Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Kesehatan Keluarga
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat dan merupakan unit
pelayanan kesehatan paling dasar dari masyarakat. yang terdiri dari dua orang
atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional.
Dalam keluarga tiap individu memiliki peran masing-masing sebagai bagian
dari keluarga (Suswati et al., 2018).
Keluarga adalah suatu lembaga yang merupakan satuan unit terkecil dari
masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak sebagaimana dinyatakan
dalam kartu keluarga. Keluarga seperti ini disebut rumah tangga atau keluaga
inti (keluarga batih). Sedangkan keluarga yang mencakup kakek dan atau
nenek atau individu lain yang memiliki atau tidak memiliki hibungan darah
(misal: asisten rumah tangga) disebut sebagai keluarga luas (extended family).
Karena keluarga merupakan unit terkecil masyarakat maka derajat kesehatan
keluarga atau rumah tangga menentukan drajat kesehatan masyarakatnya
(Rohimah & Sastraprawira, 2019).
Keluarga sehat adalah keluarga yang setiap individunya berada dalam
kondisi yang sejahtera, baik dari segi dari fisik maupun mental, sehingga dapat
hidup normal secara sosial dan ekonomi di tengah masyarakat lainnya
(Adliyani, 2017).
Dalam upaya meningkatkan kulaitas hidup manusia Indonesia,
pemerintah menetapkan Program Indonesia Sehat yang merupakan program
utama pembangunan kesehtan yang pencapaiannya direncanakan melalui
rencana strategi Kementerian Kesehatan tahun 2015-2019. Upaya pencapaian
prioritas pembangunan kesehatan tahun 2015-2019 dalam program Indonesia
sehat dilakukan dengan pemberdayaan seluruh potensi yang ada, baik dari
pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, maupun masyarakat, pembangunan
kesehatan dimulai dari unit terkecil masyarakat yaitu keluarga. Sasaran dari
program Indonesia sehat adalah meningkatkan drajat kesehatan dengan
menegakkan 3 pilar utamanya yaitu:
1. Penerapan paradigma sehat Penerapan paradigma sehat dilakukan dengan
strategi pengarusutamaan kesehatan dalam pembangunan, penguatan upaya
promotif dan upaya preventif, serta pemberdayaan masyarakat.
2. Penguatan pelayanan kesehatan Penguatan pelayanan kesehatan dilakukan
dengan strategi peningkatan akses pelayanan kesehatan, optimalisasi sistem
rujukan dan peningkatan mutu menggunakan pendekatan continum of care
dan intervensi berbasis risiko kesehatan.
3. pelaksanaan jaminan kesehatan nasional (JKN) Pelaksanaan JKN dilakukan
dengan strategi perluasan sasaran dan manfaat (benefit), serta kendali mutu
dan biaya. Semua strategi yang dilakukan ditujukan unutk tercapainya
keluarg-keluarga sehat (Kemenkes RI, 2016).
Derajat kesehatan keluarga sangat ditentukan oleh PHBS dari
keluarga tersebut. Inti dari pengembangan desa dan kelurahan adalah
memberdayakan keluarga-keluarga agar mampu mempraktikkan PHBS.
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat adalah sekumpulan perilaku yang
dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang
menjadikan seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat mampu
menolong dirinya sendiri (mandiri) di bidang kesehatan dan berperan aktif
dalam mewujudkan kesehatan masyarakat.
Pembangunan keluarga merupakan upaya mewujudkan keluarga
berkualitas yang hidup dalam lingkungan yang sehat. Pemerintah pusat dan
pemerintah daerah menetapkan kebijakan pembangunan keluarga melalui
pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga, untuk mendukung
keluarga agar dapat melaksanakan fungsinya secara optimal.

B. Kebidanan Komunitas
Kebidanan komunitas adalah pelayanan kebidanan yang menekankan
pada aspek – aspek psikososial budaya yang ada di komunitas (masyakart
sekitar). Maka seorang bidan dituntut mampu memberikan pelayanan yang
bersifat individual maupun kelompok (Kementerian Kesehatan RI, 2018).
