

cumulus merupakan awan yang memiliki tipe tebal, luas, dan bergumpal, serta
memiliki bentuk kubah yang lebih kecil dan awan ini bergerak sendirian.
Awan cumulus merupakan awan vertikal yang teksturnya kasar dengan
bentuk yang terpisah-pisah dengan batas-batas yang jelas. Hal ini didukung oleh
pendapat Rozi (2019) yang menyatakan bahwa awan cumulus adalah awan yang
terlihat terpisah-pisah atau umumnya memiliki bentuk yang padat dengan batas-
batas yang jelas. Awan ini berkembang secara vertikal dalam bentuk bulat, kubah
atau seperti menara dan mempunyai tekstur yang kasar. Bentuk dari awan ini sering
disamakan dengan bentuk gumpalan kapas dana wan ini terjadi pada siang hari.
Awan cumulus termasuk tipe awan yang rendah dengan ketinggian tertentu. Hal
ini sesuai dengan pendapat Ribudiyanto dan Sucahyono (2013) yang menyatakan
bahwa awan cumulus tumbuh secara vertikal dengan tinggi dasar umumnya kurang
dari 1000 meter dan tinggi puncak mencapai 50.000 kaki.

4.3. Perbandingan Pengamatan Minggu I dan II

Berdasarkan kedua kelompok pengamatan minggu ke-I dan II yang telah


dibahas, dapat dibandingkan hasil pengamatannya berdasarkan tabel dibawah ini:

Tabel 3. Perbandingan Pengamatan Minggu ke I dan II


Paramater Minggu ke I Minggu ke II
Suhu (°C) 30,54 31,1
Kelembaban (%) 72,3 74,2

Jenis awan yang paling Awan Cumulus Awan Cumulus


sering muncul
Sumber: Data Primer Praktikum Klimatologi, 2021.

Berdasarkan perbandingan pengamatan minggu ke I dan II, dapat


dianalisis bahwa perbandingan pengamatan minggu ke I dan II berdasarkan
parameter yang dicatat memiliki hasil yang tidak jauh berbeda. Hal ini disebabkan
karena pada saat pengamatan cuacanya berawan dan iklim basah. Hal ini sesuai
dengan pendapat Hidayah dan Quina (2017) yang menyatakan bahwa cuaca dan
67

iklim tertentu di berbagai daerah akan mempengaruhi proses pertumbuhan awan.


Awan yang sering muncul pada pengamatan minggu pertama dan minggu kedua
yaitu awan cumulus dengan bentuk seperti gumpalan kapas. Hal ini sesuai dengan
pendapat Rozi (2019) yang menyatakan bahwa awan cumulus adalah awan yang
terlihat terpisah-pisah atau umumnya memiliki bentuk yang padat dengan batas-
batas yang jelas. Bentuk dari awan ini sering disamakan dengan bentuk gumpalan
kapas.
Suhu dan kelembaban berdasarkan pengamatan tidak jauh berbeda karena
pembentukan awan pada minggu pertama dan minggu kedua hampir sama. Hal ini
sesuai dengan pendapat Baskoro et al. (2010) yang menyatakan bahwa
pembentukan awan di atsmosfer merupakan faktor penting yang mempengaruhi
cuaca di bumi. Awan yang sering muncul pada pengamatan kedua yaitu awan
cumulus. Awan cumulus merupakan awan vertikal yang teksturnya kasar dengan
bentuk yang terpisah-pisah dengan batas-batas yang jelas. Hal ini didukung oleh
pendapat Rozi (2019) yang menyatakan bahwa awan cumulus adalah awan yang
terlihat terpisah-pisah atau umumnya memiliki bentuk yang padat dengan batas-
batas yang jelas.

