Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

FENOMENA PENDIDIKAN
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Landasan Pendidikan
Dosen Pengampu Eko Eko Yulianto, S.Pd., M.Pd

Oleh:
Sindi NPM. 222151070

KELAS 2022 B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SILIWANGI
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
limpahan rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa
ada halangan yang berarti.
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada bapak Eko Yulianto sebagai dosen
pengampu mata kuliah Landasan Pendidikan yang telah membantu memberikan
arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan karena keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat mengharapkan
kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa yang ditulis dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Tasikmalaya, 01 November 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

COVER…………………………………………………………………….. i
KATA PENGANTAR……………………………………………………... ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………….. iii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………… 1
C. Tujuan Penulisan ………………………………………………….......... 1
BAB II: PEMBAHASAN
A. Kasus…………………............................................................................. 2
B. Landasan Pendidikan…………………………………………………
1. Landasan Psikologis………………………………………………....
2. Teori Abraham Maslow…………………………………………….. 6
3. Landasan Filosofis………………………………………………….. 7
4. Prinsip Antropologis………………………………………………...
BAB III: PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………………... 8
B. Saran……………………………………………………………………. 8
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 9
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan dalam pola tingkah
anak yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang
jengkel, ternyata ada banyak pesan yang tak terucapkan. Bahwa mereka pun butuh
untuk mengaktualisasikan diri mereka tanpa terlalu didikte oleh orang tua dan bukan
hanya kebutuhan materi yang mereka inginkan mereka juga ingin merasakan kasih
sayang, penghargaan terhadap pekerjaan yang telah mereka lakukan, bukan hanya
cercaan terhadap kesalahan yang mereka lakukan. Tuntutan yang terlalu banyak
diberikan oleh orang tua terhadap anak akan berimbas pada kepribadiannya kelak juga
terhadap sosialisasi yang tidak baik dikarenakan kemampuan verbal yang tidak begitu
baik pula. Seadainya orang tua lebih mengerti bahwa anak pun butuh akan kebebasan
dalam artian positif .
Anak-anak memang harus diajarkan untuk menghormati ayah dan ibunya,
tetapi orang tua tidak boleh membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya.
Pengertian terhadap hak-hak anak harus lebih diperhatikan baik fisik maupun mental.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
a. Landasan pendidikan apakah yang sesuai dengan kasus yang diangkat pada
makalah ini?
b. Sesuai dengan teori apa kasus tersebut ?
c. Sesuai dengan landasan filosofis Pendidikan apa ?
d. Prinsip antropologi apa yang terpenuhi ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan makalah ini ditulis yaitu untuk mengetahui landasan
keterkaitan kasus ini dengan ;
a. Landasan psikologis
b. Teori Abraham Maslow
c. Landasan filosofis
d. Prinsip antropologi
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kasus
Seorang anak yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD. Menurut observasi
wali kelas dan kepala sekolah, Dika yang duduk di kelas unggulan, tempat
penggemblengan anak-anak berprestasi itu, waktu itu justru tercatat sebagai anak
yang bermasalah. Melihat hal tersebu guru dan kepala sekolah pun bertindang dengan
menanyakan kepada orang tua Dika terkait apa yang terjadi di rumah sehingga Dika
selalu murung dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas hanya untuk
melamun. Prestasinya kian lama kian merosot. Guru dan kepala sekolah pun
menyarankan kepada orang tua Dika untuk mereka bebicara secara langsung kepada
Dika. Orang tua Dika yang merasa cemas akan kondisi anaknya dengan lemah lembut
bertanya kepada Dika “Apa yang kamu inginkan ?” Dika hanya menggeleng. “Kamu
ingin ibu bersikap seperti apa ?” tanya ibunya “Biasa-biasa saja” jawab Dika singkat.
Beberapa kali orang tuanya berdiskusi dengan wali kelas dan kepala sekolah untuk
mencari pemecahannya, namun tak ada kemajuan. Akhirnya mereka sepakat untuk
meminta bantuan seorang psikolog.
Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk
menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal demi soal dalam
hitungan menit. Beberapa saat kemudian, Psikolog yang tampil bersahaja namun
penuh keramahan itu segera memberitahukan hasil testnya. Angka kecerdasan rata-
rata Dika mencapai 147 (Sangat Cerdas) dimana skor untuk aspek-aspek kemapuan
pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan
berkisar pada angka 140 – 160. Ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan
verbalnya tidak lebih dari 115 (Rata-Rata Cerdas). Perbedaan yang mencolok pada 2
tingkat kecerdasan yang berbeda itulah yang menurut Psikolog, perlu dilakukan
pendalaman lebih lanjut. Oleh sebab Itu Psikolog itu dengan santun menyarankan
kepada orang tua Dika untuk mengantar Dika kembali Ke tempat itu seminggu lagi.