Tujuan kebidanan komunitas yaitu:
1. Tujuan umum
Seorang bidan komunitas mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
khusunya kesehatan perempuan diwilayah kerjanya, sehingga masyarakat
mampu mengenali masalah dan kebutuhan serta mampu memecahkan
masalahnya secara mandiri.
2. Tujuan Khusus
a. Meningkatkan cakupan pelayanan kebidanan komunitas sesuai dengan
tanggung jawab bidan.
b. Meningkatkan mutu pelayanan ibu hamil, pertolongan persalinan,
perawatan nifas dan perinatal secara terpadu.
c. Menurunkan jumlah kasus-kasus yang berkaitan dengan risiko
kehamilan, persalinan, nifas, dan perinatal.
d. Medukung program-program pemerintah lainnya untuk menurunkan
angka kesakitan dan kematian pada ibu dan anak.
e. Membangun jaringan kerja dengan fasilitas rujukan dan tokoh
masyarakat setempat atau terkait.
Masalah yang telah diidentifikasi dalam komunitas kemudian perlu
ditentukan menurut urutan atau prioritas masalah, untuk itu digunakan 10
beberapa metode. Metode yang dapat digunakan dalam menetapkan urutan
prioritas masalah, pada umumnya dibagi atas, Teknik Skoring dan Teknik
Non Skoring. Teknik scoring dapat digunakan apabila tersedia data
kuantitatif atau data yang dapat terukur dan dapat dinyatakan dalam angka,
yang cukup dan lengkap. Yang termasuk teknik scoring dalam penetuan
prioritas masalah, yaitu :
1. Metode USG (Urgency, Seriousness, and Growth)
2. Metode MCUA (Multi Criteria Utility Assesment)
3. Metode CARL (Capability, Accesability, Readiness & Leverage)
4. Metode Hanlon (nama penemu metode Hanlon)
C. Kekurangan Energi Kronik (KEK)
Kekurangan Energi Kronik (KEK) adalah keadaan dimana ibu
mengalami malnutrisi yang disebabkan kekurangan satu atau lebih zat gizi
makanan yang berlangsung menahun (kronik) yang mengakibatkan timbulnya
gangguan kesehatan pada ibu secara relatif atau absolut (Sipahutar, Aritonang
dan Siregar, 2013).
Menurut Kristiyanasari (2010) yang dikutip dalam Buku Gizi Ibu Hamil,
bila ibu mengalami kekurangan gizi selama hamil akan menimbulkan masalah,
baik pada ibu maupun janin. Gizi kurang pada trimester I akan berpengaruh
terhadap janin, antara lain dapat mempengaruhi proses pertumbuhan janin dan
dapat menimbulkan keguguran (abortus), kematian neonatal, cacat bawaan,
anemia pada bayi, asfiksia intrapartum (mati dalam kandungan), bayi lahir
dengan BBLR (Kristiyanasari, 2010).
Menurut kajian-kajian dari penelitian sebelumnya terdapat beberapa
karakteristik ibu hamil yang berpengaruh terhadap kejadian Kekurangan Energi
Kronik (KEK) pada ibu hamil yaitu umur, jarak kelahiran, paritas, pendidikan,
pekerjaan dan status anemia.
1. Penilaian Status Gizi pada Ibu Hamil dengan Kekurangan Energi Kronik
(KEK)
Menurut Kristiyanasari (2010) yang dikutip dalam buku Gizi Ibu Hamil,
ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengetahui status gizi ibu
hamil, antara lain (1) memantau penambahan berat badan selama hamil, (2)
mengukur LILA untuk mengetahui apakah seseorang menderita KEK dan
(3) mengukur kadar Hb untuk mengetahui kondisi ibu apakah menderita
anemia yang merupkakan faktor resiko kekurang gizi (Kristiyanasari,
2010).
a. Memantau Penambahan Berat Badan selama hamil.
Seorang ibu yang sedang hamil mengalami kenaikan berat badan
sebanyak 10-12 kg. Selama trimester I kenaikan berat badan
seorang ibu bisa mencapai 1-2 kg, lalu setelah mencapai trimester II
pertambahan berat badan semakin banyak yaitu sekitar 3 kg dan
pada trimester III sekitar 6 kg (Istiany dan Rusilanti, 2014).
Kenaikan tersebut disebabkan karena adanya pertumbuhan janin
dan plasenta dan air ketuban. Kenaikan berat badan yang ideal
untuk seorang ibu yang gemuk yaitu 7 kg dan 12,5 kg untuk ibu
yang tidak gemuk. Jika berat badan ibu tidak normal maka akan
memungkinkan terjadinya keguguran, lahir premature, BBLR,
gangguan kekuatan rahim saat kelahiran (kontraksi), dan perdarahan
setelah persalinan (Kristiyanasari, 2010)
b. Mengukur Kadar Hemoglobin (Hb)
Ibu hamil umumnya mengalami defisiensi besi sehingga hanya
memberi sedikit besi kepada janin yang dibutuhkan untuk
metabolisme besi yang normal. Selanjutnya mereka akan menjadi
anemia pada saat kadar hemoglobin ibu turun sampai di bawah 11
gr/dl selama trimester III. Beberapa akibat anemia gizi pada wanita
hamil akan menyebabkan gangguan nutrisi dan oksigenasi utero
plasenta. Hal ini jelas menimbulkan gangguan pertumbuhan hasil
konsepsi, sering terjadi immaturitas, prematuritas, cacat bawaan,
atau janin lahir dengan BBLR (Kristiyanasari, 2010).
c. Mengukur Lingkar Lengan Atas (LILA)
Pengukuran LILA dimaksudkan untuk mengetahui prevalensi
wanita usia subur usia 15–45 tahun dan ibu hamil yang menderita
kurang energi kronis (KEK). Berat badan prahamil di Indonesia,
umumnya tidak diketahui sehingga LILA dijadikan indikator gizi
kurang pada ibu hamil (Ariyani, Diny, Endang, et al., 2012).
Menurut WHO Collaborative Study menunjukkan bahwa nilai cut
off Mid Upper Arm Circumference (MUAC) atau Lingkar Lengan
Atas (LILA) < 21 cm - < 23 cm memiliki risiko signifikan untuk
Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) sebesar 95%.
LILA digunakan untuk mengidentifikasi ibu hamil dengan resiko
KEK karena LILA memiliki beberapa keuntungan diantaranya
mudah untuk digunakan dan hanya membutuhkan satu pengukuran
serta dapat digunakan sebagai alat pengukuran status gizi dalam
keadaan darurat.
2. Dampak KEK
Akibat KEK saat kehamilan dapat berakibat pada ibu maupun janin
yang dikandungnya yaitu meliputi:
a. Akibat KEK pada ibu hamil yaitu (Sipahutar, 2013) :
1) Terus menerus merasa letih
2) Kesemutan
3) Muka tampak pucat
4) Kesulitan sewaktu melahirkan
5) Air susu yang keluar tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
bayi
b. Akibat KEK saat kehamilan terhadap janin yang dikandung antara
lain (Sipahutar, 2013) :
1) Keguguran
2) Pertumbuhan janin terganggu hingga bayi lahir dengan berat
lahir rendah (BBLR)
3) Perkembangan otak janin terlambat, hingga kemungkinan
nantinya kecerdasaan anak kurang
4) Bayi lahir sebelum waktunya (Prematur)
5) Kematian bayi
3. Faktor yang Mempengaruhi KEK pada Ibu Hamil
Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan tubuh kekurangan zat
gizi antara lain: (1) jumlah zat gizi yang dikonsumsi kurang, (2) mutu zat
yang di konsumsi rendah atau (3) zat yang dikonsumsi gagal untuk
diserap dan digunakan didalam tubuh (Sipahutar, Aritonang dan Siregar,
2013).
a. Jumlah asupan makanan
Kebutuhan makanan bagi ibu hamil lebih banyak dari pada
kebutuhan wanita yang tidak hamil. Hal ini disebabkan karena
adanya penyesuaian dari perbedaan fisiologi selama kehamilan, hal
inilah yang menyebabkan jumlah asupan makanan yang biasanya di
konsumsi ibu selama hamil tidak sesuai dengan kebutuhan yang
seharusnya. Akhirnya menyebabkan ibu hamil kekurangan nutrisi
yang adekuat yang menyebabkan faktor resiko terjadinya KEK pada
ibu hamil (Sipahutar, Aritonang dan Siregar, 2013).
b. Mutu zat yang di konsumsi rendah
Mutu zat yang dikonsumsi rendah berhubungan dengan daya beli
keluarga untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini sesuai dengan
pernyatan bahwa kemiskinan dan rendahnya pendidikan dapat
mempengaruhi status gizi ibu hamil sehingga tingkat konsumsi
pangan dan gizi menjadi rendah. Selain itu buruknya sanitasi dan
hignine pada makanan dapat mampengaruhi mutu zat yang
dikonsumsi (Istiany dan Rusilanti, 2014).
c. Zat yang Dikonsumsi Gagal untuk Diserap dan Digunakan Didalam
Tubuh
Zat gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang
dikonsumsi secara normal melalui proses degesti, absorpsi,
transportasi (Supariasa, Bakri dan Fajar, 2013).
4. Pelayanan pada Ibu Hamil dengan Kekurangan Energi Kronis
Pelayanan gizi pada ibu hamil mengikuti standar pelayanan
antenatal terpadu yang meliputi timbang berat badan dan ukur tinggi
badan, nilai status gizi (ukur LILA), memberikan tablet tambah darah
(TTD), tatalaksana kasus, dan temu wicara/konseling (Direktorat Bina
Gizi, 2015).
a. Penapisan
Penapisan dilakukan pengukuran LILA, hasil laboratorium dan ada
tidaknya penyakit (Direktorat Bina Gizi, 2015).
b. Penentuan Status Gizi
1) Normal jika LILA ≥ 23,5 cm
2) KEK jika LILA < 23,5 cm
Selain status gizi perlu diperhatikan kondisi ibu hamil yang
berisiko. Disebut Ibu Hamil Risiko Tinggi bila (Direktorat Bina
Gizi, 2015)
a) TB < 145 cm dan atau
b) BB < 45 kg pada seluruh usia kehamilan
c) Anemia bila Hb < 11 g/dl
c. Pelayanan Antenatal Terpadu Ibu Hamil dengan KEK
Setiap ibu hamil mempunyai risiko mengalami masalah gizi
terutama KEK, oleh karena itu semua ibu hamil harus menerima
pelayanan antenatal yang komprehensif dan terpadu. Tujuan
pelayanan antenatal terpadu meliputi: deteksi dini, pengobatan dan
penanganan gizi yang tepat terhadap gangguan kesehatan ibu hamil
termasuk masalah gizi terutama KEK; Persiapan persalinan dan
kesiapan menghadapi komplikasi akibat masalah kesehatan
terutama masalah gizi pada ibu hamil KEK; pencegahan terhadap
penyakit dan komplikasinya akibat KEK melalui penyuluhan
kesehatan dan konseling (Direktorat Bina Gizi, 2015).

D. Imunisasi Tetanus Toksoid (TT)


Imunisasi adalah suatu program yang dengan sengaja memasukkan
antigen lemah agar merangsang antibodi keluar sehingga tubuh dapat resisten
terhadap penyakit tertentu (Proverawati, 2010). Imunisasi adalah suatu cara
untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu
penyakit, sehingga bila nanti terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan
sakit atau sakit ringan. Imunisasi Tetanus Toksoid (TT) adalah imunisasi yang
diberikan kepada ibu hamil untuk mencegah terjadinya Tetanus Neonatorum
(TN) (Astuti, 2012).
Imunisasi TT adalah suntikan vaksin tetanus untuk meningkatkan
kekebalan sebagai upaya pencegahan terhadap infeksi tetanus (Idanati, 2007).
