Anda di halaman 1dari 17

BADAN/LEMBAGA DALAM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perlindungan Konsumen

Dosen Pengampu:
Dr. Hj. Susilowati Suparto S.H., M.H.
Agus Suwandono S.H., LL.M.

Oleh:

KELOMPOK 3

M. Noor Fairruz Bayunirwan 110110190142

Jessica Faustine 110110190148

Annisa Nugrahany 110110190174

Clara Novita 110110190157

Fathiya Syifa Azzahra 110110190177

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN

MARET 2021
Pembinaan dan Pengawasan Perlindungan Konsumen

Berdasarkan penjelasan atas PP Republik Indonesia No 58 Tahun 2001 tentang pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen, pembinaan perlindungan konsumen
diselenggarakan oleh pemerintah dalam upaya untuk menjamin diperolehnya hak konsumen dan
pelaku usaha serta dilakukannya kewajiban masing-masing. Pengawasan perlindungan konsumen
dilakukan secara Bersama oleh pemerintah, masyarakat dan LPKSM, mengingat banyakragam dan
jenis barang dan/atau jasa yang beredar di pasar serta luasnya wilayah Indonesia.

Dalam BAB II tentang Pembinaan ada dalam pasal 2 sampai pasal 6. Dalam pasal 2 disebutkan
pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang
menjamin diperolehnya hak konsumen dan pealaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban
konsumen dan pelaku usaha. Pasal 3 menjelaskan dalam ayat (1) pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dilakukan oleh Menteri dan atau
Menteri teknis terkait. Dalam ayat (2) dijelaskan Menteri teknis terkait lah yang bertanggung jawab
atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sesuia penjelasan ayat (1). Dalam pasal 4
berisi tentang pengaturan teknis iklim usaha yang sehat dalam menumbuhkan hubungan yang sehat
antara pelaku usaha dan konsumen oleh Menteri. Pasal 5 dijelaskan mengenai pengembangan
LPKSM. Upaya untuk mengembangkan LPKSM, menteri melakukan koordinasi penyelenggaraan
perlindungan konsumen dengan menteri teknis terkait dalam hal:

a. Pemasyarakatan peraturan perundang-undangan dan informasi yang berkaitan dengan


perlindungan konsumen
b. Pembinaan dan peningkatan sumber daya manusia pengelola LPKSM melalui Pendidikan,
pelatihan, dan keterampilan.

Dalam pasal 6 disebutkan tentang upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta kegiatan
penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen yang dimana Menteri melakukan
koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan Menteri teknis terkait dalam hal:

a. Peningkatan kualitas apparat penyidik pengawai negeri sipil di bidang perlindungan konsumen
b. Peningkatan kualitas tenaga peneliti dan penguji barang dan/atau jasa
c. Pengembangan dan pemberdayaan Lembaga pengujian mutu barang
d. Penelitian dan pengembangan teknologi pengujian dan standar mutu barang dan/atau jasa serta
penerapannya
Pengawasan dijelaskan dalam BAB III dijelaskan dalam pasal 7 sampai pasal 11. Dalam pasal 7
pengawasan dan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan dilaksanakan langsung oleh
pemerintah, masyarakat, dan Lembaga perlindungan konsumen swadya masyarakat. Pasal 8
menjelaskan tentang pengawasan yang dimana dalam ayat 1 sampai 4 disebutkan tentang siapa
yang melakukan pengawasan, apasaja yang diawasi hasil pengawasan yang disebarluaskan kepada
masyarakat dan ketentuan mengenai tata cara pengawasan yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 9
menjelaskan pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pengawasan yang dapat
dilakukan, cara yang dilakukan dalam pengawasan, aspek pengawasan dan hasil pengawasan yang
dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan Menteri
terkait. Pasal 10 menjelaskan tentang pengawasan oleh LPKSM yang sesuai dan poin yang sama
dengan pasal 8 dan 9. Dan dalam pasal 11 pengujian terhadap barang dan/ atau jasa yang beredar
dilaksanakan melalui laboratorium penguji yang telah diakreditasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)

Pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional atau yang bisa disingkat BPKN
bertujuan untuk meningkatkan perlindungan terhadap konsumen dari berbagai kelemahan
dan juga sebagai upaya merespon dinamika dan kebutuhan perlindungan konsumen yang
berkembang dengan cepat di masyarakat. Lembaga BPKN dibentuk berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dari Pasal 31 hingga
Pasal 41. Badan ini memiliki fungsi untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada
pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia,
pernyataan tersebut tercantum pada Pasal 33 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.
Kemudian di dalam Pasal 32 menjelaskan mengenai kedudukan BPKN di Indonesia, yang
berbunyi “Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di Ibu Kota Negara
Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden.” Dalam melaksanakan peran
nya sebagai badan yang memberikan perlindungan terhadap konsumen, BPKN memiliki
tugas sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 34, yaitu :

(1) Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Badan Perlindungan
Konsumen Nasional mempunyai tugas:
a. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan
kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen.
b. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen.
c. Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut
keselamatan konsumen.
d. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat.
e. Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan
memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen.
f. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, Lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pelaku usaha.
g. Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Perlindungan
Konsumen Nasional dapat bekerjasama dengan organisasi konsumen internasional.

Pengaduan yang dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf f, pengaduan merupakan
pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat
yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak
pidana aduan yang merugikannya (Pasal 1 butir 25 KUHAP).1

Sebagaimana yang diamanatkan pada Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang


Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2001 tentang
Badan Perlindungan Konsumen Nasional demi mengembangkan perlindungan konsumen
di Indonesia maka dibentuklah Badan Perlindungan Konsumen Nasional yang baru
terlaksana pada 5 Oktober 2004 sesuai dengan Keppres Nomor 150 Tahun 2004. Badan
ini merupakan lembaga independen sehingga tidak dapat diintervensi oleh pihak
departemen seperti Departemen Perdagangan dan Perindustrian di dalam pelaksanaan
tugasnya. Oleh karena kedudukannya yang independen tersebut, BPKN memiliki dampak baik
untuk kepentingan perlindungan konsumen. Sifatnya yang cenderung bersifat otonom
diharapkan dapat berperan memberikan perlindungan konsumen secara lebih maksimal
sebagai bentuk perlindungan dari arus atas.2

1
Marbun Rocky, Deni Bram, Yuliasara Isnaeni dan Nusya A., Kamus Hukum Lengkap (Mencakup Istilah
Hukum & Perundang-Undangan Terbaru, Visimedia, Jakarta,2012, hlm. 229.
2
Usman Racmadi, Hukum Ekonomi Dalam Dinamika, Djambatan, Jakarta, 2000, hlm. 196.
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)
Dasar Hukum

Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat tercantum dalam Peraturan Pemerintah


Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (PP LPKSM).

Dalam Pasal 7 PP LPKSM tersebut dikatakan bahwa dalam membantu konsumen untuk
memperjuangkan haknya, LPKSM dapat melakukan advokasi atau pemberdayaan konsumen agar
mampu memperjuangkan haknya secara mandiri, baik secara perorangan maupun kelompok.

Pasal 1 angka 9 UUPK juga menyebutkan bahwa “Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat (LPKSM) adalah lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah
yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen”. Undang-undang memberikan hak
kepada LPKSM untuk melakukan gugatan atas pelanggaran pelaku usaha. 3 Pasal 46 ayat (1) huruf c
UUPK menyatakan bahwa “Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum
atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya
organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan
kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya”.

Syarat LPKSM

Dalam Pasal 2 ayat (1) PP LPKSM disebutkan bahwa Pemerintah mengakui LPKSM yang memenuhi
syarat sebagai berikut:

a. Terdaftar pada Pemerintah Kabupaten/Kota; dan


b. Bergerak di bidang perlindungan konsumen sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya.

Pendaftaran LPKSM

Pasal 2 ayat (3) PP LPKSM menyebutkan bahwa tata cara pendaftaran LPKSM sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri.

Menurut Penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tentang
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Pasal 2 ayat (1) Huruf (a): Pendaftaran
dimaksudkan sebagai pencatatan dan bukan merupakan perizinan. Bagi LPKSM yang membuka
kantor perwakilan atau cabang di daerah lain, cukup melaporkan kantor perwakilan atau cabang

3
Tri Jata Ayu Pramesti, “Apakah Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Dapat Beracara di
Persidangan?”, < https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt529946a023c0a/apakah-lembaga-
perlindungan-konsumen-swadaya-masyarakat-dapat-beracara-di-persidangan/ >, diakses pada 22 Maret 2021.
tersebut kepada Pemerintah Kabupaten/Kota setempat dan tidak perlu melakukan pendaftaran di
tempat kedudukan kantor perwakilan atau cabang tersebut. 4

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor


302/MPP/Kep/10/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat, tercantum dalam BAB 1 tentang Ketentuan Umum dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2)
menyatakan bahwa:

(1) Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang selanjutnya dalam keputusan ini
disebut LPKSM adalah Lembaga Non Pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang
mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.
(2) Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen yang selanjutnya dalam keputusan ini disebut
TDLPK adalah Tanda Daftar yang diberikan oleh Pemerintah kepada LPKSM yang memenuhi
persyaratan untuk bergerak di bidang penyelenggaraan perlindungan konsumen.

Lalu dilanjutkan dalam Bab III tentang Tata Cara Pendaftaran dalam Pasal 6 dan 7 disebutkan bahwa:

Pasal 6:

(1) Permohonan untuk memperoleh TDLPK diajukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakatkepada
Bupati atau Walikota melalui Kepala Dinas setempat, dengan mengisi Formulir
SuratPermohonan (SP-TDLPK) Model A sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Keputusanini.
(2) Apabila kewenangan pemberian TDLPK dilimpahkan kepada Kepala Dinas sebagaimanadimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3), maka permohonan diajukan langsung kepada Kepala Dinassetempat
dengan mengisi Formulir Surat Permohonan (SP-TDLPK) Model A, sebagaimanadimaksud dalam
Lampiran I Keputusan ini.
(3) Permohonan TDLPK sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditanda tanganioleh
pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat atau penanggung jawab atau kuasanya.

Pasal 7:

(1) Permohonan TDLPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilampiri dokumen-dokumensebagai


berikut :
a. Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat yang berstatus Badan Hukum atau Yayasan :
1. Copy Akta Notaris Pendirian Badan Hukum atau Yayasan yang telah
mendapatPengesahan badan Hukum dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
atauInstansi yang berwenang

4
Rio Bertram Atteng, Tugas dan Fungsi Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Melindungi Konsumen, Lex
Privatum, Vol. II, No. 1, 2014, hlm. 73.
2. Copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) pimpinan/penanggung jawab LembagaSwadaya
Masyarakat yang masih berlaku; dan
3. Copy Surat keterangan tempat kedudukan/domisili Lembaga SwadayaMasyarakat dari
Lurah/Kepala Desa setempat.
b. Lembaga Swadaya Masyarakat yang tidak berstatus Badan Hukum maupun Yayasan :
1. Copy Akta Notaris Pendirian Lembaga Swadaya Masyarakat atau Akta Notarisyang telah
mendapat pengesahan dari Instansi yang berwenang;
2. Copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) pimpinan/penanggung jawab LembagaSwadaya
Masyarakat yang masih berlaku; dan
3. Copy Surat keterangan tempat kedudukan/domisili Lembaga SwadayaMasyarakat dari
Lurah/Kepala Desa setempat.
(2) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan daftar lengkap
susunananggota, pengurus dan susunan organisasi.
(3) Apabila pengesahan Badan Hukum atau Yayasan atau yang tidak berstatus Badan
Hukummaupun Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum diperoleh, maka
pemohonTDLPK cukup melampirkan copy akta pendirian Lembaga Swadaya Masyarakat dan
copysurat permohonan pengesahan atau bukti setor Biaya Administrasi Pembayaran
prosespengesahan sebagai kelengkapan persyaratan.
(4) Apabila pengesahan Badan Hukum atau Yayasan atau yang tidak berstatus Badan
Hukummaupun Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah diterbitkan, maka
pemohonTDLPK wajib menyampaikan copy Surat Keputusan pengesahan kepada Bupati
atauWalikota atau Kepala Dinas yang bersangkutan paling lama 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak tanggal diterbitkannya pengesahan.
(5) Apabila permohonan pengesahan Badan Hukum atau Yayasan atau yang tidak berstatusBadan
Hukum maupun Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditolak makapenerbitan TDLPK
ditunda sampai adanya pengesahan.
(6) Copy Dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) perlu ditunjukkan aslinya gunakeabsahan
dokumen yang bersangkutan.

Tugas LPKSM

Lembaga Perlindingan Konsumen Swadaya Masyarakat atau LPKSM adalah Lembaga Non
Pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani
perlindungan konsumen. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat atau LPKSM ini
dicantumkan dalam Pasal 44 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun,
terdapat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 59 Tahun 2001 yang mengatur secara khusus
tentang Lembanga Perlindungan Konseumen Swadaya Masyarakat.

Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat memiliki beberapa tugas yang sebagaimana
dimuat dalam Pasal 44 angka (3) UU No. 8 Tahun 1999 atau Pasal 3 PP NO. 59 Tahun 2001
diantaranya adalah5:

(1) Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan
kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
(2) Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
(3) Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;
(4) Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau
pengaduan konsumen;
(5) Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan
perlindungan konsumen.
Dalam Pasal 4 - 8 PP NO.59 Tahun 2001, terdapat beberapa penjelasan lebih lanjut mengenai
Pasal 3 tersebut.6 Pertama, mengenai penyebaran informasi, LPKSM bertugas dalam
penyerbarluasan mengenai perlindungan konsumen meliputi peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan masalah perlindungan kosumen. Kedua, LPKSM juga bertugas untuk memberikan
nasihat kepada konsumen baik secara lisan ataupun tertulis agar konsumen dapat melaksanakan hak
dan kewajibannya. Ketiga, dalam hal Kerjasama dengan instansi, LPKSM melakukan pertukaran
informasi mengenai perlindungan konsumen, pengawasan atas barang dan/atau jasa yang beredar
serta penyuluhan atau Pendidikan konsumen. Keempat, LPKSM dapat melakukan advokasi atau
pemberdayaan konsumen agar mampu memperjuangkan haknya secara mandiri baik perorangan
ataupun perkelompok. Kelima, Pengawasan perlindungan konsumen oleh LPKSM Bersama
Pemerintah dan masyarakat dilakukan atas barang dan/atau jasa yang beredar dipasar baik dengan
caria penelitian, pengujian dan/ataupun survei.

Hak Gugat LPKSM

Dalam menjalankan tugasnya memperjuangkan hak konsumen, Lembaga Perlindungan Konsumen


Swadaya Masyarakat (LPKSM) berupaya non litigasi dengan surat menyurat, pengaduan, mediasi
atau menureruskan pengaduan melalui BPSK serta mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, memberikan hak kepada Lembaga Perlindingan Konsumen
Swadaya Masyarakat ( LPKSM ) untuk menggugat secara legal standing.
5
Pasal 44 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
6
Pasal 4 Peraturan Pemerintah No.59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat.
Penyelesaian sengketa dalam hal pengajuan gugatan atas pelanggaran pelaku usaha oleh Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), diatur dalam Pasal 46 Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 huruf c yang berbunyi :

“Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) yang memenuhi syarat yaitu
berbentuk badan hukum atau yayasan, dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa
tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen, dan
telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya”.
Untuk dapat mengajukan gugatan, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)
harus telah melaksanakan serta dapat membuktikannya anggaran dasarnya agar dapat dikatakan
sebagai badan hukum.

contoh dalam Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen No.62/Pft.G/2013/PN.KPJ, terdapat dua tergugat
diantaranya adalah LPKSM sebagai penggugat I serta Mardi sebagai konsumen yang hendak
menggugat suatu koperasi yang tak lain bertindak sebagai pelaku usaha. Dalam perkara ini, LPKSM
berperan sebagai penerima kuasa dari Mardi sehingga hanya advokat lah yang menjadi kuasa. Maka
dengan ini, KPKSM tidak memberikan jasa bantuan hukum melainkan hanya seorang advokat yang
memiliki kewenangan tersebut.

Pembatalan Pendaftaran LPKSM

Pembatalan pendaftaran Lembaga Perlindingan Konsumen Swadaya Masyarakat diatur dalam Pasal
10 Peraturan Pemerintah No.59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindingan Konsumen Swadaya
Masyarakat yang berbunyi :

(1) Pemerintah membatalkan pendaftaran LPKSM, apabila LPKSM tersebut:


a. Tidak lagi menjalankan kegiatan perlindungan konsumen; atau
b. Terbikti melakukan kegiatan pelanggaran ketentuan Undang-undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dan peraturan pelaksanaannya.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pembatalan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri.

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)


Dasar Hukum BPSK
1. Pasal 49 – Pasal 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK)
2. Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan BPSK di 10
(sepuluh) Kabupaten/ Kota.
3. Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 2004 dibentuk lagi BPSK di tujuh kota dan tujuh
kabupaten.
4. Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2005 yang membentuk BPSK di kota Padang,
kabupaten Indramayu, kabupaten Bandung, dan kabupaten Tangerang.
5. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 17/M-DAG/PER/4/2007 Tentang Tugas Dan
Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Serta Tata Cara Penyelesaian
Sengketa Konsumen.
6. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/2/2017 Tentang Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen
7. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
(Kepmenperindag) No. 350/Mpp/Kep/12/2001 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Tugas
dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
8. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.302 MPP/Kep./10/2001
tanggal 24 Oktober 2001 tentang Pendaftaran LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat).

Kedudukan BPSK

1. Pendaftaran Perkara di BPSK


Pihak-pihak yang berperkara di BPSK tidak dikenakan biaya perkara. Menurut Keppres
No.90 Tahun 2001, biaya pelaksanaan tugas BPSK di bebankan pada anggaran
Pendapatan dan belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah
(APBD). Dalam upaya untuk memudahkan konsumen menjangkau BPSK dalam Keppres,
tidak dicantumkan pembatasan wilayah Yurisdiksi BPSK, sehingga konsumen dapat
mengadukan masalahnya pada BPSK mana saja yang dikehendakinya.
Permendag Nomor 06/M-DAG/PER/2/2017 menyatakan bahwa “dalam
melaksanakan tugasnya, BPSK mengelola biaya penyelenggaraan BPSK yang terdiri
dari;
a. Biaya operasional;
b. Honorarium ketua, wakil ketua, dan anggota BPSK; dan
c. Honorarium kepala sekretariat dan anggota sekretariat.
Konsumen dapat menggugat pelaku usaha ke BPSK atau ke badan peradilan.
Menurut Pasal 17 Kepmen Perindag 350/2001, Ketua BPSK dapat menolak
permohonan penyelesaian sengketa konsumen dalam bila sengketa tersebut bukan
kewenangan BPSK. Dalam hal telah ada perjanjian antara pelaku usaha dan
konsumen mengenai forum penyelesaian sengketa, maka sudah seharusnya para
pihak tunduk pada klausula tersebut. Ini mengacu pada Pasal 1338 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPer), bahwa perjanjian yang dibuat secara sah
mengikat para pihaknya sebagai undang-undang. Oleh karena itu, seharusnya
penyelesaian sengketa dilakukan berdasar kesepakatan awal.
2. Tata Cara Persidangan di BPSK
Terkait dengan tata cara persidangan di BPSK, bersumber dari UUPK, kemudian
diatur dalam Pasal 15 Peraturan Menperindag Nomor 17/M-Dag/Per/4/2007, yang
dapat diuraikan sebagi berikut: Setelah gugatan dinyatakan lengkap oleh
Sekretariat, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari kerja, Ketua BPSK
melalui Kepala Sekretariat memanggil tergugat untuk diberitahu adanya gugatan
yang diajukan penggugat melalui BPSK dan memuat tentang hari, tanggal, jam dan
tempat sidang. Apabila pada hari, tanggal, jam dan tempat sidang yang ditentukan,
penggugat tidak datang memenuhi panggilan Majelis tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan, maka gugatan dinyataka ngugur. Namun apabila tergugat tidak
hadir memenuhi panggilan Ketua BPSK tanpa alasan yang dapat dipertanggung-
jawabkan, Kepala Sekretariat menyampaikan ketidakhadiran tergugat kepada Ketua
BPSK.
3. BPSK Dalam Peraturan Perlindungan Konsumen
Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 54 ayat (l) Undang- Undang Perlindungan Konsumen (UUPK)
jo. Pasal 2 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, fungsi utama Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), yaitu: sebagai instrumen hukum penyelesaian
sengketa di luar pengadilan. Menurut pasal 52 huruf (a) UUPK, BPSK berwenang untuk
melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi atau
arbitrase atau konsiliasi.
Pelaksanaan putusan BPSK bersumber dari ketentuan dari ketentuan Pasal 55-58
UUPK dan Peraturan Menperindag Nomor: 17/M-DAG/PER/4/2007. Sifat putusan
BPSK, sebagaimana yang termuat dalam ketentuan Pasal 54 ayat (3) UUPK, disebutkan
bahwa putusan Majelis BPSK melalui mediasi, arbitrase atau konsiliasi bersifat final
dan mengikat.
4. Pelaksanaan Perdamaian dan Putusan Perdamaian dalam Proses Arbitrase di BPSK
Dalam Pasal 55 dan 56 UUPK disebutkan bahwa BPSK wajib mengeluarkan putusan
paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima dan
pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut. Jika Pelaku usaha yang tidak
mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari
kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut, pelaku usaha dianggap
menerima putusan BPSK.
5. BPSK sebagai Lembaga Small Claim Court Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen
Dalam Pasal 47 UUPK menjelaskan bahwa penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan diselenggarakan untuk mencapai ksepakatan mengenai bentuk dan besarnya
ganti kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi
kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita konsumen. Keberadaan
BPSK merupakan peradilan kecil (small claim court).
Dengan terbentuknya lembaga BPSK, maka penyelesaian sengketa konsumen dapat
dilakukan secara cepat, mudah dan murah. Cepat karena penyelesaian sengketa melalui
BPSK harus sudah diputus dalam tenggang waktu 21 hari kerja dan tidak dimungkinkan
banding yang dapat memperlama proses penyelesaian perkara. Mudah karena prosedur
administratif dan proses pengambilan putusan yang sangat sederhana serta dapat
dilakukan sendiri oleh para pihak tanpa diperlukan kuasa hukum. Pasal 60 ayat (2) UUPK,
menyebutkan sanksi administrasi berupa penetapan ganti kerugian paling banyak
sebesar Rp.200.000.000,- yang data dibebankan kepada pelaku usaha Murah karena
biaya persidangan yang dibebankan sangat ringan dan dapat dijangkau oleh konsumen.

Anggota BPSK dan Unsur-Unsurnya

Pasal 49 ayat 2 menyebutkan syarat-syarat diangkat menjadi anggota BPSK adalah;

a. Warga negara Republik Indonesia


b. Berbadan sehat
c. Berkelakuan baik
d. Tidak pernah dihukum karena kejahatan
e. Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen
f. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun

Menurut Pasal 49 ayat (3) dan ayat (4) UUPK, keanggotaan BPSK terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu
unsur pemerintah, unsur konsumen dan unsur pelaku usaha. Anggota setiap unsur berjumlah
sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang, sehingga jumlah anggota
BPSK minimal 9 (sembilan) orang dan maksimal 15 (lima belas) orang. Pengangkatan dan
pemberhentian anggota BPSK ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan (saat
sekarang kementerian ini di pisah menjadi 2 (dua) yaitu Kementerian Perindustrian dan Kementerian
Perdagangan).

Pasal 50 UUPK, menyebutkan bahwa Kelembagaan BPSK terdiri atas;

a. Ketua merangkap anggota;


b. Wakil ketua merangkap anggota;
c. Anggota.

Dalam Pasal 51 UUPK disebutkan bahwa tugas BPSK dibantu oleh kepala sekretariat dan anggota
sekretariat yang pengangkatan dan pemberhentiannya ditetapkan oleh Menteri. Pasal 54 ayat (2)
UUPK,menyebutkan setiap penyelesaian sengketa konsumen dilakukan oleh majelis yang dibentuk
oleh ketua BPSK dan dibantu oleh Panitera,sedangkan susunan majelis sidang harus gajil, dengan
ketentuan minimal 3 orang yang mewakili semua unsur, yaitu unsur pemerintah,konsumen dan
pelaku usaha. Pasal 18 SK Memperindag No.350/MPP/Kep/12/2001, menyebutkan Ketua Majelis
BPKS harus dari unsur Pemerintah, walaupun tidak berpendidikan hukum.

Dalam penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi atau mediasi, pemilihan sebagai
ketua majelis dari unsur pemerintah dan anggota majelis dari unsur konsumen dan pelaku usaha
ditentukan oleh Ketua BPSK. Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase, yang berhak
menentukan siapa majelis hakimnya adalah para pihak yang bersengketa. Konsumen berhak memilih
dengan bebas salah satu anggota BPSK yang berasal dari unsur konsumen sebagai arbitrer yang akan
menjadi anggota majelis, dan pelaku usaha berhak memilih salah satu dari anggota BPSK yang
berasal dari unsur pelaku usaha sebagai arbitrer yang menjadi anggota majelis.

