Kajian Kerentanan (Bahenap)
Kajian Kerentanan (Bahenap)
2022
ABSTRAK
A. PENDAHULUAN
Perubahan iklim yang terjadi berpengaruh pada banyak perubahan hampir seluruh komponen di bumi,
termasuklah kehidupan masyarakat. Tidak hanya berdampak pada naiknya temperatur bumi, tetapi juga
mengubah sistem pada seluruh kehidupan yang tergantung pada temperatur tersebut, seperti halnya
kualitas dan kuantitas kesehatan, lahan pertanian, dan juga prilaku hidup masyarakat.
Masyarakat pedesaan umumnya memiliki ketergantungan tinggi terhadap keberadaan sumber daya alam.
Perubahan yang terjadi beresiko pada berubahnya cara masyarakat setempat dalam mengelola alam.
Ketergantungan yang tinggi terhadap alam pun, seharusnya mampu mengkondisikan masyarakat untuk
bijaksana dalam pengelolaannya, untuk memastikan agar sumber kehidupan masyarakat setempat dapat
tetap lestari. Hal inilah yang umumnya disebut sebagai kearifan lokal. Pengetahuan ini terkait erat
dengan mata pencaharian maupun tradisi yang berjalan dalam kehidupan mereka; kapan waktu
bertanam, melakukan ritual adat, berburu, mengambil hasil hutan, mencari ikan, dll. Hal-hal tersebut
juga terkait dengan ancaman-ancaman bencana yang ada seperti cuaca ekstrim dan banjir.
B. TUJUAN
1. Mengukur tingkat paparan masyarakat desa terhadap perubahan iklim
2. Mengukur tingkat kepekaan masyarakat desa terhadap perubahan iklim
3. Mengukur kapasitas adaptasi masyarakat desa terhadap perubahan iklim
4. Mengidentifikasi prilaku sosial dan ekonomi masyarakat
Secara administratif, Desa Bahenap berada pada Kecamatan Kalis, Kab. Kapuas Hulu yang terdiri dari tiga
dusun yaitu Dusun Bahenap, Beberuk, dan Sepan Padang. Masyarakat setempat dominan adalah Dayak
Suruk, sehingga hukum adat yang berlangsung adalah adat dayak suruk. Jumlah Kepala Keluarga
berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kemendagri RI 2021 sebanyak
641 jiwa dengan jumlah KK sebesar 187 KK.
D. METODOLOGI
1. PENDEKATAN
Data diperoleh melalui dua cara, yaitu (1) survey, dan (2) studi dokumentasi.
2.1. Survey
Populasi
Dalam melakukan survey, yang menjadi target populasi adalah kepala keluarga (KK). Pertimbangan
yang dilakukan dengan mengambil sampel dari KK adalah pihak yang dianggap berperan terhadap
pertumbuhan keluarga inti. Bahkan dalam konteks perubahan iklim, Ludena & Yoon (2015)
beranggapan bahwa “Individual households have been recognized as critical units in designing and
implementing effective policy since they play a crucial role bridging between the macro-economic
situation and individual welfare.”
Jumlah penduduk di Desa Bahenap, berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan
Pencatatan Sipil, Kemendagri RI 2021, adalah sebanyak 641 jiwa, dengan jumlah KK yang menjadi
target populasi adalah 187 KK.
Sampel
Banyak pendapat berbeda dalam menentukan sampel, meskipun tidak ada jaminan bahwa semakin
besar sampel menunjukkan representasi dari populasi. Banyak hal lain yang mempengaruhi, semisal
sebaran sampel, dan heterogenitas populasi. Dalam menentukan jumlah sampel, pendapat yang
digunakan dalam survey ini adalah Arikunto (2013, hal. 108) yang menyebutkan bahwa “Apabila
subjeknya kurang dari 100 lebih baik diambil semua. Sebaliknya jika subjeknya lebih besar dari 100
dapat diambil antara 10-15% atau 20-25%.” Disamping itu, Roscoe dalam Sugiyono (2011, hal. 91)
dan Baley dalam Mahmud (2011, hal. 159), menyatakan bahwa ukuran sampel yang layak dalam
penelitian adalah 30-500.