4.4. Siklus Awan

Berdasarkan pengamatan siklus awan dan pencatatan indikator suhu,


kelembaban dan curah hujan yang tampak setiap lima menit sekali pada pagi, siang
dan sore hari pengelompokan data berdasarkan tabel berikut:
68

Tabel 4. Pengamatan Siklus Awan


Waktu Pengamatan Rata-
Rata-rata
Menit rata
Kelemba
ke- Suhu
Pagi Siang Sore pan (%)
(oC)

5 28,9 82,6
Awan stratus Awan Awan altostarus
cirrocumulus

10 29,5 82,6
Awan stratus Awan Awan altosratus
cirrocumulus

15 29,3 81,3
Awan sratus Awan Awan cirrus
cirrocumulus

20 29,2 83
Awan sratus Awan Awan cirrus
cirrocumulus

29,5 83,6
25
Awan sratus Awan cirrus Awan cirrus

29,5 83,6
30
Awan sratus Awan cumulus Awan cirrus
Rata-rata 29,3 82,7
Sumber : Data Primer Praktikum Klimatologi, 2021.
69

Berdasarkan pengelompokkan data pada tabel di atas, dapat diketahui


bahwa rata-rata suhu dan kelembaban udara selama 30 menit pada waktu
pengamatan pagi, siang dan sore di lingkungan pengamatan yaitu sebesar 29,3°C
dan 82,7%. Pergerakan awan yang terjadi pada pagi hari adalah awan stratus,
pergerakan awan pada siang hari adalah awan cirrocumulus – awan cirrus – awan
cumulus, sedangkan pergerakan awan sore hari yaitu awan altostratus – awan
cirrus. Pada tabel di atas menunjukkan bahwa suhu dan kelembaban udara selama
30 menit pada pagi hari, siang hari, dan sore hari termasuk dalam suhu rendah dan
kelembaban yang tinggi karena pada saat itu iklim basah atau hujan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Mulyono (2014) yang menyatakan bahwa siklus awan
menujukkan pergantian awan di suatu wilayah. Siklus Awan berhubungan erat
dengan siklus hidrologi yang menjadi sumber utama untuk air hujan. Ketika hujan
terjadi maka suhu udara akan menjadi rendah atau terasa dingin. Cuaca merupakan
keadaan udara pada waktu dan tempat tertentu yang selalu berubah-ubah kapan saja
dan awan menjadi faktor utama dalam perubahan cuaca . Hal ini sesuai dengan
pendapat Baskoro et al. (2010) yang menyatakan bahwa pembentukan awan di
atsmosfer merupakan faktor penting yang mempengaruhi cuaca bumi.
Awan stratus termasuk awan yang rendah dengan warna kelabu, awan
stratus yang tebal dapat menutupi matahari, sedangkan yang tipis tidak menutupi
matahari. Hal ini sesuai dengan pendapat Tjasyono (2012) yang menyatakan bahwa
awan tratus termasuk dalam kategori awan rendah tapi tidak menyentuh permukaan
bumi dan biasanya berwarna kelabu. Dasar awan stratus bisa menutupi puncak
lereng gunung atau seringkali disebut sebagai kabut gunung dan atau yang
menyentuh permukaan bumi biasa disebut kabut. Matahari bisa tidak terlihat jika
ditutup oleh Stratus yang tebal dan sebaliknya dapat terlihat jika ditutupi dengan
Stratus yang tipis. Proses siklus awan salah satunya yaitu awan konvektif yaitu
awan yang terbentuk akibat dari proses konveksi dari pemanasan surya. Hal ini
didukung oleh pendapat Syaifullah (2011) yang menyatakan bahwa awan konvektif
merupakan awan yang dihasilkan oleh proses konveksi akibat dari pemanasan
radiasi surya. Udara, suhu dan kelembapan memiliki pengaruh besar dalam siklus
awan. Hal ini didukung oleh pendapat Karyati (2019) yang menyatakan bahwa
70

udara makin lama akan menjadi semakin penuh dengan uap air, titik-titik air dalam
awan akan menjadi semakin besar dan awan itu akan menjadi semakin berat, dan
perlahan-lahan daya tarikan bumi menariknya ke bawah dan turunlah hujan, namun
jika titik-titik air tersebut bertemu udara panas, titik-titik itu akan menguap dan
lenyaplah awan itu. Hal ini yang menyebabkan awan itu selalu berubah-ubah
bentuknya.
71

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan praktikum Pengamatan Perawanan yang telah dilakukan


dapat disimpulkan bahwa jenis awan yang sering muncul pada pengamatan minggu
pertama adalah awan cumulus dan minggu kedua adalah awan cumulus dengan
suhu yang relatif sedang dan kelembaban yang tinggi. Rata-rata suhu dan
kelembaban saling berkaitan, apabila suhu tinggi maka kelembaban akan rendah,
dimana dapat diartikan bahwa semakin tinggi suhu suatu wilayah akibat keberadaan
awan maka semakin rendah kelembaban di wilayah tersebut. Pengamatan siklus
perawanan pagi, siang, dan sore dapat di ketahui bahwa terjadi perubahan
perawanan dimana siklus awan pagi yaitu awan Stratus, siklus awan siang awan
cirrocumulus dan siklus awan sore awan cirrus.

5.2. Saran

Saran yang bisa disampaikan untuk menunjang hasil praktikum yang lebih
baik yaitu sebaiknya memperhatikan waktu peletakan alat agar tidak terlalu lama
dan pemeriksaan alat-alat yang akan digunakan serta pastikan alat yang digunakan
berfungsi dengan baik.
72

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, M. R., dan T. W. Had. 2014. Prediksi sebaran abu vulkanik di udara
dengan menggunakan model PUFF prediction of airborne volcanic ash
dispersion using PUFF model. J. Geoscience, 1(1): 1 – 14.

Agfanny, F., D. Djayus, dan S. Supriyanto. 2020. Tren sambaran petir cloud to
ground kota balikpapan tahun 2016-2018. J. Geosains kutai basin, 3(2): 1
– 6. Ahrens C.D dan Henson R., 2016. Meteorology Today: An
Introduction to Weather, Climate and the Environment, 11thEd.
Cengage Learning, Boston.

Aldrian, E., M. Karmini, dan Budiman. 2011. Adaptasi dan Mitigasi Perubahan
Iklim Indonesia. Badan Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika, Jakarta.

Anggreni, R., M. Muliadi, dan R. Adriat. 2018. Analisis Pengaruh Tutupan Awan
Terhadap Radiasi Matahari di Kota Pontianak. J. Prisma Fisika, 6 (3) : 214-
219.

Avia, L. Q., & Haryanto, A. (2013). Penentuan suhu threshold awan hujan di
wilayah Indonesia berdasarkan data satelit mtsat dan trmm [Determination
of threshold temperature of rain cloud over Indonesian based on mtsat and
trmm satellite data]. J. Sains Dirgantara, 10(2): 82-89.

Baskoro, A.A., Y. Clara., Yanti., dan D. Herdiwijaya. 2010. Pengaruh sinar kosmik
terhadap pembentukan awan total dan awan atas wilayah Indonesia dalam
periode 1979-1995. J. Lapan. 1 (1) : 7 – 15.

Cahyono, T. 2017. Penyehatan Udara. Penerbit Andi, Jakarta.

Chaeran, M. (2020). Pedoman menentukan daerah cuaca buruk bagi para


nahkoda. J. Dinamika Bahari, 1(2) : 116-121.

Diniyati, E., Syofyan, D. Q., & Mulya, A. (2021). Pemanfaatan atelit Himawari-8
dengan Metode NWP dan RGB untuk Menganalisis Kondisi Atmosfer
Saat Banjir di Sidoarjo Tanggal 28 Mei 2020. J. Pendidikan dan Ilmu
Geografi, 6(1) : 1-14.

Fahrur, M, R. 2019. Prediksi Pertumbuhan Awan Cumolonimbus Pada Citra


Himawari Ir Enchanted Menggunakan Deep Echo State Network
(Deepesn). Universitas Islam Negri Sunan Ampel Surabaya.
73

Fitriono, R. F. 2017. Perbedaan hasil belajar geografi antara siswa yang diajar
dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dengan
kooperatif tipe group investigation pada materi hidrosfer kelas X SMA
Negeri 1 Mawasangka Tengah. J. Penelitian Pendidikan Geografi, 1(2): 1
– 16.

