Anda di halaman 1dari 35

FIQIH IBADAH

Bab Thaharah
&
Bab shalat

Penulis : Ustadz Muhammad Wali Alkhalidi bin


Ismail

1
FIQIH IBADAH

BAB THAHAROH

A. PENGERTIAN THAHAROH

Thaharoh secara bahasa berarti bersuci sedangkan menurut syara' adalah mengerjakan suatu
perkara yang menyebabkan sahnya sholat.
Thaharoh ada dua macam, yaitu :
1. Bersuci dari najis
2. Bersuci dari hadas

B. ALAT-ALAT THOHAROH
Alat-alat yang digunakan untuk thoharoh, yaitu: air, batu, debu.
Air ada tiga macam, yaitu :
1. Air suci mensucikan, yaitu segala air yang bersumber dari bumi dan turun dari langit
antara lain air sumur, air sungai, air hujan, air laut, air danau, air embun, air salju, dan lain-
lain.
2. Air suci namun tidak mensucikan:
a. Yaitu air yang telah digunakan untuk bersuci dan kurang dari dua qulah *
b. Air yang keluar dari tumbuh-tumbuhan seperti air kelapa, air tebu, santan, dll.
c. Air yang tercampur benda suci lainnya yang merubah sifat air seperti: air gula, air teh, air
syrup, dll.
3. Air mutanajis, yaitu air yang telah terkena najis yang kurang dari dua qulah walaupun
belum berubah sifatnya. Atau Airnya lebih dari dua kulah sifatnya telah berubah karena
benda najis tersebut.

- Air Dua Qulah


Kadar air dua Qullah menurut beberapa versi Ulama :
▪Imam Nawawi : -+ 55,9 CM = 174,58 Liter
▪Imam Rofi'i : -+ 56,1 CM = 176,245 Liter
▪Ulama Iraq : -+ 63,4 CM = 255,325 Liter
▪Mayoritas Ulama : -+ 60 CM = 216 Liter

Air kurang dua Qullah yang kemasukan najis tersebut menjadi najis , baik mengalami
perubahan atau tidak, dan tidak bisa lagi dipakai untuk :
▪Menghilangkan hadats (besar atau kecil) seperti untuk mandi wajib wajib dan wudhu.
▪Menghilangkan najis.
Air tersebut dapat digunakan lagi setelah ditambah dengan air suci lagi hingga menjadi lebih
dari dua Qullah dan tidak ada perubahan padanya.

- Ada Sesuatu Di Air


1. jika suci - berdampingan - tidak terurai yang mnjadikannya bercampur = SUCI
MENSUCIKAN, seperti: kayu, minyak, dll

2
2. jika suci - berdampingan - terurai yang mnjadikannya bercampur = SUCI tidak
MENSUCIKAN, seperti: buah-buahan yang dicelupin di air lalu merubah rasa air tersebut.
3. jika suci - bercampur - tak bisa dijauhi dari air = SUCI MENSUCIKAN, seperti: tanah,
lumut, dll
4. jika suci - bercampur - bisa dijaga dari jatuh ke air - berubahnya sedikit = SUCI
MENSUCIKAN, seperti: sabun yang jatuh ke air sehingga membuat air sedikit berubah
5. jika suci - bercampur - bisa dijaga dari jatuh ke air - berubahnya mencolok = SUCI tidak
MENSUCIKAN, seperti: air teh, kopi, dll
6. jika najis yang dima’afkan = SUCI MENSUCIKAN, seperti: bangke hewan yang darahnya
ga mengalir yang jatuh ke air, sedikit bulu yang najis (yang bukan mugolazoh)
7. jika najis - pada air yang kurang dari 2 kulah = MUTANAJJIS, seperti: nyuci luka (darah)
di ember
8. jika najis - pada air yang 2 kulah / lebih - tidak berubah= SUCI MENSUCIKAN, seperti:
nyuci luka di empang
9. jika najis - pada air yang 2 kulah / lebih - berubah = MUTANAJJIS, seperti: bangke tikus
yang jatuh di kolam yang 2 kulah/lebih
(dari kitab Syamsul muniroh, Taqrirotus sadidah, Mughnil muhtaj, dkk)

Thoharoh Dari Hadas


Bersuci dari hadas ada 2 macam, yaitu :

1.Bersuci dari hadas kecil : Bersuci dari hadas kecil dengan cara wudlu atau tayamum jika
tidak mendapaatkan air atau berhalangan menggunakan air karena sakit.

2.Bersuci dari hadas besar : Bersuci dari hadas besar dengan cara mandi atau tayamum jika
tidak mendapaatkan air atau berhalangan menggunakan air karena sakit

A. WUDHU
Wudhu adalah menggunakan air pada anggota tertentu yang dimulai dengan niat
- Syarat-syarat wudhu :
1. Islam
2. Tamyiz (bisa membedakan yang baik dan yang buruk)
3. Tidak ada sesuatu yang menghalangi sampainya air pada anggota wudlu
4. Dengan air yang suci dan mensucikan
- Fardhu wudhu
1. Niat (dalam hati ketika membasuh muka yang pertama)
2. Membasuh muka / Wajah
Batas wajah yaitu memanjang dari tumbuhnya rambut (kebanyakan orang) yaitu 4 jari di atas
alis kita sampai dagu (ditambah satu jari di bawah dagu untuk menyempurnakannya), dan
melebar dari 2 telinga kanan sampai ke bunga telinga kiri. Diantara semua itu harus terbasuh
air, termasuk ujung lubang hidung dan ujung kedua mata (kalau ada kotoran harus
dihilangkan dahulu), serta bagi mereka yang punya kumis, cambang dan jenggot tebal (tidak
kelihatan kulitnya dalam jarak 1 hasta, sekitar 53 cm) maka disunnahkan menyela-nyela
dengan tangan yang dibasahi dengan air hingga basah. Apabila jenggotnya tipis maka wajib
dibasuh dengan air sampai kena kulitnya.
3. Membasuh kedua tangan hingga siku-siku
4. Mengusap sebagian kepala
5. Membasuh kaki hingga mata kaki
6. Tertib sesuai urutan diatas.

3
- Sunnah-sunnah Wudlu
a. Sebelum Membasuh Wajah
1. Memeriksa anggota wudlunya dari sesuatu yang bisa merubah warna, rasa atau bau air dan
dari sesuatu yang bisa mencegah sampainya air ke kulit
2. Yakin bahwa airnya adalah air mutlak(suci mensucikan)
3. Menghadap kiblat (jika tak bisa maka niatkan ingin melakukannya)
4. Duduk (jika tak memungkinkan maka niatkan ingin melakukannya)
5. Tidak berbicara kecuali perlu selama berwudlu
6. Bersiwak
7. Tak menggunakan air secara berlebihan (“setiap tetesan akan dipertanggung jawabkan”)
8. Niat di hati mengerjakan sunah wudlu lalu membaca ta’awudz, basmalah dan syahadat
sambil membasuh 2 telapak tangan
9. Berkumur dengan sungguh-sungguh (kecuali saat puasa) & menghirup air ke hidung
(minimal sampainya air ke mulut atau hidung) bersamaan 3 x sambil mengingat dosa-dosa
lisannya
10. Membuang air kumuran ke kirinya
11. Mengeluarkan air dari hidung dengan tangan kiri 3x sambil mengingat dosa-dosa hidung
12. Melafadzkan niat fardlu wudlu
13. Mengambil air dengan ke 2 tangannya
b. Ketika Membasuh Wajah
14. Memulai dari wajah bagian atas sambil niat fardlu wudlu lalu mengingat dosa-dosa
wajahnya & matanya
15. Memperhatikan 2 ujung matanya dengan jari telunjuk (jika ada tahi mata maka wajib)
16. Mengusap 2 telinganya (masih dengan air yang sama)
17. Melebihkan basuhan dari batasan wajah
18. Menyela-nyela jenggot yang tebal dengan air yang baru dari bagian bawah (dengan air
yang baru)
19. Membasuh wajah 3 x
c. Ketika Membasuh 2 Tangan
20. Membasuh tangan dimulai dari 2 jari-jarinya
21. Menggerak-gerakkan cincinnya (jika air tidak bisa sampai ke kulit kecuali dengan di
gerakkan maka wajib menggerakkannya)
22. Mendahulukan yang kanan dan membasuhnya sampai ketiak(afdhol) atau minimal
melewati sikut sambil mengingat dosa-dosa tangannya
23. Melakukan hal yang sama pada tangan kiri
24. Menyela-nyala jari-jarinya
d. Ketika Mengusap kepala
25. Mengambil air dengan 2 tangannya
26. Meletakan 2 ibu jarinya pada 2 pelipisnnya, menempelkan 2 ujung telunjuknya satu sama
lain, lalu memutarnya kebelakang dan mengembalikan lagi ke depan jika rambutnya bisa
kembali (jika tak bisa kembali karena rambutnya terlalu panjang/pendek maka tidak
dikembalikan kedepan) sambil mengingat dosa-dosa kepala.
e. Setelah Mengusap Kepala
27. Mengusap telinga 3x sambil mengingat dosa-dosa telinganya
28. Mengusap leher dengan tangan kanan
f. Ketika Membasuh Kaki
29. Mendahulukan yang kanan
30. Mulai dari jari-jari dan menyela-nyelanya dari kelingking sampai ibu jari dengan jari
kelingking tangan kiri dari bagian bawah

4
31. Membasuhnya sampai lutut (afdhol)atau minimal sampai tengah betis 3 x sambil
mengingat dosa-dosa kakinya
32. Melakukan hal yang sama pada kaki kiri hanya saja menyela-nyelanya dari ibu jari
sampai kelingking
g. Setelah Selesai Dari Wudhu
33. Meminum air sisa wudlunya walaupun sedikit, karena ada hadits yang menyatakan hal ini
merupakan obat segala penyakit.
34. Berdo’a setelah wudlu sambil menghadap kiblat, melihat ke atas(langit) dan mengangkat
2 tangannya sampai kira-kira terlihat 2 ketiaknya

‫اج َعلْنِ ْي ِم َن‬ َّ ‫اج َعلْنِى ِم َن الت‬


ْ ‫َّوابِْي َن َو‬ ْ ‫ َأللَّ ُه َّم‬.ُ‫َأن ُم َح َّم ًدا َع ْب ُدهُ َو َر ُس ْولُه‬
َّ ‫ك لَهُ َوَأ ْش َه ُد‬َ ْ‫ َأ ْش َه ُد َأ ْن الَ ِإلَهَ ِإالَّ اهلل َو ْح َدهُ الَ َش ِري‬.
َّ ‫اج َعلْنِ ْي ِمن ِعبَ ِاد َك‬
.‫الصالِ ِح ْي َن‬ ْ ‫ال ُْمتَطَ ِّه ِريْ َن َو‬

Artinya:  Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, Maha Esa dan tidak ada sekutu
bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya
Allah, jadikanlah aku termasuk orang yang ahli taubat, jadikanlah aku termasuk orang
yang ahli bersuci dan jadikanlah aku termasuk golongan hamba-hamba-Mu yang shalih.
35. Membaca surah al-Qodr 3 x
36. Tidak mengelap air wudlunya
37. Sholat sunah wudlu atau sholat sunah yang lain sebelum air wudlu yang ada di badannya
kering. Wallohu a'lam

-Perkara yang membatalkan wudhu :


1. Keluar sesuatu dari salah satu dua jalan (kemaluan dan anus)
2. Tidur dengan tidak menetapkan pantatnya
3. Hilangnya akal sebab mabuk,pitam,pingsan atau sakit
4. Bersentuhan kulit antara lelaki wanita dewasa tanpa penghalang
5. Menyentuh kelamin anak adam dengan perut telapak tangan
6. Menyentuh lobang anus menurut qaul jadidnya Imam syafi'i.
-Larangan bagi orang yang tidak punya wudhu (hadas kecil)
Hal-hal yang haram dilakukan oleh orang yang tidak punya wudhu adalah:
1.Mengerjakan shalat. Untuk melakukan shalat seseorang diharuskan suci dari hadas. Oleh
karena itu haram mengerjakan shalat bagi orang yang tidak punya wudhu,. Begitu juga haram
melakukan ibadah yang searti dengan shalat, seperti sujud tilâwah dan sujud syukur.
2.Thawaf di Ka’bah. Haram berthawaf di Ka’bah jika tidak memiliki wudhu.
3.Menyentuh Mushaf dan membawa Mushaf (al-Qur’an). Maksud dari Mushaf di sini adalah
lembaran kertas yang bertuliskan kalam Allah. Patokan utama apakah benda yang bertuliskan
kalam Allah dikatakan Mushaf atau tidak, penilaiannya tergantung uruf (kebiasaan)
masyarakat.
Boleh membawa Mushaf tanpa berwudhu asalkan dibawa bersama barang lain dengan niatan
membawa barang tersebut. Menurut Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Tuhfah boleh
membawanya meskipun bertujuan membawa kedua-keduanya.

5
B MANDI

Mandi adalah mengalirkan air secara merata ke seluruh tubuh.


1. Sebab-sebab mandi
• Keluar air mani
• Hubungan suami istri
• Haidh
• Nifas (darah yang keluar setelah melahirkan)
• Wiladah (melahirkan)
• Mati (kecuali mati syahid)

Syarat-syarat sahnya mandi sama dengan syarat-syarat wudhu yang telah disebutkan
dalam bab wudhu.
-Rukun/fardhu mandi
• Niat dalam hati ketika membasuh permulaan bagian tubuh 
Adapun lafal niat sebagai berikut:
ً ‫س َل لِ َر ْف ِع الحدث اَأل ْكبَ ِر فَ ْر‬
‫ضا هلل تَ َعالَى‬ ْ ‫نَ َويْتُ ا ْل َغ‬
Artinya: “Saya niat mandi untuk menghilangkan hadas besar karena Allah”
• Meratakan air
Pada saat melakukan mandi yang sangat perlu diperhatikan adalah menyiramkan air sampai
rata ke seluruh tubuh termasuk rambut. Sebab Rasulullah SAW bersabda:
)‫ (رواه أبو داود‬.‫س ْل يَ ْف َع ُل َك َذا َو َك َذا ِمنَ النا َ ِر‬
ُ ‫ش ْع َر ٍة ِمنْ ِجنَابَ ٍة لَ ْم يَ ْغ‬
َ ‫ض َع‬
ِ ‫َمنْ ت ََركَ َم ْو‬
"Barangsiapa meninggalkan tempat sehelai rambut dari mandi jinabah yang tidak
membasuhnya, maka dengan begitu akan diberlakukan ini dan itu dari neraka". (HR. Abu
Dawud)
Hadist di atas menunjukkan wajibnya menyiramkan air keseluruh anggota tubuh yang dhahir
(luar) termasuk membasahi semua rambut kepala atau rambut yang yang lain meskipun lebat.
Termasuk anggauta bagian luar yang wajib dibasuh adalah;
- Lubang telinga yang kelihatan dari luar.
- Lubang farjinya perempuan yang terlihat saat duduk jongkok.
- Lipat-lipatan organ tubuh.
- Bagian dalam "kunclup" orang yang belum khitan.
- Dan bagian dalam dubur (anus) yang kelihatan saat duduk jongkok.

