Anda di halaman 1dari 125

MODUL

PELATIHAN TATALAKSANA PENYAKIT AKIBAT KERJA


BAGI DOKTER
DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN

Direktorat Kesehatan Kerja dan Olahraga


Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat
Kementerian Kesehatan RI
2021

0
Direktorat Kesehatan Kerja dan Olahraga,
Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat,
Kementerian Kesehatan RI

Bekerjasama dengan

PERHIMPUNAN SPESIALIS KEDOKTERAN OKUPASI INDONESIA


Jakarta, Maret 2021

TIM PENYUSUN
1. Dr. dr. Astrid B. Sulistomo, MPH, SpOk
2. Dr. dr. Dewi Sumaryani Soemarko, MS, SpOk
3. dr. Nusye Edithe Zamsiar, MS, SpOk
4. dr. Suryo Wibowo, MKK, SpOk
5. dr. Anna Suraya, SpOk
6. dr. Liem Jen Fuk, SpOk, MKK
7. dr. Agustina Puspitasari, SpOk
8. dr. Inne Nutfiliana, MKK
9. drg. Diah Erti Mustikawati, MPH
10. dr. Yulia Reniaty Febrianti, MKM

1
KATA PENGANTAR

Besarnya jumlah pekerja di Indonesia dan masih tingginya risiko kesehatan di tempat kerja
membawa konsekuensi adanya gangguan kesehatan yang disebabkan/terkait dengan aktifitas dan
lingkungan kerja. Namun di Indonesia gambaran Penyakit Akibat Kerja saat ini seperti fenomena
“Puncak Gunung Es”, dimana Penyakit Akibat Kerja yang dideteksi masih sangat kecil. Untuk itu
diperlukan penguatan kapasitas dokter di Fasyankes dalam mendiagnosis dan menatalaksana
Penyakit Akibat Kerja. Dalam penetapan diagnosis Penyakit Akibat Kerja menggunakan pendekatan
tujuh langkah diagnosis Penyakit Akibat Kerja sesuai konsensus Organisasi Profesi Ikatan Dokter
Indonesia tentang Tatalaksana Penyakt Akibat Kerja pada tahun 2018. Penegakkan diagnosis
Penyakit Akibat Kerja sangat penting bagi pekerja, sebagai salah satu upaya perlindungan pekerja
dan pencegahan keparahan yang mungkin terjadi. Selain itu pekerja dapat memperoleh haknya dan
mendapatkan penatalaksanaan yang tepat dan sesuai dengan penyakitnya.
Terimakasih kami sampaikan kepada Tim Penyusun yang telah menyelesaikan modul
pelatihan ini dengan baik. Buku Modul Pelatihan Diagnosis Penyakit Akibat Kerja akan selalu
dimutakhirkan secara berkala mengikuti perkembangan keilmuan dan peraturan yang ada sehingga
dapat menjadi panduan bagi Dokter di Fasyankes dalam melakukan pelayanan kesehatan bagi pekerja
seoptimal mungkin.

Jakarta, Maret 2021


Direktur Kesehatan Kerja dan olahraga

2
DAFTAR ISI

Halaman
Tim Penyusun ............................................................................................................. 1
Kata Pengantar ........................................................................................................... 2
Daftar Isi ...................................................................................................................... 3
Materi Dasar (MD)- 1 Kebijakan Kesehatan Kerja..................................................... 4
Materi Dasar (MD) -2 Aspek Etik, Medikolegal Pelayanan Penyakit Akibat Kerja ….
Materi Inti (MI) - 1 Hubungan Pajanan di Tempat Kerja dan Timbulnya Penyakit ....
Materi Inti (MI) - 2 Diagnosis Penyakit Akibat Kerja ..................................................
Materi Inti (MI) - 3 Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja Karena Pajanan Ergonomi….
Materi Inti (MI) - 4 Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja Karena Pajanan Kimia ………
Materi Inti (MI) - 5 Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja Karena Pajanan Fisika ..........
Materi Inti (MI) - 6 Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja Karena Pajanan Biologi .........
Materi Inti (MI) - 7 Perhitungan Nilai/Prosentasi Kecacatan Penyakit Akibat Kerja ....
Materi Inti (MI) - 8 Pencatatan dan Pelaporan Penyakit Akibat Kerja …………….........
Materi Inti( MI) -9 Teknik Melatih............................................................................
Materi Penunjang (MP) – 1 Building Learning commitment …………………………......
Materi Penunjang (MP) – 2 Anti Korupsi ……………………………………………..........
Materi Penunjang (MP) – 3 Rencana Tindak Lanjut ………………………………….......

3
MATERI DASAR 1
KEBIJAKAN KESEHATAN KERJA
Jumlah JPL : 2 ( T : 2, P :0 )

I. DESKRIPSI SINGKAT
Amandemen UUD 1945 pasal 28 h telah mengamanahkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera,
batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat, berhak memperoleh
pelayanan kesehatan. UU No.36 tahun 2009 tentang kesehatan menyatakan bahwa upaya kesehatan kerja
diterapkan pada semua tempat kerja baik formal maupun informal dan secara tegas dinyatakan ruang
lingkup, tugas dan tanggung jawab semua pihak baik pemerintah, pengusaha dan pekerja dalam
pelaksanaan kesehatan kerja. Untuk itu penerapan upaya kesehatan pada tatanan tempat kerja adalah
kebijakan kesehatan kerja yang dilaksanakan sebagai bagian dari kesehatan masyarakat.

Penerapan upaya kesehatan kerja di perusahaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan program
keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dimana telah tertuang dalam regulasi ketenagakerjaan berdasarkan
UU No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Kesehatan Kerja adalah upaya yang ditujukan untuk
melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang
diakibatkan oleh pekerjaan. Sasaran kesehatan kerja ditujukan pada semua pekerja baik sektor formal dan
informal termasuk ASN, TNI dan Polri. Upaya kesehatan kerja mendukung terwujudnya masyarakat yang
sehat dan produktif dimana bersifat komprehensif baik upaya kesehatan preventif, promotif, kuratif dan
rehabilitatif.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


A.TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu memahami tentang kebijakan kesehatan kerja.

B. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS


Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu :
1) Menjelaskan latar belakang dan permasalahan kesehatan pada pekerja.
2) Menjelaskan tentang kebijakan kesehatan kerja dan regulasi terkait.
3) Menjelaskan implementasi upaya kesehatan kerja dan deteksi dini Penyakit Akibat Kerja.

III. POKOK BAHASAN


Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan dan sub pokok bahasan sebagai berikut.
Pokok bahasan 1. Latar belakang dan permasalahan kesehatan pada pekerja
Sub pokok bahasan :
a. Gambaran distribusi pekerja di Indonesia
b. Permasalahan Kesehatan Pekerja di Indonesia
c. Pentingnya upaya kesehatan kerja
Pokok bahasan 2. Kebijakan kesehatan kerja dan regulasi terkait
Sub pokok bahasan :
a. RPJMN dan Renstra Kementerian Kesehatan
b. Strategi Kebijakan Kesehatan Kerja
c. Ruang lingkup upaya kesehatan kerja
d. Peran Pemerintah, Pemerintah daerah dan masyarakat dalam upaya kesehatan kerja
Pokok bahasan 3. Implementasi upaya kesehatan kerja dan deteksi dini Penyakit Akibat Kerja
Sub pokok bahasan :
4
a. Implementasi upaya kesehatan kerja
b. Deteksi dini Penyakit Akibat Kerja dan 5 pilar pencegahan
c. Penyakit Akibat Kerja, JKN dan JKK

IV. METODE
 Ceramah
 Tanya Jawab

V. MEDIA ALAT BANTU


 Bahan tayang/ power point
 Modul
 Laptop/Komputer
 LCD
 Laser pointer
 ATK

VI. LANGKAH PEMBELAJARAN


Langkah 1: Pengkondisian
Kegiatan pelatih
1. Pelatih menyapa peserta dengan ramah dan hangat, apabila belum pernah memperkenalkan diri,
nama lengkap, asal institusi.
2. Menyampaikan tujuan umum, tujuan khusus dan pokok bahasan yang akan disampaikan sebaiknya
menggunakan bahan tayang.

Langkah 2: Pelatih menjelaskan pokok bahasan pertama:


Kegiatan Pelatih:
1. Pelatih menjelaskan latar belakang dan permasalahan kesehatan pada pekerja, gambaran distribusi
pekerja, permasalahan kesehatan pekerja di Indonesia dan pentingnya upaya kesehatan kerja
2. Pelatih bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta
Kegiatan Peserta:
1. Peserta mendengarkan dengan seksama
2. Pelatih menjawab pertanyaan peserta

Langkah 3: Pelatih menjelaskan pokok bahasan kedua:


Kegiatan Pelatih:
1. Pelatih menjelaskan kebijakan kerja dan regulasi terkait
2. Pelatih bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta
Kegiatan Peserta:
1. Peserta mendengarkan dengan seksama
2. Pelatih menjawab pertanyaan peserta

Langkah 4: Pelatih menjelaskan pokok bahasan ketiga


Kegiatan Pelatih:
1. Pelatih menjelaskan kepada peserta tentang implementasi upaya kesehatan kerja dan deteksi dini
Penyakit Akibat Kerja’
2. Pelatih bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta
3. Pelatih menyimpulkan keseluruhan materi
Kegiatan Peserta:
1. Peserta mendengarkan dengan seksama
2. Pelatih menjawab pertanyaan peserta

5
VII. URAIAN MATERI

Pokok bahasan 1.
LATAR BELAKANG DAN PERMASALAHAN KESEHATAN PADA PEKERJA
Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk mendukung sumber daya manusia yang berkualitas
dan berdaya saing. Saat ini Indonesia telah mencapai berbagai keberhasilan pembangunan nasional dimana
pembangunan kesehatan berperan penting dalam terwujudnya pembangunan sumber daya manusia.

a. Gambaran distribusi pekerja di Indonesia


Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang besar, saat ini penduduk Indonesia berjumlah 265
juta dan sekitar 133 juta merupakan angkatan kerja. Angkatan kerja adalah penduduk usia produktif yang
berusia 15-64 tahun yang siap untuk bekerja. 127 juta orang atau 95% dari angkatan kerja yang bekerja
baik di sektor formal maupun informal.

Secara umum pekerja sektor informal lebih banyak dari pekerja formal (BPS, 2018). Komposisi populasi
bangsa Indonesia saat ini sedang menghadapi bonus demografi dimana hal ini merupakan tantangan
sekaligus peluang. Proporsi usia kerja yang terus meningkat merupakan tantangan sekaligus peluang.
Puncak bonus demografi di Indonesia diperkirakan pada tahun 2035 dengan mayoritas penduduk adalah
usia produktif. Kualitas sumber daya manusia di masa tersebut akan menentukan peluang Indonesia
menjadi negara maju. Pendekatan upaya kesehatan pada fokus sasaran pekerja menjadi penting untuk
menciptakan SDM yang berkualitas agar bonus demografi dapat dimanfaatkan.

b. Permasalahan Kesehatan Pekerja di Indonesia


Riset tentang Global Disease Burden oleh IHME menunjukan umur harapan hidup Indonesia (Life
Expectancy/LE) meningkat dari 64 pada tahun 1990 menjadi 71,7 pada tahun 2016 dan estimasi umur
harapan hidup produktif (Healthy Life Expectancy/HALE) sebesar 62,65. Peningkatan usia harapan hidup
ini sebagian besar disebabkan oleh keberhasilan Indonesia menanggulangi penyakit menular, penyakit
terkait kehamilan, neonatal, dan penyakit-penyakit terkait gizi. Ini menunjukkan adanya kemajuan besar
bidang kesehatan karena membaiknya layanan dan akses kesehatan masyarakat. Namun di Asia Tenggara,
posisi LE dan HALE Indonesia masih berada di peringkat ke-5 dibawah Singapura, Thailand, Malaysia dan
Vietnam.

Pada studi beban penyakit tersebut juga menunjukan trend DALYs/tahun produktif yang hilang untuk
hidup sehat disebabkan karena kematian dini, penyakit atau cedera per 100.000 akibat risiko tekanan
diastolik yang tinggi, gula darah puasa yang tinggi, kebiasaan merokok dan risiko diet yang tidak sehat.
Diet tidak sehat menyumbang beban penyakit jantung dan pembuluh darah, diabetes, urogenital, darah,
endokrin dan neoplasma. Tekanan darah sistolik yang tinggi menyumbang pada beban penyakit jantung
dan pembuluh darah, diabetes, urogenital, darah dan endokrin. Gula darah yang tinggi menyumbang pada
beban penyakit diabetes, jantung dan pembuluh darah, endokrin, HIV/AIDS dan tuberkulosis.

Dalam konteks ini, beban ganda terjadi karena di satu sisi beban penyakit menular masih banyak terjadi di
Indonesia seperti tuberkulosis dan pada saat bersamaan masyarakat dan pemerintah juga dibebani oleh
penyakit tidak menular seperti diabetes.

Selain itu dalam melakukan pekerjaannya, pekerja mempunyai risiko terhadap masalah kesehatan yang
disebabkan oleh proses kerja, lingkungan kerja serta perilaku kesehatan pekerja. Pekerja tidak hanya
berisiko menderita penyakit menular dan tidak menular tetapi pekerja juga dapat menderita Penyakit
Akibat Kerja dan/atau penyakit terkait kerja. Upaya penanganan masalah kesehatan bagi pekerja adalah

6
hal yang penting sehingga setiap pengelola tempat kerja mengupayakan agar pekerjanya sehat dan
produktif secara optimal.
Masalah kesehatan pada pekerja yang berhubungan dengan pekerjaan memerlukan pelayanan kesehatan
kerja secara komprehensif meliputi promotif, pencegahan, diagnosis dan tata laksana serta rehabilitatif.
Pelayanan kesehatan kerja tersebut termasuk penyelenggaraan pelayanan Penyakit Akibat Kerja.

Di Indonesia, gambaran Penyakit Akibat Kerja saat ini seperti fenomena “Puncak Gunung Es”, Penyakit
Akibat Kerja yang diketahui dan dilaporkan masih sangat terbatas dan parsial, sehingga belum
menggambarkan besarnya masalah kesehatan kerja di Indonesia. Hal ini disebabkan kurangnya
kewaspadaan dokter dalam mendeteksi pasien dengan Penyakit Akibat Kerja. Dalam pelayanan Penyakit
Akibat Kerja dokter memiliki peran penting dalam deteksi dini Penyakit Akibat Kerja di fasilitas pelayanan
kesehatan sehingga dapat membatasi timbulnya keparahan penyakit, mencegah terjadinya kecacatan
melalui tatalaksana yang optimal serta upaya pencegahan dan pengendalian potensi bahaya di lingkungan
kerja.

c. Pentingnya upaya kesehatan kerja


Pekerja memiliki peran penting dalam pembangunan. Kesehatan merupakan komponen penting dalam
menentukan kelaikan kerja (fit to work) untuk menunjang kinerja sesuai tugasnya. Gangguan kesehatan
pada pekerja dapat mengakibatkan pekerja tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, sehingga
terjadi penurunan produktifitas kerja, yang akan merugikan perusahaan atau menghambat karir pekerja
tersebut.

Pekerja merupakan aset perusahaan dan secara makro merupakan penggerak perekonomian bangsa,
disisi lain pekerja juga berada pada usia produktif, merupakan pencetak generasi penerus bangsa.4 Posisi
pekerja sebagai tulang punggung keluarga memiliki peran penting dalam kesehatan keluarga. Pekerja
akan menentukan pemenuhan gizi keluarga, health literacy pada keluarga hingga pembiasaan pola hidup
yang sehat pada keluarga.

Disisi lain pekerja juga berada pada masa reproduktif akan berkontribusi terhadap pencapaian dan
memiliki daya ungkit yang tinggi terhadap penurunan angka kematian ibu dan bayi, stunting, penyakit
menular, penyakit tidak menular serta permasalahan kesehatan masyarakat lainnya. Sehingga segala
sesuatu yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi sangat penting diintervensi pada populasi ini seperti
pada pencapaian total fertility rate, keberhasilan program keluarga berencana. Peran penting pekerja
dapat. Sehingga dapat dikatakan, pekerja yang sehat akan berkontribusi mendukung tercapainya SDGs
No.1, 2, 3, 5, 8 (Kemiskinan, kelaparan, kesehatan dan pekerjaan yang layak).

Pokok bahasan 2.
KEBIJAKAN KESEHATAN KERJA DAN REGULASI TERKAIT
Sehat dan bekerja merupakan hak azasi manusia, namun tempat kerja dapat berisiko terhadap kesehatan
pekerja. Untuk itu Pekerja, Pemberi kerja dan Pemerintah memiliki peran dan tanggung jawab untuk
mewujudkan tempat kerja yang sehat dan terbebas dari pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan.
Penyakit Akibat Kerja merupakan penyakit yang dapat ditimbulkan oleh proses, bahan, alat dan perilaku serta
lingkungan kerja, dimana kondisi tersebut dapat dilakukan upaya pengendalian sehingga Penyakit Akibat
Kerja dapat dicegah.

a. RPJMN dan Renstra Kementerian Kesehatan


Arah kebijakan RPJMN dan Renstra Kementerian Kesehatan tahun 2020 - 2024 menekankan pada
peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan menuju cakupan kesehatan semesta dengan
penekanan pada penguatan pelayanan kesehatan dasar (Primary Health Care) dan peningkatan upaya
promotif dan preventif didukung oleh inovasi dan pemanfaatan teknologi.

7
b. Strategi Kebijakan Kesehatan Kerja
Kebijakan Kementerian Kesehatan dalam implementasi program kesehatan kerja adalah;
1. Membangun masyarakat yang sehat, bugar dan produktif dengan menitikberatkan upaya promotif dan
preventif.
2. Memperkuat kemitraan dan pemberdayaan masyarakat.
3. Penyelenggaan program kesehatan kerja secara bertahap. Terpadu dan berkesinambungan.
4. Pengembangan program kesehatan kerja melibatkan lintas program/lintas sektor, dunia usaha, swasta
dan masyarakat.
5. Penyelenggaraan program kesehatan kerja sesuai standar profesi dan standar pelayanan.

Lima strategi dalam implementasi kesehatan kerja :


1. Kemitraan dan pemberdayaan kesehatan pada kelompok pekerja berbasis masyarakat pekerja.
2. Advokasi dan sosialisasi kesehatan kerja.
3. Penguatan layanan kesehatan bagi pekerja.
4. Penguatan kebijakan dan manajemen kesehatan kerja.
5. Penguatan sistem informasi kesehatan kerja.

c. Ruang lingkup upaya kesehatan kerja


Secara umum ruang lingkup upaya kesehatan kerja diantaranya meliputi; peningkatan aktifitas fisik di
tempat kerja, penerapan gizi kerja, pembudayaan PHBS di tempat kerja (cuci tangan, merokok, dll) ,
upaya kesehatan jiwa di tempat kerja, kesehatan lingkungan kerja, pencegahan dan pengendalian
penyakit menular (TBC, HIV, Malaria), kesehatan reproduksi, pemeriksaan kesehatan berkala,
penanganan penyakit dan rahabilitatif.

d. Peran Pemerintah, Pemerintah daerah dan masyarakat dalam upaya kesehatan kerja
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, Swasta dan masyarakat bertanggung jawab untuk
menyelenggarakan kesehatan kerja secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan. Dalam rangka
melindungi kesehatan pekerja, upaya kesehatan kerja wajib dipenuhi oleh pengurus atau pengelola
tempat kerja dan pemberi kerja di semua tempat kerja pada sektor formal dan sektor informal.

Pokok bahasan 3.
IMPLEMENTASI UPAYA KESEHATAN KERJA DAN DETEKSI DINI PENYAKIT AKIBAT KERJA

a. Implementasi upaya kesehatan kerja


Penerapan upaya kesehatan di tempat kerja dilakukan melalui program kesehatan kerja sesuai dengan
karakteristik kelompok populasi pekerja, antara lain;
 Gerakan Pekerja Perempuan Sehat Produktif
Upaya kesehatan pada tempat kerja yang mempekerjakan banyak pekerja perempuan dilakukan
melalui pendekatan Gerakan Pekerja Perempuan Sehat dan Produktif (GP2SP). GP2SP adalah upaya
Pemerintah, masyarakat maupun pengusaha untuk menggalang kesadaran, peran dan kepedulian
dalam memperbaiki kesehatan pekerja perempuan yang bertujuan meningkatkan status kesehatan
pekerja perempuan untuk mencapai produktivitas kerja yang maksimal.

 Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja Perkantoran.


Perkantoran juga merupakan tempat kerja yang mempunyai potensi risiko kesehatan kerja. Untuk
melindungi pegawai dan pengunjung dari faktor risiko yang ada di tempat kerja agar Pekerja Sehat
dan Selamat dalam bekerja, Kementerian Kesehatan RI telah mengeluarkan Peraturan Menteri
Kesehatan No. 48 tahun 2016 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Perkantoran.
Pendekatan yang digunakan pada program K3 perkantoran dengan menerapkan upaya kesehatan
untuk pencegahan dampak penyakit tidak menular akibat sedentary life style.

8
 Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit dan Fasyankes lainnya.
Tempat kerja sektor kesehatan dilakukan melalui K3RS dan K3 Fasyankes dimana pelaksanaan upaya
kesehatan kerja sebagai bagian program keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Pelaksanaan K3RS
dan K3 Fasyankes terintegrasi dengan program mutu pelayanan dan akreditasi Rumah Sakit dan
Fasyankes.

 Program Pekerja Sehat dan Produktif


Program Pekerja Sehat Produktif dilakukan pada tempat kerja yang memiliki sumber daya yang
memadai secara mandiri, sehingga pencapaian progran kesehatan dapat dikaitkan langsung dengan
peningkatan produktifitas kerja. Penerapan upaya kesehatan kerja dilakukan secara komprehensif
dan berkesinambungan terintegrasi dengan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja.

 Pos Upaya Kesehatan Kerja


Untuk pekerja informal yang besar jumlahnya, telah dikembangkan upaya kesehatan yang spesifik
untuk pekerja, dimana dilakukan oleh, dari dan untuk pekerja itu sendiri yaitu Pos Upaya Kesehatan
Kerja (UKK). Kegiatan Pos UKK terintegrasi dengan Pos Bindu PTM.

b. Deteksi dini Penyakit Akibat Kerja dan 5 pilar pencegahan


Dokter yang memberikan pelayanan kesehatan pada setiap pasien yang bekerja harus
mempertimbangkan adanya pengaruh pekerjaan dan lingkungan kerja sebagai penyebab terjadinya
penyakit. Deteksi dini Penyakit Akibat Kerja penting dilakukan agar penanganan Penyakit Akibat Kerja
dapat dilakukan secara tepat untuk mencegah terjadi keparahan dan kecacatan.

c. Penyakit Akibat Kerja, JKN dan JKK


Regulasi di Indonesia telah mewajibkan pemberi kerja dan pekerja untuk mengikuti program jaminan
kesehatan nasional dan jaminan kecelakaan kerja. Fasilitas pelayanan kesehatan dan pemberi kerja wajib
untuk melaporkan Penyakit Akibat Kerja, sebagai salah satu upaya perlindungan terhadap kesehatan
pekerja. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja memiliki konsekuensi dimana pemberi kerja/pimpinan tempat
kerja juga mempunyai tanggung jawab terhadap pencegahan dan penyelesaian Penyakit Akibat Kerja dan
pekerja berhak mendapat upaya perlindungan terhadap Penyakit Akibat Kerja.

VIII. REFERENSI
1. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
2. PP No. 88 Tahun 2019 tentang Kesehatan Kerja
3. Rencana Strategi Kementerian Kesehatan.
4. Permenkes No.56 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja
5. Komite Kerjasama WHO/ILO

9
MATERI DASAR 2
ASPEK ETIK, MEDIKOLEGAL PELAYANAN PENYAKIT AKIBAT KERJA
Jumlah JPL : 2 ( T : 2, P :0 )

I. DESKRIPSI SINGKAT
Peraturan perundangan dalam bidang kesehatan kerja telah banyak dibuat di Indonesia. Sejak tahun 1970
dengan adanya Undang Undang no 1 tentang Keselamatan Kerja yang isinya menyangkut kesehatan kerja,
serta berbagai peraturan lainnya baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan
Menteri Kesehatan dan Menteri terkait lainnya. Selain peraturan diatas, peranan profesi, khususnya
dokter juga sangat penting. Dalam bekerja dokter harus menerapkan standar profesi kedokteran, standar
pelayanan dan standar prosedur operasional. Sebagai dokter dalam memberikan pelayanan medis terkait
dengan Standar Kompetensi Dokter serta kewenangannya. Semua hal ini tidak terlepas dari penerapan
etika kedokteran yang merupakan norma yang memuat kewajiban dan tanggung jawab moral dalam
kehidupan dan perilaku setiap individu pemberi pelayanan kesehatan/kedokteran baik sebagai pribadi
maupun mewakili institusinya dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan paripurna ( good corporate
governance dan good clinical governance ).

Di bidang Kesehatan Kerja dan Kedokteran Okupasi, kegiatan ditujukan bagi pekerja dan lingkungan
kerjanya, meliputi peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit khususnya Penyakit Akibat Kerja (PAK),
pengendalian faktor risiko, penegakan diagnosis dini, penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan,
termasuk proses adaptasi dan penilaian untuk kembali bekerja dan penentuan tingkat kecacatan.
Tujuannya tak lain adalah agar pekerja sehat, bugar, produktif serta bebas dari penyakit, baik PAK
maupun penyakit pada umumnya. Pemahaman mengenai berbagai peraturan perundangan serta
penerapan etika dan standar-standar tersebut sangat penting bagi dokter dalam memberikan pelayanan
kesehatan dan kedokteran, khususnya dibidang Kesehatan Kerja dan Kedokteran Okupasi.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


A. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM
Setelah mengikuti materi ini peserta mampu memahami aspek etik, medikolegal pelayanan Penyakit
Akibat Kerja
B. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu :
1) Menjelaskan regulasi terkait pelayanan Penyakit Akibat Kerja
2) Menjelaskan hubungan dokter, dengan pasien pekerja, pemberi kerja terkait pelayanan
Penyakit Akibat Kerja dalam era SJSN
3) Menjelaskan standar kompetensi dokter sesuai tingkatan kompetensinya dalam melakukan
pelayanan Penyakit Akibat Kerja dan sistem rujukannya
4) Menjelaskan kode etik dokter dalam bidang kesehatan kerja dan kedokteran okupasi

III. POKOK BAHASAN


Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan dan sub pokok bahasan sebagai berikut.
Pokok bahasan 1. Regulasi terkait pelayanan Penyakit Akibat Kerja
Sub pokok bahasan :
a. Pengertian kecelakaan kerja dan Penyakit Akibat Kerja
b. Prinsip dasar upaya kesehatan kerja sebagai bagian K3 dan pencegahan Penyakit Akibat Kerja
c. Regulasi terkait jaminan kecelakaan kerja (BP jamsostek, Taspen dan ASABRI)

10
Pokok bahasan 2. Hubungan dokter, pasien pekerja, pemberi kerja terkait pelayanan Penyakit Akibat
Kerja dalam era SJSN
Sub pokok bahasan :
a. Hak dan kewajiban pasien pekerja
b. Hak dan kewajiban dokter dalam melayani pasien pekerja
c. Hak dan kewajiban pemberi kerja dalam K3
Pokok bahasan 3. Standar Kompetensi dokter sesuai tingkatan kompetensinya dalam melakukan
pelayanan Penyakit Akibat Kerja dan system rujukannya
Pokok bahasan 4. Kode Etik dokter dalam memberikan pelayanan Kesehatan kerja dan kedokteran
okupasi di Indonesia
Sub pokok bahasan :
a.Kode etik Dokter Indonesia
b.Kode Etik Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia

IV. METODE
 Ceramah-Tanya Jawab
 Curah pendapat

V. MEDIA ALAT BANTU


 Modul
 Bahan tayang power point
 Laptop
 LCD
 Laser pointer
 ATK

VI. LANGKAH PEMBELAJARAN


Langkah 1: Pengkondisian
Kegiatan pelatih
1. Pelatih menyapa peserta dengan ramah dan hangat, apabila belum pernah memperkenalkan diri,
nama lengkap, asal institusi.
2. Menyampaikan tujuan umum, tujuan khusus dan pokok bahasan yang akan disampaikan sebaiknya
menggunakan bahan tayang.
Langkah 2: Pelatih menjelaskan pokok bahasan pertama:
Kegiatan Pelatih:
1. Pelatih menanyakan kepada peserta tentang yang diketahui oleh peserta pengertian keselakaan
kerja dan Penyakit Akibat Kerja
2. Pelatih menjelaskan tentang pengertian kecelakaan kerja dan Penyakit Akibat Kerja, prinsip dasar
upaya Kesehatan kerja dan regulasi terkait jaminan kecelakaan kerja (BP Jamsostek, TASPEN,
ASABRI)
3. Faslilitator bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta
Kegiatan Peserta:
1. Peserta menjawab pertanyaan Pelatih
2. Peserta mendengarkan dengan seksama
3. Peserta menjawab pertanyaan Pelatih
Langkah 3: Pelatih menjelaskan pokok bahasan kedua:
Kegiatan Pelatih:
1. Pelatih menanyakan kepada peserta tentang hubungan dokter, pasien pekerja, pemberi kerja,
terkait pelayanan kesehatan kerja di era SJSN yang diketahui oleh peserta
2. Pelatih menjelaskan tentang hubungan dokter, pasien pekerja, pemberi kerja, terkait pelayanan
kesehatan kerja di era SJSN, termasuk hak dan kewajiban masing-masing.
11
3. Faslilitator bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta
Kegiatan Peserta:
1. Peserta menjawab pertanyaan Pelatih
2. Peserta mendengarkan dengan seksama
3. Peserta menjawab pertanyaan Pelatih
Langkah 4: Pelatih menjelaskan pokok bahasan ketiga
Kegiatan Pelatih:
1. Pelatih menanyakan kepada peserta tentang Standar kompetensi dokter dalam pelayanan Penyakit
Akibat Kerja yang diketahui oleh peserta
2. Pelatih menjelaskan tentang standar kompetensi dokter dalam pelayanan Penyakit Akibat Kerja dan
sistem rujukannya.
3. Faslilitator bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta
Kegiatan Peserta:
1. Peserta menjawab pertanyaan Pelatih
2. Peserta mendengarkan dengan seksama
3. Peserta menjawab pertanyaan Pelatih
Langkah 5: Pelatih menjelaskan pokok bahasan keempat
Kegiatan Pelatih:
1. Pelatih menanyakan kepada peserta tentang kode etik dokter dalam bidang Kesehatan kerja dan
kedokteran okupasi yang diketahui oleh peserta
2. Pelatih menjelaskan tentang Kode Etik Dokter Indonesia dan Kode Etik Dokter Spesialis Kedokteran
Okupasi
3. Faslilitator bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta
Kegiatan Peserta:
1.Peserta menjawab pertanyaan Pelatih
2. Peserta mendengarkan dengan seksama
3. Peserta menjawab pertanyaan Pelatih

VII. URAIAN MATERI


Pokok bahasan 1.
Regulasi terkait pelayanan Penyakit Akibat Kerja
Dalam memberikan pelayanan Penyakit Akibat Kerja, telah banyak peraturan perundangan yang
diterbitkan baik dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden maupun
Peraturan Menteri Kesehatan, Menteri Tenaga Kerja . Organisasi profesi juga turut berperan dengan
diterbitkannya Konsensus Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja di Indonesia pada tahun 2019 yang
disusun bersama oleh Ikatan Dokter Indonesia dan Perhimpunan Dokter/ Dokter Spesialis terkait .

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja


Undang-Undang ini mengatur mengenai keselamatan kerja dalam segala tempat kerja, baik di darat,
di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara, yang berada di dalam wilayah
kekuasaan hukum Republik Indonesia. Undang-Undang tersebut mendelegasikan bahwa syarat-
syarat keselamatan kerja harus diatur dengan peraturan perundangan. Syarat-syarat keselamatan
kerja harus memuat prinsip-prinsip teknis ilmiah menjadi suatu kumpulan ketentuan yang disusun
secara teratur, jelas dan praktis yang mencakup bidang konstruksi, bahan, pengolahan dan
pembuatan, perlengkapan alat-alat perlindungan, pengujian dan pengesahan, pengepakan atau
pembungkusan, pemberian tanda-tanda pengenal atas bahan, barang, produk teknis dan aparat
produk guna menjamin keselamatan barang-barang itu sendiri, keselamatan tenaga kerja yang
melakukannya dan keselamatan umum.

Direktur melakukan pengawasan umum terhadap pelaksanaan Undang-Undang tersebut, sedangkan


para pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja bertugas menjalankan pengawasan langsung dan

12
membantu pelaksanaannya. Lebih lanjut dalam Undang-Undang ini, diatur kewajiban dan hak tenaga
kerja serta pengurus (orang yang mempunyai tugas langsung sesuatu tempat kerja atau bagiannya
yang berdiri sendiri) berkaitan dengan keselamatan kerja. Hak dan kewajiban tenaga kerja meliputi:
a. memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas dan atau keselamatan
kerja;
b. memakai alat perlindungan diri yang diwajibkan;
c. memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang
diwajibkan;
d. meminta pada pengurus agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja
yang diwajibkan;
e. menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan dimana syarat kesehatan dan keselamatan kerja
serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal
khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat
dipertanggungjawabkan.

Kewajiban pengurus meliputi:


a. secara tertulis menempatkan dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua syarat keselamatan
kerja yang diwajibkan,Undang-undang ini dan peraturan pelaksananya, pada tempat yang
mudah dilihat dan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja;
b. memasang dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua gambar keselamatan kerja yang
diwajibkan dan semua bahan pembinaan lainnya, pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan
terbaca menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja;
c. menyediakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang diwajibkan pada tenaga
kerja yang berada di bawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang
memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut
petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan ini, keselamatan dan kesehatan kerja diatur dalam Bab
mengenai perlindungan, pengupahan dan kesejahteraan. Dikatakan bahwa upaya keselamatan dan
kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan
produktivitas kerja yang optimal. Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh
perlindungan atas:
a. Keselamatan dan kesehatan kerja;
b. Moral dan kesusilaan; dan
c. Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.

Untuk melindungi hak pekerja/buruh tersebut, setiap perusahaan diwajibkan menerapkan sistem
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen
perusahaan.

Dalam penjelasan Pasal 86 ayat (2) disebutkan bahwa Upaya keselamatan dan kesehatan kerja
dimaksudkan untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para
pekerja/buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja, pengendalian bahaya
di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi.

3. Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran


Pasal 3 mencantumkan
Pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk :
a. memberikan perlindungan kepada pasien

13
b. mempertahankan dan menngkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter
dan dokter gigi
c. memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi

Sedangkan pada pasal 28 menyebutkan tentang kewajiban dokter/dokter gigi yang berpraktik untuk
mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi
profesi atau lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi. Pendidikan/pelatihan tersebut
harus sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh organisasi profesi.

4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan


Dalam Undang-Undang Kesehatan, kesehatan kerja diatur dalam bab tersendiri yaitu dalam BAB XII.
Disebutkan bahwa upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja dan semua orang yang
berada di lingkungan kerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan sertapengaruh
buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan.
Pekerja yang dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah meliputi pekerja sektor formal dan
informal serta Tentara Nasional Republik Indonesia baik Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan
Udara termasuk Kepolisian Republik Indonesia.

Tugas dan kewajiban Pemerintah dalam pelaksanaan upaya kesehatan kerja:


1. menetapkan standar kesehatan kerja;
2. memberikan dorongan dan bantuan untuk perlindungan pekerja.
Kewajiban pengelola tempat kerja:
1. menaati standar kesehatan kerja dan menjamin lingkungan kerja yang sehat serta bertanggung
jawab atas terjadinya kecelakaan kerja;
2. bertanggung jawab atas kecelakaan kerja yang terjadi di lingkungan kerja;
3. melakukan segala bentuk upaya kesehatan melalui upaya pencegahan, peningkatan,
pengobatan dan pemulihan bagi tenaga kerja.

Kewajiban Majikan atau Pengusaha:


1. menjamin kesehatan pekerja melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan
pemulihan serta wajib menanggung seluruh biaya pemeliharaan kesehatan pekerja;
2. menanggung biaya atas gangguan kesehatan akibat kerja yang diderita oleh pekerja.

Kewajiban pekerja adalah menciptakan dan menjaga kesehatan tempat kerja yang sehat dan
menaati peraturan yang berlaku di tempat kerja.

Undang-Undang kesehatan juga menekankan pentingnya dilakukan penyeleksian kesehatan calon


pegawai/tenaga kerja. Pasal 165 ayat (3) menyebutkan bahwa dalam penyeleksian pemilihan calon
pegawai pada perusahaan/instansi, hasil pemeriksaan kesehatan secara fisik dan mental digunakan
sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 88 tahun tentang Kesehatan Kerja


Dalam PP ini disebutkan bahwa Kesehatan kerja adalah upaya yang ditujukan untuk melindungi
setiap orang yang berada di tempat kerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan Kesehatan
serta pengaruh buruk yang diakibatkan dari pekerjaan.
Definisi Penyakit Akibat Kerja sama dengan di peraturan-peraturan lain, yaitu : penyakit yang
disebabkan oleh pekerjaan dan/atau lingkungan kerja.
Penyelenggaraan kesehatan kerja meliputi pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan; yang dilakukan sesuai dengan standar kesehatan
kerja. Dan merupakan kewajiban pengurus atau pengelola tempat kerja dan pemberi kerja di semua
tempat kerja.

14
Standar Kesehatan kerja dalam upaya pencegahan penyakit meliputi :
i. identifikasi, penilaian, dan pengendalian potensi bahaya kesehatan;
b. pemenuhan persyaratan kesehatan lingkungan kerja;
c. pelindungan kesehatan reproduksi;
d. pemeriksaan kesehatan;
e. penilaian kelaikan bekerja;
f. pemberian imunisasi dan/atau profilaksis bagi pekerja berisiko tinggi;
g. pelaksanaan kewaspadaan standar; dan
h. surveilans Kesehatan Kerja.

Standar Kesehatan Kerja dalam upaya peningkatan kesehatan meliputi:


a. peningkatan pengetahuan kesehatan;
b. pembudayaan perilaku hidup bersih dan sehat;
c. pembudavaen keselamatan dan Kesehatan Kerja di Tempat I(erja;
d. penerapan gizi kerja, dan
e. peningkatan kesehatan fisik dan mental

Standar Kesehatan Kerja dalam upaya penanganan penyakit meliputi:


a. pertolongan pertama pada cedera dan sakit yang terjadi di Tempat Kerja;
b. diagnosis dan tata laksana penyakit; dan
c. penanganan kasus kegawatdaruratan medik dan/atau rujukan
Jika dalam diagnosis dan tatalaksana PAK ditemukan kecacatan, dilakukan penilaian kecacatan
sebagai pertimbangan untuk mendapatkan jaminan kecelakaan kerja sesuai peraturan perundangan

Standar Kesehatan Kerja dalam upaya pemulihan Kesehatan meliputi


a. pemulihan medis; dan
b. pemulihan kerja , melalui program kembali kerja

Sumber daya manusia dalam penyelenggaraan kesehatan kerja terdiri atas tenaga Kesehatan dan
tenaga non Kesehatan. Tenaga Kesehatan wajib memiliki kompetensi di bidang kedokteran kerja atau
kesehatan kerja yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan.
Pelatihan di bidang kesehatan kerja paling sedikit meliputi pelatihan kesehatan kerja atau pelatihan
higene perusahaan, keselamatan dan kesehatan kerja
Pelatihan Kesehatan kerja atau pelatihan higene perusahaan,keselamatan dan kesehatan kerja
dikecualikan bagi tenaga kesehatan yang telah memiliki kompetensi yang diperoleh melalui
pendidikan formal bidang kedokteran kerja atau kesehatan kerja.

6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
nomor 44 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan
Kematian
Yang dimaksud dengan Kecelakaan Kerja adalah kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja,
termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau
sebaliknya, dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja (PAK).

Dalam PP ini disebutkan bahwa peserta BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) yang mengalami
kecelakaan kerja atau Penyakit Akibat Kerja berhak atas manfaat JKK (Jaminan Kecelakaan Kerja).
Manfaat JKK meliputi :
ii. Pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis
iii. Santunan berupa uang, meliputi :
-Penggantian biaya transportasi

15
-Santunan Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB)
-Santunan cacat Sebagian anatomis, cacat sebagian fungsi, dan cacat total tetap
-Santunan kematian dan biaya pemakaman
-Santunan berkala yang dibayarkan sekaligus bila peserta meninggal dunia atau cacat total tetap
akibat kecelakaan kerja atau Penyakit Akibat Kerja
-Biaya rehabilitasi berupa penggantian alat bantu (orthose) dan/atau alat pengganti (prothese)
-Penggantian biaya gigi tiruan, alat bantu dengan, kacamata
-beasiswa Pendidikan bagi anak dari peserta yang meninggal dunia atau cacat total tetap akibat
kecelakaan kerja
Hak peserta dan/atau pemberi kerja untuk menuntut manfaat JKK menjadi gugur apabila telah lewat
waktu 5 (lima) tahun sejak kecelakaan kerja terjadi atau sejak Penyakit Akibat Kerja di diagnosis.
Oleh karenanya, setiap pemberi kerja wajib melaporkan setiap terjadi kecelakaan kerja dalam waktu
tidak lebih dari 2x24 jam setelah terjadinya kecelakaan kerja, atau setiap terjadi Penyakit Akibat Kerja
dalam waktu 2x24 jam terhitung sejak diagnosis PAK ditegakkan

7. Peraturan Pemerintah nomor 70 tahun 2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan
Kematian (JKM) bagi pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN).
JKK adalah perlindungan atas risiko kecelakaan kerja atau Penyakit Akibat Kerja berupa perawatan,
santunan dan tunjangan cacat.
JKM adalah perlindungan atas risiko kematian yang bukan akibat kecelakaan kerja, berupa santunan
kematian.
Pedoman lengkapnya tercantum dalam Peraturan Badan Kepegawaian Negara (BKN) nomor 4
tahun 2020 tentang Pedoman kriteria penetapan kecelakaan kerja, cacat, Penyakit Akibat Kerja, dan
kriteria penetapan tewas bagi pegawai aparatur sipil negara (ASN).
Dalam Peraturan BKN ini antara lain disebutkan bahwa :
Kecelakaan Kerja (KK) juga meliputi Penyakit Akibat Kerja (PAK) yang merupakan penyakit sebagai
akibat langsung dari pekerjaan dan/atau lingkungan kerja dengan ketentuan sebagai berikut :
-Dinyatakan dengan surat keterangan dokter/dokter spesialis yang berkompeten di bidang
kesehatan kerja sesuai peraturan perundangan
-Bukan merupakan penyakit bawaan.
Hak atas manfaat JKK diberikan apabila PAK timbul selama bekerja sampai paling lama 5 (lima) tahun
terhitung sejak tanggal diberhentikan sebagai PNS dengan hak pensiun atau diputus hubungan
perjanjian kerja dengan hormat sebagai PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja)
Manfaat JKK meliputi:
a. Biaya perawatan sesuai kebutuhan medis, dilakukan secara berjenjang mulai dari fasilitas
Kesehatan tingkat pertama sampai lanjutan
b. Santunan, meliputi biaya pengangkutan peserta yang mengalami KK/PAK, santunan
sementara , santunan cacat sebagian anatomis, cacat sebagian fungsi dan cacat total tetap
c. Penggantian biaya rehabilitasi berupa alat bantu (orthese) atau alat ganti (prothese) bagi
peserta yang anggota badannya hilang atau tak berfungsi akibat KK/PAK
d. Penggantian biaya gigi tiruan
Peraturan BKN ini juga menyebutkan mengenai penetapan tewas yaitu bila ASN meninggal dunia
dalam menjalankan tugas kewajibannya, atau dalam keadaan yang ada hubungannya dengan dinas.
Manfaat JKK yang mengakibatkan tewas meliputi santunan kematian kerja, uang duka tewas, biaya
pemakaman dan bantuan bea siswa.