Vaksin tetanus yaitu toksin kuman tetanus yang telah dilemahkan kemudian
dimurnikan (Setiawan, 2006). Kemasan vaksin dalam 1 vial vaksin TT berisi
10 dosis dan setiap 1 box vaksin terdiri dari 10 vial. Vaksin TT adalah vaksin
yang berbentuk cairan (Depkes RI, 2010).
1. Manfaat Imunisasi Tetanus Toksoid
Menurut Bartini (2012), imunisasi TT di anjurkan untuk mencegah
terjadinya infeksi tetanus neonatorum. Vaksin tetanus pada pemeriksaan
antenatal dapat menurunkan kemungkinan kematian bayi dan mencegah
kematian ibu akibat tetanus. Imunisasi TT dapat melindungi bayi yang
baru lahir dari tetanus neonatorum. Tetanus neonatorum adalah penyakit
tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi berusia kurang 1 bulan) yang
disebabkan oleh clostridium tetani yaitu kuman yang mengeluarkan toksin
(racun) dan menyerang sistem saraf pusat (Saifuddin dkk, 2008).
2. Jumlah Dosis Pemberian Imunisasi TT
Ibu hamil harus mendapatkan penjelasan tentang pentingnya
imunisasi TT sebanyak 5 kali seumur hidup. Setiap ibu hamil yang belum
pernah imunisasi TT harus mendapatkan imunisasi TT paling sedikit 2
kali suntikan selama hamil yaitu:
a. Kunjungan pertama kehamilan
b. Empat minggu setelah imunisasi petama
Apabila ibu telah diimunisasi TT sebanyak 2 kali, kemudian dalam
satu tahun ibu hamil maka saat hamil diberikan 1 kali suntikan paling
lambat 2 minggu sebelum melahirkan (Bartini, 2012). Wanita Usia Subur
(WUS) adalah wanita yang keadaan organ reproduksinya berfungsi
dengan baik antara umur 20-45 tahun. Puncak kesuburan ada pada rentang
usia 20-29 tahun. Wanita Usia Subur (WUS) diwajibkan untuk melakukan
imunisasi TT saat mendaftarkan pernikahan di KUA (Kantor Urusan
Agama) sebagai bentuk pencegahan infeksi tetanus saat kehamilan.
Imunisasi TT1 dilakukan pertama kemudian dilanjutkan TT2 4 minggu
setelah TT1. Jika WUS tidak melanjutkan TT2 kemudian setelah 1 tahun
hamil maka imunisasi TT harus diulang dari imunisasi TT1 (Depkes RI,
2007).
Menurut Syaifuddin (2008), jumlah dan dosis pemberian imunisasi
TT untuk ibu hamil yaitu:
1) Pasien dianggap mempunyai kekebalan jika telah mendapat 2 dosis
terakhir dengan interval 4 minggu, dan jarak waktu sekurangnya 4
minggu antara dosis terakhir dengan saat terminasi kehamilan. Pasien
yang telah mendapat vaksinasi lengkap (5 suntikan) lebih dari 10
tahun sebelum kehamilan perlu diberikan booster berupa toksoid 0,5
ml IM. 2)
2) Jika pasien belum pernah imunisasi, berikan serum anti tetanus 1500
unit IM dan suntikkan booster Tetanus Toksoid (TT) 0,5 ml IM
diberikan 4 minggu kemudian.
3) Pencegahan dan perlindungan diri yang aman terhadap penyakit
tetanus dilakukan dengan pemberian 5 dosis imunisasi untuk mencapai
kekebalan penuh (Depkes RI, 2007).
3. Jarak Pemberian Imunisasi TT
Menurut WHO (2010), jika seorang ibu yang tidak pernah
diberikan imunisasi tetanus maka ia harus mendapatkan paling sedikit 2
kali suntikan selama kehamilan yaitu pertama saat kunjungan antenatal
dan kedua pada 4 minggu setelahnya.

Anda mungkin juga menyukai