Mengacu pada pendapat tersebut, maka jumlah sampel yang diambil sebesar 45 orang (24% dari
jumlah KK. Jumlah sampel yang diambil tersebar pada 3 dusun berbeda, yaitu masing-masing 1 5
responden pada tiap dusun.
Metode
Survey dilakukan dengan menanyakan langsung pada responden menggunakan alat kuesioner.
Kuesioner
Pertanyaan pokok yang terangkum dalam kuesioner, yaitu:
i. Identitas responden
ii. Kepemilikan dan Pemanfaatan Lahan
iii. Sumber Penghidupan/ Mata Pencaharian
iv. Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga
v. Kearifan Lokal dalam pengelolaan lahan
vi. Intevensi Organisasi Setempat terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi
vii. Bencana
Dalam melakukan kalibrasi terhadap satuan ukuran indikator yang digunakan dalam analisa data, prinsip
yang digunakan adalah:
1. Penggunaan skala lokal dalam mengukur level tiap indikator maupun sub indikator. Sebagaimana
yang disampaikan oleh Ludena & Yoon (2015) bahwa “The vulnerability assessment at the local scale
becomes critically important not only because of the bio-physical environmental difference of
locations, but also because of the socio-economic contextual differences at the local level. ”
2. Sudut pandang dinamis dalam menentukan skala tiap indikator. Dalam hal ini, penggunaan standar
ukuran tidak baku dan kaku, artinya menyesuaikan konteks indikator.
3. Prioritas terhadap hasil survey dan FGD yang diperkuat dengan data-data sekunder lainnya. Jika
terdapat perbedaan data antara keduanya, maka yang diutamakan adalah data-data yang diperoleh
melalui survey dan FGD. Hal ini mengacu pada pendapat Ludena & Yoon (2015) bahwa “Individual
perception and accumulated knowledge of climate change that evolves over time results from
learning through the past experiences of households response to climate change, their attitudes,
values, culture and norms.”
Beranjak pada pertimbangan tersebut, maka ukuran yang digunakan untuk menilai perubahan pada
paparan, kepekaan, dan kemampuan adaptasi adalah:
Rendah : <40%
Sedang : 40%-60%
Tinggi : >60%
Dalam melakkan kajian tersebut, yang dijadikan acuan dalam penilaian adalah:
4. Penggunaan Data Survey berdasarkan persentase hasil/ tingkat kesepakatan individu/ komunitas
5. Penggunaan Data Sekunder mengacu pada rata-rata tiap indikator pada desa se-Kecamatan
Mentebah
6. Jika hasilnya adalah 0 (nol) untuk Desa Bahenap dan lebih dari separuh desa lainnya memiliki
keadaan yang sama dengan Desa Bahenap, meskipun selisih antara Desa Bahenap dan rata-rata per
desa adalah <41% (pada Paparan dan Kepekaan) ataupun >60% (pada Kemampuan Adaptasi),
maka akan masuk dalam kategori sedang
7. Pengelompokkan rendah, sedang, dan tinggi bersifat dinamis, tergantung dari konteks per indikator.
Seperti pada “kemampuan adaptasi” untuk persentasi kebutuhan konsumtif yang “tinggi”, maka akan
masuk kedalam kategori “rendah,” dan sebaliknya.