Sunnat-sunnat Mandi
Hal-hal yang sunnat dilakukan dalam mandi adalah:
1.MembacaBasmalah.
2. Berwudhu sebelum mandi.
3. Berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung.
4. Membaca dua kalimat syahadat.
5. Membasuh kotoran yang menempel pada tubuh dengan menggosokkan kedua tangan
sebatas kemampuan (jangkauan).
6. Menghadap ke arah Kiblat, apabila tidak mandi dengan telanjang.
8. Membasuh sampai dua dan tiga kali.
9.Tidak meminta bantuan orang lain kecuali ada udzur.
10. Membasuh dari bagian atas dan mendahulukan anggota yang kanan

Makruhnya Mandi

6
Makruhnya mandi sama dengan makruhnya wudhu, seperti berlebihan menggunakan air dan
melebihi tiga kali.

Larangan Bagi Penyandang Hadas Besar (Junub)


Hal-hal yang haram dilakukan oleh orang yang sedang hadas besar (junub) adalah:
1. Melakukan shalat dan yang searti dengan shalat, seperti sujud sahwi dan sujud tilâwah.
2. Melakukan thawaf (mengelilingi Ka’bah).
3. Menyentuh Mushaf (al-Qur’an).
4. Membaca al-Qur’an, walaupun hanya sebagian ayat, termasuk Basmalah. Hukum haram
ini terjadi jika ia memang bermaksud membaca al-Qur’an. Jika tidak bermaksud membaca al-
Qur’an, seperti ingin barakah misalnya, maka diperbolehkan.
5. Membawa mushaf.
6. Diam di dalam masjid. Kalau hanya lewat sebentar maka tidak haram, asalkan tidak
mondar-mandir di dalam waktu yang lama.

Enam larangan di atas berlaku umum (untuk laki-laki dan perempuan yang hadas besar). Dan,
untuk perempuan yang sedang haid atau nifas, ada beberapa larangan tambahan sebagai
berikut:
1.Berpuasa, baik puasa sunnat ataupun wajib. 
2.Melintasi masjid jika khawatir mengotori masjid dengan menetesnya darah haid. 
3.Bersuci dari hadas (seperti melakukan wudhu dan mandi), atau bersuci untuk melakukan
ibadah.
4.Dicerai. Haramnya cerai ini sasarannya adalah suami. Jadi, suami dilarang mencerai
istrinya yang sedang haid. Sebab, hal itu dapat menyengsarakan pihak istri dengan
bertambahnya masa iddah. 
5.Melakukan hubungan seksual (atau bersenang-senang) di bagian tubuh antara pusar dan
lutut tanpa adanya penghalang.

Hukum Memotong Kuku/Rambut Saat Hadas Besar


Imam al-Ghazali berpendapat bahwa, orang yang menyandang hadas besar hendaknya
(sunnat) tidak memotong kuku, rambut dan mengeluarkan darah. Adapun mandinya tetap
dihukumi sah dan wajib membasuh tempat terpotongnya kuku atau rambut. Mengenai kuku
atau rambut yang sudah lepas tidak wajib membasuhnya, bahkan Imam Syabramallisi
(mengutip pendapat Ibn Hajar) berpendapat, bagian tubuh yang terlepas pada saat hadas,
tidak bisa hilang sifat janabatnya. Jadiwalaupundibasuh, tidak ada gunanya.

C. Tayammum
Syarat-syarat Tayammum
Ada beberapa syarat agar seseorang bisa melakukan tayamum, yaitu:
1. Ada halangan untuk menggunakan air. Hal ini bisa jadi karena: 1) tidak menemukan
air; 2) ada air tetapi dapat menimbulkan dampak negatif pada tubuh jika digunakan,
seperti karena sakit; 3) ada air tapi dibutuhkan untuk yang lebih penting semisal untuk
minum.
2. Menggunakan debu suci yang belum pernah digunakan untuk bersuci dan tidak ada
campuran benda lain semisal air atau minyak wangi.
3. Dikerjakan setelah masuknya waktu shalat. Hal itu karena tayamum merupakan
bersuci untuk keadaan darurat. Jika belum masuk waktu, maka tidak bisa disebut

7
darurat.
4. Sudah melakukan pencarian air–setelah masuk waktu shalat–ke semua arah, kecuali
kalau sudah yakin tidak ada air atau melakukan tayamum karena sakit.
5. Beragama Islam. Tayamum tidak sah dilakukan oleh orang non muslim.
6. Tidak haid atau nifas.
7. Menghilangkan najis yang ada pada tubuhnya terlebih dahulu jika ada najis.

Rukun Tayamum
Fardhu atau rukun tayamum ada lima:
1. Niat 
Niat tayamum dilakukan ketika memindah debu. Yaitu setelah menepukkan kedua
telapak tangan ke debu dan berlanjut sampai mengusap wajah. Adapun bacaan niat
tayamum adalah sebagai berikut:
ِ ‫ض ِة‬
‫هلل َتعاَلَى‬ َ ‫الم ْف ُرو‬ ِ َّ ‫ت التَّي ُّمم ِالستِباح ِة‬
َ ‫الصالَة‬ َ َ ْ َ َ ُ ْ‫َن َوي‬
Artinya: “Saya niat tayamum agar dapat diperbolehkan melaksanakan shalat fardhu
karena Allah Ta’ala”.Tayamum tidak boleh diniati “untuk menghilangkan hadas” karena
tayamum hanyalah sesuci pengganti dan tidak dapat menghilangkan hadas.
Agar orang yang melakukan tayamum dapat melakukan shalat fardhu, shalat sunnat dan
ibadah-ibadah lain yang membutuhkan suci (thahârah), hendaknya dalam niatnya
menyatakan: “diperbolehkan melaksanakan shalat fardhu”
2. Memindah debu
 Maksud dari memindah di sini adalah adanya usaha dari orang yang bertayamum
dalam memindah debu. Jika tidak ada usaha, semisal berdiri di tempat yang berlawanan
dengan arah angin, kemudian langsung mengusap wajahnya yang terkena debu yang
dihempaskan angin, maka hal itu tidak cukup. Sebab, dalam praktek tersebut tidak ada
unsur memindah debu.
3. Mengusap wajah
 Caranya: mengusap dari bagian atas wajah dan meratakannya ke seluruh permukaan
wajah, dengan satu kali tepukan. Sedangkan batas wajah yang harus diusap sama
dengan batas wajah yang harus dibasuh dalam wudhu.
4. Mengusap kedua tangan
Batas tangan yang diusap adalah dari ujung jari sampai dengan siku, sama seperti
dalam wudhu. Caranya: usaplah tangan kanan dari ujung jari-jari sampai dengan siku
dengan menggunakan tangan kiri. Lalu usaplah tangan kiri dengan menggunakan
tangan kanan juga dari ujung jari-jari sampai dengan siku.
Untuk mengusah wajah dan kedua tangan harus menggunakan tepukan yang berbeda:
satu tepukan untuk wajah dan satu tepukan lagi untuk kedua tangan.
5. Tartîb atau dilakukan secara berurutan

8
Dalam tayamum, harus mengusap wajah terlebih dahulu lalu mengusap kedua tangan.

Sunnat-sunnat Tayamum
1.Membaca Basmalah
2.Bersiwak
3.Membaca dua Kalimat Syahadat
4. Menghadap Kiblat
5. Melepas cincin di tepukan pertama yang digunakan untuk mengusap wajah. Pada
saat tepukan untuk mengusap kedua tangan, maka cincin wajib dilepas
6. Merenggangkan jari-jari tangan di saat melakukan tepukan pada debu
7. Mendahulukan anggota yang kanan daripada yang kiri
8. Mendahulukan bagian atas dalam mengusap wajah
9. Menipiskan debu terlebih dahulu sebelum diusapkan, dengan cara ditiup atau
dikibaskan. Hal itu jika debu yang melengket pada telapak tangan tebal
10. Mengusap melebihi batas yang wajib diusap baik dalam wajah atau tangan.
11. Berkesinambungan (muwâlat). Yaitu segera melakukan rukun yang kedua setelah
selesainya rukun yang pertama dan seterusnya.
12. Membaca doa setelah tayamum: 

‫اج َعلْنِ ْي ِم َن‬ َّ ‫اج َعلْنِى ِم َن الت‬


ْ ‫َّوابِْي َن َو‬ ْ ‫ َأللَّ ُه َّم‬.ُ‫َأن ُم َح َّم ًدا َع ْب ُدهُ َو َر ُس ْولُه‬
َّ ‫ك لَهُ َوَأ ْش َه ُد‬ َ ْ‫َأ ْش َه ُد َأ ْن الَ ِإلَهَ ِإالَّ اهلل َو ْح َدهُ الَ َش ِري‬
ِ ِ َّ ‫اج َعلْنِ ْي ِمن ِعبَ ِاد َك‬
.‫ك‬َ ‫ب ِإل َْي‬ ِ َ ْ‫ك اللَّ ُه َّم َوبِ َح ْم ِد َك َأ ْش َه ُد َأ ْن الَ الَهَ االَّ َأن‬
ُ ‫ت اَ ْسَت ْغف ُر َك َوَأُت ْو‬ َ َ‫ ُس ْب َحان‬.‫الصالِ ِح ْي َن‬ ْ ‫ال ُْمتَطَ ِّه ِريْ َن َو‬

Artinya:  Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, Maha Esa dan tidak ada sekutu
bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya
Allah, jadikanlah aku termasuk orang yang ahli taubat, jadikanlah aku termasuk orang
yang ahli bersuci dan jadikanlah aku termasuk golongan hamba-hamba-Mu yang shalih.
Maha Suci Engkau Ya Allah dan dengan memuji-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan selain Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.
Yang Dimakruhkan dalam Tayamum
Ada dua hal yang dimakruhkan dalam tayamum, yaitu: 1) memperbanyak debu ketika
mengusap sehingga dapat mengotori wajah dan kedua tangan; 2) mengulang usapan
pada setiap anggota tayamum.
Yang Dapat Membatalkan Tayamum
Tayamum menjadi batal karena:
1. Terjadinya hal-hal yang dapat membatalkan pada wudhu.
2. Sebelum memulai shalat, meyakini, menduga atau mengira adanya air, kecuali bila
bertayamum karena sakit. Atau, sudah memulai shalat namun shalat yang dilakukan
adalah shalat yang tidak gugur sebab tayamum (dalam artian wajib mengulangi lagi)
3. Murtad (keluar dari agama Islam)

9
4. Hilangnya sakit bila ia bertayamum karena sakit, kecuali bila sudah memulai
melakukan shalat maka tayamumnya tidak batal.
5. Bermukim atau berniat mukim (bagi orang yang bertayamum karena dirinya musafir)
Shalat dengan Tayamum, Wajib Diulangi atau Tidak ?
Shalat dengan menggunakan tayamum, adakalanya tidak harus diulangi; adapula yang
harus diulangi.
a. Tidak usah mengulangi shalat apabila:
1.Bertayamum di tempat yang sudah biasa tidak ada air. 
2.Butuh pada air untuk diminum. 
3.Butuh menjual air untuk biaya hidup. 
4.Tidak mampu membeli air. 
5.Mampu membeli air, akan tetapi uangnya dibutuhkan untuk biaya hidup atau melunasi
hutangnya. 
6.Harga air diatas harga standart. 
7.Sulit untuk mengambil air karena terhalang musuh atau terhalang binatang buas. 
8.Tidak menemukan alat untuk mengambil air. 
9.Khawatir membahayakan pada dirinya. 
10.Khawatir memperlambat kesembuhan. 
11.Menambah parah sakit yang dideritanya. 
12.Berdampak negatif pada anggota tubuh bagian luar (zhâhir). 
b. Harus mengulangi shalat apabila:
1.Melakukan tayamum di tempat yang biasanya ada air, hanya saja pada saat
itukebetulan habis. 
2.Lupa kalau punya air 
3.Kehilangan air di kendaraan saat perjalanan 
4.Meletakkan satir (perban dan sesamanya) di anggota wudhu pada saat ia tidak punya
wudhu. 
5.Terdapat satir (penghalang) di anggota tayamum. 
6.Bertayamum sebelum masuk waktu. Sebab, bersuci dengan tayamum boleh dilakukan
jika dharûrat. Jika waktu shalat belum masuk, maka tidak bisa disebut dharûrat. 
7.Tayamum karena sangat dingin. 
8.Tayamum dalam perjalanan yang maksiat. 
9.Bagian tubuhnya ada yang najis, kecuali jika najisnya ma’fû. 
Dalam sembilan item di atas, seseorang diharuskan shalat dengan menggunakan
tayamum, tapi wajib mengulangi shalatnya jika keadaannya sudah normal.
Wudhu yang Disempurnakan dengan Tayamum Bagi Pemakai Perban (Shâhib al-
Jabâ’ir)
Orang yang di anggota wudhu-nya terdapat perban atau sejenisnya (seperti param,
pembalut luka dan lain sebagainya), ia boleh berwudhu tanpa melepas perban tersebut.
Sedangkan kewajiban membasuh/mengusap pada bagian yang diperban itu diganti

10
dengan tayamum. Cara bersuci semacam ini disebut wudhu yang disempurnakan
dengan tayamum
.Shalat yang dikerjakan dengan wudhu yang sedemikian tidak wajib diulangi kembali,
dengan catatan harus memenuhi beberapa syarat berikut:
1. Perban dipasang dalam keadaan suci (dari hadas kecil maupun hadas besar).
2. Letak perban tidak melebihi batas anggota yang luka, kecuali sekedar bagian yang
diperlukan untuk merekatkan perban.
3. Sulit untuk melepaskan perban karena khawatir akan menambah parah atau
menimbulkan sakit yang baru.
4. Yang diperban bukan anggota tayamum (wajah dan kedua tangan)
.
Jika salah satu ketentuan di atas tidak terpenuhi, maka shalatnya wajib
diulangi.Kewajiban mengulang itu harus dipenuhi setelah sembuh dari sakit dan bisa
melakukan wudhu dengan sempurna
.
Pengaruh Letak Perban bagi Ketentuan Wudhu

Letak perban menjadi penentu utama ketentuan bersuci (wudhu):


1. Jika perban terletak di selain anggota wudhu, maka perban tidak memiliki pengaruh
apa-apa, yakni wudhu dilakukan sebagaimana biasa, tanpa harus disempurnakan
dengan tayamum.
2. Jika perban terletak hanya di satu anggota wudhu, maka harus disempurnakan
dengan tayamum. Tayamum dilaksanakan pada saat giliran anggota yang diperban.
Jadi, misalnya perban ada pada tangan, maka tayamum dilakukan setelah membasuh
wajah (baik sebelum membasuh tangan ataupun sesudahnya. Namun yang lebih utama
mendahulukan tayamum sebelum membasuh tangan). Pada saat membasuh tangan,
maka: a) usaplah perbannya dengan air jika perbannya dipasang di bagian anggota
yang sehat (tidak sakit); b) membasuh bagian tangan yang tidak diperban hingga bagian
yang ada di bawah pinggiran perban; c) kemudian melanjutkan wudhunya.
3. Jika perbannya lebih dari satu dan berada di anggota wudhu yang berbeda, seperti
wajah, tangan dan kaki, maka tayamum harus dilakukan beberapa kali sesuai dengan
urutan sejumlah anggota yang diperban tersebut, dengan cara dan urutan seperti di
nomor 2.

Keterangan: Pada intinya yang harus dilakukan pada anggota yang diperban itu ada
tiga, yaitu: 1) tayamum sebagai ganti dari bagian yang tidak terkena air jika perbannya
dipasang pada bagian anggota yang sehat; 2) mengusap perban dengan air; 3)
membasuh bagian yang tidak sakit/tidak diperban (termasuk pinggir-pinggir perban).
Jika terdapat luka yang tidak boleh terkena air pada salah satu anggota wudhu dan tidak
diperban, maka wudhunya juga harus dilengkapi dengan tayamum. Dalam hal ini juga

11
wajib mengusapkan debu (selagi memungkinkan) pada lukanya, jika memang terdapat
di anggota tayamum.

Mandi yang Disempurnakan dengan Tayamum bagi Pemakai Perban


Sebagaimana wudhu, mandi dari hadas besar bagi pemakai perban juga harus
disempurnakan dengan tayamum. Bedanya dengan wudhu adalah dalam mandi tidak
ada ketentuan harus urut. Bisa langsung membasuh seluruh tubuh, lalu mengusap
perban dengan air, lalu melakukan tayamum; atau sebaliknya (tayamum terlebih dahulu
kemudian mandi dan mengusap perban).

BAB SHALAT
Syarat-syarat Shalat
Adapun syarat yang harus dipenuhi sebelum mengerjakan shalat adalah sebagai
berikut:
1. Beragama Islam. Shalat tidak sah dikerjakan oleh non muslim.
2. Suci dari hadas kecil atau besar, kecuali jika tidak menemukan air dan debu.
3. Tempat shalat, tubuh dan pakaiannya suci dari segala najis yang tidak di-ma’fû.
4. berakal
5. Mengetahui tata cara shalat. Maksudnya, mengetahui bahwa shalat yang dikerjakan
adalah fardhu dan dapat membedakan atara yang rukun dan sunnat.
6. Mengetahui masuknya waktu shalat.
7. Menghadap kiblat, kecuali shalat  syiddat al-khauf dan shalat sunnat yang dilakukan
di atas kendaraan pada saat bepergian.
8. Menutup aurat. Batas aurat adalah antara pusar sampai lutut bagi orang laki-laki.
Jadi, misalnya memakai sarung maka gulungan sarung agar berada di atas pusar,
sedangkan ujungnya berada di bawah lutut. Ujung sarung sunnat berada di atas mata
kaki.
     Sedangkan aurat bagi perempuan adalah semua bagian tubuh kecuali wajah dan
telapak tangan. Yang perlu diperhatikan dalam pemakaian mukena, wajah bagian
pinggir juga harus ditutupi termasuk juga dagu bagian bawah. Sebaiknya, menggunakan
mukena dengan model tidak terpotong untuk menghindari terbukanya aurat pada saat
takbir atau rukû.
Rukun-rukun Shalat
Rukun-rukun shalat meliputi:
1. Niat
Niat dilakukan dalam hati bersamaan dengan takbîratul ihrâm. Waktu berniat adalah
sejak mengucapkan hamzahnya kaka Allah dalam takbir sampai akhir râ’nya kata akbar.

12
Yang dimaksud dengan ‘niat’ di sini adalah menggambarkan di dalam hati bentuk shalat
secara global disertai bermaksud melakukannya, menyatakan ke-fardhu-an dan
menentukan shalatnya (semisal zhuhur). Sedangkan yang dimaksud dengan
“bersamaan” adalah membersamakan gambaran hati tersebut dengan takbir.
Contoh lafal niat adalah seperti berikut:

‫اء هلل َت َعالَى‬ َ   ‫ت ُم ْسَت ْقبِ َل ال ِْق ْبلَ ِة‬


ً ‫َأد‬
ٍ َ‫ض الظُّ ْه ِر َأربع ر َكعا‬
َ ََْ َ ‫ُأصلِّى َف ْر‬
َ .
Membaca lafal ini hukum sunnat sebelum takbir. Sedangkan niat yang difardhukan
adalah niat di dalam hati bersamaan dengan takbir.

a. Lafadz Niat shalat zhuhur:


‫ِإ َم ًاما) هلل َت َعالَى‬/‫(م ُْأم ْو ًما‬
َ ‫اء‬ َ   ‫ت ُم ْسَت ْقبِ َل ال ِْق ْبلَ ِة‬
ً ‫َأد‬
ٍ َ‫ض الظُّ ْه ِر َأربع ر َكعا‬
َ ََْ َ ‫صلِّ ْي َف ْر‬
َ ُ‫ا‬

Artinya: Saya melakukan shalat fardhu zhuhur sebanyak empat rakaat dengan
menghadap kiblat, pada waktunya (menjadi makmum/imam)  karena Allah Ta’ala.
b. Lafadz Niat shalat ashar:
‫ِإ َم ًاما) هلل َت َعالَى‬/‫(م ُْأم ْو ًما‬
َ ‫اء‬ َ ‫ت ُم ْسَت ْقبِ َل ال ِْق ْبلَ ِة‬
ً ‫َأد‬
ٍ َ‫ص ِرَأربع ر َكعا‬
َ َ َ ْ ْ ‫الع‬ َ ‫ُأصلِّى َف ْر‬.
َ ‫ض‬ َ

Artinya: Saya melakukan shalat fardhu ashar sebanyak empat rakaat dengan
menghadap kiblat, pada waktunya (menjadi makmum/imam)  karena Allah Ta’ala.
c. Lafadz Niat shalat maghrib:
‫ِإ َم ًاما) هلل َت َعالَى‬/‫(م ُْأم ْو ًما‬
َ ‫اء‬ َ ‫ت ُم ْسَت ْقبِ َل ال ِْق ْبلَ ِة‬
ً ‫َأد‬
ٍ َ‫ث ر َكعا‬ ِ َ ‫ض‬
َ َ َ‫المغْ ِرب ثَال‬ َ ‫ُأصلِّى َف ْر‬.
َ

Artinya: Saya melakukan shalat fardhu maghrib sebanyak tiga rakaat dengan
menghadap kiblat, pada waktunya (menjadi makmum/imam) karena Allah Ta’ala.
d. Lafadz Niat shalat isya’:
‫ِإ َم ًاما) هلل َت َعالَى‬/‫(م ُْأم ْو ًما‬
َ ‫اء‬ َ ‫ت ُم ْسَت ْقبِ َل ال ِْق ْبلَ ِة‬
ً ‫َأد‬ َ ََْ
ِ ‫ُأصلِّى َفرض‬.
ٍ َ‫الع َشاء َِأربع ر َكعا‬ َ ْ َ

Artinya: Saya melakukan shalat fardhu isya’ sebanyak empat rakaat dengan menghadap
kiblat, pada waktunya (menjadi makmum/imam)  karena Allah Ta’ala.
e. Lafadz Niat shalat shubuh:
‫ِإ َم ًاما) هلل َت َعالَى‬/‫(م ُْأم ْو ًما‬
َ ‫اء‬ َ ‫عت ْي ِن ُم ْسَت ْقبِ َل ال ِْق ْبلَ ِة‬
ً ‫َأد‬ َ ‫الص ْبح َر َك‬
ُّ ‫ض‬َ ‫ُأصلِّى َف ْر‬.
َ

Artinya: Saya melakukan shalat fardhu subuh sebanyak dua rakaat dengan menghadap
kiblat, pada waktunya (menjadi makmum/imam)  karena Allah Ta’ala.
Melengkapi niat shalat dengan pernyataan “menghadap kiblat, ada’ atau qadha’, semata
karena Allah dan menentukan jumlah rakaat” hukumnya sunnat.

13
2. Takbîratul ihrâm
Bacaan takbîratul ihrâm adalah:
‫أهللُ َأ ْكَب ْر‬

Dalam mengucapkan takbir, orang yang shalat wajib membacanya dengan tepat dan
benar.
Saat takbir sunnat mengangkat kedua tangan. Bagi laki-laki dengan cara: 
1) posisi tangan berada di atas pundak; 
2) ibu jari lurus dengan daun telinga bagian bawah; 
3) jari-jari agak direnggangkan; 
4) ujung jari-jari diluruskan dengan daun telinga bagian atas dan condong ke arah kiblat.
Bagi orang perempuan praktek mengangkat tangannya sama dengan praktekya laki-laki,
dan ada ulama yang menyatakan (qîl) tangannya diangkat tidak terlalu tinggi kira-kira
ujung jari-jari lurus dengan bahu.
3. Berdiri bagi orang yang mampu
Orang yang tidak mampu berdiri, maka harus melakukan shalat dengan duduk. Orang
yang tidak mampu shalat dengan cara duduk, maka, harus melaksanakan shalat dengan
cara tidur miring. Bila dengan cara tidur miring masih tidak memungkinkan, maka harus
melaksanakan shalat dengan cara tidur terlentang. Jika masih tidak mampu
melakukannya dengan tidur terlentang, maka harus melakukan shalat isyarat dengan
kelopak mata. Jika masih tidak memungkinkan melakukannya dengan cara tersebut,
maka harus menjalankan rukun shalat dalam hati.
4. Membaca surat Fâtihah di setiap rakaat
Jika tidak mampu membaca surat Fâtihah, karena baru masuk Islam misalnya, maka
alternatifnya harus membaca tujuh ayat lain yang jumlah hurufnya tidak kurang dari
jumlah huruf-huruf yang terdapat dalam surat Fâtihah. Jika tidak mampu membaca tujuh
ayat lain sama sekali, maka harus membaca tujuh macam dzikir atau doa dengan
jumlah huruf yang sekiranya tidak kurang dari jumlah hurufnya surat Fâtihah. Jika tidak
mampu membaca tujuh macam dzikir atau doa, maka harus berdiri (diam) dalam waktu
yang kira-kira cukup untuk membaca Fâtihah. Bagi orang yang hanya mampu membaca
sebagian dari surat Fâtihah, maka dia harus mengulang-ulanginya sampai jumlah
hurufnya tidak kurang dari jumlah huruf yang terdapat dalam surat Fâtihah.
Pembacaan surat Fâtihah, harus sesuai dengan urutan ayat yang ada di dalam al-
Qur’an. Selain itu, juga harus berkesinambungan (muwâlat). Artinya, harus membaca
berkesinambungan antara satu kalimat dengan kalimat berikutnya, tidak dipisah dengan
diam, atau membaca dzikir yang tidak ada hubungannya dengan shalat. Lain halnya jika
dzikir pemisah itu masih berhubungan dengan shalat, semisal membaca âmîn di
pertengahan Fâtihah karena mengamini bacaan Fâtihah imam.

14
Diam bisa mempengaruhi pada kesinambungan (muwâlat) Fâtihah, apabila dilakukan
dalam waktu yang cukup lama tanpa ada udzur. Atau diam sebentar, tapi memang
bertujuan untuk memutus bacaan. Jika diamnya karena lupa bacaan Fâtihah atau tidak
tahu bahwa muwâlat itu wajib, maka hukumnya tidak apa-apa, baik waktu diamnya lama
atau sebentar, sebab hal itu dianggap udzur.
Pembacaan Fâtihah harus lengkap, harus menyuarakan tasydîdnya yang jumlahnya ada
14, juga mengucapkan huruf dengan benar (sesuai makhraj/tempat keluarnya huruf).
Jangan sampai ada salah satu huruf yang dihilangkan dari surat  Fâtihah, atau
mengubah bacaan huruf sehingga menyebabkan maknanya tidak benar.
5. Rukû‘ disertai thuma’nînah.
Rukû‘ dengan cara membungkukkan tubuh, sampai kira-kira kedua tangan bisa meraih
lutut. Sebelum rukû‘ sunnat mengangkat tangan dan takbir terlebih dahulu.
Sedangkan cara rukû‘ yang lebih sempurna bagi laki-laki adalah dengan: 
1) membungkukkan tubuh sampai kira-kira tulang belakang punggung (verterbrate) dan
leher serta kepala bisa lurus; 
2) menegakkaan kedua lutut; 
3) telapak tangan meraih lutut; 
4) jari-jari tangan direnggangkan sedikit agar jari-jari tidak berpaling dari arah kiblat.
Pada saat rukû‘ sunnat membaca tasbîh di bawah ini sebanyak tiga kali:

‫ُس ْب َحا َن َربِّ َي ال َْع ِظ ْي ِم َوبِ َح ْم ِد ِه‬

Artinya: Maha suci Tuhanku yang Maha Agung dan dengan memuji-Nya.
6. I’tidâl disertai thuma’nînah.
Caranya dengan berdiri tegak setelah bangun dari rukû‘. I’tidâl merupakan rukun
qashîrah (pendek) yang tidak boleh diperpanjang. Bahkan, jika memperlama i’tidâl
bukan karena membaca dzikir yang disyariatkan (bisa karena membaca dzikir yang tidak
disyariatkan atau karena diam) sehingga menyamai lamanya membaca Fâtihah, maka
shalatnya batal.
Pada saat i’tidâl tangan sunnat dilepas lurus ke bawah dan tidak menggerak-
gerakkannya. Sedangkan ketika bangun dari rukû‘ untuk melakukan i’tidâl sunnat
membaca:

‫َس ِم َع اهللُ لِ َم ْن َح ِم َده‬


Artinya: Allah Maha Mendengar terhadap orang yang memuji-Nya
Ketika posisi tubuh sudah tegak (i’tidâl) maka sunnat membaca:

‫ئت ِم ْن َش ْيٍئ َب ْع ُد‬


َ ‫ض َوِم ْلءُ َما ِش‬
ِ ‫ات َوِم ْلءُ االَ ْر‬
ِ ‫السمو‬ ِ
َ َّ ُ‫ْح ْم ُد م ْلء‬
َ ‫َك ال‬
َ ‫َر َّبنَا ل‬

15
Artinya: Ya Allah Tuhan kami, bagi-Mu segala puji sepenuh isi langit dan bumi dan
sepenuh barang yang Engkau kehendaki setelah itu.
7. Sujud dua kali disertai thuma’nînah.
Caranya, dengan meletakkan tujuh anggota tubuh di atas tempat shalat, yaitu kening,
kedua lutut, kedua telapak tangan dan telapak jemari kedua kaki.
Adapun yang disunnatkan dalam pelaksanaan sujud sebagai berikut: 
1) meletakkan kedua lutut ke tempat shalat terlebih dahulu dan merenggangkannya kira-
kira satu jengkal; kemudian 
2) meletakkan kedua telapak tangan lurus dengan pundak, sedangkan lengan diangkat
(tidak ditempelkan ke tempat shalat), dan merapatkan jemari tangan tanpa digenggam
serta menghadapkannya ke arah kiblat; kemudian 
3) meletakkan dahi bersama dengan meletakkan hidung, sedang mata tidak terpejam; 
4) merenggangkan telapak kaki kira-kira satu jengkal, menegakkan dan
memperlihatkannya (tidak ditutupi) serta menghadapkan punggung jemari ke arah kiblat.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan sujud:


1.Pertama, menurunkan tubuh dengan maksud melakukan sujud. Jadi, jika misalnya ia
terjatuh dari i’tidâl karena mengantuk tanpa ada maksud untuk melakukan sujud maka
sujudnya tidak dianggap, dan harus kembali ke i’tidâl.
2.Kedua, ketujuh anggota sujud (dahi, dua telapak tangan, dua lutut, jari-jari kaki kiri dan
kanan) diam secara bersamaan saat melakukan sujud. Jadi, jika pada saat sujud salah
satu telapak tangan ada yang terangkat, dan ketika telapak tangan itu diletakkan, ada
anggota sujud lain yang diangkat, maka sujudnya tidak cukup.
3.Ketiga, meletakkan sebagian dahi dengan keadaan terbuka. Jika pada sebagian dahi
yang dibuat sujud itu terdapat penghalang maka sujudnya tidak sah, kecuali bila
penghalangnya berupa perban yang menutupi seluruh permukaan dahi disebabkan
terdapat luka sekiranya berdampak negatif jika dilepaskan, maka sujudnya tetap sah.
4.Keempat, dahi harus sedikit ditekankan ke tempat sujud. Ukuran tekanannya, kira-kira
kalau misalnya diletakkan kapas, maka kapas itu akan terpenyet.
5.Kelima, sujud dilakukan dalam posisi menungging. Artinya posisi tubuh bagian bawah
(pantat dan anggota tubuh sekitarnya) lebih tinggi dari pada kepala, pundak dan kedua
tangan. Jadi, apabila terbalik (posisi kepala lebih tinggi atau sama dengan bagian bawah
tubuh), seperti sujud di tangga dan kepala berada di anak tangga yang atas, maka
sujudnya tidak sah, kecuali bila ada suatu hal yang mengharuskan demikian.
6.Keenam, bersujud pada selain barang yang dipakai atau dibawa oleh orang yang
shalat yang bergerak dengan gerakannya. Jadi, kalau misalnya ia bersujud di ujung
sorban yang dipakainya, maka sujudnya tidak sah. Kecuali jika bersujud di ujung sorban
yang panjang dan tidak bergerak pada saat mushalli melakukan gerakan shalat, maka
sujudnya tetap sah.
Ketika sujud, sunnat membaca tasbîh berikut ini sebanyak tiga kali:

16
‫ُس ْب َحا َن َربِّ َي اَأل ْعلَى َوبِ َح ْم ِد ِه‬

Artinya: Maha Suci Tuhanku Yang Maha Luhur dan dengan memuji-Nya.
8. Duduk di antara dua sujud dengan disertai thuma’nînah.
Menurut qaul mu’tamad (pendapat yang dapat dijadikan dasar), duduk di antara dua
sujud termasuk rukun pendek yang tidak boleh diperpanjang sampai melebihi lamanya
bacaan minimal dari tasyahhud.
Kedua telapak tangan ketika duduk diletakkan di atas kedua paha sekiranya ujung jari-
jari tangan lurus dengan lutut dan semua jemarinya dirapatkan serta diluruskan ke arah
kiblat.
Saat duduk disunnatkan membaca doa:

ُ ‫ َو ْار َف ْعنِ ْي َو ْار ُزقْنِ ْي َو ْاه ِدنِ ْي َو َعافِنِ ْي َوا ْع‬  ‫اج ُب ْرنِ ْي‬ ِ ِ ِّ ‫ر‬
‫ِّي‬
ْ ‫ف َعن‬ ْ ‫ب ا ْغف ْر ل ْي َو ْار َح ْمنِ ْي َو‬ َ
Artinya: Ya Tuhanku, ampunilah aku, kasihanilah aku, cukupkan aku dari segala
kekurangan, angkatlah derajatku, berilah aku rizki, berilah aku petunjuk, berilah aku
keselamatan, dan berilah aku ampunan.
9. Duduk tasyahhud akhîr dengan disertai thuma’nînah. 
Posisi duduk yang disunnatkan dalam tasyahhud akhir adalah duduk tawarruk. Yaitu
duduk dengan telapak kaki kanan ditegakkan dan jari-jarinya ditekuk, sedangkan telapak
kaki kiri ada di bawah tulang kering, sehingga pantat sebelah kiri menempel ke tempat
shalat. Posisi kedua tangan berada di atas paha, serta jari-jari tangan kanan dalam
keadaan menggenggam selain jari telunjuk, sedangkan ujung ibu jari menyentuh
pangkal jari telunjuk.
10. Membaca bacaan tasyahhud akhîr.
Bacaan tasyahhud akhir adalah sebagai berikut:
ِ ‫لسالَم َعلَْينَا و َعلَى ِعب ِاد‬ ِ ِ ‫ات‬ ِ ‫اَلت‬
‫اهلل‬ َ َ ُ َّ َ‫ك َُّأي َها النَّبِ ُّي َو َر ْح َمةُ اهلل َو َب َر َكاتُهُ ا‬
َ ‫لسالَ ُم َعلَْي‬
َّ َ‫ ا‬.‫ِهلل‬ ُ َ‫ات الطَّيِّب‬
ُ ‫الصلَ َو‬
َّ ‫ات‬ ُ ‫ات ال ُْمبَ َار َك‬
ُ َّ‫َّحي‬
ِ ‫َأن مح َّم ًدا رسو ُل‬ ِ ِ َّ
‫اهلل‬ ْ ُ َ َ ُ َّ ‫ َأ ْشه ُد اَ ْن الَِإلَهَ ِإالَّ اهللُ َواَ ْش َه ُد‬.‫الصالح ْي َن‬.
Artinya: Segala kehormatan, keberkahan, shalawat dan kebaikan adalah milik Allah.
Keselamatan, rahmat dan berkah Allah mudah-mudahan tetap tercurahkan kepadamu
wahai Nabi (Muhammad). Keselamatan semoga tetap terlimpahkan kepada kami dan
seluruh hamba Allah yang shalih-shalih. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah.
Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. 
11. Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw setelah membaca tasyahhud.
Dan disunnatkan membaca shalawat yang paling sempurna yaitu shalawat Ibrahimiyah:

17
‫ َوبَا ِر ْك‬.‫ت َعلَى َسيِّ ِدنَا ِإ ْب َر ِاه ْي ِم َو َعلَى اَ ِل َسيِّ ِدنَا ِإ ْب َر ِاه ْي ِم‬ َ ‫صلَّْي‬ ٍ ِ ٍ ِ
َ ‫ َك َما‬،‫ص ِّل َعلَى َسيِّدنَا ُم َح َّمد َو َعلَى اَ ِل َسيِّدناَ ُم َح َّمد‬ َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
‫ك‬َ َّ‫ت َعلَى َسيِّ ِدنَا ِإ ْب َر ِاه ْي ِم َو َعلَى اَ ِل َسيِّ ِدنَا ِإ ْب َر ِاه ْي ِم ِفى ال َْعال َِم ْي َن ِإن‬ َ ‫َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َو َعلَى اَ ِل َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َك َما بَ َار ْك‬
.‫َح ِم ْي ٌد َم ِج ْي ٌد‬

Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada junjungan kami Nabi Muhammad dan


keluarganya, sebagaimana Engkau memberi rahmat kepada junjungan kami Nabi
Ibrahim dan keluarganya. Limpahkanlah barakah kepada junjungan kami Nabi
Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau memberi barakah kepada junjungan
kami Nabi Ibrahim dan keluarganya. Di seluruh alam semesta, Engkaulah Yang Maha
Terpuji lagi Maha Mulia
Setelah membaca tasyahhud dan shalawat disunnatkan membaca doa berikut:
ِ ِ
‫ت‬
َ ْ‫ِّم َواَن‬ َ ْ‫ اَن‬.‫ت َأ ْعلَ ُم بِ ِه ِمنِّى‬
ُ ‫ت ال ُْم َقد‬ َ ْ‫ت َو َما اَن‬ُ ْ‫َأس َرف‬
ْ ‫ت َو َما‬ ُ ‫ت َو َما َأ ْعلَْن‬ ُ ‫َأس َر ْر‬
ْ ‫ت َو َما‬ ُ ‫ت َو َما َأخ َّْر‬ ْ ‫اَللَّ ُه َّم ا ْغف ْرلى َما قَد‬
ُ ‫َّم‬
‫ات َوِم ْن فِ ْتنَ ِة‬ ِ ‫اب النَّا ِر وِمن فِ ْتنَ ِة الْم ْحيا والْمم‬
ََ َ َ َ ْ َ ِ ‫اب الْ َق ْب ِر َوِم ْن َع َذ‬
ِ ‫ك ِم ْن َع َذ‬ َ ِ‫ اَللَّ ُه َّم ِإنِّى اَعُ ْوذُب‬.‫ت‬
َ ْ‫ِّر الَِإلَهَ َإالَّ اَن‬
ُ ‫ال ُْمَؤ خ‬
‫ت فَا ْغ ِف ْرلِى َمغْ ِف َرةً ِم ْن ِع ْن ِد َك‬ ِ ‫الذنُو‬
َ ْ‫ب االَّ اَن‬ ِ ِ
َ ْ ُّ ‫ت َن ْفسى ظُل ًْما َكث ْي ًرا َكبِْي ًرا َوالَ َيغْف ُر‬
ِ ُ ‫ال اَللَّه َّم ِإنِّى ظَلَم‬
ْ ُ ِ ‫َّج‬ َّ ‫ال َْم ِس ْي ِح الد‬
ِ َّ ‫ت الْغَ ُفور‬ ِ
‫ك‬َ ِ‫ت َق ْلبِى َعلَى ِديْن‬ْ ِّ‫ب َثب‬ ِ ‫ب الْ ُقلُ ْو‬
َ ِّ‫ يَا ُم َقل‬.‫الرح ْي ُم‬ ُ ْ َ ْ‫ك اَن‬ َ َّ‫َو ْار َح ْمنِى ان‬

Artinya: Ya Allah, ampunilah dosa yang telah aku kerjakan dan yang akan aku kerjakan,
dosa yang tersembunyi, yang terang-terangan, yang berlebihan dan dosa yang Engkau
lebih mengetahui daripada aku. Engkaulah Tuhan Yang Mendahulukan dan Yang
Mengakhirkan. Tiada Tuhan selain Engkau. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung
kepada-Mu dari segala siksa kubur dan neraka dan dari fitnahnya hidup dan mati serta
fitnah Dajjal. Ya Allah, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri dengan
penganiayaan yang banyak dan besar. Tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa
kecuali Engkau. Maka, ampunilah aku dengan pengampunan dari sisi-Mu dan
kasihanilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku diatas agama-Mu.

12. Membaca salam yang pertama. 


Paling sedikitnya salam adalah
‫السالَ ُم َعلَْي ُكم‬
َّ
satu kali. Sedangkan paling  sempurnanya salam adalah
ِ ُ‫السالَم َعلَْي ُكم ور ْحمة‬ 
‫اهلل‬ َ ََ ْ ُ َّ
dua kali.
13. Tartîb atau mengerjakan rukun-rukun shalat sesuai dengan urutannya.

Sunnat-sunnat Shalat
Sunnat-sunnat shalat ada dua macam: ada yang dilakukan sebelum shalat, adapula
yang dilakukan ketika shalat. Sunnat shalat yang dilakukan sebelum shalat adalah
18
adzân dan iqâmah. Sedangkan sunnat shalat yang dikerjakan saat shalat ada dua
macam, yaitu sunnat Ab‘âdh dan sunnat Hay’ât.
Sunnat-sunnat Ab‘âdh
1.Tasyahhud awal. 
2.Duduk untuk membaca tasyahhud awal. 
3.Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw setelah tasyahhud awal. 
4.Duduk untuk membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw. 
5.Membaca shalawat kepada keluarga Nabi Muhammad saw setelah tasyahhud akhir. 
6.Duduk untuk membaca shalawat kepada keluarga Nabi Muhammad saw. 
7.Membaca doa qunût di rakaat kedua shalat subuh dan di rakaat terakhir shalat witir
yang dilaksanakan pada setengah akhir bulan Ramadhan. 
8.Berdiri untuk membaca doa qunut. 
9.Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw setelah bacaan qunut 
10.Berdiri untuk membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw 
11.Membaca shalawat kepada keluarga Nabi Muhammad saw (setelah membaca
shalawat kepada Nabi Muhammad saw dalam qunut). 
12.Berdiri untuk membaca shalawat kepada keluarga Nabi Muhammad saw tersebut. 
13.Membaca shalawat kepada sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw 
14.Berdiri untuk membaca shalawat kepada sahabat Nabi Muhammad saw 
15.Mendoakan selamat terhadap Nabi Muhammad saw 
16.Berdiri untuk mendoakan selamat terhadap Nabi Muhammad saw 
17.Mendoakan selamat kepada keluarga Nabi Muhammad saw 
18.Berdiri untuk mendoakan selamat terhadap keluarga Nabi Muhammad saw. 
19.Mendoakan selamat terhadap sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw. 
20.Berdiri untuk mendoakan selamat terhadap sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw. 