8. Peraturan Pemerintah nomor 102 tahun 2015 tentang Asuransi Sosial Prajurit TNI, Anggota
Kepolisian Negara RI, dan Pegawai Aparatur Sipil Negara di lingkungan Kementerian Pertahanan
dan Kepolisian Negara RI
Sebelumnya lebih dikenal dengan sebutan ASABRI

16
Beberapa pokok penting dalam PP ini diantaranya:
-Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) adalah perlindungan atas risiko kecelakaan atau Penyakit Akibat
Kerja selama masa dinas
-Jaminan Kematian (JKm) adalah perlindungan atas risiko kematian yang bukan akibat kecelakaan
kerja dan bukan karena dinas khusus
-Istilah meninggal dunia dibedakan atas beberapa pengertian sebagai berikut :
a. Gugur, adalah meninggal dunia dalam melaksanakan tugas pertempuran atau tugas operasi
di dalam maupun luar negeri sebagai akibat tindakan langsung lawan, atau dalam tugas
kepolisian sebagai akibat dari tindakan langsung lawan atau yang menentang
negara/pemerintahan yang sah
b. Tewas, adalah meninggal dunia dalam melaksanakan tugas berdasarkan perintah dinas atau
dalam keadaan lain yang berhubungan langsung dengan dinas, , bukan sebagai akibat
tindakan langsung lawan
c. Meninggal dunia biasa adalah bila disebabkan oleh sebab tertentu, bukan karena sedang
menjalankan tugas atau karena hubungan dengan pelaksanaan dinas (tidak termasuk manfaat
JKK)
Manfaat JKK meliputi :
a. Perawatan; dan/atau
b. Santunan
Perawatan diberikan sampai dengan sembuh, dilakukan berdasarkan kebutuhan medis yang
ditetapkan oleh dokter
Santunan berupa :
-Santunan cacat dinas khusus
-Santunan cacat dinas biasa
-Santunan risiko kematian khusus karena gugur
-Santunan risiko kematian khusus karena tewas
-Biaya pengangkutan peserta yg mengalami kecelakaan kerja; dan/atau
-Bantuan beasiswa

9. Peraturan Presiden Nomor 07 Tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja


Peraturan Presiden ini dibuat sebagai pengganti Keputusan presiden nomor 22 tahun 1993 tentang
Penyakit Yang timbul akibat hubungan kerja
Yang dimaksud dengan Penyakit Akibat Kerja (PAK) dalam Peraturan Presiden ini adalah penyakit
yang disebabkan oleh pekerjaan dan/atau lingkungan kerja. Pekerja yang menderita PAK berhak
mendapat Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) baik pada saat masih dalam hubungan kerja maupun
setelah hubungan kerja berakhir.

Hak atas Jaminan Kecelakaan Kerja bagi tenaga kerja yang hubungan kerjanya telah berakhir
diberikan apabila menurut hasil diagnosis dokter yang merawat penyakit tersebut diakibatkan oleh
pekerjaan selama tenaga kerja yang bersangkutan masih dalam hubungan kerja. Hak jaminan
kecelakaan kerja diberikan apabila penyakit tersebut timbul dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun
terhitung sejak hubungan kerja tersebut berakhir.

Penyakit akibat kerja seperti yang tercantum dalam Lampiran Peraturan Presiden ini meliputi jenis
penyakit:
a. yang disebabkan pajanan faktor yang timbul dari aktivitas pekerjaan;
b. berdasarkan sistem target organ;
c. kanker akibat kerja; dan
d. spesifik lainnya

Diagnosis menderita Penyakit Akibat Kerja dilakukan oleh:

17
a. dokter; atau
b. dokter spesialis,
yang berkompeten di bidang kesehatan kerja.

Jenis penyakit dimaksud adalah :


I. Penyakit Yang Disebabkan Pajanan Faktor Yang Timbul Dari Aktivitas Pekerjaan
a. Penyakit yang disebabkan oleh faktor kimia, meliputi:
1. penyakit yang disebabkan oleh berilium dan persenyawaannya;
2. penyakit yang disebabkan oleh cadmium atau persenyawaannya;
3. penyakit yang disebabkan oleh fosfor atau persenyawaannya;
4. penyakit yang disebabkan oleh krom atau persenyawaannya;
5. penyakit yang disebabkan oleh mangan atau persenyawaannya;
6. penyakit yang disebabkan oleh arsen ataupersenyawaannya;
7. penyakit yang disebabkan oleh raksa atau persenyawaannya;
8. penyakit yang disebabkan oleh timbal atau persenyawaannya;
9. penyakit yang disebabkan oleh fluor atau persenyawaannya;
10. penyakit yang disebabkan oleh karbon disulfida;
11. penyakit yang disebabkan oleh derivat halogen dari persenyawaan hidrokarbon alifatik
atau aromatic;
12. penyakit yang disebabkan oleh benzene atau homolognya;
13. penyakit yang disebabkan oleh derivat nitro dan amina dari benzene atau homolognya;
14. penyakit yang disebabkan oleh nitrogliserin atau ester asam nitrat lainnya;
15. penyakit yang disebabkan oleh alcohol, glikol, atau keton;
16. penyakit yang disebabkan oleh gas penyebab asfiksia seperti karbon monoksida, hydrogen
sulfida, hidrogen sianida atau derivatnya;
17. penyakit yang disebabkan oleh acrylonitrile;
18. penyakit yang disebabkan oleh nitrogen oksida;
19. penyakit yang disebabkan oleh vanadium atau persenyawaannya;
20. penyakit yang disebabkan oleh antimon atau persenyawaannya;
2l. penyakit yang disebabkan oleh hexane;
22. penyakit yang disebabkan oleh asam mineral;
23. penyakit yang disebabkan oleh bahan obat;
24. penyakit yang disebabkan oleh nikel atau persenyawaannya;
25. penyakit yang disebabkan oleh thalium atau persenyawaannya;
26. penyakit yang disebabkan oleh osmium atau persenyawaannya;
27.penyakit yang disebabkan oleh selenium atau persenyawaannya;
28. penyakit yang disebabkan oleh tembaga atau persenyawaannya;
29. penyakit yang disebabkan oleh platinum atau persenyawaannya;
3O. penyakit yang disebabkan oleh timah atau persenyawaannya;
31. penyakit yang disebabkan oleh zinc atau persenyawaannya;
32. penyakit yang disebabkan oleh phosgene;
33. penyakit yang disebabkan oleh zat iritan kornea seperti benzoquinone
34. penyakit yang disebabkan oleh isosianat;
35. penyakit yang disebabkan oleh pestisida;
36. penyakit yang disebabkan oleh sulfur oksida;
37. penyakit yang disebabkan oleh pelarut organik;
38. penyakit yang disebabkan oleh lateks atau produk yang mengandung lateks; dan
39. penyakit yang disebabkan oleh bahan kimia lain di tempat kerja yang tidak disebutkan di
atas, di mana ada hubungan langsung antara paparan bahan kimia dan penyakit yang
dialami oleh pekerja yang dibuktikan secara ilmiah dengan menggunakan metode yang
tepat

18
b. Penyakit yang disebabkan oleh faktor fisika, meliputi:
1. kerusakan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan;
2. penyakit yang disebabkan oleh getaran atau kelainan pada otot, tendon, tulang, sendi,
pembuluh darah tepi atau saraf tepi;
3. penyakit yang disebabkan oleh udara bertekanan atau udara yang didekompresi;
4. penyakit yang disebabkan oleh radiasi ion;
5. penyakit yang disebabkan oleh radiasioptik, meliputi
ultraviolet, radiasi elektromagnetik (visible light, infra merah, termasuk laser;
6. penyakit yang disebabkan oleh pajanan temperatur ekstrim; dan
7. penyakit yang disebabkan oleh faktor fisika lain yang tidak disebutkan di atas, di mana ada
hubungan langsung antara paparan faktor fisika yang muncul akibat aktivitas pekerjaan
dengan penyakit yang dialami oleh pekerja yang dibuktikan secara ilmiah dengan
menggunakan metode yang tepat
c . Penyakit yang disebabkan oleh faktor biologi dan penyakit infeksi atau parasit, meliputi:
1. brucellosis;
2. virus hepatitis;
3. virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia (human immunodeficiency virus)
4. tetanus;
5. tuberkulosis;
6. sindrom toksik atau inflamasi yang berkaitan dengan kontaminasi bakteri atau jamur;
7. anthrax;
8. leptospira; dan
9. penyakit yang disebabkan oleh faktor biologi lain di tempat kerja yang tidak disebutkan di
atas, di mana ada hubungan langsung antara paparan faktor biologi yang muncul akibat
aktivitas pekerjaan dengan penyakit yang dialami oleh pekerja yang dibuktikan secara ilmiah
dengan menggunakan metode yang tepat.
II. Penyakit Berdasarkan Sistem Target Organ
a. penyakit saluran pernafasan, meliputi:
1. pneumokoniosis yang disebabkan oleh debu mineral pembentuk jaringan parut, meliputi
silikosis, antrakosilikosis, dan asbestos;
2. siliko tuberkulosis;
3. pneumokoniosis yang disebabkan oleh debu mineral nonfibrogenic;
4. siderosis;
5. penyakit bronkhopulmoner yang disebabkan oleh debu logam keras;
6. penyakit bronkhopulmoner yang disebabkan oleh debu kapas, meliputi bissinosis, vlas,
henep, sisal, dan ampas tebu atau bagassosis;
7. asma yang disebabkan oleh penyebab sensitisasi atau zat iritan yang dikenal yang ada dalam
proses pekerjaan;
8. alveolitis alergika yang disebabkan oleh faktor dari luar sebagai akibat penghirupan debu
organik atau aerosol yang terkontaminasi dengan mikroba, yang timbul dari aktivitas
pekerjaan;
9. penyakit paru obstruktif kronik yang disebabkan akibat menghirup debu batu bara, debu dari
tambang batu, debu kayu, debu dari gandum dan pekerjaan perkebunan, debu dari kandang
hewan, debu tekstil, dan debu kertas yang muncul akibat aktivitas pekerjaan;
10. penyakit paru yang disebabkan oleh aluminium;
11. kelainan saluran pernafasan atas yang disebabkan oleh sensitisasi atau iritasi zat yang ada
dalam proses pekerjaan; dan
12. penyakit saluran pernafasan lain yang tidak disebutkan di atas, di mana ada hubungan
langsung antara paparan faktor risiko yang muncul akibat aktivitas pekerjaan dengan
penyakit yang dialami oleh pekerja yang dibuktikan secara ilmiah dengan menggunakan
metode yang tepat;

19
b. penyakit kulit, meliputi:
1. dermatosis kontak alergika dan urtikaria yang disebabkan oleh faktor penyebab alergi lain
yang timbul dari aktivitas pekerjaan yang tidak termasuk dalam penyebab lain;
2. dermatosis kontak iritan yang disebabkan oleh zat iritan yang timbul dari aktivitas pekerjaan,
tidak termasuk dalam penyebab lain; dan
3. vitiligo yang disebabkan oleh zat penyebab yang diketahui timbul dari aktivitas pekerjaan,
tidak temasuk dalam penyebab lain;

c. gangguan otot dan kerangka, meliputi:


1. radial styloid tenosynovitis karena gerak repetitif, penggunaan tenaga yang kuat dan posisi
ekstrim pada pergelangan tangan;
2. tenosynouitis kronis pada tangan dan pergelangan tangan karena gerak repetitif,
penggunaan tenaga yang kuat dan posisi ekstrim pada pergelangan tangan;
3. olecranon bursitis karena tekanan yang berkepanjangan pada daerah siku;
4. prepatellar bursitis karena posisi berlutut yang berkepanjangan;
5. epicondilitis karena pekerjaan repetitif yang mengerahkan tenaga;
6. meniscus lesions karena periode kerja yang panjang dalam posisi berlutut atau jongkok;
7. carpal tunnel syndrome karena periode berkepanjangan dengan gerak repetitif yang
mengerahkan tenaga, pekerjaan yang melibatkan getaran, posisi ekstrim pada
pergelangan
tangan, atau 3 (tiga) kombinasi diatas; dan
8.penyakit otot dan kerangka lain yang tidak disebutkan diatas, dimana ada hubungan
langsung antara paparan faktor yang muncul akibat aktivitas pekerjaan dan penyakit otot
dan kerangka yang dialami oleh pekerja yangdibuktikan secara ilmiah dengan
menggunakan metode yang tepat;
d. gangguan mental dan perilaku, meliputi:
1. gangguan stres pasca trauma; dan
2. gangguan mental dan perilaku lain yang tidak disebutkan diatas, dimana ada hubungan
langsung antara paparan terhadap faktor risiko yang muncul akibat aktivitas pekerjaan
dengan gangguan mental dan perilaku yang dialami oleh pekerja yang dibuktikan secara
ilmiah dengan menggunakan metode yang tepat.
III. Penyakit Kanker Akibat Kerja, yaitu kanker yang disebabkan oleh zat berikut:
1. asbestos;
2. benzidine dan garamnya;
3. bis-chloromethylether
4. persenyawaan chromium VI;
5. coal tars, coal tar pitches or soots;
6. beta-naphthylamine;
7. vinyl chloride;
8. benzene;
IV. Penyakit Spesifik Lainnya
Penyakit spesifik lainnya merupakan penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau proses
kerja, dimana penyakit tersebut ada hubungan langsung antara paparan dengan penyakit yang
dialami oleh pekerja yang dibuktikan secara ilmiah dengan menggunakan metode yang tepat.
Contoh penyakit spesifik lainnya, yaitu nystagmus pada penambang.

10. Peraturan Menteri Keuangan nomor 141/pmk.02/2018 Tentang Koordinasi antar penyelenggara
jaminan dalam pemberian manfaat pelayanan kesehatan
-Biaya layanan kesehatan atas DUGAAN Kasus PAK ditanggung oleh BPJS Ketenagakerjaan/ TASPEN/
ASABRI sesuai status kepesertaannya
-Penegakan diagnosis PAK dilakukan oleh dokter/dokter spesialis yang kompeten
20
11. Peraturan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) nomor 1 tahun 2021 tentang Koordinasi
Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan pada Dugaan kasus Kecelakaan Kerja dan Dugaan Kasus
Penyakit Akibat Kerja
Beberapa pokok penting diantaranya :
Dugaan Kecelakaan Kerja dan Dugaan Penyakit Akibat Kerja adalah kondisi pada kasus yang diduga
KK/PAK sebelum tegaknya diagnosis Kecelakaan Kerja/Penyakit Akibat Kerja
a. Ruang lingkup koordinasi meliputi pelaporan dugaan kasus dan penjaminan pelayanan
kesehatan

b. Penjaminan pelayanan peserta pada dugaan kasus KK/PAK sebelum diagnosis ditegakkan
berlaku, mengacu pada tata cara penjaminan dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor
141/ pmk.02/ 2018 tentang Koordinasi antar penyelenggara jaminan dalam pemberian
manfaat pelayanan kesehatan.
c. Dalam hal diagnosis belum ditegakkan, kelas perawatan dan tarif mengikuti ketentuan
Jaminan Kesehatan ( penggunaan tarif INA CBG’s dan penerapan sistem berjenjang, kecuali
kasus gawat darurat)
d. Dalam hal dugaan kasus ternyata terbukti merupakan KK/PAK , maka selanjutnya kelas
perawatan dan tarif mengikuti ketentuan dalam program JKK
e. Dalam hal dugaan kasus ternyata tidak terbukti merupakan KK/PAK, maka selanjutnya kelas
perawatan dan tarif sesuai dengan ketentuan Jaminan Kesehatan sepanjang termasuk
manfaat yang dijamin; atau
BPJS Kesehatan wajib mengganti biaya pelayanan kesehatan peserta kepada BPJS
Ketenagakerjaan/TASPEN/ASABRI
Bila dugaan kasus tidak terbukti KK/PAK dan di Jaminan Kesehatan tidak termasuk manfaat yang
dijamin, maka peserta wajib mengganti biaya pelayanan kesehatan yang telah dibayarkan oleh BPJS
Ketenagakerjaan/Taspen/Asabri

12. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 56 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit
Akibat Kerja.
Dengan adanya Peraturan Presiden nomor 7 tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja, Peraturan
Menteri Kesehatan nomor 56 tahun 2016 ini sedang dalam proses revisi .
Beberapa pokok penting diantaranya ;
Pelayanan Penyakit Akibat Kerja meliputi:
a. diagnosis Penyakit Akibat Kerja; dan
b. tata laksana Penyakit Akibat Kerja

Diagnosis Penyakit Akibat Kerja dilaksanakan dengan pendekatan 7 (tujuh) langkah yang meliputi:
a. penegakan diagnosis klinis;
b. penentuan pajanan yang dialami pekerja di tempat kerja;
c. penentuan hubungan antara pajanan dengan penyakit;
d. penentuan kecukupan pajanan;
e. penentuan faktor individu yang berperan;
f. penentuan faktor lain di luar tempat kerja; dan
g. penentuan diagnosis okupasi.

Tata laksana Penyakit Akibat Kerja meliputi:


a. tata laksana medis; dan
b. tata laksana okupasi.

Tata laksana medis sebagaimana tersbut diatas dilakukan sesuai dengan standar profesi, standar
pelayanan, dan standar operasional prosedur.
Tata laksana okupasi terdiri atas tata laksana okupasi pada komunitas yang meliputi pelayanan

21
pencegahan PAK dan penemuan dini kasus PAK; dan tata laksana okupasi pada individu yang
meliputi:
a. pelayanan pencegahan Penyakit Akibat Kerja;
b. pelayanan penemuan dini Penyakit Akibat Kerja;
c. pelayanan kelaikan kerja;
d. pelayanan kembali bekerja; dan
e. pelayanan penentuan kecacatan.

Penyelenggaraan pelayanan PAK dapat dilakukan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
maupun Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL), dilakukan oleh dokter atau dokter
spesialis yang berkompeten di bidang kesehatan kerja
Revisi Permenkes nomor 56 tahun 2016 ini akan memperhatikan Konsensus Tatalaksana PAK

13. Konsensus Tatalaksana PAK


disusun bersama PB Ikatan Dokter Indonesia dan Perhimpunan Dokter/ Dokter Spesialis terkait yaitu
PERDOKI ( Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia), PERDOKLA (Perhimpunan Dokter
Spesialis Kedokteran Kelautan Indonesia), PERDOSPI ( Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran
Penerbangan Indonesia), PERDOSKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia),
PERDAMI ( Perhimpunan Ahli Mata Indonesia), PDPI ( Perhimpunan Dokter Paru Indonesia), PAPDI
(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia), PDSKJI (Perhimpunan Dokter Spesialis
Kedokteran Jiwa Indonesia), PERDOSSI (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia), PERHATI
(Perhimpunan Dokter Spesialis THT Indonesia), PDUI (Perhimpunan Dokter Umum Indonesia) dan
IDKI (Perhimpunan Dokter Kesehatan Kerja Indonesia)
Konsensus ini mencantumkan :
1. Setiap dokter yang memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien yang bekerja harus
mempertimbangkan pengaruh pekerjaan dan lingkungan kerja sebagai penyebab penyakit
2. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja dilakukan dengan pendekatan tujuh langkah diagnosis okupasi
3. Kategori penetapan diagnosis Penyakit Akibat Kerja
A. Penyakit Akibat Kerja yg spesifik pada jenis pekerjaan tertentu : 21 Jenis
A1. Yang dapat ditegakkan di FKTP
A2. Yang dapat ditegakkan di FKRTL
B. Dugaan Penyakit Akibat Kerja
C. Penyakit Akibat Kerja yang kompleks
4. Daftar PAK berdasarkan kategori penetapan
5. Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja
6. Rujukan dan rujuk balik
Daftar Penyakit Akibat Kerja dapat ditambahkan sesuai perkembangan, sebagai contoh : kasus Covid-
19 akibat kerja pada pekerja kesehatan tertentu dengan tetap mengikuti 7 langkah diagnosis
okupasi.

Pokok bahasan 2.
Hubungan dokter, pasien pekerja, pemberi kerja terkait pelayanan kesehatan kerja dalam era SJSN
Hak dan kewajiban tercantum dalam Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
a. Hak pasien pekerja
1. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis ;
2. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
3. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
4. menolak tindakan medis; dan
5. mendapatkan isi rekam medis.
b. Kewajiban pasien pekerja
1. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
2. mematuhi masihat dan petunjuk dokter;
3. mematuhi ketentuan yang berlakuk di sarana pelayanan Kesehatan; dan

22
4. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima
c. Hak dokter
Hak dokter antara lain:
1. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi
dan standar prosedur operasional (SPO);
2. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan SPO;
3. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya;
4. menerima imbalan jasa.
d. Kewajiban dokter terhadap pasien
Dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan kerja, dokter berkewajiban:
1. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional
serta kebutuhan medis pasien;
2. merujuk pasien ke dokter lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik,
apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
3. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu
meninggal dunia;
4. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain
yang bertugas dan mampu melakukannya;
5. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran .
e. Hak Pemberi kerja
Pemberi kerja berhak mendapatkan laporan kesehatan pegawai di lingkungan kerjanya.
f. Kewajiban pemberi kerja
Pemberi kerja berkewajiban mengikutsertakan pegawainya dalam program jaminan sosial tenaga
kerja serta melaporkan penyakit yang timbul karena hubungan kerja setelah ada hasil diagnosis dari
dokter pemeriksa

Pokok Bahasan 3
Standar Kompetensi Dokter sesuai tingkatan kompetensinya dalam melakukan pelayanan Penyakit
Akibat Kerja dan sistem rujukannya
Pelayanan Kesehatan kerja yang dilakukan oleh dokter tidak terlepas dari ketrampilan medis yang dimiliki
oleh dokter. Ketrampilan medis tersebut disebut dengan kompetensi medis. Kompetensi medis seorang
dokter sangat tergantung dari pendidikan yang diperolehnya, baik itu melalui pendidikan formal ataupun
pelatihan ketrampilan medis yang dilakukan. Pelayanan Penyakit Akibat Kerja dapat diberikan di FKTP
maupun di FKRTL sesuai kompetensinya. Alur rujukan berjenjang diterapkan sesuai skema dibawah ini

23
Kompetensi dokter dibagi menjadi kompetensi dokter dan kompetensi dokter spesialis. Kompetensi
dokter mengacu ke Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) tahun 2012 . Sedangkan kompetensi
dokter spesialis disusun oleh masing-masing Perhimpunan Profesi Dokter Spesialis dan Kolegiumnya.
Kompetensi dalam bidang kedokteran okupasi telah disusun Standar Kompetensi Dokter Pemberi
Pelayanan Kedokteran Okupasi dan Kesehatan Kerja tahun 2014. Dalam kaitan dengan diagnosis
Penyakit Akibat Kerja, merupakan salah satu kompetensi utama dokter spesialis kedokteran okupasi
(SpOk). Selain itu, dapat dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran kelautan (SpKL), dokter spesialis
kedokteran penerbangan (SpKP) pada kasus Penyakit Akibat Kerja yang sesuai dan dokter spesialis
lainnya yang terkait pelayanan Penyakit Akibat Kerja. Dalam SKDI 2012, tercantum di butir 93 yaitu :
melakukan langkah diagnosis Penyakit Akibat Kerja dan penanganan pertama di tempat kerja, serta
melakukan pelaporan Penyakit Akibat Kerja.
Revisi SKDI 2012 dilakukan sejak tahun 2019 dengan proses pembahasan oleh tim , yang dibentuk oleh
Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) dan Kolegium Dokter Indonesia (KDI).
Dokumen pembahasan disatukan menjadi Standar (Nasional) Pendidikan Profesi Dokter Indonesia
(SNPPDI/SPPDI).

Khusus di bidang Kedokteran Okupasi, telah diterbitkan Standar Kompetensi Dokter Pemberi Pelayanan
Kedokteran Okupasi dan Kesehatan Kerja 2014 telah dirinci tingkat daftar kompetensi klinis dokter
pada setiap Penyakit Akibat Kerja (ICD X-OH). Dalam hal ini, kompetensi dokter pemberi pelayanan
kedokteran Okupasi dan kesehatan kerja dibagi menjadi 3 tingkatan kompetensi, yaitu dokter dengan
pelatihan hiperkes/pelatihan kesehatan kerja dasar, Dokter Magister Kedokteran Kerja (MKK) dan
Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi.

Terkait sistem rujukan, dalam konsensus tatalaksana Penyakit Akibat Kerja disebutkan bahwa
- Rujukan horizontal antar faskes yang setara dimungkinkan kepada faskes yang memiliki dokter yang
kompeten dalam diagnosis Penyakit Akibat Kerja apabila disuatu wilayah belum terdapat sumber daya
yg dapat memenuhi layanan Penyakit Akibat Kerja
- Dalam hal suatu wilayah belum mempunyai dokter SpOk, SpKL, SpKP, maka Organisasi Profesi dapat
menunjuk salah satu anggotanya sebagai pengampu di wilayah tersebut

Pokok Bahasan 4

24
Kode Etik Dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan kerja dan kedokteran okupasi di indonesia
i. Kode Etik Kedokteran indonesia (KODEKI), PB IDI -2012
ii. Kode Etik Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia , KONAS VI PERDOKI, Juli 2019
Kode Etik Kedokteran Indonesia merupakan kode etik yang harus dipatuhi oleh semua dokter di
Indonesia dalam melakukan praktik kedokterannya. Selain itu untuk bidang kedokteran okupasi,
diperlukan pemahaman dan aplikasi dari kode etik kedokteran okupasi Indonesia. Kode etik ini yang
mengatur tatanan etika antara dokter, pekerja dan pemberi kerja dalam praktik kedokteran okupasi
di Indonesia.
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), PB IDI 2012
Mencakup :
I. Kewajiban Umum ( 13 pasal)
II. Kewajiban Dokter terhadap pasien (4 pasal)
III. Kewajiban Dokter terhadap teman sejawat ( 2 pasal)
IV. Kewajiban Dokter terhadap diri sendiri (2 pasal)

Kewajiban Umum:
1. Semua dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah atau janji
dokter.
2. Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan profesional secara independen, dan
mempertahankan perilaku profesional dalam ukuran yang tertinggi
3. Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu
yang mengakibatkan kehilangan kebebasan dan kemandirian profesi.
4. Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
5. Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik , wajib
memperoleh persetujuan pasien/keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan
pasien tersebut
6. Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan setiap
penemuan tehnik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat
menimbulkan keresahan masyarakat
7. Seorang dokter wajib hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya.
8. Seorang dokter wajib dalam setiap praktek medisnya,memberikan pelayanan secara kompeten
dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan
penghormatan atas martabat manusia.
9. Seorang dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan
berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter
atau kompetensi,atau yang melakukan penipuan atau penggelapan.
10. Seorang dokter wajib menghormati hak-hak pasien, teman sejawatnya, dan tenaga kesehatan
lainnya, serta wajib menjaga kepercayaan pasien.
11. Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya melindungi hidup makhluk insani
12. Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter wajib memperhatikan keseluruhan aspek pelayanan
kesehatan (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial-kultural
pasiennya, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi sejati masyarakat
13. Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat lintas sektoral di bidang kesehatan dan
bidang lainnya serta masyarakat, wajib saling menghormati.

Kewajiban dokter terhadap pasien


1. Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan seluruh keilmuan dan
keterampilannya untuk kepentingan pasien. yang ketika ia tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan, atas persetujuan pasien/keluarganya, ia wajib merujuk pasien
kepada dokter yang mempunyai keahlian untuk itu.
2. Setiap dokter wajib memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berinteraksi
dengan keluarga dan penasehatnya termasuk dalam beribadat dan atau penyelesaian
masalah pribadi lainnya
3. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,
bahkan setelah pasien itu meninggal dunia.

25
4. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud tugas perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

Kewajiban dokter terhadap teman sejawat


1. Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
2. Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan
keduanya atau berdasarkan prosedur yang etis

Kewajiban dokter terhadap diri sendiri


1. Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.
2. Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan lmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran / kesehatan.

b. Kode Etik Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia , KONAS VI PERDOKI, Juli 2019
1. Bahwa kami mengutamakan keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku.
2. Bahwa kami melaksanakan tugas dan pelayanan kedokteran kerja berdasarkan kaidah ilmiah
yang obyektif, terstruktur, dan terpadu.
3. Bahwa kami senantiasa meningkatkan, mengembangkan pengetahuan, penelitian, dan
pelayanan kedokteran kerja secara berkesinambungan.
4. Bahwa kami dalam hal membuat suatu pernyataan dan atau keputusan dan atau persetujuan
sesuai dengan kompetensi sebagai dokter spesialis kedokteran okupasi.
5. Bahwa kami dalam melaksanakan butir ke-4 membebaskan diri dari tekanan dan atau pengaruh
yang berasal dari perbedaan kepentingan.
6. Bahwa kami menyampaikan informasi medis yang mudah dipahami dan transparan kepada
pekerja tentang kesehatan dan keberlangsungan kerja.
7. Bahwa kami senantiasa menghindari penawaran dan atau penggunaan jasa yang
mendatangkan keuntungan bagi diri sendiri atau pihak dan atau kerugian bagi pihak lainnya.
8. Bahwa kami dengan cermat memperhatikan nilai-nilai psikologis, kebudayaan dan agama yang
terdapat dalam masyarakat pekerja dan menyerasikannya kepada tujuan keselamatan dan
kesehatan kerja dengan sebaik-baiknya.
9. Bahwa kami melaksanakan kode etik spesialis kedokteran okupasi dengan penuh kesadaran dan
keyakinan dalam rangka menjunjung tinggi profesi kedokteran okupasi.

I. Referensi
1. UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
2. UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
3. UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
4. UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
5. Peraturan pemerintah nomor 88 tahun 2019 tentang Kesehatan Kerja
6. Peraturan pemerintah nomor 82 tahun 2019 tentang perubahan atas PP nomor 44 tahun 2015
tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian
7. Peraturan Pemerintah nomor 70 tahun 2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan
Kematian (JKM) bagi pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN). Pedoman lengkapnya tercantum dalam
Peraturan Badan Kepegawaian Negara (BKN) nomor 4 tahun 2020 tentang Pedoman kriteria
penetapan kecelakaan kerja, cacat, Penyakit Akibat Kerja dan kriteria penetapan tewas bagi pegawai
ASN
8. Peraturan Pemerintah nomor 102 tahun 2015 tentang Asuransi Sosial Prajurit TNI, Anggota
Kepolisian Negara RI, dan Pegawai Aparatur Sipil Negara di lingkungan Kementerian Pertahanan dan
Kepolisian Negara RI
9. Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja
10. Peraturan Menteri Keuangan nomor 141/pmk.02/2018 Tentang Koordinasi antar penyelenggara
jaminan dalam pemberian manfaat pelayanan kesehatan

26
11. Peraturan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) nomor 1 tahun 2021 tentang Koordinasi
Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan pada Dugaan kasus Kecelakaan Kerja dan Dugaan Kasus
Penyakit Akibat Kerja
12. (Revisi) Permenkes No. 56 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja
13. Konsensus Tatalaksana PAK, 2019. IDI dan organisasi profesi terkait
14. Standar Kompetensi Dokter Indonesia.tahun 2012
15. Standar Kompetensi Dokter Pemberi Pelayanan Kesehatan Kerja dan Kedokteran Okupasi
2014.
16. Kode Etik Kedokteran Indonesia, PB IDI 2012
17. Kode Etik Spesialis Kedokteran Okupasi, Konas VI Perdoki, 2019

MATERI INTI 1
HUBUNGAN PAJANAN DI TEMPAT KERJA DENGAN TIMBULNYA PENYAKIT
Jumlah JPL : 4 JPL ( T: 1 JPL P: 3)

I. DESKRIPSI SINGKAT
Pekerja berada di tempat kerja selama kurang kebih 8 jam per hari, 40 jam perminggu selama ber-
tahun2 (> 30 tahun). Selama di tempat kerja melakukan proses kerja dan/atau berada di lingkungan
yang terdapat berbagai pajanan yang dapat berisiko terhadap Kesehatan, yang disebut juga sebagai
bahaya potensial pekerjaan (Occupational Hazards). Hal tersebut dapat menyebabkan Penyakit Akibat
Kerja yang sering disebut sebagai Man Made Disease. Penyakit Akibat kerja dapat dicegah, apabila
dilakukan pengendalian terhadap bahaya potensial yang ada. Untuk dapat melakukan pencegahan dan
pengendalian, maka perlu kemampuan untuk mengidentifikasi jenis dan tingkat pajanan dan mengenali
masalah Kesehatan yang dapat ditimbulkan oleh jenis pajanan di tempat kerja tersebut. Salah satu
upaya pengendalian terhadap pajanan di tempat kerja adalah dengan regulasi tingkat pajanan yang
masih diperbolehkan di tempat kerja, agar pekerja terindungi dari masalah Kesehatan yang dapat
ditimbulkan.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN:


A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti materi ini peserta akan mampu memahami pajanan di tempat kerja serta
menghubungkannya dengan terjadinya penyakit pada pekerja.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah mengikuti sesi ini peserta mampu:
1. Menjelaskan jenis-jenis pajanan di tempat kerja.
2. Melakukan identifikasi pajanan yang dialami oleh pekerja dalam sebuah proses kerja.
3. Mengidentifikasi hubungan beberapa Pajanan di Tempat Kerja dengan Penyakit yang umumnya
dapat terjadi.

III. POKOK BAHASAN


27
Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut
Pokok bahasan 1. Identifikasi pajanan kerja
Sub pokok bahasan :
a. Definisi pajanan
b. Jenis-jenis pajanan di tempat kerja
c. Menilai pajanan kerja
Pokok bahasan 2. Melakukan identifikasi pajanan
Sub pokok bahasan :
a. Metode Identifikasi pajanan kerja
b. Pengendalian pajanan kerja
Pokok bahasan 3. Hubungan pajanan kerja dengan penyakit
Sub pokok bahasan :
a. Penyakit yang sering muncul berdasarkan pajanan kerja
b. Mekanisme terjadinya PAK

IV. METODE
 Ceramah
 Menonton dan Menganalisa video
 Tanya jawab

V. MEDIA ALAT BANTU


 Bahan tayang/ power point
 Modul
 Laptop/Komputer
 LCD
 Laser pointer
 ATK
 video

VI. LANGKAH PEMBELAJARAN


Langkah 1: Pengkondisian
Kegiatan pelatih
1. Pelatih menyapa peserta dengan ramah dan hangat, apabila belum pernah memperkenalkan diri,
nama lengkap, asal institusi.
2. Menyampaikan tujuan umum, tujuan khusus dan pokok bahasan yang akan disampaikan sebaiknya
menggunakan bahan tayang.
Langkah 2: Pelatih menjelaskan pokok bahasan pertama:
Kegiatan Pelatih:
1. Pelatih menjelaskan tentang definisi pajanan, jenis-jenis pajanan yang ada di tempat kerja serta cara
bagaimana melakukan identifikasi pajanan di tempat kerja.
2. Pelatih bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta
Kegiatan Peserta:
1. Peserta mendengarkan dengan seksama
2. Pelatih menjawab pertanyaan peserta
Langkah 3: Pelatih menjelaskan pokok bahasan kedua:
Kegiatan Pelatih:
1. Pelatih menjelaskan tentang penyakit yang dapat muncul akibat adanya pajanan kerja
2. Pelatih bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta
Kegiatan Peserta:
1. Peserta mendengarkan dengan seksama
2. Pelatih menjawab pertanyaan peserta
28
Langkah 4: Pelatih menjelaskan pokok bahasan ketiga:
Kegiatan Pelatih:
1. Pelatih menayangkan video tentang pekerja yang sedang bekerja dan memberi penjelasan
bagaimana seorang pekerja terpajan dan berisiko menderita penyakit.
2. Pelatih bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta
Kegiatan Peserta:
1. Peserta memperhatikan video dengan seksama
2. Pelatih menjawab pertanyaan peserta

VII. URAIAN MATERI


Pokok bahasan 1. BAHAYA POTENSIAL PEKERJAAN
Definisi:
 Adalah bahaya yang dapat menimbulkan risiko terhadap kesehatan yang ada di tempat kerja atau
pekerjaan tertentu (ACOEM)
 Adalah semua sumber, situasi atau aktifitas yang berpotensi menimbulkan cedera (Pusat Pelatihan
K3)
Jenis Pajanan di Tempat Kerja
Pajanan di tempat kerja, biasa digolongkan menurut 5 kelompok sesuai dengan jenisnya:
a. Pajanan fisika meliputi,
 Bising:
Adalah suara yang tidak diinginkan. Biasanya di tempat kerja adalah akibat suara2 mesin
atau alat kerja. Banyak terjadi di pabrik2 manufaktur, pada pekerja yang menggunakan alat
kerja listrik atau terjadi kontak antara logam (penempaan bahan logam) dll.
 Getaran:
Adalah suatu fenomena peningkatan dan penurunan dimensi terhadap suatu nilai dasar
secara berulang2 pada suatu waktu tertentu, di mana dimensinya adalah akselerasi,
kecepatan dan jarak, yang merupakan reversi dari suatu energi. Getaran biasa dihasilkan
oleh alat kerja, mesin dan dapat berupa getaran yang mempengaruhi seluruh tubuh (Whole
Body Vibration) atau getaran tangan-lengan (Hand – Arm vibration). Getaran Seluruh Tubuh
dapat terjadi pada orang yang sedang menggunakan alat transportasi atau berada dalam
ruangan yang banyak mesin, sehingga lantai bergetar. Getaran TAngan-lengan dapat dialami
oleh seorang yang menggunakan alat kerja mekanik, seperti gergaji listrik, alat bor listrik dsb
 Suhu ekstrim:
Adalah pajanan suhu ruangan/lingkungan yang ekstrem panas atau ekrtrem dingin. Batas
minimal yang dianggap suhu ekstrem panas, tergantung pada ringan-beratnya pekerjaan dan
berapa lama berada di tempat tersebut. Pekerjaan yang berisiko adalah di pabrik peleburan
baja, di dekat oven dan juga di terik matahari, pekerjaan di suhu ekstrem dingin di negara
tropis, adalah bekerja di ruang pendingin, dll.
 Pencahayaan dan gelombang elektromagnetik
Pekerjaan yang dilakukan di lingkungan yang pencahayaan kurang atau berlebih (siau) untuk
pekerjaan yang dilakukan. Juga medan elektromagnetik yang dihasilkan oleh aliran listrik
pada pekerjaannya
 Radiasi
Pada umumnya di bagi atas radiasi mengion dan tidak mengion. DIalami oleh pekera
tambang, Rumah sakit, dll.
 Hiperbarik / Hipobarik
Pekerja yang bekerja pada tekanan udara tinggi (Hiperbarik) seperti penyelam. Pekerja yang
bekerja pada tekanan udara renday (Hipobarik) seperti pilot, awak pesawat dll.
b. Pajanan kimia meliputi,
Semua bahan kimia, dalam bentuk debu, cair, uap, gas dll. Saat ini sudah digunakan > 1.500
bahan kimia di industry, terdiri dari golongan sebagai berikut,
 Logam berat
 Pelarut organik
 Pestisida
29
 Debu/fibrogenik
 Allergen Kimiawi
 Irritan Kimiawi
c. Pajanan Biologis, meliputi,
 Bakteri
 Virus
 Parasit
 Jamur
 Debu/Serat unsur tumbuhan
 Toxin hewan
d. Pajanan Ergonomi, meliputi,
 gerak berulang
 postur janggal
 posisi statis
 manual handling
e. Psikososial meliputi,
 Shift Work
 beban kerja berlebih
 Target Kerja
 konflik peran
 hambatan karier
 kerja monoton
Tingkat pajanan
a. Penilaian tingkat pajanan di Lingkungan Kerja:
Hasil pengukuran lingkungan kerja, seperti bising, tekanan panas, kadar debu bahan kimia yang
dilakukan sesuai dengan standar (tepat pengukuran, waktu pengukuran) kemudian
dibandingkan dengan suatu nilai, yaitu NAB (Nilai Ambang Batas) untuk menilai apakah tingkat
pajanan di tempat kerja sudah melebihi NAB berarti berisiko tinggi atau tidak:
Nilai Ambang Batas adalah nilai kadar pajanan di udara lingkungan yang dianggap dapat
melindungi sebagian besar pekerja dari gangguan Kesehatan, bila terpajan selama 8 jam per hari
atau 40 jam per minggu.
Daftar Nilai Ambang Batas untuk berbagai pajanan fisik dan kimiawi terdapat pada berbagai
peraturan Kementrian Tenaga Kerja dan Kementrian Kesehatan.
b. Penilaian besarnya pajanan pada pekerja:
Untuk beberapa bahan kimia dapat dilakukan monitoring biologis atau Biomonitoring untuk
mendetaksi kadar suatu bahan kimia dalam jaringan tubuh sesorang. Untuk dapat menilai tinggi
rendahnya pajanan perlu dibandingkan dengan Indeks Pajanan Biologis (IPB). Indeks Pajanan
Biologis: adalah nilai suatu bahan kimia dalam jaringan tubuh seseorang, yang dianggap masih
aman bagi pekerja untuk mengalami masalah Kesehatan. Penilaian pajanan dengan melakukan
monitoring biologis harus dilakukan sesuai dtandar yang berlaku.
Untuk bahan kimia yang sudah ada IPBnya ada dalam daftar.

Pokok bahasan 2. HUBUNGAN PAJANAN KERJA DENGAN PENYAKIT


Penyakit atau Masalah Kesehatan tersering akibat
a. Penyakit atau Masalah Kesehatan Tersering Akibat Pajanan Fisik
 Bising yang dialami seorang pekerja dapat menyebabkan gangguan pendengaran, berupa
Tulisensorineural, biasanya pada pekerja drilling, bengkel, pekerja kamar mesin dsb
 Vibrasi seluruh tubuh yang dialami seorang pekerja dapat menyebabkan Nyeri Punggung
Bawah, HNP. Sedangkan Vibrasi tangan=lengan dapat menyebabkan gangguan peredaran
darah dan gangguan syaraf perifer yang disebut sebagai Hand Arm Vibration Syndrome atau
Raynaud syndrome.
 Radiasi Ultraviolet/Infrared. Bila mata seorang pekerja terpajan radiasi ultraviolet/infrared
dapat terjadi katarak juvenilis, atau keratitis, pada umumnya pada pekerja pengelas
30
b. Penyakit atau Masalah Kesehatan Tersering Pajanan Kimia, diantaranya
Asma pada pekerja yang terpajan tepung roti, seperti pembuat roti
Kanker paru pada pekerja yang terpajan debu asbes
Dermatitis kontak iritan pada pekerja yang terpajan detergen
c. Penyakit atau Masalah Kesehatan Tersering Pajanan Biologis:
Berbagai pajanan yang merupakan bagian dari proses kerja dapat menyebabkan infeksi ataupun
allergi, seperti TBC pada perawat RS, Asma pada pekerja petani.
d. Penyakit atau Masalah Kesehatan Tersering Pajanan Ergonomi:
Pajanan Ergonomi di tempat kerja pada umumnya menyebabkan gangguan otot rangka, yang
lokasinya sesuai dengan pajanan waktu melakukan pekerjaan. Misalnya Nyeri Punggung Bawah
pada pekerja angkat angkut, nyeri bahu akibat posisi kerja janggal
e. Penyakit atau Masalah Kesehatan Tersering Pajanan Psikososial:
Pajanan psikososial pada umumnya merupakan hal yangdapat menyebabkan kelelahan khronik,
burnout dan akhirnya gangguan mental emosional berupa depresi, anxietas bila tidak ditangani
secara dini
Metode Identifikasi
• Pengamatan cara kerja, materi kerja, proses kerja, lingkungan kerja dan penggunaan
APD yang sesuai
• Pengukuran kadar bahan di lingkungan kerja
• Mengkaji dokumen: Lembar data Keselamatan Bahan (LDKB)/MSDS
• Pengukuran kadar bahan kimia dalam tubuh (Biomonitoring)
Pengendalian Pajanan Pekerjaan
Prinsip Hiraki Pengendalian pada umumnya adalah sesuai dengan urutan pada piramida terbalik di
bawah ini.

Hal pertama yang perlu dilakukan adalah Eliminasi bahan berbahaya dalam semua proses kerja, bila
memungkinkan dan diganti dengan bahan yang kurang berbahaya (substitusi). Hal ini sering tidak
mungkin dilakukan, karena bahan berbahaya dibutuhkan dalam proses kerja atau pembuatan
produk yang diinginkan atau bila diganti dengan bahan kurang berbahaya biaya produksi akan
meningkat. Bila eliminasi tidak memungkinkan, maka upaya pengendalian ke 2 adalah rekayasa
teknik, agar pajanan yang berbahaya tidak sampai ke pekerja, misalnya dengan melakukan upaya
perbaikan ventilasi, barrier dsb.

31
Upaya ke tiga dan keempat adalah menerapkan cara kerja aman pada semua proses kerja, agar
tingkat pajanan dapat diminimalisasi dan tidak sampai menyebabkan gangguan Kesehatan, termasuk
juga pemeliharaan kebersihan lingkungan kerja dan peningkatan Kesehatan dan kesejahteraan
pekerja. Penggunaan Alat Pelindung Diri adalah upaya tambahan yang perlu dilakukan sebagai upaya
melindungi pekerja, khususnya pada pajanan biologis, harus selalu diterapkan. Surveilans Medis
merupakan upaya yang selalu harus diterapkan untuk identifikasi dini adanya pekerja terpajan atai
mengalami gangguan Kesehatan. Untuk Latihan identifikasi bahaya potensial dapat digunakan table
di bawah ini:

Tabel Bahaya Potensial Pekerjaan dan masalah Kesehatan:

Urutan Bahaya Potensial Gangguan Risiko


kegiatan kesehatan kecelakaan
(tuliskan urutan Fisik Kimia Biologi Ergonomi Psikososial yang kerja
sesuai bagan alur (sesuai Brief mungkin
di no 2) survey)

Contoh Hubungan Pajanan Kerja dan Terjadinya Penyakit


1. Penjahit

Pajanan utama dari seorang penjahit di atas adalah duduk lama dengan posisi yang statis dalam
kurun waktu yang lama (minimal 8 jam setiap hari). Otot dan rangka yang terlibat akan
mengalami injuri.

32
2. Tentara

Pajanan utama tentara yang harus melakukan tugas di alam bebas adalah pajanan alam seperti
sinar matahari, suhu yang panas, serangga, kemungkinan binatang buas dan adanya stress
psikososial. Seluruh pajanan di atas dapat menyebabkan gangguan Kesehatan pada tentara.

3. Petugas kesehatan

Pekerja di fasilitas Kesehatan memiliki risiko utama yaitu pajanan biologi berupa bakteri dan
virus yang dibawa oleh pasien dan psikososial disamping pajanan lainnya. Terpajan bakteri dan
virus penyebab penyakit menyebabkan pekerja Kesehatan rentan dengan penyakit seperti
COVID 19, tuberkulosi, hepatitis B dan hepatitis C

33
MATERI INTI 2
DIAGNOSIS PENYAKIT AKIBAT KERJA ( PAK)
Jumlah JPL : 2( T : 1, P :1 )

I. DESKRIPSI SINGKAT
Era industriliasisasi memberikan pengaruh terhadap pekerja yang bekerja dengan mesin-mesin dan bahan
bahan kimia. Efek dari bahan, mesin, proses kerja dan lingkungan kerja serta kemajuan industri berpengaruh
terhadap kesehatan pekerja. Selain menimbulkan penyakit yang berhubungan dengan pekerjaanya, dapat
juga menimbulkan kecelakaan pada saat bekerja.

Deteksi dini adanya penyakit di tempat kerja atau yang terkenal dengan Penyakit Akibat Kerja(PAK) serta
pencegahan terjadinya kecelakaan akibat kerja(KAK), memerlukan kompetensi Dokter untuk
mendiagnosisnya, dengan menggunakan metode 7 langkah diagnosis Okupasi yang sudah dikembangkan
oleh Kolegium Kedokteran Okupasi Indonesia bersama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
dan Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia tahun 2011 dan tercantum di Peraturan Menteri
Kesehatan nomor 56 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan PAK.

Kompetensi ini dibutuhkan juga oleh Dokter yang bekerja di layanan primer sesuai dengan level
kompetensinya pada penyakit penyakit yang tertera dalam Standar Kompetensi Dokter pemberi layanan
Kedokteran Okupasi dan Kesehatan Kerja tahun 2014.

Seperti yang kita ketahui, masalah kesehatan kerja adalah adanya Penyakit Akibat Kerja (PAK), Penyakit
Terkait Kerja ataupun Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) yang disebabkan adanya interaksi antara pekerja
dengan alat, metode, bahan dan proses kerja serta lingkungan kerja. Data PAK di Indonesia saat ini
masih dilaporkan sebagai data KAK, sedangkan gambaran PAK yang ada saat ini seperti Puncak "Gunung
Es", dimana PAK yang diketahui dan dilaporkan baru sedikit, sedangkan yang tidak dilaporkan dan tidak
menunjukan gejala sebenarnya lebih banyak.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


A. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM:
Setelah mengikuti sesi ini peserta memahami Penyakit Akibat Kerja

B. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS:


Setelah mengikuti sesi ini peserta dapat:
1. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
a. Pengertian dan Kriteria Penyakit Akibat Kerja
 Pengertian Penyakit Akibat Kerja
 kriteria Penyakit Akibat Kerja
 Cara mengidentifikasi pajanan pada pasien / merekonstruksi pajanan
b. Tujuh Langkah diagnosis Penyakit Akibat Kerja

2. Konsensus Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja


a. Penyakit Akibat Kerja yang spesifik pada pekerjaan tertentu

b. Dugaan Penyakit Akibat Kerja

c. Penatalaksanaan Penyakit Akibat Kerja secara umum

d. medical record Penyakit Akibat Kerja

III. POKOK BAHASAN


34
Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan dan sub pokok bahasan sebagai berikut.

Pokok bahasan 1. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja


Sub pokok Bahasan:
a. Pengertian dan kriteria Penyakit Akibat Kerja
 Pengertian Penyakit Akibat Kerja
 kriteria Penyakit Akibat Kerja

b. Tujuh Langkah diagnosis Penyakit Akibat Kerja

Pokok bahasan 2. Konsensus Penyakit Akibat Kerja


Sub pokok Bahasan:
a. Penyakit Akibat Kerja yang spesifik pada pekerjaan tertentu

b. Dugaan Penyakit Akibat Kerja

c. Penatalaksanaan Penyakit Akibat Kerja secara umum

d. medical record Penyakit Akibat Kerja

IV. METODE
- Ceramah tanya jawab

- Curah Pendapat

- Latihan Kasus

V. BAHAN AJAR
1. Hand Out (bahan tayang) materi Penyakit Akibat Kerja

2. Bahan Studi Kasus

VI. LANGKAH PEMBELAJARAN


Langkah 1: Pengkondisian Suasana
Fasilitator menyampaikan salam dan memperkenal nama lengkap, asal institusi dan sebutkan nama topik
yang akan disampaikan

Langkah 2: Fasilitator menjelaskan pokok bahasan pertama:


Kegiatan Fasilitator:
1. Fasilitator menanyakan kepada peserta tentang pengertian dan kriteria PAK
2. Fasilitator menjelaskan tentang pengertian dan kriteriaPAK
3. Faslilitator bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta

Kegiatan Peserta:
1.Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
2. Peserta mendengarkan dengan seksama
3. Peserta menjawab pertanyaan fasilitator

35
Langkah 3: Fasilitator menjelaskan pokok bahasan kedua
Kegiatan Fasilitator:
1. Fasilitator menanyakan kepada peserta tentang faktor risiko terjadinya Penyakit Akibat Kerja yang
diketahui oleh peserta
2. Fasilitator menjelaskan tentang faktor risiko terjadinya Penyakit Akibat Kerja
3. Faslilitator bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta

Kegiatan Peserta:
1.Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
2. Peserta mendengarkan dengan seksama
3. Peserta menjawab pertanyaan fasilitator

Langkah 4: Fasilitator menjelaskan pokok bahasan ketiga


Kegiatan Fasilitator:
1. Fasilitator menanyakan kepada peserta tentang langkah diagnosis Penyakit Akibat Kerja
yang diketahui oleh peserta
2. Fasilitator menjelaskan tentang langkah diagnosis ( 7 langkah diagnosis) Penyakit Akibat Kerja
3. Faslilitator bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta

Kegiatan Peserta:
1.Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
2. Peserta mendengarkan dengan seksama
3. Peserta menjawab pertanyaan fasilitator

Langkah 5: Fasilitator menjelaskan pokok bahasan keempat


Kegiatan Fasilitator:
1. Fasilitator menanyakan kepada peserta tentang penatalaksanaan Penyakit Akibat Kerja yang
diketahui oleh peserta
2. Fasilitator menjelaskan tentang penatalaksanaan Penyakit Akibat Kerja
3. Faslilitator bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta

Kegiatan Peserta:
1.Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
2. Peserta mendengarkan dengan seksama
3. Peserta menjawab pertanyaan fasilitator

Langkah 6: Fasilitator menjelaskan pokok bahasan kelima


Kegiatan Fasilitator:
1. Fasilitator menanyakan kepada peserta tentang berkas pasien kedokteran okupasi (medical record
Penyakit Akibat Kerja) yang diketahui oleh peserta
2. Fasilitator menjelaskan tentang berkas pasien kedokteran okupasi dan cara pengisiannya
3. Faslilitator bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta

Kegiatan Peserta:
1.Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
2. Peserta mendengarkan dengan seksama
3. Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
4. Peserta melakukan pengisian berkas pasien kedokteran okupasi sesuai arahan fasilitator

36
Langkah 7: Fasilitator menjelaskan pokok bahasan keenam
Kegiatan Fasilitator:
1.Fasilitator menanyakan kepada peserta tentang latar belakang Konsensus Tatalaksana Penyakit
Akibat Kerja yang diketahui oleh peserta
2. Fasilitator menjelaskan tentang latar belakang Konsensus Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja
3. Faslilitator bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta

Kegiatan Peserta:
1.Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
2. Peserta mendengarkan dengan seksama
3. Peserta menjawab pertanyaan fasilitator

Langkah 8: Fasilitator menjelaskan pokok bahasan ketujuh


Kegiatan Fasilitator:
1. Fasilitator menanyakan kepada peserta tentang Pengertian, tujuan konsensus Tatalaksana
Penyakit Akibat Kerja yang diketahui oleh peserta
2. Fasilitator menjelaskan tentang Pengertian, tujuan konsensus Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja
3. Faslilitator bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta

Kegiatan Peserta:
1.Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
2. Peserta mendengarkan dengan seksama
3. Peserta menjawab pertanyaan fasilitator

Langkah 9: Fasilitator menjelaskan pokok bahasan kedelapan


Kegiatan Fasilitator:
1. Fasilitator menanyakan kepada peserta tentang pembagian kategori Penyakit Akibat Kerja pada
Konsensus yang diketahui oleh peserta
2. Fasilitator menjelaskan tentang pembagian kategori Penyakit Akibat Kerja pada Konsensus
3. Faslilitator bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta

Kegiatan Peserta:
1.Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
2. Peserta mendengarkan dengan seksama
3. Peserta menjawab pertanyaan fasilitator

Langkah 10: Fasilitator menjelaskan pokok bahasan kesembilan


Kegiatan Fasilitator:
1. Fasilitator menanyakan kepada peserta tentang rujuk dan rujuk balik Dugaan Penyakit Akibat Kerja
yang diketahui oleh peserta
2. Fasilitator menjelaskan tentang rujuk dan rujuk balik Dugaan Penyakit Akibat Kerja
3. Faslilitator bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta

Kegiatan Peserta:
1.Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
2. Peserta mendengarkan dengan seksama
3. Peserta menjawab pertanyaan fasilitator

37
Langkah 11: Fasilitator menjelaskan pokok bahasan kesepuluh
Kegiatan Fasilitator:
1. Fasilitator menanyakan kepada peserta tentang Alur penentuan kategori A1, A2, B dan C
yang diketahui oleh peserta
2. Fasilitator menjelaskan tentang Alur penentuan kategori A1, A2, B dan C
3. Faslilitator bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta

Kegiatan Peserta:
1.Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
2. Peserta mendengarkan dengan seksama
3. Peserta menjawab pertanyaan fasilitator

Langkah 12: Fasilitator menjelaskan pokok bahasan kesebelas


Kegiatan Fasilitator:
1. Fasilitator menanyakan kepada peserta tentang skema alur pembiayaan diagnosis Penyakit Akibat
Kerja yang diketahui oleh peserta
2. Fasilitator menjelaskan tentang skema alur pembiayaan diagnosis Penyakit Akibat Kerja
3. Faslilitator bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta

Kegiatan Peserta:
1.Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
2. Peserta mendengarkan dengan seksama
3. Peserta menjawab pertanyaan fasilitator

Langkah 13: Fasilitator menjelaskan pokok bahasan kedua belas


Kegiatan Fasilitator:
1. Fasilitator menanyakan kepada peserta tentang penjamin pembiayaan Penyakit Akibat Kerja
yang diketahui oleh peserta
2. Fasilitator menjelaskan tentang penjamin pembiayaan Penyakit Akibat Kerja
3. Faslilitator bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta

Kegiatan Peserta:
1.Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
2. Peserta mendengarkan dengan seksama
3. Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
4. Peserta melakukan pengisian berkas pasien kedokteran okupasi sesuai arahan fasilitator

VII.URAIAN MATERI

Pokok Bahasan 1
Pengertian Penyakit Akibat Kerja

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 56 tahun 2016, pengertian PAK adalah sebagai berikut: Penyakit
Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan atau lingkungan kerja termasuk penyakit
terkait kerja.
Penyakit terkait kerja adalah penyakit yang mempunyai beberapa agen penyebab dengan faktor pekerjaan
dan atau lingkungan kerja memegang peranan bersama dengan faktor risiko lainnya.

Ada istilah :
Penyakit yang diperberat oleh pekerjaan ( Bukan PAK), yaitu :

38
penyakit yang terjadi pada populasi pekerja tanpa adanya agen penyebab di tempat kerja, namun dapat diperberat oleh
kondisi lingkungan pekerjaan yang buruk bagi kesehatan

Kriteria Penyakit Akibat Kerja


Untuk memastikan suatu penyakit adalah PAK harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
 Adanya hubungan antara pajanan yang spesifik dengan penyakit.

 Adanya fakta bahwa frekuensi kejadian penyakit pada populasi pekerja lebih tinggi daripada
masyarakat.

 Penyakit dapat dicegah dengan melakukan tindakan preventif.

 Dibuktikan dengan 7 langkah diagnosis okupasi sebagai penentuan Penyakit Akibat Kerja atau bukan
PAK

Dalam mendiagnosis Penyakit Akibat Kerja terdapat 3 (tiga) prinsip yang harus diperhatikan:
1. Hubungan antara pajanan yang spesifik dengan penyakit.
2. Frekuensi kejadian penyakit pada populasi pekerja lebih tinggi daripada pada masyarakat.
3. Penyakit dapat dicegah dengan melakukan tindakan promosi kesehatan dan pencegahan penyakit.

Pokok Bahasan 2
Faktor Risiko Penyebab Terjadinya Penyakit Akibat Kerja

Penyebab Penyakit Akibat Kerja dibagi menjadi 5 (lima) golongan, yaitu:


1. Golongan fisika: Suhu ekstrem, bising, pencahayaan, vibrasi, radiasi pengion dan non pengion dan tekanan
udara
2. Golongan kimia: Semua bahan kimia dalam bentuk debu, uap, uap logam, gas, larutan, kabut, partikel nano
dan lain-lain.
3. Golongan biologi: Bakteri, virus, jamur, bioaerosol dan lain-lain.
4. Golongan ergonomi: Angkat angkut berat, posisi kerja janggal, posisi kerja statis, gerak
repetitif, penerangan, Visual Display Terminal (VDT) dan lain-lain.
5. Golongan psikososial: Beban kerja kualitatif dan kuantitatif, organisasi kerja, kerja
monoton, hubungan interpersonal, kerja shift, lokasi kerja dan lain-lain.

Untuk mengetahui pajanan di tempat kerja, maka perlu diketahui:


1. Pajanan yang ada saat ini dan sebelumnya (fisika, biologi, kimia, ergonomi, psikososial dan gaya
hidup), dengan membuat daftar pertanyaan.

2. Riwayat mengalami kecelakaan atau kejadian dalam penggunaan bahan kimia, misalnya menumpahkan
bahan.

3. Bekerja dengan pajanan pada tempat yang terbatas tanpa menggunakan alat pelindung diri yang
sesuai.

Pokok Bahasan 3
Cara Diagnosis Penyakit Akibat Kerja

Diagnosis Penyakit Akibat Kerja memiliki :


1. Aspek medik: dasar tata laksana medis dan tata laksana Penyakit Akibat Kerja serta membatasi
kecacatan dan keparahan penyakit.
2. Aspek komunitas: untuk melindungi pekerja lain
3. Aspek legal: untuk memenuhi hak pekerja

39
Diagnosis Penyakit Akibat Kerja dilakukan dengan pendekatan sistematis untuk mendapatkan informasi yang
diperlukan dalam melakukan interpretasi secara tepat. Pendekatan tersebut dilakukan melalui 7 (tujuh)
langkah diagnosis Penyakit Akibat Kerja sebagai berikut :
Langkah 1 : penegakan diagnosis klinis;
Langkah 2 :penentuan pajanan yang dialami pekerja di tempat kerja;
Langkah 3 :penentuan hubungan antara pajanan dengan penyakit;
Langkah 4 : penentuan kecukupan pajanan;
Langkah 5 : penentuan faktor individu yang berperan;
Langkah 6 : penentuan faktor lain di luar tempat kerja; dan
Langkah 7 :penentuan diagnosis okupasi.
Tujuh langkah diagnosis PAK :
1. Penegakan diagnosis klinis
Untuk menyatakan, bahwa suatu penyakit adalah akibat kerja, harus dibuat Diagnosis klinis
terlebih dahulu.
2. Menentukan pajanan yang dialami individu tersebut dalam pakerjaan
Identifikasi semua pajanan yang dialami oleh pekerja tersebut. Untuk itu perlu dilakukan anamnesis
pekerjaan yang lengkap dan kalau perlu dilakukan pengamatan di tempat kerja dan mengkaji data
sekunder yang ada.
3. Menentukan apakah ada hubungan pajanan dengan penyakit
Untuk menentukan adanya hubungan antara pajanan dan penyakit, harus berdasarkan dari bukti
yang ada ( evidence based)
4. Menentukan apakah pajanan yang dialami cukup besar

Penentuan besarnya pajanan, dapat dilakukan secara kuantitatif dengan melihat data pengukuran
lingkungan dan masa kerja atau secara kualitatif dengan mengamati cara pekerja bekerja.
5. Menentukan apakah data faktor-faktor individu yang berperan

Faktor individu apakah ada yang dapat mempercepat atau memperlambat kemungkinan terjadi penyakit
akibat hubungan kerja, misalnya kebiasan merokok,faktor genetik atau kebiasaan memakai alat
pelindung dengan baik.
6. Menentukan apakah ada faktor lain diluar pekerjaan

Apakah ada faktor di luar pekerjaan yang juga dapat menjadi penyebab penyakit, misalnya kanker
paru selain dapat disebabkan oleh asbes, juga dapat disebabkan oleh kebiasaan merokok.
7. Menentukan diagnosis akibat kerja
Apabila dapat dibuktikan, bahwa paling sedikit ada satu faktor pekerjaan yang berperan sebagai
penyebab penyakit,maka penyakit tersebut dapat dikategorikan sebagai PAK.

Pokok Bahasan 4
Penatalaksanaan PAK

Tata laksana Penyakit Akibat Kerja secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu tata laksana medis dan tata
laksana okupasi.
1. Tata Laksana Medis
Tata laksana medis dilakukan setelah diagnosis klinis pada langkah pertama diagnosis Penyakit Akibat
Kerja ditegakkan. Tata laksana medis berupa rawat jalan dan/atau rawat inap yang dapat dilakukan di
fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan oleh dokter
sesuai dengan kompetensinya.
Terapi yang diberikan berupa medikamentosa dan/atau non medikamentosa seperti edukasi, exercise,
fisioterapi, konseling, psikoterapi dan nutrisi.

Rujukan klinis dilakukan apabila diagnosis klinis belum dapat ditegakkan karena :
40
a. Timbul keraguan dari dokter yang melakukan pemeriksaan.
b. Sumber daya manusia, sarana, dan prasarana yang tidak memadai.

2. Tata Laksana Okupasi


Tata laksana okupasi diberikan setelah diagnosis PAK ditegakkan. Sasaran tata laksana okupasi adalah
individu pekerja dan komunitas pekerja.

Tata laksana okupasi pada individu pekerja terdiri dari penetapan kelaikan kerja, program kembali bekerja
dan penentuan kecacatan.
A. Tata laksana Okupasi pada Individu Pekerja

A.1) Penetapan Kelaikan Kerja


Penetapan kelaikan kerja meliputi penilaian risiko,kapasitas dan tolerasi pekerja dengan tuntutan
pekerjaan yang ada di tempat kerja. Hasil penilaian digunakan untuk menentukan pekerja tersebut
dapat kembali bekerja pada pekerjaan sebelumnya, bekerja
dengan keterbatasan (limitasi) ataupun restriksi tertentu atau berganti pekerjaan yang sesuai dengan
kondisi kesehatan pekerja.

Rujukan penentuan kelaikan kerja diperlukan jika:


a) status kesehatan pasien kompleks (melibatkan lebih dari 1(satu) sistem organ atau melibatkan hanya
1(satu) sistem organ tetapi sistem organ yang vital).
b) pajanan faktor risiko yang ada di tempat kerja kompleks dan saling berkaitan.
c) terdapat keraguan dalam menentukan besaran risiko yang ada dan risiko yang dapat diterima (acceptable
risk).
d) terdapat ketidakpuasan pekerja atas penetapan kelaikan kerja.
e) penetapan kelaikan kerja diperlukan untuk penetapakan kelaikan kerja calon kepala daerah atau pimpinan
lembaga tinggi negara lainnya.
f) ada permintaan dari bagian kepegawaian atau bagian keselamatan dan kesehatan kerja suatu perusahaan.
g) SDM dan sarana prasarana di fasilitas pelayanan kesehatan tidak memadai.

A.2) Program Kembali Bekerja (return to work)


Suatu upaya terencana agar pekerja yang mengalami cedera/sakit dapat segera kembali bekerja secara
produktif, aman dan berkelanjutan. Dalam upaya ini termasuk pemulihan medis, pemulihan
kerja,pelatihan keterampilan, penyesuaian pekerjaan, penyediaan pekerjaan baru, penatalaksanaan
biaya asuransi dan kompensasi serta partisipasi pemberi kerja.

Rujukan program kembali bekerja dilakukan jika:


a) diperlukan kunjungan ke tempat kerja pasien untuk melihat pekerjaan lain yang tersedia yang cocok
dengan kondisi medis pasien.
b) status kesehatan pasien kompleks (melibatkan lebih dari 1(satu) sistem organ atau melibatkan hanya
1(satu) sistem organ tetapi sistem organ yang vital).
c) pajanan faktor risiko yang ada di tempat kerja kompleks dan saling berkaitan.
d) terdapat keraguan dalam menentukan besaran risiko yang ada dan risiko yang dapat diterima (acceptable
risk).
e) terdapat ketidakpuasan pekerja atas program kembali bekerja.

A. 3) Penentuan Kecacatan

41
Penyakit Akibat Kerja dapat menimbulkan disabilitas akibat kecacatan anatomi maupun fungsi yang
perlu dinilai persentasenya sehingga pekerja berhak mendapatkan kompensasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

Rujukan penentuan kecacatan diperlukan jika:


a) Jenis kecacatan belum ada dalam pedoman penentuan kecacatan.
b) Terdapat ketidakpuasan pekerja atas penetapan persentase kecacatan.
c) Terdapat keberatan dari pihak pemberi jaminan pelayanan kesehatan atas penetapan persentase
kecacatan.
d) Diperlukan untuk kepentingan legal seperti kompensasi ganti rugi di luar dari yang
dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

B. Tata Laksana Okupasi pada Komunitas Pekerja


Tata laksana okupasi pada komunitas pekerja terdiri dari pelayanan pencegahan Penyakit Akibat Kerja dan
penemuan dini Penyakit Akibat Kerja.
B.1) Upaya Pencegahan Penyakit Akibat Kerja : Pada umumnya Penyakit Akibat Kerja bersifat irreversible
sehingga tindakan pencegahan sangat diperlukan, karena bila tidak dilakukan akan menimbulkan
Penyakit Akibat Kerja pada pekerja lain dengan risiko pekerjaan yang sama.

Upaya pencegahan Penyakit Akibat Kerja antara lain:


a) Melakukan identifikasi potensi bahaya Penyakit Akibat Kerja.
b) Promosi kesehatan kerja sesuai dengan hasil identifikasi potensi bahaya yang ada di tempat kerja.
c) Melakukan pengendalian potensi bahaya di tempat kerja.
d) Pemberian informasi mengenai alat pelindung diri yang sesuai dengan potensi bahaya yang ada di tempat
kerja dan cara pemakaian alat pelindung diri yang benar.
e) Pemberian imunisasi bagi pekerja yang terpajan dengan agen biologi tertentu.

B.2) Penemuan Dini Penyakit Akibat Kerja


Penemuan dini Penyakit Akibat Kerja dilakukan dengan :
a) pemeriksaan kesehatan pra kerja
b) pemeriksaan berkala
c) pemeriksaan khusus
dilakukan sesuai indikasi bila ditemukan ada keluhan dan/atau potensi bahaya di tempat kerja, sebagai
pemeriksaan lanjutan dari pemeriksaan berkala dan menjelang masa akhir kerja.
d) surveilans kesehatan pekerja dan lingkungan kerja
Pemeriksaan kesehatan dilakukan sesuai potensi bahaya yang dihadapi di tempat kerja. Hal ini merupakan
bagian dari surveilans kesehatan pekerja. Data surveilans kesehatan pekerja dihubungkan dengan data
surveilans lingkungan kerja untuk mengetahui keterkaitan penyakit dengan potensi bahaya di tempat
kerja.

Pokok Bahasan 5
Berkas pasien kedokteran okupasi (berkas form Kedokteran okupasi atau Medical record)
Berkas pasien kedokteran okupasi selengkapnya tercantum pada lampiran

Berkas kedokteran okupasi terdiri dari


 identitas pasien,
 Anamnesis penyakit: Keluhan utama, riwayat perjalanan penyakit sekarang dan riwayat penyakit
dahulu, riwayat penyakit dalam keluarga, riwayat obstetric khusus perempuan
 Anamnesis pekerjaan: riwayat pekerjaan sebelumnya, riwayat pejanan di tempat kerja,
 Alur proses kerja
 Identifikasi bahaya potensial

42
 Body map Discomfort (bila kasus otot rangka)
 Brief survey (bila kasus otot rangka)
 Pemeriksaan fisik: Tanda tanda vital, kepala, mata, telinga, tenggorokan, leher, dada, paru, jantung,
punggung, ekstremitas atas, ekstremitas bawah
 Pemeriksaan status lokalis
 Diagnosis Kerja
 Diagnosis Okupasi
 Tatalaksana Medis dan non medis

FORMULIR
STATUS MEDIS PENYAKIT AKIBAT KERJA

No. Rekam Medis : Praktik Mandiri / Klinik / Puskesmas / RS


:

Nama : Jenis Kelamin : 1. Laki-laki


2. Perempuan

Alamat : Tempat/tanggal lahir :

Pekerjaan: Pendidikan
(lingkari)
Nama Perusahaan :
1. tamat SD 4. D3/ Akademi
Jenis Industri: 2. tamat SMP 5. S1
3. tamat SMA 6. S2/S3
Kepesertaan Jaminan : (lingkari)
1. BPJS Kesehatan
2. BPJS Ketenagakerjaan / Taspen/ ASABRI
3. Lainnya ....
4. Tidak ada

I. DIAGNOSIS KLINIS - Langkah 1

A. Anamnesis

Keluhan utama
(termasuk keluhan yang masih dirasakan pada kunjungan
ulangan, harapan kekhawatiran, persepsi pasien mengenai
keluhan/penyakit )
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
Riwayat penyakit, riwayat penyakit keluarga (yang terkait)

43
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
B. Temuan Klinis (pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan
data obyektif lainnya)

......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
C. Diagnosis Klinis

......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
D. Diagnosis Diferensial (jika ada)

......................................................................................................
......................................................................................................
............

II. DIAGNOSIS OKUPASI

A. Apakah Terdapat Pajanan Yang Dialami Pekerja di Tempat Kerja –


Langkah 2
1. Tuliskan secara rinci jenis pekerjaan saat ini dan pekerjaan dahulu
(termasuk tempat kerja dan lama/masa kerja)
............................................................................................................
......................................................................................................
............................................................................................................
......................................................................................................
 Uraian tugas/pekerjaan

(cara /proses bekerja yang dianggap berisiko untuk terjadinya


keluhan, bahan/material yang dipergunakan, Alat Pelindung Diri
yang dipergunakan)
............................................................................................................
44
............................................................................................................
............................................................................................................
............................................................................................................
........................................................................
 Pajanan / Hazard / Agen Yang Terkait dengan Diagnosis Klinis

(hazard fisika, kimia, biologi, ergonomi dan psikososial yang dialami


saat bekerja)
.........................................................................................................
.........................................................................................................
............................................................................................................
......................................................................................................
B. Apakah Ada Hubungan Antara Pajanan Dengan Diagnosis Klinis –
Langkah 3
(evidence Based, termasuk ditanyakan apakah keluhan berkurang
saat libur atau keluhan bertambah setelah bekerja beberapa saat)
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
C. Apakah Besarnya Pajanan Cukup – Langkah 4

(lama terpajan perhari, masa kerja, pemakaian alat pelindung diri,


data lingkungan jika ada).
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
D. Apakah Ada Faktor Individu Yang Berperan – Langkah 5

(singkirkan faktor individu yang menjadi faktor perancu)


......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
E. Apakah Ada Faktor Lain di Luar Tempat Kerja – Langkah 6

(singkirkan faktor lain di luar tempat kerja yang menjadi faktor


perancu)
......................................................................................................
......

45
......................................................................................................
......
F. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja – Langkah 7

(ICD Penyakit Akibat Kerja)


......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......

I. TATALAKSANA
A. Tatalaksana Medis
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......
B. Tatalaksana Okupasi
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......................................................................................................
............
C. Keterangan Rujuk (Jika dirujuk)
......................................................................................................
......
......................................................................................................
......

Tanggal ...... Bulan ...... Tahun .........

dr. _
No. SIP.

Pokok Bahasan 6
Konsensus Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja di Indonesia

Latar Belakang Konsensus


Setiap pekerjaan memiliki potensi untuk menimbulkan masalah kesehatan yang disebabkan

46
oleh proses kerja, lingkungan kerja serta perilaku kerja. Hal ini menyebabkan pekerja
tidak hanya berisiko menderita penyakit menular dan tidak menular sebagaimana yang dialami
masyarakat luas tetapi pekerja juga dapat menderita Penyakit Akibat Kerja dan/atau penyakit
terkait kerja. Penyakit Akibat Kerja (PAK) bukan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat
karena Penyakit Akibat Kerja terjadi akibat adanya pengaruh faktor risiko yang disebabkan oleh
pekerjaan dan/atau lingkungan kerja.

Berdasarkan data BPS tahun 2018 menyatakan bahwa sekitar 54% penduduk Indonesia berada pada
usia kerja dan sebagian besarnya merupakan pekerja. International Labour Organization (ILO)
tahun 2013 menyebutkan bahwa setiap tahun ditemukan 2,34 juta orang meninggal terkait
pekerjaan baik penyakit maupun kecelakaan dan sekitar 2,02 juta kasus meninggal terkait Penyakit
Akibat Kerja. Menurut kajian WHO menunjukkan bahaya di tempat kerja merupakan penyebab
atau memberikan kontribusi bagi kematian dini jutaan orang di seluruh dunia dan
mengakibatkan penyakit serta kecacatan bagi lebih dari ratusan orang setiap tahunnya. Dari 2,2 juta
kematian/tahun, 800.000 diantaranya disebabkan faktor risiko di tempat kerja, seperti bahan kimia
karsinogenik, partikulat yang ada di udara, risiko ergonomik, penyakit infeksi HIV/AIDS dan TBCC.

Besarnya jumlah pekerja di Indonesia dan masih tingginya risiko kesehatan di tempat kerja
membawa konsekuensi kemungkinan tingginya gangguan kesehatan yang disebabkan/terkait
dengan aktifitas dan lingkungan kerja. Namun di Indonesia gambaran penyakit akibat
kerja saat ini seperti fenomena “Puncak Gunung Es”, dimana Penyakit Akibat Kerja yang dilaporkan
masih sangat kecil. Pada tahun 2017, kasus PAK yang dilaporkan ke BPJS Ketenagakerjaan hanya
berjumlah 107 kasus pertahun. Bila dibandingkan dengan pekerja Indonesia yang berjumlah
121,02 juta orang maka jumlah kasus PAK yang dilaporkan masih sangat rendah. Hal ini
diantaranya disebabkan karena kompetensi tenaga kesehatan yang belum optimal dalam
mendiagnosis Penyakit Akibat Kerja. Minimnya identifikasi Penyakit Akibat Kerja oleh tenaga
kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan menyebabkan tempat kerja kurang mendapatkan “feed
back” dalam upaya pencegahan dan pengendalian hazard di lingkungan kerja. Selain itu
deteksi dini Penyakit Akibat Kerja seharusnya dapat membatasi timbulnya keparahan penyakit dan
mencegah terjadinya kecacatan.

Selama berjalannya SJSN sejak tahun 2015, telah terjadi ketidakseimbangan pemanfaatan
jaminan pelayanan kesehatan antar berbagai badan penyelenggara, dimana Penyakit Akibat Kerja
yang seharusnya ditanggung penjamin bidang Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan, PT.
TASPEN, PT. ASABRI), maka menjadi tanggungan BPJS lain, karena tidak teridentifikasi oleh fasilitas
pelayanan kesehatan.

Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan penguatan fasilitas pelayanan kesehatan dalam
mendiagnosis Penyakit Akibat Kerja. Sehingga Organisasi Profesi Kedokteran perlu menyusun
konsensus Penyakit Akibat Kerja di Indonesia yang dapat menjadi
acuan bagi dokter untuk melakukan pelayanan Penyakit Akibat Kerja di semua fasilitas pelayanan
kesehatan di Indonesia.

Pokok Bahasan 7
Pengertian dan Tujuan Konsensus

Pengertian

Tujuan konsensus
Adanya kesepakatan Organisasi Profesi tentang Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja di Indonesia.
47
Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan/atau lingkungan kerja.
Diagnosis Klinis adalah penentuan jenis penyakit oleh dokter berdasarkan tanda dan gejala serta
pemeriksaan fisik dan laboratorium dengan menggunakan metode, alat dan pemeriksaan
penunjang lainnya.
Diagnosis Okupasi adalah penegakkan diagnosis Penyakit Akibat Kerja yang dilakukan melalui
pendekatan 7 langkah diagnosa.
Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja adalah rangkaian pelayanan kesehatan yang komprehensif pada
pekerja yang terdiagnosa Penyakit Akibat Kerja, meliputi preventif, promotif, kuratif dan
rehabilitatif.
Konsensus adalah kesepakatan atau permufakatan bersama yang dicapai melalui kebulatan
suara.

Pokok Bahasan 8
Pembagian kategori Penyakit Akibat Kerja pada konsensus

Pembagian Kategori Penetapan Diagnosis Penyakit Akibat Kerja


Berdasarkan jenis pekerjaan dan tingkat kesulitan dalam mendiagnosis Penyakit Akibat
Kerja serta ketersediaan fasilitas dan sumber daya di layanan kesehatan, maka proses diagnosis
Penyakit Akibat Kerja dibagi menjadi 3 kategori :

A. Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu

1. Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu yang dapat
ditegakkan di FKTP (A1).
Kriteria :
● Diagnosis klinis dapat ditegakkan di FKTP.
● Penyakit yang memiliki penyebab yang jelas dan spesifik.
● Memiliki hubungan waktu antara pajanan dan timbulnya penyakit yang jelas.
● Besar pajanan dapat diakui/diterima secara umum.
● Pengaruh faktor individu dan faktor lain diluar tempat kerja dapat
disingkirkan dengan sederhana.
● Untuk penentuan diagnosa Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis
Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkan di FKTP (A1) dilakukan oleh dokter
yang memiliki kompetensi diagnosis Penyakit Akibat Kerja di FKTP
● Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu yang dapat
ditegakkan di FKTP (A1) dan kriterianya, tercantum dalam lampiran.
● Penyakit Akibat Kerja di luar yang tercantum dalam lampiran Penyakit Akibat
Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkan di
FKTP (A1) dan kriterianya, masuk dalam kategori Dugaan Penyakit Akibat Kerja
(B)
● Dalam hal dokter yang memiliki kompetensi dalam diagnosis Penyakit Akibat
Kerja atas dasar pertimbangan medis yang kuat berdasarkan pendekatan 7
(tujuh) langkah diagnosa dan dapat disertai data dukung yang lengkap seperti
hasil pemeriksaan kesehatan pra kerja, data lingkungan kerja, data
riwayat penyakit dan lain lain, maka dokter
tersebut dapat menetapkan Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis
Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkan di FKTP.
● Termasuk dalam kelompok Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis
Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkan di FKTP adalah gangguan atau penyakit

48
yang disebabkan langsung oleh kecelakaan kerja.

2. Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan tertentu yang dapat
ditegakkan di FKRTL (A2)
Kriteria :
● Diagnosis klinis membutuhkan fasilitas pemeriksaan penunjang atau dokter
spesialis terkait di FKRTL.
● Penyakit yang memiliki penyebab yang jelas dan spesifik.
● Memiliki hubungan waktu antara pajanan dan timbulnya penyakit yang jelas.
● Besaran pajanan dapat diakui/diterima secara umum.
● Pengaruh faktor individu dan faktor lain diluar tempat kerja dapat
disingkirkan dengan sederhana.
● Untuk penentuan diagnosis Penyakit Akibat Kerjayang Spesifik pada Jenis
Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkan di FKRTL (A2) dilakukan oleh dokter
spesialis yang memiliki kompetensi diagnosis Penyakit Akibat Kerja di FKRTL.
● Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu yang dapat
ditegakkan di FKRTL (A2) dan kriterianya, tercantum dalam lampiran.
● Penyakit Akibat Kerja di luar yang tercantum dalam lampiran Penyakit Akibat
Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkan di
FKRTL (A2) dan kriterianya, masuk dalam kategori Dugaan Penyakit Akibat Kerja
(B)

B. Dugaan Penyakit Akibat Kerja (B)


Semua penyakit di luar kriteria A1 dan A2, masuk dalam Dugaan Penyakit Akibat Kerja,
dimana memiliki kriteria sebagai berikut :
● Diagnosis klinis membutuhkan pemeriksaan spesialistik di FKRTL atau
bekerjasama antar dokter spesialis.
● Penyakit memiliki satu atau lebih agen penyebab.
● Membutuhkan keahlian khusus untuk menginterpretasikan hubungan waktu dan
besarnya pajanan yang dapat menimbulkan Penyakit Akibat Kerja.
● Membutuhkan keahlian khusus untuk menginterpretasikan pengaruh faktor individu
dan faktor lain di luar tempat kerja yang dapat menjadi perancu.
● Penentuan diagnosis Penyakit Akibat Kerja dilakukan oleh Dokter Spesialis
Kedokteran Okupasi, dan dapat oleh Dokter Spesialis Kedokteran Kelautan Dokter
Spesialis Kedokteran Penerbangan sesuai dengan kompetensi masing-masing.

C. Penyakit Akibat Kerja yang Kompleks (C)]


Kriteria:
● Memiliki beberapa kemungkinan pajanan yang kompleks sebagai penyebab penyakit
● Penyakit baru yang diduga Penyakit Akibat Kerja (penyakit baru dan/atau
disebabkan pajanan baru).
● Membutuhkan peran lintas profesi dalam menegakkan diagnosis Penyakit Akibat
Kerja
● Adanya keraguan dan atau ketidakpuasan pihak tertentu tentang diagnosis Penyakit
Akibat Kerja
● Penentuan akhir diagnosa Penyakit Akibat Kerja ditetapkan oleh Dokter Spesialis
Kedokteran Okupasi, dan dapat oleh Dokter Spesialis Kedokteran Kelautan,
Dokter Spesialis Kedokteran Penerbangan sesuai dengan kompetensi
masing-masing.

49
Pokok Bahasan 9
Rujuk dan rujuk balik dugaan PAK

RUJUK DAN RUJUK BALIK


a. Rujukan klinis dilakukan apabila diagnosis klinis belum dapat ditegakkan karena ada
keraguan dari dokter yang melakukan pemeriksaan, sumber daya manusia, sarana, dan
prasarana yang tidak memadai.
b. Rujukan okupasi diperlukan jika:
- Status kesehatan pasien kompleks (melibatkan lebih dari 1(satu) sistem organ
atau melibatkan hanya 1 (satu) sistem organ tetapi sistem organ yang vital).
- Pajanan faktor risiko yang ada di tempat kerja kompleks dan saling
berkaitan.
- Terdapat keraguan dalam menentukan besaran risiko yang ada dan risiko yang
dapat diterima (acceptable risk).
- SDM dan sarana prasarana di fasilitas pelayanan kesehatan tidak memadai.
- Diperlukan penetapan kelaikan kerja dan perhitungan persentase kecacatan pada
kondisi yang
tidak dapat dilakukan di FKTP
- Perhitungan kecacatan dimana jenis kecacatan belum ada dalam pedoman
penentuan kecacatan.
c. Pasien yang didiagnosis Penyakit Akibat Kerja di FKRTL atau dirujuk dari FKTP dapat
dirujuk balik ke FKTP sesuai pertimbangan dokter di FKRTL.
d. Rujukan horizontal antar fasilitas kesehatan yang setara dimungkinkan (kepada faskes
yang memiliki dokter yang kompeten dalam diagnosis Penyakit Akibat Kerja), apabila
dalam satu wilayah belum terdapat sumber daya yang dapat memenuhi layanan yang
dibutuhkan untuk tatalaksana Penyakit Akibat Kerja.
e. Dalam hal suatu wilayah belum memiliki Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi, dokter
Spesialis Kedokteran Penerbangan dan Dokter Spesialis Kedokteran Kelautan maka
Organisasi Profesi dapat menunjuk salah satu anggotanya sebagai pengampu di wilayah
tersebut.

Pokok Bahasan 10
Alur penentuan kategori A1, A2, B dan C

Kategori penetapan diagnosis Penyakit Akibat Kerja

50
Berdasarkan jenis pekerjaan dan tingkat kesulitan dalam mendiagnosis Penyakit Akibat
Kerja serta ketersediaan fasilitas dan sumber daya di layanan kesehatan, maka proses diagnosis
Penyakit Akibat Kerja dibagi menjadi 3 kategori

A.Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu

1. Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu yang dapat
ditegakkan di FKTP (A1).
Kriteria :
● Diagnosis klinis dapat ditegakkan di FKTP.
● Penyakit yang memiliki penyebab yang jelas dan spesifik.
● Memiliki hubungan waktu antara pajanan dan timbulnya penyakit yang jelas.
● Besar pajanan dapat diakui/diterima secara umum.
● Pengaruh faktor individu dan faktor lain diluar tempat kerja dapat
disingkirkan dengan sederhana.
● Untuk penentuan diagnosa Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis
Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkan di FKTP (A1) dilakukan oleh dokter
yang memiliki kompetensi diagnosis Penyakit Akibat Kerja di FKTP
● Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu yang dapat
ditegakkan di FKTP (A1) dan kriterianya, tercantum dalam lampiran.
● Penyakit Akibat Kerja di luar yang tercantum dalam lampiran Penyakit Akibat
Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkan di
FKTP (A1) dan kriterianya, masuk dalam kategori Dugaan Penyakit Akibat Kerja
(B)
● Dalam hal dokter yang memiliki kompetensi dalam diagnosis Penyakit Akibat
Kerja atas dasar pertimbangan medis yang kuat berdasarkan pendekatan 7
(tujuh) langkah diagnosa dan dapat disertai data dukung yang lengkap seperti
hasil pemeriksaan kesehatan pra kerja, data lingkungan kerja, data
riwayat penyakit dan lain lain, maka dokter
tersebut dapat menetapkan Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis
Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkan di FKTP.
● Termasuk dalam kelompok Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis
Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkan di FKTP adalah gangguan atau penyakit
yang disebabkan langsung oleh kecelakaan kerja.

2. Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan tertentu yang dapat
ditegakkan di FKRTL (A2)
Kriteria :
● Diagnosis klinis membutuhkan fasilitas pemeriksaan penunjang atau dokter
spesialis terkait di FKRTL.
● Penyakit yang memiliki penyebab yang jelas dan spesifik.
● Memiliki hubungan waktu antara pajanan dan timbulnya penyakit yang jelas.
● Besaran pajanan dapat diakui/diterima secara umum.
● Pengaruh faktor individu dan faktor lain diluar tempat kerja dapat
disingkirkan dengan sederhana.
● Untuk penentuan diagnosis Penyakit Akibat Kerjayang Spesifik pada Jenis
Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkan di FKRTL (A2) dilakukan oleh dokter
spesialis yang memiliki kompetensi diagnosis Penyakit Akibat Kerja di FKRTL.
● Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu yang dapat
ditegakkan di FKRTL (A2) dan kriterianya, tercantum dalam lampiran.

51
● Penyakit Akibat Kerja di luar yang tercantum dalam lampiran Penyakit Akibat
Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkan di
FKRTL (A2) dan kriterianya, masuk dalam kategori Dugaan Penyakit Akibat Kerja
(B)

B. Dugaan Penyakit Akibat Kerja (B)


Semua penyakit di luar kriteria A1 dan A2, masuk dalam Dugaan Penyakit Akibat Kerja,
dimana memiliki kriteria sebagai berikut :
● Diagnosis klinis membutuhkan pemeriksaan spesialistik di FKRTL atau
bekerjasama antar dokter spesialis.
● Penyakit memiliki satu atau lebih agen penyebab.
● Membutuhkan keahlian khusus untuk menginterpretasikan hubungan waktu dan
besarnya pajanan yang dapat menimbulkan Penyakit Akibat Kerja.
● Membutuhkan keahlian khusus untuk menginterpretasikan pengaruh faktor individu
dan faktor lain di luar tempat kerja yang dapat menjadi perancu.
● Penentuan diagnosis Penyakit Akibat Kerja dilakukan oleh Dokter Spesialis
Kedokteran Okupasi, dan dapat oleh Dokter Spesialis Kedokteran Kelautan Dokter
Spesialis Kedokteran Penerbangan sesuai dengan kompetensi masing-masing.

B. Penyakit Akibat Kerja yang Kompleks (C)


Kriteria:
● Memiliki beberapa kemungkinan pajanan yang kompleks sebagai penyebab penyakit
● Penyakit baru yang diduga Penyakit Akibat Kerja (penyakit baru dan/atau
disebabkan pajanan baru).
● Membutuhkan peran lintas profesi dalam menegakkan diagnosis Penyakit Akibat
Kerja
● Adanya keraguan dan atau ketidakpuasan pihak tertentu tentang diagnosis Penyakit
Akibat Kerja
● Penentuan akhir diagnosa Penyakit Akibat Kerja ditetapkan oleh Dokter Spesialis
Kedokteran Okupasi, dan dapat oleh Dokter Spesialis Kedokteran Kelautan,
Dokter Spesialis Kedokteran Penerbangan sesuai dengan kompetensi
masing-masing.

52
Pokok Bahasan 11
Skema alur Pembiayaan Diagnosis PAK

Skema ini dapat dilihat dari Skema pembiayaan

53
Pokok Bahasan 12
Penjamin pembiayaan PAK

Pembiayaan PAK dilakukan setelah Diagnosis Penyakit Akibat Kerja sudah dapat ditegakkan. Penjamin
pembiayaan tersebut adalah BPJS Ketenagakerjaan untuk pekerja swasta, PT Taspen untuk aparat sipil
negara dan PT Asabri untuk TNI dan Polri.

Dengan adanya peraturan Menteri keuangan no 141 tahun 2018, maka Penyakit Akibat Kerja yang
masih diduga (disebut dengan Dugaan PAK) pembiayaannya untuk menegakkannya sebagai Penyakit
Akibat Kerja diberikan oleh PT Taspen untuk apparat sipil negara, BPJS Ketenagakerjaan untuk pekerja
swasta dan PT Asabri untuk TNI dan Polri

VIII.References
1. Barry S Levy David H.Wegman.Occupational Health Recognizing and preventing world related
disease.edisi ke 3
2. Week, JL, Gregory R Wagner,Kathleen M Rest, Barry S levi. A Public Health Approach to preventing
occupational Diseases and Injuries in preventing Occupational diseases and injury. Edisi ke 2,
APHA, Washington, 2005
3. Soemarko DS, Sulistomo AB. Tujuh Langkah Diagnosis Okupasi untuk mendeteksi Penyakit Akibat
Kerja. Perhimpunan Spesialis KEdokteran Okupasi Indonesia, Jakarta 2011.
4. Permenkes No 56 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan pelayanan Penyakit Akibat Kerja
5. Occupational Diseases 1986
6. Direktorat Kesehatan Kerja dan Olaheraga. Direktorat Jenderal Kesehatan
Masyarakat.Kementerian .Kesehatan RI. Konsensua Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja di
Indonesia. Jakarta 14 Desember 2018

54
MATERI INTI 3
TATALAKSANA PENYAKIT AKIBAT KERJA KARENA PAJANAN ERGONOMI
Jumlah JPL : 4 (T : 1, P : 3, PL : 0 )

I. DESKRIPSI SINGKAT
Dalam kesehariannya, pekerja menggunakan sistem alat gerak yang terdiri dari otot, tendon, ligament,
tulang dan sendi mereka untuk bergerak, bekerja, berjalan, duduk, mengangkat, menurunkan, menjinjing,
menarik atau mendorong barang-barang sesuai tugasnya masing-masing. Setiap tugas yang disebutkan
tersebut tergolong dalam kelompok bahaya potensial ergonomi yang merupakan satu dari 5 kelompok
pajanan di tempat kerja. Bila pekerjaan atau cara pekerja melaksanakan tugasnya terlalu membebani
tubuh pekerja atau dengan kata lain tidak mengikuti kaidah ergonomi akan menyebabkan keluhan pada
sistem gerak tubuh seperti pegal linu dan nyeri otot yang pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya
cedera/Gangguan Otot Tulang-Rangka Akibat Kerja (GOTRAK)/atau Work-related Musculo Sceletal
Disorders (WMSDs).

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


A. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM
Setelah mengikuti materi ini peserta mampu melakukan tatalaksana Penyakit Akibat Kerja karena
pajanan ergonomi
B. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini peserta mampu:
1. Menjelaskan prinsip 7 langkah diagnosis Penyakit Akibat Kerja karena pajanan ergonomi
2. Melakukan Tatalaksana penyakit Carpal Tunnel Syndrom Akibat Kerja (Penyakit Akibat Kerja
yang spesifik pada pekerjaan tertentu)
3. Melakukan Tatalaksana Penyakit Low Back Pain akibat kerja (Penyakit Akibat Kerja yang spesifik
pada pekerjaan tertentu)
4. Melakukan Tatalaksana Penyakit Hernia Nucleus Purposus (HNP) Akibat Kerja (Penyakit Akibat
Kerja yang spesifik pada pekerjaan tertentu).

III. POKOK BAHASAN


Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut
Pokok bahasan 1. PRINSIP 7 LANGKAH DIAGNOSIS PENYAKIT AKIBAT KERJA KARENA PAJANAN
ERGONOMI
Pokok bahasan 2. TATALAKSANA PENYAKIT CARPAL TUNNEL SYNDROME AKIBAT KERJA (PENYAKIT
AKIBAT KERJA YANG SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
Sub pokok bahasan :
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
b. Tatalaksana
Pokok bahasan 2. TATALAKSANA PENYAKIT CARPAL TUNNEL SYNDROME AKIBAT KERJA (PENYAKIT
AKIBAT KERJA YANG SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
Sub pokok bahasan :
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
b. Tatalaksana
Pokok bahasan 3. TATALAKSANA PENYAKIT LOW BACK PAIN AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT KERJA
YANG SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
Sub pokok bahasan :
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
b. Tatalaksana
Pokok bahasan 4. TATALAKSANA PENYAKIT HERNIA NUCLEUS PULPOSUS AKIBAT KERJA (PENYAKIT
AKIBAT KERJA YANG SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
55
Sub pokok bahasan :
c. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
d. Tatalaksana

IV. METODE
 Ceramah & tanya jawab
 Role play
 Presentasi peserta dan tanya jawab

V. MEDIA ALAT BANTU


 Bahan tayang/ power point
 Modul
 Laptop/Komputer
 LCD
 Laser pointer
 ATK
 Petunjuk role play

V. LANGKAH PEMBELAJARAN
LANGKAH 1: Pengkondisian
a. Fasilitator memberi salam dan menyapa dengan ramah dan hangat
b. Fasilitator memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap instansi dan judul materi
yang disampaikan.
c. Menciptakan suasana nyaman dan memotivasi peserta agar siap menerima materi.
LANGKAH 2:
Penyampaian Pokok bahasan 1: Prinsip 7 langkah diagnosis PAK karena pajanan ergonomi
Kegiatan fasilitator:
a. Fasilitator menjelaskan prinsip 7 langkah diagnosis Penyakit Akibat Kerja karena pajanan
ergonomi dengan metoda ceramah tanya jawab.
b. Fasilitator bertanya kepada peserta tantang hal-hal yang belum dimengerti
c. Fasilitator merangkum pokok bahasan 1
Kegiatan peserta:
a. Peserta mendengarkan dan menyimak perjelasan fasilitator
b. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
c. Peserta mencatat hasil rangkuman
LANGKAH 4
Penyampaian pokok bahasan 2, sub pokok bahasan 1: Diagnosis CTS Akibat Kerja
Kegiatan fasilitator:
a. Fasilitator menjelaskan melalui metode ceramah tanya jawab:
a. Penegakan diagnosis CTS
b. Pemeriksaan fisik pada CTS
c. Pemeriksaan penunjang
d. 7 langkah diagnosis okupasi untuk menegakkan CTS Akibat kerja sesuai konsensus
tatalaksana PAK di Indonesia
b. Fasilitator menampilkan gambar tentang pemeriksaan fisik muskuloskeletal yang belum dipahami
peserta.
c. Fasilitator bertanya kepada peserta tantang hal-hal yang belum dimengerti
Kegiatan peserta:
a. Peserta mendengarkan dan menyimak perjelasan fasilitator
b. Peserta memperhatikan gambar tentang pemeriksaan fisik muskuloskeletal.
c. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
LANGKAH 5: Penyampaian pokok bahasan 2, sub pokok bahasan 2: Tatalaksana CTS Akibat Kerja
56
Kegiatan fasilitator:
a. Fasilitator menjelaskan tentang tatalaksana klinis CTS akibat kerja dengan metoda ceramah tanya
jawab.
b. Fasilitator menjelaskan tentang tatalaksana okupasi CTS akibat kerja dengan metoda ceramah
tanya jawab.
c. Fasilitator bertanya kepada peserta tantang hal-hal yang belum dimengerti
Kegiatan peserta:
a. Peserta mendengarkan dan menyimak perjelasan fasilitator
b. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
LANGKAH 6: Penyampaian Pokok Bahasan 3, sub pokok bahasan 1: Diagnosis LBP Akibat Kerja
Kegiatan fasilitator:
a. Fasilitator menjelaskan melalui metode ceramah tanya jawab:
 Penegakan diagnosis LBP
 Pemeriksaan fisik pada LBP
 Pemeriksaan penunjang
 7 langkah diagnosis okupasi untuk menegakkan LBP Akibat kerja sesuai konsensus
tatalaksana PAK di Indonesia
b. Fasilitator menampilkan gambar tentang pemeriksaan fisik muskuloskeletal yang belum dipahami
peserta.
c. Fasilitator bertanya kepada peserta tantang hal-hal yang belum dimengerti
Kegiatan peserta:
a. Peserta mendengarkan dan menyimak perjelasan fasilitator
b. Peserta memperhatikan gambar tentang pemeriksaan fisik muskuloskeletal.
c. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
LANGKAH 7: Penyampaian Pokok Bahasan 3, sub pokok bahasan 2: Tatalaksana LBP Akibat Kerja
Kegiatan fasilitator:
a. Fasilitator menjelaskan tentang tatalaksana klinis LBP akibat kerja dengan metoda ceramah tanya
jawab.
b. Fasilitator menjelaskan tentang tatalaksana okupasi LBP akibat kerja dengan metoda ceramah
tanya jawab.
c. Fasilitator bertanya kepada peserta tantang hal-hal yang belum dimengerti
Kegiatan peserta:
a. Peserta mendengarkan dan menyimak perjelasan fasilitator
b. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
LANGKAH 8: Penyampaian Pokok Bahasan 4, sub pokok bahasan 1: Diagnosis HNP Akibat Kerja
Kegiatan fasilitator:
a. Fasilitator menjelaskan melalui metode ceramah tanya jawab:
 Penegakan diagnosis HNP
 Pemeriksaan fisik pada HNP
 Pemeriksaan penunjang
 7 langkah diagnosis okupasi untuk menegakkan HNP Akibat kerja sesuai konsensus
tatalaksana PAK di Indonesia
b. Fasilitator menampilkan gambar tentang pemeriksaan fisik muskuloskeletal yang belum dipahami
peserta.
c. Fasilitator bertanya kepada peserta tantang hal-hal yang belum dimengerti
Kegiatan peserta:
a. Peserta mendengarkan dan menyimak perjelasan fasilitator
b. Peserta memperhatikan gambar tentang pemeriksaan fisik muskuloskeletal.
c. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
LANGKAH 9: Penyampaian Pokok Bahasan 4, sub pokok bahasan 2: Tatalaksana HNP Akibat Kerja
Kegiatan fasilitator:

57
a. Fasilitator menjelaskan tentang tatalaksana klinis HNP akibat kerja dengan metoda ceramah
tanya jawab.
b. Fasilitator menjelaskan tentang tatalaksana okupasi HNP akibat kerja dengan metoda ceramah
tanya jawab.
c. Fasilitator bertanya kepada peserta tantang hal-hal yang belum dimengerti
Kegiatan peserta:
a. Peserta mendengarkan dan menyimak perjelasan fasilitator
b. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
LANGKAH 10: Studi Kasus
Kegiatan Fasilitator
a. Pelatih membagi peserta dalam 5 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 5 orang peserta.
b. Pelatih memberikan 1 kasus yang berbeda untuk masing-masing kelompok.
c. Pelatih memberi penugasan pada setiap kelompok untuk melakukan Latihan diagnosis
dan tatalaksana kasus pada pekerja dengan dugaan carpal tunnel sydrom akibat kerja, low
back pain akibat kerja atau HNP akibat kerja.
d. Pelatih memberikan kesempatan pada tiap kelompok untuk mendiskusikan kasus yang
didapat dan melengkapi data-data yang diperlukan pada di status okupasi (waktu diskusi
kasus 45 menit)
e. Pelatih meminta setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi kasus selama 10 menit.
f. Pelatih memberi kesempatan pada kelompok lain untuk memberikan tanggapan dan
masukan selama 5 menit.
g. Pelatih menanggapi dengan melakukan klarifikasi dan memberikan masukan, serta
menyimpulkan hasil diskusi, selama 15 menit.
h. Setiap anggota kelompok wajib berkontribusi dalam mempresentasikan dan menjawab
diskusi kelompok
Kegiatan peserta:
1. Peserta mendengarkan dan meyimak penugasan fasilitator
2. Peserta mendiskusikan kasus yang didapat dan membuat status okupasi
3. Peserta mempresentasikan hasil diskusi kasus
4. Peserta memberi tanggapan dan masukan atas hasil pemaparan kelompok lain
LANGKAH 11: Rangkuman dan kesimpulan.
a. Fasilitator melakukan evaluasi untuk mengetahui penyerapan peserta terhadap materi yang
sudah disampaikan dan pencapaian tujuan pembelajaran
b. Merangkum dan membuat kesimpulan point-point penting dari materi yang disampaikan
c. Fasilitator menutup sesi dengan memberikan apresiasi kepada seluruh peserta

V. URAIAN MATERI
POKOK BAHASAN 1: Prinsip 7 langkah diagnosis PAK karena pajanan ergonomi
Definisi Gangguan Otot Tulang-Rangka Akibat Kerja (GOTRAK)/ Work Realated Musculo Skeletal Disorders
/WMSDs) adalah semua gangguan kesehatan dan cedera yang mengenai sistem gerak tubuh (otot,
tendon, selaput tendon, ligamen, tulang-rangka, sendi, tulang rawan, bursa, spinal discs, pembuluh darah
dan syaraf) yang disebabkan atau diperberat oleh berbagai faktor risiko pekerjaan dan/atau lingkungan
kerja. Cedera atau Gangguan Otot Tulang-Rangka yang disebabkan oleh dampak langsung dari jatuh,
terpukul, tertabrak, perkelahian dan lain lain tidak termasuk dalam GOTRAK. GOTRAK/WMSDs bukan
diagnosa medis tetapi merupakan terminologi payung yang dipakai untuk berbagai cedera atau gangguan
pada system Otot Tulang-Rangka tubuh manusia yang terjadi akibat pekerjaan atau lingkungan kerja
ditempat pekerja yang menderita tersebut bekerja. Ada berbagai nama atau terminologi lain yang artinya
sama dengan GOTRAK/ Musculoskeletal Disorders (MSDs), yaitu antara lain:
- Repetitive Strain Injury (RSI)
- Cumulative Trauma Disorder (CTD)
- Occupational Overuse Syndrome (OOS)

58
- Musculoskeletal Injury (MSI)
- Work-related Musculoskeletal Disorders (WMSDs) merupakan terminologi yg terbanyak dipakai saat
ini

Keluhan pada Gangguan Otot Tulang-Rangka (GOTR)/Musculoskeletal Disorders (MSDs) dapat terjadi
mulai dari yang ringan seperti keluhan tidak nyaman, pegal linu, nyeri yang bersifat sementara sampai
dengan cedera menetap yang menyebabkan kelainan (penyakit /kecacatan) pada sistem Otot Tulang-
Rangka dan dapat mengenai sistem syaraf dari Otot Tulang-Rangka tersebut.

Berdasarkan data dari Occupatinal Safety and Health Administration (OSHA) pada tahun 2003,
menyatakan besaran masalah GOTR/MSDs dalam 1 tahun/setiap tahun menyebabkan:
- 70 juta kunjungan penderita MSDs ke dokter
- 130 juta kunjungan penderita MSDs ke institusi kesehatan (Tempat kerja, Klinik).
- ± 1 juta pekerja tidak bekerja untuk berobat.
World Health Organization (WHO) pada tahun 2003 menyatakan GOTRAK/WMSDs merupakan penyebab
utama absensi di tempat kerja. Prevalensi GOTRAK/WMSDs diperkirakan hampir 60% dari semua Penyakit
Akibat Kerja, dengan demikian gangguan otot rangka merupakan Penyakit Akibat Kerja yang paling banyak
terjadi. Penyakit otot rangka juga merupakan penyakit yang menyebabkan pengeluaran biaya kesehatan
tertinggi di negara maju, karena selain biaya untuk pengobatan juga dikeluarkan biaya untuk kompensasi
akibat terjadinya kecacatan.
GOTR/MSDs merupakan masalah nasional karena:
- Merupakan penyebab paling tinggi hilangnya waktu kerja akibat cedera dan sakit pada tiap industri
(Lost-time injury and illness)
- Merupakan masalah kesehatan kerja yang paling mahal.
- Ada di hampir setiap tempat kerja.
- Nyeri yang dirasakan berlarut-larut menyebabkan penderitaan bagi para pekerja.
- Menurunkan produktivitas dan kualitas produk maupun kualitas pelayanan.
Beban ekonomi akibat GOTR/MSDs:
Biaya rata-rata untuk mengobati satu kejadian GOTR/MSDs di Amerika pada tahun 2003 adalah $12.000,
namun bila diperlukan tindakan operasi, biaya rata-rata untuk satu kejadian GOTR/MSDs meningkat
menjadi $43.000. Data lain dari satu perusahaan di Amerika yaitu, secara total biaya untuk kompensasi
pekerja yang menderita GOTR/MSDs adalah sebesar $ 45 - $ 60 M per tahun. Biaya ini belum termasuk
berbagai kerugian lain sebagai dampak dari GOTR/MSDs seperti:
- Penurunan kecepatan dan kualitas produksi/pelayanan,
- Biaya pelatihan kembali pegawai baru atau pegawai pengganti dll.
- Jutaan pekerja yang menderita GOTR/MSDs kehilangan pekerjaan utamanya serta menderita
nyeri dan gangguan gerak untuk waktu lama yang menyebabkan mereka mengalami penurunan
bahkan kehilangan pendapatan untuk kehidupan sehari-hari mereka dan keluarganya.
- Seringkali merekapun kesulitan untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari seperti
mengancingkan baju ataupun menyisir rambut.
GOTRAK/WMSDs pada pegawai/petugas di tempat kerja dapat terjadi di berbagai bagian tubuh; yang
terbanyak adalah mengenai tulang belakang bagian bawah, diikuti leher, anggota tubuh bagian atas
(mulai dari bahu, siku, pergelangan tangan, tangan dan jari) sedangkan anggota tubuh bagian bawah
(panggul, lutut dan kaki) kasusnya belum banyak dilaporkan. GOTRAK/WMSDs ini sering terjadi berulang-
ulang sampai menjadi kronis dan berakhir dengan kecacatan. GOTRAK yang dialami biasanya sesuai
dengan jenis pekerjaan dan bagian Otot Tulang-Rangka yang berulang ulang mengalami beban berlebihan
saat melakukan kegiatan kerjanya sehari-hari, contohnya:
- Gangguan/cedera pada tendon jari-jari tangan merupakan masalah utama pada petugas
administrasi
- Gangguan tulang punggung bagian bawah dan bagian atas seringkali terjadi akibat pekerjaan
dengan posisi duduk atau berdiri pada waktu yang lama

59
- Gangguan pada otot sering terjadi akibat gerakan otot berulang-ulang disertai dengan kekuatan
besar. Kegiatan otot statis/ tanpa gerak yang disertai dengan beban, dapat juga menyebabkan
kelelahan otot dan mengakibatkan cedera otot.
- Gangguan pada syaraf biasanya terjadi bila syaraf didaerah persendian tertekan/ mendapat
tekanan dalam waktu lama, contohnya pada Carpal Tunnel Syndrome.

Faktor Risiko Dan Patofisiologi Untuk Terjadinya Gotrak


Banyak hal yang berpengaruh untuk terjadinya GOTRAK seperti faktor risiko di lingkungan tempat
kerja yang tidak ergonomis, faktor teknologi, faktor fisiologi individu dan aktivitas lain diluar
pekerjaan utama. Kombinasi dari berbagai faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan untuk
terjadinya GOTRAK seperti:
1. Postur/posisi kerja yang janggal/tidak netral (awkward posture), contohnya membungkukkan
badan, menekuk atau dan memutar persendian lengan bawah, lengan atas, tangan atau kaki.
2. Bekerja secara statis, contohnya berbagai posisi kerja dimana tungkai kaki / tangan dan
persendian tidak bergerak/bertahan dalam posisi yang tetap dalam waktu lama.
3. Pergerakan yang berulang-ulang (repetitive), contohnya melakukan kegiatan yang sama secara
terus menerus dalam waktu yang cukup lama. Pekerjaan menulis maupun mengetik di bagian
administrasi tempat kerja, menyebabkan jari-jari tangan petugas harus bergerak terus menerus
dan otot-otot jari kontraksi berulang-ulang dalam waktu lama pula.
4. Kerja fisik yang berat (mengangkat/menarik/mendorong beban berat); kerja Otot Tulang-rangka
akan bertambah berat bila kegiatan tersebut dilakukan dengan postur kerja yang janggal/tidak
netral.
5. Kerja di ruangan dengan temperatur dingin. Pekerja di ruangan tempat pendinginan bahan
makanan (daging, udang, ikan), petugas kamar operasi, ICU, ICCU mengalami risiko ini.
6. Bekerja dengan menggunakan mesin / alat yang bergetar atau tempat untuk bekerjanya bergetar
(vibration). Dokter gigi dalam pekerjaannya sehari-hari seringkali harus menggunakan peralatan
bor gigi, terutama bila jumlah pasiennya banyak. Hal ini menyebabkan pemaparan getataran alat
bor gigi menjalar ke tangan dokter gigi tersebut
7. Adanya faktor predisposisi untuk GOTRAK/WMSDs antara lain: merokok, diabetes, obesitas,
defisiensi vitamin B6, rheumatoid arthritis pada pekerja dapat mempercepat timbulnya atau
memperberat kejadian GOTRAK.
Tingkatan atau besarnya risiko yang dialami pekerja tergantung dari intensitas, frekuensi, dan
durasi/lamanya dari pemaparan pekerja tersebut terhadap faktor risiko ditempat kerjanya serta
kemampuan fungsional dari kondisi fisik pekerja tersebut dalam melaksanakan beban tugasnya.
Selain itu, kegiatan lain diuar pekerjaan rutin di tempat kerja seperti hobi olah raga, merajut,
bermain alat musik dan lain-lainnya yang juga menggunakan otot yang sama dengan otot yang
digunakan pada saat bekerja di tempat kerja, dapat memperberat atau memberikan kontribusi
untuk terjadinya GOTRAK/WMSDs.

Jenis Penyakit Akibat Kerja karena faktor ergonomi


a. Contoh Gotrak/WMSDs, antara lain:
1. Nyeri Punggung Bawah (NPB) / Low Back Pain (LBP)
2. Sindroma Terowongan Karpal (STK)/ Carpal Tunnel Syndrome (CTS)
3. Rotator Cuff Tendinitis/Syndrome
4. Tension Neck Syndrome
5. Raynaud’s Syndrome
6. Epicondylitis
7. Tendinitis
8. Synovitis
9. Tenosynovitis
b. Gejala Gotrak/WMSDs, pada umumnya meliputi:

60
 Nyeri otot/ tulang rangka saat digerakkan atau tanpa digerakkan
 Pembengkakkan dan perabaan lunak disertai nyeri didaerah yang terkena
 Penurunan jangkauan dari gerakan persendian (ROM= Range of Movement)
 Kesemutan dan atau mati rasa pada daerah yang terkena gangguan
 Penurunan kekuatan gengaman tangan
 Perubahan bentuk/deformitas dari otot/ Tulang-Rangka

Pencegahan Gotrak/WMSDs
Upaya yang paling efektif adalah dengan pencegahan primer yaitu kegiatan pencegahan sebelum
terjadi GOTR/MSDs; antara lain dengan menerapkan Program Ergonomik di Tempat kerja.

Penerapan Program Ergonomik di Tempat Kerja


Pengalaman menunjukkan bahwa program ergonomik yang berhasil harus mencakup elemen umum
yang meliputi:
1. Komitmen dari Manajemen Tempat kerja
2. Partisipasi dari seluruh petugas kesehatan dan non kesehatan
3. Mengenali dan mengevaluasi faktor risiko ergonomi di tempat kerja/RS
4. Mengendalikan faktor risiko ergonomik di seluruh lingkungan RS
5. Training petugas kesehatan dan non kesehatan
6. Manajemen pemeliharaan Kesehatan petugas kesehatan dan non kesehatan
7. Evaluasi pelaksanaan dan keberhasilan/kegagalan program ergonomiK di RS
Sebaiknya secara bersamaan dilaksanakan juga pencegahan sekunder melalui antara lain:
Pemeriksaan kesehatan pekerja yang meliputi:
a. Pemeriksaan Awal
Adalah pemeriksaan kesehatan yang dilakukan sebelum seseorang calon / pekerja (petugas
kesehatan dan non kesehatan) mulai melaksanakan pekerjaannya. Pemeriksaan ini bertujuan
untuk memperoleh gambaran tentang status kesehatan calon pekerja dan mengetahui apakah
calon pekerja tersebut ditinjau dari segi kesehatannya sesuai dengan pekerjaan yang akan
ditugaskan kepadanya. Pemeriksaan kesehatan awal ini meliputi:
 Anamnesa umum
 Anamnesa pekerjaan dan apa tugasnya
 Penyakit yang pernah diderita
 Alergi
 Imunisasi yang pernah didapat
 Pemeriksaan badan
 Pemeriksaan laboratorium rutin
Pemeriksaan tertentu:
 Elektrokardiografi
 Psikotest
b. Pemeriksaan Berkala
Adalah pemeriksaan kesehatan yang dilaksanakan secara berkala dengan jarak waktu berkala
yang disesuaikan dengan besarnya risiko kesehatan yang dihadapi. Makin besar risiko kerja,
makin kecil jarak waktu antar pemeriksaan berkala. Ruang lingkup pemeriksaan disini meliputi
pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus seperti pada pemeriksaan awal dan bila diperlukan
ditambah dengan pemeriksaan lainnya, sesuai dengan risiko kesehatan yang dihadapi di
lingkungan kerjanya.
c. Pemeriksaan Khusus
Yaitu pemeriksaan kesehatan yang dilakukan pada waktu khusus diluar pemeriksaan berkala,
yaitu pada keadaan dimana ada atau diduga ada keadaan di lingkungan kerja yang dapat
mengganggu kesehatan pekerja.

61
Pengendalian Gotrak/WMSDs
1. Pengendalian melalui peraturan (Legislative Control)
Merupakan kebijakan dan tata laksana kerja yang dibuat oleh managemen dengan maksud
mencegah atau meminimalkan faktor risiko lingkungan tempat kerja. Agar penanggulangan ini
dapat berhasil diperlukan kerja sama dan ketaatan dari pekerja untuk melaksanakannya.
Penanggulangan ini merupakan pengaturan sementara, saat dimana penanggulangan teknis
tidak ada atau belum dapat dilaksanakan.
2. Pengendalian melalui Administrasi Organisasi (Administrative Control)
Contoh Pengendalian Administrative:
- Adanya Persyaratan penerimaan pekerja yang meliputi batas umur, jenis kelamin, syarat
kesehatan,dll
- Rotasi pekerja dari pekerjaan yang membutuhkan kerja fisik/tenaga yang berat ke tempat
kerja yang tidak/kurang berat.
- Pengaturan jam kerja, lembur dan shift
- Memperpendek jam kerja atau menambah jumlah istirahat pendek.
- Melatih pekerja untuk mengenali faktor-faktor risiko ditempat kerja dan mencegahnya bila
memungkinkan.
- Menyusun Prosedur Kerja Tetap (Standard Operating Procedure) untuk masing-masing
bagian/departemen dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaannya
- Melaksanakan pemeriksaan secara seksama penyebab kecelakaan kerja dan
mengupayakan pencegahannya.
- Memastikan/mengharuskan pekerja untuk bekerja dengan posisi tubuh yang baik dan
menggunakan peralatan kerja secara benar
- Memberikan peralatan kerja yang ergonomik.
- Menggunakan alat angkat mekanik untuk mengangkat beban yang berat atau
melakukannya oleh dua atau lebih pekerja.
- Mengkaji faktor risiko ergonomis pada pekerjaan yang baku/rutin terlebih dahulu sebelum
dilaksanakan.
- Mengurangi pergerakan yang berulang-ulang dan posisi statis dengan cara memberi
berbagai tugas yang berbeda-beda/bervariasi
- Melatih pekerja dalam prinsip kerja yang ergonomis, teknik peregangan otot dan
mewajibkan pekerja berolah raga.
- Penggunaan alat pelindung diri (APD/PPE) harus fit/ cocok untuk pengguna jangan terbalik,
pengguna mencocokan diri dengan APD. Dengan demikian APD harus mempunyai berbagai
ukuran, dapat melindungi pekerja dari lingkungan fisik dan saat digunakan tidak
menyebabkan penyimpangan postur pekerja ataupun penambahan tekanan pada otot
pekerja
3. Pengendalian Secara Teknis (Engineering Control)
Bertujuan agar pekerja dapat bekerja dengan nyaman, aman dan effisien dengan cara
modifikasi dari pekerjaan yang meliputi,
a. Substitusi peralatan kesehatan yang digunakan di tempat kerja dengan alat alat yang
ergonomis
b. Mendesign tinggi meja kerja agar sesuai dengan tinggi rata-rata pekerja.
c. Penanggulangan gerakan berulang-ulang melalui alat bantu mekanik, rotasi kerja dan
standard produksi.
d. Mengatur tempat kerja untuk mengurangi atau menghindari gerakan tubuh memutar,
membungkuk kedepan dan kesamping.
e. Mengurangi gerakan lengan atas menjangkau/meraih dengan ataupun tanpa beban
f. Menghilangkan ujung-ujung yang tajam pada alat kerja atau produk yang berulang-ulang
kontak dengan pekerja.
4. Pengendalian melalui jalur kesehatan (Medical Control)

62
Berguna agar dapat mengidentifikasi gejala-gejala Gotrak pada stadium awal sehingga dapat
mengurangi atau menghilangkan timbulnya penyakit otot tulang rangka, meliputi
 Review data laporan tentang cedera dan gejala GOTRAK dari medical record.
 Penemuan awal dan pelaporan gejala GOTR. Dengan deteksi dini pada stadium awal, maka
penatalaksanaan kasus menjadi lebih cepat, mengurangi penderitaan atau bahkan
menghilangkan timbulnya Penyakit Otot Tulangrangka Akibat Kerja (POTRAK) sehingga
dapat mempercepat pemulihan kemampuan kerja dan kualitas kerja petugas tempat
kerja.
 Survey keluhan pegal linu dan nyeri otot pada pekerja. Surveilans hendaknya
menggunakan instrumen yang baku, sehingga dapat dievaluasi dan dianalisis secara
berkala menggunakan standar yang sama. Contoh alat bantu untuk identifikasi adanya
keluhan muskuloskeletal (Nordic Body Map) dan untuk identifikasi pekerjaan / tugas yang
berisiko (terlampir RULA, REBA)
 Kemudahan akses pekerja ke petugas klinik perusahaan/puskesmas untuk setiap shift kerja.
 Pengobatan konservative dan restriksi kerja ditempat tugas tertentu (bila diperlukan)
 Tersedia system rujukan untuk menegakkan diagnosa Penyakit Otot Tulang-Rangka Akibat
Kerja secara cepat dan tepat (prompt-treatment)
 Memberi nasihat dan menyiapkan pekerja untuk kembali bekerja.

POKOK BAHASAN 2: Tatalaksana Penyakit Sindroma Terowongan Karpal (STK) /Carpal Tunel
Syndrome (CTS)
Sindroma Terowongan Karpal (STK)/Carpal Tunnel Syndrome (CTS) adalah sekumpulan gejala yang
terjadi akibat tertekannya Nervus Medianus di terowongan karpal pada pergelangan tangan. Sering
terjadi pada macam-macam pekerjaan seperti;
- operator mesin asembling,
- pekerja Spinning di pabrik tekstil,
- pekerja yang melakukan pengepakan,serta
- pekerja lainnya dengan gerakan fleksi yang kuat dan vibrasi maupun extensi atau deviasi pada
pergelangan tangan
Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap dan selain itu ada keadaan lain yang dapat
menyebabkan gejala yang sama, oleh karena itu The National Insititute for Occupational Safety and
Health (NIOSH) membuat kriteria diagnostik untuk CTS akibat kerja sebagai berikut:
(1) Adanya beberapa gejala CTS (tidak harus semua secara lengkap)
(2) Adanya tanda objektif seperti:
- Tes Tinel atau Tes Phalen yang positif
- Sensasi yang menurun didaerah persyarafan n. medianus atau pemeriksaan EMG
menunjukkan ada kelainan
(3) Adanya salah satu faktor risiko pekerjaan untuk waktu yang cukup lama, seperti:
- Kerja repetitif dengan frekwensi tinggi
- Kerja dengan tenaga tangan
- Kerja dengan alat bervibrasi
- Penekanan untuk waktu yang lama pada pergelangan tangan
Kriteria (1), (2) dan (3) harus ada untuk dapat mengarahkan diagnosis CTS akibat kerja
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
Tujuh langkah diagnosis CTS Akibat Kerja :
1. Diagnosis Klinis
a) Anamnesis
Ditemukan adanya gejala
- Rasa nyeri dan parestesi pada daerah persarafan n. Medianus
- Rasa dingin dan kelemahan otot jari – jari tangan
- Gejala tersebut memburuk pada malam hari ataupun sesudah fleksi yang lama,

63
misalnya mengemudi mobil
- Gejala berkurang setelah istirahat
- Terbangun dari tidur malam karena tangan terasa kesemutan atau nyeri
- Pada waktu bangun tidur, gejala biasanya dapat berkurang setelah tangan
digoyang-goyangkan (Flick Sign)
Faktor predisposisi non-okupasi adalah pada prinsipnya adalah semua kondisi yang
menyebabkan terowongan karpal lebih sempit akibat inflamasi maupun retensi
cairan diantaranya Rheumatoid arthritis, Diabetes, kehamilan, hipotiroid dll. Di
bawah ini adalah sejumlah informasi penting yang dapat diperoleh melalui
anamnesis yang terarah pada pasien dengan kecurigaan menderita CTS akibat
kerja.
 Ditanyakan tanda dan gejala klinik seperti,
- Apakah keluhan dirasakan pada salah satu atau kedua tangan?
- Sudah berapa lama terjadi?
- Apakah sebelumnya pernah mengalami keluhan yang sama?
- Apakah keluhan hilang timbul?
- Apa pemicunya bila kambuh?
- Apakah keluhan bertambah bila bekerja?
- Apakah keluhan berkurang pada saat istirahat kerja, cuti, hari libur?
- Apakah pernah mengalami trauma sebelumnya?
- Pertanyaan lain yang relevan
 Riwayat penyakit dahulu
(Riwayat trauma pada area pergelangan tangan, infeksi yang terkait), riwayat
penyakit yang seperti DM, rheumatoid arthritis, hipotiroid, kehamilan,
kelainan anatomis, stress dll
 Riwayat penyakit keluarga yang mungkin terkait dengan diagnosis klinis. Ada
tidaknya anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama
 Riwayat hobi/kebiasaan yang mungkin terkait dengan diagnosis klinis seperti
gerakan gerakan repetitive yang dilakukan atau tekanan pada pergelangan
tangan, atau ada pajanan vibrasi yang berulang, dll
 Riwayat okupasi
Jenis pekerjaan: dokter gigi, pekerja dengan jack hammer, mengetik,
pemotong daging, pekerja gergaji, pekerja perakitan, pekerja pelinting rokok
dengan tangan, pemain musik drum, dan pekerjaan dengan gerakan repetitive
lain, getaran, posisi ekstrim pada tangan
- Uraian tugas yang dilakukan setiap hari, maupun berkala
- Riwayat pekerjaan dan pajanan di tempat kerja, terutama terkait dengan
pajanan ergonomik berupa gerakan kerja berulang secara
repetitive/simultan/repetitive strain injury, posisi ekstrim fleksi, ekstensi
pada pergelangan tangan, posisi kerja janggal lainnya, forcefull grip,
vibrasi
- Gambaran pekerjaan, alat dan proses kerja, yaitu gerakan fleksi atau
ekstensi pergelangan tangan secara repetitive, posisi janggal tangan,
forcefull grip, penggunaan alat kerja tangan yang ada vibrasi. Pajanan
berlangsung antara 8 bulan hingga 20 tahun, dengan lama jam kerja > 6
jam/hari
- Gambaran lingkungan kerja tempat pekerjaan dilakukan, seperti adanya
faktor stressor psikososial, target produksi yang tinggi, stress mental
- Riwayat kecelakaan kerja yang mengenai area lengan, tangan,
pergelangan tangan dan jari-jari
- Adakah rekan kerja yang mengalami keluhan yang sama?