Dalam melakukan penghitungan kerentanan, formula yang digunakan mengacu pada Life Sec Adapt
(2017), yaitu:
V=E+S-A
V : Tingkat Kerentanan
E : Tingkat Paparan
S : Tingkat Kepekaan
A : Kemampuan Adaptif
Dari hasil yang diperoleh dikelompokkan menjadi rendah (0 hingga 1), sedang (1 hingga 2), dan tinggi (2
hingga 3)
E. PEMBAHASAN
1. PAPARAN (EXPOSURE)
Paparan adalah “the nature and degree to which a system is exposed to signifcant climatic variations
(Hinkel, Schipper, & Wolf, 2014), “…indicators include temperature rise, heavy rain, drought, and sea
level rise” (Ludena & Yoon, 2015). Mengacu pada pendapat tersebut, maka terdapat tiga indikator yang
digunakan untuk mengukur tingkat paparan dikawasan Desa Bahenap, yaitu (1) keberadaan areal desa
pada lahan kritis; (2) Resiko Kebakaran Hutan; (3) Resiko Bencana Cuaca Ekstrem; (4) Resiko Bencana
Tanah Longsor; (5) Resiko Bencana Banjir; (6) Resiko Bencana Kekeringan; dan (7) Resiko Bencana
Gempa
1
Sangat Kritis, Kritis, Agak Kritis, Potensial Kritis, Tidak Kritis
2
Permenhut RI No. P.32/Menhut-II/2009
1.3. Resiko Bencana Cuaca Ekstrem
Dalam menghitung resiko kebakaran
hutan dan lahan, melalui Peraturan
Kepala BNPB No. 02/2012 diukur melalui
lahan terbuka, kemiringan, dan curah
hujan tahunan. Berdasarkan hasil
overlay peta resiko bencana cuaca
ekstrem (BNPB, 2022) terhadap wilayah
administratif desa (BIG, 2022)
menunjukkan bahwa sebagian besar
Desa Bahenap berada pada kawasan
Grafik 3. Resiko Bencana Cuaca Ekstrem Desa Bahenap 2022 aman, merujuk pada 3 level yang
dikelompokkan oleh BNPB, yaitu seluas
85% dari wilayah desa. Sedangkan kawasan yang masuk dalam kategori dengan resiko tinggi hanya
seluas 6% wilayah desa. Mengacu pada data tersebut, maka skor yang diperoleh adalah sebesar 40,33
yaitu berada dalam kategori sedang.
2. KEPEKAAN (SENSITIVITY)
Kepekaan adalah “…the degree to which a system is affected, either adversely or benefcially, by climate-
related stimuli. The effect may be direct ,” (Hinkel, Schipper, & Wolf, 2014). Sistem dimaksud tidak hanya
berdasarkan kondisi geografis, namun pula faktor sosial ekonomi seperti populasi, infrastruktur, dan
lainnya (Ludena & Yoon, 2015). Terdapat 5 indkator yang digunakan untuk mengukur tingkat kepekaan
terhadap kerentanan perubahan iklim. Kelima indikator yang dianggap berpengaruh pada tingkat
kepekaan masyarakat terhadap perubahan iklim yaitu (1) Pengelolaan Sumber Penghidupan; (2)
Pendapatan dan Pengeluaran Masyarakat; (3) Kelayakan dan Kepemilikan Rumah Tinggal; (4)
Aksesibilitas terhadap sarana Pendidikan Dasar dan Menengah Terdekat; dan (5) Aksesibilitas terhadap
Pelayanan Kesehatan Dasar.
Sebagaimana yang ditampilkan pada grafik 1, jumlah masyarakat yang memanfaatkan holtikultura hanya
sebanyak 53%, bahkan lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat yang memanfaatkan hasil hutan
dan sungai (sebanyak 58%). Namun kedudukan holtikultura bagi masyarakat setempat dianggap paling
penting dibandingkan dengan sumber penghidupan lainnya yang digarap masyarakat setempat. Pada
holtikultura, teridentifikasi sebanyak 21 jenis komoditas yang dimanfaatkan masyarakat setempat.
Komoditas terbanyak yang dimanfaatkan adalah terong asam dan labu (prenggi) dengan masing-masing
12%.
Dalam pemanfaatan hasil holtikultura yang dilakukan oleh masyarakat, sebagian besar membudidayakan
tanaman tertentu untuk dijual secara keseluruhan (61%), meskipun terdapat pula yang
membudidayakannya hanya untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga (dikonsumsi), yaitu sebanyak
22%.
Pada pemanfaatan hasil alam, rata-rata komoditas hasil alam yang dimanfaatkan per rumah tangga
adalah 3,3. Hal ini dapat diartikan bahwa setidaknya tiap rumah tangga yang memanfaatkan hasil alam
melakukan pemungutan secara langsung pada hutan dan sungai sebanyak 3 jenis komoditas. Secara
keseluruhan, terdapat 12 jenis komoditas hasil hutan dan sungai yang dimanfaatkan langsung oleh
masyarakat setempat. 4 komoditas tertinggi yang dimanfaatkan masyarakat adalah ikan, rotan, kayu
bakar, dan emas.
