Anda di halaman 1dari 3

REVIEW MATERI FARMAKOTERAPI:

ASMA

Nama : Aulia Min Fadliah

NIM : A03227193

Kelas : Alih Jenjang S1 Farmasi

Tanggal : 03 Oktober 2022

Dosen : Dr. apt. L. Vita. Inandha Dewi, S.Si., M.Sc.

1. Seorang pasien berusia 65 tahun, BB 56 Kg dengan riwayat hipertensi,


tekanan darah biasanya terkontrol namun saat ini meningkat menjadi 160/98
mmHg, mengalami kekambuhan asma, pasien sesak nafas dengan RR
20x/menit, saturasi oksigennya 90%, jelaskan sasaran dan strategi terapi
untuk pasien tersebut!
Jawab:
a. Sasaran terapi pada pasien asma dengan riwayat hipertensi:
 Serangan asma dan hipertensi teratasi
 Mengatasi gejala klinis
 Menghindari faktor pencetus
b. Strategi terapi pasien asma dengan riwayat hipertensi
 Strategi terapi farmakologi
Untuk pasien asma dengan riwayat hipertensi dapat diberikan inhlasi.
Obat yang diberikan melalui rute inhalasi dapat mempunyai efek
samping dan interaksi antar obat yang minimal karena konsentrasi
obat di dalam darahnya sedikit. Obat asma yang dapat diberikan
dalam bentuk inhalasi pada pasien dengan riwayat hipertensi yaitu
SABA seperti albuterol, formoterol dan fenoterol (Aberg et al, 2009).
Selain itu pada pasien asma dengan riwayat hipertensi sebaiknya
dilakukan pemantauan terapi untuk menoptimalkan efek terapi dan
meminimalkan efek samping (Depkes RI, 2009).
Selain itu yang perlu diperhatikan pada pasien asma dengan riwayat
hipertensi adalah hindari penggunaan obat hipertensi golongan Beta
Blocker Non Selektif seperti Propanolol dan Karvedilol. Beta blocker
non selektif bekerja dengan menghambat reseptor beta baik beta 1
maupun beta 2. Apabila reseptor beta 2 di bronkus ikut dihambat
maka akan terjadi bronkospasme sehingga aliran udara menuju paru-
paru menurun dan menyebabkan sulit bernafas. Penggunaan ACEi
pada pasien hipertensi dengan asma juga baiknya dapat dihindari
karena ACEi dapat meningkatkan kadar bradikidin. Apabila kadar
bradikidin meningkat maka dapat mengiritasi bronkus dan
menimbulkan respon batuk yang akan memperprah asma yang diderita
pasien (Straka et al, 2017).
 Strategi terapi non farmakologi
Terapi non farmakologi pada pada pasien asma dapat dilakukan
dengan selalu menjaga kebersihan dan menghindari agen pencetus
asma misalnya bulu kucing, debu, polusi, dll.

2. Seorang wanita berusia 25 tahun dengan kehamilan 14 minggu mengalami


kekambuhan asma, BB pasien 45 Kg, tekanan darahnya 120/80 mmHg, obat
apakah yang dapat disarankan untuk pasien tersebut? Jelaskan pertimbangan
anda.
Jawab:
a. Short Acting Beta 2 Agonist (SABA) seperti salbutamol
Obat SABA bekerja dengan menstimulus reseptor beta 2 di jalan napas
sehingga terjadi relaksasi otot polos dan bronkodilasi. SABA masuk ke
kategori C obat kehamilan, namun pada hasil penelitian telaah American
Congress of Obstretricians and Gynecologist (ACOG) dan National Hurt,
Lung and Blood Institute (NHBLI) berkesimpulan bahwa penggunaan
SABA sebagai pelega serangan asma dikategorikan aman untuk
kehamilan.
b. Inhalasi Kortikosteroid (ICS)
Asma harus dikontrol dengan baik selama kehamilan agar tidak
mempengaruhi ibu dan janin. Obat asma sebaiknya diberikan secara
inhalasi (PIONAS). Obat yang diberikan secara inhalasi dapat mempunyai
efek samping minimal karena obat didalam darah lebih sedikit (Reiser and
Warrner, 1986). ICS merupakan obat pelega utama pada pasien asma
persisten, demikian juga untuk ibu hamil dengan asma persisten.
c. Leukotriene Receptor Agonist (LTRA) contohnya montelukast dan
zafirlukast
Mekanisme kerja LTRA yaitu dengan menghambat ikatan leukotriene
dengan reseptor sehingga terjadinya inflamasi, kontraksi otot polos, dan
penyempitan jalan nafas dapat dihambat. LTRA termasuk obat kategori B.
Penelitian penggunaan montelukast pada kehamilan tidak ditemukan
keguguran ataupun kematian janin (Shed and Hays, 2016)
d. Kombinasi ICS dengan Long Acting B2 Agonis
Penggunaan LABA pada pasien asma harus bersamaan dengan ICS.
Kombinasi LABA dan ICS masuk kategori C obat kehamilan dan
penggunaannya masih diperdebatkan. Namun penelitian telaah sistematis
membuktikan tidak ada hubungan bermakna antara ICS dan LABA
dengan malformasi kongenital dan kelahiran prematur (Mangunegoro et
al, 2004)

Anda mungkin juga menyukai