0
Direktorat Kesehatan Kerja dan Olahraga,
Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat,
Kementerian Kesehatan RI
Bekerjasama dengan
TIM PENYUSUN
1. Dr. dr. Astrid B. Sulistomo, MPH, SpOk
2. Dr. dr. Dewi Sumaryani Soemarko, MS, SpOk
3. dr. Nusye Edithe Zamsiar, MS, SpOk
4. dr. Suryo Wibowo, MKK, SpOk
5. dr. Anna Suraya, SpOk
6. dr. Liem Jen Fuk, SpOk, MKK
7. dr. Agustina Puspitasari, SpOk
8. dr. Inne Nutfiliana, MKK
9. drg. Diah Erti Mustikawati, MPH
10. dr. Yulia Reniaty Febrianti, MKM
1
KATA PENGANTAR
Besarnya jumlah pekerja di Indonesia dan masih tingginya risiko kesehatan di tempat kerja
membawa konsekuensi adanya gangguan kesehatan yang disebabkan/terkait dengan aktifitas dan
lingkungan kerja. Namun di Indonesia gambaran Penyakit Akibat Kerja saat ini seperti fenomena
“Puncak Gunung Es”, dimana Penyakit Akibat Kerja yang dideteksi masih sangat kecil. Untuk itu
diperlukan penguatan kapasitas dokter di Fasyankes dalam mendiagnosis dan menatalaksana
Penyakit Akibat Kerja. Dalam penetapan diagnosis Penyakit Akibat Kerja menggunakan pendekatan
tujuh langkah diagnosis Penyakit Akibat Kerja sesuai konsensus Organisasi Profesi Ikatan Dokter
Indonesia tentang Tatalaksana Penyakt Akibat Kerja pada tahun 2018. Penegakkan diagnosis
Penyakit Akibat Kerja sangat penting bagi pekerja, sebagai salah satu upaya perlindungan pekerja
dan pencegahan keparahan yang mungkin terjadi. Selain itu pekerja dapat memperoleh haknya dan
mendapatkan penatalaksanaan yang tepat dan sesuai dengan penyakitnya.
Terimakasih kami sampaikan kepada Tim Penyusun yang telah menyelesaikan modul
pelatihan ini dengan baik. Buku Modul Pelatihan Diagnosis Penyakit Akibat Kerja akan selalu
dimutakhirkan secara berkala mengikuti perkembangan keilmuan dan peraturan yang ada sehingga
dapat menjadi panduan bagi Dokter di Fasyankes dalam melakukan pelayanan kesehatan bagi pekerja
seoptimal mungkin.
2
DAFTAR ISI
Halaman
Tim Penyusun ............................................................................................................. 1
Kata Pengantar ........................................................................................................... 2
Daftar Isi ...................................................................................................................... 3
Materi Dasar (MD)- 1 Kebijakan Kesehatan Kerja..................................................... 4
Materi Dasar (MD) -2 Aspek Etik, Medikolegal Pelayanan Penyakit Akibat Kerja ….
Materi Inti (MI) - 1 Hubungan Pajanan di Tempat Kerja dan Timbulnya Penyakit ....
Materi Inti (MI) - 2 Diagnosis Penyakit Akibat Kerja ..................................................
Materi Inti (MI) - 3 Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja Karena Pajanan Ergonomi….
Materi Inti (MI) - 4 Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja Karena Pajanan Kimia ………
Materi Inti (MI) - 5 Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja Karena Pajanan Fisika ..........
Materi Inti (MI) - 6 Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja Karena Pajanan Biologi .........
Materi Inti (MI) - 7 Perhitungan Nilai/Prosentasi Kecacatan Penyakit Akibat Kerja ....
Materi Inti (MI) - 8 Pencatatan dan Pelaporan Penyakit Akibat Kerja …………….........
Materi Inti( MI) -9 Teknik Melatih............................................................................
Materi Penunjang (MP) – 1 Building Learning commitment …………………………......
Materi Penunjang (MP) – 2 Anti Korupsi ……………………………………………..........
Materi Penunjang (MP) – 3 Rencana Tindak Lanjut ………………………………….......
3
MATERI DASAR 1
KEBIJAKAN KESEHATAN KERJA
Jumlah JPL : 2 ( T : 2, P :0 )
I. DESKRIPSI SINGKAT
Amandemen UUD 1945 pasal 28 h telah mengamanahkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera,
batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat, berhak memperoleh
pelayanan kesehatan. UU No.36 tahun 2009 tentang kesehatan menyatakan bahwa upaya kesehatan kerja
diterapkan pada semua tempat kerja baik formal maupun informal dan secara tegas dinyatakan ruang
lingkup, tugas dan tanggung jawab semua pihak baik pemerintah, pengusaha dan pekerja dalam
pelaksanaan kesehatan kerja. Untuk itu penerapan upaya kesehatan pada tatanan tempat kerja adalah
kebijakan kesehatan kerja yang dilaksanakan sebagai bagian dari kesehatan masyarakat.
Penerapan upaya kesehatan kerja di perusahaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan program
keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dimana telah tertuang dalam regulasi ketenagakerjaan berdasarkan
UU No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Kesehatan Kerja adalah upaya yang ditujukan untuk
melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang
diakibatkan oleh pekerjaan. Sasaran kesehatan kerja ditujukan pada semua pekerja baik sektor formal dan
informal termasuk ASN, TNI dan Polri. Upaya kesehatan kerja mendukung terwujudnya masyarakat yang
sehat dan produktif dimana bersifat komprehensif baik upaya kesehatan preventif, promotif, kuratif dan
rehabilitatif.
IV. METODE
Ceramah
Tanya Jawab
5
VII. URAIAN MATERI
Pokok bahasan 1.
LATAR BELAKANG DAN PERMASALAHAN KESEHATAN PADA PEKERJA
Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk mendukung sumber daya manusia yang berkualitas
dan berdaya saing. Saat ini Indonesia telah mencapai berbagai keberhasilan pembangunan nasional dimana
pembangunan kesehatan berperan penting dalam terwujudnya pembangunan sumber daya manusia.
Secara umum pekerja sektor informal lebih banyak dari pekerja formal (BPS, 2018). Komposisi populasi
bangsa Indonesia saat ini sedang menghadapi bonus demografi dimana hal ini merupakan tantangan
sekaligus peluang. Proporsi usia kerja yang terus meningkat merupakan tantangan sekaligus peluang.
Puncak bonus demografi di Indonesia diperkirakan pada tahun 2035 dengan mayoritas penduduk adalah
usia produktif. Kualitas sumber daya manusia di masa tersebut akan menentukan peluang Indonesia
menjadi negara maju. Pendekatan upaya kesehatan pada fokus sasaran pekerja menjadi penting untuk
menciptakan SDM yang berkualitas agar bonus demografi dapat dimanfaatkan.
Pada studi beban penyakit tersebut juga menunjukan trend DALYs/tahun produktif yang hilang untuk
hidup sehat disebabkan karena kematian dini, penyakit atau cedera per 100.000 akibat risiko tekanan
diastolik yang tinggi, gula darah puasa yang tinggi, kebiasaan merokok dan risiko diet yang tidak sehat.
Diet tidak sehat menyumbang beban penyakit jantung dan pembuluh darah, diabetes, urogenital, darah,
endokrin dan neoplasma. Tekanan darah sistolik yang tinggi menyumbang pada beban penyakit jantung
dan pembuluh darah, diabetes, urogenital, darah dan endokrin. Gula darah yang tinggi menyumbang pada
beban penyakit diabetes, jantung dan pembuluh darah, endokrin, HIV/AIDS dan tuberkulosis.
Dalam konteks ini, beban ganda terjadi karena di satu sisi beban penyakit menular masih banyak terjadi di
Indonesia seperti tuberkulosis dan pada saat bersamaan masyarakat dan pemerintah juga dibebani oleh
penyakit tidak menular seperti diabetes.
Selain itu dalam melakukan pekerjaannya, pekerja mempunyai risiko terhadap masalah kesehatan yang
disebabkan oleh proses kerja, lingkungan kerja serta perilaku kesehatan pekerja. Pekerja tidak hanya
berisiko menderita penyakit menular dan tidak menular tetapi pekerja juga dapat menderita Penyakit
Akibat Kerja dan/atau penyakit terkait kerja. Upaya penanganan masalah kesehatan bagi pekerja adalah
6
hal yang penting sehingga setiap pengelola tempat kerja mengupayakan agar pekerjanya sehat dan
produktif secara optimal.
Masalah kesehatan pada pekerja yang berhubungan dengan pekerjaan memerlukan pelayanan kesehatan
kerja secara komprehensif meliputi promotif, pencegahan, diagnosis dan tata laksana serta rehabilitatif.
Pelayanan kesehatan kerja tersebut termasuk penyelenggaraan pelayanan Penyakit Akibat Kerja.
Di Indonesia, gambaran Penyakit Akibat Kerja saat ini seperti fenomena “Puncak Gunung Es”, Penyakit
Akibat Kerja yang diketahui dan dilaporkan masih sangat terbatas dan parsial, sehingga belum
menggambarkan besarnya masalah kesehatan kerja di Indonesia. Hal ini disebabkan kurangnya
kewaspadaan dokter dalam mendeteksi pasien dengan Penyakit Akibat Kerja. Dalam pelayanan Penyakit
Akibat Kerja dokter memiliki peran penting dalam deteksi dini Penyakit Akibat Kerja di fasilitas pelayanan
kesehatan sehingga dapat membatasi timbulnya keparahan penyakit, mencegah terjadinya kecacatan
melalui tatalaksana yang optimal serta upaya pencegahan dan pengendalian potensi bahaya di lingkungan
kerja.
Pekerja merupakan aset perusahaan dan secara makro merupakan penggerak perekonomian bangsa,
disisi lain pekerja juga berada pada usia produktif, merupakan pencetak generasi penerus bangsa.4 Posisi
pekerja sebagai tulang punggung keluarga memiliki peran penting dalam kesehatan keluarga. Pekerja
akan menentukan pemenuhan gizi keluarga, health literacy pada keluarga hingga pembiasaan pola hidup
yang sehat pada keluarga.
Disisi lain pekerja juga berada pada masa reproduktif akan berkontribusi terhadap pencapaian dan
memiliki daya ungkit yang tinggi terhadap penurunan angka kematian ibu dan bayi, stunting, penyakit
menular, penyakit tidak menular serta permasalahan kesehatan masyarakat lainnya. Sehingga segala
sesuatu yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi sangat penting diintervensi pada populasi ini seperti
pada pencapaian total fertility rate, keberhasilan program keluarga berencana. Peran penting pekerja
dapat. Sehingga dapat dikatakan, pekerja yang sehat akan berkontribusi mendukung tercapainya SDGs
No.1, 2, 3, 5, 8 (Kemiskinan, kelaparan, kesehatan dan pekerjaan yang layak).
Pokok bahasan 2.
KEBIJAKAN KESEHATAN KERJA DAN REGULASI TERKAIT
Sehat dan bekerja merupakan hak azasi manusia, namun tempat kerja dapat berisiko terhadap kesehatan
pekerja. Untuk itu Pekerja, Pemberi kerja dan Pemerintah memiliki peran dan tanggung jawab untuk
mewujudkan tempat kerja yang sehat dan terbebas dari pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan.
Penyakit Akibat Kerja merupakan penyakit yang dapat ditimbulkan oleh proses, bahan, alat dan perilaku serta
lingkungan kerja, dimana kondisi tersebut dapat dilakukan upaya pengendalian sehingga Penyakit Akibat
Kerja dapat dicegah.
7
b. Strategi Kebijakan Kesehatan Kerja
Kebijakan Kementerian Kesehatan dalam implementasi program kesehatan kerja adalah;
1. Membangun masyarakat yang sehat, bugar dan produktif dengan menitikberatkan upaya promotif dan
preventif.
2. Memperkuat kemitraan dan pemberdayaan masyarakat.
3. Penyelenggaan program kesehatan kerja secara bertahap. Terpadu dan berkesinambungan.
4. Pengembangan program kesehatan kerja melibatkan lintas program/lintas sektor, dunia usaha, swasta
dan masyarakat.
5. Penyelenggaraan program kesehatan kerja sesuai standar profesi dan standar pelayanan.
d. Peran Pemerintah, Pemerintah daerah dan masyarakat dalam upaya kesehatan kerja
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, Swasta dan masyarakat bertanggung jawab untuk
menyelenggarakan kesehatan kerja secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan. Dalam rangka
melindungi kesehatan pekerja, upaya kesehatan kerja wajib dipenuhi oleh pengurus atau pengelola
tempat kerja dan pemberi kerja di semua tempat kerja pada sektor formal dan sektor informal.
Pokok bahasan 3.
IMPLEMENTASI UPAYA KESEHATAN KERJA DAN DETEKSI DINI PENYAKIT AKIBAT KERJA
8
Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit dan Fasyankes lainnya.
Tempat kerja sektor kesehatan dilakukan melalui K3RS dan K3 Fasyankes dimana pelaksanaan upaya
kesehatan kerja sebagai bagian program keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Pelaksanaan K3RS
dan K3 Fasyankes terintegrasi dengan program mutu pelayanan dan akreditasi Rumah Sakit dan
Fasyankes.
VIII. REFERENSI
1. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
2. PP No. 88 Tahun 2019 tentang Kesehatan Kerja
3. Rencana Strategi Kementerian Kesehatan.
4. Permenkes No.56 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja
5. Komite Kerjasama WHO/ILO
9
MATERI DASAR 2
ASPEK ETIK, MEDIKOLEGAL PELAYANAN PENYAKIT AKIBAT KERJA
Jumlah JPL : 2 ( T : 2, P :0 )
I. DESKRIPSI SINGKAT
Peraturan perundangan dalam bidang kesehatan kerja telah banyak dibuat di Indonesia. Sejak tahun 1970
dengan adanya Undang Undang no 1 tentang Keselamatan Kerja yang isinya menyangkut kesehatan kerja,
serta berbagai peraturan lainnya baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan
Menteri Kesehatan dan Menteri terkait lainnya. Selain peraturan diatas, peranan profesi, khususnya
dokter juga sangat penting. Dalam bekerja dokter harus menerapkan standar profesi kedokteran, standar
pelayanan dan standar prosedur operasional. Sebagai dokter dalam memberikan pelayanan medis terkait
dengan Standar Kompetensi Dokter serta kewenangannya. Semua hal ini tidak terlepas dari penerapan
etika kedokteran yang merupakan norma yang memuat kewajiban dan tanggung jawab moral dalam
kehidupan dan perilaku setiap individu pemberi pelayanan kesehatan/kedokteran baik sebagai pribadi
maupun mewakili institusinya dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan paripurna ( good corporate
governance dan good clinical governance ).
Di bidang Kesehatan Kerja dan Kedokteran Okupasi, kegiatan ditujukan bagi pekerja dan lingkungan
kerjanya, meliputi peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit khususnya Penyakit Akibat Kerja (PAK),
pengendalian faktor risiko, penegakan diagnosis dini, penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan,
termasuk proses adaptasi dan penilaian untuk kembali bekerja dan penentuan tingkat kecacatan.
Tujuannya tak lain adalah agar pekerja sehat, bugar, produktif serta bebas dari penyakit, baik PAK
maupun penyakit pada umumnya. Pemahaman mengenai berbagai peraturan perundangan serta
penerapan etika dan standar-standar tersebut sangat penting bagi dokter dalam memberikan pelayanan
kesehatan dan kedokteran, khususnya dibidang Kesehatan Kerja dan Kedokteran Okupasi.
10
Pokok bahasan 2. Hubungan dokter, pasien pekerja, pemberi kerja terkait pelayanan Penyakit Akibat
Kerja dalam era SJSN
Sub pokok bahasan :
a. Hak dan kewajiban pasien pekerja
b. Hak dan kewajiban dokter dalam melayani pasien pekerja
c. Hak dan kewajiban pemberi kerja dalam K3
Pokok bahasan 3. Standar Kompetensi dokter sesuai tingkatan kompetensinya dalam melakukan
pelayanan Penyakit Akibat Kerja dan system rujukannya
Pokok bahasan 4. Kode Etik dokter dalam memberikan pelayanan Kesehatan kerja dan kedokteran
okupasi di Indonesia
Sub pokok bahasan :
a.Kode etik Dokter Indonesia
b.Kode Etik Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia
IV. METODE
Ceramah-Tanya Jawab
Curah pendapat
12
membantu pelaksanaannya. Lebih lanjut dalam Undang-Undang ini, diatur kewajiban dan hak tenaga
kerja serta pengurus (orang yang mempunyai tugas langsung sesuatu tempat kerja atau bagiannya
yang berdiri sendiri) berkaitan dengan keselamatan kerja. Hak dan kewajiban tenaga kerja meliputi:
a. memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas dan atau keselamatan
kerja;
b. memakai alat perlindungan diri yang diwajibkan;
c. memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang
diwajibkan;
d. meminta pada pengurus agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja
yang diwajibkan;
e. menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan dimana syarat kesehatan dan keselamatan kerja
serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal
khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat
dipertanggungjawabkan.
Untuk melindungi hak pekerja/buruh tersebut, setiap perusahaan diwajibkan menerapkan sistem
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen
perusahaan.
Dalam penjelasan Pasal 86 ayat (2) disebutkan bahwa Upaya keselamatan dan kesehatan kerja
dimaksudkan untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para
pekerja/buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja, pengendalian bahaya
di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi.
13
b. mempertahankan dan menngkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter
dan dokter gigi
c. memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi
Sedangkan pada pasal 28 menyebutkan tentang kewajiban dokter/dokter gigi yang berpraktik untuk
mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi
profesi atau lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi. Pendidikan/pelatihan tersebut
harus sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh organisasi profesi.
Kewajiban pekerja adalah menciptakan dan menjaga kesehatan tempat kerja yang sehat dan
menaati peraturan yang berlaku di tempat kerja.
14
Standar Kesehatan kerja dalam upaya pencegahan penyakit meliputi :
i. identifikasi, penilaian, dan pengendalian potensi bahaya kesehatan;
b. pemenuhan persyaratan kesehatan lingkungan kerja;
c. pelindungan kesehatan reproduksi;
d. pemeriksaan kesehatan;
e. penilaian kelaikan bekerja;
f. pemberian imunisasi dan/atau profilaksis bagi pekerja berisiko tinggi;
g. pelaksanaan kewaspadaan standar; dan
h. surveilans Kesehatan Kerja.
Sumber daya manusia dalam penyelenggaraan kesehatan kerja terdiri atas tenaga Kesehatan dan
tenaga non Kesehatan. Tenaga Kesehatan wajib memiliki kompetensi di bidang kedokteran kerja atau
kesehatan kerja yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan.
Pelatihan di bidang kesehatan kerja paling sedikit meliputi pelatihan kesehatan kerja atau pelatihan
higene perusahaan, keselamatan dan kesehatan kerja
Pelatihan Kesehatan kerja atau pelatihan higene perusahaan,keselamatan dan kesehatan kerja
dikecualikan bagi tenaga kesehatan yang telah memiliki kompetensi yang diperoleh melalui
pendidikan formal bidang kedokteran kerja atau kesehatan kerja.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
nomor 44 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan
Kematian
Yang dimaksud dengan Kecelakaan Kerja adalah kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja,
termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau
sebaliknya, dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja (PAK).
Dalam PP ini disebutkan bahwa peserta BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) yang mengalami
kecelakaan kerja atau Penyakit Akibat Kerja berhak atas manfaat JKK (Jaminan Kecelakaan Kerja).
Manfaat JKK meliputi :
ii. Pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis
iii. Santunan berupa uang, meliputi :
-Penggantian biaya transportasi
15
-Santunan Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB)
-Santunan cacat Sebagian anatomis, cacat sebagian fungsi, dan cacat total tetap
-Santunan kematian dan biaya pemakaman
-Santunan berkala yang dibayarkan sekaligus bila peserta meninggal dunia atau cacat total tetap
akibat kecelakaan kerja atau Penyakit Akibat Kerja
-Biaya rehabilitasi berupa penggantian alat bantu (orthose) dan/atau alat pengganti (prothese)
-Penggantian biaya gigi tiruan, alat bantu dengan, kacamata
-beasiswa Pendidikan bagi anak dari peserta yang meninggal dunia atau cacat total tetap akibat
kecelakaan kerja
Hak peserta dan/atau pemberi kerja untuk menuntut manfaat JKK menjadi gugur apabila telah lewat
waktu 5 (lima) tahun sejak kecelakaan kerja terjadi atau sejak Penyakit Akibat Kerja di diagnosis.
Oleh karenanya, setiap pemberi kerja wajib melaporkan setiap terjadi kecelakaan kerja dalam waktu
tidak lebih dari 2x24 jam setelah terjadinya kecelakaan kerja, atau setiap terjadi Penyakit Akibat Kerja
dalam waktu 2x24 jam terhitung sejak diagnosis PAK ditegakkan
7. Peraturan Pemerintah nomor 70 tahun 2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan
Kematian (JKM) bagi pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN).
JKK adalah perlindungan atas risiko kecelakaan kerja atau Penyakit Akibat Kerja berupa perawatan,
santunan dan tunjangan cacat.
JKM adalah perlindungan atas risiko kematian yang bukan akibat kecelakaan kerja, berupa santunan
kematian.
Pedoman lengkapnya tercantum dalam Peraturan Badan Kepegawaian Negara (BKN) nomor 4
tahun 2020 tentang Pedoman kriteria penetapan kecelakaan kerja, cacat, Penyakit Akibat Kerja, dan
kriteria penetapan tewas bagi pegawai aparatur sipil negara (ASN).
Dalam Peraturan BKN ini antara lain disebutkan bahwa :
Kecelakaan Kerja (KK) juga meliputi Penyakit Akibat Kerja (PAK) yang merupakan penyakit sebagai
akibat langsung dari pekerjaan dan/atau lingkungan kerja dengan ketentuan sebagai berikut :
-Dinyatakan dengan surat keterangan dokter/dokter spesialis yang berkompeten di bidang
kesehatan kerja sesuai peraturan perundangan
-Bukan merupakan penyakit bawaan.
Hak atas manfaat JKK diberikan apabila PAK timbul selama bekerja sampai paling lama 5 (lima) tahun
terhitung sejak tanggal diberhentikan sebagai PNS dengan hak pensiun atau diputus hubungan
perjanjian kerja dengan hormat sebagai PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja)
Manfaat JKK meliputi:
a. Biaya perawatan sesuai kebutuhan medis, dilakukan secara berjenjang mulai dari fasilitas
Kesehatan tingkat pertama sampai lanjutan
b. Santunan, meliputi biaya pengangkutan peserta yang mengalami KK/PAK, santunan
sementara , santunan cacat sebagian anatomis, cacat sebagian fungsi dan cacat total tetap
c. Penggantian biaya rehabilitasi berupa alat bantu (orthese) atau alat ganti (prothese) bagi
peserta yang anggota badannya hilang atau tak berfungsi akibat KK/PAK
d. Penggantian biaya gigi tiruan
Peraturan BKN ini juga menyebutkan mengenai penetapan tewas yaitu bila ASN meninggal dunia
dalam menjalankan tugas kewajibannya, atau dalam keadaan yang ada hubungannya dengan dinas.
Manfaat JKK yang mengakibatkan tewas meliputi santunan kematian kerja, uang duka tewas, biaya
pemakaman dan bantuan bea siswa.
8. Peraturan Pemerintah nomor 102 tahun 2015 tentang Asuransi Sosial Prajurit TNI, Anggota
Kepolisian Negara RI, dan Pegawai Aparatur Sipil Negara di lingkungan Kementerian Pertahanan
dan Kepolisian Negara RI
Sebelumnya lebih dikenal dengan sebutan ASABRI
16
Beberapa pokok penting dalam PP ini diantaranya:
-Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) adalah perlindungan atas risiko kecelakaan atau Penyakit Akibat
Kerja selama masa dinas
-Jaminan Kematian (JKm) adalah perlindungan atas risiko kematian yang bukan akibat kecelakaan
kerja dan bukan karena dinas khusus
-Istilah meninggal dunia dibedakan atas beberapa pengertian sebagai berikut :
a. Gugur, adalah meninggal dunia dalam melaksanakan tugas pertempuran atau tugas operasi
di dalam maupun luar negeri sebagai akibat tindakan langsung lawan, atau dalam tugas
kepolisian sebagai akibat dari tindakan langsung lawan atau yang menentang
negara/pemerintahan yang sah
b. Tewas, adalah meninggal dunia dalam melaksanakan tugas berdasarkan perintah dinas atau
dalam keadaan lain yang berhubungan langsung dengan dinas, , bukan sebagai akibat
tindakan langsung lawan
c. Meninggal dunia biasa adalah bila disebabkan oleh sebab tertentu, bukan karena sedang
menjalankan tugas atau karena hubungan dengan pelaksanaan dinas (tidak termasuk manfaat
JKK)
Manfaat JKK meliputi :
a. Perawatan; dan/atau
b. Santunan
Perawatan diberikan sampai dengan sembuh, dilakukan berdasarkan kebutuhan medis yang
ditetapkan oleh dokter
Santunan berupa :
-Santunan cacat dinas khusus
-Santunan cacat dinas biasa
-Santunan risiko kematian khusus karena gugur
-Santunan risiko kematian khusus karena tewas
-Biaya pengangkutan peserta yg mengalami kecelakaan kerja; dan/atau
-Bantuan beasiswa
Hak atas Jaminan Kecelakaan Kerja bagi tenaga kerja yang hubungan kerjanya telah berakhir
diberikan apabila menurut hasil diagnosis dokter yang merawat penyakit tersebut diakibatkan oleh
pekerjaan selama tenaga kerja yang bersangkutan masih dalam hubungan kerja. Hak jaminan
kecelakaan kerja diberikan apabila penyakit tersebut timbul dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun
terhitung sejak hubungan kerja tersebut berakhir.
Penyakit akibat kerja seperti yang tercantum dalam Lampiran Peraturan Presiden ini meliputi jenis
penyakit:
a. yang disebabkan pajanan faktor yang timbul dari aktivitas pekerjaan;
b. berdasarkan sistem target organ;
c. kanker akibat kerja; dan
d. spesifik lainnya
17
a. dokter; atau
b. dokter spesialis,
yang berkompeten di bidang kesehatan kerja.
18
b. Penyakit yang disebabkan oleh faktor fisika, meliputi:
1. kerusakan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan;
2. penyakit yang disebabkan oleh getaran atau kelainan pada otot, tendon, tulang, sendi,
pembuluh darah tepi atau saraf tepi;
3. penyakit yang disebabkan oleh udara bertekanan atau udara yang didekompresi;
4. penyakit yang disebabkan oleh radiasi ion;
5. penyakit yang disebabkan oleh radiasioptik, meliputi
ultraviolet, radiasi elektromagnetik (visible light, infra merah, termasuk laser;
6. penyakit yang disebabkan oleh pajanan temperatur ekstrim; dan
7. penyakit yang disebabkan oleh faktor fisika lain yang tidak disebutkan di atas, di mana ada
hubungan langsung antara paparan faktor fisika yang muncul akibat aktivitas pekerjaan
dengan penyakit yang dialami oleh pekerja yang dibuktikan secara ilmiah dengan
menggunakan metode yang tepat
c . Penyakit yang disebabkan oleh faktor biologi dan penyakit infeksi atau parasit, meliputi:
1. brucellosis;
2. virus hepatitis;
3. virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia (human immunodeficiency virus)
4. tetanus;
5. tuberkulosis;
6. sindrom toksik atau inflamasi yang berkaitan dengan kontaminasi bakteri atau jamur;
7. anthrax;
8. leptospira; dan
9. penyakit yang disebabkan oleh faktor biologi lain di tempat kerja yang tidak disebutkan di
atas, di mana ada hubungan langsung antara paparan faktor biologi yang muncul akibat
aktivitas pekerjaan dengan penyakit yang dialami oleh pekerja yang dibuktikan secara ilmiah
dengan menggunakan metode yang tepat.
II. Penyakit Berdasarkan Sistem Target Organ
a. penyakit saluran pernafasan, meliputi:
1. pneumokoniosis yang disebabkan oleh debu mineral pembentuk jaringan parut, meliputi
silikosis, antrakosilikosis, dan asbestos;
2. siliko tuberkulosis;
3. pneumokoniosis yang disebabkan oleh debu mineral nonfibrogenic;
4. siderosis;
5. penyakit bronkhopulmoner yang disebabkan oleh debu logam keras;
6. penyakit bronkhopulmoner yang disebabkan oleh debu kapas, meliputi bissinosis, vlas,
henep, sisal, dan ampas tebu atau bagassosis;
7. asma yang disebabkan oleh penyebab sensitisasi atau zat iritan yang dikenal yang ada dalam
proses pekerjaan;
8. alveolitis alergika yang disebabkan oleh faktor dari luar sebagai akibat penghirupan debu
organik atau aerosol yang terkontaminasi dengan mikroba, yang timbul dari aktivitas
pekerjaan;
9. penyakit paru obstruktif kronik yang disebabkan akibat menghirup debu batu bara, debu dari
tambang batu, debu kayu, debu dari gandum dan pekerjaan perkebunan, debu dari kandang
hewan, debu tekstil, dan debu kertas yang muncul akibat aktivitas pekerjaan;
10. penyakit paru yang disebabkan oleh aluminium;
11. kelainan saluran pernafasan atas yang disebabkan oleh sensitisasi atau iritasi zat yang ada
dalam proses pekerjaan; dan
12. penyakit saluran pernafasan lain yang tidak disebutkan di atas, di mana ada hubungan
langsung antara paparan faktor risiko yang muncul akibat aktivitas pekerjaan dengan
penyakit yang dialami oleh pekerja yang dibuktikan secara ilmiah dengan menggunakan
metode yang tepat;
19
b. penyakit kulit, meliputi:
1. dermatosis kontak alergika dan urtikaria yang disebabkan oleh faktor penyebab alergi lain
yang timbul dari aktivitas pekerjaan yang tidak termasuk dalam penyebab lain;
2. dermatosis kontak iritan yang disebabkan oleh zat iritan yang timbul dari aktivitas pekerjaan,
tidak termasuk dalam penyebab lain; dan
3. vitiligo yang disebabkan oleh zat penyebab yang diketahui timbul dari aktivitas pekerjaan,
tidak temasuk dalam penyebab lain;
10. Peraturan Menteri Keuangan nomor 141/pmk.02/2018 Tentang Koordinasi antar penyelenggara
jaminan dalam pemberian manfaat pelayanan kesehatan
-Biaya layanan kesehatan atas DUGAAN Kasus PAK ditanggung oleh BPJS Ketenagakerjaan/ TASPEN/
ASABRI sesuai status kepesertaannya
-Penegakan diagnosis PAK dilakukan oleh dokter/dokter spesialis yang kompeten
20
11. Peraturan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) nomor 1 tahun 2021 tentang Koordinasi
Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan pada Dugaan kasus Kecelakaan Kerja dan Dugaan Kasus
Penyakit Akibat Kerja
Beberapa pokok penting diantaranya :
Dugaan Kecelakaan Kerja dan Dugaan Penyakit Akibat Kerja adalah kondisi pada kasus yang diduga
KK/PAK sebelum tegaknya diagnosis Kecelakaan Kerja/Penyakit Akibat Kerja
a. Ruang lingkup koordinasi meliputi pelaporan dugaan kasus dan penjaminan pelayanan
kesehatan
b. Penjaminan pelayanan peserta pada dugaan kasus KK/PAK sebelum diagnosis ditegakkan
berlaku, mengacu pada tata cara penjaminan dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor
141/ pmk.02/ 2018 tentang Koordinasi antar penyelenggara jaminan dalam pemberian
manfaat pelayanan kesehatan.
c. Dalam hal diagnosis belum ditegakkan, kelas perawatan dan tarif mengikuti ketentuan
Jaminan Kesehatan ( penggunaan tarif INA CBG’s dan penerapan sistem berjenjang, kecuali
kasus gawat darurat)
d. Dalam hal dugaan kasus ternyata terbukti merupakan KK/PAK , maka selanjutnya kelas
perawatan dan tarif mengikuti ketentuan dalam program JKK
e. Dalam hal dugaan kasus ternyata tidak terbukti merupakan KK/PAK, maka selanjutnya kelas
perawatan dan tarif sesuai dengan ketentuan Jaminan Kesehatan sepanjang termasuk
manfaat yang dijamin; atau
BPJS Kesehatan wajib mengganti biaya pelayanan kesehatan peserta kepada BPJS
Ketenagakerjaan/TASPEN/ASABRI
Bila dugaan kasus tidak terbukti KK/PAK dan di Jaminan Kesehatan tidak termasuk manfaat yang
dijamin, maka peserta wajib mengganti biaya pelayanan kesehatan yang telah dibayarkan oleh BPJS
Ketenagakerjaan/Taspen/Asabri
12. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 56 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit
Akibat Kerja.
Dengan adanya Peraturan Presiden nomor 7 tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja, Peraturan
Menteri Kesehatan nomor 56 tahun 2016 ini sedang dalam proses revisi .
Beberapa pokok penting diantaranya ;
Pelayanan Penyakit Akibat Kerja meliputi:
a. diagnosis Penyakit Akibat Kerja; dan
b. tata laksana Penyakit Akibat Kerja
Diagnosis Penyakit Akibat Kerja dilaksanakan dengan pendekatan 7 (tujuh) langkah yang meliputi:
a. penegakan diagnosis klinis;
b. penentuan pajanan yang dialami pekerja di tempat kerja;
c. penentuan hubungan antara pajanan dengan penyakit;
d. penentuan kecukupan pajanan;
e. penentuan faktor individu yang berperan;
f. penentuan faktor lain di luar tempat kerja; dan
g. penentuan diagnosis okupasi.
Tata laksana medis sebagaimana tersbut diatas dilakukan sesuai dengan standar profesi, standar
pelayanan, dan standar operasional prosedur.
Tata laksana okupasi terdiri atas tata laksana okupasi pada komunitas yang meliputi pelayanan
21
pencegahan PAK dan penemuan dini kasus PAK; dan tata laksana okupasi pada individu yang
meliputi:
a. pelayanan pencegahan Penyakit Akibat Kerja;
b. pelayanan penemuan dini Penyakit Akibat Kerja;
c. pelayanan kelaikan kerja;
d. pelayanan kembali bekerja; dan
e. pelayanan penentuan kecacatan.
Penyelenggaraan pelayanan PAK dapat dilakukan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
maupun Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL), dilakukan oleh dokter atau dokter
spesialis yang berkompeten di bidang kesehatan kerja
Revisi Permenkes nomor 56 tahun 2016 ini akan memperhatikan Konsensus Tatalaksana PAK
Pokok bahasan 2.
Hubungan dokter, pasien pekerja, pemberi kerja terkait pelayanan kesehatan kerja dalam era SJSN
Hak dan kewajiban tercantum dalam Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
a. Hak pasien pekerja
1. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis ;
2. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
3. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
4. menolak tindakan medis; dan
5. mendapatkan isi rekam medis.
b. Kewajiban pasien pekerja
1. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
2. mematuhi masihat dan petunjuk dokter;
3. mematuhi ketentuan yang berlakuk di sarana pelayanan Kesehatan; dan
22
4. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima
c. Hak dokter
Hak dokter antara lain:
1. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi
dan standar prosedur operasional (SPO);
2. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan SPO;
3. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya;
4. menerima imbalan jasa.
d. Kewajiban dokter terhadap pasien
Dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan kerja, dokter berkewajiban:
1. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional
serta kebutuhan medis pasien;
2. merujuk pasien ke dokter lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik,
apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
3. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu
meninggal dunia;
4. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain
yang bertugas dan mampu melakukannya;
5. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran .
e. Hak Pemberi kerja
Pemberi kerja berhak mendapatkan laporan kesehatan pegawai di lingkungan kerjanya.
f. Kewajiban pemberi kerja
Pemberi kerja berkewajiban mengikutsertakan pegawainya dalam program jaminan sosial tenaga
kerja serta melaporkan penyakit yang timbul karena hubungan kerja setelah ada hasil diagnosis dari
dokter pemeriksa
Pokok Bahasan 3
Standar Kompetensi Dokter sesuai tingkatan kompetensinya dalam melakukan pelayanan Penyakit
Akibat Kerja dan sistem rujukannya
Pelayanan Kesehatan kerja yang dilakukan oleh dokter tidak terlepas dari ketrampilan medis yang dimiliki
oleh dokter. Ketrampilan medis tersebut disebut dengan kompetensi medis. Kompetensi medis seorang
dokter sangat tergantung dari pendidikan yang diperolehnya, baik itu melalui pendidikan formal ataupun
pelatihan ketrampilan medis yang dilakukan. Pelayanan Penyakit Akibat Kerja dapat diberikan di FKTP
maupun di FKRTL sesuai kompetensinya. Alur rujukan berjenjang diterapkan sesuai skema dibawah ini
23
Kompetensi dokter dibagi menjadi kompetensi dokter dan kompetensi dokter spesialis. Kompetensi
dokter mengacu ke Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) tahun 2012 . Sedangkan kompetensi
dokter spesialis disusun oleh masing-masing Perhimpunan Profesi Dokter Spesialis dan Kolegiumnya.
Kompetensi dalam bidang kedokteran okupasi telah disusun Standar Kompetensi Dokter Pemberi
Pelayanan Kedokteran Okupasi dan Kesehatan Kerja tahun 2014. Dalam kaitan dengan diagnosis
Penyakit Akibat Kerja, merupakan salah satu kompetensi utama dokter spesialis kedokteran okupasi
(SpOk). Selain itu, dapat dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran kelautan (SpKL), dokter spesialis
kedokteran penerbangan (SpKP) pada kasus Penyakit Akibat Kerja yang sesuai dan dokter spesialis
lainnya yang terkait pelayanan Penyakit Akibat Kerja. Dalam SKDI 2012, tercantum di butir 93 yaitu :
melakukan langkah diagnosis Penyakit Akibat Kerja dan penanganan pertama di tempat kerja, serta
melakukan pelaporan Penyakit Akibat Kerja.
Revisi SKDI 2012 dilakukan sejak tahun 2019 dengan proses pembahasan oleh tim , yang dibentuk oleh
Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) dan Kolegium Dokter Indonesia (KDI).
Dokumen pembahasan disatukan menjadi Standar (Nasional) Pendidikan Profesi Dokter Indonesia
(SNPPDI/SPPDI).
Khusus di bidang Kedokteran Okupasi, telah diterbitkan Standar Kompetensi Dokter Pemberi Pelayanan
Kedokteran Okupasi dan Kesehatan Kerja 2014 telah dirinci tingkat daftar kompetensi klinis dokter
pada setiap Penyakit Akibat Kerja (ICD X-OH). Dalam hal ini, kompetensi dokter pemberi pelayanan
kedokteran Okupasi dan kesehatan kerja dibagi menjadi 3 tingkatan kompetensi, yaitu dokter dengan
pelatihan hiperkes/pelatihan kesehatan kerja dasar, Dokter Magister Kedokteran Kerja (MKK) dan
Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi.
Terkait sistem rujukan, dalam konsensus tatalaksana Penyakit Akibat Kerja disebutkan bahwa
- Rujukan horizontal antar faskes yang setara dimungkinkan kepada faskes yang memiliki dokter yang
kompeten dalam diagnosis Penyakit Akibat Kerja apabila disuatu wilayah belum terdapat sumber daya
yg dapat memenuhi layanan Penyakit Akibat Kerja
- Dalam hal suatu wilayah belum mempunyai dokter SpOk, SpKL, SpKP, maka Organisasi Profesi dapat
menunjuk salah satu anggotanya sebagai pengampu di wilayah tersebut
Pokok Bahasan 4
24
Kode Etik Dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan kerja dan kedokteran okupasi di indonesia
i. Kode Etik Kedokteran indonesia (KODEKI), PB IDI -2012
ii. Kode Etik Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia , KONAS VI PERDOKI, Juli 2019
Kode Etik Kedokteran Indonesia merupakan kode etik yang harus dipatuhi oleh semua dokter di
Indonesia dalam melakukan praktik kedokterannya. Selain itu untuk bidang kedokteran okupasi,
diperlukan pemahaman dan aplikasi dari kode etik kedokteran okupasi Indonesia. Kode etik ini yang
mengatur tatanan etika antara dokter, pekerja dan pemberi kerja dalam praktik kedokteran okupasi
di Indonesia.
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), PB IDI 2012
Mencakup :
I. Kewajiban Umum ( 13 pasal)
II. Kewajiban Dokter terhadap pasien (4 pasal)
III. Kewajiban Dokter terhadap teman sejawat ( 2 pasal)
IV. Kewajiban Dokter terhadap diri sendiri (2 pasal)
Kewajiban Umum:
1. Semua dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah atau janji
dokter.
2. Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan profesional secara independen, dan
mempertahankan perilaku profesional dalam ukuran yang tertinggi
3. Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu
yang mengakibatkan kehilangan kebebasan dan kemandirian profesi.
4. Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
5. Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik , wajib
memperoleh persetujuan pasien/keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan
pasien tersebut
6. Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan setiap
penemuan tehnik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat
menimbulkan keresahan masyarakat
7. Seorang dokter wajib hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya.
8. Seorang dokter wajib dalam setiap praktek medisnya,memberikan pelayanan secara kompeten
dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan
penghormatan atas martabat manusia.
9. Seorang dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan
berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter
atau kompetensi,atau yang melakukan penipuan atau penggelapan.
10. Seorang dokter wajib menghormati hak-hak pasien, teman sejawatnya, dan tenaga kesehatan
lainnya, serta wajib menjaga kepercayaan pasien.
11. Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya melindungi hidup makhluk insani
12. Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter wajib memperhatikan keseluruhan aspek pelayanan
kesehatan (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial-kultural
pasiennya, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi sejati masyarakat
13. Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat lintas sektoral di bidang kesehatan dan
bidang lainnya serta masyarakat, wajib saling menghormati.
25
4. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud tugas perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.
b. Kode Etik Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia , KONAS VI PERDOKI, Juli 2019
1. Bahwa kami mengutamakan keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku.
2. Bahwa kami melaksanakan tugas dan pelayanan kedokteran kerja berdasarkan kaidah ilmiah
yang obyektif, terstruktur, dan terpadu.
3. Bahwa kami senantiasa meningkatkan, mengembangkan pengetahuan, penelitian, dan
pelayanan kedokteran kerja secara berkesinambungan.
4. Bahwa kami dalam hal membuat suatu pernyataan dan atau keputusan dan atau persetujuan
sesuai dengan kompetensi sebagai dokter spesialis kedokteran okupasi.
5. Bahwa kami dalam melaksanakan butir ke-4 membebaskan diri dari tekanan dan atau pengaruh
yang berasal dari perbedaan kepentingan.
6. Bahwa kami menyampaikan informasi medis yang mudah dipahami dan transparan kepada
pekerja tentang kesehatan dan keberlangsungan kerja.
7. Bahwa kami senantiasa menghindari penawaran dan atau penggunaan jasa yang
mendatangkan keuntungan bagi diri sendiri atau pihak dan atau kerugian bagi pihak lainnya.
8. Bahwa kami dengan cermat memperhatikan nilai-nilai psikologis, kebudayaan dan agama yang
terdapat dalam masyarakat pekerja dan menyerasikannya kepada tujuan keselamatan dan
kesehatan kerja dengan sebaik-baiknya.
9. Bahwa kami melaksanakan kode etik spesialis kedokteran okupasi dengan penuh kesadaran dan
keyakinan dalam rangka menjunjung tinggi profesi kedokteran okupasi.
I. Referensi
1. UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
2. UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
3. UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
4. UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
5. Peraturan pemerintah nomor 88 tahun 2019 tentang Kesehatan Kerja
6. Peraturan pemerintah nomor 82 tahun 2019 tentang perubahan atas PP nomor 44 tahun 2015
tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian
7. Peraturan Pemerintah nomor 70 tahun 2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan
Kematian (JKM) bagi pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN). Pedoman lengkapnya tercantum dalam
Peraturan Badan Kepegawaian Negara (BKN) nomor 4 tahun 2020 tentang Pedoman kriteria
penetapan kecelakaan kerja, cacat, Penyakit Akibat Kerja dan kriteria penetapan tewas bagi pegawai
ASN
8. Peraturan Pemerintah nomor 102 tahun 2015 tentang Asuransi Sosial Prajurit TNI, Anggota
Kepolisian Negara RI, dan Pegawai Aparatur Sipil Negara di lingkungan Kementerian Pertahanan dan
Kepolisian Negara RI
9. Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja
10. Peraturan Menteri Keuangan nomor 141/pmk.02/2018 Tentang Koordinasi antar penyelenggara
jaminan dalam pemberian manfaat pelayanan kesehatan
26
11. Peraturan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) nomor 1 tahun 2021 tentang Koordinasi
Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan pada Dugaan kasus Kecelakaan Kerja dan Dugaan Kasus
Penyakit Akibat Kerja
12. (Revisi) Permenkes No. 56 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja
13. Konsensus Tatalaksana PAK, 2019. IDI dan organisasi profesi terkait
14. Standar Kompetensi Dokter Indonesia.tahun 2012
15. Standar Kompetensi Dokter Pemberi Pelayanan Kesehatan Kerja dan Kedokteran Okupasi
2014.
16. Kode Etik Kedokteran Indonesia, PB IDI 2012
17. Kode Etik Spesialis Kedokteran Okupasi, Konas VI Perdoki, 2019
MATERI INTI 1
HUBUNGAN PAJANAN DI TEMPAT KERJA DENGAN TIMBULNYA PENYAKIT
Jumlah JPL : 4 JPL ( T: 1 JPL P: 3)
I. DESKRIPSI SINGKAT
Pekerja berada di tempat kerja selama kurang kebih 8 jam per hari, 40 jam perminggu selama ber-
tahun2 (> 30 tahun). Selama di tempat kerja melakukan proses kerja dan/atau berada di lingkungan
yang terdapat berbagai pajanan yang dapat berisiko terhadap Kesehatan, yang disebut juga sebagai
bahaya potensial pekerjaan (Occupational Hazards). Hal tersebut dapat menyebabkan Penyakit Akibat
Kerja yang sering disebut sebagai Man Made Disease. Penyakit Akibat kerja dapat dicegah, apabila
dilakukan pengendalian terhadap bahaya potensial yang ada. Untuk dapat melakukan pencegahan dan
pengendalian, maka perlu kemampuan untuk mengidentifikasi jenis dan tingkat pajanan dan mengenali
masalah Kesehatan yang dapat ditimbulkan oleh jenis pajanan di tempat kerja tersebut. Salah satu
upaya pengendalian terhadap pajanan di tempat kerja adalah dengan regulasi tingkat pajanan yang
masih diperbolehkan di tempat kerja, agar pekerja terindungi dari masalah Kesehatan yang dapat
ditimbulkan.
IV. METODE
Ceramah
Menonton dan Menganalisa video
Tanya jawab
Hal pertama yang perlu dilakukan adalah Eliminasi bahan berbahaya dalam semua proses kerja, bila
memungkinkan dan diganti dengan bahan yang kurang berbahaya (substitusi). Hal ini sering tidak
mungkin dilakukan, karena bahan berbahaya dibutuhkan dalam proses kerja atau pembuatan
produk yang diinginkan atau bila diganti dengan bahan kurang berbahaya biaya produksi akan
meningkat. Bila eliminasi tidak memungkinkan, maka upaya pengendalian ke 2 adalah rekayasa
teknik, agar pajanan yang berbahaya tidak sampai ke pekerja, misalnya dengan melakukan upaya
perbaikan ventilasi, barrier dsb.
31
Upaya ke tiga dan keempat adalah menerapkan cara kerja aman pada semua proses kerja, agar
tingkat pajanan dapat diminimalisasi dan tidak sampai menyebabkan gangguan Kesehatan, termasuk
juga pemeliharaan kebersihan lingkungan kerja dan peningkatan Kesehatan dan kesejahteraan
pekerja. Penggunaan Alat Pelindung Diri adalah upaya tambahan yang perlu dilakukan sebagai upaya
melindungi pekerja, khususnya pada pajanan biologis, harus selalu diterapkan. Surveilans Medis
merupakan upaya yang selalu harus diterapkan untuk identifikasi dini adanya pekerja terpajan atai
mengalami gangguan Kesehatan. Untuk Latihan identifikasi bahaya potensial dapat digunakan table
di bawah ini:
Pajanan utama dari seorang penjahit di atas adalah duduk lama dengan posisi yang statis dalam
kurun waktu yang lama (minimal 8 jam setiap hari). Otot dan rangka yang terlibat akan
mengalami injuri.
32
2. Tentara
Pajanan utama tentara yang harus melakukan tugas di alam bebas adalah pajanan alam seperti
sinar matahari, suhu yang panas, serangga, kemungkinan binatang buas dan adanya stress
psikososial. Seluruh pajanan di atas dapat menyebabkan gangguan Kesehatan pada tentara.
3. Petugas kesehatan
Pekerja di fasilitas Kesehatan memiliki risiko utama yaitu pajanan biologi berupa bakteri dan
virus yang dibawa oleh pasien dan psikososial disamping pajanan lainnya. Terpajan bakteri dan
virus penyebab penyakit menyebabkan pekerja Kesehatan rentan dengan penyakit seperti
COVID 19, tuberkulosi, hepatitis B dan hepatitis C
33
MATERI INTI 2
DIAGNOSIS PENYAKIT AKIBAT KERJA ( PAK)
Jumlah JPL : 2( T : 1, P :1 )
I. DESKRIPSI SINGKAT
Era industriliasisasi memberikan pengaruh terhadap pekerja yang bekerja dengan mesin-mesin dan bahan
bahan kimia. Efek dari bahan, mesin, proses kerja dan lingkungan kerja serta kemajuan industri berpengaruh
terhadap kesehatan pekerja. Selain menimbulkan penyakit yang berhubungan dengan pekerjaanya, dapat
juga menimbulkan kecelakaan pada saat bekerja.
Deteksi dini adanya penyakit di tempat kerja atau yang terkenal dengan Penyakit Akibat Kerja(PAK) serta
pencegahan terjadinya kecelakaan akibat kerja(KAK), memerlukan kompetensi Dokter untuk
mendiagnosisnya, dengan menggunakan metode 7 langkah diagnosis Okupasi yang sudah dikembangkan
oleh Kolegium Kedokteran Okupasi Indonesia bersama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
dan Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia tahun 2011 dan tercantum di Peraturan Menteri
Kesehatan nomor 56 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan PAK.
Kompetensi ini dibutuhkan juga oleh Dokter yang bekerja di layanan primer sesuai dengan level
kompetensinya pada penyakit penyakit yang tertera dalam Standar Kompetensi Dokter pemberi layanan
Kedokteran Okupasi dan Kesehatan Kerja tahun 2014.
Seperti yang kita ketahui, masalah kesehatan kerja adalah adanya Penyakit Akibat Kerja (PAK), Penyakit
Terkait Kerja ataupun Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) yang disebabkan adanya interaksi antara pekerja
dengan alat, metode, bahan dan proses kerja serta lingkungan kerja. Data PAK di Indonesia saat ini
masih dilaporkan sebagai data KAK, sedangkan gambaran PAK yang ada saat ini seperti Puncak "Gunung
Es", dimana PAK yang diketahui dan dilaporkan baru sedikit, sedangkan yang tidak dilaporkan dan tidak
menunjukan gejala sebenarnya lebih banyak.
IV. METODE
- Ceramah tanya jawab
- Curah Pendapat
- Latihan Kasus
V. BAHAN AJAR
1. Hand Out (bahan tayang) materi Penyakit Akibat Kerja
Kegiatan Peserta:
1.Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
2. Peserta mendengarkan dengan seksama
3. Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
35
Langkah 3: Fasilitator menjelaskan pokok bahasan kedua
Kegiatan Fasilitator:
1. Fasilitator menanyakan kepada peserta tentang faktor risiko terjadinya Penyakit Akibat Kerja yang
diketahui oleh peserta
2. Fasilitator menjelaskan tentang faktor risiko terjadinya Penyakit Akibat Kerja
3. Faslilitator bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta
Kegiatan Peserta:
1.Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
2. Peserta mendengarkan dengan seksama
3. Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
Kegiatan Peserta:
1.Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
2. Peserta mendengarkan dengan seksama
3. Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
Kegiatan Peserta:
1.Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
2. Peserta mendengarkan dengan seksama
3. Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
Kegiatan Peserta:
1.Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
2. Peserta mendengarkan dengan seksama
3. Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
4. Peserta melakukan pengisian berkas pasien kedokteran okupasi sesuai arahan fasilitator
36
Langkah 7: Fasilitator menjelaskan pokok bahasan keenam
Kegiatan Fasilitator:
1.Fasilitator menanyakan kepada peserta tentang latar belakang Konsensus Tatalaksana Penyakit
Akibat Kerja yang diketahui oleh peserta
2. Fasilitator menjelaskan tentang latar belakang Konsensus Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja
3. Faslilitator bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta
Kegiatan Peserta:
1.Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
2. Peserta mendengarkan dengan seksama
3. Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
Kegiatan Peserta:
1.Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
2. Peserta mendengarkan dengan seksama
3. Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
Kegiatan Peserta:
1.Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
2. Peserta mendengarkan dengan seksama
3. Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
Kegiatan Peserta:
1.Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
2. Peserta mendengarkan dengan seksama
3. Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
37
Langkah 11: Fasilitator menjelaskan pokok bahasan kesepuluh
Kegiatan Fasilitator:
1. Fasilitator menanyakan kepada peserta tentang Alur penentuan kategori A1, A2, B dan C
yang diketahui oleh peserta
2. Fasilitator menjelaskan tentang Alur penentuan kategori A1, A2, B dan C
3. Faslilitator bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta
Kegiatan Peserta:
1.Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
2. Peserta mendengarkan dengan seksama
3. Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
Kegiatan Peserta:
1.Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
2. Peserta mendengarkan dengan seksama
3. Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
Kegiatan Peserta:
1.Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
2. Peserta mendengarkan dengan seksama
3. Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
4. Peserta melakukan pengisian berkas pasien kedokteran okupasi sesuai arahan fasilitator
VII.URAIAN MATERI
Pokok Bahasan 1
Pengertian Penyakit Akibat Kerja
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 56 tahun 2016, pengertian PAK adalah sebagai berikut: Penyakit
Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan atau lingkungan kerja termasuk penyakit
terkait kerja.
Penyakit terkait kerja adalah penyakit yang mempunyai beberapa agen penyebab dengan faktor pekerjaan
dan atau lingkungan kerja memegang peranan bersama dengan faktor risiko lainnya.
Ada istilah :
Penyakit yang diperberat oleh pekerjaan ( Bukan PAK), yaitu :
38
penyakit yang terjadi pada populasi pekerja tanpa adanya agen penyebab di tempat kerja, namun dapat diperberat oleh
kondisi lingkungan pekerjaan yang buruk bagi kesehatan
Adanya fakta bahwa frekuensi kejadian penyakit pada populasi pekerja lebih tinggi daripada
masyarakat.
Dibuktikan dengan 7 langkah diagnosis okupasi sebagai penentuan Penyakit Akibat Kerja atau bukan
PAK
Dalam mendiagnosis Penyakit Akibat Kerja terdapat 3 (tiga) prinsip yang harus diperhatikan:
1. Hubungan antara pajanan yang spesifik dengan penyakit.
2. Frekuensi kejadian penyakit pada populasi pekerja lebih tinggi daripada pada masyarakat.
3. Penyakit dapat dicegah dengan melakukan tindakan promosi kesehatan dan pencegahan penyakit.
Pokok Bahasan 2
Faktor Risiko Penyebab Terjadinya Penyakit Akibat Kerja
2. Riwayat mengalami kecelakaan atau kejadian dalam penggunaan bahan kimia, misalnya menumpahkan
bahan.
3. Bekerja dengan pajanan pada tempat yang terbatas tanpa menggunakan alat pelindung diri yang
sesuai.
Pokok Bahasan 3
Cara Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
39
Diagnosis Penyakit Akibat Kerja dilakukan dengan pendekatan sistematis untuk mendapatkan informasi yang
diperlukan dalam melakukan interpretasi secara tepat. Pendekatan tersebut dilakukan melalui 7 (tujuh)
langkah diagnosis Penyakit Akibat Kerja sebagai berikut :
Langkah 1 : penegakan diagnosis klinis;
Langkah 2 :penentuan pajanan yang dialami pekerja di tempat kerja;
Langkah 3 :penentuan hubungan antara pajanan dengan penyakit;
Langkah 4 : penentuan kecukupan pajanan;
Langkah 5 : penentuan faktor individu yang berperan;
Langkah 6 : penentuan faktor lain di luar tempat kerja; dan
Langkah 7 :penentuan diagnosis okupasi.
Tujuh langkah diagnosis PAK :
1. Penegakan diagnosis klinis
Untuk menyatakan, bahwa suatu penyakit adalah akibat kerja, harus dibuat Diagnosis klinis
terlebih dahulu.
2. Menentukan pajanan yang dialami individu tersebut dalam pakerjaan
Identifikasi semua pajanan yang dialami oleh pekerja tersebut. Untuk itu perlu dilakukan anamnesis
pekerjaan yang lengkap dan kalau perlu dilakukan pengamatan di tempat kerja dan mengkaji data
sekunder yang ada.
3. Menentukan apakah ada hubungan pajanan dengan penyakit
Untuk menentukan adanya hubungan antara pajanan dan penyakit, harus berdasarkan dari bukti
yang ada ( evidence based)
4. Menentukan apakah pajanan yang dialami cukup besar
Penentuan besarnya pajanan, dapat dilakukan secara kuantitatif dengan melihat data pengukuran
lingkungan dan masa kerja atau secara kualitatif dengan mengamati cara pekerja bekerja.
5. Menentukan apakah data faktor-faktor individu yang berperan
Faktor individu apakah ada yang dapat mempercepat atau memperlambat kemungkinan terjadi penyakit
akibat hubungan kerja, misalnya kebiasan merokok,faktor genetik atau kebiasaan memakai alat
pelindung dengan baik.
6. Menentukan apakah ada faktor lain diluar pekerjaan
Apakah ada faktor di luar pekerjaan yang juga dapat menjadi penyebab penyakit, misalnya kanker
paru selain dapat disebabkan oleh asbes, juga dapat disebabkan oleh kebiasaan merokok.
7. Menentukan diagnosis akibat kerja
Apabila dapat dibuktikan, bahwa paling sedikit ada satu faktor pekerjaan yang berperan sebagai
penyebab penyakit,maka penyakit tersebut dapat dikategorikan sebagai PAK.
Pokok Bahasan 4
Penatalaksanaan PAK
Tata laksana Penyakit Akibat Kerja secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu tata laksana medis dan tata
laksana okupasi.
1. Tata Laksana Medis
Tata laksana medis dilakukan setelah diagnosis klinis pada langkah pertama diagnosis Penyakit Akibat
Kerja ditegakkan. Tata laksana medis berupa rawat jalan dan/atau rawat inap yang dapat dilakukan di
fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan oleh dokter
sesuai dengan kompetensinya.
Terapi yang diberikan berupa medikamentosa dan/atau non medikamentosa seperti edukasi, exercise,
fisioterapi, konseling, psikoterapi dan nutrisi.
Rujukan klinis dilakukan apabila diagnosis klinis belum dapat ditegakkan karena :
40
a. Timbul keraguan dari dokter yang melakukan pemeriksaan.
b. Sumber daya manusia, sarana, dan prasarana yang tidak memadai.
Tata laksana okupasi pada individu pekerja terdiri dari penetapan kelaikan kerja, program kembali bekerja
dan penentuan kecacatan.
A. Tata laksana Okupasi pada Individu Pekerja
A. 3) Penentuan Kecacatan
41
Penyakit Akibat Kerja dapat menimbulkan disabilitas akibat kecacatan anatomi maupun fungsi yang
perlu dinilai persentasenya sehingga pekerja berhak mendapatkan kompensasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pokok Bahasan 5
Berkas pasien kedokteran okupasi (berkas form Kedokteran okupasi atau Medical record)
Berkas pasien kedokteran okupasi selengkapnya tercantum pada lampiran
42
Body map Discomfort (bila kasus otot rangka)
Brief survey (bila kasus otot rangka)
Pemeriksaan fisik: Tanda tanda vital, kepala, mata, telinga, tenggorokan, leher, dada, paru, jantung,
punggung, ekstremitas atas, ekstremitas bawah
Pemeriksaan status lokalis
Diagnosis Kerja
Diagnosis Okupasi
Tatalaksana Medis dan non medis
FORMULIR
STATUS MEDIS PENYAKIT AKIBAT KERJA
Pekerjaan: Pendidikan
(lingkari)
Nama Perusahaan :
1. tamat SD 4. D3/ Akademi
Jenis Industri: 2. tamat SMP 5. S1
3. tamat SMA 6. S2/S3
Kepesertaan Jaminan : (lingkari)
1. BPJS Kesehatan
2. BPJS Ketenagakerjaan / Taspen/ ASABRI
3. Lainnya ....
4. Tidak ada
A. Anamnesis
Keluhan utama
(termasuk keluhan yang masih dirasakan pada kunjungan
ulangan, harapan kekhawatiran, persepsi pasien mengenai
keluhan/penyakit )
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
Riwayat penyakit, riwayat penyakit keluarga (yang terkait)
43
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
B. Temuan Klinis (pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan
data obyektif lainnya)
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
C. Diagnosis Klinis
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
D. Diagnosis Diferensial (jika ada)
......................................................................................................
......................................................................................................
............
45
......................................................................................................
......
F. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja – Langkah 7
I. TATALAKSANA
A. Tatalaksana Medis
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
B. Tatalaksana Okupasi
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......................................................................................................
............
C. Keterangan Rujuk (Jika dirujuk)
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
dr. _
No. SIP.
Pokok Bahasan 6
Konsensus Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja di Indonesia
46
oleh proses kerja, lingkungan kerja serta perilaku kerja. Hal ini menyebabkan pekerja
tidak hanya berisiko menderita penyakit menular dan tidak menular sebagaimana yang dialami
masyarakat luas tetapi pekerja juga dapat menderita Penyakit Akibat Kerja dan/atau penyakit
terkait kerja. Penyakit Akibat Kerja (PAK) bukan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat
karena Penyakit Akibat Kerja terjadi akibat adanya pengaruh faktor risiko yang disebabkan oleh
pekerjaan dan/atau lingkungan kerja.
Berdasarkan data BPS tahun 2018 menyatakan bahwa sekitar 54% penduduk Indonesia berada pada
usia kerja dan sebagian besarnya merupakan pekerja. International Labour Organization (ILO)
tahun 2013 menyebutkan bahwa setiap tahun ditemukan 2,34 juta orang meninggal terkait
pekerjaan baik penyakit maupun kecelakaan dan sekitar 2,02 juta kasus meninggal terkait Penyakit
Akibat Kerja. Menurut kajian WHO menunjukkan bahaya di tempat kerja merupakan penyebab
atau memberikan kontribusi bagi kematian dini jutaan orang di seluruh dunia dan
mengakibatkan penyakit serta kecacatan bagi lebih dari ratusan orang setiap tahunnya. Dari 2,2 juta
kematian/tahun, 800.000 diantaranya disebabkan faktor risiko di tempat kerja, seperti bahan kimia
karsinogenik, partikulat yang ada di udara, risiko ergonomik, penyakit infeksi HIV/AIDS dan TBCC.
Besarnya jumlah pekerja di Indonesia dan masih tingginya risiko kesehatan di tempat kerja
membawa konsekuensi kemungkinan tingginya gangguan kesehatan yang disebabkan/terkait
dengan aktifitas dan lingkungan kerja. Namun di Indonesia gambaran penyakit akibat
kerja saat ini seperti fenomena “Puncak Gunung Es”, dimana Penyakit Akibat Kerja yang dilaporkan
masih sangat kecil. Pada tahun 2017, kasus PAK yang dilaporkan ke BPJS Ketenagakerjaan hanya
berjumlah 107 kasus pertahun. Bila dibandingkan dengan pekerja Indonesia yang berjumlah
121,02 juta orang maka jumlah kasus PAK yang dilaporkan masih sangat rendah. Hal ini
diantaranya disebabkan karena kompetensi tenaga kesehatan yang belum optimal dalam
mendiagnosis Penyakit Akibat Kerja. Minimnya identifikasi Penyakit Akibat Kerja oleh tenaga
kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan menyebabkan tempat kerja kurang mendapatkan “feed
back” dalam upaya pencegahan dan pengendalian hazard di lingkungan kerja. Selain itu
deteksi dini Penyakit Akibat Kerja seharusnya dapat membatasi timbulnya keparahan penyakit dan
mencegah terjadinya kecacatan.
Selama berjalannya SJSN sejak tahun 2015, telah terjadi ketidakseimbangan pemanfaatan
jaminan pelayanan kesehatan antar berbagai badan penyelenggara, dimana Penyakit Akibat Kerja
yang seharusnya ditanggung penjamin bidang Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan, PT.
TASPEN, PT. ASABRI), maka menjadi tanggungan BPJS lain, karena tidak teridentifikasi oleh fasilitas
pelayanan kesehatan.
Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan penguatan fasilitas pelayanan kesehatan dalam
mendiagnosis Penyakit Akibat Kerja. Sehingga Organisasi Profesi Kedokteran perlu menyusun
konsensus Penyakit Akibat Kerja di Indonesia yang dapat menjadi
acuan bagi dokter untuk melakukan pelayanan Penyakit Akibat Kerja di semua fasilitas pelayanan
kesehatan di Indonesia.
Pokok Bahasan 7
Pengertian dan Tujuan Konsensus
Pengertian
Tujuan konsensus
Adanya kesepakatan Organisasi Profesi tentang Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja di Indonesia.
47
Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan/atau lingkungan kerja.
Diagnosis Klinis adalah penentuan jenis penyakit oleh dokter berdasarkan tanda dan gejala serta
pemeriksaan fisik dan laboratorium dengan menggunakan metode, alat dan pemeriksaan
penunjang lainnya.
Diagnosis Okupasi adalah penegakkan diagnosis Penyakit Akibat Kerja yang dilakukan melalui
pendekatan 7 langkah diagnosa.
Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja adalah rangkaian pelayanan kesehatan yang komprehensif pada
pekerja yang terdiagnosa Penyakit Akibat Kerja, meliputi preventif, promotif, kuratif dan
rehabilitatif.
Konsensus adalah kesepakatan atau permufakatan bersama yang dicapai melalui kebulatan
suara.
Pokok Bahasan 8
Pembagian kategori Penyakit Akibat Kerja pada konsensus
1. Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu yang dapat
ditegakkan di FKTP (A1).
Kriteria :
● Diagnosis klinis dapat ditegakkan di FKTP.
● Penyakit yang memiliki penyebab yang jelas dan spesifik.
● Memiliki hubungan waktu antara pajanan dan timbulnya penyakit yang jelas.
● Besar pajanan dapat diakui/diterima secara umum.
● Pengaruh faktor individu dan faktor lain diluar tempat kerja dapat
disingkirkan dengan sederhana.
● Untuk penentuan diagnosa Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis
Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkan di FKTP (A1) dilakukan oleh dokter
yang memiliki kompetensi diagnosis Penyakit Akibat Kerja di FKTP
● Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu yang dapat
ditegakkan di FKTP (A1) dan kriterianya, tercantum dalam lampiran.
● Penyakit Akibat Kerja di luar yang tercantum dalam lampiran Penyakit Akibat
Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkan di
FKTP (A1) dan kriterianya, masuk dalam kategori Dugaan Penyakit Akibat Kerja
(B)
● Dalam hal dokter yang memiliki kompetensi dalam diagnosis Penyakit Akibat
Kerja atas dasar pertimbangan medis yang kuat berdasarkan pendekatan 7
(tujuh) langkah diagnosa dan dapat disertai data dukung yang lengkap seperti
hasil pemeriksaan kesehatan pra kerja, data lingkungan kerja, data
riwayat penyakit dan lain lain, maka dokter
tersebut dapat menetapkan Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis
Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkan di FKTP.
● Termasuk dalam kelompok Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis
Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkan di FKTP adalah gangguan atau penyakit
48
yang disebabkan langsung oleh kecelakaan kerja.
2. Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan tertentu yang dapat
ditegakkan di FKRTL (A2)
Kriteria :
● Diagnosis klinis membutuhkan fasilitas pemeriksaan penunjang atau dokter
spesialis terkait di FKRTL.
● Penyakit yang memiliki penyebab yang jelas dan spesifik.
● Memiliki hubungan waktu antara pajanan dan timbulnya penyakit yang jelas.
● Besaran pajanan dapat diakui/diterima secara umum.
● Pengaruh faktor individu dan faktor lain diluar tempat kerja dapat
disingkirkan dengan sederhana.
● Untuk penentuan diagnosis Penyakit Akibat Kerjayang Spesifik pada Jenis
Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkan di FKRTL (A2) dilakukan oleh dokter
spesialis yang memiliki kompetensi diagnosis Penyakit Akibat Kerja di FKRTL.
● Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu yang dapat
ditegakkan di FKRTL (A2) dan kriterianya, tercantum dalam lampiran.
● Penyakit Akibat Kerja di luar yang tercantum dalam lampiran Penyakit Akibat
Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkan di
FKRTL (A2) dan kriterianya, masuk dalam kategori Dugaan Penyakit Akibat Kerja
(B)
49
Pokok Bahasan 9
Rujuk dan rujuk balik dugaan PAK
Pokok Bahasan 10
Alur penentuan kategori A1, A2, B dan C
50
Berdasarkan jenis pekerjaan dan tingkat kesulitan dalam mendiagnosis Penyakit Akibat
Kerja serta ketersediaan fasilitas dan sumber daya di layanan kesehatan, maka proses diagnosis
Penyakit Akibat Kerja dibagi menjadi 3 kategori
1. Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu yang dapat
ditegakkan di FKTP (A1).
Kriteria :
● Diagnosis klinis dapat ditegakkan di FKTP.
● Penyakit yang memiliki penyebab yang jelas dan spesifik.
● Memiliki hubungan waktu antara pajanan dan timbulnya penyakit yang jelas.
● Besar pajanan dapat diakui/diterima secara umum.
● Pengaruh faktor individu dan faktor lain diluar tempat kerja dapat
disingkirkan dengan sederhana.
● Untuk penentuan diagnosa Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis
Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkan di FKTP (A1) dilakukan oleh dokter
yang memiliki kompetensi diagnosis Penyakit Akibat Kerja di FKTP
● Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu yang dapat
ditegakkan di FKTP (A1) dan kriterianya, tercantum dalam lampiran.
● Penyakit Akibat Kerja di luar yang tercantum dalam lampiran Penyakit Akibat
Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkan di
FKTP (A1) dan kriterianya, masuk dalam kategori Dugaan Penyakit Akibat Kerja
(B)
● Dalam hal dokter yang memiliki kompetensi dalam diagnosis Penyakit Akibat
Kerja atas dasar pertimbangan medis yang kuat berdasarkan pendekatan 7
(tujuh) langkah diagnosa dan dapat disertai data dukung yang lengkap seperti
hasil pemeriksaan kesehatan pra kerja, data lingkungan kerja, data
riwayat penyakit dan lain lain, maka dokter
tersebut dapat menetapkan Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis
Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkan di FKTP.
● Termasuk dalam kelompok Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis
Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkan di FKTP adalah gangguan atau penyakit
yang disebabkan langsung oleh kecelakaan kerja.
2. Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan tertentu yang dapat
ditegakkan di FKRTL (A2)
Kriteria :
● Diagnosis klinis membutuhkan fasilitas pemeriksaan penunjang atau dokter
spesialis terkait di FKRTL.
● Penyakit yang memiliki penyebab yang jelas dan spesifik.
● Memiliki hubungan waktu antara pajanan dan timbulnya penyakit yang jelas.
● Besaran pajanan dapat diakui/diterima secara umum.
● Pengaruh faktor individu dan faktor lain diluar tempat kerja dapat
disingkirkan dengan sederhana.
● Untuk penentuan diagnosis Penyakit Akibat Kerjayang Spesifik pada Jenis
Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkan di FKRTL (A2) dilakukan oleh dokter
spesialis yang memiliki kompetensi diagnosis Penyakit Akibat Kerja di FKRTL.
● Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu yang dapat
ditegakkan di FKRTL (A2) dan kriterianya, tercantum dalam lampiran.
51
● Penyakit Akibat Kerja di luar yang tercantum dalam lampiran Penyakit Akibat
Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkan di
FKRTL (A2) dan kriterianya, masuk dalam kategori Dugaan Penyakit Akibat Kerja
(B)
52
Pokok Bahasan 11
Skema alur Pembiayaan Diagnosis PAK
53
Pokok Bahasan 12
Penjamin pembiayaan PAK
Pembiayaan PAK dilakukan setelah Diagnosis Penyakit Akibat Kerja sudah dapat ditegakkan. Penjamin
pembiayaan tersebut adalah BPJS Ketenagakerjaan untuk pekerja swasta, PT Taspen untuk aparat sipil
negara dan PT Asabri untuk TNI dan Polri.
Dengan adanya peraturan Menteri keuangan no 141 tahun 2018, maka Penyakit Akibat Kerja yang
masih diduga (disebut dengan Dugaan PAK) pembiayaannya untuk menegakkannya sebagai Penyakit
Akibat Kerja diberikan oleh PT Taspen untuk apparat sipil negara, BPJS Ketenagakerjaan untuk pekerja
swasta dan PT Asabri untuk TNI dan Polri
VIII.References
1. Barry S Levy David H.Wegman.Occupational Health Recognizing and preventing world related
disease.edisi ke 3
2. Week, JL, Gregory R Wagner,Kathleen M Rest, Barry S levi. A Public Health Approach to preventing
occupational Diseases and Injuries in preventing Occupational diseases and injury. Edisi ke 2,
APHA, Washington, 2005
3. Soemarko DS, Sulistomo AB. Tujuh Langkah Diagnosis Okupasi untuk mendeteksi Penyakit Akibat
Kerja. Perhimpunan Spesialis KEdokteran Okupasi Indonesia, Jakarta 2011.
4. Permenkes No 56 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan pelayanan Penyakit Akibat Kerja
5. Occupational Diseases 1986
6. Direktorat Kesehatan Kerja dan Olaheraga. Direktorat Jenderal Kesehatan
Masyarakat.Kementerian .Kesehatan RI. Konsensua Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja di
Indonesia. Jakarta 14 Desember 2018
54
MATERI INTI 3
TATALAKSANA PENYAKIT AKIBAT KERJA KARENA PAJANAN ERGONOMI
Jumlah JPL : 4 (T : 1, P : 3, PL : 0 )
I. DESKRIPSI SINGKAT
Dalam kesehariannya, pekerja menggunakan sistem alat gerak yang terdiri dari otot, tendon, ligament,
tulang dan sendi mereka untuk bergerak, bekerja, berjalan, duduk, mengangkat, menurunkan, menjinjing,
menarik atau mendorong barang-barang sesuai tugasnya masing-masing. Setiap tugas yang disebutkan
tersebut tergolong dalam kelompok bahaya potensial ergonomi yang merupakan satu dari 5 kelompok
pajanan di tempat kerja. Bila pekerjaan atau cara pekerja melaksanakan tugasnya terlalu membebani
tubuh pekerja atau dengan kata lain tidak mengikuti kaidah ergonomi akan menyebabkan keluhan pada
sistem gerak tubuh seperti pegal linu dan nyeri otot yang pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya
cedera/Gangguan Otot Tulang-Rangka Akibat Kerja (GOTRAK)/atau Work-related Musculo Sceletal
Disorders (WMSDs).
IV. METODE
Ceramah & tanya jawab
Role play
Presentasi peserta dan tanya jawab
V. LANGKAH PEMBELAJARAN
LANGKAH 1: Pengkondisian
a. Fasilitator memberi salam dan menyapa dengan ramah dan hangat
b. Fasilitator memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap instansi dan judul materi
yang disampaikan.
c. Menciptakan suasana nyaman dan memotivasi peserta agar siap menerima materi.
LANGKAH 2:
Penyampaian Pokok bahasan 1: Prinsip 7 langkah diagnosis PAK karena pajanan ergonomi
Kegiatan fasilitator:
a. Fasilitator menjelaskan prinsip 7 langkah diagnosis Penyakit Akibat Kerja karena pajanan
ergonomi dengan metoda ceramah tanya jawab.
b. Fasilitator bertanya kepada peserta tantang hal-hal yang belum dimengerti
c. Fasilitator merangkum pokok bahasan 1
Kegiatan peserta:
a. Peserta mendengarkan dan menyimak perjelasan fasilitator
b. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
c. Peserta mencatat hasil rangkuman
LANGKAH 4
Penyampaian pokok bahasan 2, sub pokok bahasan 1: Diagnosis CTS Akibat Kerja
Kegiatan fasilitator:
a. Fasilitator menjelaskan melalui metode ceramah tanya jawab:
a. Penegakan diagnosis CTS
b. Pemeriksaan fisik pada CTS
c. Pemeriksaan penunjang
d. 7 langkah diagnosis okupasi untuk menegakkan CTS Akibat kerja sesuai konsensus
tatalaksana PAK di Indonesia
b. Fasilitator menampilkan gambar tentang pemeriksaan fisik muskuloskeletal yang belum dipahami
peserta.
c. Fasilitator bertanya kepada peserta tantang hal-hal yang belum dimengerti
Kegiatan peserta:
a. Peserta mendengarkan dan menyimak perjelasan fasilitator
b. Peserta memperhatikan gambar tentang pemeriksaan fisik muskuloskeletal.
c. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
LANGKAH 5: Penyampaian pokok bahasan 2, sub pokok bahasan 2: Tatalaksana CTS Akibat Kerja
56
Kegiatan fasilitator:
a. Fasilitator menjelaskan tentang tatalaksana klinis CTS akibat kerja dengan metoda ceramah tanya
jawab.
b. Fasilitator menjelaskan tentang tatalaksana okupasi CTS akibat kerja dengan metoda ceramah
tanya jawab.
c. Fasilitator bertanya kepada peserta tantang hal-hal yang belum dimengerti
Kegiatan peserta:
a. Peserta mendengarkan dan menyimak perjelasan fasilitator
b. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
LANGKAH 6: Penyampaian Pokok Bahasan 3, sub pokok bahasan 1: Diagnosis LBP Akibat Kerja
Kegiatan fasilitator:
a. Fasilitator menjelaskan melalui metode ceramah tanya jawab:
Penegakan diagnosis LBP
Pemeriksaan fisik pada LBP
Pemeriksaan penunjang
7 langkah diagnosis okupasi untuk menegakkan LBP Akibat kerja sesuai konsensus
tatalaksana PAK di Indonesia
b. Fasilitator menampilkan gambar tentang pemeriksaan fisik muskuloskeletal yang belum dipahami
peserta.
c. Fasilitator bertanya kepada peserta tantang hal-hal yang belum dimengerti
Kegiatan peserta:
a. Peserta mendengarkan dan menyimak perjelasan fasilitator
b. Peserta memperhatikan gambar tentang pemeriksaan fisik muskuloskeletal.
c. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
LANGKAH 7: Penyampaian Pokok Bahasan 3, sub pokok bahasan 2: Tatalaksana LBP Akibat Kerja
Kegiatan fasilitator:
a. Fasilitator menjelaskan tentang tatalaksana klinis LBP akibat kerja dengan metoda ceramah tanya
jawab.
b. Fasilitator menjelaskan tentang tatalaksana okupasi LBP akibat kerja dengan metoda ceramah
tanya jawab.
c. Fasilitator bertanya kepada peserta tantang hal-hal yang belum dimengerti
Kegiatan peserta:
a. Peserta mendengarkan dan menyimak perjelasan fasilitator
b. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
LANGKAH 8: Penyampaian Pokok Bahasan 4, sub pokok bahasan 1: Diagnosis HNP Akibat Kerja
Kegiatan fasilitator:
a. Fasilitator menjelaskan melalui metode ceramah tanya jawab:
Penegakan diagnosis HNP
Pemeriksaan fisik pada HNP
Pemeriksaan penunjang
7 langkah diagnosis okupasi untuk menegakkan HNP Akibat kerja sesuai konsensus
tatalaksana PAK di Indonesia
b. Fasilitator menampilkan gambar tentang pemeriksaan fisik muskuloskeletal yang belum dipahami
peserta.
c. Fasilitator bertanya kepada peserta tantang hal-hal yang belum dimengerti
Kegiatan peserta:
a. Peserta mendengarkan dan menyimak perjelasan fasilitator
b. Peserta memperhatikan gambar tentang pemeriksaan fisik muskuloskeletal.
c. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
LANGKAH 9: Penyampaian Pokok Bahasan 4, sub pokok bahasan 2: Tatalaksana HNP Akibat Kerja
Kegiatan fasilitator:
57
a. Fasilitator menjelaskan tentang tatalaksana klinis HNP akibat kerja dengan metoda ceramah
tanya jawab.
b. Fasilitator menjelaskan tentang tatalaksana okupasi HNP akibat kerja dengan metoda ceramah
tanya jawab.
c. Fasilitator bertanya kepada peserta tantang hal-hal yang belum dimengerti
Kegiatan peserta:
a. Peserta mendengarkan dan menyimak perjelasan fasilitator
b. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
LANGKAH 10: Studi Kasus
Kegiatan Fasilitator
a. Pelatih membagi peserta dalam 5 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 5 orang peserta.
b. Pelatih memberikan 1 kasus yang berbeda untuk masing-masing kelompok.
c. Pelatih memberi penugasan pada setiap kelompok untuk melakukan Latihan diagnosis
dan tatalaksana kasus pada pekerja dengan dugaan carpal tunnel sydrom akibat kerja, low
back pain akibat kerja atau HNP akibat kerja.
d. Pelatih memberikan kesempatan pada tiap kelompok untuk mendiskusikan kasus yang
didapat dan melengkapi data-data yang diperlukan pada di status okupasi (waktu diskusi
kasus 45 menit)
e. Pelatih meminta setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi kasus selama 10 menit.
f. Pelatih memberi kesempatan pada kelompok lain untuk memberikan tanggapan dan
masukan selama 5 menit.
g. Pelatih menanggapi dengan melakukan klarifikasi dan memberikan masukan, serta
menyimpulkan hasil diskusi, selama 15 menit.
h. Setiap anggota kelompok wajib berkontribusi dalam mempresentasikan dan menjawab
diskusi kelompok
Kegiatan peserta:
1. Peserta mendengarkan dan meyimak penugasan fasilitator
2. Peserta mendiskusikan kasus yang didapat dan membuat status okupasi
3. Peserta mempresentasikan hasil diskusi kasus
4. Peserta memberi tanggapan dan masukan atas hasil pemaparan kelompok lain
LANGKAH 11: Rangkuman dan kesimpulan.
a. Fasilitator melakukan evaluasi untuk mengetahui penyerapan peserta terhadap materi yang
sudah disampaikan dan pencapaian tujuan pembelajaran
b. Merangkum dan membuat kesimpulan point-point penting dari materi yang disampaikan
c. Fasilitator menutup sesi dengan memberikan apresiasi kepada seluruh peserta
V. URAIAN MATERI
POKOK BAHASAN 1: Prinsip 7 langkah diagnosis PAK karena pajanan ergonomi
Definisi Gangguan Otot Tulang-Rangka Akibat Kerja (GOTRAK)/ Work Realated Musculo Skeletal Disorders
/WMSDs) adalah semua gangguan kesehatan dan cedera yang mengenai sistem gerak tubuh (otot,
tendon, selaput tendon, ligamen, tulang-rangka, sendi, tulang rawan, bursa, spinal discs, pembuluh darah
dan syaraf) yang disebabkan atau diperberat oleh berbagai faktor risiko pekerjaan dan/atau lingkungan
kerja. Cedera atau Gangguan Otot Tulang-Rangka yang disebabkan oleh dampak langsung dari jatuh,
terpukul, tertabrak, perkelahian dan lain lain tidak termasuk dalam GOTRAK. GOTRAK/WMSDs bukan
diagnosa medis tetapi merupakan terminologi payung yang dipakai untuk berbagai cedera atau gangguan
pada system Otot Tulang-Rangka tubuh manusia yang terjadi akibat pekerjaan atau lingkungan kerja
ditempat pekerja yang menderita tersebut bekerja. Ada berbagai nama atau terminologi lain yang artinya
sama dengan GOTRAK/ Musculoskeletal Disorders (MSDs), yaitu antara lain:
- Repetitive Strain Injury (RSI)
- Cumulative Trauma Disorder (CTD)
- Occupational Overuse Syndrome (OOS)
58
- Musculoskeletal Injury (MSI)
- Work-related Musculoskeletal Disorders (WMSDs) merupakan terminologi yg terbanyak dipakai saat
ini
Keluhan pada Gangguan Otot Tulang-Rangka (GOTR)/Musculoskeletal Disorders (MSDs) dapat terjadi
mulai dari yang ringan seperti keluhan tidak nyaman, pegal linu, nyeri yang bersifat sementara sampai
dengan cedera menetap yang menyebabkan kelainan (penyakit /kecacatan) pada sistem Otot Tulang-
Rangka dan dapat mengenai sistem syaraf dari Otot Tulang-Rangka tersebut.
Berdasarkan data dari Occupatinal Safety and Health Administration (OSHA) pada tahun 2003,
menyatakan besaran masalah GOTR/MSDs dalam 1 tahun/setiap tahun menyebabkan:
- 70 juta kunjungan penderita MSDs ke dokter
- 130 juta kunjungan penderita MSDs ke institusi kesehatan (Tempat kerja, Klinik).
- ± 1 juta pekerja tidak bekerja untuk berobat.
World Health Organization (WHO) pada tahun 2003 menyatakan GOTRAK/WMSDs merupakan penyebab
utama absensi di tempat kerja. Prevalensi GOTRAK/WMSDs diperkirakan hampir 60% dari semua Penyakit
Akibat Kerja, dengan demikian gangguan otot rangka merupakan Penyakit Akibat Kerja yang paling banyak
terjadi. Penyakit otot rangka juga merupakan penyakit yang menyebabkan pengeluaran biaya kesehatan
tertinggi di negara maju, karena selain biaya untuk pengobatan juga dikeluarkan biaya untuk kompensasi
akibat terjadinya kecacatan.
GOTR/MSDs merupakan masalah nasional karena:
- Merupakan penyebab paling tinggi hilangnya waktu kerja akibat cedera dan sakit pada tiap industri
(Lost-time injury and illness)
- Merupakan masalah kesehatan kerja yang paling mahal.
- Ada di hampir setiap tempat kerja.
- Nyeri yang dirasakan berlarut-larut menyebabkan penderitaan bagi para pekerja.
- Menurunkan produktivitas dan kualitas produk maupun kualitas pelayanan.
Beban ekonomi akibat GOTR/MSDs:
Biaya rata-rata untuk mengobati satu kejadian GOTR/MSDs di Amerika pada tahun 2003 adalah $12.000,
namun bila diperlukan tindakan operasi, biaya rata-rata untuk satu kejadian GOTR/MSDs meningkat
menjadi $43.000. Data lain dari satu perusahaan di Amerika yaitu, secara total biaya untuk kompensasi
pekerja yang menderita GOTR/MSDs adalah sebesar $ 45 - $ 60 M per tahun. Biaya ini belum termasuk
berbagai kerugian lain sebagai dampak dari GOTR/MSDs seperti:
- Penurunan kecepatan dan kualitas produksi/pelayanan,
- Biaya pelatihan kembali pegawai baru atau pegawai pengganti dll.
- Jutaan pekerja yang menderita GOTR/MSDs kehilangan pekerjaan utamanya serta menderita
nyeri dan gangguan gerak untuk waktu lama yang menyebabkan mereka mengalami penurunan
bahkan kehilangan pendapatan untuk kehidupan sehari-hari mereka dan keluarganya.
- Seringkali merekapun kesulitan untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari seperti
mengancingkan baju ataupun menyisir rambut.
GOTRAK/WMSDs pada pegawai/petugas di tempat kerja dapat terjadi di berbagai bagian tubuh; yang
terbanyak adalah mengenai tulang belakang bagian bawah, diikuti leher, anggota tubuh bagian atas
(mulai dari bahu, siku, pergelangan tangan, tangan dan jari) sedangkan anggota tubuh bagian bawah
(panggul, lutut dan kaki) kasusnya belum banyak dilaporkan. GOTRAK/WMSDs ini sering terjadi berulang-
ulang sampai menjadi kronis dan berakhir dengan kecacatan. GOTRAK yang dialami biasanya sesuai
dengan jenis pekerjaan dan bagian Otot Tulang-Rangka yang berulang ulang mengalami beban berlebihan
saat melakukan kegiatan kerjanya sehari-hari, contohnya:
- Gangguan/cedera pada tendon jari-jari tangan merupakan masalah utama pada petugas
administrasi
- Gangguan tulang punggung bagian bawah dan bagian atas seringkali terjadi akibat pekerjaan
dengan posisi duduk atau berdiri pada waktu yang lama
59
- Gangguan pada otot sering terjadi akibat gerakan otot berulang-ulang disertai dengan kekuatan
besar. Kegiatan otot statis/ tanpa gerak yang disertai dengan beban, dapat juga menyebabkan
kelelahan otot dan mengakibatkan cedera otot.
- Gangguan pada syaraf biasanya terjadi bila syaraf didaerah persendian tertekan/ mendapat
tekanan dalam waktu lama, contohnya pada Carpal Tunnel Syndrome.
60
Nyeri otot/ tulang rangka saat digerakkan atau tanpa digerakkan
Pembengkakkan dan perabaan lunak disertai nyeri didaerah yang terkena
Penurunan jangkauan dari gerakan persendian (ROM= Range of Movement)
Kesemutan dan atau mati rasa pada daerah yang terkena gangguan
Penurunan kekuatan gengaman tangan
Perubahan bentuk/deformitas dari otot/ Tulang-Rangka
Pencegahan Gotrak/WMSDs
Upaya yang paling efektif adalah dengan pencegahan primer yaitu kegiatan pencegahan sebelum
terjadi GOTR/MSDs; antara lain dengan menerapkan Program Ergonomik di Tempat kerja.
61
Pengendalian Gotrak/WMSDs
1. Pengendalian melalui peraturan (Legislative Control)
Merupakan kebijakan dan tata laksana kerja yang dibuat oleh managemen dengan maksud
mencegah atau meminimalkan faktor risiko lingkungan tempat kerja. Agar penanggulangan ini
dapat berhasil diperlukan kerja sama dan ketaatan dari pekerja untuk melaksanakannya.
Penanggulangan ini merupakan pengaturan sementara, saat dimana penanggulangan teknis
tidak ada atau belum dapat dilaksanakan.
2. Pengendalian melalui Administrasi Organisasi (Administrative Control)
Contoh Pengendalian Administrative:
- Adanya Persyaratan penerimaan pekerja yang meliputi batas umur, jenis kelamin, syarat
kesehatan,dll
- Rotasi pekerja dari pekerjaan yang membutuhkan kerja fisik/tenaga yang berat ke tempat
kerja yang tidak/kurang berat.
- Pengaturan jam kerja, lembur dan shift
- Memperpendek jam kerja atau menambah jumlah istirahat pendek.
- Melatih pekerja untuk mengenali faktor-faktor risiko ditempat kerja dan mencegahnya bila
memungkinkan.
- Menyusun Prosedur Kerja Tetap (Standard Operating Procedure) untuk masing-masing
bagian/departemen dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaannya
- Melaksanakan pemeriksaan secara seksama penyebab kecelakaan kerja dan
mengupayakan pencegahannya.
- Memastikan/mengharuskan pekerja untuk bekerja dengan posisi tubuh yang baik dan
menggunakan peralatan kerja secara benar
- Memberikan peralatan kerja yang ergonomik.
- Menggunakan alat angkat mekanik untuk mengangkat beban yang berat atau
melakukannya oleh dua atau lebih pekerja.
- Mengkaji faktor risiko ergonomis pada pekerjaan yang baku/rutin terlebih dahulu sebelum
dilaksanakan.
- Mengurangi pergerakan yang berulang-ulang dan posisi statis dengan cara memberi
berbagai tugas yang berbeda-beda/bervariasi
- Melatih pekerja dalam prinsip kerja yang ergonomis, teknik peregangan otot dan
mewajibkan pekerja berolah raga.
- Penggunaan alat pelindung diri (APD/PPE) harus fit/ cocok untuk pengguna jangan terbalik,
pengguna mencocokan diri dengan APD. Dengan demikian APD harus mempunyai berbagai
ukuran, dapat melindungi pekerja dari lingkungan fisik dan saat digunakan tidak
menyebabkan penyimpangan postur pekerja ataupun penambahan tekanan pada otot
pekerja
3. Pengendalian Secara Teknis (Engineering Control)
Bertujuan agar pekerja dapat bekerja dengan nyaman, aman dan effisien dengan cara
modifikasi dari pekerjaan yang meliputi,
a. Substitusi peralatan kesehatan yang digunakan di tempat kerja dengan alat alat yang
ergonomis
b. Mendesign tinggi meja kerja agar sesuai dengan tinggi rata-rata pekerja.
c. Penanggulangan gerakan berulang-ulang melalui alat bantu mekanik, rotasi kerja dan
standard produksi.
d. Mengatur tempat kerja untuk mengurangi atau menghindari gerakan tubuh memutar,
membungkuk kedepan dan kesamping.
e. Mengurangi gerakan lengan atas menjangkau/meraih dengan ataupun tanpa beban
f. Menghilangkan ujung-ujung yang tajam pada alat kerja atau produk yang berulang-ulang
kontak dengan pekerja.
4. Pengendalian melalui jalur kesehatan (Medical Control)
62
Berguna agar dapat mengidentifikasi gejala-gejala Gotrak pada stadium awal sehingga dapat
mengurangi atau menghilangkan timbulnya penyakit otot tulang rangka, meliputi
Review data laporan tentang cedera dan gejala GOTRAK dari medical record.
Penemuan awal dan pelaporan gejala GOTR. Dengan deteksi dini pada stadium awal, maka
penatalaksanaan kasus menjadi lebih cepat, mengurangi penderitaan atau bahkan
menghilangkan timbulnya Penyakit Otot Tulangrangka Akibat Kerja (POTRAK) sehingga
dapat mempercepat pemulihan kemampuan kerja dan kualitas kerja petugas tempat
kerja.
Survey keluhan pegal linu dan nyeri otot pada pekerja. Surveilans hendaknya
menggunakan instrumen yang baku, sehingga dapat dievaluasi dan dianalisis secara
berkala menggunakan standar yang sama. Contoh alat bantu untuk identifikasi adanya
keluhan muskuloskeletal (Nordic Body Map) dan untuk identifikasi pekerjaan / tugas yang
berisiko (terlampir RULA, REBA)
Kemudahan akses pekerja ke petugas klinik perusahaan/puskesmas untuk setiap shift kerja.
Pengobatan konservative dan restriksi kerja ditempat tugas tertentu (bila diperlukan)
Tersedia system rujukan untuk menegakkan diagnosa Penyakit Otot Tulang-Rangka Akibat
Kerja secara cepat dan tepat (prompt-treatment)
Memberi nasihat dan menyiapkan pekerja untuk kembali bekerja.
POKOK BAHASAN 2: Tatalaksana Penyakit Sindroma Terowongan Karpal (STK) /Carpal Tunel
Syndrome (CTS)
Sindroma Terowongan Karpal (STK)/Carpal Tunnel Syndrome (CTS) adalah sekumpulan gejala yang
terjadi akibat tertekannya Nervus Medianus di terowongan karpal pada pergelangan tangan. Sering
terjadi pada macam-macam pekerjaan seperti;
- operator mesin asembling,
- pekerja Spinning di pabrik tekstil,
- pekerja yang melakukan pengepakan,serta
- pekerja lainnya dengan gerakan fleksi yang kuat dan vibrasi maupun extensi atau deviasi pada
pergelangan tangan
Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap dan selain itu ada keadaan lain yang dapat
menyebabkan gejala yang sama, oleh karena itu The National Insititute for Occupational Safety and
Health (NIOSH) membuat kriteria diagnostik untuk CTS akibat kerja sebagai berikut:
(1) Adanya beberapa gejala CTS (tidak harus semua secara lengkap)
(2) Adanya tanda objektif seperti:
- Tes Tinel atau Tes Phalen yang positif
- Sensasi yang menurun didaerah persyarafan n. medianus atau pemeriksaan EMG
menunjukkan ada kelainan
(3) Adanya salah satu faktor risiko pekerjaan untuk waktu yang cukup lama, seperti:
- Kerja repetitif dengan frekwensi tinggi
- Kerja dengan tenaga tangan
- Kerja dengan alat bervibrasi
- Penekanan untuk waktu yang lama pada pergelangan tangan
Kriteria (1), (2) dan (3) harus ada untuk dapat mengarahkan diagnosis CTS akibat kerja
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
Tujuh langkah diagnosis CTS Akibat Kerja :
1. Diagnosis Klinis
a) Anamnesis
Ditemukan adanya gejala
- Rasa nyeri dan parestesi pada daerah persarafan n. Medianus
- Rasa dingin dan kelemahan otot jari – jari tangan
- Gejala tersebut memburuk pada malam hari ataupun sesudah fleksi yang lama,
63
misalnya mengemudi mobil
- Gejala berkurang setelah istirahat
- Terbangun dari tidur malam karena tangan terasa kesemutan atau nyeri
- Pada waktu bangun tidur, gejala biasanya dapat berkurang setelah tangan
digoyang-goyangkan (Flick Sign)
Faktor predisposisi non-okupasi adalah pada prinsipnya adalah semua kondisi yang
menyebabkan terowongan karpal lebih sempit akibat inflamasi maupun retensi
cairan diantaranya Rheumatoid arthritis, Diabetes, kehamilan, hipotiroid dll. Di
bawah ini adalah sejumlah informasi penting yang dapat diperoleh melalui
anamnesis yang terarah pada pasien dengan kecurigaan menderita CTS akibat
kerja.
Ditanyakan tanda dan gejala klinik seperti,
- Apakah keluhan dirasakan pada salah satu atau kedua tangan?
- Sudah berapa lama terjadi?
- Apakah sebelumnya pernah mengalami keluhan yang sama?
- Apakah keluhan hilang timbul?
- Apa pemicunya bila kambuh?
- Apakah keluhan bertambah bila bekerja?
- Apakah keluhan berkurang pada saat istirahat kerja, cuti, hari libur?
- Apakah pernah mengalami trauma sebelumnya?
- Pertanyaan lain yang relevan
Riwayat penyakit dahulu
(Riwayat trauma pada area pergelangan tangan, infeksi yang terkait), riwayat
penyakit yang seperti DM, rheumatoid arthritis, hipotiroid, kehamilan,
kelainan anatomis, stress dll
Riwayat penyakit keluarga yang mungkin terkait dengan diagnosis klinis. Ada
tidaknya anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama
Riwayat hobi/kebiasaan yang mungkin terkait dengan diagnosis klinis seperti
gerakan gerakan repetitive yang dilakukan atau tekanan pada pergelangan
tangan, atau ada pajanan vibrasi yang berulang, dll
Riwayat okupasi
Jenis pekerjaan: dokter gigi, pekerja dengan jack hammer, mengetik,
pemotong daging, pekerja gergaji, pekerja perakitan, pekerja pelinting rokok
dengan tangan, pemain musik drum, dan pekerjaan dengan gerakan repetitive
lain, getaran, posisi ekstrim pada tangan
- Uraian tugas yang dilakukan setiap hari, maupun berkala
- Riwayat pekerjaan dan pajanan di tempat kerja, terutama terkait dengan
pajanan ergonomik berupa gerakan kerja berulang secara
repetitive/simultan/repetitive strain injury, posisi ekstrim fleksi, ekstensi
pada pergelangan tangan, posisi kerja janggal lainnya, forcefull grip,
vibrasi
- Gambaran pekerjaan, alat dan proses kerja, yaitu gerakan fleksi atau
ekstensi pergelangan tangan secara repetitive, posisi janggal tangan,
forcefull grip, penggunaan alat kerja tangan yang ada vibrasi. Pajanan
berlangsung antara 8 bulan hingga 20 tahun, dengan lama jam kerja > 6
jam/hari
- Gambaran lingkungan kerja tempat pekerjaan dilakukan, seperti adanya
faktor stressor psikososial, target produksi yang tinggi, stress mental
- Riwayat kecelakaan kerja yang mengenai area lengan, tangan,
pergelangan tangan dan jari-jari
- Adakah rekan kerja yang mengalami keluhan yang sama?
64
- Adakah pekerjaan sampingan dengan pejanan ergonomic seperti tersebut
di atas yang dapat menimbulkan gejala klinis yang sama?
b) Pemeriksaan fisik
o Pengamatan terhadap mobilitas pergelangan tangan untuk melakukan fleksi,
ekstensi, fleksi kearah lateral dan medial
o Karakteristik parestesia, nyeri, & lemah pada jari-jari sesuai distribusi
n.Medianus distal
o Hilangnya rasa raba permukaan tangan sebelah medial.
o Kelemahan otot tenar/atrofi
Di bawah ini adalah sejumlah pemeriksaan fisik yang dapat mendukung penegakan
diagnosis CTS:
- Tes Phalen/Reverse Phalen
Test Phalen Positif jika
o Pasien diminta untuk menempatkan kedua pergelangan tangannya dalam
posisi fleksi dan mempertahankan posisi tersebut selama 1 menit
o Adanya penekanan pada bagian dorsal dari tangan akan meningkatkan
tekanan dalam terowongan karpal Nyeri atau mati rasa di daerah yang
dipersarafi oleh N. Medianus akibat dari posisi tersebut mengindikasikan
adanya oenekanan N. Medianus di bawah ligamentum karpal
- Tes Tinnel
Test Tinel Positif jika:
o Tangan pasien berada pada posisi dorsofleksi. Bagian dorsal
pergelangan tangan diletakkan di atas penyangga lunak di atas meja
periksa.
o Pemeriksa mengetuk N. Medianus di lipatan pergelangan tangan
dengan menggunakan palu reflex atau jari telunjuk.
o Adanya parestesia atau nyeri yang menjalar ke tangan dan terkadang
ke lengan bawah merupakan tanda adanya neuropati akibat
penekanan N. Medianus
- Tes Torniquet
- Tes Flick’s sign
- Atrofi otot thenar, pada keadaan kronis
- Penilaian kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot
- Tes ekstensi pergelangan tangan
- Tes Kompresi Karpal Durkan’s positif
- Tanda Luthys positif
- Tes diskriminasi dua titik (tes sensibilitas)
- Fungsi otonom seperti gangguan berkeringat, kulit kering atau licin di area
persyarafan nervus Medianus
c) Pemeriksaan penunjang bila ada indikasi:
- Pemeriksaan neurofisiologis (EMG)
- Pemeriksaan radiologi
- Pemeriksaan laboratorium (gula darah, hormone tiroid, darah lengkap)
65
Dari faktor risiko atau pajanan yang dialami di tempat kerja: posisi kerja, cara kerja sesuai
dengan lokasi nyeri.
66
kejadiannya dapat dicegah dan bila terjadi dapat diberikan pengobatan yang tepat.
67
Riwayat penyakit dahulu (riwayat trauma pada area pergelangan tangan, infeksi yang terkait),
riwayat penyakit yang seperti DM, rheumatoid arthritis, kehamilan, kelainan anatomis, stress
dll)
Riwayat penyakit keluarga yang mungkin terkait dengan diagnosis klinis
- Ada tidaknya anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama
- Riwayat hobi/kebiasaan yang mungkin terkait dengan diagnosis klinis seperti pajanan
vibrasi yang berulang, manual lifting dengan beban yang melebihi standar, dll
Riwayat okupasi
Jenis pekerjaan: perawat angkat-angkut pasien, pengendara alat berat, kuli panggul, penerbang
helicopter, pramugari/pramugara, mekanik pesawat, anak buah kapal bagian mesin
Uraian tugas yang dilakukan setiap hari, maupun berkala
Riwayat pekerjaan dan pajanan di tempat kerja, terutama terkait dengan pajanan
ergonomik berupa gerakan kerja berdiri atau duduk lama statis, postur janggal, manual
lifting, pajanan vibrasi seluruh tubuh
Gambaran pekerjaan, alat dan proses kerja, yaitu deskripsi pekerjaan, gerakan saat
bekerja, termasuk posisi statis lama, posisi janggal, manual lifting, pekerjaan dengan alat
yang ada vibrasi seluruh tubuh. Pajanan dapat bersifat akut maupun kronis
Gambaran lingkungan kerja tempat pekerjaan dilakukan, seperti adanya faktor stressor
psikososial, target produksi yang tinggi, stress mental
Riwayat kecelakaan kerja seperti trauma, terjatuh
Adakah rekan kerja yang mengalami keluhan yang sama?
Adakah pekerjaan sampingan dengan pejanan ergonomic seperti tersebut di atas yang
dapat menimbulkan gejala klinis yang sama?
Pada nyeri punggung bawah akut saja, biasanya tidak ada gejala neurologis. Bila ada gejala
neurologis, biasanya terjadi pada Hernia Nukleus Pulposus (HNP) dimana terjadi iritasi syaraf yang
tertekan herniasi tersebut
b) Pemeriksaan Fisik:
Pengamatan saat penderita berdiri dan berjalan : seharusnya bagian tubuh kiri dan kanan
simetris
Pengamatan tulang punggung:
Pada HNP posisi badan biasanya dalam keadaan ekstensi
Pada Stenosis Spinalis posisi badan biasanya dalam keadaan fleksi
Mobilitas tulang punggung: perhatikan apakah ada spasme otot para spinalis
Nyeri Tekan pada daerah punggung bawah
Perlu disingkirkan adanya infeksi atau penyakit tulang, syaraf, vasculer dll
Lakukan Straight Leg Raising Test (SLR) dan Patricks Test
Di bawah ini adalah sejumlah pemeriksaan yang dapat mendukung penegakan diagnosis LBP/HNP:
Pemeriksaan fisik,
- Tes Laseque (SLR)
- Tes Patrick
- Range of motion area punggung bawah
- Pemeriksaan columna vertebralis: alignment (lordosis, kifosis, skoliosis)
- Pemeriksaan nyeri ketok CVA
- Pemeriksaan nyeri tekan lamina
- Palpasi otot paravertebrae lumbalis
- Pemeriksaan motorik tungkai bawah
- Pemeriksaan sensibilitas tungkai bawah
- Pemeriksaan otonom
68
Pemeriksaan penunjang, bila ada indikasi:
Pemeriksaan Laboratorium (darah lengkap, fungsi ginjal, elektrolit, CRP, Faktor Rhematoid,
Urinalisa, Tumor marker
Pemeriksaan radiologi (foto polos, CT-Scan, MRI)
SLR Test positif, bila timbul rasa nyeri saat tungkai bawah diangkat pada 0 0-700 yang menandakan
adanya tekanan pada syaraf tulang punggung. Bila dilakukan dorsofleksi kaki rasa nyeri akan
bertambah bila terdapat HNP dan sebaliknya bila dilakukan plantar fleksi kaki, seharusnya rasa
nyeri tidak bertambah. Pada Nyeri Punggung Bawah saja, test SLR akan negatif. Patrick test positif,
bila ada rasa nyeri di daerah panggul atau daerah sacroiliaca, saat lutut yang fleksi dengan kaki
berada pada lutut tungkai lainnya ditekan kebawah. Test positif juga menandakan adanya gejala
neurologis. Bila test SLR dan Patrick positif perlu pemeriksaan neurologis lanjutan untuk
mengetahui daerah lumbar atau sakral mana yang terkena.
Apabila terjadi Nyeri Punggung Bawah Kronis, seorang dokter biasanya diminta untuk melakukan
evaluasi apakah keadaan ini sudah menetap dan menyebabkan pekerja tidak dapat melakukan
pekerjaannya secara optimal. Upaya diagnostik yang lebih luas perlu dilakukan dan biasanya
dilakukan ditempat pelayanan rujukan. Dalam hal ini perlu dipikirkan adanya kemungkinan
gangguan lainnya, seperti penyakit degeneratif, radang, penyakit organ lain dalam panggul dsb.
Kemungkinan lain adalah adanya kecemasan berlebihan atau simulasi karena ada motivasi lain.
Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa test untuk meyakinkan bahwa pasien benar – benar
sakit:
SLR-test yang dilakukan pada posisi berbaring maupun posisi duduk, seharusnya memberikan
hasil yang sama.
Nyeri tekan pada daerah punggung bawah seharusnya tidak terjadi bila hanya menekan
ringan (sebatas kulit)
Patrick test : pada pasien dengan gangguan daerah lumbar, seharusnya tidak ada rasa nyeri
bila panggul difleksi secara pasif dengan lutut pada keadaan fleksi.
69
Selain ditempat kerja, seseorang bekerja juga dirumah, bahkan ada yang mempunyai pekerjaan
ganda atau hobby yang berisiko juga terhadap terjadinya NPB/HNP. Perlu dilakukan identifikasi
faktor-faktor risiko apa yang terjadi diluar pekerjaan utama, termasuk apakah cedera pertama
kali terjadi dirumah dan seberapa besar faktor risiko dirumah/pekerjaan lain berperan
70
MATERI INTI 4
DIAGNOSIS PENYAKIT AKIBAT KERJA KARENA PAJANAN KIMIA
JPL : 4 ( 1Teori, 3 Penugasan)
I. DESKRIPSI SINGKAT
Hampir semua tempat kerja menggunakan bahan kimia baik sebagai bahan baku maupun hasil
produksi. Bahan kimia yang digunakan di tempat kerja sangat banyak jenisnya. Setiap bahan kimia
dapat menimbulkan beberapa jenis penyakit, sedangkan beberapa jenis bahan kimia dapat
menimbulkan penyakit yang sama. Oleh karena itu penting bagi dokter untuk dapat menegakkan
diagnosis penyakit akibat kerja karena pajanan kimia.
71
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
b. Tatalaksana
IV. METODE
Ceramah & tanya jawab
Role play
Presentasi peserta dan tanya jawab
72
Jenis-Jenis Pajanan Kimia :
Logam berat
Pelarut organik
Pestisida
Debu fibrogenik
Allergen
Irritan
Pokok bahasan 2. TATALAKSANA DERMATITIS KONTAK IRITAN AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT
SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
Subpokok bahasan :
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
7 Langkah diagnosis dermatitis kontak iritan akibat kerja :
1. Diagnosis klinis sesuai dermatitis kontak iritan
Adalah peradangan pada kulit melalui mekanisme iritasi/peradangan yang terjadi akibat kontak
dengan bahan penyebab yang ada di tempat kerja.
2. Pajanan yang dialami di tempat kerja
Terdapat riwayat terpajan bahan iritan antara lain sabun/deterjen, pelarut, minyak dan
pelumas, produk petroleum, asam, basa, semen, garam metal, terak dan wol kaca
Pekerja yang berisiko : pekerja yang bekerja menggunakan bahan-bahan yang bersifat iritan,
pekerja yang bekerja di lingkungan basah seperti nelayan, penjual ikan, pekerja domestik
(rumah tangga), pekerja pabrik semen dan penata rambut.
Bila terdapat keraguan terhadap pajanan penyebab dermatitis kontak iritan maka
dikategorikan dugaan dermatitis kontak iritan akibat kerja
3. Hubungan antara pajanan dengan diagnosis klinis
Hubungan antara pajanan kerja dengan kejadian dermatitis kontak iritan dapat diketahui
melalui salah satu informasi dibawah ini:
Munculnya gejala dipicu oleh agen atau pajanan di tempat kerja dan gejala berkurang bila
menghindari kontak dengan pajanan
Lesi di kulit sesuai dengan area kontak dengan pajanan
Terdapat pekerja yang mengalami pajanan sama juga mengalami keluhan serupa
4. Besarnya Pajanan
Tidak terdapat rujukan dosis minimum dan waktu pajanan untuk menimbulkan iritasi kulit.
Semakin besar pajanan maka lesi semakin parah.
5. Faktor Individu Yang Berperan
Tidak terdapat faktor individu yang berpengaruh terhadap dermatitis kontak iritan
6. Faktor Lain di Luar Tempat Kerja
Kontak dengan bahan iritan di luar lingkungan kerja dapat menjadi perancu penyebab
dermatitis. Bila terdapat riwayat pajanan bahan iritan dari luar lingkungan kerja maka
dikategorikan dugaan dermatitis kontak iritan akibat kerja.
7. Diagnosis okupasi
Kontak iritan akibat kerja, atau
Dugaan dermatitis akibat kerja, atau
Bukan dermatitis kontak iritan akibat kerja
b. Tatalaksana
1. Tatalaksana medis
Medikamentosa dan tindakan lain sesuai panduan klinis tatalaksana dermatitis kontak iritan
2. Tatalaksana okupasi
a) Tatalaksana okupasi untuk individu pekerja
Memberikan edukasi dan konseling yang meliputi :
73
Penjelasan bahwa dermatitis yang diderita disebabkan oleh iritasi yang
disebabkan salah satu agen atau pajanan di tempat kerja
Penjelasan mengenai pajanan kerja khususnya pajanan yang dapat
menyebabkan dermatitis kontak iritan di tempat kerja yang harus dihindari
Pemberian pengetahuan mengenai gejala, pemeriksaan dan tindakan yang
harus dilakukan bila terjadi dermatitis kontak iritan
Pemberian rekomendasi alat pelindung diri yang sesuai untuk melindungi pekerja dari
kontak dengan pajanan
Penilaian kembali bekerja
Penilaian kembali bekerja diperlukan khususnya untuk memastikan bahwa pekerja
dapat kembali bekerja dengan aman.
Penilaian kecacatan
Pada umumnya dermatitis kontak iritan tidak menyebabkan perubahan fungsi yang
permanen sehingga tidak diperlukan penilaian kecacatan
Pencatatan dan pelaporan
Kejadian dermatitis kontak iritan akibat kerja dilaporkan sesuai laporan fasilitas
pelayanan kesehatan. Untuk kebutuhan penyesuaian kerja maka dokter membuat
laporan dermatitis kontak iritan akibat kerja yang akan di teruskan kepada pemberi
kerja dengan persetujuan pekerja.
b) Tatalaksana okupasi pada komunitas
Ditujukan untuk komunitas bertujuan untuk melindungi pekerja lain dengan risiko sejenis
dari dermatitis kontak iritan akibat kerja, diantaranya :
Memberikan surat rekomendasi kerja dengan seizin pasien tentang informasi adanya
kejadian dermatitis kontak iritan akibat kerja serta pajanan atau agen penyebab
Memberikan dukungan pada komunitas untuk melakukan penilaian risiko, deteksi dini,
surveilans dan tindakan pencegahan terjadinya dermatitis kontak iritan di tempat
pekerja
Pokok bahasan 3. TATALAKSANA DERMATITIS KONTAK ALERGI AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT
SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
Subpokok bahasan :
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
7 Langkah diagnosis dermatitis kontak alergi akibat kerja :
1. Diagnosis klinis sesuai dermatitis kontak alergi
Adalah peradangan pada kulit melalui mekanisme hipersensitifitas yang terjadi akibat kontak
dengan bahan penyebab yang ada di tempat kerja.
2. Pajanan yang dialami pekerja di tempat kerja
Terdapat riwayat terpajan dengan bahan penyebab alergi antara lain antibiotik, pengawet,
tanaman, antiseptik, produk karet, lem dan bahan perekat, metal.
Pekerja yang berisiko antara lain pekerja logam, pembuat sepatu, penata rambut, pekerja
pewarna tekstil, penyadap karet, pekerja kesehatan.
Bila terdapat keraguan terhadap pajanan penyebab dermatitis kontak alergika maka
dikategorikan dugaan dermatitis kontak alergika akibat kerja
3. Hubungan antara pajanan dengan diagnosis klinis
Hubungan antara dermatitis kontak dengan pajanan di tempat kerja dapat diketahui melalui
informasi antara lain lesi pada kulit sesuai dengan area kontak dengan pajanan, lesi tidak
langsung timbul setelah terjadi kontak
4. Besarnya pajanan
Besarnya pajanan tidak berpengaruh pada dermatitis kontak alergi
5. Faktor individu yang berperan
Riwayat atopi pada individu dan kontak dengan bahan penyebab alergi untuk aktifitas pribadi
74
dapat menjadi perancu penyebab dermatitis. Bila ada faktor individu dalam menyebabkan
dermatitis kontak alergi maka dikategorikan dugaan dermatitis kontak alergika akibat kerja.
6. Faktor Lain di Luar Tempat Kerja
Bahan penyebab alergi yang berasal dari lingkungan juga dapat menjadi perancu penyebab
dermatitis kontak. Bila ada faktor lingkungan di luar kerja dalam menyebabkan dermatitis
kontak alergi maka dikategorikan dugaan dermatitis kontak alergika akibat kerja
7. Diagnosis okupasi
Dermatitis kontak alergika akibat kerja, atau
Dugaan dermatitis kontak alergika akibat kerja, atau
Bukan dermatitis kontak alergika akibat kerja
b. Tatalaksana
1. Tatalaksana medis
Terapi medikamentosa dan tindakan lain sesuai panduan klinis tatalaksana dermatitis kontak
alergika.
2. Tatalaksana okupasi
a) Tatalaksana okupasi individu pekerja
Memberikan edukasi dan konseling yang meliputi :
Penjelasan bahwa dermatitis yang diderita disebabkan oleh alergi terhadap
salah satu agen atau pajanan di tempat kerja
Penjelasan mengenai pajanan kerja khususnya pajanan yang dapat
menyebabkan dermatitis kontak alergi di tempat kerja yang harus dihindari
Penjelasan mengenai gejala, pemeriksaan dan tindakan yang harus dilakukan
bila terjadi dermatitis kontak alergi
Pemberian rekomendasi alat pelindung diri yang sesuai untuk melindungi pekerja
dari kontak dengan pajanan
Penilaian kembali bekerja
Penilaian kembali bekerja diperlukan khususnya untuk memastikan bahwa pekerja
dapat kembali bekerja dengan aman.
Penilaian kecacatan
Pada umumnya dermatitis kontak alergika tidak menyebabkan perubahan fungsi
yang permanen sehingga tidak diperlukan penilaian kecacatan
Pencatatan dan pelaporan
Kejadian dermatitis kontak alergika akibat kerja dilaporkan sesuai laporan fasilitas
pelayanan kesehatan. Untuk kebutuhan penyesuaian kerja maka dokter membuat
laporan dermatitis kontak alergika akibat kerja yang akan di teruskan kepada
pemberi kerja dengan persetujuan pekerja.
b) Tatalaksana okupasi komunitas
Ditujukan untuk komunitas bertujuan untuk melindungi pekerja lain dengan risiko sejenis
dari dermatitis kontak alergi akibat kerja, diantaranya :
Memberikan surat rekomendasi kerja dengan seizin pasien tentang informasi adanya
kejadian dermatitis kontak alergi akibat kerja serta pajanan atau agen penyebab
Memberikan dukungan pada komunitas untuk melakukan penilaian risiko, deteksi dini,
surveilans dan tindakan pencegahan terjadinya dermatitis kontak alergika di tempat
pekerja
Pokok bahasan 4. TATALAKSANA ASMA AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT SPESIFIK PADA PEKERJAAN
TERTENTU)
Subpokok bahasan :
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
Asma akibat kerja adalah asma yang disebabkan oleh penyebab sensitisasi atau zat iritan yang
dikenal yang ada dalam proses pekerjaan serangan asma.
7 Langkah diagnosis asma akibat kerja :
75
1. Diagnosis klinis sesuai asma
2. Pajanan kerja yang dialami pekerja
Terdapat riwayat pajanan bahan penyebab asma. Bahan penyebab asma kerja antara lain :
debu tepung, detergen bubuk yang mengandung enzim, lateks, serbuk sari, semen, debu dari
hewan, debu biji-bijian, debu yang mengandung spora jamur, bakteri, endotoksin, debu kayu,
isosianat, uap logam, persulfate, henna dan chlor.
Tempat kerja yang berisiko antara lain: industri makanan berbahan tepung, fasilitas kesehatan,
laboratorium, pertanian, peternakan, industri otomotif, bengkel pertukangan, industri
elektronik, industri logam, salon.
Bila terdapat keraguan terhadap pajanan penyebab asma maka dikategorikan dugaan asma
akibat kerja
3. Hubungan antara pajanan dengan diagnosis klinis
Hubungan antara gejala asma dengan pajanan kerja dapat diketahui melalui salah satu
informasi dibawah ini :
Keluhan sesak atau asma tidak pernah terjadi sebelum mendapat pajanan di tempat kerja
Keluhan sesak muncul di lokasi kerja dan berkurang atau hilang diluar area kerja atau saat
libur
Keluhan sesak muncul setelah tiba di rumah dan berkurang atau hilang di pagi hari
Keluhan semakin memberat seiring hari kerja
4. Besarnya Pajanan
Tidak terdapat dosis atau jumlah minimal pajanan untuk menimbulkan asma kerja
5. Faktor Individu Yang Berperan
Adanya riwayat asma atau alergi sebelumnya dapat merancukan penyebab asma. Bila diketahui
adanya riwayat asma atau alergi sebelum bekerja maka dikategorikan dugaan asma akibat
kerja.
6. Faktor Lain di Luar Tempat Kerja
Adanya penyebab asma pada lingkungan di luar lingkungan kerja seperti misalnya pekerjaan
konstruksi disekitar tempat tinggal dan debu di area pertanian dapat merancukan penyebab
asma. Bila ditemukan faktor lain tersebut dikategorikan dugaan asma akibat kerja.
7. Diagnosis okupasi
Asma akibat kerja, atau
Dugaan asma akibat kerja, atau
Bukan asma akibat kerja
b. Tatalaksana
1. Tatalaksana medis
Terapi medikamentosa sesuai panduan klinis tatalaksana penyakit asma
2. Tatalaksana okupasi
a) Tatalaksana okupasi individu pekerja
Memberikan edukasi dan konseling yang meliputi:
Penjelasan bahwa asma yang diderita oleh pekerja disebabkan oleh pajanan di
tempat kerja
Penjelasan mengenai pajanan kerja khususnya pajanan yang dapat
menyebabkan asma di tempat kerja yang harus dihindari untuk mencegah
asma
Pengetahuan mengenai gejala, pemeriksaan dan tindakan yang harus
dilakukan bila terjadi serangan asma
Anjuran untuk berhenti merokok bila pekerja adalah seorang perokok
Penilaian kembali bekerja
Penilaian kembali bekerja diperlukan khususnya untuk memastikan bahwa pekerja
dapat kembali bekerja dengan aman. Bila fungsi paru berkurang akibat asma kerja
76
sehingga membutuhkan penyesuaian kerja maka diperlukan penilaian kembali
bekerja.
Penilaian kecacatan
Penilaian kecacatan dilakukan bila terdapat penurunan fungsi paru yang permanen
akibat asma yang diderita
Pencatatan dan pelaporan
Kejadian asma kerja dilaporkan sesuai laporan fasilitas pelayanan kesehatan. Untuk
kebutuhan penyesuaian kerja maka dokter membuat laporan asma kerja yang akan
di teruskan kepada pemberi kerja dengan persetujuan pekerja. Bila pekerja
memiliki jaminan asuransi maka dokter memberikan laporan sesuai form PAK untuk
diteruskan ke pihak yang terkait.
b) Tatalaksana okupasi komunitas
Bertujuan untuk melindungi pekerja lain yang memiliki risiko pekerjaan sama dari asma
kerja, antara lain
Memberikan informasi tentang adanya kejadian asma kerja serta pajanan atau
agen penyebab yang dapat menimbulkan asma di tempat kerja
Memberikan dukungan pada komunitas untuk melakukan penilaian risiko, deteksi
dini, surveilans dan tindakan pencegahan terjadinya asma di tempat pekerja
Pokok bahasan 5. TATALAKSANA ASBESTOSIS DAN MESOTHELIOMA AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT
SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
Subpokok bahasan :
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
Asbestosis akibat kerja
Adalah penyakit fibrosis interstitial diffuse yang terjadi akibat inhalasi serat asbes dalam proses
kerja atau di lingkungan kerja.
Asbes adalah serat silikat yang terdapat dalam bermacam bentuk krisotil (asbes putih), krosidolit
(asbes biru), amosit, aktinolit, tremolite dan antofiliat. Seluruh serat tersebut merupakan
karsinogen dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan walaupun reaktifitas biologinya
berbeda-beda.
7 Langkah diagnosis penyakit akibat kerja
1. Diagnosis klinis sesuai asbestosis
2. Pajanan kerja yang dialami pekerja
- Terdapat riwayat pajanan asbes melalui identifikasi pekerja yang berisiko seperti
pekerja industri berbahan asbes di antaranya adalah pekerja industri atap asbes,
keramik, gasket, kanvas rem, bahan insulasi dan pabrik berbahan baku asbes lainnya.
Pekerja yang bekerja dengan materi atau bahan yang mengandung asbes di antaranya
pekerja konstruksi, montir kendaraan, bekerja dengan boiler, pipa dan materi lain
berbahan asbes
- Terdapat tanda patognomonik penanda (biomarker) pajanan asbes berupa gambaran
plak pleura pada gambaran rontgen atau CT scan thorak
3. Hubungan antara pajanan dengan diagnosis klinis
Hubungan antara pajanan asbes dan kejadian asbestosis dapat diketahui melalui salah satu
informasi :
- terdapat kesesuaian antara periode waktu pajanan asbes pertama kali dengan periode
laten terjadinya asbestosis. Periode laten untuk asbestosis pada umumnya 15 tahun
sejak pajanan pertama. Pada pajanan yang besar asbestosis dapat terjadi 5 tahun
setelah pajanan pertama.
- terdapat pekerja yang mengalami pajanan asbes juga mengalami asbestosis
4. Besarnya pajanan
Pada umumnya asbestosis muncul setelah pajanan 15 tahun
77
Pada pajanan yang besar maka asbestosis dapat muncul setelah mengalami pajanan
selama 5 tahun.
Bila terdapat keraguan tentang data besar pajanan maka dikategorikan dugaan asbestosis
akibat kerja.
5. Faktor individu yang berperan
Aktifitas pribadi atau kebiasaan tidak signifikan dalam menyebabkan asbestosis.
6. Faktor lain di luar tempat kerja
Pajanan asbes dari lingkungan (misalnya tinggal dirumah beratap asbes yang intak) biasanya
tidak signifikan dalam menyebabkan asbestosis
7. Diagnosis okupasi
Asbestosis akibat kerja, atau
Dugaan asbestosis akibat kerja, atau
Bukan asbestosis akibat kerja
Mesothelioma akibat kerja
Adalah tumor yang berasal dari jaringan mesothelial atau submesothelial dari pleura,
peritoneum, pericardium dan tunika vaginalis pada testis yang disebabkan oleh pajanan asbes di
lingkungan kerja. Hampir 80% dari seluruh mesothelioma berasal dari pleura. Ciri khas
mesothelioma pleura adalah penebalan pleura yang berbentuk sirkumferensial, penebalan
pleura lebih dari 1 cm dan dan penebalan pleura mediastinum.
7 Langkah diagnosis penyakit akibat kerja :
1. Diagnosis klinis sesuai mesothelioma
2. Pajanan kerja yang dialami pekerja
Terdapat riwayat pajanan asbes melalui identifikasi pekerja yang berisiko seperti pekerja
industri berbahan asbes di antaranya adalah pekerja industri atap asbes, keramik, gasket,
kanvas rem, bahan insulasi dan pabrik berbahan baku asbes lainnya. Pekerja yang bekerja
dengan materi atau bahan yang mengandung asbes di antaranya pekerja konstruksi, montir
kendaraan, bekerja dengan boiler, pipa dan materi lain berbahan asbes
3. Hubungan antara pajanan dengan diagnosis klinis
Hubungan antara pajanan asbes dan kejadian mesothelioma dapat diketahui melalui
kecocokan periode laten pajanan dan kejadian mesothelioma. Periode laten adalah lebih
dari 15 tahun dan pada umumnya 15-40 tahun
4. Besarnya Pajanan
Semakin besar dan lama pajanan maka semakin besar risiko untuk menderita mesothelioma
namun berdasarkan epidemiologi, pajanan kecil dan singkat juga dapat menyebabkan
mesothelioma
5. Faktor individu yang berperan
Tidak ditemukan peran faktor individu dalam menimbulkan mesothelioma
6. Faktor lain di luar tempat kerja
Pajanan asbes dari lingkungan rumah misalnya menggunakan atap asbes yang rusak atau
tinggal di dekat industri asbes dapat menjadi perancu diagnosis penyakit akibat kerja.
Bila ditemukan juga adanya pajanan di luar lingkungan kerja selain tempat kerja maka
dapat dikategorikan dugaan mesothelioma akibat kerja.
7. Diagnosis okupasi
Mesotelioma akibat kerja, atau
Dugaan mesotelioma,
Bukan mesotelioma akibat kerja
b. Tatalaksana
1. Tatalaksana medis
Sesuai panduan klinis tatalaksana asbestosis dan mesotelioma
2. Tatalaksana okupasi
a) Tatalaksana okupasi individu pekerja
78
Memberikan edukasi dan konseling yang meliputi:
Penjelasan bahwa penyakit yang diderita oleh pekerja disebabkan oleh pajanan
serat asbes di tempat kerja yang mungkin terjadi lebih dari 15 tahun yang lalu
Memberikan dukungan pada pekerja untuk menjalankan terapi dan
menjelaskan hak-hak pekerja selama proses perawatan bila pekerja memiliki
asuransi ketenagakerjaan.
Penilaian kembali bekerja
Asbestosis dan mesothelioma menyebabkan penurunan fungsi paru dan kapasitas
fisik secara umum maka diperlukan penilaian kembali bekerja bila terapi telah
dilakukan dan pekerja ingin kembali bekerja.
Penilaian kecacatan
Asbestosis dan mesothelioma menyebabkan gangguan fungsi paru atau penurunan
kapasitas fisik yang permanen, maka diperlukan penilaian kecacatan setelah pekerja
pulih.
Pencatatan dan pelaporan
Kejadian asbestosis dan mesothelioma akibat kerja dilaporkan sesuai laporan
fasilitas pelayanan kesehatan. Untuk melindungi pekerja lain maka dokter membuat
laporan asbestosis dan mesothelioma akibat kerja yang akan di teruskan kepada
pemberi kerja dengan persetujuan pekerja. Bila pekerja memiliki jaminan asuransi
maka dokter memberikan laporan sesuai form Penyakit Akibat Kerja untuk
diteruskan ke pihak yang terkait.
b) Tatalaksana okupasi komunitas
Bertujuan untuk melindungi pekerja lain yang terpajan asbes dari gangguan kesehatan
yang ditimbulkannya. Intervensi okupasi yang dapat dilakukan antara lain:
Memberikan edukasi tentang asbestosis dan mesothelioma akibat kerja pada
pemberi kerja dan komunitas pekerja dengan pajanan asbes
Memberikan dukungan pada komunitas untuk melakukan penilaian risiko
penularan, deteksi dini, surveilans dan tindakan pencegahan di tempat pekerja
Memberi konsultasi kepada pemberi kerja untuk melakukan perbaikan tempat kerja
untuk menurunkan risiko asbestosis dan mesothelioma di tempat kerja
Memberikan konsultasi tentang pemantauan serat asbes di lingkungan kerja
Merekomendasikan alat pelindung respirasi yang sesuai pada pekerja terpajan asbes
79
MATERI INTI 5
PENYAKIT AKIBAT KERJA KARENA PAJANAN FISIKA
Jumlah JPL : 4 ( T : 1, P :3, PL :0)
I. DESKRIPSI SINGKAT
Peningkatan pembangunan industri di Indonesia dibarengi dengan pemanfaatan peralatan dengan
berbagai tingkat kemajuan teknologi. Hal ini dapat menguntungkan karena mempermudah pelaksanaan
pekerjaan dan meningkatkan hasil produksi. Namun dapat pula berdampak negatif terhadap pekerja
dalam berbagai aspek, yaitu terkait meningkatnya potensi bahaya faktor fisika seperti panas, kebisingan,
getaran, pencahayaan, radiasi elektromagnetik, serta tekanan udara. Petugas medis/kesehatan perlu
mengetahui mengenai berbagai faktor fisika di lingkungan kerja, gangguan kesehatan/penyakit yang
dapat terjadi, langkah-langkah diagnosis penyakit akibat faktor fisika serta upaya pencegahannya.
80
Pokok Bahasan 4. TATALAKSANA PENYAKIT PHOTOKERATITIS AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT KERJA
YANG SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU).
Sub Pokok Bahasan:
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja.
b. Tatalaksana
Pokok Bahasan 5. TATALAKSANA PENYAKIT OTITIS BAROTRAUMA AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT
KERJA YANG SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
Sub Pokok Bahasan:
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja.
b. Tatalaksana
Pokok Bahasan 6. TATALAKSANA PENYAKIT DEKOMPRESI AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT KERJA YANG
SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
Sub Pokok Bahasan:
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja.
b. Tatalaksana
IV. METODE
Ceramah tanya jawab
Latihan kasus
3. Fasilitator membagi peserta atas beberapa kelompok untuk diskusi kasus kemudian meminta
wakil setiap kelompok menyampaikan/ mempresentasikan hasil diskusi tersebut.
4. Fasilitator meminta peserta memberi komentar atau masukan terhadap presentasi kelompok
tersebut
Kegiatan peserta:
1. Peserta mendengarkan dan meyimak perjelasan fasilitator
2. Peserta melakukan diskusi kelompok untuk latihan kasus
3. Peserta (wakil kelompok) mempresentasikan hasil diskusi kelompok
4. Peserta memberi masukan/komentar terhadap presentasi kelompok tersebut
5. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
6. Peserta mencacat hasil rangkuman
82
2. Fasilitator memberikan contoh-contoh kasus untuk didiskusikan oleh peserta
3. Fasilitator membagi peserta atas beberapa kelompok untuk diskusi kasus kemudian meminta
wakil setiap kelompok menyampaikan/ mempresentasikan hasil diskusi tersebut.
4. Fasilitator meminta peserta memberi komentar atau masukan terhadap presentasi kelompok
tersebut
5. Fasilitator merangkum hasil presentasi kelompok
6. Fasilitator bertanya pada peserta tentang hal-hal yang belum dimengerti
Kegiatan peserta:
1. Peserta mendengarkan dan meyimak perjelasan fasilitator
2. Peserta melakukan diskusi kelompok untuk latihan kasus
3. Peserta (wakil kelompok) mempresentasikan hasil diskusi kelompok
4. Peserta memberi masukan/komentar terhadap presentasi kelompok tersebut
5. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
6. Peserta mencacat hasil rangkuman
LANGKAH 6: penyampaian pokok bahasan ke 5: Tatalaksana otitis barotrauma akibat kerja (Penyakit
Akibat Kerja yang spesifik pada pekerjaan tertentu)
Kegiatan Fasilitator :
1. Fasilitator menjelaskan pokok bahasan ke 5 tentang Diagnosis dan Tatalaksana penyakit otitis
barotrauma akibat kerja (Penyakit Akibat Kerja yang spesifik pada pekerjaan tertentu).
2. Fasilitator memberikan contoh-contoh kasus untuk didiskusikan oleh peserta
3. Fasilitator membagi peserta atas beberapa kelompok untuk diskusi kasus kemudian meminta
wakil setiap kelompok menyampaikan/ mempresentasikan hasil diskusi tersebut.
4. Fasilitator meminta peserta memberi komentar atau masukan terhadap presentasi kelompok
tersebut
5. Fasilitator merangkum hasil presentasi kelompok
6. Fasilitator bertanya pada peserta tentang hal-hal yang belum dimengerti
Kegiatan peserta:
1. Peserta mendengarkan dan meyimak perjelasan fasilitator
2. Peserta melakukan diskusi kelompok untuk latihan kasus
3. Peserta (wakil kelompok) mempresentasikan hasil diskusi kelompok
4. Peserta memberi masukan/komentar terhadap presentasi kelompok tersebut
5. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
6. Peserta mencacat hasil rangkuman
83
4. Peserta memberi masukan/komentar terhadap presentasi kelompok tersebut
5. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
6. Peserta mencacat hasil rangkuman
LANGKAH KE 8: Rangkuman dan kesimpulan.
1. Fasilitator melakukan evaluasi untuk mengetahui penyerapan peserta terhadap materi yang
sudah disampaikan dan pencapaian tujuan pembelajaran.
2. Fasilitator memberikan tugas (studi kasus) kepada masing-masing peserta untuk dilakukan 7
langkah diagnosis PAK secara mandiri
3. Merangkum dan membuat kesimpulan point-point penting dari materi yang disampaikan
4. Fasilitator menutup sesi dengan memberikan apresiasi kepada seluruh peserta
84
Peraturan Menteri kesehatan No. 70 tahun 2016 tentang
Standar dan Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Industri
Jam 2 91
1 94
30 97
15 100
7,5 103
3,75 106
1,88 109
Menit
0,94 112
28,12 115
14,06 118
7,03 121
3,52 124
1,76 127
0,88 130
0,44 133
0,22 136
Detik 0,11 139
Upaya penanggulangan pajanan bising di tempat kerja dapat dilakukan dengan “ Hearing Conservation
Program” terdiri dari :
1) Survei paparan bising
2) Pengendalian kebisingan
3) Pendidikan dan motivasi
4) Perlindungan pendengaran
5) Penilaian program
Pencahayaan dan gelombang elektromagnetik
Pencahayaan yang baik adalah pencahayaan yang memungkinkan seseorang pekerja melihat obyek
pekerjaan dengan teliti, cepat dan tanpa upaya akomodasi mata yang tidak perlu, serta membantu
menciptakan lingkungan kerja yang nyaman dan menyenangkan. Pencahayaan yang baik ditentukan
oleh pembagian luminansi dalam lapangan penglihatan, pencegahan kesilauan, arah sinar, warna dan
panas radiasi. Pencahayaan yang buruk dapat mengakibatkan kelelahan mata disertai berkurangnya
efisiensi kerja, kelelahan mental, keluhan pegal/sakit kepala sekitar mata, dan kerusakan alat
penglihatan. Selain itu, dapat meningkatkan angka kecelakaan. Pencahayaan yang baik memungkinkan
pekerja melihat obyek kerjanya dengan jelas, cepat dan tanpa upaya yang tidak perlu. Pencahayaan
yang baik ditentukan oleh faktor-faktor:
a. Pembagian luminensi dalam lapangan penglihatan
b. Pencegahan kesilauan
c. Pengaturan arah sinar
d. Penggunaan warna yang dipakai untuk penerangan
e. Pemakaian sumber cahaya yang minim menimbulkan panas terhadap lingkungan.
85
Pengukuran pencahayaan menggunakan alat luxmeter yang mengukur jumlah
cahaya yang jatuh pada permukaan. Satuan: lux (1 Lm/m2). Lm = lumen = energi cahaya yang
ditimbulkan oleh sumber cahaya ke semua arah. Pencahayaan yang baik yaitu bila tidak menimbulkan
kesilauan (glare) dan tidak membentuk bayangan. Akibat pencahayaan yang buruk adalah:
a. Kelelahan mata dengan berkurangnya daya dan efisiensi kerja
b. Kelelahan mental/psikis
c. Keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala sekitar mata
d. Kerusakan mata
e. Meningkatnya peristiwa kecelakaan
Upaya pencegahan/pengendalian:
a. Meninggikan intensitas pencahayaan sekurang-kurangnya 2 kali lipat
b. Perbaikan kontras, luminensi, pencegahan kesilauan, pengaturan arah sinar
c. Penempatan pekerja dg visus yang baik. Kerja malam harus dikerjakan oleh pekerja yang berusia
muda. Bila usianya bertambah, yang bersangkutan ditempatkan pada pekerjaan yang kurang
memerlukan ketelitian.
Radiasi elektromagnet
Radiasi listrik-magnet: diduga dapat menyebabkan gangguan sistem saraf, kardiovaskular reproduksi
dan lekemia. Radiasi sinar ultra violet: berasal dari sinar matahari , las listrik, laboratorium tempat
sterilisasi dengan sinar UV. Dapat mengakibatkan:
a. Iritasi pada permukaan tubuh (kulit) dari ringan sampai berat dalam bentuk peradangan,
terbakar/melepuh
b. Bila mengenai mata, dapat menyebabkan konjungtivitis fotoelektrika dan katarak.
Radiasi Sinar Infra Merah: dapat bersumber dari benda pijar seperti tanur di peleburan baja, peleburan
gelas, bara logam, dapur pembakaran batubara. Terpajan sinar infra merah dapat mengakibatkan beban
panas tubuh meningkat, juga dapat menimbulkan katarak. Radiasi Gelombang Mikro: pemajanan
umumnya melalui proses absorbsi, atau pantulan, dan dapat penetrasi kedalam tubuh tergantung dari
panjang gelombangnya. Gelombang mikro mempunyai panjang gelombang antara 1 mm sd 1 m.
Panjang gelombang sampai 3 cm umumnya diabsorbsi pada stratum korneum kulit. Panjang gelombang
3-10 cm terjadi penetrasi lebih dalam (dapat sampai sedalam 1 cm). Sedangkan yang panjang
gelombangnya 10-20 cm penetrasi sampai kebagian dalam dan berpotensi merusak organ tubuh bagian
dalam. Jaringan dengan kandungan air lebih tinggi akan memudahkan absorpsi gelombang mikro ke
dalam tubuh.
Akibat radiasi gelombang mikro adalah terjadinya perubahan faal tubuh. Stadium awal gejalanya adalah
astenia yang reversibel dan pulih kembali segera setelah pajanan berhenti. Pada stadium lanjut terdapat
kelainan nerovaskuler berupa perubahan tonus pembuluh darah, reaksi saraf simpatis, gejala
menyerupai sindrom gangguan diencefalon dengan perubahan gambaran EEG (elektro ensefalogram) .
Bila masih ringan, dapat pulih, namun dapat juga berakibat kecacatan. Radiasi sinar laser: sinar ini
banyak digunakan untuk pengelasan, pemotongan dan pelapisan logam, alat optis dan spektroskopi,
pembuatan mesin ukuran mikro dan operasi bedah kedokteran. Efek bagi pekerja terutama terhadap
mata dan kulit. Efek terhadap mata terjadi sebagai akibat efek termis pada retina sehingga terjadi
kerusakan retina dan kebutaan.
Radiasi mengion (Sinar Rontgen/sinar X dan Sinar Gamma): Efek radiasi akut dapat berupa sindrom
gastrointestinal, sistem saraf pusat, hemopoetik. Pada kulit dapat berupa eritem, pigmentasi, terbakar,
melepuh dan nekrosis. Efek akut: eritema kulit, depresi sumsum tulang, penurunan fertilitas
(sementara/permanen), sindrom radiasi akut : efek lambat meliputi katarak, efek kronis infertilitas,
kanker, cacat kongenital, katarak. Sindrom radiasi akut fase prodromal: timbul setelah 24 jam terkena
radiasi berupa mual, muntah, sakit kepala, eritema, limfopeni, Fase kedua: gejala-gejala tersebut
menghilang setelah dua mingguFase ketiga: mulai timbul gejala organ-organ utama yaitu:
- Kulit eritem yang lebih dalam, disertai alopesia ( biasanya timbul 17 hari setelah radiasi)
86
- Gastrointestinal: nyeri abdomen, diare, dehidrasi, syok, toksemia, dapat meninggal 7-10 hari
kemudian
- Hemopoetik: trombositopeni, lekopeni, perdarahan setelah 4-6 minggu radiasi
- Efek serebral: mengantuk, ataksia, bingung, kejang, penurunan kesadaran dan kematian akibat
edema serebral akut.
Pokok Bahasan 2: TATALAKSANA PENYAKIT NOISE INDUCE HEARING LOSS AKIBAT KERJA (PENYAKIT
AKIBAT KERJA YANG SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
Anamnesis:
Tanda dan gejala klinis:
o Apakah pada salah satu atau kedua telinga?
o Sudah berapa lama terjadi?
o Kapan pasien mulai menyadari adanya tanda dan gejala tersebut?
o Kapan terjadinya tanda dan gejala tersebut?
o Apakah ada tanda dan gejala lain yang menyertai?
o Apakah bersifat hilang timbul atau menetap?
o Pertanyaan lain yang relevan.
Riwayat penyakit dahulu (misalnya infeksi telinga) dan obat-obatan yang diminum yang mungkin
terkait dengan diagnosis klinis (obat-obatan yang memiliki efek samping ototoksik).
Riwayat penyakit keluarga yang mungkin terkait dengan diagnosis klinis.
Ada tidaknya anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama.
Riwayat hobi/kebiasaan yang mungkin terkait dengan diagnosis klinis seperti mendengarkan
musik dengan suara keras, menembak, dll.
Riwayat okupasi:
o Jenis pekerjaan: pekerja drilling, pekerja bengkel, pengemudi alat berat, pekerja kamar
mesin kapal, pekerja ruang mesin kompresor, teknisi pesawat, penerbangan helicopter,
pekerja di landasan pesawaat, tenaga kesehatan evakuasi medis udara, pandai besi, personil
militer dan kepolisian, pekerja lain yang terpajan bising tinggi.
87
o Uraian tugas yang dilakukan setiap hari maupun sewaktu-waktu (misalnya pekerjaan
pemeliharaan)
o Riwayat pekerjaan dan pajanan di tempat kerja, terutama pajanan bising dan pajanan kimia
yang memiliki efek neurotoksik.
o Gambaran pekerjaan, alat dan proses kerja yang menimbulkan kebisingan, ada/tidaknya
bahan kimia (bahan baku, bahan antara, hasil produksi) yang menimbulkan efek
neurotoksik, alat pelindung diri yang digunakan saat bekerja (misalnya alat pelindung
pendengaran, alat pelindung pernafasan, sarung tangan).
o Gambaran lingkungan kerja tempat pekerjaan dilakukan, apakah ada kebisingan dan
pekerjaan lain yang menggunakan bahan kimia yang menimbulkan efek neurotoksik yang
dilakukan oleh pekerja lain yang mungkin menyebar ke tempat pasien melakukan
pekerjaannya.
- Riwayat kecelakaan kerja yang mengenai daerah kepala.
- Riwayat tumpahan bahan kimia di tempat kerja yang terhirup oleh pasien.
- Ada tidaknya rekan kerja seangkatan yang mengalami keluhan yang sama
- Ada tidaknya pekerjaan sampingan dengan pajanan yang dapat menimbulkan diagnosis
klinis.
Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan telinga dengan menggunakan otoskop
- Tes berbisik
- Pemeriksaan dengan garpu tala
Pemeriksaan penunjang berupa audiometri jika diperlukan.
Diagnosis kerja
Diagnosis pembanding
7 langkah diagnosis Penyakit Akibat Kerja dilakukan dengan :
1. Menetapkan diagnosis klinis
Sesuai dengan klinis sensory neural heraling loss
2. Menetapkan jenis-jenis pajanan yang dialami oleh pasien.
3. Mencari hubungan antara pajanan pada langkah kedua tersebut dengan diagnosis klinis.
4. Menilai kecukupan dosis pajanan berdasarkan tingkat kebisingan yang dialami, jenis alat
pelindung pendengaran, cara pemakaian alat pelindung pendengaran, teratur atau tidak
memakai alat pelindung pendengaran, berapa jam dalam sehari mengalami kebisingan dan
sudah berapa tahun bekerja dengan pajanan kebisingan.
5. Menilai apakah ada faktor-faktor individu yang dapat berperan terhadap terjadinya penyakit
tersebut,
6. Menilai apakah ada faktor-faktor lain di luar pekerjaan yang dapat menyebabkan penyakit
tersebut.
7. Menentukan diagnosis Penyakit Akibat Kerja
b. Tatalaksana
1. Tatalaksana medis
Pemakaian alat bantu dengar dan konsultasi ke dokter spesialis THT-KL.
2. Tatalaksana okupasi
- Menerapkan program Hearing Conservation Program di perusahaan/tempat kerja untuk
mencegah pekerja lain mengalami hal serupa.
- Apabila terdapat kecacatan fungsi pendengaran, melakukan perhitungan kecacatan dan
membuat surat keterangan dokter yang dibutuhkan untuk proses pengajuan klaim jaminan
kecelakaan kerja.
Pokok Bahasan 3. TATALAKSANA PENYAKIT KATARAK AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT KERJA YANG
SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
Anamnesis:
88
Tanda dan gejala klinis:
o Apakah pada salah satu atau kedua mata?
o Sudah berapa lama terjadi?
o Kapan pasien mulai menyadari adanya tanda dan gejala tersebut?
o Pada usia berapa mulai terjadi?
o Apakah ada tanda dan gejala lain yang menyertai?
o Pertanyaan lain yang relevan.
Riwayat penyakit sekarang yang mungkin terkait dengan lebih cepat terjadinya katarak,
misalnya diabetes mellitus. Bagaimana status pengendalian gula darah pada pasien?
Riwayat penyakit dahulu (misalnya infeksi mata) dan obat-obatan yang diminum yang mungkin
terkait dengan diagnosis klinis (obat-obatan yang memiliki efek samping mempercepat
terjadinya katarak seperti kortikosteroid).
Riwayat penyakit keluarga yang mungkin terkait dengan diagnosis klinis (misalnya diabetes
mellitus).
Ada tidaknya anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama pada usia muda.
Riwayat okupasi:
o Jenis pekerjaan: pengelas, pekerjaan dengan pajanan radiasi pengion dari mesin x-ray,
reactor nuklir, pandai besi, blower kaca, penerbang dan pekerja di landasan pesawat.
o Uraian tugas yang dilakukan setiap hari maupun sewaktu-waktu (misalnya pekerjaan
pemeliharaan)
o Riwayat pekerjaan dan pajanan di tempat kerja, terutama pajanan sinar ultraviolet
(baik bersumber dari alam maupun buatan/proses kerja), infra merah, laser, radiasi
elektromagnetik.
o Gambaran pekerjaan, alat dan proses kerja yang mengakibatkan pajanan potensi
bahaya tersebut di atas pada mata pasien, alat pelindung diri yang digunakan saat
bekerja (misalnya alat kaca mata khusus, topi berdaun lebar yang melindungi mata).
o Gambaran lingkungan kerja tempat pekerjaan dilakukan, waktu pekerjaan dilakukan
(apakah pada siang hari jika sumber pajanan dari alam).
o Riwayat kecelakaan kerja yang mengenai daerah kepala dan mata.
o Riwayat percikan bahan kimia di tempat kerja yang mengenai mata.
o Ada tidaknya rekan kerja seangkatan yang mengalami keluhan yang sama.
o Ada tidaknya pekerjaan sampingan dengan pajanan yang dapat menimbulkan diagnosis
klinis.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan mata dengan menggunakan senter.
Diagnosis kerja
Diagnosis pembanding
7 langkah diagnosis Penyakit Akibat Kerja dilakukan dengan :
1. Menetapkan diagnosis klinis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
2. Menetapkan jenis-jenis pajanan yang dialami oleh pasien.
3. Mencari hubungan antara pajanan pada langkah kedua tersebut dengan diagnosis klinis.
4. Menilai kecukupan dosis pajanan berdasarkan tingkat pajanan yang dialami, jenis alat pelindung
mata, cara pemakaian alat pelindung mata, teratur atau tidak memakai alat pelindung mata,
berapa jam dalam sehari mengalami pajanan tersebut dan sudah berapa tahun bekerja dengan
pajanan tersebut.
5. Menilai apakah ada faktor-faktor individu yang dapat berperan terhadap terjadinya penyakit
tersebut,
6. Menilai apakah ada faktor-faktor lain di luar pekerjaan yang dapat menyebabkan penyakit
tersebut.
7. Menentukan diagnosis Penyakit Akibat Kerja atau bukan Penyakit Akibat Kerja
b. Tatalaksana
89
1. Tatalaksana medis
Katarak rujuk dokter spesialis mata
2. Tatalaksana okupasi
- Menerapkan program perlindungan mata di perusahaan/tempat kerja untuk mencegah
pekerja lain mengalami hal serupa.
- Apabila terdapat kecacatan fungsi penglihatan permanen, melakukan perhitungan
kecacatan dan membuat surat keterangan dokter yang dibutuhkan untuk proses pengajuan
klaim jaminan kecelakaan kerja.
Pokok Bahasan 4. TATALAKSANA PENYAKIT PHOTOKERATITIS AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT KERJA
YANG SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
Anamnesis:
Tanda dan gejala klinis:
- Sudah berapa lama terjadi?
- Kapan pasien mulai menyadari adanya tanda dan gejala tersebut? (biasanya < 24 jam
setelah terpajan)
- Apakah ada tanda dan gejala lain yang menyertai?
- Pertanyaan lain yang relevan.
Riwayat okupasi:
- Jenis pekerjaan: pengelas, pekerja peleburan logam, pekerja glass blower, pekerja yang
terpajan UV, laser grade 3 – 4 (Panjang gelombang 532 – 1.054 nm).
- Uraian tugas yang dilakukan sebelum tanda dan gejala timbul.
- Riwayat pekerjaan dan pajanan di tempat kerja, terutama pajanan radiasi optik,
meliputi sinar ultraviolet, radisi elektromagnetik (visible light), infra merah, termasuk
laser.
- Gambaran pekerjaan, alat dan proses kerja yang mengakibatkan pajanan potensi
bahaya tersebut di atas pada mata pasien, alat pelindung diri yang digunakan saat
bekerja (misalnya alat kaca mata khusus).
- Ada tidaknya pekerjaan sampingan dengan pajanan yang dapat menimbulkan diagnosis
klinis.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan mata dengan menggunakan senter.
Diagnosis kerja
Diagnosis pembanding
7 langkah diagnosis Penyakit Akibat Kerja dilakukan dengan :
1. Menetapkan diagnosis klinis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang
2. Menetapkan jenis-jenis pajanan yang dialami oleh pasien.
3. Mencari hubungan antara pajanan pada langkah kedua tersebut dengan diagnosis
klinis.
4. Menilai kecukupan dosis pajanan berdasarkan tingkat pajanan yang dialami, jenis alat
pelindung mata, tidak memakai alat pelindung mata.
5. Menilai apakah ada faktor-faktor individu yang dapat berperan terhadap terjadinya
penyakit tersebut,
6. Menilai apakah ada faktor-faktor lain di luar pekerjaan yang dapat menyebabkan
penyakit tersebut.
7. Menentukan diagnosis PAK atau bukan PAK
b. Tatalaksana
1. Tatalaksana medis
90
Terapi medikamentosa sesuai photokeratitis
2. Tatalaksana okupasi
- Menerapkan program perlindungan mata di perusahaan/tempat kerja untuk mencegah
pekerja lain mengalami hal serupa.
- Apabila terdapat kecacatan fungsi penglihatan permanen, melakukan perhitungan
kecacatan dan membuat surat keterangan dokter yang dibutuhkan untuk proses pengajuan
klaim jaminan kecelakaan kerja.
Pokok Bahasan 5. TATALAKSANA PENYAKIT OTITIS BAROTRAUMA AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT
KERJA YANG SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja.
Anamnesis:
Tanda dan gejala klinis:
o Sudah berapa lama terjadi?
o Kapan pasien mulai menyadari adanya tanda dan gejala tersebut? (biasanya < 24 jam
setelah terpajan)
o Apakah ada tanda dan gejala lain yang menyertai?
o Pertanyaan lain yang relevan.
Riwayat penyakit lain yang sedang dialami seperti infeksi saluran pernafasan atas, rhinitis,
sinusitis, infeksi telinga.
Riwayat okupasi:
o Jenis pekerjaan: penerbang, awak kabin dan atlet dirgantara, penyelam, tenaga
kesehatan pendamping ruang udara hipobarik (TOHB), pekerja di bawah tanah
(compressed air worker (CAW), tenaga kesehatan evakuasi medis udara.
o Uraian tugas yang dilakukan sebelum tanda dan gejala timbul.
o Riwayat pekerjaan dan pajanan di tempat kerja, terutama pajanan perubahan tekanan
mendadak.
o Gambaran pekerjaan, alat dan proses kerja yang mengakibatkan pajanan potensi
bahaya tersebut di atas.
o Ada tidaknya pekerjaan sampingan dengan pajanan yang dapat menimbulkan diagnosis
klinis.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan telinga dengan menggunakan otoskop.
Diagnosis kerja
Diagnosis pembanding
7 langkah diagnosis Penyakit Akibat Kerja dilakukan dengan :
1. Menetapkan diagnosis klinis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
2. Menetapkan jenis-jenis pajanan yang dialami oleh pasien.
3. Mencari hubungan antara pajanan pada langkah kedua tersebut dengan diagnosis klinis.
4. Menilai kecukupan dosis pajanan berdasarkan tingkat pajanan yang dialami, jenis alat pelindung
mata, tidak memakai alat pelindung mata.
5. Menilai apakah ada faktor-faktor individu yang dapat berperan terhadap terjadinya penyakit
tersebut,
6. Menilai apakah ada faktor-faktor lain di luar pekerjaan yang dapat menyebabkan penyakit
tersebut.
7. Menentukan diagnosis Penyakit Akibat Kerja atau bukan Penyakit Akibat Kerja
b. Tatalaksana
1. Tatalaksana medis
Terapi medikamentosa sesuai otitis barotrauma, merujuk ke dokter THT jika gejala parah dan
tidak membaik meskipun sudah dilakukan upaya penyeimbangan tekanan udara dalam ruang
telinga tengah dengan tekanan udara luar.
2. Tatalaksana okupasi
91
- Menerapkan program perlindungan telinga saat bekerja untuk mencegah pekerja lain
mengalami hal serupa.
- Apabila terdapat kecacatan fungsi penglihatan permanen, melakukan perhitungan
kecacatan dan membuat surat keterangan dokter yang dibutuhkan untuk proses pengajuan
klaim jaminan kecelakaan kerja
Pokok Bahasan 6. TATALAKSANA PENYAKIT DEKOMPRESI AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT KERJA
YANG SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
Anamnesis:
Tanda dan gejala klinis:
o Sudah berapa lama terjadi?
o Kapan pasien mulai menyadari adanya tanda dan gejala tersebut? (biasanya bersifat
akut setelah terpajan)
o Apakah ada tanda dan gejala lain yang menyertai?
o Pertanyaan lain yang relevan.
Riwayat penyakit lain yang sedang dialami seperti infeksi saluran pernafasan atas, rhinitis,
sinusitis, infeksi telinga.
Riwayat okupasi:
o Jenis pekerjaan: penerbang, awak kabin dan atlet dirgantara, penyelam, tenaga
kesehatan pendamping ruang udara hipobarik (TOHB), pekerja di bawah tanah
(compressed air worker (CAW), tenaga kesehatan evakuasi medis udara.
o Uraian tugas yang dilakukan sebelum tanda dan gejala timbul.
o Riwayat pekerjaan dan pajanan di tempat kerja, terutama pajanan perubahan tekanan
mendadak.
o Gambaran pekerjaan, alat dan proses kerja yang mengakibatkan pajanan potensi
bahaya tersebut di atas.
o Ada tidaknya pekerjaan sampingan dengan pajanan yang dapat menimbulkan diagnosis
klinis.
Pemeriksaan fisik
Sesuai dengan tanda dan gejala yang dialami.
Diagnosis kerja
Diagnosis pembanding
7 langkah diagnosis Penyakit Akibat Kerja dengan melakukan :
1. Menetapkan diagnosis klinis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
2. Menetapkan jenis-jenis pajanan yang dialami oleh pasien.
3. Mencari hubungan antara pajanan pada langkah kedua tersebut dengan diagnosis klinis.
4. Menilai kecukupan dosis pajanan berdasarkan tingkat pajanan yang dialami, jenis alat pelindung
mata, tidak memakai alat pelindung mata.
5. Menilai apakah ada faktor-faktor individu yang dapat berperan terhadap terjadinya penyakit
tersebut,
6. Menilai apakah ada faktor-faktor lain di luar pekerjaan yang dapat menyebabkan penyakit
tersebut.
7. Menentukan diagnosis Penyakit Akibat Kerja atau bukan Penyakit Akibat Kerja
b. Tatalaksana
1. Tatalaksana medis
Terapi medikamentosa sesuai dekompresi, rujuk ke fasyankes yang memiliki fasilitas ruang
udara hiperbarik.
2. Tatalaksana okupasi
- Menerapkan upaya pencegahan dekompresi saat bekerja untuk mencegah pekerja lain
mengalami hal serupa.
92
- Apabila terdapat kecacatan fungsi penglihatan permanen, melakukan perhitungan
kecacatan dan membuat surat keterangan dokter yang dibutuhkan untuk proses pengajuan
klaim jaminan kecelakaan kerja
VIII. REFERENSI
1. Hughes P, Ferret Ed, Introduction to International Health and Safety at Work, Amazon, 2010.
2. Konsensus Diagnosis Okupasi Sebagai Penentuan Penyakit Akibat Kerja, Kolegium Kedokteran
Okupasi Indonesia, 2011
3. Ladou, Joseph. Occupational and Environmental Medicine 4th Edition. The McGraw-Hill Companies.
New York. 2007
4. Raymond Agius, Anthony Seaton. Practical Occupational Medicine. 2nd ed. Hodder Arnold. London.
2006
5. Stellmen Jeane Mager. Encyclopaedia of Occupational Health and Safety.4 th edition. International
Labour Office. Geneva.1998
6. Suma’mur PK. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes). Edisi 2. Sagung Seto. 2013
7. Konsensus Tujuh Langkah Diagnosis Okupasi Sebagai Penentuan Penyakit Akibat Kerja. Perhimpunan
Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia. 2014
8. Konsensus Tatalaksana PAK 2018
93
MATERI INTI 6
PENYAKIT AKIBAT KERJA KARENA PAJANAN BIOLOGI
Jumlah JPL : 3 ( T : 1, P :2, PL :0)
I. DESKRIPSI SINGKAT
Pajanan biologi di tempat kerja merupakan pajanan yang di dapat dari proses kerja atau lingkungan
kerja pada pekerja yang memang tugasnya bekerja dengan bahan biologis seperti bakteri, virus, parasit,
jamur atau harus berada di lingkungan yang ada pajanan biologis. Beberapa Penyakit Akibat Kerja
karena pajanan biologis yang akan dibahas dalam modul adalah TBC Paru Akibat Kerja, Varicela Akibat
Kerja, Hepatitis B Akibat Kerja, Hepatitis C Akibat Kerja dan Covid-19 Akibat Kerja
IV. METODE
Ceramah tanya jawab
Curah Pendapat
Latihan kasus
95
Kegiatan fasilitator:
a. Fasilitator menjelaskan melalui metode ceramah tanya jawab:
7 langkah diagnosis okupasi untuk menegakkan Varicela Akibat Kerja
Tata Laksana Varicela Akibat Kerja
b. Fasilitator bertanya kepada peserta tantang hal-hal yang belum dimengerti
c. Fasilitator merangkum pokok bahasan 4
Kegiatan peserta:
a. Peserta mendengarkan dan menyimak penjelasan fasilitator
b. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
LANGKAH 5: Penyampaian Pokok Bahasan 4 tentang Tata Laksana Penyakit Hepatitis B Akibat Kerja
Kegiatan fasilitator:
a. Fasilitator menjelaskan melalui metode ceramah tanya jawab:
7 langkah diagnosis okupasi untuk menegakkan Hepatitis B Akibat Kerja
Tata Laksana Hepatitis B Akibat Kerja
b. Fasilitator bertanya kepada peserta tantang hal-hal yang belum dimengerti
c. Fasilitator merangkum pokok bahasan 5
Kegiatan peserta:
a. Peserta mendengarkan dan menyimak perjelasan fasilitator
b. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
LANGKAH 6: Penyampaian Pokok Bahasan 5 tentang Tata Laksana Penyakit Hepatitis C Akibat Kerja
Kegiatan fasilitator:
a. Fasilitator menjelaskan melalui metode ceramah tanya jawab:
7 langkah diagnosis okupasi untuk menegakkan Hepatitis C Akibat Kerja
Tata Laksana Hepatitis C Akibat Kerja
b. Fasilitator bertanya kepada peserta tantang hal-hal yang belum dimengerti
c. Fasilitator merangkum pokok bahasan 6
Kegiatan peserta:
a. Peserta mendengarkan dan menyimak perjelasan fasilitator
b. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
LANGKAH 7: Penyampaian Pokok Bahasan 6 tentang Tata Laksana Penyakit Covid-19 Akibat Kerja
Kegiatan fasilitator:
a. Fasilitator menjelaskan melalui metode ceramah tanya jawab:
7 langkah diagnosis okupasi untuk menegakkan Covid-19 Akibat Kerja
Tata Laksana Covid-19 Akibat Kerja
b. Fasilitator bertanya kepada peserta tantang hal-hal yang belum dimengerti
c. Fasilitator merangkum pokok bahasan 7
Kegiatan peserta:
a. Peserta mendengarkan dan menyimak perjelasan fasilitator
b. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
LANGKAH 8: Studi Kasus
Kegiatan Fasilitator
a. Pelatih membagi peserta dalam 5 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 5 orang peserta
b. Pelatih memberikan 1 kasus yang berbeda untuk masing-masing kelompok
c. Pelatih memberi penugasan pada setiap kelompok untuk melakukan latihan diagnosis dan
tata laksana kasus pada pekerja dengan dugaan penyakit TBC Paru Akibat Kerja, penyakit
Varicella Akibat Kerja, penyakit Hepatitis B Akibat Kerja, penyakit Hepatitis C Akibat Kerja ,
penyakit Covid-19 Akibat Kerja
d. Pelatih memberikan kesempatan pada tiap kelompok untuk mendiskusikan kasus yang
didapat dan melengkapi data-data yang diperlukan pada di status okupasi (waktu diskusi
kasus 45 menit)
e. Pelatih meminta setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi kasus selama 10 menit
96
f. Pelatih memberi kesempatan pada kelompok lain untuk memberikan tanggapan dan
masukan selama 5 menit
g. Pelatih menanggapi dengan melakukan klarifikasi dan memberikan masukan, serta
menyimpulkan hasil diskusi, selama 15 menit
h. Setiap anggota kelompok wajib berkontribusi dalam mempresentasikan dan menjawab
diskusi kelompok
Kegiatan peserta:
a. Peserta mendengarkan dan meyimak penugasan fasilitator
b. Peserta mendiskusikan kasus yang didapat dan membuat status okupasi
c. Peserta mempresentasikan hasil diskusi kasus
d. Peserta memberi tanggapan dan masukan atas hasil pemaparan kelompok lain
LANGKAH 8: Rangkuman dan kesimpulan.
a. Fasilitator melakukan evaluasi untuk mengetahui penyerapan peserta terhadap materi yang sudah
disampaikan dan pencapaian tujuan pembelajaran
b. Merangkum dan membuat kesimpulan point-point penting dari materi yang disampaikan
c. Fasilitator menutup sesi dengan memberikan apresiasi kepada seluruh peserta
Pokok Bahasan 1: PRINSIP DIAGNOSIS PENYAKIT AKIBAT KERJA KARENA PAJANAN BIOLOGI
Diagnosis Penyakit Akibat Kerja karena pajanan biologi dilakukan dengan pendekatan sistematis untuk
mendapatkan informasi yang diperlukan dalam melakukan interpretasi secara tepat. Pendekatan
tersebut dilakukan melalui 7 langkah diagnosis Penyakit Akibat Kerja dilakukan sebagai berikut :
Langkah 1 : Menegakkan diagnosis klinis
Langkah 2 : Menentukan pajanan yang dialami pekerja di tempat kerja
Langkah 3: Menentukan hubungan pajanan dengan diagnosis klinis
Langkah 4 : Menentukan besarnya pajanan
Langkah 5 : Menentukan faktor individu yang berperan
Langkah 6 : Menentukan pajanan di luar tempat kerja
Langkah 7 : Menentukan diagnosis Penyakit Akibat Kerja
Diagnosis klinis harus ditegakkan sebagai langkah awal, jika diperlukan dilakukan rujukan ke fasilitas
kesehatan yang lebih lengkap untuk memastikan diagnosa klinis. Pajanan biologis di tempat kerja perlu
digali informasinya dari pekerja atau heteroanamnesa dengan atasan atau petugas K3 tempat pekerja
tersebut bekerja dengan menanyakan detail uraian tugas, kondisi lingkungan kerja, cara kerja, bahan
kerja dan lain-lain terkait pajanan. Pekerjaan yang terdapat pajanan biologis antara lain jenis-jenis
pekerja di fasilitas kesehatan meliputi profesi kesehatan, tenaga teknis, petugas laboratorium, farmasi,
staf administratif, staf bagian rumah tangga, petugas kebersihan dll. Selain itu juga petugas di sektor
pertanian, produk pertanian, pemeliharaan dan fasilitas kesehatan hewan. Petugas sektor pertanian
97
meliputi perkebunan, peternakan, kehutanan, perikanan; sedangkan petugas sektor produk pertanian
misalnya pengolahan makanan, penyimpanan produk, penyamakan kulit, pengolahan kayu. Petugas
pemeliharaan meliputi pembersihan sistem ventilasi, karpet dan penanganan limbah.
Tidak ada nilai ambang batas untuk pajanan biologis pada pajanan paling rendahpun, bila
mikroorganismenya sangat virulen atau daya tahan seseorang rendah dapat menimbulkan infeksi atau
reaksi alergi. Khusus mengenai pajanan biologi di fasilitas kesehatan merupakan pajanan utama. Infeksi
nosokomial dan infeksi akibat pekerjaan, saat ini merupakan masalah yang penting diseluruh dunia dan
risiko terus meningkat. Pelayanan kesehatan merupakan industri yang “labor intensive” dimana jenis-
jenis pekerja di fasilitas kesehatan. Yang paling menimbulkan kekhawatiran penularan kepada SDM RS
adalah penyakit-penyakit seperti Hepatitis B, Hepatitis C, HIV/AIDS,TBC, SARSCoV-2.
98
- Bayangan bercak milier
- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TBC inaktif :
- Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
- Kalsifikasi atau fibrotik
- Kompleks ranke
- Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura
2. Menentukan pajanan yang ada di lingkungan kerja
Diketahui jenis pekerjaan, bahan kerja, cara kerja dan uraian tugas ada pajanan biologi
Mycobacterium tuberculosis saat kontak erat dengan pasien TBC aktif atau spesimen (sputum,
cairan lambung, cairan serebrospinal, urin, jaringan, cairan pleura dan bronkus) dari pasien TBC
aktif.
3. Menentukan apakah ada hubungan antara pajanan di lingkungan kerja dengan penyakitnya
Pekerja yang kontak erat dengan penderita TBC atau bahan mengandung bakteri tuberkulosis
hidup berisiko tertular penyakit tuberkulosis Hal ini ditunjukkan pada sejumlah studi yang
menyatakan bahwa petugas kesehatan terutama mereka yang merawat pasien TBC secara
historis memiliki risiko lebih tinggi terhadap infeksi TBC daripada populasi umum.
4. Menentukan kecukupan pajanan untuk dapat menyebabkan terjadinya penyakit tersebut
Tidak ada nilai ambang batas untuk pajanan biologis. Pada pajanan rendah pun, bila
mikroorganismenya sangat virulen atau daya tahan seseorang rendah dapat menimbulkan
infeksi atau reaksi alergi. Dengan mempertimbangkan masa inkubasi maka lama terpapar
pajanan sampai bergejala tersebut minimal 1 bulan.
5. Menentukan adanya faktor individu
Faktor risiko individu seperti merokok, pneumoconiosis, Diabetes Melitus, PPOK,
imunodefisiensi. Adanya keadaan tersebut tidak menyingkirkan kemungkinan TBC paru akibat
kerja. Informasi ini dibutuhkan untuk penatalaksanaan.
6. Menentukan faktor di luar pekerjaan yang dapat menyebabkan penyakit tersebut
Tidak ada kontak erat dengan penderita TBC aktif diluar tempat kerja
7. Langkah 7: Menentukan Penyakit Akibat Kerja
TBC paru akibat kerja, atau
Bukan TBC akibat kerja
b. Tata Laksana TBC Paru Akibat Kerja
1. Tatalaksana medis :
- Tata laksana medis dilakukan sesuai diagnosis klinis
- Tata laksana medis berupa rawat jalan dan atau rawat inap yang dapat dilakukan di
fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan oleh dokter sesuai dengan kompetensinya
sesuai Panduan Praktik Klinik TBC Paru
- Terapi yang diberikan berupa medikamentosa dan atau non medikamentosa seperti
edukasi, latihan fisik, nutrisi
2. Tatalaksana okupasi :
- Tata laksana okupasi diberikan setelah diagnosis TBC Paru Akibat Kerja ditegakkan
- Tata laksana okupasi pada individu pekerja terdiri dari penilaian kelaikan kerja, program
kembali kerja dan penentuan kecacatan
- Tata laksana okupasi pada komunitas pekerja terdiri pelayanan pencegahan dan
penemuan dini diagnosis TBC Paru Akibat Kerja
100
- Tata laksana medis berupa rawat jalan dan atau rawat inap yang dapat dilakukan di fasilitas
pelayanan kesehatan dilakukan oleh dokter sesuai dengan kompetensinya sesuai Panduan
Praktik Klinik Varisela
- Terapi yang diberikan berupa medikamentosa dan atau non medikamentosa seperti konseling
dan edukasi
2. Tatalaksana okupasi :
- Tatalaksana okupasi diberikan setelah diagnosis Varisela Akibat Kerja ditegakkan
- Tatalaksana okupasi dilakukan oleh dokter sesuai kompetensinya dan kewenangannya
- Tatalaksana okupasi pada individu pekerja terdiri dari penilaian kelaikan kerja, program
kembali kerja dan penentuan kecacatan
- Tatalaksana okupasi pada komunitas pekerja terdiri pelayanan pencegahan dan penemuan
dini diagnosis Varisela Akibat Kerja
101
keluhan tapi dapat juga berupa fatique, malaise, anoreksia, icterus persisten atau intermitten.
Pemeriksaan fisik
Pada infeksi akut dapat ditemukan ikterus, hepatomegali,splenomegali dan pada infeksi kronis
dapat ditemukan hepatomegali, demam subfebris, ikterus (jarang) dan jika sudah terjadi
komplikasi dapat ditemukan ascites, ensefalopathy dan hipersplenisme.
Pemeriksaan penunjang
Pada infeksi akut : HBSAg positif, HBeAg positif, HBV DNA positif, Ig M AntiHBc
Pada infeksi kronis : HBSAg positif dalam 2 kali pemeriksaan berjarak 6 bulan, AntiHBc (+); SGPT
lebih meningkat disbanding SGOT, alkali fosfatase normal atau meningkat ringan, bilirubin
meningkat, hipoalbuminemia,PT memanjang
USG abdomen pada hepatitis B kronis berupa gambaran penyakit hati kronis, sirosis, karsinoma
hepatoseluler
2. Menentukan pajanan yang ada di lingkungan kerja
Diketahui jenis pekerjaan, bahan kerja, cara kerja dan uraian tugas ada pajanan biologi virus
hepatitis B yakni terdapat riwayat tertusuk jarum atau benda tajam yang terkontaminasi atau
terkena cipratan sekret pasien Hepatitis B pada mukosa pekerja
3. Menentukan apakah ada hubungan antara pajanan di lingkungan kerja dengan penyakitnya
Pada pemeriksaan HBSAg yang dilakukan paling lama 1 hari setelah insiden hasilnya negatif dan
baru menjadi positif minimal 3 dan maksimal 6 bulan setelah pajanan. Risiko penularan HBV
setelah luka tusuk jarum suntik yang terkontaminasi HBV 27-37 : 100. Risiko infeksi akibat
percikan darah (tak disengaja) yang mengandung HBV didapatkan setidaknya 10 -8 ml darah yang
yang mengandung HBV dapat menularkan virus
4. Menentukan kecukupan pajanan untuk dapat menyebabkan terjadinya penyakit tersebut
Tidak ada nilai ambang batas untuk pajanan biologis.
5. Menentukan adanya faktor individu
Faktor risiko individu seperti kebiasaan minum alkohol. penggunaan narkoba suntik, menerima
tranfusi darah, perilaku seksual risiko tinggi, menjalani tindakan invasif, menjalani hemodialisis.
Adanya keadaan tersebut tidak menyingkirkan kemungkinan hepatitis B akibat kerja. Informasi
ini dibutuhkan untuk penatalaksanaan.
6. Menentukan faktor di luar pekerjaan yang dapat menyebabkan penyakit tersebut
Tidak ada kontak erat dengan penderita hepatitis B diluar tempat kerja
7. Menentukan Penyakit Akibat Kerja
Hepatitis B akibat kerja
b. Tata Laksana Hepatitis B Akibat Kerja
1. Tata Laksana medis :
- Tata laksana medis dilakukan sesuai diagnosis klinis
- Tata laksana medis berupa rawat jalan dan atau rawat inap yang dapat dilakukan di
fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan oleh dokter sesuai dengan kompetensinya sesuai
Panduan Praktik Klinik Hepatitis B
- Terapi yang diberikan berupa medikamentosa dan atau non medikamentosa seperti
konseling dan edukasi
2. Tata Laksana okupasi :
- Tatalaksana okupasi diberikan setelah diagnosis Hepatitis B Akibat Kerja ditegakkan
- Tatalaksana okupasi dilakukan oleh dokter sesuai kompetensinya dan kewenangannya
- Tatalaksana okupasi pada individu pekerja terdiri dari penilaian kelaikan kerja, program
kembali kerja dan penentuan kecacatan
- Tatalaksana okupasi pada komunitas pekerja terdiri pelayanan pencegahan dan penemuan
dini diagnosis Hepatitis B Akibat Kerja
102
Pokok Bahasan 5: TATA LAKSANA PENYAKIT HEPATITIS C AKIBAT KERJA
Penyakit hati karena infeksi virus khususnya Hepatitis C masih sangat tinggi pada populasi penduduk di
Indonesia. Diperkirakan 3 juta orang menderita Hepatitis C. Sekitar 50% dari orang-orang ini memiliki
penyakit hati yang berpotensi kronis dan 10% berpotensi menuju fibrosis hati yang dapat menyebabkan
kanker hati. Pada 60-85% pasien terinfeksi Hepatitis C menjadi hepatitis kronik dan pada 10-20% pasien
dengan hepatitis kronik menjadi sirosis. Adapun 1% dari 5% dengan hepatitis kronik akan menjadi kanker
hati. Diagnosis penyakit hati karena infeksi virus akibat kerja harus memperhatikan status imunologis
pasien sebelumnya. Hepatitis infeksi virus C akibat kerja terjadi setelah pekerja tertusuk jarum atau benda
tajam yang terkontaminasi virus hepatitis C. Prevalensi penyakit paling tinggi pada pekerja yang sering
terpajan darah atau produk darah seperti ahli bedah, teknisi laboratorium, staf unit hemodialisa, petugas
bagian kebersihan (cleaning service) fasilitas pelayanan kesehatan, dokter gigi, petugas lembaga
pemasyarakatan, polisi, petugas ambulans dan pekerja di institusi yang merawat orang cacat mental.
Secara global berdasar data WHO dari 35 juta pekerja kesehatan didapatkan 3 juta terpajan patogen
darah (2 juta terpajan virus HBV dan 900 ribu terpajan virus HBC) dan dapat terjadi 15 ribu Hepatitis C
serta 70 ribu Hepatitis B. Ini lebih dari 90% terjadi di negara berkembang. Adapun di Indonesia
berdasarkan penelitian dr Joseph tahun 2005-2007 mencatat bahwa angka KAK NSI mencapai 38-73% dari
total petugas kesehatan. Risiko penularan HCV setelah luka tusuk jarum suntik yang mengandung HCV 3-
10:100.
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
7 langkah diagnosis okupasi untuk menegakkan Hepatitis C Akibat Kerja sebagai berikut :
1. Menentukan Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan :
Anamnesis
Pada infeksi akut gejala yang dirasakan anoreksia, nausea, muntah, fatique, malaise, atralgia,
myalgia, sakit kepala, 1-5 hari sebelum ikterus timbul. Urine pekat dan kadang feces seperti
dempul dan setelah ikterus timbul gejala berkurang. Adapun dalam keadaan kronis bisa tanpa
keluhan tapi dapat juga berupa fatique, malaise, anoreksia. Faktor risiko penggunaan narkoba
suntik, menerima tranfusi darah, tingkat ekonomi dan edukasi rendah, perilaku seksual risiko
tinggi, menjalani tindakan invasif, menjalani hemodialisis, tertusuk jarum suntik atau terkena
cairan tubuh pasien berisiko.
Pemeriksaan fisik
Pada infeksi akut dapat ditemukan ikterus, hepatomegali,splenomegali dan pada infeksi kronis
dapat ditemukan hepatomegali, demam subfebris, ikterus (jarang) dan jika sudah terjadi
komplikasi dapat ditemukan ascites, ensefalopathy, hipersplenisme serta manifestasi
ekstrahepatik
Pemeriksaan penunjang
Ada infeksi akut : HCV RNA positif setelah 7 hari pajanan; antiHCV positif 5-10 minggu setelah
pajanan dan dapat bertahan seumur hidup.
Ada infeksi kronis : antiHCV positif dan HCV RNA terdeteksi dalam 2x pemeriksaan berjarak 6
bulan.
USG abdomen pada hepatitis C kronis berupa gambaran penyakit hati kronis, sirosis, karsinoma
hepatoseluler
2. Menentukan pajanan yang ada di lingkungan kerja
Diketahui jenis pekerjaan, bahan kerja, cara kerja dan uraian tugas ada pajanan biologi virus
hepatitis C yakni terdapat riwayat tertusuk jarum atau benda tajam yang terkontaminasi atau
terkena cipratan sekret pasien pada mukosa pekerja.
3. Menentukan apakah ada hubungan antara pajanan di lingkungan kerja dengan penyakitnya.
Pada pemeriksaan anti HCV dilakukan paling lama setelah insiden hasilnya negative dan baru
menjadi positif minimal 3 bulan dan maksimal 6 bulan setelah pajanan. Masa inkubasi Hepatitis
C sekitar 2 minggu-6 bulan. Sekitar 50-85% berkembang menjadi kronik. Dari mereka yang
memiliki infeksi HCV kronis, risiko sirosis hati adalah antara 15-30% dalam waktu 20 tahun.
103
Risiko penularan HBC setelah luka tusuk jarum suntik yang terkontaminasi HCV adalah 3 – 10 :
100.
4. Menentukan kecukupan pajanan untuk dapat menyebabkan terjadinya penyakit tersebut
Tidak ada nilai ambang batas untuk pajanan biologis.
5. Menentukan adanya faktor individu.
Faktor risiko individu seperti kebiasaan minum alkohol. penggunaan narkoba suntik, menerima
tranfusi darah, perilaku seksual risiko tinggi, menjalani tindakan invasive, menjalani
hemodialisis. Adanya keadaan tersebut tidak menyingkirkan kemungkinan hepatitis C akibat
kerja. Informasi ini dibutuhkan untuk penatalaksanaan.
6. Menentukan faktor di luar pekerjaan yang dapat menyebabkan penyakit tersebut
Tidak ada kontak erat dengan penderita hepatitis C diluar tempat kerja
7. Menentukan Penyakit Akibat Kerja
Hepatitis C akibat kerja , atau
Bukan hepatitis akibat kerja
b. Tatalaksana Hepatitis C Akibat Kerja ]
1. Tatalaksana medis :
- Tata laksana medis dilakukan sesuai diagnosis klinis
- Tata laksana medis berupa rawat jalan dan atau rawat inap yang dapat dilakukan di
fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan oleh dokter sesuai dengan kompetensinya
sesuai Panduan Praktik Klinik Hepatitis C
- Terapi yang diberikan berupa medikamentosa dan atau non medikamentosa seperti
konseling dan edukasi
2. Tata Laksana okupasi :
a. Tatalaksana okupasi diberikan setelah diagnosis Hepatitis C Akibat Kerja ditegakkan
b. Tatalaksana okupasi pada individu pekerja terdiri dari penilaian kelaikan kerja, program
kembali kerja dan penentuan kecacatan
c. Tatalaksana okupasi pada komunitas pekerja terdiri pelayanan pencegahan dan penemuan
dini diagnosis Hepatitis C Akibat Kerja
104
c. Kasus tanpa gejala (asimtomatik) dengan hasil pemeriksaan antigen SARS-CoV-2 positif yang
kontak dengan kasus probable/konfirmasi
Kriteria kasus suspek yang dimaksud adalah seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria
berikut:
a. Memenuhi salah satu kriteria klinis DAN kriteria epidemiologis:
1) Kriteria klinis:
a) Demam DAN batuk; ATAU
b) Terdapat 3 atau lebih gejala/tanda akut berikut: demam, batuk,
lemah/kelelahan (fatigue), sakit kepala, mialgia, nyeri tenggorok,
coryza/pilek/hidung tersumbat, sesak nafas, anoreksia/mual/muntah, diare,
penurunan kesadaran
DAN
2) Kriteria epidemiologis:
a) Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat tinggal atau
bekerja di tempat berisiko tinggi penularan; ATAU
b) Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat tinggal atau
bepergian di wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi lokal; ATAU pada 14
hari terakhir sebelum timbul gejala bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan,
baik melakukan pelayanan medis, dan non-medis, serta petugas yang
melaksanakan kegiatan investigasi, pemantauan kasus dan kontak; ATAU
b. Pasien ISPA berat (SARI: acute respiratory infection, dengan riwayat demam atau suhu ≥380
C; dan batuk; dengan onset 10 hari terakhir; dan membutuhkan perawatan rumah sakit)
c. Seseorang tanpa gejala (asimtomatik) yang tidak memenuhi kriteria epidemiologis dengan
hasil pemeriksaan antigen SARS-CoV-2 positif
Kasus probable terdiri dari 4 kriteria, yaitu:
a. Pasien memenuhi kriteria klinis kasus suspek DAN terdapat kontak dengan kasus
probable/konfirmasi atau terkait dengan kluster COVID-19
b. Kasus suspek dengan gambaran radiologis sugestif ke arah COVID-19
c. Seseorang dengan gejala akut anosmia (hilangnya kemampuan indra penciuman) atau
ageusia (hilangnya kemampuan indra perasa) dengan tidak ada penyebab lain yang dapat
diidentifikasi
d. Orang dewasa yang meninggal dengan distres pernapasan DAN terdapat kontak erat dengan
kasus probable/konfirmasi atau terkait dengan kluster COVID-19
Berdasarkan beratnya kasus, COVID-19 dibedakan menjadi:
a. Tanpa gejala
Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan dimana pasien tidak ditemukan gejala.
b. Ringan
Pasien dengan gejala tanpa ada bukti pneumonia virus atau tanpa hipoksia. Gejala yang muncul
seperti demam, batuk, fatigue, anoreksia, napas pendek, mialgia. Gejala tidak spesifik lainnya
seperti sakit tenggorokan, kongesti hidung, sakit kepala, diare, mual dan muntah, penghidu
(anosmia) atau hilang pengecapan (ageusia) yang muncul sebelum onset gejala pernapasan
juga sering dilaporkan. Pasien usia tua dan imunokompromais gejala atipikal seperti fatigue,
penurunan kesadaran, mobilitas menurun, diare, hilang nafsu makan, delirium, dan tidak ada
demam.
c. Sedang
Pada pasien remaja atau dewasa: pasien dengan tanda klinis pneumonia (demam, batuk, sesak,
napas cepat) tetapi tidak ada tanda pneumonia berat termasuk SpO2 >93% dengan udara
ruangan
d. Berat /pneumonia berat
105
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia (demam, batuk,
sesak, napas cepat) ditambah satu dari: frekuensi napas >30 x/menit, distres pernapasan berat,
atau SpO2 <93% pada udara ruangan.
e. Kritis
Pasien dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok sepsis.
2. Menentukan pajanan yang ada di lingkungan kerja
Diketahui jenis pekerjaan, bahan kerja, cara kerja dan uraian tugas ada pajanan biologi SARS-
CoV-2 saat kontak dengan pasien atau spesimen dari pasien Covid-19 misalnya tenaga
kesehatan yang melayani/merawat/kontak dengan pasien Covid-19, tenaga kesehatan atau
petugas laboratorium yang memeriksa spesimen pasien Corona Virus Disease 2019, tenaga non
kesehatan di fasilitas kesehatan yang kontak dengan pasien Corona Virus Disease 2019
(mengantar pasien, membersihkan ruangan di tempat perawatan pasien Corona Virus Disease
2019), tenaga kesehatan/petugas yang melakukan tugas di luar area fasilitas kesehatan dalam
rangka penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (petugas penyelidikan
epidemiologi/tracing, petugas ambulans, petugas pemulasaran jenazah dan lain-lain).
3. Menentukan apakah ada hubungan antara pajanan di lingkungan kerja dengan penyakitnya.
Studi epidemiologi dan virologi saat ini membuktikan bahwa COVID- 19 pada umumnya
ditularkan dari orang yang bergejala (simtomatik) ke orang lain yang berada jarak dekat melalui
droplet. Droplet merupakan partikel berisi air dengan diameter > 5 - 10 μm. Penularan droplet
terjadi ketika seseorang berada pada jarak dekat (dalam 1 meter) dengan seseorang yang
memiliki gejala pernapasan (misalnya, batuk atau bersin) sehingga droplet berisiko mengenai
mukosa (mulut dan hidung) atau konjungtiva (mata). Penularan juga dapat terjadi melalui benda
dan permukaan yang terkontaminasi droplet di sekitar orang yang terinfeksi. Oleh karena itu,
penularan virus SARS-CoV-2 dapat terjadi melalui kontak langsung dengan orang yang terinfeksi
dan kontak tidak langsung dengan permukaan atau benda yang digunakan pada orang yang
terinfeksi (misalnya, stetoskop atau termometer). Transmisi melalui udara dapat terjadi dalam
keadaan khusus misalnya prosedur atau perawatan suportif yang menghasilkan aerosol seperti
intubasi endotrakeal, bronkoskopi, suction terbuka, pemberian nebulisasi, ventilasi manual
sebelum intubasi, mengubah pasien ke posisi tengkurap, memutus koneksi ventilator, ventilasi
tekanan positif noninvasif, trakeostomi, dan resusitasi kardiopulmoner. Saat ini, WHO dan
komunitas ilmiah lain masih mendiskusikan kemungkinan transmisi virus SARS-CoV-2 melalui
udara tanpa adanya prosedur yang menghasilkan aerosol terutama pada ruangan tertutup
dengan ventilasi yang buruk. Tenaga kesehatan dan non kesehatan yang bekerja di fasilitas
kesehatan melayani pasien Covid-19 dan kontak dengan spesimen SARS-CoV-2 mempunyai
risiko tinggi tertular pajanan biologi virus SARS-CoV-2. Masa inkubasi rata-rata 5-6 hari dengan
masa inkubasi terpanjang 14 hari.
4. Menentukan kecukupan pajanan untuk dapat menyebabkan terjadinya penyakit tersebut
Tidak ada nilai ambang batas untuk pajanan biologis.
5. Menentukan adanya faktor individu
Tidak ada faktor individu yang berperan karena semua berisiko tertular
6. Menentukan faktor di luar pekerjaan yang dapat menyebabkan penyakit tersebut
Tidak ada bukti riwayat kontak dengan pajanan biologi SARS- CoV-2 di luar pekerjaan
7. Menentukan Penyakit Akibat Kerja
Covid-19 Akibat Kerja
b. Tatalaksana Covid-19 Akibat Kerja
1. Tatalaksana medis :
- Tata laksana medis dilakukan sesuai diagnosis klinis
- Tata laksana medis berupa rawat jalan dan atau rawat inap yang dapat dilakukan di fasilitas
pelayanan kesehatan dilakukan oleh dokter sesuai dengan kompetensinya sesuai Panduan
Praktik Klinik Covid-19
106
- Terapi yang diberikan berupa medikamentosa dan atau non medikamentosa seperti konseling
dan edukasi
2. Tatalaksana okupasi :
- Tatalaksana okupasi diberikan setelah diagnosis Covid-19 Akibat Kerja ditegakkan
- Tatalaksana okupasi pada individu pekerja terdiri dari penilaian kelaikan kerja, program
kembali kerja dan penentuan kecacatan
- Tatalaksana okupasi pada komunitas pekerja terdiri pelayanan pencegahan dan penemuan
dini diagnosis Covid-19 Akibat Kerja
Catatan: perkembangan ilmu terkait Covid-19 karena merupakan penyakit yang baru dan
pandemi masih berlangsung sehingga penegakkan diagnosa klinis dan okupasi serta
tatalaksana klinis dan okupasi menyesuaikan dengan hasil penelitian terbaru demikian juga
dengan penyakit lainnya disesuaiakan dengan perkembangan terkini.
VIII. REFERENSI
Marilyn J.F. Tuberculosis in The Workplace. 2001
Tjetjen,L,Bossmeyer,D.,Mclntosh, N., Panduan Pencegahan Infeksi untuk fasilitas Kesehatan dengan
Sumber daya terbatas, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta,2004
Levy,B.S, Wagner G.R, Preventing Occupational Disease and Injury, APHA 2nd ed., 2005
Albert Nienhaus,: Infectious diseases in healthcare workers – an analysis of the standardised data set
of a German compensation board Journal of Occupational Medicine and Toxicology 2012, 7:8
Keith T Palmer. Fitness for work The Medical Aspect.4th edition.2007
Ali Sulaiman dkk. Buku Ajar Penyakit Hati.2012
Dewi S Soemarko, Astrid W. 7 Langkah Diagnosis Okupasi.2014
Sri Linuwih dkk. Penyakit Kulit dan Kelamin.2015
PAPDI. Penatalaksanaan di Bidang IPD Panduan Praktik Klinis.2015
Idrus Alwi dkk. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Panduan Praktik Klinik.2016
Permenkes Nomor 27 tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
Perdoki. Pedoman Klinis Diagnosis dan Tatalaksana Kasus Penyakit Akibat Kerja. 2017
PB IDI. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Kesehatan Primer Edisi 1.2017
Si-Hyun Kim.Implementation of Hospital Policy for Healthcare Workers and Patients Exposed to
Varicella-Zoster Virus. 2018
Kementerian Kesehatan RI. Konsensus Tata laksana Penyakit Akibat Kerja di Indonesia. 2019
Kementerian Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/327/2020
tentang Penetapan COVID-19 Akibat Kerja Sebagai Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada
Pekerjaan Tertentu. 2020
Kementerian Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/413/2020
tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). 2020.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia. Pedoman penatalaksanaan
107kembali kerja pada kasus yang berkaitan dengan pajanan SARS CoV-2 pada masa 107pandemi
COVID-19. 2020
PB IDI. Pedoman Standar Perlindungan Dokter Di Era Pandemi COVID-19. 2021
107
MATERI DASAR 1
PERHITUNGAN KECACATAN
Jumlah JPL : 2 ( T : 1, P :1, PL : 0)
Oleh:
dr Fani Syafani, MKK, CDMP
Disabilitas atau Kecacatan, merupakan suatu kondisi yang tidak diharapkan siapapun, terutama pada
kelompok pekerja dimana seseorang yang mengalami disabilitas atau kecacatan akan berdampak langsung
maupun tidak langsung pada keterbatasan dalam melakukan pekerjaan dan peran di kehidupan sosialnya.
Pengertian cacat berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2015, yaitu keadaan berkurang atau
hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya anggota badan yang secara langsung atau tidak langsung
mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan pekerja untuk menjalankan pekerjaannya
Perlu disadari seseorang yang mengalami disabilitas atau kecacatan masih dapat berfungsi di dunia
kerja dan berkontribusi di masyarakat. Namun sebaliknya dengan disabilitas atau kecacatan dapat
menghambat melakukan suatu pekerjaan yang sebelumnya dapat dikerjakan normal dalam kesehariannya.
Sehingga perlu kita sadari disabilitas adalah akibat dari kecelakaan dan atau penyakit pada anggota tubuh
manusia mengakibatkan terjadi disabilitas atau kecacatan. Dan apabila terjadi pada pekerja saat melakukan
aktivitas yang terkait pekerjaannya, saat dinas ataupun saat perjalanan menuju ke tempat kerja atau pulang
dari tempat kerja ke tempat tinggalnya sehari-hari, dan eligible terdaftar dalam perlindungan Program
Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), maka pekerja tersebut berhak memperoleh santunan cacat, baik santunan
cacat sebagian fungsi, cacat sebagian anatomi maupun cacat total tetap sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Berdasarkan regulasi yang berlaku, pekerja yang mengalami Cacat akibat Kecelakaan Kerja atau penyakit
akibat kerja harus tetap dipekerjakan kembali kecuali apabila Pekerja mengalami Cacat total tetap
berdasarkan surat keterangan dokter dan karena kecacatannya yang bersangkutan tidak memungkinkan lagi
untuk melakukan pekerjaan.
X. TUJUAN PEMBELAJARAN
A.TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM
Setelah mengikuti materi ini peserta mampu melakukan perhitungan nilai /prosentase Kecacatan
penyakit akibat kerja
Pokok bahasan 3. Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja dengan cacat sebagian anatomi
Sub pokok bahasan :
d. Pengertian cacat sebagian anatomi
e. Contoh Kasus KK PAK dengan cacat sebagian anatomi
f. Implementasi perhitungan Kasus KK PAK dengan cacat sebagian anatomi
Pokok bahasan 4. Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja dengan cacat sebagian fungsi
Sub pokok bahasan :
a. Pengertian cacat sebagian fungsi
b. Contoh Kasus KK PAK dengan cacat sebagian fungsi
c. Implementasi perhitungan Kasus KK PAK dengan cacat sebagian fungsi
Pokok bahasan 5. Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja dengan cacat total tetap
Sub pokok bahasan :
a. Pengertian cacat total tetap
b. Contoh Kasus KK PAK dengan cacat total tetap
c. Implementasi perhitungan Kasus KK PAK dengan cacat total tetap
XII. METODE
Ceramah
tanya jawab
Curah Pendapat
Latihan kasus
4. Pelatih bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta
Kegiatan Peserta:
3. Peserta mendengarkan dengan seksama
4. Pelatih menjawab pertanyaan peserta
Kegiatan Peserta:
6. Peserta mendengarkan dengan seksama
7. Pelatih menjawab pertanyaan peserta
Kegiatan Peserta:
110
4 Peserta mendengarkan dengan seksama
5 Pelatih menjawab pertanyaan peserta
Pokok bahasan 1.
Manfaat Jaminan Kecelakaan Kerja untuk kompensasi santunan Kecacatan disebabkan kasus penyakit
akibat kerja sesuai peraturan perundangan.
BPJS Ketenagakerjaan sebagai badan hukum publik yang ditunjuk oleh pemerintah menurut amanat Undang-
Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial untuk menyelenggarakan program
Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian. Jaminan Kecelakaan
Kerja (JKK) merupakan manfaat yang dapat langsung dirasakan oleh pekerja saat menghadapi resiko kerja,
seperti kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Kompensasi untuk dapat kembali bekerja juga merupakan
hak pekerja yang harus diberikan sesuai Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 10 Tahun 2016 tentang
Tata Cara Pemberian Program Kembali Kerja serta Kegiatan Promotif dan Kegiatan Preventif Kecelakaan Kerja
dan Penyakit Akibat Kerja. Program JKK mengupayakan peserta yang mengalami disabilitas mendapat
pengobatan yang cepat, tepat, dan dapat segera bekerja kembali
Pokok bahasan 2.
Perihal Prosentase Kecacatan Kasus Penyakit Akibat Kerja
Sehat dan bekerja merupakan hak azasi manusia, namun tempat kerja dapat berisiko terhadap kesehatan
pekerja. Oleh sebab itu Pemberi kerja , pekerja dan Pemerintah memiliki peran dan tanggung jawab untuk
mewujudkan tempat kerja yang sehat dan terbebas dari pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan.
Penyakit Akibat Kerja merupakan penyakit yang dapat ditimbulkan oleh proses, bahan, alat dan perilaku serta
lingkungan kerja, dimana kondisi tersebut dapat dilakukan upaya pengendalian sehingga Penyakit Akibat
Kerja dapat dicegah.
Regulasi di Indonesia telah mewajibkan pemberi kerja dan pekerja untuk mengikuti program Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan melalui Program Jaminan Kecelakaan Kerja. Berdasarkan Regulasi yang berlaku, begitu tegak
diagnose Penyakit Akibat Kerja, dalam tempo 2x 24 jam harus segera dilkaporkan ,hal ini untuk mengingatkan
pemberi kerja, pekerja, fasilitas kesehatan bahwa kasus penyakit akibat kerja harus segera ditangani untuk
mencegah terjadinya perburukan, yang dapat menyebabkan kecacatan atau disabilitas bahkan kematian .
Diagnosis penyakit akibat kerja memiliki konsekuensi dimana pemberi kerja/pimpinan tempat kerja juga
111
mempunyai tanggung jawab terhadap pencegahan dan penyelesaian penyakit akibat kerja dan pekerja
berhak mendapat upaya perlindungan terhadap penyakit akibat kerja. Dalam hal santunan kasus kecelakaan
kerja maupun santunan kasus penyakit akibat kerja , diberikan kepada pekerja berdasarkan persentase dari
kondisi akhir dari kasus kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja.
Perbedaaan Pendapat
Dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai persentase cacat akibat kecelakaan kerja atau penyakit
akibat kerja:
- pekerja dapat meminta penetapan kepada pengawas ketenagakerjaan setempat, dimana
pengawas ketenagakerjaan meminta pertimbangan medis kepada dokter penasehat daerah
untuk menetapkan persentase cacat
- kemudian pengawas ketenagakerjaan setempat membuat penetapan manfaat JKK berdasarkan
persentase cacat hasil pertimbangan medis dokter penasehat daerah
- Dalam hal penetapan pengawas ketenagakerjaan tidak diterima salah satu pihak, pihak yang
tidak menerima dapat meminta penetapan menteri
Pokok bahasan 3.
Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja dengan cacat sebagian anatomi
Definisi
Cacat
Adalah keadaan berkurang atau hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya anggota badan yang
secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan
pekerja untuk menjalankan pekerjaannya
Pokok bahasan 4.
Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja dengan cacat sebagian Fungsi
Definisi
Cacat
Adalah keadaan berkurang atau hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya anggota badan yang
secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan
pekerja untuk menjalankan pekerjaannya
Perhitungan Cacat sebagian fungsi = % berkurangnya fungsi x % sesuai tabel x 80 x Upah sebulan
112
Pokok bahasan 5.
Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja dengan cacat total tetap
Definisi
Cacat
Adalah keadaan berkurang atau hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya anggota badan yang
secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan
pekerja untuk menjalankan pekerjaannya
113
Impotensi 40
Kaki memendek sebelah:
− kurang dari 5 cm 10
− 5 cm sampai kurang dari 7,5 cm 20
− 7,5 cm atau lebih 30
Penurunan daya dengar kedua belah telinga setiap 10 6
desibel
Penurunan daya dengar sebelah telinga setiap 10 desibel 3
Kehilangan daun telinga sebelah 5
Kehilangan kedua belah daun telinga 10
Cacat hilangnya cuping hidung 30
Perforasi sekat rongga hidung 15
Kehilangan daya penciuman 10
Hilangnya kemampuan kerja fisik:
− 51% - 70% 40
− 26% - 50% 20
− 10% - 25% 5
Hilangnya kemampuan kerja mental tetap 70
Kehilangan sebagian fungsi penglihatan Setiap kehilangan
efisiensi tajam penglihatan 10%. Apabila efisiensi
penglihatan kanan dan kiri berbeda, maka 7
efisiensipenglihatan binokuler dengan rumus kehilangan
efisiensi penglihatan: (3 x % efisiensi penglihatan terbaik) +
% efisiensi penglihatan terburuk
Kehilangan penglihatan warna 10
Setiap kehilangan lapangan pandang 10% 7
114
115
XVI. REFERENSI
Barry S Levy David H Wegman. Occupational Health Recognizing and preventing world related
disease.edisi ke 3
Soemarko DS, Sulistomo AB. Tujuh Langkah Diagnosis Okupasi untuk mendeteksi Penyakit
Akibat Kerja. Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia, Jakarta 2011.
Week, JL, Gregory R Wagner, Kathleen M Rest, Barry S levi. A Public Health Approach to
preventing occupational Diseases and Injuries in preventing Occupati onal diseases and injury.
Edisi ke 2, APHA, Washington, 2005
UU Nomor 1 tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja
UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Permenaker No 02 Tahun 1980 Tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja
Permenaker No. 01 Tahun 1981 Tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja
Permenaker No 03 Tahun 1982 Tentang Pelayanan Kesehatan Kerja
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan program jaminan kecelakaan
kerja dan jaminan kematian
PERMENAKER No.26 Tahun 2015 Tentang Tata Cara penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan
Kerja ,Jaminan Kematian dan Jaminan Hari Tua Bagi Peserta Penerima Upah
Permenkes No 56 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan pelayanan penyakit akibat kerja
Permenaker No 01 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Program JKM, JKM dan JHT bagi
peserta BPU
Permenaker No 28 Tahun 2015 Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Dokter Penasehat
Permenaker No 10 Tahun 2016 tentang Program Return to Work, Promotif dan Preventif dan
Penyakit Akibat Kerja
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER.25/MEN/XII/2008 Tentang
Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat Karena Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat
Kerja
Peraturan Presiden Nomor 07 tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja
Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44
Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian
116
MATERI INTI 7
PERHITUNGAN KECACATAN
Jumlah JPL : 2 ( T : 1, P :1, PL : 0)
I. DESKRIPSI SINGKAT
Disabilitas atau Kecacatan, merupakan suatu kondisi yang tidak diharapkan siapapun, terutama pada
kelompok pekerja dimana seseorang yang mengalami disabilitas atau kecacatan akan berdampak
langsung maupun tidak langsung pada keterbatasan dalam melakukan pekerjaan dan peran di kehidupan
sosialnya. Pengertian cacat berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2015, yaitu keadaan
berkurang atau hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya anggota badan yang secara langsung atau tidak
langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan pekerja untuk menjalankan
pekerjaannya. Perlu disadari seseorang yang mengalami disabilitas atau kecacatan masih dapat berfungsi
di dunia kerja dan berkontribusi di masyarakat. Namun sebaliknya dengan disabilitas atau kecacatan
dapat menghambat melakukan suatu pekerjaan yang sebelumnya dapat dikerjakan normal dalam
kesehariannya. Sehingga perlu kita sadari disabilitas adalah akibat dari kecelakaan dan atau penyakit pada
anggota tubuh manusia mengakibatkan terjadi disabilitas atau kecacatan. Dan apabila terjadi pada
pekerja saat melakukan aktivitas yang terkait pekerjaannya, saat dinas ataupun saat perjalanan menuju
ke tempat kerja atau pulang dari tempat kerja ke tempat tinggalnya sehari-hari, dan eligible terdaftar
dalam perlindungan Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), maka pekerja tersebut berhak
memperoleh santunan cacat, baik santunan cacat sebagian fungsi, cacat sebagian anatomi maupun cacat
total tetap sesuai dengan regulasi yang berlaku. Berdasarkan regulasi yang berlaku, pekerja yang
mengalami Cacat akibat Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja harus tetap dipekerjakan kembali
kecuali apabila Pekerja mengalami Cacat total tetap berdasarkan surat keterangan dokter dan karena
kecacatannya yang bersangkutan tidak memungkinkan lagi untuk melakukan pekerjaan.
117
Pokok bahasan 2. Perihal prosentase kecacatan kasus penyakit akibat kerja
Pokok bahasan 3. Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja dengan cacat sebagian anatomi
Sub pokok bahasan :
a. Pengertian cacat sebagian anatomi
b. Contoh Kasus KK PAK dengan cacat sebagian anatomi
c. Implementasi perhitungan Kasus KK PAK dengan cacat sebagian anatomi
Pokok bahasan 4. Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja dengan cacat sebagian fungsi
Sub pokok bahasan :
a. Pengertian cacat sebagian fungsi
b. Contoh Kasus KK PAK dengan cacat sebagian fungsi
c. Implementasi perhitungan Kasus KK PAK dengan cacat sebagian fungsi
Pokok bahasan 5. Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja dengan cacat total tetap
Sub pokok bahasan :
a. Pengertian cacat total tetap
b. Contoh Kasus KK PAK dengan cacat total tetap
c. Implementasi perhitungan Kasus KK PAK dengan cacat total tetap
IV. METODE
Ceramah
tanya jawab
Curah Pendapat
Latihan kasus
2. Pelatih bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta
Kegiatan Peserta:
1. Peserta mendengarkan dengan seksama
2. Pelatih menjawab pertanyaan peserta
Kegiatan Peserta:
1. Peserta mendengarkan dengan seksama
2. Pelatih menjawab pertanyaan peserta
Kegiatan Peserta:
1. Peserta mendengarkan dengan seksama
2. Pelatih menjawab pertanyaan peserta
119
VII. URAIAN MATERI
Pokok bahasan 1.
Manfaat Jaminan Kecelakaan Kerja untuk kompensasi santunan Kecacatan disebabkan kasus penyakit
akibat kerja sesuai peraturan perundangan.
BPJS Ketenagakerjaan sebagai badan hukum publik yang ditunjuk oleh pemerintah menurut amanat Undang-
Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial untuk menyelenggarakan program
Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian. Jaminan Kecelakaan
Kerja (JKK) merupakan manfaat yang dapat langsung dirasakan oleh pekerja saat menghadapi resiko kerja,
seperti kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Kompensasi untuk dapat kembali bekerja juga merupakan
hak pekerja yang harus diberikan sesuai Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 10 Tahun 2016 tentang
Tata Cara Pemberian Program Kembali Kerja serta Kegiatan Promotif dan Kegiatan Preventif Kecelakaan Kerja
dan Penyakit Akibat Kerja. Program JKK mengupayakan peserta yang mengalami disabilitas mendapat
pengobatan yang cepat, tepat, dan dapat segera bekerja kembali
Pokok bahasan 2.
Perihal Prosentase Kecacatan Kasus Penyakit Akibat Kerja
Sehat dan bekerja merupakan hak azasi manusia, namun tempat kerja dapat berisiko terhadap kesehatan
pekerja. Oleh sebab itu Pemberi kerja , pekerja dan Pemerintah memiliki peran dan tanggung jawab untuk
mewujudkan tempat kerja yang sehat dan terbebas dari pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan.
Penyakit Akibat Kerja merupakan penyakit yang dapat ditimbulkan oleh proses, bahan, alat dan perilaku serta
lingkungan kerja, dimana kondisi tersebut dapat dilakukan upaya pengendalian sehingga Penyakit Akibat
Kerja dapat dicegah.
Regulasi di Indonesia telah mewajibkan pemberi kerja dan pekerja untuk mengikuti program Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan melalui Program Jaminan Kecelakaan Kerja. Berdasarkan Regulasi yang berlaku, begitu tegak
diagnose Penyakit Akibat Kerja, dalam tempo 2x 24 jam harus segera dilkaporkan ,hal ini untuk mengingatkan
pemberi kerja, pekerja, fasilitas kesehatan bahwa kasus penyakit akibat kerja harus segera ditangani untuk
mencegah terjadinya perburukan, yang dapat menyebabkan kecacatan atau disabilitas bahkan kematian .
Diagnosis penyakit akibat kerja memiliki konsekuensi dimana pemberi kerja/pimpinan tempat kerja juga
mempunyai tanggung jawab terhadap pencegahan dan penyelesaian penyakit akibat kerja dan pekerja
berhak mendapat upaya perlindungan terhadap penyakit akibat kerja. Dalam hal santunan kasus kecelakaan
120
kerja maupun santunan kasus penyakit akibat kerja , diberikan kepada pekerja berdasarkan persentase dari
kondisi akhir dari kasus kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja.
Perbedaaan Pendapat
Dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai persentase cacat akibat kecelakaan kerja atau penyakit
akibat kerja:
- pekerja dapat meminta penetapan kepada pengawas ketenagakerjaan setempat, dimana
pengawas ketenagakerjaan meminta pertimbangan medis kepada dokter penasehat daerah
untuk menetapkan persentase cacat
- kemudian pengawas ketenagakerjaan setempat membuat penetapan manfaat JKK berdasarkan
persentase cacat hasil pertimbangan medis dokter penasehat daerah
- Dalam hal penetapan pengawas ketenagakerjaan tidak diterima salah satu pihak, pihak yang
tidak menerima dapat meminta penetapan menteri
Pokok bahasan 3.
Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja dengan cacat sebagian anatomi
Definisi
Cacat
Adalah keadaan berkurang atau hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya anggota badan yang
secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan
pekerja untuk menjalankan pekerjaannya
Pokok bahasan 4.
Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja dengan cacat sebagian Fungsi
Definisi
Cacat
Adalah keadaan berkurang atau hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya anggota badan yang
secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan
pekerja untuk menjalankan pekerjaannya
Perhitungan Cacat sebagian fungsi = % berkurangnya fungsi x % sesuai tabel x 80 x Upah sebulan
Pokok bahasan 5.
Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja dengan cacat total tetap
121
Definisi
Cacat
Adalah keadaan berkurang atau hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya anggota badan yang
secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan
pekerja untuk menjalankan pekerjaannya
122
− kurang dari 5 cm 10
− 5 cm sampai kurang dari 7,5 cm 20
− 7,5 cm atau lebih 30
Penurunan daya dengar kedua belah telinga setiap 10 6
desibel
Penurunan daya dengar sebelah telinga setiap 10 desibel 3
Kehilangan daun telinga sebelah 5
Kehilangan kedua belah daun telinga 10
Cacat hilangnya cuping hidung 30
Perforasi sekat rongga hidung 15
Kehilangan daya penciuman 10
Hilangnya kemampuan kerja fisik:
− 51% - 70% 40
− 26% - 50% 20
− 10% - 25% 5
Hilangnya kemampuan kerja mental tetap 70
Kehilangan sebagian fungsi penglihatan Setiap kehilangan
efisiensi tajam penglihatan 10%. Apabila efisiensi
penglihatan kanan dan kiri berbeda, maka 7
efisiensipenglihatan binokuler dengan rumus kehilangan
efisiensi penglihatan: (3 x % efisiensi penglihatan terbaik) +
% efisiensi penglihatan terburuk
Kehilangan penglihatan warna 10
Setiap kehilangan lapangan pandang 10% 7
123
VIII. REFERENSI
Barry S Levy David H Wegman. Occupational Health Recognizing and preventing world related
disease.edisi ke 3
Soemarko DS, Sulistomo AB. Tujuh Langkah Diagnosis Okupasi untuk mendeteksi Penyakit
Akibat Kerja. Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia, Jakarta 2011.
Week, JL, Gregory R Wagner, Kathleen M Rest, Barry S levi. A Public Health Approach to
preventing occupational Diseases and Injuries in preventing Occupational diseases and injury.
Edisi ke 2, APHA, Washington, 2005
UU Nomor 1 tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja
UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Permenaker No 02 Tahun 1980 Tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja
Permenaker No. 01 Tahun 1981 Tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja
Permenaker No 03 Tahun 1982 Tentang Pelayanan Kesehatan Kerja
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan program jaminan kecelakaan
kerja dan jaminan kematian
PERMENAKER No.26 Tahun 2015 Tentang Tata Cara penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan
Kerja ,Jaminan Kematian dan Jaminan Hari Tua Bagi Peserta Penerima Upah
Permenkes No 56 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan pelayanan penyakit akibat kerja
Permenaker No 01 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Program JKM, JKM dan JHT bagi
peserta BPU
Permenaker No 28 Tahun 2015 Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Dokter Penasehat
Permenaker No 10 Tahun 2016 tentang Program Return to Work, Promotif dan Preventif dan
Penyakit Akibat Kerja
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER.25/MEN/XII/2008 Tentang
Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat Karena Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat
Kerja
Peraturan Presiden Nomor 07 tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja
Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44
Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian
124