Terdapat istilah ketijen bagi para pendulang emas. Istilah tersebut merujuk pada nama lokasi tempat
pendulangan yaitu “Tijen”. Pada lokasi tersebut, tersedia pondok untuk masing-masing para pendulang
sebagai tempat tinggal sementara.
Masyarakat yang melakukan pendulangan mengakui bahwa proses pendulangan tersebut tidak
menggunakan bahan-bahan kimiawi. Seluruh proses dilakukan secara manual dan tradisional. Hasil
pendulangan tersebut untuk dijual.
Sedangkan pada sektor perkebunan, tidak cukup banyak masyarakat memanfaatkannya. Hanya sebanyak
13% dari total responden. Terdapat dua komoditas utama pada perkebunan yang dikelola masyarakat,
yaitu karet (60%) dan kopi (40%). Sebanyak 67% masyarakat yang menggarap perkebunan tersebut
mengelola sekaligus dua komoditas tersebut. hanya sebanyak 33% yang hanya mengandalkan salah satu
dari dua komoditas tersebut.
Selain mengandalkan pengelolaan alam sebagai sumber penghidupan, sumber penghidupan dari non SDA
pun cukup tinggi. Meskipun hanya sebanyak 7% yang tidak mengandalkan SDA sebagai sumber
penghidupan, ataupun hanya mengandalkan sumber non SDA. Namun jika ditotalkan terdapat sebanyak
56% yang memperoleh penghidupan dari Non SDA. 42% berprofesi sebagai buruh tetap, dan 42%
lainnya memperoleh hasil melalui pendulangan emas dengan cara tradisional. Merujuk pada data
tersebut, maka skor yang diperoleh adalah sebesar 0,65, atau berada pada kategori sedang.
Disamping itu, hasil survey juga menunjukkan bahwa hampir separuh masyarakat (44%) memiliki 2
sumber pendapatan, baik bersumber dari pengelolaan sumber daya alam (seperti pertanian, perkebunan,
dan lainnya) ataupun non SDA (seperti guru, perawat, perangkat desa, buruh, dan lainnya). Hanya
sebesar % yang memiliki 1 sumber pendapatan. Merujuk pada data tersebut, maka skor yang diperoleh
adalah sebesar 0,41, atau berada pada kategori rendah.
Pada distribusi peran dalam mencari nafkah antara laki-laki dan perempuan cukup berimbang, yaitu
43:38 antara suami dan istri, atau selisih distribusi peran antara suami dan istri hanya sebesar 4%.
Dalam pertanian padi. Dari keseluruhan sumber penghidupan yang dikelola masyarakat, umumnya peran
suami lebih tinggi dibandingkan istri, baik bersumber dari pengelolaan alam ataupun non SDA. Namun,
peran istri mengalami peningkatan cukup tinggi pada holtikultura, yaitu dengan perbandingan 12:83
antara suami dan istri. Merujuk pada data tersebut, maka skor yang diperoleh adalah sebesar 0,04, atau
berada pada kategori rendah.
Jika dibandingkan antara pendapatan dan pengeluaran yang dimiliki oleh tiap KK, lebih dari separuh
masyarakat yang berpendapatan sama dengan pengeluaran, yaitu sebesar 71%. Sedangkan yang
berpendapatan lebih kecil dari pengeluaran tidak ditemukan (0%). Sisanya adalah yang memiliki
pendapatan lebih besar dari pengeluaran. Mengacu pada hasil tersebut, maka skor yang dimiliki adalah
sebesar 0,57, atau berada pada kategori sedang.
Mengacu pada ketentuan tersebut, maka dikelompokkan responden berdasarkan jumlah jiwa dalam satu
rumah dengan luas rumah. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden
berada pada kategori diatas 9m2 / orang, yaitu sebanyak 51% responden. Jika dirata-ratakan luas rumah
per jiwa, angka yang diperoleh 9,97 m 2 per jiwa. Mengacu pada data yang diperoleh, maka skor yang
dimiliki adalah 0,02, atau berada pada kategori tinggi.