Secara ringkas sunnat ab’adh ada 2 yaitu : Tasyahhud awal dan Qunut.
Qunût dilakukan setelah selesai membaca doa i'tidâl. Bacaan qunût bisa menggunakan
kalimat-kalimat yang mengandung doa dan tsanâ’ (pujian) kepada Allah SWT. Namun
yang lebih utama membaca bacaan qunût yang sudah masyhur, yaitu:

َ َّ‫ت فَِإ ن‬
‫ك‬ َ َ‫ت َوقِنِ ْى َش َّر َم ا ق‬
َ ‫ض ْي‬ َ ‫ت َوبَا ِر ْك لِى فِ ْي َم ا اَ ْعطَْي‬ َ ‫ت َوَت َولَّنِى فِ ْي َم ْن َت َولَّْي‬
َ ‫ت َو َع افِنِ ْى فِ ْي َم ْن َع ا َف ْي‬َ ْ‫اَللَّ ُه َّم ْاه ِدنِ ْى فِ ْي َم ْن َه َدي‬
‫ت‬
َ ‫ض ْي‬ َ َ‫ْح ْم ُد َعلَى َم ا ق‬ َ ‫ك ال‬ َ َ‫ت َفل‬ َ ‫ت َْر َّبنَ ا َوَت َع ال َْي‬
َ ‫ت َتبَ َار ْك‬
َ ْ‫ادي‬ َ ‫ت َوالَ يَِع ُّز َم ْن َع‬ َ ‫ك َوانَّهُ الَ يَ ِذ ُّل َم ْن َوال َْي‬ َ ‫ضى َعلَْي‬ َ ‫ضى َوالَ ُي ْق‬ ِ ‫ّت ْق‬
.‫ص ْحبِ ِه َوبَ َار َك َو َسلَّ َم‬ ِ ٍ ِ
َ ‫صلَّى اهللُ َعلَى َسيِّدنَا ُم َح َّمد النَّبِ ِّي اْالُِّم ِّى َو َعلَى َأِله َو‬ َ ‫ك َو‬ َ ‫ب ِإل َْي‬ ِ
ُ ‫اَ ْسَتغْف ُر َك َواَُت ْو‬
Artinya: “Ya Allah, berilah aku petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri
petunjuk. Berilah aku kesehatan sebagaimana orang yang telah Engkau beri kesehatan.
Berilah aku kekuasaan sebagaiamana orang yang telah Engkau beri kekuasaan. Berilah
aku keberkahan pada segala apa yang telah Engkau berikan. Lindungilah aku dari
keburukan sesuatu yang telah Engkau tetapkan. Karena, sesungguhnya Engkaulah

19
yang memberi ketetapan dan tak dapat diberi ketetapan. Sesungguhnya tidaklah akan
hina orang yang telah Engkau beri kekuasaan. Dan tidak akan mulia orang yang Engkau
musuhi. Kebajikan Engkau selalu bertambah Ya Tuhan kami, dan Engkau Maha Luhur.
Maka segala puji bagi-Mu atas sesuatu yang telah Engkau tetapkan. Aku mohon ampun
dan bertaubat kepada Engkau. Semoga Allah melimpahkan rahmat, barakah dan salam
kepada junjungan kami Nabi yang ummi dan segenap keluarga serta para sahabatnya.”
Di saat membaca qunût, sunnat mengangkat kedua tangan. Posisi telapak tangan lurus
bahu, dengan jari-jari lebih tinggi dari telapak tangan. Kedua tangan bisa dipisah atau
dikumpulkan, namun yang lebih utama adalah dikumpulkan.
Dalam shalat jamaah, seorang imam hendaknya mengganti dhamir mutakallim atau kata
“aku” (‫ اهدني‬dan bacaan lainnya) dalam bacaan doa qunut dengan dhamîr mutakallim
ma’a al-ghair atau kata “kita” (‫ اهدنا‬dan bacaan lainnya). Sedangkan makmum tidak usah
membaca qunût, melainkan mengamini qunût-nya imam. Baru ketika imam membaca :
 ‫ضى‬ ِ ‫ك َت ْق‬ َ َّ‫فَِإ ن‬ 
sampai pada kalimat:
َ ‫ب ِإل َْي‬
‫ك‬ ِ
ُ ‫اَ ْسَت ْغف ُر َك َواَُت ْو‬ 
makmum juga sunnat membacanya dengan suara pelan. Setelah membaca doa qunut
tidak disunnahkan mengusapkan tangan ke wajah.
Sunnat-sunnat ab’adh yang disebutkan di atas, apabila tidak dikerjakan maka sunnat
diganti dengan sujud sahwi. Yaitu sujud dua kali yang dilakukan setelah membaca doa
taysahhud akhir dan sebelum salam. Cara sujud sahwi sama dengan sujudnya shalat.
Sementara duduk di antara dua sujud sahwi sama dengan duduk di antara dua sujudnya
shalat dalam kewajiban dan kesunnatannya. Menurut sebagian pendapat, bacaan
sujudnya yaitu:

3× ‫ام َوالَ يَ ْس ُهو‬


ُ َ‫ُس ْب َحا َن َم ْن الََين‬
Artinya: Mahasuci Dzat yang tidak pernah tidur dan lupa.
Bacaan tersebut dibaca jika meninggalkan sunnat ab’adh dikarenakan lupa. Beda
halnya jika memang sengaja meninggalkan, maka sunnat membaca istighfâr.

Sunnat Hay’ât
Sunnat Hay’ât adalah sunnat-sunnat shalat yang jika ditinggalkan tidak sunnat diganti
dengan sujud sahwi. Adapun sunnat-sunnat tersebut selain yang telah disebutkan dalam
pembahasan rukun-rukun shalat di atas adalah sebagai berikut:
1.Mengangkat kedua tangan. Kesunnatan mengangkat kedua tangan adalah pada saat: 
a.Takbîratul ihrâm. Caranya: Mengangkat kedua tangan bersama dengan awal takbir
(hamzahnya Allah), dan meletakkan kedua tangan (bersedekap) dibersamakan dengan
ra’nya kata akbar. 

20
b.Ketika akan rukû’. Caranya: tangan diangkat bersamaan dengan awal takbir ketika
mushalli masih berdiri dan memanjangkan bacaan takbirnya hingga berakhir pada saat
mulai rukû’. 
c.Ketika akan i’tidâl bersamaan dengan membaca :
 ُ‫س ِم َع اهللُ لِ َم ْن َح ِم َده‬ 
َ
d.Ketika bangun dari tasyahhud awal.
2.Bersedekap. Yaitu dengan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dan
menggenggam pergelangan dan sebagian lengan tangan kiri dengan telapak tangan
kanan. Menurut Imam al-Ghazali dalam kitab Ihyâ’-nya, adalah memegang pergelangan
tangan kiri, tepat di persendian, dengan mempertemukan ibu jari dengan jari manis.
Sedangkan jari telunjuk dan jari tengah dibiarkan terlepas. Posisi tangan saat
bersedekap berada di atas pusar dan di bawah dada, agak condong ke kiri, tepat di
bagian anggota tubuh yang paling sempurna, yaitu hati.
3.Membaca doa iftitâh setelah takbîratul ihrâm baik dalam shalat fardhu maupun shalat
sunnat (selain shalat jenazah). Kesunnatan membaca doa iftitâh bisa gugur apabila
setelah takbir langsung memulai bacaan fâtihah atau membaca ta’awudh. Salah satu
bacaan doa iftitâh yang paling sering dipakai adalah sebagai berikut: 

‫ض َحنِْي ًف ا‬ ِ َّ ‫ت و ْج ِهي لِلَّ ِذي فَطَ ر‬ ‫ِ ِإ‬ ِ ِ ِ


َ ‫َألر‬
ْ ْ‫الس َم َوات َوا‬ َ ‫اهللُ َأ ْكَب ْر َكبِْي ًرا َوال‬
َ ْ َ َ ُ ‫ نِّ ْي َو َّج ْه‬.ً‫ْح ْم ُد ِهلل َكث ْي ًرا َو ُس ْب َحا َن اهلل بُ ْك َر ًة َوَأص ْيال‬
‫ت َوَأنَا ِم َن‬ُ ‫ك ُِأم ْر‬
َ ِ‫ك لَهُ َوبِ َذل‬
َ ْ‫ الَ َش ِري‬.‫ب ال َْعال َِم ْي َن‬ ِ ‫ ِإ َّن صالَتِي ونُس ِكي وم ْحياي ومماتِي‬.‫مسلِما وما َأنَا ِمن الْم ْش ِركِ ْين‬
ِّ ‫ِهلل َر‬ َََ َ َ ََ ْ ُ َ ْ َ َ ُ َ ََ ً ْ ُ
.‫ال ُْم ْسلِ ِم ْي َن‬

Artinya:Allah Maha Besar lagi sempurna kebesaran-Nya. Segala puji bagi Allah dengan
pujian yang banyak. Dan Maha Suci Allah sepanjang pagi dan sore. Aku hadapkan
wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi, (aku hadapkan) dalam
keadaan lurus dan pasrah. Dan aku bukanlah dari golongan orang-orang yang
menyekutukan Allah. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku semata-mata
hanya untuk Allah, Tuhan sekalian alam, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan dengan itulah
aku diperintahkan dan aku dari golongan orang muslimin.
Atau dengan membaca bacaan berikut:
ِ ِ ِ ‫ت َب ْي َن ال َْم ْش ِر ِق َوال َْم ْغ ِر‬ ِ ِ
‫ض‬
ُ َ‫اَألبي‬
ْ ‫ب‬ ُ ‫ اللَّ ُه َّم َن ِّقنى م َن الْ َخطَايَا َك َم ا ُيَن َّقى الث َّْو‬، ‫ب‬ َ ‫اع ْد‬ َ َ‫اللَّ ُه َّم بَاع ْد َب ْينى َو َب ْي َن َخطَاي‬
َ َ‫اى َك َم ا ب‬
‫ْج َوالَْب َر ِد‬
ِ ‫الثل‬َّ ‫اى بِال َْم ِاء َو‬ ِ
َ َ‫ اللَّ ُه َّم ا ْغس ْل َخطَاي‬، ‫س‬ َّ ‫ِم َن‬
ِ َ‫الدن‬

Artinya: Ya Allah jauhkanlah antara diriku dan kesalahanku, sebagaimana Engkau


jauhkan antara arah barat dan timur. Ya Allah bersihkanlah diriku dari kesalahanku
sebagaimana baju dibersihkan dari kotoran. Ya Allah sucikanlah kesalahanku dengan
air, embun dan air yang sejuk.
4.Membaca ta’awwudz (meminta perlindungan kepada Allah) sebelum membaca
Fâtihah.
21
5.Membaca “amîn” setelah Fâtihah. Sebelum membaca “amîn” bagi orang yang
membaca surat Fâtihah sunnat membaca doa.
َّ ‫ب ا ْغ ِف ْرلِى َولَِوالِ َد‬
‫ي َولِ َج ِم ْي ِع ال ُْم ْسلِ ِم ْي َن‬ ِّ ‫َر‬

Menurut Imam Ibn Hajar, kesunnatan membaca “âmîn”  bisa gugur disebabkan diam
yang cukup lama setelah membaca Fâtihah. Dalam shalat jahriyah (shalat berjamaah
yang imamnya disunnatkan untuk mengeraskan suara seperti shalat maghrib dan isya),
bacaan âmîn-nya makmum sunnat bersamaan dengan bacaan âmîn-nya Imam, sebab
âmîn-nya imam bersamaan dengan âmîn para malaikat. Hal ini, jika makmum
mendengar bacaan Fâtihah imamnya. Seumpama bacaan Fâtihah makmum selesai
bersamaan dengan bacaan imamnya, maka dia cukup membaca âmîn satu kali saja.
6.Mengeraskan bacaan Fâtihah dan surat di rakaat pertama dan kedua dalam shalat
jahriyah, yaitu Magrib, Isya’, Subuh, Jumat, shalat Id, Tarawih, Witir di bulan Ramadhan,
Gerhana Bulan, Istisqa’/minta hujan(baik malam atau siang) dan dua rakaat thawaf. Dan
memelankan bacaan Fâtihah dan surat di selain rakaat dan shalat-shalat tersebut. 
7.Membaca satu surat al-Qur’an setelah Fâtihah pada rakaat pertama dan kedua.
Kesunnatan membaca surat ini bisa dihasilkan dengan hanya membaca satu ayat
asalkan satu ayat tersebut sudah membentuk satu pengertian yang sempurna. Akan
tetapi lebih baik membaca satu surat al-Qur’an dengan sempurna, walaupun surat itu
pendek seperti surat al-Kautsar. Dan juga disunnatkan surat yang dibaca di rakaat
pertama lebih panjang daripada surat yang dibaca di rakaat yang kedua kecuali dalam
shalat-shalat tertentu yang terdapat anjuran (masyru’) memanjangkan rakaat yang
kedua seperti shalat Jum’at. 
Makmum tidak disunnatkan membaca surat dalam shalat jahriyah. Pada saat imam
membaca surat, makmum sunnat mendengarkannya. Makruh bagi makmum membaca
surat pada saat imam membaca surat dalam shalat jahriyah, bahkan ada pendapat yang
menyatakan haram. Namun hal itu, bila makmum mendengar bacaan imam. Jika tidak
mendengar seperti tuli atau jaraknya jauh, maka menurut pendapat yang ashah (lebih
benar) tetap disunnatkan membaca surat.
8.Takbir intiqâl (takbir perpindahan dari satu rukun kepada rukun yang lain). Yaitu: 1)
ketika turun untuk rukû‘; 2) turun untuk sujud; 3) bangun dari sujud untuk duduk di antara
dua sujud atau untuk duduk tahiyat awal dan tahiyat akhîr. 
Bagi imam, sunnat mengeraskan takbirnya.Permulaan takbir disunnatkan bersamaan
dengan awal turun dan naiknya tubuh. Pemanjangan takbir dilakukan dengan
memanjangkan lâm-nya lafal Allâh asal tidak melebihi tujuh alif. Satu alif adalah dua
harakat.
Takbir juga disunnatkan pada saat akan duduk istirahat. Saat duduk istirahat takbir bisa
dipanjangkan lebih dari tujuh alif. Namun Imam al-Ghazali menjelaskan, hendaknya
takbirnya dituntaskan sebelum tubuh tegak berdiri (di tengah-tengah berdirinya). Untuk
22
gerakan selebihnya diisi dengan bacaan dzikir sampai berdiri tegak dan bersedekap
kembali. Hal itu, agar di dalam shalatnya tidak terjadi kekosongan dari dzikir.
9.Membaca tasbîh tiga kali ketika sujud dan rukû’. 
10. Setelah membaca tasbîh saat ruku’ dilanjutkan dengan membaca doa: 
ِ ِ َ ‫ت َخ َش ع ل‬
َ ‫ص ِري َو ُمخِّي َوعظَ ِمي َو َع‬
‫ص بِ ْي َو َش ْع ِر ْي َوبَ َش ِر ْي َو َم ا‬ َ َ‫َك َس ْمع ْي َوب‬ َ ُ ‫َأس لَ ْم‬
ْ ‫َك‬ َ ‫ت َول‬ َ ِ‫ت َوب‬
ُ ‫ك ََأم ْن‬ َ ‫اَللَّ ُه َّم ل‬
ُ ‫َك َر َك ْع‬
.‫ب اْ َلعال َِم ْي َن‬ ِ   ‫ت بِ ِه قَ َدِمي‬
ِّ ‫ِهلل َر‬ ْ َ‫اسَت َقل‬
ْ

Artinya:Ya Allah kepada-Mu aku rukû‘, kepada-Mu aku percaya, dan kepada-Mu aku
pasrah. Tunduk pada-Mu pendengaranku, penglihatanku, sumsumku, tulangku, urat
sarafku, rambutku, kulitku. Juga sesuatu yang  menjadi beban semua jasadku. Kepada
Allah Tuhan alam semesta. 
11. Ketika sujud setelah membaca tasbîh tiga kali, membaca doa: 

‫ك َوبِ َع ْف ِو َك ِم ْن‬
َ ‫اك ِم ْن َس َخ ِط‬
َ ‫ض‬ ِ ‫اَللَّه َّم ا ْغ ِف ر لِى َذنْبِى ُكلَّه ِدقَّه وجلَّه و ََّأولَ ه و‬
َ ‫َأخ َرهُ َو َعالَنِيَتَ هُ َو ِس َّرهُ الَلَّ ُه َّم ِإنِّى َأعُ ْوذُ بِ ِر‬ َُ َُ َُُ ُ ْ ُ
َ ‫ت َعلَى َن ْف ِس‬
.‫ك‬ َ ‫ت َك َما َأْثَن ْي‬ َ ْ‫ك َأن‬
َ ‫اء َعلَْي‬
ً َ‫صى َثن‬
َ ‫َأح‬
ْ َ‫ ال‬.‫ك‬ َ ‫ك ِم ْن‬ ُ ِ‫عُ ُق ْوبَت‬
َ ِ‫ك َوَأعُ ْوذُ ب‬

Artinya: Ya Allah ampunilah dosaku seluruhnya, yang kecil dan yang besar, yang
pertama dan yang terakhir, yang tampak dan yang tersembunyi. Ya Allah, dengan ridha-
Mu aku berlindung dari murka-Mu; dengan ampunan-Mu aku berlindung dari siksa-Mu;
dengan-Mu aku berlindung dari-Mu. Puji untuk-Mu tak berbatas. Engkau adalah
sebagaimana yang Engkau pujikan terhadap Engkau Sendiri.
12. Meletakkan kedua telapak tangan pada lutut saat rukû’. 
13. Mengangkat jari telunjuk tangan kanan saat membaca lafal Illâllâh dalam syahadat
ketika membaca doa tasyahhud dan membiarkan terangkat hingga tuntas bacaan
tasyahhud awal-nya dan hingga salam dalam tasyahhud akhir. Posisi jari telunjuk
terangkat tidak terlalu lurus dan dihadapkan ke arah kiblat.Dan sejak awal duduk
tasyahhud tangan kanannya sudah menggenggam seluruh jari-jari selain telunjuk. 
14. Mengarahkan pandangan mata ke tempat sujud, kecuali ketika mengangkat jari
telunjuk dalam tasyahhud, maka pandangan dialihkan ke jari telunjuk. 
15. Menfokuskan pandangan mata pada jari telunjuk yang sedang terangkat hingga
akhir bacaan tasyahhud awalnya atau hingga salam dalam tasyahud akhir. 
16. Duduk iftirâsy dalam setiap duduk selain tahiyat akhîr. Yaitu: 1) duduk di antara dua
sujud; 2) tahiyat awal; 3) duduk istirahat; 4) duduk tahiyat akhir yang diiringi sujud sahwi.
Duduk iftirâsy adalah duduk di atas mata kaki kiri, sedangkan telapak kaki kanan
ditegakkan, dan sebagaian ujung jari-jari kaki ditekuk dihadapkan ke arah kiblat. 
17. Duduk tawarruk ketika duduk tasyahhud akhîr. 

23
18. Mengucapkan salam yang kedua dan memisah (memberi jarak waktu) antara salam
kedua dengan salam pertama. Lamanya kira-kira kadar waktu bacaan subhânallâh. 
19. Duduk istirahat setelah sujud kedua di rakaat pertama dan ketiga (ketika akan berdiri
untuk rakaat kedua dan keempat). Duduk istirahat tidak disunnatkan: 1) ketika bangun
dari sujud tilâwah; 2) bagi orang yang shalat duduk; 3) di rakaat ke empat dan di rakaat
yang kedua jika ingin mengerjakan tasyahhud awal. Tapi kalau tidak mengerjakan
tasyahud awal, maka  tetap sunnat duduk istirahat. Duduk istirahat lebih utama
dilakukan dalam waktu sebentar, menurut Imam Ibn Hajar, lamanya tidak melebihi
duduk di antara dua sujud. Lebih baik lagi, lamanya tidak melebihi  thuma’nînah.
20. Menoleh ke kanan dan ke kiri saat salam. Menoleh ke arah kanan bersamaan
dengan kalimat warahmatullâh. Ukurannya, sekiranya pipi kanannya terlihat oleh orang
yang ada di belakangnya. Lalu,wajah menghadap kiblat kembali dan membaca salam
kedua. Kemudian menoleh ke kiri bersamaan dengan kalimat warahmatullâh yang
sekiranya pipi kirinya terlihat oleh orang yang ada dibelakangnya.
Hal-hal yang Membatalkan Shalat
Shalat bisa batal disebabkan beberapa hal:
1. Hadas, baik besar maupun kecil.
2. Mengucapkan kata-kata sampai dua huruf walaupun tidak bisa dipahami (tidak
memiliki makna), atau satu huruf namun bisa dipaham.
3. Terbukanya aurat. Apabila auratnya terbuka disebabkan angin, maka harus ditutup
dengan seketika. Jika dibiarkan terbuka maka shalatnya batal.
4. Terkena najis.
5. Menelan makanan atau air walaupun sedikit.
6. Tertawa terbahak-bahak, atau menangis sesegukan sampai mengeluarkan suara dua
huruf walaupun menangisnya karena takut kepada Allah.Sedang menurut Muqaabil
pendapat yang shahih tidak membatalkan karena tangisan tidak tergolong pembicaraan
serta tidak dapat difahami, tangisan hanyalah serupa dengan suara murni. ( Nihayah
almuhtaaaj II/34, Hasyiyah Qolyubi I/187, Mughni alMuhtaaj I/195).
7. Mengubah niat dari fardhu ke sunnat. Kecuali ketika menemukan shalat jamaah dan
berkeyakinan dirinya tidak akan ketinggalan. Maka, dia diperboleh merubah shalatnya
menjadi shalat sunnat lalu mengikuti shalat jamaah.
8. Niat menghentikan shalat atau bermaksud menghentikan shalat.
9. Mendahului dua rukun dari imam secara berturutan.
10. Ragu-ragu untuk memutuskan shalat.
11. Ragu-ragu dalam niat.
12. Terlambat dua rukun dari imam secara berurutan dengan sengaja atau tiga rukun
karena ada udzur.

24
13. Bergerak tiga kali berturut-turut selain gerakan shalat. Gerakan yang dilakukan
dengan tujuan main-main sekalipun sedikit (tidak berturut-turut) juga dapat membatalkan
pada shalat.
14. Menambah atau mengulang-ulangi rukun fi’li (rukun shalat yang berupa gerakan),
kecuali jika mengikuti gerakan imam dalam shalat jamaah.
Imam Ibnu Hajar menganggap batal bila ada orang yang tasyahhud akhir dengan duduk
iftirasy lalu ketika mengubah posisi duduknya (untuk memperoleh kesunnatan) menjadi
duduk tawarruk, ia menjongkokkan badan sehingga dahi melurusi depan lutut. Hal ini
dianggap menambah rukun, karena jongkokan itu menyamai rukû’-nya orang yang
melaksanakan shalat dengan cara duduk. Namun menurut Imam Ramli, tidak batal jika
tidak disertai niatan menambah rukun.
15. Murtad, atau keluar dari Islam.
16. Meninggalkan satu rukun dengan sengaja. Apabila meninggalkan satu rukun karena
lupa, maka tidak membatalkan shalat. Dan jika ingat bahwa dirinya meninggalkan salah
satu rukun shalat, maka dia harus kembali lagi untuk mengerjakan rukun yang
ditinggalkannya. Hal itu jika dia ingat sebelum mengerjakan rukun yang sama.
Jika ingatnya terjadi pada waktu mengerjakan rukun yang sama dengan rukun yang
ditinggalkan —semisal lupa meninggalkan ruku’ dan ingat pada waktu mengerjakan
ruku’ di rakaat selanjutnya— maka dia tidak perlu kembali, namun harus menambah
satu rakaat, karena rakaatnya tidak dianggap (tidak dihitung).
17. Bermakmum pada orang yang tidak sah jadi imam.
18. Berpaling dari arah Kiblat dengan dada.
19. Memperlama rukun-rukun pendek. Termasuk rukun pendek adalah i’tidal dan duduk
di antara dua sujud menurut pendapat Ashah.

Makruh-makruh Shalat
1.Shalat dalam keadaan menahan hadas seperti menahan kentut dan kencing, karena
dapat mengganggu pada kekhusyu’an. 
2.Memejamkan mata. Kecuali jika dapat menambah khusyu’. 
3.Mengarahkan pandangan pada selain tempat sujud. 
4.Menoleh dengan wajah. Kalau menoleh menyebabkan dadanya ikut berpaling dari
kiblat maka shalatnya batal 
5.Shalat dengan kepala terbuka. 
6.Berkacak pinggang 
7.Shalat ketika mengantuk. 
8.Shalat di saat lapar. 
9.Shalat di pinggir makanan yang  menarik selera. 
10.Melakukan sesuatu yang dapat menghilangkan kekhusyuan. 
11.Meletakkan kedua tangan pada lengan ketika takbîrat al-ihrâm dan sujud. 
12.Mengeraskan suara pada saat disunnatkan untuk bersuara pelan. 
13.Mengeraskan bacaan di belakang imam. Kecuali untuk membaca amîn setelah
Fâtihahnya imam dan dan di sela-sela bacaan qunutnya imam. 

25
14.Memberi isyarat yang bisa dimengerti oleh orang lain, seperti isyarat dengan mata,
alis atau bibir, tanpa ada hajat dan tidak bertujuan main-main.  Sebenarnya, isyarat
dengan alis atau bibir masih menjadi perdebatan di kalangan ulama fikih. Bahkan ada
yang mengatakan batal. baik bertujuan main-main atau tidak.
15.Selalu menempati satu tempat saja, kecuali bagi imam di mihrab. 
16.Menyingsingkan lengan baju. 
17.Membentangkan kedua tangan ketika sujud, seperti hewan buas yang mengendap-
endap hendak menerkam buruan. 
18.Mengerjakan shalat dengan cepat karena dapat menghilangkan kekhusyu’an. 
19.Meninggalkan bacaan-bacaan yang disunnatkan. 
Waktu Diam (Saktah) dalam Shalat.
Ada beberapa tempat yang disunnatkan diam dalam shalat, yaitu:
1.Diam sebentar antara takbîr dan membaca doa iftitâh. 
2.Diam sebentar setelah membaca iftitâh dan akan membaca Fâtihah. 
3.Diam cukup panjang bagi imam setelah membaca Fâtihah sebelum membaca surat.
Hal ini untuk memberi kesempatan bagi makmum agar leluasa membaca Fâtihah. Ketika
ini imam disunnatkan membaca satu surat dari al-Quran dengan pelan. Adapun surat
yang dibaca sunnat berurutan dengan surat selanjutnya yang dibaca dengan suara
keras.
4.Diam sebentar setelah membaca surat dan akan rukû‘. 

Perbedaan antara Laki-laki dan Perempuan


Ada empat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam bentuk dan sifat
shalatnya :
Pertama, ketika rukû’.
Laki-laki: kedua siku direnggangkan dari lambung, perut diangkat dari paha, kedua lutut
dan telapak kaki dipisah kira-kira satu jengkal.
Perempuan: kedua siku dipertemukan dengan lambung; sebagian perut dipertemukan
dengan sebagian paha sementara kedua lutut dan kedua telapak kakinya dirapatkan.
Kedua, suara bacaan.
Laki-laki: sunnat mengeraskan suara dalam shalat yang disunnatkan bersuara keras.
Perempuan: harus dengan suara pelan ketika shalat di dekat laki-laki yang bukan
mahramnya. Kalau shalat sendirian (Tidak ada laki-laki lain yang bukan mahram) boleh
mengeraskan suara.
Ketiga, ketika terjadi sesuatu dalam shalat, seperti mengingatkan imam yang lupa,
memberi izin pada orang yang meminta izin masuk ke rumahnya atau memperingati
orang buta yang akan terjadi bahaya.
Laki-laki: memberitahu dengan cara membaca tasbîh : subhanallah. Membaca tasbîh
ini harus dengan bertujuan dzikir atau bertujuan dzikir disertai tujuan memberi tahu, atau
26
tidak berniat apa-apa. Sebab, bila tujuannya hanya untuk menegur imam, shalatnya bisa
batal.
Perempuan: memberitahunya dengan cara menepukkan telapak tangan kanan ke
punggung tangan kiri. Jika yang ditepukkan adalah telapak tangan kanan ke telapak
tangan kiri dengan tujuan main-main, dan tahu akan keharamannya, maka shalatnya
batal.
Keempat, mengenai aurat yang harus ditutupi pada saat shalat.
Laki-laki: bagian tubuh antara pusar dan lutut termasuk aurat,wajib menutupi sebagian
pusar dan lututnya agar yakin bahwa semua auratnya tertutup.
Perempuan: seluruh badannya harus tertutup kecuali wajah dan kedua telapak tangan.
Hal ini bila di waktu mengerjakan shalat. Adapun di luar shalat, maka wajib menutupi
seluruh badan.