Arbitrer yang telah dipilih oleh konsumen dan pelaku usaha, bersama-sama akan memilih arbiter
ketiga yang berasal dari unsur pemerintah dari anggota BPSK yang akan menjadi Ketua Majelis.
Arbiter ketiga dari unsur pemerintah ditetapkan oleh Ketua BPSK sebagai majelis yang menangani
sengketa konsumen dengan cara arbitrase melalui penetapan.

Ketua BPSK menetapkan Panitera BPSK yang terdiri dari anggota sekretariat. Tugas panitera yaitu;

a. Mencatat jalannya proses penyelesaian sengketa konsumen;


b. Menyimpan berkas perkara;
c. Menjaga barang bukti;
d. Membantu majelis menyusun putusan;
e. Membntu penyampaian putusan kepada konsumen dan pelaku usaha;
f. Membuat berita acara persidangan;
g. Membantu majelis dalam tugas-tugas penyelesaian sengketa.

Pasal 56 ayat 1 dan ayat 2 SK Menperindang No.350/MPP/Kep/12/2001 menyebutkan: ”Ketua


majelis atau anggota atau panitera BPSK berkewajiban untuk mengundurkan diri apabila terdapat
permintaan ataupun tanpa permintaan,jika terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda
sampai derajat ketiga atau hubungan suami isteri meskipun telah bercerai dengan pihak yang
bersengketa”.

Tugas & Wewenang BPSK

Pasal 52 UUPK menyebutkan tugas dan wewenang BPSK adalah;

a. Melaksanakan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi atau


arbitrase atau konsiliasi;
b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam
Undag-undang ini;
e. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
f. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang
terjadinya pelanggaran terhadap perlindungn konsumen;
g. Memanggil Pelaku Usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
h. Memanggil, menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran Undang-Undang ini;
i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha,saksi,saksi ahli atau setip
orang sebagaimana dimaksud pada huruf h,yang tidak bersedia memenuhi panggilan
BPSK;
j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain guna
penyidikan dan/atau pemeriksaan;
k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian dipihak konsumen;
l. Memberitahukan keputusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhada
perlindungan konsumen;
m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan
undang-undang ini.
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Marbun Rocky, Deni Bram, Yuliasara Isnaeni dan Nusya A., Kamus Hukum Lengkap (Mencakup Istilah
Hukum & Perundang-Undangan Terbaru, Visimedia, Jakarta. 2012.

Usman Racmadi, Hukum Ekonomi Dalam Dinamika, Djambatan, Jakarta, 2000.

Dokumen Lainnya
Website
Tri Jata Ayu Pramesti, “Apakah Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Dapat
Beracara di Persidangan?”,
<https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt529946a023c0a/apakah-lembaga-
perlindungan-konsumen-swadaya-masyarakat-dapat-beracara-di-persidangan/>, diakses pada 22
Maret 2021.

Dokumen Hukum
Keputusan Menteri
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor
302/MPP/Kep/10/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat.

Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tentang Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat (PP LPKSM).

Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Jurnal Ilmiah

Antouw, B. C. (2015, Jan-Mar). Kedudukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Sebagai
Lembaga Penyelesaian perkara Pelaku Usaha dan Konsumen. Lex Privatum, 3(1), 171-179.

Atteng, R. B. (2014). Tugas dan Fungsi Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Melindungi Konsumen.
Lex Privatum, Vol. II, No. 1.

Dahlia. (2014, Maret). Peran BPSK Sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam. Jurnal
Ilmu Hukum, 84-94.
Daniel Mardika, I. G. (2014, Februari 28). Kekuatan Hukum Putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) Sebagai Lembaga Small Claim Court Dalam Penyelesaian Sengketa
Konsumen. Kertha Semaya, 2(1).

Lalu Sultan Alifin, Z. A. (2019, Mei). Kedudukan Hukum Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Dalam Sistem Peradilan di Indonesia. Media Bina Ilmiah, 13(10), 1705-1714.

Nugrohandhini, D. (2018, Januari 22). Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Retrieved Maret
2021

Shanti Rachmadsyah, S. (2010, November 22). Ulasan Lengkap. Retrieved Maret 2021, from
Hukumonline.com:
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4cc7facb76176/kompetensi-badan-
penyelesaian-sengketa-konsumen/

Anda mungkin juga menyukai