Dalam hal kepemilikan rumah, 96% responden mengaku sebagai pemilik rumah bersangkutan, dimana
hampir seluruhnya memperoleh rumah tersebut secara turun temurun (warisan). Sedangkan selebihnya
(7%) dalam keadaan menumpang dengan kerabatnya.
Meskipun luas ruang dirumah per jiwa cukup besar, namun ruang kelola masyarakat diwilayah desa
sangat terbatas. Berdasarkan pola ruang wilayah desa, merujuk pada Keputusan Menteri Kehutanan RI
Nomor: SK.733/ Menhut-II/2014, bahwa seluruh wilayah desa merupakan kawasan hutan lindung.
Kondisi ini berakibat pada tingginya tingkat kerentanan masyarakat setempat akibat terbatasnya ruang
kelola masyarakat. Mengacu pada hal tersebut, maka skor yang dimiliki adalah sebesar -1 atau berada
pada kategori tinggi.
Untuk mensiasati keterbatasan ruang kelola tersebut, maka pemerintah desa mengusulkan kawasan
hutan desa seluas 10.694,42 Ha. Usulan telah disetujui melalui SK.
7010/MENLHKPSKL/PKPS/PSL.0/12/2017. Mengacu pada hal tersebut, maka skor yang dimiliki adalah
sebesar 1,00 atau berada pada kategori rendah.
Kemampuan adaptasi digambarkan sebagai kemampuan sistem dalam menyikapi perubahan iklim
tersebut. Beberapa indikator yang dapat digunakan dalam mengukur kemampuan adapatasi tersebut,
antara lain “…physical resources, access to technology and information, varieties of infrastructure,
institutional capability, and the distribution of resources. … compose economic capability, physical
infrastructure, social capital, institutional capacity, and data availability.” (Hinkel, Schipper, & Wolf, 2014)
3.1. Kecenderungan melakukan Pembakaran untuk Pembukaan Lahan/ Ladang
Sebagaimana yang disampaikan sebelumnya bahwa pola pengelolaan pertanian padi masyarakat
setempat adalah ladang berpindah dengan salah satu metode untuk pembukaan lahan adalah melalui
bakar. Cukup banyak yang bertahan untuk tidak mengubah pola tersebut mengingat adanya keyakinan
bahwa tanah menjadi lebih subur ketika adanya pembakaran. Mengacu pada hal tersebut, maka skor
yang dimiliki adalah sebesar 0,50 atau berada pada kategori sedang.
Dari kejadian banjir yang selalu terjadi, khususnya pada musim penghujan, cukup banyak masyarakat
yang dapat memperkirakan waktu kejadiannya, ataupun lokasi potensial untuk bencana tersebut.
Meskipun sebanyak 53% diantaranya tidak dapat memperkirakan waktu terjadinya banjir. Terlepas dari
tepat-tidaknya prediksi masyarakat, namun keyakinan masyarakat terhadap waktu kejadian tersebut
mengindikasikan bahwa masyarakat setempat cukup waspada dan mengenali pola bencana tahunan
tersebut, meskipun hanya sebanyak 36% masyarakat. Mengacu pada hal tersebut, maka skor pada
kemampuan adaptasi yang dimiliki adalah sebesar 0,47 atau berada pada kategori sedang.
Berdasarkan skor yang dihasilkan, maka maka tingkat kerentanan masyarakat Desa Bahenap adalah
sebesar 57,74 atau berada pada kategori SEDANG.
F. PENUTUP
Berdasarkan data yang telah diolah bahwa tingkat kerentanan Desa Kensuray terhadap perubahan iklim
berada pada kategori sedang, dengan skor 57,74. Dari ketiga indeks yang digunakan, tingkat kepekaan
yang dialami oleh desa Kensuray cukup tinggi dengan skor 70,83. Bahkan lebih tinggi dibandingkan
dengan kemampuan adaptasi masyarakat setempat. Meskipun demikian skor pada kemampuan adaptasi
masyarakat pun cukup tinggi dengan skor 75. Dari 4 indikator yang ada, tidak ada satupun yang berada
pada kategori rendah. Sedangkan pada tingkat kepekaan yang dialami oleh desa Bahenap, terdapat 8
indikator yang berada pada kategori tinggi, dari total 16 indikator yang digunakan.