Handoko. 2017. Klimatologi Dasar: Landasan pemahaman fisika atmosfer Dan


Unsur-Unsur iklim. IPB Pres Printing, Bogor.

Hidayah, dan A. Quina. 2017. Identifikasi Karakteristik Awan Penyebab Hujan


Lebat pada Musim Kemarau dan Musim Penghujan di Jambi. J. Geotik,
2(1) : 20-28.

Isnoor, K. F. N., P. U. Firdianto, dan A. Susilawati. 2018. Studi tentang Fenomena


Borneo Vortex terhadap Variabilitas Awan di Kalimantan Barat (Studi
Kasus Tanggal 11-13 Januari 2018). J. Ilmu dan Inovasi Fisika, 2 (2) :127-
136.

Karyati. 2019. Mikroklimatologi Hutan. Mulawarman University Press, Jakarta.

Kristanto, Y., Agustin, T., & Muhammad, F. R. (2017). Pendugaan Karakteristik


Awan Berdasarkan Data Spektral Citra Satelit Resolusi Spasial Menengah
Landsat 8 Oli/Tirs (Studi Kasus: Provinsi Dki Jakarta). J. Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika, 4(2): 42-50.

Kristanto, Y., Agustin, T., & Muhammad, F. R. (2017). Pendugaan Karakteristik


Awan Berdasarkan Data Spektral Citra Satelit Resolusi Spasial Menengah
Landsat 8 Oli/Tirs (Studi Kasus: Provinsi Dki Jakarta). J. Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika, 4(2), 42-50.

Kristanto, Y., T. Agustin, dan F. R. Muhammad. 2017. Pendugaan karakteristik


awan berdasarkan data spektral citra satelit resolusi spasial menengah
landsat 8 oli/tirs (studi kasus: provinsi DKI Jakarta). J. Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika, 4(2): 42 – 50.

Miftahul, H. (2019). Peranan Badan Meterologi Klimatologi Dan Geofisika


Tanjung Mas Semarang Dalam Memperkirakan Dan Menginformasikan
Berita Cuaca Ke Kapal Untuk Menunjang Keselamatan Pelayaran. Karya
Tulis.

Mulyono, D. 2014. Analisis karakteristik curah hujan di wilayah Kabupaten Garut


Selatan. J. Konstruksi. 13 (1) : 1 – 9.

Nardi., dan Nazori. 2012. Otomasi klasifikasi awan citra satelit MTSAT dengan
pendekatan Fuzzy Logic. J. Telematika Mkom. 4 (1) : 104 – 117.
74

Nugraheny, D. (2015). Metode Nilai Jarak guna Kesamaan atau Kemiripan Ciri
suatu Citra (kasus deteksi awan cumulonimbus menggunakan principal
component analysis). J. Ilmiah Bidang Teknologi, 7(2), 21-30.

Pratikasari, R. 2011. Kajian Teoritis dan Empiris Distribusi Spasial dan Temporal
Paramter-Parameter Atmospheric Boundary Layer. Institut Pertanian
Bogor.Skripsi.

Rozi, M. F. (2019). Prediksi Pertumbuhan Awan cumulonimbus pada citra


himawari ir enhanced menggunakan deep echo state network
(deepesn) (Doctoral dissertation, UIN Sunan Ampel Surabaya).

Samarantika, S., Asrizal, Z. Kamus. 2018. Studi instrumen ceilometer allweather


8339 dan data hasil pengukuran di stasiun meteorologi Minangkabau
Padang. J. Pillar of Physics, 5 (1) : 36 – 41.

Saputra, A. D., S. Priyanto, I. Muthohar, dan M. Bhinnety. 2015. Pengaruh kondisi


cuaca penerbangan terhadap beban mental pilot. J. Transportasi, 15 (3) :
159 – 168.

Sitompul, O. S., Suwilo, S., & Zarlis, M. (2021). Supervised Image Classification
untuk Fenomena Chaos Angin Puting Beliung Berdasarkan Average
Correlation Angle.

