Anda di halaman 1dari 4

Nama :Syahrul Umam

NIM :B1031181128
Prodi :Akuntansi
Mata Kuliah :Manajemen Resiko

1. Identifikasi masalat atau resiko


Jawab:
RSUD Tebing Tinggi Kabupaten Empat Lawang adalah rumah sakit tipe D
dengan kapasitas 57 tempat tidur, melayani pasien umum, jamsoskes dan
BPJS. Pelayanan pasien Jamsoskes yang merupakan kebijakan Gubernur
Sumatera Selatan yang mana semua penduduk yang domisili Sumatera Selatan
mendapatkan pelayanan pengobatan gratis pada fasilitas kesehatan
pemerintah. Pelayanan pasien BPJS merupakan kelanjutan dari sistem
pelayanan pasien ASKES yang sudah dilaksanakan d RSUD Tebing tinggi sejak
bulan November 2012. Mulai tanggal 1 Januari 2014 sudah mengikuti
kebijakan pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan bagi pasien BPJS,
yang merupakan implementasi dari program pemerintah dalam Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN), yang tertuang dalam Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN).
BPJS sendiri merupakan peralihan dari Askes sebagai penyelenggara untuk
pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Banyak aturan-aturan dari Askes yang
diambil sebagai aturan dari BPJS, sehingga di awal penyelenggaraan, karena
sudah terbiasa melayani pasien Askes, maka melayani pasien BPJS pun tidak
menemui kendala yang berat. Sebagai rumah sakit milik pemerintah daerah,
tentu sistem pengelolaan dan manajemen didasarkan pada standar pelayanan
minimal dan prosedur tata organisasi daerah. Demikian halnya pada sistem
pengelolaan di instalasi farmasi. Instalasi farmasi merupakan instalasi Pelayanan
Penunjang Medis, yang mana dalam peraturan tersebut tugas instalasi farmasi
adalah melaksanakan kegiatan peracikan, penyiapan dan penyaluran obat-
obatan, gas, medis, bahan kimia serta peralatan medis. Jadi kaitannya dengan
pelayanan pasien, bahwa sediaan farmasi dalam hal ini obat-obatan adalah hal
yang krusial dan harus disediakan.
Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait Obat. Tuntutan
pasien dan masyarakat akan peningkatan mutu Pelayanan Kefarmasian,
mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama yang berorientasi
kepada produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang berorientasi pada
pasien (patient oriented) dengan filosofi Pelayanan Kefarmasian (pharmaceutical
care). Namun seiring berjalannya kegiatan pelayanan di RSUD Tebing Tinggi
tidak lepas dari berbagai permasalahan baik pelayanan pada konsumen
maupun manajemen internal rumah sakit. Instalasi farmasi yang merupakan
titik akhir dan titik tolak dari persediaan perbekalan kesehatan di rumah sakit
tidak luput dari permasalahan tersebut.
Kasus yang pernah terjadi di instalasi farmasi RSUD tebing tinggi
kabupaten Empat Lawang adalah terjadinya kesalahan pemberian obat di
apotek rawat jalan dikarenakan penulisan resep yang terbalik nama pasiennya.
Pasien berasal dari poliklinik penyakit dalam yang merupakan pasien
“langganan” atau sudah sering berobat ke RS. Pasien bernama saibani dan
rafani. Pasien saibani membawa resep dengan nama rafani sedangkan pasien
rafani membawa resep dengan nama saibani. Namun pasien tidak mengecek
nama yang tercantum dalam resep dan langsung menuju apotek rawat jalan. Pada
saat pasien menyerahkan resep pada petugas penerima resep, kemudian di cek
sediaan, kekuatan dan jenis sediaan, dikerjakan etiket dan pengemasan
sesuai dengan yang diperintahkan dalam resep. Setelah obat siap diserahkan
kepada pasien, petugas penyerahan resep memanggil pasien yang bernama
saibani. Petugas memberikan konseling mengenai sediaan yang diterima
pasien. Namun kemudian pasien sedikit curiga dengan penjelasan yang diberikan
petugas kepada beliau. Menurut pasien bahwa obat yang diberikan tidak
sesuai dengan kondisi penyakit yang diderita pasien.
Petugas kemudian segera meriscek resep pasien saibani kemudian
berkonsultasi
dengan bagian poli rawat jalan penyakit dalam. Dari hasil cek dan riscek ternyata
dokter salah menuliskan resep pada pasien saibani. Jenis obat yang
diresepkan untuk pasien saibani tertukar dengan jenis obat yang tertulis pada
pasien rafani. Jadi pasien saibani sesungguhnya membawa resep obatnya
sendiri sesuai dengan penyakitnya namun dalam resep yang dibawanya
tertulis nama rafani, sedangkan rafani memang benar membawa resep
obatnya sendiri sesuai dengan penyakitnya namun dalam resep yang
dibawanya bertuliskan saibani. Jadi pada saat di panngil nama saibani saat
penyerahan obat tentu saja pasien saibani yang datang namun tidak sesuai obatnya
dengan kondisi penyakitnya.
Kesimpulannya, terjadi kesalahan pada penulisan nama pasien pada
resep yang dibawa pasien. Hal ini dimungkinkan dokter penulis resep kurang
berkonsentrasi pada saat pelayanan pasien atau nama pasien yang berdekatan
pada saat pemeriksaan sehingga rekam medisnya terbalik pengamatannya.