64
- Adakah pekerjaan sampingan dengan pejanan ergonomic seperti tersebut
di atas yang dapat menimbulkan gejala klinis yang sama?
b) Pemeriksaan fisik
o Pengamatan terhadap mobilitas pergelangan tangan untuk melakukan fleksi,
ekstensi, fleksi kearah lateral dan medial
o Karakteristik parestesia, nyeri, & lemah pada jari-jari sesuai distribusi
n.Medianus distal
o Hilangnya rasa raba permukaan tangan sebelah medial.
o Kelemahan otot tenar/atrofi
Di bawah ini adalah sejumlah pemeriksaan fisik yang dapat mendukung penegakan
diagnosis CTS:
- Tes Phalen/Reverse Phalen
Test Phalen Positif jika
o Pasien diminta untuk menempatkan kedua pergelangan tangannya dalam
posisi fleksi dan mempertahankan posisi tersebut selama 1 menit
o Adanya penekanan pada bagian dorsal dari tangan akan meningkatkan
tekanan dalam terowongan karpal Nyeri atau mati rasa di daerah yang
dipersarafi oleh N. Medianus akibat dari posisi tersebut mengindikasikan
adanya oenekanan N. Medianus di bawah ligamentum karpal
- Tes Tinnel
Test Tinel Positif jika:
o Tangan pasien berada pada posisi dorsofleksi. Bagian dorsal
pergelangan tangan diletakkan di atas penyangga lunak di atas meja
periksa.
o Pemeriksa mengetuk N. Medianus di lipatan pergelangan tangan
dengan menggunakan palu reflex atau jari telunjuk.
o Adanya parestesia atau nyeri yang menjalar ke tangan dan terkadang
ke lengan bawah merupakan tanda adanya neuropati akibat
penekanan N. Medianus
- Tes Torniquet
- Tes Flick’s sign
- Atrofi otot thenar, pada keadaan kronis
- Penilaian kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot
- Tes ekstensi pergelangan tangan
- Tes Kompresi Karpal Durkan’s positif
- Tanda Luthys positif
- Tes diskriminasi dua titik (tes sensibilitas)
- Fungsi otonom seperti gangguan berkeringat, kulit kering atau licin di area
persyarafan nervus Medianus
c) Pemeriksaan penunjang bila ada indikasi:
- Pemeriksaan neurofisiologis (EMG)
- Pemeriksaan radiologi
- Pemeriksaan laboratorium (gula darah, hormone tiroid, darah lengkap)

2. Mengidentifikasi Pajanan yang dialami


Anamnesis pekerjaan dan / atau pengamatan cara bekerja perlu dilakukan untuk
mengetahui apakah ada faktor risiko terhadap terjadinya CTS diantaranya gerakan berulang-
ulang (gerak repetitif) pada pergelangan tangan, pekerjaan yang melibatkan getaran, posisi
ekstrim pada pergelangan tangan, dan terutama kombinasi dari risiko-risiko tersebut.

3. Hubungan antara pajanan dan penyakit.

65
Dari faktor risiko atau pajanan yang dialami di tempat kerja: posisi kerja, cara kerja sesuai
dengan lokasi nyeri.

4. Jumlah pajanan cukup


Penilaian jumlah pajanan dapat dilihat dari beban kerja, frekwensi gerakan yang dilakukan
dan berapa lama suatu posisi janggal dipertahankan, termasuk masa kerja pada pekerjaan
tersebut. Bila pajanan telah berlangsung selama minimal 8 bulan, diagnosis CTS akibat kerja
dapat dipertimbangkan dengan seksama.

5. Peranan Faktor Individu:


Faktor individu seperti obesitas, kehamilan, menderita Diabetes Mellitus, Rheumathoid
Arthritis, dan cidera pada pergelangan tangan merupakan risiko untuk terjadinya CTS.
Adanya faktor-faktor tersebut, tidak serta merta menyebabkan diagnosis Penyakit Akibat
Kerja tidak dapat ditegakkan, namun memberikan tambahan informasi bahwa ada faktor
lain yang berperan dalam timbulnya atau perjalanan penyakit ini.

6. Faktor lain diluar pekerjaan:


Selain ditempat kerja, seseorang bekerja juga dirumah, bahkan ada yang mempunyai
pekerjaan ganda atau hobby yang berisiko juga terhadap terjadinya CTS. Perlu dilakukan
identifikasi faktor-faktor risiko apa yang terjadi diluar pekerjaan utama diantaranya apakah
pekerjaan lain tersebut mengandung gerakan repetitif, getaran, dan posisi janggal pada
pergelangan tangan.

7. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja


CTS Akibat Kerja
.
b. Penatalaksanaan
1. Tatalaksana medis : terapi medikamentosa dan imobilisasi, jika tidak membaik dapat
merujuk ke dokter Neurologi untuk mencegah terjadinya perburukan dan kecacatan lebih
lanjut
2. Tatalaksana okupasi:
- Pengendalian pajanan ergonomi di tempat kerja sesuai dengan hirarki pengendalian,
untuk mencegah pekerja lain mengalami Penyakit Akibat Kerja yang sama
- Istirahatkan tangan apabila pekerjaan masih berisiko dapat diberikan rekomendasi
untuk pekerjaan lain untuk semenrata waktu agar terhindar dari perburukan dan
kecacatan lebih lanjut.
- Apabila CTS akibat kerja telah ditatalaksana secara tuntas dan masih terdapat gejala
sisa berupa kecacatan, maka atas permintaan pasien atau pemberi kerja perhitungan
prosentase kecacatan dapat dilakukan oleh Dokter sesuai kompetensi dan
kewenangannya.

POKOK BAHASAN 3 dan 4: Tatalaksana LBP / HNP Akibat Kerja]


Nyeri Punggung Bawah (NPB) merupakan gangguan Otot Tulang-Rangka yang paling sering terjadi
pada pekerja, baik pekerja di sektor industri besar, menengah dan kecil maupun pekerja di berbagai
sektor pembangunan lainnya. Pekerja yang menderita NPB merasa nyeri yang terjadi di daerah
punggung bagian bawah dan dapat menjalar ke kaki terutama bagian sebelah belakang dan samping
luar. Keluhan ini dapat demikian hebatnya sehingga pekerja tersebut mengalami kesulitan dalam
setiap pergerakan dan harus istirahat, bila kondisinya parah bahkan harus dirawat di rumah sakit. Di
negara maju masalah NPB telah menghabiskan dana pengobatan dan dana kompensasi yang
terbesar diantara berbagai Penyakit Akibat Kerja lainnya. Mengingat bahwa NPB/LBP sebenarnya
hanyalah suatu simptom / gejala, maka yang terpenting adalah mencari faktor penyebabnya agar

66
kejadiannya dapat dicegah dan bila terjadi dapat diberikan pengobatan yang tepat.

Jenis Nyeri Punggung Bawah Akibat Kerja (NPBAK)


Nyeri Punggung Bawah Akibat Kerja menurut kejadiannya dibagi atas:
1) Nyeri Punggung Bawah Akut: biasanya ada perbaikan dan sembuh dengan pengobatan,
istirahat kerja dan latihan otot punggung bawah dalam waktu kurang dari 6 minggu
2) Nyeri Punggung Bawah Sub Akut: biasanya ada perbaikan dan sembuh dengan
pengobatan, istirahat kerja dan latihan otot punggung bawah dalam waktu 6
minggu sampai dengan 12 minggu
3) Nyeri Punggung Bawah Kronis: bila lebih lama dari 6 minggu dan tidak ada perbaikan
dengan pengobatan yang biasa diberikan
Semua jenis pekerjaan berisiko untuk terkena Nyeri Punggung Bawah, apabila pada pekerjaan
tersebut ada kaitannya dengan posisi kerja yang janggal seperti membungkukkan badan, duduk
/berdiri statis, mengangkat, menarik dan atau mendorong beban dilakukan berulang-ulang dalam
waktu lama. Contoh jenis Pekerjaan yang berisiko tinggi untuk terkena Nyeri Punggung Bawah
adalah:
 Konstruksi bangunan
 Keperawatan
 Pengemudi transportasi umum
 Manufaktur
 Pertanian

a) Diagnosis Penyakit Akibat Kerja


Tujuh langkah diagnosis LBP/HNP Akibat Kerja :
1. Diagnosis Klinis
a) Anamnesis keluhan penyakit:
 Lokasi nyeri
 Pencetus nyeri punggung – apakah pernah nyeri punggung sebelumnya, kapan pertama
kali timbul dan pada saat sedang melakukan apa
 Sifat nyeri
 Lama nyeri
 Apa yang bisa menyebabkan rasa nyeri berkurang
 Apa ada kecendungan eksaserbasi pada waktu bekerja
 Apakah ada gejala neurologis seperti nyeri menjalar ke bagian posterior tungkai, rasa baal
/ kesemutan pada kaki, melemahnya otot
Di bawah ini adalah sejumlah informasi penting yang dapat diperoleh melalui anamnesis
yang terarah pada pasien dengan kecurigaan menderita LBP/HNP akibat kerja. Tanda dan
gejala klinik yang perlu ditanyakan :
- Dimanakah nyeri dirasakan?
- Sudah berapa lama terjadi?
- Apakah sebelumnya pernah mengalami keluhan yang sama?
- Apakah keluhan hilang timbul?
- Bagaimana kualitas dan kuantitas nyerinya?
- Apa pemicunya bila kambuh?
- Apakah keluhan bertambah bila bekerja?
- Apakah keluhan berkurang pada saat istirahat kerja, cuti, hari libur?
- Apakah pernah mengalami trauma sebelumnya?
- Apakah ada gejala neurologis seperti nyeri menjalar ke bagian posterior tungkai, rasa
baal/kesemutan pada kaki, melemahnya otot termasuk gejala lain seperti gangguan
BAB/BAK
- Pertanyaan lain yang relevan

67
Riwayat penyakit dahulu (riwayat trauma pada area pergelangan tangan, infeksi yang terkait),
riwayat penyakit yang seperti DM, rheumatoid arthritis, kehamilan, kelainan anatomis, stress
dll)
Riwayat penyakit keluarga yang mungkin terkait dengan diagnosis klinis
- Ada tidaknya anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama
- Riwayat hobi/kebiasaan yang mungkin terkait dengan diagnosis klinis seperti pajanan
vibrasi yang berulang, manual lifting dengan beban yang melebihi standar, dll
Riwayat okupasi
Jenis pekerjaan: perawat angkat-angkut pasien, pengendara alat berat, kuli panggul, penerbang
helicopter, pramugari/pramugara, mekanik pesawat, anak buah kapal bagian mesin
 Uraian tugas yang dilakukan setiap hari, maupun berkala
 Riwayat pekerjaan dan pajanan di tempat kerja, terutama terkait dengan pajanan
ergonomik berupa gerakan kerja berdiri atau duduk lama statis, postur janggal, manual
lifting, pajanan vibrasi seluruh tubuh
 Gambaran pekerjaan, alat dan proses kerja, yaitu deskripsi pekerjaan, gerakan saat
bekerja, termasuk posisi statis lama, posisi janggal, manual lifting, pekerjaan dengan alat
yang ada vibrasi seluruh tubuh. Pajanan dapat bersifat akut maupun kronis
 Gambaran lingkungan kerja tempat pekerjaan dilakukan, seperti adanya faktor stressor
psikososial, target produksi yang tinggi, stress mental
 Riwayat kecelakaan kerja seperti trauma, terjatuh
 Adakah rekan kerja yang mengalami keluhan yang sama?
 Adakah pekerjaan sampingan dengan pejanan ergonomic seperti tersebut di atas yang
dapat menimbulkan gejala klinis yang sama?
Pada nyeri punggung bawah akut saja, biasanya tidak ada gejala neurologis. Bila ada gejala
neurologis, biasanya terjadi pada Hernia Nukleus Pulposus (HNP) dimana terjadi iritasi syaraf yang
tertekan herniasi tersebut

b) Pemeriksaan Fisik:
 Pengamatan saat penderita berdiri dan berjalan : seharusnya bagian tubuh kiri dan kanan
simetris
 Pengamatan tulang punggung:
 Pada HNP posisi badan biasanya dalam keadaan ekstensi
 Pada Stenosis Spinalis posisi badan biasanya dalam keadaan fleksi
 Mobilitas tulang punggung: perhatikan apakah ada spasme otot para spinalis
 Nyeri Tekan pada daerah punggung bawah
 Perlu disingkirkan adanya infeksi atau penyakit tulang, syaraf, vasculer dll
 Lakukan Straight Leg Raising Test (SLR) dan Patricks Test

Di bawah ini adalah sejumlah pemeriksaan yang dapat mendukung penegakan diagnosis LBP/HNP:
Pemeriksaan fisik,
- Tes Laseque (SLR)
- Tes Patrick
- Range of motion area punggung bawah
- Pemeriksaan columna vertebralis: alignment (lordosis, kifosis, skoliosis)
- Pemeriksaan nyeri ketok CVA
- Pemeriksaan nyeri tekan lamina
- Palpasi otot paravertebrae lumbalis
- Pemeriksaan motorik tungkai bawah
- Pemeriksaan sensibilitas tungkai bawah
- Pemeriksaan otonom

68
Pemeriksaan penunjang, bila ada indikasi:
 Pemeriksaan Laboratorium (darah lengkap, fungsi ginjal, elektrolit, CRP, Faktor Rhematoid,
Urinalisa, Tumor marker
 Pemeriksaan radiologi (foto polos, CT-Scan, MRI)
SLR Test positif, bila timbul rasa nyeri saat tungkai bawah diangkat pada 0 0-700 yang menandakan
adanya tekanan pada syaraf tulang punggung. Bila dilakukan dorsofleksi kaki rasa nyeri akan
bertambah bila terdapat HNP dan sebaliknya bila dilakukan plantar fleksi kaki, seharusnya rasa
nyeri tidak bertambah. Pada Nyeri Punggung Bawah saja, test SLR akan negatif. Patrick test positif,
bila ada rasa nyeri di daerah panggul atau daerah sacroiliaca, saat lutut yang fleksi dengan kaki
berada pada lutut tungkai lainnya ditekan kebawah. Test positif juga menandakan adanya gejala
neurologis. Bila test SLR dan Patrick positif perlu pemeriksaan neurologis lanjutan untuk
mengetahui daerah lumbar atau sakral mana yang terkena.

Apabila terjadi Nyeri Punggung Bawah Kronis, seorang dokter biasanya diminta untuk melakukan
evaluasi apakah keadaan ini sudah menetap dan menyebabkan pekerja tidak dapat melakukan
pekerjaannya secara optimal. Upaya diagnostik yang lebih luas perlu dilakukan dan biasanya
dilakukan ditempat pelayanan rujukan. Dalam hal ini perlu dipikirkan adanya kemungkinan
gangguan lainnya, seperti penyakit degeneratif, radang, penyakit organ lain dalam panggul dsb.
Kemungkinan lain adalah adanya kecemasan berlebihan atau simulasi karena ada motivasi lain.
Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa test untuk meyakinkan bahwa pasien benar – benar
sakit:
 SLR-test yang dilakukan pada posisi berbaring maupun posisi duduk, seharusnya memberikan
hasil yang sama.
 Nyeri tekan pada daerah punggung bawah seharusnya tidak terjadi bila hanya menekan
ringan (sebatas kulit)
 Patrick test : pada pasien dengan gangguan daerah lumbar, seharusnya tidak ada rasa nyeri
bila panggul difleksi secara pasif dengan lutut pada keadaan fleksi.

2. Mengidentifikasi pajanan yang dialami


Anamnesis pekerjaan dan / atau pengamatan cara bekerja untuk mengetahui apakah ada faktor
risiko terhadap terjadinya NPB/HNP, termasuk menanyakan apakah pernah terjadi kecelakaan /
cedera pada punggung. Faktor Lingkungan Kerja juga perlu diperhatikan, seperti Pencahayaan
kurang baik, suhu dingin atau stress kerja yang dapat mempengaruhi / memperberat penyakit.

3. Hubungan antara pajanan di tempat kerja dan penyakit.


Dari faktor risiko atau pajanan yang dialami di tempat kerja: posisi kerja, cara kerja sesuai
dengan lokasi nyeri, yaitu pada punggung bawah

4. Apakah jumlah pajanan di tempat kerja cukup


Penilaian jumlah pajanan bisa dilihat dari beban kerja, frekwensi gerakan yang dilakukan dan
berapa lama suatu posisi dipertahankan, termasuk masa kerja pada pekerjaan tersebut. Untuk
NPB/HNP tidak ada batasan waktu tertentu, dapat terjadi tiba-tiba atau perlahan-lahan setelah
bekerja untuk beberapa waktu

5. Apakah ada peranan Faktor Individu:


Faktor individu merupakan risiko untuk terjadinya penyakit otot rangka, misalnya jenis kelamin,
umur, HNP. Adanya faktor-faktor tersebut, tidak menyebabkan diagnosis Penyakit Akibat Kerja
tidak dapat ditegakkan, tetapi menjelaskan mengapa individu tertentu yang terkena atau lebih
cepat terkena.

6. Faktor lain diluar pekerjaan:

69
Selain ditempat kerja, seseorang bekerja juga dirumah, bahkan ada yang mempunyai pekerjaan
ganda atau hobby yang berisiko juga terhadap terjadinya NPB/HNP. Perlu dilakukan identifikasi
faktor-faktor risiko apa yang terjadi diluar pekerjaan utama, termasuk apakah cedera pertama
kali terjadi dirumah dan seberapa besar faktor risiko dirumah/pekerjaan lain berperan

7. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja


LBP/HNP Akibat Kerja

b) Tatalaksana LBP atau HNP Akibat Kerja


1. Tatalaksana Klinis.
Terapi medikamentosa, fisioterapi, akupuntur, dll
Merujuk ke dokter Neurologi apabila tidak ada perbaikan
2. Tatalaksana Okupasi
- Pengendalian pajanan ergonomi di tempat kerja sesuai dengan hirarki pengendalian,
untuk mencegah pekerja lain mengalami Penyakit Akibat Kerja yang sama
- Istirahatkan dari pekerjaan yang berisiko (mengangkat, mendorong, posisi bending,
twisting, dll. Jika diperlukan dapat diberikan rekomendasi untuk pekerjaan lain
sementara waktu agar terhindar dari perburukan dan kecacatan lebih lanjut.
- Apabila LBP/HNP akibat kerja telah ditatalaksana secara tuntas dan masih terdapat
gejala sisa berupa kecacatan, maka atas permintaan pasien atau pemberi kerja
perhitungan prosentase kecacatan.
VI. REFERENSI
 Barry S Levy David H Wegman. Occupational Health Recognizing and preventing world related
disease.edisi ke 3
 Soemarko DS, Sulistomo AB. Tujuh Langkah Diagnosis Okupasi untuk mendeteksi Penyakit
Akibat Kerja. Perhimpunan Spesialis KEdokteran Okupasi Indonesia, Jakarta 2011.
 Week, JL, Gregory R Wagner,Kathleen M Rest, Barry S levi. A Public Health Approach to
preventing occupational Diseases and Injuries in preventing Occupati onal diseases and injury.
Edisi ke 2, APHA, Washington, 2005.
 Konsensus Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja di Indonesia, Jakarta, 2019.

70
MATERI INTI 4
DIAGNOSIS PENYAKIT AKIBAT KERJA KARENA PAJANAN KIMIA
JPL : 4 ( 1Teori, 3 Penugasan)

I. DESKRIPSI SINGKAT
Hampir semua tempat kerja menggunakan bahan kimia baik sebagai bahan baku maupun hasil
produksi. Bahan kimia yang digunakan di tempat kerja sangat banyak jenisnya. Setiap bahan kimia
dapat menimbulkan beberapa jenis penyakit, sedangkan beberapa jenis bahan kimia dapat
menimbulkan penyakit yang sama. Oleh karena itu penting bagi dokter untuk dapat menegakkan
diagnosis penyakit akibat kerja karena pajanan kimia.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


A. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM
Setelah mengikuti materi ini peserta mampu melakukan diagnosis penyakit akibat kerja karena
pajanan kimia.
B. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu:
a) Memahami prinsip diagnosis penyakit akibat kerja karena pajanan kimia
b) Melakukan tatalaksana penyakit Dermatitis kontak iritan akibat kerja (penyakit akibat kerja
yang spesifik pada pekerjaan tertentu)
c) Melakukan tatalaksana penyakit dermatitis kontak Alergi akibat kerja
d) Melakukan tatalaksana penyakit asma akibat kerja (penyakit akibat kerja yang spesifik pada
pekerjaan

III. POKOK BAHASAN


Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan dan sub pokok bahasan sebagai berikut.
Pokok bahasan 1. PRINSIP DIAGNOSIS PENYAKIT AKIBAT KERJA KARENA PAJANAN KIMIA
Pokok bahasan 2. TATALAKSANA DERMATITIS KONTAK IRITAN AKIBAT KERJA (PENYAKT AKIBAT
KERJA YANG SPESIFIK PEKERJAAN TERTENTU)
Sub pokok bahasan:
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
b. Tatalaksana
Pokok bahasan 3. TATALAKSANA DERMATITIS KONTAK ALERGI AKIBAT KERJA (PENYAKT AKIBAT
KERJA YANG SPESIFIK PEKERJAAN TERTENTU)
Sub pokok bahasan:
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
b. Tatalaksana
Pokok bahasan 4. TATALAKSANA ASMA AKIBAT KERJA (PENYAKT AKIBAT KERJA YANG SPESIFIK
PEKERJAAN TERTENTU)
Sub pokok bahasan:
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
b. Tatalaksana
Pokok bahasan 5. TATALAKSANA ASBESTOSIS DAN MESOTHELIOMA AKIBAT KERJA (PENYAKT
AKIBAT KERJA YANG SPESIFIK PEKERJAAN TERTENTU)
Sub pokok bahasan:

71
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
b. Tatalaksana

IV. METODE
 Ceramah & tanya jawab
 Role play
 Presentasi peserta dan tanya jawab

V. MEDIA ALAT BANTU


 Bahan tayang/ power point
 Modul
 Laptop/Komputer
 LCD
 Laser pointer
 ATK
 Petunjuk role play

VI. LANGKAH PEMBELAJARAN


Langkah 1: Pengkondisian
Kegiatan pelatih
1. Pelatih menyapa peserta dengan ramah dan hangat, apabila belum pernah memperkenalkan
diri, nama lengkap, asal institusi.
2. Menyampaikan tujuan umum, tujuan khusus dan pokok bahasan yang akan disampaikan
menggunakan bahan tayang.
Langkah 2: Pelatih menjelaskan pokok bahasan pertama:
Kegiatan Pelatih:
1. Pelatih menjelaskan tentang pengertian bahan pajanan bahan kimia
2. Pelatih bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta
Kegiatan Peserta:
1. Peserta mendengarkan dengan seksama
2. Pelatih menjawab pertanyaan peserta
Langkah 3: melakukan role play:
Kegiatan Pelatih:
1. Pelatih menjelaskan tentang role play
2. Pelatih bertanya kepada peserta tentang petunjuk role play yang masih belum dimengerti oleh
peserta
Kegiatan Peserta:
1. Melakukan role play sesuai peran dalam kelompok
2. Mempresentasikan hasil role play
3. Berdiskusi tentang hasil role play

VII. URAIAN MATERI


Pokok bahasan 1. PRINSIP PENYAKIT AKIBAT KERJA KARENA PAJANAN KIMIA
Penyakit akibat kerja akibat bahan kimia adalah segala gangguan atau abnormalitas pada organ
manusia seperti kulit, salutan nafas, ginjal dan lain-lain yang disebabkan oleh pajanan bahan kimia
tertentu. Penyakit akibat kerja karena pajanan kimia banyak sekali, karena pajanan terhadap satu
bahan kimia dapat menimbulkan beberapa penyakit dan sebaliknya pajanan terhadap beberapa
bahan kimia dapat menimbulkan satu penyakit karena target organ bahan kimia tersebut sama.
Penyakit akibat pajanan kimia dapat timbul dalam waktu singkat (akut) atau beberapa waktu
kemudian (kronik) setelah terpajan bahan kimia. Penyakit akibat pajanan kimia dapat berhenti
prosesnya setelah pajanan dihentikan tetapi ada juga yang prosesnya terus berlanjut (progresif).

72
Jenis-Jenis Pajanan Kimia :
 Logam berat
 Pelarut organik
 Pestisida
 Debu fibrogenik
 Allergen
 Irritan

Pokok bahasan 2. TATALAKSANA DERMATITIS KONTAK IRITAN AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT
SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
Subpokok bahasan :
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
7 Langkah diagnosis dermatitis kontak iritan akibat kerja :
1. Diagnosis klinis sesuai dermatitis kontak iritan
Adalah peradangan pada kulit melalui mekanisme iritasi/peradangan yang terjadi akibat kontak
dengan bahan penyebab yang ada di tempat kerja.
2. Pajanan yang dialami di tempat kerja
Terdapat riwayat terpajan bahan iritan antara lain sabun/deterjen, pelarut, minyak dan
pelumas, produk petroleum, asam, basa, semen, garam metal, terak dan wol kaca
Pekerja yang berisiko : pekerja yang bekerja menggunakan bahan-bahan yang bersifat iritan,
pekerja yang bekerja di lingkungan basah seperti nelayan, penjual ikan, pekerja domestik
(rumah tangga), pekerja pabrik semen dan penata rambut.
Bila terdapat keraguan terhadap pajanan penyebab dermatitis kontak iritan maka
dikategorikan dugaan dermatitis kontak iritan akibat kerja
3. Hubungan antara pajanan dengan diagnosis klinis
Hubungan antara pajanan kerja dengan kejadian dermatitis kontak iritan dapat diketahui
melalui salah satu informasi dibawah ini:
 Munculnya gejala dipicu oleh agen atau pajanan di tempat kerja dan gejala berkurang bila
menghindari kontak dengan pajanan
 Lesi di kulit sesuai dengan area kontak dengan pajanan
 Terdapat pekerja yang mengalami pajanan sama juga mengalami keluhan serupa
4. Besarnya Pajanan
Tidak terdapat rujukan dosis minimum dan waktu pajanan untuk menimbulkan iritasi kulit.
Semakin besar pajanan maka lesi semakin parah.
5. Faktor Individu Yang Berperan
Tidak terdapat faktor individu yang berpengaruh terhadap dermatitis kontak iritan
6. Faktor Lain di Luar Tempat Kerja
Kontak dengan bahan iritan di luar lingkungan kerja dapat menjadi perancu penyebab
dermatitis. Bila terdapat riwayat pajanan bahan iritan dari luar lingkungan kerja maka
dikategorikan dugaan dermatitis kontak iritan akibat kerja.
7. Diagnosis okupasi
Kontak iritan akibat kerja, atau
Dugaan dermatitis akibat kerja, atau
Bukan dermatitis kontak iritan akibat kerja
b. Tatalaksana
1. Tatalaksana medis
Medikamentosa dan tindakan lain sesuai panduan klinis tatalaksana dermatitis kontak iritan
2. Tatalaksana okupasi
a) Tatalaksana okupasi untuk individu pekerja
 Memberikan edukasi dan konseling yang meliputi :

73
 Penjelasan bahwa dermatitis yang diderita disebabkan oleh iritasi yang
disebabkan salah satu agen atau pajanan di tempat kerja
 Penjelasan mengenai pajanan kerja khususnya pajanan yang dapat
menyebabkan dermatitis kontak iritan di tempat kerja yang harus dihindari
 Pemberian pengetahuan mengenai gejala, pemeriksaan dan tindakan yang
harus dilakukan bila terjadi dermatitis kontak iritan
 Pemberian rekomendasi alat pelindung diri yang sesuai untuk melindungi pekerja dari
kontak dengan pajanan
 Penilaian kembali bekerja
Penilaian kembali bekerja diperlukan khususnya untuk memastikan bahwa pekerja
dapat kembali bekerja dengan aman.
 Penilaian kecacatan
Pada umumnya dermatitis kontak iritan tidak menyebabkan perubahan fungsi yang
permanen sehingga tidak diperlukan penilaian kecacatan
 Pencatatan dan pelaporan
Kejadian dermatitis kontak iritan akibat kerja dilaporkan sesuai laporan fasilitas
pelayanan kesehatan. Untuk kebutuhan penyesuaian kerja maka dokter membuat
laporan dermatitis kontak iritan akibat kerja yang akan di teruskan kepada pemberi
kerja dengan persetujuan pekerja.
b) Tatalaksana okupasi pada komunitas
Ditujukan untuk komunitas bertujuan untuk melindungi pekerja lain dengan risiko sejenis
dari dermatitis kontak iritan akibat kerja, diantaranya :
 Memberikan surat rekomendasi kerja dengan seizin pasien tentang informasi adanya
kejadian dermatitis kontak iritan akibat kerja serta pajanan atau agen penyebab
 Memberikan dukungan pada komunitas untuk melakukan penilaian risiko, deteksi dini,
surveilans dan tindakan pencegahan terjadinya dermatitis kontak iritan di tempat
pekerja

Pokok bahasan 3. TATALAKSANA DERMATITIS KONTAK ALERGI AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT
SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
Subpokok bahasan :
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
7 Langkah diagnosis dermatitis kontak alergi akibat kerja :
1. Diagnosis klinis sesuai dermatitis kontak alergi
Adalah peradangan pada kulit melalui mekanisme hipersensitifitas yang terjadi akibat kontak
dengan bahan penyebab yang ada di tempat kerja.
2. Pajanan yang dialami pekerja di tempat kerja
Terdapat riwayat terpajan dengan bahan penyebab alergi antara lain antibiotik, pengawet,
tanaman, antiseptik, produk karet, lem dan bahan perekat, metal.
Pekerja yang berisiko antara lain pekerja logam, pembuat sepatu, penata rambut, pekerja
pewarna tekstil, penyadap karet, pekerja kesehatan.
Bila terdapat keraguan terhadap pajanan penyebab dermatitis kontak alergika maka
dikategorikan dugaan dermatitis kontak alergika akibat kerja
3. Hubungan antara pajanan dengan diagnosis klinis
Hubungan antara dermatitis kontak dengan pajanan di tempat kerja dapat diketahui melalui
informasi antara lain lesi pada kulit sesuai dengan area kontak dengan pajanan, lesi tidak
langsung timbul setelah terjadi kontak
4. Besarnya pajanan
Besarnya pajanan tidak berpengaruh pada dermatitis kontak alergi
5. Faktor individu yang berperan
Riwayat atopi pada individu dan kontak dengan bahan penyebab alergi untuk aktifitas pribadi
74
dapat menjadi perancu penyebab dermatitis. Bila ada faktor individu dalam menyebabkan
dermatitis kontak alergi maka dikategorikan dugaan dermatitis kontak alergika akibat kerja.
6. Faktor Lain di Luar Tempat Kerja
Bahan penyebab alergi yang berasal dari lingkungan juga dapat menjadi perancu penyebab
dermatitis kontak. Bila ada faktor lingkungan di luar kerja dalam menyebabkan dermatitis
kontak alergi maka dikategorikan dugaan dermatitis kontak alergika akibat kerja
7. Diagnosis okupasi
Dermatitis kontak alergika akibat kerja, atau
Dugaan dermatitis kontak alergika akibat kerja, atau
Bukan dermatitis kontak alergika akibat kerja
b. Tatalaksana
1. Tatalaksana medis
Terapi medikamentosa dan tindakan lain sesuai panduan klinis tatalaksana dermatitis kontak
alergika.
2. Tatalaksana okupasi
a) Tatalaksana okupasi individu pekerja
 Memberikan edukasi dan konseling yang meliputi :
 Penjelasan bahwa dermatitis yang diderita disebabkan oleh alergi terhadap
salah satu agen atau pajanan di tempat kerja
 Penjelasan mengenai pajanan kerja khususnya pajanan yang dapat
menyebabkan dermatitis kontak alergi di tempat kerja yang harus dihindari
 Penjelasan mengenai gejala, pemeriksaan dan tindakan yang harus dilakukan
bila terjadi dermatitis kontak alergi
 Pemberian rekomendasi alat pelindung diri yang sesuai untuk melindungi pekerja
dari kontak dengan pajanan
 Penilaian kembali bekerja
Penilaian kembali bekerja diperlukan khususnya untuk memastikan bahwa pekerja
dapat kembali bekerja dengan aman.
 Penilaian kecacatan
Pada umumnya dermatitis kontak alergika tidak menyebabkan perubahan fungsi
yang permanen sehingga tidak diperlukan penilaian kecacatan
 Pencatatan dan pelaporan
Kejadian dermatitis kontak alergika akibat kerja dilaporkan sesuai laporan fasilitas
pelayanan kesehatan. Untuk kebutuhan penyesuaian kerja maka dokter membuat
laporan dermatitis kontak alergika akibat kerja yang akan di teruskan kepada
pemberi kerja dengan persetujuan pekerja.
b) Tatalaksana okupasi komunitas
Ditujukan untuk komunitas bertujuan untuk melindungi pekerja lain dengan risiko sejenis
dari dermatitis kontak alergi akibat kerja, diantaranya :
 Memberikan surat rekomendasi kerja dengan seizin pasien tentang informasi adanya
kejadian dermatitis kontak alergi akibat kerja serta pajanan atau agen penyebab
 Memberikan dukungan pada komunitas untuk melakukan penilaian risiko, deteksi dini,
surveilans dan tindakan pencegahan terjadinya dermatitis kontak alergika di tempat
pekerja
Pokok bahasan 4. TATALAKSANA ASMA AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT SPESIFIK PADA PEKERJAAN
TERTENTU)
Subpokok bahasan :
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
Asma akibat kerja adalah asma yang disebabkan oleh penyebab sensitisasi atau zat iritan yang
dikenal yang ada dalam proses pekerjaan serangan asma.
7 Langkah diagnosis asma akibat kerja :
75
1. Diagnosis klinis sesuai asma
2. Pajanan kerja yang dialami pekerja
Terdapat riwayat pajanan bahan penyebab asma. Bahan penyebab asma kerja antara lain :
debu tepung, detergen bubuk yang mengandung enzim, lateks, serbuk sari, semen, debu dari
hewan, debu biji-bijian, debu yang mengandung spora jamur, bakteri, endotoksin, debu kayu,
isosianat, uap logam, persulfate, henna dan chlor.
Tempat kerja yang berisiko antara lain: industri makanan berbahan tepung, fasilitas kesehatan,
laboratorium, pertanian, peternakan, industri otomotif, bengkel pertukangan, industri
elektronik, industri logam, salon.
Bila terdapat keraguan terhadap pajanan penyebab asma maka dikategorikan dugaan asma
akibat kerja
3. Hubungan antara pajanan dengan diagnosis klinis
Hubungan antara gejala asma dengan pajanan kerja dapat diketahui melalui salah satu
informasi dibawah ini :
 Keluhan sesak atau asma tidak pernah terjadi sebelum mendapat pajanan di tempat kerja
 Keluhan sesak muncul di lokasi kerja dan berkurang atau hilang diluar area kerja atau saat
libur
 Keluhan sesak muncul setelah tiba di rumah dan berkurang atau hilang di pagi hari
 Keluhan semakin memberat seiring hari kerja
4. Besarnya Pajanan
Tidak terdapat dosis atau jumlah minimal pajanan untuk menimbulkan asma kerja
5. Faktor Individu Yang Berperan
Adanya riwayat asma atau alergi sebelumnya dapat merancukan penyebab asma. Bila diketahui
adanya riwayat asma atau alergi sebelum bekerja maka dikategorikan dugaan asma akibat
kerja.
6. Faktor Lain di Luar Tempat Kerja
Adanya penyebab asma pada lingkungan di luar lingkungan kerja seperti misalnya pekerjaan
konstruksi disekitar tempat tinggal dan debu di area pertanian dapat merancukan penyebab
asma. Bila ditemukan faktor lain tersebut dikategorikan dugaan asma akibat kerja.
7. Diagnosis okupasi
Asma akibat kerja, atau
Dugaan asma akibat kerja, atau
Bukan asma akibat kerja
b. Tatalaksana
1. Tatalaksana medis
Terapi medikamentosa sesuai panduan klinis tatalaksana penyakit asma
2. Tatalaksana okupasi
a) Tatalaksana okupasi individu pekerja
 Memberikan edukasi dan konseling yang meliputi:
 Penjelasan bahwa asma yang diderita oleh pekerja disebabkan oleh pajanan di
tempat kerja
 Penjelasan mengenai pajanan kerja khususnya pajanan yang dapat
menyebabkan asma di tempat kerja yang harus dihindari untuk mencegah
asma
 Pengetahuan mengenai gejala, pemeriksaan dan tindakan yang harus
dilakukan bila terjadi serangan asma
 Anjuran untuk berhenti merokok bila pekerja adalah seorang perokok
 Penilaian kembali bekerja
Penilaian kembali bekerja diperlukan khususnya untuk memastikan bahwa pekerja
dapat kembali bekerja dengan aman. Bila fungsi paru berkurang akibat asma kerja

76
sehingga membutuhkan penyesuaian kerja maka diperlukan penilaian kembali
bekerja.
 Penilaian kecacatan
Penilaian kecacatan dilakukan bila terdapat penurunan fungsi paru yang permanen
akibat asma yang diderita
 Pencatatan dan pelaporan
Kejadian asma kerja dilaporkan sesuai laporan fasilitas pelayanan kesehatan. Untuk
kebutuhan penyesuaian kerja maka dokter membuat laporan asma kerja yang akan
di teruskan kepada pemberi kerja dengan persetujuan pekerja. Bila pekerja
memiliki jaminan asuransi maka dokter memberikan laporan sesuai form PAK untuk
diteruskan ke pihak yang terkait.
b) Tatalaksana okupasi komunitas
Bertujuan untuk melindungi pekerja lain yang memiliki risiko pekerjaan sama dari asma
kerja, antara lain
 Memberikan informasi tentang adanya kejadian asma kerja serta pajanan atau
agen penyebab yang dapat menimbulkan asma di tempat kerja
 Memberikan dukungan pada komunitas untuk melakukan penilaian risiko, deteksi
dini, surveilans dan tindakan pencegahan terjadinya asma di tempat pekerja

Pokok bahasan 5. TATALAKSANA ASBESTOSIS DAN MESOTHELIOMA AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT
SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
Subpokok bahasan :
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
 Asbestosis akibat kerja
Adalah penyakit fibrosis interstitial diffuse yang terjadi akibat inhalasi serat asbes dalam proses
kerja atau di lingkungan kerja.
Asbes adalah serat silikat yang terdapat dalam bermacam bentuk krisotil (asbes putih), krosidolit
(asbes biru), amosit, aktinolit, tremolite dan antofiliat. Seluruh serat tersebut merupakan
karsinogen dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan walaupun reaktifitas biologinya
berbeda-beda.
7 Langkah diagnosis penyakit akibat kerja
1. Diagnosis klinis sesuai asbestosis
2. Pajanan kerja yang dialami pekerja
- Terdapat riwayat pajanan asbes melalui identifikasi pekerja yang berisiko seperti
pekerja industri berbahan asbes di antaranya adalah pekerja industri atap asbes,
keramik, gasket, kanvas rem, bahan insulasi dan pabrik berbahan baku asbes lainnya.
Pekerja yang bekerja dengan materi atau bahan yang mengandung asbes di antaranya
pekerja konstruksi, montir kendaraan, bekerja dengan boiler, pipa dan materi lain
berbahan asbes
- Terdapat tanda patognomonik penanda (biomarker) pajanan asbes berupa gambaran
plak pleura pada gambaran rontgen atau CT scan thorak
3. Hubungan antara pajanan dengan diagnosis klinis
Hubungan antara pajanan asbes dan kejadian asbestosis dapat diketahui melalui salah satu
informasi :
- terdapat kesesuaian antara periode waktu pajanan asbes pertama kali dengan periode
laten terjadinya asbestosis. Periode laten untuk asbestosis pada umumnya 15 tahun
sejak pajanan pertama. Pada pajanan yang besar asbestosis dapat terjadi 5 tahun
setelah pajanan pertama.
- terdapat pekerja yang mengalami pajanan asbes juga mengalami asbestosis
4. Besarnya pajanan
 Pada umumnya asbestosis muncul setelah pajanan 15 tahun

77
 Pada pajanan yang besar maka asbestosis dapat muncul setelah mengalami pajanan
selama 5 tahun.
Bila terdapat keraguan tentang data besar pajanan maka dikategorikan dugaan asbestosis
akibat kerja.
5. Faktor individu yang berperan
Aktifitas pribadi atau kebiasaan tidak signifikan dalam menyebabkan asbestosis.
6. Faktor lain di luar tempat kerja
Pajanan asbes dari lingkungan (misalnya tinggal dirumah beratap asbes yang intak) biasanya
tidak signifikan dalam menyebabkan asbestosis
7. Diagnosis okupasi
Asbestosis akibat kerja, atau
Dugaan asbestosis akibat kerja, atau
Bukan asbestosis akibat kerja
 Mesothelioma akibat kerja
Adalah tumor yang berasal dari jaringan mesothelial atau submesothelial dari pleura,
peritoneum, pericardium dan tunika vaginalis pada testis yang disebabkan oleh pajanan asbes di
lingkungan kerja. Hampir 80% dari seluruh mesothelioma berasal dari pleura. Ciri khas
mesothelioma pleura adalah penebalan pleura yang berbentuk sirkumferensial, penebalan
pleura lebih dari 1 cm dan dan penebalan pleura mediastinum.
7 Langkah diagnosis penyakit akibat kerja :
1. Diagnosis klinis sesuai mesothelioma
2. Pajanan kerja yang dialami pekerja
Terdapat riwayat pajanan asbes melalui identifikasi pekerja yang berisiko seperti pekerja
industri berbahan asbes di antaranya adalah pekerja industri atap asbes, keramik, gasket,
kanvas rem, bahan insulasi dan pabrik berbahan baku asbes lainnya. Pekerja yang bekerja
dengan materi atau bahan yang mengandung asbes di antaranya pekerja konstruksi, montir
kendaraan, bekerja dengan boiler, pipa dan materi lain berbahan asbes
3. Hubungan antara pajanan dengan diagnosis klinis
Hubungan antara pajanan asbes dan kejadian mesothelioma dapat diketahui melalui
kecocokan periode laten pajanan dan kejadian mesothelioma. Periode laten adalah lebih
dari 15 tahun dan pada umumnya 15-40 tahun
4. Besarnya Pajanan
Semakin besar dan lama pajanan maka semakin besar risiko untuk menderita mesothelioma
namun berdasarkan epidemiologi, pajanan kecil dan singkat juga dapat menyebabkan
mesothelioma
5. Faktor individu yang berperan
Tidak ditemukan peran faktor individu dalam menimbulkan mesothelioma
6. Faktor lain di luar tempat kerja
Pajanan asbes dari lingkungan rumah misalnya menggunakan atap asbes yang rusak atau
tinggal di dekat industri asbes dapat menjadi perancu diagnosis penyakit akibat kerja.
Bila ditemukan juga adanya pajanan di luar lingkungan kerja selain tempat kerja maka
dapat dikategorikan dugaan mesothelioma akibat kerja.
7. Diagnosis okupasi
Mesotelioma akibat kerja, atau
Dugaan mesotelioma,
Bukan mesotelioma akibat kerja
b. Tatalaksana
1. Tatalaksana medis
Sesuai panduan klinis tatalaksana asbestosis dan mesotelioma
2. Tatalaksana okupasi
a) Tatalaksana okupasi individu pekerja