Menurutnya Dika perlu menjalani test kepribadian.
Suatu sore, orang tua Dika kembali mengantar Dika untuk mengikuti serangkaian
test kepribadian. Melalui interview dan test tertulis yang dilakukan, setidaknya
Psikolog Itu telah menarik benang merah yang menurutnya menjadi salah satu atau
beberapa faktor penghambat kemampuan verbal Dika. Jawaban yang jujur dari hati
Dika yang paling dalam itu membuat orang tuanya berkaca diri, melihat wajah
seorang ibu dan ayah yang masih jauh dari ideal.
Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan “Aku ingin ibuku :….” Dika pun
menjawab: “membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja” Dengan beberapa
pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ibunya kurang memberi
kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas. Ibunya berpikir bahwa banyak ragam
permainan-permainan edukatif sehingga ia merasa perlu menjadwalkan kapan
waktunya menggambar, kapan waktunya bermain puzzle, kapan waktunya bermain
basket, kapan waktunya membaca buku cerita, kapan waktunya main game di
computer dan sebagainya. Ia berpikir bahwa semua itu ia lakukan demi kebaikan dan
demi masa depan anaknya, tanpa ia berpikir bahwa Dika perlu menikmati permainan-
permainan secara merata di sela-sela waktu luangnya yang memang tinggal sedikit
karena sebagian besar telah dihabiskan untuk sekolah dan mengikuti berbagai kursus
di luar sekolah. Dengan jadwal kegiatan Dika yang begitu rumit, Tetapi ternyata
permintaan Dika hanya sederhana: diberi kebebasan bermain sesuka hatinya,
menikmati masa kanak-kanaknya.
Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan “Aku ingin Ayahku …” Dika
pun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun kira-kira artinya “Aku ingin
ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku melakukan sesuatu” Melalui
beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau diajari atau
disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu. Ia hanya ingin melihat
ayahnya melakukan apa saja setiap hari, seperti apa yang diperintahkan kepada Dika.
Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian membereskan tempat tidurnya
sendiri, makan dan minum tanpa harus dilayani orang lain, menonton TV secukupnya,
merapikan sendiri koran yang habis dibacanya dan tidur tepat waktu. Sederhana
memang, tetapi hal-hal seperti itu justru sulit dilakukan oleh kebanyakan orang tua.
Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan “Aku ingin ibuku tidak …”. Maka Dika
menjawab “Menganggapku seperti dirinya” ternyata sikap ibunya yang merasa bahwa
pengalaman hidupnya yang suka bekerja
keras, disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang ia inginkan itu merupakan
sikap yang paling baik dan bijaksana. Harapannya, Dika bisa menjadi seperti dirinya.
Orang tua Dika sama halnya dengan banyak orang tua lainnya seringkali ingin
menjadikan anak sebagai foto copy diri mereka atau bahkan beranggapan bahwa anak
adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.
Ketika Psikolog memberikan pertanyaan “Aku ingin ayahku tidak : ..”
Dikapun menjawab “Tidak mempersalahkan aku di depan orang lain. Tidak
mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah dosa” Tanpa
disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan bertindak benar,
hingga hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya untuk berbuat kesalahan. Bila
orang tua menganggap bahwa setiap kesalahan adalah dosa yang harus diganjar
dengan hukuman, maka anakpun akan memilih untuk berbohong dan tidak mau
mengakui kesalahan yang telah dibuatnya dengan jujur. Kesulitan baru akan muncul
karena orang tua tidak tahu kesalahan apa yang telah diperbuat anaknya, sehingga
tidak tahu tindakan apa yang harus dilakukan untuk mencegah atau menghentikannya.
Orang tua harus sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan Untuk
berbuat salah, kemudian Ia pun bisa belajar dari kesalahannya. Konsekuensi dari
sikap dan tindakannya yang salah adakalanya bisa menjadi pelajaran berharga supaya
di waktu-waktu mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa.
Ketika Psikolog itu menuliskan “Aku ingin ibuku berbicara tentang …..”