Shalat Jamaah

Shalat berjamaah adalah simbol keutuhan umat Islam. Sekat perbedaan hilang
digantikan persatuan dan persaudaraan sesama Muslim. Tidak heran jika shalat yang
dikerjakan dengan berjamaah mempunyai pahala yang jauh lebih besar dibanding shalat
sendirian. Rasulullah saw bersabda:

ً‫صالَ ِة الْ َف ّذ بِ َس ْب ٍع َو ِع ْش ِريْ َن َد َر َجة‬ ِ َ ْ‫صالَةُ الْجماع ِة َأف‬


َ ‫ض ُل م ْن‬ َ ََ َ
Artinya: Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan selisih 27
derajat. (HR. al-Bukhari)
Shalat jamaah bisa didirikan paling sedikit oleh dua orang:  seorang imam dan seorang
makmum. Hukum melakukan shalat berjamaah dalam shalat lima waktu adalah fardhu
kifâyah bagi orang Muslim laki-laki, mukim, merdeka dan tidak ada udzur. Dengan
demikian jika dalam satu desa tidak ada yang mengerjakan shalat berjamaah sama
sekali, maka semua penduduk desa tersebut berdosa.
Seseorang masih dianggap mengikuti jamaah selagi imamnya masih belum melafalkan
mîm-nya lafal: ‫علَْي ُك ْم‬ dalam
َ salam pertama, meskipun makmum tidak sempat duduk
bersama duduk tasyahud-nya imam.
Syarat Sahnya Shalat Jamaah
1. Makmum berniat jadi makmum atau berniat berjamaah (mengikuti imam). Sedangkan
imam hanya disunnatkan berniat jadi imam agar bisa memperoleh pahala jamaah.
Niat berjamaah dilakukan pada saat takbîratul ihrâm. Jika niat berjamaah dilakukan di
pertengahan shalat maka hukumnya makruh dan tidak memperoleh fadhilahnya
berjamaah. Keabsahan melakukan niat berjamaah di tengah-tengah shalat itu berlaku

27
untuk selain shalat Jum’at. Sebab, shalat Jum’at wajib dikerjakan berjamaah. Imam dan
makmum Jum'at wajib niat berjamaah bersamaan dengan takbîratul ihrâm.
2. Tahu terhadap perpindahan rukun yang dilakukan imam, bisa dengan melihat
imamnya, mendengar suaranya, mendengar suara orang yang menyampaikan takbîr
intiqâl-nya imam (muballigh), atau melihat sebagian dari makmum.
3. Makmum harus menyesuaikan dengan imamnya dalam melakukan atau
meninggalkan sunnat-sunnat shalat yang jika tidak menyamai imamnya akan
menyebabkan terjadinya perbedaan yang mencolok antara gerakan imam dan makmum.
Misalnya, jika imam melakukan atau meninggalkan sujud tilâwah, maka makmum harus
mengikuti imam.

4. Posisi makmum tidak boleh berada di depan imam. Boleh lurus dengan imam akan
tetapi hukumnya makruh dan menghilangkan fadhilah jamaah. Patokan posisi pada saat
berdiri adalah tumit kaki,  bukan ujung jari-jari.Jadi, tumit kaki makmum tidak boleh
berada di depan tumit kaki imam.
5. Makmum tidak boleh mendahului imam atau terlambat dari imam dalam dua rukun fi'li
(rukun yang berbentuk gerakan bukan ucapan)yang panjang secara berurutan.
Sedangkan bersamaan dengan imam hukumnya ada lima:
a. Haram dan dapat membatalkan shalat, yaitu bersamaan dengan imam dalam
takbîratul ihrâm.
b. Sunnat. Yaitu membaca âmîn setelah Fâtihahnya imam.
c. Makruh dan dapat menghilangkan keutamaan jamaah jika dilakukan dengan sengaja,
yaitu bersamaan dengan imam dalam melakukan rukun-rukun fi’li dan salam.
d. Wajib, yaitu jika makmum tahu bahwa kalau tidak membaca Fâtihah bersama imam,
maka ia akan tertinggal dua atau tiga rukun dari imam yang menyebabkan batalnya
shalat.
e. Mubah (boleh). Yaitu di selain hal-hal di atas.
6. Antara imam dan makmum harus cocok dalam susunan atau bentuk shalatnya. Maka
dari itu, tidak sah melakukan shalat lima waktu dikerjakan berjamaah dengan orang
yang shalat khusuf (gerhana) atau jenazah, karena bentuk shalatnya tidak sama.
7.  Imam dan makmum harus berkumpul dalam satu tempat. Mengenai hal ini masih ada
beberapa peninjauan:
Pertama, bila imam dan makmum sama-sama di dalam masjid, maka makmum boleh
mengikuti imam sekalipun jarak antara makmum dan imamnya lebih dari 300 hasta
(183,6 meter) asalkan 1) makmum tahu pada perpindahan rukun imam, 2) tidak ada
penghalang yang membuat makmum tidak bisa sampai kepada imam jika misalnya
makmum berjalan. Maksudnya, antara makmum dan imam ada jalan (ruang) tembus
sekalipun dengan cara berpaling (mundur).

28
Kedua, bila imamnya di masjid sedangkan makmum berada di luar masjid, maka: 1)
jarak antara ujung masjid dengan tempat itu tidak boleh melebihi 300 hasta (183, 6
meter) jika barisan shaf jamaah tidak bersambung hingga tempat tersebut; 2) makmum
harus tahu perpindahan rukun imam; 3) tidak ada penghalang antara keduanya (harus
ada jalan tembus yang menghubungkan makmum dan imam, walaupun dengan cara
menyamping). Dalam persoalan kedua ini jalan tembus tidak bisa dengan cara berpaling
(mundur).
Ketiga, bila jamaah dilakukan di tempat lapang atau di dalam bangunan yang bukan
masjid, maka syaratnya: 1) jarak antara imam dan makmum tidak boleh lebih dari 300
hasta. 2) makmum harus mengetahui perpindahan rukun imamnya. 3) tidak ada
penghalang antara keduanya (harus ada jalan tembus yang menghubungkan makmum
dan imam, walaupun dengan cara menyamping). Dalam persoalan ketiga ini, juga jalan
tembus tidak bisa dengan cara mundur.
8. Memiliki keyakinan bahwa shalat imamnya sah. Maka, makmum yang bermadzhab
Syafii tidak sah bermakmum pada orang yang bermadzhab Maliki yang melarang
membaca Basmalah di awal Fâtihah, jika makmum yakin bahwa imamnya tidak
membaca Basmalah ketika membaca Fâtihah. Menurut pendapat Imam Qoffal
memandang pada keyakinan Imam, sehingga apabila menurut keyakinannya (dalam
madzhab imam) sah maka sah juga bagi makmum untuk bermakmum dengannya
secara mutlak.
9. Tidak boleh bermakmum pada perempuan jika makmumnya laki-laki.
10. Tidak boleh bermakmum kepada orang yang sedang menjadi makmum .

Sunnat-sunnat bagi imam :


1.Mengerjakan kewajiban dan kesunnatan seringan mungkin. Ini bukan berarti sunnat
memilih yang tidak sempurna, akan tetapi sunnat tidak melebihi kesempurnaan yang
telah ditetapkan, semisal membaca tasbîh tiga kali saja. Hal ini karena kondisi makmum
bermacam-macam. Bisa jadi di antara mereka ada yang sudah tua atau terburu-buru
disebabkan ada urusan. 
2.Mengeraskan suaranya di setiap takbir baik takbîratul ihrâm atau takbir intiqâl
(perpindahan rukun). 
3.Memanjangkan shalatnya di rakaat pertama. Ini berlaku ketika pada awalnya ia shalat
sendirian, lalu berfirasat bahwa akan ada orang yang akan bermakmum pada dirinya. 
4.Sebelum takbir memerintah makmum agar meluruskan shafnya. 
5.Memperlama rukû‘ dalam rakaat terakhir. Hal ini bertujuan untuk memberikan
kesempatan pada makmum yang baru datang (masbûq) agar memperoleh hitungan
rakaat. 
makruh menjadi imam bagi orang-orang yang kebanyakan dari mereka tidak
menyukainya karena alasan syariat, semisal penguasa yang tidak disukai karena
kedzalimannya atau orang yang tidak disukai karena tidak menjaga diri dari najis.
Sunnat-sunnat bagi makmum :

29
1.Meratakan shaf atau barisan. Makruh hukumnya shalat di belakang shaf yang belum
penuh.
Sedangkan tatanan shaf yang baik adalah :
Pertama, jika makmumnya satu orang dan laki-laki maka berdiri di sebelah kanan
imam, agak mundur sekiranya jari-jari kaki sedikit berada di belakang tumit imam (tidak
sampai lebih dari 3 hasta). Jika ada makmum lain datang, maka makmum ini berdiri di
sebelah kiri imam lurus dengan makmum yang pertama, lalu setelah takbir, kedua
makmum mundur dan merapatkan barisan ke belakang imam, atau imamnya maju.
Akan tetapi lebih baik makmum mundur daripada imam maju.
Kedua, jika makmumnya dua orang atau lebih, maka langsung merapatkan barisan di
belakang imam.
Ketiga, jika makmumnya perempuan dan imamnya laki-laki maka berdiri di belakang
imam.
Keempat, jika shaf pertama sudah sempurna, maka makmum yang baru datang dapat
membuat shaf kedua. Jika ia hanya sendirian, maka agar mendapatkan kesempurnaan
jamaah, ia harus mencari teman dalam shaf dengan cara menarik seorang jamaah di
depannya. Penarikan itu dilakukan setelah ia takbir. Hal itu jika dia memiliki praduga
kuat bahwa orang yang akan ditariknya mau.
2. Dalam perpindahan rukun, makmum mulai bergerak pada saat imam sudah sempurna
dalam pekerjaan rukunnya. Dalam sujud makmum mulai bergerak ketika imam sudah
meletakkan dahinya ke tempat sujud. Dalam rukû‘ makmum baru bergerak ketika imam
sudah meluruskan badannya. Dalam duduk, makmum baru bergerak setelah tegaknya
imam. Ketika salam makmum baru salam ketika imam selesai melakukan salam yang
kedua. 
3. Makmum masbûq  tetap disunnatkan membaca bacaan imam, ketika ia ikut dalam
rukun itu. Misalnya seseorang ikut pada imam di saat tasyahhud,  maka selain ikut
tasyahhud ia juga sunnat membaca doa tasyahhud yang disyariatkan.
4. Makmum mengangkat kedua tangan saat bangun dari tasyahhud awal, walaupun bagi
makmum pada saat itu bukan waktu tasyahhud, seperti halnya jika makmum baru ikut di
rakaat kedua imam.
5.Berdiri setelah selesai iqamah.
Makruh-makruh dalam Shalat Jamaah :
1.Makmum berdiri sejajar dengan imam, atau berada di belakang imam melebihi dari
tiga hasta. 
2.Sendirian dalam shaf, atau berdiri di shaf belakang padahal shaf di depannya belum
penuh. 
3.Shalat di atas imam atau sebaliknya: imam di lantai dasar sedangkan makmum di
lantai atas, atau sebaliknya. Hal ini apabila masih bisa shalat di tempat yang datar (tidak
bertingkat). 

30
4.Orang baligh bermakmum kepada anak kecil yang sudah pintar. Kalau belum pintar
maka tidak sah. 
5.Orang yang adil bermakmum kepada imam yang fasik. 
6.Orang fasih bermakmum kepada orang yang mengucapkan kata-kata dengan
mengulang huruf seperti mengulang-ngulang wau atau fâ’ (seperti bicaranya orang
gagap). 
7.Orang fasih bermakmum kepada orang lahn (bacaannya tidak tepat) yang tidak
merusak makna. Apabila sampai merusak makna dan tidak mau berusaha untuk
memperbaiki bacaannya, maka tidak sah bermakmum kepadanya. 
8.Bersamaan dengan imam dalam mengerjakan rukun, baik berupa rukun fi’li atau qauli.
Untuk yang qauli adalah seperti membaca Fâtihah: pada saat imam membaca Fâtihah
makmum sunnat mendengarkannya (tidak membaca sendiri). Hal itu apabila makmum
yakin bisa menyusuli rukû‘ bersama imam. Bedahalnya jika imam membaca Fâtihah dan
surat dengan cepat, jika makmum tidak membaca bersama dikhawatirkan terlambat dari
imam, maka  makmum tidak makruh membaca Fâtihah bersama imam

Makmum Masbûq dan Muwâfiq


a. Makmum Masbûq
Makmum masbûq adalah makmum yang setelah  takbiratul ihram tidak  memiliki  waktu
yang cukup untuk membaca Fâtihah (dengan bacaan sedang; tidak terlalu cepat dan
tidak terlalu pelan) bersama imam baik di rakaat pertama atau lainnya.Seperti makmum
yang melakukan takbîratul ihrâm sementara imamnya sedang ruku’ atau hampir
melakukan ruku’ (begitu dia tuntas dari takbirnya, imamnya melakukan ruku’).
Makmum yang sedemikian rupa, baginya, tidak berkewajiban bahkan tidak disunnatkan
membaca Fâtihah. Sebab, bacaan Fâtihahnya gugur sebab ditanggung oleh imamnya.
Makmum harus langsung melakukan ruku’ bersama imam untuk memperoleh rakaat.
Jika makmum tersebut sempat thuma’nînah saat melakukan ruku’ bersama imam, maka
dia memperoleh hitungan rakaat. Beda halnya jika dia terlambat melakukan ruku’
sehingga belum sempat thuma’nînah bersama imam dalam ruku’, ternyata imamnya
sudah berdiri melakukan i’tidal, maka tidak mendapat hitungan raka’at.
Termasuk makmum masbûq, orang yang tidak memiliki waktu yang cukup untuk
menuntaskan bacaan Fâtihahnya. Seperti makmum yang baru memulai shalatnya pada
saat imam hampir menyelesaikan bacaan surat atau Fâtihahnya. Makmum yang
sedemikian wajib langsung memulai bacaan Fâtihahnya. Jika di pertengahan membaca
Fâtihah ternyata imamnya melakukan ruku’, maka dia harus langsung melakukan ruku’
bersama imamnya, tanpa menuntaskan bacaan Fâtihahnya. Jika makmum tersebut
sempat thuma’nînah bersama imam dalam melakukan ruku’, maka dia memperoleh
hitungan rakaat.
Jika makmum yang masbûq tidak ikut melakukan ruku’ bersama imamnya sehingga
imamnya berdiri melakukan i’tidal, maka dia tidak boleh melakukan ruku’, melainkan