78
 Memberikan edukasi dan konseling yang meliputi:
 Penjelasan bahwa penyakit yang diderita oleh pekerja disebabkan oleh pajanan
serat asbes di tempat kerja yang mungkin terjadi lebih dari 15 tahun yang lalu
 Memberikan dukungan pada pekerja untuk menjalankan terapi dan
menjelaskan hak-hak pekerja selama proses perawatan bila pekerja memiliki
asuransi ketenagakerjaan.
 Penilaian kembali bekerja
Asbestosis dan mesothelioma menyebabkan penurunan fungsi paru dan kapasitas
fisik secara umum maka diperlukan penilaian kembali bekerja bila terapi telah
dilakukan dan pekerja ingin kembali bekerja.
 Penilaian kecacatan
Asbestosis dan mesothelioma menyebabkan gangguan fungsi paru atau penurunan
kapasitas fisik yang permanen, maka diperlukan penilaian kecacatan setelah pekerja
pulih.
 Pencatatan dan pelaporan
Kejadian asbestosis dan mesothelioma akibat kerja dilaporkan sesuai laporan
fasilitas pelayanan kesehatan. Untuk melindungi pekerja lain maka dokter membuat
laporan asbestosis dan mesothelioma akibat kerja yang akan di teruskan kepada
pemberi kerja dengan persetujuan pekerja. Bila pekerja memiliki jaminan asuransi
maka dokter memberikan laporan sesuai form Penyakit Akibat Kerja untuk
diteruskan ke pihak yang terkait.
b) Tatalaksana okupasi komunitas
Bertujuan untuk melindungi pekerja lain yang terpajan asbes dari gangguan kesehatan
yang ditimbulkannya. Intervensi okupasi yang dapat dilakukan antara lain:
 Memberikan edukasi tentang asbestosis dan mesothelioma akibat kerja pada
pemberi kerja dan komunitas pekerja dengan pajanan asbes
 Memberikan dukungan pada komunitas untuk melakukan penilaian risiko
penularan, deteksi dini, surveilans dan tindakan pencegahan di tempat pekerja
 Memberi konsultasi kepada pemberi kerja untuk melakukan perbaikan tempat kerja
untuk menurunkan risiko asbestosis dan mesothelioma di tempat kerja
 Memberikan konsultasi tentang pemantauan serat asbes di lingkungan kerja
 Merekomendasikan alat pelindung respirasi yang sesuai pada pekerja terpajan asbes

79
MATERI INTI 5
PENYAKIT AKIBAT KERJA KARENA PAJANAN FISIKA
Jumlah JPL : 4 ( T : 1, P :3, PL :0)

I. DESKRIPSI SINGKAT
Peningkatan pembangunan industri di Indonesia dibarengi dengan pemanfaatan peralatan dengan
berbagai tingkat kemajuan teknologi. Hal ini dapat menguntungkan karena mempermudah pelaksanaan
pekerjaan dan meningkatkan hasil produksi. Namun dapat pula berdampak negatif terhadap pekerja
dalam berbagai aspek, yaitu terkait meningkatnya potensi bahaya faktor fisika seperti panas, kebisingan,
getaran, pencahayaan, radiasi elektromagnetik, serta tekanan udara. Petugas medis/kesehatan perlu
mengetahui mengenai berbagai faktor fisika di lingkungan kerja, gangguan kesehatan/penyakit yang
dapat terjadi, langkah-langkah diagnosis penyakit akibat faktor fisika serta upaya pencegahannya.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


A. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM
Setelah mengikuti materi ini peserta mampu melakukan tatalaksana Penyakit Akibat Kerja karena
pajanan fisika
B. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS (TPK)
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu :
1. Menjelaskan prinsip diagnosis Penyakit Akibat Kerja karena pajanan fisika.
2. Melakukan tatalaksana penyakit noise induce hearing loss akibat kerja (Penyakit Akibat
Kerja yang spesifik pada pekerjaan tertentu).
3. Melakukan tatalaksana penyakit katarak akibat kerja (Penyakit Akibat Kerja yang spesifik
pada pekerjaan tertentu).
4. Melakukan diagnosis dan tatalaksana penyakit photokeratitis akibat kerja (Penyakit Akibat
Kerja yang spesifik pada pekerjaan tertentu).
5. Melakukan diagnosis dan tatalaksana penyakit otitis barotrauma akibat kerja (Penyakit
Akibat Kerja yang spesifik pada pekerjaan tertentu)
6. Melakukan diagnosis dan tatalaksana penyakit dekompresi akibat kerja (Penyakit Akibat
Kerja yang spesifik pada pekerjaan tertentu)

III. POKOK BAHASAN


Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan dan sub pokok bahasan sebagai berikut :
Pokok Bahasan 1. PRINSIP DIAGNOSIS PENYAKIT AKIBAT KERJA KARENA PAJANAN FISIKA (PENYAKIT
AKIBAT KERJA SPESIFIK KARENA PEKERJAAN TERTENTU)
Sub Pokok Bahasan:
Prinsip diagnosis Penyakit Akibat Kerja karena pajanan fisika
Pokok Bahasan 2. TATALAKSANA NOISE INDUCE HEARING LOSS AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT KERJA
YANG SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
Sub Pokok Bahasan:
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja.
b. Tatalaksana
Pokok Bahasan 3. TATALAKSANA PENYAKIT KATARAK AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT KERJA YANG
SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
Sub Pokok Bahasan:
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja.
b. Tatalaksana

80
Pokok Bahasan 4. TATALAKSANA PENYAKIT PHOTOKERATITIS AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT KERJA
YANG SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU).
Sub Pokok Bahasan:
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja.
b. Tatalaksana
Pokok Bahasan 5. TATALAKSANA PENYAKIT OTITIS BAROTRAUMA AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT
KERJA YANG SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
Sub Pokok Bahasan:
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja.
b. Tatalaksana
Pokok Bahasan 6. TATALAKSANA PENYAKIT DEKOMPRESI AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT KERJA YANG
SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
Sub Pokok Bahasan:
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja.
b. Tatalaksana

IV. METODE
 Ceramah tanya jawab
 Latihan kasus

V. MEDIA DAN ALAT BANTU


 Bahan tayang power point
 Modul
 Laptop
 LCD
 Laser pointer
 Form berkas okupasi
 Lembar kasus
 Panduan latihan kasus

VI. LANGKAH PEMBELAJARAN


LANGKAH 1 : Pengkondisian
1. Fasilitator memberi salam dan menyapa dengan ramah dan hangat
2. Fasilitator memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap instansi dan judul materi yang
disampaikan.
3. Menciptakan suasana nyaman dan memotivasi peserta agar siap menerima materi.
LANGKAH 2 : Penyampaian Pokok bahasan 1. Prinsip diagnosis Penyakit Akibat Kerja karena pajanan
fisika
Kegiatan Fasilitator:
1. Fasilitator melakukan curah pendapat atau brain storming dengan mengajukan beberapa pertanyaan
kepada peserta untuk mengukur pemahaman tentang prinsip diagnosis Penyakit Akibat Kerja karena
pajanan fisika.
2. Fasilitator merangkum pendapat peserta tentang prinsip diagnosis Penyakit Akibat Kerja karena
pajanan fisika.
3. Fasilitator menjelaskan tentang pokok bahasan 1 tentang prinsip diagnosis Penyakit Akibat Kerja
karena pajanan fisika.
4. Fasilitator bertanya pada peserta tentang hal-hal yang belum dimengerti
Kegiatan Peserta:
1. Peserta menjawab pertanyaan fasilitator
2. Peserta mendengarkan dan mencatat hasil rangkuman
3. Peserta menyimak penjelasan fasilitator
81
4. Peserta menanyakan dan menjawab pertanyaan fasilitator
5. Peserta menyimak film/video/foto2 dan memberikan pendapat/ komentar
LANGKAH 3: penyampaian pokok bahasan ke 2. Tatalaksana Noise Induce Hearing Loss akibat kerja
(Penyakit Akibat Kerja yang spesifik pada pekerjaan tertentu).
Kegiatan Fasilitator :
1. Fasilitator menjelaskan pokok bahasan ke 2 tentang Diagnosis dan Tatalaksana penyakit noise induce
hearing loss akibat kerja (Penyakit Akibat Kerja yang spesifik pada pekerjaan tertentu).
2. Fasilitator memberikan contoh-contoh kasus untuk didiskusikan oleh peserta
3. Fasilitator membagi peserta atas beberapa kelompok untuk diskusi kasus kemudian meminta wakil
setiap kelompok menyampaikan/ mempresentasikan hasil diskusi tersebut.
4. Fasilitator meminta peserta memberi komentar atau masukan terhadap presentasi kelompok
tersebut
5. Fasilitator merangkum hasil presentasi kelompok
6. Fasilitator bertanya pada peserta tentang hal-hal yang belum dimengerti
Kegiatan peserta:
1. Peserta mendengarkan dan meyimak perjelasan fasilitator
2. Peserta melakukan diskusi kelompok untuk latihan kasus
3. Peserta (wakil kelompok) mempresentasikan hasil diskusi kelompok
4. Peserta memberi masukan/komentar terhadap presentasi kelompok tersebut
5. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
6. Peserta mencacat hasil rangkuman
LANGKAH 4: penyampaian pokok bahasan ke 3: Tatalaksana penyakit katarak akibat kerja (Penyakit
Akibat Kerja yang spesifik pada pekerjaan tertentu).
Kegiatan Fasilitator
1. Fasilitator menjelaskan pokok bahasan ke 3 tentang Diagnosis dan Tatalaksana penyakit katarak
akibat kerja (Penyakit Akibat Kerja yang spesifik pada pekerjaan tertentu)

2. Fasilitator memberikan contoh-contoh kasus untuk didiskusikan oleh peserta

3. Fasilitator membagi peserta atas beberapa kelompok untuk diskusi kasus kemudian meminta
wakil setiap kelompok menyampaikan/ mempresentasikan hasil diskusi tersebut.

4. Fasilitator meminta peserta memberi komentar atau masukan terhadap presentasi kelompok
tersebut

5. Fasilitator merangkum hasil presentasi kelompok

6. Fasilitator bertanya pada peserta tentang hal-hal yang belum dimengerti

Kegiatan peserta:
1. Peserta mendengarkan dan meyimak perjelasan fasilitator
2. Peserta melakukan diskusi kelompok untuk latihan kasus
3. Peserta (wakil kelompok) mempresentasikan hasil diskusi kelompok
4. Peserta memberi masukan/komentar terhadap presentasi kelompok tersebut
5. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
6. Peserta mencacat hasil rangkuman

LANGKAH 5: Penyampaian pokok bahasan ke 4. Tatalaksana penyakit photokeratitis akibat kerja


(Penyakit Akibat Kerja yang spesifik pada pekerjaan tertentu).
Kegiatan Fasilitator
1. Fasilitator menjelaskan pokok bahasan ke 4 tentang Diagnosis dan Tatalaksana penyakit
photokeratitis akibat kerja (Penyakit Akibat Kerja yang spesifik pada pekerjaan tertentu).

82
2. Fasilitator memberikan contoh-contoh kasus untuk didiskusikan oleh peserta
3. Fasilitator membagi peserta atas beberapa kelompok untuk diskusi kasus kemudian meminta
wakil setiap kelompok menyampaikan/ mempresentasikan hasil diskusi tersebut.
4. Fasilitator meminta peserta memberi komentar atau masukan terhadap presentasi kelompok
tersebut
5. Fasilitator merangkum hasil presentasi kelompok
6. Fasilitator bertanya pada peserta tentang hal-hal yang belum dimengerti
Kegiatan peserta:
1. Peserta mendengarkan dan meyimak perjelasan fasilitator
2. Peserta melakukan diskusi kelompok untuk latihan kasus
3. Peserta (wakil kelompok) mempresentasikan hasil diskusi kelompok
4. Peserta memberi masukan/komentar terhadap presentasi kelompok tersebut
5. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
6. Peserta mencacat hasil rangkuman

LANGKAH 6: penyampaian pokok bahasan ke 5: Tatalaksana otitis barotrauma akibat kerja (Penyakit
Akibat Kerja yang spesifik pada pekerjaan tertentu)
Kegiatan Fasilitator :
1. Fasilitator menjelaskan pokok bahasan ke 5 tentang Diagnosis dan Tatalaksana penyakit otitis
barotrauma akibat kerja (Penyakit Akibat Kerja yang spesifik pada pekerjaan tertentu).
2. Fasilitator memberikan contoh-contoh kasus untuk didiskusikan oleh peserta
3. Fasilitator membagi peserta atas beberapa kelompok untuk diskusi kasus kemudian meminta
wakil setiap kelompok menyampaikan/ mempresentasikan hasil diskusi tersebut.
4. Fasilitator meminta peserta memberi komentar atau masukan terhadap presentasi kelompok
tersebut
5. Fasilitator merangkum hasil presentasi kelompok
6. Fasilitator bertanya pada peserta tentang hal-hal yang belum dimengerti
Kegiatan peserta:
1. Peserta mendengarkan dan meyimak perjelasan fasilitator
2. Peserta melakukan diskusi kelompok untuk latihan kasus
3. Peserta (wakil kelompok) mempresentasikan hasil diskusi kelompok
4. Peserta memberi masukan/komentar terhadap presentasi kelompok tersebut
5. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
6. Peserta mencacat hasil rangkuman

LANGKAH 7: penyampaian pokok bahasan ke 6. Tatalaksana penyakit dekompresi akibat kerja


(Penyakit Akibat Kerja yang spesifik pada pekerjaan tertentu).
Kegiatan Fasilitator
1. Fasilitator menjelaskan pokok bahasan ke 6 tentang Diagnosis dan Tatalaksana penyakit
dekompresi akibat kerja (Penyakit Akibat Kerja yang spesifik pada pekerjaan tertentu).
2. Fasilitator memberikan contoh-contoh kasus untuk didiskusikan oleh peserta
3. Fasilitator membagi peserta atas beberapa kelompok untuk diskusi kasus kemudian meminta
wakil setiap kelompok menyampaikan/ mempresentasikan hasil diskusi tersebut.
4. Fasilitator meminta peserta memberi komentar atau masukan terhadap presentasi kelompok
tersebut
5. Fasilitator merangkum hasil presentasi kelompok
6. Fasilitator bertanya pada peserta tentang hal-hal yang belum dimengerti
Kegiatan peserta:
1. Peserta mendengarkan dan meyimak perjelasan fasilitator
2. Peserta melakukan diskusi kelompok untuk latihan kasus
3. Peserta (wakil kelompok) mempresentasikan hasil diskusi kelompok

83
4. Peserta memberi masukan/komentar terhadap presentasi kelompok tersebut
5. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
6. Peserta mencacat hasil rangkuman
LANGKAH KE 8: Rangkuman dan kesimpulan.
1. Fasilitator melakukan evaluasi untuk mengetahui penyerapan peserta terhadap materi yang
sudah disampaikan dan pencapaian tujuan pembelajaran.
2. Fasilitator memberikan tugas (studi kasus) kepada masing-masing peserta untuk dilakukan 7
langkah diagnosis PAK secara mandiri
3. Merangkum dan membuat kesimpulan point-point penting dari materi yang disampaikan
4. Fasilitator menutup sesi dengan memberikan apresiasi kepada seluruh peserta

VII. URAIAN MATERI


Pokok Bahasan 1: PRINSIP DIAGNOSIS PENYAKIT AKIBAT KERJA KARENA PAJANAN FISIKA
Penyakit Akibat Kerja karena pajanan fisika adalah Penyakit akibat kerja yang terjadi karena adanya zat
fisika atau agent penyebab yang dapat dilihat/dirasakan/disentuh/diraba/didengar dengan bentuknya zat
padat, zat cair ataupun gas. Penyakit tersebut dapat menimbulkan gangguan kesehatan di telinga, mata,
sistem keseimbangan, system saraf, musculoskeletal. Penyakit akibat pajanan fisika di tempat kerja terjadi
apabila pekerja terpajan lebih dari Nilai Ambang Batas yang telah ditetapkan. Nilai Ambang Batas (NAB)
faktor fisik/kimia adalah intensitas/konsentrasi rata-rata pajanan bahaya fisik/kimia yang dapat diterima
oleh hampir semua pekerja tanpa mengakibatkan gangguan kesehatan atau penyakit dalam pekerjaan
sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam perhari dan 40 jam perminggu, yang terdiri dari TWA (Time
Weighted Average), STEL (Short Term Exposure Limit), dan Ceiling.
Jenis-jenis pajanan fisika meliputi,
 Kebisingan
Bising adalah suara atau bunyi yang tidak dikehendaki, baik berasal dari kegiatan alam maupun buatan
manusia. Suara adalah rasa yang diartikan oleh indera pendengar akibat rangsangan getaran yang
datang melalui media, berasal dari benda yang bergetar. Kualitas bunyi/bising ditentukan oleh:
- Frekuensi bunyi, dalam satuan Hertz ( Hz) yang berupa jumlah getaran per detik. Manusia dapat
mendengar suara dengan frekuensi antara 20 sampai 20.000 Hertz
- Intensitas bunyi, yang merupakan besarnya energi yang diterima oleh alat pendengar dan dirasakan
sebagai bunyi. Satuan: desibel ( dB)
Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan adalah 85 desibel (dB). Kerusakan pendengaran terjadi karena
pajanan kumulatif kebisingan diatas intensitas maksimal dalam waktu lama. Berbagai gangguan
kesehatan yang dapat terjadi akibat pajanan bising adalah:
a. Gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced Hearing Loss / NIHL):
- TTS atau Temporary treshold shift: ketulian sementara akibat bising yang menyebabkan
kelelahan pendengaran segera sesudah pajanan. Pemulihan dapat terjadi dengan sempurna
setelah istirahat ( reversible)
- PTS atau Permanent treshold shift: ketulian menetap, akibat pajanan bising yang lama dan
merusak sistem saraf pendengar.
- Gangguan ini tidak dapat pulih kembali (irreversible).
- Trauma akustik: terjadi akibat suara dengan intensitas sangat tinggi dan menyebabkan
kerusakan gendang pendengar
b. Gangguan komunikasi, konsentrasi, ketelitian
c. Gangguan fisiologis (sistem pencernaan, kardiovaskuler, sistem faal tubuh lainnya)
d. Gangguan tidur
e. Gangguan psikologis/perilaku : mudah marah, gelisah, takut

84
Peraturan Menteri kesehatan No. 70 tahun 2016 tentang
Standar dan Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Industri

Satuan Durasi Pajanan Level Kebisingan


Kebisingan per Hari (dBA)
24 80
16 82
8 85
4 88

Jam 2 91
1 94
30 97
15 100
7,5 103
3,75 106
1,88 109
Menit
0,94 112
28,12 115
14,06 118
7,03 121
3,52 124
1,76 127
0,88 130
0,44 133
0,22 136
Detik 0,11 139

Upaya penanggulangan pajanan bising di tempat kerja dapat dilakukan dengan “ Hearing Conservation
Program” terdiri dari :
1) Survei paparan bising
2) Pengendalian kebisingan
3) Pendidikan dan motivasi
4) Perlindungan pendengaran
5) Penilaian program
 Pencahayaan dan gelombang elektromagnetik
Pencahayaan yang baik adalah pencahayaan yang memungkinkan seseorang pekerja melihat obyek
pekerjaan dengan teliti, cepat dan tanpa upaya akomodasi mata yang tidak perlu, serta membantu
menciptakan lingkungan kerja yang nyaman dan menyenangkan. Pencahayaan yang baik ditentukan
oleh pembagian luminansi dalam lapangan penglihatan, pencegahan kesilauan, arah sinar, warna dan
panas radiasi. Pencahayaan yang buruk dapat mengakibatkan kelelahan mata disertai berkurangnya
efisiensi kerja, kelelahan mental, keluhan pegal/sakit kepala sekitar mata, dan kerusakan alat
penglihatan. Selain itu, dapat meningkatkan angka kecelakaan. Pencahayaan yang baik memungkinkan
pekerja melihat obyek kerjanya dengan jelas, cepat dan tanpa upaya yang tidak perlu. Pencahayaan
yang baik ditentukan oleh faktor-faktor:
a. Pembagian luminensi dalam lapangan penglihatan
b. Pencegahan kesilauan
c. Pengaturan arah sinar
d. Penggunaan warna yang dipakai untuk penerangan
e. Pemakaian sumber cahaya yang minim menimbulkan panas terhadap lingkungan.

85
Pengukuran pencahayaan menggunakan alat luxmeter yang mengukur jumlah
cahaya yang jatuh pada permukaan. Satuan: lux (1 Lm/m2). Lm = lumen = energi cahaya yang
ditimbulkan oleh sumber cahaya ke semua arah. Pencahayaan yang baik yaitu bila tidak menimbulkan
kesilauan (glare) dan tidak membentuk bayangan. Akibat pencahayaan yang buruk adalah:
a. Kelelahan mata dengan berkurangnya daya dan efisiensi kerja
b. Kelelahan mental/psikis
c. Keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala sekitar mata
d. Kerusakan mata
e. Meningkatnya peristiwa kecelakaan
Upaya pencegahan/pengendalian:
a. Meninggikan intensitas pencahayaan sekurang-kurangnya 2 kali lipat
b. Perbaikan kontras, luminensi, pencegahan kesilauan, pengaturan arah sinar
c. Penempatan pekerja dg visus yang baik. Kerja malam harus dikerjakan oleh pekerja yang berusia
muda. Bila usianya bertambah, yang bersangkutan ditempatkan pada pekerjaan yang kurang
memerlukan ketelitian.
 Radiasi elektromagnet
Radiasi listrik-magnet: diduga dapat menyebabkan gangguan sistem saraf, kardiovaskular reproduksi
dan lekemia. Radiasi sinar ultra violet: berasal dari sinar matahari , las listrik, laboratorium tempat
sterilisasi dengan sinar UV. Dapat mengakibatkan:
a. Iritasi pada permukaan tubuh (kulit) dari ringan sampai berat dalam bentuk peradangan,
terbakar/melepuh
b. Bila mengenai mata, dapat menyebabkan konjungtivitis fotoelektrika dan katarak.
Radiasi Sinar Infra Merah: dapat bersumber dari benda pijar seperti tanur di peleburan baja, peleburan
gelas, bara logam, dapur pembakaran batubara. Terpajan sinar infra merah dapat mengakibatkan beban
panas tubuh meningkat, juga dapat menimbulkan katarak. Radiasi Gelombang Mikro: pemajanan
umumnya melalui proses absorbsi, atau pantulan, dan dapat penetrasi kedalam tubuh tergantung dari
panjang gelombangnya. Gelombang mikro mempunyai panjang gelombang antara 1 mm sd 1 m.
Panjang gelombang sampai 3 cm umumnya diabsorbsi pada stratum korneum kulit. Panjang gelombang
3-10 cm terjadi penetrasi lebih dalam (dapat sampai sedalam 1 cm). Sedangkan yang panjang
gelombangnya 10-20 cm penetrasi sampai kebagian dalam dan berpotensi merusak organ tubuh bagian
dalam. Jaringan dengan kandungan air lebih tinggi akan memudahkan absorpsi gelombang mikro ke
dalam tubuh.

Akibat radiasi gelombang mikro adalah terjadinya perubahan faal tubuh. Stadium awal gejalanya adalah
astenia yang reversibel dan pulih kembali segera setelah pajanan berhenti. Pada stadium lanjut terdapat
kelainan nerovaskuler berupa perubahan tonus pembuluh darah, reaksi saraf simpatis, gejala
menyerupai sindrom gangguan diencefalon dengan perubahan gambaran EEG (elektro ensefalogram) .
Bila masih ringan, dapat pulih, namun dapat juga berakibat kecacatan. Radiasi sinar laser: sinar ini
banyak digunakan untuk pengelasan, pemotongan dan pelapisan logam, alat optis dan spektroskopi,
pembuatan mesin ukuran mikro dan operasi bedah kedokteran. Efek bagi pekerja terutama terhadap
mata dan kulit. Efek terhadap mata terjadi sebagai akibat efek termis pada retina sehingga terjadi
kerusakan retina dan kebutaan.

Radiasi mengion (Sinar Rontgen/sinar X dan Sinar Gamma): Efek radiasi akut dapat berupa sindrom
gastrointestinal, sistem saraf pusat, hemopoetik. Pada kulit dapat berupa eritem, pigmentasi, terbakar,
melepuh dan nekrosis. Efek akut: eritema kulit, depresi sumsum tulang, penurunan fertilitas
(sementara/permanen), sindrom radiasi akut : efek lambat meliputi katarak, efek kronis infertilitas,
kanker, cacat kongenital, katarak. Sindrom radiasi akut fase prodromal: timbul setelah 24 jam terkena
radiasi berupa mual, muntah, sakit kepala, eritema, limfopeni, Fase kedua: gejala-gejala tersebut
menghilang setelah dua mingguFase ketiga: mulai timbul gejala organ-organ utama yaitu:
- Kulit eritem yang lebih dalam, disertai alopesia ( biasanya timbul 17 hari setelah radiasi)

86
- Gastrointestinal: nyeri abdomen, diare, dehidrasi, syok, toksemia, dapat meninggal 7-10 hari
kemudian
- Hemopoetik: trombositopeni, lekopeni, perdarahan setelah 4-6 minggu radiasi
- Efek serebral: mengantuk, ataksia, bingung, kejang, penurunan kesadaran dan kematian akibat
edema serebral akut.

Peraturan Menteri Kesehatan No. 70 tahun 2016 tentang


Standar dan Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Industri
Durasi Pajanan Radiasi Ultraviolet (200 – 400 nm) yang Diperkenankan

Durasi Pajanan Per Hari Iradiasi Efektif, Ieff (mWcm2)


8 jam 0,0001
4 jam 0,0002
2 jam 0,0004
1 jam 0,0008
30 menit 0,0017
15 menit 0,0033
10 menit 0,005
5 menit 0,01
1 menit 0,05
30 detik 0,1
10 detik 0,3
1 detik 3
0,5 detik 6
0,1 detik 30

Pokok Bahasan 2: TATALAKSANA PENYAKIT NOISE INDUCE HEARING LOSS AKIBAT KERJA (PENYAKIT
AKIBAT KERJA YANG SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
 Anamnesis:
Tanda dan gejala klinis:
o Apakah pada salah satu atau kedua telinga?
o Sudah berapa lama terjadi?
o Kapan pasien mulai menyadari adanya tanda dan gejala tersebut?
o Kapan terjadinya tanda dan gejala tersebut?
o Apakah ada tanda dan gejala lain yang menyertai?
o Apakah bersifat hilang timbul atau menetap?
o Pertanyaan lain yang relevan.
Riwayat penyakit dahulu (misalnya infeksi telinga) dan obat-obatan yang diminum yang mungkin
terkait dengan diagnosis klinis (obat-obatan yang memiliki efek samping ototoksik).
Riwayat penyakit keluarga yang mungkin terkait dengan diagnosis klinis.
Ada tidaknya anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama.
Riwayat hobi/kebiasaan yang mungkin terkait dengan diagnosis klinis seperti mendengarkan
musik dengan suara keras, menembak, dll.
Riwayat okupasi:
o Jenis pekerjaan: pekerja drilling, pekerja bengkel, pengemudi alat berat, pekerja kamar
mesin kapal, pekerja ruang mesin kompresor, teknisi pesawat, penerbangan helicopter,
pekerja di landasan pesawaat, tenaga kesehatan evakuasi medis udara, pandai besi, personil
militer dan kepolisian, pekerja lain yang terpajan bising tinggi.

87
o Uraian tugas yang dilakukan setiap hari maupun sewaktu-waktu (misalnya pekerjaan
pemeliharaan)
o Riwayat pekerjaan dan pajanan di tempat kerja, terutama pajanan bising dan pajanan kimia
yang memiliki efek neurotoksik.
o Gambaran pekerjaan, alat dan proses kerja yang menimbulkan kebisingan, ada/tidaknya
bahan kimia (bahan baku, bahan antara, hasil produksi) yang menimbulkan efek
neurotoksik, alat pelindung diri yang digunakan saat bekerja (misalnya alat pelindung
pendengaran, alat pelindung pernafasan, sarung tangan).
o Gambaran lingkungan kerja tempat pekerjaan dilakukan, apakah ada kebisingan dan
pekerjaan lain yang menggunakan bahan kimia yang menimbulkan efek neurotoksik yang
dilakukan oleh pekerja lain yang mungkin menyebar ke tempat pasien melakukan
pekerjaannya.
- Riwayat kecelakaan kerja yang mengenai daerah kepala.
- Riwayat tumpahan bahan kimia di tempat kerja yang terhirup oleh pasien.
- Ada tidaknya rekan kerja seangkatan yang mengalami keluhan yang sama
- Ada tidaknya pekerjaan sampingan dengan pajanan yang dapat menimbulkan diagnosis
klinis.
 Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan telinga dengan menggunakan otoskop
- Tes berbisik
- Pemeriksaan dengan garpu tala
 Pemeriksaan penunjang berupa audiometri jika diperlukan.
 Diagnosis kerja
 Diagnosis pembanding
7 langkah diagnosis Penyakit Akibat Kerja dilakukan dengan :
1. Menetapkan diagnosis klinis
Sesuai dengan klinis sensory neural heraling loss
2. Menetapkan jenis-jenis pajanan yang dialami oleh pasien.
3. Mencari hubungan antara pajanan pada langkah kedua tersebut dengan diagnosis klinis.
4. Menilai kecukupan dosis pajanan berdasarkan tingkat kebisingan yang dialami, jenis alat
pelindung pendengaran, cara pemakaian alat pelindung pendengaran, teratur atau tidak
memakai alat pelindung pendengaran, berapa jam dalam sehari mengalami kebisingan dan
sudah berapa tahun bekerja dengan pajanan kebisingan.
5. Menilai apakah ada faktor-faktor individu yang dapat berperan terhadap terjadinya penyakit
tersebut,
6. Menilai apakah ada faktor-faktor lain di luar pekerjaan yang dapat menyebabkan penyakit
tersebut.
7. Menentukan diagnosis Penyakit Akibat Kerja
b. Tatalaksana
1. Tatalaksana medis
Pemakaian alat bantu dengar dan konsultasi ke dokter spesialis THT-KL.
2. Tatalaksana okupasi
- Menerapkan program Hearing Conservation Program di perusahaan/tempat kerja untuk
mencegah pekerja lain mengalami hal serupa.
- Apabila terdapat kecacatan fungsi pendengaran, melakukan perhitungan kecacatan dan
membuat surat keterangan dokter yang dibutuhkan untuk proses pengajuan klaim jaminan
kecelakaan kerja.
Pokok Bahasan 3. TATALAKSANA PENYAKIT KATARAK AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT KERJA YANG
SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
 Anamnesis:

88
Tanda dan gejala klinis:
o Apakah pada salah satu atau kedua mata?
o Sudah berapa lama terjadi?
o Kapan pasien mulai menyadari adanya tanda dan gejala tersebut?
o Pada usia berapa mulai terjadi?
o Apakah ada tanda dan gejala lain yang menyertai?
o Pertanyaan lain yang relevan.
Riwayat penyakit sekarang yang mungkin terkait dengan lebih cepat terjadinya katarak,
misalnya diabetes mellitus. Bagaimana status pengendalian gula darah pada pasien?
Riwayat penyakit dahulu (misalnya infeksi mata) dan obat-obatan yang diminum yang mungkin
terkait dengan diagnosis klinis (obat-obatan yang memiliki efek samping mempercepat
terjadinya katarak seperti kortikosteroid).
Riwayat penyakit keluarga yang mungkin terkait dengan diagnosis klinis (misalnya diabetes
mellitus).
Ada tidaknya anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama pada usia muda.
Riwayat okupasi:
o Jenis pekerjaan: pengelas, pekerjaan dengan pajanan radiasi pengion dari mesin x-ray,
reactor nuklir, pandai besi, blower kaca, penerbang dan pekerja di landasan pesawat.
o Uraian tugas yang dilakukan setiap hari maupun sewaktu-waktu (misalnya pekerjaan
pemeliharaan)
o Riwayat pekerjaan dan pajanan di tempat kerja, terutama pajanan sinar ultraviolet
(baik bersumber dari alam maupun buatan/proses kerja), infra merah, laser, radiasi
elektromagnetik.
o Gambaran pekerjaan, alat dan proses kerja yang mengakibatkan pajanan potensi
bahaya tersebut di atas pada mata pasien, alat pelindung diri yang digunakan saat
bekerja (misalnya alat kaca mata khusus, topi berdaun lebar yang melindungi mata).
o Gambaran lingkungan kerja tempat pekerjaan dilakukan, waktu pekerjaan dilakukan
(apakah pada siang hari jika sumber pajanan dari alam).
o Riwayat kecelakaan kerja yang mengenai daerah kepala dan mata.
o Riwayat percikan bahan kimia di tempat kerja yang mengenai mata.
o Ada tidaknya rekan kerja seangkatan yang mengalami keluhan yang sama.
o Ada tidaknya pekerjaan sampingan dengan pajanan yang dapat menimbulkan diagnosis
klinis.
 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan mata dengan menggunakan senter.
 Diagnosis kerja
 Diagnosis pembanding
7 langkah diagnosis Penyakit Akibat Kerja dilakukan dengan :
1. Menetapkan diagnosis klinis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
2. Menetapkan jenis-jenis pajanan yang dialami oleh pasien.
3. Mencari hubungan antara pajanan pada langkah kedua tersebut dengan diagnosis klinis.
4. Menilai kecukupan dosis pajanan berdasarkan tingkat pajanan yang dialami, jenis alat pelindung
mata, cara pemakaian alat pelindung mata, teratur atau tidak memakai alat pelindung mata,
berapa jam dalam sehari mengalami pajanan tersebut dan sudah berapa tahun bekerja dengan
pajanan tersebut.
5. Menilai apakah ada faktor-faktor individu yang dapat berperan terhadap terjadinya penyakit
tersebut,
6. Menilai apakah ada faktor-faktor lain di luar pekerjaan yang dapat menyebabkan penyakit
tersebut.
7. Menentukan diagnosis Penyakit Akibat Kerja atau bukan Penyakit Akibat Kerja
b. Tatalaksana

89
1. Tatalaksana medis
Katarak rujuk dokter spesialis mata

2. Tatalaksana okupasi
- Menerapkan program perlindungan mata di perusahaan/tempat kerja untuk mencegah
pekerja lain mengalami hal serupa.
- Apabila terdapat kecacatan fungsi penglihatan permanen, melakukan perhitungan
kecacatan dan membuat surat keterangan dokter yang dibutuhkan untuk proses pengajuan
klaim jaminan kecelakaan kerja.
Pokok Bahasan 4. TATALAKSANA PENYAKIT PHOTOKERATITIS AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT KERJA
YANG SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
 Anamnesis:
Tanda dan gejala klinis:
- Sudah berapa lama terjadi?
- Kapan pasien mulai menyadari adanya tanda dan gejala tersebut? (biasanya < 24 jam
setelah terpajan)
- Apakah ada tanda dan gejala lain yang menyertai?
- Pertanyaan lain yang relevan.
Riwayat okupasi:
- Jenis pekerjaan: pengelas, pekerja peleburan logam, pekerja glass blower, pekerja yang
terpajan UV, laser grade 3 – 4 (Panjang gelombang 532 – 1.054 nm).
- Uraian tugas yang dilakukan sebelum tanda dan gejala timbul.
- Riwayat pekerjaan dan pajanan di tempat kerja, terutama pajanan radiasi optik,
meliputi sinar ultraviolet, radisi elektromagnetik (visible light), infra merah, termasuk
laser.
- Gambaran pekerjaan, alat dan proses kerja yang mengakibatkan pajanan potensi
bahaya tersebut di atas pada mata pasien, alat pelindung diri yang digunakan saat
bekerja (misalnya alat kaca mata khusus).
- Ada tidaknya pekerjaan sampingan dengan pajanan yang dapat menimbulkan diagnosis
klinis.
 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan mata dengan menggunakan senter.
 Diagnosis kerja
 Diagnosis pembanding
7 langkah diagnosis Penyakit Akibat Kerja dilakukan dengan :
1. Menetapkan diagnosis klinis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang
2. Menetapkan jenis-jenis pajanan yang dialami oleh pasien.
3. Mencari hubungan antara pajanan pada langkah kedua tersebut dengan diagnosis
klinis.
4. Menilai kecukupan dosis pajanan berdasarkan tingkat pajanan yang dialami, jenis alat
pelindung mata, tidak memakai alat pelindung mata.
5. Menilai apakah ada faktor-faktor individu yang dapat berperan terhadap terjadinya
penyakit tersebut,
6. Menilai apakah ada faktor-faktor lain di luar pekerjaan yang dapat menyebabkan
penyakit tersebut.
7. Menentukan diagnosis PAK atau bukan PAK
b. Tatalaksana
1. Tatalaksana medis

90
Terapi medikamentosa sesuai photokeratitis
2. Tatalaksana okupasi
- Menerapkan program perlindungan mata di perusahaan/tempat kerja untuk mencegah
pekerja lain mengalami hal serupa.
- Apabila terdapat kecacatan fungsi penglihatan permanen, melakukan perhitungan
kecacatan dan membuat surat keterangan dokter yang dibutuhkan untuk proses pengajuan
klaim jaminan kecelakaan kerja.
Pokok Bahasan 5. TATALAKSANA PENYAKIT OTITIS BAROTRAUMA AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT
KERJA YANG SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja.
 Anamnesis:
Tanda dan gejala klinis:
o Sudah berapa lama terjadi?
o Kapan pasien mulai menyadari adanya tanda dan gejala tersebut? (biasanya < 24 jam
setelah terpajan)
o Apakah ada tanda dan gejala lain yang menyertai?
o Pertanyaan lain yang relevan.
Riwayat penyakit lain yang sedang dialami seperti infeksi saluran pernafasan atas, rhinitis,
sinusitis, infeksi telinga.
Riwayat okupasi:
o Jenis pekerjaan: penerbang, awak kabin dan atlet dirgantara, penyelam, tenaga
kesehatan pendamping ruang udara hipobarik (TOHB), pekerja di bawah tanah
(compressed air worker (CAW), tenaga kesehatan evakuasi medis udara.
o Uraian tugas yang dilakukan sebelum tanda dan gejala timbul.
o Riwayat pekerjaan dan pajanan di tempat kerja, terutama pajanan perubahan tekanan
mendadak.
o Gambaran pekerjaan, alat dan proses kerja yang mengakibatkan pajanan potensi
bahaya tersebut di atas.
o Ada tidaknya pekerjaan sampingan dengan pajanan yang dapat menimbulkan diagnosis
klinis.
 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan telinga dengan menggunakan otoskop.
 Diagnosis kerja
 Diagnosis pembanding
7 langkah diagnosis Penyakit Akibat Kerja dilakukan dengan :
1. Menetapkan diagnosis klinis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
2. Menetapkan jenis-jenis pajanan yang dialami oleh pasien.
3. Mencari hubungan antara pajanan pada langkah kedua tersebut dengan diagnosis klinis.
4. Menilai kecukupan dosis pajanan berdasarkan tingkat pajanan yang dialami, jenis alat pelindung
mata, tidak memakai alat pelindung mata.
5. Menilai apakah ada faktor-faktor individu yang dapat berperan terhadap terjadinya penyakit
tersebut,
6. Menilai apakah ada faktor-faktor lain di luar pekerjaan yang dapat menyebabkan penyakit
tersebut.
7. Menentukan diagnosis Penyakit Akibat Kerja atau bukan Penyakit Akibat Kerja
b. Tatalaksana
1. Tatalaksana medis
Terapi medikamentosa sesuai otitis barotrauma, merujuk ke dokter THT jika gejala parah dan
tidak membaik meskipun sudah dilakukan upaya penyeimbangan tekanan udara dalam ruang
telinga tengah dengan tekanan udara luar.
2. Tatalaksana okupasi

91
- Menerapkan program perlindungan telinga saat bekerja untuk mencegah pekerja lain
mengalami hal serupa.
- Apabila terdapat kecacatan fungsi penglihatan permanen, melakukan perhitungan
kecacatan dan membuat surat keterangan dokter yang dibutuhkan untuk proses pengajuan
klaim jaminan kecelakaan kerja
Pokok Bahasan 6. TATALAKSANA PENYAKIT DEKOMPRESI AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT KERJA
YANG SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
 Anamnesis:
Tanda dan gejala klinis:
o Sudah berapa lama terjadi?
o Kapan pasien mulai menyadari adanya tanda dan gejala tersebut? (biasanya bersifat
akut setelah terpajan)
o Apakah ada tanda dan gejala lain yang menyertai?
o Pertanyaan lain yang relevan.
Riwayat penyakit lain yang sedang dialami seperti infeksi saluran pernafasan atas, rhinitis,
sinusitis, infeksi telinga.
Riwayat okupasi:
o Jenis pekerjaan: penerbang, awak kabin dan atlet dirgantara, penyelam, tenaga
kesehatan pendamping ruang udara hipobarik (TOHB), pekerja di bawah tanah
(compressed air worker (CAW), tenaga kesehatan evakuasi medis udara.
o Uraian tugas yang dilakukan sebelum tanda dan gejala timbul.
o Riwayat pekerjaan dan pajanan di tempat kerja, terutama pajanan perubahan tekanan
mendadak.
o Gambaran pekerjaan, alat dan proses kerja yang mengakibatkan pajanan potensi
bahaya tersebut di atas.
o Ada tidaknya pekerjaan sampingan dengan pajanan yang dapat menimbulkan diagnosis
klinis.
 Pemeriksaan fisik
Sesuai dengan tanda dan gejala yang dialami.
 Diagnosis kerja
 Diagnosis pembanding
7 langkah diagnosis Penyakit Akibat Kerja dengan melakukan :
1. Menetapkan diagnosis klinis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
2. Menetapkan jenis-jenis pajanan yang dialami oleh pasien.
3. Mencari hubungan antara pajanan pada langkah kedua tersebut dengan diagnosis klinis.
4. Menilai kecukupan dosis pajanan berdasarkan tingkat pajanan yang dialami, jenis alat pelindung
mata, tidak memakai alat pelindung mata.
5. Menilai apakah ada faktor-faktor individu yang dapat berperan terhadap terjadinya penyakit
tersebut,
6. Menilai apakah ada faktor-faktor lain di luar pekerjaan yang dapat menyebabkan penyakit
tersebut.
7. Menentukan diagnosis Penyakit Akibat Kerja atau bukan Penyakit Akibat Kerja
b. Tatalaksana
1. Tatalaksana medis
Terapi medikamentosa sesuai dekompresi, rujuk ke fasyankes yang memiliki fasilitas ruang
udara hiperbarik.
2. Tatalaksana okupasi
- Menerapkan upaya pencegahan dekompresi saat bekerja untuk mencegah pekerja lain
mengalami hal serupa.

92
- Apabila terdapat kecacatan fungsi penglihatan permanen, melakukan perhitungan
kecacatan dan membuat surat keterangan dokter yang dibutuhkan untuk proses pengajuan
klaim jaminan kecelakaan kerja

VIII. REFERENSI
1. Hughes P, Ferret Ed, Introduction to International Health and Safety at Work, Amazon, 2010.
2. Konsensus Diagnosis Okupasi Sebagai Penentuan Penyakit Akibat Kerja, Kolegium Kedokteran
Okupasi Indonesia, 2011
3. Ladou, Joseph. Occupational and Environmental Medicine 4th Edition. The McGraw-Hill Companies.
New York. 2007
4. Raymond Agius, Anthony Seaton. Practical Occupational Medicine. 2nd ed. Hodder Arnold. London.
2006
5. Stellmen Jeane Mager. Encyclopaedia of Occupational Health and Safety.4 th edition. International
Labour Office. Geneva.1998
6. Suma’mur PK. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes). Edisi 2. Sagung Seto. 2013
7. Konsensus Tujuh Langkah Diagnosis Okupasi Sebagai Penentuan Penyakit Akibat Kerja. Perhimpunan
Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia. 2014
8. Konsensus Tatalaksana PAK 2018

93
MATERI INTI 6
PENYAKIT AKIBAT KERJA KARENA PAJANAN BIOLOGI
Jumlah JPL : 3 ( T : 1, P :2, PL :0)

I. DESKRIPSI SINGKAT
Pajanan biologi di tempat kerja merupakan pajanan yang di dapat dari proses kerja atau lingkungan
kerja pada pekerja yang memang tugasnya bekerja dengan bahan biologis seperti bakteri, virus, parasit,
jamur atau harus berada di lingkungan yang ada pajanan biologis. Beberapa Penyakit Akibat Kerja
karena pajanan biologis yang akan dibahas dalam modul adalah TBC Paru Akibat Kerja, Varicela Akibat
Kerja, Hepatitis B Akibat Kerja, Hepatitis C Akibat Kerja dan Covid-19 Akibat Kerja

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


A. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM
Setelah mengikuti materi ini peserta mampu melakukan tatalaksana Penyakit Akibat Kerja karena
pajanan biologi
B. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini peserta mampu :
1. Menjelaskan prinsip diagnosis Penyakit Akibat Kerja karena pajanan biologi
2. Melakukan tatalaksana penyakit TBC Paru akibat kerja (Penyakit Akibat Kerja yang spesifik pada
pekerjaan tertentu)
3. Melakukan tatalaksana penyakit Varicella akibat kerja (Penyakit Akibat Kerja yang spesifik pada
pekerjaan tertentu)
4. Melakukan tatalaksana penyakit Hepatitis B akibat kerja (Penyakit Akibat Kerja yang spesifik
pada pekerjaan tertentu)
5. Melakukan tatalaksana penyakit Hepatitis C akibat kerja (Penyakit Akibat Kerja yang spesifik
pada pekerjaan tertentu)
6. Melakukan tatalaksana penyakit Covid-19 akibat kerja (Penyakit Akibat Kerja yang spesifik pada
pekerjaan tertentu).

III. POKOK BAHASAN


Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan dan sub pokok bahasan sebagai berikut.
Pokok Bahasan 1. PRINSIP DIAGNOSIS PENYAKIT AKIBAT KERJA KARENA PAJANAN BIOLOGI
Pokok Bahasan 2. TATA LAKSANA PENYAKIT TBC PARU AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT KERJA YANG
SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
Sub pokok bahasan :
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
b. Tata Laksana
Pokok Bahasan 3. TATA LAKSANA PENYAKIT VARICELLA AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT KERJA YANG
SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
Sub pokok bahasan :
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
b. Tata Laksana
Pokok Bahasan 4. TATA LAKSANA PENYAKIT HEPATITIS B AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT KERJA
YANG SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
Sub pokok bahasan :
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
b. Tata Laksana
Pokok Bahasan 5. TATA LAKSANA PENYAKIT HEPATITIS C AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT KERJA
YANG SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
Sub pokok bahasan :
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
94
b. Tata Laksana
Pokok Bahasan 6. TATA LAKSANA PENYAKIT COVID-19 AKIBAT KERJA (PENYAKIT AKIBAT KERJA YANG
SPESIFIK PADA PEKERJAAN TERTENTU)
Sub pokok bahasan :
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
b. Tata Laksana

IV. METODE
 Ceramah tanya jawab
 Curah Pendapat
 Latihan kasus

V. MEDIA DAN ALAT BANTU


 Bahan tayang power point
 Modul
 Laptop
 LCD
 Laser
 Pointer
 Lembar kasus
 Daftar tilik penilaian
 Logbook pelatihan
 Form berkas okupasi (medical record)
 Panduan latihan kasus

VI. LANGKAH PEMBELAJARAN


LANGKAH 1: Pengkondisian
a. Fasilitator memberi salam dan menyapa dengan ramah dan hangat
b. Fasilitator memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap instansi dan judul materi
yang disampaikan.
c. Menciptakan suasana nyaman dan memotivasi peserta agar siap menerima materi.
LANGKAH 2: Penyampaian pokok bahasan 1 tentang Prinsip 7 Langkah Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
karena Pajanan Biologi
Kegiatan fasilitator:
a. Fasilitator menjelaskan prinsip 7 langkah diagnosis Penyakit Akibat Kerja karena pajanan biologi
dengan metoda ceramah tanya jawab.
b. Fasilitator bertanya kepada peserta tantang hal-hal yang belum dimengerti
c. Fasilitator merangkum pokok bahasan 1
Kegiatan peserta:
a. Peserta mendengarkan dan menyimak perjelasan fasilitator
b. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
c. Peserta mencatat hasil rangkuman
LANGKAH 3: Penyampaian pokok bahasan 2 tentang Tata Laksana Penyakit TBC Paru Akibat Kerja
Kegiatan fasilitator:
a. Fasilitator menjelaskan melalui metode ceramah tanya jawab:
 7 langkah diagnosis okupasi untuk menegakkan TBC Paru Akibat Kerja
 Tata Laksana TBC Paru Akibat Kerja
b. Fasilitator bertanya kepada peserta tentang hal-hal yang belum dimengerti
c. Fasilitator merangkum pokok bahasan 2
Kegiatan peserta:
a. Peserta mendengarkan dan menyimak penjelasan fasilitator
b. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
LANGKAH 4: Penyampaian pokok bahasan 3 tentang Tata Laksana Penyakit Varicela Akibat Kerja

95
Kegiatan fasilitator:
a. Fasilitator menjelaskan melalui metode ceramah tanya jawab:
 7 langkah diagnosis okupasi untuk menegakkan Varicela Akibat Kerja
 Tata Laksana Varicela Akibat Kerja
b. Fasilitator bertanya kepada peserta tantang hal-hal yang belum dimengerti
c. Fasilitator merangkum pokok bahasan 4
Kegiatan peserta:
a. Peserta mendengarkan dan menyimak penjelasan fasilitator
b. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
LANGKAH 5: Penyampaian Pokok Bahasan 4 tentang Tata Laksana Penyakit Hepatitis B Akibat Kerja
Kegiatan fasilitator:
a. Fasilitator menjelaskan melalui metode ceramah tanya jawab:
 7 langkah diagnosis okupasi untuk menegakkan Hepatitis B Akibat Kerja
 Tata Laksana Hepatitis B Akibat Kerja
b. Fasilitator bertanya kepada peserta tantang hal-hal yang belum dimengerti
c. Fasilitator merangkum pokok bahasan 5
Kegiatan peserta:
a. Peserta mendengarkan dan menyimak perjelasan fasilitator
b. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
LANGKAH 6: Penyampaian Pokok Bahasan 5 tentang Tata Laksana Penyakit Hepatitis C Akibat Kerja
Kegiatan fasilitator:
a. Fasilitator menjelaskan melalui metode ceramah tanya jawab:
 7 langkah diagnosis okupasi untuk menegakkan Hepatitis C Akibat Kerja
 Tata Laksana Hepatitis C Akibat Kerja
b. Fasilitator bertanya kepada peserta tantang hal-hal yang belum dimengerti
c. Fasilitator merangkum pokok bahasan 6
Kegiatan peserta:
a. Peserta mendengarkan dan menyimak perjelasan fasilitator
b. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
LANGKAH 7: Penyampaian Pokok Bahasan 6 tentang Tata Laksana Penyakit Covid-19 Akibat Kerja
Kegiatan fasilitator:
a. Fasilitator menjelaskan melalui metode ceramah tanya jawab:
 7 langkah diagnosis okupasi untuk menegakkan Covid-19 Akibat Kerja
 Tata Laksana Covid-19 Akibat Kerja
b. Fasilitator bertanya kepada peserta tantang hal-hal yang belum dimengerti
c. Fasilitator merangkum pokok bahasan 7
Kegiatan peserta:
a. Peserta mendengarkan dan menyimak perjelasan fasilitator
b. Peserta bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti
LANGKAH 8: Studi Kasus
Kegiatan Fasilitator
a. Pelatih membagi peserta dalam 5 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 5 orang peserta
b. Pelatih memberikan 1 kasus yang berbeda untuk masing-masing kelompok
c. Pelatih memberi penugasan pada setiap kelompok untuk melakukan latihan diagnosis dan
tata laksana kasus pada pekerja dengan dugaan penyakit TBC Paru Akibat Kerja, penyakit
Varicella Akibat Kerja, penyakit Hepatitis B Akibat Kerja, penyakit Hepatitis C Akibat Kerja ,
penyakit Covid-19 Akibat Kerja
d. Pelatih memberikan kesempatan pada tiap kelompok untuk mendiskusikan kasus yang
didapat dan melengkapi data-data yang diperlukan pada di status okupasi (waktu diskusi
kasus 45 menit)
e. Pelatih meminta setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi kasus selama 10 menit

96
f. Pelatih memberi kesempatan pada kelompok lain untuk memberikan tanggapan dan
masukan selama 5 menit
g. Pelatih menanggapi dengan melakukan klarifikasi dan memberikan masukan, serta
menyimpulkan hasil diskusi, selama 15 menit
h. Setiap anggota kelompok wajib berkontribusi dalam mempresentasikan dan menjawab
diskusi kelompok
Kegiatan peserta:
a. Peserta mendengarkan dan meyimak penugasan fasilitator
b. Peserta mendiskusikan kasus yang didapat dan membuat status okupasi
c. Peserta mempresentasikan hasil diskusi kasus
d. Peserta memberi tanggapan dan masukan atas hasil pemaparan kelompok lain
LANGKAH 8: Rangkuman dan kesimpulan.
a. Fasilitator melakukan evaluasi untuk mengetahui penyerapan peserta terhadap materi yang sudah
disampaikan dan pencapaian tujuan pembelajaran
b. Merangkum dan membuat kesimpulan point-point penting dari materi yang disampaikan
c. Fasilitator menutup sesi dengan memberikan apresiasi kepada seluruh peserta

VII. URAIAN MATERI


Pengertian pajanan biologis adalah bahan biologis yang ada disekitar manusia dapat berupa
mikroorganisme: virus, bakteri, jamur, parasit, debu organik sampai pada binatang invertebra maupun
vertebrata yang lebih besar. Pajanan biologis di tempat kerja dapat digolongkan menjadi 3 :
a. Pajanan biologis akibat kerja
b. Pajanan biologis lingkungan kerja
c. Pajanan biologis alamiah atau bukan akibat kerja
Pajanan biologis akibat kerja adalah pajanan yang dialami akibat bekerja langsung dengan bahan
biologis atau merupakan hasil langsung dari proses kerja yang dilakukan pekerja. Pajanan biologis
lingkungan kerja adalah pajanan yang dialami akibat tercemarnya lingkungan kerja, dan merupakan
akibat tidak langsung akibat proses kerja, seperti hygiene dan pemeliharaan tempat kerja yang kurang
baik. Pajanan biologis alamiah atau bukan akibat kerja adalah pajanan biologis yang secara alamiah
berada di wilayah lingkungan tempat kerja, yang banyak menyebabkan gangguan kesehatan pada
masyarakat di tempat tersebut seperti malaria dan demam berdarah.

Pokok Bahasan 1: PRINSIP DIAGNOSIS PENYAKIT AKIBAT KERJA KARENA PAJANAN BIOLOGI
Diagnosis Penyakit Akibat Kerja karena pajanan biologi dilakukan dengan pendekatan sistematis untuk
mendapatkan informasi yang diperlukan dalam melakukan interpretasi secara tepat. Pendekatan
tersebut dilakukan melalui 7 langkah diagnosis Penyakit Akibat Kerja dilakukan sebagai berikut :
Langkah 1 : Menegakkan diagnosis klinis
Langkah 2 : Menentukan pajanan yang dialami pekerja di tempat kerja
Langkah 3: Menentukan hubungan pajanan dengan diagnosis klinis
Langkah 4 : Menentukan besarnya pajanan
Langkah 5 : Menentukan faktor individu yang berperan
Langkah 6 : Menentukan pajanan di luar tempat kerja
Langkah 7 : Menentukan diagnosis Penyakit Akibat Kerja
Diagnosis klinis harus ditegakkan sebagai langkah awal, jika diperlukan dilakukan rujukan ke fasilitas
kesehatan yang lebih lengkap untuk memastikan diagnosa klinis. Pajanan biologis di tempat kerja perlu
digali informasinya dari pekerja atau heteroanamnesa dengan atasan atau petugas K3 tempat pekerja
tersebut bekerja dengan menanyakan detail uraian tugas, kondisi lingkungan kerja, cara kerja, bahan
kerja dan lain-lain terkait pajanan. Pekerjaan yang terdapat pajanan biologis antara lain jenis-jenis
pekerja di fasilitas kesehatan meliputi profesi kesehatan, tenaga teknis, petugas laboratorium, farmasi,
staf administratif, staf bagian rumah tangga, petugas kebersihan dll. Selain itu juga petugas di sektor
pertanian, produk pertanian, pemeliharaan dan fasilitas kesehatan hewan. Petugas sektor pertanian

97
meliputi perkebunan, peternakan, kehutanan, perikanan; sedangkan petugas sektor produk pertanian
misalnya pengolahan makanan, penyimpanan produk, penyamakan kulit, pengolahan kayu. Petugas
pemeliharaan meliputi pembersihan sistem ventilasi, karpet dan penanganan limbah.
Tidak ada nilai ambang batas untuk pajanan biologis pada pajanan paling rendahpun, bila
mikroorganismenya sangat virulen atau daya tahan seseorang rendah dapat menimbulkan infeksi atau
reaksi alergi. Khusus mengenai pajanan biologi di fasilitas kesehatan merupakan pajanan utama. Infeksi
nosokomial dan infeksi akibat pekerjaan, saat ini merupakan masalah yang penting diseluruh dunia dan
risiko terus meningkat. Pelayanan kesehatan merupakan industri yang “labor intensive” dimana jenis-
jenis pekerja di fasilitas kesehatan. Yang paling menimbulkan kekhawatiran penularan kepada SDM RS
adalah penyakit-penyakit seperti Hepatitis B, Hepatitis C, HIV/AIDS,TBC, SARSCoV-2.

Pokok Bahasan 2: TATA LAKSANA PENYAKIT TBC PARU AKIBAT KERJA


Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium Tuberculosis pada organ
paru. Pekerja yang berisiko tertular penyakit ini adalah yang kontak erat dengan penderita TBC atau
bahan mengandung bakteri tuberkulosis hidup. Contohnya tenaga kesehatan yang melayani pasien TBC,
petugas laboratorium yang memeriksa spesimen TBC, tenaga non nakes yang kontak dengan pasien atau
spesimen TBC, petugas lembaga pemasyarakatan, perawat lansia, pekerja panti sosial dan pusat
rehabilitasi narkoba. Adapun pekerja dengan MTBC positif maka restriksi untuk bekerja selama 2-3
minggu selama terapi OAT atau sampai MTBC negatif untuk pencegahan penularan di tempat kerja.
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
7 langkah diagnosis okupasi untuk menegakkan TBC Paru Akibat Kerja sebagai berikut :
1. Menentukan Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis sesuai dengan Panduan Praktik Klinis TBC Paru yang ditegakkan berdasarkan :
 Anamnesis gejala klinis TBC paru sebagai berikut :
Gejala respiratorik : batuk ≥ 3 minggu, batuk darah, sesak napas, nyeri dada. Minimal 2 dari
4 gejala harus ada (batuk harus masuk)
Gejala sistemik : demam, gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat
badan menurun.
 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik tergantung luas kelainan struktur paru, pada awal perkembangan
penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada
umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior
serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani gejala dan tanda antara lain
suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan
paru, diafragma & mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik
tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan
 Pemeriksaan penunjang laboratorium
Pemeriksaan bakteriologik dari dahak (pada FKTP dan FKTL)
Pemeriksaan cairan pleura dan bilasan bronkus serta bilasan lambung (RS tipe A dan B), dan
kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL) (RS tipe A dan B), (termasuk biopsi
jarum halus/BJH) (RS tipe A dan B)
ELISA dan PCR dapat dilakukan pada Faskes Tingkat Lanjut (RS Tipe A)
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan.
Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam
bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TBC aktif :
- Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
- Caviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular

98
- Bayangan bercak milier
- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TBC inaktif :
- Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
- Kalsifikasi atau fibrotik
- Kompleks ranke
- Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura
2. Menentukan pajanan yang ada di lingkungan kerja
Diketahui jenis pekerjaan, bahan kerja, cara kerja dan uraian tugas ada pajanan biologi
Mycobacterium tuberculosis saat kontak erat dengan pasien TBC aktif atau spesimen (sputum,
cairan lambung, cairan serebrospinal, urin, jaringan, cairan pleura dan bronkus) dari pasien TBC
aktif.
3. Menentukan apakah ada hubungan antara pajanan di lingkungan kerja dengan penyakitnya
Pekerja yang kontak erat dengan penderita TBC atau bahan mengandung bakteri tuberkulosis
hidup berisiko tertular penyakit tuberkulosis Hal ini ditunjukkan pada sejumlah studi yang
menyatakan bahwa petugas kesehatan terutama mereka yang merawat pasien TBC secara
historis memiliki risiko lebih tinggi terhadap infeksi TBC daripada populasi umum.
4. Menentukan kecukupan pajanan untuk dapat menyebabkan terjadinya penyakit tersebut
Tidak ada nilai ambang batas untuk pajanan biologis. Pada pajanan rendah pun, bila
mikroorganismenya sangat virulen atau daya tahan seseorang rendah dapat menimbulkan
infeksi atau reaksi alergi. Dengan mempertimbangkan masa inkubasi maka lama terpapar
pajanan sampai bergejala tersebut minimal 1 bulan.
5. Menentukan adanya faktor individu
Faktor risiko individu seperti merokok, pneumoconiosis, Diabetes Melitus, PPOK,
imunodefisiensi. Adanya keadaan tersebut tidak menyingkirkan kemungkinan TBC paru akibat
kerja. Informasi ini dibutuhkan untuk penatalaksanaan.
6. Menentukan faktor di luar pekerjaan yang dapat menyebabkan penyakit tersebut
Tidak ada kontak erat dengan penderita TBC aktif diluar tempat kerja
7. Langkah 7: Menentukan Penyakit Akibat Kerja
TBC paru akibat kerja, atau
Bukan TBC akibat kerja
b. Tata Laksana TBC Paru Akibat Kerja
1. Tatalaksana medis :
- Tata laksana medis dilakukan sesuai diagnosis klinis
- Tata laksana medis berupa rawat jalan dan atau rawat inap yang dapat dilakukan di
fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan oleh dokter sesuai dengan kompetensinya
sesuai Panduan Praktik Klinik TBC Paru
- Terapi yang diberikan berupa medikamentosa dan atau non medikamentosa seperti
edukasi, latihan fisik, nutrisi
2. Tatalaksana okupasi :
- Tata laksana okupasi diberikan setelah diagnosis TBC Paru Akibat Kerja ditegakkan
- Tata laksana okupasi pada individu pekerja terdiri dari penilaian kelaikan kerja, program
kembali kerja dan penentuan kecacatan
- Tata laksana okupasi pada komunitas pekerja terdiri pelayanan pencegahan dan
penemuan dini diagnosis TBC Paru Akibat Kerja

Pokok Bahasan 3: TATA LAKSANA PENYAKIT VARISELA AKIBAT KERJA


Varisela adalah infeksi akut primer oleh virus varisela-zoster yang menyerang kulit dan mukosa. Kelainan
kulit polimorfi, berlokasi terutama di bagian sentral tubuh disertai gejala konstitusi. Pekerja yang berisiko
tertular penyakit ini adalah yang kontak erat dengan penderita varisela contohnya tenaga kesehatan yang
melayani pasien varisela dan tenaga non nakes yang kontak erat dengan pasien varisela. SDM fasilitas
kesehatan yang terpapar virus varisela perlu pemantauan gejala atau tanda varisela selama 8 hingga 21
99
hari sejak paparan. Semua petugas kesehatan yang terinfeksi varisela diberikan istirahat sakit sampai
semua lesi mengeras. Petugas kesehatan rentan yang belum vaksinasi harus menghindari kontak dengan
pasien yang telah dikonfirmasi atau dicurigai mengalami varisela atau herpes zoster. Semua pasien
dengan varisela harus ditempatkan di ruang khusus dan dilakukan pencegahan kontak sampai semua lesi
mengeras.
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
7 langkah diagnosis okupasi untuk menegakkan Varisela Akibat Kerja sebagai berikut :
1. Menentukan Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan :
Anamnesis adanya gejala prodromal berupa demam, nyeri kepala, malaise disertai timbulnya
erupsi kulit berupa papul eritematosa yang cepat berubah menjadi vesikel. Vesikel khas
berbentuk tetesan embun (tear drops) dan akan berubah menjadi pustule dan krusta.
Pemeriksaan fisik tampak erupsi kulit berupa papul eritematosa yang cepat berubah menjadi
vesikel yang akan berubah menjadi pustule dan krusta pada daerah badan dan menyebar secara
sentrifugal kewajah dan ekstremitas serta dapat mengenai mukosa mata, mulut dan saluran
nafas atas. Pada keadaan tertentu dapat terjadi varisela hemoragik misalnya pada pasien
dengan imunitas rendah.
Pemeriksaan penunjang bila diperlukan dilakukan pemeriksaan mikroskopis dengan
menemukan sel Tzanck (sel datia berinti banyak)
2. Menentukan pajanan yang ada di lingkungan kerja
Diketahui jenis pekerjaan, bahan kerja, cara kerja dan uraian tugas ada pajanan biologi virus
varisela-zoster yakni saat kontak erat dengan pasien varisela melalui udara atau kontak
langsung.
3. Menentukan apakah ada hubungan antara pajanan di lingkungan kerja dengan penyakitnya.
Pekerja yang kontak erat dengan penderita varisela berisiko tertular penyakit varisela. Pasien
varisela dapat menjadi sumber penularan di perawatan fasilitas kesehatan. Masa inkubasi virus
varisela umumnya 14 sampai 16 hari dengan kisaran 10 sampai 21 hari setelah terpapar ruam
yang khas. Penularan virus varisela di fasilitas kesehatan dapat terjadi melalui jalur udara atau
melalui kontak dengan lingkungan yang terkontaminasi atau tangan petugas kesehatan.Virus
menyebar melalui droplet dan aerosol dari nasofaring 1 sampai 2 hari sebelum timbulnya ruam
dan dari lesi vesikuler yang mengandung partikel virus dalam jumlah besar. Pasien dengan
varisela menular 48 jam sebelum timbulnya ruam sampai semua vesikel mengeras. Pejamu yang
rentan juga dapat tertular virus melalui kontak langsung atau tidak langsung dengan lesi kulit
pada pasien dengan varisela.
4. Menentukan kecukupan pajanan untuk dapat menyebabkan terjadinya penyakit tersebut.
Tidak ada nilai ambang batas untuk pajanan biologis. Pada pajanan rendah pun, bila
mikroorganismenya sangat virulen atau daya tahan seseorang rendah dapat menimbulkan
infeksi atau reaksi alergi. Dengan mempertimbangkan masa inkubasi maka lama terpapar
pajanan sampai bergejala 8-21 hari
5. Menentukan adanya faktor individu
Faktor risiko individu seperti imunodefisiensi. Adanya keadaan tersebut tidak menyingkirkan
kemungkinan varisela akibat kerja. Informasi ini dibutuhkan untuk penatalaksanaan.
6. Menentukan faktor di luar pekerjaan yang dapat menyebabkan penyakit tersebut.
Tidak ada kontak erat dengan penderita varisela diluar tempat kerja
7. Menentukan diagnosis okupasi
Varisela akibat kerja, atau
Bukan varisela akibat kerja
b. Tata Laksana Varisela Akibat Kerja
1. Tatalaksana medis :
- Tata laksana medis dilakukan sesuai diagnosis klinis

100
- Tata laksana medis berupa rawat jalan dan atau rawat inap yang dapat dilakukan di fasilitas
pelayanan kesehatan dilakukan oleh dokter sesuai dengan kompetensinya sesuai Panduan
Praktik Klinik Varisela
- Terapi yang diberikan berupa medikamentosa dan atau non medikamentosa seperti konseling
dan edukasi
2. Tatalaksana okupasi :
- Tatalaksana okupasi diberikan setelah diagnosis Varisela Akibat Kerja ditegakkan
- Tatalaksana okupasi dilakukan oleh dokter sesuai kompetensinya dan kewenangannya
- Tatalaksana okupasi pada individu pekerja terdiri dari penilaian kelaikan kerja, program
kembali kerja dan penentuan kecacatan
- Tatalaksana okupasi pada komunitas pekerja terdiri pelayanan pencegahan dan penemuan
dini diagnosis Varisela Akibat Kerja

Pokok Bahasan 4: TATA LAKSANA PENYAKIT HEPATITIS B AKIBAT KERJA


Penyakit hati akibat kerja berdasarkan agen penyebabnya dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu
infeksius, fisika dan kimia. Penyakit hati karena infeksi virus khususnya Hepatitis B masih sangat tinggi
pada populasi penduduk di Indonesia. Sementara itu di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas,
2013) menemukan bahwa prevalensi HBsAg adalah 7,2%. Angka ini lebih rendah bila dibandingkan dengan
data tahun 2007 yaitu 9,4% pada populasi umum. Diperkirakan 18 juta orang memiliki Hepatitis B dan
sekitar 50% dari orang-orang ini memiliki penyakit hati yang berpotensi kronis dan 10% berpotensi
menuju fibrosis hati yang dapat menyebabkan kanker hati. Sekitar 5 sampai 10% kasus infeksi hepatitis B
berkembang menjadi hepatitis kronik dengan risiko sirosis. Hepatitis B juga dapat berkembang menjadi
hepatoma dan terlibat dalam patogenesis beberapa kasus poliarteritis nodosum. Pada 10-20% pasien
dengan hepatitis kronik menjadi sirosis. Diagnosis penyakit hati karena infeksi virus akibat kerja harus
memperhatikan status imunologis pasien sebelumnya. Hepatitis infeksi virus B akibat kerja terjadi setelah
pekerja tertusuk jarum atau benda tajam yang terkontaminasi virus hepatitis B. Prevalensi penyakit paling
tinggi pada pekerja yang sering terpajan darah atau produk darah seperti ahli bedah, teknisi laboratorium,
staf unit hemodialisa, petugas bagian kebersihan (cleaning service) fasilitas pelayanan kesehatan, dokter
gigi, petugas lembaga pemasyarakatan, polisi, petugas ambulans dan pekerja di institusi yang merawat
orang cacat mental. Secara global berdasar data WHO dari 35 juta pekerja kesehatan didapatkan 3 juta
terpajan patogen darah (2 juta terpajan virus HBV dan 900 ribu terpajan virus HBC) dan dapat terjadi 15
ribu Hepatitis C serta 70 ribu Hepatitis B. Ini lebih dari 90% terjadi di negara berkembang. Di USA per
tahun didapatkan 5000 petugas kesehatan terinfeksi Hepatitis B dan setiap tahun 600 ribu sampai 1 juta
luka tusuk jarum dilaporkan (diperkirakan lebih dari 60% tidak dilaporkan). SC-Amerika (1998) mencatat
frekuensi angka KAK di Rumah Sakit lebih tinggi 41% dibanding pekerja lain dengan angka KAK terbesar
adalah cedera jarum suntik (Needle Stick Injuries). Adapun di Indonesia berdasarkan penelitian dr Joseph
tahun 2005-2007 mencatat bahwa angka KAK NSI mencapai 38-73% dari total petugas kesehatan. Risiko
penularan HBV setelah luka tusuk jarum suntik yang terkontaminasi HBV 27-37: 100. Risiko infeksi akibat
percikan darah (tak disengaja) yang mengandung HBV didapatkan setidaknya 10 -8 ml darah yang yang
mengandung HBV dapat menularkan virus berbahaya ini ke tubuh manusia yang rentan (Bond et all, 1982)
.Sekitar 95-99% pasien dewasa menderita Hepatitis B yang sebelumnya sehat dan sembuh dengan baik.
Pasien dengan lansia, hepatitis berat dan ada komorbid harus dirawat dengan rata-rata tingkat kematian
sebesar 1%.
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
7 langkah diagnosis okupasi untuk menegakkan Hepatitis B Akibat Kerja sebagai berikut :
1. Menentukan Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan :
Anamnesis
Pada infeksi akut gejala yang dirasakan anoreksia, nausea, muntah, fatique, malaise, atralgia,
myalgia, sakit kepala, 1-5 hari sebelum ikterus timbul. Urine pekat dan kadang feces seperti
dempul dan setelah ikterus timbul gejala berkurang. Adapun dalam keadaan kronis bisa tanpa

101
keluhan tapi dapat juga berupa fatique, malaise, anoreksia, icterus persisten atau intermitten.
Pemeriksaan fisik
Pada infeksi akut dapat ditemukan ikterus, hepatomegali,splenomegali dan pada infeksi kronis
dapat ditemukan hepatomegali, demam subfebris, ikterus (jarang) dan jika sudah terjadi
komplikasi dapat ditemukan ascites, ensefalopathy dan hipersplenisme.
Pemeriksaan penunjang
Pada infeksi akut : HBSAg positif, HBeAg positif, HBV DNA positif, Ig M AntiHBc
Pada infeksi kronis : HBSAg positif dalam 2 kali pemeriksaan berjarak 6 bulan, AntiHBc (+); SGPT
lebih meningkat disbanding SGOT, alkali fosfatase normal atau meningkat ringan, bilirubin
meningkat, hipoalbuminemia,PT memanjang
USG abdomen pada hepatitis B kronis berupa gambaran penyakit hati kronis, sirosis, karsinoma
hepatoseluler
2. Menentukan pajanan yang ada di lingkungan kerja
Diketahui jenis pekerjaan, bahan kerja, cara kerja dan uraian tugas ada pajanan biologi virus
hepatitis B yakni terdapat riwayat tertusuk jarum atau benda tajam yang terkontaminasi atau
terkena cipratan sekret pasien Hepatitis B pada mukosa pekerja
3. Menentukan apakah ada hubungan antara pajanan di lingkungan kerja dengan penyakitnya
Pada pemeriksaan HBSAg yang dilakukan paling lama 1 hari setelah insiden hasilnya negatif dan
baru menjadi positif minimal 3 dan maksimal 6 bulan setelah pajanan. Risiko penularan HBV
setelah luka tusuk jarum suntik yang terkontaminasi HBV 27-37 : 100. Risiko infeksi akibat
percikan darah (tak disengaja) yang mengandung HBV didapatkan setidaknya 10 -8 ml darah yang
yang mengandung HBV dapat menularkan virus
4. Menentukan kecukupan pajanan untuk dapat menyebabkan terjadinya penyakit tersebut
Tidak ada nilai ambang batas untuk pajanan biologis.
5. Menentukan adanya faktor individu
Faktor risiko individu seperti kebiasaan minum alkohol. penggunaan narkoba suntik, menerima
tranfusi darah, perilaku seksual risiko tinggi, menjalani tindakan invasif, menjalani hemodialisis.
Adanya keadaan tersebut tidak menyingkirkan kemungkinan hepatitis B akibat kerja. Informasi
ini dibutuhkan untuk penatalaksanaan.
6. Menentukan faktor di luar pekerjaan yang dapat menyebabkan penyakit tersebut
Tidak ada kontak erat dengan penderita hepatitis B diluar tempat kerja
7. Menentukan Penyakit Akibat Kerja
Hepatitis B akibat kerja
b. Tata Laksana Hepatitis B Akibat Kerja
1. Tata Laksana medis :
- Tata laksana medis dilakukan sesuai diagnosis klinis
- Tata laksana medis berupa rawat jalan dan atau rawat inap yang dapat dilakukan di
fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan oleh dokter sesuai dengan kompetensinya sesuai
Panduan Praktik Klinik Hepatitis B
- Terapi yang diberikan berupa medikamentosa dan atau non medikamentosa seperti
konseling dan edukasi
2. Tata Laksana okupasi :
- Tatalaksana okupasi diberikan setelah diagnosis Hepatitis B Akibat Kerja ditegakkan
- Tatalaksana okupasi dilakukan oleh dokter sesuai kompetensinya dan kewenangannya
- Tatalaksana okupasi pada individu pekerja terdiri dari penilaian kelaikan kerja, program
kembali kerja dan penentuan kecacatan
- Tatalaksana okupasi pada komunitas pekerja terdiri pelayanan pencegahan dan penemuan
dini diagnosis Hepatitis B Akibat Kerja

102
Pokok Bahasan 5: TATA LAKSANA PENYAKIT HEPATITIS C AKIBAT KERJA
Penyakit hati karena infeksi virus khususnya Hepatitis C masih sangat tinggi pada populasi penduduk di
Indonesia. Diperkirakan 3 juta orang menderita Hepatitis C. Sekitar 50% dari orang-orang ini memiliki
penyakit hati yang berpotensi kronis dan 10% berpotensi menuju fibrosis hati yang dapat menyebabkan
kanker hati. Pada 60-85% pasien terinfeksi Hepatitis C menjadi hepatitis kronik dan pada 10-20% pasien
dengan hepatitis kronik menjadi sirosis. Adapun 1% dari 5% dengan hepatitis kronik akan menjadi kanker
hati. Diagnosis penyakit hati karena infeksi virus akibat kerja harus memperhatikan status imunologis
pasien sebelumnya. Hepatitis infeksi virus C akibat kerja terjadi setelah pekerja tertusuk jarum atau benda
tajam yang terkontaminasi virus hepatitis C. Prevalensi penyakit paling tinggi pada pekerja yang sering
terpajan darah atau produk darah seperti ahli bedah, teknisi laboratorium, staf unit hemodialisa, petugas
bagian kebersihan (cleaning service) fasilitas pelayanan kesehatan, dokter gigi, petugas lembaga
pemasyarakatan, polisi, petugas ambulans dan pekerja di institusi yang merawat orang cacat mental.
Secara global berdasar data WHO dari 35 juta pekerja kesehatan didapatkan 3 juta terpajan patogen
darah (2 juta terpajan virus HBV dan 900 ribu terpajan virus HBC) dan dapat terjadi 15 ribu Hepatitis C
serta 70 ribu Hepatitis B. Ini lebih dari 90% terjadi di negara berkembang. Adapun di Indonesia
berdasarkan penelitian dr Joseph tahun 2005-2007 mencatat bahwa angka KAK NSI mencapai 38-73% dari
total petugas kesehatan. Risiko penularan HCV setelah luka tusuk jarum suntik yang mengandung HCV 3-
10:100.
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
7 langkah diagnosis okupasi untuk menegakkan Hepatitis C Akibat Kerja sebagai berikut :
1. Menentukan Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan :
Anamnesis
Pada infeksi akut gejala yang dirasakan anoreksia, nausea, muntah, fatique, malaise, atralgia,
myalgia, sakit kepala, 1-5 hari sebelum ikterus timbul. Urine pekat dan kadang feces seperti
dempul dan setelah ikterus timbul gejala berkurang. Adapun dalam keadaan kronis bisa tanpa
keluhan tapi dapat juga berupa fatique, malaise, anoreksia. Faktor risiko penggunaan narkoba
suntik, menerima tranfusi darah, tingkat ekonomi dan edukasi rendah, perilaku seksual risiko
tinggi, menjalani tindakan invasif, menjalani hemodialisis, tertusuk jarum suntik atau terkena
cairan tubuh pasien berisiko.
Pemeriksaan fisik
Pada infeksi akut dapat ditemukan ikterus, hepatomegali,splenomegali dan pada infeksi kronis
dapat ditemukan hepatomegali, demam subfebris, ikterus (jarang) dan jika sudah terjadi
komplikasi dapat ditemukan ascites, ensefalopathy, hipersplenisme serta manifestasi
ekstrahepatik
Pemeriksaan penunjang
Ada infeksi akut : HCV RNA positif setelah 7 hari pajanan; antiHCV positif 5-10 minggu setelah
pajanan dan dapat bertahan seumur hidup.
Ada infeksi kronis : antiHCV positif dan HCV RNA terdeteksi dalam 2x pemeriksaan berjarak 6
bulan.
USG abdomen pada hepatitis C kronis berupa gambaran penyakit hati kronis, sirosis, karsinoma
hepatoseluler
2. Menentukan pajanan yang ada di lingkungan kerja
Diketahui jenis pekerjaan, bahan kerja, cara kerja dan uraian tugas ada pajanan biologi virus
hepatitis C yakni terdapat riwayat tertusuk jarum atau benda tajam yang terkontaminasi atau
terkena cipratan sekret pasien pada mukosa pekerja.
3. Menentukan apakah ada hubungan antara pajanan di lingkungan kerja dengan penyakitnya.
Pada pemeriksaan anti HCV dilakukan paling lama setelah insiden hasilnya negative dan baru
menjadi positif minimal 3 bulan dan maksimal 6 bulan setelah pajanan. Masa inkubasi Hepatitis
C sekitar 2 minggu-6 bulan. Sekitar 50-85% berkembang menjadi kronik. Dari mereka yang
memiliki infeksi HCV kronis, risiko sirosis hati adalah antara 15-30% dalam waktu 20 tahun.

103
Risiko penularan HBC setelah luka tusuk jarum suntik yang terkontaminasi HCV adalah 3 – 10 :
100.
4. Menentukan kecukupan pajanan untuk dapat menyebabkan terjadinya penyakit tersebut
Tidak ada nilai ambang batas untuk pajanan biologis.
5. Menentukan adanya faktor individu.
Faktor risiko individu seperti kebiasaan minum alkohol. penggunaan narkoba suntik, menerima
tranfusi darah, perilaku seksual risiko tinggi, menjalani tindakan invasive, menjalani
hemodialisis. Adanya keadaan tersebut tidak menyingkirkan kemungkinan hepatitis C akibat
kerja. Informasi ini dibutuhkan untuk penatalaksanaan.
6. Menentukan faktor di luar pekerjaan yang dapat menyebabkan penyakit tersebut
Tidak ada kontak erat dengan penderita hepatitis C diluar tempat kerja
7. Menentukan Penyakit Akibat Kerja
Hepatitis C akibat kerja , atau
Bukan hepatitis akibat kerja
b. Tatalaksana Hepatitis C Akibat Kerja ]
1. Tatalaksana medis :
- Tata laksana medis dilakukan sesuai diagnosis klinis
- Tata laksana medis berupa rawat jalan dan atau rawat inap yang dapat dilakukan di
fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan oleh dokter sesuai dengan kompetensinya
sesuai Panduan Praktik Klinik Hepatitis C
- Terapi yang diberikan berupa medikamentosa dan atau non medikamentosa seperti
konseling dan edukasi
2. Tata Laksana okupasi :
a. Tatalaksana okupasi diberikan setelah diagnosis Hepatitis C Akibat Kerja ditegakkan
b. Tatalaksana okupasi pada individu pekerja terdiri dari penilaian kelaikan kerja, program
kembali kerja dan penentuan kecacatan
c. Tatalaksana okupasi pada komunitas pekerja terdiri pelayanan pencegahan dan penemuan
dini diagnosis Hepatitis C Akibat Kerja

Pokok Bahasan 6: TATA LAKSANA PENYAKIT COVID-19 AKIBAT KERJA


Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Severe Acute
Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) dimana merupakan coronavirus jenis baru yang belum
pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang diketahui
menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome
(MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Tanda dan gejala umum infeksi COVID-19 antara
lain gejala gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Masa inkubasi rata-rata 5-6
hari dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus COVID-19 yang berat dapat menyebabkan
pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian. Tenaga kesehatan dan tenaga
non kesehatan dalam melaksanakan pekerjaannya untuk menangani Corona Virus Disease 2019 (COVID-
19) berisiko tinggi terkena Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sehingga dapat menyebabkan Penyakit
Akibat Kerja Sehingga berdasar Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
Hk.01.07/Menkes/327/2020 maka Penetapan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Akibat Kerja sebagai
Penyakit Akibat Kerja yang spesifik pada pekerjaan tertentu
a. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
7 langkah diagnosis okupasi untuk menegakkan Covid-19 Akibat Kerja sebagai berikut :
1. Menentukan Diagnosis Klinis Konfirmasi Covid-19 (tanpa gejala, gejala ringan, gejala sedang,
gejala berat, kritis).
Kasus konfirmasi Covid-19 terdiri dari 3 kriteria, yaitu:
a. Seseorang dengan hasil pemeriksaan NAAT positif
b. Seseorang dengan hasil pemeriksaan antigen SARS-CoV-2 positif; terdapat kriteria kasus
probable atau kasus suspek

104
c. Kasus tanpa gejala (asimtomatik) dengan hasil pemeriksaan antigen SARS-CoV-2 positif yang
kontak dengan kasus probable/konfirmasi
Kriteria kasus suspek yang dimaksud adalah seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria
berikut:
a. Memenuhi salah satu kriteria klinis DAN kriteria epidemiologis:
1) Kriteria klinis:
a) Demam DAN batuk; ATAU
b) Terdapat 3 atau lebih gejala/tanda akut berikut: demam, batuk,
lemah/kelelahan (fatigue), sakit kepala, mialgia, nyeri tenggorok,
coryza/pilek/hidung tersumbat, sesak nafas, anoreksia/mual/muntah, diare,
penurunan kesadaran
DAN
2) Kriteria epidemiologis:
a) Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat tinggal atau
bekerja di tempat berisiko tinggi penularan; ATAU
b) Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat tinggal atau
bepergian di wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi lokal; ATAU pada 14
hari terakhir sebelum timbul gejala bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan,
baik melakukan pelayanan medis, dan non-medis, serta petugas yang
melaksanakan kegiatan investigasi, pemantauan kasus dan kontak; ATAU
b. Pasien ISPA berat (SARI: acute respiratory infection, dengan riwayat demam atau suhu ≥380
C; dan batuk; dengan onset 10 hari terakhir; dan membutuhkan perawatan rumah sakit)
c. Seseorang tanpa gejala (asimtomatik) yang tidak memenuhi kriteria epidemiologis dengan
hasil pemeriksaan antigen SARS-CoV-2 positif
Kasus probable terdiri dari 4 kriteria, yaitu:
a. Pasien memenuhi kriteria klinis kasus suspek DAN terdapat kontak dengan kasus
probable/konfirmasi atau terkait dengan kluster COVID-19
b. Kasus suspek dengan gambaran radiologis sugestif ke arah COVID-19
c. Seseorang dengan gejala akut anosmia (hilangnya kemampuan indra penciuman) atau
ageusia (hilangnya kemampuan indra perasa) dengan tidak ada penyebab lain yang dapat
diidentifikasi
d. Orang dewasa yang meninggal dengan distres pernapasan DAN terdapat kontak erat dengan
kasus probable/konfirmasi atau terkait dengan kluster COVID-19
Berdasarkan beratnya kasus, COVID-19 dibedakan menjadi:
a. Tanpa gejala
Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan dimana pasien tidak ditemukan gejala.
b. Ringan
Pasien dengan gejala tanpa ada bukti pneumonia virus atau tanpa hipoksia. Gejala yang muncul
seperti demam, batuk, fatigue, anoreksia, napas pendek, mialgia. Gejala tidak spesifik lainnya
seperti sakit tenggorokan, kongesti hidung, sakit kepala, diare, mual dan muntah, penghidu
(anosmia) atau hilang pengecapan (ageusia) yang muncul sebelum onset gejala pernapasan
juga sering dilaporkan. Pasien usia tua dan imunokompromais gejala atipikal seperti fatigue,
penurunan kesadaran, mobilitas menurun, diare, hilang nafsu makan, delirium, dan tidak ada
demam.
c. Sedang
Pada pasien remaja atau dewasa: pasien dengan tanda klinis pneumonia (demam, batuk, sesak,
napas cepat) tetapi tidak ada tanda pneumonia berat termasuk SpO2 >93% dengan udara
ruangan
d. Berat /pneumonia berat

105
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia (demam, batuk,
sesak, napas cepat) ditambah satu dari: frekuensi napas >30 x/menit, distres pernapasan berat,
atau SpO2 <93% pada udara ruangan.
e. Kritis
Pasien dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok sepsis.
2. Menentukan pajanan yang ada di lingkungan kerja
Diketahui jenis pekerjaan, bahan kerja, cara kerja dan uraian tugas ada pajanan biologi SARS-
CoV-2 saat kontak dengan pasien atau spesimen dari pasien Covid-19 misalnya tenaga
kesehatan yang melayani/merawat/kontak dengan pasien Covid-19, tenaga kesehatan atau
petugas laboratorium yang memeriksa spesimen pasien Corona Virus Disease 2019, tenaga non
kesehatan di fasilitas kesehatan yang kontak dengan pasien Corona Virus Disease 2019
(mengantar pasien, membersihkan ruangan di tempat perawatan pasien Corona Virus Disease
2019), tenaga kesehatan/petugas yang melakukan tugas di luar area fasilitas kesehatan dalam
rangka penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (petugas penyelidikan
epidemiologi/tracing, petugas ambulans, petugas pemulasaran jenazah dan lain-lain).
3. Menentukan apakah ada hubungan antara pajanan di lingkungan kerja dengan penyakitnya.
Studi epidemiologi dan virologi saat ini membuktikan bahwa COVID- 19 pada umumnya
ditularkan dari orang yang bergejala (simtomatik) ke orang lain yang berada jarak dekat melalui
droplet. Droplet merupakan partikel berisi air dengan diameter > 5 - 10 μm. Penularan droplet
terjadi ketika seseorang berada pada jarak dekat (dalam 1 meter) dengan seseorang yang
memiliki gejala pernapasan (misalnya, batuk atau bersin) sehingga droplet berisiko mengenai
mukosa (mulut dan hidung) atau konjungtiva (mata). Penularan juga dapat terjadi melalui benda
dan permukaan yang terkontaminasi droplet di sekitar orang yang terinfeksi. Oleh karena itu,
penularan virus SARS-CoV-2 dapat terjadi melalui kontak langsung dengan orang yang terinfeksi
dan kontak tidak langsung dengan permukaan atau benda yang digunakan pada orang yang
terinfeksi (misalnya, stetoskop atau termometer). Transmisi melalui udara dapat terjadi dalam
keadaan khusus misalnya prosedur atau perawatan suportif yang menghasilkan aerosol seperti
intubasi endotrakeal, bronkoskopi, suction terbuka, pemberian nebulisasi, ventilasi manual
sebelum intubasi, mengubah pasien ke posisi tengkurap, memutus koneksi ventilator, ventilasi
tekanan positif noninvasif, trakeostomi, dan resusitasi kardiopulmoner. Saat ini, WHO dan
komunitas ilmiah lain masih mendiskusikan kemungkinan transmisi virus SARS-CoV-2 melalui
udara tanpa adanya prosedur yang menghasilkan aerosol terutama pada ruangan tertutup
dengan ventilasi yang buruk. Tenaga kesehatan dan non kesehatan yang bekerja di fasilitas
kesehatan melayani pasien Covid-19 dan kontak dengan spesimen SARS-CoV-2 mempunyai
risiko tinggi tertular pajanan biologi virus SARS-CoV-2. Masa inkubasi rata-rata 5-6 hari dengan
masa inkubasi terpanjang 14 hari.
4. Menentukan kecukupan pajanan untuk dapat menyebabkan terjadinya penyakit tersebut
Tidak ada nilai ambang batas untuk pajanan biologis.
5. Menentukan adanya faktor individu
Tidak ada faktor individu yang berperan karena semua berisiko tertular
6. Menentukan faktor di luar pekerjaan yang dapat menyebabkan penyakit tersebut
Tidak ada bukti riwayat kontak dengan pajanan biologi SARS- CoV-2 di luar pekerjaan
7. Menentukan Penyakit Akibat Kerja
Covid-19 Akibat Kerja
b. Tatalaksana Covid-19 Akibat Kerja
1. Tatalaksana medis :
- Tata laksana medis dilakukan sesuai diagnosis klinis
- Tata laksana medis berupa rawat jalan dan atau rawat inap yang dapat dilakukan di fasilitas
pelayanan kesehatan dilakukan oleh dokter sesuai dengan kompetensinya sesuai Panduan
Praktik Klinik Covid-19

106
- Terapi yang diberikan berupa medikamentosa dan atau non medikamentosa seperti konseling
dan edukasi
2. Tatalaksana okupasi :
- Tatalaksana okupasi diberikan setelah diagnosis Covid-19 Akibat Kerja ditegakkan
- Tatalaksana okupasi pada individu pekerja terdiri dari penilaian kelaikan kerja, program
kembali kerja dan penentuan kecacatan
- Tatalaksana okupasi pada komunitas pekerja terdiri pelayanan pencegahan dan penemuan
dini diagnosis Covid-19 Akibat Kerja
Catatan: perkembangan ilmu terkait Covid-19 karena merupakan penyakit yang baru dan
pandemi masih berlangsung sehingga penegakkan diagnosa klinis dan okupasi serta
tatalaksana klinis dan okupasi menyesuaikan dengan hasil penelitian terbaru demikian juga
dengan penyakit lainnya disesuaiakan dengan perkembangan terkini.

VIII. REFERENSI
 Marilyn J.F. Tuberculosis in The Workplace. 2001
 Tjetjen,L,Bossmeyer,D.,Mclntosh, N., Panduan Pencegahan Infeksi untuk fasilitas Kesehatan dengan
Sumber daya terbatas, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta,2004
 Levy,B.S, Wagner G.R, Preventing Occupational Disease and Injury, APHA 2nd ed., 2005
 Albert Nienhaus,: Infectious diseases in healthcare workers – an analysis of the standardised data set
of a German compensation board Journal of Occupational Medicine and Toxicology 2012, 7:8
 Keith T Palmer. Fitness for work The Medical Aspect.4th edition.2007
 Ali Sulaiman dkk. Buku Ajar Penyakit Hati.2012
 Dewi S Soemarko, Astrid W. 7 Langkah Diagnosis Okupasi.2014
 Sri Linuwih dkk. Penyakit Kulit dan Kelamin.2015
 PAPDI. Penatalaksanaan di Bidang IPD Panduan Praktik Klinis.2015
 Idrus Alwi dkk. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Panduan Praktik Klinik.2016
 Permenkes Nomor 27 tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
 Perdoki. Pedoman Klinis Diagnosis dan Tatalaksana Kasus Penyakit Akibat Kerja. 2017
 PB IDI. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Kesehatan Primer Edisi 1.2017
 Si-Hyun Kim.Implementation of Hospital Policy for Healthcare Workers and Patients Exposed to
Varicella-Zoster Virus. 2018
 Kementerian Kesehatan RI. Konsensus Tata laksana Penyakit Akibat Kerja di Indonesia. 2019
 Kementerian Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/327/2020
tentang Penetapan COVID-19 Akibat Kerja Sebagai Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada
Pekerjaan Tertentu. 2020
 Kementerian Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/413/2020
tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). 2020.
 Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia. Pedoman penatalaksanaan
107kembali kerja pada kasus yang berkaitan dengan pajanan SARS CoV-2 pada masa 107pandemi
COVID-19. 2020
 PB IDI. Pedoman Standar Perlindungan Dokter Di Era Pandemi COVID-19. 2021

107
MATERI DASAR 1
PERHITUNGAN KECACATAN
Jumlah JPL : 2 ( T : 1, P :1, PL : 0)

Oleh:
dr Fani Syafani, MKK, CDMP

IX. DESKRIPSI SINGKAT

Disabilitas atau Kecacatan, merupakan suatu kondisi yang tidak diharapkan siapapun, terutama pada
kelompok pekerja dimana seseorang yang mengalami disabilitas atau kecacatan akan berdampak langsung
maupun tidak langsung pada keterbatasan dalam melakukan pekerjaan dan peran di kehidupan sosialnya.
Pengertian cacat berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2015, yaitu keadaan berkurang atau
hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya anggota badan yang secara langsung atau tidak langsung
mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan pekerja untuk menjalankan pekerjaannya
Perlu disadari seseorang yang mengalami disabilitas atau kecacatan masih dapat berfungsi di dunia
kerja dan berkontribusi di masyarakat. Namun sebaliknya dengan disabilitas atau kecacatan dapat
menghambat melakukan suatu pekerjaan yang sebelumnya dapat dikerjakan normal dalam kesehariannya.
Sehingga perlu kita sadari disabilitas adalah akibat dari kecelakaan dan atau penyakit pada anggota tubuh
manusia mengakibatkan terjadi disabilitas atau kecacatan. Dan apabila terjadi pada pekerja saat melakukan
aktivitas yang terkait pekerjaannya, saat dinas ataupun saat perjalanan menuju ke tempat kerja atau pulang
dari tempat kerja ke tempat tinggalnya sehari-hari, dan eligible terdaftar dalam perlindungan Program
Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), maka pekerja tersebut berhak memperoleh santunan cacat, baik santunan
cacat sebagian fungsi, cacat sebagian anatomi maupun cacat total tetap sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Berdasarkan regulasi yang berlaku, pekerja yang mengalami Cacat akibat Kecelakaan Kerja atau penyakit
akibat kerja harus tetap dipekerjakan kembali kecuali apabila Pekerja mengalami Cacat total tetap
berdasarkan surat keterangan dokter dan karena kecacatannya yang bersangkutan tidak memungkinkan lagi
untuk melakukan pekerjaan.

X. TUJUAN PEMBELAJARAN
A.TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM
Setelah mengikuti materi ini peserta mampu melakukan perhitungan nilai /prosentase Kecacatan
penyakit akibat kerja

C. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS


Setelah mengikuti sesi ini peserta mampu:
1. Menjelaskan manfaat Jaminan Kecelakaan Kerja untuk kompensasi Kecacatan disebabkan kasus
penyakit akibat kerja sesuai peraturan perundangan.
2. Melakukan perhitungan prosentase kecacatan kasus penyakit akibat kerja

XI. POKOK BAHASAN


Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan dan sub pokok bahasan sebagai berikut.
Pokok bahasan 1.
Manfaat Jaminan Kecelakaan Kerja untuk kompensasi santunan Kecacatan disebabkan kasus penyakit
akibat kerja sesuai peraturan perundangan.

Sub pokok bahasan :


a. Gambaran kasus kejadian Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja
b. Permasalahan dalam kompensasi santunan Kecacatan disebabkan kasus penyakit akibat kerja
108
c. Pentingnya realisasi manfaat kompensasi santunan Kecacatan disebabkan kasus penyakit akibat
kerja

Pokok bahasan 2. Perihal prosentase kecacatan kasus penyakit akibat kerja

Sub pokok bahasan :


a. Regulasi terkait perhitungan prosentase kecacatan kasus penyakit akibat kerja
b. Strategi dalam implementasi perhitungan prosentase kecacatan kasus penyakit akibat kerja
c. Peran Pemerintah dan pihak terkait dalam upaya pemahaman kompensasi kecacatan kasus PAK

Pokok bahasan 3. Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja dengan cacat sebagian anatomi
Sub pokok bahasan :
d. Pengertian cacat sebagian anatomi
e. Contoh Kasus KK PAK dengan cacat sebagian anatomi
f. Implementasi perhitungan Kasus KK PAK dengan cacat sebagian anatomi

Pokok bahasan 4. Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja dengan cacat sebagian fungsi
Sub pokok bahasan :
a. Pengertian cacat sebagian fungsi
b. Contoh Kasus KK PAK dengan cacat sebagian fungsi
c. Implementasi perhitungan Kasus KK PAK dengan cacat sebagian fungsi

Pokok bahasan 5. Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja dengan cacat total tetap
Sub pokok bahasan :
a. Pengertian cacat total tetap
b. Contoh Kasus KK PAK dengan cacat total tetap
c. Implementasi perhitungan Kasus KK PAK dengan cacat total tetap

XII. METODE
 Ceramah
 tanya jawab
 Curah Pendapat
 Latihan kasus

XIII. MEDIA ALAT BANTU


 Bahan tayang/ power point
 Modul
 Laptop/Komputer
 LCD
 Laser pointer
 ATK

XIV. LANGKAH PEMBELAJARAN


Langkah 1: Pengkondisian
Kegiatan pelatih
3. Pelatih menyapa peserta dengan ramah dan hangat, apabila belum pernah memperkenalkan diri,
nama lengkap, asal institusi.
4. Menyampaikan tujuan umum, tujuan khusus dan pokok bahasan yang akan disampaikan sebaiknya
menggunakan bahan tayang.
109
Langkah 2: Pelatih menjelaskan pokok bahasan pertama:
Kegiatan Pelatih:
3. Pelatih menjelaskan Manfaat Jaminan Kecelakaan Kerja untuk kompensasi santunan Kecacatan
disebabkan kasus penyakit akibat kerja sesuai peraturan perundangan.

4. Pelatih bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta

Kegiatan Peserta:
3. Peserta mendengarkan dengan seksama
4. Pelatih menjawab pertanyaan peserta

Langkah 3: Pelatih menjelaskan pokok bahasan kedua:


Kegiatan Pelatih:
3. Pelatih menjelaskan Perihal prosentase kecacatan kasus penyakit akibat kerja
4. Pelatih bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta
Kegiatan Peserta:
3. Peserta mendengarkan dengan seksama
4. Pelatih menjawab pertanyaan peserta

Langkah 4: Pelatih menjelaskan pokok bahasan ketiga


Kegiatan Pelatih:
4. Pelatih menjelaskan kepada peserta bagaimana Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja
dengan cacat sebagian anatomi
5. Pelatih bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta
6. Pelatih menyimpulkan keseluruhan materi
Kegiatan Peserta:
3. Peserta mendengarkan dengan seksama
4. Pelatih menjawab pertanyaan peserta

Langkah 5: Pelatih menjelaskan pokok bahasan ke empat


Kegiatan Pelatih:
1.Pelatih menjelaskan kepada peserta bagaimana Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja dengan
cacat sebagian fungsi
2. Pelatih bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta
5. Pelatih menyimpulkan keseluruhan materi

Kegiatan Peserta:
6. Peserta mendengarkan dengan seksama
7. Pelatih menjawab pertanyaan peserta

Langkah 6: Pelatih menjelaskan pokok bahasan kelima


Kegiatan Pelatih:
1.Pelatih menjelaskan kepada peserta bagaimana Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja dengan
cacat total tetap
2. Pelatih bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta
3 Pelatih menyimpulkan keseluruhan materi

Kegiatan Peserta:

110
4 Peserta mendengarkan dengan seksama
5 Pelatih menjawab pertanyaan peserta

XV. URAIAN MATERI

Pokok bahasan 1.
Manfaat Jaminan Kecelakaan Kerja untuk kompensasi santunan Kecacatan disebabkan kasus penyakit
akibat kerja sesuai peraturan perundangan.

BPJS Ketenagakerjaan sebagai badan hukum publik yang ditunjuk oleh pemerintah menurut amanat Undang-
Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial untuk menyelenggarakan program
Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian. Jaminan Kecelakaan
Kerja (JKK) merupakan manfaat yang dapat langsung dirasakan oleh pekerja saat menghadapi resiko kerja,
seperti kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Kompensasi untuk dapat kembali bekerja juga merupakan
hak pekerja yang harus diberikan sesuai Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 10 Tahun 2016 tentang
Tata Cara Pemberian Program Kembali Kerja serta Kegiatan Promotif dan Kegiatan Preventif Kecelakaan Kerja
dan Penyakit Akibat Kerja. Program JKK mengupayakan peserta yang mengalami disabilitas mendapat
pengobatan yang cepat, tepat, dan dapat segera bekerja kembali

Gambaran kasus kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja di Indonesia


Berdasarkan data laporan kecelakaan kerja dari tahun 2017 sampai dengan tahun 2020, jumlah
kasus kecelakaan kerja maupun kasus penyakit akibat kerja mengalami peningkatan dalam laporan
ke BPJS Ketenagakerjaan.
Data kasus Penyakit Akibat Kerja yang dilaporkan ke BPJS Ketenagakerjaan sampai dengan bulan
Februari tahun 2021, sebanyak 55 kasus PAK , dengan tertinggi adalah hazzard fisika (42%), hazard
ergonomi (29%), hazard kimia (22%), disusul hazard biologi (7%)dan untuk hazard psikosoial belum
ada kasus yang dilaporkan.
Hal ini bermakna masyarakat pekerja memahami pentingnya melaporkan kasus KK PAK sesegera
mungkin untuk penanganan lebih dini, menghindari kecacatan dan mencegah kematian.
Data pekerja yang mengalami disabilitas setiap tahun bisa mencapai kurang lebih 7.000 per tahun.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dianggap perlu untuk memahami pentingnya memberikan
penanganan yang cepat dan tepat terhadap kasus kecelakaan kerja dan meminimalisir derajat
kecacatan pekerja yang mengalami kecelakaan kerja.

Pokok bahasan 2.
Perihal Prosentase Kecacatan Kasus Penyakit Akibat Kerja

Sehat dan bekerja merupakan hak azasi manusia, namun tempat kerja dapat berisiko terhadap kesehatan
pekerja. Oleh sebab itu Pemberi kerja , pekerja dan Pemerintah memiliki peran dan tanggung jawab untuk
mewujudkan tempat kerja yang sehat dan terbebas dari pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan.
Penyakit Akibat Kerja merupakan penyakit yang dapat ditimbulkan oleh proses, bahan, alat dan perilaku serta
lingkungan kerja, dimana kondisi tersebut dapat dilakukan upaya pengendalian sehingga Penyakit Akibat
Kerja dapat dicegah.
Regulasi di Indonesia telah mewajibkan pemberi kerja dan pekerja untuk mengikuti program Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan melalui Program Jaminan Kecelakaan Kerja. Berdasarkan Regulasi yang berlaku, begitu tegak
diagnose Penyakit Akibat Kerja, dalam tempo 2x 24 jam harus segera dilkaporkan ,hal ini untuk mengingatkan
pemberi kerja, pekerja, fasilitas kesehatan bahwa kasus penyakit akibat kerja harus segera ditangani untuk
mencegah terjadinya perburukan, yang dapat menyebabkan kecacatan atau disabilitas bahkan kematian .
Diagnosis penyakit akibat kerja memiliki konsekuensi dimana pemberi kerja/pimpinan tempat kerja juga
111
mempunyai tanggung jawab terhadap pencegahan dan penyelesaian penyakit akibat kerja dan pekerja
berhak mendapat upaya perlindungan terhadap penyakit akibat kerja. Dalam hal santunan kasus kecelakaan
kerja maupun santunan kasus penyakit akibat kerja , diberikan kepada pekerja berdasarkan persentase dari
kondisi akhir dari kasus kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja.

Perbedaaan Pendapat

Dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai persentase cacat akibat kecelakaan kerja atau penyakit
akibat kerja:
- pekerja dapat meminta penetapan kepada pengawas ketenagakerjaan setempat, dimana
pengawas ketenagakerjaan meminta pertimbangan medis kepada dokter penasehat daerah
untuk menetapkan persentase cacat
- kemudian pengawas ketenagakerjaan setempat membuat penetapan manfaat JKK berdasarkan
persentase cacat hasil pertimbangan medis dokter penasehat daerah
- Dalam hal penetapan pengawas ketenagakerjaan tidak diterima salah satu pihak, pihak yang
tidak menerima dapat meminta penetapan menteri

Pokok bahasan 3.
Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja dengan cacat sebagian anatomi
Definisi
 Cacat
Adalah keadaan berkurang atau hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya anggota badan yang
secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan
pekerja untuk menjalankan pekerjaannya

 Cacat Sebagian Anatomi


keadaan berkurang atau hilangnya anggota badan yang secara langsung atau tidak langsung
mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan pekerja untuk menjalankan pekerjaannya

Perhitungan Cacat sebagian anatomi:


Cacat sebagian anatomis sebesar = % sesuai tabel x 80 x Upah sebulan,

Pokok bahasan 4.
Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja dengan cacat sebagian Fungsi

Definisi
 Cacat
Adalah keadaan berkurang atau hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya anggota badan yang
secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan
pekerja untuk menjalankan pekerjaannya

 Cacat Sebagian Fungsi


keadaan berkurang atau hilangnya fungsi tubuh yang secara langsung atau tidak langsung
mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan pekerja untuk menjalankan pekerjaannya

Perhitungan Cacat sebagian fungsi = % berkurangnya fungsi x % sesuai tabel x 80 x Upah sebulan

112
Pokok bahasan 5.
Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja dengan cacat total tetap

Definisi
 Cacat
Adalah keadaan berkurang atau hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya anggota badan yang
secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan
pekerja untuk menjalankan pekerjaannya

 Cacat Total Tetap


Cacat yang mengakibatkan ketidakmampuan seseorang melakukan pekerjaannya

Cacat total tetap = 70% x 80 x Upah sebulan;

TABEL PERSENTASE CACAT TETAP SEBAGIAN DAN CACAT-CACAT LAINNYA.


CACAT TETAP SEBAGIAN % X UPAH

Lampiran PP No. 44 Tahun 2015


CACAT TETAP SEBAGIAN % X UPAH
Lengan kanan dari sendi bahu kebawah (untuk kidal 40
berlaku sebaliknya)
Lengan kiri dari sendi bahu ke bawah 35
Lengan kanan dari atau dari atas siku ke bawah (untuk 35
kidal berlaku sebaliknya)
Lengan kiri dari atau dari atas siku ke bawah 30
Tangan kanan dari atau dari atas pergelangan ke bawah 32
Tangan kiri dari atau dari atas pergelangan ke bawah 28
(untuk kidal berlaku sebaliknya)
Kedua belah kaki dari pangkal paha ke bawah 70
Sebelah kaki dari pangkal paha ke bawah 35
Kedua belah kaki dari mata kaki ke bawah 50
Sebelah kaki dari mata kaki ke bawah 25
Kedua belah mata 70
Sebelah mata atau diplopia pada penglihatan Dekat 35
Pendengaran pada kedua belah telinga 40
Pendengaran pada sebelah telinga 20
Ibu jari tangan kanan 15
Ibu jari tangan kiri 12
Telunjuk tangan kanan 9
Telunjuk tangan kiri 7
Salah satu jari lain tangan kanan 4
Salah satu jari lain tangan kiri 3
Ruas pertama telunjuk kanan 4,5
Ruas pertama telunjuk kiri 3,5
Ruas pertama jari lain tangan kanan 2
Ruas pertama jari lain tangan kiri 1,5
Salah satu ibu jari kaki 5
Salah satu jari telunjuk kaki 3
Salah satu jari kaki lain 2
Terkelupasnya kulit kepala 10-30

113
Impotensi 40
Kaki memendek sebelah:
− kurang dari 5 cm 10
− 5 cm sampai kurang dari 7,5 cm 20
− 7,5 cm atau lebih 30
Penurunan daya dengar kedua belah telinga setiap 10 6
desibel
Penurunan daya dengar sebelah telinga setiap 10 desibel 3
Kehilangan daun telinga sebelah 5
Kehilangan kedua belah daun telinga 10
Cacat hilangnya cuping hidung 30
Perforasi sekat rongga hidung 15
Kehilangan daya penciuman 10
Hilangnya kemampuan kerja fisik:

− 51% - 70% 40
− 26% - 50% 20
− 10% - 25% 5
Hilangnya kemampuan kerja mental tetap 70
Kehilangan sebagian fungsi penglihatan Setiap kehilangan
efisiensi tajam penglihatan 10%. Apabila efisiensi
penglihatan kanan dan kiri berbeda, maka 7
efisiensipenglihatan binokuler dengan rumus kehilangan
efisiensi penglihatan: (3 x % efisiensi penglihatan terbaik) +
% efisiensi penglihatan terburuk
Kehilangan penglihatan warna 10
Setiap kehilangan lapangan pandang 10% 7

114
115
XVI. REFERENSI

 Barry S Levy David H Wegman. Occupational Health Recognizing and preventing world related
disease.edisi ke 3
 Soemarko DS, Sulistomo AB. Tujuh Langkah Diagnosis Okupasi untuk mendeteksi Penyakit
Akibat Kerja. Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia, Jakarta 2011.
 Week, JL, Gregory R Wagner, Kathleen M Rest, Barry S levi. A Public Health Approach to
preventing occupational Diseases and Injuries in preventing Occupati onal diseases and injury.
Edisi ke 2, APHA, Washington, 2005
 UU Nomor 1 tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja
 UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
 Permenaker No 02 Tahun 1980 Tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja
 Permenaker No. 01 Tahun 1981 Tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja
 Permenaker No 03 Tahun 1982 Tentang Pelayanan Kesehatan Kerja
 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan program jaminan kecelakaan
kerja dan jaminan kematian
 PERMENAKER No.26 Tahun 2015 Tentang Tata Cara penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan
Kerja ,Jaminan Kematian dan Jaminan Hari Tua Bagi Peserta Penerima Upah
 Permenkes No 56 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan pelayanan penyakit akibat kerja
 Permenaker No 01 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Program JKM, JKM dan JHT bagi
peserta BPU
 Permenaker No 28 Tahun 2015 Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Dokter Penasehat
 Permenaker No 10 Tahun 2016 tentang Program Return to Work, Promotif dan Preventif dan
Penyakit Akibat Kerja
 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER.25/MEN/XII/2008 Tentang
Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat Karena Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat
Kerja
 Peraturan Presiden Nomor 07 tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja
 Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44
Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian

116
MATERI INTI 7
PERHITUNGAN KECACATAN
Jumlah JPL : 2 ( T : 1, P :1, PL : 0)

I. DESKRIPSI SINGKAT
Disabilitas atau Kecacatan, merupakan suatu kondisi yang tidak diharapkan siapapun, terutama pada
kelompok pekerja dimana seseorang yang mengalami disabilitas atau kecacatan akan berdampak
langsung maupun tidak langsung pada keterbatasan dalam melakukan pekerjaan dan peran di kehidupan
sosialnya. Pengertian cacat berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2015, yaitu keadaan
berkurang atau hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya anggota badan yang secara langsung atau tidak
langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan pekerja untuk menjalankan
pekerjaannya. Perlu disadari seseorang yang mengalami disabilitas atau kecacatan masih dapat berfungsi
di dunia kerja dan berkontribusi di masyarakat. Namun sebaliknya dengan disabilitas atau kecacatan
dapat menghambat melakukan suatu pekerjaan yang sebelumnya dapat dikerjakan normal dalam
kesehariannya. Sehingga perlu kita sadari disabilitas adalah akibat dari kecelakaan dan atau penyakit pada
anggota tubuh manusia mengakibatkan terjadi disabilitas atau kecacatan. Dan apabila terjadi pada
pekerja saat melakukan aktivitas yang terkait pekerjaannya, saat dinas ataupun saat perjalanan menuju
ke tempat kerja atau pulang dari tempat kerja ke tempat tinggalnya sehari-hari, dan eligible terdaftar
dalam perlindungan Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), maka pekerja tersebut berhak
memperoleh santunan cacat, baik santunan cacat sebagian fungsi, cacat sebagian anatomi maupun cacat
total tetap sesuai dengan regulasi yang berlaku. Berdasarkan regulasi yang berlaku, pekerja yang
mengalami Cacat akibat Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja harus tetap dipekerjakan kembali
kecuali apabila Pekerja mengalami Cacat total tetap berdasarkan surat keterangan dokter dan karena
kecacatannya yang bersangkutan tidak memungkinkan lagi untuk melakukan pekerjaan.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


A. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM
Setelah mengikuti materi ini peserta mampu melakukan perhitungan nilai /prosentase Kecacatan
penyakit akibat kerja
B. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini peserta mampu:
3. Menjelaskan manfaat Jaminan Kecelakaan Kerja untuk kompensasi Kecacatan disebabkan kasus
penyakit akibat kerja sesuai peraturan perundangan.
4. Melakukan perhitungan prosentase kecacatan kasus penyakit akibat kerja

III. POKOK BAHASAN


Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan dan sub pokok bahasan sebagai berikut.
Pokok bahasan 1.
Manfaat Jaminan Kecelakaan Kerja untuk kompensasi santunan Kecacatan disebabkan kasus penyakit
akibat kerja sesuai peraturan perundangan.

Sub pokok bahasan :


a. Gambaran kasus kejadian Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja
b. Permasalahan dalam kompensasi santunan Kecacatan disebabkan kasus penyakit akibat kerja
c. Pentingnya realisasi manfaat kompensasi santunan Kecacatan disebabkan kasus penyakit akibat
kerja

117
Pokok bahasan 2. Perihal prosentase kecacatan kasus penyakit akibat kerja

Sub pokok bahasan :


a. Regulasi terkait perhitungan prosentase kecacatan kasus penyakit akibat kerja
b. Strategi dalam implementasi perhitungan prosentase kecacatan kasus penyakit akibat kerja
c. Peran Pemerintah dan pihak terkait dalam upaya pemahaman kompensasi kecacatan kasus PAK

Pokok bahasan 3. Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja dengan cacat sebagian anatomi
Sub pokok bahasan :
a. Pengertian cacat sebagian anatomi
b. Contoh Kasus KK PAK dengan cacat sebagian anatomi
c. Implementasi perhitungan Kasus KK PAK dengan cacat sebagian anatomi

Pokok bahasan 4. Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja dengan cacat sebagian fungsi
Sub pokok bahasan :
a. Pengertian cacat sebagian fungsi
b. Contoh Kasus KK PAK dengan cacat sebagian fungsi
c. Implementasi perhitungan Kasus KK PAK dengan cacat sebagian fungsi

Pokok bahasan 5. Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja dengan cacat total tetap
Sub pokok bahasan :
a. Pengertian cacat total tetap
b. Contoh Kasus KK PAK dengan cacat total tetap
c. Implementasi perhitungan Kasus KK PAK dengan cacat total tetap

IV. METODE
 Ceramah
 tanya jawab
 Curah Pendapat
 Latihan kasus

V. MEDIA ALAT BANTU


 Bahan tayang/ power point
 Modul
 Laptop/Komputer
 LCD
 Laser pointer
 ATK

VI. LANGKAH PEMBELAJARAN


Langkah 1: Pengkondisian
Kegiatan pelatih
1. Pelatih menyapa peserta dengan ramah dan hangat, apabila belum pernah memperkenalkan diri,
nama lengkap, asal institusi.
2. Menyampaikan tujuan umum, tujuan khusus dan pokok bahasan yang akan disampaikan sebaiknya
menggunakan bahan tayang.

Langkah 2: Pelatih menjelaskan pokok bahasan pertama:


Kegiatan Pelatih:
118
1. Pelatih menjelaskan Manfaat Jaminan Kecelakaan Kerja untuk kompensasi santunan Kecacatan
disebabkan kasus penyakit akibat kerja sesuai peraturan perundangan.

2. Pelatih bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta

Kegiatan Peserta:
1. Peserta mendengarkan dengan seksama
2. Pelatih menjawab pertanyaan peserta

Langkah 3: Pelatih menjelaskan pokok bahasan kedua:


Kegiatan Pelatih:
1. Pelatih menjelaskan Perihal prosentase kecacatan kasus penyakit akibat kerja
2. Pelatih bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta
Kegiatan Peserta:
1. Peserta mendengarkan dengan seksama
2. Pelatih menjawab pertanyaan peserta

Langkah 4: Pelatih menjelaskan pokok bahasan ketiga


Kegiatan Pelatih:
1. Pelatih menjelaskan kepada peserta bagaimana Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja
dengan cacat sebagian anatomi
2. Pelatih bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta
3. Pelatih menyimpulkan keseluruhan materi
4. Kegiatan Peserta:
5. Peserta mendengarkan dengan seksama
6. Pelatih menjawab pertanyaan peserta

Langkah 5: Pelatih menjelaskan pokok bahasan ke empat


Kegiatan Pelatih:
1. Pelatih menjelaskan kepada peserta bagaimana Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja
dengan cacat sebagian fungsi
2. Pelatih bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta
3. Pelatih menyimpulkan keseluruhan materi

Kegiatan Peserta:
1. Peserta mendengarkan dengan seksama
2. Pelatih menjawab pertanyaan peserta

Langkah 6: Pelatih menjelaskan pokok bahasan kelima


Kegiatan Pelatih:
1. .Pelatih menjelaskan kepada peserta bagaimana Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja
dengan cacat total tetap
2. Pelatih bertanya kepada peserta tentang hal yang masih belum dimengerti oleh peserta
3. Pelatih menyimpulkan keseluruhan materi

Kegiatan Peserta:
1. Peserta mendengarkan dengan seksama
2. Pelatih menjawab pertanyaan peserta

119
VII. URAIAN MATERI

Pokok bahasan 1.
Manfaat Jaminan Kecelakaan Kerja untuk kompensasi santunan Kecacatan disebabkan kasus penyakit
akibat kerja sesuai peraturan perundangan.

BPJS Ketenagakerjaan sebagai badan hukum publik yang ditunjuk oleh pemerintah menurut amanat Undang-
Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial untuk menyelenggarakan program
Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian. Jaminan Kecelakaan
Kerja (JKK) merupakan manfaat yang dapat langsung dirasakan oleh pekerja saat menghadapi resiko kerja,
seperti kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Kompensasi untuk dapat kembali bekerja juga merupakan
hak pekerja yang harus diberikan sesuai Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 10 Tahun 2016 tentang
Tata Cara Pemberian Program Kembali Kerja serta Kegiatan Promotif dan Kegiatan Preventif Kecelakaan Kerja
dan Penyakit Akibat Kerja. Program JKK mengupayakan peserta yang mengalami disabilitas mendapat
pengobatan yang cepat, tepat, dan dapat segera bekerja kembali

Gambaran kasus kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja di Indonesia


Berdasarkan data laporan kecelakaan kerja dari tahun 2017 sampai dengan tahun 2020, jumlah
kasus kecelakaan kerja maupun kasus penyakit akibat kerja mengalami peningkatan dalam laporan
ke BPJS Ketenagakerjaan.
Data kasus Penyakit Akibat Kerja yang dilaporkan ke BPJS Ketenagakerjaan sampai dengan bulan
Februari tahun 2021, sebanyak 55 kasus PAK , dengan tertinggi adalah hazzard fisika (42%), hazard
ergonomi (29%), hazard kimia (22%), disusul hazard biologi (7%)dan untuk hazard psikosoial belum
ada kasus yang dilaporkan.
Hal ini bermakna masyarakat pekerja memahami pentingnya melaporkan kasus KK PAK sesegera
mungkin untuk penanganan lebih dini, menghindari kecacatan dan mencegah kematian.
Data pekerja yang mengalami disabilitas setiap tahun bisa mencapai kurang lebih 7.000 per tahun.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dianggap perlu untuk memahami pentingnya memberikan
penanganan yang cepat dan tepat terhadap kasus kecelakaan kerja dan meminimalisir derajat
kecacatan pekerja yang mengalami kecelakaan kerja.

Pokok bahasan 2.
Perihal Prosentase Kecacatan Kasus Penyakit Akibat Kerja

Sehat dan bekerja merupakan hak azasi manusia, namun tempat kerja dapat berisiko terhadap kesehatan
pekerja. Oleh sebab itu Pemberi kerja , pekerja dan Pemerintah memiliki peran dan tanggung jawab untuk
mewujudkan tempat kerja yang sehat dan terbebas dari pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan.
Penyakit Akibat Kerja merupakan penyakit yang dapat ditimbulkan oleh proses, bahan, alat dan perilaku serta
lingkungan kerja, dimana kondisi tersebut dapat dilakukan upaya pengendalian sehingga Penyakit Akibat
Kerja dapat dicegah.
Regulasi di Indonesia telah mewajibkan pemberi kerja dan pekerja untuk mengikuti program Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan melalui Program Jaminan Kecelakaan Kerja. Berdasarkan Regulasi yang berlaku, begitu tegak
diagnose Penyakit Akibat Kerja, dalam tempo 2x 24 jam harus segera dilkaporkan ,hal ini untuk mengingatkan
pemberi kerja, pekerja, fasilitas kesehatan bahwa kasus penyakit akibat kerja harus segera ditangani untuk
mencegah terjadinya perburukan, yang dapat menyebabkan kecacatan atau disabilitas bahkan kematian .
Diagnosis penyakit akibat kerja memiliki konsekuensi dimana pemberi kerja/pimpinan tempat kerja juga
mempunyai tanggung jawab terhadap pencegahan dan penyelesaian penyakit akibat kerja dan pekerja
berhak mendapat upaya perlindungan terhadap penyakit akibat kerja. Dalam hal santunan kasus kecelakaan

120
kerja maupun santunan kasus penyakit akibat kerja , diberikan kepada pekerja berdasarkan persentase dari
kondisi akhir dari kasus kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja.

Perbedaaan Pendapat

Dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai persentase cacat akibat kecelakaan kerja atau penyakit
akibat kerja:
- pekerja dapat meminta penetapan kepada pengawas ketenagakerjaan setempat, dimana
pengawas ketenagakerjaan meminta pertimbangan medis kepada dokter penasehat daerah
untuk menetapkan persentase cacat
- kemudian pengawas ketenagakerjaan setempat membuat penetapan manfaat JKK berdasarkan
persentase cacat hasil pertimbangan medis dokter penasehat daerah
- Dalam hal penetapan pengawas ketenagakerjaan tidak diterima salah satu pihak, pihak yang
tidak menerima dapat meminta penetapan menteri

Pokok bahasan 3.
Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja dengan cacat sebagian anatomi
Definisi
 Cacat
Adalah keadaan berkurang atau hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya anggota badan yang
secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan
pekerja untuk menjalankan pekerjaannya

 Cacat Sebagian Anatomi


keadaan berkurang atau hilangnya anggota badan yang secara langsung atau tidak langsung
mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan pekerja untuk menjalankan pekerjaannya

Perhitungan Cacat sebagian anatomi:


Cacat sebagian anatomis sebesar = % sesuai tabel x 80 x Upah sebulan,

Pokok bahasan 4.
Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja dengan cacat sebagian Fungsi

Definisi
 Cacat
Adalah keadaan berkurang atau hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya anggota badan yang
secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan
pekerja untuk menjalankan pekerjaannya

 Cacat Sebagian Fungsi


keadaan berkurang atau hilangnya fungsi tubuh yang secara langsung atau tidak langsung
mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan pekerja untuk menjalankan pekerjaannya

Perhitungan Cacat sebagian fungsi = % berkurangnya fungsi x % sesuai tabel x 80 x Upah sebulan

Pokok bahasan 5.
Kasus Kecelakaan kerja - penyakit akibat kerja dengan cacat total tetap

121
Definisi
 Cacat
Adalah keadaan berkurang atau hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya anggota badan yang
secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan
pekerja untuk menjalankan pekerjaannya

 Cacat Total Tetap


Cacat yang mengakibatkan ketidakmampuan seseorang melakukan pekerjaannya

Cacat total tetap = 70% x 80 x Upah sebulan;

TABEL PERSENTASE CACAT TETAP SEBAGIAN DAN CACAT-CACAT LAINNYA.


CACAT TETAP SEBAGIAN % X UPAH

Lampiran PP No. 44 Tahun 2015


CACAT TETAP SEBAGIAN % X UPAH
Lengan kanan dari sendi bahu kebawah (untuk kidal 40
berlaku sebaliknya)
Lengan kiri dari sendi bahu ke bawah 35
Lengan kanan dari atau dari atas siku ke bawah (untuk 35
kidal berlaku sebaliknya)
Lengan kiri dari atau dari atas siku ke bawah 30
Tangan kanan dari atau dari atas pergelangan ke bawah 32
Tangan kiri dari atau dari atas pergelangan ke bawah 28
(untuk kidal berlaku sebaliknya)
Kedua belah kaki dari pangkal paha ke bawah 70
Sebelah kaki dari pangkal paha ke bawah 35
Kedua belah kaki dari mata kaki ke bawah 50
Sebelah kaki dari mata kaki ke bawah 25
Kedua belah mata 70
Sebelah mata atau diplopia pada penglihatan Dekat 35
Pendengaran pada kedua belah telinga 40
Pendengaran pada sebelah telinga 20
Ibu jari tangan kanan 15
Ibu jari tangan kiri 12
Telunjuk tangan kanan 9
Telunjuk tangan kiri 7
Salah satu jari lain tangan kanan 4
Salah satu jari lain tangan kiri 3
Ruas pertama telunjuk kanan 4,5
Ruas pertama telunjuk kiri 3,5
Ruas pertama jari lain tangan kanan 2
Ruas pertama jari lain tangan kiri 1,5
Salah satu ibu jari kaki 5
Salah satu jari telunjuk kaki 3
Salah satu jari kaki lain 2
Terkelupasnya kulit kepala 10-30
Impotensi 40
Kaki memendek sebelah:

122
− kurang dari 5 cm 10
− 5 cm sampai kurang dari 7,5 cm 20
− 7,5 cm atau lebih 30
Penurunan daya dengar kedua belah telinga setiap 10 6
desibel
Penurunan daya dengar sebelah telinga setiap 10 desibel 3
Kehilangan daun telinga sebelah 5
Kehilangan kedua belah daun telinga 10
Cacat hilangnya cuping hidung 30
Perforasi sekat rongga hidung 15
Kehilangan daya penciuman 10
Hilangnya kemampuan kerja fisik:

− 51% - 70% 40
− 26% - 50% 20
− 10% - 25% 5
Hilangnya kemampuan kerja mental tetap 70
Kehilangan sebagian fungsi penglihatan Setiap kehilangan
efisiensi tajam penglihatan 10%. Apabila efisiensi
penglihatan kanan dan kiri berbeda, maka 7
efisiensipenglihatan binokuler dengan rumus kehilangan
efisiensi penglihatan: (3 x % efisiensi penglihatan terbaik) +
% efisiensi penglihatan terburuk
Kehilangan penglihatan warna 10
Setiap kehilangan lapangan pandang 10% 7

123
VIII. REFERENSI

 Barry S Levy David H Wegman. Occupational Health Recognizing and preventing world related
disease.edisi ke 3
 Soemarko DS, Sulistomo AB. Tujuh Langkah Diagnosis Okupasi untuk mendeteksi Penyakit
Akibat Kerja. Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia, Jakarta 2011.
 Week, JL, Gregory R Wagner, Kathleen M Rest, Barry S levi. A Public Health Approach to
preventing occupational Diseases and Injuries in preventing Occupational diseases and injury.
Edisi ke 2, APHA, Washington, 2005
 UU Nomor 1 tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja
 UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
 Permenaker No 02 Tahun 1980 Tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja
 Permenaker No. 01 Tahun 1981 Tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja
 Permenaker No 03 Tahun 1982 Tentang Pelayanan Kesehatan Kerja
 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan program jaminan kecelakaan
kerja dan jaminan kematian
 PERMENAKER No.26 Tahun 2015 Tentang Tata Cara penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan
Kerja ,Jaminan Kematian dan Jaminan Hari Tua Bagi Peserta Penerima Upah
 Permenkes No 56 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan pelayanan penyakit akibat kerja
 Permenaker No 01 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Program JKM, JKM dan JHT bagi
peserta BPU
 Permenaker No 28 Tahun 2015 Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Dokter Penasehat
 Permenaker No 10 Tahun 2016 tentang Program Return to Work, Promotif dan Preventif dan
Penyakit Akibat Kerja
 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER.25/MEN/XII/2008 Tentang
Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat Karena Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat
Kerja
 Peraturan Presiden Nomor 07 tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja
 Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44
Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian

124

Anda mungkin juga menyukai