Dikapun menjawab “Berbicara tentang hal-hal yang penting saja”. Ibunya cukup
kaget karena ia justru menggunakan kesempatan yang sangat sempit, sekembalinya
dari kantor untuk membahas hal-hal yang menurutnya penting, seperti menanyakan
pelajaran dan PR yang diberikan gurunya. Namun ternyata hal-hal tersebut bukanlah
sesuatu yang penting untuk bagi Dika. Dengan jawaban Dika yang polos dan jujur itu
orang tuanya diingatkan bahwa kecerdasan tidak lebih penting dari pada hikmat dan
pengenalan akan Tuhan. Pengajaran tentang kasih tidak kalah pentingnya dengan ilmu
pengetahuan. Atas pertanyaan “Aku ingin ayahku berbicara tentang …..”, Dikapun
menuliskan “Aku ingin ayahku berbicara tentang kesalahan-kesalahan nya. Aku ingin
ayahku tidak selalu merasa benar, paling hebat dan tidak pernah berbuat salah. Aku
ingin ayahku mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepadaku”. Memang dalam
banyak hal, orang tua berbuat benar tetapi sebagai manusia, orang tua tak luput dari
kesalahan. Keinginan Dika sebenarnya sederhana, yaitu ingin orang tuanya sportif,
mau mengakui kesalahnya dan kalau perlu meminta maaf atas kesalahannya, seperti
apa yang diajarkan orang tua kepadanya.
Ketika Psikolog menyodorkan tulisan “Aku ingin ibuku setiap hari… ” Dika
berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan lancar”. Aku ingin ibuku
mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan memeluk adikku”.
Pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan seorang anak supaya
hari-harinya terasa lebih indah. Terkadang orang out tidak menyadari bahwa
perlakukan mereka yang tidak sama kepada anak-anaknya seringkali oleh anak-anak
diterjemahkan sebagai tindakan yang tidak adil atau pilih kasih. Secarik kertas yang
berisi pertanyaan “Aku ingin ayahku setiap hari…”
Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu kata “tersenyum”
Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa perlu menahan
senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal kenyataannya senyuman
tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan wibawanya, tetapi justru bisa
menambah simpati dan energi bagi anak-anak dalam melakukan segala sesuatu seperti
yang ia lihat dari ayahnya setiap hari.
Ketika Psikolog memberikan kertas yang bertuliskan “Aku ingin ibuku
memanggilku. …” Dikapun menuliskan “Aku ingin ibuku memanggilku dengan nama
yang bagus” ternya memang sebelum Dika lahir orang tuanya telah memilih nama
yang paling bagus dan penuh arti, yaitu Judika Ekaristi Kurniawan. Namun sayang,
tanpa sadar, orang tua Dika selalu memanggilnya dengan sebutan Nang atau Le. Nang
dalam Bahasa Jawa diambil dari kata “Lanang” yang berarti laki-laki. Sedangkan Le
dari kata “Tole”. Orang tuanya merasa bahwa panggilan tersebut wajar-wajar saja,
karena hal itu merupakan sesuatu yang lumrah di kalangan masyarakat Jawa. Ketika
Psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi “Aku ingin ayahku memanggilku ..”
Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu “Nama Asli”. Selama ini ayahnya yang
memang memanggil Dika dengan sebutan “Paijo” karena sehari-hari Dika berbicara
dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Sunda dengan logat Jawa medok. “Persis Paijo,
tukang sayur keliling” kata ayahnya.
Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu, orang tuanya pun tersadar
dan menjadi malu karena ternya selama ini mereka yang bekerja disebuah lembaga
yang membela dan memperjuangkan hak-hak anak. Kepada banyak orang mereka
kampanyekan pentingnya penghormatan hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak-
Hak Anak Sedunia. Kepada khalayak ramai mereka bagikan poster bertuliskan “To
Respect Child Rights is an Obligation, not a Choise” sebuah seruan yang
mengingatkan bahwa “Menghormati Hak Anak adalah Kewajiban, bukan Pilihan”.
Tanpa mereka sadari, mereka telah melanggar hak anak karena telah memanggilnya
dengan panggilan yang tidak hormat dan bermartabat.
B. Landasan Pendidikan
landasan pendidikan sebagai hasil studi pendidikan tersebut juga dapat dijadikan
titik tolak dalam rangka studi pendidikan lebih lanjut. Berdasarkan uraian di atas
dapat Anda simpulkan, bahwa landasan pendidikan adalah seperangkat asumsi yang
dijadikan titik tolak dalam rangka praktik pendidikan dan/atau studi pendidikan lebih
lanjut.(Pendidikan & Pendidikan, 2010, p. 8)
1. Landasan Psikologis
Pengertian Landasan Psiklogis merupakan pemahaman peserta didik
utamanya yang berkaitan dengan aspek kejiwaan, merupakan faktor
keberhasilan untuk pendididkan. Dalam maksud itu, Psikologi menyediakan
sejumlah informasi/kebutuhan tentang kehidupan pribadi manusia pada
umumnya serta gejala-gejala yang berkaitan dengan aspek pribadi.(Stamidiya
& Diana, 2018, p. 7)
2. Teori Abraham Maslow
Abraham Maslow mengungkapkan teori kebutuhan yang menyebutkan
bahwa tingkah laku individu berguna untuk memenuhi kebutuhannya, di
mana teori ini mempunyai empat prinsip landasan (Yuliana, 2016, p. 7), yakni:
1) Manusia adalah binatang yang berkeinginan
2) Kebutuhan manusia tampak terorganisir dalam kebutuhan yang bertingkat-
tingkat
3) Bila salah satu kebutuhan terpenuhi, kebutuhan lain akan muncul
4) Kebutuhan yang telah terpenuhi tidak mempunyai pengaruh, dan
kebutuhan lain yang lebih tinggi menjadi dominan.