31
harus menyesuaikan diri dengan imam dalam rukun yang dilakukan oleh imamnya yaitu
i’tidal. Dan, apabila dia tidak mengikuti imam sujud, maka shalatnya batal. Sebab,
makmum tersebut tertinggal dua rukun fi’li. Ketertinggalan dua rukun tersebut dapat
membatalkan shalatnya jika makmum tersebut tidak berniat mufâraqah (pisah dari
imam).
Makmum masbûq yang membaca bacaan sunnat sebelum membaca Fâtihah, semisal
membaca doa iftitâh, atau taawwudz. Jika dia menduga dirinya dapat melakukan ruku’
bersama imam, ternyata dugaannya tidak tepat, maka dia tidak boleh ikut ruku’ bersama
imam dan wajib membaca Fâtihah sekedar bacaan sunnat (iftitâh atau taawwudz) yang
dibacanya. Lalu jika sudah selesai membaca Fâtihah sekedar bacaan sunnat yang
dibacanya, dia bisa ruku’ bersama imam. Jika ruku’nya itu dilakukan secara thuma’nînah
bersama ruku’nya imam, maka ia mendapat hitungan rakaat. Jika tidak thuma’nînah
bersama ruku’nya imam, maka dia tidak mendapatkan hitungan rakaat dan harus
menambah rakaat setelah imamnya salam.
Namun, bila ternyata imamnya bangun dari ruku’, sedangkan dia masih belum
menyelesaikan bacaannya yang harus dibaca, maka dia tidak boleh melanjutkan urutan
rukun shalatnya (ruku’). Melainkan, setelah menyelesaikan kadar bacaan yang harus
diselesaikan, harus mengikuti rukun yang sedang dilakukan oleh imamnya.
Dan, jika imamnya hendak turun untuk sujud sementara dia masih belum menyelesaikan
kadar bacaan Fâtihahnya, maka dia wajib berniat mufâraqah. Kalau dia tidak melakukan
niat mufâraqah, maka shalatnya batal.
b. Makmum Muwâfiq
Makmum muwâfiq adalah adalah makmum yang setelah  takbîratul ihrâm memiliki
waktu yang cukup untuk membaca Fâtihah (dengan bacaan sedang; tidak terlalu cepat
dan tidak terlalu pelan) bersama imam baik di rakaat pertama atau lainnya.
Bagi makmum muwâfiq, jika belum selesai bacaan Fâtihahnya, tidak boleh mengikuti-
ruku’ bersama imamnya untuk mendapatkan hitungan rakaat–sebagaimana makmum
masbûq–, melainkan wajib menyempurnakan bacaan Fâtihahnya dan mendapatkan
hitungan rakaat sekalipun tidak melakukan ruku’ bersama imamnya.
Makmum muwâfiq diperbolehkan tertinggal tiga rukun panjang dari imam kalau
ketertinggalannya untuk membaca Fâtihah sebelum imam ruku’ karena ada udzur.
Contohnya seperti makmum yang memiliki waktu cukup untuk membaca Fâtihah
sebelum imam ruku’ tapi dia membaca bacaan sunnat terlebih dahulu. Dia menduga
bahwa sekalipun membaca bacaan sunnat waktunya masih cukup untuk menyelesaikan
bacaan Fâtihahnya.  Ternyata imamnya melakukan ruku’ sebelum dia selesai membaca
Fâtihah. Maka, dia wajib menyelesaikan Fâtihahnya dan tidak boleh ikut ruku’ bersama
imamnya.
Dalam menyempurnakan Fâtihahnya ini, dia diperbolehkan tertinggal tiga rukun fi’li
panjang yaitu; ruku’ dan dua sujud (imamnya belum bangun dari sujud yang kedua).
32
Setelah dia selesai membaca Fâtihah dia harus melanjutkan urutan shalatnya (ruku’ lalu
i’tidal dan seterusnya) dan tetap mendapatkan hitungan rakaat.
Jika imamnya sudah bangun dari sujud kedua sementara dia masih belum selesai
membaca Fâtihah, maka dia harus menyesuaikan diri dengan imamnya yaitu tetap
berdiri (jika imamnya berdiri) atau duduk tasyahhud (jika imamnya duduk tasyahhud).
Dalam kasus ini, dia wajib menambah rakaat setelah salam imamnya sebab dia tidak
mendapatkan hitungan rakaat.

SHOLAT JENAZAH

Hal-hal yang berkaitan dengan menshalati mayit secara garis besar ada tiga, yakni
syarat, rukun, dan hal-hal yang disunahkan di dalamnya, adapun penjelasannya
adalah sebagai berikut:
1. Syarat Shalat Mayit
a) Mayit telah disucikan dari najis baik tubuh, kafan maupun tempatnya.
b) Orang yang menshalati telah memenuhi syarat sah shalat.
c) Bila mayitnya hadir, posisi mushalli harus berada di belakang mayit. Adapun
aturannya adalah sebagai berikut:
1) Mayit laki-laki:
Mayit dibaringkan dengan meletakkan kepala di sebelah utara. Imam atau
munfarid (orang yang shalat sendirian) berdiri lurus dengan kepala mayit.
2) Mayit perempuan
Cara peletakkan mayit sama dengan mayit laki-laki, sedangkan imam atau
munfarid (orang yang shalat sendirian) berdiri lurus dengan bokong mayit.
d) Jarak antara mayit dan mushalli tidak melebihi 300 dziro’ atau sekitar 150 m.
Hal ini jika shalat dilakukan di luar masjid.
e) Tidak ada penghalang antara keduanya; misalnya seandainya mayit berada
dalam keranda, maka keranda tersebut tidak boleh dipaku.
f) Bila mayit hadir, maka orang yang menshalati juga harus hadir di tempat
tersebut.
2. Rukun Shalat Mayit
a) Niat.
Apabila mayit hanya satu, niatanya adalah:

‫ ٰه ِذ ِه ْال َميِتَ ِة ِهللِ تَ َع ٰالى‬/‫ت‬ َ ‫ُأ‬


ِ ِّ‫صلِّ ْي ع َٰلى ٰه َذا ْال َمي‬
Artinya: "Saya sholat atas mayat(laki-laki/perempuan) ini karena Allah Taala."
Dan jika banyak, niatnya adalah:

َ‫ت ْال ُم ْسلِ ِم ْين‬


ِ ‫ض َر ِم ْن َأ ْم َوا‬ َ ‫ُأ‬
َ ‫صلِّي ع َٰلى َم ْن َح‬
Artinya: "Saya sholat atas mayat-mayat muslimin yang ada di depan saya."
b) Berdiri bagi yang mampu.
c) Melakukan takbir sebanyak empat kali termasuk takbiratul ihram.
d) Membaca surat Al Fatihah setelah takbir pertama.

33
e) Membaca shalawat Nabi setelah takbir kedua.
Contoh bacaan sholawat:
‫صلِّ ع َٰلى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد‬
َ ‫اللّ ٰـهُ َّم‬
f) Mendo’akan mayit setelah takbir ketiga.
Contoh do’a:
ُ‫ َواعْفُ َع ْنه‬،‫ َوعَافِ ِه‬،ُ‫ َوارْ َح ْمه‬،ُ‫اللّ ٰـهُ َّم ا ْغفِرْ لَه‬
g) Mengucapkan salam pertama setelah takbir keempat.
ِ‫اَل َّسالَ ُم َعلَ ْي ُك ْم َو َرحْ َمةُ هللا‬
3. Kesunnahan dalam shalat mayit
a) Mengangkat kedua telapak tangan sampai sebatas bahu, lalu meletakkannya
diantara dada dan pusar pada setiap takbir.
b) Menyempurnakan lafadh niat:

ٰ ‫ ِإ َما ًما ِهللِ تَ َع‬/‫ض ْال ِكفَايَ ِة َمْأ ُموْ ًما‬


‫الى‬ َ ‫ُأ‬.
ِ ِّ‫صلِّ ْي ع َٰلى ٰهذاَ ْال َمي‬
َ ْ‫ ٰه ِذ ِه ْال َميِّتَ ِة فَر‬/‫ت‬
Artinya: "Saya sholat atas mayat(laki-laki/perempuan) ini fardhu kifayah sebagai
makmum/imam karena Allah Taala."
c) Melirihkan bacaan fatihan, shalawat dan do’a.
d) Membaca ta’awwudz sebelum membaca surat Al Fatihah.
e) Tidak membaca do’a iftitah.
f) Membaca hamdalah sebelum membaca shalawat.
g) Menyempurnakan bacaan shalawat. Adapun lafadhnya seperti shalawat
ibrahimiyah dalam shalat biasa.
h) Menyempurnakan bacaan do’a untuk si mayit

ٍ ‫ َوا ْغ ِس ْلهُ بِ َما ٍء َوثَ ْل‬،ُ‫ َو َو ِّس ْع َم ْد َخلَه‬،ُ‫ َوَأ ْك ِر ْم نُ ُزلَه‬،ُ‫ َوعَافِ ِه َواعْفُ َع ْنه‬،ُ‫ َوارْ َح ْمه‬،ُ‫اللّ ٰـهُ َّم ا ْغفِرْ لَه‬
‫ َونَقِّ ِه‬،‫ج وبَ َر ٍد‬
ً ‫ َوزَ وْ جا‬،‫ َوَأ ْهالً خَ يْراً ِم ْن َأ ْهلِ ِه‬،‫َار ِه‬ ِ ‫ َوَأ ْب ِد ْلهُ دَاراً َخيْراً ِم ْن د‬،‫َس‬ ِ ‫ِمنَ الخَ طَايَا َك َما يُنَقَّى الثَّوْ بُ اَأل ْبيَضُ ِمنَ ال َّدن‬
،‫ص ِغي ِْرنَا‬ َ ‫ َو‬،‫ َوغَاِئبِنَا‬،‫ َو َشا ِه ِدنَا‬،‫ َو َميِّتِنَا‬،َ‫ اللّ ٰـهُ َّم ا ْغفِرْ لِ َحيِّنا‬.‫ب النا َّ ِر‬ ِ ‫ َوقِ ِه فِ ْتنَةَ ْالقَب ِْر َو َع َذا‬،‫َخيْراً ِم ْن زَ وْ ِج ِه‬
‫ َو َم ْن ت ََوفَّ ْيتَهُ ِمنَّا فَتَ َوفَّهُ ع َٰلى ْاِإل ْي َما ِن‬،‫ اللّ ٰـهُ َّم َم ْن َأحْ يَ ْيتَهُ ِمنَّا فََأحْ يِ ِه ع َٰلى ْاِإل ْسالَ ِم‬،َ‫ َوُأ ْنثَانا‬،‫ َو َذ َك ِرنَا‬،‫ َو َكبِي ِْرنَا‬.

i) Bila mayatnya anak kecil sunah untuk menambah do’a:

‫ص ْب َر ع َٰلى‬ َّ ‫غ ال‬ ِ ‫از ْينَهُ َماـ َوَأ ْف ِر‬


ِ ‫ َوثَقِّلْ بِ ِه َم َو‬،ً‫ َو ِعظَةً َوا ْعتِبَاراً َو َشفِيْعا‬،ً‫اللّ ٰـهُ َّم اجْ َع ْلهُ فَ َرطاًـ َِألبَوْ ي ِه َو َسلَفا ً َو ُذ ْخرا‬
ُ‫قُلُوْ بِ ِه َماـ َوالَ تَ ْفتِنَّهُ َما بَ ْع َدهُ َوالَ تَحْ ِر ْمهُ َماـ َأجْ َره‬.
j) Setelah takbir ke-empat sunah untuk membaca do’a:

ُ‫اللّ ٰـهُ َّم الَ تَحْ ِر ْمنَاـ َأجْ َرهُ َوالَ تَ ْفتِنَّا بَ ْع َدهُ َوا ْغفِرْ لَنَا َولَه‬.
k) Membaca do’a untuk masing-masing mukmin setelah membaca shalawat:

‫ت‬ِ ‫ت َو ْال ُم ْسلِ ِم ْينَ َو ْال ُم ْسلِ َما‬


ِ ‫اللّ ٰـهُ َّم ا ْغفِرْ لِ ْل ُمْؤ ِمنِ ْينَ َو ْال ُمْؤ ِمنَا‬.
l) Salam yang kedua sunah untuk menyempurnakan.
ُ‫اَل َّسالَ ُم عَل ْي ُك ْم َو َرحْ َمةُ هللاِ َوبَ َر َكاتُه‬.
m) Sunah dilakukan di masjid dengan memper-banyak shaf .

34
Bagi orang yang tidak dapat datang ke tempat mayit boleh melakukan shalat
ghoib di tempatnya.

Adapun lafadh niatnya untuk mayit tunggal adalah:

‫ـ ِإ َما ًما ِهللِ تَ َع ٰالى‬/‫ض ْال ِكفَايَ ِة َمْأ ُموْ ًما‬


َ ْ‫ َميِّتَ ِة (ِإس ِْم ْال َميِّتِ ِة) ْالغَاِئبَ ِة فَر‬/‫ب‬ َ ‫ُأ‬.
ِ ِّ‫صلَّ ْي ع َٰلى َميِّت (ِإس ِْم ْال َمي‬
ِ ‫ت) ْالغَاِئ‬
Artinya:“Saya menyalati jenazah ‘Si Fulan (sebutkan namanya)’ yang berada
di tempat lain dengan,fardhu kifâyah sebagai imam/makmum karena Allah
ta’âlâ.”  

Bila mayit jumlahya banyak, maka setelah menyebutkan nama-nama mayit,


diperbolehkan menggunakan niat:

‫ ِإ َما ًما ِهللِ تَ َع ٰالى‬/‫ض ْال ِكفَايَ ِة َمْأ ُموْ ًما‬ َ ‫ُأ‬.
َ ْ‫صلِّ ْي ع َٰلى َم ْن َذكَرْ تُهُْـم فَر‬
Artinya:“Saya menyalati jenazah yang telah saya sebutkan nama mereka yang
berada di tempat lain,fardhu kifâyah sebagai imam/makmum karena Allah
ta’âlâ.”

Kriteria Imam Shalat Jenazah


Adapun urutan orang yang lebih utama dan berhak menjadi imam shalat jenazah
adalah sebagai berikut:
1. Ayah.
2. Kakek dan seatasnya.
3. Anak laki-laki.
4. Cucu laki-laki dan sebawahnya.
5. Saudara laki-laki kandung.
6. Saudara laki-laki seayah.
7. Anak dari saudara laki-laki kandung.
8. Anak dari saudara laki-laki seayah.
9. Saudara ayah kandung.
10. Saudara ayah seayah.
11. Orang laki-laki yang memiliki hubungan kerabat.

Teknis Pelaksanaan
1. Takbiratul ihram bersamaan dengan niat shalat.
2. Membaca ta’awwudz dan surat Al Fatihah dengan suara pelan.
3. Takbir kedua.
4. Membaca hamdalah dan shalawat secara sempurna.
5. Takbir ketiga.
6. Membaca do’a secara sempurna.
7. Takbir keempat.
8. Membaca do’a.
9. Membaca salam dengan sempurna.

35

Anda mungkin juga menyukai