Sumber Dokumen
Arikunto, S. (2013). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
BIG. (2022). Peta Batas Desa. Dipetik Juni 20, 2022, dari Badan Informasi Geospasial:
https://geoservices.big.go.id/portal/apps/webappviewer/index.html?
id=9917592df1f24501ae804b7d346c08fb
BNPB. (2022). Peta Resiko Bencana Banjir. Dipetik Juni 15, 2022, dari http://inarisk.bnpb.go.id/:
http://inarisk.bnpb.go.id/pdf/KALIMANTAN%20BARAT/risiko_banjir_KAPUAS%20HULU.pdf
BNPB. (2022). Peta Resiko Bencana Gempa. Dipetik Juni 15, 2022, dari http://inarisk.bnpb.go.id/:
http://inarisk.bnpb.go.id/pdf/KALIMANTAN%20BARAT/risiko_gempa_KAPUAS%20HULU.pdf
BNPB. (2022). Peta Resiko Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan. Dipetik Juni 15, 2022, dari
http://inarisk.bnpb.go.id/:
http://inarisk.bnpb.go.id/pdf/KALIMANTAN%20BARAT/risiko_kebakaran_hutan_lahan_KAPUAS
%20HULU.pdf
BNPB. (2022). Peta Resiko Bencana Kekeringan. Dipetik Juni 15, 2022, dari http://inarisk.bnpb.go.id/:
http://inarisk.bnpb.go.id/pdf/KALIMANTAN%20BARAT/risiko_kekeringan_KAPUAS%20HULU.pdf
BNPB. (2022). Peta Resiko Bencana Tanah Longsor. Dipetik Juni 15, 2022, dari http://inarisk.bnpb.go.id/:
http://inarisk.bnpb.go.id/pdf/KALIMANTAN%20BARAT/risiko_tanah_longsor_KAPUAS
%20HULU.pdf
BNPB. (2022). Peta Resiko Cuaca Ekstrim Kapuas Hulu . Dipetik Juni 15, 2022, dari
http://inarisk.bnpb.go.id/:
http://inarisk.bnpb.go.id/pdf/KALIMANTAN%20BARAT/risiko_cuaca_ekstrim_KAPUAS
%20HULU.pdf
BPS Kapuas Hulu. (2021). Kecamatan Kalis Dalam Angka 2021. Dipetik Juni 15, 2022, dari
kapuashulukab.bps.go.id: https://kapuashulukab.bps.go.id/publication/download.html?
nrbvfeve=ZTYwNjRhOTJlNTkzZjQ1MTEyNTZjY2Jl&xzmn=aHR0cHM6Ly9rYXB1YXNodWx1a2FiLmJ
wcy5nby5pZC9wdWJsaWNhdGlvbi8yMDIxLzA5LzI0L2U2MDY0YTkyZTU5M2Y0NTExMjU2Y2NiZS9r
ZWNhbWF0YW4ta2FsaXMtZGFsYW0tYW5na2EtMjAyMS
Diskominfo Prov. Kalbar. (2020, Juni 30). Data Kependudukan Desa Bahenap Kecamatan Kalis Kabupaten
Kapuas Hulu. Dipetik Juni 20, 2022, dari http://data.kalbarprov.go.id/:
http://data.kalbarprov.go.id/dataset/data-kependudukan-desa-bahenap-kecamatan-kalis-
kabupaten-kapuas-hulu-30-juni-2020
Hinkel, J., Schipper, L., & Wolf, S. (2014). A Framework for Climate Change Vulnerability Assessments.
German Cooperation; GIZ; Ministry of Environment, Forests, and Climate Change Government of
India.
IPCC. (2014). Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Part A: Global and Sectoral Aspects. Contribution of
Working Group II to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate
Change. Summary for Policymakers. In: Climate Change 2014 (pp. 1-32). Cambridge University
Press.
Life Sec Adapt. (2017). Methodology Forvulnerability and Risk Assessment In Regions Marche and Istria.
Life Sec Adapt.
Ludena, C. E., & Yoon, S. W. (2015). Local Vulnerability Indicators and Adaptation to Climate Change.
Inter-American Development Bank.
Sugiyono. (2011). Metodelogi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta.