Anda di halaman 1dari 2

Kisah Inspiratif Afif Husain Rasyidi

Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya Angkatan 2019

Masa kecil Afif masih normal, seperti anak-anak pada umumnya. Namun
seiring bertambahnya usia, sedikit demi sedikit mulai menurun kesehatan
matanya. Ketika masih SD dan SMP, Afif masih bisa melihat dengan baik meski
harus menggunakan alat bantu berupa kacamata teleskopik. Ketika mau membaca
tulisan yang ada di papan tulis, Afif harus menggunakan alat bantu berupa loop
kaca pembesar.

Kasus penyakit yang dialami Afif ini memang secara general semakin
lama akan semakin membesar. Artinya kesehatan mata Afif akan terus menurun.
Terbukti saat ini ketika mau mengakses sesuatu pada HP misalnya, harus
menggunakan fitur bantu screen reader. Padahal semasa kecilnya tidak seperti itu,
meski harus jarak mata dengan jarak objek bacaan harus sangat dekat, tapi masih
bisa dibaca. Disisi lain, semasa remajanya Afif juga masih mampu untuk
mengendarai sepeda motor. Afif juga masih bisa untuk bermain sepak bola.

Ketika masih SMP, Afif sering mendapatkan perlakuan yang kurang


berkenan dari para guru-gurunya. Banyak gurunya yang tidak percaya dengan apa
yang dialami oleh Afif ini. Gurunya menganggap bahwa Afif ini masih normal
seperti murid-murid yang lainnya. Bahkan gurunya lebih percaya dan kasihan
kepada muridnya yang memakai kacamata yang tebal untuk sebatas pengakuan
kalau muridnya memiliki keterbatasan. Alasan yang membuat gurunya tidak
percaya yakni dikarenakan salah satunya Afif masih bisa dan aktif bermain sepak
bola dan futsal. Padahal semenjak SD hingga SMP, Afif sudah sering bolak balik
ke Yogyakarta setiap dua minggu sekali untuk memeriksakan secara rutin terkait
kesehatan matanya. Namun hal tersebut masih belum bisa dipercaya dikarenakan
secara visual tidak terlihat seperti orang yang memiliki keterbatasan.

Semasa SMA, Afif mengalami perubahan yang cukup signifikan.


Sebelumnya, dalam membaca Afif masih bisa menggunakan alat bantu berupa
kacamata teleskopik, namun ketika SMA, alat ini sudah tidak berlaku lagi.
Sehingga ketika sekolah untuk menulisnya dia menggunakan laptop. Seperti
sebelumnya, semasa SMA pun Afif mendapatkan perlakuan diskriminasi dari
lingkungan sekitar sekolahnya. Banyak teman Afif atau gurunya menganggap
kalau Afif memiliki keterbatasan secara kolektif. Padahal menurutnya difabel itu
memiliki banyak ragam jenisnya dan utamanya adalah keterbatsan dalam aspek
sensorik. Seperti Afif ini hanya memiliki keterbatasan pada penglihatan dan yang
lainnya masih normal seperti umumnya. Namun persepsi ini banyak kelirunya,
banyak teman-teman Afif menganggap difabel tersebut juga memiliki
keterbatasan pada aspek akademik. Padahal ini sama sekali tidak dialami oleh
Afif. Sehingga kesalahpahaman ini menjadi aspek yang tidak mengenakkan baik
bagi Afif sendiri maupun lingkungan sekitarnya.

Penurunan yang dialami dengan signifikan ini tentu menimbulkan banyak


kecemasan bagi dirinya maupun keluarganya. Afif sendiri cemas dengan masa
depannya apabila keterbatasan ini semakin lama semakin membesar. Namun
demikian, Afif dengan percaya dirinya juga mengatakan bahwa keterbatasan yang
dimiliki tidak sepenuhnya menjadi penghalang untuk tetap berprestasi.

Kenyataan pahit yang dialami oleh Afif ini tentu berat untuk dijalaninya.
Terlebih sebelum menjadi parah seperti sekarang, banyak memori yang
mengesankan yang dahulunya pernah dilalui dengan penglihatan yang masih
berfungsi ala kadarnya. Tentu hal ini menjadi cerita manis yang akan selalu
dikenang. Namun mengeluh, menyerah dan menyalahkan keadaan bukan alasan
tepat untuk mengekspresikan emosi yang ditahan. Masih banyak hal yang bisa
dilalui dengan keterbatasan yang melingkupinya. Afif berharap bahwa
kedepannya akan banyak perlakuan-perlakuan masyarakat yang normal bisa
memahami, menerima, menghargai dan menghormati kaum difabel ini. Ketika
menemui diberbagai tempat setidaknya untuk menyapa atau bahkan membantu
semisal membutuhkan bantuan.

Anda mungkin juga menyukai