2. Evaluasi masalah atau resiko


Jawab:
Evaluasi resiko perlu dilakukan setelah diukur tingkat kemungkinan
dan bagaimana dampaknya. Apakah resiko masih dapat ditoleransi atau
diterima atau tidak dan apakah resiko termasuk prioritas yang harus ditangani
sesegera mungkin. Dari kasus ini, pemberian konseling/informasi obat dan
informed consent petugas apotek pada pasien guna mengecek informed
consent yang di berikan dokter sangat penting dilakukan sehingga terjadi
kecocokan. Selain diperlukan ketelitian dan dalam penyerahan obat pada pasien
berdasarkan resep, sehingga jika terjadi kesalahan penulisan resep dapat segera
ditangani.
Dalam kasus ini, penanganan resiko adalah dengan melakukan cross-check
dengan segera agar masalah dapat segera teratasi dan tidak menganggu pelayanan
pasien yang lain. Pengendalian bersama petugas medis yang lain dari poli rawat
jalan, zaal rawat inap dan UGD yang terintegrasi agar kasus ini dapat ditekan
kejadiannya atau bahkan tidak terjadi lagi di masa yang akan datang. Salah satu
pengendaliannya adalah dengan menganalisa beban kerja petugas dengan
pelayanan yang diberikan agar walaupun pada saat peak hour tetap dapat
berkonsentrasi dan maksimal dalam melakukan pelayanan.
Dalam kasus ini memantau resiko dengan melakukan cross-check terhadap
sediaan obat dengan pasien apakah sesuai dengan keluhan pasien atau tidak. Jika
ada nama pasien yang mirip perlu dilakukan cross-check dengan petugas poli
rawat jalan..
Mengkomunikasikan resiko dapat dilakukan pada pejabat yang berwenang
dalam manajemen RS dan di teruskan pada petugas rumah sakit. Hal ini dilakukan
agar setiap petugas memiliki rasa tanggung jawab pada pekerjaannya dan
memahami bahwa jika terjadi kesalahan serupa maka yang dirugikan bukan hanya
pasien eksternal namun juga manajemen RS.
Dari kasus tersebut, kejadian yang sewaktu-waktu terjadi dan lebih dari 3
kejadian dalam setahun perlu dilakukan dokumentasi dan pengawasan serta
pengendalian. Pada kasus ini instalasi farmasi melakukan koordinasi dengan
komite medik dan memberi laporan lisan pada bidang pelayanan dan keperawaan
yang membawahi instalasi farmasi dan komite medik agar dapat diperbaiki.
Kelalaian semacam ini harus segera diantisipasi karen jika pasien saat itu tidak
menyadari bahwa obat yang diberikan tidak sesuai dengan penyakitnya, misalnya
pasien yang tidak memahami kondisi penyakitnya sendiri dan tidak diberikan
informed consent oleh dokter dan saat petugas apotek memberikan informasi
namun kurang ditanggapi oleh pasien atau bukan pasien yang mengambil obat
namun keluarga pasien atau yang disuruh oleh pasien yang mana tidak
tmemahami kondisi penyakit bisa menjadi kesalahan fatal dan berdampak fatal
dan berakibat citra RS dipertaruhkan. Namun, hasil koordinasi instalasi farmasi
baru sebatas kebijakan lisan dan belum dituangkan pada kebijakan tertulis
dikarenakan pada struktur organisasi RSUD Tebing Tinggi kabupaten Empat
Lawang belum memiliki manajer pengendali mutu maupun manajer Risiko dan
pasien safety.

Anda mungkin juga menyukai