Sufy, A., Magdalena, R., & Nugraha, R. (2017). Purwarupa Sistem Klasifikasi Jenis
Awan Dari Citra Panoramik Pantai Menggunakan Logika
Fuzzy. eProceedings of Engineering, 4(1): 356-360.

Suryanto, W. dan A. Luthfian. 2019. Pengantar Meteorologi. UGM Press,


Yogyakarta.

Syaifullah, D. 2011. Potensi atmosfer dalam pembentukan awan konvektif pada


pelaksanaaan teknologi modifikasi cuaca di daerah Kotopanjang dan
Singkarak 2010. J. Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 12 (1) : 9 – 15.

Tjasyono, B. 2004. Klimatologi. Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Tjasyono, B. 2012. Mikrofisika Awan Dan Hujan. Badan Meteorologi Klimatologi


Dan Geofisika, Jakarta.
75

LAMPIRAN

Lampiran 1. Form Pengamatan Indikator Cuaca dan Iklim Harian


Hari Suhu Rata-rata Kelembaban (pukul) Rata-rata
ke- (pukul)
7 12 17 7 12 17
1 25,7 33,3 25,4 28,1 91 74 90 85
2 23,7 35,9 30,7 30,1 92 70 73 78,3
3 24,7 36,3 29,5 30,1 92 62 73 75,6
4 22,9 35,1 29,9 29,3 99 62 75 78,6
5 23,5 39,6 32,3 31,8 92 50 50 64
6 24 35,9 31,4 30,4 85 51 53 63
7 23,1 46 32,6 33,9 80 41 64 61,6
8 24 41,8 28,2 31,3 84 54 72 70
9 23,7 37,9 29,8 30,4 92 67 73 77,3
10 25,6 38,7 28,7 31 88 54 72 71,3
11 25,1 37,6 31,1 31,2 89 69 58 72
12 25,3 44 28,6 32,6 86 56 70 70,6
13 25,7 32,3 28,8 28,9 90 77 81 82,6
14 25,2 40 32,5 32,5 92 66 70 76
Sumber : Data Primer Praktikum Klimatologi, 2021.

Lampiran 2. Form Pengamatan Indikator Cuaca dan Iklim Minggu ke-I


Parameter Hari ke- Rata-
1 2 3 4 5 6 7 rata
Suhu (°C) 28,1 30,1 30,16 29,3 31,8 30,4 33,9 30,5
Kelembapan (%) 85 78,3 75,6 78,6 64 63 61,6 72,3
Sumber: Data Primer Praktikum Klimatologi, 2021.

Lampiran 3. Form Pengamatan Indikator Cuaca dan Iklim Minggu ke-II


Parameter Hari ke- Rata-
1 2 3 4 5 6 7 rata
Suhu (°C) 31,3 30,4 31 31,2 32,6 28,9 32,5 31,1
Kelembapan (%) 70 77,3 71,3 72 70,6 82,6 76 74,2
Sumber: Data Primer Praktikum Klimatologi, 2021.
76

Lampiran 4. Perbandingan Pemangatan Minggu


Parameter Minggu ke I Minggu ke II
Suhu (˚C) 30,5 31,1
Kelembaban (%) 72,3 74,2
Jenis awan yang paling
Awan cumulus Awan cumulus
sering muncul
Sumber: Data Primer Praktikum Klimatologi, 2021.

Lampiran 5. Suhu dan Kelembaban Siklus Awan


Menit Suhu Rata-rata Kelembaban (pukul) Rata-rata
ke- (pukul)
7 12 17 7 12 17
5 25,7 32,3 28,8 28,9 90 77 81 82,6
10 25 34,7 28,8 29,5 92 70 86 82,6
15 24,9 34,7 28,5 29,3 95 64 85 81,3
20 25 34,3 28,3 29,2 99 62 88 83
25 25,3 35 28,3 29,5 99 61 91 83,6
30 25,4 34,9 28,3 29,5 99 61 91 83,6
Sumber: Data Primer Praktikum Klimatologi, 2021.

Anda mungkin juga menyukai