Dalam kebutuhan manusia, Abraham Maslow membagi menjadi lima
macam kebutuhan manusia, yaitu:
1) Physical Needs (Kebutuhan-kebutuhan fisik).
Kebutuhan fisik merupakan kebutuhan yang berhubungan dengan
kondisi tubuh seperti pangan, sandang, dan papan.
2) Safety Needs. (Kebutuhan-kebutuhan rasa aman).
Kebutuhan ini lebih bersifat psikologi individu dalam kehidupan
sehari-hari. Misal: perlakuan adil, pengakuan hak dan kewajiban, jaminan
keamanan.
3) Social Needs (Kebutuhan-kebutuhan sosial).
Kebutuhan ini cenderung bersifat psikologis dan sering kali berkaitan
dengan kebutuhan lainnya. Misal: diakui sebagai anggota, diajak
berpartisipasi, berkunjung ke tetangganya.
4) Esteem Needs (Kebutuhan-kebutuhan penghargaan).
Kebutuhan ini menyangkut prestasi dan prestise individu setelah
melakukan kegiatan. Misal: dihargai, dipuji, dipercaya.
5) Self Actualization (kebutuhan aktualisasi diri).
Kebutuhan ini merupakan kebutuhan tertinggi dari individu dan
kebutuhan ini sekaligus paling sulit dilaksanakan. Misal: mengakui
pendapat orang lain, mengakui kebenaran
3. Landasan Filosofis
Landasan filosofis pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari
filsafat yang menjadi titik tolak dalam pendidikan. Ada berbagai aliran filsafat,
antara lain: Idealisme, Realisme, Pragmatisme, Pancasila, dsb. (Suyitno, 2009,
p. 8)
Adapun aliran yang sesuai dengan kasus yang terjadi kepada ini yaitu
aliran Realisme. Implikasi filsafat pendidikan Realisme Dalam hal pelajaran,
menguasai pengetahuan yang handal, dapat dipercaya. Dalam hal disiplin,
peraturan yang baik adalah esensial untuk belajar. Disiplin mental dan moral
dibutuhkan untuk memperoleh hasil yang baik.
4. Prinsip Antropologi
Historisitas. Eksistensi manusia memiliki dimensi historisitas, artinya
bahwa keberadaan manusia pada saat ini terpaut kepada masa lalunya, ia
belum selesai mewujudkan dirinya sebagai manusia, dan ia mengarah ke masa
depan untuk mencapai tujuan hidupnya.(Pendidikan & Pendidikan, 2010, p.
25)
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
kasus di atas memang terlihat sepele akan tetapi dengan yang ditimbulkan sangat
serius. Terlebih lagi kasus ini berkaitan dengan landasan psikologis, yang dimana
landasan psikologis ini berkaitan dengan aspek kejiwaan seseorang.kasus ini juga
berkaitan dengan prinsip antropologi Historisitas, yang artinya keberadaan manusia
pada saat ini terpaut kepada masa lalunya, ia belum selesai mewujudkan dirinya
sebagai manusia . hal ini akan membuatnya selalu mengingat hal-hal yang mungkin
sudah lama berlalu, baik maupun buruk.

B. Saran
Perlakuan-perlakuan yang semacam kasus diatas harus lebih diperhatikan kembali
oleh para orang tua ataupun kita sebagai calon oran tua di masa depan akan dampak
yang ditimbulkan sikap yang tidak sportif terhadap seorang anak. Semua orang tua
pasti menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya, akan tetapi terkadang hal yang
menurut orang tua baik belum tentu merupakan hal yang baik bagi anak-anaknya.
DAFTAR PUSTAKA
Pendidikan, L., & Pendidikan, M. D. A. N. (2010). Landasan pendidikan, manusia
dan pendidikan. 3–51.
Stamidiya, A., & Diana, N. U. R. (2018). Implikasi Landasan-Landasan Pendidikan
the Implication. 1(1), 3.
Suyitno. (2009). Oleh : PENGERTIAN DAN PERMASALAHAN-. Landasan
Filosofis Pendidikan, 167.
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEDAGOGIK/195009081981011-
Y._SUYITNO/LANDASAN_FILOSOFIS_PENDIDIKAN_DASAR.pdf
Yuliana, A. (2016). Teori Abraham maslow dalam analisa kebutuhan pemustaka.
Libraria, 6(2), 1–21.

Anda mungkin juga menyukai